Selasa, 24 April 2018

Fiqh Ibadah & Muamalah Bagian II (Dua)


direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).”
Dan Dalam hadits dinyatakan,dari Abu Hurairah r.a. berkata,bahwasanya Rasulullah Saw.  bersabda :
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mempunyai kemudahan untuk berkurban, namun ia belum berkurban, maka janganlah sekali-kali ia mendekati tempat sholat kami." Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim. Hadits mauquf menurut para imam hadits selainnya. [9][10]
1.      Ketentuan Hewan Qurban
Yang dimaksud dengan hewan qurban tersebut adalah binatang ternak yang dipelihara dan dikomsumsi dagingnya, misalnya unta, sapi, kerbau, kambing, atau domba. Binatang yang sah untuk menjadi qurban, ialah yang tidak mempunyai cacat seperti ; pincang, sangat kurus, sakit, terpotong telinganya, dll.[10][11]Dikatakan syah, jika binatang tersebut memenuhi syarat-syarat binatang/hewan yang telah ditetap kan syariat.[11][12] Adapun syarat-syarat binatang/hewan untuk dijadikan qurban adalah :
Cukup umurnya:
a.       Domba sekurang-kurangnya berumur satu tahun;
b.      Kambing, sekurang-kurangnya berumur dua tahun;
c.       Unta sekurang-kurangnya berumur empat tahun dan masuk tahun kelima;
d.      Sapi, sekurang-kurangnya berumur dua tahun dan masuk tahun ketiga .
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jangan menyembelih kecuali hewan yang umurnya masuk tahun ketiga. Bila engkau sulit mendapatkannya, sembelihlah kambing yang umurnya masuk tahun kelima." Riwayat Muslim.
e.       Tidak cacat , Tidak sakit, Tidak pincang,Tidak buta, Tidak kurus, Tidak putus telinga atau tanduknya.[12][13]. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW :
Al-Bara' Ibnu 'Azib Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berdiri di tengah-tengah kami dan bersabda: "Empat macam hewan yang tidak boleh dijadikan kurban, yaitu: yang tampak jelas butanya, tampak jelas sakitnya, tampak jelas pincangnya, dan hewan tua yang tidak bersum-sum." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi dna Ibnu Hibban
2.      Waktu penyembelihan Qurban
Waktu penyembelihannya ialah sesudah shalat ‘Idul Adha, dan akhir waktunya ialah ‘Ashar hari tasyriq, yakni sejak tanggal 10 Dzulhijah hingga terbenamnya matahari tanggal 13 Dzulhijah.
Jundab Ibnu Sufyan Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mengalami hari raya Adlha bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Setelah beliau selesai sholat bersama orang-orang, beliau melihat seekor kambing telah disembelih. Beliau bersabda: "Barangsiapa menyembelih sebelum sholat, hendaknya ia menyembelih seekor kambing lagi sebagai gantinya; dan barangsiapa belum menyembelih, hendaknya ia menyembelih dengan nama Allah." Muttafaq Alaihi.
3.      Sunnah-sunnah waktu menyembelih Qurban
Disunnahkan sewaktu menyembelih korban beberapa perkara berikut ini :
Membaca “Bismillah Wallahu Akbar” dan Shalawat atas Nabi s.a.w.
Orang yang berkurban sendiri disunnatkan menyembelihnya, dan jika ia  wakil menyembelihkannya, maka disunnatkan ia hadir ketika menyembelih.
Berdoa supaya kurban diterima Allah.
                            Sunnat membaca do’a :
بِسْمِ اَللَّهِ, اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ, وَمِنْ أُمّةِ مُحَمَّدٍ )
"Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah (kurban ini) dari Muhammad, keluarganya, dan umatnya." Kemudian beliau berkurban dengannya.”
Binatang yang disembelih disunnatkan dihadapkan ke kiblat.[13][14]
4.      Hikmah Qurban
   Qurban merupakan satu bentuk ibadah yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi illahiyah dan dimensi social. Melaksanakan qurban berarti mentaati syariat Allah swt, yang membawa pahala baginya. Selain itu, qurban berarti memberikan kebahagian bagi orang lain, khususnya faqir miskin untuk dapat menikmati daging hewan qurban.[14][15]
Ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil dari disyariatkannya qurban, antara lain :
         Akan menambah cinta dan keimanannya kepada Allah Swt.
         Sebagai rasa syukur pada Allah Swt. atas karunia yang dilimpahkan pada dirinya.
         Menambah rasa peduli dan tolong-menolong kepada orang lainyang kurang mampu.
         Akan menambah persatuan dan kesatuan karena ibadah kurban melibatkan seluruh lapisan masyarakat.[15][16]

A.    AQIQAH
Setiap Muslim pasti menginginkan anak yang shaleh dan shalehah, berbakti kepada orang tua, agama, bangsa, dan Negara. Usaha untuk menjadikan anak shaleh dan shalehah, antara lain dengan memberii bekal, ilmu pengetahuan yang cukup. Salah satu hal yang tidak kalah penting tugas kedua orang tua kepada anak adalah memberikan nama yang baik bagi anaknya yang lahir.[16][17
1.      Pengertian Aqiqah
Aqiqah menurut bahasa berarti “bulu” atau “rambut” anak yang baru lahir. Sedangkan menurut istilah berarti : menyembelih hewan tertentu sehubungan dengan kelahiran anak, sesuai dengan ketentuan syara’.[17][18]Sedangkan menurut pendapat lain adalah menyembelih kambing pada hari ketujuh dari kelahiran seorang bayi. Apabila bayi yang lahir itu laki-laki, aqiqahnya adalah duaekor kambing. Apabila bayi itu perempuan, aqiqahnya satu ekor kambing. Bersamaan dengan hari pemotongan hewan aqiqah, bayi tersebut diberi nama yang baik dan dicukur rambutnya.[18][19]
Aqiqah hukumnya sunat bagi orang yang wajib menanggung nafkah si anak.[19][20] Asal sunat menyembelih aqiqah itu sesuai dengan hadits Aisyah dan Samurah, bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda :
Dari Samurah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya; ia disembelih hari ketujuh (dari kelahirannya), dicukur, dan diberi nama." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi.
2.      Ketentuan hewan Aqiqah
Hewan aqiqah adalah kambing atau domba. Bagi anak laki-laki dua ekor kambing sedangkan bagi anak perempuan satu ekor kambing. Sebagaimana hadis Nabi Saw, yang berbunyi :
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar beraqiqah dua ekor kambing yang sepadan (umur dan besarnya) untuk bayi laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan. Hadits shahih riwayat Tirmidzi.[20][21]
Binatang yang sah untuk menjadi aqiqah sama halnya dengan hewan/binatang yang sah untuk berqurban, baik dari segi umurnya, macam-macamnya, dan tanpa cacat.[21][22]
3.       Waktu Pelaksanaan
Pelaksanaan akikah disunnahkan pada hari yang ketujuh dari kelahiran, ini berdasarkan sabda Nabi Saw, yang telah disebutkan diatas
Dan bila tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka bisa dilaksanakan pada hari ke empat belas, dan bila tidak bisa, maka pada hari ke dua puluh satu, ini berdasarkan hadis Abdullah Ibnu Buraidah dari ayahnya dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, beliau berkata yang artinya: “Hewan akikah itu disembelih pada hari ketujuh, keempat belas, dan keduapuluhsatu.” (Hadis hasan riwayat Al Baihaqiy)
Sedangkan untuk Bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh disunnahkan juga untuk disembelihkan akikahnya, bahkan meskipun bayi yang keguguran dengan syarat sudah berusia empat bulan di dalam kandungan ibunya. Namun bila seseorang yang belum di sembelihkan hewan akikah oleh orang tuanya hingga ia besar, maka dia bisa menyembelih akikah dari dirinya sendiri, Syaikh Shalih Al Fauzan berkata: Dan bila tidak diakikahi oleh ayahnya kemudian dia mengaqiqahi dirinya sendiri maka hal itu tidak apa-apa.[22][23]
4.      Hikmah disyariatkannya Aqiqah
Ada beberapa fungsi atau hikmah bagi orang-orang yang mengerjakan aqiqah, antara lain :
a.       Sebagai bukti rasa sukur orang tua kepada Allah swt, atas nikmat yang diberikannya berupa anak.
b.      Membiasakan bagi orang tua untuk berqorban demi kepentingan anaknya yang baru lahir.
c.       Sebagai penebus gadai anak dari Allah swt, sehingga anak menjadi hak baginya dalam beramal dan beribadah.
d.       Hubungan dengan tetangga dan sanak kerabat lebih erat dengan adanya pembagian daging aqiqah.
e.       Sebagai wujud menteladani sunah Rasulullah saw, sehingga akan memperoleh nilai pahala disisi Allah swt.
f.        Menghilangkan gangguan dari sesuatu yang tidak baik terhadap  si anak.[23][24]
[1][1] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal 5
[2][2] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta : Attahiriyah, cetakan ke 17, 1954, hal 442
[3][3] Muhammad Cholis, dkk, Pendidikan Agama Islam, Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang, 2010, hal 50
[4][4] Muhammad Cholis, dkk, Pendidikan Agama Islam, Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang, 2010, hal 50
[5][5] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal 5
[6][6] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal 6
[7][7] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta : Attahiriyah, cetakan ke 17, 1954, hal 444
[8][9] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal 13
[9][10] Muhammad Cholis, dkk, Pendidikan Agama Islam, Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang, 2010, hal 50
[10][11] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta : Attahiriyah, cetakan ke 17, 1954, hal 448
[11][12] Muhammad Cholis, dkk, Pendidikan Agama Islam, Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang, 2010, hal 54
[12][13] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal 15-16 lihat juga di Sulaiman Rasjid, fiqih Islam, hal : 448, juga Moh Rifa’I, Pendidikan Madrasah Aliyah, hal 173
[13][14] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta : Attahiriyah, cetakan ke 17, 1954, hal 450
[14][15] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal 18
[15][16] Moh Rifa’i,Fiqih untuk Madrasah Aliyah, Semarang : PT Wicaksana, 1991, hal : 180
[16][17] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal 25
[17][18] Muhammad Cholis, dkk, Pendidikan Agama Islam, Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang, 2010, hal 52
[18][19] Dian Rosyidah, dkk, hal : 26
[19][20] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta : Attahiriyah, cetakan ke 17, 1954, hal 452
[20][21] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal 27
[21][22] Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta : Attahiriyah, cetakan ke 17, 1954, hal 253
[22][23] Muhammad Cholis, dkk, Pendidikan Agama Islam, Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang, 2010, hal 60
[23][24] Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008, hal 27
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX 
KHITAN
A.    Pengertian Khitan Atau Sirkumsisi
Ada beberapa arti dari kata khitan.Khitan ini menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja (خَتَنَ  ) yang artinya memotong sesuatu. Adapun menurut bahasa Latinya : Khitan – Circumsio. Ibnu Faris berpendapat bahwa khitan  berasal dari kata  ” khatana” yang artinya ” memotong ” . Arti lainya adalah khatan, yaitu jalinan persaudaraan, bagi perempuan ada yang mengistilahkan khifadh. Kata khitan berasal dari bahasa Arab al- khitanu  yang berarti memotong kulup ( kulit )  yang menutupi ujung penis.
Ada pula yang berpendapat, bahwa istilah khitan berlaku   baik bagi laki – laki maupun perempuan. Makna asli kata khitan dalam bahasa Arab adalah bagian kemaluan laki – laki atau perempuan yang dipotong.
Khitan menurut istilah Syar’iyah, yaitu memotong, membuang kulup kemaluan anak laki- laki, sehingga kepala kemaluan terbuka semua.
Menurut syara’, definisi yang diberikan oleh para ulama juga berbeda pengertian khitan menurut bahasa seperti terurai diatas. Ibnu Hajar mengatakan, bahwa al – Khitan adalah isim masdar dari kata khatana yang berarti memotong, sama dengan khitan yang berarti memotong sebagian benda khusus dari anggota badan yang khusus pula.
Selain itu, sebagaimana dikemukakan oleh DR.Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyah Aulad Fi Al Islam,khitan bisa juga berarti bagian yang dipotong atau tempat timbulnya konsekuensi  syara;, sebagaimana diungkapkan dalam  hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a;
اِذَا اْلْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila bertemu dua bagian yang dikhitan, maka diwajibkan mandi’ ( H.R.Ahmad,Tirmidzi dan Nasai ).
Dari  riwayat Yunus menurut Imam Muslim dikatakan bahwa al-ikhtitan atau  al- khitan berarti ” Nama pekerjaan orang yang mengkhitan’.
Menurut pandangan medis, khitan ( sirkumsisi, sunat )  adalah  tindankan pembuangan dari sebagian atau seluruh kulup ( prepusium ) penis dengan tujuan tertentu.
Melihat dari arti katanya saja sebenarnya sudah tidak perlu lagi beradu argumen tentang harus tidaknya atau perlu tidaknya seseorang bayi perempuan dikhitan. Sebagian ahli yang berpendapat, bahwa makna asli bahasa Arab dari khitan adalah memotong sebagian kulit kemaluan pria atau wanita, bagian yang dipotong dinamakan quluf, yaitu bagian ujung dari kulit kemaluan.
B.     Sejarah Khitan
Khitan menurut sejarah adalah sunnah para Nabi dan merupakan tatacara  yang telah dilaksanakan oleh berbagai bangsa, sejak zaman purbakala. Semua dilaksanakan sesuai dengan kebisaaan masing – masing. Dan sejarah para Nabi yang masyhur, khitan itu mendapat tempat yang khusus dari urutan upacara keagamaan sejak Nabi Adam, Nabi Nuh,Nabi Ibrahim, sampai dengan Nabi Isa dan terakhir Nabi Muhammad saw.
Dalam kisah sekitar kisah khitan ini, ada pendapat yang berbeda tentang asal – usul, siapa manusia pertama yang melaksanakan khitan. Menurut satu pendapat: Manusia pertama yang melaksanakan khitan adalah Nabi Adam, dan menurut pendapat lainya: Manusia yang melaksanakan khitan adalah nabi Ibrahim. Pendapat pertama didasarkan atas kisah yang terdapat dalam Kitab Injil Barnabas; disana dikisahkan: bahwa setelah Nabi Adam durhaka kepada Tuhan, ia bernadzar bahwa apabila Tuhan memperkenankan taubatnya, ia akan memotong bagian tubuhnya. Taubat Nabi Adam tersebut diterima oleh Tuhan, dan setelah itu Nabi Adam berkehendak menepati nadzarnya. Nabi Adam tidak mengetahui, bagian tubuh yang mana  yang akan dipotong. Kemudian turunlah Malaikat Jibril,dan Malaikat Jibril menunjukkan bagian tubuh yang perlu dipotong. Kemudian Nabi Adam memotong kulit kulupnya. Itulah khitan pertama yang dilaksanakan oleh manusia.
Pendapat yang lainya: Orang yang mula – mula melaksanakan khitan adalah Nabi Ibrahim. Dan tidak ada seorangpun melaksanakan sebelumnya. Beliau menerima wahyu dari Allah swt agar umatnya melaksanakan khitan. Dan mulai  dari Nabi Ibrahim sendiri. Pada waktu itu umur Nabi Ibrahim sudah mencapai 80 tahun. Adapun alat yang   digunakan    adalah    semacam      kampak     ( suatu alat yang terbaik pada waktu itu ).
Hal itu diuraikan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:
اِخْتَتَنَ اِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ بَعْدَ مَااَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً وَ اخْتَتَنَ بِالْقُدُوْمِ
 “ Nabi Ibrahim,kekasih Tuhan Yang Maha Pengasih telah berkhitan dengan kampak pada saat beliau berumur delapan puluh tahun”     ( H.R Bukhari dan lainya)
C.     Budaya Khitan
Para antropolog menemukan, budaya khitan telah populer di masyarakat sejak pra Islam yang dibuktikan dengan ditemukannya mumi perempuan di Mesir Kuno abad ke – 16 SM yang memiliki tanda clitoridectomy (  pemotongan yang merusak alat kelamin ).  Pada abad ke – 2  SM, khitan perempuan dijadikan ritual dalam prosesi perkawinan,
Dalam penelitian lain ditemukan khitan telah dilakukan bangsa pengembara Semit, Hamit dan Hamitoid di Asia Barat Daya dan Afrika Timur dan Afrika Selatan. Di Indoensia sendiri, tepatnya di Musium Batavia terdapat benda kuno yang memperlihatkan zakar telah dikhitan.
Berbeda dengan antropolog Barat yang lebih menganggap bahwa sunat semata-mata bertujuan medis untuk menjaga kesehatan. Anggapan ini ditentang oleh beberapa orang yang berhasil menemukan beberapa relief dan patung – patung peninggalan tentang upacara penyunatan ribuan tahun silam.
Pada masa itu penyutanan lebih pada tujuan upacara pengorbanan untuk para dewa dan symbol perlawanan  rasa takut pada roh jahat. Di Yucatan dan Nicaragua, darah orang yang disunat dioleskan pada patung berhala oleh pemuka agama. Sedangkan di Afrika, upacara sunat dilakukan secara massal dengan harapan agar memperoleh berkah yang lebih besar.
Sejarah khitan dalam kitab Injil menganjurkan anak lelaki dikhitan dalam usia 8 hari. Itulah sebabnya Nabi Isa As pun dalam usia 8 hari dikhitan. Sebgaimana para Nabi lainya semuanya dikhitan. Musa as sudah memberi hukum bersunat itu. Begitu juga dengan Nabi Muhammad saw pun dikhitan, karena keturunan Nabi Ibrahim as. Menurut riwayat yang shahih ulama ahli hadits, Rasulullah saw dikhitan sesudah berusia 7 hari oleh Abdul Muthalib, yang kemudian diberi nama Muhammad.
