secara pasti,
dan membalas setiap orang dengan apa yang ia usahakan dan kepada-Nya tempat
berpulang dan kembali,” lalu dia ditanya tentang masalah itu, maka dia menjawab
di tengah-tengah khutbahnya. “Dan istri itu, seperdelapannya menjadi
sepersembilan,” kemudian ia melanjutkan khutbahnya.[1]
·
Pembagian Masalah ‘Aul
‘Aul secara istilah adalah bertambahnya jumlah ash-habul furudh yang
menyebabkan hak waris berkurang. Apabila hal ini terjadi, maka yang dilakukan
dalam pembagian waris adalah menambah asal masalah.
Ada dua pendapat mengenai masalah
‘aul ini, yaitu yang pertama memperbolehkan ‘aul. Pendapat ini
mengikuti Umar bin Khattab ketika menyelesaikan masalah kasus waris dari
seorang yang wafat meninggalkan seorang suami (haknya ½, karena tanpa anak) dan
dua orang saudara perempuan (2/3) sehingga Umar menjadikan harta waris menjadi
tujuh bagian). Tiga pertujuh 3/7 menjadi bagian suami dan saudara perempuan
masing-masing mendapat dua pertujuh (2/7) bagian.
Pendapat kedua adalah pendapat
Ibnu Abbas, yang mendahulukan penerimaan bagian tetap dan mengorbankan yang
lebih lemah, dengan demikian tidak ada ‘aul.
Pendapat jumhur ulama mengikuti
pendapat yang lebih kuat dan lebih adil, yaitu dengan menyamakan kedudukan para
ahli waris dalam pengurangan bagian mereka secara proporsional. Jadi pendapat
Umar bin Khattab tersebut menjadi rujukan.[2]
·
Contoh penyelesaian masalah ‘aul (enam menjadi tujuh).
Sesorang meninggal dunia dan
meninggalkan ahli waris; suami dan lima orang saudara kandung. Harta warisannya
sebesar Rp. 7.000.000,- ,maka penyelesaiannya sebagai berikut:
Ahli
Waris
|
Bagian
|
AM
|
Harta
Warisan
|
Penerimaan
|
|
|
6
|
Rp.
7.000.000,-
|
|
Suami
|
1/2
|
3
|
3/7x7.000.000
|
3.000.000
|
5
Sdr Kandung
|
2/3
|
4
|
4/7x7.000.000
|
4.000.000
|
Jumlah 7.000.000
Catatan: Dari enam di-‘aul (ditambah) Asal Masalahnya menjadi
tujuh.
Para ahli
faraidh memberikan sebutan tertentu untuk berbagai kemungkinan ‘aul ini; dan
disebutkan sebagai masalah. Nama-nama itu diantaranya:[3]
1.
Mubahalah
Yaitu
apabila ahli waris terdiri dari mereka yang jumlah furudhnya menghasilkan
penyelesaian ‘aul dan pecahan per 6 menjadi 8.
Contoh
Mubahalah, yaitu:
Seseorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris; suami, ibu, dan
empat saudara perempuan kandung. Harta warisannya sebesar Rp. 16.000.000,-
,maka penyelesaiannya sebagai berikut:
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM
|
Harta Warisan
|
Penerimaan
|
|
|
6
|
Rp. 16.000.000
|
|
Suami
|
1/2
|
3
|
3/8x16.000.000
|
6.000.000
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
1/8x16.000.000
|
2.000.000
|
4 Sdr Per Kandung
|
2/3
|
4
|
4/8x16.000.000
|
8.000.000
|
Jumlah
16.000.00
2.
Gharra’
Masalah Gharra’ timbul bila ahli waris terdiri mereka yang jumlah
furudhnya menyebabkan penyelesaian ‘aul dengan meningkatkan dari pecahan per 6
menjadi per 9.
Contoh
Gharra’, yaitu:
Seseorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris; suami, ibu,
saudara kandung, dan kakek. Harta warisannya sebesar Rp. 3.600.000,- ,maka
penyelesaiannya sebagai berikut:
Ahli
Waris
|
Bagian
|
AM
|
Harta
Warisan
|
Penerimaan
|
|
|
6
|
Rp. 3.600.000
|
|
Suami
|
1/2
|
3
|
3/9x3.600.000
|
1.200.000
|
Ibu
|
1/3
|
2
|
2/9x3.600.000
|
800.000
|
Saudara
Kandung
|
1/2
|
3
|
3/9x3.600.000
|
1.200.000
|
Kakek
|
1/6
|
1
|
1/9x3.600.000
|
400.000
|
Jumlah
3.600.000
3.
Ummu al-furukh
Masalah
ummu al-furukh atau disebut juga syuraihiyyah terjadi bila ahli waris terdiri
dari mereka yang jumlah furudhnya menyebabkan penyelesaian secara ‘aul dengan
meningkatkan dari perenam menjadi sepuluh.
Contoh
masalah Ummu al-furukh, yaitu:
Seseorang
meninggal dunia meninggalkan ahli waris; suami, ibu, dua orang saudara
perempuan kandung dan dua orang saudara seibu. Harta warisannya sebesar Rp.
10.000.000,- maka penyelesaiannya sebagai berikut:
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM
|
Harta Warisan
|
Penerimaan
|
|
|
6
|
Rp. 10.000.000,-
|
|
Suami
|
½
|
3
|
3/10X10.000.000
|
3.000.000
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
1/10x10.000.000
|
1.000.000
|
2 Sdr Pr Kandung
|
2/3
|
4
|
4/10x10.000.000
|
4.000.000
|
2 Sdr Seibu
|
1/3
|
2
|
2/10x10.000.000
|
2.000.000
|
Jumlah
10.000.000
4.
Ummu al-Aramil
Masalah
ummu al-aramil terjadi bila ahli waris terdiri dari mereka yang jumlah
furudhnya menyebabkan timbul penyelesaian secara ‘aul dengan meningkatkan
pecahan dari per 12 menjadi per 17.
Contoh
masalah ummu al-aramil, yaitu:
Seseorang
meninggal dunia meninggalkan ahli waris; istri, ibu, empat orang saudara
perempuan kandung, dan dua orang saudara seibu. Harta warisannya sebesar Rp.
34.000.000,- , maka penyelesaiannya sebagai berikut:
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM
|
Harta Warisan
|
Penerimaan
|
|
|
12
|
Rp. 34.000.000,-
|
|
Suami
|
¼
|
3
|
3/17X34.000.000
|
6.000.000
|
Ibu
|
1/6
|
2
|
2/17x34.000.000
|
4.000.000
|
4 Sdr Pr Kandung
|
2/3
|
8
|
8/17x34.000.000
|
16.000.000
|
2 Sdr Seibu
|
1/3
|
4
|
4/17x34.000.000
|
8.000.000
|
Jumlah 34.000.000
5.
Mimbariyah
Masalah
mimbariyah terjadi apabila ahli waris terdiri dari mereka yang jumlah furudhnya
menyebabkan terjadinya penyelesaian secara ‘aul dengan meningkatkan pecahannya
dari per 24 menjadi per 27.
Contoh
masalah mimbariyah, yaitu:
Seseorang
meninggal dunia meninggalkan ahli waris; istri, dua orang ibu bapak dan dua
orang anak perempuan. Harta warisannya sebesar Rp. 54.000.000,- ,maka
penyelesaiannya sebagai berikut:
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM
|
Harta Warisan
|
Penerimaan
|
|
|
24
|
Rp. 54.000.000,-
|
|
Suami
|
1/8
|
3
|
3/27X54.000.000
|
6.000.000
|
Ibu
|
1/6
|
4
|
4/27x54.000.000
|
8.000.000
|
Bapak
|
1/6
|
4
|
4/27x54.000.000
|
8.000.000
|
2
Anak Pr
|
2/3
|
16
|
16/27x54.000.000
|
32.000.000
|
Jumlah 54.000.000
·
Pengertian Radd
Kata Radd secara bahasa (etimologi)
berarti i’aadah: mengembalikan.[4]
Radd menurut istilah (terminologi) adalah mengembalikan apa yang
tersisa dari bagian dzawul furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan
besar kecilnya bagian mereka apabila tidak ada orang lain yang berhak untuk
menerimanya.[5]
Dengan demikian, raad merupakan kebalikan dari ‘aul.
·
Rukun Radd
Radd
tidak akan terjadi kecuali, bila tidak ada tiga rukun:
1.
Adanya pemilik faradh (shahibul fardh);
2.
Adanya sisa peninggalan;
3.
Tidak adanya ahli waris ashabah.[6]
·
Ahli waris yang memperoleh bagian radd ada dua keadaan:
1.
Tidak ada bersama mereka suami atau istri
2.
Bersama mereka ada suami atau istri.
a.
jika ahli waris yang mendapatkan bagian radd hanya satu orang, maka
bagian seluruhnya diberikan kepadanya, baik dari bagian fardh maupun radd.
b.
Apabila ahli waris lebih dari satu orang dan sejenis, maka asal
masalah diambil dari jumlah mereka.
·
Jika ahli waris lebih dari satu orang dan terdiri dari dua jenis
atau lebih, maka asal masalah diambil dari 6 dan asal masalah dikembalikan ke
bilangan yang dapat dihabiskan oleh bagian fardh.
·
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris
seorang anak perempuan, maka seluruh harta diberikan kepadanya baik bagian
fardh maupun bagian radd.
·
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waras empat
orang anak perempuan, maka asal masalahnya dari 4 masing-masing mendapat 1
bagian.
·
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris
seorang nenek dan saudara laki-laki seibu, maka asal masalah dari 6. Untuk
nenek 1/6 yang berarti mendapat 1 bagian, untuk saudara laki-laki 1/6. Oleh
karena itu, asal masalah itu di radd menjadi 2.[7]
·
Gharawain Akdariyah
Masalah gharawain berkaitan erat dengan kasus kewarisan yang di tangani
oleh Umar bin Khaththab, yang kemudian disebut pula dengan istilah umariyyah, yakni dua masalah yang
pelaksanaan hukumnya dimulai oleh umar bin khaththab dan di sepakati oleh
jumhur sahabat. Adapun al-gharawaini bermakna ‘dua bintang cemerlang’ karena
kedua istilah ini sangat masyur. Dalam kasus in, ibu hanya diberi sepertiga
bagian dari sisa harta warisan yang ada, setelah di kurangi bagian suami atau
istri.
·
Contohnya , jika seorang istri wafat dan meninggalkan suami, ibu
dan ayah . suami mendapat bagiang setengah dari seluruh harta warisan yang ada.
Ibu mendapatkan sepertiga dari sisa
setelah di ambil suami. Kemudian, ayah mendapat seluruh sisa yang ada. Dalam
contoh tersebut, ibu mendapatkan bagian sepertiga dari sisa setelah di ambil
bagian suami pewaris , sebab bila ia
memperoleh sepertiga seluruh harta yang ada, di akan mendapatkan dua kali lipat
bagian ayah. hal ini t entunya bertentangan dengan kaidah dasar fara’idh yang telah di tegaskan dalam
alquran dalam bagaian ayat, ”Lidzakar
mistl hazh al-unstsayain”. karena ,
untuk tetap menegakan kaidah dasar tersebut, ibu mendapat bagian seper tiga dari harta warisan setelah
di ambil hak suami pewaris. Dengan demikian, hak ayah menjadi dua kali lipat dari bagian yang diterima ibu.
[8]
·
Musyarakah (Syirkah) secara etimologis mempunyai arti percampuran (ikhli-that), yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan
harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya.[9]
·
Secara terminologis, menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, syirkah(musyarakah) adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam hal
permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.
·
Rukun dan Syarat Syirkah
Mayoritas ulama berpendapat bahwa
rukun syirkah ada tiga, yaitu:
1.
shighat, (jiab kabul)
2.
orang yang melakukan
transaksi (‘aqidhain) => balig,
berakal,pandai, dan tdk dicekal utk membelanjakan hartanya.
3.
objek yang ditransaksikan => modal pokok harus ada.
·
Adapun yang menjadi syarat syirkah menurut kesepakatan ulama yaitu:
1.
Dua pihak yang melakukan transaksi mempunyai kesepakatan/keahlian (ahliyah) untuk mewakilkan dan menerima
perwakilandemikian ini dapat terwujud bila seseorang berstatus merdeka,balig,
dan pandai (rasyid), hal ini karena
masing-masing dari dua pihak itu posisinya sebagai mitra jika ditinjau dari
segi adilnya sehingga ia menjadi wakil mitranya dalam membelanjakan harta.
2.
Modal syirkah diketahui
3.
Modal syirkah ada pada
saat transaksi
4.
Besarnya keuntunga diketahui dengan penjumlahan yang berlaku,
seperti setengah, dam lain sebagainya.[10]
·
Syaid Sabiq membagi lagi syirkah
akad menjadi empat bagian, antara lain:
1.
Syirkah inan, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dalam permodalan
untuk melakukan suatu usaha bersama dengan cara membagi untung atau rugi sesuai
dengan jumlah modal masing-masing. Namun, apabila porsi masing-masing pihak
baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil berbeda sesuai dengan kesepakatan
mereka, semua ulama membolehkannya.
2.
Syirkah mufawwadhah, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan
suatu usaha dengan persyaratan sebagai berikut :
a.
Modalnya harus sama banyak. Bila ada diantara anggota perserikatan
modal lebih besar, maka syirkah itu tidak sah.
b.
Mempunyai kesamaan wewenang dalam bertindak yang ada kaitannya
dengan hokum. Dengan demikian, anak yang belum dewasa/baliq, tidak sah dalam
anggota perikatan.
c.
Mempunyai kesamaan dalam hal agama. Dengan demikian tidak sah
berserikat antara orang muslim dan non muslim
d.
Masing-masing anggota mempuyai hak untuk bertindak atas nama syirkah (kerja sama).
e.
Syirkah wujuh,yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli sesuatu
tanpa modal,tetapi hanya modal kepercayaan dan keuntungan dbagi antara sesame
mereka.
f.
Syirkah abdam, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan
suatu usaha atau pekerjaan. Selanjutnya hasil dariusaha tersebut dibagi antar
sesame mereka berdasarkan perjanjian seperti pemborong bangunan,jalan, listrik,
dan lain-lain.
·
Tujuan dan Manfaat musyarakah
1.
Memberikan keuntungan kepada para anggota pemilik modal.
2.
Memberikan lapangan kerja kepada karyawannya.
3.
Memberikan bantuan keuangan dari sebagian hasil usaha musyarakah (syirkah) untuk mendirikan tempat ibadah,
sekolahan sebagainya (Coorporet Sosial
responbility/CSR).[11]
Ringkasan Kelompok 11.
Khunsta Musykil, Kalalah, dan
Ahli Waris Pengganti
·
Khuntsa Musykil
Khuntsa[12]
adalah orang-orang yang memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan secara
sekaligus atau tidak memiliki alat kelamin sama sekali.[13]
Muslich Maruzi mendefinisikan, khuntsa adalah orang yang diragukan jenis
kelaminnya apakah ia laki-laki ataukah perempuan. Untuk menentukan yang diterima
oleh orang khuntsa yaitu dengan mencari kejelasan kelaminnya dan apabila sulit
maka Ulama sepakat bahwa di dalam menentukan status hukum-nya, indikasi
fisiklah yang dipedomani, bukan gejala-gejala psikis (kejiwaan) nya, seperti
sabda Nabi :[14]
“Berilah anak khuntsa ini (seperti
bagian anak laki-laki atau perempuan) mengingat alat kelamin mana yang pertama
kali digunakan buang air.” Begitu pula
riwayat dari Ibn Abbas :
ورثوا من ا ول مايبوك { رواه ابن عباس }
“Berilah warisan menurut kelamin mana ia
pertama buang air kecil.”
Cara
lain yang ditempuh , yaitu :
a. Meneliti tanda-tanda kedewasaanya seperti tumbuh kumis
dan jenggot pada laki-laki yang tidak ada pada wanita. Sekiranya
tanda-tanda tersebut dengan jelas
diketahui maka disebut gairu musykil.
b. Namun, jika tidak mudah diketahui tanda-tanda
kedewasaanya, Ulama berbeda pendapat, yaitu :[15]Menurut Imam Hanafi, Muhammad
al-Syaibani dan Abu Yusuf : Memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan
laki-laki atau perempuan kepada kuntsa dan memberi bagian terbesar pada
ahli waris lain.[16]
c. Seandainya tidak dapat terdeteksi juga dan samar-smaar,
maka para ahli hukum Islam tidak ada kesepakatan bagaimana cara menentukannya,
sehingga mucul beberapa doktrin (pendapat) diantaranya:
1) Memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki
atau perempuan kepada khuntsa dan member bagian terbesar kepada ahli waris
lain. (Pendapat Imam Hanafi, Muhammad al-Syaibani dan Abu Yusuf.[17]
Maksudnya dengan cara membandingkan terlebih dahulu berapa bagiannya apabila
dia digolongkan sebagai laki-laki dan berapa pula bagiannya apabila dia digolongkan
sebagai perempuan, setelah perbandingan ini diketahui, maka kepada orang yang
khuntsa tersebut diberi bagian terkecil dari dua kemungkinan bagian tersebut.[18]
2) Memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki
atau perempuan kepada khuntsa dan ahli waris yang lainnya, dan sisa harta
ditangguhkan pembagiannya sampai ada kejelasan, atau penyelesaiannya diserahkan
sepenuhnya kepada kesepakatan bersama para ahli waris.(Pendapat Imam
Syafi’iyah, Abu Dawud, Abu Saur dan Ibn Jabir).[19]
3) Memberikan saparuh dari dua perkiraan laki-laki dan
perempuan kepada khuntsa al-musykil dan ahli waris lain. (Pendapat Ahli hukum
Malikiyyah, Hanabilah, Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah.[20]
·
Kalalah
Al-Kalalah diambil dari
kata al-ikliil yakni sesuatu yang melingkup seluruh kepala, ada
juga yang berpendapat dari kata kata al-kalla yang
bermakna lemah, kata ini misalnya digunakan dalam kalla ar-rajulu yang
artinya apabila orang itu lemah dan hilang kekuatannya. Sedangkan yang
dimaksud di sini ialah orang yang hanya memiliki ahli waris dari kaum
kerabatnya saja, tidak ada ahli waris pokok (ayah dan seterusnya) atau ahli
waris cabang (anak dan seterusnya). [21]
Kata Kalalah muncul dua kali dalam al-Qur’an, yaitu pada Q.S an-Nisa’(4) ayat 12 dan 176 [22]. Merupakan salah satu ayat paling banyak diperselisihkan oleh para pakar tafsir, sampai-sampai diriwayatkan bahwa Umar bin Khatab r.a. berkata :
Kata Kalalah muncul dua kali dalam al-Qur’an, yaitu pada Q.S an-Nisa’(4) ayat 12 dan 176 [22]. Merupakan salah satu ayat paling banyak diperselisihkan oleh para pakar tafsir, sampai-sampai diriwayatkan bahwa Umar bin Khatab r.a. berkata :
"Tiga hal yang jika
diperjelas keterangannya oleh Rasul, akan
menjadi hal-hal yang lebih kusenangi dari kenikmatan duniawi : kalalah, riba
dan kekhalifahan."
Dalam
riwayat lain juga dinyatakan bahwa Umar seringkali bertanya dengan
sungguh-sungguh kepada Rasulullah saw. tentang masalah kalalah ini,
sampai-sampai beliau mendorong dada Umar sambil bersabda:
"Cukup sudah bagimu ayat
kalalah musim panas yang disebut pada akhir An-Nisa." (Ayat ke-12 disebut
ayat kalalah musim dingin, dan ayat 176 musim panas).
Perbedaan
pendapat dimulai dari akar katanya, selanjutnya makna kata itu sendiri dan
terakhir, maksud penggalan ayat itu.
1.
Mayoritas
pakar bahasa memahami kata kalalah dengan arti yang mati tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak;
2.
ada juga
yang memahami dalam arti yang mati tanpa meninggalkan ayah saja,
3.
ada lagi
yang berpendapat yang mati tanpa meninggalkan anak saja, dan masih banyak
pendapat lain.
4.
Dan ada
juga yang berpendapat bahwa kalalah menunjuk kepada ahli waris, selain
kedua ibu bapak dan anak.
a.
Pendapat
Para Shahabat
Asy-Sya'rabi meriwayatkan
bahwa Abu Bakar r.a ditanya
tentang kalalah, maka ia berkata: "Aku menjawab berdasarkan
pendapatku. Jika benar maka itu dari Allah dan jika salah maka itu dariku dan
dari syaitan. Dan
Allah serta Rasul-Nya terlepas darinya. Al-Kalalah adalah orang yang
tidak memiliki anak dan tidak memiliki orang tua." Di saat
Umar diangkat menjadi khalifah, beliau berkata: "Sesungguhnya aku
malu untuk berbeda pendapat dengan Abu Bakar."[23]
Di dalam tafsirnya, Ibnu Abi
Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., ia
berkata: Aku adalah orang terakhir yang menjumpai Umar. Sesungguhnya
aku mendengarnya berkata: 'Pendapat yang kuat adalah pendapat (saat ini).' Aku
bertanya: 'Apa pendapatmu?' Beliau berkata: 'Al-Kalalah adalah orang yang
tidak memiliki anak dan tidak memiliki orang tua (sama dengan
pendapat Abu Bakar).[24]
Begitulah pendapat yang dikemukakan
oleh Ali dan Ibnu Mas'ud. Telah
shahihi pula (pendapat ini) bukan hanya dari satu orang ulama,
diantaranya ibnu 'Abbas dan Zaid bin Tsabit. Dan merupakan
pendapat asy-Sya'rabi, Ibrahim an-Nakha'i, al-Hasan al-Bashri, Qatadah,
Jabir bin Zaid dan al-Hakam.[25]
Begitu pula pendapat penduduk Madinah,
Kufah dan Bashrah. Demikian pula yang dikemukakan oleh tujuh orang fuqaha, imam
empat madzhab serta jumhur ulama salaf dan khalaf, bahkan seluruhnya, intinya
telah ijma' mengenai definisinya.
b.
Redaksi
Ayat dan Maksudnya
وَإِن كَانَ رَجُلٌ۬ يُورَثُ ڪَلَـٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٌ۬ وَلَهُ ۥۤ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٌ۬ فَلِكُلِّ وَٲحِدٍ۬ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ فَإِن ڪَانُوٓاْ أَڪۡثَرَ مِن ذَٲلِكَ فَهُمۡ شُرَڪَآءُ فِى ٱلثُّلُثِۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصَىٰ بِہَآ أَوۡ دَيۡنٍ غَيۡرَ مُضَآرٍّ۬ۚ وَصِيَّةً۬ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ۬
... Jika seseorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki [seibu saja] atau
seorang saudaraperempuan
[seibu saja], maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat [kepada ahli
waris]. [Allah menetapkan yang demikian itu sebagai] syari’at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (12)
يَسۡتَفۡتُونَكَ قُلِ ٱللَّهُ يُفۡتِيڪُمۡ فِى ٱلۡكَلَـٰلَةِۚ إِنِ ٱمۡرُؤٌاْ هَلَكَ لَيۡسَ لَهُ ۥ وَلَدٌ۬ وَلَهُ ۥۤ أُخۡتٌ۬ فَلَهَا نِصۡفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ۬ۚ فَإِن كَانَتَا ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُمَا ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَۚ وَإِن كَانُوٓاْ إِخۡوَةً۬ رِّجَالاً۬ وَنِسَآءً۬ فَلِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۗ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَڪُمۡ أَن تَضِلُّواْۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمُۢ
Mereka meminta fatwa kepadamu
[tentang kalalah. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah [yaitu]: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya:
1.
yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya,
2.
dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai [seluruh harta saudara perempuan], jika ia
tidak mempunyai anak; tetapi
3.
jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal.
4.
Dan jika mereka [ahli waris itu terdiri dari]
saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan [hukum ini]
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
(176).
c.
Pembagian
Waris Kalalah:
Menurut Hazairin yang didasarkan
Q.S 4 :12 dan 4:276 yaitu:[26]
1)
Apabila saudara itu sebagai ahli
waris seorang laki-laki saja atau perempuan saja, mereka berhak atas 1/6 harta
peninggalan.
2)
Apabila saudara itu dua orang
atau lebih baik laki-laki atau perempuan, maka bagi mereka 1/3 harta
peninggalan berbanding sama banyaknya.
Sedangkan dalam pendapat lain,
yaitu:
1)
Ketentuan
Hak Waris Saudara se-ibu (Q.S. An-Nisa:12):
a)
Mereka
mendapatkan warisan bersamaan dengan orang yang lebih dekat kepada si mayit,
yaitu ibu.
b)
(Dalam hal
besarnya bagian warisan), maka laki-laki dan perempuan dari kalangan mereka
(saudara seibu) adalah sama, bukan 2:1.
c)
Mereka
tidak mendapatkan waris kecuali dalm masalah kalalah. Artinya mereka tidak
mendapatkannya jika ada bapak, kakek, anak atau cucu dari anak laki-laki.
d)
Mereka
tidak mendapat lebih dari 1/3, sekalipun laki-laki dan perempuan dari mereka
berjumlah banyak.
2)
Ketentuan
Hak Waris Saudara (Kandung dan sebapak) (Q.S. An-Nisa: 176):
a)
Satu orang
saudara perempuan mewarisi 1/2 harta si mati.
b)
Dua orang
saudara perempuan mewarisi 2/3 harta si mati.
c)
Satu orang
saudara lelaki sendirian, ia mewarisi seluruh harta si mati.
d)
Jika ahli
waris ada saudara laki-laki dan saudara perempuan, maka laki-laki mendapat 2x
bagian perempuan.
·
Ahli Waris Pengganti
Ahli waris pengganti adalah orang
yang tampil sebagai ahli waris karena menggantikan kedudukan orang tuanya yang
meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris, tanpa membedakan apakah orang yang
meninggal itu laki-laki atau perempaun. Mengenai istilah ahli waris pengganti,
Raihan A. Rasyid membedakan antara orang yang disebut “ahli waris pengganti”
dan “pengganti ahli waris”. Menurutnya:
1.
ahli waris pengganti adalah orang yang sejak
semula bukan ahli waris tetapi karena keadaan tertentu ia menjadi ahli waris
dan menerima warisan dalam status sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris tidak
meninggalkan anak tetapi meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan dari anak
laki-laki.
2.
pengganti ahli waris adalah orang yang
sejak semula bukan ahli waris tetapi karena keadaan tertentu dan pertimbangan
tertentu mungkin menerima warisan namun tetap dalam status bukan sebagai ahli
waris. Misalnya, pewaris meninggalkan anak bersama cucu baik laki-laki maupun
perempuan yang orang tuanya meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Keberadaan
cucu disini sebagai pengganti ahli waris. [27]
Mengenai ahli waris pengganti Al
qur’an mengaturnya dalam Surat An Nisa’ yang berbunyi :


Artinya : “Bagi setiap individu, kami tetapkan sebagai ahli waris dari
apa yang ditinggalkan oleh Ibu-Bapak dan karib-kerabat. Dan berikanlah kepada
orang-orang yang telah diikat oleh sumpahmu bagian dari mereka. Sesungguhnya
Allah maha menyaksikan terhadap segala sesuatu.”
Sehubungan dengan firman Allah “bagi setiap individu”, kami tetapkan
sebagai ahli waris, “Ibnu Abbas dan sekelompok tabi’in mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan mawaliya ialah “ahli waris”. Maksud ayat, wahai manusia, bagi
setiap kamu Kami jadikan sebagai suatu kelompok yang mewarisi pusaka yang
ditinggalkan oleh Ibu-bapak dan karib-kerabatnya. Firman Allah ta’ala, “Dan
berikanlah kepada orang-orang yang telah diikat sumpahmu bagian mereka”. yakni,
berikanlah kepada orang-orang yang telah dikuatkan oleh sumpahmu bagaian pusaka
mereka sebagaimana yang telah kamu janjikan dalam sumpah yang kuat. Hal ini
terjadi pada permulaan Islam. Kemudian hukum ini dinasakh.[28]
Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu
Abbas (702), “Dan bagi setiap individu, Kami jadikan ahli waris.” Mawaliya
berarti ahli waris. “Dan terhadap orang-orang yang sumpahmu telah mengikat”
Maksudnya, ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah, maka seorang Muhajirin
mewarisi pusaka orang anshor sedangkan kerabatnya tidak mendapat bagian,
melalui persaudaraan yang diciptakan oleh Rasulullah Saw di antara mereka.
·
Ahli Waris Pengganti Menurut Hazairin
Menurut hukum kewarisan bilateral
terdapat tiga prinsip kewarisan, yaitu:
1) Ahli waris perempuan
sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris kelompok keutamaan yang lebih
rendah. Selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka datuk
ataupun saudara baik laki-laki maupun perempuan sama-sama ter-hijab.
2) Hubungan kewarisan
melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan. Karenanya
penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham tidak diakui dalam
teori ini.
3) Ahli waris pengganti
(mawali) selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (utama).
Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala orang tuanya meninggal
lebih dulu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan
yang diterima oleh orang tuanya (seandainya masih hidup). Keberadaan mawali ini
merupakan konsep yang benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris) dan lebih
mencerminkan keadilan.
·
Konsep ahli waris pengganti menurut Hazairin merupakan hasil pemikirannya
dalam menafsirkan kata mawali yang ada dalam al-Qur’an surah an-Nisa’
ayat 33 : “Wa likullin ja’alna mawalia mimma tarakal walidani wal aqrabun,
wal lazina aqadat aimanukum fa atuhum nashibahum“. Terjemahan menurutnya,
“Dan untuk setiap orang itu Aku Allah telah mengadakan mawali bagi harta
peninggalan ayah dan mak dan bagi harta peninggalan keluarga dekat, demikian
juga harta peninggalan bagi tolan seperjanjianmu, karena itu berikanlah
bagian-bagian kewarisannya”. [29]
·
Tolan menurut penafsiran Hazairin adalah orang yang tidak mempunyai
keluarga lagi yang telah mengikat janjii untuk meninggalkan sebagian atau semua
harta peninggalan sesudah matinya kepada seseorang yang diwajibkan mengurus
kematiannya dan menyelesaikan hutang-hutangnya serta memelihara di hari tuanya.
Perjanjian pertolanan semacam ini ditemukan pada masyarakat Minahasa yang
disebut ngaranan atau di Bali yang disebut makehidang raga. Lebih
lanjut Hazirin mengemukakan bahwa perjanjian pertolanan harus dilakukan oleh
orang yang tidak mempunyai keluarga, namun jika ternyata mempunyai keluarga,
maka perjanjian pertolanan ini tidak boleh melebihi ketentuan wasiat yakni
sepertiga harta peninggalan.[30]
·
Ada dua syarat yang harus dipenuhi mawali tampil sebagai ahli waris, yaitu:
1) Orang yang menghubungkan antara mawali dengan pewaris harus telah
meninggal lebih dahulu,
2) Antara mawali dengan pewaris terdapat hubungan darah. Dengan adanya
syarat hubungan darah ini, maka bagi janda dan duda tidak mempunyai mawali.
Mawali-mawali tersebut meliputi:
a)Mawali untuk anak, baik
laki-laki maupun perempuan
b)
Mawali untuk saudara, baik laki-laki maupun perempuan
c)Mawali untuk ibu, dan
Mawali untuk ayah.
·
Ahli Waris Pengganti Menurut KUH Perdata
Dalam KUH Perdata dikenal tiga macam penggantian (representatie)
yaitu: penggantian dalam garis lurus ke bawah tiada batas, penggantian dalam
garis ke samping dan penggantian dalam garis ke samping menyimpang.[31] Ahli
waris pengganti dalam KUH Perdata menduduki kedudukan orang tuanya secara
mutlak. Artinya, segala hak dan kewajiban orang tuanya yang berkenaan dengan
warisan beralih kepadanya.
1) Penggantian Dalam Garis
Lurus ke Bawah.
Setiap anak yang meninggal dunia
lebih dahulu digantikan oleh anak-anaknya, demikian pula jika di antara
pengganti-penggantinya itu ada yang meninggal lebih dahulu lagi, maka ia
digantikan oleh anak-anaknya, begitu seterusnya, dengan ketentuan bahwa semua
keturunan dari satu orang yang meninggal lebih dahulu tersebut harus dipandang
sebagai suatu cabang (staak) dan bersama-sama memperoleh bagiannya orang
yang mereka gantikan.
Seseorang yang karena suatu
sebab telah dinyatakan tidak patut menjadi ahli waris (onwaardig), atau
orang yang menolak warisan (onterfd), maka anak-anaknya tidak dapat
menggantikan kedudukannya karena ia sendiri masih hidup.
Apabila tidak ada anak selain
dari yang dinyatakan tidak patut menerima warisan, atau menolak warisan, maka
anak-anaknya dapat tampil sebagai ahli waris, tetapi bukan karena menggantikan
kedudukan orang tuanya (plaatsvervulling) melainkan karena kedudukannya
sendiri (uit eigen hoofde).[32]
2) Penggantian Dalam Garis
ke Samping.
Apabila saudara baik saudara
kandung maupun saudara tiri pewaris meninggal lebih dahulu, maka kedudukannya
digantikan oleh anak-anaknya. Jika anak-anak saudara telah meninggal maka
digantikan keturunanya, begitu seterusnya.
3) Penggantian Dalam Garis
ke Samping Menyimpang.
Dalam hal yang tampil sebagai
ahli waris itu dari angota-anggota keluarga yang lebih jauh tingkat
perhubungannya daripada saudara, misalnya paman atau keponakan, dan mereka ini
meninggal lebih dahulu, maka kedudukannya digantikan oleh keturunannya sampai
derajat keenam.
·
Ahli Waris Pengganti Menurut KHI
Seperti telah dikemukakan
terdahulu, bahwa dalam KHI memperkenalkan ahli waris baru yang selama ini tidak
dikenal dalam fiqh salafi yaitu ahli waris pengganti. Dalam pasal 185 ayat (1)
disebutkan : Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam
pasal 173. Dalam ayat (2) nya disebutkan: “Bagian bagi ahli waris pengganti
tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang
diganti”. Terhadap ahli waris pengganti dalam KHI ini akan dibicarakan secara
luas sebagaimana pembahasan berikut.
Dari rumusan bunyi pasal 185 yang
mengatur tentang ahli waris pengganti timbul beberapa permasalahan yang
mengundang silang pendapat, antara lain mengenai:
1) Apakah penggantian ahli
waris bersifat tentatif atau imperatif.
2) Apakah jangkaun garis
hukum penggantian ahli waris hanya berlaku untuk ahli waris garis lurus ke
bawah atau juga berlaku untuk ahli waris garis menyamping.
3) Apakah ahli waris
pengganti menduduki kedudukan orang tuanya secara mutlak atau secara relatif.
·
Warisan Bayi dalam Kandungan dan
Warisan anak Zina
·
Warisan Bayi dalam Kandungan
Jika seseorang meninggal dunia
dengan meninggalkan ahli waris diantaranya ada yang masih dalam kandungan. Jika
mereka mau, mereka boleh menunda pembagian warisan tersebut hingga si janin
lahir. Hal ini tidaklah mengapa sebab warisan adalah hak ahli waris. Apabila
mereka meminta atau sebagian mereka meminta bagian sebelum si wanita
melahirkan, maka juga tidak mengapa. Oleh karena itu, penghitungan harta
warisan si janin dan ahli waris lainnya wajib dilakukan dengan hati-hati.[33]Adapun
warisan anak yang ada didalam kandungan tidak akan terlepas dari dua hal :[34]
a. Adanya perbedaan warisan karena jenis kelamin.
Seperti
warisan untuk anak-anak, oleh karena itu untuk janin tersebut ditentukan bagian
terbanyak dari bagian untuk dua anak laki-laki atau bagian untuk dua orang anak
perempuan.
Ketentuannya,
apabila ahli waris yang mendapat bagian fardh menghabiskan kurang dari ⅓ harta,
maka ketentuan terbanyak untuk janin adalah dari bagian untuk dua orang
laki-laki. Dan apabila lebih dari ⅓ harta, maka ketentuan terbanyak untuk janin
adalah dari bagian untuk dua orang perempuan. Akan tetapi jika bagian-bagian
ahli waris berjumlah ⅓, maka warisan dua orang anak laki-laki dan dua anak
perempuan adalah sama saja. Ketentuan ini apabila janin tersebut akan mengambil
bagian fardh bersama ahli waris wanita lainnya. Namun apabila janin tersebut
akan mengambil bagian ashabah, maka
bagaimanapun ketentuan terbanyak adalah bagian untuk dua orang laki-laki atau
paling tidak, sama. Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli
waris seorang ibu yang hamil dari hasil hubungan dengan ayah kandung si mayit
dan seorang paman dari pihak ayah, maka untuk ibu ¹/6 dan untuk si janin
disisihkan jatah dua orang laki-laki, sebab ahli waris yang mendapat bagian
fardh tidak menghabiskan ⅓ harta.
Jika
seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris dua orang saudara
seibu dan istri ayah yang sedang hamil, maka kedua saudara laki-laki mendapat ⅓
bagian dan selebihnya untuk janin yang masih didalam kandungan. Pada kondisi
seperti ini ada persamaan pada warisannya antara laki-laki dan perempuan, sebab
bagian fardh yang sudah dihabiskan genap ⅓.
Jika
seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang istri, saudara
kandung laki-laki dan seorang ibu hamil dari hasil hubungan dengan ayah
kandungnya, maka untuk istri ¼, untuk ibu ¹/6 dan sisihkan untuk janin jatah
dua orang laki-laki. Walaupun bagian fardh telah melebihi ⅓ sebab bagaimana pun
si janin bakal mewarisi dengan bagian ashabah
dan tidak mungkin bagian untuk dua perempuan itu lebih banyak.
Untuk
janin tidak disisihkan harta warisannya melebihi jatah dua orang ahli waris
perempuan, sebab hal itu jarang terjadi, sementara sesuatu yang jarang terjadi
itu tidak ada hukumnya. Dan tidak pula disisihkan kurang dari jatah tersebut
karena meletakkan bagian warisan dua orang wanita itu sudah banyak dan ini
dilakukan sebagai tindakan preventif (untuk berjaga-jaga).
b.
Tidak
ada perbedaan antara warisan laki-laki dan perempuan
Oleh
karena itu, sisihkan untuk janin bagian untuk dua orang. Silahkan anda
perkirakan sesuka anda, apakah yang akan lahir itu laki-laki atau perempuan.
Adapun ahli waris yang bakal mendapat bagian warisan bersama janin ini ada tiga
keadaan :[35]
1) Ia tidak bakal
gugur oleh si janin, sehingga ia dapat memperoleh bagiannya yang sempurna.
2) Bagiannya akan berkurang, maka ia diberikan jatah yang
pasti akan ia peroleh dengan yakin, yakni bagian yang ia dapati walau
bagaimanapun keadaan ahli waris.
3) Ia akan gugur (terhalang) memperoleh seluruh bagian
warisannya, sehingga ia tidak diberi bagian apapun.
Jika seseorang meninggal dunia dengan
meninggalkan ahli waris seorang istri yang sedang hamil, seorang nenek dan
seorang paman dari pihak ayah, maka bagian nenek tidak akan berkurang
sedikitpun. Oleh karena itu, bagian warisannya diberikan dengan sempurna yakni
¹/6.
·
Syarat
Warisan Janin
Ada dua syarat untuk janin:
1) Keberadaan si janin memang benar-benar positif ketika
orang yang mewariskan hartanya meninggal dunia. Ini dapat diketahui dari dua
hal:
a) Dilahirkan oleh orang yang memiliki kehidupan sempurna
kurang dari enam bulan dari kematian mayit secara mutlak.
b) Dilahirkan oleh orang yang memiliki kehidupan sempurna
dalam rentang wakti 4 tahun atau kurang dari kematian mayit. Dengan syarat
tidak ada seorang laki-laki pun yang melakukan persetubuhan dengan wanita
tersebut setelah kematian si mayit.
2) Lahir dalam keadaan hidup dengan kehidupan yang sempurna.
Sebagaimana sabda Rasulullah
s.a.w :
إذ استھل المولُوْدُ وُرِثَ
“Apabila seorang bayi sudah menangis,
maka ia berhak mendapat warisan.”[36]
·
Proses Penghitungan Masalah Janin
Cara
menghitung masalah janin, Anda meletakkan asal masalah untuk semua keadaan yang
mungkin terjadi pada si janin dan Anda akan memperoleh bilangan terkecil yang
akan dibagikan dengan beberapa asal masalah. Hasilnya merupakan masalah jaami’ah.
Lalu asal masalah jaami’ah ini dibagi dengan masing-masing asal masalah
untuk menghasilkan juz-us abm lalu dikalikan dengan masing-masing bagian
yang diperoleh ahli waris.
Kemungkinan-kemungkinan keadaan si Bayi (Ada 3 kemungkinan)
|
|||
Ahli Waris
|
Bayi Meninggal
|
Bayi Laki-laki
|
Bayi Perempuan
|
Istri
(+ Janin)
|
¼ x 4 = 1 bagian
|
⅛ x 8 = 1 bagian.
Sisa = ⅞ = 7 bagian
|
⅛ x 24 = 3 bagian
⅔ x 24 = 16 bagian
|
Paman dari pihak Ayah
|
¾ x 4 = 3 bagian
|
Gugur
|
Sisa = 24 – (3+16)
= 24-19
= 5
bagian
|
Jika harta warisan = Rp. 336 juta
Ø Kemungkinan bayi meninggal, maka bayi tidak mendapat
apa-apa.
Ø Kemungkinan bayi meninggal, maka bayi mendapatkan ⅞ x 336
juta = Rp. 294 juta.
Ø Kemungkinan bayi meninggal, maka bayi mendapat 16/24 x
336 juta = Rp. 224 juta.
Dari ketiga keadaan perkiraan
diatas, yang lebih menguntungkan si bayi adalah perkiraan bayi lahir laki-laki,
yaitu sebesar Rp. 294 Juta. Inilah bagian yang disediakan untuk si bayi Apabila ternyata nanti lahir perempuan, maka ada
sisa 294-224 = Rp. 70 Juta yang menjadi hak ahli waris yang lainnya (istri dan
paman). [37]

·
Warisan Anak Zina
Anak
yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan dari
hubungan nikah yang sah secara syar’i.[38] Untuk
menetukan laki-laki yang mempunyai hubungan nasab dengannya dapat dilakukan
jika ada seorang lelaki yang mengakuinya anak dengan tidak mengatakan lahir
dari perbuatan zina dengan ibu dari sang anak. Sehingga anak itu dapat
dinasabkan kepadanya, jika syarat-syaratnya terpenuhi.
Menurut mayoritas Ulama, anak zina tidak bisa
mewarisi ayahnya karena status hukumnya tidak ada hubungan nasab di antara
mereka. Anak zina hanya bisa mewarisi harta peninggalan ibunya, begitu juga
sebaliknya, ibunya dan saudara-saudaranya yang seibu yang bisa mewarisi harta
peninggalannya.[39]
Pasal 863-873 KUH Perdata menyebutkan bahwa
bila anak di luar nikah mewarisi bersama anak-anak dalam perkawinan, anak
diluar nikah itu mewarisi 1/3. Bila oramg tua biologisnya tidak meninggalkan
keturunan, anak di luar nikah mewarisi ½ harta peninggalan. Bila yang meninggal
itu tidak meninggalkan ahli waris, baik dalam kelompok ahli waris berdasarkan
hubungan darah maupun hubungan perkawinan, anak-anak di luar nikah itu mewarisi
peninggalan seluruhnya.[40]
·
Warisan Mafqud dan Warisan
Orang yang Mendapat
Musibah Bersama-sama
1.
Warisan Mafqud
Kata Al-Mafqud dalam
bahasa berarti Adl-Dlaa-i’u yang berarti lenyap. Orang mengatakan Faqadatis
Syai-u idzaa ‘adamathu : sesutau dikatakan hilang apabila tidak ada.[41]
Mafquud adalah orang yang terputus
beritanya dan tidak diketahui apakah ia masih hidup ataukah sudah mati.[42]
Menurut istilah yaitu orang yang
tidak pernah diketahui kabarnya, apakah dia masih hidup atau sudah meninggal.[43]
Dalam keadaan yang serba tidak jelas demikian, sudah tenteu perlu diambil
langkah-langkah untuk mengetahuinya, atau paling tidak menetapkan status
hukumnya dengan melalui pengumuman di media massa ataupun cara lain. [44]
Al-Mafqud
dapat berperan sebagai muwarris apabila ternyata dalam kepergiannya
meninggalkan harta dan bisa sebagai ahli waris apabila ada saudaranya yang
meninggal dunia. Para Ulama sepakat
menetapkan bahwa harta al-mafqud ditahan dulu sampai ada berita yang jelas.
Namun persoalnnya sampai kapan penangguhan semacam ini, sehingga berbeda
pendapat, apakah ditetapkan sesuai waktu atau diserahkan kepada ijtihad hakim.[45]
Para ahli hukum
Islam telah menetapkan hukum-hukum bagi orang hilang, yaitu : ia tidak boleh
diwarisi hartanya, tidak boleh dikawini isterinya, dan tidak boleh dibelanjakan
hak-haknya sampai diketahui keadaanya dan jelas urusannya serta masih hidup
atau meninggal, atau telah melampaui masa yang pada umumnya sudah meninggal dan
hakim menetapkan kematiannya.
·
Proses
PenghitunganWarisan Orang Hilang
Jika
seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris yang hilang sedang
dalam masa penantian, maka buatkanlah asal masalah, jika orang tersebut masih
hidup dan asal masalah jika orang hilang tersebut tmeninggal., dan carilah
bilangan terkecil yang dapat dibagikan terhadap kedua asal masalah tersebut.
Dan hasil ini disebut asal masalah jaami’ah.
Lalu asal masalah jaami’ah dibagikan
dengan masing-masing asal masalah tadi agar didapati juz-ussahm. Lantas ia dikalikan dengan bagian masing-masing ahli waris.[46]
Jika
seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang suami dan dua
orang saudara perempuan kandung yang satu hilang. Jika diperkirakan saudara
yang hilang masih hidup, maka asal masalah 6 dan‘aul ke 7. Untuk suami½ yang berarti memperoleh 3 bagian dan untuk
dua orang saudara perempuan⅔ yang
berarti memperoleh 4 bagian.[47]
·
Contoh Praktek Pembagian
HartaWarisan Jika ada Ahli Waris Mafquud
AW
|
Bagian
jika diperkirakan
|
Jika
diperkirakan meninggal (maut)
|
AM
jaami’ah (KPK dari AM hayatdan AM maut)
|
Juz-us
Sahm
|
Praktek
pembagian
|
Suami
|
½
x 6 = 3
|
½
x 2 = 1
|
KPK
dari 7 dan 2 = 14
|
Hayat
danMaut
|
Bagian
terkecil yang diperoleh suami dan saudari kandung yang ada adalah pada
masalah hayat. Inilah yang dibagikan. Sisanyaditangguhkan.
|
Saudarikandung
|
⅔
x 6 = 4
|
½
x 2 = 1
|
KPK
dari 7 dan 2 = 14
|
³/7
x 14 = 6dan½ x 14 = 7
|
|
Saudari
kandunghilang (mafquud)
|
⅔
x 6 = 4
|
(Diperkirakan
meninggal)
|
KPK
dari 7 dan 2 = 14
|
²/7
x 14 = 4dan ½ x 14 = 7
|
|
|
AM
= 7•
|
AM
= 2
|
|
²/7
x 14 = 4
|
|
Ø
Lebih besar dari asal masalah,
maka AM ‘auldari 6 ke 7
Ø
Jika mafquud kemudian
dihukum meninggal, maka bagian mafquud(4 bagian) dibagikan kepadasuami (7-6=1
bagian), dan saudari kandung yang ada (7-4=3 bagian).
·
Warisan
Orang yang Mendapat Musibah Bersama-Sama
Dalam kehidupan sehari-hari sering
terjadi suatu peristiwa (seperti bencana alam dan kecelakaan) yang
mengakibtakan beberapa orang meninggal atau mendapat musibah bersama-sama
(serentak), dan tidak jarang orang yang terkena musibah tersebut saling waris-mewarisi
seperti kecelakaan pesawat dimana ia meninggal bersama anak dan cucnya sehingga
tidak diketahui siapa yang meninggal lebih dulu. [48]
Dalam kasus seperti ini, ahli hukum Islam berpendapat
bahwa tidak boleh waris-mewarisi. Adapun yang menjadi alas an tersebut adalah
disebabkan syarat siapa pewaris dan siapa yang menjadi ahli warisnya tidak
jelas, sehingga harta warisan mereka hanya dapat diberikan kepada ahli waris
mereka masing-masing yang masih hidup.[49]
[12] Didalam istilah hukum Islam
orang-orang yang seperti ini diistilahkan dengan Khuntsa Al-Musykil.
Dalam istilah sehari-hari sering juga disebut dengan wadam (Hawa-Adam), waria
(Wanita-Pria). Lihat Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum
Waris Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), cet. I, hal. 68.
[21] Wasiun Mika, “Pengertian kalalah; Bagian Waris Untuk Saudara Menurut Tafsir Al-Qur'an, Hadits Dan Asbabun Nuzul”, diakses dari http://www.jadipintar.com/2015/08/pengertian-kalalah-bagian-waris-untuk-saudara-menurut-tafsir-al-quran-hadits-dan-asbabun-nuzul.html, pada tanggal 25 September 2017, pukul 11.04.
[27] Saifudien Djazuli, “Ahli Waris Pengganti”, diakses dari http://saifudiendjsh.blogspot.co.id/2014/02/ahli-waris-pengganti.html , pada tanggal 22 September 2017, pukul 8:41.
[36] H.R Abu Daud no. 2920 kitab al-Faraa-idh,
bab Fil Mauluudi Yastahillu tsumma Yamuut. Lihat Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah
yang Shahih diterjemahkan oleh Abu
Ihsan al-Atsari dari judul asli Tas-hiilul Faraa-idh (Jakarta: Pustaka
Ibnu Katsir), hal. 231.
[42] Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah yang
Shahih yang diterjemahkan oleh Abu Ihsan al-Atsari dalam buku yang berjudul
asli Tas-hiilul Faraa-idh (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2015), hal. 237. Lihat
juga Muhammad Muhyidin Abdul hamid, Panduan Waris Empat Mazhab (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009), hal. 266.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar