Selasa, 24 April 2018

Fiqh MUnakahat & Mawaris Bagian II (dua)


secara pasti, dan membalas setiap orang dengan apa yang ia usahakan dan kepada-Nya tempat berpulang dan kembali,” lalu dia ditanya tentang masalah itu, maka dia menjawab di tengah-tengah khutbahnya. “Dan istri itu, seperdelapannya menjadi sepersembilan,” kemudian ia melanjutkan khutbahnya.[1]
·         Pembagian Masalah ‘Aul
‘Aul secara istilah adalah bertambahnya jumlah ash-habul furudh yang menyebabkan hak waris berkurang. Apabila hal ini terjadi, maka yang dilakukan dalam pembagian waris adalah menambah asal masalah.
             Ada dua pendapat mengenai masalah ‘aul ini, yaitu yang pertama memperbolehkan ‘aul. Pendapat ini mengikuti Umar bin Khattab ketika menyelesaikan masalah kasus waris dari seorang yang wafat meninggalkan seorang suami (haknya ½, karena tanpa anak) dan dua orang saudara perempuan (2/3) sehingga Umar menjadikan harta waris menjadi tujuh bagian). Tiga pertujuh 3/7 menjadi bagian suami dan saudara perempuan masing-masing mendapat dua pertujuh (2/7) bagian.
               Pendapat kedua adalah pendapat Ibnu Abbas, yang mendahulukan penerimaan bagian tetap dan mengorbankan yang lebih lemah, dengan demikian tidak ada ‘aul.
            Pendapat jumhur ulama mengikuti pendapat yang lebih kuat dan lebih adil, yaitu dengan menyamakan kedudukan para ahli waris dalam pengurangan bagian mereka secara proporsional. Jadi pendapat Umar bin Khattab tersebut menjadi rujukan.[2]
·         Contoh penyelesaian masalah ‘aul (enam menjadi tujuh).
              Sesorang meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris; suami dan lima orang saudara kandung. Harta warisannya sebesar Rp. 7.000.000,- ,maka penyelesaiannya sebagai berikut:
Ahli Waris
Bagian
AM
Harta Warisan
Penerimaan


6
Rp. 7.000.000,-

Suami
1/2
3
3/7x7.000.000
3.000.000
5 Sdr Kandung
2/3
4
4/7x7.000.000
4.000.000
 Jumlah                                                                                                7.000.000
Catatan: Dari enam di-‘aul (ditambah) Asal Masalahnya menjadi tujuh.
Para ahli faraidh memberikan sebutan tertentu untuk berbagai kemungkinan ‘aul ini; dan disebutkan sebagai masalah. Nama-nama itu diantaranya:[3]
1.      Mubahalah
Yaitu apabila ahli waris terdiri dari mereka yang jumlah furudhnya menghasilkan penyelesaian ‘aul dan pecahan per 6 menjadi 8.
Contoh Mubahalah, yaitu:
Seseorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris; suami, ibu, dan empat saudara perempuan kandung. Harta warisannya sebesar Rp. 16.000.000,- ,maka penyelesaiannya sebagai berikut:
Ahli Waris
Bagian
AM
Harta Warisan
Penerimaan


6
Rp. 16.000.000

Suami
1/2
3
3/8x16.000.000
6.000.000
Ibu
1/6
1
1/8x16.000.000
2.000.000
4 Sdr Per Kandung
2/3
4
4/8x16.000.000
8.000.000
Jumlah                                                                                                 16.000.00


2.      Gharra’
Masalah Gharra’ timbul bila ahli waris terdiri mereka yang jumlah furudhnya menyebabkan penyelesaian ‘aul dengan meningkatkan dari pecahan per 6 menjadi per 9.
Contoh Gharra’, yaitu:
Seseorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris; suami, ibu, saudara kandung, dan kakek. Harta warisannya sebesar Rp. 3.600.000,- ,maka penyelesaiannya sebagai berikut:
Ahli Waris
Bagian
AM
Harta Warisan
Penerimaan


6
Rp. 3.600.000

Suami
1/2
3
3/9x3.600.000
1.200.000
Ibu
1/3
2
2/9x3.600.000
800.000
Saudara Kandung
1/2
3
3/9x3.600.000
1.200.000
Kakek
1/6
1
1/9x3.600.000
400.000
Jumlah                                                                                                 3.600.000
3.      Ummu al-furukh
Masalah ummu al-furukh atau disebut juga syuraihiyyah terjadi bila ahli waris terdiri dari mereka yang jumlah furudhnya menyebabkan penyelesaian secara ‘aul dengan meningkatkan dari perenam menjadi sepuluh.
Contoh masalah Ummu al-furukh, yaitu:
Seseorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris; suami, ibu, dua orang saudara perempuan kandung dan dua orang saudara seibu. Harta warisannya sebesar Rp. 10.000.000,- maka penyelesaiannya sebagai berikut:
Ahli Waris
Bagian
AM
Harta Warisan
Penerimaan


6
Rp. 10.000.000,-

Suami
½
3
3/10X10.000.000
3.000.000
Ibu
1/6
1
1/10x10.000.000
1.000.000
2 Sdr Pr Kandung
2/3
4
4/10x10.000.000
4.000.000
2 Sdr Seibu
1/3
2
2/10x10.000.000
2.000.000
Jumlah                                                                                                 10.000.000
4.      Ummu al-Aramil
Masalah ummu al-aramil terjadi bila ahli waris terdiri dari mereka yang jumlah furudhnya menyebabkan timbul penyelesaian secara ‘aul dengan meningkatkan pecahan dari per 12 menjadi per 17.
Contoh masalah ummu al-aramil, yaitu:
Seseorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris; istri, ibu, empat orang saudara perempuan kandung, dan dua orang saudara seibu. Harta warisannya sebesar Rp. 34.000.000,- , maka penyelesaiannya sebagai berikut:
Ahli Waris
Bagian
AM
Harta Warisan
Penerimaan


12
Rp. 34.000.000,-

Suami
¼
3
3/17X34.000.000
6.000.000
Ibu
1/6
2
2/17x34.000.000
4.000.000
4 Sdr Pr Kandung
2/3
8
8/17x34.000.000
16.000.000
2 Sdr Seibu
1/3
4
4/17x34.000.000
8.000.000
Jumlah                                                                                     34.000.000
5.      Mimbariyah
Masalah mimbariyah terjadi apabila ahli waris terdiri dari mereka yang jumlah furudhnya menyebabkan terjadinya penyelesaian secara ‘aul dengan meningkatkan pecahannya dari per 24 menjadi per 27.
Contoh masalah mimbariyah, yaitu:
Seseorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris; istri, dua orang ibu bapak dan dua orang anak perempuan. Harta warisannya sebesar Rp. 54.000.000,- ,maka penyelesaiannya sebagai berikut:
Ahli Waris
Bagian
AM
Harta Warisan
Penerimaan


24
Rp. 54.000.000,-

Suami
1/8
3
3/27X54.000.000
6.000.000
Ibu
1/6
4
4/27x54.000.000
8.000.000
Bapak
1/6
4
4/27x54.000.000
8.000.000
2 Anak Pr
2/3
16
16/27x54.000.000
32.000.000
Jumlah                                                                                     54.000.000
·         Pengertian Radd
   Kata Radd secara bahasa (etimologi) berarti i’aadah: mengembalikan.[4]
Radd menurut istilah (terminologi) adalah mengembalikan apa yang tersisa dari bagian dzawul furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka apabila tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya.[5] Dengan demikian, raad merupakan kebalikan dari ‘aul.
·         Rukun Radd
Radd tidak akan terjadi kecuali, bila tidak ada tiga rukun:
1.      Adanya pemilik faradh (shahibul fardh);
2.      Adanya sisa peninggalan;
3.      Tidak adanya ahli waris ashabah.[6]
·         Ahli waris yang memperoleh bagian radd ada dua keadaan:
1.      Tidak ada bersama mereka suami atau istri
2.      Bersama mereka ada suami atau istri.
a.       jika ahli waris yang mendapatkan bagian radd hanya satu orang, maka bagian seluruhnya diberikan kepadanya, baik dari bagian fardh maupun radd.
b.      Apabila ahli waris lebih dari satu orang dan sejenis, maka asal masalah diambil dari jumlah mereka.
·         Jika ahli waris lebih dari satu orang dan terdiri dari dua jenis atau lebih, maka asal masalah diambil dari 6 dan asal masalah dikembalikan ke bilangan yang dapat dihabiskan oleh bagian fardh.
·         Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang anak perempuan, maka seluruh harta diberikan kepadanya baik bagian fardh maupun bagian radd.
·         Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waras empat orang anak perempuan, maka asal masalahnya dari 4 masing-masing mendapat 1 bagian.
·         Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang nenek dan saudara laki-laki seibu, maka asal masalah dari 6. Untuk nenek 1/6 yang berarti mendapat 1 bagian, untuk saudara laki-laki 1/6. Oleh karena itu, asal masalah itu di radd menjadi 2.[7]

·         Gharawain Akdariyah
          Masalah gharawain berkaitan erat dengan kasus kewarisan yang di tangani oleh Umar bin Khaththab, yang kemudian disebut pula dengan istilah umariyyah, yakni dua masalah yang pelaksanaan hukumnya dimulai oleh umar bin khaththab dan di sepakati oleh jumhur sahabat. Adapun al-gharawaini bermakna ‘dua bintang cemerlang’ karena kedua istilah ini sangat masyur. Dalam kasus in, ibu hanya diberi sepertiga bagian dari sisa harta warisan yang ada, setelah di kurangi bagian suami atau istri.
·         Contohnya , jika seorang istri wafat dan meninggalkan suami, ibu dan ayah . suami mendapat bagiang setengah dari seluruh harta warisan yang ada. Ibu mendapatkan  sepertiga dari sisa setelah di ambil suami. Kemudian, ayah mendapat seluruh sisa yang ada. Dalam contoh tersebut, ibu mendapatkan bagian sepertiga dari sisa setelah di ambil bagian suami pewaris ,  sebab bila ia memperoleh sepertiga seluruh harta yang ada, di akan mendapatkan dua kali lipat bagian ayah. hal ini t entunya bertentangan dengan kaidah dasar fara’idh yang telah di tegaskan dalam alquran dalam bagaian ayat, ”Lidzakar mistl hazh  al-unstsayain”. karena , untuk tetap menegakan kaidah dasar tersebut, ibu mendapat  bagian seper tiga dari harta warisan setelah di ambil hak suami pewaris. Dengan demikian, hak ayah menjadi  dua kali lipat dari bagian yang diterima ibu. [8]
·         Musyarakah (Syirkah) secara etimologis mempunyai arti percampuran (ikhli-that), yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya.[9]
·         Secara terminologis, menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, syirkah(musyarakah) adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.
·         Rukun dan Syarat Syirkah
            Mayoritas ulama berpendapat bahwa rukun syirkah ada tiga, yaitu:  
1.        shighat, (jiab kabul)
2.         orang yang melakukan transaksi (‘aqidhain) => balig, berakal,pandai, dan tdk dicekal utk membelanjakan hartanya.
3.        objek yang ditransaksikan => modal pokok harus ada.
·         Adapun yang menjadi syarat syirkah menurut kesepakatan ulama yaitu:
1.      Dua pihak yang melakukan transaksi mempunyai kesepakatan/keahlian (ahliyah) untuk mewakilkan dan menerima perwakilandemikian ini dapat terwujud bila seseorang berstatus merdeka,balig, dan pandai (rasyid), hal ini karena masing-masing dari dua pihak itu posisinya sebagai mitra jika ditinjau dari segi adilnya sehingga ia menjadi wakil mitranya dalam membelanjakan harta.
2.      Modal syirkah diketahui
3.      Modal syirkah ada pada saat transaksi
4.      Besarnya keuntunga diketahui dengan penjumlahan yang berlaku, seperti setengah, dam lain sebagainya.[10]
·         Syaid Sabiq membagi lagi syirkah akad menjadi empat bagian, antara lain:
1.      Syirkah inan, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dalam permodalan untuk melakukan suatu usaha bersama dengan cara membagi untung atau rugi sesuai dengan jumlah modal masing-masing. Namun, apabila porsi masing-masing pihak baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil berbeda sesuai dengan kesepakatan mereka, semua ulama membolehkannya.
2.      Syirkah mufawwadhah, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha dengan persyaratan sebagai berikut :
a.       Modalnya harus sama banyak. Bila ada diantara anggota perserikatan modal lebih besar, maka syirkah itu tidak sah.
b.      Mempunyai kesamaan wewenang dalam bertindak yang ada kaitannya dengan hokum. Dengan demikian, anak yang belum dewasa/baliq, tidak sah dalam anggota perikatan.
c.       Mempunyai kesamaan dalam hal agama. Dengan demikian tidak sah berserikat antara orang muslim dan non muslim
d.      Masing-masing anggota mempuyai hak untuk bertindak atas nama syirkah (kerja sama).
e.       Syirkah wujuh,yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli sesuatu tanpa modal,tetapi hanya modal kepercayaan dan keuntungan dbagi antara sesame mereka.
f.       Syirkah abdam, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha atau pekerjaan. Selanjutnya hasil dariusaha tersebut dibagi antar sesame mereka berdasarkan perjanjian seperti pemborong bangunan,jalan, listrik, dan lain-lain.
·         Tujuan dan Manfaat musyarakah
1.      Memberikan keuntungan kepada para anggota pemilik modal.
2.      Memberikan lapangan kerja kepada karyawannya.
3.      Memberikan bantuan keuangan dari sebagian hasil usaha musyarakah (syirkah) untuk mendirikan tempat ibadah, sekolahan sebagainya (Coorporet Sosial responbility/CSR).[11]

Ringkasan Kelompok 11.
Khunsta Musykil, Kalalah, dan Ahli Waris Pengganti
·   Khuntsa Musykil
   Khuntsa[12] adalah orang-orang yang memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan secara sekaligus atau tidak memiliki alat kelamin sama sekali.[13] Muslich Maruzi mendefinisikan, khuntsa adalah orang yang diragukan jenis kelaminnya apakah ia laki-laki ataukah perempuan. Untuk menentukan yang diterima oleh orang khuntsa yaitu dengan mencari kejelasan kelaminnya dan apabila sulit maka Ulama sepakat bahwa di dalam menentukan status hukum-nya, indikasi fisiklah yang dipedomani, bukan gejala-gejala psikis (kejiwaan) nya, seperti sabda Nabi :[14]
“Berilah anak khuntsa ini (seperti bagian anak laki-laki atau perempuan) mengingat alat kelamin mana yang pertama kali digunakan  buang air.” Begitu pula riwayat dari Ibn Abbas :
ورثوا من ا ول مايبوك  { رواه ابن عباس }
“Berilah warisan menurut kelamin mana ia pertama buang air kecil.”
  Cara lain yang ditempuh , yaitu :
a.    Meneliti tanda-tanda kedewasaanya seperti tumbuh kumis dan jenggot pada laki-laki yang tidak ada pada wanita. Sekiranya tanda-tanda  tersebut dengan jelas diketahui maka disebut gairu musykil.
b.    Namun, jika tidak mudah diketahui tanda-tanda kedewasaanya, Ulama berbeda pendapat, yaitu :[15]Menurut Imam Hanafi, Muhammad al-Syaibani dan Abu Yusuf : Memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki atau perempuan kepada kuntsa dan memberi bagian terbesar pada ahli waris lain.[16]
c.     Seandainya tidak dapat terdeteksi juga dan samar-smaar, maka para ahli hukum Islam tidak ada kesepakatan bagaimana cara menentukannya, sehingga mucul beberapa doktrin (pendapat) diantaranya:
1)      Memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki atau perempuan kepada khuntsa dan member bagian terbesar kepada ahli waris lain. (Pendapat Imam Hanafi, Muhammad al-Syaibani dan Abu Yusuf.[17] Maksudnya dengan cara membandingkan terlebih dahulu berapa bagiannya apabila dia digolongkan sebagai laki-laki dan berapa pula bagiannya apabila dia digolongkan sebagai perempuan, setelah perbandingan ini diketahui, maka kepada orang yang khuntsa tersebut diberi bagian terkecil dari dua kemungkinan bagian tersebut.[18]
2)      Memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki atau perempuan kepada khuntsa dan ahli waris yang lainnya, dan sisa harta ditangguhkan pembagiannya sampai ada kejelasan, atau penyelesaiannya diserahkan sepenuhnya kepada kesepakatan bersama para ahli waris.(Pendapat Imam Syafi’iyah, Abu Dawud, Abu Saur dan Ibn Jabir).[19]
3)      Memberikan saparuh dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan kepada khuntsa al-musykil dan ahli waris lain. (Pendapat Ahli hukum Malikiyyah, Hanabilah, Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah.[20]
·   Kalalah
   Al-Kalalah diambil dari kata al-ikliil yakni sesuatu yang melingkup seluruh kepala, ada juga yang berpendapat dari kata kata al-kalla yang bermakna lemah, kata ini misalnya digunakan dalam kalla ar-rajulu yang artinya apabila orang itu lemah dan hilang kekuatannya. Sedangkan yang dimaksud di sini ialah orang yang hanya memiliki ahli waris dari kaum kerabatnya saja, tidak ada ahli waris pokok (ayah dan seterusnya) atau ahli waris cabang (anak dan seterusnya). [21]
Kata Kalalah muncul dua kali dalam al-Qur’an, yaitu pada Q.S an-Nisa’(4) ayat 12 dan 176 [22]. Merupakan salah satu ayat paling banyak diperselisihkan oleh para pakar tafsir, sampai-sampai diriwayatkan bahwa Umar bin Khatab r.a. berkata :
"Tiga hal yang jika diperjelas keterangannya oleh Rasul, akan menjadi hal-hal yang lebih kusenangi dari kenikmatan duniawi : kalalah, riba dan kekhalifahan."
   Dalam riwayat lain juga dinyatakan bahwa Umar seringkali bertanya dengan sungguh-sungguh kepada Rasulullah saw. tentang masalah kalalah ini, sampai-sampai beliau mendorong dada Umar sambil bersabda:
"Cukup sudah bagimu ayat kalalah musim panas yang disebut pada akhir An-Nisa." (Ayat ke-12 disebut ayat kalalah musim dingin, dan ayat 176 musim panas).
   Perbedaan pendapat dimulai dari akar katanya, selanjutnya makna kata itu sendiri dan terakhir, maksud penggalan ayat itu.
1.      Mayoritas pakar bahasa memahami kata kalalah dengan arti yang mati tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak;
2.      ada juga yang memahami dalam arti yang mati tanpa meninggalkan ayah saja,
3.      ada lagi yang berpendapat yang mati tanpa meninggalkan anak saja, dan masih banyak pendapat lain.
4.      Dan ada juga yang berpendapat bahwa kalalah menunjuk kepada ahli waris, selain kedua ibu bapak dan anak.
a.      Pendapat Para Shahabat
Asy-Sya'rabi meriwayatkan bahwa Abu Bakar r.a ditanya tentang kalalah, maka ia berkata: "Aku menjawab berdasarkan pendapatku. Jika benar maka itu dari Allah dan jika salah maka itu dariku dan dari syaitan. Dan Allah serta Rasul-Nya terlepas darinya. Al-Kalalah adalah orang yang tidak memiliki anak dan tidak memiliki orang tua." Di saat Umar diangkat menjadi khalifah, beliau berkata: "Sesungguhnya aku malu untuk berbeda pendapat dengan Abu Bakar."[23]
     Di dalam tafsirnya, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: Aku adalah orang terakhir yang menjumpai Umar. Sesungguhnya aku mendengarnya berkata: 'Pendapat yang kuat adalah pendapat (saat ini).' Aku bertanya: 'Apa pendapatmu?' Beliau berkata: 'Al-Kalalah adalah orang yang tidak memiliki anak dan tidak memiliki orang tua (sama dengan pendapat Abu Bakar).[24]
     Begitulah pendapat yang dikemukakan oleh Ali dan Ibnu Mas'ud. Telah shahihi pula (pendapat ini) bukan hanya dari satu orang ulama, diantaranya ibnu 'Abbas dan Zaid bin Tsabit. Dan merupakan pendapat asy-Sya'rabi, Ibrahim an-Nakha'i, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, Jabir bin Zaid dan al-Hakam.[25]
     Begitu pula pendapat penduduk Madinah, Kufah dan Bashrah. Demikian pula yang dikemukakan oleh tujuh orang fuqaha, imam empat madzhab serta jumhur ulama salaf dan khalaf, bahkan seluruhnya, intinya telah ijma' mengenai definisinya.

b.      Redaksi Ayat dan Maksudnya
 وَإِن كَانَ رَجُلٌ۬ يُورَثُ ڪَلَـٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٌ۬ وَلَهُ ۥۤ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٌ۬ فَلِكُلِّ وَٲحِدٍ۬ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ فَإِن ڪَانُوٓاْ أَڪۡثَرَ مِن ذَٲلِكَ فَهُمۡ شُرَڪَآءُ فِى ٱلثُّلُثِۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصَىٰ بِہَآ أَوۡ دَيۡنٍ غَيۡرَ مُضَآرٍّ۬ۚ وَصِيَّةً۬ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ۬ 
... Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki [seibu saja] atau seorang saudaraperempuan [seibu saja], maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat [kepada ahli waris]. [Allah menetapkan yang demikian itu sebagai] syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (12)

يَسۡتَفۡتُونَكَ قُلِ ٱللَّهُ يُفۡتِيڪُمۡ فِى ٱلۡكَلَـٰلَةِۚ إِنِ ٱمۡرُؤٌاْ هَلَكَ لَيۡسَ لَهُ ۥ وَلَدٌ۬ وَلَهُ ۥۤ أُخۡتٌ۬ فَلَهَا نِصۡفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ۬ۚ فَإِن كَانَتَا ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُمَا ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَۚ وَإِن كَانُوٓاْ إِخۡوَةً۬ رِّجَالاً۬ وَنِسَآءً۬ فَلِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۗ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَڪُمۡ أَن تَضِلُّواْۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمُۢ
Mereka meminta fatwa kepadamu [tentang kalalah. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah [yaitu]: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya:
1.       yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya,
2.      dan saudaranya yang laki-laki mempusakai [seluruh harta saudara perempuan], jika ia tidak mempunyai anak; tetapi
3.      jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.
4.       Dan jika mereka [ahli waris itu terdiri dari] saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan [hukum ini] kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (176).
c.       Pembagian Waris Kalalah:
Menurut Hazairin yang didasarkan Q.S 4 :12 dan 4:276 yaitu:[26]
1)      Apabila saudara itu sebagai ahli waris seorang laki-laki saja atau perempuan saja, mereka berhak atas 1/6 harta peninggalan.
2)      Apabila saudara itu dua orang atau lebih baik laki-laki atau perempuan, maka bagi mereka 1/3 harta peninggalan berbanding sama banyaknya.
Sedangkan dalam pendapat lain, yaitu:
1)      Ketentuan Hak Waris Saudara se-ibu (Q.S. An-Nisa:12):
a)      Mereka mendapatkan warisan bersamaan dengan orang yang lebih dekat kepada si mayit, yaitu ibu.
b)      (Dalam hal besarnya bagian warisan), maka laki-laki dan perempuan dari kalangan mereka (saudara seibu) adalah sama, bukan 2:1.
c)      Mereka tidak mendapatkan waris kecuali dalm masalah kalalah. Artinya mereka tidak mendapatkannya jika ada bapak, kakek, anak atau cucu dari anak laki-laki.
d)     Mereka tidak mendapat lebih dari 1/3, sekalipun laki-laki dan perempuan dari mereka berjumlah banyak.
2)      Ketentuan Hak Waris Saudara (Kandung dan sebapak) (Q.S. An-Nisa: 176):
a)      Satu orang saudara perempuan mewarisi 1/2 harta si mati.
b)      Dua orang saudara perempuan mewarisi 2/3 harta si mati.
c)      Satu orang saudara lelaki sendirian, ia mewarisi seluruh harta si mati.
d)     Jika ahli waris ada saudara laki-laki dan saudara perempuan, maka laki-laki mendapat 2x bagian perempuan.
·   Ahli Waris Pengganti
   Ahli waris pengganti adalah orang yang tampil sebagai ahli waris karena menggantikan kedudukan orang tuanya yang meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris, tanpa membedakan apakah orang yang meninggal itu laki-laki atau perempaun. Mengenai istilah ahli waris pengganti, Raihan A. Rasyid membedakan antara orang yang disebut “ahli waris pengganti” dan “pengganti ahli waris”. Menurutnya:
1.      ahli waris pengganti adalah orang yang sejak semula bukan ahli waris tetapi karena keadaan tertentu ia menjadi ahli waris dan menerima warisan dalam status sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
2.      pengganti ahli waris adalah orang yang sejak semula bukan ahli waris tetapi karena keadaan tertentu dan pertimbangan tertentu mungkin menerima warisan namun tetap dalam status bukan sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris meninggalkan anak bersama cucu baik laki-laki maupun perempuan yang orang tuanya meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Keberadaan cucu disini sebagai pengganti ahli waris. [27]
   Mengenai ahli waris pengganti Al qur’an mengaturnya dalam Surat An Nisa’ yang berbunyi :
Artinya : “Bagi setiap individu, kami tetapkan sebagai ahli waris dari apa yang ditinggalkan oleh Ibu-Bapak dan karib-kerabat. Dan berikanlah kepada orang-orang yang telah diikat oleh sumpahmu bagian dari mereka. Sesungguhnya Allah maha menyaksikan terhadap segala sesuatu.”
   Sehubungan dengan firman Allah “bagi setiap individu”, kami tetapkan sebagai ahli waris, “Ibnu Abbas dan sekelompok tabi’in mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mawaliya ialah “ahli waris”. Maksud ayat, wahai manusia, bagi setiap kamu Kami jadikan sebagai suatu kelompok yang mewarisi pusaka yang ditinggalkan oleh Ibu-bapak dan karib-kerabatnya. Firman Allah ta’ala, “Dan berikanlah kepada orang-orang yang telah diikat sumpahmu bagian mereka”. yakni, berikanlah kepada orang-orang yang telah dikuatkan oleh sumpahmu bagaian pusaka mereka sebagaimana yang telah kamu janjikan dalam sumpah yang kuat. Hal ini terjadi pada permulaan Islam. Kemudian hukum ini dinasakh.[28]
   Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas (702), “Dan bagi setiap individu, Kami jadikan ahli waris.” Mawaliya berarti ahli waris. “Dan terhadap orang-orang yang sumpahmu telah mengikat” Maksudnya, ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah, maka seorang Muhajirin mewarisi pusaka orang anshor sedangkan kerabatnya tidak mendapat bagian, melalui persaudaraan yang diciptakan oleh Rasulullah Saw di antara mereka.
·         Ahli Waris Pengganti Menurut Hazairin
     Menurut hukum kewarisan bilateral terdapat tiga prinsip kewarisan, yaitu:
1)      Ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. Selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka datuk ataupun saudara baik laki-laki maupun perempuan sama-sama ter-hijab.
2)      Hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham tidak diakui dalam teori ini.
3)      Ahli waris pengganti (mawali) selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (utama). Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh orang tuanya (seandainya masih hidup). Keberadaan mawali ini merupakan konsep yang benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris) dan lebih mencerminkan keadilan.
·         Konsep ahli waris pengganti menurut Hazairin merupakan hasil pemikirannya dalam menafsirkan kata mawali yang ada dalam al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 33 : “Wa likullin ja’alna mawalia mimma tarakal walidani wal aqrabun, wal lazina aqadat aimanukum fa atuhum nashibahum“. Terjemahan menurutnya, “Dan untuk setiap orang itu Aku Allah telah mengadakan mawali bagi harta peninggalan ayah dan mak dan bagi harta peninggalan keluarga dekat, demikian juga harta peninggalan bagi tolan seperjanjianmu, karena itu berikanlah bagian-bagian kewarisannya”. [29]
·         Tolan menurut penafsiran Hazairin adalah orang yang tidak mempunyai keluarga lagi yang telah mengikat janjii untuk meninggalkan sebagian atau semua harta peninggalan sesudah matinya kepada seseorang yang diwajibkan mengurus kematiannya dan menyelesaikan hutang-hutangnya serta memelihara di hari tuanya. Perjanjian pertolanan semacam ini ditemukan pada masyarakat Minahasa yang disebut ngaranan atau di Bali yang disebut makehidang raga. Lebih lanjut Hazirin mengemukakan bahwa perjanjian pertolanan harus dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai keluarga, namun jika ternyata mempunyai keluarga, maka perjanjian pertolanan ini tidak boleh melebihi ketentuan wasiat yakni sepertiga harta peninggalan.[30]
·         Ada dua syarat yang harus dipenuhi mawali tampil sebagai ahli waris, yaitu:
1) Orang yang menghubungkan antara mawali dengan pewaris harus telah meninggal lebih dahulu,
2) Antara mawali dengan pewaris terdapat hubungan darah. Dengan adanya syarat hubungan darah ini, maka bagi janda dan duda tidak mempunyai mawali. Mawali-mawali tersebut meliputi:  
a)Mawali untuk anak, baik laki-laki maupun perempuan
b)                        Mawali untuk saudara, baik laki-laki maupun perempuan
c)Mawali untuk ibu, dan Mawali untuk ayah.
·         Ahli Waris Pengganti Menurut KUH Perdata
     Dalam KUH Perdata dikenal tiga macam penggantian (representatie) yaitu: penggantian dalam garis lurus ke bawah tiada batas, penggantian dalam garis ke samping dan penggantian dalam garis ke samping menyimpang.[31] Ahli waris pengganti dalam KUH Perdata menduduki kedudukan orang tuanya secara mutlak. Artinya, segala hak dan kewajiban orang tuanya yang berkenaan dengan warisan beralih kepadanya.
1)      Penggantian Dalam Garis Lurus ke Bawah.
      Setiap anak yang meninggal dunia lebih dahulu digantikan oleh anak-anaknya, demikian pula jika di antara pengganti-penggantinya itu ada yang meninggal lebih dahulu lagi, maka ia digantikan oleh anak-anaknya, begitu seterusnya, dengan ketentuan bahwa semua keturunan dari satu orang yang meninggal lebih dahulu tersebut harus dipandang sebagai suatu cabang (staak) dan bersama-sama memperoleh bagiannya orang yang mereka gantikan.
      Seseorang yang karena suatu sebab telah dinyatakan tidak patut menjadi ahli waris (onwaardig), atau orang yang menolak warisan (onterfd), maka anak-anaknya tidak dapat menggantikan kedudukannya karena ia sendiri masih hidup.
      Apabila tidak ada anak selain dari yang dinyatakan tidak patut menerima warisan, atau menolak warisan, maka anak-anaknya dapat tampil sebagai ahli waris, tetapi bukan karena menggantikan kedudukan orang tuanya (plaatsvervulling) melainkan karena kedudukannya sendiri (uit eigen hoofde).[32]
2)      Penggantian Dalam Garis ke Samping.
      Apabila saudara baik saudara kandung maupun saudara tiri pewaris meninggal lebih dahulu, maka kedudukannya digantikan oleh anak-anaknya. Jika anak-anak saudara telah meninggal maka digantikan keturunanya, begitu seterusnya.
3)      Penggantian Dalam Garis ke Samping Menyimpang.
      Dalam hal yang tampil sebagai ahli waris itu dari angota-anggota keluarga yang lebih jauh tingkat perhubungannya daripada saudara, misalnya paman atau keponakan, dan mereka ini meninggal lebih dahulu, maka kedudukannya digantikan oleh keturunannya sampai derajat keenam.

·         Ahli Waris Pengganti Menurut KHI
     Seperti telah dikemukakan terdahulu, bahwa dalam KHI memperkenalkan ahli waris baru yang selama ini tidak dikenal dalam fiqh salafi yaitu ahli waris pengganti. Dalam pasal 185 ayat (1) disebutkan : Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. Dalam ayat (2) nya disebutkan: “Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”. Terhadap ahli waris pengganti dalam KHI ini akan dibicarakan secara luas sebagaimana pembahasan berikut.
     Dari rumusan bunyi pasal 185 yang mengatur tentang ahli waris pengganti timbul beberapa permasalahan yang mengundang silang pendapat, antara lain mengenai:
1)      Apakah penggantian ahli waris bersifat tentatif atau imperatif.
2)      Apakah jangkaun garis hukum penggantian ahli waris hanya berlaku untuk ahli waris garis lurus ke bawah atau juga berlaku untuk ahli waris garis menyamping.
3)      Apakah ahli waris pengganti menduduki kedudukan orang tuanya secara mutlak atau secara relatif.
·   Warisan Bayi dalam Kandungan dan Warisan anak Zina
·   Warisan Bayi dalam Kandungan
   Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris diantaranya ada yang masih dalam kandungan. Jika mereka mau, mereka boleh menunda pembagian warisan tersebut hingga si janin lahir. Hal ini tidaklah mengapa sebab warisan adalah hak ahli waris. Apabila mereka meminta atau sebagian mereka meminta bagian sebelum si wanita melahirkan, maka juga tidak mengapa. Oleh karena itu, penghitungan harta warisan si janin dan ahli waris lainnya wajib dilakukan dengan hati-hati.[33]Adapun warisan anak yang ada didalam kandungan tidak akan terlepas dari dua hal :[34]
a.      Adanya perbedaan warisan karena jenis kelamin.
   Seperti warisan untuk anak-anak, oleh karena itu untuk janin tersebut ditentukan bagian terbanyak dari bagian untuk dua anak laki-laki atau bagian untuk dua orang anak perempuan.
   Ketentuannya, apabila ahli waris yang mendapat bagian fardh menghabiskan kurang dari ⅓ harta, maka ketentuan terbanyak untuk janin adalah dari bagian untuk dua orang laki-laki. Dan apabila lebih dari ⅓ harta, maka ketentuan terbanyak untuk janin adalah dari bagian untuk dua orang perempuan. Akan tetapi jika bagian-bagian ahli waris berjumlah ⅓, maka warisan dua orang anak laki-laki dan dua anak perempuan adalah sama saja. Ketentuan ini apabila janin tersebut akan mengambil bagian fardh bersama ahli waris wanita lainnya. Namun apabila janin tersebut akan mengambil bagian ashabah, maka bagaimanapun ketentuan terbanyak adalah bagian untuk dua orang laki-laki atau paling tidak, sama. Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang ibu yang hamil dari hasil hubungan dengan ayah kandung si mayit dan seorang paman dari pihak ayah, maka untuk ibu ¹/6 dan untuk si janin disisihkan jatah dua orang laki-laki, sebab ahli waris yang mendapat bagian fardh tidak menghabiskan ⅓ harta.
     Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris dua orang saudara seibu dan istri ayah yang sedang hamil, maka kedua saudara laki-laki mendapat ⅓ bagian dan selebihnya untuk janin yang masih didalam kandungan. Pada kondisi seperti ini ada persamaan pada warisannya antara laki-laki dan perempuan, sebab bagian fardh yang sudah dihabiskan genap ⅓.
     Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang istri, saudara kandung laki-laki dan seorang ibu hamil dari hasil hubungan dengan ayah kandungnya, maka untuk istri ¼, untuk ibu ¹/6 dan sisihkan untuk janin jatah dua orang laki-laki. Walaupun bagian fardh telah melebihi ⅓ sebab bagaimana pun si janin bakal mewarisi dengan bagian ashabah dan tidak mungkin bagian untuk dua perempuan itu lebih banyak.
     Untuk janin tidak disisihkan harta warisannya melebihi jatah dua orang ahli waris perempuan, sebab hal itu jarang terjadi, sementara sesuatu yang jarang terjadi itu tidak ada hukumnya. Dan tidak pula disisihkan kurang dari jatah tersebut karena meletakkan bagian warisan dua orang wanita itu sudah banyak dan ini dilakukan sebagai tindakan preventif (untuk berjaga-jaga).
b.            Tidak ada perbedaan antara warisan laki-laki dan perempuan
     Oleh karena itu, sisihkan untuk janin bagian untuk dua orang. Silahkan anda perkirakan sesuka anda, apakah yang akan lahir itu laki-laki atau perempuan. Adapun ahli waris yang bakal mendapat bagian warisan bersama janin ini ada tiga keadaan :[35]
1)       Ia tidak bakal gugur oleh si janin, sehingga ia dapat memperoleh bagiannya yang sempurna.
2)      Bagiannya akan berkurang, maka ia diberikan jatah yang pasti akan ia peroleh dengan yakin, yakni bagian yang ia dapati walau bagaimanapun keadaan ahli waris.
3)      Ia akan gugur (terhalang) memperoleh seluruh bagian warisannya, sehingga ia tidak diberi bagian apapun.

       Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang istri yang sedang hamil, seorang nenek dan seorang paman dari pihak ayah, maka bagian nenek tidak akan berkurang sedikitpun. Oleh karena itu, bagian warisannya diberikan dengan sempurna yakni ¹/6.
·         Syarat Warisan  Janin
Ada dua syarat untuk janin:
1)      Keberadaan si janin memang benar-benar positif ketika orang yang mewariskan hartanya meninggal dunia. Ini dapat diketahui dari dua hal:
a)      Dilahirkan oleh orang yang memiliki kehidupan sempurna kurang dari enam bulan dari kematian mayit secara mutlak.
b)      Dilahirkan oleh orang yang memiliki kehidupan sempurna dalam rentang wakti 4 tahun atau kurang dari kematian mayit. Dengan syarat tidak ada seorang laki-laki pun yang melakukan persetubuhan dengan wanita tersebut setelah kematian si mayit.

2)   Lahir dalam keadaan hidup dengan kehidupan yang sempurna.            Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w :
إذ استھل المولُوْدُ وُرِثَ                                                 
Apabila seorang bayi sudah menangis, maka ia berhak mendapat warisan.”[36]

·         Proses Penghitungan Masalah Janin
   Cara menghitung masalah janin, Anda meletakkan asal masalah untuk semua keadaan yang mungkin terjadi pada si janin dan Anda akan memperoleh bilangan terkecil yang akan dibagikan dengan beberapa asal masalah. Hasilnya merupakan masalah jaami’ah. Lalu asal masalah jaami’ah ini dibagi dengan masing-masing asal masalah untuk menghasilkan juz-us abm lalu dikalikan dengan masing-masing bagian yang diperoleh ahli waris.
Kemungkinan-kemungkinan  keadaan si Bayi (Ada 3 kemungkinan)
 Ahli  Waris
Bayi Meninggal
Bayi Laki-laki
Bayi Perempuan
Istri
(+ Janin)
¼ x  4 = 1 bagian
⅛ x 8 = 1 bagian.
Sisa = ⅞ = 7 bagian
⅛ x 24 = 3 bagian
⅔ x 24 = 16 bagian
Paman dari pihak Ayah
 ¾ x 4 = 3 bagian
Gugur
Sisa = 24 – (3+16)
        = 24-19
        = 5 bagian

Jika harta warisan = Rp. 336 juta
Ø  Kemungkinan bayi meninggal, maka bayi tidak mendapat apa-apa.
Ø  Kemungkinan bayi meninggal, maka bayi mendapatkan ⅞ x 336 juta = Rp. 294 juta.
Ø  Kemungkinan bayi meninggal, maka bayi mendapat 16/24 x 336 juta = Rp. 224 juta.
Dari ketiga keadaan perkiraan diatas, yang lebih menguntungkan si bayi adalah perkiraan bayi lahir laki-laki, yaitu sebesar Rp. 294 Juta. Inilah bagian yang disediakan untuk si bayi  Apabila ternyata nanti lahir perempuan, maka ada sisa 294-224 = Rp. 70 Juta yang menjadi hak ahli waris yang lainnya (istri dan paman). [37]
·         Warisan Anak Zina
   Anak yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan dari hubungan nikah yang sah secara syar’i.[38] Untuk menetukan laki-laki yang mempunyai hubungan nasab dengannya dapat dilakukan jika ada seorang lelaki yang mengakuinya anak dengan tidak mengatakan lahir dari perbuatan zina dengan ibu dari sang anak. Sehingga anak itu dapat dinasabkan kepadanya, jika syarat-syaratnya terpenuhi.
   Menurut mayoritas Ulama, anak zina tidak bisa mewarisi ayahnya karena status hukumnya tidak ada hubungan nasab di antara mereka. Anak zina hanya bisa mewarisi harta peninggalan ibunya, begitu juga sebaliknya, ibunya dan saudara-saudaranya yang seibu yang bisa mewarisi harta peninggalannya.[39]
   Pasal 863-873 KUH Perdata menyebutkan bahwa bila anak di luar nikah mewarisi bersama anak-anak dalam perkawinan, anak diluar nikah itu mewarisi 1/3. Bila oramg tua biologisnya tidak meninggalkan keturunan, anak di luar nikah mewarisi ½ harta peninggalan. Bila yang meninggal itu tidak meninggalkan ahli waris, baik dalam kelompok ahli waris berdasarkan hubungan darah maupun hubungan perkawinan, anak-anak di luar nikah itu mewarisi peninggalan seluruhnya.[40]
·         Warisan Mafqud dan Warisan  Orang  yang  Mendapat  Musibah Bersama-sama
1.      Warisan Mafqud
                  Kata Al-Mafqud dalam bahasa berarti Adl-Dlaa-i’u yang berarti lenyap. Orang mengatakan Faqadatis Syai-u idzaa ‘adamathu : sesutau dikatakan hilang apabila tidak ada.[41] Mafquud adalah orang yang terputus beritanya dan tidak diketahui apakah ia masih hidup ataukah sudah mati.[42] Menurut istilah yaitu orang yang tidak pernah diketahui kabarnya, apakah dia masih hidup atau sudah meninggal.[43] Dalam keadaan yang serba tidak jelas demikian, sudah tenteu perlu diambil langkah-langkah untuk mengetahuinya, atau paling tidak menetapkan status hukumnya dengan melalui pengumuman di media massa ataupun cara lain. [44]
                  Al-Mafqud dapat berperan sebagai muwarris apabila ternyata dalam kepergiannya meninggalkan harta dan bisa sebagai ahli waris apabila ada saudaranya yang meninggal dunia.  Para Ulama sepakat menetapkan bahwa harta al-mafqud ditahan dulu sampai ada berita yang jelas. Namun persoalnnya sampai kapan penangguhan semacam ini, sehingga berbeda pendapat, apakah ditetapkan sesuai waktu atau diserahkan kepada ijtihad hakim.[45]

                  Para ahli hukum Islam telah menetapkan hukum-hukum bagi orang hilang, yaitu : ia tidak boleh diwarisi hartanya, tidak boleh dikawini isterinya, dan tidak boleh dibelanjakan hak-haknya sampai diketahui keadaanya dan jelas urusannya serta masih hidup atau meninggal, atau telah melampaui masa yang pada umumnya sudah meninggal dan hakim menetapkan kematiannya.
·         Proses PenghitunganWarisan Orang Hilang
                  Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris yang hilang sedang dalam masa penantian, maka buatkanlah asal masalah, jika orang tersebut masih hidup dan asal masalah jika orang hilang tersebut tmeninggal., dan carilah bilangan terkecil yang dapat dibagikan terhadap kedua asal masalah tersebut. Dan hasil ini disebut asal masalah jaami’ah. Lalu asal masalah jaami’ah dibagikan dengan masing-masing asal masalah tadi agar didapati juz-ussahm. Lantas ia dikalikan dengan bagian masing-masing ahli waris.[46]

                  Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang suami dan dua orang saudara perempuan kandung yang satu hilang. Jika diperkirakan saudara yang hilang masih hidup, maka asal masalah 6 dan‘aul ke 7. Untuk suami½ yang berarti memperoleh 3 bagian dan untuk dua orang saudara perempuan⅔  yang berarti memperoleh 4 bagian.[47]
·         Contoh Praktek Pembagian HartaWarisan Jika ada Ahli Waris Mafquud
AW
Bagian jika diperkirakan
Jika diperkirakan meninggal (maut)
AM jaami’ah (KPK dari AM hayatdan AM maut)
Juz-us Sahm
Praktek pembagian
Suami
½ x 6 = 3
½ x 2 = 1
KPK dari 7 dan 2 = 14
Hayat danMaut
Bagian terkecil yang diperoleh suami dan saudari kandung yang ada adalah pada masalah hayat. Inilah yang dibagikan. Sisanyaditangguhkan.
Saudarikandung
⅔ x 6 = 4
½ x 2 = 1
KPK dari 7 dan 2 = 14
³/7 x 14 = 6dan½ x 14 = 7

