direzkikan Allah kepada mereka, Maka
Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya.
dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).”
Dan Dalam hadits dinyatakan,dari Abu
Hurairah r.a. berkata,bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda :
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu
'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa mempunyai kemudahan untuk berkurban, namun ia belum
berkurban, maka janganlah sekali-kali ia mendekati tempat sholat kami."
Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim. Hadits mauquf
menurut para imam hadits selainnya. [9][10]
1.
Ketentuan Hewan Qurban
Yang dimaksud dengan hewan qurban
tersebut adalah binatang ternak yang dipelihara dan dikomsumsi dagingnya,
misalnya unta, sapi, kerbau, kambing, atau domba. Binatang yang sah untuk
menjadi qurban, ialah yang tidak mempunyai cacat seperti ; pincang, sangat
kurus, sakit, terpotong telinganya, dll.[10][11]Dikatakan syah, jika binatang tersebut memenuhi syarat-syarat
binatang/hewan yang telah ditetap kan syariat.[11][12] Adapun syarat-syarat binatang/hewan untuk dijadikan
qurban adalah :
Cukup umurnya:
a.
Domba sekurang-kurangnya berumur satu tahun;
b.
Kambing, sekurang-kurangnya berumur dua tahun;
c.
Unta sekurang-kurangnya berumur empat tahun dan masuk tahun kelima;
d.
Sapi, sekurang-kurangnya berumur dua tahun dan masuk tahun ketiga .
Dari Jabir bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jangan menyembelih kecuali hewan
yang umurnya masuk tahun ketiga. Bila engkau sulit mendapatkannya, sembelihlah
kambing yang umurnya masuk tahun kelima." Riwayat Muslim.
e.
Tidak cacat , Tidak sakit, Tidak pincang,Tidak
buta, Tidak kurus, Tidak putus telinga atau tanduknya.[12][13]. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW :
Al-Bara' Ibnu 'Azib Radliyallaahu
'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berdiri di
tengah-tengah kami dan bersabda: "Empat macam hewan yang tidak boleh
dijadikan kurban, yaitu: yang tampak jelas butanya, tampak jelas sakitnya,
tampak jelas pincangnya, dan hewan tua yang tidak bersum-sum." Riwayat
Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi dna Ibnu Hibban
2.
Waktu penyembelihan Qurban
Waktu penyembelihannya ialah sesudah
shalat ‘Idul Adha, dan akhir waktunya ialah ‘Ashar hari tasyriq, yakni sejak
tanggal 10 Dzulhijah hingga terbenamnya matahari tanggal 13 Dzulhijah.
Jundab Ibnu Sufyan Radliyallaahu
'anhu berkata: Aku mengalami hari raya Adlha bersama Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam Setelah beliau selesai sholat bersama orang-orang, beliau
melihat seekor kambing telah disembelih. Beliau bersabda: "Barangsiapa
menyembelih sebelum sholat, hendaknya ia menyembelih seekor kambing lagi
sebagai gantinya; dan barangsiapa belum menyembelih, hendaknya ia menyembelih
dengan nama Allah." Muttafaq Alaihi.
3.
Sunnah-sunnah waktu menyembelih Qurban
Disunnahkan sewaktu menyembelih
korban beberapa perkara berikut ini :
Membaca “Bismillah Wallahu Akbar”
dan Shalawat atas Nabi s.a.w.
Orang yang berkurban sendiri
disunnatkan menyembelihnya, dan jika ia wakil menyembelihkannya,
maka disunnatkan ia hadir ketika menyembelih.
Berdoa supaya kurban diterima Allah.
Sunnat
membaca do’a :
بِسْمِ اَللَّهِ, اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ
مُحَمَّدٍ, وَمِنْ أُمّةِ مُحَمَّدٍ )
"Dengan nama Allah. Ya Allah,
terimalah (kurban ini) dari Muhammad, keluarganya, dan umatnya." Kemudian
beliau berkurban dengannya.”
4.
Hikmah Qurban
Qurban merupakan
satu bentuk ibadah yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi illahiyah dan
dimensi social. Melaksanakan qurban berarti mentaati syariat Allah swt, yang
membawa pahala baginya. Selain itu, qurban berarti memberikan kebahagian bagi
orang lain, khususnya faqir miskin untuk dapat menikmati daging hewan qurban.[14][15]
Ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil dari disyariatkannya
qurban, antara lain :
Akan
menambah cinta dan keimanannya kepada Allah Swt.
Sebagai
rasa syukur pada Allah Swt. atas karunia yang dilimpahkan pada dirinya.
Menambah
rasa peduli dan tolong-menolong kepada orang lainyang kurang mampu.
Akan
menambah persatuan dan kesatuan karena ibadah kurban melibatkan seluruh lapisan
masyarakat.[15][16]
A.
AQIQAH
Setiap Muslim pasti menginginkan
anak yang shaleh dan shalehah, berbakti kepada orang tua, agama, bangsa, dan
Negara. Usaha untuk menjadikan anak shaleh dan shalehah, antara lain dengan
memberii bekal, ilmu pengetahuan yang cukup. Salah satu hal yang tidak kalah
penting tugas kedua orang tua kepada anak adalah memberikan nama yang baik bagi
anaknya yang lahir.[16][17
1.
Pengertian Aqiqah
Aqiqah menurut bahasa berarti “bulu”
atau “rambut” anak yang baru lahir. Sedangkan menurut istilah berarti :
menyembelih hewan tertentu sehubungan dengan kelahiran anak, sesuai dengan
ketentuan syara’.[17][18]Sedangkan menurut pendapat lain adalah menyembelih kambing pada
hari ketujuh dari kelahiran seorang bayi. Apabila bayi yang lahir itu
laki-laki, aqiqahnya adalah duaekor kambing. Apabila bayi itu perempuan,
aqiqahnya satu ekor kambing. Bersamaan dengan hari pemotongan hewan aqiqah,
bayi tersebut diberi nama yang baik dan dicukur rambutnya.[18][19]
Aqiqah hukumnya sunat bagi orang
yang wajib menanggung nafkah si anak.[19][20] Asal sunat menyembelih aqiqah itu sesuai dengan hadits
Aisyah dan Samurah, bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda :
Dari Samurah Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Setiap anak
tergadaikan dengan aqiqahnya; ia disembelih hari ketujuh (dari kelahirannya),
dicukur, dan diberi nama." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih
menurut Tirmidzi.
2.
Ketentuan hewan Aqiqah
Hewan aqiqah adalah kambing atau
domba. Bagi anak laki-laki dua ekor kambing sedangkan bagi anak perempuan satu
ekor kambing. Sebagaimana hadis Nabi Saw, yang berbunyi :
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar
beraqiqah dua ekor kambing yang sepadan (umur dan besarnya) untuk bayi
laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan. Hadits shahih riwayat
Tirmidzi.[20][21]
Binatang yang sah untuk menjadi
aqiqah sama halnya dengan hewan/binatang yang sah untuk berqurban, baik dari
segi umurnya, macam-macamnya, dan tanpa cacat.[21][22]
3.
Waktu Pelaksanaan
Pelaksanaan akikah disunnahkan pada
hari yang ketujuh dari kelahiran, ini berdasarkan sabda Nabi Saw,
yang telah disebutkan diatas
Dan bila tidak bisa melaksanakannya
pada hari ketujuh, maka bisa dilaksanakan pada hari ke empat belas, dan bila
tidak bisa, maka pada hari ke dua puluh satu, ini berdasarkan hadis Abdullah
Ibnu Buraidah dari ayahnya dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, beliau
berkata yang artinya: “Hewan akikah itu disembelih pada hari ketujuh, keempat
belas, dan keduapuluhsatu.” (Hadis hasan riwayat Al Baihaqiy)
Sedangkan untuk Bayi yang meninggal
dunia sebelum hari ketujuh disunnahkan juga untuk disembelihkan akikahnya,
bahkan meskipun bayi yang keguguran dengan syarat sudah berusia empat bulan di
dalam kandungan ibunya. Namun bila seseorang yang belum di sembelihkan
hewan akikah oleh orang tuanya hingga ia besar, maka dia bisa menyembelih
akikah dari dirinya sendiri, Syaikh Shalih Al Fauzan berkata: Dan bila tidak
diakikahi oleh ayahnya kemudian dia mengaqiqahi dirinya sendiri maka hal itu
tidak apa-apa.[22][23]
4.
Hikmah disyariatkannya Aqiqah
Ada beberapa fungsi atau hikmah bagi
orang-orang yang mengerjakan aqiqah, antara lain :
a.
Sebagai bukti rasa sukur orang tua kepada Allah swt, atas nikmat
yang diberikannya berupa anak.
b.
Membiasakan bagi orang tua untuk berqorban demi kepentingan anaknya
yang baru lahir.
c.
Sebagai penebus gadai anak dari Allah swt, sehingga anak menjadi
hak baginya dalam beramal dan beribadah.
d.
Hubungan dengan tetangga dan sanak kerabat lebih erat dengan
adanya pembagian daging aqiqah.
e.
Sebagai wujud menteladani sunah Rasulullah saw, sehingga akan
memperoleh nilai pahala disisi Allah swt.
f.
Menghilangkan gangguan dari sesuatu yang tidak baik
terhadap si anak.[23][24]

[1][1] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk
Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal
5
[2][2] Sulaiman Rasjid, Fiqih
Islam, Jakarta : Attahiriyah, cetakan ke 17, 1954, hal 442
[3][3] Muhammad Cholis, dkk, Pendidikan
Agama Islam, Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang, 2010, hal 50
[4][4] Muhammad Cholis, dkk, Pendidikan
Agama Islam, Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang, 2010, hal 50
[5][5] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk
Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal
5
[6][6] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk
Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal
6
[7][7] Sulaiman Rasjid, Fiqih
Islam, Jakarta : Attahiriyah, cetakan ke 17, 1954, hal 444
[8][9] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk
Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal
13
[9][10] Muhammad Cholis,
dkk, Pendidikan Agama Islam, Malang : Penerbit Universitas Negeri
Malang, 2010, hal 50
[10][11] Sulaiman Rasjid, Fiqih
Islam, Jakarta : Attahiriyah, cetakan ke 17, 1954, hal 448
[11][12] Muhammad Cholis,
dkk, Pendidikan Agama Islam, Malang : Penerbit Universitas Negeri
Malang, 2010, hal 54
[12][13] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk
Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal
15-16 lihat juga di Sulaiman Rasjid, fiqih Islam, hal : 448, juga Moh Rifa’I,
Pendidikan Madrasah Aliyah, hal 173
[13][14] Sulaiman Rasjid, Fiqih
Islam, Jakarta : Attahiriyah, cetakan ke 17, 1954, hal 450
[14][15] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk
Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal
18
[15][16] Moh Rifa’i,Fiqih untuk Madrasah
Aliyah, Semarang : PT Wicaksana, 1991, hal : 180
[16][17] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk
Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal
25
[17][18] Muhammad Cholis,
dkk, Pendidikan Agama Islam, Malang : Penerbit Universitas Negeri
Malang, 2010, hal 52
[18][19] Dian Rosyidah, dkk, hal : 26
[19][20] Sulaiman Rasjid, Fiqih
Islam, Jakarta : Attahiriyah, cetakan ke 17, 1954, hal 452
[20][21] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk
Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal 27
[22][23] Muhammad
Cholis, dkk, Pendidikan Agama Islam, Malang : Penerbit Universitas
Negeri Malang, 2010, hal 60
[23][24] Dian
Rosyidah, dkk, Fiqih untuk Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta
: Arafah Mitra Utama, 2008, hal 27
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
KHITAN
A.
Pengertian Khitan Atau Sirkumsisi
Ada beberapa arti dari kata
khitan.Khitan ini menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja (خَتَنَ ) yang artinya
memotong sesuatu. Adapun menurut bahasa Latinya : Khitan – Circumsio. Ibnu
Faris berpendapat bahwa khitan berasal dari kata ” khatana” yang
artinya ” memotong ” . Arti lainya adalah khatan, yaitu jalinan persaudaraan,
bagi perempuan ada yang mengistilahkan khifadh. Kata khitan berasal dari bahasa
Arab al- khitanu yang berarti memotong kulup ( kulit ) yang
menutupi ujung penis.
Ada pula yang berpendapat, bahwa
istilah khitan berlaku baik bagi laki – laki maupun
perempuan. Makna asli kata khitan dalam bahasa Arab adalah bagian kemaluan laki
– laki atau perempuan yang dipotong.
Khitan menurut istilah Syar’iyah,
yaitu memotong, membuang kulup kemaluan anak laki- laki, sehingga kepala
kemaluan terbuka semua.
Menurut syara’, definisi yang
diberikan oleh para ulama juga berbeda pengertian khitan menurut bahasa seperti
terurai diatas. Ibnu Hajar mengatakan, bahwa al – Khitan adalah isim masdar
dari kata khatana yang berarti memotong, sama dengan khitan yang berarti
memotong sebagian benda khusus dari anggota badan yang khusus pula.
Selain itu, sebagaimana dikemukakan
oleh DR.Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyah Aulad Fi Al
Islam,khitan bisa juga berarti bagian yang dipotong atau tempat timbulnya
konsekuensi syara;, sebagaimana diungkapkan dalam hadits yang
diriwayatkan dari Aisyah r.a;
اِذَا اْلْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila bertemu dua bagian yang
dikhitan, maka diwajibkan mandi’ ( H.R.Ahmad,Tirmidzi dan Nasai ).
Dari riwayat Yunus menurut
Imam Muslim dikatakan bahwa al-ikhtitan atau al- khitan berarti ” Nama
pekerjaan orang yang mengkhitan’.
Menurut pandangan medis, khitan (
sirkumsisi, sunat ) adalah tindankan pembuangan dari sebagian atau
seluruh kulup ( prepusium ) penis dengan tujuan tertentu.
Melihat dari arti katanya saja
sebenarnya sudah tidak perlu lagi beradu argumen tentang harus tidaknya atau
perlu tidaknya seseorang bayi perempuan dikhitan. Sebagian ahli yang
berpendapat, bahwa makna asli bahasa Arab dari khitan adalah memotong sebagian
kulit kemaluan pria atau wanita, bagian yang dipotong dinamakan quluf, yaitu
bagian ujung dari kulit kemaluan.
B.
Sejarah Khitan
Khitan menurut sejarah adalah sunnah
para Nabi dan merupakan tatacara yang telah dilaksanakan oleh berbagai
bangsa, sejak zaman purbakala. Semua dilaksanakan sesuai dengan kebisaaan
masing – masing. Dan sejarah para Nabi yang masyhur, khitan itu mendapat tempat
yang khusus dari urutan upacara keagamaan sejak Nabi Adam, Nabi Nuh,Nabi
Ibrahim, sampai dengan Nabi Isa dan terakhir Nabi Muhammad saw.
Dalam kisah sekitar kisah khitan
ini, ada pendapat yang berbeda tentang asal – usul, siapa manusia pertama yang
melaksanakan khitan. Menurut satu pendapat: Manusia pertama yang melaksanakan
khitan adalah Nabi Adam, dan menurut pendapat lainya: Manusia yang melaksanakan
khitan adalah nabi Ibrahim. Pendapat pertama didasarkan atas kisah yang
terdapat dalam Kitab Injil Barnabas; disana dikisahkan: bahwa setelah Nabi Adam
durhaka kepada Tuhan, ia bernadzar bahwa apabila Tuhan memperkenankan
taubatnya, ia akan memotong bagian tubuhnya. Taubat Nabi Adam tersebut diterima
oleh Tuhan, dan setelah itu Nabi Adam berkehendak menepati nadzarnya. Nabi Adam
tidak mengetahui, bagian tubuh yang mana yang akan dipotong. Kemudian
turunlah Malaikat Jibril,dan Malaikat Jibril menunjukkan bagian tubuh yang
perlu dipotong. Kemudian Nabi Adam memotong kulit kulupnya. Itulah khitan
pertama yang dilaksanakan oleh manusia.
Pendapat yang lainya: Orang yang
mula – mula melaksanakan khitan adalah Nabi Ibrahim. Dan tidak ada seorangpun
melaksanakan sebelumnya. Beliau menerima wahyu dari Allah swt agar umatnya
melaksanakan khitan. Dan mulai dari Nabi Ibrahim sendiri. Pada waktu itu
umur Nabi Ibrahim sudah mencapai 80 tahun. Adapun alat yang
digunakan adalah semacam
kampak ( suatu alat yang terbaik pada waktu itu ).
Hal itu diuraikan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:
اِخْتَتَنَ اِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ بَعْدَ مَااَتَتْ
عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً وَ اخْتَتَنَ بِالْقُدُوْمِ
“ Nabi Ibrahim,kekasih Tuhan
Yang Maha Pengasih telah berkhitan dengan kampak pada saat beliau berumur
delapan puluh tahun” ( H.R Bukhari dan lainya)
C.
Budaya Khitan
Para antropolog menemukan, budaya
khitan telah populer di masyarakat sejak pra Islam yang dibuktikan dengan
ditemukannya mumi perempuan di Mesir Kuno abad ke – 16 SM yang memiliki tanda
clitoridectomy ( pemotongan yang merusak alat kelamin ). Pada abad
ke – 2 SM, khitan perempuan dijadikan ritual dalam prosesi perkawinan,
Dalam penelitian lain ditemukan
khitan telah dilakukan bangsa pengembara Semit, Hamit dan Hamitoid di Asia Barat
Daya dan Afrika Timur dan Afrika Selatan. Di Indoensia sendiri, tepatnya di
Musium Batavia terdapat benda kuno yang memperlihatkan zakar telah dikhitan.
Berbeda dengan antropolog Barat yang
lebih menganggap bahwa sunat semata-mata bertujuan medis untuk menjaga
kesehatan. Anggapan ini ditentang oleh beberapa orang yang berhasil menemukan
beberapa relief dan patung – patung peninggalan tentang upacara penyunatan
ribuan tahun silam.
Pada masa itu penyutanan lebih pada
tujuan upacara pengorbanan untuk para dewa dan symbol perlawanan rasa
takut pada roh jahat. Di Yucatan dan Nicaragua, darah orang yang disunat
dioleskan pada patung berhala oleh pemuka agama. Sedangkan di Afrika, upacara
sunat dilakukan secara massal dengan harapan agar memperoleh berkah yang lebih
besar.
Sejarah khitan dalam kitab Injil
menganjurkan anak lelaki dikhitan dalam usia 8 hari. Itulah sebabnya Nabi Isa
As pun dalam usia 8 hari dikhitan. Sebgaimana para Nabi lainya semuanya
dikhitan. Musa as sudah memberi hukum bersunat itu. Begitu juga dengan Nabi
Muhammad saw pun dikhitan, karena keturunan Nabi Ibrahim as. Menurut riwayat
yang shahih ulama ahli hadits, Rasulullah saw dikhitan sesudah berusia 7 hari
oleh Abdul Muthalib, yang kemudian diberi nama Muhammad.
D.
Khitan Dalam Pandangan Islam
Dalam al-Qur’an tidak dijelaskan
menenai kewajiban khitan, namun ada beberapa hadits yang menerangkan hal itu.
Dari Utsman bin Kalib dari kakeknya,
ia datang menghadap Nabi seraya menegaskan,’ Kini aku telah masuk Islam” Nabi
saw bersbda,
اَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Buanglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah “ (H.R.Abu
Dawud)
Dari Harb bin Ismail berkata,Rasulullah saw bersabda,
مَنْ اَسْلَمَ فَلْيَخْتَتِنْ وَاِنْ كَانَ كَبِيْرًا
“ Barangsiapa yang masuk Islam hendaklah ia berkhitan walaupun
sudah berusia tua”
Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah saw bersada,
اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ: اَلْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ
الشَّارِبِ وَتَقْلِيْمُ اْلاَظْفَارِ وَنَتْفُ اْلاِبْطِ
“ Fithrah ada lima, yaitu khitan,
mencukur bulu yang tumbuh di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong
kuku,dan mencabut bulu ketiak”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw bersabda,
اَلْخِتَانُ سُنَّةٌ فِى الرِّجَالِ مُكَرَّمَةٌ فِى النِّسَاءِ
“ Berkhitan itu sunat bagi laki – laki dan mulia dilakukan
perempuan” ( H.R.Ahmad ).
E.
Hukum Khitan
Mengenai hukum khitan, ada beberapa
pendapat dari para ulama fiqih.Apakah khitan itu khusus untuk laki – laki, atau
juga untuk kaum wanita. Dalam hal ini mazhab Syafi’i mengatakan: Khitan itu
wajib bagi laki – laki dan wanita. Muslimin dan muslimat. Adapun mazhab lain
seperti Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi berpendapat tidak wajib. Untuk lebih
jelasnya maka hukum khitan itu ada 3 pendapat :
Sebagian berpendapat: khitan itu
wajib hanya untuk laki – laki saja, kaum wanita tidak wajib.
Sebagian berpendapat ; khitan itu
wajib baik untuk laki – laki maupun kaum wanita
Sebagian berpendapat : khitan tidak
wajib.Hukum khitan hanyalah sunat, baik untuk laki – laki maupun wanita.
Alasan mereka masing- masing:
Khitan itu wajib hanya untuk laki –
laki saja, kaum wanita tidak wajib berpedoman pada hadits:
مَنْ اَسْلَمَ فَلْيَخْتَتِنْ وَاِنْ كَانَ كَبِيْرًا
“ Barangsiapa yang masuk Islam hendaklah ia berkhitan walaupun
sudah berusia tua”
اَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Buanglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah
“ (H.R.Ahmad)
اِخْتَتَنَ اِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ بَعْدَ مَااَتَتْ
عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً وَ اخْتَتَنَ بِالْقُدُوْمِ
“ Nabi Ibrahim,kekasih Tuhan Yang
Maha Pengasih telah berkhitan dengan kampak pada saat beliau berumur delapan
puluh tahun” ( H.R Bukhari dan lainya).
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal
berpendapat bahwa pria muslim yang tidak dikhitan tidak sah menjadi imam dan
tidak diterima syhadatnya. Alasan mereka adalah hadits yang diriwayatkan
Abu Dawud dan Ahmad.
Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa
sembelihan yang dilakukan oleh pria yang tidak berkhitan tidak boleh dimakan
dan tidak sah shalatnya, Islam mengajarkan betapa pentingnya kesehatan dan
kebersihan dengan bersandar kepada uswah atau contoh Rasulullah saw sebagaimana
tersirat dalam sabdanya,” Kebersihan itu adalah sebagian daripada iman” (
H.R.Muslim )
Selain itu juga firman Allah :
” Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri
” ( Q.S.al Baqarah : 222 )
Khitan mengandung makna
kesucian dan kebersihan dari kotoran-kotoran serta penyebab penyakit yang
mungkin melekat pada penis atau zakar yang masih ada kulupnya
sehingga dengan berkhitan, maka kulup yang menutupi jalan air kencing itu
dikhitan dan kotorannya terbuang.
Adapun dasar wanita tidak wajib khitan adalah sabda Rasulullah saw:
اَلْخِتَانُ سُنَّةٌ فِى الرِّجَالِ مُكَرَّمَةٌ فِى النِّسَاءِ
“ Berkhitan itu sunat bagi laki – laki dan mulia dilakukan
perempuan” ( H.R.Ahmad )
Khitan wajib baik untuk laki –laki
maupun untuk wanita dalilnya adalah hadits nomor 1,2 dan 3 diatas.
Khitan tidak wajib, hanya sunnat,
baik untuk laki- laki maupun perempuan, dengan alasan”
Berkhitan itu hanyalah satu
perbuatan untuk menjaga kebersihan dari tiap-tiap yang ada hubungannya dengan
kebersihan, diperintahkan oleh agama. Oleh hadits nomor 1 tidak mencantumkan
hukum wajib bagi khitan, maka diambil kebijaksanaan tengah – tengah , yaitu
sunnah.
Hadits – hadits yang mewajibakn
khitan tidak kuat menurut Ushul Fiqih “ perintah wajib di hadits – hadits yang
lemah, dipalingkan daripada sunnah. Karena tidak boleh mewajibkan sesuatu
dengan dalil yang tidak terang betul.
Bagi mereka yang menyatakan sunnat
berpedoman pada hadits – hadits Rasulullah saw.Diantaranya adalah :
مِنَ الْفِطْرَةِ اَلْمَضْمَضَةُ وَاْلاِسْتِنْشَاقُ وَقَصُّ
الشَّارِبِ وَالسِّوَاكُ وَتَقْلِيْمُ اْلاَظْفَارِ وَنَتْفُ اْلاِبْطِ
وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَاْلاِخْتِتَانُ
“ Termasuk diantara fithrah
adalah berkhumur, menghisap air ke hidung ( sekedarnya saja ), memotong kumis,
membersihkan gigi, memotong kuku,mencabut bulu ketiak, mencukur bulu yang
tumbuh di sekitar kemaluan dan berkhitan” ( H.R.Ahmad dari Ammar bin
Yasir )
Dalam riwayat lain, khitan disebut
oleh Rasulullah saw menempati urutan pertama sebagai fithrah manusia, yaitu
dalam sabda Rasulullah saw:
اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ: اَلْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ
الشَّارِبِ وَتَقْلِيْمُ اْلاَظْفَارِ وَنَتْفُ اْلاِبْطِ
“ Fithrah ada lima, yaitu khitan,
mencukur bulu yang tumbuh di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong
kuku,dan mencabut bulu ketiak
Para ulama yang mewajibkan khitan
mendasarkan pada beberapa riwayat. Abu Dawud meriwayatkan dari Utsaim bin Kalib
dari kakeknya, bahwa ia datang menghadap Nabi saw seraya menegaskan:” Kini
aku telah masuk Islam”.Nabi saw bersabda: “Buanglah rambut kufur darimu
dan berkhitanlah “ (H.R.Ahmad)
Riwayat Ibu Abbas Ra dan diungkapkan
kembali oleh Waki’ menerangkan :
اَْلاَقْلَفُ لاَتُقْبَلُ لَهُ صَلاَةٌ وَلاَ تُؤْكَلُ ذَبِيْحَتُهُ
“ Orang yang tidak berkhitan tidak
akan diterima shalatnya dan hasil sembelihannya tidak boleh dimakan”
Semua alasan tersebut diperkuat
dengan firman Allah tentang perintah yang ditujukan kepada kita supaya
mengikuti agama Nabi Ibrahim:
ثُمَّ اَوْحَيْنَا اِلَيْكَ اَنِ اتَّبَعَ مِلَّةَ اِبْرَاهِيْمَ
حَنِيْفًا
“ Kemudian Kami wahyukan
kepadamu:”Ikutilah agama Ibrahim yang lurus” ( Q.S.An Nahl : 123)
Kewajiban mengikuti agama itu dituntut totalitas , dalam segala hal
termasuk khitan.
Kedua pendapat itu tidak perlu dipertentangkan,
apakah sunnah atau wajib. Jalan terbaik adalah mengikuti sunnah Nabi Muhammad
saw, yang berarti melaksanakan khitan.
Pendapat – pendapat diatas
adalah pendapat secara global mengenai hukum khitan bagi laki – laki dan
perempuan. Untuk lebih jelasnya, maka dibawah ini kami ketengahkan secara
terpisah mengenai hukum khitan bagi laki-laki, perempuan maupun orang
banci, dari fatwa para ulama ,baik yang menyatakan wajib maupun
yang menghukumi sunnah :
1.
Khitan Bagi Laki – Laki
Mengenai hukum khitan ini, para
ulama berbeda pendapat. Akan tetapi, mereka sepakat, bahwa khitan talah
disyari’atkan, baik untuk laki – laki maupun untuk perempuan. DR. Saad Al –
Marsyafi dalam bukunya Ahaaditsu Al Khitan Hujjiyatuha wa Fiqhuha,
sebagaimana yang dikutip oleh A.Ma’ruf Asrai, Suheri Ismail dan Khairul
Faizin ( 1998 : 16 – 34 ) mengemukakan:
Para pengikut mazhab Hanafi
berpendapat, bahwa khitan hukumnya sunah untuk laki – laki. Mereka menganggap
khitan sebagai salah satu bentuk agar syiar Islam seperti halnya adzan. Para
pengikut Imam Malik juga memandang, bahwa khitan untuk orang laki – laki adalah
sunnah. Menurut Imam Malik di dalam kitab Al Muntaqa Syarah Al Muwaththa’,
Ibnu Abdil Barr di dalam kitab Al- Kafi, dan Syaikh Alaisi di dalam kitab Manhul
Jalil, pendapat tersebut merupakan pendapat yang terkuat dalam maazhab Maliki.
Dan di dalam kitab At- Talqin juga disebutkan, bahwa hukum khitan adalah
sunnah, bukan wajib.
Sedangkan sebagian besar ulama ahli
fiqih pengikut Imam Syafi’i berpendapat, bahwa khitan wajib untuk laki – laki.
Imam Nawawi berkata ,” Ini adalah pendapat yang shahih dan masyhur yang
ditetapkan oleh Imam Syafi’i dan telah disepakati oleh sebagian ulama”. Memang
ada pula yang berpendapat, bahwa khitan itu sunnah untuk laki – laki, tetapi Imam
Nawawi menolak pendapat tersebut.
Dalam kitab Al –Majmu’ diungkapkn,
mayoritas ulama salaf berpendapat, bahwa hukum khitan itu wajib. Menurut Al-
Khitabi, Ibnul Qayim berkata, ” Asy – Sya’bi, Rabi’ah, , Al Auzai dan Yahya bin
Said Al Anshari berpendpat, bahwa hukum khitan adalah wajib’. Sealin itu, dalam
kitab Fathul Bari disebutkan, bahwa yang berpendapat khitan itu wajib
dari kalangan ulama salaf – adalah Imam Al- Atha’. Ia berkata, ” Apabila orang
dewasa masuk Islam, belum dianggap sempurna Islamnya sebelum dikhitan”. Dan
terakhir, para ulama mazhab Hambali juga berpendapat, bahwa khitan wajib bagi
laki – laki.
Dari uraian diatas, tampak bahwa
pendapat para fuqaha tersebut secara umum dapat dipilih menjadi dua.
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa hukum khitan itu wajib bagi laki –
laki. Pendapat ini merupakan pendapat mazhab Hambali, pendapat yang shahih dan
masyhur dari pengikut Imam Sya’bi, Rabi’ah, , Al Auzai dan Yahya bin Said Al
Anshari , dan Imam Al- Atha’.
Ada beberapa hal yang mereka jadikan
alasan atau dalil kenapa khitan itu wajib, antara lain sebagai berikut :
Khitan disyariatkan bagi orang yang
sudah baligh atau mendekati masa akil baligh, dan orang yang dikhitan
diperbolehkan membuka serta melihatnya. Semnetara itu menurut aurat hukumnya
wajib dan melihatnya adalah haram. Oleh karena itu, seandainya khitan itu tidak
wajib, niscaya kita tidak diperbolehkan membuka dan melihat aurat orang yang
dikhitan, karena hal itu akan merusak harga diri dan kehormatanya.
Orang yang pertama kali mengemukakan
alasan ini adalah Abul Abbas bin Suraij, lalu Imam Al- Khithabi, dn yang
lainya. Imam Nawawi mengemukakan pendapat ini dalam kitab Al-
Wadai’i karya Ibnu Suraij, lalu ia berkata, ” Saya tidak tahu, bahwa
beliau juga berpendapat demikian”
Imam Nawawi me ngungkapkan, bahwa
Abu Ishaq Asy- Syairozi bersandar pada kitab Fil – Khilaf dan Imam
Al- Ghazali pada kitab Al- Wasithdengan cara melakukan qiyas. Mereka
berkata,” Khitan adalah memotong sebagian anggota badan. Seandainya khitan
tidak wajib, maka kita tidak boleh melakukannya, sebagaimana kita tidak
diperbolehkan memotong jari – jari kita. Tetapi memotong jari – jari bisa
menjadi wajib karena qishash ” . Di dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar juga
melakukan qiyas. Ia mengatakan, bahwa khitan adlah memotong anggota badan
dengan niat ibadah, sehingga hal itu hukumnya wajib seperti halnya memotong
tangan pencuri.
Menurut Imam Mawardi,
pemotongan anggota badan akan menimbulkan akibat pada diri seseorang berupa
penyakit. Oleh karena itu, tidak disyriatkan memotong anggota badan selain
dalam tiga perkara; untuk kemaslahatan, karena hukum, atu karena suatu
kewajiban yang harus dipenuhi. Dan khitan termasuk dlam kategori yang ketiga.
Al- Khitabi juga mengatakan, bahwa khitan itu wajib karena termasuk salah satu
syiar agama. Dengan khitan itulah kita bisa membedakan orang muslim dengan non
muslim. Jika dalam suatu peperangan kita menemukan jenazah seseorang yang telah
dikhitan – diantara beberapa jenazah yang belum dikhitan – maka kita akan bisa
memastikan bahwa orang itu beragam Islam, sehingga kita akan mengurus
jenazahnya dengan aturan Islam. Demikian pula halnya dengan Ibnul Qayyim. Ia
menyatakan, bahwa khitan adalah syiar yang nyata sebagai pembeda antara seorang
muslim dengan non muslim. Kewajiban khitan tersebut lebih utama daripada
kewajiban melakukan shalat witir, kewajiban membayar zakat kuda, kewajiban
mengulang wudhu ( bagi orang yang tertawa terbahak- bahak keyika shalat ),
kewajiban berwudhu setelah berbekam, kewjiban bertayamum sampai kedua siku, dan
sebagainya. Bahkan hampir – hampir kaum muslimin menganggap orang yang belum
dikhitan tidak termasuk golongan mereka. Para ulama ahli fiqih mewajibkan orang
islam yang dewasa agar berkhitan, meskipun kadang – kadang mengandung resiko.
Imam Baihaqi mengatakan, bahwa dasar
paling baik yang menunjukkan kewajiban khitan adalah hdits yang bersumber dari
Abu Hurairah ra:
اِخْتَتَنَ اِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ بَعْدَ مَااَتَتْ
عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً وَ اخْتَتَنَ بِالْقُدُوْمِ
“ Nabi Ibrahim,kekasih Tuhan Yang
Maha Pengasih telah berkhitan dengan kampak pada saat beliau berumur delapan
puluh tahun” ( H.R Bukhari dan lainya)
Dan firman Allah Swt:
ثُمَّ اَوْحَيْنَا اِلَيْكَ اَنِ اتَّبَعَ مِلَّةَ اِبْرَاهِيْمَ
حَنِيْفًا
“ Kemudian Kami wahyukan kepadamu:”Ikutilah
agama Ibrahim yang lurus” ( Q.S.An Nahl : 123
Menurut Imam Nawawi, ayat ke – 123
surat An- Nahl tersebut memerintahkan kepada kita untuk mengikuti syariat Nabi
Ibrahim as. Hal itu menunjukkan, bahwa segala ajaran beliau wajib kita ikuti,
kecuali jika ada dalil yang menyatakan hal tersebut sunah, seperti bersiwak dan
lain – lain.
Selanjutnya, adalah pendapat yang
menyatakanbahwa khitan itu hukumnya sunnah. Pendapat ini merupakan pendapat
Imam Hanafi, termasuk pendapat yang kuat dalam mazhab Imam Malik, dan pendapat
sebaian pengikut Imam Syafi’i. Hal ini diungkapkan oleh Ibnu Abi Musa
dari shahabat – shahabat Imam Ahmad dan Hasan Al- Bashri.
Alasan mereka yang berpendapat bahwa hukum khitan itu sunnah adalah
sebagai berikut :
Adanya hadits yang menyatakan bahwa
khitan itu sunnah, bukan wajib, yang diriwayatkan dari Hajjaj, dari Abil Malik
bin Utsamah, dari ayahnya, bahwa Nabi saw bersabda:
اَلْخِتَانُ سُنَّةٌ فِى الرِّجَالِ مُكَرَّمَةٌ فِى النِّسَاءِ
“ Berkhitan itu sunat bagi laki – laki dan mulia dilakukan
perempuan” ( H.R.Ahmad )
Akan tetapi, menurut Ibnu Hajar,
Hajjaj adlah seorang pemalsu ( mudallis ) dan haditsnya mengandung
kejanggalan. Kadang – kadang ia meriwayatkan hadits itu seperti diatas, tetapi
terkadang ada tambahan Syaddad bin Aus setelah ayahnya Abul Malih. Selanjutnya
Ibnu Hajar mengatakan bahwa berkenaan dengan hadits itu ada riwayat lain
yang tidak melalui jalur Hajjaj, yaitu yang telah diriwayatkan oleh Thabrani di
dalam buku Al- Kabir dan Baihaqi di dalam hadits Ibnu Abbas yang marfu’. Namun
menurut Baihaqi, hadits yang dimaksud sanad-nya lemah, dan lebih condong
mauquf.
Adanya hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dari Nabi saw yang menjelaskan tentang masalah fithrah yang
lima. Mereka berkata,” Di dalam hadits tersebut Nabi mensejajarkan khitan
dengan memotong kumis, mecabuti bulu ketiak, memotong bulu kemaluan, dan
memotong kuku, sehingga tidak diragukan lai bahkan khitan bukan perkara wajib.
Pengikut mazhab Hanafi berpendapat,
bahwa khitan itu masuk salah satu bentuk syiar Islam. Dan tidak semua hal yang
termasuk syiar Islam itu wajib. Selain ada yang wajib, seperti shalat,
puasa, dan haji, ada pula yang mustahab seperti
membaca talbiyah, menggiring hewan ke tempat penyembelihan waktu haji, dan
ada jua yang masih diperselisihkan hukumnya seperti azan, shalat Id, memotong
hewan kurban, dan khitan.
Hasan Al – Bashri berkata, ” Nabi
Saw telah mengislamkan banyak orang kulit hitam, kulit putih, bangsa Parsi,
Romawi, dan Habasyah. Beliau tidak pernah menanyakan apakah mereka berkhitan
atau tidak dan saya tidak pernah mendengar bahwa Nbi saw
memeriksa”.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam
kitab Al- Adabul Mufrad, bahwa Salim bin Ubay Adz- Dzayyal berkata, ” Saya
mendengar Al- Hasan berkata, ” Mengapa kalian tidak merasa heran terhadap orang
ini ? ( yang dimaksud adalah Malik bin Al- Mundzir ) . Ia mendatangi
beberapa orang tokoh masyarakat Kaskir yang kebanyakan berprofesi sebagai buruh
tani. Mereka lalu memeluk Islam. Ketika Malik bin Al- Mundzir menyuruh
berkhitan, maka mereka pun berkhitan. Namun akibatnya, saat musim dingin tiba,
saya mendengar sebagian dari mereka meninggal dunia. Padahal, ketika Nabi Saw
mengislamkan orang Romawi, Habsyi, dan lain – lain, beliau tidak menanyakan
apakah mereka berkhitan atau tidak”.
Dari berbagai pendapat tersebut,
kami cenderung untuk berpendapat bahwa khitan hukumnya wajib bagi laki – laki.
Sebab dalil – dalil yang mewajibkannya sangat kuat. Apabila sebagaimana kita
ketahui, dalam pelaksanaan khitan, aurat harus terbuka dan orang yang mengkhitan
jelas melihatnya bahkan memegangnya. Kalau bukan karena wajibnya khitan, hal
itu tentu tidak diperbolehkan, karena hukumnya menutup aurat adalah wajib.
Hal itu berdasarkan hadits hasan
yang diriwayatkan dari Bahaz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya ;
” Saya bertanya,” Ya Rasulullah, apa
kewjiban dan larangan terhadap aurat kita ? ” Beliau bersabda, ‘ Peliharalah
auratmu kecuali terhadap istrimu atau hamba sahaya yang kamu miliki “, Saya
bertanya lagi, ” Ya Rasulullah, bagaimana jika suatu kaum itu berkumpul ?’
Beliau menjawab, ‘ Kalau kamu mampu, maka jangan sekali – kali diantara kamu
menampakkan auratnya dan jangan pula ditampakkan auratnya’. Saya bertanya lagi,
” Ya Rasulullah, bagaimana kalau dlam keadaan sendirian ?’ Beliau menjawab,’
Kita lebih pantas malu terhadap Allah daripada terhadap manusia” ( H.R.Abu
Dawud )
Hadits diatas menunjukkan wajibnya
menutup aurat dan diharamkan melihat aurat orang lain. jika membuka dan melihat
aurat diperbolehkan bagi orang yang berkhitan, maka hal itu merupakan bukti
wajibnya khitan. Sebaliknya, jika khitan tidak wajib, tentu melihat aurat itu
diharamkan.
Satu hal lagi yang memperkuat
wajibnya khitan adalah ijma para fuqaha, bahwa barangsiapa sudah akil
baligh dan belum berkhitan, ia wajib khitan ketika itu juga. Bahkan sebagian
orang menyatakan, bahwa orang yang sudah dewasa harus berkhitan, meskipun ada
kemungkinan timbul akibat yang tidak diinginkan. Hukum khitan tetap berlaku
bagi orang yang sakit, lemh fisik, dantua, baik ia muslim sejak lahir maupun masuk
Islam sesudah dewasa. Dan untuk menghindari efek negatif, maka orang yang
sedang sakit baru dikhitan setelah ia sembuh. Kasus ini sama dengan
ditundaahnya hukuman cambuk bagi seeorang- yang sedang menderita sakit – karena
menuduh wanita mukmin berzinah atau karena meminum khamer.
Orang yang lemah fisik dan tidak
mampu menhan sakit sewaktu dikhitan juga bisa ditangguhkan sampai ia kuat dan
mampu menahan sakit. Apabila ia pesimis terhdap kemampuanya dan tidak ada
harapan baginya untuk sembuh, maka kewajiban berkhitan gugur. Kasus ini
sama dengan orang yang tidak mampu mandi janabah karena cuaca yang sangat
dingin sehingga ia diperbolehkan meninggalkannya.
Begitu pula bagi orang dewasa yang
belum dikhitan, baik ia muslim sejak kecil maupun yang baru memeluk Islam,
berlaku hukum sebgaimana yang kami jelaskan. Menga wajib berkhitan, dan jika
mereka enggan melaksanakannya, mereka harus dipaksa, selama tidak mengandung
resiko yang berat atau berakibat fatal- berdasarkan pemeriksaan oleh seorang
dokter muslim yang adil – jika diperkirakan akan berkibat fatal, maka
kewajiban khitan tidak berlaku baginya, sebagaimana orang yang lanjut usia
diperbolehkan tidak berpuasa.
Kewajiban berkhitan bagi orang yang
sudah dewasa ini pun juga disebutkan dalam kitab Siraaj Ath- Thalibin
Syarah Minhaj Al- ‘ Abidin karya Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan
seperti yang dikutip K.H.M.Syafi’I Hadzami dalam bukunya, 100 Masalah
Agama:
وَمِنْهَا تَرْكُ الْخِتَانِ بَعْدَ الْبُلُوْغِ اِذْ هُوَ وَاجِبٌ
حِيْنَئِذٍ عَلَى الْمُكَلَّفِ سَوَاءٌ الذَّكَرُ وَاْلاُنْثٰى
” Dan setengah dari maksiat farji
adlah meninggalkan khitan sesudah baligh, karena hal tersebut hukumnya
wajib sesudah baligh bagi mukallaf, baik laki – laki maupun perempuan ‘
Kedua pendapat itu tidak perlu
dipertentangkan, apakah sunnah atau wajib. Jalan terbaik adalah mengikuti
sunnah Nabi Muhammad saw, yang berarti melaksanakan khitan. Lagi pula semua
perintah yang disinggung oleh syari’at tidak lepas dari hikmah, begitu pula
disyari’atkannya khitan. Meurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, setidaknya ada empat
hikmah yang terkandung dalam khitan, yaitu:
Khitan merupakan pangkal fithrah, syiar Islam dan syari’at.
Khitan merupakan salah satu masalah
yang membawa kesempurnaan ad-diin ( agama) yang disyari’atkan Allah melalui
lisan Nabi Ibrahim as
Khitan membedakan antara orang Islam
dengan dan pengikut agama lain. Tetapi dewasa ini telah banyak pengikut agama
lain yang melakukan khitan. Selain bertujuan hygienis juga untuk memperoleh
kepuasan seks.
Khitan merupakan pernyataan ubudiyah
(pengabdian) kepada Allah,ketaatan menunaikan perintah, hukum dan
kekuasaan-Nya.
Selain hikmah yang tersebut diatas,
khitan juga mengandung hikmah hygienis. Abdullah Nashih Ulwan lebih lanjut
menerangkan segi hygienisnya., yaitu:
Khitan membawa kebersihan, keindahan dan meluruskan syahwat.
Khitan merupakan cara sehat
memelihara pelakunya dari kemungkinan penyakit yang disebabkan oleh kelamin.
Menurut Dr. Shabri Al Qabani, bahwa
dampak hygienis yang ditimbulkan oleh khitan adalah karena terbukanya bagian
kulup. Dengan terbukanya kulup ini berarti orang akan terbebas dari peluh
berminyak dari sisa-sisa air seni ( kencing ) yang mengandung lemak dan
kotoran. Dengan terpotongnya kulup berarti orang itu akan terbebas dari
gangguan pucuk zakar ( hasyaf ) ketika menggelembung. Bahkan menurut Al
Qabbani, khitan memungkinkan sekali dapat menekan berjangkitnya kanker.
Terbukti kanker sering menimpa pada orang – orang yang kulupnya sempit (
berarti tidak khitan), sebaliknya jarang ditemukan pada masyarakat yang menegakkan
kewajiban khitan.
Terlepas dari semua itu, yang jelas
khitan merupakan perintah Allah yang harus dilaksanakan. Orang yang mengikuti
perintah dijamin kebaikannya, jika dihindari justeru menyebabkan kehancurannya.
Keuntungan Khitan
Seiykh al-Qardhawi berkata, di antara fiqh almaqosyid (kebaikan)
khitan lelaki adalah :
mencegah kotoran dan tempat pembiakan kuman pada zakar
terhindarnya zakar dari terkena penyakit kelamin seperti sifilis
quluf atau foreskin zakar akan mudah mengalami radang atau melecet
zakar akan kurang risiko kepada penyakit zakar seperti pembengkakan
atau kanker
memaksimumkan kepuasan seks ketika jima’ (hubungan seks) (Fiqh
Taharah, 172)
Amankan Berkhitan Ketika Masih Bayi?
Khitan waktu bayi masih berusia
beberapa bulan terbukti tidak menyakitkan bayi tersebut, karena pensarafan
belum terbentuk dengan sempurna di sekitar zakar & kulit zakar. Buktinya,
bayi tidak dapat mengontrol kencing mereka. Lantaran itu, prosedur khitan
sewaktu awal bayi dilakukan tanpa memerlukan bius kerana ia tidak menyakitkan
bayi tersebut. Ini berbeda dengan kanak-kanak yang telah besar. Maka berkhitan
awal terdapat kebaikannya seperti yang disarankan oleh para dokter.
2.
Khitan Bagi Perempuan
Apakah boleh perempuan berkhitan ?
Khitan bagi perempuan muslimah tidak menjadikan suatu keharusan, tetapi sangat
boleh dilakukan. Mengapa ? sebagian besar ulama berpendapat bahwa khitan
perempuan itu hukumnya sunnah, namun ada juga ulama yang berpendapat
sunnah pun tidak. Tapi, ada petunjuk agama yang dapat dijadikan dasar tentang
khitan perempuan, sebgaimana sabda Rasulullah saw,” Silakan potong
sebagian kelentit dan janganlah dipotong habis” ( H.R.Hakim , Thabrani, dan Abu
Nu’aim).
Selain itu, ada pula hadits yang
diriwayatkan Ahmad dn Baihaqi serta Jamaah, yang artinya,” Khitan itu sunah
bagi kaum pria dan kehormatan bagi kaum perempuan”.
Dalam hadits lain diriwayatkan oleh
Abu Daud dan Thabani, Rasulullah saw bersabda:” Sesungguhnya seorang perempuan
berkhitan di Madinah. Dan janganlah kamu memotong habis kelentitnya sebab
yang demikian itu lebih berguna bagi perempuan dan sangat disukai oleh suami”.
Alasan utama menapa kita harus
berkhitan ? Pertama, alasan kesehatan, untuk menghindari penyakit kelamin yang
pada waktu dulu belum ditemukan obatnya. Kedua, untuk mencapai kebersihan badan
yang paling sempurna, terutama untuk kaum Paderi. Ketiga, suatu anggapan bahwa
kelamin lelaki memiliki nilai yang sama dengan kasih ( hati ), sumber spiritual
dan intelektual. Keempat, dengan berkhitan berarti akan bertambah subur dan banyak
anak.
Mengenai masalah hukum khitan bagi
perempuan juga ada beberpa pendapat. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa
khitan bagi wanita dipandang baik. Ada juga yang mengatakan hukumnya sunnah,
seperti yang diterangkan dalam kitab Fathul Qadir. Al- Bazazi juga
berpendapat demikian. Jika orang banci saja perlu dikhitan apalagi wanita. Jika
khitan untuk wanita hanya dipandang baik, tentu orang banci tidak perlu
dikhitan karena boleh jadi ia adalah seorang wanita.
Sementara menurut mazhab
Maliki, khitan bagi wanita dipandang baik. Dalam kitab Al-Muntaqa ( yang
dikutip dari kitab Al-Muwaththa ), diterangkan bahwa Imam Malik
berkata, ” Hendaklah seorang perempuan membiasakan diri memotong kuku, memotong
bulu kemaluan, dan berkhitan, sebagaimana yang dilakukan laki – laki.
Lain halnya dengan mazhab Syafi’i,
Imam Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat, bahwa hukum khitan bagi wanita
adalah wajib. Menurut Imam Nawawi, pendapat ini shahih, masyhur, dan telah
disepakati oleh para ulama. Memang sebagian pengikut mazhab ini ada yang
berpendapat bahwa khitan bagi wanita hukumnya sunnah seperti yang diriwayatkan
oleh Ar-Rafi’i. Namun, menurut Imam Nawawi, pendapat ini lemah.
Sedangkan dalam mazhab Hambali belum
ada kata sepakat tentang hukum khitan bagi wanita. Ada yang mengatakan hukumnya
wajib, sebgaimana dijelaskan dalam kitab Kasysyful
Ghina dan Syahru Muntahal Iradat, tetapi Ibnu Qudamah berpendapat,
bahwa khitan wanita hanya dipandang baik dan hukumnya tidak wajib.
Menurut Imam Ahmad, adanya ketentuan
yang menyatakan wajibnya mandi apabila dua bagian yang dikhitan saling
bertemu menunjukkan, bahwa sejak dulu telah banyak wanita yang berkhitan.
Dari uaraian diatas, tampak bahwa
pendapat para fuqaha tentang hukum khitan bagi wanita dapat dikelompokkan
menjadi tiga. Pertama, pendapat yang menytakan, bahwa hukum khitan
bagi wanita adalah wajib. Ini adalah pendapat yang shahih dan masyhur dari
pengikut Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Dasarnya sama seperti kewajiban khitan
bagi laki – laki. Mereka juga berdalil dengan fakta tentang diperbolehkannya
membuka aurat untuk urusan berkhitan serta tidak diperbolehkannya memotong
anggota badan kecuali untuk sesuatu yang hukumnya wajib.
Disamping itu, mereka juga berdalil
dengan hadits,” Apabila dua bagian yang dikhitan telah bertemu, maka telah
mewajibkan adanya mandi”. Hal itu menunjukkan, bahwa pada zaman dahulu wanita
telah berkhitan. Bahkan ada yang berkata, ” Seorang laki – laki
diperbolehkan memaksa istrinya untuk berkhitan seperti halnya memaksanya untuk
mengerjakan shalat”.
Kedua, adalah pendapat yang
mengtakan, bahwa khitan bagi wanita hukumnya sunnah. Ini merupakan pendapat
sebagian pengikut Imam Hanafi, Imam Malik, dan beberapa pengikut Imam Syafi’i
sebagaimana dituturkan oleh Ar- Rafi’i dan Imam Ahmad.
Mereka menngunakan sejumlah dalil
yang menyatakan, bahwa khitan untuk laki – laki hukumnya sunnah dan khitan
merupakan syira agama Islam. Juga adanya anjuran khitan bagi orang banci.
Seandainya khitan bagi wanita bukan sunnah, tentu orang banci tidak perlu
berkhitan, sebab boleh jadi ia adalah seorang wanita.
Ketiga, adalah pendapat yang
menyatakan, bahwa khitan bagi wanita hukumnya mustahab (
dipandang baik ) . Pendapat ini dikemukakan oleh para pengikut Imam
Hanafi, sebagian pengikut Imam Malik dan Imam Hanbali. Beberapa ulama lain juga
berpendapat demikian dengan berdalil pada sebuah hadits ,” “ Berkhitan itu
sunat bagi laki – laki dan dipandang baik bagi perempuan”.
Dengan demikian kiranya bisa
disimpulkan, bahwa meskipun ada yang berpendapat bahwa khifadh itu wajib, namun
tidak ada satu dalil pun yang kuat untuk dijadikan dasar. Yang ada hanya dalil
yang mewajibkan khitan bagi anak laki- laki.
Demikian pula pendapat yang
menyatakan, bahwa hukum khitan bagi wanita dipandang baik bagi anak perempuan
tidak ada dalilnya, kecuali hadits tersebut diatas. Oleh karena itu, kita
bisa men-tarjih bahwa hukum khitan bagi wanita adalah sunnah, sesuai
dengan hadits muttafaqun alaih. Fithrah itu ada lima….” Lafal khitan dlam
hadits tersebut bersifat umum untuk anak laki – laki dan perempuan. Berdalil
dengan hadits muttafaqun alaih ini lebih utma daripada hadits yang
menyatakan bahwa khitan itu dipandang baik bagi perempuan.
Juga dari hadits yang
berbunyi:” Apabila dua bagian yang dikhitan telah bertemu, maka
telah mewajibkan adanya mandi”, menurut Imam Ahmad bisa diketahui, bahwa wanita
muslimah pada zaman dahulu sudah berkhifadh.
Namun Nabi Muhammad saw. Juga pernah
bersabda,” Apabila kamu berkhifadh, maka janganlah berlebihan, karena jika
tidak berlebihan akan menjadikan wajah lebih ceria dan terasa lebih nikmat saat
melakukan hubungan badan “. Hadits ini termasuk hadits hasan dan
memberi isyarat bahwa wanita muslimah pada masa Rasulullah saw sudah
melaksanakan khifadh. Rasululla saw sendiri menunjukkan cara khitan yang baik
sehingga tidak menimbulkan bahaya. Petunjuk Rasulullah saw tersebut bisa
dijadikan dasar hukum khitan bagi wanita adalah sunnah. Sebagaimana dinyatakan
oleh Imam Asy Syaukani, bahwa hukum khitan bagi wanita itu sunnah adalah
merupakan hal pasti, dan kita wajib berpegang pada yang pasti sampai ada dalil
yang mengubahnya.
3.
Khitan Bagi Orang Banci
Menurut mazhab Hanafi, orang banci
mungkin saja berjenis kelamin laki – laki. Oleh karena laki – laki wajib
dikhitan, maka lebih utama hukum khitan bagi orang banci adalah sunnah.
Sementara para pengikut mazhab
Maliki tidak banyak berkomentar. Tetapi dalam kitab Al- Khitabi ada sebuah
pendapat- yang bertentangan dengan pendapat Imam Syafi’i- bahwa orang yang
jenis kelaminya belum diketahui secara pasti tidak perlu dikhitan.
Adapun Qadhi Abul Futuh, pengikut
mazhab Syafi’i, menyatakan bahwa khitan bagi orang banci yang jenis kelaminya
belum diketahui secara pasti hukumnya wajib. Dan yang dikhitan adalah kedua
alat kelaminya. Sebab salah satu diantara keduanya wajib dikhitan, sedangkan
kita belum tahu manakah yang wajib dikhitan. Namun, Al- Baghawi bersikeras
bahwa orang banci tidak perlu dikhitan. Sebab, kita tidak diperbolehkan
menyakiti sesuatu yang tidak pasti atau mempersulit. Menurut Imam Nawawi,
Pendapat Al- Baghawi itu lebih tepat.
Terakhir, mazhab Hambali
berpendapat, bahwa mengkhitan orang banci lebih utama. Sebab, laki – laki dan
perempuan harus dikhitan, maka orang banci juga perlu dikhitan. Yang dikhitan
adlah kedua alat kelaminya.
Dari beberapa pendapat seperti terurai
diatas kiranya dpat disimpulkan, bahwa orang banci akan lebih utama- demi
sejumlah kemashlahatan bainya- dikhitan, jika hal itu memungkinkan. Jika masih
diragukan mana diantara kedua alat kelminya yang harus dikhitan, maka kita
wajib mengkhitan keduanya, sekali lagi jika hal itu memungkinkan. Dalam hal ini
tentu kita harus berkonsultasi dengan dokter muslim yang adil.
F.
Waktu Berkhitan
waktu berkhitan boleh saat lahir
atau beberapa lama setelah lahir. Anjuran perintah walimah khitan secara khusus
tidak ada. Ini berbeda dengan pernikhan yang dianjurkan secara khusus untuk
diadakan walimah nikah atau walimah arusy.
Para madzhab Hanafi berbeda pendapat
tentang kapan khitan dilakukan. Ada yang berpendapat setelah akil baligh, pada
usia 9 tahun,10 tahun, dan ada pula yang mengatakan bahwa khitan dilakukan pada
saat anak sudah mampu menanggung rasa sakit dikhitan. Sebagaimana diungkapkan
dlam syahrul Inayah ‘ Alal Hidayah, imam Abu Hanifah tidak memberikan kepastian
tentang waktu khitan, karena menurutnya, ketentuan waktu khitan mestinya datang
dari syara’, sementara nash maupun ijma tentang hal itu belum ada. Dia berkata,
” Saya tidak mengetahui ketentuan waktunya. Abu Yusuf dan Muhammad tidak
meriwayatkan apa-apa, sehingga terjadi perbedaan diantara para ulama terkemuka”.
Menurut mazhab maliki, waktu khitan
adalah pada masa – masa bayi, tepatnya pada saat giginya tumbuh setelah
tanggalnya gigi susu ( waktu ishghar ). Boleh dikhitan sebelum atau
sesudah ishghar, tetapi yang lebih adalah sesudahnya.
Adapun mengkhitan bayi pada usia 7
hari hukumnya makruh, apabila pada hari kelahirannya. Sebab menurut Imam Malik
, hal itu menyerupai perbuatan orang Yahudi.
Ketika seorang anak muda
diperintahkan shalat, yakni pada usia 7 tahun, ia diunnahkan untuk
khitan. Dan setelah memasuki usia 10 tahun, hukum khitan menjadi wajib baginya
seperti halnya shalat. Pendapat ini sesuai dengan riwayat Ibnu Abbas yang
menegaskan, bahwa pada usia itulah seorang anak mampu memahami larangan dan
perintah Allah. Bahkan ia wajib melaksanakannya, sehingga berhak menerima
pahala atau azab.
Sedangkan bagi orang dewasa yang
belum dikhitan karena baru masuk Islam misalnya, hendaknya mau mengkhitan
dirinya sendiri. Hal ini karena hukum melihat aurat orang dewasa adalah haram.
Namun, jika ia berhalangan melakukannya, dengan alasan takut berakibat fatal,
maka ia terbebas dari kewajiban khitan. Konsekwensinya, ia makruh untuk menjadi
imam shalat atau saksi, karena dianggap agamanya kurang sempurna. Ini adalah
pendapat Muhammad bin Hakam dan Hasan bin Abil Hasan Al Bashri.
Lain hanya dengan Sahnun, menurut
dia orang itu tetap harus dikhitan. Sebab, orang yang mencuri pun wajib
dipotong tangannya, walaupun ia takut menerima hukuman itu.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...7
KEPEMILIKAN
·
Kepemilikan (al-Milk) penguasaan terhadap sesuatu.
·
Sebab-sebab kepemilikan:
1.
Penguasaan terhadap harta bebas (ihrazul mubahat) yaitu harta yang
belum dimiliki orang lain secara sah dan tak ada penghalang syara’ untuk
dimiliki. Ihraz yaitu menguasai dengan maksud memiliki harus memenuhi 2 syarat:
a.
Benda bebas belum dikuasai orang lain. Ex: seseorang mengumpulkan
air dalam satu wadah, maka orang lain tidak berhak menganbil nya.
b.
Adanya niat (maksud) untuk memiliki. Maka jika seseorang memperoleh
harta bebas tanpa ada niat, tidak dianggap menguasai harta itu. Ex: seoarng
memancing disungai karena hobi dan ikan hasil pancingan di bawa pulang dia
hanya menyalurkan hobinya.
2.
Khalafiyah, yaitu berpindahnya sesuatu menjadi milik seseorang
karena keduudkannya sebagai peneus pemilikan lama atau kedudukannya yang
sebagai pemilik barang tertentu yang telah rusak atau musnah dan digantikan
denagn suatu yang baru oleh yang merusaknya. 2 khalafiyah:
a.
Khalafiyah syakhsy’ an syakhsy, yaitu si waris menempati tempat si muwaris
b.
Khalafiyah syi’an yaitu apabila seseorang merugikan milik orang
lain, kemudian rusak ditangannya atau hilang, maka wajiblah dibayar diganti
kerugian-kerugian pemilik harta.
3.
Tawallud mamluk, segala sesuatu yang lahir atau tumbuh dari objek
hak yang telah dimiliki. Ex: bulu domba menjadi milik pemilik domba.
4.
Ahad, perhatalian ijab dan qabul, akal jual beli, hibah, wasiat.[1]
·
Aqad, al-‘aqd perkataan, perjanjian, akad adalah segala sesuatu
yang dikehendaki seseorang untuk dikerjakan baik yang muncul dari kehendaknya
sendiri seperti sumpah, talak, maupun yang membutuhkan pada kehendak dua pihak
seperti jual beli.
·
Rukun akad:
1.
Aqaid (orang yang berakad (subyek))
2.
Ma’qud alaih, benda-benda yang akan di akadkan
3.
Maudhu al-‘aqd (yujuan atau maksud mengadakan akad).
4.
Shigat al-aqd yaitu ijab qabul
·
Macam-macam akad:
1.
Uqudu musaumatun, akad sudah ditentukan dan diberi namanya oleh syara dan ditetapkan
hukunya, akad ini berkaitan dengan muamalah.
2.
Akad ghairu musammah, akad-akad yang tidak ditentukan namanya
dan tidak ditentukan hukumnya oleh
syara’.
·
Adapun aqad yang sudah ditentukan nama-nama dan hukumnya terbagi
beberapa macam disebut oleh M. Hasbi Ash-shiddieqy:
1.
Ba’i yaitu akad yang berlaku atas dasar penukaran harta dnegan
harta lalu terjadilah penukaran secara tetap.
2.
Ijarah yaitu akad yang objeknya penukaran manfaatnya untuk masa
tertentu.
3.
Akad syirkah, yakni akad yang berlaku antara dua orang atau lebih
untuk bekerja sama dalam suatu usaha dan membagi keuntungannya.
4.
Mudharabah, kesepakatan dua orang yang berakad dengan ketentuan,
modal dari satu pihak sedang usaha menghasilkan dari pihak lain, keuntungan di
bagi diantara mereka.
5.
Muzara’ah yakni akad pengolahan tanah pertanian untuk memperoleh
hasil bumi antara yang punya lahan dnegan penggarap hasil bagi bersama.
6.
Wakalah, pemberian mandat atau kuasa yang pada akad itu seseorang
menunjuk orang lain sebagai wakilnya dalam bertindak.
7.
Akad al-umri yakni akad yang dilakukan seseorang dengan mengatakan
kepada orang lain, saya memberikan hak mendiami rumah ini selama hidupmu, tapi
setelah meninggal kembali kepadaku.
·
Dilihat dari segi di syariatkan, akad ada 2:
1.
Uqud musyara’ah, akad yang dibenarkan oleh syara’ dan dibolehkan
seperti jual beli.
2.
Akad mamnu’ah yaitu akad dilarang. Ex: menjual anak binatang dalam
kandungan.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
KONSEP HAK MILIK (AL-MILKIYAH )
A.
Asal - Usul Hak
Manusia pada dasarnya tidak bisa
hidup sendirian, ia harus hidup bermasyarakat saling membutuhkan dan saling
mempengaruhi. Dalam melakukan aktivitas jual beli, seseorang tidak bisa
bermuamalah secara sendirian, bila ia menjadi penjual, maka sudah jelas ia
memerlukan pembeli, dan seterusnya. Setiap manusia mempunyai kebutuhan,
sehingga sering terjadi pertentangan kehendak. Untuk menjaga keperluan manusia
agar tidak melanggar dan memperkosa hak – hak orang lain, maka timbullah hak
dan kewajiban di antara sesama manusia. Hak milik telah diberi gambaran nyata
oleh hakikat dan sifat syariat Islam, sebagai berikut.
1. Tabiat
dan sifat syariat Islam ialah merdeka (bebas). Dengan tabiat dan sifat ini,
umat Islam dapat membentuk suatu kepribadian yang bebas dari pengaruh Negara –
negara Barat dan Timur serta mempertahankan diri dari pengaruh – pengaruh
Komunis (sosialis) dan kapitalis (individual).
2. Syariat
Islam dalam menghadapi berbagai ke-musykil-an senantiasa bersandar kepada
maslahat (kepentingan umum) sebagai salah satu sumber dari sumber – sumber
pembentukan hukum islam.
3. Corak
ekonomi Islam berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah merupakan suatu corak yang
mengakui adanya hak pribadi dan hak umum. Bentuk ini dapat memelihara
kehormatan diri yang menunjukan jati diri. Individual adalah corak kapitalis,
seperti Amerika Serikat, sedangkan sosialis adalah ciri khas komunis seperti
Rusia pada tahun 1980-an. Sementara itu, ekonomi yang dianut Islam ialah
sesuatu yang menjadi kepentingan umum yang dijadikan milik bersama, seperti
rumput, api dan air, sedangkan sesuatu yang tidak menjadi kepentingan umum
dijadikan milik pribadi.[1]
B.
Pengertian Hak Milik
Menurut pengertian umum, hak adalah :
“ Sesuatu ketentuan yang digunakan
oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum “.
Hak juga bisa berarti milik,
ketetapan, dan kepastian, sebagaimana disebutkan dalam Alquran (QS. Yasin : 7)
“ Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan
(ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman “.
Pengertian tentang hak, sama dengan arti hukum dalam istilah ahli
ushul, yaitu :
“ Sekumpulan kaidah dan nash yang
mengatur atas dasar harus ditaati untuk mengatur hubungan manusia dengan
manusia, baik mengenai orang maupun mengenai harta “.
Ada juga yang mendefinisikan hak sebagai berikut.
“ Kekuasaan mengenai sesuatu atau
sesuatu yang wajib dari seseoarng kepada yang lainnya “.
Kekhususan memungkinkan pemilik
suatu barang menurut syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil
manfaatnya selama tidak ada penghalang syar’i.
Apabila seseorang telah memiliki
suatu benda yang sah menurut syara’, orang tersebut bebas bertindak terhadap
benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik diri sendiri
maupun dengan perantara orang lain. Berdasarkan definisi ini, kiranya dapat
dibedakan antara hak dan milik, untuk lebih jelas dicontohkan sebagai berikut.
Seseorang pengampu berhak
menggunakan harta yang berada di bawah ampuannya, pengampuannya hak untuk
membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada di bawah
ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan
tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki.
Hak yang dijelaskan di atas
adakalanya merupakan sulthah, dan adakalanya pula merupakan taklif.
1.
Sulthah terbagi dua, yaitu sulthah ‘ala al nafsi dan sulthah ‘ala
sya’in mu’ayanin.
a.
Sulthah ‘ala al nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti
hal hadlanah (pemeliharaan anak).
b.
Sulthah ‘ala sya’in mu’ayanin ialah hak manusia untuk memiliki
sesuatu, seperti seseoarang berhak memiliki mobil.
2.
Taklif adalah orang yang bertanggung jawab, taklif adakalanya
tanggungan pribadi (‘ahdah syakhshiyah) seperti seorang buruh menjalankan
tugasnya, adakalanya tanggungan harta (‘ahdah maliyah) seperti membayar utang. Para
fukaha berpendapat, bahwa hak merupakan imbangan dan benda (a’yan). Sedangkan
ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa hak adalah bukan harta (ina al-haqqlaisah hi
al-mal).[2]
C.
Sebab-sebab Pemilikan
Untuk memiliki harta, ternyata tidak
semudah yang dipikirkan oleh manusia. Harta dapat dimilki oleh seseorang asal
tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku ,baik hukum islam maupun
hukum adat. Harta berdasarkan sifatnya dapat dimilki oleh manusia, sehingga
manusia dapat memiliki suatu benda. Faktor - faktor yang menyebabkan
harta dapat dimiliki antara lain :
1.
Ikraj al mubahat
Untuk harta yang mubah (belum
dimilki oleh seseorang). Sesuai hadist yang disebutkan bahwa harta yang tidak
termasuk dalam harta yang dihormati(milik yang sah) dan tidak ada penghalang
syara' untuk dimilki
Untuk memilki benda-benda mubhat
diperlukan dua syarat ,yaitu :
a. Benda
mubhat belum diikhrazkan oleh orang lain. Seorang mengumpulkan air dalam satu
wadah kemudian air tersebut dibiarkan, maka orang lain tidak berhak mengambil
air tersebut karena telah diikhrazkan orang lain .
b. Adanya
maksud mimiliki. Seorang memiliki harta mubhat tanpa adanya niat, itu tidak
termasuk ikhraz. Seumpama seorang pemburu meletakkan jaringnya di sawah
kemudian terjeratlah burung – burung. Apabila pemburu meletakkan jaring itu
hanya sekedar untuk mengeringkan jaringannya, maka ia tidak berhak memiliki
burung-burung tersebut .
2.
Khalafiyah
Bertempatnya seorang atau sesuatu
yang baru bertempat ditempat yang lama, maka telah hilang berbagai macam haknya
.
Kalifah ada dua macam :
a. Khalifah
syakhsy'an syaksysi waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta yang
ditinggalkan oleh muwaris. Jadi, harta yang ditinggalkan muwaris disebut tirkah
.
b. Khalifah
syai'an
Apabila seorang merugikan milik
orang lain kemudian rusak ditangannya, maka wajiblah dibayar harganya dan
diganti kerugian-kerugian pemilik harta tersebut. Maka, khalfiyah syai'in ini
disebut tadlimin atau ta'wil (menjamin kerugian).
3.
Tamwull min ta mamluk
Segala yang terjadi dari benda yang
telah dimiliki menjadi hak bagi yang memiliki benda tersebut .Misalnya, bulu
domba menjadi hak milik bagi pemilik domba .
Dari segi iktiar , sebab malaiyah
(memiliki) dibagi menjadi dua macam , yaitu:
a.
Ikhtiyariyah
Sesuatu yang mempunyai hak ikhtiar
manusia dalam mewujudkannya. Sebab ini dibagi menjadi dua macam ,yaitu ikhraj
al mubahat dan 'uqud .
b.
Jabariyah
Sesuatu yang senantiasa tidak
mempunyai ikhtiar manusia dalam mewujudkannya. Sebab jabariyah dibagi dua yaitu
irts dan tawallud min al mamluk .
4.
Karena penguasaan terhadap milik negara atas pribadi yang sudah
lebih dari tiga tahun, Umar r.a ketika menjabat menjadi khalifah berkata :
Sebidang tanah akan menjadi milik
seseorang yang memanfaatkannya dari seseorang yang tidak memanfaatkannya selama
tiga tahun. Hanafiyah berpendapat bahwa tanah yang belum ada pemiliknya
kemudian dimanfaatkan oleh seseorang, maka orang yang memanfaatkannya itu
berhak memiliki tanah itu.[3]
D.
Pembagian Hak
Berbicara masalah pembagian hak,
maka jumlah dan macamnya banyak sekali, antara lain dalam pengertian umum, hak
dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak mal dan hak ghair mal. Adapun
pengertian hak mal :
“ Sesuatu yang berpautan dengan
harta, seperti pemilikan benda-benda atau utang-utang “.
Hak ghair mal terbagi dua bagian,
yaitu hak syakhshi dan hak ‘aini. Pengertian Hak syakhshi :
“ Sesuatu tuntunan yang ditetapkan syara’ dari seseorang terhadap
orang lain “.
Hak ‘aini ialah hak orang dewasa
dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua. Hak ‘aini ada dua macam: ashli
dan thab’i. Hak ‘aini ashli ialah adanya wujud benda tertentu dan adanya shabul
al-haq, seperti hak milikiyah dan hak irtifaq. Hak ‘aini thab’i ialah jaminan
yang ditetapkan untuk seseorang yang menguntungkan uangnya atas yang berhutang.
Apabila yang berhutang tidak sanggup membayar, maka murtahin berhak menahan
barang itu.
Macam-macam hak ‘aini ialah sebagai berikut.
1. Haq
al-milikiyah ialah hak yang memberikan pemiliknya hak wilayah. Boleh dia
memiliki, menggunakan, mengambil manfaat, menghabiskannya, merusakkannya, dan
membinasakannya, dengan syarat tidak menimbulkan kesulitan bagi orang lain.
2. Haq
al-intifa ialah hak yang hanya boleh dipergunakan dan diusahakn hasilnya. Haq
al-Isti’mal (menggunakan) terpisah dari haq al istiqlal (mencari hasil), misalnya
rumah yang diwakafkan untuk didiami. Si mauquf ‘alaih hanya boleh mendiami, ia
tidak boleh mencari keuntungan dari rumah itu.
3. Haq
al-irtifaq ialah hak memiliki manfaat yang ditetapkan untuk suatu kebun atas
kebun yang lain, yang dimiliki bukan oleh pemilik kebun pertama. Misalnya
saudara Ibrahim memiliki sawah di sebelahnya sawah saudara Ahmad. Air dari
selokan dialirkan ke sawah saudara Ibrahim. Sawah Tuan Ahmad pun membutuhkan
air. Air dari sawah saudara Ibrahim dialirkan ke sawah dan air tersebut bukan
milik saudara Ibrahim.
4. Haq
al-istihan ialah hak yang diperoleh dari harta yang digadaikan. Rahn
menimbulkan hak ‘aini bagi murtahin, hak itu berkaitan dengan harga barang yang
digadaikan, tidak berkaitan dengan zakat benda, karena rahn hanyalah jaminan
belaka.
5. Haq
al-ihtibas ialah hak menahan sesuatu benda. Hak menahan barang (benda) seperti
hak multaqith (yang menemukan barang) menahan benda luqathah.
6. Haq
qarar (menetap) atas tanah wakaf, yang termasuk hak menetapkan atas tanah wakaf
ialah :
a. Haq
al-hakr ialah menetap di atas tanah wakaf yang disewa, untuk yang lama dengan
seizin hakim;
b. Haq
al-ijaratain ialah hak yang diperoleh karena akad ijarah dalam waktu yang lama,
dengan seizin hakim, atau tanah wakaf yang tidak sanggup dikembalikan ke dalam
keadaan semula misalnya karena kebakaran dengan harga yang menyamai harga
tanah, sedangkan sewanya dibayar setiap tahun.
7. Haq
al-qadar ialah hak menambah bangunan yang dilakukan oleh penyewa;
8. Haq
al-marshad ialah hak mengawasi atau mengontrol
9. Haq
al- murur ialah, “ hak jalan manusia pada miliknya dari jalan umum atau jalan
khusus pada milik orang lain”.
10. Haq
ta’alli ialah, “Hak manusia untuk menempatkan bangunannya di atas bangunan orang lain“.
11. Haq
al-jiwar ialah hak-hak yang timbul disebabkan oleh berdempetnya batas-batas
tempat, tinggal, yaitu hak-hak untuk mencegah pemilik uqur dari menimbulkan
kesulitan terhadap tetangganya.
12. Haq
Syuf’ah atau haq syurb ialah “ Kebutuhan manusia terhadap air untuk diminum
sendiri dan untuk diminum bintangnya serta untuk kebutuhan rumah tangganya “.
Ditinjau dari hak syirb, maka jenis
air dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut.
1. Air
umum yang tidak dimiliki oleh seseorang, misalnya air sungai, rawa-rawa,
telaga, dan lainnya. Air milik bersama (umum) boleh digunakan oleh siapa saja
dengan syarat tidak memadharatkan orang lain.
2. Air
di tempat yang ada pemiliknya, seperti sumur yang dibuat oleh seorang untuk
mengairi tanaman di kebunnya, selain pemilik tanah tersebut tidak berhak untuk
menguasai tempat air yang dibuat oleh pemiliknya. Orang lain boleh mengambil
manfaat dari sumur tersebut atas srizin pemilik kebun.
3. Air
yang terpelihara, yaitu air yang dikuasai oleh pemiliknya, dipelihara dan
disimpan di suatu yang telah disediakan, misalnya air di kolam, kendi, dan
bejana-bejana tertentu.[4]
E.
Klasifikasi Pemilikan
Dalam Fiqh Muamalah, milik terbagi
dua :
1. Milk tam,
yaitu suatu pemilikan yang meliputi benda dan manfaatnya sekaligus, artinya
baik benda dan kegunaannya dapat dikuasai. Pemilikan tam bisa diperoleh salah
satunya melalui jual beli.
2. Milk
naqishah, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda tersebut,
yaitu memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya yang disebut raqabah atau
memiliki manfaatnya saja tanpa memiliki bandanya yang disebut milik manfaat
atau hak guna pakai dengan cara i’arah, wakaf, dan washiyah.
Dari segi tempat, milik terbagi menjadi 3 :
1. Milk
al ’ain / milk al raqabah : memiliki semua benda, baik benda tetap (ghair manqul)
dan benda-benda yang dapat dipindahkan (manqul). Contoh : pemilikan rumah,
kebun, mobil dan motor.
2. Milk
al manfaah : seseorang yang hanya memiliki manfaatnya saja dari suatu benda.
Contoh : benda pinjaman, wakaf, dll.
3. Milk
al dayn : pemilikan karena adanya utang. Contoh : sejumlah uang dipinjamkan
kepada seseorang atau pengganti benda yang dirusakkan.
Dari segi cara berpautan milik dengan yang dimiliki (shurah) milik
dibagi 2 :
1. Milk
al mutamayyiz : sesuatu yang berpautan dengan yang lain, yang memilki
batasan-batasan, yang dapat memisahkannya dari yang lain. Contoh : antara
sebuah mobil dan seekor kerbau sudah jelas batas-batasnya.
2. Milk
al syai’ atau milk al musya : milik yang berpautan dengan sesuatu yang nisbi
dari kumpulan sesuatu, betapa besar atau betapa kecilnya kumpulan itu. Contoh :
memiliki sebagian rumah, seekor sapi yang dibeli oleh 5 orang untuk disembelih
dan dibagikan dagingnya.[5]
Hak milik dalam islam dapat di lihat sebagai berikut :
1. Hak Milik Berdasarkan Bentuk
(ya’tibari mahali)
a.
Kepemilikan yang didasari dari bentuk barangnya.
1). Kepemilikan
barang (Milkiyatun al-’ain)
a). Barang yang dapat dipindah
(al-mangkulah), barang yang dapat berpindah-pindah contohnya adalah tas.
b) Perhiasan
(al-ma’ta), perhiasan yang memiliki nilai jual bagi pemiliknya, seperti emas,
berlian yang suatu hari dapat dijual kembali.
c) Hewan
(al-haiwan), barang yang berbentuk hewan, seperti sapi, kambing.
d) Tetap
(al-’uqar) barang tetap tidak dapat berpindah-pindah seperti tanah, gedung.
b. Kepemilikan
manfaat (Milkiyatun manfaat) kepemilikan berdasarkan manfaatnya, seperti buku,
karena buku dimiliki bukan berdasarkan kertasnya, cover melainkan karena
manfaatnya.
c. Kepemilikan
hutang (Milkiyatun al-adiyan), kepemilikan yang berkaitan dengan hutang dan
kredit-kredit lainnya.
1.
Hak Milik Berdasarkan Penuh atau Tidak (ma yatsa tamaw naquson)
a. Hak
Penuh (milkiyatun tammah), kepemilikan yang sudah penuh haknya, seperti pemilik
dari rumahnya sendiri.
b. Hak
Milik tidak Penuh (milkiyatun ann-uqsah), kepemilikan yang masih tergantung
orang lain, misalnya ahli waris yang pewarisnya belum wafat.
3. Hak milik berdasarkan
keterpautan (ba ‘a tabara sowaro tohha)
a. Milkiyatun
mutamaziyah, yaitu adanya batasan-batasan, kejelasan perbedaan antara mobil dan
rumah, jika di halaman rumah terparkir mobil belum tentu itu
adalah mobil dari pemilik rumah, bisa saja itu mobil milik tamu, karena ada
kejelasan perbedaan antara mobil dan rumah.
b. Milkiyatun
sya-i’ah, yaitu adanya pembagian dari keseluruhan, adanya pembagian,
contohnya dalam hal investasi seriap investor memiliki bagiannya tersendiri di
perusahaan, maka kepemilikan perusahaan tersebut dibagi-bagi.
Adapun factor-faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki antara
lain :
1. Ikraj
al muhabat, untuk harta yang mubah (belum dimiliki seseorang) atau harta yang
tidak termasuk dalam harta yang dihormati (milik yang sah) dan tidak ada
penghalang syara’ untuk dimiliki. Untuk memiliki benda-benda mubahat
diperlulkan dua syarat yaitu :
a. Benda mubahat belum
diikrazkan oleh orang lain
b. Adanya niat (maksud) memiliki
2. Khalafiyah
ialah:“Bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat di tempat yang
lama, yang telah hilang berbagai macam haknya”.
Khalafiyah ada dua macam :
a. Khalafiyah
syakhsyi ‘an syakhsyi yaitu si waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki
harta-harta yang ditinggalkan oleh muwaris. Harta yang ditinggalkan oleh
muwaris disebut firkah.
b. Khalafiyah
syai’an syai’an yaitu apabila seseorng merugikan milik orang lain atau
menyerobot barang orang lain, kemudian rusak ditanganya atau hilang. Maka
wajiblah dibayar harganya dan diganti kerugian. Kerugian pemilikharta.
3. Tawallud
mim mamluk, yaitu segala yang terjadi dari benda yang dimiliki hak bagi yang
memiliki benda tersebut.
4. Karena
penguasa terhadap milik Negara atas pribadi yang sudah lebih dari 3 tahun di
ruang lingkup hak dalam islam. Milik yang di bahas dalam fiqih muamalah secara
garis besar dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu sebagai berikut :
a. Milk
tam yaitu suatu kepemilikan yang meliputi benda dan manfaatnya sekaligus,
artinya bentuk benda dan kegunaanya dapat dikuasai. Pemilikan tam bisa
diperoleh dengan banyak cara misalnya jual beli.
b. Milk
naqishah, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda tersebut.
Memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya atau memiliki manfaatnya saja tanpa
memilikizatnya.
Milk naqishah yang berupa penguasaan
terhadap zat barang (benda) disebut milk raqabah.Sedangkan milk naqish yang
berupa penguasaan terhadap kegunaanya saja disebut milk manfaat/hak guna pakai.
Dilihat dari Segi Mahal (tempat) milik dibagi menjadi 3
1. Milk
al ‘ain atau milk al raqabah, yaitu memiliki semua benda baik benda tetap
(ghair manqul) maupun benda-benda yang dapat dipindahkan (manqul) seperti
pemilikan terhadap rumah, kebun, mobil, motor dll.
2. Milk
manfaah, yaitu seseorang yang hanya memiliki manfaatnya saja dari suatu
benda. Seperti benda hasil meminjam, wakaf dll.
3. Milk
al dayn, yaitu pemilikan karena adanya utang. Misalnya sejimlah uang yang
dipinjamkan kepada seseorang/pengganti benda yang dirusakkan.
Dari Segi Shurah (cara berpautan
milik dengan yang dimiliki) milik dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Milk al mutamayyiz “Sesuatu yang
berpautan dengan yang lain, yang memiliki batasan-batasan yang
dapat memisahkanya dari yang lain”.
Misalnya : antara sebuah mobil dan seekor kerbau
Misalnya : antara sebuah mobil dan seekor kerbau
2. Milik al
sya’I atau milik al musya yaitu : “Milik yang berpautan dengan sesuatu yang
nisbi dari kumpulan sesuatu, betapabesar/betapa kecilnya kumpulan itu”.
Misalnya memiliki seekor sapi yang
dibeli oleh 40 orang, untuk disembelih dan dibagikan dagingnya.[6]
F.
Beberapa Prinsip Pemilikan
Pemilikan dalam berbagai jenis dan
corak sebagaimana yang telah disampaikan di muka memiliki beberapa prinsip yang
bersifat khusus.Prinsip tersebut berlaku dan mengandung implikasi hukum pada
sebagian jenis pemilikan yang berbeda pada sebagian pemilikan
lainnya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagaimana disampaikan di
bawah ini.
1. Prinsip
pertama . ‘’pada prinsipnya milk al-‘ain(pemilikan atas benda) sejak
awaldisertai milk almanfaat (pemilikan atas manfaat), dan bukan
sebaliknya’’.
Maksudnya, setiap pemilikan benda
pasti diikuti dengan pemilikan atas manfaat.Dengan pada prinsip setiap
pemilikan atas benda adalah milk al-tam (pemilikan semourna). Sebaliknya,setiap
pemilikan atas manfaat tidak mesti diikuti dengan pemilikan atas bendanya,sebagaimana
yang terjadi pada ijarah (persewaan) atau I’arah(pinjaman).
Dengan demikian pemilikan atas suatu
benda tidak dimaksudkan sebagai pemilikan atas zatnya atau materinya, melainkan
maksud dari pemilikan yang sebenarnya adalah pemanfaatan suatu barang.Tidak ada
artinya pemilikan atas suatu harta (al-mal) jika harta tersebut tidak mempunyai
manfaat.Inilah prinsip yang dipegang teguh oleh fuqaha’ Hanafiyah ketika
mendefiniskan al-mal(harta) sebagai benda materi bukan manfaatnya.Menurut
fuquha’ hanafiyah manfaat merupakan unsur utamamilkiyah (pemilikan).
2.
Prinsip kedua ‘’pada prinsipnya pemilikan awal pada suatu benda
yang belum pernah dimiliki sebelumnya senantiasa sebagaimilk
al-tam (pemilikan sempurna)’’.
Yang dimaksud dengan pemilikan
pertama adalah pemilikan diperoleh berdasarkan prinsip ihraz al-mubahatdan
dari prinsip tawallud minal-mamluk.Pemilikan sempurna seperti ini akan
terus berlangsung sampai ada peralihan pemilikan. Pemilik awal dapat
mengalihkan pemilikan atas banda dan sekaligus manfaatnya melalui
jual-beli,hibbahdan cara lain yang menimbulkan peralihan milk al-tamkepada
pihak lain,mengalihkan manfaat saja atau bendanya saja kepada orang lain ini
merupakan pemilikan naqish.
Berdasarkan uraian di muka dapat
disimpulkan bahwa pemilikan sempurna adakalanya diperoleh melalui pemilikan
awal (ihraz al-mubahat dan al-tawallud), sedang
pemilikan naqish hanya dapat diperoleh melalui sebab peralihan dari
pemilik awal, yakni melalui akad.
3.
Prinsip ketiga ‘’pada prinsipnya pemilikan sempurna tidak dibatasi
waktu, sedang pemilikan naqish dibatasi waktu’’.
Milk al-‘ain berlaku sepanjang
saat (mu’abbadah) sampai terdapat akad yang mengalihkan pemilikan kepada orang
lain.Jika tidak muncul suatu akad baru dan tidak terjadi khalafiyah, pemilikan
terus berlanjut. Adapun milk al-manfaatyang tidak disertai pemilikan
bendanya berlaku dalam waktu yang terbatas,sebagaimna yang berlaku pada
persewaan, peminjaman, wasiat manfaat selama batas waktu yang telah ditentukan
maka berakhirlah milk-al manfaat.
Batas waktu dalam milk al
manfaatini jika bersumber dari
akadmu’awwadhah seperti ijarah (persewaan) maka sebelum berakhir
batas waktunya pemilik benda tidak berhak menuntut pengembalian,karena
sesungguhnya ijarah merupakan bai’ al-manfaat (jual beli
atas manfaat) dalam batasan waktu tertentu. Apabila milk
al-manfaattersebut bersumber dari akad tabbaru’seperti
pada I’arah (peminjaman), biasanya tidak diikuti batas waktu yang
pasti. Namun pada umumnya pihak yang meminjamkan menghendaki pengembalian dalam
waktu dekat, sehingga setiap saat ia dapat meminta pengembalian benda yang
dipinjamkannya.
Sekalipun demikian para fuquha’ juga
memperhatikan batas waktu pengembalian ‘ariyah yang menimbulkan
kerugian pada pihak peminjam.Seperti jika seorang pemilik meminjamkan tanah
untuk kepentingan bercocok tanam, berkebun atau untuk mendirikan
bangunan.Kemuadian pemilik menghendaki pengembalian tanah tersebut sebelum
pekerjaan tersebut diselesaikan. Mengenai hal ini fuquha’ menetapkan
kebijakan dengan perincian perkasus,sebagaimana berikut ini.
a. Dalam
kasus pinjaman untuk pertanian,pemilik tanah tidak berhak menuntut pengembalian
sebelum masa panen, sebab pertanian berlangsung dalam satu musim tanam. Berbeda
dengan kasus persewaan tanah untuk pertanian. Dalam hal ini penggunaan melebihi
kasus persewaan tanah untuk pertanian. Dalam hal ini penggunaan melebihi batas
waktu sampai masa panen diganti dengan penambahan ongkos sewa. Dengan cara
demikian terpeliharalah hak pemilik sedang pihak penyewa tidak dirugikan.
b. Dalam
kasus pinjaman untuk tujuan perkebunan dan untuk mendirikan bangunan,pemilik
tanah berhak menarik kembali tanahnya setiap saat ia suka. Ketika itu
peminjam wajib mencabut kebun atau merobohkan bangunan dan menyerahkan tanah
kepada pemiliknya dalam keadaan kosong. Karena perkebunan pendirian
bangunan berlangsung tidak terbatas masa tertentu, tidak seperti pertanian yang
berakhir dengan masa panen.Namun jika sejak semula pinjaman tersebut dibatasi
dengan waktu, sedang pemilik menarik kembali tanahnya sebelum usaha yang dilakukan
pihak pinjaman selesai dilakukan, maka pemilik benar-benar telah berbuat curang
(gharar) yang sangat merugikan.Dalam kasus sepeti ini pihak peminjam berhak
menuntut kerugian yang terhitung sejak pengosongan tanah sampai batas akhir
waktu, dengan mempertimbangakan harga jual bangunan atau perkebunan.
4.
Prinsip keempat, ‘’pada prinsipnya pemilikan benda tidak dapat
digugurkan,namun dapat dialihkan atau dipindah’.
Sekalipun seseorang bermaksud
menggugurkan hak miliknya atas suatu barang, tidak terjadi pengguguran, dan
pemilikan tetap berlaku baginya.Berdasarkan prinsip ini islam
melarang sa’ibah (litt.melepaskan),yaitu perbuatan semata
menggugurkan atau melepaskan suatu milik tanpa pengalihan kepada pemilik baru.
Secara umum perbuatan ini termasuk dalam kategori tabdzir (menyia-nyiakan)
karunia tuhan.
5.
Prinsip kelima, ‘’pada prinsipnya mal al-masya’(pemilikan
campuran) atas benda materi, dalam hal tasharruf, sama posisinya
dengan milk al-mutayyaz, kecuali ada halangan (al-mani)’’.
Berdasarkan prinsip ini diperbolehkan
menjual bagian dari milik campuran,mewakafkan atau berwasiat atasnya.
Karena tasharruf atas sebagian harta campuran sama dengan
bertasharruf atas pemilikan benda secara keseluruhan. Kecuali bertasharruf
dengan tiga jenis akad: rahn(jaminan utang), hibah dan ijarah (persewaan).
Halangan bertasharruf pada rahndikarenakan tujuan rahnadalah sebagai
agunan pelunasan hutang, sehinggamarhun (benda agunan)harus diserahkan
kepada murtahin (pemegang gadai/agunan). Yang demikian tidak sah
dilakukan atas sebagian dari milik campuran.
Halangan bertasharruf
denganhibbah dikarenakan kesempurnaan hibbah harus disertai penyerahan
(aq-qabdhu), sedang penyerahan hanya dapat dilakukan pada milk
al-mutayyaz.(harta dapat dipisahkan dari yang lainya). Adapun halangan tasharruf
dengan ijarah,menurut pandangan fuquha’ hanafiyah adalah jika
akadijarah tersebut dilakukan terhadap sebagian dari harta campuran.namun
jika ijarah dilakukan oleh masing-masing sekutu atas keseluruhan
harta campuran, yang demikian ini tidak ada halangan.
6.
Prinsip keenam, ‘’pada prinsipnya milik campuran atas hutang
bersama yang berupa suatu beban pertanggungan tidak dapat dipisah-pisahkan’’.
Apabila pemilikan atas hutang
berserikat telah dilunasi (diserahkan) maka telah berubah menjadi milk
al-‘ainbukan lagi sebagai milk al-dain.Kemudian dapat dilakukan pembagian
bagi masing-masing pemiliknya, sebagaimana yang dapat dilakukan terhadap setiap
harta campuran yang dapat menerima pembagian.
Berdasarkan prinsip ini, apabila
salah seorang dari sejumlah orang yang memiliki piutang bersama menerima
pelunasan hutang yang sepadan dengan bagian yang dimilikinya, maka pelunasan
tersebut harus dibagi di antara sekutunya.Sebab kalau seorang di antara mereka
dapat melepaskan diri dari sekutunya dalam hal pelunasan hutang harus
dinyatakan sebelumnya bahwa telah terjadi pembagian atas piutang bersama dalam
bentuk pertanggungan sehingga tidak lagi sebagai piutang bersama, melainkan
telah berubah menjadi piutang mumayyazah.Demikianlah maksud dari ‘’piutang
bersama tidak dapat pisah-pisahkan’’.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah,Fikih Muamalah(Bogor:Ghalia
Indonesia,2011)
[1]httpblog.umy.ac.idrodes2008ringkasan-materi-fiqih-muamalah
Ghufron A dan Mas ‘Adi,Fikih Muamalah Kontektual(Jakarta:PT Raja
Grafindo Perdana,2002)
[1]Sohari Sahrani
dan Ru’fah Abdullah,Fikih Muamalah(Bogor:Ghalia Indonesia,2011), h. 31
[2]Sohari Sahrani
dan Ru’fah Abdullah,Fikih Muamalah(Bogor:Ghalia Indonesia,2011), h. 32-33
[3]Sohari Sahrani
dan Ru’fah Abdullah,Fikih Muamalah(Bogor:Ghalia Indonesia,2011), h. 35-37
[4]Sohari Sahrani
dan Ru’fah Abdullah,Fikih Muamalah(Bogor:Ghalia Indonesia,2011), h. 33-35
[5]Sohari Sahrani
dan Ru’fah Abdullah,Fikih Muamalah(Bogor:Ghalia Indonesia,2011), h. 37-38
[6]httpblog.umy.ac.idrodes2008ringkasan-materi-fiqih-muamalah
[7] Ghufron A
dan Mas ‘Adi,Fikih Muamalah Kontektual(Jakarta:PT Raja Grafindo Perdana,2002),
h. 68-74
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....8
JUAL BELI
·
Al-ba’i berarti menjual, mengganti, menukar sesuatu dengan sesuatu
yang lain. Jual beli adalah suatu akad yang mengandung tukar menukar harta
dengan harta lainnya dengan syarat-syarat tertentu.
·
Rukun jual beli:
a.
Penjual dan pembeli
b.
Shigat (ijab dan kabul)
c.
Mauqud alaih (barang dan harga barang).
·
Macam-macam jual beli terlarang:
1.
Jual beli yang melalaikan
2.
Jual beli yang diharamkan
3.
Jual beli mula mulamasah
4.
Jual beli barang yang tidak dimiliki
5.
Jaul beli najasyi (dengan harga tinggi)
6.
Jual beli diatas akad sandarannya
7.
Jual beli dengan cara menipu.
·
Khiyar, pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya,
karena ada cacat pada barang yang dijual atau ada perjanjian pada waktu akad
atau sebab lain.
·
Macam-macam khiyar:
a.
Khiyar majelis, hak pilih bagi kedua belah pihak (penjual dan
pembeli) untuk meneruskan akad selama dalam majelis akad dan belum berpisah
badan, artinya akad syah apabila kedua belah pihak yang melakukan akad terlah
berpisah badan.
b.
Khiyar syarat, hak pilih selama masih dalam tenggang waktu yang
ditentukan
c.
Khiyar ‘Aib, tatkala terdapat cacat pada barang dan tidak
diketahui.
d.
Khiyar Ru’bah, hak pilih terhadap barang yang belum ia lihat ketika
akad berlangsung.
·
Riba, secara bahasa tumbuh dan berkembang:
a.
Riba fadl, tambahan benda dalam akad jual beli yang menggunakan
ukuran syar’i.
b.
Riba nasi’ah, tambahan yang disebutkan dalam perjanjian penukaran
barang sebagai imbalan atas ditundanya pembayaran.[2]
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
JUAL BELI
A.
Pengertian Jual beli
Jual beli atau perdagangan dalam
istilah fiqh disebut al-ba’I yang menurut etimologi berarti
menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikan secara bahasa dengan
menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-Ba.i dalam Arab
terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu
kata al-Syira (beli).Dengan demikian, kata al-ba’I berarti
jual, tetapi sekalius juga berarti beli.[1]
Secara terminologi, terdapat
beberapa definisi jual beli yang masing definisi sama.
Sebagian ulama lain memberi pengertian :
a.
Ulama Sayyid Sabiq
Ia mendefinisikan bahwa jual beli
ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan atau
memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Dalam definisi tersebut
harta dan, milik, dengan ganti dan dapat dibenarkan.Yang dimaksud harta harta
dalam definisi diatas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka
dikecualikan yang bukan milik dan tidak bermanfaat.Yang dimaksud dengan ganti
agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian), sedangkan yang dimaksud dapat
dibenarkan(ma’dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.
b.
Ulama hanafiyah
Iamendefinisikan bahwa jual beli
adalah saling tukar harta dengan harta lain melalui Cara yang khusus. Yang
dimaksud ulama hanafiyah dengan kata-kata tersebut adalah melalui ijab qabul,
atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan
pembeli
c.
Ulama Ibn Qudamah
Menurutnya jual beli adalah saling
menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.Dalam
definisi ini ditekankan kata milik dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar
harta yang sifatnya tidak haus dimiliki seperti sewa menyewa.[2]
Dari beberapa definisi di atas dapat
dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang
yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu
menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau
ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.Inti dari beberapa
pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandunghal-hal antara lain :
1.
Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan
tukar menukar.
2.
Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi
seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
3.
Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi
sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
4.
Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah
pihak memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual
beli dengan kepemilikan abadi.
B.
Dasar hukum jual beli
Jual beli sebagai sarana tolong
menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-quran
dan sunah Rasulullah saw. Terdapat beberapa ayat al-quran dan sunah Rasulullah
saw, yang berbicara tentang jual beli, antara lain :
1. Allah berfirman Surah Al-Baqarah
ayat 275 “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
2. Allah berfirman Surah Al-Baqarah
ayat 198 “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan)
dari Tuhanmu”
3. Allah berfirmanSurah An-Nisa ayat
29 “…kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu…”
C.
Sunah Rasulullah saw
1.
Hadist yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’ : “Rasulullah saw,
ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan apa yang paling baik.
Rasulullah sawa, menjawab usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli
yang diberkati (H.R Al-Bazzar dan Al-Hakim). Artinya jual beli yang jujur,
tanpa diiringi kecurangan-kecurangan mendapat berkah dari Allah SWT.
2.
Hadist dari al-Baihaqi, ibn majah dan ibn hibban, Rasulullah
menyatakan : “Jual beli itu didasarkan atas suka sama suka”
3.
Hadist yang diriwayatkan al-Tirmizi, Rasulullah bersabda :
“Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya disurga) dengan para
nabi,shadiqqin, dan syuhada”.[3]
D.
Hukum jual beli
Dari kandungan ayat-ayat Al-quran
dan sabda-sabda Rasul di atas, para ulama fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari
jual beli yaitu mubah (boleh).Akan tetapi, pada situasi-situasi
tertentu.Menurut Imam al-Syathibi (w. 790 h), pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh
berubah menjadi wajib.Imam al-Syathibi memberi contoh ketika terjadi praktik
ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak
naik).Apabila seorang melakukan ihtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga
barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka menurutnya, pihak pemerintah boleh
memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelum
terjadinya pelonjakan harga.Dalam hal ini menurutnya, pedagang itu wajib
menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal ini sama prinsipnya
dengan al-Syathibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total ,
maka hukumnya boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan
boikot tidak mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka
untuk berdagang beras dan pedagang ini wajib melaksanakannya .demikian pula,
pada kondisi-kondisi lainnya.[4]
1.
Rukun dan syarat jual beli
Jual beli mempunyai rukun dan syarat
yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dpat dikatakan sah oleh
syara’.Dalam menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan pendapat ulama
Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya
satu, yaitu ijab qabul, ijab adalah ungkapan membeli dari pembeli,
dan qabul adalah ungkapan menjual dari penjual. Menurut mereka, yang
menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha) kedua belah pihak
untuk melakukan transaksi jual beli.Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu
merupakan unsur hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka
diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak.
Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi
jual beli menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui
cara saling memberikan barang dan harga barang.[5]
Akan tetapi jumhur ulama menyatakan
bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
1. Ada orang yang berakad
(penjual dan pembeli).
2. Ada sighat (lafal ijab
qabul).
3. Ada barang yang dibeli
(ma’qud alaih)
4. Ada nilai tukar pengganti
barang.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang
berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk kedalam
syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun syarat-syarat jual beli
sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama diatas sebagai
berikut :
2.
Macam-macam jual beli
Jual beli dapat ditinjau dari
berbragai segi, yaitu:
a. Ditinjau dari segi
bendanya dapat dibedakan menjadi:
1) Jual beli benda yang
kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya ada di hadapan
penjual dan pembeli.
2) Jual beli salam, atau bisa
juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus disebutkan sifat-sifat
barang dan harga harus dipegang ditempat akad berlangsung.
3) Jual beli benda yang tidak
ada, Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam agama Islam.
b. Ditinjau dari segi pelaku
atau subjek jual beli:
1) Dengan lisan, akad
yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi orang bisu dapat diganti
dengan isyarat.
2) Dengan perantara, misalnya
dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini dilakukan oleh penjual dan
pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan ini dibolehkan menurut syara’.
3) Jual beli dengan perbuatan,
yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab kabul. Misalnya seseorang
mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label harganya. Menurut sebagian
ulama syafiiyah hal ini dilarang karena ijab kabul adalah rukun dan syarat jual
beli, namun sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam Nawawi membolehkannya.
c. Dinjau dari segi
hukumnya
Jual beli dinyatakan sah atau tidak
sah bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual beli yang telah dijelaskan
di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur ulama membaginya menjadi dua, yaitu:
1) Shahih, yaitu
jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.
2) Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak
memenuhi salah satu syarat dan rukunnya.
Sedangkan fuqaha atau ulama
Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu:
1) Shahih, yaitu
jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
2) Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi
rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
a. Jual
beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli janin di
dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
b. Jual
beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan khamar.
c. Jual
beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan
syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
d. Jual
beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib atau
buku-buku bacaan porno.
e. Segala
bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti
menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.[9]
3.
Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan
syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya.
Misalnya :
a) jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan
ketika berlangsungnya akad.
b) Jual beli dengan menghadang
dagangan di luar kota atau pasar, yaitu menguasai barang sebelum sampai ke
pasar agar dapat membelinya dengan harga murah
c) Membeli barang dengan
memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena
kelangkaan barang tersebut.
d) Jual
beli barang rampasan atau curian.
e) Menawar
barang yang sedang ditawar orang lain.[10]
E.
Manfaat dan Hikmah Jual Beli
Hikmah jual beli dalam garis besarnya sebagai berikut :
Allah swt mensyariatkan jual beli
sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan kepada hamba-hamba-Nya, karena
semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, dan
papan.Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih hidup. Tak
seorang pun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia di tuntut
berhubungan satu sama lainnya. Dalam hubungan ini, taka da satu hal pun yang
lebih sempurna daripada saling tukar, dimana seorang memberikan apa yang ia
miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai
dengan kebutuhannya masing-masing.[11]
[1]Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus, 2005), juz 4.
[2]Ibid
[3]Abu Ishaq
al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut :
Daral-ma’rifah, 1975), hal. 56.
[4] Suhendi
Hendi, Fiqh Muamalah,.(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997),
hlm. 26.
[5]Nasrun
Haroen, fiqh muamalah,(Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007), hlm. 7.
[6]Ibid, hlm. 9.
[7]MS. Wawan
Djunaedi, Fiqih, (Jakarta : PT. Listafariska Putra, 2008), hlm. 98
[8]Drs. Ghufron
Ihsan. MA, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008), hlm.
35
[9] Thauam
marufah, Jual Beli dan Khiyar, di kutip pada situs: http://bolo-kiyai.blogspot.com/2011/11/makalah-jual-beli-dan-khiyar.html. Diakses pada tanggal 02 Oktober 2014, 20.38 WIB.
[10]Ibid
[11]Drs. Gufron
Ihsan, M.A, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008), hlm.
89.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...9
KEPENGURUSAN JENAZAH
·
Jenazah laki-laki 3 kafan (3 lapis), perempuan 5 lapis kain kafan
(2 lapis kerudung, baju kurung dan sarung).
·
Dalamnya liang kubur itu 2 meter.
·
Ta’ziyah (menghibur). Istilah mengunjungi keluarga yang tertimpa
musibah tersebut dengan tujuan agar keluarga tersebut dapat berbagi kesedihan,
terhibur, serta mampu bersabar. Ta’ziyah hukumnya sunnah, kesunnahan ini
berlalu sejak hari pertama hingga hari ke-3. Hukum ta’ziyah bisa jadi makruh
apabila para penta’ziyah berkumpul dalam satu tempat yang khusus, yang itu
justru menambah kesedihan.
·
Ziarah (masuk atau mengunjungi), yaitu kunjungan yang dilakukan
oleh orang islam tertentu yang dianggap memiliki nilai sejarah.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
KEPENGURUSAN JENAZAH
A.
PENGERTIAN JENAZAH
Kata jenazah diambil dari bahasa
Arab (جن ذح) yang berarti tubuh mayat dan kata جن ذ yang berarti
menutupi. Jadi, secara umum kata jenazah memiliki arti tubuh mayat yang
tertutup.[1]
Penyelenggaraan jenazah adalahfardu
kifayah bagi sebagian kaum muslimin, khususnya penduduk setempat terhadap
jenazah muslim/ muslimah.
Namun, sebelum penyelenggaraan
jenazah itu dimulai, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan terhadap
jenazah tersebut,[2] yaitu
:
1. Dipejamkan matanya,
mendo’akan dan meminta ampunkan atas dosanya.
2. Dilemaskan tangannya untuk
disedekapkan di dada dan kakinya diluruskan.
3. Mengatupkan
rahangnya atau mengikatnya dari puncak kepala sampai ke dagu supaya mulutnya
tidak menganga/terbuka.
4. Jika
memungkinkan jenazah diletakkan membujur ke arah utaradan badannya diselubungi
dengan kain.
5. Menyebarluaskan
berita kematiannya kepada kerabat- kerabatnya dan handai tolannya.
6. Lunasilah hutang-hutangnya
dengan segera jika ia punya hutang.
7. Segerakanlah fardu
kifayahnya.
B.
PENYELENGARAAN JENAZAH
Menurut syari’at Islam, fardu
kifayah dalam menyelenggarakan jenazah ada empat macam, yaitu :
a.
Memandikan jenazah
b.
Mengkafani jenazah
c.
Mensalatkan jenazah
d.
Menguburkan jenazah
e.
Memandikan jenazah.
1.
Memandikan jenazah.
Memandikan adalah salah satu cara
yang wajib dilakukan terhadap mayat orang yang beragama Islam. Caranya adalah
menyampaikan atau mengalirkan air bersih ke seluruh tubuhnya walaupun ia sedang
haid atau junub. Memandikan ini dilakukan orang yang masih hidup dengan
menggunakan sabun dan wangi- wangian, tetapi dengan lemah lembut.
Adapun persiapan yang harus
dilakukan atau peralatan yang harus disediakan sebelum memandikan jenazah
adalah:
a.
Menyediakan air yang suci dan mensucikan secukupnya dan
mempersiapkan perlengkapan mandi seperti handuk, sabun, wangi- wangian, kapur
barus dan lain-lain.
b.
Mengusahakan tempat yang tertutup untuk memandikan jenazah sehingga
hanya orang yang berkepentingan saja yang ada disitu.
c.
Menyediakan kain kafan secukupnya.
d.
Usahakanlah orang-orang yang akan memandikan jenazah itu adalah
keluarga terdekat jenazah atau orang-orang yang dapat menjaga rahasia. Jika
jenazahnya laki-laki, maka yang memandikannya harus laki- laki, demikian juga
sebaliknya jika jenazahnya perempuan, maka yang memandikannya harus perempuan,
kecuali suami kepada istrinya/istri kepada suaminya atau muhrimnya.
Orang yang boleh memandikan jenazah
adalah orang yang sama jenis kelaminnya dengan mayat kecuali istri/ suami.
Namun, jika ada beberapa orang yang berhak memandikanny, maka yang lebih berhak
adalah keluarga terdekat yang mengetahui pelaksanaan mandi jenazah serta
bersifat amanah. Kalau tidak, orang lain yang lebih berpengetahuan serta amanah
( dapat dipercaya untuk tidak membuka aib jenazah).
Adapun cara memandikan jenazah itu
dapat dilakukan sebagai berikut :
a.
Niat karena Allah ta’ala.
b.
Melepaskan segala pakaian yang melekat di badan jenazah dan
menggantinya dengan kain yang menutup aurat.
c.
Melepaskan perhiasan dan gigi palsunya jika memungkinkan.
d.
Membersihkan rongga mulutnya, kuku- kukunya dan seluruh tubuhnya
dari kotoran dan najis.
e.
Memulai memandikan dengan membersihkan anggota wudu’nya, dengan
mendahulukan yang kanan dan menyiramnya sampai rata tiga, lima,tujuh kali atau
sesuai dengan kebutuhan.
f.
Jenazah dimiringkan ke kiri kemudian bagian kanan badan disiram
dengan air, dan selanjutnya dimiringkan ke kanan dan bagian kiri badan disiram
dengan air, siramlah dengan bilangan ganjil.
g.
Pada waktu jenazah disiram dengan air, badannya di gosok-gosok guna
menghilangkan najis/ kotoran sekaligus untuk meratakan air ke seluruh tubuh,
perutnya di urut dengan pelan atau badannya di bungkukkan sedikit supaya gas
dan kotoran yang ada dalam perutnya keluar, dan tempat keluar kotoran tersebut
disiram dengan air yang harum dengan memakai sarung tangan.
h.
Pada bagian akhir siraman hendaklah disiram dengan wangi- wangian.
i.
Mengeringkan badan jenazah dengan handuk dan berilah wangi-wangian.
Bagi jenazah yang berambut panjang hendaklah dikepang rambutnya jika
memungkinkan.
Selain hal di atas, yang perlu diperhatikan terhadap jenazah adalah
sebagai berikut:
a.
Orang yang gugur, syahid dalam peprangan membela agama Allah cukup
dimakamkan dengan pakaian yang melekat di tubuhnya ( tanpa dimandikan, dikafani
dan disalatkan ).
b.
Orang yang wafat dalam keadaan berihram di rawat seperti biasa
tanpa diberi wangi-wangian.
c.
Orang yang syahid selain dalam peperangan membela agama Allah
seperti melahirkan, tenggelam, terbakar dirawat seperti biasa.
d.
Jenazah janin yang telah berusia empat bulan dirawat seperti biasa.
e.
Jika terdapat halangan untuk memandikan jenazah, maka cukup diganti
dengan tayammum.
f.
Bagi orang yang memandikan jenazah, disunnahkan untuk mandi
sesudahnya.
2.
Mengkafani jenazah
Mengkafani jenazah adalah membalut
seluruh tubuhnya dengan kain dan sebagainya walaupun hanya dengan sehelai kain.
Mayat laki- laki sunat dikafani dengan tiga lapis kain putih. Hal ini sesuai
hadis Aisyah R.A:
Sementara itu, mayat perempuan sunat
mengkafaninya dengan lima lapis kain yang terdiri dari sehelai kain sarung,
selendang dan dua helai kain untuk membalut tubuh mayat/jenazah.
Persiapan dan perlengkapan yang akan dilakukan untuk mengkafani
jenazah adalah :
1. Kain
untuk mengkafani secukupnya dan diutamakan yang berwarna putih.
2. Kain
kafan untuk jenazah laki- laki terdiri dari tiga lembar, sedangkan kain kafan
untuk jenazah perempuan terdiri dari lima lembar kain, yaitu : kain basahan,
baju kurung, kerudung dan dua lembar kain penutup.
3. Sebaiknya
disediakan perlengkapan sebagai berikut:
a. Tali
sejumlah 3, 5, 7, atau 9 antara lain untuk ujung kepala, leher, pinggang/ pada
lengan tangan, perut, lutut, pergelangan kaki dan ujungkaki.
b. Kapas
secukupnya.
c. Kapur
barus atau pewangi secukupnya.
d. Meletakkan
kain memanjang searah tubuhnya di atas tali-tali yang telah disediakan.
e. Untuk
jenazah perempuan, aturlah kerudung/ mukena, baju dan kain basahan sesuai
dengan letaknya.
Setelah perlengkapan disediakan,
maka dilakukan dengan mengkafani jenazah dengan urutan sebagai berikut :
1. Pada
waktu hendak mengkafani dipasang lebih dahulu tirai (pendinding) supaya jenazah
itu tidak sampaidilihat orang lain/ selain orang yang mengkafani.
2. Kain
kafan telah dihamparkan dengan letak sebagai berikut:
a. Kain
kafan diletakkan pada urutan yang paling bawah yang telah ditaburi dengan
wangi-wangian seperti kapur barus. Dibawah kain kafan diletakkan tiga/ lima
buah tali yang di ambil dari pinggir kain kafan. Cara meletakkannya, satu helai
di ujung kepala, satu helai di pinggang dan satu helai lagi di ujung kaki.
Kedua tangannya diletakkan di dadanya seperti ketika melaksanakan solat.
b. Jenazah
diletakkan membujur di atas kain kafan dalam keadaan tertutup selubung kain.
c. Lepaskan
kain selubung dalam keadaan aurat tetap tertutup.
d. Jika
diperlukan, tutuplah dengan kapas lubang- lubang yang mengeluarkan cairan.
3. Bagi
jenazah laki-laki di tutup dengan tiga lapis kain secara rapi dan di ikat
dengan simpul disebelah kiri.
4. Bagi
jenazah yang berrambut panjang (permpuan) hendaklah rambutnya dikepang jika
memungkinkan.
5. Bagi
jenazah perempuan, kenakan(pakaian) lima lapis kain yaitu: kerudung, untuk
kepala, baju kurung , kain basahan penutup aurat dan dua lembar kain penutup
secara rapi serta di ikat dengan simpul disebelah kiri.
6. Setelah
tutup kepala, baju( bagi wanita) kain dan kapas dipakaikan, maka kain kapan
digulung dengan cara mempertemukan ujung kain sebelah kanan dan kiri satu
persatu, sejak dari leher sampai ke kaki kemudian di ikat dengan tali yang
telah diletakkan terlebih dahulu di bawah kain kafan yaitu di ujung sebelah
kaki dan pinggang, sedangkan yang sebelah atas masih terbuka sambil menanti
kerabatnya ziarah terakhir. Setelah kerabat dan familinya selesai berziarah,
maka disempurnakan gulungannya dan
7. kemudian
di ikat di ujung sebelah atas. Dan pertemuan ikatan itu sebaiknya dibuat
sebelah kiri jenazah.
3.
Menshalatkan jenazah
Dalam mensalatkan jenazah, terdapat
beberapa perbedaan dengan salat- salat pada umumnya karena ada rukun yang sama
dan adapula yang berbeda dengan rukun salat pada umumnya.
Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam melaksanakan salat jenazah, yaitu:[3]
a. Jenazah
diletakkan di arah kiblat( di depan imam apabila berjama’ah atau di depan orang
yang mensalatkannya apabila sendiri). Posisi jenazah, kepalanya sebelah kanan
dan kaki sebelah kiri imam.
b. Pada
jenazah laki- laki imamnya berdiri sejajar dengan dada jenazah, sedangkan
apabila jenazahnya perempuan, maka imam berdiri sejajar dengan pinggang
jenazah.
c. Setelah
jama’ah salat jenazah siap untuk melaksanakan salat jenazah tersebut, kemudian
berniatlah di dalam hati untuk melaksanakan salat jenazah.
Adapun rukun salat jenah adalah sebagai berikut :[4]
1. Niat dengan lafaz
2. Berdiri bagi yang kuasa tanpa
rukuk dan sujud.
3. Takbir empat kali dengan
urutan sebagai berikut :
Setelah berniat sebagaimana tersebut
di atas, lalu bertakbir dengan mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua
telinga atau sejajar kedua bahu dan diletakkan di dada.
a.
Sesudah takbir pertama, dibaca surat Al- Fatihah.
b.
Sesudah takbir kedua, dibaca salawat atas nabi.
c.
Sesudah takbir ketiga, dibaca do’a. Antara lain do’a yang dibaca
Rasulullah Saw sebagaimana hadis riwayat Muslim dan Nasa’i dari Auf bin Malik,
Rasulullah membaca :
اَللهُم اغْفِرْ لَهُ
ورْ حَمْهُ وَ عَا فِهِ وَا عْفُ عَنْهُ وَ اَ كْرِمْ نُزُ لَهُ وَوَ سعْ مَدْ
خَلَهُ وَ اغْسِلْهُ بِ الْمَا ءِ وَالثلجِ وَ الْبَرَدِ وَنَقهِ مِنَ الْخَطَا
يَا كَمَا يُنَقى الثوْ بُ الاَ بْييَضُ مِنَ الدنَسِ وَاَبْدِ لْهُ دَارَا
خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَاَهْلاً خَيْرًا مِنْ اَهْلِهِ وَزَوْجاً خَيْراً مِن
زَوْجِهِ وَ قِهِ مِنْ فِتْنَةِ عَذَابِ الْقَبرِ وَ عَذَابِ النار( متفق عليه )
d.
Sesudah takbir ke empat sesuai hadis riwayat Al- Hakim dibaca:
اَللهُم
لاَ تَحْرِمْناَ أَجْرَه ُوَلاَ تَفْتِنا َ وَا غْفِرْلنَا وَ لَه (رَوَاه
ُالحَا كِم
Apabila jenazahnya anak- anak, maka
do’anya sesudah takbir ketiga diganti dengan do’a berikut sebagaimana hadis
riwayat Al-Bukhori dan Al- Baihaqy :
اَللهُم اجعَله لَنا سَلَفًا وَزُخْرًا وَفَرَطًا ( رواه
البخارى و البيهقي )
Kemudian yang terakhir adalah
mengucap salam ke kanan dan kiri :
4.
Menguburkan jenazah
Kewajiban yang ke empat terhadap
jenazah ialah menguburkannya. hukum menguburkan jenazah adalah fardu kipayah
atas orang yang masih hidup. Dalamnya kuburan sekurang kurangnya
kira-kira tidak tercium bau busuk mayat itu dari atas kubur
dan tidak dapat dibongkar oleh binatang buas,sebab maksud
menguburkan mayat ialah untuk menjaga kehormatan mayat itu dan menjaga
kesehatan orang-orang yang ada di sekitar tempat itu.[5]
Sedangkan waktu penguburan secara
normal dapat dilakukan pada siang hari.Namun,penguburan dapat dilakukan juga
pada malam hari sebab rasulullah saw pernah menguburkan seseorang pada malam
hari ,Ali r.a. menguburkan Fatimah binti Muhammad,Abu bakar,Usman,Aisyah,dan
Ibnu Mas’ud juga dikuburkan pada malam hari sebagaimana sabda rasulullah
SAW.dari jabir r.a yang diriwayatkan ibnu.
Artinya’’:janganlah kamu
menguburkan jenazah pada malam hari kecuali dalam keadaan terpaksa’’(H.R.Sunan
Ibnu Majah no.1510 kitab ja’a fi al-janaiz)
Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam penguburan jenazah
ini antara lain adalah:[6]
a.
Ketika memasukkan mayat ke liang kubur hendaknya pekerja jenazah
untuk membaca’’.
b.
Khusus ketika memasukkan jenazah perempuan hendaklah di bentangkan
kain di atas liang kuburnya.
c.
Dua atau tiga orang dari keluarga terdekat
jenazah dan di utamakan yang tidak junub pada malam hari sebelumnya,
masuk kedalam liang kubur dengan berdiri untuk menerima jenazah.
d.
Adapun melepas tali-talinya dan membuka kain yang menutupi dan
jari-jari kakinya sehingga menempel ke tanah serta memasang bantalan tidak ada
tuntunan dari rasulullah SAW.
e.
Bagi pengiring jenazah yang tiba di kuburan ketika kubur bekum
selesai digali hendaklah duduk menghadap kiblat dan jangan duduk di atas
kuburan.
f.
Memintakan ampunan dan keteguhan dalam jawaban bagi jenazah
dan mendo’akannya sambil berdiri
g.
Jenazah diperbolehkan untuk di masukkan ke dalam peti jika
tanahnya berair atau jenazah dalam keadaan mudorat.[7]
h.
Dalam kondisi darurat boleh menguburkan dalam satu lubang dua mayat
atau lebih, dan yang lebih didahulukan adalah yang lebih afdhal di antara
mereka.
i.
Yang menurunkan mayat adalah kaum laki-laki meskipun mayatnya
perempuan.
j.
Menurut sunnah: memasukkan mayat dari arah belakang liang kubur.
k.
Meletakkan mayat di atas sebelah kanannya, wajahnya menghadap
kiblat.
DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algensindo
Bandung. 1994
Ali Imran Sinaga, Fiqih Taharah, Ibadah, Muamalah, Cita
Pustaka Media Perintis Bandung. 2011
Buku Ajar Praktik Ibadah, Fakultas Tarbiyah IAIN SU Medan.
2012
Praktikum Ibadah, Fakultas Ushuluddin IAIN SU Medan. 2012
http: //dear.to/ Abusalma, Ringkasan Cara Penyelenggaraan
Jenazah
[2]Ali Imran Sinaga, fiqih taharah, Ibadah, Muamalah, hal.81
[3] Buku Ajar Praktik Ibadah, Fakultas Tarbiyah
Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara,hal. 38
[4] Ibid ,hal. 39- 40
[5] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam Bandung
1994,hal.182
[6] Praktikum Ibadah, Fakultas Ushuluddin Institut Agama
Islam Negeri Sumatera Utara,2012, hal.31
[7]http://dear.to/abusalma, Ringkasan Cara Penyelenggaraan Jenazah, Mar 2, 08 10: 22 PM
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.......10
WAKALAH
·
Wakalah berfungsi memberikan kemudahan bagi pihak yang berhalangan
menunaikan kewajiban nya atau menerima haknya yakni dengan cara mewakilkan atau
memberi kuasa kepada orang lain. Wakalah adalah penyerahan perkara dari
seseorang kepada orang lain dalam melaksanakan suatu perbuatan yang dapat diganti
untuk dikerjakan semasa dia masih hidup.[3]
·
Rukun dan syarat wakalah (rukun):
1.
Muwakkil (orang yang mewakilkan).
2.
Wakil (yang mewakili)
3.
Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan)
4.
Sighat (lafaz mewakilkan).
·
Sulhu, memutuskan pertengkaran. Sayyid sabiq mengatakan sebagai
perhentian konflik. Terminologi, suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri
perlawanan (perselisihan) antara dua orang yang berlawanan.[4]
·
Kafalah, beban, jaminan, tanggungan. Istilah, menjamin tanggungan
orang yang dijamin dalam melaksanakan hak yang wajib baik seketika maupun yang
akan datang.
·
Ju’alah, istilah yang digunakan untuk sesuatu yang diberikan kepada
seseorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Menurut bahasa jualah juga
diartikan sebagai upah atas suatu prestasi baik perlombaan atau tugas tertentu.
Ex: siapa yang hafal Al-Qur’an dapat ini.
·
Arriyah (peminjaman), perbuatan pemberian milik untuk sementara
waktu oleh seseorang kepada pihak lain. Pihak menerima bisa menganbil manfaat
dan tanpa harus membayar imbalan & nanti wajib mengenbalikan harta yang
dipinjam kepada pemiliknya.
·
Rahn (gadai) artinya, kekal, tetap, jaminan. Istilah menjadikan
barang yang bernilai sebagai tanggungan utang. Qs. Al-Baqarah 28 “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalat
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...11
SYIRKAH
·
Syirkah, artinya percampuran, yakni mencampurkan suatu harta dengan
harta yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ulama mesir
mazhab maliki dna hanafi membagi 4:
a.
Syirkah inan, syirkah yang dilakukan dua orang atau lebih dalam hal
permodalan untuk suatu usaha bersama dan kemudian membagi untung dan ruginya
bersama-sama sesuai model masing-masing.
b.
Musyaqah, kerja sama dalam perawatan tanman dengan imbalan bagian
dari hasil yang diperoleh dari tanman tersebut. Al-Musaqah, penyerahan bidang
kebun kepada petani untuk di garap dan dirawat dengan ketentuan petani
mendapatkan bagian dari hasil kebun itu.
c.
Muzaro’ah, menumbuhkan, aqad tanman dengan beberapa pihak lain,
ulama maliki”kerjasama dalam pertanian”. Muzara’ah benihnya dari petani.
Mengenai boleh tidkanya muzara’ah ulam berbeda pendapat, hanfiah dan syafi’i
tidak memperbolehkan akad muzara’ah sedangkan malik dan ahmad boleh.
d.
Mukhabarah benihnya dari dari yang punya tanah.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...12
BANK
·
Bank, dari italia “banca” artinya ‘meja” atau tempat menukar uang (kasmir,
manajemen perbankan. Istilah lembaga keuangan yang usaha pokonya memberikan
kredit dan jasa di lalu lintas dan peredaran uang.[5]
·
Asal mula bak itu tempat penukaran uang. Sejarah bank dimulai dari
wilayah benua eropa jaman babylonia. Di ingris perbankan dimulai abad 16.[6]
·
Ulama beda pendapat tentang bank:
a.
Haram, abu zahra, muslim haram hubungan dnegan bank memakai sistem
bunga, kecuali darurat.
b.
Tidka haram, syeikh syalhut A. Hasan, bermuamalah dengan bank tidka
terlarang, bunga bank di indonesia tidak bersifat ganda.
c.
Syubhat, bak perkara belum jelas ada nas.
·
Karena kepentingan umum dan manfaat sosial yang berarti bagi umat,
maka berdasarkan kaidah ushul (maslahah mursalah), bank masih tetap digunakan
dan dibolehkan.
·
Asuransi, bahasa belanda assurantie (penanggung), prancis
“assurance” (mennaggung sesuatu yang pasti terjadi). Ingris “insurance”
asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dimana pihak penanggung
menerima asuransidari tertanggung, dengan imbalan kewajiban untuk menanggung
kerugian/kerusakan yang diderita tertanggung.
·
Hukum ada yang haram, boleh, dan ketiga asuransi sosial boleh dan
komersial haram. Asuransi islam, kerja sama.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
BANK
A.
Pengertian Bank Umum
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatanya memberikan pelayanan jasa dalam lalu lintas perbayaran. Sifat
jasa yang diberikan adalah umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa
perbankan yang ada. Begitu pula dengan wilayah operasinya yang dapat dilakukan
diseluruh wilayah Indonesia, bahkan keluar negeri atau (cabang). Bank umum
sering disebut bank komersil(commercial bank).[1]
B.
Fungsi-Fungsi Pokok Bank Umum
Dalam memberikan pelayanan kepada
nasabah, bank berupaya secara maksimal memenuhi keinginan nasabah, seperti:
1. Menghimpun
dana dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman.
2. Menyediakan
mekanisme dan alat pembayaran yang efesien dalam kegiatan ekonomi.
3. Menciptakan
uang melalui pembayaran kredit dan investasi.
4. Menyediakan
jasa pengelolaan dana dan trust atau wali amanat kepada individu dan
perusahaan.
5. Menyediakan
fasilitas untuk perdagangan internasional.
6. Memberikan
pelayanan penyimpanan untuk barang-barang berharga.
7. Menawarkan
jasa-jasa keuangan lain misalnya kartu kredit, cek perjalanan (traveler’s
check), ATM, transfer dana, dan sebagainya.[2]
C.
Kegiatan Bank Umum.
Bank umum atau yang lebih dikenal
bank komersil merupakan bank yang banyak beredar di Indonesia. Bank umum juga
memilki berbagai unggulan jika dibandingkan dengan BPR., baik dalam bidang
ragam pelayanan mauoun jangkauan wilayah operasi. Artinya bank umum memiliki
kegiatan pemberian jasa yang paling lengkap dan beroperasi di seluruh wilayah
Indonesia.
Dalam praktiknyan ragam produk tergantung
dari status bank yang bersangkutan. Menurut stutus bank umum dibagi menjadi dua
jenis yaitu, bank umum devisa dan bank umum non devisa. Masing-masing
status memberikan pelayanan yang berbeda. Bank umum devisa misalnya memilki
jumlah layanan jasa yang paling lengkap seperti dapat melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan jasa luar negeri. Sedangkan bank umum non devisasebaliknya
tidak dapat melayani jasa yang berhunungan dengan luar negeri.[3]
Kegiatan bank umum secara lengkap meliputi kegiatan sebagai berikut
:
1. Menghimpun Dana (Funding)
Kegiatan menghimpun dana merupakan
kegiatan membeli dana dari masyarakat. Kegiatan ini dikenal juga dengan kegiatan funding.
Kegiatan membeli dana dapat dilakukan dengan cara menawarkan berbagai jenis
simpanan. Simpanan sering disebut dengan nama rekening atau account.
Jenis-jenis simpanan yang ada dewasa ini adalah:
a. Simpanan
Giro (Demand Deposit),
Simpanan giro merupakan simpanan
pada bank yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek atau bilyet
giro. Kepada setiap pemegang rekening giro akan diberikan bunga yang dikenal
dengan nama jasa giro. Besarnya jasa giro tergantung dari bank yang bersangkutan.
Rekening giro biasa digunakan oleh para usahawan, baik untuk perorangan maupun
perusahaannya. Bagi bank jasa giro merupakan dana murah karena bunga yang
diberikan kepada nasabah relatif lebih rendah dari bunga simpanan lainnya.
b. Simpanan
Tabungan (Saving Deposit),
Merupakan simpanan pada bank yang
penarikan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh bank. Penarikan
tabungan dilakukan menggunakan buku tabungan, slip penarikan, kuitansi atau
kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Kepada pemegang rekening tabungan akan
diberikan bunga tabungan yang merupakan jasa atas tabungannya. Sama seperti
halnya dengan rekening giro, besarnya bunga tabungan tergantung dari bank yang
bersangkutan. Dalam praktiknya bunga tabungan lebih besar dari jasa giro.
c. Simpanan
Deposito (Time Deposit).
Deposito merupakan simpanan yang
memiliki jangka waktu tertentu (jatuh tempo). Penarikannyapun dilakukan sesuai
jangka waktu tersebut. Namun saat ini sudah ada bank yang memberikan fasilitas
deposito yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat. jenis depositopun
beragam sesuai dengan keinginan nasabah. Dalam praktiknya jenis deposito
terdiri dari deposito berjangka, sertifikat deposito dan deposit on call.[4]
2. Menyalurkan Dana (Lending)
Menyalurkan dana merupakan kegiatan
menjual dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat. Kegiatan ini dikenal
dengan nama kegiatan Lending. Penyaluran dana yang dilakukan oleh bank dilakukan
melalui pemberian pinjaman yang dalam masyarakat lebih dikenal dengan nama
kredit. Kredit yang diberikan oleh bank terdiri dari beragam jenis, tergantung
dari kemampuan bank yang menyalurkannya. Demikian pula dengan jumlah serta
tingkat suku bunga yang ditawarkan.
Sebelum kredit dikucurkan bank
terlebih dulu menilai kelayakan kredit yang diajukan oleh nasabah. Kelayakan
ini meliputi berbagai aspek penilaian. Penerima kredit akan dikenakan bunga
kredit yang besarnya tergantung dari bank yang menyalurkannya. Besar kecilnya
bunga kredit sangat mempengaruhi keuntungan bank, mengingat keuntungan utama
bank adalah dari selisih bunga kredit dengan bunga simpanan. Secara umum
jenis-jenis kredit yang ditawarkan meliputi :[5]
a. Kredit
Investasi,
Yaitu merupakan kredit yang
diberikan kepada pengusaha yang melakukan investasi atau penanaman modal.
Biasanya kredit jenis ini memiliki jangka waktu yang relatif panjang yaitu di
atas 1(satu) tahun. Contoh jenis kredit ini adalah kredit untuk membangun
pabrik atau membeh peralatan pabrik seperti mesin-mesin.
b. Kredit
Modal Kerja.
Merupakan kredit yang digunakan
sebagai modal usaha. Biasanya kredit jenis ini berjangka waktu pendek yaitu
tidak.lebih dari 1 (satu) tahun. Contoh kredit ini adalah untuk membeli bahan
baku, membayar gaji karyawan dan modal kerja lainnya.
c. Kredit
Perdagangan,
Merupakan kredit yang diberikan
kepada para pedagang dalam rangka memperlancar atau memperluas atau memperbesar
kegiatan perdagangannya. Contoh jenis-kredit ini adalah kredit untuk membeli
barang dagangan yang diberikan kepada para suplier atau agen.
d. Kredit
Produktif.
Merupakan kredit yang dapat berupa
investasi, modal keda atau perdagangan. Dalam arti kredit ini diberikan untuk
diusahakan kembali sehingga pengembalian kredit diharapkan dari hasil usaha
yang dibiayai.
e. Kredit
Konsumtif,
Merupakan kredit yang digunakan
untuk keperluan pribadi misainya keperluan konsumsi, baik pangan, sandang
maupun papan. Contoh jenis kredit ini adalah kredit perumahan, kredit
kendaraan bermotor yang kesemuanya untuk dipakai sendiri.
f. Kredit
Profesi,
Merupakan kredit yang diberikan
kepada para kalangan profesional seperti dosen, dokter atau pengacara.[6]
3. Memberikan jasa- jasa Bank Lainnya (Services)
Jasa-jasa bank lainnya merupakan
kegiatan penunjang untuk mendukung kelancaran kegiatan menghimpun dan
menyalurkan dana. Sekalipun sebagai kegiatan penunjang, kegiatan ini sangat
banyak memberikan keuntungan bagi bank dan nasabah, bahkan dewasa ini kegiatan
ini memberikan kontribusi keuntungan yang tidak sedikit bagi keuntungan bank,
apalagi keuntungan dari spread based semakin mengecil, bahkan cenderung negatif
spread (bunga simpanan lebih besar dari bunga kredit).[7]
Semakin lengkap jasa-jasa bank yang
dapat dilayani oleh suatu bank maka akan semakin baik. Kelengkapan ini
ditentukan dari permodalan bank serta kesiapan bank dalam menyediakan SDM yang
handal. Disamping itu ,juga perlu didukung oleh kecanggihan teknologi yang
dimilikinya. Dalam praktiknya jasa-jasa bank yang ditawarkan meliputi :
a. Kiriman
Uang (Transfer)
Merupakan jasa pengiriman uang lewat
bank. Pengiriman uang dapat dilakukan pada bank yang sama atau bank yang
berlainan. Pengiriman uang juga dapat dilakukan derigan tujuan dalam kota, luar
kota atau luar negeri. Khusus untuk pengiriman uang keluar negeri harus melalui
bank devisa. Kepada nasabah pengirim dikenakan biaya kirim yang besarnya
tergantung dari bank yang bersangkutan. Pertimbangannya adalah nasabah bank yang
bersangkutan (memiliki rekening di bank yang bersangkutan) atau bukan. Kemudian
juga jarak pengiriman antar bank tersebut.
b. Kliring
(Clearing)
Merupakan penagihan warkat
(surat-surat berharga seperti cek, bilyet giro) yang berasal dari dalam kota.
Proses penagihan lewat kliring hanya memakan waktu 1 (satu) hari. Besarnya
biaya penagihan tergantung dari bank yang bersangkutan.
c. Inkaso
(Collection)
Merupakan penagihan warkat
(surat-surat berharga seperti cek, bilyet giro) yang berasal dari luar kota
atau luar negeri. Proses penagihan lewat inkaso tergantung dari jarak lokasi
penagihan dan biasanya memakan waktu 1 (satu) minggu sampai 1 (satu) bulan.
Besarnya biaya penagihan tergantung dari bank yang bersangkutan dengan
pertimbangan jarak serta pertimbangan lainnya.
d. Safe
Deposit Box
Safe Deposit Box atau dikenal dengan
istilah safe loket jasa pelayanan ini memberikan layanan penyewaan box atau
kotak pengaman tempat menyimpan surat-surat berharga atau barang-barang
berharga milik nasabah. Biasanya surat-surat atau barang-barang berharga yang
disimpan di dalam box tersebut aman dari pencurian dan kebakaran. Kepada
nasabah penyewa box dikenakan biaya sewa yang besarnya tergantung dari ukuran
box serta jangka waktu penyewaan.
e. Bank
Card (Kartu kredit)
Bank card atau lebih populer dengan
sebutan kartu kredit atau juga uang plastik. Kartu ini dapat dibelanjakan di
berbagaf tempat perbelanjaan atau tempat-tempat hiburan. Kartu ini juga dapat
digunakan untuk mengambil uang tunai di ATM-ATM yang tersebar diberbagai,
tempat yang strategis. Kepada pemegang kartu kredit dikenakan biaya iuran
tahunan yang besarnya tergantung dari bank yang mengeluarkan. Setiap
pembelanjaan memiliki tenggang waktu pembayaran dan akan dikenakan bunga dari
jumlah uang yang telah dibelanjakan jika melewati tenggang waktu yang telah
ditetapkan.
f. Bank Notes
Merupakan jasa penukaran valuta
asing. Dalam jual beli bank notes bank menggunakan kurs (nilai tukar rupiah
dengan mata uang asing).
g. Bank
Garansi
Merupakan jaminan bank yang
diberikan kepada nasabah dalam rangka membiayai suatu usaha. Dengan jaminan
bank ini si pengusaha memperoleh fasilitas untuk melaksanakan kegiatannya
dengan pihak lain. Tentu sebelum jaminan bank dikeluarkan bank terlebih dulu
mempelajari kredibilitas nasabahnya.
h. Bank
Draft
Merupakan wesel yang dikeluarkan
oleh bank kepada para nasabahnya. Wesel ini dapat diperjualbelikan apabila
nasabah membutuhkannya.
i. Letter
of Credit (L/C)
Merupakan surat kredit yang
diberikan kepada para eksportir dan importir yang digunakan untuk melakukan
pembayaran atas transaksi ekspor-impor yang mereka lakukan. Dalam transaksi
ini terdapat berbagai macam jenis L/C, sehingga nasabah dapat meminta sesuai
dengan kondisi yang diinginkannya.
j. Cek
Wisata (Travellers Cheque)
Merupakan cek perjalanan yang biasa
digunakan oleh turis atau wisatawan. Cek Wisata dapat dipergunakan sebagai alat
pembayaran diberbagai tempat pembelanjaan atau hiburan seperti hotel,
supermarket. Cek Wisata juga bisa digunakan sebagai hadiah kepada para
relasinya.
k. Menerima
setoran-setoran.
Dalam hal ini bank membantu
nasabahnya dalam rangka menampung setoran dari berbagai tempat antara lain :
– Pembayaran pajak
– Pembayaran telepon
– Pembayaran air
– Pembayaran listrik
– Pembayaran uang kuliah
l. Melayani
pembayaran-pembayaran.
Sama halnya seperti dalam hal
menerima setoran, bank juga melakukan pembayaran seperti yang diperintahkan
oleh nasabahnya antara lain :
– Membayar Gaji/Pensiun/honorarium
– Pembayaran deviden Pembayaran kupon
– Pembayaran bonus/hadiah
m. Bermain di
dalam pasar modal.
Kegiatan bank dapat memberikan atau
bermain surat-surat berharga di pasar modal. Bank dapat berperan dalam berbagai
kegiatan seperti menjadi :
– Penjamin emisi (underwriter)
– Penjamin (guarantor)
– Wali amanat (trustee)
– Perantara perdagangan efek (pialang/broker)
– Pedagang efek (dealer)
– Perusahaan pengelola dana (invesment company)[8]
D.
Sumber dan Alokasi Dana Bank
Pemenuhan kebutuhan dana bank dapat
dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dari bank itu sendiri yang berupa
modal disetor ( net wort ), masyarakat, dan lembaga keuangan.
1. Sumber
dana yang berasal dari bank itu sendiri (modal disetor) bersifat permanen dan
asalnya dari pemegang saham.
2. Sumber
dana yang berasal dri masyarakat luas dapat berupa giro (demand deposit ),
deposito berjangka (time deposit) dan tabungan (saving deposit).
3. Sumber
dana bank yang berasal dari lembaga keuangan adalah pinjaman dari bank lain
serta pinjaman dari bank sentral.
Dana bank yang di pegang dalam
bentuk uang kas merupakan cadangan primer (primary reserve). Cadangan primer
ini dikenal sebagai likuiditas minimum yang harus di pelihara oleh bank umum.
Bank sentral menetapkan beberapa persen dari total dana yang harus dipegang
dalam bentuk uang kas.
Alokasi dana bank yang kedua berupa
pinjaman (kredit). Pinjaman yang diberikan bank kepada masyarakat ini bisa
dalam jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang. Pinjaman yang
diberikan bank kepada masyarakat akan mempengaruhi keputusan-keputusan
manajemen suatu bank umum.
Alokasi dana yang ketiga adalah
untuk cadangan sekunder, yaitu berupa pembelian surat-surat berharga.
Surat-surat berharga ini dapat berupa surat berharga jangka pendek dan
jangka panjang. Dengan adanya kekayaan berupa surat berharga ini bank bisa
memenuhi kebutuhan dananya dalam jangka pendek dengan menjual surat berharga
jangka pendek. Alokasi dana yang keempat berupa pembelian kekayaan lain-lain
dapat berupa penanaman dalam harta tetap dan inventaris seperti gedung, tanah,
dan sebagainya.
E.
Pengertian BPR.
Pengertian BPR menurut UU Perbankan
Nomor 7 Tahun 1992 adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya
dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Adanya
perkembangan lembaga keuangan BPR pasca UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992
tersebut dan kondisi lembaga keuangan pada umumnya terutama pada masa dan pasca
krisis moneter tahun 1997, maka pengertian BPR mengalami perubahan dengan
munculnya UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 pasal 1. Dalam UU Perbankan Nomor 10
Tahun 1998 pasal 1 disebutkan bahwa BPR adalah lembaga keuangan bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip
Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Dengan demikian ada dua pengertian BPR, yaitu BPR yang melaksanakan
kegiatan usahanya secara konvensional yang tidak diperkenankan melakukan
kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah (selanjutnya disebut dan ditulis BPR) dan
BPR yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah yang tidak
diperkenankan melakukan kegiatan secara konvensional (selanjutnya disebut dan
ditulis Bank Syariah). [9]
F.
Kegiatan BPR.
Kegiatan usaha BPR meliputi usaha
untuk menghimpun dan menyalurkan dana dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang
diperoleh dari spread effect dan pendapatan lain. Adapun usaha-usaha
BPR adalah:
1. Menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan,
dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2. Memberikan
kredit.
3. Menempatkan
dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka,
sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain. SBI adalah sertifikat
yang ditawarkan Bank Indonesia kepada BPR apabila BPR
mengalami overlikuiditas.
G.
Kegiatan Usaha Yang Dilarang Dilakukan BPR.
Agar peranan BPR sebagai penghimpun
dan penyalur dana khususnya untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan
kelompok pengusaha ekonomi lemah yang belum mampu melakukan akses ke lembaga
keuangan yang sudah ada dapat optimal, maka BPR dilarang melakukan kegiatan
usaha sebagai berikut:
1. Menerima
simpanan berupa giro.
2. Melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing.
3. Melakukan
usaha perasuransian.
4. Melakukan
usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana yang dimaksud dalam usaha BPR.[10]
H. Alokasi kredit BPR
Dalam menyalurkan (mengalokasikan)
dana dari kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang masih mempunyai
kelebihan pendapatan kepada kelompok pengusaha ekonomi lemah yang membutuhkan
dana tetapi belum mampu melakukan akses ke lembaga keuangan lain, BPR harus
memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Dalam
memberikan kredit, BPR wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan
kesangguapan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan perjanjian.
2. Dalam
memberikan kredit, BPR wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai batas
maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan, atau hal lain yang serupa, yang
dapat dilakukan oleh BPR kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait,
termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan BPR
tersebut. Batas maksimum tersebut adalah tiak melebihi 30% dari modal yang
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.
3. Dalam
memberikan kredit, BPR wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai batas
maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan, atau hal lain yang serupa, yang
dapat dilakukan oleh BPR kepada pemegang saham (dan keluarga) yang memiliki 10%
atau lebih dari modal disetor, anggota dewan komisaris (dan keluarga), anggota
direksi (dan keluarga), pejabat BPR lainnya, serta perusahaan-perusahaan yang
didalamnya terdapat kepentingan dari pihak pemegang saham (dan keluarga) ang
memiliki 10% atau lebih dari modal disetor, anggota dewan komisaris (dan
keluarga), anggota direksi (dan keluarga), pejabat BPR lainnya. Batas maksimum
tersebut adalah tidak melebihi 10% dari modal yang sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan Bank Indonesia.[11]
FOOTNOTE
[1] Kasmir,
Bank dan lembaga keuangan Lainnya, PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2002,
hlm 19
[2] Subagyo,
Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Yogyakarta: YKPN, 2002, hlm
[3] Kasmir,
Op.Cid., hlm 30
[4] Ibid., hlm
31
[5]Ibid., hlm 32
[6] Ibid., hlm
333
[7] Ibid., hlm
334
[8] Subagyo, Op.Cit., hlm
33-37
[9] Subagyo, Op.
Cit., hlm.118-119.
[10] Ibid,
hlm.120.
[11] Ibid,
hlm.120-121.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....13
SEDEKAH
·
Sedekah, tindakan yang benar. Sedekah luas: tasbih, tahlil, tahmid,
senyum.
·
Hibah pemberian dari orang yang sah kepada orang lain dengan harta
yang diketahui tanpa imbalan. Atau memebrikan barang/harta tanpa sebabnya.
·
Hadiah, untuk mewujudkan kasih sayang antara sesama mansuia dan
maksud tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan memberikan balasan serupa.
Hadiah menjadikan orang menimbulkan kecintaan kepadanya.
·
Wakaf, manahan pokok harta dan membelanjakan hasilnya (dijalan
kebaikan), rumah wakaf lalu di sewakan.
·
Rukun:
1.
Waqif (pewakaf)
2.
Mauquf (benda)
3.
Al-mauquf alaih (penerima waqaf harus jelas)
4.
Shigat waqaf.
[1] Hendi suhendi, fiqh muamalah, jakarta, raja grafindo persada, 2007,
39.
[2] Ahmad wardi muslich, fiqh muamalat, jakarta, amzah, 2010, 257.
[3] Abu bakar usman dalam isnawi rais dan hasanuddin, fiqh munakahat,
jakarta, lembaga penelitian UIN Jakarta, 2011, 179.
[4] Sayyid sabiq dalam isnawati rais dan hasanudin, 193
[5]Kasmir, manajemen perbankan, jakarta, PT Raja Grafindo, 2002, 12.
[6] Ahmad wardi muslich, fiqh muamalat, jakarta, amzah 2013, 498.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar