FIQIH MUNAKAHAT DAN MAWARIS
Marhamah Lc, MA (R. 3.15)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirobbil alamin, segala
puji bagi Allah tuhan semesta Alam, dan sholawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada junjungan Alam nabi besar muhammad saw.
Pertama saya sangat berterima kasih
kepada dosen Marhamah Lc, MA yang telah memberikan berbagai ilmunya selama
empat bulan perkuliahan dengan 13 kali pertemuan.
Alhamdulillah tulisan ini penulis ketik
dan bahan di kumpulkan selama empat bulan, ini merupakan penjelasan dari dosen
Fiqih munakahat dan mawaris selama perkuliahan fikih munakahat dan mawaris,
semoga bermanfaat.
Penulis:
SYAHRUL RAMADHAN
(11160110000004)
Komplek Grand Puri Laras, Blok H. No. 94, Jln, Legoso raya,
Pisangan, ciputat, kota tanggerang selatan, banten.
Tanggal: Selasa, 19 Desember 2017
Waktu: 15.59 WIB.
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2017
Kelompok...1
NIKAH & PEMINANGAN & KAFA’AH
·
Nikah secara bahasa artinya berkumpul/bercampur
·
Menurut agama => nikah berarti akad perjanjian yang dilakukan
antara laki-laki dan perempun yang dengannya halal melakukan hubungan biologis.
·
Menurut negara => nikah adalah ikatan janji yang dilakukan oleh
dua orang, laki-laki & perempuan
untuk meresmikan ikatan pernikahan dalam membina sebuah rumah tangga
sesuai dengan norma gama, norma hukum (pernikahan harus tercatat dan tertulis
dalam dokumen negara), membina secara sosial (pelaksanaan pesta).
·
Nikah => nikaha => yankihu => nikahan => istankih =>
mengawini.
·
Syara’ => akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan
bersenag-senang antara laki-laki dengan perempuan dan mengahalalkan bersenang-senagngya
perempuan dengan laki-laki.
·
Hukum asal menikah adalah mubah (QS. An-nur : 32)
a.
Wajib => sanggup & khawatir terhadap dirinya akan berbuat
yang dilarang
b.
Sunnah => sanggup & sanggup memelihara diri sekalipun
demikian melaksanakan nikah lebih baik baginya.
c.
Makruh => tidak sanggup nikah tetapi di khawatirkan tidak dapat
mencapai tujuan pernikahannya karena itu dianjurkan untuk tidak melakukan
perkawinan
d.
Haram => sanggup nikah tapi menimbulkan kemudharatan
e.
Mubah => tidak ada dorongan/hanbatan untuk melakukan atau
meninggalkan.
·
Rukun & syarat. Rukun => sesuatu yang berada diluarnya dan
tidak merupakan unsurnya. Syarat & rukun tidak boleh dipaksa. Rukun dapat
membuat sesuatu batal menurut hukum.
a.
Suami:
-
Benar-benar laki-laki
-
Tidak beristri
-
Muslim
-
Merdeka
-
Berakal
b.
Istri:
-
Tidak bersuami
-
Tidak dalam masa iddah
-
Benar-benar perempuan
-
Tidak ada hubungan mahram
c.
Sighat (ijab & Qabul)
-
Lafal ijab & Qabul harus lafaz
-
Lafaz ijab & qabul bukan kata2 kinayah (kiasan)
d.
Wali calon pengantin perempuan:
-
Muslim
-
Tidak fasik
-
Berakal
-
Laki-laki
e.
2 orang saksi:
-
Muslim - laki-laki
-
Balig -
adil
-
Berakal -
pendengaran&penglihatan sempurna
-
Merdeka -
memahami bahasa ijab & Qabul
·
Peminangan dan khittab (melamar) adalah ajakan untuk menikah dari
pihak laki-laki2 kepada pihak perempuan atau sebaliknya dengan cara yang
baik-baik
·
Adapun perempuan yang boleh dipinang:
1.
Tidak dalam pinangan orang lain
2.
Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang
dilangsungkannya pernikahan
3.
Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i
4.
Apabila perempuan dalam masa karena talak ba’in
5.
Hendaklah meminang dengan cara sirry (tidak terang2an)
·
Kafa’ah => kufwun => sempa, sebanding, . istilah =>
keseimbangan dan keserasian anatar calon istri, suami baik dalam kedudukan,
status sosial, akhlak, maupun kekayaannnya sehingga masing-masing calon tidak
merasa berat untuk melangsungkan perkawinan
·
Bagi perempuan shalihah jika dikawinkan oleh bapaknya dengan
laki-laki fasik, kalau perempuan masih
gadis dan dipaksa oleh orang tuannya, maka ia boleh menuntut pembatalan.
·
Hikmah pernikahan =>
1.
terwujudnya kehidupan yang tenag & tentram, katrena terjalinnya
cinta dan kasih sayang diantara sesama.
2.
Menjaga kelangsungan hidup manusia, berkembang biak dan
berketurunan
3.
Menjaga suami dan istri terjerumus dalam maksiat dan menahan dari
sesuatu yang dilarang
4.
Mennenagkan dna menetramkan jiwa dengan duduk dan bercengkrama
dengan antar keduanya.
5.
Untuk mendapat keluarga bahagia yang penuh dengan kasih sayang.
Kelompok...2
PERWALIAN
·
Pernikahan diindonesia diatur “dengan undang-undnag nomor 1 tahun
1974 tentu pernikahan”
·
Hadis nabi “tidak ada nikah tanpa wali”
·
Perwalian arti umum yaitu “segaal sesuatu yang berhubungan dengan
wali”
·
Wali => “menguasainya” => yang mempunyai hak kekuasaan untuk
melakukan akad pernikahan dan ia tidak akan membiarkan untuk diganggu orang
lain
·
Urutan-urutan wali nikah:
1.
Bapak
2.
Kakek
3.
Saudara laki-laki sekandung
4.
Saudara laki-laki sebapak
5.
Anak saudara laki-laki sekandung
6.
Anak saudara laki-laki
sebapak
7.
Paman dari bapak sekandung
8.
Paman dari bapak sebapak
9.
Anak laki-laki dari paman sekandung
10.
Anak laki-laki dari paman sebapak
·
Jika semua tidak ada wali maka berpindah kepada wali hakim (wali
hakim adalah kepala kantor urusan agama)
·
Orang haji/umrah tidak boleh mengawinkan orang dan tidak boleh juga
berkawin, hendaklah menunggu wali itu pulang atau menggunakan wali hakim
·
Wali abdol/walinya tidak mau mewaliyi, para fuqaha sependapat bahwa
wali tidak boleh enggan untuk menikahkan perempuan ayng dalam kewaliannya tidak
boleh menyakitinya atau melarangnya berkawin walhal pilihan perempuan itu
memenuhi kehendak syarat. Meurut jumhur fuqaha (syafie, maliki, hanbali)
apabila wali aqrab enggan menikahkan pengantin perempuan, maka wali hakimlah
yang menikahkannya.
·
Wali hakim jadi apabila:
a.
Tidak ada wali yang secara keturunan
b.
Wali sedang ihram
c.
Walinya tidak mau mewaliyi
d.
Walinya sedang bepergian jauh (77 KM)
·
syarat wali:
a.
islam
b.
balig
c.
berakal
d.
merdeka
e.
laki-laki
f.
adil (tidak maksiat, tdk fasik, dia orang baik-baik, orang sholeh)
g.
cerdas
·
wali anak kecil adalah ayahnya.
a.
Hanbali dan maliki => wali sesudah ayah adalah orang yng
menerima wasiat dari ayah. Jika ayah tdk mempunyai orang yang diwasiatkan maka
perwalian jatuh kepada wali syar’i.
b.
Syafi’i => perwalian beralih dari ayah ke kakek dan dari kakek
kepada orang yang menerima wasiat dari ayah
·
Wali orang gila => persis anak kecil
a.
Ulama mazhab => kesamaan pendapat baik orang gila sejak kecil
maupun gila setelah balig
b.
Imamiyah => membedakan sejak kecil dan gila sesudah balig.
Gila setelah
dewasa => perwalian berada di tangan hakim
Gila sejak
kecil => ayah dan kakek
Wali anak safih
(idiot) => berada ditangan hakim tidak pada ayah dan kakek
Kelompok...3
MAHAR
·
Mahar, shodaq, nihlah, faridhah => bahasa indonesia dipakai
dengan perkataan maskawin. Etimologi =>
maskawin. Terminologi => pemebrian yang wajib dari calon suami kepada
calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta
kasih bagi seorang suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri
kepada calon suaminya baik dalam bentuk benda ataupun jasa.
·
Mas kawin (mahar) tidak mesti berbentuk emas, perak, atau permata
yang mahal harganya ttetapi boleh juga berbentuk barang sepertis eperangkat
alat sholat atau mengajarkan Al-Qur’an , dengan syarat maskwain dari suami
& jumlahnya trgantung kemmapuan calon suami & atas persetujuan calon
isteri
·
Dasar hukum mahar = wajib (QS. An-Nisa : 4)
·
Macam-macam mahar:
a.
Mahar musamma => mahar yang sudah disebut besar dan kadarnya
ketika akad nikah. Sepakat ulama fiqih => mahar musamma harus diberikan
secara penuh apabila bercampur & salah satu dari suami atau isteri
meninggal.
b.
Mahar mistli => mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada
saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan.
·
Larangan perkawinan:
a.
Senasab:
-
Ibu
-
Anak perempuan
-
Saudara perempuan (seayah saja, maupun seibu saja)
-
Bibi
-
Keponakan
b.
Sepersusuan:
-
Ibu sepersusuan
-
Nenek susuan
-
Bibi susuan
-
Kemenakan susuan perempuan => anak perempuan adri saudara ibu
susuan
-
Sauadar perempuan susuan
c.
Hubungan mushaharah (pertalian kerabat)
-
Mertua perempuan
-
Anak tiri => syarat kalau terjadi hubungan kelmain anatar suami
dengan ibu anak tersebut
-
Menantu
-
Ibu tiri => harus ada hubungan kelamin
d.
Karena sumpah li’an => seorang suami yang menuduh isterinya
berzina tanpa mendatangkan 4 saksi, maka suami harus bersumpah 4 kali dan
kelima kalinya bersedia mendapat azab dari Allah jika dia berdusta. Dan istri
bebas dari hukaman zin jika ia mau bersumpah 4x dan kelima bersedia mendapat
lakanat bila itu benar.
e.
Wanita yang haram untuk dinikahi selamanya:
1.
Perempuan bersaudara haram dikawini oleh seorang laki-laki secara
bersamaan
2.
Wanita yang terikat perkawinan dengan laki-lkai lain => haram
dinikahi oleh seseorang laki-laki
3.
Wanita yang sedang dalam iddah
4.
Wanita yang ditalak tiga
5.
Wanita yang sedang ihram
6.
Wanita musyrik.
Kelompok...4
POLIGAMI
·
Poligami => poli “banyak”, gami “istri”. Poligami => beristri
banyak.
Terminologi => seorang laki-laki-laki mempunyai lebih dari satu
istri atau seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tapi dibatasi paling
banyak 4 orang monogami (satu istri).
·
Rasyid ridha sebagaimana yang dikutip oleh masyfuh zuhdi =>
islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/mudharat dari pada manfaat
karena manusia menurut fitrahnya (hukum nature) mempunyai watak cemburu, iri
hati, suka mengeluh. Dan poligami oleh karenanya dibolehkan dalam keadaan
darurat, ex: Mandul krn ank inestment yang sangat berguna bagi manusia setelah
ia meninggal.
·
Syarat poligami, tapi jika mampu maka tidak berdosa, mnurut
sebagian ulama syarat2nya:
a.
Yakin mampu berlaku adil terhadap para isteri dalam hal pembagian
bermalam dan nafkah.
b.
Memiliki kemmapuan finansial => kemampuan memberi nafkah, jika
tidak maka ia akan melantarkan hak-hak yang lain.
Jika ini tdk
dipenuhi maka haram.
·
Pasal 56 ayat 3 “perkawinan yang dilakuak dengan istri kedua, ketiga,
keempat tanpa izin dari pengadilan agama
tdk mempunyai kekuatan hukum.
·
Pasal 59 “dalam hal ini isteri tidak mau mmeberikan persetujuan
kepada suami utk berpoligami berdasarkan
salah satu alasan pada pasal 57 ayat 2, pengadilan agama dapat menetapkan
tentang pemberian izin setelah memeriksa & mendengar isteri yang
bersangkutan dipersidangan agama & terhadap penetapan ini istri atau suami
dapat mengajukan banding atau kasasi.
·
Hikmah poligami:
1.
Untuk dapat keturunan
2.
Menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan isteri
3.
Untuk menyelamatkan suami dari yg hypersex :zina
4.
Untuk menyelamatkan wanita dari krisis akhlak karena wnaita jauh
lebih banyak, ex: peprangan yang cukup lama.
·
Hikmah nabi beristri 9:
1.
Untuk kepentingan kependidikan & pengajaran agama. 9 istri nabi
bisa menjadi informasi bagi ummat yg ingin tahu ajaran islam.
2.
Untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa arab untuk
menarik mereka masuk sialm.ex: kawin dengan juwairiyah, putri al-haris (kepala
suku bani musthaliq) dan shafiyah (tokoh bani quraihah & bani nazhir)
3.
Untuk kepentingan sosial & kemanusian. Ex: perkawinan dengan
beberapa jandi pahlawan islam yang lanjut usianya. Ex: saudah binti zum’ah
(suami meninggal setelah kmbali dari hijrah abessinia), hafsah binti umar
(suami di badar), zainab binti khuzaimah (suami gugur diahad) hindun ummu
slamah (suami gugur di uhud) mereka memerlukan perlindungan utk jiwa &
agama serta panggung kebutuhan hidup.
·
Hikmah dilarang lebih dari 4:
1.
Nanti repot sendiri, bingung sendiri akhirnya stress
2.
Akan terseret kedzaliman pd isteri2 nya
·
Perjanjian perkawinan => persetujuan yang dibuat oleh calon
memeplai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan & disahkan
pegawai pencatat nikah. Dan syarat perjanjian itu tidak bertentangan dgn
syariat islam
·
Kawin hamil => kawin dengan seorang wanita yang hamil diluar
nikah baik dikawini oleh laki2 yang menghamilinya atau laki-laki lain, hukumnya
ulama berbeda pendapat:
a.
4 mazhab => syah dan boleh bercampur suami istri, dgn ketentuan
si pria yang menghamili & berniat mengawininya.
b.
Ibn hazm (zahiriyah) => sah dan boleh bercampur dgn syarat
taubat dan di dera (cambuk) karena telah berzina.
Jika menikah dengan yang lain maka ulama:
a.
Abu yusuf : tidak boleh dikawini. Tidak pantas pria beriamn menikah
dengan wanita yg berzina.
b.
Ibn qatadah denagn dua cara:
1.
Telah melahirkan bukan dalam kondisi hamil
2.
Telah menjalani hukuman dera
(cambuk)
c.
Imam muhammad bin Al-Hasan Al-syaibani => boleh/sah tapi haram
bercambur selama bayinya belum lahir
d.
Hanifah & syafi’i => syah, karena tidak ada masa iddah,
wanita itu boleh juga dicampuri, krn tidak mungkin nasab (keturunan bayi itu
ternodai oleh suami dan anank yg lahir berstatus zina, tapi jika yang mengawini
adalah yang menghamili mkaa statusnya:
1.
Bayi itu zina => jika di kawini setelah usia perut berumur 4
bulan keatas. Bila kurang dari 4 bulan maka bayi tsb anak yg sah.
2.
Anak itu zina, krn anak itu diluar pernikahan .
·
Pasal 53 ayat 2 :” perkawinan dengan wanita yg hami dpaat
dilangsungkan tanpa menunggu kelahirannya. Ayat 3 :” perkawinan pada saat
wanita hamil, tidak perlu kawin ulang setelah anak yang dikandung lahir.
·
Kewajiban suami terhadap istri:
1.
Memperlakukan istri dengan cara yang baik
2.
Jangan menyakiti istri & menyia-nyiakan
3.