D.    Khitan Dalam Pandangan Islam
Dalam al-Qur’an tidak dijelaskan menenai kewajiban khitan, namun ada beberapa hadits yang menerangkan hal itu.
Dari Utsman bin Kalib dari kakeknya, ia datang menghadap Nabi seraya menegaskan,’ Kini aku telah masuk Islam” Nabi saw bersbda,
اَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Buanglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah “ (H.R.Abu Dawud)
Dari Harb bin Ismail  berkata,Rasulullah saw bersabda,
مَنْ اَسْلَمَ فَلْيَخْتَتِنْ وَاِنْ كَانَ كَبِيْرًا
“ Barangsiapa yang masuk Islam hendaklah ia berkhitan walaupun sudah berusia tua”
Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah saw bersada,
اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ: اَلْخِتَانُ  وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيْمُ اْلاَظْفَارِ وَنَتْفُ اْلاِبْطِ
“ Fithrah ada lima, yaitu khitan, mencukur bulu yang  tumbuh di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong kuku,dan mencabut bulu ketiak”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw bersabda,
اَلْخِتَانُ سُنَّةٌ فِى الرِّجَالِ مُكَرَّمَةٌ فِى النِّسَاءِ
“ Berkhitan itu sunat bagi laki – laki dan mulia dilakukan perempuan” ( H.R.Ahmad ).
E.     Hukum Khitan
Mengenai hukum khitan, ada beberapa pendapat dari para ulama fiqih.Apakah khitan itu khusus untuk laki – laki, atau juga untuk kaum wanita. Dalam hal ini mazhab Syafi’i mengatakan: Khitan itu wajib bagi laki – laki dan wanita. Muslimin dan muslimat. Adapun mazhab lain seperti Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi berpendapat tidak wajib. Untuk lebih jelasnya maka hukum khitan itu ada 3 pendapat :
Sebagian berpendapat: khitan itu wajib hanya untuk laki – laki saja, kaum wanita tidak wajib.
Sebagian berpendapat ; khitan itu wajib baik untuk laki – laki maupun kaum wanita
Sebagian berpendapat : khitan tidak wajib.Hukum khitan hanyalah sunat, baik untuk laki – laki maupun wanita.
Alasan mereka masing- masing:
Khitan itu wajib hanya untuk laki – laki saja, kaum wanita tidak wajib   berpedoman pada hadits:
مَنْ اَسْلَمَ فَلْيَخْتَتِنْ وَاِنْ كَانَ كَبِيْرًا
“ Barangsiapa yang masuk Islam hendaklah ia berkhitan walaupun sudah berusia tua”
اَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
 “Buanglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah “ (H.R.Ahmad)
اِخْتَتَنَ اِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ بَعْدَ مَااَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً وَ اخْتَتَنَ بِالْقُدُوْمِ
“ Nabi Ibrahim,kekasih Tuhan Yang Maha Pengasih telah berkhitan dengan kampak pada saat beliau berumur delapan puluh tahun” ( H.R Bukhari dan lainya).
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa pria muslim yang tidak dikhitan tidak sah menjadi imam dan tidak diterima syhadatnya. Alasan mereka adalah hadits yang diriwayatkan  Abu Dawud dan Ahmad.
Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa sembelihan yang dilakukan oleh pria yang tidak berkhitan tidak boleh dimakan dan tidak sah shalatnya, Islam mengajarkan betapa pentingnya kesehatan dan kebersihan dengan bersandar kepada uswah atau contoh Rasulullah saw sebagaimana tersirat dalam sabdanya,” Kebersihan itu adalah sebagian daripada iman” ( H.R.Muslim )
Selain itu juga firman Allah :
” Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri ” ( Q.S.al Baqarah : 222 )
Khitan mengandung makna  kesucian dan kebersihan dari kotoran-kotoran serta penyebab penyakit  yang mungkin melekat  pada penis atau zakar  yang masih ada kulupnya sehingga dengan berkhitan, maka kulup yang menutupi jalan air kencing itu dikhitan dan kotorannya terbuang.
Adapun dasar wanita tidak wajib khitan adalah sabda Rasulullah saw:
اَلْخِتَانُ سُنَّةٌ فِى الرِّجَالِ مُكَرَّمَةٌ فِى النِّسَاءِ
“ Berkhitan itu sunat bagi laki – laki dan mulia dilakukan perempuan” ( H.R.Ahmad )
Khitan wajib baik untuk laki –laki maupun untuk wanita dalilnya adalah hadits nomor 1,2 dan 3 diatas.
Khitan tidak wajib, hanya sunnat, baik untuk laki- laki maupun perempuan, dengan alasan”
Berkhitan itu hanyalah satu perbuatan untuk menjaga kebersihan dari tiap-tiap yang ada hubungannya dengan kebersihan, diperintahkan oleh agama. Oleh hadits nomor 1 tidak mencantumkan hukum wajib bagi khitan, maka diambil kebijaksanaan tengah – tengah , yaitu sunnah.
Hadits – hadits yang mewajibakn khitan tidak kuat menurut Ushul Fiqih “ perintah wajib di hadits – hadits yang lemah, dipalingkan daripada sunnah. Karena tidak boleh mewajibkan sesuatu dengan dalil yang tidak terang betul.
Bagi mereka yang menyatakan sunnat berpedoman pada hadits – hadits  Rasulullah saw.Diantaranya adalah :
مِنَ الْفِطْرَةِ اَلْمَضْمَضَةُ وَاْلاِسْتِنْشَاقُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَالسِّوَاكُ وَتَقْلِيْمُ اْلاَظْفَارِ وَنَتْفُ اْلاِبْطِ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَاْلاِخْتِتَانُ
 “ Termasuk diantara fithrah adalah berkhumur, menghisap air ke hidung ( sekedarnya saja ), memotong kumis, membersihkan gigi, memotong kuku,mencabut bulu ketiak, mencukur bulu yang  tumbuh di sekitar kemaluan dan berkhitan”  ( H.R.Ahmad dari Ammar bin Yasir )
Dalam riwayat lain, khitan disebut oleh Rasulullah saw menempati urutan pertama sebagai fithrah manusia, yaitu dalam sabda Rasulullah saw:
اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ: اَلْخِتَانُ  وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيْمُ اْلاَظْفَارِ وَنَتْفُ اْلاِبْطِ
“ Fithrah ada lima, yaitu khitan, mencukur bulu yang  tumbuh di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong kuku,dan mencabut bulu ketiak
Para ulama yang mewajibkan khitan mendasarkan pada beberapa riwayat. Abu Dawud meriwayatkan dari Utsaim bin Kalib dari kakeknya, bahwa ia datang menghadap Nabi saw seraya menegaskan:” Kini aku telah masuk Islam”.Nabi saw bersabda: “Buanglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah “ (H.R.Ahmad)
Riwayat Ibu Abbas Ra dan diungkapkan kembali oleh Waki’ menerangkan :
اَْلاَقْلَفُ لاَتُقْبَلُ لَهُ صَلاَةٌ وَلاَ تُؤْكَلُ ذَبِيْحَتُهُ
“ Orang yang tidak berkhitan tidak akan diterima shalatnya dan hasil sembelihannya tidak boleh dimakan”
Semua alasan tersebut diperkuat dengan firman Allah tentang perintah yang ditujukan kepada kita supaya mengikuti agama Nabi Ibrahim:
ثُمَّ اَوْحَيْنَا اِلَيْكَ اَنِ اتَّبَعَ مِلَّةَ اِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا
“ Kemudian Kami wahyukan kepadamu:”Ikutilah agama Ibrahim yang lurus” ( Q.S.An Nahl : 123)
Kewajiban mengikuti agama itu dituntut totalitas , dalam segala hal termasuk khitan.
Kedua pendapat itu tidak perlu dipertentangkan, apakah sunnah atau wajib. Jalan terbaik adalah mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw, yang berarti melaksanakan khitan.
Pendapat – pendapat diatas  adalah pendapat secara global mengenai hukum khitan bagi laki – laki dan perempuan. Untuk lebih jelasnya, maka dibawah ini kami ketengahkan secara terpisah mengenai hukum khitan bagi laki-laki, perempuan maupun orang banci,  dari fatwa para ulama ,baik  yang menyatakan wajib maupun yang menghukumi sunnah :
1.      Khitan Bagi Laki – Laki
Mengenai hukum khitan ini, para ulama berbeda pendapat. Akan tetapi, mereka sepakat, bahwa khitan talah disyari’atkan, baik untuk laki – laki maupun untuk perempuan. DR. Saad Al – Marsyafi dalam bukunya Ahaaditsu Al Khitan Hujjiyatuha wa Fiqhuha, sebagaimana yang dikutip oleh  A.Ma’ruf Asrai, Suheri Ismail dan Khairul Faizin  ( 1998 : 16 – 34 ) mengemukakan:
Para pengikut mazhab Hanafi berpendapat, bahwa khitan hukumnya sunah untuk laki – laki. Mereka menganggap khitan sebagai salah satu bentuk agar syiar Islam seperti halnya adzan. Para pengikut Imam Malik juga memandang, bahwa khitan untuk orang laki – laki adalah sunnah. Menurut Imam Malik di dalam kitab Al Muntaqa Syarah Al Muwaththa’, Ibnu Abdil Barr di dalam kitab Al- Kafi, dan Syaikh Alaisi di dalam kitab Manhul Jalil, pendapat tersebut merupakan pendapat yang terkuat dalam maazhab Maliki. Dan di dalam kitab At- Talqin juga disebutkan, bahwa hukum khitan adalah sunnah, bukan wajib.
Sedangkan sebagian besar ulama ahli fiqih pengikut Imam Syafi’i berpendapat, bahwa khitan wajib untuk laki – laki. Imam Nawawi berkata ,” Ini adalah pendapat yang shahih dan masyhur yang ditetapkan oleh Imam Syafi’i dan telah disepakati oleh sebagian ulama”. Memang ada pula yang berpendapat, bahwa khitan itu sunnah untuk laki – laki, tetapi Imam Nawawi menolak pendapat tersebut.
Dalam kitab Al –Majmu’ diungkapkn, mayoritas ulama salaf berpendapat, bahwa hukum khitan itu wajib. Menurut Al- Khitabi, Ibnul Qayim berkata, ” Asy – Sya’bi, Rabi’ah, , Al Auzai dan Yahya bin Said Al Anshari berpendpat, bahwa hukum khitan adalah wajib’. Sealin itu, dalam kitab Fathul Bari disebutkan, bahwa yang berpendapat khitan itu wajib dari kalangan ulama salaf – adalah Imam Al- Atha’. Ia berkata, ” Apabila orang dewasa masuk Islam, belum dianggap sempurna Islamnya sebelum dikhitan”. Dan terakhir, para ulama mazhab Hambali juga berpendapat, bahwa khitan wajib bagi laki – laki.
Dari uraian diatas, tampak bahwa pendapat para fuqaha tersebut secara umum dapat  dipilih menjadi dua. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa hukum khitan itu wajib bagi laki – laki. Pendapat ini merupakan pendapat mazhab Hambali, pendapat yang shahih dan masyhur dari pengikut Imam Sya’bi, Rabi’ah, , Al Auzai dan Yahya bin Said Al Anshari , dan Imam Al- Atha’.
Ada beberapa hal yang mereka jadikan alasan atau dalil kenapa khitan itu wajib, antara lain sebagai berikut :
Khitan disyariatkan bagi orang yang sudah baligh atau mendekati masa akil baligh, dan orang yang dikhitan diperbolehkan membuka serta melihatnya. Semnetara itu menurut aurat hukumnya wajib dan melihatnya adalah haram. Oleh karena itu, seandainya khitan itu tidak wajib, niscaya kita tidak diperbolehkan membuka dan melihat aurat orang yang dikhitan, karena hal itu akan merusak harga diri dan kehormatanya.
Orang yang pertama kali mengemukakan alasan ini adalah Abul Abbas bin Suraij, lalu Imam Al- Khithabi, dn yang lainya. Imam Nawawi mengemukakan pendapat ini dalam kitab Al- Wadai’i karya Ibnu Suraij, lalu ia berkata, ” Saya tidak tahu, bahwa beliau juga berpendapat demikian”
Imam Nawawi me ngungkapkan, bahwa Abu Ishaq Asy- Syairozi bersandar pada kitab Fil – Khilaf dan Imam Al- Ghazali pada kitab Al- Wasithdengan cara melakukan qiyas. Mereka berkata,” Khitan adalah memotong sebagian anggota badan. Seandainya khitan tidak wajib, maka kita tidak boleh melakukannya, sebagaimana kita tidak diperbolehkan memotong jari – jari kita. Tetapi memotong  jari – jari bisa menjadi wajib karena qishash ” . Di dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar juga melakukan qiyas. Ia mengatakan, bahwa khitan adlah memotong anggota badan dengan niat ibadah, sehingga hal itu hukumnya wajib seperti halnya memotong tangan pencuri.
Menurut  Imam Mawardi, pemotongan anggota badan akan menimbulkan akibat pada diri seseorang berupa penyakit. Oleh karena itu, tidak disyriatkan memotong anggota badan selain dalam tiga perkara; untuk kemaslahatan, karena hukum, atu karena suatu kewajiban yang harus dipenuhi. Dan khitan termasuk dlam kategori yang ketiga. Al- Khitabi juga mengatakan, bahwa khitan itu wajib karena termasuk salah satu syiar agama. Dengan khitan itulah kita bisa membedakan orang muslim dengan non muslim. Jika dalam suatu peperangan kita menemukan jenazah seseorang yang telah dikhitan – diantara beberapa jenazah yang belum dikhitan – maka kita akan bisa memastikan bahwa orang itu beragam Islam, sehingga kita akan mengurus jenazahnya dengan aturan Islam. Demikian pula halnya dengan Ibnul Qayyim. Ia menyatakan, bahwa khitan adalah syiar yang nyata sebagai pembeda antara seorang muslim dengan non muslim. Kewajiban khitan tersebut lebih utama daripada kewajiban melakukan shalat witir, kewajiban membayar zakat kuda, kewajiban mengulang wudhu ( bagi orang yang tertawa terbahak- bahak keyika shalat ), kewajiban berwudhu setelah berbekam, kewjiban bertayamum sampai kedua siku, dan sebagainya. Bahkan hampir – hampir kaum muslimin menganggap orang yang belum dikhitan tidak termasuk golongan mereka. Para ulama ahli fiqih mewajibkan orang islam yang dewasa agar berkhitan, meskipun kadang – kadang mengandung resiko.
Imam Baihaqi mengatakan, bahwa dasar paling baik yang menunjukkan kewajiban khitan adalah hdits yang bersumber dari Abu Hurairah ra:
اِخْتَتَنَ اِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ بَعْدَ مَااَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً وَ اخْتَتَنَ بِالْقُدُوْمِ
“ Nabi Ibrahim,kekasih Tuhan Yang Maha Pengasih telah berkhitan dengan kampak pada saat beliau berumur delapan puluh tahun” ( H.R Bukhari dan lainya)
Dan firman Allah Swt:
ثُمَّ اَوْحَيْنَا اِلَيْكَ اَنِ اتَّبَعَ مِلَّةَ اِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا
“ Kemudian Kami wahyukan kepadamu:”Ikutilah agama Ibrahim yang lurus” ( Q.S.An Nahl : 123
Menurut Imam Nawawi, ayat ke – 123 surat An- Nahl tersebut memerintahkan kepada kita untuk mengikuti syariat Nabi Ibrahim as. Hal itu menunjukkan, bahwa segala ajaran beliau wajib kita ikuti, kecuali jika ada dalil yang menyatakan hal tersebut sunah, seperti bersiwak dan lain – lain.
Selanjutnya, adalah pendapat yang menyatakanbahwa khitan itu hukumnya sunnah. Pendapat ini merupakan pendapat Imam Hanafi, termasuk pendapat yang kuat dalam mazhab Imam Malik, dan pendapat sebaian pengikut Imam Syafi’i. Hal ini  diungkapkan oleh Ibnu Abi Musa dari shahabat – shahabat Imam Ahmad dan Hasan Al- Bashri.
Alasan mereka yang berpendapat bahwa hukum khitan itu sunnah adalah sebagai berikut :
Adanya hadits yang menyatakan bahwa khitan itu sunnah, bukan wajib, yang diriwayatkan dari Hajjaj, dari Abil Malik bin Utsamah, dari ayahnya, bahwa Nabi saw bersabda:
اَلْخِتَانُ سُنَّةٌ فِى الرِّجَالِ مُكَرَّمَةٌ فِى النِّسَاءِ
“ Berkhitan itu sunat bagi laki – laki dan mulia dilakukan perempuan” ( H.R.Ahmad )
Akan tetapi, menurut Ibnu Hajar, Hajjaj  adlah seorang pemalsu ( mudallis ) dan haditsnya mengandung kejanggalan. Kadang – kadang ia meriwayatkan hadits itu seperti diatas, tetapi terkadang ada tambahan Syaddad bin Aus setelah ayahnya Abul Malih. Selanjutnya Ibnu Hajar mengatakan bahwa  berkenaan dengan hadits itu ada riwayat lain yang tidak melalui jalur Hajjaj, yaitu yang telah diriwayatkan oleh Thabrani di dalam buku Al- Kabir dan Baihaqi di dalam hadits Ibnu Abbas yang marfu’. Namun menurut Baihaqi, hadits yang dimaksud sanad-nya lemah, dan lebih condong mauquf.
Adanya hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Nabi saw yang menjelaskan tentang masalah fithrah yang lima. Mereka berkata,” Di dalam hadits tersebut Nabi mensejajarkan khitan dengan memotong kumis, mecabuti bulu ketiak, memotong bulu kemaluan, dan memotong kuku, sehingga tidak diragukan lai bahkan khitan bukan perkara wajib.
