Selasa, 24 April 2018

Ulumul Qur'an Bagian III (Tiga)


1.      kaum muslimin tetapi disebabkan mendengarkan beberapa ayat al-Quran maka hatinya luluh dan masuk islam.
Filosof Perancis mengatakan “Sesungguhnya Muhammad Saw., membaca al-Quran dengan khusyuk, sopan dan rendah hati, untuk menarik hati manusia agar beriman kepada Allah, dan hal ini melebihi pengaruh yang ditimbulkan semua mukjizat nabi-nabi terdahulu.[25]
A.    Paham As-Sharfah
As-Sharfah terambil dari akar kata صرف (Sharafa) yang berarti memalingkan, dalam pengertian bahwa Allah memalingkan manusia dari upaya membuat semacam al-Quran, sehingga seandainya tidak dipalingkan, manusia akan mampu. Dengan kata lain, kemukjizatan al-Quran dianggap oleh paham as-sharfah lahir dari faktor eksternal, bukan dari al-Quran itu sendiri.[26]
Berbicara tentang as-sharfah, Abu Ishaq Ibrahim an-Nazham dari golongan mu’tazilah yang oleh Mustafa Shadiq al-Rafi’i disebut sebagai “syetan yang berargumentasi” mengemukakan bahwa, kemukjizatan al-Quran pada dasarnya bukan terletak pada kehebatan al-Quran itu semata-mata melainkan lebih dikarenakan sharfah (proteksi) dari Allah Swt., terhadap para hambanya, lebih dari itu kata an-Nazham, Allah tidak saja memprotek kemampuan manusia untuk menandingi al-Quran, akan tetapi juga malahan membelenggu kefasihan lidah mereka.[27]
Sementara al-Murtadha dari golongan Syiah berpendapat bahwa makna as-sharfah itu adalah mencabut, yaitu Allah mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki yang dibutuhkan untuk menyusun kalimat serupa al-Quran.[28]
Jika kita perhatikan kedua pendapat diatas, mereka menganggap bahwa al-Quran bukan merupakan mukjizat dengan Zat-Nya, tetapi kemukjizatan itu karena dua hal:
1. Penggerak Ilahi yang melemahkan mereka untuk bertanding akhirnya mereka bermalas-malasan.
2. Faktor luar yang melambangkan bakat kefasihan dan kemampuan sastra mereka.[29]
Dalam hal ini Muhammad Abd Azhim al-Zarkani memandang bahwa tuduhan penafian I’jaz al-Quran terhadap aliran Mu’tazilah dan kaum Syi’ah secara keseluruhan hanya disebabkan segelintir tokohnya yang dalam kasus ini an-nazham dan al-Murtadha merupakan tuduhan yang kurang etis mengingat terlalu banyak pengikut Mu’tazilah dan kaum Syi’ah yang pengakuannya tentang kemukjizatan al-Quran yang lebih kurang sama dengan kaum muslimin pada umumnya. Bahkan dari kalangan Ahli Sunnah sekalipun sesunguhnya ada yang membenarkan kemungkinan as-sharfah itu terjadi, diantaranya adalah Abu Ishak al-Isfariyini.[30]
Dalam pada itu Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani mengatakan bahwa, salah satu hal yang membatalkan pendapat tentang shirfah adalah, kalaulah menandingi al-Quran itu mungkin, tetapi mereka dihalangi oleh shirfah, maka kalam Allah itu tidak mukjizat, melainkan shirfah itulah yang mukjizat. Dengan demikian, kalam tersebut tidak mempunyai kelebihan apapun atas kalam yang lain.[31] Selain Abu Bakar al-Baqillani, pendapat tentang as-sharfah menurut Muhammad Ali as-Shabuniy juga dikatakan salah dan tidak bisa dipertanggung jawabkan karena tidak sesuai dengan kenyataan. Hal itu menurutnya karena beberapa faktor:
1. Kalau pendapat ini benar, kemukjizatan itu akan berada pada unsur pemalingan dan tidak dalam al-Quran itu sendiri.
2. Kalau pendapat dengan pemalingan ini benar, pasti hal itu unsur melemahkan bukan kemukjizatan. Karena perbuatan itu sama saja halnya kita memotong lidah seseorang kemudian kita paksa dia bicara.
3. Kalau ada penggerak yang melemahakan mereka untuk bertanding, mereka pasti sudah malas dan tidak mungkin menghalang-halangi Nabi untuk berdakwah.
4. Seandainya ada faktor yang timbul secara mendadak, menghalangi mereka berbicara tegas pasti mereka akan mengumumkan hal itu kepada khalayak ramai.
5. Bilamana pemalingan itu betul terjadi, pasti bagi kita sekarang akan bisa menandingi al-Quran, begitu juga bagi mereka yang tekun dalam sastra Arab pada setiap masa, tentu mereka akan bisa menerangkan kedustaan pengakuan kemukjizatan al-Quran.[32]
Semuanya itu (tentang pendapat as-sharfah) menurut hemat penulis adalah tidak benar, yang benar adalah bahwa usaha untuk mendatangkan semisal al-Quran sama sekali tidak akan terlaksana menurut kemampuan makhluk.
FootNote

[1]Makalah disampaikan pada tanggal 19 Maret 2008.

[2]WJS Poerwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 395.

[3]M. Qurais Shihab, Mukjizat al-Qur an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, cet II, (Bandung: Mizan, 2007), h. 25.

[4]Ibnu Mansur Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-Ansari, Lisan al-Arab, (Beirut: al-Dar al-Misriyah, 1990), Juz IV, h. 236.

[5]Shihab, Mukjizat…, h. 25.

[6]Said Aqil Husain al-Munawwar, I’jaz al-Quran dan Metodelogi Tafsir, (Semarang: Dimas, 1994), h. 1.

[7]Lihat al-Quran surat al-maidah (5):31, al-An’am (6):134, al-Anfal (8):59, al-Taubah (9):2 dan 3, Yunus (10):53, Hud (11):20, 33 dan 72, an-Nahlu (16):46, al-Hajj (22):51, an-Nur (24):57, al-Syu’ara (26):171, al-Ankabut (29):22, Saba (34):5 dan 38, Fathir (35):44, al-Shaffat (37):135, al-Zumar (39):51, al-Syura (42):31, al-Ahqaf (46):32, al-Zariyat (51):29, al-Qamar (54):20, al-Haqqah (69):7, dan al-Jin (72):12.

[8]Ibrahim Anis, et.all., al-Mu’jam al-Washith, (Surabaya: t.t.), Juz. 2, h. 585.

[9]Jalaluddin al-Sayuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), h. 228.

[10]Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, cet. XIII, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004), h. 258.

[11]Ibid., h. 259.

[12]Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran 3, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 38-40.

[13]Shihab, Mukjizat…, h. 26-27.

[14]
ِِِAl-Sayuti, al-Itqan…, h. 228.

[15]Shihab, Mukjizat…, h. 38-39.

[16]Ibid., h. 39-44.

[17]Muhammad al-Mutawalli al-Sya’rawi, Mukjizat al-Quran, terj. Muhammad Ali dan Abdullah, (Surabaya: Bungkul Indah, 1995), h. 2.

[18]Muhammad Ali al-Shabuniy, Studi Ilmu al-Quran, terj. Aminuddin, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 122.

[19]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Figh, cet. 8, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer, (Kairo: Dar al-‘Ilm:1978), h. 30.



[20]Al-Shabuniy, Studi…, h. 136-137.

[21]Muhammad Abdul ‘Azim al-Zarkani, Manahilul Irfan fi Ulum al-Quran, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988), h. 355.

[22]T.M. Hasbi Al-Shiddiqiey, Mu’djizat al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 33.

[23]Al -Shabuniy, Study…, h.137-138.

[24]Shihab, Mukjizat…, h. 123.

[25]Al -Shabuniy, Study…, h. 220.

[26]Shihab, Mukjizat…, h. 159.

[27]Mustafa Shadiq al-Rafi’i, ‘Ijaz al-Quran wa al-Balaghah an-Nabawiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1990), h. 144.

[28]Ibid.

[29]Al -Shabuniy, Study…, h. 221.

[30]Al-Zarkani, Manahilul…, h. 480.

[31]Al-Qattan, Mabahis…, h. 261.

[32]Al -Shabuniy, Study…, h. 221-223.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....15
AMTSALUL QUR’AN
A.    Pengertian Amtsalul Qur’an
 Secara bahasa (etimologi) kata Amtsal adalah bentuk jamak dari matsal, mitsul dan matsil.[1] Kata ini memiliki makna kata syabah, syibah dan syabih baik secara lafal maupun maknanya. Bentuk tersebut di ungkapkan  sebanyak 19 kali di berbagai ayat dan surat dalam Al-Qur’an.[2] Sedang dalam bentuk lain di ungkapkan sebanyak 146 kali dalam berbagai ayat dan surat dalam Al-Qur’an.[3] Pengertian Amtsal secara bahasa ada tiga macam yaitu:
1.    Perumpamaan, gambaran atau perserupaan
2.    Cerita atau kisah, jika keadaannya sangat menakjubkan
3.    Sifat, keadaan atau tingkah laku.
Sedangkan menurut istilah (terminologi) Amtsal mempunyai beberapa definisi diantaranya sebagai berikut:
1.      Menurut ulama ahli ilmu adab: Artinya: “Amtsal (perumpamaan) dalam ilmu adab  ialah ucapan yang seringkali disebutkan untuk menggambarkan ungkapan lain yang dimaksudkan untuk menyamakan atau menyerupakan keadaan sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu yang dituju”.
Maksud dari definisi diatas adalah Amtsal itu bertujuan untuk menyamakan hal yang akan di ceritakan dengan asal ceritanya (asal mula cerita). Contohnya yaitu  ucapan orang arab:رُبَّ رَمِيَّةٍ مِنْ
غَيْرِ رَامٍ
Artinya: ” Banyak panahan  yang tidak ada  panahanya”
Maksudnya,  betapa banyak lemparan panah yang mengenai sasaran yang dilakukan oleh seorang pelempar yang biasanya tidak tepat lemparannya.
2.      Menurut ulama ahli ilmu bayan : Artinya: “Perumpaan  ialah  bentuk  majaz murakkab yang kaitanya / konteknya  ialah persamaan”. Maksudnya, Amtsal adalah sebuah ungkapan majaz atau kiasan yang majemuk, dimana  hubungan  antara yang disamakan  dengan asalnya adalah karena adanya persamaan atau keserupaan antar keduanya.
B.     MACAM –MACAM AMTSALUL QUR’AN
Amtsal dalam al qur’an ada tiga macam yaitu:[4]
1.      Amtsal Musharrahah yaitu amtsal yang tegas  dan jelas menggunakan kata-kata perumpamaan.Didalamnya ada lafadz matsal atau yang menunjuk kepada tasybih. Contohnya:  Firman Allah tentang orang-orang munafik (QS.Al Baqarah 17-20). Dalam ayat ini Allah SWT membuat dua perumpamaan bagi orang munafik yaitu matsal yang berkenaan dengan api. Allah SWT menyebut orang munafik “….adalah seperti orang yang menyalakan api….”
Untuk penerangan dan manfaat, mengingat mereka memperoleh manfaat materi dengan sebab masuk islam. Namun disisi lain, Islam tidak memberikan pengaruh cahayanya kepada hati mereka. Kenapa? karena Allah SWT menghilangkan cahaya dalam api itu”. Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka…” dan perumpamaan yang kedua yaitu matsal yang berkenaan dengan air…” atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit…” Allah SWT menyerupakan orang munafik dengan keadaan orang yang ditimpa hujan lebat yang disertai gelap gulita, gemuruh dan kilat. Sehingga rusaklah segenap kekuatan orang itu dan ia meletakkan jari jemari untuk menyumbat telinga serta memejamkan mata karena takut petir menimpanya. Ini mengingat bahwa Al-Qur’an dengan segala peringatan, perintah, larangan dan kitabnya bagi orang munafik tak ubahnya seperti petir yang sambar-menyambar.
2.      Amtsal Kaminah yaitu amtsal yang tersembunyi. Maksudnya,lafadz tamsil (pemisalanya ) tidak ditegaskan tetapi menunjuk kepada  makna-makna yang indah ,menarik dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Contohnya sbb:Ayat –ayat yang senada dengan perkataan: (sebaik-baiknya urusan adalah pertengahanya) yaitu:
a.       FirmanAllahSWTmengenai sholat)QS.Al-Isra’110)Artinya: “…Katakanlah: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmudan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu…”
b.      Firman Allah SWT mengenai sapi betina (QS.Al Baqarah 68) Artinya: “…Bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda:pertengahan antara itu…”
c.       Firman Allah SWT mengenai sapi betina (QS.Al Baqarah 68) Artinya: “…Bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda:pertengahan antara itu…”
d.      Firman Allah SWT mengenai harta (QS.Al-Furqon 67) Artinya: “Dan orang-orang yang membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan pembelanjaan itu ditengah antara yang demikian”.
3.      Amtsal Mursalah yaitu amtsal yang terlepas . Maksudnya, kalimat bebas yang tidak menggunakan lafadz tasybih secara jelas. Contoh:
a.       “Sekarang jelaslah kebenaran ini’’ (QS.Yusuf 51)  اْلئَنَ حَصْحَصَ اْلحَقُ
b.      “Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati  mereka terpecah belah” (QS. Al- Hasyr 14)  تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعَا وَقُلُُوْبُهُمْ شَتَّي 
c.       “Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya itu selain Allah” (QS. An-Najm 58)        لَيْسَ لَهَا مِنْ دُوْنِ اللهِ كَا شِفَه
Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai ayat-yat yang mereka namakan amtsal mursallah ini apa atau bagaimana hukum menggunakanya sebagai matsal. Sebagian ahli ilmu memandang hal demikian telah keluar dari adab Al-Qur’an, Ar-Razy berkata ketika menafsirkan ayat لََكُمْ دِيْنُكُُمْ وَلِيَدِيْنَ  “Untukmu agamamu dan untukku agamaku” (QS.Al- Kafirun 6).
Sebagian orang menjadikan ayat ini sebagai matsal (untuk membela, membenarkan perbuatanya ketika meninggalkan agama/murtad) padahal hal demikian tidak dibenarkan. Sebab Allah menurunkan Al-Qur’an bukan untuk dijadikan matsal,tetapi untuk di renungkan dan kemudian di amalkan isi kandungannya.
C.     FAEDAH AMTSALUL QUR’AN
Beberapa faedah dari adanya Amtsalul Al-Qur’an adalah: [5]
1.      Memperjelas pengertian yang abstrak dengan menggunakan bentuk yang kongkrit, akan mudah ditangkap oleh indera dan mendorong akal manusia untuk  memahami ajaran Al-Quran. Seperti gambaran  Al-Qur’an dalam surat Al Baqarah  264  yang menggambarkan hilangnya  pahala  sedekah yang diserupakan dengan hilangnya debu diatas batu akibat tersiram air hujan  deras.
2.      Dapat mengungkapkan realitas perkara dan mengkongkritkan hal yang abstrak. Contoh surat Al Baqarah 275 Artinya: “Orang-orang yang maakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”. Ayat ini mengumpamakan orang yang makan riba adalah orang yang tertipu oleh hawa nafsunya, diserupakan dengan orang yang sempoyongan karena kesurupan syaitan.
3.      Dapat mengumpulkan makna yang indah ,menarik,dengan ungkapan yang singkat dan padat. Contoh surat Al-Mu’minun 53. كُُلُ حِزْبٍ بِمَا لََدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ Artinya: “Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi  mereka (masing-masing)”.
4.      Mendorong manusia giat beribadah, beramal dengan melakukan hal-hal yang dijadikan perumpamaan yang sangat menarik dalam Al-Quran. Contoh: Surat Al-Baqarah 261, Artinya: “…Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.Allah melipat gandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki”. Perumpamaan diatas dapat mendorong orangn untuk lebih banyak beramal sedekah dikarenakan besarnya pahala bagi yang mengerjakanya karena terdorong oleh perumpamaan tersebut.
5.      Menghindarkan orang dari perbuatan tercela   yang dijadikan  perumpamaan dalam alquran,setelah  ia memahami  kejelekan  dari perbuatan  tersebut. Contoh: Surat Al-Hujurat ayat 12, Artinya: “… Dan janganlah sebagian  dari kalian  menggunjing sebagian  yang lain. Apakah  senang jika salah seorang  diantara kamu suka memakan  daging  saudaranya yang sudah mati? maka tentulah  kamu merasa jijik kepadanya”. Manusia akan merasa jijik dan tidak suka memakin bangkai, karena itu Allah SWT menyamakan perbuatan menggunjing orang lain dengan tersebut agar manusia menjauhi perbuatan tercela itu.
6.      Untuk memuji sesuatu yang dicontohkan, seperti pujian Allah kepada sahabatnya Rasulullah dalam Surat Al-Fath 29 Artinya: “…Demikianlah sifat-sifat mereka dalam taurat dan sifat-sifat mereka dalam injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pohonnya, tanamn itu menyenangkan hati penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kufur (dengan kekuatan mu’min)…’’Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa pada permulaan islam, kaum yang mau beriman hanyalah sedikit, tidak lebih dari10. Namun dalam waktu yang  terbilang singkat 23 tahun, para sahabat jumlahnya menjadi sangat banyak dan mampu menaklukkan kaum musyrikin dalam peristiwa Fatkhul Makkah.
7.      Digunakan untuk mencela ,ini terjadi apabila sesuatu yang menjadi perumpamaan adalah hal yang di anggap buruk oleh manusia. Seperti dalam Surat Al-A’raf 176, Artinya: “Dan kalau kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkanya lidahnya dan jika kamu membiarkanya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami…”Dalam mencela orang-orang yang berilmu namun mereka tetap cenderung pada kehidupan dunia dan mengikuti hawa nafsunya, Allah menyerupakan mereka dengan anjing yang selalu menjulurkan lidahnya.
8.      Pesan yang disampaikan melalui Amtsal lebih mengena dihati ,lebih mantap dalam menyampaikan nasehat atau larangan serta lebih kuat pengaruhnya. Dalam kaitanya ini Allah berfirman di surat Az-Zumar 27, Artinya: “Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran”.
D.    HUKUM MEMBUAT AMTSAL DENGAN AL-QUR’AN
Para sastrawan biasa menggunakan matsal di tempat-tempat yang kondisinya serupa atau sesuai dengan isi matsal tersebut. Jika  hal ini di benarkan dalam ungkapan manusia, maka para ulama tidak menyukai penggunaan ayat Al-Qur’an sebagai matsal. Sebab Allah menurunkan Al-Qur’an bukan untuk dijadikan matsal, tetapi untuk direnungkan dan di amalkan isi kandunganya,demikian menurut Ar-Razi. Mereka tidak memandang perlu bahwa orang harus membacakan sesuatu ayat matsal dalam kitabullah ketika ia menghadapi urusan duniawi. Hal ini demi menjaga keagungan Al-Qur’an dan kedudukannya dalam jiwa orang-orang mukmin.       
Ulama lain berpendapat, tak ada halangan bila seseorang mempergunakan Alqur’an sebagai matsal dalam keadaan sungguh-sungguh. Misalnya, ia merasa sangat sedih dan berduka karena tertimpa bencana, sedangkan sebab-sebab tersingkapnya bencana itu telah  terputus dari manusia, lalu ia mengatakan: “Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah” (Q.S.An-Najm 58).
Kata Abu Ubaid, “Demikianlah,seseorang yang ingin bertemu dengan sahabatnya atau ada kepentingan denganya tiba-tiba sahabat itu datang tanpa di minta,maka ia berkata kepadanya sambil bergurau: 
جِئْتَ عَلَئ قَدَرٍ يَا مُوْسَئ
Artinya’’ Kamu datang menurut waktu yang di tetapkan hai Musa.’’(QS.Toha ayat 40). Berdosa besar bagi seseorang yang dengan sengaja berpura-pura pandai, lalu dia menggunakan Alqur’an sebagai matsal sampai – sampai ia terlihat bagai sedang bersenda gurau”.
Perbuatan demikian merupakan penghinaan terhadap Al-Qur’an. Ibnu Syihab Az-zuhri berkata, “Janganlah kamu menyerupakan sesuatu dengan Kitabullah dan Sunnah Rasululloh”. Maksudnya kata Abu Ubaid, “janganlah kamu menjadikan bagi keduanya sesuatu perumpamaan, baik berupa ucapan dan perbuatan”.[6]
FOOTNOTE
[1] Ahmad Warson al-munawwir, Qamus al-munawir, Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Krapyak, 1984,h.1404
[2] Untuk lebih mengenal kata amtsal tersebut lebih jelas ,lihat QS.al-An’am 38,160. QS.al-A’raf 194. QS.al-Ra’du 17. QS. Ibrahim 25. QS.al-Nahl 74. QS.al-Nur 35. QS.al-Furqon 39. QS.al-Ankabut 43. QS. Muhammad3,10,38.
[3]     Muhammad Fu’ad Abd al Baqi ,al-Mu’jam al- Mufahras li Alfa Al-Qur’an. Kairo: Daral Kutub,t.t.,h.659-661
[4] Liliek chana dan Syaiful Hidayat,Ulumul Qur’an dan pembelajaranya (Surabaya: Kopertais IV Perss,2014) h.365.

5 Liliek chana dan Syaiful Hidayat,Ulumul Qur’an dan pembelajaranya (Surabaya: Kopertais IV Perss,2014) h.368

[6] Radhiati,Makalah Amstalul Qur’an ,http://Radhiatiali, blogspot.com/2013/12/ulumul qur’an,di akses tanggal 13 maret 2015 pulul 09.30 WIB
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....16
RASMUL QUR’AN
Rasmul qur’an merupakan salah satu bagian disiplin ilmu alqur’an yang mana di dalamnya mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan nama Rasm Utsmani. Tulisan al-Quran ‘Utsmani adalah tulisan yang dinisbatkan kepada sayyidina utsman ra. (Khalifah ke III). Istilah ini muncul setelah rampungnya penyalinan al-Quran yang dilakukan oleh team yang dibentuk oleh Ustman  pada tahun 25H. oleh para Ulama cara penulisan ini biasanya di istilahkan dengan “Rasmul ‘Utsmani’. Yang kemudian dinisbatkan kepada Amirul Mukminin Ustman ra.[16] Para Ulama berbeda pendapat tentang penulisan ini, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa tulisan tersebut bersifat taufiqi (ketetapan langsung dari Rasulullah), mereka berlandaskan riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah menerangkan kepada salah satu Kuttab (juru tulis wahyu) yaitu Mu’awiyah  tentang tatacara penulisan wahyu. diantara Ulama yang berpegang teguh pada pendapat ini adalah Ibnul al-Mubarak dalam kitabnya “al-Ibriz” yang menukil perkataan gurunya “ Abdul ‘Aziz al-Dibagh”, “bahwa tlisan yang terdapat pada Rasm ‘Utsmani semuanya memiliki rahasia-rahasia dan tidak ada satupun sahabat yang memiliki andil, sepertihalnya diketahui bahwa al-Quran adalh mu’jizat begitupula tulisannya”. Namun disisi lain, ada beberapa ulama yang mengatakan bahwa, Rasmul Ustmani bukanlah tauqifi, tapi hanyalah tatacara penulisan al-Quran saja.
A.    Pengertian Rasmul Qur’an
 dari Berbagai Sumber Rasmul Al-Qur’an atau yang lebih dikenal dengan  Ar-Rasm Al-‘Utsmani lil Mushaf (penulisan mushaf Utsmani) adalah : Suatu metode khusus dalam penulisan Al-Qur’an yang di tempuh oleh Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy yang di setujui oleh Utsman.[1] Rasmul al-Qur’an yaitu : Penulisan Al-Qur’an yang dilakukan oleh 4 sahabat yang dikepalai oleh Zaid bin Tsabit, dibantu tiga sahabat yaitu Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, dan Utsman bin Affan yang dilatar belakangi oleh saran dari Umar bin Khattab kepada Abu Bakar, kemudian keduanya meminta kepada Zaid bin Tsabit selaku penulis wahyu pada zaman Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam untuk mengumpulkan (menulis) Al-Qur’an  karena banyaknya para sahabat dan khususnya 700 penghafal Al-Qur’an syahid pada perang Yamamah.[2]  
Metode khusus dalam Al-Qur’an yang digunakan oleh 4 sahabat yaitu: Zaid bin Tsabit, Ubay ibn Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan bersama  disetujui oleh khalifah Utsman. Istilah rasmul Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari, Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :
1.      Al–Hadzf (membuang,menghilangkan,atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَََآَ يها النا س ).
2.      Al – Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hokum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
 3.      Al – Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (ائذن ).
 4.      Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
5.      Washal dan fashl(penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
6.      Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayt ini boleh dibaca dengan menetapkan alif(yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).
B.     Pendapat Para Ulama Tentang Rasmul Qur’an.
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status rasmul Al-Qur’an ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasmul qur’an bersifat tauqifi.yang mana mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa nabi pernah berpesan kepada mu’awiyah,salah seorang seketarisnya, “Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz “Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan selalu mengingat Engkau. Merekapun mengutip pernyataan Ibnu Mubarak :“Tidak seujung rambutpun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW).
Beliaulah yang menyuruh mereka (para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi kitab-kitab suci lainnya”. Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa rasmul qur’an bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui oleh ustman dan diterima umat,sehingga wajib diikuti dan di taati siapapun yang menulis alqur’an. Tidak yang boleh menyalahinnya, banyak ulama terkemuka yang menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasmul ustmani. Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi).
Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama). Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al Qur’an.
C.     Kaitan Rusmul Qur’an Dengan Qira’at.
 Secara etimologi Qiraat adalah jamak dari Qira’ah, yang berarti ‘bacaan’, dan ia adalah masdar (verbal noun) dari Qara’a. Secara terminologi atau istilah ilmiyah Qiraat adalah salah satu Mazhab (aliran) pengucapan Qur’an yang dipilih oleh seorang imam qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab yang lainya. Qiraat ini ditetapkan berdasarkan sabad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra’ (ahli / imam qiraat) yang mengajarkan bacaan Qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adlah dengan berpedoman kepada masa para sahabat.diantara para sahabat yang terkenal yang mengajarkan qiraat ialah Ubai, Ali, Zaid bin Sabit, Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan Tabi’in di berbagai negri belajar qira’at yang semuanya bersandar kepada Rasulullah.[3]
Sahabat-sahabat nabi terdiri dari beberapa golongan. Tiap-tiap golongan itu mempunya lahjah (bunyi suara / sebutan) yang berlainan satu sama lain. Memaksa mereka menyebut pembacaan atau membunyikan al-Qur’an dengan lahjah yang tidak mereka biasakan, suatu hal menyukarkan. Maka untuk mewujudkan kemudahan, Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan al-Qur’an dengan lahjah-lahjah yang biasa dipakai oleh golongan Quraisy dan oleh golongan-golongan yang lain di tanah Arab. Oleh karna itu menghasilkan bacaan al-Qur’an dalam berbagai rupa atau macam bunyi lahjah. Dan bunyi lahjah yang biasa ditanah Arab ada tujuh macam. Di samping itu ada beberapa lahjah lagi. Sahabt-sahabat nabi menerima al-Qur’an dari nabi menurut lahjah bahasa golonganya. Dan masing-masing mereka meriwayatkan al-Qur’an menurut lahjah mereka sendiri. Sesudah itu munculah segolongan ulama yang serius mendalami ilmu qira’at sehingga mereka menjadi pemuka qira’at yang dipegangi dan dipercayai.
Oleh karena mereka semata-mata mendalami qira’at untuk mendakwahkan al-Qur’an pada umatnya sesuai dengan lahjah tadi. Kemudian muncullah qurra-qurra yang kian hari kian banyak. Maka ada diantara mereka yang mempunyai keteguhan tilawahnya, lagi masyhu, mempunyai riwayah dan dirayah dan ada diantara mereka yang hanya mempunyai sesuatu sifat saja dari sifat-sifat tersebut yang menimbulkan perselisihan yang banyak.
Untuk menghindarkan umat dari kekeliruan para ulama berusaha menerangkan mana yang hak mana yang batil. Maka segala qira’at yang dapat disesuaikan dengan bahasa arab dan dapat disesuaikan dengan salah satu mushaf Usmani serta sah pula sanadnya dipandang qira’at yang bebas masuk kedalam qira’at tujuh, maupun diterimanya dari imam yang sepuluh ataupun dari yang lain.  Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya mushaf yang dijadikan pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan Al-Qur’an, namun demikian masih terdapat juga perbedaan dalam pembacaan. Hal ini disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada baris harakat. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘ustmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.
Dengan demikian hubungan rasmul Qur’an dengan Qira’at sangat erat. Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-Qur’an.Untuk mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh orang-orang Islam non Arab dalam membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-tanda yang diperlukan untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
FOOTNOTE
[1] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, Cetakan ketujuh, Februari 2012, halaman 150.
[2] M.Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir. Jakarta : Bulan Bintang, Cetakan ketigabelas,  Tahun 1990, halaman 83-86.
[3] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta : PT Pustaka Antar Nusa, Tahun 1994, Cetakan kedua, halaman 247.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....17
QIRA’ATUL QUR’AN
A.        Pengertian Qira’atul Qur’an
Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu al-Qur’an, tetapi tidak banyak orang tertarik kepadanya, keculali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, diantaranya adalah ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari.
Ilmu ini sangat rumit untuk dipelajari karena banyak hal yang harus dikuasai, antara lain penguasaan bahasa Arab secara mendalam, pengusaan ilmu ini sangat berjasa dalam menggali, menjaga, dan mengajarkan berbagai cara membaca al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah.
Secar etimologi kata qiraah merupakan bentuk masdar (kata dasar) dari kata qara-a yang berarti membaca. Sedangkan secara terminologi qiraat ialah: suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan imam qiraat lainnya dalam membaca al-Qur’an, baik perbedaan dala  hal pengucapan huruf-huruf maupun pengucapan keadaan-keadaanya.[1]
Dalam buku lainnya dijelaskan. Qiraat secara etimologi berarti “bacaan”. Sedangkan secara teminologi umumnya berarti “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qurra’ 9ahli bacaan al-Qur’an) yang berbeda dengan  yang lainnya dalam pengucapan, periwayatan dan metodenya”. Walaupun merupakan sisi bacaan al-Qur’an, qiraat berimplikasi pada makna dan penafsiran yang harus dipertanggungjawabkan. Itulah sebabnya, banyak terjadi perbedaan diantara imam qurra’.[2]
Para imam qiraat menyandarkan jalur sanad riwayat qiraat mereka kepada Nabi melalui para sahabat yang masyur di bidang qiraat. Diantara para sahabat yang termasyur dibidang ini adalah Ubay ibn Ka’ab, Ali ibn abi Thalib, Zaid ibn Tsabit, Ibnu Mas’ud, abu Musa al-Asy’ary, dan lain-lainnya. Dari sahabat-sahabat Nabi inilah para tabi’in di pusat kota-kota besar mempelajari qiraat dan kemudian mengembangkannya di tempat mereka masing.
1.      Menurut Az-zarqani, al-qira’at adalah : “Madzhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuk-bentuk.”
2.      Shihabuddin al-Qusthalani, Qira’at yaitu suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli Qira’at (tentang cara mengucapkan lapal-lapal Al-Quran)seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, I’rob,  hazf, isbat, fashl, washl, yang di peroleh dengan cara periwayatan.
3.      Jadi dari defenisi yang di kemukakan oleh Al-Dimiyathi dan Al-Qusthalani di atas tanpak bahwa Qira’at  Al-Quran itu di peroleh melalui mendengar langsungdari bacaan Nabi SAW, atau sebagai mana di ucapakan oleh para sahabat di hadapan Nabi SAW, lalui beliau men taqrir kannya.
4.      Ibn Al-Jazari, Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melapalkan kalimat-kalimat Al-Quran dan perbedaannya dengan membangsakannya kepada penukilnya.
5.      Mana’Khalil Al-Qattan, Qira’at adalah jamak dari Qira’ah yang berarti bacaan,dan ia adalah masdar dari qara’a menurut istilah ilmiyah Qira’at adalah salah satu mashab atau (alirannya)pengucapan Quran yang di pilih oleh salah seorang imam qara’a sebagai suatu mashab yang berbeda dengan mashab lainnya
6.      Menurut Az-zarkasyi :, “Qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan) tatsqil (memberatkan) atau yang lainnya.”
7.      Muhammad Ali Ash-Shabuny memberikan definisi qiraat sebagai berikut:         “Qiraat adalah suatu mazhab cara pelafalan al-Qur’an yang dianut oleh seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang besambung kepada Rasulullah”.[3]
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ).
B.         Macam-Macam Qira’atul Qur’an
1.      Qira’ah Sab’ah
Yaitu tujuh versi qira’at yang diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah, dan di bukukan pada akhir abad ke-3 hijrah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas.
Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah: وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة : 83} Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membacaحَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membacaتَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membacaيَعْمَلُوْنَ .
2.      Qira’ah Syazzad
Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
• Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
• Qira’at Ibn Abbas
• Qira’at Jabir
Ditinjau dari kualitas sanadnya, menurut sebagian ulama, secara umum qiraat itu terbagi menjadi tiga macam:
1.      Qiraat Mutawatir
Yakni qiraat yang sanadnya mutawatir. Para ulama memasukkan qiraat al-sab’I (qiraat tujuh) ke dalam kelompok ini. Qiraat tujuh yang dimaksudkan disini adalah qiraah yang dinisbatkan kepada para imam qiraah yang berjumlah tujuh orang. Mereka adalah: Abu ‘Amru ibn ‘Ala (w. 154 H), Ibn Katsir (w. 261 H), Nafi’ ibn ‘Abdirrahman ibn abi Nu’aim (w.197 H), Ibn ‘amir (w. 118 H), ‘Ashim ibn abi al-Nujud (w. 128 H), Hamzah ibn Hubaid ibn ‘Ammarah al-Ziyat (w. 156 H), dan Kisa’I (w. 189).
2.      Qiraat Ahad
Yakni qiraat yang meskipun sanadnya shahih namun ia berstatus ahad. Para ulama mengelompokkan tiga imam qiraat kedalam kelompok ini, yaitu: Abu Ja’far Yazid ibn al-Qa’qa’ (w. 132 H), Ya’qub ibn Ishak al-Hadhramy (w. 205 H), dan khalifah Hisyam (w. 229  H). Penggabungan antara qiraat tujuh diatas dengan qiraat ini selanjutnya dikenal dengan sebutan al-qiraat al-‘asyar (qiraat yang sepuluh).
3.      Qiraat Syaz
Yakni qiraat yang jalur sanadnya dipandang dhaif (lemah), sehingga ia tidak bisa dijadikan pegangan dalam membaca al_qur’an. Qiraat yang syaz ini tidak dibenarkan dipakai dalam shalat maupun diluar shalat, karena pada hakikatnya ia bukan al-Qur’an. menurut para ulama, selain dari qiraat sepulauh diatas maka termasuk kedalam qiraat syaz seperti qiraat al-Yazidy, al-Hasan, al-A’masy, Ibn Jarir, dan lain-lain.
Para ulama menetapkan berbagai criteria yang mereka pakai untuk menerima keabsahan suatu qiraat. Dalam hal ini mereka menetapkan tiga persyaratan untuk qiraat yang shahih, yaitu:
1.      Qiraat tersebut harus sesuai dengan salah satu kaedah bahasa Arab.
2.      Harus sesuai dengan salah satu mushaf Usmany walaupun hanya secara tersirat. Karena sahabat telah bersungguh-sungguh dalam menulis mushaf Usmany yang sesuai dengan pengetahuan mereka tentang bahasa qiraat.
3.      Qiraat itu harus shahih sanadnya, karena ia merupakan sunnah yang diikuti sehingga harus shahih riwayatnya.
Dengan demikian, jika ketga persyaratan diatas terpenuhi maka qiraat tersebut adalah qiraat yang shahih. Namun jika salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qiraat tersebut dinamakan yang lemah, syaz atau bathil.[4]
C.         Perkembangan Qira’atul Qur’an
Qira’at sebenarnya sudah dikenal pada masa Nabi Muhammad namun pada masa itu qira’at belum dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu. Pada permulaan abad pertama hijriah pada masa tabi’in, muncullah seorang ulama yang konsen terhadap masalah qira’at secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sehinggga mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya[5]
Sebagaimana di ketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang waktu mulai di turunkannya qira’at, yaitu ada yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya Al-Qur’an. Ada juga yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana sudah mulai banyak orang yang masuk Islam dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya.
Masing-masing pendapat ini mempunyai dasar yang kuat, namun dua pendapat itu dapat kita kompromikan, bahwa qira’at memang mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya Al-Qur’an, akan tetapi ketika di Mekah qira’at belum begitu di butuhkan  karena belum adanya perbedaan dialek, hanya memakai satu lahjah yaitu Quraisy. Qira’at mulai di pakai setelah Nabi Muhammad di Madinah, dimana mulai banyak orang yang masuk Islam dari berbagai qabilah yang bermacam-macam dan dialek yang berbeda.
Terlepas dari perbedaan di atas, pembahasan tentang masa kodifikasi ilmu qira’at berarti membahas sejarah perjalanan ilmu qira’at. Untuk mengurai persoalan ini ada beberapa pembahasan yang patut dikemukakan di sini yaitu :
1.      Qira’at Pada Masa Nabi, Perlu dikemukakan disini bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang mempunyai puak-puak atau kabilah-kabilah yang terpencar di beberapa kawasan di semenanjung Arabia. Kabilah-kabilah tersebut ada yang bertempat tinggal di perkampungan yaitu di sebelah Timur Jazirah Arabiyah dan adapula yang bertempat tinggal di perkotaan seperti kawasan sebelah Barat Jazirah Arabiyah yang meliputi Mekah, Madinah dan sekitarnya. Mereka yang tinggal di perkampungan seperti suku Tamim, Qais, Sa’d dan lainnya mempunyai tradisi dan dialek tersendiri. Sementara yang di perkotaan juga mempunyai tradisi dan dialek atau gaya bicara yang berbeda pula.
Dialek yang dianut suku pedalaman cukup beragam, seperti : Imâlah, atau mengucapkan huruf ‘a menjadi huruf ‘ê’ seperti Satê. Orang dari suku Badui, karena ingin meringkas perkataan kerap melipat huruf seperti mengucapkan dua huruf menjadi satu huruf yang dikenal dengan sebutan “Idghâm”.
Ibnu al-Jazari menambahkan dari apa yang dikatakan Ibnu Qutaibah tentang bentuk-bentuk dialek suku-suku Arab:
“Sebagian kabilah membaca lafazh : (عَلَيْهِمْ و فِيْهِمْ ) yang berkasrah Ha’,  dengan men-dlammah-kan Ha’, suku lain membaca : ( عَلَيْهِمُوْ و مِنْهُمُوْ )(sementara lainnya men-sukun-kan Mim), satu kabilah membaca : ( قَدْ أَفْلَحَ . قُلْ أُوْحِيَ . وَخَلَوْا إِلَى ) dengan membaca “naql” ( mengalihkan harakat hamzah kepada huruf mati sebelumnya, sementara suku lainnya tidak membaca demikian). Satu kabilah membaca : ( مُوْسَى ، وعِيْسَى ، و دُنْيَا )  dengan Imalah ( huruf “a” dibaca “ê”) . Ada yang membaca : خَبِيْرًا بَصِيْرًا dengan membaca tarqîq (menipiskan) bunyi Ro’nya. Ada juga yang membaca : الصَّلَاةُ , الطَّلَاقُ  dengan menebalkan bunyi lamnya.”
Jibril memerintahkan kepada nabi untuk membacakan Al-Qur’an dengan satu huruf atau satu macam bacaan, nabi langsung naik banding kepada malaikat Jibril agar keharusan itu diperingan lagi. Ternyata Allah melalui malaikat Jibril memberikan keringanan (rukhshah) kepada nabi sampai tujuh huruf atau macam bacaan. Hadis berikut ini menjelaskan hal tersebut:
Artinya: “Nabi Muhammad berada di genangan air milik Bani Ghifar. Datanglah malaikat Jibril dan berkata: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanmu agar umatmu membaca Al-Qur’an dengan satu huruf.” Nabi berkata : “aku meminta ampun dan pertolongan kepadaNya, umatku tidak mampu untuk itu”. Kemudian malaikat Jibril datang kedua kali dan mengatakan bahwa Allah memerintahkan seperti diatas dengan dua huruf. Lalu nabi menjawab seperti diatas pula, bahwa umatnya tidak mampu untuk itu. Lalu malaikat Jibril datang ketiga kali, lalu keempat kali, lalu pada akhirnya malaikat Jibril mengatakan bahwa Allah memberikan keringanan sampai tujuh huruf.  Huruf manapun yang mereka baca, mereka sudah benar.”
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan “Sab’atu Ahruf” sebagaimana yang tertera dalam hadis di atas. Mereka berbeda pendapat tentang arti huruf, arti bilangan tujuh, apakah berarti bilangan yang pasti atau mempunyai arti banyak.  Berikut ini pendapat para ulama tentang makna Sab’atu Ahruf :
1.      Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Pendapat ini terbagi lagi menjadi dua bagian:
a.       Sebagian ulama mengatakan bahwa ketujuh bahasa itu tersebar di seluruh Al-Qur’an. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Abû ‘Ubaid, Ahmad bin Yahyâ, Tsa’lab, dan masih banyak yang lainnya.[12] Menurut pendapat ini, Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw. dengan tujuh bahasa kabilah Arab dan ketujuh bahasa inilah yang dianggap sebagai bahasa Arab paling fashih di antara sekian banyak bahasa kabilah Arab lainnya, yaitu bahasa Quraisy, Hudzail, Tamîm, Tsaqîf, Hawâzin, Kinânah, dan Yaman Namun ada juga yang menyebutkan bahwa ketujuh bahasa kabilah yang dimaksud adalah Quraisy, Hudzail, Tamîm, Azd, Hawâzin, Rabî’ah, dan Sa’ad bin Bakr.[14]
b.  Pendapat ulama yang menyebutkan bahwa perbedaan tujuh bahasa yang terdapat di dalam Al-Qur’an  terkumpul dalam sebuah lafal. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Jarîr al-Thabari. Al-Thabari menyandarkan pendapatnya pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya mengenai perselisihan yang pernah terjadi antara ‘Umar bin al-Khaththâb dengan Hisyâm bin Hakîm tentang qira’at Al-Qur’an.
2.      Pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab’atu ahruf adalah tujuh wajah lafal kalimat yang berbeda, namun memiliki makna yang hampir sama. Pendapat ini diungkapkan oleh kebanyakan para ulama fikih dan hadis, seperti Sufyan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Wahb, Ibnu ‘Abd al-Barr, dan al-Thahawi. Pendapat ini didasarkan pada beberapa riwayat hadis, di antaranya adalah hadis berikut:[17]
Artinya: “Waraqâ’ telah meriwayatkan dari Ibnu Abî Najîh, dari Mujâhid, dari Ibnu ‘Abbâs, dari Ubai bin Ka’b bahwa dia telah membaca ayat lilladzîna âmanû unzhurûnâ (dengan beberapa versi bacaan sebagai berikut): lilladzîna âmanû amhilûnâ, lilladzîna âmanû akhkhirûnâ, lilladzîna âmanû urqubûnâ.”
3.      Sebagian ulama mengatakan yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh segi, yaitu: amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (ancaman), wa’îd (janji), jadal (perdebatan), qashash (cerita), dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halâl, harâm, muhkam, mutasyâbih, dan amtsâl.
4.      yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam kajian ilmu tafsir ialah  tujuh macam bacaan yang diajarkan Rasulullah terjadi dimasa kenabian tersebut karena al-qur’an memang diturunkan dalam tujuh bacaan. Tetapi tidak berarti bahwa setiap kata dalam al-qur’an dapat dibaca sebanyak tujuh bacaan yang berbeda. Jadi yang dimaksud dengan al-qur’an diturunkan dengan tujuh huruf ialah memberi isyarat kepada ummat bahwa mereka diberi kelonggaran untuk membaca al-qur’an sesuai dengan bacaan yang mudah bagi mereka.[6]
5.      Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak dapat diartikan secara harfiah, tetapi angka tujuh itu hanya sebagai simbol kesempurnaan menurut kebiasaan masyarakat Arab.[20]
6.      Pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah Qira’at Sab’ah.
Meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai pengetian Sab’atu Ahruf sebagaimana tertera di dalam hadis Muslim di atas, namun yang jelas makna yang tersirat dalam hadis tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pertama: Bahwa Allah swt. memperbolehkan kepada umat nabi Muhammad saw. dalam hal membaca Al-Qur’an dengan berbagai macam bacaan. Bacaan manapun yang mereka pilih adalah benar.
Kedua: Semua bacaan tersebut betul-betul telah diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada nabi Muhammad.
Ketiga: Tujuan diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah dalam rangka memberikan keringanan kepada umatnya nabi Muhammad dalam membaca Al-Qur’an mengingat latar belakang budaya dan struktur masyarakat yang beragam.
Setelah nabi Muhammad diberikan keringanan oleh Allah untuk membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf, nabi mengajarkan kepada para sahabat dengan ragam bacaan. Sehingga pernah terjadi kesalah pahaman diantara mereka dan pernah mereka saling menyalahkan yang lainnya jika terjadi perbedaan bacaan, bahkan diantara mereka ada yang sempat tertegun dan tak mempercayai bahwa hal itu terjadi pada Al-Qur’an. Namun nabi memberikan penjelasan kepada mereka tentang  pokok persoalan, sehingga mereka dapat memahaminya. Pengajaran nabi kepada para sahabatnya dengan beragam bacaan terus berlangsung hingga nabi meninggal. Para sahabat yang mendapatkan pelajaran Al-Qur’an dari nabi terus memegang bacaan mereka dan mengajarkan cara pembacaan tersebut kepada para murid-murid mereka.
2.      Qira’at Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Setelah nabi Muhammad meninggal, para sahabat nabi melanjutkan tradisi yang telah dirintis oleh nabi yaitu mengajarkan Al-Qur’an kepada para murid-murid mereka. Ada diantara mereka yang masih tetap di Madinah dan Mekah mengajarkan Al-Qur’an kepada murid-murid mereka, seperti sahabat Ubay bin Ka’b (w 30 H), Utsmân bin ‘Affân (w 35 H), Zaid bin Tsâbit (w 45 H), Abû Hurairah (w 59 H), ‘Abdullâh bin ‘Ayyâsy (w 64 H), ‘Abdullâh bin ‘Abbâs (w 68 H), ‘Abdullâh bin al-Saib al-Makhzumi (w 68 H). Namun diantara sahabat nabi ada yang keluar dari Madinah untuk berjuang bersama yang lain. Dengan berkembangnya Islam ke negeri lain, terutama pada masa Abû Bakar dan ‘Umar bin Khaththâb, dibutuhkan tenaga yang mengajarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat.
Diantara sahabat nabi yang mempunyai peran dalam penyebaran Al-Qur’an di negeri lain seperti negeri Iraq adalah ‘Abdullah bin Mas’ûd (w 32 H)  yang diperintahkan oleh sahabat ‘Umar bin Khaththâb untuk mengajar Al-Qur’an  di negeri Kufah.  Di Iraq juga ada  sahabat ‘Alî bin Abî THâlib (w 40 H), Abû Mûsâ al-Asy’ari (w 44 H) yang ditempatkan di kota Basrah. Sementara sahabat yang ditempatkan di Syria atau Syam adalah Mua’dz bin Jabal (w 18 H) yang mengajarkan Al-Qur’an di Palestina. ‘Ubadah bin SHamit al-Anshâri (w 34 H) mengajarkan Al-Qur’an di kota Himsh di Syam, dan sahabat Abû al-Darda’ (w 32 H) mengajarkan di Damaskus. Merekalah yang sangat berperan dalam penyebaran qira’at di negeri-negeri tersebut diatas.[23]
Perlu disinggung disini bahwa pengajaran qira’at oleh para sahabat kepada murid-murid mereka adalah berdasarkan cara bacaan yang mereka dapatkan dari nabi. Bacaan mereka berbeda antara satu dengan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam pengajaran “al-Ahruf as-Sab’ah” sebagaimana dijelaskan diatas.
Sepeninggal mereka muncul generasi ketiga di kalangan Tabi’in yang juga berperan dalam penyebaran Ilmu Qira’at di negeri-negeri tersebut. Hasilnya adalah munculnya generasi baru dalam bidang Qira’at.
3.      Munculnya Komunitas Ahli Qira’at
Hasil yang didapatkan dari kegiatan pengajaran Al-Qur’an dari generasi sahabat dan Tabi’in adalah munculnya komunitas ahli Qira’at pada setiap negeri Islam. Ibnu al-Jazari dalam kitabnya “Al-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr”  menyebutkan tentang komunitas tersebut. Ibnu al-Jazari menyebut komunitas ahli Qira’at di negeri-negeri Islam  tersebut sebagai berikut :
a.       Madinah : Ibnu al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, Sulaimân bin Yasar, ‘Atha’ bin Yasar, Mu’adz bin al-Hârits, ‘Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibnu Syihâb az-Zuhri, Muslim bin Jundab, Zaid bin Aslam.
b.      Mekah : ‘Ubaid bin ‘Umair, ‘Atha’, THawus, Mujâhid bin Jabr, ‘Ikrimah, Ibnu Abî Mulaikah.
c.       Kufah : ‘Alqamah, al-Aswad bin Yazîd, Musruq bin al-Ajda’, ‘Abidah, ‘Amr bin Syurahbil, dan lain lain.
d.      Basrah : Amir bin Abd al-Qais, Abu al-“Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Âshim, Nashr bin ‘Âshim, Yahya bin Ya’mur dan lain lainnya.
4.      Kodifikasi Ilmu Qira’at
Fase ini berlangsung bersamaan dengan masa penulisan berbagai macam ilmu keislaman, seperti ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain sebagainya, yaitu sekitar permulaan abad kedua Hijriyah. Maka pada fase ini mulai muncul karya-karya dalam bidang qira’at.
Sebagian ulama muta’akhirîn berpendapat bahwa yang pertama kali menuliskan buku tentang  ilmu qira’at adalah Yahyâ bin Ya’mar, ahli qira’at dari Bashrah. Kemudian di susul oleh beberapa imam qurrâ’, diantaranya yaitu :
a.       ‘Abdullah bin ‘Âmir (w. 118 H) dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât Mashâhif al-Syâm wa al-Hijâz wa al-‘Irâq.
b.      Abân bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah. Kitabnya Ma’ânî Al-Qur’an dan kitab Al Qirâ’ât.
c.        Muqâtil bin Sulaimân (w. 150 H)
d.      Abû ‘Amr bin al-‘Alâ’ (w. 156 H)
e.       Hamzah bin Habîb al-Ziyât (w. 156 H)
f.       Zâidah bin Qadâmah al-Tsaqafi (w. 161 H)
g.      Hârûn bin Mûsâ al-A’ûr (w. 170 H)
h.      ‘Abdul Hamîd bin ‘Abdul Majîd al-Akhfasy al-Kabîr (w. 177 H)
i.        ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w. 189 H)
j.         Ya’qûb bin Ishâq al-Hadramî (w. 205 H)
k.       Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm (w. 224 H). Kitabnya Al-Qirâ’ât.[24]
Menurut Ibnu al-Jazari, imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu kitab adalah Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm. Ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qira’at, termasuk di dalamnya imam yang tujuh (imam-imam Qira’at Sab’ah).[25]
Agaknya penulisan qira’at pada periode ini hanya menghimpun riwayat yang sampai kepada mereka, tanpa menyeleksi perawi atau materi qira’at.
Kemudian pada abad ketiga Hijriyah kegiatan penulisan qira’at semakin marak. Diantara mereka adalah : Ahmad bin Jubair al-Makki (w 258 H) yang menghimpun bacaan Imam Lima, Ismâ’îl bin Ishâq  al-Maliki ( w 282 H)  yang menghimpun 20 bacaan Imam, Ibnu Jarir al-THabari (w 310 H) yang menghimpun bacaan lebih dari 20 Imam, dan lain lainnya. Setelah itu kegiatan penulisan Ilmu Qira’at semakin meningkat dari tahun ke tahun dan dari abad ke abad.
5.      Terbentuknya Qira’at Sab’ah
Banyaknya qira’at yang tersebar di banyak negeri Islam menyebabkan munculnya rasa kegalauan pada banyak kalangan, terutama kalangan awam. Hal inilah yang menyebabkan sebagian ahli qira’at membuat rambu-rambu yang bisa menyeleksi qira’at mana saja yang patut bisa dianggap shahîh. Rambu-rambu yang dimaksud adalah pertama : harus mutawâtir, masyhur dikalangan ahli qira’at. Kedua : harus sesuai denga rasm Utsmâni dan ketiga : harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab.[26]
Dari sinilah lalu muncul prakarsa Abû Bakar Ahmad bin Mûsâ al-Baghdâdi  Ibnu Mujâhid (w 324 H) untuk  menyederhanakan bacaan pada Imam–imam yang paling berpengaruh pada setiap negeri Islam. Lalu dilipilihlah Tujuh Imam yang bisa mewakili bacaan pada setiap negeri Islam. Mereka yang terpilih adalah :
1. Dari Madinah : Imam Nâfi’ bin Abî Nu’aim al-Ashfihâni (w 127 H)
2. Dari Mekah : ‘Abdullâh bin Katsîr al-Makki (w. 120 H)
3. Dari Bashrah : Abû ‘Amr al-Bashri (w 153 H)
4. Dari Syam : ‘Abdullâh bin ‘Amir al-Syâmi (w. 118 H)
5. Dari Kufah : terpilih tiga Imam yaitu : ‘Âshim bin Abî al-Najud (w. 127 H), Hamzah bin Habib al-Zayyat (w 156 H) , dan ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w 189 H).
Pemilihan ketujuh Imam tersebut berdasarkan kriteria yang sangat ketat. Kriteria tersebut disebutkan sendiri oleh Ibnu Mujâhid dalam kitabnya “ al-Sab’ah” yaitu : harus ahli dalam bidang qira’at, mengetahui qira’at yang masyhur dan yang syâdz, tahu tentang periwayatan, dan tahu tentang seluk beluk bahasa Arab. Ibnu Mujâhid berkata :
“Diantara para ahli Al-Qur’an ada yang tahu tentang seluk beluk I’râb, qira’at, bahasa, mengerti tentang arti dari masing-masing kalimat, tahu tentang qira’at yang syâdz, mampu memberikan penilaian kepada riwayat-riwayat. Inilah Imam yang patut didatangi oleh para penghafal Al-Qur’an pada setiap negeri kaum muslimin.”[27]
Bacaan imam-imam tersebut dikumpulkan oleh Ibnu Mujâhid pada kitabnya yang terkenal yaitu “Al-Sab’ah”. Sebagaimana setiap prakarsa yang baru ada yang pro dan ada yang kontra. Mereka yang pro terhadap gagasan Ibnu Mujâhid mengikuti jejak Ibnu Mujâhid dengan cara menghimpun bacaan Imam Tujuh dari berbagai riwayat dan memberikan penjelasan (hujjah) terhadap setiap fenomena qira’at yang diriwayatkan dari tujuh imam tersebut. Sedangkan para ulama yang kontra mengkhawatirkan akan adanya timbul sangkaan bahwa Qira’at Sab’ah adalah sab’atu ahruf  yang di kehendaki oleh hadis. Oleh karena itu menurut Abû ‘Abbâs bin Ammar (w. 430 H) alangkah baiknya kalau yang di kumpulkan itu kurang dari tujuh imam qira’at atau lebih dari tujuh. Di antara para ulama yang kontra adalah Abû ‘Alî al-Fârisi, Ibnu Khawalaih, Ibnu Zanjalah, Makki Ibnu Abi Thâlib al-Qaisyi dan lain sebagainya.[28]
6.      Penyederhanaan Perawi Imam Qira’at Sab’ah
Pada kitab “al-Sab’ah” Ibnu Mujâhid masih menyertakan banyak perawi dari setiap Imam dari Imam Tujuh. Kemudian pada periode berikutnya, muncul seorang ahli qira’at kenamaan dari Andalus yang bernama Utsmân bin Sa’id, Abû ‘Amr al-Dânî  (w. 444 H) menyederhanakan para perawi dari setiap Imam Qira’at Tujuh menjadi dua pada setiap Imam. Al-Dânî berpendapat bahwa adanya dua rawi pada setiap Imam lebih memudahkan menghafal materi qira’at dari masing-masing Imam. Dan dua rawi pada setiap Imam sudah bisa mewakili para rawi dari setiap Imam. Penyederhanaan rawi menjadi dua rawi dari setiap Imam bisa kita lihat pada  kitabnya “al-Taisir”. Rawi-rawi yang disebut oleh al-Dânî untuk setiap Imam adalah sebagai berikut :
a.       Qâlûn (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Nâfi’
b.      Qunbul (w. 291 H) dan Al-Bazzi (w. 250 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibnu Katsîr
c.       Al-Dûrî (w. 246 H) dan Al-Sûsi (w. 261 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Abû ‘Amr
d.      Hisyâm (w. 245 H) dan Ibnu Dzakwân (w. 242 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibnu ‘Âmir
e.       Syu’bah (w. 193 H) dan Hafsh (w. 180 H), meriwayatkan qira’at dari Imam ‘Âshim
f.       Khalaf (w. 229 H) dan Khallâd (w. 220 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Hamzah
g.      Abû al-Hârits (w. 240 H) dan Dûri al-Kisâ’i (w. 246 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Al-Kisâ’i.[29]
Apa yang ditetapkan oleh Imam al-Dânî ternyata mendapatkan perhatian yang demikian besar dari para ahli qira’at pada masa setelah al-Dânî. Hal tersebut bisa dilihat dari kemunculan imam Al-Syâthibî (w. 591 H) yang telah berhasil menulis materi Qira’at Sab’ah yang terdapat dalam kitab At-Taisir menjadi untaian syair yang sangat indah dan menggugah. Syair itu berjumlah 1171 bait. Kumpulan syair-syair itu di namakan “Hirz al-Amâni wa Wajh al-Tahâni” yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan “Syâthibiyyah”. Syair-syair Syâthibiyyah ini telah menggugah banyak ahli qira’at untuk mensyarahinya. Jumlah kitab yang mensyarahi syair Syâthibiyyah ini lebih dari lima puluh kitab. Nazham al-Syâthibiyyah ini merupakan karya terbesar imam al-Syâthibi dalam bidang ilmu qira’at. Sampai sekarang nazham ini dijadikan sebagai rujukan utama bagi umat Islam di dunia  yang ingin mendalami ilmu qira’at.
FOOTNOTE
[1]  Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an, (Banda Aceh: Pena, 2005), hal. 87.
[2]  Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hal.134.
[3] Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an, (Banda Aceh: Pena, 2012), hal. 101.
[4]  Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an,… hal. 105-107.
[5]  Manna al-Qattan, Mabaahitsu fi ulumil a-Qur’an, trj Aunnur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2006), hal. 212.
[6]  Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 65
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...18
TAFSIR
A.    Definisi Tafsir
Para pakar ilmu tafsir banyak memberi pengertian baik secara etimologi maupun terminologi terhadap term tafsir. Secara etimologi kata tafsir berarti al-ibanah wa kasyfu al-mughattha(menjelaskan dan menyingkap yang tertutup). Dalam kamus Lisan al-‘Arab, tafsir berarti menyingkap maksud kata yang samar. Hal ini didasarkan pada firman Allah Sûrah al-Furqân: 33
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”[3]
Sedangkan secara terminologi penulis akan mengungkapkan pendapat para pakar. Al-Zarqoni menjelaskan tafsir adalah ilmu untuk memahami al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.[4]
Menurut Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân, mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendirimaupun tersusun, dan makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal lain yang melengkapinya.[5]
Ilmu tafsir merupakan bagian dari ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah, serta petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Kebutuhan akan tafsir semakin mendesak lantaran untuk kesempurnaan beragama dapat diraih apabila sesuai dengan syari’at, sedangkan kesesuaian dengan syari’at bannyak bergantung pada pengetahuan terhadap Al-Qur’an, kitabullah.[6]
Demikian ulasan mengenai definisi tafsir. Hal ini menjadi penting untuk diketahui, karena pada perkembangan penafsiran akan tampak keragaman dan perubahan pada kurun waktu tertentu. Ulama modern, tentu akan berbeda melihat “tafsir” dengan ulama terdahulu.Dibawah ini akan penulis akanmepaparkan ulasan mengenai perkembangan tafsir dan penafsiran dari masa klasik sampai modern.
B.     Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir
1.      Tafsir pada Masa Klasik
Agar mempermudah pembahasan mengenai perkembangan tafsir pada masa klasik, penulis akan memetakan dalam tiga pembahasan, yakni (1). Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat. (2). Tafsir pada masa tabi’in dan (3). Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan).
a.       Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Kegiatan penafsiran telah dimulai sejak Nabi Muhammad masih hidup. Nabi pun menjadi sosok sentral dalam penafsiran al-Qur’an. Bagi para sahabat, untuk mengetahui makna al-Qur’an tidaklah terlalu sulit. Karena mereka langsung berhadapan dengan Nabi sebagai penyampai wahyu, atau kepada sahabat lain yang lebih mengerti. Jika terdapat makna yang kurang dimengerti, mereka segera menanyakan pada Nabi.[7]Sehingga ciri penafsiran yang berkembang kalangan sahabat adalah periwayatan yang dinukil dari Nabi. Hal ini mempertegas firman Allah Sûrah al-Nahl: 44 bahwa Nabi diutus untuk menerangkan kandungan ayat al-Qur’an.
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Sedikit sekali kalangan sahabat yang menggunakan penafsiran bil ra’yî dalam menafsirkan al-Qur’an. Diantara sahabat yang dengan tegas menolak penggunaan akal dalam penafsiran adalah Abû Bakar dan Umar ibn Khattâb. Abû Bakar pernah berkata:
أَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي وَ أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي إِذَا قُلْتُ فِي كِتَابِ اللهِ مَالاَ أَعْلَمُ
“Bumi manakah yang menampung aku dan langit manakah yang menaungi aku, apabila aku mengatakan mengenai kitab Allah sesuatu yang tidak aku ketahui”
Ia mengatakan demikian tatkala orang bertanya tentang maknaAbbân. Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa Abû Bakar tidak membenarkan sesuatu mengenai kitab Allah jika ia menggunakan ijtihad, bil ra’yî. Tetapi ada pula beberapa sahabat yang menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad bil ra’yîselain dengan riwayat, yaitu Ibn Mas’ûd dan Ibn Abbâs.[8]
Secara garis besar para sahabat berpegang pada tiga hal dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu al-Qur’an sendiri, Nabi Muhammad sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an, dan ijtihad.
Pada era ini ilmu tafsir tidak dibukukan sama sekali, karena pembukuan dimulai pada abad ke-2 H. Tafsir pada era ini merupakan salah satu cabang dari hadits, kondisinya belum tersusun secara sistematis, dan masih diriwayatkan secara acak untuk ayat-ayat yang berbeda.[9]
b.      Tafsir pada masa tabi’in
Setelah generasi sahabat berlalu, muncul mufassir sesudahnya, para tabi’in. Tafsir pada masa tabi’in sudah mengalami perbedaan mendasar dari sebelumnya. Jika pada masa sahabat periwayatan didasarkan pada orang tertentu saja (Nabi dan sabahat sendiri), maka penafsiran yang berkembang pada masa tabi’in mulai banyak bersandar pada berita-berita israiliyyât dannasrâniyyât. Selain itu penafsiran tabi’in juga terkontaminasi unsur sektarian berdasarkan kawasan ataupun mazhab. Itu disebabkan para tabi’in yang dahulu belajar dari sahabat menyebar ke berbagai daerah.
Ada tiga aliran besar pada masa tabi’in. 
1.      Aliran Makkah, Sa’îd ibn Jubaîr (w. 712/713 M), Ikrimah (w. 723 M), dan Mujâhid ibn Jabr (w. 722). Mereka berguru pada Ibn Abbâs. 
2.      Aliran Madinah, Muhammad ibn Ka’âb (w. 735 M), Zaîd ibn Aslâm al-Qurazhî (w. 735 M) dan Abû Aliyah (w. 708 M). Mereka berguru pada Ubay ibn Ka’âb. 
3.      Aliran Irak, Alqamah ibn Qaîs (w. 720 M), Amir al-Sya’bî (w. 723 M), Hasan al-Bashrî (w. 738 M) dan Qatâdah ibn Daimah al-Sadûsi (w. 735 M). Mereka berguru pada Abdullah ibn Mas’ûd.[10]
Menurut Ibn Taimiyah, bahwa sepandai-pandainya ulama tabi’in dalam urusan tafsir adalah sahabat-sahabat Ibn Abbâs dan Ibn Mas’ûd dan ulama Madinah seperti Zaîd ibn Aslâm dan Imam Malîk ibn Anas. Lebih lanjut, Ibn Taimiyah memandang bahwa Mujâhid adalah mufassir yang besar. Sehingga al-Syafi’i dan Imam Bukhari berpegang padanya.[11] Namun ada pula pandangan yang menolak penafsiran Mujâhid. Hal ini dikarenakan bahwa Mujâhid banyak bertanya pada ahli kitab.[12] Selain dianggap banyak mengutip riwayat ahli kitab, Mujahid juga dikenal sebagai mufassir yang memberi porsi luas bagi kebebasan akal dalam menafsirkan al-Qur’an.[13]
Para ulama berbeda pendapat mengenai penafsiran yang berasal dari tabi’in jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikitpun dari nabi ataupun sahabat. Mereka meragukan apakah pendapat tabi’in tersebut dapat dipegangi atau tidak. Mereka yang menolak penafsiran tabi’in berargumen bahwa para tabi’in tidak menyaksikan peristiwa dan kondisi pada saat ayat al-Qur’an diturunkan. Sedangkan kalangan yang mendukung penafsiran tabi’in dapat dijadikan pegangan menyatakan, bahwa para tabi’in meriwayatkan dari sahabat.[14]
c.       Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan)
Pasca generasi tabi’in, tafsir mulai dikodifikasi (dibukuan). Masa pembukuan tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani Abbasiyah (sekitar abad 2 H). Pada permulaan Bani Abbasiyah, para ulama mulai penulisan tafsir dengan mengumpulkan hadist-hadist tafsir yang diriwayatkan dari para tabi’in dan sahabat. Mereka menyusun tafsir dengan menyebut ayat lalu mengutip hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut dari sahabat dan tabi’in. Sehingga tafsir masih menjadi bagian dari kitab hadis. Diantara ulama yang mengumpulkan hadis guna mendapat tafsir adalah: Sufyân ibn Uyainah (198 H), Wakî’ ibn Jarrah (196 H), Syu’bah ibn Hajjâj (160 H), Abdul Rozaq bin Hamam (211 H).
Setelah ulama tersebut di atas, penulisan tafsir mulai dipisahkan dari kitab-kitab hadis. Sehinggga tafsir menjadi ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara sistematis sesuai dengan tartib mushaf. Diantara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibn Majah (w. 273 H), Ibn Jarîr al-Thabâri (w. 310 H), Ibn Abî Hatîm (w. 327 H), Abu Syaikh ibn Hibbân (w. 369 H), al-Hakîm (w. 405 H) dan Abû Bakar ibn Mardawaih (w. 410 H).[15]
Sementara al-Dzahabî membagi beberapa tahapan tafsir pada masa kodifikasi berdasarkan ciri dan karakteristik. Pertama, penulisan tafsir bersamaan dengan penulisan hadis. Pada saat hadis dibukukan, tafsir menjadi bagian bab tersendiri di dalamnya. Kedua, yakni penulisan tafsir yang dipisah dari kitab hadis. Namun penulisan tafsir tetap berdasarkan periyawatkan yang disandarkan pada Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (sumber penafsiran bil ma’tsur). Ketiga, tahap ini penulisan tafsir tetap mencantumkan riwayat-riwayat. Namun ada perbedaan yang sangat signifikan, riwayat-riwayat tersebut tidak dilengkapi sanadnya. Pada tahap ini, al-Dzahabî mensinyalir adanya pemalsuan tafsir dan permualan awal masuknya kisah-kisah isrâiliyyât dalam tafsir. Keempat, sumber tafsir pada masa ini tidak lagi terbatas pada periwayatan ulama klasik, tetapi juga berdasarkan ijtihad, bil ra’yi.[16]
2.      Tafsir pada Abad Pertengahan
Perkembangan tafsir abad pertengahan dimulai sejak abad ke-9 M hingga abad ke-19 M. Pada abad ini, perkembangan ilmu pengetahuan berada pada masa keemasan (the golden age).[17]Perkembangan penafsiran tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan pada saat tafsir tersebut ditulis. Tafsir kemudian sarat dengan disiplin-disiplin ilmu yang mengetarinya dan kecenderungan toelogis, terlebih bagi sang mufassir. Al-Qur’an pun seringkali dijadikan untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan mazhab/aliran tertentu.
a.       Diantara kitab-kitab tafsir “akbar” yang muncul pada era keemasan Islam/abad pertengahan antara lain: Jamî’ al-Bayân an Ta’wîl al-Qur’ân karya Ibn Jarîr al-Thabarî (w. 923 M/310 H); al-Kasysyâf an Haqâ’iq al-Qur’ân karya Abû al-Qasîm Mahmûd ibn Umar al-Zamakhsyari (w. 1144 M/528 H);Mafâtih al-Ghaib karya Fakhruddîn ar-Râzi (w. 1209 M/605 H) dan Tafsîr Jalâlaîn karya Jalâluddîn Mahallî (w. 1459 M) dan Jalâluddîn al-Suyûti (w. 1505 M).
b.      Pada perkembangan selanjutnya muncul tafsir karya Ibn Arabi (638 H) yang juga kerap mendapat kritikan. Hal ini disebabkan Ibn Arabi menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung pahamnya, wahdatul wujud.[18] 
c.       Kelahiran Imâduddîn Ismail ibn Umar ibn Katsîr pada 700 H/1300 M, juga memberi sumbangan bagi munculnya tafsir abad ini. Kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang terdiri sepuluh jilid menjadi karya termasyhur selain kitab-kitab lainnya yang ia tulis.[19] 
d.      Pada abad ini muncul pula tafsir Jamî’ al-Ahkâm al-Qur’ânkarya Abdullah al-Qurtubî (671 H). Banyak kalangan ulama menganggap bahwa ia merupakan ulama Maliki, dan tafsirnya bercorak fiqh, namun al-Qurtubî tidak membatasi pada ulasan mengenai ayat-ayat hukum saja. Lebih dari itu, ia menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan. Ulasannya biasa diawali dengan menjelaskanasbâb nuzûl, macam qira’at, i’rab dan menjelaskan lafaz yang gharib.[20]
e.       Alî ibn Muhammad al-Baghdadî (678-741 H) dengan karya tafsirnya Tafsîr Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, atau yang sering disebut denganTafsir al-Khâzin. Sumber-sumber penafsiran dalam tafsir tersebut adalah bil ma’tsûr. Al-Khâzin menaruh perhatian cukup besar banyak terhadap kisah-kisah isrâiliyyât. Sehingga ada beberapa penafsirannya yang dianggap menyimpang oleh Husein al-Dzahabî.[21]
f.       Pada tahun 754 H muncul tafsir Bahrul Muhît karya Ibn Abû Hayyân al-Andalusî. Dalam kitab tafsirnya yang terdiri delapan jilid, ia banyak mencurahkan perhatiannya dalam masalah I’rab dan Nahwu. Karena perhatian yang cukup besar dalam masalah Nahwu, banyak kalangan menyebut bahwa kitab ini lebih cocok disebut kitab Nahwu, bukan tafsir. Ia banyak mengutip pendapat Zamakhsyari dalam hal ilmu Nahwu. Namun Abû Hayyan seringkali tidak sependapat dengan Zamakhsyari, terlebih mengenai paham ke-Mu’tazilah-annya.[22]
Selain nama-nama di atas, masih banyak lagi mufassir kitab tafsir yang muncul pada abad pertengahan ini. Masing-masing memiliki karakter yang menjadi khas penulis tafsir tersebut. Sebagaimana yang penulis utarakan di atas, bahwa pada abad pertengahan terjadi akulturasi budaya karena penyebaran Islam ke penjuru dunia, maka hal ini turut menimbulkan perbedaan penafsiran yang didasari perbedaan mazhab dan tempat.
3.      Tafsir pada era Modern
Akulturasi budaya pada abad pertengahan cukup dirasa memberi pengaruh pada penafsiran al-Qur’an abad itu. Demikian pula pada masa modern, kehadiran kolonialisme dan pengaruh pemikiran barat pada abad 18-19 M sangat mempengaruhi para mufassir era ini. Perkembangan ilmu pengetahuan diduga kuat menjadi faktor utama penafsir dalam memberi respon. Ciri berpikir rasional yang menjadi identitas era modern kemudian menjadi pijakan awal para penafsir. Mereka umumnya meyakini bahwa umat Islam belum memahami spirit al-Qur’an, karenanya mereka gagal menangkap spirit rasional al-Qur’an.
Atas dasar pemikiran yang bersifat rasionalistik, kebanyakan dari pemikir Muslim modern menafsirkan al-Qur’an dengan penalaran rasional, dengan jargon penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau kembali pada al-Qur’an. Kemudian mereka menentang legenda, ide-ide primitif, fantasi, magis dan tahayyul.[23]
Menurut Baljon dalam bukunya yang berjudul Modern Muslim Koran Interpretation, mengatakan bahwa yang apa yang disebut tafsir modern adalah usaha yang dilakukan para mufassir dalam menafsirkan ayat guna menyesuaikan dengan tuntunan zaman. Karenanya segala pemikiran yang terkandung dalam al-Qur’an segera dirasakan membutuhkan penafsiran ulang. Lebih lanjut Baljon menambahkan bahwa tuntutan ini dirasakan perlu akibat persentuhan dengan peradaban asing kian lebih intensif.[24]
a.       Muhammad Abduh (1849-1905), ia adalah tokoh Islam yang terkenal. Abduh mulai menulis tafsir al-Qur’an atas saran muridnya, Rasyid Ridha.[25]Meskipun pada awalnya ia merasa keberatan, akhirnya ia menyetujui juga. Uraian Abduh atas al-Qur’an mendapatkan perhatian dari salah seorang orientalis, J. Jomier. Menurutnya analisis yang dilakukan Abduh cukup mendalam serta hal yang berbeda dari ulasan Abduh adalah keinginannya yang nyata untuk memberikan ajaran moral dari sebuah ayat.[26]
b.      Selain Abduh, kaum modernis Arab lainnya juga banyak yang menyuguhkan tafsir yang sama moderatnya, atau sama konservatifnya. Sampai kemudian muncul metode dan cara baru dalam penafsiran al-Qur’an. Adalah Thanthâwi Jauhari (w. 1940) yang tidak terlalu banyak memberi komentar, tetapi ulasan-ulasanya dalam tafsir al-Qur’an dapat dijadikan pegangan ilmu Biologi atau ilmu pengetahuan lainnya bagi masyarakat. Sehingga kitab tafsirnya, Al-Jawâhir fi al-Tafsirdigadang-gadang sebagai tafsir bercorak ilmi (santifik).[27]
c.       Ahmad Mustafa ibn Muhammad ibn Abdul Mun’în al-Marâghi juga mencatatkan namanya sebagai deretan dari mufassir modern dengan karya tafsirnya, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang sering dikenal dengan sebutan Tafsîr al-Marâghi. Ia lahir 1883 dan wafat pada 1952. Ia menulis tafsirnya selama sepuluh tahun, sejak tahun 1940-1950.[28]Dalam muqaddimah tafsirnya, ia mengemukakan alasan menulis tafsir tersebut. Ia merasa ikut bertanggung jawab memberi solusi terhadap problem keummatan yang terjadi di masyarakat dengan berpegang teguh pada al-Qur’an.[29]
d.      Di samping itu, muncul juga Sayyid Quthb dengan tafsirnya Fi zhilali al-Qur’an dan Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’ dengan Tafsir al-Bayani li al-Qur’ani al-Karim.
4.      Di Indonesia juga muncul beberapa mufassir dan kitab tafsirnya. Antara lain: 
a.       Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya Mahmud Yunus(1899)
b.       Kasim Bakri,Tafsîr al-Furqân karya Ahmad Hasan (w. 1887-1958), 
c.       Tafsîr al-Qur’ân karya Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin HS, 
d.      Tafsîr al-Nûr al-Majîd karya Hasbi al-Siddiqi (1904-1975), 
e.       Tafsîr al-Azhâr karya Buya Hamka (1908-1981)[30],
f.       Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.
Titik perbedaan tafsir modern dengan sebelumnya adalah bahwa penafsiran abad ke-19 menonjolkan corak reformis-rasional, sains (tafsir ilmi) dan sastra.[31] Perkembangan selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir, Hermeneutik dan Semantik. Maka tidak menutup kemungkinan pada era mendatang akan ada lagi berbagai metode penafsiran untuk mengungkap makna-makna al-Qur’an.
C.     Corak dan Metode Penafsiran
1.      Tafsir bi al-Ma’tsur.
Cara penafsirian yang ditempuh oleh para sahabat dan generasi berikutnya itu dalam kerangka metodologis, disebut jenis tafsir bil al-ma'tsur (periwayatan). Metode periwayatan ini oleh al-Zarqani didefinisikan sebagai semua bentuk keterangan dalam Al-Qur'an, al-sunnah atau ucapan sahabat yang menjelaskan maksud Allah SWT pada nash Al-Qur'an.[32] Metode bil ma'tsur, memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan. Keistimewaannya, antara lain, adalah :
a.       Menekankan pentingnya bahasan dalam memahami Al-Qur'an,
b.      Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesan,
c.       Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subyektivitas yang berlebihan[33],
d.      Dapat dijadikan khazanah informasi kesejarahan dan periwayatan yang bermanfaat bagi generasi berikutnya.
Disisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini, seperti yang dicatat oleh beberapa ahli tafsir, antara lain adalah :
a.         Terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele, sehingga pesan pokok Al-Qur'an menjadi kabur di celah uraian itu,
b.        Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraiannasikh/mansukh) hampir dapat di katakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.[34]
c.         Terjadinya pemalsuan dalam tafsir karena fanatisme mazhab, politik dan usaha-usaha musuh Islam.
d.        Masuknya unsur Isra'iliyat ke dalam tafsir, yaitu unsur-unsur Yahudi dan Nasrani ke dalam penafsiran Al-Qur'an,
Berkembangnya penafsiran bi al ma 'tsur zaman itu cukup dapat dipahami karena para mufassir mengandalkan penguasaan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya secara baik, juga mereka ingin membuktikan kemu'jizatan Al-Qur'an dan segi bahasanya. Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemu'jizatan itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena kita telah kehilangan kemampuan dan rasa bahasa Arab itu. Metode periwayatan yang mereka terapkan juga cukup beralasan dan mempunyai keistimewaan dan kelemahannya. Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahan yang luas, serta obyektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada diantara mereka yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar yang kokoh.
Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan riwayat Al-Qur'an. Karena, ketika itu, masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan tabi'in masih cukup dekat dan laju perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan belum demikian pesat. Disamping itu, penghormatan kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula terhadap tabi'in sebagai generasi peringkat kedua khairun qurun, masih sangat terkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikutnya masih cukup mantap.
2.      Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra'yi adalah jenis metode penafsiran Al-Qur'an dimana seorang mufassir menggunakan akal (rasio) sebagai pendekatan utamanya. Sejalan dengan definisi diatas, Ash-Shabuni menyatakan bahwa tafsirbi al-ra'yi adalah tafsir ijtihad yang dibina atas dasar-dasar yang tepat serta dapati diikuti, bukan atas dasar ra‘yu semata atau atas dorongan hawa nafsu atau penafsiran pemikiran seseorang dengan sesuka hatinya. Sementara menurut Manna al-Qattan, tafsir bi al-ra'yi adalah suatu metode tafsir dengan menjadikan akal dan pemahamannya sendiri sebagai sandaran dalam menjelaskan sesuatu.[35] Sedangkan az-Zarqani secara tegas menyatakan bahwa tafsir bi al-ra’yi merupakan tafsir ijtihad yang disepakati atau memiliki sanad kepada yang semestinya dan jauh dari kesesatan dan kebodohan.
3.      Tafsir Tahlily
Metode tafsir tahliliy, atau yang oleh Baqir Shadr dinamai metode tajzi'iyadalah suatu metode yang berupaya menjelaskan kandungan ayat-ayat AI-Qur'an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf (Shadr, 1980:10). Cara kerja metode ini terdiri atas empat langkah, yaitu
a.    Mufassir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushaf,
b.    Diuraikan dengan mengemukakan arti kosakata dan diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat,
c.    Mengemukakan munasabah (koralasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain,
d.    Mufassir membahas asbab al-nuzuldan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat dan tabi'in.[36]
Kelemahan metode tahliliy menurut Quraish Shihab bahwa para penafsir tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalil pembenaran terhadap pendapat-pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberikan jawaban jawaban yang tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subyektivitas mufassirnya. Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metodetahliliy yang perlu dicarikan penyebabnya adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai mengikat generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu pada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian-uraian yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat.[37] Contoh dari penafsiran ini adalah karya-karya mufassir klasik seperti tafsir "Jami' al Bayan fa Tafsir Al-Qur'an", karya Ibn Jarir al-Thabari, tafsir Mafatih al Ghaib, karya Fakhruddin al-Razi dan lain-lain. Tafsir al Thabari, dilihat dari coraknya termasuk tafsir bi al-ma 'tsur, yang menggunakan metode tahliliy, demikian pula dengan tafsir al-Razi.
4.      Tafsir Muqaran
Dalam bahasa yang sistematis, Said Agil Munawar dan Quraish Shihab mendefinisikan tafsir muqaran sebagai metode penafsiran yang membandingkan ayat Al-Qur'an yang satu dengan ayat Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya, tetapi berbeda masalahnya atau membandingkan ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi Muhammad saw, yang tampaknya bertentangan dengan ayat-ayat tersebut, atau membandingkan pendapat ulama tafsir yang lain tentang penafsiran ayat yang sama[38] Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik beberapa unsur dalam metode tafsir muqaran :
a.    Arah kecenderungan mufassir dan faktor yang melatar belakanginya,
b.    Penafsiran ayat Al-Qur'an dengan ayat- Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya namun berbeda masalahnya,
c.    Penafsiran ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi yang isinya bertentangan,
d.    Pendapat ulama tafsir dengan pendapat ulama tafsir lainnya.
Karya-karya tulis yang termasuk dalam klasifikasi penafsiran muqaran adalah karya tulis kontemporer, misalnya Al-Qur'an, Bible dan Sains Modern karya Maurice Bucaile dan Muhammad fi al-Taurat wa al Injil wa Al-Qur'an, karya Ibrahim Khalili (Rumi, 1413:57).
5.      Tafsir Ijmaly
Tafsir ijmaliy adalah suatu metode penafsiran Al-Qur'an yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan cara mengemukakan makna global. Dalam sistematika uraiannya, mufassir membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunannya yang ada dalam mushaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Dengan demikian cara kerjan metode ini tidak jauh berbeda dengan metode tahliliy, karena keduanya tetap terikat dengan urutan ayat-ayat sebagaimana yang tersusun dalam mushaf, dan tidak mengaitkan pembahasannya dengan ayat lain dalam topik yang sama kecuali secara umum saja.[39] Contoh dari tafsir yang mempergunakan metode ini adalah tafsir Jalalain.
6.      Tafsir Maudhu’i (Tematik)
Ali Khalil sebagaimana dikutip oleh Abd al-Hay al-Farmawi memberikan batasan pengertian tafsir tematik, yaitu :Mengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai satu tujuan dan bersekutu dengan tema tertentu. Kemudian sedapat mungkin ayat-ayat tersebut disusun menurut kronologi turunnya disertai dengan pemahaman asbab al-Nuzulnya. Lalu oleh mufassir dikomentari, dikaji secara khusus dalam kerangka tematik, ditinjau segala aspeknya, ditimbang dengan ilmu yang benar, yang pada gilirannya mufassir dapat menjelaskan sesuai dengan hakikat topiknya, sehingga dapat ditemukan tujuannya dengan mudah dan menguasainya dengan sempurna.[40] Jadi lewat metode ini, penafsiran dilakukan dengan jalan memilih topik tertentu yang hendak dicarikan penjelasannya menurut Al-Qur'an, kemudian dikumpulkanlah semua ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan topik ini, kemudian dicarilah kaitan antara berbagai ayat ini agar satu sama lain bersifat menjelaskan, baru akhirnya ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai ayat-ayat yang saling terkait itu.
Jika pengertian tafsir tematik itu kita cermati, maka kita dapat menemukan ciri-ciri dari bentuk tafsir tematik, antara lain :
a.         Obyek pembahasan atau penafsirannya bukan ayat demi ayat seperti tersusun dalam urutan mushaf Utsmani sebagaimana yang berlaku dalam tafsir tahlilliy, melainkan suatu tema tertentu yang ingin diketahui makna atau pengertiannya secara integral menurut pandangan Al-Qur'an,
b.        Cara yang ditempuh adalah mengumpulkan seluruh ayat-ayat yang dipandang saling berkait dan bersekutu dalam satu tema tertentu,
c.         Dalam proses penafsirannya senantiasa memperhatikan aspek kronologi turunnya ayat dan asbab al-Nuzulnya,
d.        Sebelum ayat-ayat tersebut ditafsirkan secara tematik, masing-masing ayat dan lafaz-lafaz yang terkandung didalamnya dipahami dan ditinjau dan berbagai aspeknya, seperti bahasa, konteks kesejarahan, "munasabat", dan sebagainya,
e.         Penafsiran Al-Qur'an secara tematik ini juga memerlukan berbagai ilmu, baik yang tergolong dalam "ulum al tafsir" maupun ilmu-ilmu lain yang relevan, seperti sejarah, sosiologi, antropologi dan sebagainya,
f.          Arah pembahasan tafsir tematik senantiasa terfokus kepada satu topik yang ditetapkan,
g.         Tujuan utama yang ingin dicapai oleh tafsir tematik sebagaimana dikemukakan oleh al-Farmawy dalam bukunya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i adalah memahami makna dan hidayah dari Al-Qur'an dan bukan sekedar mengetahui i'jaz Al-Qur'an, seperti keindahan bahasa atau ketinggian nilai sastranya atau kehebatan-kehebatan Al-Qur'an lainnya.[41]
Salah satu pakar tafsir yang mempopulerkan metode ini di Indonesia adalah M. Quraish Shihab dengan berbagai karyanya.
FOOTNOTE
[3] Manna al-Khallil al-Qaththan,Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, (Riyadh: Mansyurat al-‘ashr al-hadits, 1973), h. 323.
[4] Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Maktabah al-Arabiyah, 1995), vol 2, h. 6.
[5] Yang dimaksud “petunjuk-petunjuknya” adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafaz-lafaz. Kemudian “hukum yang berdiri sendiri atau yang tersusun”, meliputi ilmu Sharf, I’rab, Bayan, Badi’. “makna yang memungkinkan baginya ketika tersusun” meliputi pengertian hakiki dan majazi. Sedangkan yang dimaksud “hal-hal yang melengkapinya” adalah pengetahuan mengenai asbab nuzul, naskh mansukh, kisah-kisah dan lain sebagainya yang menjadi lingkup kajian ilmu al-Qur’an. Lihat Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 324.
[6] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, (Cairo: Mathba'ah Hijazy, tt.) Juz II, hlm. 172.
[7] Di antara penafsiran Nabi adalah ketika salah seorang sahabat bertanya tentang salât wustha. Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud salât wusthâ adalah salat ashar. Selain itu nabi juga menjelaskan bahwa al-Maghdu dalam surat al-Fatihah berarti kaum Yahudi. Sedangkan al-Dhalînadalah kaum Nasrani. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 2005), h. 43.
[8] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1900), h. 209.
[9] Manna al-Khallil al-Qaththan,Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 337.
[10] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 41.
[11] Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1971), h. 37
[12] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 218.
[13] Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Hadîtsah, 2005), juz 1, h. 97.
[14] Manna al-Khallil al-Qaththan,Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 339.
[15] Manna al-Khallil al-Qaththan,Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 340-341.
[16] al-Dzahabî al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, h. 7-8.
[17] Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 25.
[18] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 47.
[19] Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h. 105.
[20] Manna al-Khallil al-Qaththan,Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 380.
[21] al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 1, h. 265-267.
[22] Manna al-Khallil al-Qaththân,Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 504.
[23] Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 43.
[24] J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 2.
[25] Tafsîr al-Manâr karya Muhammad Abdul awalnya merupakan tema-tema ceramah yang ia adakan di Universitas al-Azhar. Kemudian diterbitkan dalam bentuk jurnal setiap bulan, dengan pimpinan redaksinya Rasyid Ridha. Maka penyempurnaan tafsir tersebut dilakukan oleh Ridha.
[26] J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, h. 8.
[27] Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, Pent. Novriantoni Kahar, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 176.
[28] Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h. 151-153.
[29] Ahmad Mustafa al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, vol. 1, h. 3.
[30] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 237.
[31] Jane Dammen Mc Auliffe (editor),Encylcopaedia of the Qur’an, (Brill: Leiden, 2001), vol. 2,  h. 126-132.
[32] Muhammad Abd. Al-Adzim al-Zarqani. Manahil al-'Irfan fi `Ulum Al-Qur'an,(Mathba'ah Isa al-Bab al-Halaby, 1957), h. 3.
[33] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), h. 157.
[34] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 49.
[35] Manna al-Khallil al-Qaththan,Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 351-352.
[36] Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, Kairo: Al-Hadharah al-Arabiyah, 1977, hlm. 18.
[37] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, hlm. 87.
[38] Said Aqil al-Munawwar, I,jaz Al-Qur'an dan Metodologi Tafsir, (Semarang : Dina Utama, 1994), hlm. 36.
[39] Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i,hlm. 67.
[40] Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, hlm. 41-42.
[41] Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, hlm. 51-55.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....19
AQSAMUL QUR’AN
A.    Definisi  Aqsamul Qur’an
 Aqsam adalah bentuk jamak dari “qasam” yang mengandung arti “sumpah”[2] Dalam bahasa Arab, kata “sumpah” juga sering disebut dengan “al-hilf” (الحلف)  atau “al-yamin” (المين). Adapun shighat asli dari kata “qasam” ialah fi’il atau kata kerja “aqsama” atau “ahlafa” yang dimuta’addi (transitif) dengan “ba” menjadimuqsam bih (sesuatu yang digunakan untuk bersumpah), kemudian muqsam alaih yang dinamakan dengan jawab qasam[3] .
Qasam didefenisikan sebagai “mengikat jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu, dengan “suatu makna” yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun secara i’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu. Sumpah dinamakan juga dengan “yamin” (tangan kanan), karena orang Arab ketika bersumpah memegang tangan kanan orang yang diajak bersumpah[4].
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, sumpah (aqsam) berarti dengan pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersakasi kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap suci bahwa apa yang dikatakan atau dijanjikan itu benar
Abu al-Qosim al-Qusyairiy menerangkan bahwa rahasia Allah SWT menyebutkan kalimat “qasam” atau sumpah dalam Kitab-Nya adalah untuk menyempurnakan serta menguatkan “hujjah”Nya, dan dalam hal ini, kalimat “qasam” memiliki dua keistimewaan, yaitu pertama sebagai “syahadah” atau persaksian serta penjelasan dan keduasebagai “qasam” atau sumpah itu sendiri[5].
Jadi dapat disimpulkan bahwa Aqsamul Qur’an adalah salah satu dari ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang mengkaji tentang arti, maksud, hikmah, dan rahasia sumpah-sumpah Allah yang terdapat dalam al-Qur’an.Selain pengertian diatas, qasam dapat pula diartikan dengan gaya bahasa Al-Qur’an menegaskan atau mengukuhkan suatu pesan atau pernyataan menyebut nama Allah atau ciptaan-Nya sebagai muqsam bih. Dalam Al-Qur’an, ungkapan untuk memaparkan qasam dengan memakai kata aqsama, dan kadang menggunakan kata halafa.
B.     Unsur-Unsur dari Qasam
a.       fi’il qasam
Qasam atau sumpah itu sering dipergunakan dalam percakapan, sehingga tak jarang qasam tersebut diringkas: yaitu dengan menghilangkan “fi’il qasam” dan dicukupkan dengan “baa” saja[6] Kemudian “baa” pun diganti dengan “wawu” pada isim dzahir, seperti:
وَالَّليْلِ إِذَا يَغْشَى
“Demi malam, bila menutupi (cahaya siang)”. (QS. Al-Lail: 1)
Dan diganti dengan “taa” pada lafazh jalalah, misalnya:
                                            وَتاَللهِ لأَكِيْدَنَّ أَصْنَامَكُمْ
“Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhalamu.” (QS. Al-Anbiyaa’: 57).
b.      Al-Muqsam bihi
Al-Muqsam bihi yaitu sesuatu yang dijadikan sumpah oleh Allah. Sumpah dalam al-Qur’an ada kalanya dengan memakai nama Allah dan ada kalanya dengan menggunakan nama-nama ciptaan-Nya.Allah bersumpah dengan zat-Nya dalam Al Qur’an pada tujuh tempat[7] yaitu
a.          Surat Al Taghabun ayat 7
b.         Surat Saba’ ayat 3
c.          Surat Yunus ayat 53
d.         Surat Maryam ayat 63
e.          Surat Al Hijr ayat 96
f.          Surat An Nisa ayat 65
g.         Surat Al Ma’arij ayat ke 40
c.       Muqsam ‘alaih
Muqsam ‘alaih artinya bentuk berita yang ingin dipercaya/diterima oleh orang yang mendengarnya sehingga diperkuat dengan sumpah tersebut atau disebut juga jawab qasam. Posisi muqsam alaih terkadang bisa menjadi taukid, sebagai jawaban qasam karena yang dikehendaki dengan qasam adalah untuk mentaukidi muqsam alaih (menguatkannya). Menurut Mana’ul Quthan ada empat hal yang harus dipenuhi muqsam alaih, yaitu :
1.      Muqsam alaih/berita itu harus terdiri dari hal-hal yang baik, terpuji, atau hal-hal yang penting.
2.      Muqsam alaih itu sebaiknya disebutkan dalam setiap bentuk sumpah. Jika kalimat muqsam alaih tersebut terlalu panjang, maka muqsam alaihnya boleh dibuang.
3.      Jika jawab qasamnya berupa fi’il madhi mutaharrif yang positif (tidak dinegatifkan), maka muqassam alaihnya harus dimasuki huruf “lam” dan “qod”.
4.      Materi isi muqsam alaih itu bisa bermacam-macam, terdiri dari berbagai bidang pembicaraan yang baik-baik dan penting.
C.     Jenis - jenis Aqsamul Qur’an         
Dilihat dari segi fi’ilnya, Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A. membagi qasam dalam Al-Qur’an ada dua macam, yaitu;
1.       Qasam dhahir (nampak/ jelas), yaitu qasam yang fi’il qasamnya disebutkan bersama dengan muqsam bihnya. Seperti ayat berikut :
      (وَأَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لاَ يَبْعَثُ اللّهُ مَن يَمُوتُ.... ) النحل: ٣٨
      Artinya : “Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: ‘Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati’.”
      Dan diantaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, dan dicukupkan dengan huruf “ba’”, “wawu”, dan ta’”. Seperti :
(وَالضُّحَى. وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى ) الضحى : ١-٢
      Artinya : “Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabilatelah sunyi (gelap).”
2.      Qasam Mudhmar (tersimpan/ samar) yaitu qasam yang didalamnya tidak dijelaskan/ disebutkan fi’il qasam dan muqsam bihnya. Tetapi yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut kalimat qasam adalah kata-kata setelahnya yang diberi lam taukid yang masuk kedalam jawab qasamnya., seperti :
(لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ...) آل عمران : ١٨٦
Artinya : “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.”
D.    Bentuk - Bentuk Aqsamul Qur’an   
1.      Bentuk Pertama: Bentuk Asli, Bentuk asli dalam sumpah ialah bentuk sumpah yang terdiri dari tiga unsur, yaitu fi’il sumpah yang dimuta’addikan dengan ba’, muqsam bih dan  muqsam alaih seperti contoh-contoh di atas.
2.      Bentuk Kedua: Ditambah huruf La. Kalimat yang digunakan orang untuk bersumpah itu memakai berbagai macam bentuk. Begitu pula dalam al-Qur’an ada bentuk sumpah yang keluar dari bentuk asli sumpah. Misalnya bentuk sumpah yang ditambah huruf La di depan fi’il qasamnya seperti Surat Al-Ma’arij : 40, Surat Al-Waqi’ah : 75,Surat Al-Insyiqaq : 16,Surat Al-Haqqah : 38.
E.        Manfaat Aqsamul Qur’an .
1.      Mempertegas dan memperkuat berita yang sampai kepada pendengar.
2.      Memberikan nilai kepuasan kepada pembawa berita yang telah menggunakan Qasam.
3.      Mengagungkan sifat dan kekuasaan Allah.
F.      Tujuan Aqsamul Qur’an
1.      Dalam substansinya sumpah dilakukan untuk memperkuat pembicaraan agar dapat diterima atau dipercaya oleh pendengarnya. Sedang sikap pendengar sesudah mendengar qasam akan bersikap salah satu dari beberapa kemungkinan.
2.      Pendengar yang netral, tidak ragu dan tidak pula mengingkarinya. Maka pendengar yang seperti ini akan diberi ungkapan ibtida’ (berita yang diberi penguat taukid ataupun sumpah) contohsuratAl-Hadid:8.
3.      Pendengar mengingkari berita yang didengar. Oleh karenanya berita harus berupa kalam ingkari (diperkuat sesuai kadar keingkarannya). Bila kadar keingkarannya sedikit, cukup dengan satu taukid saja. ContohsuratAn-Nisa’:40. Sedang apabila kadar keingkarannya cukup berat, maka menggunakan dua taukid (penguat). SepertisuratAl-Maidah:72.
4.      untuk mengukuhkan dan mewujudkan muqsam alaih (jawab qasam, pernyataan yang kerenanya qasam diucapkan). Oleh karena itulah muqsam alaih haruslah berupa hal-hal yang layak didatangkan qasam baginya, seperti hal-hal ghaib dan tersembunyi jika qasam itu diaksudkan untuk menetapkan keberadaannya
5.      untuk menjelaskan tauhid atau untuk menegaskan kebenaran al-Qur’an


FOOTNOTE
[1] Teuku Muhammad,Ilmu – ilmu Al Qur’an, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra,2002),hal 1
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989), hal. 341
[3] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, terjemahan Aunar Rafiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al
Kautsar, Cet. IV, 2009), hal. 364
[4] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumul Qur’an, hal. 365
[5] Jalaluddin as-Syuyuthi asy-Syafi’i, Al-Itqaan fi Ulumil Qur’an, (Beirut: Darul Fikr, 1429H/2008M), hal. 487
[6] “Baa” tidak terdapat dalam Alquran kecuali dengan fi’il qasam, seperti dalam QS. An-Nur: 53
[7] Teuku Muhammad,Ilmu – ilmu Al Qur’an, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra,2002),hal 185

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...