Memberi nafkah sesuai kemampuan
4.
Membantu istri dalam kesukaran & kesulitan
5.
Menjauhkan cemburu tanpa alasan
6.
Mengajari anak & isteri agama.
7.
Bijaksana ketika timbul pertengkaran
8.
Menghormati orang tua dari family isteri
9.
Tidak boleh memebeberkan rahasia istri
10.
Bersikap adil
·
Hak istri terhadap suami:
1.
Menaati suami
2.
Diam dirumah dan tidak keluar kecuali izin suami jika banah =>
nusyuz
3.
Mematuhi suami apabila ingin mengajak hubungan intim
4.
Tidak mengijinkan siapapun masuk rumah kecuali seizinnya
5.
Tdk puasa sunnah kevuali izin suaminya
6.
Tdk memebelanjkan harta suami tanpa izinnya
7.
Melayani suami dan ank dengan baik
8.
Berhias.
·
Keajiban bersama suami isteri:
1.
Hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah & rahma
2.
Hendaknya saling mempercayai & memahami sifat masing2
3.
Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis
4.
Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan.
Kelompok... 5
SYIQAQ & AKIBAT PEMBATALAN PERNIKAHAN
·
Syiqa => perselisihan/retak. Syiqaq => krisik memuncak yang
terjadi antara suami dan istri sedemikian rupa, sehingga anatar suami dan
isteri terjadi pertentangan pendapat & pertengkaran.
·
Menurut fiqih adalah perselisihan suami dan istri yang diselesaikan
oleh dua orang hakim yaitu pihak istri dan suami.
·
Namun apabila jalannya perdamaian tidak dapat ditempuh, maka hakim
menganbil inisiatif untuk menceraikannya.
·
Perkara syiqaq dindonesia. Pengadilan agama mengutamakan dua
pendapat:
1.
Pengadilan yogyakarta: 10 juni 1961 no. 489 => perceraian
apabila hakim nagkat tangan
2.
Pengadilan agama surabaya: no. 532 1985 perceraian apabila 2 hakim
tdk pernah hadir dalam sidang-sidang pengadilan.
·
Sebab-sebab syiqaq: nusyuz/membangkang, durhaka => istri
menentang suami tanpa ada alasan yang diterima.
·
Nusyuz => istri enggan bahkan tidak mau mematuhi ajakan
suaminya, sekalipun ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu.
·
Ada beberapa nusyuz istri:
1.
Tidak mau mengikuti suami untuk menempati rumah baru yang telah
disediakan sesuai dengan kemampuan suami, atau istri meninggalkan rumah tanpa
izin suami
2.
Apabila keduanya tinggal dirumah istri atas seizin istri kemudian
suatu ketika istri melarangnya untuk masuk kerumah itu dan bukan karena hendka
pindah rumah
3.
Itri menolak menetap dirumah yang disediakan suami tanpa alsan yang
pasti
4.
Apabila istri berpergian tanpa suami atau mahramnya perjalanan itu
wajib, ex: haji, krn perjalanan tdk dnegan suami atau mahramnya termasuk
maksiat.
·
Adapun nusyuz seorang suami
adalah menjauhi istri, bersikapkasar, meninggalkan untuk menemaninya,
meninggalkan dari tempat tidurnya, mengurangi nafkah.
·
Akibat pemabatalan perkawinan:
1.
Nikah fasid => nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat-syarat
2.
Nikah batil => apabila tidak memenuhi rukunnya
·
Akibat pembatalan pernikahan:
1.
Talak raj’i => tidak melarang mantan suami untuk berkumpul
dengan mantan isteri. Sebab akad perkawinan tidak hilang dan tidak
menghilangkan hak.
2.
Ba’in sughro => memutuskan hub. Perkawinan antara suami &
isteri setelah diucapkan, maka isteri kembali menjadi orang lain baginya dan
tidak boleh bersenang-senang apalagi menyetubuhinya.
3.
Ba’in kubro => tidak mengahlalkan bekas suami untuk merujuk
kembali, kecuali sesudah menikah dengan laki-laki lain. Perempuan yg sedang
dalam masa talak ba’in hanya memperoleh tempat tinggal tapi jika hamil maka
wajib dapat nafkah.
4.
Fasak => baik hal2 yang datang blakangan atau ada syarat2 yg
tidak terpenuhi, maka hal itu mengakhiri perkawinan seketika itu juga.
5.
Li’an => dilaksanakan dimesjid setelah asyar, dihadapan jama’ah
sekurang-kurang 4 orang. Bercerai selamanya, setelah ada anak tidak diakui oleh
suami sebagai anaknya
6.
Fasak => batal => rusaknya hukum yang ditetapkan trhadp suatu
amalan seseorang, krn tdk mematuhi syarat dan rukunnya sebagaimana yang
ditetapkan oleh syara’
Ex: nikah batal
=> dilangsungkan tnpa calon mempelai laki2 atau perempuan.
Ex: tidak
memenuhi rukun => saksi orang gila & wali non muslim.
·
Batalnya perkawinan atau putusnya disebut juga fasakh.
·
Pisahnya suami istri akibat fasak berbeda dengan pisahnya karena
talak => fasak => mengakhiri seketika itu juga.
·
Akibat-akibat fasak:
1.
Karena ada balak (penyakit belang kulit)
2.
Gila
3.
Kusta
4.
Menular
5.
Daging tumbuh di kemaluan perempuan
6.
Karena ‘unnah => jakar laki-laki impoten (tdk hidup utk jima’)
=> diberi waktu 1 tahun sembuh atau tidak.
·
Fasak terjadi =>
a.
Perkawinan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya. Ex:
budak dengan orang merdeka, pezina dengan orang terpelihara.
b.
Tidak memberi uang belanja
·
Pasal 71: (konklusi hukum islam), perkawinan batal:
1.
Seorang suami poligami tanpa izin pengadilan agama
2.
Wanita yang dikawini ternyata masih istri orang
3.
Wanita yang dikawini dalam amsa iddah suami lain
4.
Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan pasal 7 UU No. 1
tahun 1974 (perkawinan diijinkan apabila pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 tahun. =. Peraturan menteri agama no. 11 tahun 2007
nikah bab IV pasal 8 “apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19 tahun
dan seorang istri belum mencapai 16 tahun harus mendapat dispensasi dari
pengadilan. Bagaimana yang nikah dibawah itu ? hal ini bisa didorong karena:
khawatir zina’, sudah terlalu akrab, sudah tak bisa dipisahkan, kenal cukup lama.
5.
Tanpa wali atau dilaksanakan wali yang tidak berhak
6.
Dengan paksa.
Kelmp...6
TALAK & KHULUK &
LI’AN & RUJUK & IHDAD
·
Thalaq=> al-ithlaq => melepaskan atau meninggalkan. =>
melepaskan ikatan pernikahan dan mengakhiri hubungan suami istri.
·
Macam-macam thalaq:
1.
Ditinjau dari waktu jatuhnya talaq:
a.
Talak sunni => dijatuhkan sesuai tuntunan syar’i. Syarat:
-
Istri yang di talak sudah pernah di gauli => bila talak di
jatuhkan pada istri yang belum pernah di gauli itu tdk termasuk talak suami.
-
Istri dapat segera lakukan iddah suci setelah di talak =>
keadaan suci haid
-
Talak itu saat istri dalam suci.
-
Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dmn talak itu
dijatuhkan.
b.
Talak bid’i => talak yang dijatuhkan tidak sesuai dan
bertentangan dengan sunnah, tidak memenuhi syarat sunni:
-
Talak pada saat istri sedang haid
-
Talak terhadap istri pada waktu suci tapi pernah di gauli oleh
suami dalam keadaan suci yg dimaksud.
c.
Talak sunni wala bid’i => tidak termasuk sunni dan bid’i:
-
Talak pada istri yang belum pernah di gauli
-
Talaka pada istri yg belum pernah haid/telah lepas haid
-
Talak pada istri yg sedang hamil.
2.
Ditinjau drai tegas/kata-kata:
a.
Talak syarih => dengan kata2 yang jelas.
b.
Talak kinayah => kata2 sindiran:
-
Engkau telah jauh dariku
-
Selesaikan sendiri urusanmu
-
Jangan engkau mendekati aku lagi
-
Susullah keluargamu sekarang juga
-
Pulanglah kerumah orang tuamu
taqiyudinAl-Husaini
=> tergantung niat.
3.
Ditinjau dari ada atau tidaknya suami merujuk kembali:
a.
Talak raj’i => talak dua atau satu terhadap istri yang pernah di
gauli => tapi masih berlaku hukum (nafkah, temat tinggal hingga berakhir
masa iddah) jika masa iddah telah berakhir & suami belum merujuk kembali
maka talak ba’in baginya
b.
Talak ba’in => tidak memberi ujuk kembali bagi bekas suami.
Ba’in ada 2:
-
Ba’in sugra => talak yang menghilangkan kepemilikan bekas suami
terhadap istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan suami untuk kawin.
-
Ba’in kubro => menghilangkan kepemilikan & kehalalan ruju’
dan harus kawin dengan laki-laki lain/
-
Ditinjau dari cara suami menyampaikan:
4.
Ditinjau dari cara suami menyampaikan:
a.
Dengan ucapan
b.
Tulisan
c.
Isyarat => tuna wicara => buta huruf.
d.
Utusan
·
Akibat-akibat thalaq:
a.
Raj’i => bia bersama dalam masa iddah jika bersenggama maka
telah ruju’
b.
Bain sugro => ikatan perkawinan putus, menjadi orang lain, masih
ada 2x lagi
c.
Bain kubro => tidak menghalalkan bekas suami ruju’
·
Khuluk => mencabut => perpisahan antara suami dna istri
dengan pemberian iwad (kompensasi) dan didahulukan lafadz thalaq atau khuluq.
Ex: “aku menalakmu/menghulukmu dengan kompensasi sekian harta, lalu
istri menerima”.
·
Khuluk => tebusan yang di bayar istri kepada suami yang
membencinya agar suamidapat menceraikannya, ini bagi istri sedang bagi suami
adalah talak.
·
Khuluk => bisa waktu haid & suci. Rasul pernah memutlakkan
izin khuluk kpeada tsabit bin Qias, tanpa mencermati kondisi istrinya.
·
Li’an => la’ana => li’an => menjatuhkan => saling
menjatuhkan
Terminologi => beberapa kata tertentu yang dijadikan argumen
bagi orang yang terpaksa menuduh zina orang ayng telah mengotori ranjangnya dan
menimpakan kehinaan kepadanya atau karena keburukan (menafikkan/menolak) anak.
·
Lian => kesaksian dari suami istri yang diperintahhakim untuk
menguatkan gugatannya, lalu pihak istri menafikkan gugatan tersebut.
·
Tata cara lian adalah dengan menghadirkan pihak pria dan wanita
dengan disaksikan didepan hakim.
·
Akibat hukum lian => bercerai untuk selamanya dan bila ada anak
tidak dapat diakui sebagai anak suami.
·
Zhihar => punggung => bukan kata yang berarti penolongan
=> karena zhaahara => menolong. Terminologi => menyerupakan istri
dengan ibunya melalui ucapan ‘kamu bagiku seperti punggung ibuku’.
·
Akibat zhihar => belum cerai amsih dalam tali perkawinan dan hak
dan kewajiban kecuali hak mencampuri istri sampai ia membayar kaffarat.
·
Ila’ => sumpah => sumpah suami dengan menyebut nama Allah
atau sifat-sifatnya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati istrinya
itu, baik secara mutlak maupun dibatasi dengan ucapan selamanya, atau dibatasi
empat bulan atau lebih.
·
Akibat lian => suami diberi tanggung 4 bulan, dgn ketentuan:
a.
Tidak boleh hubungan kelamin => maka kafarat.
b.
Bila empat bulan, hakim menyuruh suami utk kembali, tentu dgn
membayar kafarat
c.
Bila suami tdk berkenaan kembali, maka hakim menyuruh untuk
mentalak.
·
Rujuk & ihdad.
a.
Raja’a => yarji’u => rujuk’an => berarti kembli =>
seorang laki-laki merdeka jika menceraikan istrinya di bawah talak tiga atau
dibawah dua, maka mempunyai hak raja’ selama dalam masa iddah sang istri.
b.
Ihdad => masa berkambung bagi seorang istri yang ditinggal mati
suaminya => 4 bulan 10 hari. Dan larangan :
-
Bercelak mata
-
Berhias diri
-
Keluar rumah kecuali terpaksa
Kelompok...7
WARIS
·
Waris => kajian fikih yang berkaitan dengan persoalan2 warisan,
kajian mengenai seseorang kapan dia menjadi ahli waris dan kapan tidak mendpaat
warisan, dan ilmu yang membahas pembagian harta kepada ahli waris laki-laki
& perempuan.
·
Al-faraid => jamak dari fariidah => bagian yang ditentukan
kadarnya
·
Ilmu faraid => ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris. => ini berlaku bagi ilmu
mawaris, karena ilmu mawaris nama lain bagi ilmu faraid, hukum mempelajari
fardu kifayah.
·
Sabda nabi:” ilmu inilah yang pertama kalian akan dicabut =>
artinya kenyataan sekarang banyak orang tidak mempelajari ilmu ini.
·
Waris adalah segala hal yang membahas mekanisme pembagian harta
peninggalan mayat kepada ahli warisnya sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an &
As-sunnah
·
Sejarah waris => bangsa arab => pada adat kebiasaan sebab
mewarisi jaman jahilia adalah => adanya suatu perjanjian => maksud dari
perjanjian ini adalah kedua belah pihak saling berjanji, ex: darahku adalah
darhmu kamu mewarisi hartaku dan aku mewarisi hartamu.
·
Faktor mewarisi zaman jahilia:
a.
Hubungan nasab dengan prioritas laki-laki yang kuat berperang =>
ini tidak diberikan kepada laki-laki yang lemah.
b.
Pengangkatan anak orang lain menjadi anak sendiri dengan tujuan
kekuatan perang
c.
Perjanjian dua pihak
·
Syariat islam yaitu: hubungan kekerabatan & perkawinan =>
suami istris aling mewarisi
·
Sumber hukum waris => Al-Qur’an, sunnah, ijtihad.
·
1. Anak laki2 =
2. anak perempuan =
3. anak perempuan =
4. ibu-bapak =
5. ibu =
6. ibu=
7. suami =
8. isteri =
9. meninggal tidak punya ayah & anak tetapi ada saudara
laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu)
·
Meningal ahli waris hanya saudara perempuan dapat separoh ( ) harta. Sisa pada asobah jika tidak ada
dikembalikan kepada saudara perempuan tadi.
·
Satu ahli waris, saudara laki-laki => semua harta
·
Ahli waris dari dua saudara perempuan = ( ) harta.
·
Ahli waris banyak, laki & perempuan, laki2 dpaat 2x daria hli
waris perempuan
·
Jika semua ahli waris saudara laki2, mereka mewariskan semua,
(disini yang seayah dan seibu (syaqiq), karena saudara2 seayah akan dihalangi
oleh saudara2 syaqiq
Kelompok...8
ASPEK YURIDIS WARIS
· Menurut bahasa, sesuatu dianggap rukun
apabila posisinya kuat dan dijadikan sandaran, seperti ucapan: “saya berukun
kepada Umar,” Maksudnya adalah “Saya bersandar kepada pendapat Umar.”
·
Menurut istilah, rukun adalah keberadaan seseuatu yang menjadi atas
keberadaan sesuatu yang lain. Contohnya adalah sujud dalam shalat. Sujud
dianggap sebagai rukun, karena sujud bagian dari shalat. Karena itu, tidak
dikatakan shalat jika tidak sujuD.
·
Rukun-rukun untuk mewarisinya ada tiga.
1)
Al-muwarrits, yaitu
orang yang telah meninggal dunia atau mati, baik mati hakiki maupun mati hukmy’
sesuatu kematian yang dinnyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa
sebab, kendati sebenarnya ia belum mati, yang meninggalkan harta atau hak.
2)
Al-warits,
yaitu orang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak mewarisi,
meskipun dalam kesulitan tertentu akan terhalang.
3)
Al-mauruts,
yaitu harta benda yang menjadi warisan.