Pengikut mazhab Hanafi berpendapat, bahwa khitan itu masuk salah satu bentuk syiar Islam. Dan tidak semua hal yang termasuk syiar Islam itu wajib. Selain ada  yang wajib, seperti shalat, puasa, dan haji, ada pula yang mustahab seperti membaca talbiyah, menggiring hewan ke tempat penyembelihan waktu haji, dan ada jua yang masih diperselisihkan hukumnya seperti azan, shalat Id, memotong hewan kurban, dan khitan.
Hasan Al – Bashri berkata, ” Nabi Saw telah mengislamkan banyak orang kulit hitam, kulit putih, bangsa Parsi, Romawi, dan Habasyah. Beliau tidak pernah menanyakan apakah mereka berkhitan atau tidak  dan saya tidak pernah mendengar  bahwa Nbi saw memeriksa”.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Al- Adabul Mufrad, bahwa Salim bin Ubay Adz- Dzayyal berkata, ” Saya mendengar Al- Hasan berkata, ” Mengapa kalian tidak merasa heran terhadap orang ini ?  ( yang dimaksud adalah Malik bin Al- Mundzir ) . Ia mendatangi beberapa orang tokoh masyarakat Kaskir yang kebanyakan berprofesi sebagai buruh tani. Mereka lalu memeluk Islam. Ketika Malik bin Al- Mundzir menyuruh berkhitan, maka mereka pun berkhitan. Namun akibatnya, saat musim dingin tiba, saya mendengar sebagian dari mereka meninggal dunia. Padahal, ketika Nabi Saw mengislamkan orang Romawi, Habsyi, dan lain – lain, beliau tidak menanyakan apakah mereka berkhitan atau tidak”.
Dari berbagai pendapat tersebut, kami cenderung untuk berpendapat bahwa khitan hukumnya wajib bagi laki – laki. Sebab dalil – dalil yang mewajibkannya sangat kuat. Apabila sebagaimana kita ketahui, dalam pelaksanaan khitan, aurat harus terbuka dan orang yang mengkhitan jelas melihatnya bahkan memegangnya. Kalau bukan karena wajibnya khitan, hal itu tentu tidak diperbolehkan, karena hukumnya menutup aurat adalah wajib.
Hal itu berdasarkan hadits hasan yang diriwayatkan dari Bahaz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya ;
” Saya bertanya,” Ya Rasulullah, apa kewjiban dan larangan terhadap aurat kita ? ” Beliau bersabda, ‘ Peliharalah auratmu kecuali terhadap istrimu atau hamba sahaya yang kamu miliki “, Saya bertanya lagi, ” Ya Rasulullah, bagaimana jika suatu kaum itu berkumpul ?’ Beliau menjawab, ‘ Kalau kamu mampu, maka jangan sekali – kali diantara kamu menampakkan auratnya dan jangan pula ditampakkan auratnya’. Saya bertanya lagi, ” Ya Rasulullah, bagaimana kalau dlam keadaan sendirian ?’ Beliau menjawab,’ Kita lebih pantas malu terhadap Allah daripada terhadap manusia” ( H.R.Abu Dawud )
Hadits diatas menunjukkan wajibnya menutup aurat dan diharamkan melihat aurat orang lain. jika membuka dan melihat aurat diperbolehkan bagi orang yang berkhitan, maka hal itu merupakan bukti wajibnya khitan. Sebaliknya, jika khitan tidak wajib, tentu melihat aurat itu diharamkan.
Satu hal lagi yang memperkuat wajibnya khitan adalah ijma para fuqaha, bahwa barangsiapa  sudah akil baligh dan belum berkhitan, ia wajib khitan ketika itu juga. Bahkan sebagian orang menyatakan, bahwa orang yang sudah dewasa harus berkhitan, meskipun ada kemungkinan timbul akibat yang tidak diinginkan. Hukum khitan tetap berlaku bagi orang yang sakit, lemh fisik, dantua, baik ia muslim sejak lahir maupun masuk Islam sesudah dewasa. Dan untuk menghindari efek negatif, maka orang yang sedang sakit baru dikhitan setelah ia sembuh. Kasus ini sama dengan ditundaahnya hukuman cambuk bagi seeorang- yang sedang menderita sakit – karena menuduh wanita mukmin berzinah atau karena meminum khamer.
Orang yang lemah fisik dan tidak mampu menhan sakit sewaktu dikhitan juga bisa ditangguhkan sampai ia kuat dan mampu menahan sakit. Apabila ia pesimis terhdap kemampuanya dan tidak ada harapan  baginya untuk sembuh, maka kewajiban berkhitan gugur. Kasus ini sama dengan orang yang tidak mampu mandi janabah karena cuaca yang sangat dingin sehingga ia diperbolehkan meninggalkannya.
Begitu pula bagi orang dewasa yang belum dikhitan, baik ia muslim sejak kecil maupun yang baru memeluk Islam, berlaku hukum sebgaimana yang kami jelaskan. Menga wajib berkhitan, dan jika mereka enggan melaksanakannya, mereka harus dipaksa, selama tidak mengandung resiko yang berat atau berakibat fatal- berdasarkan pemeriksaan oleh seorang dokter muslim yang adil – jika diperkirakan akan berkibat fatal, maka  kewajiban khitan tidak berlaku baginya, sebagaimana orang yang lanjut usia diperbolehkan tidak berpuasa.
Kewajiban berkhitan bagi orang yang sudah dewasa ini pun juga disebutkan dalam kitab Siraaj Ath- Thalibin Syarah Minhaj Al- ‘ Abidin karya Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan seperti  yang dikutip K.H.M.Syafi’I Hadzami dalam bukunya, 100 Masalah Agama:
وَمِنْهَا تَرْكُ الْخِتَانِ بَعْدَ الْبُلُوْغِ اِذْ هُوَ وَاجِبٌ حِيْنَئِذٍ عَلَى الْمُكَلَّفِ سَوَاءٌ الذَّكَرُ وَاْلاُنْثٰى
” Dan setengah dari maksiat farji adlah meninggalkan khitan sesudah baligh, karena  hal tersebut hukumnya wajib sesudah baligh bagi mukallaf, baik laki – laki maupun perempuan ‘
Kedua pendapat itu tidak perlu dipertentangkan, apakah sunnah atau wajib. Jalan terbaik adalah mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw, yang berarti melaksanakan khitan. Lagi pula semua perintah yang disinggung oleh syari’at tidak lepas dari hikmah, begitu pula disyari’atkannya khitan. Meurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, setidaknya ada empat hikmah yang terkandung dalam khitan, yaitu:
Khitan merupakan pangkal fithrah, syiar Islam dan syari’at.
Khitan merupakan salah satu masalah yang membawa kesempurnaan ad-diin ( agama) yang disyari’atkan Allah melalui lisan Nabi Ibrahim as
Khitan membedakan antara orang Islam dengan dan pengikut agama lain. Tetapi dewasa ini telah banyak pengikut agama lain yang melakukan khitan. Selain bertujuan hygienis juga untuk memperoleh kepuasan seks.
Khitan merupakan pernyataan ubudiyah (pengabdian) kepada Allah,ketaatan menunaikan perintah, hukum dan kekuasaan-Nya.
Selain hikmah yang tersebut diatas, khitan juga mengandung hikmah hygienis. Abdullah Nashih Ulwan lebih lanjut menerangkan segi hygienisnya., yaitu:
Khitan membawa kebersihan, keindahan dan meluruskan syahwat.
Khitan merupakan cara sehat memelihara pelakunya dari kemungkinan penyakit yang disebabkan oleh kelamin.
Menurut Dr. Shabri Al Qabani, bahwa dampak hygienis yang ditimbulkan oleh khitan adalah karena terbukanya bagian kulup. Dengan terbukanya kulup ini berarti orang akan terbebas dari peluh berminyak dari sisa-sisa air seni ( kencing ) yang  mengandung lemak dan kotoran. Dengan terpotongnya kulup berarti orang itu akan terbebas dari gangguan pucuk zakar ( hasyaf ) ketika menggelembung. Bahkan menurut Al Qabbani, khitan memungkinkan sekali dapat menekan berjangkitnya kanker. Terbukti kanker sering menimpa pada orang – orang yang kulupnya sempit ( berarti tidak khitan), sebaliknya jarang ditemukan pada masyarakat yang menegakkan kewajiban khitan.
Terlepas dari semua itu, yang jelas khitan merupakan perintah Allah yang harus dilaksanakan. Orang yang mengikuti perintah dijamin kebaikannya, jika dihindari justeru menyebabkan kehancurannya.
Keuntungan Khitan
Seiykh al-Qardhawi berkata, di antara fiqh almaqosyid (kebaikan) khitan lelaki adalah :
mencegah kotoran dan tempat pembiakan kuman pada zakar
terhindarnya zakar dari terkena penyakit kelamin seperti sifilis
quluf atau foreskin zakar akan mudah mengalami radang atau melecet
zakar akan kurang risiko kepada penyakit zakar seperti pembengkakan atau kanker
memaksimumkan kepuasan seks ketika jima’ (hubungan seks) (Fiqh Taharah, 172)
Amankan Berkhitan Ketika Masih Bayi?
Khitan waktu bayi masih berusia beberapa bulan terbukti tidak menyakitkan bayi tersebut, karena pensarafan belum terbentuk dengan sempurna di sekitar zakar & kulit zakar. Buktinya, bayi tidak dapat mengontrol kencing mereka. Lantaran itu, prosedur khitan sewaktu awal bayi dilakukan tanpa memerlukan bius kerana ia tidak menyakitkan bayi tersebut. Ini berbeda dengan kanak-kanak yang telah besar. Maka berkhitan awal terdapat kebaikannya seperti yang disarankan oleh para dokter.
2.      Khitan Bagi Perempuan
Apakah boleh perempuan berkhitan ? Khitan bagi perempuan muslimah tidak menjadikan suatu keharusan, tetapi sangat boleh dilakukan. Mengapa ?  sebagian besar ulama berpendapat bahwa khitan perempuan itu hukumnya  sunnah, namun ada juga ulama yang berpendapat sunnah pun tidak. Tapi, ada petunjuk agama yang dapat dijadikan dasar  tentang khitan perempuan, sebgaimana sabda  Rasulullah saw,” Silakan potong sebagian kelentit dan janganlah dipotong habis” ( H.R.Hakim , Thabrani, dan Abu Nu’aim).
Selain itu, ada pula hadits yang diriwayatkan Ahmad dn Baihaqi serta Jamaah, yang artinya,” Khitan itu sunah bagi kaum pria dan kehormatan bagi kaum perempuan”.
Dalam hadits lain diriwayatkan oleh Abu Daud dan Thabani, Rasulullah saw bersabda:” Sesungguhnya seorang perempuan berkhitan di Madinah. Dan janganlah kamu memotong habis kelentitnya  sebab yang demikian itu lebih berguna bagi perempuan dan sangat disukai oleh suami”.
Alasan utama  menapa kita harus berkhitan ? Pertama, alasan kesehatan, untuk menghindari penyakit kelamin yang pada waktu dulu belum ditemukan obatnya. Kedua, untuk mencapai kebersihan badan yang paling sempurna, terutama untuk kaum Paderi. Ketiga, suatu anggapan bahwa kelamin lelaki memiliki nilai yang sama dengan kasih ( hati ), sumber spiritual dan intelektual. Keempat, dengan berkhitan berarti akan bertambah subur dan banyak anak.
Mengenai masalah hukum khitan bagi perempuan juga  ada beberpa pendapat. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa khitan bagi wanita dipandang baik. Ada juga yang mengatakan hukumnya sunnah, seperti yang diterangkan dalam kitab Fathul Qadir. Al- Bazazi juga berpendapat demikian. Jika orang banci saja perlu dikhitan apalagi wanita. Jika khitan untuk wanita hanya dipandang baik, tentu orang banci tidak perlu dikhitan karena boleh jadi ia adalah seorang wanita.
Sementara  menurut mazhab Maliki, khitan bagi wanita dipandang baik. Dalam kitab Al-Muntaqa ( yang dikutip dari kitab Al-Muwaththa ), diterangkan bahwa Imam Malik berkata, ” Hendaklah seorang perempuan membiasakan diri memotong kuku, memotong bulu kemaluan, dan berkhitan, sebagaimana yang dilakukan laki – laki.
Lain halnya dengan mazhab Syafi’i, Imam Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat, bahwa hukum khitan bagi wanita adalah wajib. Menurut Imam Nawawi, pendapat ini shahih, masyhur, dan telah disepakati oleh para ulama. Memang sebagian pengikut mazhab ini ada yang berpendapat bahwa khitan bagi wanita hukumnya sunnah seperti yang diriwayatkan oleh Ar-Rafi’i. Namun, menurut Imam Nawawi, pendapat ini lemah.
Sedangkan dalam mazhab Hambali belum ada kata sepakat tentang hukum khitan bagi wanita. Ada yang mengatakan hukumnya wajib, sebgaimana dijelaskan dalam kitab Kasysyful Ghina dan Syahru Muntahal Iradat, tetapi Ibnu Qudamah berpendapat, bahwa khitan wanita hanya dipandang baik dan hukumnya tidak wajib.
Menurut Imam Ahmad, adanya ketentuan yang menyatakan wajibnya  mandi apabila dua bagian yang dikhitan saling bertemu menunjukkan, bahwa sejak dulu telah banyak wanita yang berkhitan.
Dari uaraian diatas, tampak bahwa pendapat para fuqaha tentang hukum khitan bagi wanita dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, pendapat yang menytakan, bahwa hukum khitan bagi wanita adalah wajib. Ini adalah pendapat yang shahih dan masyhur dari pengikut Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Dasarnya sama seperti kewajiban khitan bagi laki – laki. Mereka juga berdalil dengan fakta tentang diperbolehkannya membuka aurat untuk urusan berkhitan serta tidak diperbolehkannya memotong anggota badan kecuali untuk sesuatu yang hukumnya wajib.
Disamping itu, mereka juga berdalil dengan hadits,” Apabila dua bagian yang dikhitan telah bertemu, maka telah mewajibkan adanya mandi”. Hal itu menunjukkan, bahwa pada zaman dahulu wanita telah  berkhitan. Bahkan ada yang berkata, ” Seorang laki – laki diperbolehkan memaksa istrinya untuk berkhitan seperti halnya memaksanya untuk mengerjakan shalat”.
Kedua, adalah pendapat yang mengtakan, bahwa khitan bagi wanita hukumnya sunnah. Ini merupakan pendapat sebagian pengikut Imam Hanafi, Imam Malik, dan beberapa pengikut Imam Syafi’i sebagaimana dituturkan oleh Ar- Rafi’i dan Imam Ahmad.
Mereka menngunakan sejumlah dalil yang menyatakan, bahwa khitan untuk laki – laki hukumnya sunnah dan khitan merupakan syira agama Islam. Juga adanya anjuran khitan bagi orang banci. Seandainya khitan bagi wanita bukan sunnah, tentu orang banci tidak perlu berkhitan, sebab boleh jadi ia adalah seorang wanita.
Ketiga, adalah pendapat yang menyatakan,  bahwa khitan bagi wanita hukumnya mustahab ( dipandang baik ) . Pendapat ini  dikemukakan oleh para pengikut Imam Hanafi, sebagian pengikut Imam Malik dan Imam Hanbali. Beberapa ulama lain juga berpendapat demikian dengan berdalil pada sebuah hadits ,” “ Berkhitan itu sunat bagi laki – laki dan dipandang baik bagi perempuan”.
Dengan  demikian kiranya bisa disimpulkan, bahwa meskipun ada yang berpendapat bahwa khifadh itu wajib, namun tidak ada satu dalil pun yang kuat untuk dijadikan dasar. Yang ada hanya dalil yang mewajibkan khitan bagi anak laki- laki.
Demikian pula pendapat yang menyatakan, bahwa hukum khitan bagi wanita dipandang baik bagi anak perempuan tidak ada dalilnya, kecuali hadits tersebut diatas. Oleh karena itu, kita bisa men-tarjih bahwa hukum khitan bagi wanita adalah sunnah, sesuai dengan hadits muttafaqun alaih. Fithrah itu ada lima….” Lafal khitan dlam hadits tersebut bersifat umum untuk anak laki – laki dan perempuan. Berdalil dengan hadits muttafaqun alaih  ini lebih utma daripada hadits yang menyatakan bahwa khitan itu dipandang baik bagi perempuan.
Juga dari hadits yang berbunyi:”  Apabila dua bagian yang dikhitan telah bertemu, maka telah mewajibkan adanya mandi”, menurut Imam Ahmad bisa diketahui, bahwa wanita muslimah pada zaman dahulu sudah berkhifadh.
Namun Nabi Muhammad saw. Juga pernah bersabda,” Apabila kamu berkhifadh, maka janganlah berlebihan, karena jika tidak berlebihan akan menjadikan wajah lebih ceria dan terasa lebih nikmat saat melakukan hubungan badan “. Hadits  ini  termasuk hadits hasan dan memberi isyarat bahwa wanita muslimah pada masa Rasulullah saw sudah melaksanakan khifadh. Rasululla saw sendiri menunjukkan cara khitan yang baik sehingga tidak menimbulkan bahaya. Petunjuk Rasulullah saw tersebut bisa dijadikan dasar hukum khitan bagi wanita adalah sunnah. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Asy Syaukani, bahwa hukum khitan bagi wanita itu sunnah adalah merupakan hal pasti, dan kita wajib berpegang pada yang pasti sampai ada dalil yang mengubahnya.
3.      Khitan Bagi Orang Banci
Menurut mazhab Hanafi, orang banci mungkin saja berjenis kelamin laki – laki. Oleh karena laki – laki wajib dikhitan, maka lebih utama hukum khitan bagi orang banci adalah sunnah.
Sementara para pengikut mazhab Maliki tidak banyak berkomentar. Tetapi dalam kitab Al- Khitabi ada sebuah pendapat- yang bertentangan dengan pendapat Imam Syafi’i- bahwa orang yang jenis kelaminya belum diketahui secara pasti tidak perlu dikhitan.
Adapun Qadhi Abul Futuh, pengikut mazhab Syafi’i, menyatakan bahwa khitan bagi orang banci yang jenis kelaminya belum diketahui secara pasti hukumnya wajib. Dan yang dikhitan adalah kedua alat kelaminya. Sebab salah satu diantara keduanya wajib dikhitan, sedangkan kita belum tahu manakah yang wajib dikhitan. Namun, Al- Baghawi bersikeras bahwa orang banci tidak perlu dikhitan. Sebab, kita tidak diperbolehkan menyakiti sesuatu yang tidak pasti atau mempersulit. Menurut Imam Nawawi, Pendapat Al- Baghawi itu lebih tepat.
Terakhir, mazhab Hambali berpendapat, bahwa mengkhitan orang banci lebih utama. Sebab, laki – laki dan perempuan harus dikhitan, maka orang banci juga perlu dikhitan. Yang dikhitan adlah kedua alat kelaminya.
Dari beberapa pendapat seperti terurai diatas kiranya dpat disimpulkan, bahwa orang banci akan lebih utama- demi sejumlah kemashlahatan bainya- dikhitan, jika hal itu memungkinkan. Jika masih diragukan mana diantara kedua alat kelminya yang harus dikhitan, maka kita wajib mengkhitan keduanya, sekali lagi jika hal itu memungkinkan. Dalam hal ini tentu kita harus berkonsultasi dengan dokter muslim yang adil.
F.      Waktu Berkhitan
waktu berkhitan boleh saat lahir atau beberapa lama setelah lahir. Anjuran perintah walimah khitan secara khusus tidak ada. Ini berbeda dengan pernikhan yang dianjurkan secara khusus untuk diadakan walimah nikah atau walimah arusy.
Para madzhab Hanafi berbeda pendapat tentang kapan khitan dilakukan. Ada yang berpendapat setelah akil baligh, pada usia 9 tahun,10 tahun, dan ada pula yang mengatakan bahwa khitan dilakukan pada saat anak sudah mampu menanggung rasa sakit dikhitan. Sebagaimana diungkapkan dlam syahrul Inayah ‘ Alal Hidayah, imam Abu Hanifah tidak memberikan kepastian tentang waktu khitan, karena menurutnya, ketentuan waktu khitan mestinya datang dari syara’, sementara nash maupun ijma tentang hal itu belum ada. Dia berkata, ” Saya tidak mengetahui ketentuan waktunya. Abu Yusuf dan Muhammad tidak meriwayatkan apa-apa, sehingga terjadi perbedaan diantara para ulama terkemuka”.
Menurut mazhab maliki, waktu khitan adalah pada masa – masa bayi, tepatnya pada saat giginya tumbuh setelah tanggalnya gigi susu ( waktu ishghar ). Boleh dikhitan sebelum atau sesudah ishghar, tetapi yang lebih adalah sesudahnya.
Adapun mengkhitan bayi pada usia 7 hari hukumnya makruh, apabila pada hari kelahirannya. Sebab menurut Imam Malik , hal itu menyerupai perbuatan orang Yahudi.
Ketika seorang anak muda diperintahkan shalat, yakni pada usia 7 tahun, ia diunnahkan untuk  khitan. Dan setelah memasuki usia 10 tahun, hukum khitan menjadi wajib baginya seperti halnya shalat. Pendapat ini sesuai dengan riwayat Ibnu Abbas yang menegaskan, bahwa pada usia itulah seorang anak mampu memahami larangan dan perintah Allah. Bahkan ia wajib melaksanakannya, sehingga berhak menerima pahala atau azab.
Sedangkan bagi orang dewasa yang belum dikhitan karena baru masuk Islam misalnya, hendaknya mau mengkhitan dirinya sendiri. Hal ini karena hukum melihat aurat orang dewasa adalah haram. Namun, jika ia berhalangan melakukannya, dengan alasan takut berakibat fatal, maka ia terbebas dari kewajiban khitan. Konsekwensinya, ia makruh untuk menjadi imam shalat atau saksi, karena dianggap agamanya kurang sempurna. Ini adalah pendapat Muhammad bin Hakam dan Hasan bin Abil  Hasan Al  Bashri.
Lain hanya dengan Sahnun, menurut dia orang itu tetap harus dikhitan. Sebab, orang yang mencuri pun wajib dipotong tangannya, walaupun ia takut menerima hukuman itu. 
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...7
KEPEMILIKAN
·         Kepemilikan (al-Milk) penguasaan terhadap sesuatu.
·         Sebab-sebab kepemilikan:
1.      Penguasaan terhadap harta bebas (ihrazul mubahat) yaitu harta yang belum dimiliki orang lain secara sah dan tak ada penghalang syara’ untuk dimiliki. Ihraz yaitu menguasai dengan maksud memiliki harus memenuhi 2 syarat:
a.       Benda bebas belum dikuasai orang lain. Ex: seseorang mengumpulkan air dalam satu wadah, maka orang lain tidak berhak menganbil nya.
b.      Adanya niat (maksud) untuk memiliki. Maka jika seseorang memperoleh harta bebas tanpa ada niat, tidak dianggap menguasai harta itu. Ex: seoarng memancing disungai karena hobi dan ikan hasil pancingan di bawa pulang dia hanya menyalurkan hobinya.
2.      Khalafiyah, yaitu berpindahnya sesuatu menjadi milik seseorang karena keduudkannya sebagai peneus pemilikan lama atau kedudukannya yang sebagai pemilik barang tertentu yang telah rusak atau musnah dan digantikan denagn suatu yang baru oleh yang merusaknya. 2 khalafiyah:
a.       Khalafiyah syakhsy’ an syakhsy, yaitu si waris menempati tempat si muwaris
b.      Khalafiyah syi’an yaitu apabila seseorang merugikan milik orang lain, kemudian rusak ditangannya atau hilang, maka wajiblah dibayar diganti kerugian-kerugian pemilik harta.
3.      Tawallud mamluk, segala sesuatu yang lahir atau tumbuh dari objek hak yang telah dimiliki. Ex: bulu domba menjadi milik pemilik domba.
4.      Ahad, perhatalian ijab dan qabul, akal jual beli, hibah, wasiat.[1]
·         Aqad, al-‘aqd perkataan, perjanjian, akad adalah segala sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk dikerjakan baik yang muncul dari kehendaknya sendiri seperti sumpah, talak, maupun yang membutuhkan pada kehendak dua pihak seperti jual beli.
·         Rukun akad:
1.      Aqaid (orang yang berakad (subyek))
2.      Ma’qud alaih, benda-benda yang akan di akadkan
3.      Maudhu al-‘aqd (yujuan atau maksud mengadakan akad).
4.      Shigat al-aqd yaitu ijab qabul
·         Macam-macam akad:
1.      Uqudu musaumatun, akad sudah ditentukan  dan diberi namanya oleh syara dan ditetapkan hukunya, akad ini berkaitan dengan muamalah.
2.      Akad ghairu musammah, akad-akad yang tidak ditentukan namanya dan  tidak ditentukan hukumnya oleh syara’.
·         Adapun aqad yang sudah ditentukan nama-nama dan hukumnya terbagi beberapa macam disebut oleh M. Hasbi Ash-shiddieqy:
1.      Ba’i yaitu akad yang berlaku atas dasar penukaran harta dnegan harta lalu terjadilah penukaran secara tetap.
2.      Ijarah yaitu akad yang objeknya penukaran manfaatnya untuk masa tertentu.
3.      Akad syirkah, yakni akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk bekerja sama dalam suatu usaha dan membagi keuntungannya.
4.      Mudharabah, kesepakatan dua orang yang berakad dengan ketentuan, modal dari satu pihak sedang usaha menghasilkan dari pihak lain, keuntungan di bagi diantara mereka.
5.      Muzara’ah yakni akad pengolahan tanah pertanian untuk memperoleh hasil bumi antara yang punya lahan dnegan penggarap hasil bagi bersama.
6.      Wakalah, pemberian mandat atau kuasa yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai wakilnya dalam bertindak.
7.      Akad al-umri yakni akad yang dilakukan seseorang dengan mengatakan kepada orang lain, saya memberikan hak mendiami rumah ini selama hidupmu, tapi setelah meninggal kembali kepadaku.
·         Dilihat dari segi di syariatkan, akad ada 2:
1.      Uqud musyara’ah, akad yang dibenarkan oleh syara’ dan dibolehkan seperti     jual beli.
2.      Akad mamnu’ah yaitu akad dilarang. Ex: menjual anak binatang dalam kandungan.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

KONSEP HAK MILIK (AL-MILKIYAH )
A.    Asal  - Usul Hak
Manusia pada dasarnya tidak bisa hidup sendirian, ia harus hidup bermasyarakat saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Dalam melakukan aktivitas jual beli, seseorang tidak bisa bermuamalah secara sendirian, bila ia menjadi penjual, maka sudah jelas ia memerlukan pembeli, dan seterusnya. Setiap manusia mempunyai kebutuhan, sehingga sering terjadi pertentangan kehendak. Untuk menjaga keperluan manusia agar tidak melanggar dan memperkosa hak – hak orang lain, maka timbullah hak dan kewajiban di antara sesama manusia. Hak milik telah diberi gambaran nyata oleh hakikat dan sifat syariat Islam, sebagai berikut.
1.      Tabiat dan sifat syariat Islam ialah merdeka (bebas). Dengan tabiat dan sifat ini, umat Islam dapat membentuk suatu kepribadian yang bebas dari pengaruh Negara – negara Barat dan Timur serta mempertahankan diri dari pengaruh – pengaruh Komunis (sosialis) dan kapitalis (individual).
2.      Syariat Islam dalam menghadapi berbagai ke-musykil-an senantiasa bersandar kepada maslahat (kepentingan umum) sebagai salah satu sumber dari sumber – sumber pembentukan hukum islam.
3.      Corak ekonomi Islam berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah merupakan suatu corak yang mengakui adanya hak pribadi dan hak umum. Bentuk ini dapat memelihara kehormatan diri yang menunjukan jati diri. Individual adalah corak kapitalis, seperti Amerika Serikat, sedangkan sosialis adalah ciri khas komunis seperti Rusia pada tahun 1980-an. Sementara itu, ekonomi yang dianut Islam ialah sesuatu yang menjadi kepentingan umum yang dijadikan milik bersama, seperti rumput, api dan air, sedangkan sesuatu yang tidak menjadi kepentingan umum dijadikan milik pribadi.[1]
B.     Pengertian Hak Milik
Menurut pengertian umum, hak adalah :
“ Sesuatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum “.
Hak juga bisa berarti milik, ketetapan, dan kepastian, sebagaimana disebutkan dalam Alquran (QS. Yasin : 7)
 “ Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman “.

Pengertian tentang hak, sama dengan arti hukum dalam istilah ahli ushul, yaitu :
“ Sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur atas dasar harus ditaati untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik mengenai orang maupun mengenai harta “.
Ada juga yang mendefinisikan hak sebagai berikut.
“ Kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib dari seseoarng kepada yang lainnya “.
Kekhususan memungkinkan pemilik suatu barang menurut syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar’i.
Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara’, orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik diri sendiri maupun dengan perantara orang lain. Berdasarkan definisi ini, kiranya dapat dibedakan antara hak dan milik, untuk lebih jelas dicontohkan sebagai berikut.
Seseorang pengampu berhak menggunakan harta yang berada di bawah ampuannya, pengampuannya hak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada di bawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki.
Hak yang dijelaskan di atas adakalanya merupakan sulthah, dan adakalanya pula merupakan taklif.
1.      Sulthah terbagi dua, yaitu sulthah ‘ala al nafsi dan sulthah ‘ala sya’in mu’ayanin.
a.       Sulthah ‘ala al nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hal hadlanah (pemeliharaan anak).
b.      Sulthah ‘ala sya’in mu’ayanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti seseoarang berhak memiliki mobil.
2.      Taklif adalah orang yang bertanggung jawab, taklif adakalanya tanggungan pribadi (‘ahdah syakhshiyah) seperti seorang buruh menjalankan tugasnya, adakalanya tanggungan harta (‘ahdah maliyah) seperti membayar utang. Para fukaha berpendapat, bahwa hak merupakan imbangan dan benda (a’yan). Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa hak adalah bukan harta (ina al-haqqlaisah hi al-mal).[2]
C.     Sebab-sebab Pemilikan
Untuk memiliki harta, ternyata tidak semudah yang dipikirkan oleh manusia. Harta dapat dimilki oleh seseorang asal tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku ,baik hukum islam maupun hukum adat. Harta berdasarkan sifatnya dapat dimilki oleh manusia, sehingga manusia dapat memiliki suatu benda. Faktor - faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki antara lain :
1.      Ikraj al mubahat
Untuk harta yang mubah (belum dimilki oleh seseorang). Sesuai hadist yang disebutkan bahwa harta yang tidak termasuk dalam harta yang dihormati(milik yang sah) dan tidak ada penghalang syara' untuk dimilki
Untuk memilki benda-benda mubhat diperlukan dua syarat ,yaitu :
a.       Benda mubhat belum diikhrazkan oleh orang lain. Seorang mengumpulkan air dalam satu wadah kemudian air tersebut dibiarkan, maka orang lain tidak berhak mengambil air tersebut karena telah diikhrazkan orang lain .
b.      Adanya maksud mimiliki. Seorang memiliki harta mubhat tanpa adanya niat, itu tidak termasuk ikhraz. Seumpama seorang pemburu meletakkan jaringnya di sawah kemudian terjeratlah burung – burung. Apabila pemburu meletakkan jaring itu hanya sekedar untuk mengeringkan jaringannya, maka ia tidak berhak memiliki burung-burung tersebut .
2.      Khalafiyah
Bertempatnya seorang atau sesuatu yang baru bertempat ditempat yang lama, maka telah hilang berbagai macam haknya .
Kalifah ada dua macam :
a.       Khalifah syakhsy'an syaksysi waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta yang ditinggalkan oleh muwaris. Jadi, harta yang ditinggalkan muwaris disebut tirkah .
b.      Khalifah syai'an
Apabila seorang merugikan milik orang lain kemudian rusak ditangannya, maka wajiblah dibayar harganya dan diganti kerugian-kerugian pemilik harta tersebut. Maka, khalfiyah syai'in ini disebut tadlimin atau ta'wil (menjamin kerugian).
3.      Tamwull min ta mamluk
Segala yang terjadi dari benda yang telah dimiliki menjadi hak bagi yang memiliki benda tersebut .Misalnya, bulu domba menjadi hak milik bagi pemilik domba .
Dari segi iktiar , sebab malaiyah (memiliki) dibagi menjadi dua macam , yaitu:
a.       Ikhtiyariyah
Sesuatu yang mempunyai hak ikhtiar manusia dalam mewujudkannya. Sebab ini dibagi menjadi dua macam ,yaitu ikhraj al mubahat dan 'uqud .
b.      Jabariyah
Sesuatu yang senantiasa tidak mempunyai ikhtiar manusia dalam mewujudkannya. Sebab jabariyah dibagi dua yaitu irts dan tawallud min al mamluk .
4.      Karena penguasaan terhadap milik negara atas pribadi yang sudah lebih dari tiga tahun, Umar r.a ketika menjabat menjadi khalifah berkata :
Sebidang tanah akan menjadi milik seseorang yang memanfaatkannya dari seseorang yang tidak memanfaatkannya selama tiga tahun. Hanafiyah berpendapat bahwa tanah yang belum ada pemiliknya kemudian dimanfaatkan oleh seseorang, maka orang yang memanfaatkannya itu berhak memiliki tanah itu.[3]
D.    Pembagian Hak
Berbicara masalah pembagian hak, maka jumlah dan macamnya banyak sekali, antara lain dalam pengertian umum, hak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak mal dan hak ghair mal. Adapun pengertian hak mal :
“ Sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti pemilikan benda-benda atau utang-utang “.
Hak ghair mal terbagi dua bagian, yaitu hak syakhshi dan hak ‘aini. Pengertian Hak syakhshi :
“ Sesuatu tuntunan yang ditetapkan syara’ dari seseorang terhadap orang lain “.
Hak ‘aini ialah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua. Hak ‘aini ada dua macam: ashli dan thab’i. Hak ‘aini ashli ialah adanya wujud benda tertentu dan adanya shabul al-haq, seperti hak milikiyah dan hak irtifaq. Hak ‘aini thab’i ialah jaminan yang ditetapkan untuk seseorang yang menguntungkan uangnya atas yang berhutang. Apabila yang berhutang tidak sanggup membayar, maka murtahin berhak menahan barang itu.
Macam-macam hak ‘aini ialah sebagai berikut.
1.            Haq al-milikiyah ialah hak yang memberikan pemiliknya hak wilayah. Boleh dia memiliki, menggunakan, mengambil manfaat, menghabiskannya, merusakkannya, dan membinasakannya, dengan syarat tidak menimbulkan kesulitan bagi orang lain.
2.            Haq al-intifa ialah hak yang hanya boleh dipergunakan dan diusahakn hasilnya. Haq al-Isti’mal (menggunakan) terpisah dari haq al istiqlal (mencari hasil), misalnya rumah yang diwakafkan untuk didiami. Si mauquf ‘alaih hanya boleh mendiami, ia tidak boleh mencari keuntungan dari rumah itu.
3.            Haq al-irtifaq ialah hak memiliki manfaat yang ditetapkan untuk suatu kebun atas kebun yang lain, yang dimiliki bukan oleh pemilik kebun pertama. Misalnya saudara Ibrahim memiliki sawah di sebelahnya sawah saudara Ahmad. Air dari selokan dialirkan ke sawah saudara Ibrahim. Sawah Tuan Ahmad pun membutuhkan air. Air dari sawah saudara Ibrahim dialirkan ke sawah dan air tersebut bukan milik saudara Ibrahim.
4.            Haq al-istihan ialah hak yang diperoleh dari harta yang digadaikan. Rahn menimbulkan hak ‘aini bagi murtahin, hak itu berkaitan dengan harga barang yang digadaikan, tidak berkaitan dengan zakat benda, karena rahn hanyalah jaminan belaka.
5.            Haq al-ihtibas ialah hak menahan sesuatu benda. Hak menahan barang (benda) seperti hak multaqith (yang menemukan barang) menahan benda luqathah.
6.            Haq qarar (menetap) atas tanah wakaf, yang termasuk hak menetapkan atas tanah wakaf ialah :
a.       Haq al-hakr ialah menetap di atas tanah wakaf yang disewa, untuk yang lama dengan seizin hakim;
b.      Haq al-ijaratain ialah hak yang diperoleh karena akad ijarah dalam waktu yang lama, dengan seizin hakim, atau tanah wakaf yang tidak sanggup dikembalikan ke dalam keadaan semula misalnya karena kebakaran dengan harga yang menyamai harga tanah, sedangkan sewanya dibayar setiap tahun.
7.           Haq al-qadar ialah hak menambah bangunan yang dilakukan oleh penyewa;
8.           Haq al-marshad ialah hak mengawasi atau mengontrol
9.           Haq al- murur ialah, “ hak jalan manusia pada miliknya dari jalan umum atau jalan khusus pada milik orang lain”.
10.        Haq ta’alli ialah, “Hak manusia untuk menempatkan bangunannya di atas  bangunan orang lain“.
11.        Haq al-jiwar ialah hak-hak yang timbul disebabkan oleh berdempetnya batas-batas tempat, tinggal, yaitu hak-hak untuk mencegah pemilik uqur dari menimbulkan kesulitan terhadap tetangganya.
12.        Haq Syuf’ah atau haq syurb ialah “ Kebutuhan manusia terhadap air untuk diminum sendiri dan untuk diminum bintangnya serta untuk kebutuhan rumah tangganya “.
Ditinjau dari hak syirb, maka jenis air dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut.
1.            Air umum yang tidak dimiliki oleh seseorang, misalnya air sungai, rawa-rawa, telaga, dan lainnya. Air milik bersama (umum) boleh digunakan oleh siapa saja dengan syarat tidak memadharatkan orang lain.
2.            Air di tempat yang ada pemiliknya, seperti sumur yang dibuat oleh seorang untuk mengairi tanaman di kebunnya, selain pemilik tanah tersebut tidak berhak untuk menguasai tempat air yang dibuat oleh pemiliknya. Orang lain boleh mengambil manfaat dari sumur tersebut atas srizin pemilik kebun.
3.            Air yang terpelihara, yaitu air yang dikuasai oleh pemiliknya, dipelihara dan disimpan di suatu yang telah disediakan, misalnya air di kolam, kendi, dan bejana-bejana tertentu.[4]
E.     Klasifikasi Pemilikan
            Dalam Fiqh Muamalah, milik terbagi dua :
1.    Milk tam, yaitu suatu pemilikan yang meliputi benda dan manfaatnya sekaligus, artinya baik benda dan kegunaannya dapat dikuasai. Pemilikan tam bisa diperoleh salah satunya melalui jual beli.
2.    Milk naqishah, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda tersebut, yaitu memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya yang disebut raqabah atau memiliki manfaatnya saja tanpa memiliki bandanya yang disebut milik manfaat atau hak guna pakai dengan cara i’arah, wakaf, dan washiyah.
Dari segi tempat, milik terbagi menjadi 3 :
1.            Milk al ’ain / milk al raqabah : memiliki semua benda, baik benda tetap (ghair manqul) dan benda-benda yang dapat dipindahkan (manqul). Contoh : pemilikan rumah, kebun, mobil dan motor.
2.            Milk al manfaah : seseorang yang hanya memiliki manfaatnya saja dari suatu benda. Contoh : benda pinjaman, wakaf, dll.
3.            Milk al dayn : pemilikan karena adanya utang. Contoh : sejumlah uang dipinjamkan kepada seseorang atau pengganti benda yang dirusakkan.
Dari segi cara berpautan milik dengan yang dimiliki (shurah) milik dibagi 2 :
1.            Milk al mutamayyiz : sesuatu yang berpautan dengan yang lain, yang memilki batasan-batasan, yang dapat memisahkannya dari yang lain. Contoh : antara sebuah mobil dan seekor kerbau sudah jelas batas-batasnya.
2.            Milk al syai’ atau milk al musya : milik yang berpautan dengan sesuatu yang nisbi dari kumpulan sesuatu, betapa besar atau betapa kecilnya kumpulan itu. Contoh : memiliki sebagian rumah, seekor sapi yang dibeli oleh 5 orang untuk disembelih dan dibagikan dagingnya.[5]
Hak milik dalam islam dapat di lihat sebagai berikut :
1.      Hak Milik Berdasarkan Bentuk (ya’tibari mahali)
a.       Kepemilikan yang didasari dari bentuk barangnya. 
1). Kepemilikan barang (Milkiyatun al-’ain)
     a). Barang yang dapat dipindah (al-mangkulah), barang yang dapat berpindah-pindah contohnya adalah tas.
b)   Perhiasan (al-ma’ta), perhiasan yang memiliki nilai jual bagi pemiliknya, seperti emas, berlian yang suatu hari dapat dijual kembali.
c)      Hewan (al-haiwan), barang yang berbentuk hewan, seperti sapi, kambing.
d)     Tetap (al-’uqar) barang tetap tidak dapat berpindah-pindah seperti tanah, gedung.
b.   Kepemilikan manfaat (Milkiyatun manfaat) kepemilikan berdasarkan manfaatnya, seperti buku, karena buku dimiliki bukan berdasarkan kertasnya, cover melainkan karena manfaatnya.
c.    Kepemilikan hutang (Milkiyatun al-adiyan), kepemilikan yang berkaitan dengan hutang dan kredit-kredit lainnya.
1.      Hak Milik Berdasarkan Penuh atau Tidak (ma yatsa tamaw naquson)
a.       Hak Penuh (milkiyatun tammah), kepemilikan yang sudah penuh haknya, seperti pemilik dari rumahnya sendiri.
b.      Hak Milik tidak Penuh (milkiyatun ann-uqsah), kepemilikan yang masih tergantung orang lain, misalnya ahli waris yang pewarisnya belum wafat.
3.      Hak milik berdasarkan keterpautan (ba ‘a tabara sowaro tohha)
a.       Milkiyatun mutamaziyah, yaitu adanya batasan-batasan, kejelasan perbedaan antara mobil dan rumah, jika di halaman rumah terparkir mobil belum tentu    itu adalah mobil dari pemilik rumah, bisa saja itu mobil milik tamu, karena ada kejelasan perbedaan antara mobil dan rumah.
b.      Milkiyatun sya-i’ah, yaitu adanya pembagian dari keseluruhan, adanya pembagian, contohnya dalam hal investasi seriap investor memiliki bagiannya tersendiri di perusahaan, maka kepemilikan perusahaan tersebut dibagi-bagi.
Adapun factor-faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki antara lain :
1.      Ikraj al muhabat, untuk harta yang mubah (belum dimiliki seseorang) atau harta yang tidak termasuk dalam harta yang dihormati (milik yang sah) dan tidak ada penghalang syara’ untuk dimiliki. Untuk memiliki benda-benda mubahat diperlulkan dua syarat yaitu :
a.       Benda mubahat belum diikrazkan oleh orang lain
b.      Adanya niat (maksud) memiliki
2.      Khalafiyah ialah:“Bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat di tempat yang lama, yang telah hilang berbagai macam haknya”.
Khalafiyah ada dua macam :
a.       Khalafiyah syakhsyi ‘an syakhsyi yaitu si waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta-harta yang ditinggalkan oleh muwaris. Harta yang ditinggalkan oleh muwaris disebut firkah.
b.      Khalafiyah syai’an syai’an yaitu apabila seseorng merugikan milik orang lain atau menyerobot barang orang lain, kemudian rusak ditanganya atau hilang. Maka wajiblah dibayar harganya dan diganti kerugian. Kerugian pemilikharta.
3.      Tawallud mim mamluk, yaitu segala yang terjadi dari benda yang dimiliki hak bagi yang memiliki benda tersebut.
4.      Karena penguasa terhadap milik Negara atas pribadi yang sudah lebih dari 3 tahun di ruang lingkup hak dalam islam. Milik yang di bahas dalam fiqih muamalah secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu sebagai berikut :
a.       Milk tam yaitu suatu kepemilikan yang meliputi benda dan manfaatnya sekaligus, artinya bentuk benda dan kegunaanya dapat dikuasai. Pemilikan tam bisa diperoleh dengan banyak cara misalnya jual beli.
b.      Milk naqishah, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda tersebut. Memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya atau memiliki manfaatnya saja tanpa memilikizatnya.
Milk naqishah yang berupa penguasaan terhadap zat barang (benda) disebut milk raqabah.Sedangkan milk naqish yang berupa penguasaan terhadap kegunaanya saja disebut milk manfaat/hak guna pakai.
Dilihat dari Segi Mahal (tempat) milik dibagi menjadi 3
1.      Milk al ‘ain atau milk al raqabah, yaitu memiliki semua benda baik benda tetap (ghair manqul) maupun benda-benda yang dapat dipindahkan (manqul) seperti pemilikan terhadap rumah, kebun, mobil, motor dll.
2.      Milk manfaah, yaitu seseorang yang hanya memiliki manfaatnya saja dari suatu benda. Seperti benda hasil meminjam, wakaf dll.
3.      Milk al dayn, yaitu pemilikan karena adanya utang. Misalnya sejimlah uang yang dipinjamkan kepada seseorang/pengganti benda yang dirusakkan.
Dari Segi Shurah (cara berpautan milik dengan yang dimiliki) milik dibagi menjadi dua bagian yaitu :
  1.     Milk al mutamayyiz  “Sesuatu yang berpautan dengan yang lain, yang memiliki batasan-batasan yang dapat   memisahkanya dari yang lain”.
Misalnya : antara sebuah mobil dan seekor kerbau
 2.      Milik al sya’I atau milik al musya yaitu : “Milik yang berpautan dengan sesuatu yang nisbi dari kumpulan sesuatu, betapabesar/betapa kecilnya kumpulan itu”.
Misalnya memiliki seekor sapi yang dibeli oleh 40 orang, untuk disembelih dan dibagikan dagingnya.[6]
F.      Beberapa Prinsip Pemilikan
Pemilikan dalam berbagai jenis dan corak sebagaimana yang telah disampaikan di muka memiliki beberapa prinsip yang bersifat khusus.Prinsip tersebut berlaku dan mengandung implikasi hukum pada sebagian jenis pemilikan yang berbeda pada sebagian pemilikan lainnya. Prinsip-prinsip tersebut  adalah sebagaimana disampaikan di bawah ini.
1.      Prinsip pertama . ‘’pada prinsipnya milk al-‘ain(pemilikan atas benda) sejak awaldisertai milk almanfaat (pemilikan atas manfaat), dan bukan sebaliknya’’.
Maksudnya, setiap pemilikan benda pasti diikuti dengan pemilikan atas manfaat.Dengan pada prinsip setiap pemilikan atas benda adalah milk al-tam (pemilikan semourna). Sebaliknya,setiap pemilikan atas manfaat tidak mesti diikuti dengan pemilikan atas bendanya,sebagaimana yang terjadi pada ijarah (persewaan) atau I’arah(pinjaman).
Dengan demikian pemilikan atas suatu benda tidak dimaksudkan sebagai pemilikan atas zatnya atau materinya, melainkan maksud dari pemilikan yang sebenarnya adalah pemanfaatan suatu barang.Tidak ada artinya pemilikan atas suatu harta (al-mal) jika harta tersebut tidak mempunyai manfaat.Inilah prinsip yang dipegang teguh oleh fuqaha’ Hanafiyah ketika mendefiniskan al-mal(harta) sebagai benda materi bukan manfaatnya.Menurut fuquha’ hanafiyah manfaat merupakan unsur utamamilkiyah (pemilikan).
2.      Prinsip kedua ‘’pada prinsipnya pemilikan awal pada suatu benda yang belum pernah dimiliki sebelumnya senantiasa sebagaimilk al-tam (pemilikan sempurna)’’.
Yang dimaksud dengan pemilikan pertama adalah pemilikan diperoleh berdasarkan prinsip ihraz al-mubahatdan dari prinsip tawallud minal-mamluk.Pemilikan sempurna seperti ini akan terus berlangsung sampai ada peralihan pemilikan. Pemilik awal dapat mengalihkan pemilikan atas banda dan sekaligus manfaatnya melalui jual-beli,hibbahdan cara lain yang menimbulkan peralihan milk al-tamkepada pihak lain,mengalihkan manfaat saja atau bendanya saja kepada orang lain ini merupakan pemilikan naqish.
Berdasarkan uraian di muka dapat disimpulkan bahwa pemilikan sempurna adakalanya diperoleh melalui pemilikan awal (ihraz al-mubahat dan al-tawallud), sedang pemilikan naqish hanya dapat diperoleh melalui sebab peralihan dari pemilik awal, yakni melalui akad.
3.      Prinsip ketiga ‘’pada prinsipnya pemilikan sempurna tidak dibatasi waktu, sedang pemilikan naqish dibatasi waktu’’.
Milk al-‘ain berlaku sepanjang saat (mu’abbadah) sampai terdapat akad yang mengalihkan pemilikan kepada orang lain.Jika tidak muncul suatu akad baru dan tidak terjadi khalafiyah, pemilikan terus berlanjut. Adapun milk al-manfaatyang tidak disertai pemilikan bendanya berlaku dalam waktu yang terbatas,sebagaimna yang berlaku pada persewaan, peminjaman, wasiat manfaat selama batas waktu yang telah ditentukan maka berakhirlah milk-al manfaat.
Batas waktu dalam milk al manfaatini jika bersumber dari akadmu’awwadhah seperti ijarah (persewaan) maka sebelum berakhir batas waktunya pemilik benda tidak berhak menuntut pengembalian,karena sesungguhnya ijarah merupakan bai’ al-manfaat (jual beli atas manfaat) dalam batasan waktu tertentu. Apabila milk al-manfaattersebut bersumber dari akad tabbaru’seperti pada I’arah (peminjaman), biasanya tidak diikuti batas waktu yang pasti. Namun pada umumnya pihak yang meminjamkan menghendaki pengembalian dalam waktu dekat, sehingga setiap saat ia dapat meminta pengembalian benda yang dipinjamkannya.
Sekalipun demikian para fuquha’ juga memperhatikan batas waktu pengembalian ‘ariyah yang menimbulkan kerugian pada pihak peminjam.Seperti jika seorang pemilik meminjamkan tanah untuk kepentingan bercocok tanam, berkebun atau untuk mendirikan bangunan.Kemuadian pemilik menghendaki pengembalian tanah tersebut sebelum pekerjaan tersebut diselesaikan. Mengenai hal ini fuquha’ menetapkan kebijakan dengan perincian perkasus,sebagaimana berikut ini.
a.       Dalam kasus pinjaman untuk pertanian,pemilik tanah tidak berhak menuntut pengembalian sebelum masa panen, sebab pertanian berlangsung dalam satu musim tanam. Berbeda dengan kasus persewaan tanah untuk pertanian. Dalam hal ini penggunaan melebihi kasus persewaan tanah untuk pertanian. Dalam hal ini penggunaan melebihi batas waktu sampai masa panen diganti dengan penambahan ongkos sewa. Dengan cara demikian terpeliharalah hak pemilik sedang pihak penyewa tidak dirugikan.
b.      Dalam kasus pinjaman untuk tujuan perkebunan dan untuk mendirikan bangunan,pemilik tanah berhak menarik kembali tanahnya setiap saat ia suka. Ketika itu peminjam wajib mencabut kebun atau merobohkan bangunan dan menyerahkan tanah kepada pemiliknya dalam keadaan kosong. Karena perkebunan pendirian bangunan berlangsung tidak terbatas masa tertentu, tidak seperti pertanian yang berakhir dengan masa panen.Namun jika sejak semula pinjaman tersebut dibatasi dengan waktu, sedang pemilik menarik kembali tanahnya sebelum usaha yang dilakukan pihak pinjaman selesai dilakukan, maka pemilik benar-benar telah berbuat curang (gharar) yang sangat merugikan.Dalam kasus sepeti ini pihak peminjam berhak menuntut kerugian yang terhitung sejak pengosongan tanah sampai batas akhir waktu, dengan mempertimbangakan harga jual bangunan atau perkebunan.
4.      Prinsip keempat, ‘’pada prinsipnya pemilikan benda tidak dapat digugurkan,namun dapat dialihkan atau dipindah’.
Sekalipun seseorang bermaksud menggugurkan hak miliknya atas suatu barang, tidak terjadi pengguguran, dan pemilikan tetap berlaku baginya.Berdasarkan prinsip ini islam melarang sa’ibah (litt.melepaskan),yaitu perbuatan semata menggugurkan atau melepaskan suatu milik tanpa pengalihan kepada pemilik baru. Secara umum perbuatan ini termasuk dalam kategori tabdzir (menyia-nyiakan) karunia tuhan.
5.      Prinsip kelima, ‘’pada prinsipnya mal al-masya’(pemilikan campuran) atas benda materi, dalam hal tasharruf, sama posisinya dengan milk al-mutayyaz, kecuali ada halangan (al-mani)’’.
Berdasarkan prinsip ini diperbolehkan menjual bagian dari milik campuran,mewakafkan atau berwasiat atasnya. Karena tasharruf atas sebagian harta campuran sama dengan bertasharruf atas pemilikan benda secara keseluruhan. Kecuali bertasharruf dengan tiga jenis akad: rahn(jaminan utang), hibah dan ijarah (persewaan). Halangan bertasharruf pada rahndikarenakan tujuan rahnadalah sebagai agunan pelunasan hutang, sehinggamarhun (benda agunan)harus diserahkan kepada murtahin (pemegang gadai/agunan). Yang demikian tidak sah dilakukan atas sebagian dari milik campuran.
Halangan bertasharruf denganhibbah dikarenakan kesempurnaan hibbah harus disertai penyerahan (aq-qabdhu), sedang penyerahan hanya dapat dilakukan pada milk al-mutayyaz.(harta dapat dipisahkan dari yang lainya). Adapun halangan tasharruf dengan ijarah,menurut pandangan fuquha’ hanafiyah adalah jika akadijarah tersebut dilakukan terhadap sebagian dari harta campuran.namun jika ijarah dilakukan oleh masing-masing sekutu atas keseluruhan harta campuran, yang demikian ini tidak ada halangan.
6.      Prinsip keenam, ‘’pada prinsipnya milik campuran atas hutang bersama yang berupa suatu beban pertanggungan tidak dapat dipisah-pisahkan’’.
Apabila pemilikan atas hutang berserikat telah dilunasi (diserahkan) maka telah berubah menjadi milk al-‘ainbukan lagi sebagai milk al-dain.Kemudian dapat dilakukan pembagian bagi masing-masing pemiliknya, sebagaimana yang dapat dilakukan terhadap setiap harta campuran yang dapat menerima pembagian.
Berdasarkan prinsip ini, apabila salah seorang dari sejumlah orang yang memiliki piutang bersama menerima pelunasan hutang yang sepadan dengan bagian yang dimilikinya, maka pelunasan tersebut harus dibagi di antara sekutunya.Sebab kalau seorang di antara mereka dapat melepaskan diri dari sekutunya dalam hal pelunasan hutang harus dinyatakan sebelumnya bahwa telah terjadi pembagian atas piutang bersama dalam bentuk pertanggungan sehingga tidak lagi sebagai piutang bersama, melainkan telah berubah menjadi piutang mumayyazah.Demikianlah maksud dari ‘’piutang bersama tidak dapat pisah-pisahkan’’.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah,Fikih Muamalah(Bogor:Ghalia Indonesia,2011)
[1]httpblog.umy.ac.idrodes2008ringkasan-materi-fiqih-muamalah
Ghufron A dan Mas ‘Adi,Fikih Muamalah Kontektual(Jakarta:PT Raja Grafindo Perdana,2002)

[1]Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah,Fikih Muamalah(Bogor:Ghalia Indonesia,2011), h. 31
[2]Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah,Fikih Muamalah(Bogor:Ghalia Indonesia,2011), h. 32-33
[3]Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah,Fikih Muamalah(Bogor:Ghalia Indonesia,2011), h. 35-37
[4]Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah,Fikih Muamalah(Bogor:Ghalia Indonesia,2011), h. 33-35
[5]Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah,Fikih Muamalah(Bogor:Ghalia Indonesia,2011), h. 37-38
[6]httpblog.umy.ac.idrodes2008ringkasan-materi-fiqih-muamalah
[7] Ghufron A dan Mas ‘Adi,Fikih Muamalah Kontektual(Jakarta:PT Raja Grafindo Perdana,2002), h. 68-74
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....8
JUAL BELI
·         Al-ba’i berarti menjual, mengganti, menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Jual beli adalah suatu akad yang mengandung tukar menukar harta dengan harta lainnya dengan syarat-syarat tertentu.
·         Rukun jual beli:
a.       Penjual dan pembeli
b.      Shigat (ijab dan kabul)
c.       Mauqud alaih (barang dan harga barang).
·         Macam-macam jual beli terlarang:
1.      Jual beli yang melalaikan
2.      Jual beli yang diharamkan
3.      Jual beli mula mulamasah
4.      Jual beli barang yang tidak dimiliki
5.      Jaul beli najasyi (dengan harga tinggi)
6.      Jual beli diatas akad sandarannya
7.      Jual beli dengan cara menipu.
·         Khiyar, pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena ada cacat pada barang yang dijual atau ada perjanjian pada waktu akad atau sebab lain.
·         Macam-macam khiyar:
a.       Khiyar majelis, hak pilih bagi kedua belah pihak (penjual dan pembeli) untuk meneruskan akad selama dalam majelis akad dan belum berpisah badan, artinya akad syah apabila kedua belah pihak yang melakukan akad terlah berpisah badan.
b.      Khiyar syarat, hak pilih selama masih dalam tenggang waktu yang ditentukan
c.       Khiyar ‘Aib, tatkala terdapat cacat pada barang dan tidak diketahui.
d.      Khiyar Ru’bah, hak pilih terhadap barang yang belum ia lihat ketika akad berlangsung.
·         Riba, secara bahasa tumbuh dan berkembang:
a.       Riba fadl, tambahan benda dalam akad jual beli yang menggunakan ukuran syar’i.
b.      Riba nasi’ah, tambahan yang disebutkan dalam perjanjian penukaran barang sebagai imbalan atas ditundanya pembayaran.[2]
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

JUAL BELI
A.    Pengertian Jual beli
Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’I  yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikan secara bahasa dengan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-Ba.i dalam Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-Syira (beli).Dengan demikian, kata al-ba’I berarti jual, tetapi sekalius juga berarti beli.[1]
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang masing definisi sama.
Sebagian ulama lain memberi pengertian :
a.       Ulama Sayyid Sabiq
Ia mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Dalam definisi tersebut harta dan, milik, dengan ganti dan dapat dibenarkan.Yang dimaksud harta harta dalam definisi diatas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak bermanfaat.Yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian), sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan(ma’dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.
b.      Ulama hanafiyah       
Iamendefinisikan bahwa jual beli adalah saling tukar harta dengan harta lain melalui Cara yang khusus. Yang dimaksud ulama hanafiyah dengan kata-kata tersebut adalah melalui ijab qabul, atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli
c.       Ulama Ibn Qudamah
Menurutnya jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.Dalam definisi ini ditekankan kata milik dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak haus dimiliki seperti sewa menyewa.[2]
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandunghal-hal antara lain :
1.      Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
2.      Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
3.      Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
4.      Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.
B.     Dasar hukum jual beli
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-quran dan sunah Rasulullah saw. Terdapat beberapa ayat al-quran dan sunah Rasulullah saw, yang berbicara tentang jual beli, antara lain :
1. Allah berfirman Surah Al-Baqarah ayat 275 “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
2. Allah berfirman Surah Al-Baqarah ayat 198 “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”
3. Allah berfirmanSurah An-Nisa ayat 29 “…kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…”
C.     Sunah Rasulullah saw
1.      Hadist yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’ : “Rasulullah saw, ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan apa yang paling baik. Rasulullah sawa, menjawab usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati (H.R Al-Bazzar dan Al-Hakim). Artinya jual beli yang jujur, tanpa diiringi kecurangan-kecurangan mendapat berkah dari Allah SWT.
2.      Hadist dari al-Baihaqi, ibn majah dan ibn hibban, Rasulullah menyatakan : “Jual beli itu didasarkan atas suka sama suka”
3.      Hadist yang diriwayatkan al-Tirmizi, Rasulullah bersabda : “Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya disurga) dengan para nabi,shadiqqin, dan syuhada”.[3]
D.    Hukum jual beli
Dari kandungan ayat-ayat Al-quran dan sabda-sabda Rasul di atas, para ulama fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli yaitu mubah (boleh).Akan tetapi, pada situasi-situasi tertentu.Menurut Imam al-Syathibi (w. 790 h), pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib.Imam al-Syathibi memberi contoh ketika terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik).Apabila seorang melakukan ihtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga.Dalam hal ini menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal ini sama prinsipnya dengan al-Syathibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total , maka hukumnya boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang beras dan pedagang ini wajib melaksanakannya .demikian pula, pada kondisi-kondisi lainnya.[4]
1.      Rukun dan syarat jual beli
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dpat dikatakan sah oleh syara’.Dalam menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab qabul, ijab adalah ungkapan membeli dari pembeli, dan  qabul adalah ungkapan menjual dari penjual. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli.Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang.[5]
Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
1.      Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).
2.      Ada sighat (lafal ijab qabul).
3.      Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)
4.      Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama diatas sebagai berikut :
2.      Macam-macam jual beli
                        Jual beli dapat ditinjau dari berbragai segi, yaitu:
a.       Ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi:
1)      Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya ada di hadapan penjual dan pembeli.
2)      Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad berlangsung.
3)      Jual beli benda yang tidak ada, Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam agama Islam.
b.      Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli:
1)      Dengan lisan,  akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi orang bisu dapat diganti dengan isyarat.
2)      Dengan perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini dilakukan oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan ini dibolehkan menurut syara’.
3)      Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab kabul. Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label harganya. Menurut sebagian ulama syafiiyah hal ini dilarang karena ijab kabul adalah rukun dan syarat jual beli, namun sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam Nawawi membolehkannya.
c.       Dinjau dari segi hukumnya
Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual beli yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur ulama membaginya menjadi dua, yaitu:
1)   Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.
2)   Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya.
Sedangkan fuqaha atau ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu:
1)   Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
2)   Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
a.       Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli janin di dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
b.      Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan khamar.
c.       Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
d.      Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib atau buku-buku bacaan porno.
e.       Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.[9]
3.      Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Misalnya :
a) jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika berlangsungnya akad.
b)      Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah
c)      Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
d)     Jual beli barang rampasan atau curian.
e)      Menawar barang yang sedang ditawar orang lain.[10]
E.     Manfaat dan Hikmah Jual Beli
Hikmah jual beli dalam garis besarnya sebagai berikut :
Allah swt mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan kepada hamba-hamba-Nya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan.Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih hidup. Tak seorang pun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia di tuntut berhubungan satu sama lainnya. Dalam hubungan ini, taka da satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling tukar, dimana seorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.[11]
[1]Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus, 2005), juz 4.
[2]Ibid
[3]Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut : Daral-ma’rifah, 1975), hal. 56.
[4] Suhendi Hendi,  Fiqh Muamalah,.(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 26.
[5]Nasrun Haroen, fiqh muamalah,(Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007), hlm. 7.
[6]Ibid, hlm. 9.
[7]MS. Wawan Djunaedi, Fiqih, (Jakarta : PT. Listafariska Putra, 2008), hlm. 98
[8]Drs. Ghufron Ihsan. MA, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008), hlm. 35
[9] Thauam marufah, Jual Beli dan Khiyar, di kutip pada situs: http://bolo-kiyai.blogspot.com/2011/11/makalah-jual-beli-dan-khiyar.html. Diakses pada tanggal 02 Oktober 2014, 20.38 WIB.
[10]Ibid
[11]Drs. Gufron Ihsan, M.A, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008), hlm. 89.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...9
KEPENGURUSAN JENAZAH
·         Jenazah laki-laki 3 kafan (3 lapis), perempuan 5 lapis kain kafan (2 lapis kerudung, baju kurung dan sarung).
·         Dalamnya liang kubur itu 2 meter.
·         Ta’ziyah (menghibur). Istilah mengunjungi keluarga yang tertimpa musibah tersebut dengan tujuan agar keluarga tersebut dapat berbagi kesedihan, terhibur, serta mampu bersabar. Ta’ziyah hukumnya sunnah, kesunnahan ini berlalu sejak hari pertama hingga hari ke-3. Hukum ta’ziyah bisa jadi makruh apabila para penta’ziyah berkumpul dalam satu tempat yang khusus, yang itu justru menambah kesedihan.
·         Ziarah (masuk atau mengunjungi), yaitu kunjungan yang dilakukan oleh orang islam tertentu yang dianggap memiliki nilai sejarah.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

KEPENGURUSAN JENAZAH
A.    PENGERTIAN JENAZAH
Kata jenazah diambil dari bahasa Arab  (جن ذح) yang berarti tubuh mayat dan kata جن ذ   yang berarti menutupi. Jadi, secara umum kata jenazah memiliki arti tubuh mayat yang tertutup.[1]
Penyelenggaraan jenazah adalahfardu kifayah bagi sebagian kaum muslimin, khususnya penduduk setempat terhadap jenazah muslim/ muslimah.
Namun, sebelum penyelenggaraan jenazah itu dimulai, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan terhadap jenazah tersebut,[2] yaitu :
1.      Dipejamkan matanya, mendo’akan dan meminta ampunkan atas dosanya.
2.      Dilemaskan tangannya untuk disedekapkan di dada dan kakinya diluruskan.
3.      Mengatupkan rahangnya atau mengikatnya dari puncak kepala sampai ke dagu supaya mulutnya tidak menganga/terbuka.
4.      Jika memungkinkan jenazah diletakkan membujur ke arah utaradan badannya diselubungi dengan kain.
5.      Menyebarluaskan berita kematiannya kepada kerabat- kerabatnya dan handai tolannya.
6.      Lunasilah hutang-hutangnya dengan segera jika ia punya hutang.
7.      Segerakanlah fardu kifayahnya.
B.     PENYELENGARAAN JENAZAH
Menurut syari’at Islam, fardu kifayah dalam menyelenggarakan jenazah ada empat macam, yaitu :
a.       Memandikan jenazah
b.      Mengkafani jenazah
c.       Mensalatkan jenazah
d.      Menguburkan jenazah
e.       Memandikan jenazah.
1.      Memandikan jenazah.
Memandikan adalah salah satu cara yang wajib dilakukan terhadap mayat orang yang beragama Islam. Caranya adalah menyampaikan atau mengalirkan air bersih ke seluruh tubuhnya walaupun ia sedang haid atau junub. Memandikan ini dilakukan orang yang masih hidup dengan menggunakan sabun dan wangi- wangian, tetapi dengan lemah lembut.
Adapun persiapan yang harus dilakukan atau peralatan yang harus disediakan sebelum memandikan jenazah adalah:
a.       Menyediakan air yang suci dan mensucikan secukupnya dan mempersiapkan perlengkapan mandi seperti handuk, sabun, wangi- wangian, kapur barus dan lain-lain.
b.      Mengusahakan tempat yang tertutup untuk memandikan jenazah sehingga hanya orang yang berkepentingan saja yang ada disitu.
c.       Menyediakan kain kafan secukupnya.
d.      Usahakanlah orang-orang yang akan memandikan jenazah itu adalah keluarga terdekat jenazah atau orang-orang yang dapat menjaga rahasia. Jika jenazahnya laki-laki, maka yang memandikannya harus laki- laki, demikian juga sebaliknya jika jenazahnya perempuan, maka yang memandikannya harus perempuan, kecuali suami kepada istrinya/istri kepada suaminya atau muhrimnya.
Orang yang boleh memandikan jenazah adalah orang yang sama jenis kelaminnya dengan mayat kecuali istri/ suami. Namun, jika ada beberapa orang yang berhak memandikanny, maka yang lebih berhak adalah keluarga terdekat yang mengetahui pelaksanaan mandi jenazah serta bersifat amanah. Kalau tidak, orang lain yang lebih berpengetahuan serta amanah ( dapat dipercaya untuk tidak membuka aib jenazah).
Adapun cara memandikan jenazah itu dapat dilakukan sebagai berikut :
a.       Niat karena Allah ta’ala.
b.      Melepaskan segala pakaian yang melekat di badan  jenazah dan menggantinya dengan kain  yang  menutup aurat.
c.       Melepaskan perhiasan dan gigi palsunya jika memungkinkan.
d.      Membersihkan rongga mulutnya, kuku- kukunya dan seluruh tubuhnya dari kotoran dan najis.
e.       Memulai memandikan dengan membersihkan anggota wudu’nya, dengan mendahulukan yang kanan dan menyiramnya sampai rata tiga, lima,tujuh kali atau sesuai dengan kebutuhan.
f.       Jenazah dimiringkan ke kiri kemudian bagian kanan badan disiram dengan air, dan selanjutnya dimiringkan ke kanan dan bagian kiri badan disiram dengan air, siramlah dengan bilangan ganjil.
g.      Pada waktu jenazah disiram dengan air, badannya di gosok-gosok guna menghilangkan najis/ kotoran sekaligus untuk meratakan air ke seluruh tubuh, perutnya di urut dengan pelan atau badannya di bungkukkan sedikit supaya gas dan kotoran yang ada dalam perutnya keluar, dan tempat keluar kotoran tersebut disiram dengan air yang harum dengan memakai sarung tangan.
h.      Pada bagian akhir siraman hendaklah disiram dengan wangi- wangian.
i.        Mengeringkan badan jenazah dengan handuk dan berilah wangi-wangian. Bagi jenazah yang berambut panjang hendaklah dikepang rambutnya jika memungkinkan.  
Selain hal di atas, yang perlu diperhatikan terhadap jenazah adalah sebagai berikut:
a.             Orang yang gugur, syahid dalam peprangan membela agama Allah cukup dimakamkan dengan pakaian yang melekat di tubuhnya ( tanpa dimandikan, dikafani dan disalatkan ).
b.             Orang yang wafat dalam keadaan berihram di rawat seperti biasa tanpa diberi wangi-wangian.
c.             Orang yang syahid selain dalam peperangan membela agama Allah seperti melahirkan, tenggelam, terbakar dirawat seperti biasa.
d.            Jenazah janin yang telah berusia empat bulan dirawat seperti biasa.
e.             Jika terdapat halangan untuk memandikan jenazah, maka cukup diganti dengan tayammum.
f.              Bagi orang yang memandikan jenazah, disunnahkan untuk mandi sesudahnya.
2.      Mengkafani jenazah
Mengkafani jenazah adalah membalut seluruh tubuhnya dengan kain dan sebagainya walaupun hanya dengan sehelai kain. Mayat laki- laki sunat dikafani dengan tiga lapis kain putih. Hal ini sesuai hadis Aisyah R.A:
Sementara itu, mayat perempuan sunat mengkafaninya dengan lima lapis kain yang terdiri dari sehelai kain sarung, selendang dan dua helai kain untuk membalut tubuh mayat/jenazah.
Persiapan dan perlengkapan yang akan dilakukan untuk mengkafani jenazah adalah :
1.      Kain untuk mengkafani secukupnya dan diutamakan yang berwarna putih.
2.      Kain kafan untuk jenazah laki- laki terdiri dari tiga lembar, sedangkan kain kafan untuk jenazah perempuan terdiri dari lima lembar kain, yaitu : kain basahan, baju kurung, kerudung dan dua lembar kain penutup.
3.       Sebaiknya disediakan perlengkapan sebagai berikut:
a.       Tali sejumlah 3, 5, 7, atau 9 antara lain untuk ujung kepala, leher, pinggang/ pada lengan tangan, perut, lutut, pergelangan kaki dan ujungkaki.
b.      Kapas secukupnya.
c.       Kapur barus atau pewangi secukupnya.
d.      Meletakkan kain memanjang searah tubuhnya di atas tali-tali yang telah disediakan.
e.       Untuk jenazah perempuan, aturlah kerudung/ mukena, baju dan kain basahan sesuai dengan letaknya.
Setelah perlengkapan disediakan, maka dilakukan dengan mengkafani jenazah dengan urutan sebagai berikut :
1.      Pada waktu hendak mengkafani dipasang lebih dahulu tirai (pendinding) supaya jenazah itu tidak sampaidilihat orang lain/ selain orang yang mengkafani.
2.      Kain kafan telah dihamparkan dengan letak sebagai berikut:
a.       Kain kafan diletakkan pada urutan yang paling bawah yang telah ditaburi dengan wangi-wangian seperti kapur barus. Dibawah kain kafan diletakkan tiga/ lima buah tali yang di ambil dari pinggir kain kafan. Cara meletakkannya, satu helai di ujung kepala, satu helai di pinggang dan satu helai lagi di ujung kaki. Kedua tangannya diletakkan di dadanya seperti ketika melaksanakan solat.
b.      Jenazah diletakkan membujur di atas kain kafan dalam keadaan tertutup selubung kain.
c.       Lepaskan kain selubung dalam keadaan aurat tetap tertutup.
d.      Jika diperlukan, tutuplah dengan kapas lubang- lubang yang mengeluarkan cairan.
3.      Bagi jenazah laki-laki di tutup dengan tiga lapis kain secara rapi dan di ikat dengan simpul disebelah kiri.
4.      Bagi jenazah yang berrambut panjang (permpuan) hendaklah rambutnya dikepang jika memungkinkan.
5.      Bagi jenazah perempuan, kenakan(pakaian) lima lapis kain yaitu: kerudung, untuk kepala, baju kurung , kain basahan penutup aurat dan dua lembar kain penutup secara rapi serta di ikat dengan simpul disebelah kiri.
6.      Setelah tutup kepala, baju( bagi wanita) kain dan kapas dipakaikan, maka kain kapan digulung dengan cara mempertemukan ujung kain sebelah kanan dan kiri satu persatu, sejak dari leher sampai ke kaki kemudian di ikat dengan tali yang telah diletakkan terlebih dahulu di bawah kain kafan yaitu di ujung sebelah kaki dan pinggang, sedangkan yang sebelah atas masih terbuka sambil menanti kerabatnya ziarah terakhir. Setelah kerabat dan familinya selesai berziarah, maka disempurnakan gulungannya dan
7.      kemudian di ikat di ujung sebelah atas. Dan pertemuan ikatan itu sebaiknya dibuat sebelah kiri jenazah.

3.      Menshalatkan jenazah
Dalam mensalatkan jenazah, terdapat beberapa perbedaan dengan salat- salat pada umumnya karena ada rukun yang sama dan adapula yang berbeda dengan rukun salat pada umumnya.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan salat jenazah, yaitu:[3]
a.       Jenazah diletakkan di arah kiblat( di depan imam apabila berjama’ah atau di depan orang yang mensalatkannya apabila sendiri). Posisi jenazah, kepalanya sebelah kanan dan kaki sebelah kiri imam.
b.      Pada jenazah laki- laki imamnya berdiri sejajar dengan dada jenazah, sedangkan apabila jenazahnya perempuan, maka imam berdiri sejajar dengan pinggang jenazah.
c.       Setelah jama’ah salat jenazah siap untuk melaksanakan salat jenazah tersebut, kemudian berniatlah di dalam hati untuk melaksanakan salat jenazah.
Adapun rukun salat jenah adalah sebagai berikut :[4]
1.      Niat dengan lafaz
2.      Berdiri bagi yang kuasa tanpa rukuk dan sujud.
3.      Takbir empat kali dengan urutan sebagai berikut :
Setelah berniat sebagaimana tersebut di atas, lalu bertakbir dengan mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua telinga atau sejajar kedua bahu dan diletakkan di dada.
a.       Sesudah takbir pertama, dibaca surat Al- Fatihah.
b.      Sesudah takbir kedua, dibaca salawat atas nabi.
c.       Sesudah takbir ketiga, dibaca do’a. Antara lain do’a yang dibaca Rasulullah Saw sebagaimana hadis riwayat Muslim dan Nasa’i dari Auf bin Malik, Rasulullah membaca :
اَللهُم اغْفِرْ لَهُ ورْ حَمْهُ وَ عَا فِهِ وَا عْفُ عَنْهُ وَ اَ كْرِمْ نُزُ لَهُ وَوَ سعْ مَدْ خَلَهُ وَ اغْسِلْهُ بِ الْمَا ءِ وَالثلجِ وَ الْبَرَدِ وَنَقهِ مِنَ الْخَطَا يَا كَمَا يُنَقى الثوْ بُ الاَ بْييَضُ مِنَ الدنَسِ وَاَبْدِ لْهُ دَارَا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَاَهْلاً خَيْرًا مِنْ اَهْلِهِ وَزَوْجاً خَيْراً مِن زَوْجِهِ وَ قِهِ مِنْ فِتْنَةِ عَذَابِ الْقَبرِ وَ عَذَابِ النار( متفق عليه )
d.      Sesudah takbir ke empat sesuai hadis riwayat Al- Hakim dibaca:
اَللهُم لاَ تَحْرِمْناَ أَجْرَه ُوَلاَ تَفْتِنا َ وَا غْفِرْلنَا وَ لَه  (رَوَاه ُالحَا كِم
Apabila jenazahnya anak- anak, maka do’anya sesudah takbir ketiga diganti dengan do’a berikut sebagaimana hadis riwayat Al-Bukhori dan Al- Baihaqy :
اَللهُم اجعَله لَنا سَلَفًا وَزُخْرًا وَفَرَطًا  ( رواه البخارى و البيهقي )
Kemudian  yang terakhir adalah mengucap salam ke kanan dan kiri :
4.      Menguburkan jenazah
Kewajiban yang ke empat terhadap jenazah ialah menguburkannya. hukum menguburkan jenazah adalah fardu kipayah atas orang  yang masih hidup. Dalamnya kuburan sekurang kurangnya kira-kira tidak tercium  bau busuk mayat  itu dari  atas kubur dan tidak dapat dibongkar oleh  binatang  buas,sebab maksud menguburkan mayat ialah untuk menjaga kehormatan mayat itu dan menjaga  kesehatan orang-orang yang ada di sekitar tempat itu.[5]
Sedangkan waktu penguburan secara normal dapat dilakukan pada siang hari.Namun,penguburan dapat dilakukan juga pada malam hari sebab rasulullah saw pernah menguburkan seseorang pada malam hari ,Ali r.a. menguburkan Fatimah binti Muhammad,Abu bakar,Usman,Aisyah,dan Ibnu Mas’ud juga dikuburkan pada malam hari sebagaimana sabda rasulullah SAW.dari jabir r.a yang diriwayatkan ibnu.
Artinya’’:janganlah kamu menguburkan jenazah pada malam hari kecuali dalam keadaan terpaksa’’(H.R.Sunan Ibnu Majah no.1510 kitab ja’a fi al-janaiz)
Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam penguburan jenazah ini antara lain adalah:[6]
a.       Ketika memasukkan mayat ke liang kubur hendaknya pekerja jenazah untuk membaca’’.
b.      Khusus ketika memasukkan jenazah perempuan hendaklah di bentangkan kain di atas liang kuburnya.
c.       Dua  atau tiga  orang dari keluarga terdekat jenazah  dan di utamakan yang tidak junub pada malam hari sebelumnya, masuk kedalam liang kubur dengan berdiri untuk menerima jenazah.
d.      Adapun melepas tali-talinya dan membuka kain yang menutupi dan jari-jari kakinya sehingga menempel ke tanah serta memasang bantalan tidak ada tuntunan dari rasulullah SAW.
e.       Bagi pengiring jenazah yang tiba di kuburan ketika kubur bekum selesai  digali hendaklah duduk menghadap kiblat dan jangan duduk di atas kuburan.
f.       Memintakan ampunan  dan keteguhan dalam jawaban bagi jenazah dan mendo’akannya sambil berdiri
g.      Jenazah diperbolehkan untuk di masukkan ke dalam peti  jika tanahnya berair atau jenazah dalam keadaan mudorat.[7]
h.      Dalam kondisi darurat boleh menguburkan dalam satu lubang dua mayat atau lebih, dan yang lebih didahulukan adalah yang lebih afdhal di antara mereka.
i.        Yang menurunkan mayat adalah kaum laki-laki meskipun mayatnya perempuan.
j.        Menurut sunnah: memasukkan mayat dari arah belakang liang kubur.
k.      Meletakkan mayat di atas sebelah kanannya, wajahnya menghadap kiblat.



DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algensindo Bandung. 1994
Ali Imran Sinaga, Fiqih Taharah, Ibadah, Muamalah, Cita Pustaka Media Perintis Bandung. 2011
Buku Ajar Praktik Ibadah, Fakultas Tarbiyah IAIN SU Medan. 2012
Praktikum Ibadah, Fakultas Ushuluddin IAIN SU Medan. 2012
http: //dear.to/ Abusalma, Ringkasan Cara Penyelenggaraan Jenazah
[1] http://Zainal.blogspot.com/2013/03/Penyelenggaraan Jenazah, disusun oleh.html
[2]Ali Imran Sinaga,  fiqih taharah, Ibadah, Muamalah, hal.81
[3]  Buku Ajar Praktik Ibadah, Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara,hal. 38
[4] Ibid ,hal. 39- 40
[5] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam  Bandung 1994,hal.182
[6] Praktikum Ibadah, Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara,2012, hal.31
[7]http://dear.to/abusalma, Ringkasan Cara Penyelenggaraan Jenazah, Mar 2, 08 10: 22 PM
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.......10
WAKALAH
·         Wakalah berfungsi memberikan kemudahan bagi pihak yang berhalangan menunaikan kewajiban nya atau menerima haknya yakni dengan cara mewakilkan atau memberi kuasa kepada orang lain. Wakalah adalah penyerahan perkara dari seseorang kepada orang lain dalam melaksanakan suatu perbuatan yang dapat diganti untuk dikerjakan semasa dia masih hidup.[3]
·         Rukun dan syarat wakalah (rukun):
1.      Muwakkil (orang yang mewakilkan).
2.      Wakil (yang mewakili)
3.      Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan)
4.      Sighat (lafaz mewakilkan).
·         Sulhu, memutuskan pertengkaran. Sayyid sabiq mengatakan sebagai perhentian konflik. Terminologi, suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (perselisihan) antara dua orang yang berlawanan.[4]
·         Kafalah, beban, jaminan, tanggungan. Istilah, menjamin tanggungan orang yang dijamin dalam melaksanakan hak yang wajib baik seketika maupun yang akan datang.
·         Ju’alah, istilah yang digunakan untuk sesuatu yang diberikan kepada seseorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Menurut bahasa jualah juga diartikan sebagai upah atas suatu prestasi baik perlombaan atau tugas tertentu. Ex: siapa yang hafal Al-Qur’an dapat ini.
·         Arriyah (peminjaman), perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh seseorang kepada pihak lain. Pihak menerima bisa menganbil manfaat dan tanpa harus membayar imbalan & nanti wajib mengenbalikan harta yang dipinjam kepada pemiliknya.
·         Rahn (gadai) artinya, kekal, tetap, jaminan. Istilah menjadikan barang yang bernilai sebagai tanggungan utang. Qs. Al-Baqarah 28 “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalat tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...11
SYIRKAH
·         Syirkah, artinya percampuran, yakni mencampurkan suatu harta dengan harta yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ulama mesir mazhab maliki dna hanafi membagi 4:
a.       Syirkah inan, syirkah yang dilakukan dua orang atau lebih dalam hal permodalan untuk suatu usaha bersama dan kemudian membagi untung dan ruginya bersama-sama sesuai model masing-masing.
b.      Musyaqah, kerja sama dalam perawatan tanman dengan imbalan bagian dari hasil yang diperoleh dari tanman tersebut. Al-Musaqah, penyerahan bidang kebun kepada petani untuk di garap dan dirawat dengan ketentuan petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu.
c.       Muzaro’ah, menumbuhkan, aqad tanman dengan beberapa pihak lain, ulama maliki”kerjasama dalam pertanian”. Muzara’ah benihnya dari petani. Mengenai boleh tidkanya muzara’ah ulam berbeda pendapat, hanfiah dan syafi’i tidak memperbolehkan akad muzara’ah sedangkan malik dan ahmad boleh.
d.      Mukhabarah benihnya dari dari yang punya tanah.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...12
BANK
·         Bank, dari italia “banca” artinya ‘meja” atau tempat menukar uang (kasmir, manajemen perbankan. Istilah lembaga keuangan yang usaha pokonya memberikan kredit dan jasa di lalu lintas dan peredaran uang.[5]
·         Asal mula bak itu tempat penukaran uang. Sejarah bank dimulai dari wilayah benua eropa jaman babylonia. Di ingris perbankan dimulai abad 16.[6]
·         Ulama beda pendapat tentang bank:
a.       Haram, abu zahra, muslim haram hubungan dnegan bank memakai sistem bunga, kecuali darurat.
b.      Tidka haram, syeikh syalhut A. Hasan, bermuamalah dengan bank tidka terlarang, bunga bank di indonesia tidak bersifat ganda.
c.       Syubhat, bak perkara belum jelas ada nas.
·         Karena kepentingan umum dan manfaat sosial yang berarti bagi umat, maka berdasarkan kaidah ushul (maslahah mursalah), bank masih tetap digunakan dan dibolehkan.
·         Asuransi, bahasa belanda assurantie (penanggung), prancis “assurance” (mennaggung sesuatu yang pasti terjadi). Ingris “insurance” asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dimana pihak penanggung menerima asuransidari tertanggung, dengan imbalan kewajiban untuk menanggung kerugian/kerusakan yang diderita tertanggung.
·         Hukum ada yang haram, boleh, dan ketiga asuransi sosial boleh dan komersial haram. Asuransi islam, kerja sama.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

BANK
A.    Pengertian Bank Umum
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatanya memberikan pelayanan jasa dalam lalu lintas perbayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Begitu pula dengan wilayah operasinya yang dapat dilakukan diseluruh wilayah Indonesia, bahkan keluar negeri atau (cabang). Bank umum sering disebut bank komersil(commercial bank).[1]
B.     Fungsi-Fungsi Pokok Bank Umum
Dalam memberikan pelayanan kepada nasabah, bank berupaya secara maksimal memenuhi keinginan nasabah, seperti:
1.      Menghimpun dana dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman.
2.      Menyediakan mekanisme dan alat pembayaran yang efesien dalam kegiatan ekonomi.
3.      Menciptakan uang melalui pembayaran kredit dan investasi.
4.      Menyediakan jasa pengelolaan dana dan trust atau wali amanat kepada individu dan perusahaan.
5.      Menyediakan fasilitas untuk perdagangan internasional.
6.      Memberikan pelayanan penyimpanan untuk barang-barang berharga.
7.      Menawarkan jasa-jasa keuangan lain misalnya kartu kredit, cek perjalanan (traveler’s check), ATM, transfer dana, dan sebagainya.[2]
C.     Kegiatan Bank Umum.
Bank umum atau yang lebih dikenal bank komersil merupakan bank yang banyak beredar di Indonesia. Bank umum juga memilki berbagai unggulan jika dibandingkan dengan BPR., baik dalam bidang ragam pelayanan mauoun jangkauan wilayah operasi. Artinya bank umum memiliki kegiatan pemberian jasa yang paling lengkap dan beroperasi di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam praktiknyan ragam produk tergantung dari status bank yang bersangkutan. Menurut stutus bank umum dibagi menjadi dua jenis yaitu, bank umum devisa dan bank umum non devisa. Masing-masing  status memberikan pelayanan yang berbeda. Bank umum devisa misalnya memilki jumlah layanan jasa yang paling lengkap seperti dapat melakukan kegiatan yang berhubungan dengan jasa luar negeri. Sedangkan bank umum non devisasebaliknya tidak dapat melayani jasa yang berhunungan dengan luar negeri.[3]
Kegiatan bank umum secara lengkap meliputi kegiatan sebagai berikut :
1.      Menghimpun Dana (Funding)
Kegiatan menghimpun dana merupakan kegiatan membeli dana dari masyarakat. Kegiatan ini dikenal juga dengan kegiatan funding. Kegiatan membeli dana dapat dilakukan dengan cara menawarkan berbagai jenis simpanan. Simpanan sering disebut dengan nama reke­ning atau account. Jenis-jenis simpanan yang ada dewasa ini adalah:
a.        Simpanan Giro (Demand Deposit),
Simpanan giro merupakan simpanan pada bank yang penarik­annya dapat dilakukan dengan menggunakan cek atau bilyet giro. Kepada setiap pemegang rekening giro akan diberikan bunga yang dikenal dengan nama jasa giro. Besarnya jasa giro tergantung dari bank yang bersangkutan. Rekening giro biasa digunakan oleh para usahawan, baik untuk perorangan maupun perusahaannya. Bagi bank jasa giro merupakan dana murah ka­rena bunga yang diberikan kepada nasabah relatif lebih rendah dari bunga simpanan lainnya.
b.       Simpanan Tabungan (Saving Deposit),
Merupakan simpanan pada bank yang penarikan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh bank. Penarikan tabungan di­lakukan menggunakan buku tabungan, slip penarikan, kuitansi atau kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Kepada pemegang rekening tabungan akan diberikan bunga tabungan yang meru­pakan jasa atas tabungannya. Sama seperti halnya dengan re­kening giro, besarnya bunga tabungan tergantung dari bank yang bersangkutan. Dalam praktiknya bunga tabungan lebih besar dari jasa giro.
c.        Simpanan Deposito (Time Deposit).
Deposito merupakan simpanan yang memiliki jangka wak­tu tertentu (jatuh tempo). Penarikannyapun dilakukan sesuai jangka waktu tersebut. Namun saat ini sudah ada bank yang memberikan fasilitas deposito yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat. jenis depositopun beragam sesuai dengan keinginan nasabah. Dalam praktiknya jenis deposito terdiri dari deposito berjangka, sertifikat deposito dan deposit on call.[4]
2.      Menyalurkan Dana (Lending)
Menyalurkan dana merupakan kegiatan menjual dana yang ber­hasil dihimpun dari masyarakat. Kegiatan ini dikenal dengan nama kegiatan Lending. Penyaluran dana yang dilakukan oleh bank dila­kukan melalui pemberian pinjaman yang dalam masyarakat lebih dikenal dengan nama kredit. Kredit yang diberikan oleh bank terdiri dari beragam jenis, tergantung dari kemampuan bank yang menya­lurkannya. Demikian pula dengan jumlah serta tingkat suku bunga yang ditawarkan.
Sebelum kredit dikucurkan bank terlebih dulu menilai kelayakan kredit yang diajukan oleh nasabah. Kelayakan ini meliputi berbagai aspek penilaian. Penerima kredit akan dikenakan bunga kredit yang besarnya tergantung dari bank yang menyalurkannya. Besar kecilnya bunga kredit sangat mempengaruhi keuntungan bank, mengingat keuntungan utama bank adalah dari selisih bunga kredit dengan bunga simpanan. Secara umum jenis-jenis kredit yang ditawarkan meliputi :[5]
a.       Kredit Investasi,
Yaitu merupakan kredit yang diberikan kepada pengusaha yang melakukan investasi atau penanaman modal. Biasanya kredit jenis ini memiliki jangka waktu yang relatif panjang yaitu di atas 1(satu) tahun. Contoh jenis kredit ini adalah kredit untuk mem­bangun pabrik atau membeh peralatan pabrik seperti mesin-mesin.
b.      Kredit Modal Kerja.
Merupakan kredit yang digunakan sebagai modal usaha. Biasanya kredit jenis ini berjangka waktu pendek yaitu tidak.lebih dari 1 (satu) tahun. Contoh kredit ini adalah untuk membeli bahan baku, membayar gaji karyawan dan modal kerja lainnya.
c.       Kredit Perdagangan,
Merupakan kredit yang diberikan kepada para pedagang dalam rangka memperlancar atau memperluas atau memperbesar kegiatan perdagangannya. Contoh jenis-kredit ini adalah kredit untuk membeli barang dagangan yang diberikan kepada para suplier atau agen.
d.       Kredit Produktif.
Merupakan kredit yang dapat berupa investasi, modal keda atau perdagangan. Dalam arti kredit ini diberikan untuk diusahakan kembali sehingga pengembalian kredit diharapkan dari hasil usaha yang dibiayai.
e.       Kredit Konsumtif,
Merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan pribadi mi­sainya keperluan konsumsi, baik pangan, sandang maupun pa­pan. Contoh jenis kredit ini adalah kredit perumahan, kredit kendaraan bermotor yang kesemuanya untuk dipakai sendiri.
f.        Kredit Profesi,
Merupakan kredit yang diberikan kepada para kalangan profe­sional seperti dosen, dokter atau pengacara.[6]
3. Memberikan jasa- jasa Bank Lainnya (Services)
Jasa-jasa bank lainnya merupakan kegiatan penunjang untuk mendukung kelancaran kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana. Sekalipun sebagai kegiatan penunjang, kegiatan ini sangat banyak memberikan keuntungan bagi bank dan nasabah, bahkan dewasa ini kegiatan ini memberikan kontribusi keuntungan yang tidak sedikit bagi keuntungan bank, apalagi keuntungan dari spread based semakin mengecil, bahkan cenderung negatif spread (bunga sim­panan lebih besar dari bunga kredit).[7]
Semakin lengkap jasa-jasa bank yang dapat dilayani oleh suatu bank maka akan semakin baik. Kelengkapan ini  ditentukan dari permodalan bank serta kesiapan bank dalam menyediakan SDM yang handal. Disamping itu ,juga perlu didukung oleh kecanggihan teknologi yang dimilikinya. Dalam praktiknya jasa-jasa bank yang ditawarkan meliputi :
a.       Kiriman Uang (Transfer)
Merupakan jasa pengiriman uang lewat bank. Pengiriman uang dapat dilakukan pada bank yang sama atau bank yang berlainan. Pengiriman uang juga dapat dilakukan derigan tujuan dalam kota, luar kota atau luar negeri. Khusus untuk pengiriman uang keluar negeri harus melalui bank devisa. Kepada nasabah pengirim dikenakan biaya kirim yang besarnya tergantung dari bank yang bersangkutan. Pertimbangannya adalah nasabah bank yang bersangkutan (memiliki rekening di bank yang bersangkutan) atau bukan. Kemudian juga jarak pengiriman antar bank tersebut.
b.      Kliring (Clearing)
Merupakan penagihan warkat (surat-surat berharga seperti cek, bilyet giro) yang berasal dari dalam kota. Proses penagihan le­wat kliring hanya memakan waktu 1 (satu) hari. Besarnya biaya penagihan tergantung dari bank yang bersangkutan.
c.        Inkaso (Collection)
Merupakan penagihan warkat (surat-surat berharga seperti cek, bilyet giro) yang berasal dari luar kota atau luar negeri. Proses penagihan lewat inkaso tergantung dari jarak lokasi penagihan dan biasanya memakan waktu 1 (satu) minggu sampai 1 (satu) bulan. Besarnya biaya penagihan tergantung dari bank yang bersangkutan dengan pertimbangan jarak serta pertimbangan lainnya.
d.      Safe Deposit Box
Safe Deposit Box atau dikenal dengan istilah safe loket jasa pelayanan ini memberikan layanan penyewaan box atau kotak pengaman tempat menyimpan surat-surat berharga atau barang-­barang berharga milik nasabah. Biasanya surat-surat atau barang-­barang berharga yang disimpan di dalam box tersebut aman dari pencurian dan kebakaran. Kepada nasabah penyewa box di­kenakan biaya sewa yang besarnya tergantung dari ukuran box serta jangka waktu penyewaan.
e.        Bank Card (Kartu kredit)
Bank card atau lebih populer dengan sebutan kartu kredit atau juga uang plastik. Kartu ini dapat dibelanjakan di berbagaf tem­pat perbelanjaan atau tempat-tempat hiburan. Kartu ini juga dapat digunakan untuk mengambil uang tunai di ATM-ATM yang tersebar diberbagai, tempat yang strategis. Kepada pemegang kartu kredit dikenakan biaya iuran tahunan yang besarnya ter­gantung dari bank yang mengeluarkan. Setiap pembelanjaan memiliki tenggang waktu pembayaran dan akan dikenakan bunga dari jumlah uang yang telah dibelanjakan jika melewati tenggang waktu yang telah ditetapkan.
f.       Bank Notes
Merupakan jasa penukaran valuta asing. Dalam jual beli bank notes bank menggunakan kurs (nilai tukar rupiah dengan mata uang asing).
g.       Bank Garansi
Merupakan jaminan bank yang diberikan kepada nasabah dalam rangka membiayai suatu usaha. Dengan jaminan bank ini si peng­usaha memperoleh fasilitas untuk melaksanakan kegiatannya dengan pihak lain. Tentu sebelum jaminan bank dikeluarkan bank terlebih dulu mempelajari kredibilitas nasabahnya.
h.      Bank Draft
Merupakan wesel yang dikeluarkan oleh bank kepada para nasabahnya. Wesel ini dapat diperjualbelikan apabila nasabah membutuhkannya.
i.        Letter of Credit (L/C)
Merupakan surat kredit yang diberikan kepada para eksportir dan importir yang digunakan untuk melakukan pembayaran atas transaksi ekspor-impor yang mereka lakukan. Dalam tran­saksi ini terdapat berbagai macam jenis L/C, sehingga nasabah dapat meminta sesuai dengan kondisi yang diinginkannya.
j.        Cek Wisata (Travellers Cheque)
Merupakan cek perjalanan yang biasa digunakan oleh turis atau wisatawan. Cek Wisata dapat dipergunakan sebagai alat pem­bayaran diberbagai tempat pembelanjaan atau hiburan seperti hotel, supermarket. Cek Wisata juga bisa digunakan sebagai hadiah kepada para relasinya.
k.      Menerima setoran-setoran.
Dalam hal ini bank membantu nasabahnya dalam rangka me­nampung setoran dari berbagai tempat antara lain :
–     Pembayaran pajak
–    Pembayaran telepon
–    Pembayaran air
–    Pembayaran listrik
–    Pembayaran uang kuliah

l.        Melayani pembayaran-pembayaran.
Sama halnya seperti dalam hal menerima setoran, bank juga melakukan pembayaran seperti yang diperintahkan oleh nasa­bahnya antara lain :
–    Membayar Gaji/Pensiun/honorarium
–    Pembayaran deviden Pembayaran kupon
–    Pembayaran bonus/hadiah
m.    Bermain di dalam pasar modal.
Kegiatan bank dapat memberikan atau bermain surat-surat berharga di pasar modal. Bank dapat berperan dalam berbagai kegiatan seperti menjadi :
– Penjamin emisi (underwriter)
– Penjamin (guarantor)
– Wali amanat (trustee)
– Perantara perdagangan efek (pialang/broker)
– Pedagang efek (dealer)
– Perusahaan pengelola dana (invesment company)[8]
D.    Sumber dan Alokasi Dana Bank
Pemenuhan kebutuhan dana bank dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dari bank itu sendiri yang berupa modal disetor ( net wort ), masyarakat, dan lembaga keuangan.
1.      Sumber dana yang berasal dari bank itu sendiri (modal disetor) bersifat permanen dan asalnya dari pemegang saham.
2.      Sumber dana yang berasal dri masyarakat luas dapat berupa giro (demand deposit ), deposito berjangka (time deposit) dan tabungan (saving deposit).
3.      Sumber dana bank yang berasal dari lembaga keuangan adalah pinjaman dari bank lain serta pinjaman dari bank sentral.
Dana bank yang di pegang dalam bentuk uang kas merupakan cadangan primer (primary reserve). Cadangan primer ini dikenal sebagai likuiditas minimum yang harus di pelihara oleh bank umum. Bank sentral menetapkan beberapa persen dari total dana yang harus dipegang dalam bentuk uang kas.
Alokasi dana bank yang kedua berupa pinjaman (kredit). Pinjaman yang diberikan bank kepada masyarakat ini bisa dalam jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang. Pinjaman yang diberikan bank kepada masyarakat akan mempengaruhi keputusan-keputusan manajemen suatu bank umum.
Alokasi dana yang ketiga adalah untuk cadangan sekunder, yaitu berupa pembelian surat-surat berharga. Surat-surat  berharga ini dapat berupa surat berharga jangka pendek dan jangka panjang. Dengan adanya kekayaan berupa surat berharga ini bank bisa memenuhi kebutuhan dananya dalam jangka pendek dengan menjual surat berharga jangka pendek. Alokasi dana yang keempat berupa pembelian kekayaan lain-lain dapat berupa penanaman dalam harta tetap dan inventaris seperti gedung, tanah, dan sebagainya.
E.     Pengertian BPR.
Pengertian BPR menurut UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Adanya perkembangan lembaga keuangan BPR pasca UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 tersebut dan kondisi lembaga keuangan pada umumnya terutama pada masa dan pasca krisis moneter tahun 1997, maka pengertian BPR mengalami perubahan dengan munculnya UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 pasal 1. Dalam UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 pasal 1 disebutkan bahwa BPR adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dengan demikian ada dua pengertian BPR, yaitu BPR yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional yang tidak diperkenankan melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah (selanjutnya disebut dan ditulis BPR) dan BPR yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah yang tidak diperkenankan melakukan kegiatan secara konvensional (selanjutnya disebut dan ditulis Bank Syariah). [9]
F.      Kegiatan BPR.
Kegiatan usaha BPR meliputi usaha untuk menghimpun dan menyalurkan dana dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang diperoleh dari spread effect dan pendapatan lain. Adapun usaha-usaha BPR adalah:
1.      Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2.      Memberikan kredit.
3.      Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain. SBI adalah sertifikat yang ditawarkan Bank Indonesia kepada BPR apabila BPR mengalami overlikuiditas.
G.    Kegiatan Usaha Yang Dilarang Dilakukan BPR.
Agar peranan BPR sebagai penghimpun dan penyalur dana khususnya untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan kelompok pengusaha ekonomi lemah yang belum mampu melakukan akses ke lembaga keuangan yang sudah ada dapat optimal, maka BPR dilarang melakukan kegiatan usaha sebagai berikut:
1.      Menerima simpanan berupa giro.
2.      Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
3.      Melakukan usaha perasuransian.
4.      Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana yang dimaksud dalam usaha BPR.[10]

H.    Alokasi kredit BPR
Dalam menyalurkan (mengalokasikan) dana dari kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang masih mempunyai kelebihan pendapatan kepada kelompok pengusaha ekonomi lemah yang membutuhkan dana tetapi belum mampu melakukan akses ke lembaga keuangan lain, BPR harus memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1.      Dalam memberikan kredit, BPR wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesangguapan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan perjanjian.
2.      Dalam memberikan kredit, BPR wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh BPR kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan BPR tersebut. Batas maksimum tersebut adalah tiak melebihi 30% dari modal yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.
3.      Dalam memberikan kredit, BPR wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh BPR kepada pemegang saham (dan keluarga) yang memiliki 10% atau lebih dari modal disetor, anggota dewan komisaris (dan keluarga), anggota direksi (dan keluarga), pejabat BPR lainnya, serta perusahaan-perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan dari pihak pemegang saham (dan keluarga) ang memiliki 10% atau lebih dari modal disetor, anggota dewan komisaris (dan keluarga), anggota direksi (dan keluarga), pejabat BPR lainnya. Batas maksimum tersebut adalah tidak melebihi 10% dari modal yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.[11]
FOOTNOTE
[1] Kasmir, Bank dan lembaga keuangan Lainnya, PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2002, hlm 19
[2] Subagyo, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Yogyakarta: YKPN, 2002, hlm
[3] Kasmir, Op.Cid., hlm 30
[4] Ibid., hlm 31
[5]Ibid., hlm 32
[6] Ibid., hlm 333
[7] Ibid., hlm 334
[8] Subagyo, Op.Cit., hlm 33-37
[9] Subagyo, Op. Cit., hlm.118-119.
[10] Ibid, hlm.120.
[11] Ibid, hlm.120-121.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....13
SEDEKAH
·         Sedekah, tindakan yang benar. Sedekah luas: tasbih, tahlil, tahmid, senyum.
·         Hibah pemberian dari orang yang sah kepada orang lain dengan harta yang diketahui tanpa imbalan. Atau memebrikan barang/harta tanpa sebabnya.
·         Hadiah, untuk mewujudkan kasih sayang antara sesama mansuia dan maksud tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan memberikan balasan serupa. Hadiah menjadikan orang menimbulkan kecintaan kepadanya.
·         Wakaf, manahan pokok harta dan membelanjakan hasilnya (dijalan kebaikan), rumah wakaf lalu di sewakan.
·         Rukun:
1.      Waqif (pewakaf)
2.      Mauquf (benda)
3.      Al-mauquf alaih (penerima waqaf harus jelas)
4.      Shigat waqaf.



[1] Hendi suhendi, fiqh muamalah, jakarta, raja grafindo persada, 2007, 39.
[2] Ahmad wardi muslich, fiqh muamalat, jakarta, amzah, 2010, 257.
[3] Abu bakar usman dalam isnawi rais dan hasanuddin, fiqh munakahat, jakarta, lembaga penelitian UIN Jakarta, 2011, 179.
[4] Sayyid sabiq dalam isnawati rais dan hasanudin, 193
[5]Kasmir, manajemen perbankan, jakarta, PT Raja Grafindo, 2002, 12.
[6] Ahmad wardi muslich, fiqh muamalat, jakarta, amzah 2013, 498.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...