Saudari kandunghilang (mafquud)
⅔ x 6 = 4
(Diperkirakan meninggal)
KPK dari 7 dan 2 = 14
²/7 x 14 = 4dan ½ x 14 = 7


AM = 7•
AM = 2

²/7 x 14 = 4


Ø  Lebih besar dari asal masalah, maka AM ‘auldari 6 ke 7
Ø  Jika mafquud kemudian dihukum meninggal, maka bagian mafquud(4 bagian) dibagikan kepadasuami (7-6=1 bagian), dan saudari kandung yang ada (7-4=3 bagian).
·         Warisan Orang yang Mendapat Musibah Bersama-Sama

            Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi suatu peristiwa (seperti bencana alam dan kecelakaan) yang mengakibtakan beberapa orang meninggal atau mendapat musibah bersama-sama (serentak), dan tidak jarang orang yang terkena musibah tersebut saling waris-mewarisi seperti kecelakaan pesawat dimana ia meninggal bersama anak dan cucnya sehingga tidak diketahui siapa yang meninggal lebih dulu. [48]

            Dalam kasus seperti ini, ahli hukum Islam berpendapat bahwa tidak boleh waris-mewarisi. Adapun yang menjadi alas an tersebut adalah disebabkan syarat siapa pewaris dan siapa yang menjadi ahli warisnya tidak jelas, sehingga harta warisan mereka hanya dapat diberikan kepada ahli waris mereka masing-masing yang masih hidup.[49]


       [1]Faturrahman dalam Moh. Muhibin dan Abdul Wahid, Hukum kewarisan Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 123-124.
       [2]Muhammad Iqbal dalam  Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), 54.
       [3]Amir Syarifuddin, Ibid., 55-56.
       [4]Ash-Shabuni dalam Moh. Muhibin dan Abdul Wahid, Hukum kewarisan Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 128.
       [5]Sayid Sabiq, Ibid., 128.
       [6]Ibid., 128.
      [7]Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2006), 201.
       [8]Beni Ahmand Saebani, Fiqih Mawaris (Bandung: CV.PUSTAKA SETIA, 2012), 329.
      [9]Ramat Syafe’I, Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 183.
       [10]Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, el al, Loc cit,. 266.
       [11]Ibid., 225-226.
                [12] Didalam istilah hukum Islam orang-orang yang seperti ini diistilahkan dengan Khuntsa Al-Musykil. Dalam istilah sehari-hari sering juga disebut dengan wadam (Hawa-Adam), waria (Wanita-Pria). Lihat Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), cet. I, hal. 68.
                [13] Ibid. Lihat juga Amir Syarifuddin, Op. Cit., hal. 139
                [14] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op. Cit., hal. 138.
                [15] Ibid., Lihat juga Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Op. Cit, hal. 68-69.
                [16]Muhammad Ali Ash Shabunny, Hukum Waris Islam yang diterjemahkan oleh Sarmin Syukur dalam judul asli Al-Mawarist Fisy-Syar’iyatil Islamiyah ‘Ala Dhauil Kitab Wa Sunnah (Surabaya: Al-Ikhlas, cet. I, hal.235. Lihat juga Ahmad Rofiq, Op. Cit., hal. 138.
                [17] Fathur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hal. 486.
                [18] Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Op. Cit, hal. 70.
                [19] Fathur Rahman, Op. Cit., hal. 488.
                [20] Ibid., hal. 489.

                [21] Wasiun Mika, “Pengertian kalalah; Bagian Waris Untuk Saudara Menurut Tafsir Al-Qur'an, Hadits Dan Asbabun Nuzul”, diakses dari http://www.jadipintar.com/2015/08/pengertian-kalalah-bagian-waris-untuk-saudara-menurut-tafsir-al-quran-hadits-dan-asbabun-nuzul.html, pada tanggal 25 September 2017, pukul 11.04.

                [22] Facthur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: Al Ma’arif, 1975), hal. 62.
                [23] At-Thabari (VIII/53).
                [24] At-Thabari (VIII/59).
                [25] At-Thabari (VIII/55=57).
                [26] M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta: Ind-Hill, Co, 1984), hal. 55.

            [27] Saifudien Djazuli, “Ahli Waris Pengganti”, diakses dari http://saifudiendjsh.blogspot.co.id/2014/02/ahli-waris-pengganti.html , pada tanggal 22 September 2017, pukul 8:41.


                [28] Muhammad Nasib Ar-rifai, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Kastir (Jakarta:  Gema Insani Press, 1999), hal. 701.
                [29] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilaterral Menurut Al-Qur’an dan Hadits (Jakarta: Tinta Mas, 1982), hal. 16.
[30] Ibid., hal. 27-44.
                [31] M.Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hal. 125-126.
                [32] Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 1979), hal. 83.
                [33] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih  diterjemahkan oleh Abu Ihsan al-Atsari dari judul asli Tas-hiilul Faraa-idh (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir), hal. 227.
                [34] Ibid.
                [35] Ibid., hal. 228-229.
                [36] H.R Abu Daud no. 2920 kitab al-Faraa-idh, bab Fil Mauluudi Yastahillu tsumma Yamuut. Lihat Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih  diterjemahkan oleh Abu Ihsan al-Atsari dari judul asli Tas-hiilul Faraa-idh (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir), hal. 231.
                [37] Ibid., hal. 233.
                [38] Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris , Op. Cit., 401.
                [39] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op. Cit., hal. 129.
                [40] Wahyu Kuncoro, Waris : Permasalahan dan Solusinya : Cara Halal dan Legal Membagi Warisan (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015), hal. 71.
                [41] Muhammad Ali Ash Shabunny, Op. Cit., hal. 249.
                [42] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih yang diterjemahkan oleh Abu Ihsan al-Atsari dalam buku yang berjudul asli Tas-hiilul Faraa-idh (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2015), hal. 237. Lihat juga Muhammad Muhyidin Abdul hamid, Panduan Waris Empat Mazhab (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), hal. 266.
                [43] Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, Op. Cit., hal. 376
                [44] Ahmad Rofiq, Op. Cit., hal. 134.
                [45] Ibid.
                [46] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Op. Cit., hal. 241
                [47] Ibid.
                [48] Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Op. Cit., hal. 65.
                [49] Ibid., hal. 66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...