Itulah tiga rukun waris. Jika salah satu dari rukun tersebut tidak
ada, maka waris-mewarisi pun tidak bisa dilakukan.
· Syarat Waris
Untuk kelangsungan
pewarisan ada tiga syarat yang harus terpenuhi, yang berkaitan dengan al-muwarrits
(orang yang meninggal), dan al-waarits (ahli waris). Syarat-syarat
tersebut adalah:
a.
Jelaskan bahwa al-muwarrits benar-benar telah meinggal, atau
dihukumi dtelah meninggal (oleh pengadilan) seperti kasus orang hilang.
Kejelasan bahwa al-waris masih hidup setelah al-muwarrits. Atau
disamakan dengan orang yang masih hidup sepert bayi yang lahir dalam keadaan
hidup beberapa waktu setelah kematian al-muwarrits, kemudian bayi itu
meninggal.
b.
Kejelasan tentang alasan menerima warisan, baik karena pernikahan,
kekerabatan, atau memerdekakan hamba.
·
Sebab-Sebab Waris
1.
pernikahan
Adapun pernikahan yang tidak sah, maka tidak ada saling mewarisi didalamnya. Talak yang masih dapat dirujuk tidak menghalangi untuk saling mewarisi, selama masih dalam masa ‘iddah. [1]
Adapun pernikahan yang tidak sah, maka tidak ada saling mewarisi didalamnya. Talak yang masih dapat dirujuk tidak menghalangi untuk saling mewarisi, selama masih dalam masa ‘iddah. [1]
2.
nasab atau kekerabatan.
Nasab atau kekrabatan ialah pertalian
antara dua manusia disebabkan adanya persekutuan dalam kelahiran, baik nasab
yang dekat atau yang jauh. Nasab ini terbagi menjadi tiga bagian:
a. Al-Ushul (pangkal),
yakni bapak, bapaknya bapak (kakek), dan seterusnya sampai keatas.
b. Al-Furu’ (cabang),
yakni anak, anaknya anak (cucu), dan seterusnya hingga ke bawah.
c. Al-Hawaasyi
(pinggir), yakni saudara, anak-anak saudara (keponakan), saudara bapak,
3. Al-Walaa’ (pemerdekaan)
Sebab dari orang yang memerdekakan
hamba sahaya menerima waris dari hamba sahaya tersebut, jika hamba sahaya
tersebuit sudah meninngal dunia adalah satu kenikmatan yang telah ia berikan
kepada hamba sahaya tersebut, yuakni dengan memerdekakannya.
·
Berikutnya adalah sebab waris yang keempat, yang diperselisihkan
oleh para ulama, yaitu:
A. keislaman => maliki & syafi’i =>
baitul mal. Dan dalam hal ini ada perinciannya. Sebab sebab mewariskan yang diperselisihkan
oleh para ulama ilmu faraidh adalah baitulmal dan wala al-muwalah.
·
Baitulmal
1. baitulmal
=> sebagai penyebab mewarisi secara
mutlak baik baitulmal yang terorganisasi maupun tidak. Jika seorang muslim
meninggal dunia dan tidak mempunyai seorang pun ahli waris yang mewarisi harta
peninggalannya. Maka baitulmal berhak mewarisi harta peninggalan tersebut serta
menggunakannya untuk kemashlatan kaum muslimin.
2. Wala
al-muwalah =>Apabila diantara kedua belah pihak telah mengeluarkan ikrar
setia yaitu, perjuanganku perjuanganmu. Kamu dituntut darahmu karena tindakanmu
terhadapku, akupun menuntut darahku karena tindakanku karena tindakanku
terhadapmu. Kemudian pihak lainnya menyetujui atas ikrar tersebut.
·
Ada tiga pendapat mengenai waris-mewarisi dengan sebab wala
al-muwalah didalam islam.
1.
wala al-muwalah sama sekali
tidak dikenal di dalam ajaran islam. Pendapat ini diceritakan oleh Ar-Rafi’iy
dari al-qodhi Ar-Rayyani.
2.
wala al-mualah telah dikenal
di masa awal-awal islam, kemudian di nasakh. Ini adalah pendapat Imam Malik dan
Imam Syafii. Imam Ahmad bin Hambal di salah satu riwayat yang lebih mahsyur
menjelaskan bahwa wala al-muwalah belum nasakh (dibatalkan) dan hukumnya masih
berlaku. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam pendapat
ketiga.
3.
Menurut mereka wala al-muwalah mendapatkan bagian warisan setelah
pembagianradd dan dzawi al-arham. Mereka berdalil dengan firman Allah SWT “jika
orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka maka berilah kepada
mereka bagiannya”. (An-nisaa (4): 33) [2]
·
Para imam yang empat bersepakat bahwa penghalang waris ini ada tiga
macam, yakni:
1.
menjadi Hamba sahaya
Seorang hamba sahaya tidak berhak mendapatkan warisan, karena
seluruh harta yang dimilikinya adalah milik tuannya. Jika ada yang memberikan
warisan dari kerabatnya kepada hamba sahaya tersebut, maka harta yang itu
secara otomatis milik tuannya. Artinya, terjadi pewarisan terhadap orang lain
tanpa ada sebab apapun.[3]
2.
pembunuhan
Seseorang pembunuh tidak dapat mendapatkan warisan dari orang yang
dia bunuh.[4]
3.
berbeda agama
Kelompok....9
KLASTER AHLI WARIS
·
Dzawil Furudh.
Ashabul Furudh
adalah orang yang mempunyai bagian harta peninggalan yang sudah ditentukan oleh
Al-Qur’an, As-Sunah, Ijmak dan ijtihad[5].
Adapun bagian yang sudah ditentukan adalah
1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, 1/6.
·
Orang-orang yang dapat mewarisi harta peninggalan dari yang sudah
meninggal dunia berjumlah25 orang yang terdiri atas 15 orang laki-laki dan 10
orang dari pihak perempuan.
·
Ahli Waris dari laki-laki adalah sebagai berikut:
1)
Anak laki-laki
2)
Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3)
Ayah
4)
Kakek (ayah dari ayah)
5)
Saudara laki-laki sekandung
6)
Saudara laki-laki seayah
7)
Saudara laki-laki seibu
8)
Keponakan laki-laki (anak laki-laki dari no. 5)
9)
Keponakan laki-laki (anak laki-laki dari no. 6)
10)
Saudara seayah (paman) yang seibu seayah
11)
Saudara seayah (paman) yang seayah
12)
Anak paman yang seibu seayah
13)
Anak paman yang seayah
14)
Suami
15)
Orang laki-laki yang memerdekakannya
- Apabila ahli waris di atas ada semuanya maka hanya 3 (tiga) ahli waris yang mendapatkan warisan, yaitu sevagai berikut:
a)
Suami
b)
Ayah
c)
Anak
- Adapun ahli waris dari pihak perempuan ada 10 orang, yaitu sebagai berikut:
1)
Anak perempuan
2)
Cucu perempuan darianak laki-laki
3)
Ibu
4)
Nenek perempuan (ibunya ibu)
5)
Nenek perempuan (ibunya ayah)
6)
Saudara perempuan yang seibu seayah
7)
Saudara perempuan yang seayah
8)
Saudara perempuan yang seibu
9)
Istri
10)
Orang perempuan yang memerdekakannya
- Apabila ahli waris di atas ada semuanya, maka yang mendapatkan harta waris hanya 5 orang, yaitu:
1)
Anak perempuan
2)
Cucu perempuan dari anak laki-laki
3)
Ibu
4)
Saudara perempuan seayah dan seibu
5)
Istri
- Andaikata ahli waris yang jumlahnya 25 orang itu ada semuanya yang berhak mendapatkan harta warisan, adalah sebagai berikut.
1)
Ayah
2)
Ibu
3)
Anak laki-laki
4)
Anak perempuan
5)
Suami/istri[6]
- Macam-macam al-furud al-muqaddarah yang diatur didalam al-qur’an ada 6, yaitu:
a.
Setengah/separoh (1/2= al-nisf)
b.
Sepertiga (1/3= al-sulus)
c.
Seperempat (1/4=al-rubu)
d.
Seperenam (1/6=al-sudus)
e.
Seperdelapan (1/8=al-sumun)
f.
Dua pertiga (2/3=al-sulusan al-sulusain)
- Adapun hak-hak yang diterima ahli waris ashab al-furud adalah:
a.
Anak perempuan, berhak menerima bagian:
½ jika sendirian tidak bersama laki-laki
2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama anak laki-laki.
b.
Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima:
½ jika sendirian, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub (terhalangan)
2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki dan
tidak mahjub.
1/6 sebagai pelengkap
2/3 jika bersama seorang anak perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan tidak mahjub. Jika anak perempuan dua orang
atau lebih ia tidak mendapatkan bagian.
c.
Ibu, berhak menerima bagian;
1/3
jika tidak ada anak atau cucu (far’u
waris) atau saudara dua orang atau lebih
1/6
jika ada far’u waris atau bersama dua
orang saudara atau lebih
1/3
x sisa, dalam masalah Garrawain, yaitu
apabila ahli waris terdiri dari: suami/isteri, ibu dan bapak.
d.
Bapak, berhak menerima bagian:
1/6 jika ada anak
laki-laki atau cucu laki-laki
1/6
+ sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki.
Jika
bapak bersama ibu:
-
Masing masing 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau
lebih.
-
1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu
atau saudara dua orang lebih.
-
Ibu menerima 1/3 sisa, bapaknya sisanya setelah diambil untuk suami
atau isteri.
e.
Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
1/6
jika seorang
1/6
dibagi rata, apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya.
f.
Kakek, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian:
1/6
jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki
1/6+
sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan tanpa ada anak laki-laki.
1/6
atau muqasamah (bagi rata) dengan
saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain,
1/3
atau muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris
lain
g.
Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjub, berhak menerima
bagian:
1/2
jika seorang, dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
2/3
dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
h.
Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub, berhak mendapat
bagian:
1/2
seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah
2/3
dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah.
1/6
jika bersama dengan saudara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap 2/3.
i.
Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan kedudukannya sama.
Apabila tidak mahjub, saudara seibu berhak menerima bagian:
1/6
jika seorang diri
1/3
dua orang atau lebih
Bergabung
menerima 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-sama dengan ahli waris
suami dan ibu (musyarakah)
j.
Suami, berhak menerima bagian:
1/2
jika tidak mempunyai anak atau cucu
1/4
jika bersama anak atau cucu
k.
Isteri, berhak menerima bagian:
1/4
jika tidak mempunyai anak atau cucu
1/8
jika bersama anak atau cucu[7]
·
Dzawil Arham.
Secara umum Dzawil arham adalah mencakup seluruh keluarga yang
mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, baik mereka yang
termasuk ahli waris golongan ashabul-furudh, golongan asabah maupun yang lain.[8]
Sunni:
a.
Dzawil arham adalah para kerabat yang bukan dari golongan ashabul
furud (dzawul furud) dan bukan pula ashobah.
b.
Golongan sunni pro-Maliki dan syafi’i, sebagaimana pula pendapat
Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman ibn Afan, Zaid Ibn Tsabit, Az-Zuhri,
Al-Auzai, dan Daud berpendapat bahwa kerabat bahwa kerabat yang bukan dari
dzawul furud dan ashobah tidak dapat mewarisi, harta waris diserahkan kepada
Baitul Mal (lembagai keuangan pendanaan kemashlahatan kaum muslimin) apabila
tidak ada dzawul furud dan atau ashobah.[9]
- Dalam pengertian umum istilah zawu al-arham mengandung maksud semua ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan si mati. Persoalan yang muncul adalah apabila si mati tidak mempunyai ahli waris ashab al-furud dan ashab al-asabah, sementara yang ada hanya ahli waris Zawu al-arham. Misalnya, seorang meninggalkan hanya mempunyai cucu perempuandari garis perempuan. Mereka dianggap kerabat yang jauh pertalian nasabnya, yaitu sebagai berikut:
1.
Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan
2.
Anak laki-laki dan anak perempuan dari cucu perempuan
3.
Kakek pihak ibu (bapak dari ibu)
4.
Nenek dari pihak kakek (ibu kakek)
5.
Anak prrempuan dari saudara laki-laki (yang sekandung sebapak
maupun seibu)
6.
Anak laki-laki dan saudara laki-laki seibu.
7.
Anak (laki-laki dan perempuan) saudara perempuan (sekandung sebapak
atau seibu)
8.
Bibi (saudara perempuan dari bapak) dan saudara perempuan dari
kakek
9.
Paman yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu
dengan kakek
10.
Saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu
11.
Anak perempuan dari paman
12.
Bibi pihak ibu (saudar perempuan dari ibu)
Menurut jumhur fuqaha, dzawil arham adalah ahli waris yang berhak
menerima bagian ahli waris apabila si mati tidak mempunyai dzawil furudh atau
ashabah. Pra fuqaha yang berpendapat bahwa dzawil
arham bisa menerima warisan antara lain Khulafaur Rasyidin, Ibnu Mas’ud,
Mujahid, Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal, Abu Yusuf dan para fuqaha
syafi’iyah serta malikiyah.
·
Adapun syarat-syarat agar dzawil arham menerima harta peninggalan
kerabatnya menurut jumhur fuqaha ada dua syarat, sebagai berikut:
a.
Sudah tidak ada ashabul furudh atau ashabah sama sekali.
b.
Bersama dengan salah seorang suami isteri.[10]
·
Adapun cara mengenai pembagian warisan kepada dzau al-arham ada
tiga prinsip, yang kemudian menjadi nama golongan yaitu:
1.
Prinsip al-qarabah, yaitu menggunakan prinsip jauh dekatnya
kekerabatan. Mazhab yang menggunakan prinsip ini disebut mazhab ahl al-qarabah.
2.
Prinsip Al-Tanzil yaitu menempatkan ahli waris dzau al-arham pada
kedudukan ahli waris yang menyebabkan mereka mempunyai hubungan dengan si mati.
Mazhabnya disebut mazhab ahl al-tanzil.
3.
Prinsip ar-rahim yaitu memandang bahwa semua ahli waris dzau
al-arham adalah keluarga, masing-masing memiliki hak yang sama dalam
mendapatkan warisan. Mazhabnya disebut mazhab ar-rahim.[11]
·
Hijab mahjub.
a.
Hijab Nuqshan
Hijab Nuqshan, yaitu bergesernya hak
seseorang ahli waris dari bagian yang besar menjadi bagian yang kecil, karena
adanya ahli waris lain yang mempengaruhinya , yakni sebagai berikut.
1)
Suami jika istri meninggal dunia dengan meninggalkan anak, baik
anak itu dari perkawinan dengan suami sekarang maupun dengan suami sebelumnya.
Dalam hal ini hak suami bergeser dari 1/2 menjadi 1/4harta warisan.
2)
Istri, jika suami meninggal dunia dengan meninggalkan anak, baik
anak itu dari perkawinan dengan istri sekarang maupun dengan istri yang lain.
Dalam hal ini istri bergeser dari 1/4 menjadi 1/8 bagian harta warisan.
3)
Ibu jika suami meninggalkan seorang anak atau dua orang saudara,
atau lebih, haknya bergeser dari1/3 menjadi 1/6 bagian harta warisan.
4)
Cucu perempuan, jika yang meninggal dunia meninggalkan seorang anak
perempuan bergeser haknya dari 1/2 menjadi 1/6, yaitu untuk melengkapi hak anak
perempuan menjadi 2/3, tetapi jika ada 2 orang anak perempuan atau ada anak
laki-laki maka hak cucu perempuan hilang seluruhnya.
5)
Saudara perempuan seayah, jika ada seorang saudara perempuan
kandung, bergeser haknya dari 1/2 menjadi 1/6, yaitu untuk melengkapi 2/3
tetapi jika saudara perempuan kandung ada 2 orang atau lebih atau ada saudara
laki-laki kandung maka hak saudara perempuan se ayah hilang seluruhnya.
b.
Hijab Hirman
Hijab hirman, yaitu tertutupnya hak
seorang ahli waris untuk seluruhnya
1.
Kakek terhalang oleh:
- ayah
2.
Nenek dari ibu terhalang oleh:
- ibu
3.
Nenek dari ayah terhalang oleh:
- ayah
- ibu
4.
Cucu laki-laki terhalang oleh:
- anak
laki-laki
5.
Cucu perempuan terhalang oleh:
-anak laki-laki
-anak perempuan
dua orang atau lebih
6.
Saudara sekandung (laki-laki/perempuan) terhalang oleh:
- anak
laki-laki
- cucu
laki-laki
- ayah
7.
Saudara seayah (laki-laki/perempuan) terhalang oleh:
- anak
laki-laki
- cucu
laki-laki
- ayah
- saudara
sekandung laki-laki
- saudara
sekandung perempuan bersama anak/cucu perempuan
8.
Saudara seibu (laki-laki/perempuan) terhalang oleh:
- anak
laki-laki dan anak perempuan
- cucu
laki-laki dan cucu perempuan
- ayah
- kakek
9.
Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung terhalang oleh:
- anak
laki-laki
- cucu
laki-laki
- ayah atau
kakek
- saudara
laki-laki sekandung atau seayah
- saudara
perempuan sekandung atau seayah yang menerima ‘as abah ma’al-gair
10.
Anak laki-laki saudara
seayah terhalang oleh:
- anak atau
cucu laki-laki
- ayah atau
kakek
- saudara
laki-laki sekandung atau seayah
- anak
laki-laki saudara laki-laki sekandung
- saudara
perempuan sekandung atau seayah yang menerima ‘asabah ma’ al-gair
11.
Paman sekandung terhalang oleh:
- anak atau
cucu laki-laki
- ayah atau
kakek
- saudara
laki-laki sekandung atau ayah
- anak
laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah
- saudara
perempuan sekandung atau seayah yang mmenerima ‘asabah ma’ al-gair
12.
Paman seayah terhalang oleh:
- anak atau
cucu laki-laki
- ayah atau
kakek
- saudara
laki-laki sekandung atau seayah
- anak
laki-laki saudara sekandung atau seayah
- saudara
perempuan sekandung atau seayah yang menerima ‘asabah ma’ al-gair
- paman
sekandung
13.
Anak laki-laki paman sekandung terhalang oleh:
- anak atau
cucu laki-laki
- ayah atau
kakek
- saudara
laki-laki sekandung atau seayah
- anak
laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah
- saudara perempuan sekandung atau seayah yang
menerima ‘asabah ma’ al-gair
- paman
sekandung atau seayah
14.
Anak laki-laki paman seayah
terhalang oleh:
- anak atau cucu laki-laki
- ayah atau kakek
- saudara
laki-laki sekandung atau seayah
- anak
laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah
- saudara perempuan sekandung atau seayah yang
menerima ‘asabah ma’ al-gair
- paman sekandung atau seayah
- anak
laki-laki paman sekandung.[12]
Kelompok....10
CARA PERHITUNGAN PEMBAGIAN AHLIWARIS
·
Asal masalah (ashl al-mas’alah) dalam hukum waris adalah bilangan
yang paling sedikit atau kecil yang bisa diambil darinya, bagian para ahli
waris secara benarv tanpa ada bilangan pecahan, dan besarnya bagian itu berbeda sesuai dengan perbedaan
ahli waris yang ada. Jika ahli waris hanya satu orang, dari kelompok mana pun,
tidek perlu lagi mengeluarkan asal masalah, karena tidak ada orang lain yang
bersamanya untuk mengambil harta waris.
·
Apabila ahli waris tersebut lebih dari satu dan semuanya menjadi ‘ashabah
bin nafshi. Contohnya jika seseorang meninggl dunia, meninggalkan ahli
waris: 4 orang anak laki-laki atau 4 orang saudara, maka asal masalahnya sudah
jelas, yaitu 4, sesuai jumlahnya.
·
Apabila para ahli waris itu laki-laki dan perempuan, seperti anak
laki-laki dan perempuan, atau seperti saudara laki-laki dan perempuan, asal
masalahnya adalah jumlah perempuan ditambah dua kali jumlah laki-laki. Contoh,
jika seseorang wafat meninggalkan seorang anak laki-laki dan 3 orang anak
perempuan, maka asal masalahnya adalah 5, dimana anak laki-laki mendapatkan dua
bagian dan setiap anak perempuan mendapatkan satu bagian.
·
Apabila dalam masalah itu ada satu orang ‘ashabah, asal
masalahnya adalah bilangan penyebut dari pecahan-pecahan yang ada. Contohnya,
jika seorang wafat, meninggalkan ahli waris seorang istri dan anak laki-laki,
asal masalahnya adalah 8. Apabila seseorang wafat,meninggalkan ahli waris:
seorang istri, 3 orang anak laki-laki, dan 1 orang anak perempuan: asal
masalahnya adalah 8, dimana istri mendapatkan satu bagian tetap (1/8) dan 3
anak laki-laki serta 1 anak perempuan mendapatkan sisa ( ‘ashabah ),dengan
ketentuan laki-laki mendapatkan dua kali bagian anak perempuan.
·
Apabila seorang wafat, meninggalkan ahli waris : suami, kakek, dan
ibu, maka bagian untuk setiap ahli waris tersebut adalah : suami setengah
(1/2), kakek seperenam (1/6), dan ibu sepertiga (1/3). Asal masalah untuk kasus
ini adalah 6, karena itu merupakan bilangan yang bisa dibagi dengan pecahan
lainnya (1/2, 1/6, dan 1/3), dan dapat dikalikan dengan bagian setiap ahli
waris untuk mendapatkan bilangan yang benar. Dengan demikian, bagian suami (1/2
x 6 =3), bagian kakek (1/6 x 6 = 1), dan bagian ibu ( 1/3 x 6 = 2 ).
·
Asal masalah dalam ahli warisan, jika tidak ada ‘aul atau radd,
tidak lepas dari 7 bilangan berikut, yaitu 2,3,4,6.8.12 dan 24.
·
Cara-cara pembagian harta waris :
1.
Menentukan bagian-bagian ashabul furudh jika mereka ada.
2.
Menjelaskan asal masalah.
3.
Menentukan bagian setiap ahli waris. Jika ahli waris itu ashabul
furudh.
4.
Harta waris dibagi berdasarkan asal masalah, jika sepadan, dan
berdasarkan ‘aul, jika masalahnya ‘aul, ataupun berdasarkan seluruh
bagian, jika masalahnya ‘ar-radd, maka hasilnya adalah kadar satu bagiam
dari harta waris.
5.
Apabila kita telah mengetahui bagian untuk setiap ahli waris dan
kadar satu bagian itu dengan jumlah bagian ahli waris, dan hasilnya menjadi
bagian untuk setiap ahli waris.
6.
Semua ini diberikan, apabila para ahli warisnya dari dzawil
furudh (orang yang mempunyai bagian tetap) saja atau sebagian dzawil
furudh dan sebagian lagi ‘ashabah. Apabila ahli warisnya hanya ‘ashabah
dan semuanya laki-laki, atau semuanya perempuan, asal masalahnya adalah jumlah
ahli warisnya. Namun, apabila para ahli waris itu campuran, ada laki-laki dan
perempuan, asal masalahnya adalah jumlah laki-laki dikalikan dua, ditambah
jumlah perempuan.
·
Contoh pertama.
Seseorang wafat, meninggalkan ahli waris : seorang istri, saudara perempuan
kandung, saudara perempuan sebapak, dan paman. Ia meninggalkan warisan sebanyak
48 hektare tanah.
Ahli
Waris
|
Istri
|
Saudara
perempuan kandung
|
Saudara
perempuan sebapak
|
Paman
|
|
Dasar
Pembagian
|
1/4
karena tidak ada keturunan yang mewarisi
|
1/2
karena sendirian dan tidak ada yang menjadikannya sebagai 'ashabahserta
tidak ada orang yang menghalanginya
|
1/6
sebagai penyempurna 2/3
|
Sisa ('ashabah)
|
|
Dilihat
dari pecahan-pecahan yang ada (1/4, 1/2, dan 1/6) kita bisa mendapatkan
bilangan yang sama, yakni 12. Dengan demikian, asal masalahnya adalah 12.
|
|||||
Bagian
ahli waris
|
1/4 x 12
= 3
|
1/2 x 12
= 6
|
1/6 x 12
= 2
|
12 - (3+6+2)
= 1
|
Jumlah bagian
ashabul furudh, yakni 3+6+2=11
Dari jumalah
itu, paman mendapatkan sisa, yakni 12-11=1
Kadar satu bagian: 48:12 = 4 hektare
Harta waris yang diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai berikut
:
- istri :
3 x 4 = 12 hektare.
- saudara perempuan kandung :
6 x 4 = 24 hektare
- saudara perempuan sebapak :
2 x 4 = 8 hektare
- paman :
1 x 4 = 4 hektare
Contoh kedua.
Seseorang wafat, meninggalkan ahli waris : 2 anak laki-laki dan 3 anak
perempuan. Ia meninggalkan warisan sebesar 70.000 riyal ( 156.100.000,00)
Penyelesaiannya. Asal masalahnya adalah 7, yang diperoleh dari
jumlah anak laki-laki dikalikan 2, ditambah jumlah anak perempuan.
Kadar satu bagian : 70.000 : 7 =10.000 riyal
Harta waris yang diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai
berikut.
-2 anak laki-laki :4
x 10.000 = 40.000 riyal
(
Rp.89.200.000,000 )
-bagian setiap anak laki-laki :40.000
: 2 = 20.000 riyal
(
44.600.000,00 )
-3 anak perempuan :
3 x 10.000 = 30.000 riyal
(
Rp.66.900.000,00 )
-bagian setiap anak perempuan :30.000
: 3 = 10.000 riyal
(
Rp.22.300.000,00 )
·
Tash-shih terhadap Asal masalah
Terkadang, ketika membagikan harta waris dengan cara yang telah
dipaparkan diatas, terjadi pembagian yang tidak benar, yakni satu kelompok dari
ahli waris tidak mendapatkan bagian secara genap. Misalnya, seseorang wafat,
meninggalkan ahli waris: istri, anak perempuan, dan dua saudara perempuan
kandung. Dalam kasus ini, istri mendapatkan seperdelapan (1/8) sebagai bagian
tetap, anak perempuan mendapatkan separuh (1/2) sebagai bagian tetao (fardh)
pula, dan 2 saudara perempuan kandung mendapatkan sisa sebagai ’ashabah.
Asal masalah kasus tersebut adalah 8. Dengan demikian, istri
mendapatkan 1 bagian (1/8 x 8), anak perempuan mendapatkan 4 bagian (½ x 8),
dan saudara perempuan kandung mendapatkan 3 bagian sisa [8-(1+4)=3]. Dengan
demikian, bagian sisa untuk ‘ashabah (2 orang saudara perempuan kandung)
tidak mungkin dapat dibagi, karena 3 tidak dapat dibagi 2 dengan hasil genap,
tanpa sisa pecahan. Karena itu, kita harus menggenapkan bagiannya agar setiap
ahli waris mendapatkan bagian yang benar atau tidak ada pecahan yang tersisa.
Inilah yang disebut dengan at-tash-hih (penyelesaian) dalam ilmu
faraidh.[13]
Mengesahkan masalah itu, maksudnya pada sisi ulama faraa-idl, ialah
mengatur pembagian masing-masing ahli waris dengan bulat yakni tidak pecah.[14]
·
Masalah ‘Adilah
Masalah ‘Adillah masalah di mana bagian ash-habul furudh
dan asal masalahnya sama. Setiap ash-habul furudh dapat mengambil
bagiannya secara genap dan utuh tanpa ada penambahan dan pengurangan. Jika ada
pembagian yang kurang dari asal msalah, tetapi ada ‘ashabah yang
mengambil sisanya, maka masalah ini juga termasuk dalam ‘adilah.
·
Definisi ‘Aul
Al-‘Aul dalam bahasa Arab mempunyai banya arti, di antaranya zalim dan
menyeleweng
Sedangkan dalam
pengertian yang lain, ‘aul juga bermakna cenderung. Seperti anda
mengatakan ‘ala al mazan fahuwa ‘ailun, maksudnya timbangan itu berat
sebelah (miring). Yang dimaksudkan ayat tersebut adalah agar tidak terlalu
condong, ‘aul juga berarti membelanjakan untuk anak-anak, seperti
perkataan Anda, ‘ala ar-raju awladuhu ya ‘uluhum (orang itu
membelanjakan uangnya untuk anak-anaknya). Maksudnya adalah membelanjakan
uangnya.[15]
·
Definisi al-‘aul
menurut istilah, yaitu bertambahnya jumlah harta waris yang telah ditentukan
dan berkurangnya bagian para ahli waris. Hal ini terjadi ketika makin banyaknya
ashhabulfurudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal diantara
mereka ada yang belum menerima bagian. Dengan demikian, masalah pokoknya harus
ditambah sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah yang ada meskipun
bagian mereka menjadi berkurang.
·
‘Aul adalah keadaan
jumlah bagian harta waris yang harus dipenuhi melebihi jumlah harta. Misalnya
si fulan mati meninggalkan seorang istri, dua orang ibu-bapak, dan dua orang
anak perempuan. Semestinya, bagian untuk istri adalah seperdelapan, ayah ibu
sepertiga. Dan dua orang anak perempuan dua pertiga. Harta yang ditinggalkan jelas
tidak dapat menanmpung jumlah 1/8+1/3+2/3 itu. Demikian pula, jika ada seorang
wanita mati dengan meninggalkan suami dan dua orang saudara perempuan seayah.
Bagian untuk suami adalah setengah dan bagian dua orang saudara perempuan
seayah adalah dua pertiga. Jumlah bagian ½+2/3 ini, jelas tidak bisa ditampung
oleh harta warisan. Inilah yang dinamakan ‘aul.[16]
·
Contoh Masalah Aul
Telah mati seorang perempuan dengan
meninggalkan seorang suami, dua orang saudara perempuan sekandung, dua orang
saudara perempuan seibu dan ibu. Masalah ini dinamakan syuraihiyyah,
sebab suami itu mencaci maki Syuraih sebagai hakim yang terkenal, di mana si
suami ini diberi bagian tiga persepuluh oleh Syuraih, padahal seharusnya ia
mendapatkan separuh dari sepuluh. Lalu dia mengelilingi kabilah-kabilah sambil
berkata “Syuraih tidak memberikan kepadaku separuh dan tidak pula sepertiga.
Ketika Syuraih mengetahui hal itu. Dia memanggilnya untuk menghadap, dan
memberikan hukuman ta’zir kepadanya”. Kata Syuraih “Engkau buruk berbicara, dan
menyembunyikan aul”.
Seorang
suami telah mati, sedang ia meninggalkan seorang istri, dua orang anak
perempuan, seorang ayah, dan seorang ibu. Masalah ini dinamakan minbariyyah,
sebab syayidina ‘Ali ra tengah berada di atas mimbar di Kufah dan ia mengatakan
di dalam khutbahnya: “Segala puji bagi Allah yang telah memutuskan dengan
kebenaran
[1] Ibid., hal.12
[3] Ibid., hal.15
[4] Ibid., hal.16
[6] Abdul Wahid, Hukum
Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) cet.2,.h.63
[7] Ibid, h.54-59
[8] Rahman, Ilmu Mawaris
( Bandung: PT Al-Ma’arif, 1994), hlm. 351, tambahan bahwa dzawil furud arham
ini kerabat pewaris yang tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik
dalam Qur’an maupun sunnah dan bukan pula dari ‘asabah’. Maksudnya dzawil arham
adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan pewaris, namun mereka
tidak mewarisinya secara ahhabul furud dan tidak pula secara asabah. Misal :
Bibi(saudara perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki ibu), keponakan
laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan dsb.
Lihat, Beni ahmad saebani, Op., Cit., hlm. 184
[9] Sukris Sarmandi, Transendensi Keadilan
Hukum Waris Islam Transformatif. (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1997) h.176
[10]
Abdul wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) cetakan
kedua, hal 67-70.
[11]
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) cet.2, hal.
69.
[12]
Abdul wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) cetakan
kedua, hal. 80-84.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar