1.
kaum muslimin tetapi disebabkan mendengarkan beberapa ayat al-Quran
maka hatinya luluh dan masuk islam.
Filosof
Perancis mengatakan “Sesungguhnya Muhammad Saw., membaca al-Quran dengan
khusyuk, sopan dan rendah hati, untuk menarik hati manusia agar beriman kepada
Allah, dan hal ini melebihi pengaruh yang ditimbulkan semua mukjizat nabi-nabi
terdahulu.[25]
A.
Paham As-Sharfah
As-Sharfah terambil dari akar kata صرف (Sharafa) yang berarti
memalingkan, dalam pengertian bahwa Allah memalingkan manusia dari upaya
membuat semacam al-Quran, sehingga seandainya tidak dipalingkan, manusia akan
mampu. Dengan kata lain, kemukjizatan al-Quran dianggap oleh paham as-sharfah
lahir dari faktor eksternal, bukan dari al-Quran itu sendiri.[26]
Berbicara tentang as-sharfah, Abu
Ishaq Ibrahim an-Nazham dari golongan mu’tazilah yang oleh Mustafa Shadiq
al-Rafi’i disebut sebagai “syetan yang berargumentasi” mengemukakan bahwa,
kemukjizatan al-Quran pada dasarnya bukan terletak pada kehebatan al-Quran itu
semata-mata melainkan lebih dikarenakan sharfah (proteksi) dari Allah Swt.,
terhadap para hambanya, lebih dari itu kata an-Nazham, Allah tidak saja
memprotek kemampuan manusia untuk menandingi al-Quran, akan tetapi juga malahan
membelenggu kefasihan lidah mereka.[27]
Sementara al-Murtadha dari golongan
Syiah berpendapat bahwa makna as-sharfah itu adalah mencabut, yaitu Allah
mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki yang dibutuhkan untuk
menyusun kalimat serupa al-Quran.[28]
Jika kita perhatikan kedua pendapat
diatas, mereka menganggap bahwa al-Quran bukan merupakan mukjizat dengan
Zat-Nya, tetapi kemukjizatan itu karena dua hal:
1. Penggerak Ilahi yang melemahkan
mereka untuk bertanding akhirnya mereka bermalas-malasan.
2. Faktor luar yang melambangkan
bakat kefasihan dan kemampuan sastra mereka.[29]
Dalam hal ini Muhammad Abd Azhim
al-Zarkani memandang bahwa tuduhan penafian I’jaz al-Quran terhadap aliran
Mu’tazilah dan kaum Syi’ah secara keseluruhan hanya disebabkan segelintir
tokohnya yang dalam kasus ini an-nazham dan al-Murtadha merupakan tuduhan yang
kurang etis mengingat terlalu banyak pengikut Mu’tazilah dan kaum Syi’ah yang
pengakuannya tentang kemukjizatan al-Quran yang lebih kurang sama dengan kaum
muslimin pada umumnya. Bahkan dari kalangan Ahli Sunnah sekalipun sesunguhnya
ada yang membenarkan kemungkinan as-sharfah itu terjadi, diantaranya adalah Abu
Ishak al-Isfariyini.[30]
Dalam pada itu Al-Qadhi Abu Bakar
al-Baqillani mengatakan bahwa, salah satu hal yang membatalkan pendapat tentang
shirfah adalah, kalaulah menandingi al-Quran itu mungkin, tetapi mereka
dihalangi oleh shirfah, maka kalam Allah itu tidak mukjizat, melainkan shirfah
itulah yang mukjizat. Dengan demikian, kalam tersebut tidak mempunyai kelebihan
apapun atas kalam yang lain.[31] Selain Abu Bakar al-Baqillani, pendapat
tentang as-sharfah menurut Muhammad Ali as-Shabuniy juga dikatakan salah dan
tidak bisa dipertanggung jawabkan karena tidak sesuai dengan kenyataan. Hal itu
menurutnya karena beberapa faktor:
1. Kalau pendapat ini benar,
kemukjizatan itu akan berada pada unsur pemalingan dan tidak dalam al-Quran itu
sendiri.
2. Kalau pendapat dengan pemalingan
ini benar, pasti hal itu unsur melemahkan bukan kemukjizatan. Karena perbuatan
itu sama saja halnya kita memotong lidah seseorang kemudian kita paksa dia
bicara.
3. Kalau ada penggerak yang
melemahakan mereka untuk bertanding, mereka pasti sudah malas dan tidak mungkin
menghalang-halangi Nabi untuk berdakwah.
4. Seandainya ada faktor yang timbul
secara mendadak, menghalangi mereka berbicara tegas pasti mereka akan
mengumumkan hal itu kepada khalayak ramai.
5. Bilamana pemalingan itu betul
terjadi, pasti bagi kita sekarang akan bisa menandingi al-Quran, begitu juga
bagi mereka yang tekun dalam sastra Arab pada setiap masa, tentu mereka akan
bisa menerangkan kedustaan pengakuan kemukjizatan al-Quran.[32]
Semuanya itu (tentang pendapat
as-sharfah) menurut hemat penulis adalah tidak benar, yang benar adalah bahwa
usaha untuk mendatangkan semisal al-Quran sama sekali tidak akan terlaksana
menurut kemampuan makhluk.
FootNote
[1]Makalah disampaikan pada tanggal 19 Maret 2008.
[2]WJS Poerwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 395.
[3]M. Qurais Shihab, Mukjizat al-Qur an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, cet II, (Bandung: Mizan, 2007), h. 25.
[4]Ibnu Mansur Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-Ansari, Lisan al-Arab, (Beirut: al-Dar al-Misriyah, 1990), Juz IV, h. 236.
[5]Shihab, Mukjizat…, h. 25.
[6]Said Aqil Husain al-Munawwar, I’jaz al-Quran dan Metodelogi Tafsir, (Semarang: Dimas, 1994), h. 1.
[7]Lihat al-Quran surat al-maidah (5):31, al-An’am (6):134, al-Anfal (8):59, al-Taubah (9):2 dan 3, Yunus (10):53, Hud (11):20, 33 dan 72, an-Nahlu (16):46, al-Hajj (22):51, an-Nur (24):57, al-Syu’ara (26):171, al-Ankabut (29):22, Saba (34):5 dan 38, Fathir (35):44, al-Shaffat (37):135, al-Zumar (39):51, al-Syura (42):31, al-Ahqaf (46):32, al-Zariyat (51):29, al-Qamar (54):20, al-Haqqah (69):7, dan al-Jin (72):12.
[8]Ibrahim Anis, et.all., al-Mu’jam al-Washith, (Surabaya: t.t.), Juz. 2, h. 585.
[9]Jalaluddin al-Sayuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), h. 228.
[10]Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, cet. XIII, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004), h. 258.
[11]Ibid., h. 259.
[12]Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran 3, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 38-40.
[13]Shihab, Mukjizat…, h. 26-27.
[14]ِِِAl-Sayuti, al-Itqan…, h. 228.
[15]Shihab, Mukjizat…, h. 38-39.
[16]Ibid., h. 39-44.
[17]Muhammad al-Mutawalli al-Sya’rawi, Mukjizat al-Quran, terj. Muhammad Ali dan Abdullah, (Surabaya: Bungkul Indah, 1995), h. 2.
[18]Muhammad Ali al-Shabuniy, Studi Ilmu al-Quran, terj. Aminuddin, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 122.
[19]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Figh, cet. 8, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer, (Kairo: Dar al-‘Ilm:1978), h. 30.
[20]Al-Shabuniy, Studi…, h. 136-137.
[21]Muhammad Abdul ‘Azim al-Zarkani, Manahilul Irfan fi Ulum al-Quran, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988), h. 355.
[22]T.M. Hasbi Al-Shiddiqiey, Mu’djizat al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 33.
[23]Al -Shabuniy, Study…, h.137-138.
[24]Shihab, Mukjizat…, h. 123.
[25]Al -Shabuniy, Study…, h. 220.
[26]Shihab, Mukjizat…, h. 159.
[27]Mustafa Shadiq al-Rafi’i, ‘Ijaz al-Quran wa al-Balaghah an-Nabawiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1990), h. 144.
[28]Ibid.
[29]Al -Shabuniy, Study…, h. 221.
[30]Al-Zarkani, Manahilul…, h. 480.
[31]Al-Qattan, Mabahis…, h. 261.
[32]Al -Shabuniy, Study…, h. 221-223.
[1]Makalah disampaikan pada tanggal 19 Maret 2008.
[2]WJS Poerwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 395.
[3]M. Qurais Shihab, Mukjizat al-Qur an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, cet II, (Bandung: Mizan, 2007), h. 25.
[4]Ibnu Mansur Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-Ansari, Lisan al-Arab, (Beirut: al-Dar al-Misriyah, 1990), Juz IV, h. 236.
[5]Shihab, Mukjizat…, h. 25.
[6]Said Aqil Husain al-Munawwar, I’jaz al-Quran dan Metodelogi Tafsir, (Semarang: Dimas, 1994), h. 1.
[7]Lihat al-Quran surat al-maidah (5):31, al-An’am (6):134, al-Anfal (8):59, al-Taubah (9):2 dan 3, Yunus (10):53, Hud (11):20, 33 dan 72, an-Nahlu (16):46, al-Hajj (22):51, an-Nur (24):57, al-Syu’ara (26):171, al-Ankabut (29):22, Saba (34):5 dan 38, Fathir (35):44, al-Shaffat (37):135, al-Zumar (39):51, al-Syura (42):31, al-Ahqaf (46):32, al-Zariyat (51):29, al-Qamar (54):20, al-Haqqah (69):7, dan al-Jin (72):12.
[8]Ibrahim Anis, et.all., al-Mu’jam al-Washith, (Surabaya: t.t.), Juz. 2, h. 585.
[9]Jalaluddin al-Sayuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), h. 228.
[10]Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, cet. XIII, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004), h. 258.
[11]Ibid., h. 259.
[12]Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran 3, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 38-40.
[13]Shihab, Mukjizat…, h. 26-27.
[14]ِِِAl-Sayuti, al-Itqan…, h. 228.
[15]Shihab, Mukjizat…, h. 38-39.
[16]Ibid., h. 39-44.
[17]Muhammad al-Mutawalli al-Sya’rawi, Mukjizat al-Quran, terj. Muhammad Ali dan Abdullah, (Surabaya: Bungkul Indah, 1995), h. 2.
[18]Muhammad Ali al-Shabuniy, Studi Ilmu al-Quran, terj. Aminuddin, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 122.
[19]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Figh, cet. 8, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer, (Kairo: Dar al-‘Ilm:1978), h. 30.
[20]Al-Shabuniy, Studi…, h. 136-137.
[21]Muhammad Abdul ‘Azim al-Zarkani, Manahilul Irfan fi Ulum al-Quran, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988), h. 355.
[22]T.M. Hasbi Al-Shiddiqiey, Mu’djizat al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 33.
[23]Al -Shabuniy, Study…, h.137-138.
[24]Shihab, Mukjizat…, h. 123.
[25]Al -Shabuniy, Study…, h. 220.
[26]Shihab, Mukjizat…, h. 159.
[27]Mustafa Shadiq al-Rafi’i, ‘Ijaz al-Quran wa al-Balaghah an-Nabawiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1990), h. 144.
[28]Ibid.
[29]Al -Shabuniy, Study…, h. 221.
[30]Al-Zarkani, Manahilul…, h. 480.
[31]Al-Qattan, Mabahis…, h. 261.
[32]Al -Shabuniy, Study…, h. 221-223.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....15
AMTSALUL QUR’AN
A.
Pengertian Amtsalul Qur’an
Secara bahasa (etimologi) kata Amtsal adalah bentuk jamak
dari matsal, mitsul dan matsil.[1] Kata
ini memiliki makna kata syabah, syibah dan syabih baik secara lafal maupun
maknanya. Bentuk tersebut di ungkapkan sebanyak 19 kali di berbagai ayat
dan surat dalam Al-Qur’an.[2] Sedang
dalam bentuk lain di ungkapkan sebanyak 146 kali dalam berbagai ayat dan surat
dalam Al-Qur’an.[3] Pengertian
Amtsal secara bahasa ada tiga macam yaitu:
1. Perumpamaan, gambaran atau perserupaan
2. Cerita atau kisah, jika keadaannya sangat
menakjubkan
3. Sifat, keadaan atau tingkah laku.
Sedangkan menurut istilah
(terminologi) Amtsal mempunyai beberapa definisi diantaranya sebagai berikut:
1.
Menurut ulama ahli ilmu adab: Artinya: “Amtsal (perumpamaan) dalam
ilmu adab ialah ucapan yang seringkali disebutkan untuk menggambarkan
ungkapan lain yang dimaksudkan untuk menyamakan atau menyerupakan keadaan
sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu yang dituju”.
Maksud dari definisi diatas adalah Amtsal itu bertujuan untuk
menyamakan hal yang akan di ceritakan dengan asal ceritanya (asal mula cerita).
Contohnya yaitu ucapan orang arab:رُبَّ رَمِيَّةٍ مِنْ
غَيْرِ رَامٍ
Artinya: ” Banyak panahan yang tidak ada panahanya”
Maksudnya, betapa banyak
lemparan panah yang mengenai sasaran yang dilakukan oleh seorang pelempar yang
biasanya tidak tepat lemparannya.
2.
Menurut ulama ahli ilmu bayan : Artinya: “Perumpaan
ialah bentuk majaz murakkab yang kaitanya / konteknya ialah
persamaan”. Maksudnya, Amtsal adalah sebuah ungkapan majaz atau kiasan yang
majemuk, dimana hubungan antara yang disamakan dengan asalnya
adalah karena adanya persamaan atau keserupaan antar keduanya.
B.
MACAM –MACAM AMTSALUL QUR’AN
Amtsal dalam al qur’an ada tiga macam yaitu:[4]
1.
Amtsal Musharrahah yaitu amtsal yang tegas dan jelas menggunakan
kata-kata perumpamaan.Didalamnya ada lafadz matsal atau yang menunjuk kepada
tasybih. Contohnya: Firman Allah tentang orang-orang munafik (QS.Al
Baqarah 17-20). Dalam ayat ini Allah SWT membuat dua perumpamaan bagi orang
munafik yaitu matsal yang berkenaan dengan api. Allah SWT menyebut orang
munafik “….adalah seperti orang yang menyalakan api….”
Untuk penerangan dan manfaat,
mengingat mereka memperoleh manfaat materi dengan sebab masuk islam. Namun
disisi lain, Islam tidak memberikan pengaruh cahayanya kepada hati mereka.
Kenapa? karena Allah SWT menghilangkan cahaya dalam api itu”. Allah hilangkan
cahaya (yang menyinari) mereka…” dan perumpamaan yang kedua yaitu matsal yang
berkenaan dengan air…” atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari
langit…” Allah SWT menyerupakan orang munafik dengan keadaan orang yang ditimpa
hujan lebat yang disertai gelap gulita, gemuruh dan kilat. Sehingga rusaklah
segenap kekuatan orang itu dan ia meletakkan jari jemari untuk menyumbat
telinga serta memejamkan mata karena takut petir menimpanya. Ini mengingat
bahwa Al-Qur’an dengan segala peringatan, perintah, larangan dan kitabnya bagi
orang munafik tak ubahnya seperti petir yang sambar-menyambar.
2.
Amtsal Kaminah yaitu amtsal yang tersembunyi. Maksudnya,lafadz
tamsil (pemisalanya ) tidak ditegaskan tetapi menunjuk kepada makna-makna
yang indah ,menarik dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada
yang serupa dengannya. Contohnya sbb:Ayat –ayat yang senada dengan perkataan: (sebaik-baiknya
urusan adalah pertengahanya) yaitu:
a. FirmanAllahSWTmengenai
sholat)QS.Al-Isra’110)Artinya: “…Katakanlah: “Dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam shalatmudan janganlah pula merendahkannya dan carilah
jalan tengah di antara kedua itu…”
b. Firman
Allah SWT mengenai sapi betina (QS.Al Baqarah 68) Artinya: “…Bahwa sapi betina
itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda:pertengahan antara itu…”
c. Firman
Allah SWT mengenai sapi betina (QS.Al Baqarah 68) Artinya: “…Bahwa sapi betina
itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda:pertengahan antara itu…”
d. Firman
Allah SWT mengenai harta (QS.Al-Furqon 67) Artinya: “Dan orang-orang yang
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir,
dan pembelanjaan itu ditengah antara yang demikian”.
3.
Amtsal Mursalah yaitu amtsal yang terlepas . Maksudnya, kalimat
bebas yang tidak menggunakan lafadz tasybih secara jelas. Contoh:
a. “Sekarang
jelaslah kebenaran ini’’ (QS.Yusuf 51) اْلئَنَ حَصْحَصَ اْلحَقُ
b. “Kamu
kira mereka itu bersatu sedang hati mereka terpecah belah” (QS. Al- Hasyr
14) تَحْسَبُهُمْ
جَمِيْعَا وَقُلُُوْبُهُمْ شَتَّي
c. “Tidak
ada yang akan menyatakan terjadinya itu selain Allah” (QS. An-Najm
58) لَيْسَ
لَهَا مِنْ دُوْنِ اللهِ كَا شِفَه
Namun, para ulama berbeda pendapat
mengenai ayat-yat yang mereka namakan amtsal mursallah ini apa atau bagaimana
hukum menggunakanya sebagai matsal. Sebagian ahli ilmu memandang hal demikian
telah keluar dari adab Al-Qur’an, Ar-Razy berkata ketika menafsirkan ayat لََكُمْ دِيْنُكُُمْ وَلِيَدِيْنَ “Untukmu agamamu dan untukku agamaku” (QS.Al- Kafirun 6).
Sebagian orang menjadikan ayat ini
sebagai matsal (untuk membela, membenarkan perbuatanya ketika meninggalkan agama/murtad)
padahal hal demikian tidak dibenarkan. Sebab Allah menurunkan Al-Qur’an bukan
untuk dijadikan matsal,tetapi untuk di renungkan dan kemudian di amalkan isi
kandungannya.
C.
FAEDAH AMTSALUL QUR’AN
Beberapa faedah dari adanya Amtsalul Al-Qur’an adalah: [5]
1.
Memperjelas pengertian yang abstrak dengan menggunakan bentuk yang
kongkrit, akan mudah ditangkap oleh indera dan mendorong akal manusia
untuk memahami ajaran Al-Quran. Seperti gambaran Al-Qur’an dalam
surat Al Baqarah 264 yang menggambarkan hilangnya
pahala sedekah yang diserupakan dengan hilangnya debu diatas batu
akibat tersiram air hujan deras.
2.
Dapat mengungkapkan realitas perkara dan mengkongkritkan hal yang
abstrak. Contoh surat Al Baqarah 275 Artinya: “Orang-orang yang maakan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”. Ayat ini mengumpamakan
orang yang makan riba adalah orang yang tertipu oleh hawa nafsunya, diserupakan
dengan orang yang sempoyongan karena kesurupan syaitan.
3.
Dapat mengumpulkan makna yang indah ,menarik,dengan ungkapan yang
singkat dan padat. Contoh surat Al-Mu’minun 53. كُُلُ حِزْبٍ بِمَا لََدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ Artinya: “Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang
ada pada sisi mereka (masing-masing)”.
4.
Mendorong manusia giat beribadah, beramal dengan melakukan hal-hal
yang dijadikan perumpamaan yang sangat menarik dalam Al-Quran. Contoh: Surat Al-Baqarah
261, Artinya: “…Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.Allah melipat
gandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki”. Perumpamaan diatas dapat
mendorong orangn untuk lebih banyak beramal sedekah dikarenakan besarnya pahala
bagi yang mengerjakanya karena terdorong oleh perumpamaan tersebut.
5.
Menghindarkan orang dari perbuatan tercela yang dijadikan
perumpamaan dalam alquran,setelah ia memahami kejelekan dari
perbuatan tersebut. Contoh: Surat Al-Hujurat ayat 12, Artinya: “… Dan
janganlah sebagian dari kalian menggunjing sebagian yang
lain. Apakah senang jika salah seorang diantara kamu suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya”. Manusia akan merasa jijik dan tidak suka memakin
bangkai, karena itu Allah SWT menyamakan perbuatan menggunjing orang lain
dengan tersebut agar manusia menjauhi perbuatan tercela itu.
6.
Untuk memuji sesuatu yang dicontohkan, seperti pujian Allah kepada
sahabatnya Rasulullah dalam Surat Al-Fath 29 Artinya: “…Demikianlah sifat-sifat
mereka dalam taurat dan sifat-sifat mereka dalam injil, yaitu seperti tanaman
yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu
menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pohonnya, tanamn itu menyenangkan
hati penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kufur
(dengan kekuatan mu’min)…’’Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa pada
permulaan islam, kaum yang mau beriman hanyalah sedikit, tidak lebih dari10.
Namun dalam waktu yang terbilang singkat 23 tahun, para sahabat jumlahnya
menjadi sangat banyak dan mampu menaklukkan kaum musyrikin dalam peristiwa
Fatkhul Makkah.
7.
Digunakan untuk mencela ,ini terjadi apabila sesuatu yang menjadi
perumpamaan adalah hal yang di anggap buruk oleh manusia. Seperti dalam Surat
Al-A’raf 176, Artinya: “Dan kalau kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan
(derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan
menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika
kamu menghalaunya diulurkanya lidahnya dan jika kamu membiarkanya dia
mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami…”Dalam mencela orang-orang yang berilmu namun mereka
tetap cenderung pada kehidupan dunia dan mengikuti hawa nafsunya, Allah
menyerupakan mereka dengan anjing yang selalu menjulurkan lidahnya.
8.
Pesan yang disampaikan melalui Amtsal lebih mengena dihati ,lebih
mantap dalam menyampaikan nasehat atau larangan serta lebih kuat pengaruhnya.
Dalam kaitanya ini Allah berfirman di surat Az-Zumar 27, Artinya: “Sesungguhnya
telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan
supaya mereka dapat pelajaran”.
D.
HUKUM MEMBUAT AMTSAL DENGAN AL-QUR’AN
Para sastrawan biasa menggunakan
matsal di tempat-tempat yang kondisinya serupa atau sesuai dengan isi matsal
tersebut. Jika hal ini di benarkan dalam ungkapan manusia, maka para
ulama tidak menyukai penggunaan ayat Al-Qur’an sebagai matsal. Sebab Allah
menurunkan Al-Qur’an bukan untuk dijadikan matsal, tetapi untuk direnungkan dan
di amalkan isi kandunganya,demikian menurut Ar-Razi. Mereka tidak memandang
perlu bahwa orang harus membacakan sesuatu ayat matsal dalam kitabullah ketika
ia menghadapi urusan duniawi. Hal ini demi menjaga keagungan Al-Qur’an dan
kedudukannya dalam jiwa orang-orang
mukmin.
Ulama lain berpendapat, tak ada
halangan bila seseorang mempergunakan Alqur’an sebagai matsal dalam keadaan
sungguh-sungguh. Misalnya, ia merasa sangat sedih dan berduka karena tertimpa
bencana, sedangkan sebab-sebab tersingkapnya bencana itu telah terputus
dari manusia, lalu ia mengatakan: “Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya
hari itu selain Allah” (Q.S.An-Najm 58).
Kata Abu Ubaid,
“Demikianlah,seseorang yang ingin bertemu dengan sahabatnya atau ada
kepentingan denganya tiba-tiba sahabat itu datang tanpa di minta,maka ia
berkata kepadanya sambil bergurau:
جِئْتَ عَلَئ قَدَرٍ يَا مُوْسَئ
Artinya’’ Kamu datang menurut waktu
yang di tetapkan hai Musa.’’(QS.Toha ayat 40). Berdosa besar bagi seseorang
yang dengan sengaja berpura-pura pandai, lalu dia menggunakan Alqur’an sebagai
matsal sampai – sampai ia terlihat bagai sedang bersenda gurau”.
Perbuatan demikian merupakan
penghinaan terhadap Al-Qur’an. Ibnu Syihab Az-zuhri berkata, “Janganlah kamu
menyerupakan sesuatu dengan Kitabullah dan Sunnah Rasululloh”. Maksudnya kata
Abu Ubaid, “janganlah kamu menjadikan bagi keduanya sesuatu perumpamaan, baik
berupa ucapan dan perbuatan”.[6]
FOOTNOTE
[1] Ahmad Warson al-munawwir, Qamus al-munawir, Yogyakarta:
Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Krapyak, 1984,h.1404
[2] Untuk lebih mengenal kata amtsal tersebut lebih jelas ,lihat
QS.al-An’am 38,160. QS.al-A’raf 194. QS.al-Ra’du 17. QS. Ibrahim 25. QS.al-Nahl
74. QS.al-Nur 35. QS.al-Furqon 39. QS.al-Ankabut 43. QS. Muhammad3,10,38.
[3] Muhammad Fu’ad Abd al Baqi ,al-Mu’jam al-
Mufahras li Alfa Al-Qur’an. Kairo: Daral Kutub,t.t.,h.659-661
[4] Liliek chana dan Syaiful Hidayat,Ulumul Qur’an dan
pembelajaranya (Surabaya: Kopertais IV Perss,2014) h.365.
5 Liliek chana dan Syaiful Hidayat,Ulumul Qur’an dan
pembelajaranya (Surabaya: Kopertais IV Perss,2014) h.368
[6] Radhiati,Makalah Amstalul Qur’an ,http://Radhiatiali,
blogspot.com/2013/12/ulumul qur’an,di akses tanggal 13 maret 2015 pulul 09.30
WIB
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....16
RASMUL QUR’AN
Rasmul qur’an merupakan salah satu
bagian disiplin ilmu alqur’an yang mana di dalamnya mempelajari tentang
penulisan Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam
penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasimul
Qur’an dikenal juga dengan nama Rasm Utsmani. Tulisan al-Quran ‘Utsmani adalah
tulisan yang dinisbatkan kepada sayyidina utsman ra. (Khalifah ke III). Istilah
ini muncul setelah rampungnya penyalinan al-Quran yang dilakukan oleh team yang
dibentuk oleh Ustman pada tahun 25H. oleh para Ulama cara penulisan ini
biasanya di istilahkan dengan “Rasmul ‘Utsmani’. Yang kemudian dinisbatkan
kepada Amirul Mukminin Ustman ra.[16] Para Ulama berbeda pendapat tentang
penulisan ini, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa tulisan tersebut
bersifat taufiqi (ketetapan langsung dari Rasulullah), mereka berlandaskan
riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah menerangkan kepada salah satu Kuttab
(juru tulis wahyu) yaitu Mu’awiyah tentang tatacara penulisan wahyu. diantara
Ulama yang berpegang teguh pada pendapat ini adalah Ibnul al-Mubarak dalam
kitabnya “al-Ibriz” yang menukil perkataan gurunya “ Abdul ‘Aziz al-Dibagh”,
“bahwa tlisan yang terdapat pada Rasm ‘Utsmani semuanya memiliki
rahasia-rahasia dan tidak ada satupun sahabat yang memiliki andil,
sepertihalnya diketahui bahwa al-Quran adalh mu’jizat begitupula tulisannya”.
Namun disisi lain, ada beberapa ulama yang mengatakan bahwa, Rasmul Ustmani
bukanlah tauqifi, tapi hanyalah tatacara penulisan al-Quran saja.
A.
Pengertian Rasmul Qur’an
dari Berbagai Sumber Rasmul
Al-Qur’an atau yang lebih dikenal dengan Ar-Rasm Al-‘Utsmani lil Mushaf
(penulisan mushaf Utsmani) adalah : Suatu metode khusus dalam penulisan
Al-Qur’an yang di tempuh oleh Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy yang
di setujui oleh Utsman.[1] Rasmul al-Qur’an yaitu : Penulisan Al-Qur’an yang
dilakukan oleh 4 sahabat yang dikepalai oleh Zaid bin Tsabit, dibantu tiga
sahabat yaitu Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, dan Utsman bin Affan yang
dilatar belakangi oleh saran dari Umar bin Khattab kepada Abu Bakar, kemudian
keduanya meminta kepada Zaid bin Tsabit selaku penulis wahyu pada zaman
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam untuk mengumpulkan (menulis) Al-Qur’an
karena banyaknya para sahabat dan khususnya 700 penghafal Al-Qur’an
syahid pada perang Yamamah.[2]
Metode khusus dalam Al-Qur’an yang digunakan oleh 4 sahabat yaitu:
Zaid bin Tsabit, Ubay ibn Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan
bersama disetujui oleh khalifah Utsman. Istilah rasmul Qur’an diartikan
sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan
sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang
ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari, Mus bin zubair, Said bin Al-Ash,
dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu.
Para ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :
1.
Al–Hadzf (membuang,menghilangkan,atau meniadakan huruf). Contohnya,
menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَََآَ يها النا س ).
2.
Al – Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau
yang mempunyai hokum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah
marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
3. Al – Hamzah,
Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan
huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (ائذن ).
4. Badal
(penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata
(الصلوة).
5.
Washal dan fashl(penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi
dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
6.
Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua
bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf
ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif,
contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayt ini boleh dibaca dengan menetapkan
alif(yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi
harakat(yakni dibaca satu alif).
B.
Pendapat Para Ulama Tentang Rasmul Qur’an.
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status rasmul Al-Qur’an
ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasmul qur’an bersifat tauqifi.yang
mana mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa nabi pernah
berpesan kepada mu’awiyah,salah seorang seketarisnya, “Ambillah tinta, tulislah
huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”,
jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz “Allah” yang baik,
panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz “Ar-Rahim” yang indah
kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan selalu mengingat Engkau.
Merekapun mengutip pernyataan Ibnu Mubarak :“Tidak seujung rambutpun dari huruf
Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani
adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari
Rasulullah SAW).
Beliaulah yang menyuruh mereka (para sahabat) menulis rasm qur’ani
itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk tambahan huruf alif dan
pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak dapat dijangkau akal
fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi kitab-kitab suci lainnya”.
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa rasmul qur’an bukan tauqifi,tetapi
merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui oleh ustman dan diterima
umat,sehingga wajib diikuti dan di taati siapapun yang menulis alqur’an. Tidak
yang boleh menyalahinnya, banyak ulama terkemuka yang menyatakan perlunya
konsistensi menggunakan rasmul ustmani. Dengan demikian, kewajiban mengikuti
pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada
yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk
Nabi (tauqifi).
Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya
menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal
dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an menyalahi rasm
‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama
mayoritas (jumhur ulama). Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm
tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola
penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca.
Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola
tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak
mempengaruhi makna Al Qur’an.
C.
Kaitan Rusmul Qur’an Dengan Qira’at.
Secara etimologi Qiraat
adalah jamak dari Qira’ah, yang berarti ‘bacaan’, dan ia adalah masdar (verbal
noun) dari Qara’a. Secara terminologi atau istilah ilmiyah Qiraat adalah salah
satu Mazhab (aliran) pengucapan Qur’an yang dipilih oleh seorang imam qurra’
sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab yang lainya. Qiraat ini
ditetapkan berdasarkan sabad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra’
(ahli / imam qiraat) yang mengajarkan bacaan Qur’an kepada orang-orang menurut
cara mereka masing-masing adlah dengan berpedoman kepada masa para
sahabat.diantara para sahabat yang terkenal yang mengajarkan qiraat ialah Ubai,
Ali, Zaid bin Sabit, Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka
itulah sebagian besar sahabat dan Tabi’in di berbagai negri belajar qira’at
yang semuanya bersandar kepada Rasulullah.[3]
Sahabat-sahabat nabi terdiri dari beberapa golongan. Tiap-tiap
golongan itu mempunya lahjah (bunyi suara / sebutan) yang berlainan satu sama
lain. Memaksa mereka menyebut pembacaan atau membunyikan al-Qur’an dengan
lahjah yang tidak mereka biasakan, suatu hal menyukarkan. Maka untuk mewujudkan
kemudahan, Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan al-Qur’an dengan lahjah-lahjah
yang biasa dipakai oleh golongan Quraisy dan oleh golongan-golongan yang lain
di tanah Arab. Oleh karna itu menghasilkan bacaan al-Qur’an dalam berbagai rupa
atau macam bunyi lahjah. Dan bunyi lahjah yang biasa ditanah Arab ada tujuh
macam. Di samping itu ada beberapa lahjah lagi. Sahabt-sahabat nabi menerima
al-Qur’an dari nabi menurut lahjah bahasa golonganya. Dan masing-masing mereka
meriwayatkan al-Qur’an menurut lahjah mereka sendiri. Sesudah itu munculah
segolongan ulama yang serius mendalami ilmu qira’at sehingga mereka menjadi
pemuka qira’at yang dipegangi dan dipercayai.
Oleh karena mereka semata-mata mendalami qira’at untuk mendakwahkan
al-Qur’an pada umatnya sesuai dengan lahjah tadi. Kemudian muncullah
qurra-qurra yang kian hari kian banyak. Maka ada diantara mereka yang mempunyai
keteguhan tilawahnya, lagi masyhu, mempunyai riwayah dan dirayah dan ada
diantara mereka yang hanya mempunyai sesuatu sifat saja dari sifat-sifat
tersebut yang menimbulkan perselisihan yang banyak.
Untuk menghindarkan umat dari kekeliruan para ulama berusaha
menerangkan mana yang hak mana yang batil. Maka segala qira’at yang dapat
disesuaikan dengan bahasa arab dan dapat disesuaikan dengan salah satu mushaf
Usmani serta sah pula sanadnya dipandang qira’at yang bebas masuk kedalam
qira’at tujuh, maupun diterimanya dari imam yang sepuluh ataupun dari yang
lain. Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya mushaf
yang dijadikan pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan
Al-Qur’an, namun demikian masih terdapat juga perbedaan dalam pembacaan. Hal
ini disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal
adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada baris
harakat. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘ustmani
yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk
membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih
terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.
Dengan demikian hubungan rasmul Qur’an dengan Qira’at sangat erat.
Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula
kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung didalam
Al-Qur’an.Untuk mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha
menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh orang-orang Islam
non Arab dalam membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-tanda yang diperlukan
untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan memahami kandungan
ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
FOOTNOTE
[1] Syaikh Manna’ Al-Qaththan,
Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, Cetakan ketujuh,
Februari 2012, halaman 150.
[2] M.Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir. Jakarta : Bulan Bintang, Cetakan
ketigabelas, Tahun 1990, halaman 83-86.
[3] Manna Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta : PT Pustaka Antar Nusa, Tahun 1994, Cetakan kedua,
halaman 247.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....17
QIRA’ATUL QUR’AN
A.
Pengertian Qira’atul Qur’an
Qiraat
merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu al-Qur’an, tetapi tidak banyak orang
tertarik kepadanya, keculali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan
akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, diantaranya adalah ilmu ini
tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari.
Ilmu
ini sangat rumit untuk dipelajari karena banyak hal yang harus dikuasai, antara
lain penguasaan bahasa Arab secara mendalam, pengusaan ilmu ini sangat berjasa
dalam menggali, menjaga, dan mengajarkan berbagai cara membaca al-Qur’an yang
benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah.
Secar etimologi kata qiraah
merupakan bentuk masdar (kata dasar) dari kata qara-a yang berarti membaca.
Sedangkan secara terminologi qiraat ialah: suatu mazhab yang dianut oleh
seorang imam qiraat yang berbeda dengan imam qiraat lainnya dalam membaca
al-Qur’an, baik perbedaan dala hal pengucapan huruf-huruf maupun
pengucapan keadaan-keadaanya.[1]
Dalam buku lainnya dijelaskan.
Qiraat secara etimologi berarti “bacaan”. Sedangkan secara teminologi umumnya
berarti “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qurra’ 9ahli bacaan
al-Qur’an) yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan, periwayatan
dan metodenya”. Walaupun merupakan sisi bacaan al-Qur’an, qiraat berimplikasi
pada makna dan penafsiran yang harus dipertanggungjawabkan. Itulah sebabnya,
banyak terjadi perbedaan diantara imam qurra’.[2]
Para imam qiraat menyandarkan jalur
sanad riwayat qiraat mereka kepada Nabi melalui para sahabat yang masyur di
bidang qiraat. Diantara para sahabat yang termasyur dibidang ini adalah Ubay
ibn Ka’ab, Ali ibn abi Thalib, Zaid ibn Tsabit, Ibnu Mas’ud, abu Musa
al-Asy’ary, dan lain-lainnya. Dari sahabat-sahabat Nabi inilah para tabi’in di
pusat kota-kota besar mempelajari qiraat dan kemudian mengembangkannya di
tempat mereka masing.
1.
Menurut Az-zarqani, al-qira’at adalah : “Madzhab yang dianut oleh
seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an
serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam
pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuk-bentuk.”
2.
Shihabuddin al-Qusthalani, Qira’at yaitu suatu ilmu untuk
mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli Qira’at (tentang cara
mengucapkan lapal-lapal Al-Quran)seperti yang menyangkut aspek kebahasaan,
I’rob, hazf, isbat, fashl, washl, yang di peroleh dengan cara
periwayatan.
3.
Jadi dari defenisi yang di kemukakan oleh Al-Dimiyathi dan
Al-Qusthalani di atas tanpak bahwa Qira’at Al-Quran itu di peroleh
melalui mendengar langsungdari bacaan Nabi SAW, atau sebagai mana di ucapakan
oleh para sahabat di hadapan Nabi SAW, lalui beliau men taqrir kannya.
4.
Ibn Al-Jazari, Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara
melapalkan kalimat-kalimat Al-Quran dan perbedaannya dengan membangsakannya
kepada penukilnya.
5.
Mana’Khalil Al-Qattan, Qira’at adalah jamak dari Qira’ah yang
berarti bacaan,dan ia adalah masdar dari qara’a menurut istilah ilmiyah Qira’at
adalah salah satu mashab atau (alirannya)pengucapan Quran yang di pilih oleh
salah seorang imam qara’a sebagai suatu mashab yang berbeda dengan mashab
lainnya
6.
Menurut Az-zarkasyi :, “Qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan)
lafazh-lafazh al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan
huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan) tatsqil (memberatkan) atau
yang lainnya.”
7.
Muhammad Ali Ash-Shabuny memberikan definisi qiraat sebagai
berikut: “Qiraat adalah suatu
mazhab cara pelafalan al-Qur’an yang dianut oleh seorang imam berdasarkan
sanad-sanad yang besambung kepada Rasulullah”.[3]
Dari definisi-definisi di atas,
tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima
( السماع ) dan an-naql ( النقل ).
B.
Macam-Macam Qira’atul Qur’an
1.
Qira’ah Sab’ah
Yaitu tujuh versi qira’at yang
diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn
Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal
di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah, dan di bukukan pada akhir abad ke-3
hijrah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad Ibn Musa
Ibn Abbas.
Contoh qira’at sab’ah yang tidak
mempengaruhi makna, adalah: وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة : 83} Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah
dan al-Kisai membacaحَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang
mempengaruhi makna, adalah: وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membacaتَعْمَلُوْنَ , sementara yang
lainnya membacaيَعْمَلُوْنَ .
2.
Qira’ah Syazzad
Yaitu qira’at yang sanadnya shahih,
sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan
demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama
sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan
sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
• Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
• Qira’at Ibn Abbas
• Qira’at Jabir
Ditinjau dari kualitas sanadnya,
menurut sebagian ulama, secara umum qiraat itu terbagi menjadi tiga macam:
1.
Qiraat Mutawatir
Yakni
qiraat yang sanadnya mutawatir. Para ulama memasukkan qiraat al-sab’I (qiraat
tujuh) ke dalam kelompok ini. Qiraat tujuh yang dimaksudkan disini adalah
qiraah yang dinisbatkan kepada para imam qiraah yang berjumlah tujuh orang.
Mereka adalah: Abu ‘Amru ibn ‘Ala (w. 154 H), Ibn Katsir (w. 261 H), Nafi’ ibn
‘Abdirrahman ibn abi Nu’aim (w.197 H), Ibn ‘amir (w. 118 H), ‘Ashim ibn abi
al-Nujud (w. 128 H), Hamzah ibn Hubaid ibn ‘Ammarah al-Ziyat (w. 156 H), dan
Kisa’I (w. 189).
2.
Qiraat Ahad
Yakni
qiraat yang meskipun sanadnya shahih namun ia berstatus ahad. Para ulama
mengelompokkan tiga imam qiraat kedalam kelompok ini, yaitu: Abu Ja’far Yazid
ibn al-Qa’qa’ (w. 132 H), Ya’qub ibn Ishak al-Hadhramy (w. 205 H), dan khalifah
Hisyam (w. 229 H). Penggabungan antara qiraat tujuh diatas dengan qiraat
ini selanjutnya dikenal dengan sebutan al-qiraat al-‘asyar (qiraat yang
sepuluh).
3.
Qiraat Syaz
Yakni
qiraat yang jalur sanadnya dipandang dhaif (lemah), sehingga ia tidak bisa
dijadikan pegangan dalam membaca al_qur’an. Qiraat yang syaz ini tidak dibenarkan
dipakai dalam shalat maupun diluar shalat, karena pada hakikatnya ia bukan
al-Qur’an. menurut para ulama, selain dari qiraat sepulauh diatas maka termasuk
kedalam qiraat syaz seperti qiraat al-Yazidy, al-Hasan, al-A’masy, Ibn Jarir,
dan lain-lain.
Para ulama menetapkan berbagai
criteria yang mereka pakai untuk menerima keabsahan suatu qiraat. Dalam hal ini
mereka menetapkan tiga persyaratan untuk qiraat yang shahih, yaitu:
1.
Qiraat tersebut harus sesuai dengan salah satu kaedah bahasa Arab.
2.
Harus sesuai dengan salah satu mushaf Usmany walaupun hanya secara
tersirat. Karena sahabat telah bersungguh-sungguh dalam menulis mushaf Usmany
yang sesuai dengan pengetahuan mereka tentang bahasa qiraat.
3.
Qiraat itu harus shahih sanadnya, karena ia merupakan sunnah yang
diikuti sehingga harus shahih riwayatnya.
Dengan demikian, jika ketga
persyaratan diatas terpenuhi maka qiraat tersebut adalah qiraat yang shahih.
Namun jika salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qiraat tersebut
dinamakan yang lemah, syaz atau bathil.[4]
C.
Perkembangan Qira’atul Qur’an
Qira’at
sebenarnya sudah dikenal pada masa Nabi Muhammad namun pada masa itu qira’at belum
dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu. Pada permulaan abad pertama hijriah pada
masa tabi’in, muncullah seorang ulama yang konsen terhadap masalah qira’at
secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai
suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sehinggga mereka lakukan terhadap
ilmu-ilmu syari’at lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qira’at yang
diikuti dan dipercaya[5]
Sebagaimana
di ketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang waktu mulai di turunkannya
qira’at, yaitu ada yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Mekah bersamaan
dengan turunnya Al-Qur’an. Ada juga yang mengatakan qira’at mulai di turunkan
di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana sudah mulai banyak orang yang masuk
Islam dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya.
Masing-masing
pendapat ini mempunyai dasar yang kuat, namun dua pendapat itu dapat kita
kompromikan, bahwa qira’at memang mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan
turunnya Al-Qur’an, akan tetapi ketika di Mekah qira’at belum begitu di
butuhkan karena belum adanya perbedaan dialek, hanya memakai satu lahjah
yaitu Quraisy. Qira’at mulai di pakai setelah Nabi Muhammad di Madinah, dimana
mulai banyak orang yang masuk Islam dari berbagai qabilah yang bermacam-macam
dan dialek yang berbeda.
Terlepas
dari perbedaan di atas, pembahasan tentang masa kodifikasi ilmu qira’at berarti
membahas sejarah perjalanan ilmu qira’at. Untuk mengurai persoalan ini ada
beberapa pembahasan yang patut dikemukakan di sini yaitu :
1.
Qira’at Pada Masa Nabi, Perlu dikemukakan disini bahwa bangsa Arab
adalah bangsa yang mempunyai puak-puak atau kabilah-kabilah yang terpencar di
beberapa kawasan di semenanjung Arabia. Kabilah-kabilah tersebut ada yang
bertempat tinggal di perkampungan yaitu di sebelah Timur Jazirah Arabiyah dan
adapula yang bertempat tinggal di perkotaan seperti kawasan sebelah Barat
Jazirah Arabiyah yang meliputi Mekah, Madinah dan sekitarnya. Mereka yang
tinggal di perkampungan seperti suku Tamim, Qais, Sa’d dan lainnya mempunyai
tradisi dan dialek tersendiri. Sementara yang di perkotaan juga mempunyai
tradisi dan dialek atau gaya bicara yang berbeda pula.
Dialek yang dianut suku pedalaman
cukup beragam, seperti : Imâlah, atau mengucapkan huruf ‘a menjadi huruf ‘ê’
seperti Satê. Orang dari suku Badui, karena ingin meringkas perkataan kerap
melipat huruf seperti mengucapkan dua huruf menjadi satu huruf yang dikenal dengan
sebutan “Idghâm”.
Ibnu al-Jazari menambahkan dari apa
yang dikatakan Ibnu Qutaibah tentang bentuk-bentuk dialek suku-suku Arab:
“Sebagian kabilah membaca lafazh : (عَلَيْهِمْ و فِيْهِمْ ) yang berkasrah
Ha’, dengan men-dlammah-kan Ha’, suku lain membaca : ( عَلَيْهِمُوْ و مِنْهُمُوْ )(sementara lainnya
men-sukun-kan Mim), satu kabilah membaca : ( قَدْ أَفْلَحَ . قُلْ أُوْحِيَ . وَخَلَوْا إِلَى ) dengan membaca “naql” ( mengalihkan
harakat hamzah kepada huruf mati sebelumnya, sementara suku lainnya tidak
membaca demikian). Satu kabilah membaca : ( مُوْسَى ، وعِيْسَى ، و دُنْيَا ) dengan Imalah ( huruf “a” dibaca “ê”) . Ada yang
membaca : خَبِيْرًا
بَصِيْرًا dengan membaca
tarqîq (menipiskan) bunyi Ro’nya. Ada juga yang membaca : الصَّلَاةُ , الطَّلَاقُ dengan menebalkan
bunyi lamnya.”
Jibril memerintahkan kepada nabi
untuk membacakan Al-Qur’an dengan satu huruf atau satu macam bacaan, nabi
langsung naik banding kepada malaikat Jibril agar keharusan itu diperingan
lagi. Ternyata Allah melalui malaikat Jibril memberikan keringanan (rukhshah)
kepada nabi sampai tujuh huruf atau macam bacaan. Hadis berikut ini menjelaskan
hal tersebut:
Artinya: “Nabi Muhammad berada di genangan
air milik Bani Ghifar. Datanglah malaikat Jibril dan berkata: “Sesungguhnya
Allah telah memerintahkanmu agar umatmu membaca Al-Qur’an dengan satu huruf.”
Nabi berkata : “aku meminta ampun dan pertolongan kepadaNya, umatku tidak mampu
untuk itu”. Kemudian malaikat Jibril datang kedua kali dan mengatakan bahwa
Allah memerintahkan seperti diatas dengan dua huruf. Lalu nabi menjawab seperti
diatas pula, bahwa umatnya tidak mampu untuk itu. Lalu malaikat Jibril datang
ketiga kali, lalu keempat kali, lalu pada akhirnya malaikat Jibril mengatakan
bahwa Allah memberikan keringanan sampai tujuh huruf. Huruf manapun yang
mereka baca, mereka sudah benar.”
Para ulama berbeda pendapat dalam
mengartikan “Sab’atu Ahruf” sebagaimana yang tertera dalam hadis di atas.
Mereka berbeda pendapat tentang arti huruf, arti bilangan tujuh, apakah berarti
bilangan yang pasti atau mempunyai arti banyak. Berikut ini pendapat para
ulama tentang makna Sab’atu Ahruf :
1.
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf
adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Pendapat
ini terbagi lagi menjadi dua bagian:
a.
Sebagian ulama mengatakan bahwa ketujuh bahasa itu tersebar di
seluruh Al-Qur’an. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Abû ‘Ubaid,
Ahmad bin Yahyâ, Tsa’lab, dan masih banyak yang lainnya.[12] Menurut pendapat
ini, Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw. dengan tujuh bahasa kabilah
Arab dan ketujuh bahasa inilah yang dianggap sebagai bahasa Arab paling fashih
di antara sekian banyak bahasa kabilah Arab lainnya, yaitu bahasa Quraisy,
Hudzail, Tamîm, Tsaqîf, Hawâzin, Kinânah, dan Yaman Namun ada juga yang
menyebutkan bahwa ketujuh bahasa kabilah yang dimaksud adalah Quraisy, Hudzail,
Tamîm, Azd, Hawâzin, Rabî’ah, dan Sa’ad bin Bakr.[14]
b. Pendapat ulama yang menyebutkan bahwa
perbedaan tujuh bahasa yang terdapat di dalam Al-Qur’an terkumpul dalam
sebuah lafal. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Jarîr al-Thabari. Al-Thabari
menyandarkan pendapatnya pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhâri dalam Shahîh-nya mengenai perselisihan yang pernah terjadi antara
‘Umar bin al-Khaththâb dengan Hisyâm bin Hakîm tentang qira’at Al-Qur’an.
2.
Pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab’atu ahruf adalah
tujuh wajah lafal kalimat yang berbeda, namun memiliki makna yang hampir sama.
Pendapat ini diungkapkan oleh kebanyakan para ulama fikih dan hadis, seperti
Sufyan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Wahb, Ibnu ‘Abd al-Barr, dan al-Thahawi.
Pendapat ini didasarkan pada beberapa riwayat hadis, di antaranya adalah hadis
berikut:[17]
Artinya: “Waraqâ’ telah meriwayatkan
dari Ibnu Abî Najîh, dari Mujâhid, dari Ibnu ‘Abbâs, dari Ubai bin Ka’b bahwa
dia telah membaca ayat lilladzîna âmanû unzhurûnâ (dengan beberapa versi bacaan
sebagai berikut): lilladzîna âmanû amhilûnâ, lilladzîna âmanû akhkhirûnâ,
lilladzîna âmanû urqubûnâ.”
3.
Sebagian ulama mengatakan yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah
tujuh segi, yaitu: amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (ancaman), wa’îd
(janji), jadal (perdebatan), qashash (cerita), dan matsal (perumpamaan). Atau
amr, nahyu, halâl, harâm, muhkam, mutasyâbih, dan amtsâl.
4.
yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam kajian ilmu tafsir
ialah tujuh macam bacaan yang diajarkan Rasulullah terjadi dimasa
kenabian tersebut karena al-qur’an memang diturunkan dalam tujuh bacaan. Tetapi
tidak berarti bahwa setiap kata dalam al-qur’an dapat dibaca sebanyak tujuh
bacaan yang berbeda. Jadi yang dimaksud dengan al-qur’an diturunkan dengan
tujuh huruf ialah memberi isyarat kepada ummat bahwa mereka diberi kelonggaran
untuk membaca al-qur’an sesuai dengan bacaan yang mudah bagi mereka.[6]
5.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak
dapat diartikan secara harfiah, tetapi angka tujuh itu hanya sebagai simbol
kesempurnaan menurut kebiasaan masyarakat Arab.[20]
6.
Pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh
huruf tersebut adalah Qira’at Sab’ah.
Meskipun para ulama berbeda pendapat
mengenai pengetian Sab’atu Ahruf sebagaimana tertera di dalam hadis Muslim di
atas, namun yang jelas makna yang tersirat dalam hadis tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Pertama: Bahwa Allah swt. memperbolehkan kepada umat nabi Muhammad saw.
dalam hal membaca Al-Qur’an dengan berbagai macam bacaan. Bacaan manapun yang
mereka pilih adalah benar.
Kedua: Semua bacaan tersebut betul-betul telah diturunkan oleh Allah
melalui malaikat Jibril kepada nabi Muhammad.
Ketiga: Tujuan diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah dalam
rangka memberikan keringanan kepada umatnya nabi Muhammad dalam membaca
Al-Qur’an mengingat latar belakang budaya dan struktur masyarakat yang beragam.
Setelah nabi Muhammad diberikan
keringanan oleh Allah untuk membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf, nabi
mengajarkan kepada para sahabat dengan ragam bacaan. Sehingga pernah terjadi
kesalah pahaman diantara mereka dan pernah mereka saling menyalahkan yang
lainnya jika terjadi perbedaan bacaan, bahkan diantara mereka ada yang sempat
tertegun dan tak mempercayai bahwa hal itu terjadi pada Al-Qur’an. Namun nabi
memberikan penjelasan kepada mereka tentang pokok persoalan, sehingga
mereka dapat memahaminya. Pengajaran nabi kepada para sahabatnya dengan beragam
bacaan terus berlangsung hingga nabi meninggal. Para sahabat yang mendapatkan
pelajaran Al-Qur’an dari nabi terus memegang bacaan mereka dan mengajarkan cara
pembacaan tersebut kepada para murid-murid mereka.
2.
Qira’at Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Setelah
nabi Muhammad meninggal, para sahabat nabi melanjutkan tradisi yang telah
dirintis oleh nabi yaitu mengajarkan Al-Qur’an kepada para murid-murid mereka.
Ada diantara mereka yang masih tetap di Madinah dan Mekah mengajarkan Al-Qur’an
kepada murid-murid mereka, seperti sahabat Ubay bin Ka’b (w 30 H), Utsmân bin
‘Affân (w 35 H), Zaid bin Tsâbit (w 45 H), Abû Hurairah (w 59 H), ‘Abdullâh bin
‘Ayyâsy (w 64 H), ‘Abdullâh bin ‘Abbâs (w 68 H), ‘Abdullâh bin al-Saib
al-Makhzumi (w 68 H). Namun diantara sahabat nabi ada yang keluar dari Madinah
untuk berjuang bersama yang lain. Dengan berkembangnya Islam ke negeri lain,
terutama pada masa Abû Bakar dan ‘Umar bin Khaththâb, dibutuhkan tenaga yang
mengajarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat.
Diantara
sahabat nabi yang mempunyai peran dalam penyebaran Al-Qur’an di negeri lain
seperti negeri Iraq adalah ‘Abdullah bin Mas’ûd (w 32 H) yang
diperintahkan oleh sahabat ‘Umar bin Khaththâb untuk mengajar Al-Qur’an
di negeri Kufah. Di Iraq juga ada sahabat ‘Alî bin Abî THâlib (w 40
H), Abû Mûsâ al-Asy’ari (w 44 H) yang ditempatkan di kota Basrah. Sementara
sahabat yang ditempatkan di Syria atau Syam adalah Mua’dz bin Jabal (w 18 H)
yang mengajarkan Al-Qur’an di Palestina. ‘Ubadah bin SHamit al-Anshâri (w 34 H)
mengajarkan Al-Qur’an di kota Himsh di Syam, dan sahabat Abû al-Darda’ (w 32 H)
mengajarkan di Damaskus. Merekalah yang sangat berperan dalam penyebaran
qira’at di negeri-negeri tersebut diatas.[23]
Perlu
disinggung disini bahwa pengajaran qira’at oleh para sahabat kepada murid-murid
mereka adalah berdasarkan cara bacaan yang mereka dapatkan dari nabi. Bacaan
mereka berbeda antara satu dengan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam
pengajaran “al-Ahruf as-Sab’ah” sebagaimana dijelaskan diatas.
Sepeninggal
mereka muncul generasi ketiga di kalangan Tabi’in yang juga berperan dalam
penyebaran Ilmu Qira’at di negeri-negeri tersebut. Hasilnya adalah munculnya
generasi baru dalam bidang Qira’at.
3.
Munculnya Komunitas Ahli Qira’at
Hasil
yang didapatkan dari kegiatan pengajaran Al-Qur’an dari generasi sahabat dan
Tabi’in adalah munculnya komunitas ahli Qira’at pada setiap negeri Islam. Ibnu
al-Jazari dalam kitabnya “Al-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr” menyebutkan
tentang komunitas tersebut. Ibnu al-Jazari menyebut komunitas ahli Qira’at di
negeri-negeri Islam tersebut sebagai berikut :
a.
Madinah : Ibnu al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz,
Sulaimân bin Yasar, ‘Atha’ bin Yasar, Mu’adz bin al-Hârits, ‘Abdurrahman bin
Hurmuz al-A’raj, Ibnu Syihâb az-Zuhri, Muslim bin Jundab, Zaid bin Aslam.
b.
Mekah : ‘Ubaid bin ‘Umair, ‘Atha’, THawus, Mujâhid bin Jabr,
‘Ikrimah, Ibnu Abî Mulaikah.
c.
Kufah : ‘Alqamah, al-Aswad bin Yazîd, Musruq bin al-Ajda’, ‘Abidah,
‘Amr bin Syurahbil, dan lain lain.
d.
Basrah : Amir bin Abd al-Qais, Abu al-“Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin
‘Âshim, Nashr bin ‘Âshim, Yahya bin Ya’mur dan lain lainnya.
4.
Kodifikasi Ilmu Qira’at
Fase ini berlangsung bersamaan
dengan masa penulisan berbagai macam ilmu keislaman, seperti ilmu hadis,
tafsir, tarikh dan lain sebagainya, yaitu sekitar permulaan abad kedua
Hijriyah. Maka pada fase ini mulai muncul karya-karya dalam bidang qira’at.
Sebagian ulama muta’akhirîn
berpendapat bahwa yang pertama kali menuliskan buku tentang ilmu qira’at
adalah Yahyâ bin Ya’mar, ahli qira’at dari Bashrah. Kemudian di susul oleh
beberapa imam qurrâ’, diantaranya yaitu :
a.
‘Abdullah bin ‘Âmir (w. 118 H) dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât
Mashâhif al-Syâm wa al-Hijâz wa al-‘Irâq.
b.
Abân bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah. Kitabnya Ma’ânî Al-Qur’an
dan kitab Al Qirâ’ât.
c.
Muqâtil bin Sulaimân (w. 150 H)
d.
Abû ‘Amr bin al-‘Alâ’ (w. 156 H)
e.
Hamzah bin Habîb al-Ziyât (w. 156 H)
f.
Zâidah bin Qadâmah al-Tsaqafi (w. 161 H)
g.
Hârûn bin Mûsâ al-A’ûr (w. 170 H)
h.
‘Abdul Hamîd bin ‘Abdul Majîd al-Akhfasy al-Kabîr (w. 177 H)
i.
‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w. 189 H)
j.
Ya’qûb bin Ishâq al-Hadramî (w. 205 H)
k.
Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm (w. 224 H). Kitabnya
Al-Qirâ’ât.[24]
Menurut Ibnu al-Jazari, imam pertama
yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu kitab adalah
Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm. Ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli
qira’at, termasuk di dalamnya imam yang tujuh (imam-imam Qira’at Sab’ah).[25]
Agaknya penulisan qira’at pada
periode ini hanya menghimpun riwayat yang sampai kepada mereka, tanpa
menyeleksi perawi atau materi qira’at.
Kemudian pada abad ketiga Hijriyah
kegiatan penulisan qira’at semakin marak. Diantara mereka adalah : Ahmad bin
Jubair al-Makki (w 258 H) yang menghimpun bacaan Imam Lima, Ismâ’îl bin
Ishâq al-Maliki ( w 282 H) yang menghimpun 20 bacaan Imam, Ibnu
Jarir al-THabari (w 310 H) yang menghimpun bacaan lebih dari 20 Imam, dan lain
lainnya. Setelah itu kegiatan penulisan Ilmu Qira’at semakin meningkat dari
tahun ke tahun dan dari abad ke abad.
5.
Terbentuknya Qira’at Sab’ah
Banyaknya qira’at yang tersebar di
banyak negeri Islam menyebabkan munculnya rasa kegalauan pada banyak kalangan,
terutama kalangan awam. Hal inilah yang menyebabkan sebagian ahli qira’at
membuat rambu-rambu yang bisa menyeleksi qira’at mana saja yang patut bisa
dianggap shahîh. Rambu-rambu yang dimaksud adalah pertama : harus mutawâtir,
masyhur dikalangan ahli qira’at. Kedua : harus sesuai denga rasm Utsmâni dan
ketiga : harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab.[26]
Dari sinilah lalu muncul prakarsa
Abû Bakar Ahmad bin Mûsâ al-Baghdâdi Ibnu Mujâhid (w 324 H) untuk
menyederhanakan bacaan pada Imam–imam yang paling berpengaruh pada setiap
negeri Islam. Lalu dilipilihlah Tujuh Imam yang bisa mewakili bacaan pada
setiap negeri Islam. Mereka yang terpilih adalah :
1. Dari Madinah : Imam Nâfi’ bin Abî
Nu’aim al-Ashfihâni (w 127 H)
2. Dari Mekah : ‘Abdullâh bin Katsîr
al-Makki (w. 120 H)
3. Dari Bashrah : Abû ‘Amr al-Bashri
(w 153 H)
4. Dari Syam : ‘Abdullâh bin ‘Amir
al-Syâmi (w. 118 H)
5. Dari Kufah : terpilih tiga Imam
yaitu : ‘Âshim bin Abî al-Najud (w. 127 H), Hamzah bin Habib al-Zayyat (w 156
H) , dan ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w 189 H).
Pemilihan ketujuh Imam tersebut
berdasarkan kriteria yang sangat ketat. Kriteria tersebut disebutkan sendiri oleh
Ibnu Mujâhid dalam kitabnya “ al-Sab’ah” yaitu : harus ahli dalam bidang
qira’at, mengetahui qira’at yang masyhur dan yang syâdz, tahu tentang
periwayatan, dan tahu tentang seluk beluk bahasa Arab. Ibnu Mujâhid berkata :
“Diantara para ahli Al-Qur’an ada
yang tahu tentang seluk beluk I’râb, qira’at, bahasa, mengerti tentang arti
dari masing-masing kalimat, tahu tentang qira’at yang syâdz, mampu memberikan
penilaian kepada riwayat-riwayat. Inilah Imam yang patut didatangi oleh para
penghafal Al-Qur’an pada setiap negeri kaum muslimin.”[27]
Bacaan imam-imam tersebut
dikumpulkan oleh Ibnu Mujâhid pada kitabnya yang terkenal yaitu “Al-Sab’ah”.
Sebagaimana setiap prakarsa yang baru ada yang pro dan ada yang kontra. Mereka
yang pro terhadap gagasan Ibnu Mujâhid mengikuti jejak Ibnu Mujâhid dengan cara
menghimpun bacaan Imam Tujuh dari berbagai riwayat dan memberikan penjelasan
(hujjah) terhadap setiap fenomena qira’at yang diriwayatkan dari tujuh imam
tersebut. Sedangkan para ulama yang kontra mengkhawatirkan akan adanya timbul
sangkaan bahwa Qira’at Sab’ah adalah sab’atu ahruf yang di kehendaki oleh
hadis. Oleh karena itu menurut Abû ‘Abbâs bin Ammar (w. 430 H) alangkah baiknya
kalau yang di kumpulkan itu kurang dari tujuh imam qira’at atau lebih dari tujuh.
Di antara para ulama yang kontra adalah Abû ‘Alî al-Fârisi, Ibnu Khawalaih,
Ibnu Zanjalah, Makki Ibnu Abi Thâlib al-Qaisyi dan lain sebagainya.[28]
6.
Penyederhanaan Perawi Imam Qira’at Sab’ah
Pada kitab “al-Sab’ah” Ibnu Mujâhid
masih menyertakan banyak perawi dari setiap Imam dari Imam Tujuh. Kemudian pada
periode berikutnya, muncul seorang ahli qira’at kenamaan dari Andalus yang
bernama Utsmân bin Sa’id, Abû ‘Amr al-Dânî (w. 444 H) menyederhanakan
para perawi dari setiap Imam Qira’at Tujuh menjadi dua pada setiap Imam.
Al-Dânî berpendapat bahwa adanya dua rawi pada setiap Imam lebih memudahkan
menghafal materi qira’at dari masing-masing Imam. Dan dua rawi pada setiap Imam
sudah bisa mewakili para rawi dari setiap Imam. Penyederhanaan rawi menjadi dua
rawi dari setiap Imam bisa kita lihat pada kitabnya “al-Taisir”.
Rawi-rawi yang disebut oleh al-Dânî untuk setiap Imam adalah sebagai berikut :
a.
Qâlûn (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H), meriwayatkan qira’at dari
Imam Nâfi’
b.
Qunbul (w. 291 H) dan Al-Bazzi (w. 250 H), meriwayatkan qira’at
dari Imam Ibnu Katsîr
c.
Al-Dûrî (w. 246 H) dan Al-Sûsi (w. 261 H), meriwayatkan qira’at
dari Imam Abû ‘Amr
d.
Hisyâm (w. 245 H) dan Ibnu Dzakwân (w. 242 H), meriwayatkan qira’at
dari Imam Ibnu ‘Âmir
e.
Syu’bah (w. 193 H) dan Hafsh (w. 180 H), meriwayatkan qira’at dari
Imam ‘Âshim
f.
Khalaf (w. 229 H) dan Khallâd (w. 220 H), meriwayatkan qira’at dari
Imam Hamzah
g.
Abû al-Hârits (w. 240 H) dan Dûri al-Kisâ’i (w. 246 H),
meriwayatkan qira’at dari Imam Al-Kisâ’i.[29]
Apa yang ditetapkan oleh Imam al-Dânî
ternyata mendapatkan perhatian yang demikian besar dari para ahli qira’at pada
masa setelah al-Dânî. Hal tersebut bisa dilihat dari kemunculan imam
Al-Syâthibî (w. 591 H) yang telah berhasil menulis materi Qira’at Sab’ah yang
terdapat dalam kitab At-Taisir menjadi untaian syair yang sangat indah dan
menggugah. Syair itu berjumlah 1171 bait. Kumpulan syair-syair itu di namakan
“Hirz al-Amâni wa Wajh al-Tahâni” yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan
“Syâthibiyyah”. Syair-syair Syâthibiyyah ini telah menggugah banyak ahli
qira’at untuk mensyarahinya. Jumlah kitab yang mensyarahi syair Syâthibiyyah
ini lebih dari lima puluh kitab. Nazham al-Syâthibiyyah ini merupakan karya
terbesar imam al-Syâthibi dalam bidang ilmu qira’at. Sampai sekarang nazham ini
dijadikan sebagai rujukan utama bagi umat Islam di dunia yang ingin
mendalami ilmu qira’at.
FOOTNOTE
[1] Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an, (Banda Aceh: Pena,
2005), hal. 87.
[2] Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), hal.134.
[3] Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an, (Banda Aceh: Pena,
2012), hal. 101.
[4] Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an,… hal. 105-107.
[5] Manna al-Qattan, Mabaahitsu fi ulumil
a-Qur’an, trj Aunnur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu
al-Qur’an, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2006), hal. 212.
[6] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu tafsir,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 65
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...18
TAFSIR
A.
Definisi Tafsir
Para pakar ilmu tafsir banyak memberi pengertian baik secara
etimologi maupun terminologi terhadap term tafsir. Secara
etimologi kata tafsir berarti al-ibanah wa kasyfu al-mughattha(menjelaskan
dan menyingkap yang tertutup). Dalam kamus Lisan al-‘Arab, tafsir berarti
menyingkap maksud kata yang samar. Hal ini didasarkan pada firman Allah
Sûrah al-Furqân: 33
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ
تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu
datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan
kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”[3]
Sedangkan secara terminologi penulis
akan mengungkapkan pendapat para pakar. Al-Zarqoni menjelaskan tafsir
adalah ilmu untuk memahami al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
dengan menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.[4]
Menurut Abû Hayyân sebagaimana
dikutip Manna al-Qaththân, mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas
cara pengucapan lafaz al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik
ketika berdiri sendirimaupun tersusun, dan makna yang dimungkinkan
baginya ketika tersusun serta hal lain yang melengkapinya.[5]
Ilmu tafsir merupakan bagian dari
ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena
pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan sumber
segala hikmah, serta petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir
telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern
sekarang ini. Kebutuhan akan tafsir semakin mendesak lantaran untuk
kesempurnaan beragama dapat diraih apabila sesuai dengan syari’at, sedangkan
kesesuaian dengan syari’at bannyak bergantung pada pengetahuan terhadap
Al-Qur’an, kitabullah.[6]
Demikian ulasan mengenai definisi
tafsir. Hal ini menjadi penting untuk diketahui, karena pada perkembangan
penafsiran akan tampak keragaman dan perubahan pada kurun waktu tertentu. Ulama
modern, tentu akan berbeda melihat “tafsir” dengan ulama terdahulu.Dibawah ini
akan penulis akanmepaparkan ulasan mengenai perkembangan tafsir dan
penafsiran dari masa klasik sampai modern.
B.
Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir
1.
Tafsir pada Masa Klasik
Agar
mempermudah pembahasan mengenai perkembangan tafsir pada masa klasik, penulis
akan memetakan dalam tiga pembahasan, yakni (1). Tafsir pada masa Nabi dan
Sahabat. (2). Tafsir pada masa tabi’in dan (3). Tafsir pada masa kodifikasi
(pembukuan).
a.
Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Kegiatan
penafsiran telah dimulai sejak Nabi Muhammad masih hidup. Nabi pun menjadi
sosok sentral dalam penafsiran al-Qur’an. Bagi para sahabat, untuk mengetahui
makna al-Qur’an tidaklah terlalu sulit. Karena mereka langsung berhadapan
dengan Nabi sebagai penyampai wahyu, atau kepada sahabat lain yang lebih
mengerti. Jika terdapat makna yang kurang dimengerti, mereka segera menanyakan
pada Nabi.[7]Sehingga
ciri penafsiran yang berkembang kalangan sahabat adalah periwayatan yang
dinukil dari Nabi. Hal ini mempertegas firman Allah Sûrah al-Nahl: 44 bahwa
Nabi diutus untuk menerangkan kandungan ayat al-Qur’an.
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون
“Dan Kami turunkan kepadamu
al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Sedikit sekali kalangan sahabat yang
menggunakan penafsiran bil ra’yî dalam menafsirkan al-Qur’an.
Diantara sahabat yang dengan tegas menolak penggunaan akal dalam penafsiran
adalah Abû Bakar dan Umar ibn Khattâb. Abû Bakar pernah berkata:
أَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي وَ أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي إِذَا قُلْتُ فِي كِتَابِ اللهِ مَالاَ أَعْلَمُ
“Bumi manakah yang menampung aku dan
langit manakah yang menaungi aku, apabila aku mengatakan mengenai kitab Allah
sesuatu yang tidak aku ketahui”
Ia mengatakan demikian tatkala orang
bertanya tentang maknaAbbân. Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa Abû
Bakar tidak membenarkan sesuatu mengenai kitab Allah jika ia menggunakan
ijtihad, bil ra’yî. Tetapi ada pula beberapa sahabat yang menafsirkan
al-Qur’an dengan ijtihad bil ra’yîselain dengan riwayat, yaitu Ibn Mas’ûd
dan Ibn Abbâs.[8]
Secara garis besar para sahabat
berpegang pada tiga hal dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu al-Qur’an sendiri,
Nabi Muhammad sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an, dan ijtihad.
Pada era ini ilmu tafsir tidak
dibukukan sama sekali, karena pembukuan dimulai pada abad ke-2 H. Tafsir pada
era ini merupakan salah satu cabang dari hadits, kondisinya belum tersusun
secara sistematis, dan masih diriwayatkan secara acak untuk ayat-ayat yang
berbeda.[9]
b.
Tafsir pada masa tabi’in
Setelah generasi sahabat berlalu,
muncul mufassir sesudahnya, para tabi’in. Tafsir pada masa tabi’in sudah
mengalami perbedaan mendasar dari sebelumnya. Jika pada masa sahabat
periwayatan didasarkan pada orang tertentu saja (Nabi dan sabahat sendiri),
maka penafsiran yang berkembang pada masa tabi’in mulai banyak bersandar pada
berita-berita israiliyyât dannasrâniyyât. Selain itu penafsiran
tabi’in juga terkontaminasi unsur sektarian berdasarkan kawasan ataupun mazhab.
Itu disebabkan para tabi’in yang dahulu belajar dari sahabat menyebar ke
berbagai daerah.
Ada tiga aliran besar pada masa
tabi’in.
1.
Aliran Makkah, Sa’îd ibn Jubaîr (w. 712/713 M), Ikrimah (w. 723 M),
dan Mujâhid ibn Jabr (w. 722). Mereka berguru pada Ibn Abbâs.
2.
Aliran Madinah, Muhammad ibn Ka’âb (w. 735 M), Zaîd ibn Aslâm
al-Qurazhî (w. 735 M) dan Abû Aliyah (w. 708 M). Mereka berguru pada Ubay ibn
Ka’âb.
3.
Aliran Irak, Alqamah ibn Qaîs (w. 720 M), Amir al-Sya’bî (w. 723
M), Hasan al-Bashrî (w. 738 M) dan Qatâdah ibn Daimah al-Sadûsi (w. 735 M).
Mereka berguru pada Abdullah ibn Mas’ûd.[10]
Menurut Ibn Taimiyah, bahwa
sepandai-pandainya ulama tabi’in dalam urusan tafsir adalah sahabat-sahabat Ibn
Abbâs dan Ibn Mas’ûd dan ulama Madinah seperti Zaîd ibn Aslâm dan Imam Malîk
ibn Anas. Lebih lanjut, Ibn Taimiyah memandang bahwa Mujâhid adalah mufassir
yang besar. Sehingga al-Syafi’i dan Imam Bukhari berpegang padanya.[11] Namun
ada pula pandangan yang menolak penafsiran Mujâhid. Hal ini dikarenakan bahwa
Mujâhid banyak bertanya pada ahli kitab.[12] Selain
dianggap banyak mengutip riwayat ahli kitab, Mujahid juga dikenal sebagai
mufassir yang memberi porsi luas bagi kebebasan akal dalam menafsirkan
al-Qur’an.[13]
Para ulama berbeda pendapat mengenai
penafsiran yang berasal dari tabi’in jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan
sedikitpun dari nabi ataupun sahabat. Mereka meragukan apakah pendapat tabi’in
tersebut dapat dipegangi atau tidak. Mereka yang menolak penafsiran tabi’in
berargumen bahwa para tabi’in tidak menyaksikan peristiwa dan kondisi pada saat
ayat al-Qur’an diturunkan. Sedangkan kalangan yang mendukung penafsiran tabi’in
dapat dijadikan pegangan menyatakan, bahwa para tabi’in meriwayatkan dari
sahabat.[14]
c.
Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan)
Pasca generasi tabi’in, tafsir mulai
dikodifikasi (dibukuan). Masa pembukuan tafsir dimulai pada akhir
pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani Abbasiyah (sekitar abad 2 H). Pada
permulaan Bani Abbasiyah, para ulama mulai penulisan tafsir dengan mengumpulkan
hadist-hadist tafsir yang diriwayatkan dari para tabi’in dan sahabat. Mereka
menyusun tafsir dengan menyebut ayat lalu mengutip hadis yang berkaitan dengan
ayat tersebut dari sahabat dan tabi’in. Sehingga tafsir masih menjadi bagian
dari kitab hadis. Diantara ulama yang mengumpulkan hadis guna mendapat tafsir
adalah: Sufyân ibn Uyainah (198 H), Wakî’ ibn Jarrah (196 H), Syu’bah ibn
Hajjâj (160 H), Abdul Rozaq bin Hamam (211 H).
Setelah ulama tersebut di atas,
penulisan tafsir mulai dipisahkan dari kitab-kitab hadis. Sehinggga tafsir
menjadi ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara sistematis sesuai dengan tartib
mushaf. Diantara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibn Majah (w. 273 H), Ibn
Jarîr al-Thabâri (w. 310 H), Ibn Abî Hatîm (w. 327 H), Abu Syaikh ibn Hibbân
(w. 369 H), al-Hakîm (w. 405 H) dan Abû Bakar ibn Mardawaih (w. 410 H).[15]
Sementara al-Dzahabî membagi
beberapa tahapan tafsir pada masa kodifikasi berdasarkan ciri dan
karakteristik. Pertama, penulisan tafsir bersamaan dengan penulisan hadis.
Pada saat hadis dibukukan, tafsir menjadi bagian bab tersendiri di
dalamnya. Kedua, yakni penulisan tafsir yang dipisah dari kitab hadis.
Namun penulisan tafsir tetap berdasarkan periyawatkan yang disandarkan pada
Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (sumber penafsiran bil
ma’tsur). Ketiga, tahap ini penulisan tafsir tetap mencantumkan
riwayat-riwayat. Namun ada perbedaan yang sangat signifikan, riwayat-riwayat
tersebut tidak dilengkapi sanadnya. Pada tahap ini, al-Dzahabî mensinyalir
adanya pemalsuan tafsir dan permualan awal masuknya
kisah-kisah isrâiliyyât dalam tafsir. Keempat, sumber tafsir
pada masa ini tidak lagi terbatas pada periwayatan ulama klasik, tetapi juga
berdasarkan ijtihad, bil ra’yi.[16]
2.
Tafsir pada Abad Pertengahan
Perkembangan tafsir abad pertengahan
dimulai sejak abad ke-9 M hingga abad ke-19 M. Pada abad ini, perkembangan ilmu
pengetahuan berada pada masa keemasan (the golden age).[17]Perkembangan
penafsiran tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan pada saat tafsir
tersebut ditulis. Tafsir kemudian sarat dengan disiplin-disiplin ilmu yang
mengetarinya dan kecenderungan toelogis, terlebih bagi sang mufassir. Al-Qur’an
pun seringkali dijadikan untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan
mazhab/aliran tertentu.
a.
Diantara kitab-kitab tafsir “akbar” yang muncul pada era keemasan
Islam/abad pertengahan antara lain: Jamî’ al-Bayân an Ta’wîl
al-Qur’ân karya Ibn Jarîr al-Thabarî (w. 923 M/310 H); al-Kasysyâf an
Haqâ’iq al-Qur’ân karya Abû al-Qasîm Mahmûd ibn Umar al-Zamakhsyari (w.
1144 M/528 H);Mafâtih al-Ghaib karya Fakhruddîn ar-Râzi (w. 1209 M/605 H)
dan Tafsîr Jalâlaîn karya Jalâluddîn Mahallî (w. 1459 M) dan
Jalâluddîn al-Suyûti (w. 1505 M).
b.
Pada perkembangan selanjutnya muncul tafsir karya Ibn Arabi (638 H)
yang juga kerap mendapat kritikan. Hal ini disebabkan Ibn Arabi menafsirkan
al-Qur’an untuk mendukung pahamnya, wahdatul wujud.[18]
c.
Kelahiran Imâduddîn Ismail ibn Umar ibn Katsîr pada 700 H/1300 M,
juga memberi sumbangan bagi munculnya tafsir abad ini. Kitab Tafsîr
al-Qur’ân al-Karîm yang terdiri sepuluh jilid menjadi karya termasyhur
selain kitab-kitab lainnya yang ia tulis.[19]
d.
Pada abad ini muncul pula tafsir Jamî’ al-Ahkâm al-Qur’ânkarya
Abdullah al-Qurtubî (671 H). Banyak kalangan ulama menganggap bahwa ia
merupakan ulama Maliki, dan tafsirnya bercorak fiqh, namun al-Qurtubî tidak membatasi
pada ulasan mengenai ayat-ayat hukum saja. Lebih dari itu, ia menafsirkan
al-Qur’an secara keseluruhan. Ulasannya biasa diawali dengan menjelaskanasbâb
nuzûl, macam qira’at, i’rab dan menjelaskan lafaz yang gharib.[20]
e.
Alî ibn Muhammad al-Baghdadî (678-741 H) dengan karya
tafsirnya Tafsîr Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, atau yang sering
disebut denganTafsir al-Khâzin. Sumber-sumber penafsiran dalam tafsir tersebut
adalah bil ma’tsûr. Al-Khâzin menaruh perhatian cukup besar banyak
terhadap kisah-kisah isrâiliyyât. Sehingga ada beberapa penafsirannya yang
dianggap menyimpang oleh Husein al-Dzahabî.[21]
f.
Pada tahun 754 H muncul tafsir Bahrul Muhît karya Ibn Abû
Hayyân al-Andalusî. Dalam kitab tafsirnya yang terdiri delapan jilid, ia banyak
mencurahkan perhatiannya dalam masalah I’rab dan Nahwu. Karena perhatian yang
cukup besar dalam masalah Nahwu, banyak kalangan menyebut bahwa kitab ini lebih
cocok disebut kitab Nahwu, bukan tafsir. Ia banyak mengutip pendapat
Zamakhsyari dalam hal ilmu Nahwu. Namun Abû Hayyan seringkali tidak sependapat
dengan Zamakhsyari, terlebih mengenai paham ke-Mu’tazilah-annya.[22]
Selain nama-nama di atas, masih
banyak lagi mufassir kitab tafsir yang muncul pada abad pertengahan ini.
Masing-masing memiliki karakter yang menjadi khas penulis tafsir tersebut.
Sebagaimana yang penulis utarakan di atas, bahwa pada abad pertengahan terjadi
akulturasi budaya karena penyebaran Islam ke penjuru dunia, maka hal ini turut
menimbulkan perbedaan penafsiran yang didasari perbedaan mazhab dan tempat.
3.
Tafsir pada era Modern
Akulturasi budaya pada abad
pertengahan cukup dirasa memberi pengaruh pada penafsiran al-Qur’an abad itu.
Demikian pula pada masa modern, kehadiran kolonialisme dan pengaruh pemikiran
barat pada abad 18-19 M sangat mempengaruhi para mufassir era ini. Perkembangan
ilmu pengetahuan diduga kuat menjadi faktor utama penafsir dalam memberi
respon. Ciri berpikir rasional yang menjadi identitas era modern kemudian menjadi
pijakan awal para penafsir. Mereka umumnya meyakini bahwa umat Islam belum
memahami spirit al-Qur’an, karenanya mereka gagal menangkap spirit rasional
al-Qur’an.
Atas dasar pemikiran yang bersifat
rasionalistik, kebanyakan dari pemikir Muslim modern menafsirkan al-Qur’an
dengan penalaran rasional, dengan jargon penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an,
atau kembali pada al-Qur’an. Kemudian mereka menentang legenda, ide-ide
primitif, fantasi, magis dan tahayyul.[23]
Menurut Baljon dalam bukunya yang
berjudul Modern Muslim Koran Interpretation, mengatakan bahwa yang apa
yang disebut tafsir modern adalah usaha yang dilakukan para mufassir dalam
menafsirkan ayat guna menyesuaikan dengan tuntunan zaman. Karenanya segala
pemikiran yang terkandung dalam al-Qur’an segera dirasakan membutuhkan
penafsiran ulang. Lebih lanjut Baljon menambahkan bahwa tuntutan ini dirasakan
perlu akibat persentuhan dengan peradaban asing kian lebih intensif.[24]
a.
Muhammad Abduh
(1849-1905), ia adalah tokoh Islam yang terkenal. Abduh mulai menulis
tafsir al-Qur’an atas saran muridnya, Rasyid Ridha.[25]Meskipun
pada awalnya ia merasa keberatan, akhirnya ia menyetujui juga. Uraian Abduh
atas al-Qur’an mendapatkan perhatian dari salah seorang orientalis, J. Jomier.
Menurutnya analisis yang dilakukan Abduh cukup mendalam serta hal yang berbeda
dari ulasan Abduh adalah keinginannya yang nyata untuk memberikan ajaran moral
dari sebuah ayat.[26]
b.
Selain Abduh, kaum modernis Arab lainnya juga banyak yang menyuguhkan
tafsir yang sama moderatnya, atau sama konservatifnya. Sampai kemudian muncul
metode dan cara baru dalam penafsiran al-Qur’an. Adalah Thanthâwi Jauhari (w.
1940) yang tidak terlalu banyak memberi komentar, tetapi ulasan-ulasanya dalam
tafsir al-Qur’an dapat dijadikan pegangan ilmu Biologi atau ilmu pengetahuan
lainnya bagi masyarakat. Sehingga kitab tafsirnya, Al-Jawâhir fi
al-Tafsirdigadang-gadang sebagai tafsir bercorak ilmi (santifik).[27]
c.
Ahmad Mustafa ibn Muhammad ibn Abdul Mun’în al-Marâghi juga mencatatkan namanya sebagai deretan dari mufassir modern
dengan karya tafsirnya, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang sering dikenal
dengan sebutan Tafsîr al-Marâghi. Ia lahir 1883 dan wafat pada 1952. Ia
menulis tafsirnya selama sepuluh tahun, sejak tahun 1940-1950.[28]Dalam
muqaddimah tafsirnya, ia mengemukakan alasan menulis tafsir tersebut. Ia merasa
ikut bertanggung jawab memberi solusi terhadap problem keummatan yang terjadi
di masyarakat dengan berpegang teguh pada al-Qur’an.[29]
d.
Di samping itu, muncul juga Sayyid Quthb dengan
tafsirnya Fi zhilali al-Qur’an dan Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’
dengan Tafsir al-Bayani li al-Qur’ani al-Karim.
4.
Di Indonesia juga muncul beberapa mufassir dan kitab tafsirnya.
Antara lain:
a.
Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya Mahmud Yunus(1899)
b.
Kasim Bakri,Tafsîr
al-Furqân karya Ahmad Hasan (w. 1887-1958),
c.
Tafsîr al-Qur’ân karya Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin
HS,
d.
Tafsîr al-Nûr al-Majîd karya Hasbi al-Siddiqi (1904-1975),
e.
Tafsîr al-Azhâr karya Buya Hamka (1908-1981)[30],
f.
Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.
Titik perbedaan tafsir modern dengan
sebelumnya adalah bahwa penafsiran abad ke-19 menonjolkan corak
reformis-rasional, sains (tafsir ilmi) dan sastra.[31] Perkembangan
selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir, Hermeneutik dan Semantik.
Maka tidak menutup kemungkinan pada era mendatang akan ada lagi berbagai metode
penafsiran untuk mengungkap makna-makna al-Qur’an.
C.
Corak dan Metode Penafsiran
1.
Tafsir bi al-Ma’tsur.
Cara
penafsirian yang ditempuh oleh para sahabat dan generasi berikutnya itu dalam
kerangka metodologis, disebut jenis tafsir bil
al-ma'tsur (periwayatan). Metode periwayatan ini oleh al-Zarqani
didefinisikan sebagai semua bentuk keterangan dalam Al-Qur'an, al-sunnah atau ucapan
sahabat yang menjelaskan maksud Allah SWT pada nash Al-Qur'an.[32] Metode bil
ma'tsur, memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan.
Keistimewaannya, antara lain, adalah :
a. Menekankan
pentingnya bahasan dalam memahami Al-Qur'an,
b. Memaparkan
ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesan,
c. Mengikat
mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam
subyektivitas yang berlebihan[33],
d. Dapat
dijadikan khazanah informasi kesejarahan dan periwayatan yang bermanfaat bagi
generasi berikutnya.
Disisi lain, kelemahan yang terlihat
dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini, seperti yang dicatat
oleh beberapa ahli tafsir, antara lain adalah :
a. Terjerumusnya
sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele,
sehingga pesan pokok Al-Qur'an menjadi kabur di celah uraian itu,
b. Seringkali
konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis
turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraiannasikh/mansukh) hampir dapat
di katakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun
bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.[34]
c. Terjadinya
pemalsuan dalam tafsir karena fanatisme mazhab, politik dan usaha-usaha musuh
Islam.
d. Masuknya
unsur Isra'iliyat ke dalam tafsir, yaitu unsur-unsur Yahudi dan Nasrani ke
dalam penafsiran Al-Qur'an,
Berkembangnya penafsiran bi al
ma 'tsur zaman itu cukup dapat dipahami karena para mufassir mengandalkan
penguasaan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya secara baik, juga mereka
ingin membuktikan kemu'jizatan Al-Qur'an dan segi bahasanya. Namun, menerapkan
metode ini serta membuktikan kemu'jizatan itu untuk masa kini, agaknya sangat
sulit karena kita telah kehilangan kemampuan dan rasa bahasa Arab itu. Metode
periwayatan yang mereka terapkan juga cukup beralasan dan mempunyai
keistimewaan dan kelemahannya. Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut
informasi kesejarahan yang luas, serta obyektivitas mereka dalam menguraikan
riwayat itu, sampai-sampai ada diantara mereka yang menyampaikan
riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai
bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang
peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar yang kokoh.
Cukup beralasan sikap generasi lalu
ketika mengandalkan riwayat Al-Qur'an. Karena, ketika itu, masa antara generasi
mereka dengan generasi para sahabat dan tabi'in masih cukup dekat dan
laju perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan belum demikian pesat.
Disamping itu, penghormatan kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid
nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula
terhadap tabi'in sebagai generasi peringkat kedua khairun qurun,
masih sangat terkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan akan
keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikutnya masih cukup mantap.
2.
Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra'yi adalah
jenis metode penafsiran Al-Qur'an dimana seorang mufassir menggunakan akal
(rasio) sebagai pendekatan utamanya. Sejalan dengan definisi diatas,
Ash-Shabuni menyatakan bahwa tafsirbi al-ra'yi adalah tafsir ijtihad yang
dibina atas dasar-dasar yang tepat serta dapati diikuti, bukan atas
dasar ra‘yu semata atau atas dorongan hawa nafsu atau penafsiran
pemikiran seseorang dengan sesuka hatinya. Sementara menurut Manna al-Qattan,
tafsir bi al-ra'yi adalah suatu metode tafsir dengan menjadikan akal
dan pemahamannya sendiri sebagai sandaran dalam menjelaskan sesuatu.[35] Sedangkan
az-Zarqani secara tegas menyatakan bahwa tafsir bi al-ra’yi merupakan
tafsir ijtihad yang disepakati atau memiliki sanad kepada yang semestinya dan
jauh dari kesesatan dan kebodohan.
3.
Tafsir Tahlily
Metode tafsir tahliliy, atau
yang oleh Baqir Shadr dinamai metode tajzi'iyadalah suatu metode yang
berupaya menjelaskan kandungan ayat-ayat AI-Qur'an dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana yang tercantum dalam
mushaf (Shadr, 1980:10). Cara kerja metode ini terdiri atas empat langkah,
yaitu
a. Mufassir
mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushaf,
b. Diuraikan
dengan mengemukakan arti kosakata dan diikuti dengan penjelasan mengenai arti
global ayat,
c. Mengemukakan munasabah (koralasi)
ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain,
d. Mufassir
membahas asbab al-nuzuldan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat
dan tabi'in.[36]
Kelemahan
metode tahliliy menurut Quraish Shihab bahwa para penafsir tidak
jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalil pembenaran
terhadap pendapat-pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain itu, terasa
sekali bahwa metode ini tidak mampu memberikan jawaban jawaban yang tuntas
terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi
pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subyektivitas mufassirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan
metodetahliliy yang perlu dicarikan penyebabnya adalah bahwa
bahasan-bahasannya dirasakan sebagai mengikat generasi berikut. Hal ini mungkin
karena sifat penafsirannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu pada
penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat
mereka, sehingga uraian-uraian yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan
bahwa itulah pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat.[37] Contoh
dari penafsiran ini adalah karya-karya mufassir klasik seperti
tafsir "Jami' al Bayan fa Tafsir Al-Qur'an", karya Ibn
Jarir al-Thabari, tafsir Mafatih al Ghaib, karya Fakhruddin al-Razi dan
lain-lain. Tafsir al Thabari, dilihat dari coraknya termasuk tafsir bi
al-ma 'tsur, yang menggunakan metode tahliliy, demikian pula dengan tafsir
al-Razi.
4.
Tafsir Muqaran
Dalam bahasa yang sistematis, Said
Agil Munawar dan Quraish Shihab mendefinisikan tafsir muqaran sebagai metode
penafsiran yang membandingkan ayat Al-Qur'an yang satu dengan ayat Al-Qur'an
yang lain yang sama redaksinya, tetapi berbeda masalahnya atau membandingkan
ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi Muhammad saw, yang tampaknya
bertentangan dengan ayat-ayat tersebut, atau membandingkan pendapat ulama
tafsir yang lain tentang penafsiran ayat yang sama[38] Dari
beberapa pengertian diatas, dapat ditarik beberapa unsur dalam metode tafsir
muqaran :
a. Arah
kecenderungan mufassir dan faktor yang melatar belakanginya,
b. Penafsiran
ayat Al-Qur'an dengan ayat- Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya namun
berbeda masalahnya,
c. Penafsiran
ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi yang isinya bertentangan,
d. Pendapat
ulama tafsir dengan pendapat ulama tafsir lainnya.
Karya-karya tulis yang termasuk
dalam klasifikasi penafsiran muqaran adalah karya tulis kontemporer,
misalnya Al-Qur'an, Bible dan Sains Modern karya Maurice
Bucaile dan Muhammad fi al-Taurat wa al Injil wa Al-Qur'an, karya Ibrahim
Khalili (Rumi, 1413:57).
5.
Tafsir Ijmaly
Tafsir ijmaliy adalah
suatu metode penafsiran Al-Qur'an yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan
cara mengemukakan makna global. Dalam sistematika uraiannya, mufassir membahas
ayat demi ayat sesuai dengan susunannya yang ada dalam mushaf, kemudian
mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Dengan demikian
cara kerjan metode ini tidak jauh berbeda dengan metode tahliliy, karena
keduanya tetap terikat dengan urutan ayat-ayat sebagaimana yang tersusun dalam
mushaf, dan tidak mengaitkan pembahasannya dengan ayat lain dalam topik yang
sama kecuali secara umum saja.[39] Contoh
dari tafsir yang mempergunakan metode ini adalah tafsir Jalalain.
6.
Tafsir Maudhu’i (Tematik)
Ali Khalil sebagaimana dikutip oleh
Abd al-Hay al-Farmawi memberikan batasan pengertian tafsir tematik, yaitu
:Mengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai satu tujuan dan bersekutu
dengan tema tertentu. Kemudian sedapat mungkin ayat-ayat tersebut disusun
menurut kronologi turunnya disertai dengan pemahaman asbab al-Nuzulnya. Lalu
oleh mufassir dikomentari, dikaji secara khusus dalam kerangka tematik,
ditinjau segala aspeknya, ditimbang dengan ilmu yang benar, yang pada
gilirannya mufassir dapat menjelaskan sesuai dengan hakikat topiknya, sehingga
dapat ditemukan tujuannya dengan mudah dan menguasainya dengan sempurna.[40] Jadi
lewat metode ini, penafsiran dilakukan dengan jalan memilih topik tertentu yang
hendak dicarikan penjelasannya menurut Al-Qur'an, kemudian dikumpulkanlah semua
ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan topik ini, kemudian dicarilah kaitan
antara berbagai ayat ini agar satu sama lain bersifat menjelaskan, baru
akhirnya ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai ayat-ayat yang
saling terkait itu.
Jika pengertian tafsir tematik itu
kita cermati, maka kita dapat menemukan ciri-ciri dari bentuk tafsir tematik,
antara lain :
a. Obyek
pembahasan atau penafsirannya bukan ayat demi ayat seperti tersusun dalam
urutan mushaf Utsmani sebagaimana yang berlaku dalam
tafsir tahlilliy, melainkan suatu tema tertentu yang ingin diketahui makna
atau pengertiannya secara integral menurut pandangan Al-Qur'an,
b. Cara
yang ditempuh adalah mengumpulkan seluruh ayat-ayat yang dipandang saling
berkait dan bersekutu dalam satu tema tertentu,
c. Dalam
proses penafsirannya senantiasa memperhatikan aspek kronologi turunnya ayat
dan asbab al-Nuzulnya,
d. Sebelum
ayat-ayat tersebut ditafsirkan secara tematik, masing-masing ayat dan
lafaz-lafaz yang terkandung didalamnya dipahami dan ditinjau dan berbagai
aspeknya, seperti bahasa, konteks kesejarahan, "munasabat", dan
sebagainya,
e. Penafsiran
Al-Qur'an secara tematik ini juga memerlukan berbagai ilmu, baik yang tergolong
dalam "ulum al tafsir" maupun ilmu-ilmu lain yang relevan,
seperti sejarah, sosiologi, antropologi dan sebagainya,
f. Arah
pembahasan tafsir tematik senantiasa terfokus kepada satu topik yang
ditetapkan,
g. Tujuan
utama yang ingin dicapai oleh tafsir tematik sebagaimana dikemukakan oleh
al-Farmawy dalam bukunya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i adalah
memahami makna dan hidayah dari Al-Qur'an dan bukan sekedar mengetahui i'jaz
Al-Qur'an, seperti keindahan bahasa atau ketinggian nilai sastranya atau
kehebatan-kehebatan Al-Qur'an lainnya.[41]
Salah satu pakar tafsir yang
mempopulerkan metode ini di Indonesia adalah M. Quraish Shihab dengan berbagai
karyanya.
FOOTNOTE
[3] Manna al-Khallil al-Qaththan,Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
(Riyadh: Mansyurat al-‘ashr al-hadits, 1973), h. 323.
[4] Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm
al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Maktabah al-Arabiyah, 1995), vol 2, h. 6.
[5] Yang dimaksud “petunjuk-petunjuknya” adalah pengertian yang
ditunjukkan oleh lafaz-lafaz. Kemudian “hukum yang berdiri sendiri atau yang
tersusun”, meliputi ilmu Sharf, I’rab, Bayan, Badi’. “makna yang memungkinkan
baginya ketika tersusun” meliputi pengertian hakiki dan majazi. Sedangkan yang
dimaksud “hal-hal yang melengkapinya” adalah pengetahuan mengenai asbab nuzul,
naskh mansukh, kisah-kisah dan lain sebagainya yang menjadi lingkup kajian ilmu
al-Qur’an. Lihat Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
h. 324.
[6] Jalaluddin
al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, (Cairo: Mathba'ah Hijazy,
tt.) Juz II, hlm. 172.
[7] Di antara penafsiran Nabi adalah ketika salah seorang
sahabat bertanya tentang salât wustha. Nabi menjelaskan bahwa yang
dimaksud salât wusthâ adalah salat ashar. Selain itu nabi juga
menjelaskan bahwa al-Maghdu dalam surat al-Fatihah berarti kaum
Yahudi. Sedangkan al-Dhalînadalah kaum Nasrani. Lihat Muhammad Husain
al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah,
2005), h. 43.
[8] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
al-Qur’an-Tafsir, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1900), h. 209.
[9] Manna al-Khallil al-Qaththan,Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h.
337.
[10] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,
(Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 41.
[11] Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, (Kuwait:
Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1971), h. 37
[12] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
al-Qur’an-Tafsir, h. 218.
[13] Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
(Kairo: Dâr al-Hadîtsah, 2005), juz 1, h. 97.
[14] Manna al-Khallil al-Qaththan,Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h.
339.
[15] Manna al-Khallil al-Qaththan,Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h.
340-341.
[16] al-Dzahabî al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân
al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, h. 7-8.
[17] Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 25.
[23] Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 43.
[24] J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A.
Ni’amullah Mu’iz, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 2.
[25] Tafsîr al-Manâr karya Muhammad Abdul awalnya merupakan
tema-tema ceramah yang ia adakan di Universitas al-Azhar. Kemudian diterbitkan
dalam bentuk jurnal setiap bulan, dengan pimpinan redaksinya Rasyid Ridha. Maka
penyempurnaan tafsir tersebut dilakukan oleh Ridha.
[27] Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik
Hingga Zaman Modern, Pent. Novriantoni Kahar, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h.
176.
[31] Jane Dammen Mc Auliffe (editor),Encylcopaedia of the Qur’an,
(Brill: Leiden, 2001), vol. 2, h. 126-132.
[32] Muhammad Abd. Al-Adzim al-Zarqani. Manahil al-'Irfan fi
`Ulum Al-Qur'an,(Mathba'ah Isa al-Bab al-Halaby, 1957), h. 3.
[36] Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudlu'i, Kairo: Al-Hadharah al-Arabiyah, 1977, hlm. 18.
[38] Said Aqil al-Munawwar, I,jaz
Al-Qur'an dan Metodologi Tafsir, (Semarang : Dina Utama, 1994),
hlm. 36.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....19
AQSAMUL QUR’AN
A.
Definisi Aqsamul Qur’an
Aqsam adalah bentuk jamak dari “qasam” yang mengandung arti
“sumpah”[2] Dalam bahasa Arab, kata “sumpah” juga sering disebut dengan “al-hilf”
(الحلف) atau “al-yamin” (المين). Adapun shighat asli
dari kata “qasam” ialah fi’il atau kata kerja “aqsama” atau “ahlafa” yang
dimuta’addi (transitif) dengan “ba” menjadimuqsam bih (sesuatu yang
digunakan untuk bersumpah), kemudian muqsam alaih yang dinamakan
dengan jawab qasam[3] .
Qasam didefenisikan sebagai
“mengikat jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu, dengan
“suatu makna” yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun secara
i’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu. Sumpah dinamakan juga dengan “yamin”
(tangan kanan), karena orang Arab ketika bersumpah memegang tangan kanan orang
yang diajak bersumpah[4].
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
sumpah (aqsam) berarti dengan pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan
bersakasi kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap suci bahwa apa yang dikatakan
atau dijanjikan itu benar
Abu al-Qosim al-Qusyairiy menerangkan
bahwa rahasia Allah SWT menyebutkan kalimat “qasam” atau sumpah dalam Kitab-Nya
adalah untuk menyempurnakan serta menguatkan “hujjah”Nya, dan dalam hal ini,
kalimat “qasam” memiliki dua keistimewaan, yaitu pertama sebagai
“syahadah” atau persaksian serta penjelasan dan keduasebagai “qasam” atau
sumpah itu sendiri[5].
Jadi dapat disimpulkan bahwa Aqsamul
Qur’an adalah salah satu dari ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang mengkaji tentang
arti, maksud, hikmah, dan rahasia sumpah-sumpah Allah yang terdapat dalam
al-Qur’an.Selain pengertian diatas, qasam dapat pula diartikan dengan gaya
bahasa Al-Qur’an menegaskan atau mengukuhkan suatu pesan atau pernyataan
menyebut nama Allah atau ciptaan-Nya sebagai muqsam bih. Dalam Al-Qur’an,
ungkapan untuk memaparkan qasam dengan memakai kata aqsama, dan kadang
menggunakan kata halafa.
B.
Unsur-Unsur dari Qasam
a.
fi’il qasam
Qasam atau sumpah itu sering
dipergunakan dalam percakapan, sehingga tak jarang qasam tersebut diringkas:
yaitu dengan menghilangkan “fi’il qasam” dan dicukupkan dengan “baa” saja[6] Kemudian
“baa” pun diganti dengan “wawu” pada isim dzahir, seperti:
وَالَّليْلِ إِذَا يَغْشَى
“Demi malam, bila menutupi (cahaya siang)”. (QS. Al-Lail: 1)
Dan diganti dengan “taa” pada lafazh
jalalah, misalnya:
وَتاَللهِ لأَكِيْدَنَّ أَصْنَامَكُمْ
“Demi Allah, sesungguhnya aku akan
melakukan tipu daya terhadap berhalamu.” (QS. Al-Anbiyaa’: 57).
b.
Al-Muqsam bihi
Al-Muqsam bihi yaitu sesuatu
yang dijadikan sumpah oleh Allah. Sumpah dalam al-Qur’an ada kalanya dengan
memakai nama Allah dan ada kalanya dengan menggunakan nama-nama ciptaan-Nya.Allah
bersumpah dengan zat-Nya dalam Al Qur’an pada tujuh tempat[7] yaitu
a. Surat
Al Taghabun ayat 7
b. Surat Saba’
ayat 3
c. Surat
Yunus ayat 53
d. Surat
Maryam ayat 63
e. Surat
Al Hijr ayat 96
f. Surat
An Nisa ayat 65
g. Surat Al
Ma’arij ayat ke 40
c.
Muqsam ‘alaih
Muqsam ‘alaih artinya bentuk
berita yang ingin dipercaya/diterima oleh orang yang mendengarnya sehingga
diperkuat dengan sumpah tersebut atau disebut juga jawab qasam. Posisi muqsam
alaih terkadang bisa menjadi taukid, sebagai jawaban qasam karena yang
dikehendaki dengan qasam adalah untuk mentaukidi muqsam alaih (menguatkannya).
Menurut Mana’ul Quthan ada empat hal yang harus dipenuhi muqsam alaih, yaitu :
1.
Muqsam alaih/berita itu harus terdiri dari hal-hal yang baik,
terpuji, atau hal-hal yang penting.
2.
Muqsam alaih itu sebaiknya disebutkan dalam setiap bentuk sumpah.
Jika kalimat muqsam alaih tersebut terlalu panjang, maka muqsam alaihnya boleh
dibuang.
3.
Jika jawab qasamnya berupa fi’il madhi mutaharrif yang positif
(tidak dinegatifkan), maka muqassam alaihnya harus dimasuki huruf “lam” dan
“qod”.
4.
Materi isi muqsam alaih itu bisa bermacam-macam, terdiri dari
berbagai bidang pembicaraan yang baik-baik dan penting.
C.
Jenis - jenis Aqsamul
Qur’an
Dilihat dari segi fi’ilnya, Prof.
Dr. H. Abdul Djalal H.A. membagi qasam dalam Al-Qur’an ada dua macam, yaitu;
1. Qasam
dhahir (nampak/ jelas), yaitu qasam yang fi’il qasamnya disebutkan bersama
dengan muqsam bihnya. Seperti ayat berikut :
(وَأَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لاَ يَبْعَثُ اللّهُ مَن يَمُوتُ.... ) النحل: ٣٨
Artinya : “Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang
sungguh-sungguh: ‘Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati’.”
Dan
diantaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, dan dicukupkan dengan huruf
“ba’”, “wawu”, dan ta’”. Seperti :
(وَالضُّحَى. وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى ) الضحى : ١-٢
Artinya : “Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabilatelah
sunyi (gelap).”
2. Qasam
Mudhmar (tersimpan/ samar) yaitu qasam yang didalamnya tidak dijelaskan/
disebutkan fi’il qasam dan muqsam bihnya. Tetapi yang menunjukkan bahwa kalimat
tersebut kalimat qasam adalah kata-kata setelahnya yang diberi lam taukid yang
masuk kedalam jawab qasamnya., seperti :
(لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ...) آل عمران : ١٨٦
Artinya : “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan
dirimu.”
D.
Bentuk - Bentuk Aqsamul Qur’an
1.
Bentuk Pertama: Bentuk Asli, Bentuk asli dalam sumpah ialah bentuk
sumpah yang terdiri dari tiga unsur, yaitu fi’il sumpah yang
dimuta’addikan dengan ba’, muqsam bih dan muqsam
alaih seperti contoh-contoh di atas.
2.
Bentuk Kedua: Ditambah huruf La. Kalimat yang digunakan orang untuk
bersumpah itu memakai berbagai macam bentuk. Begitu pula dalam al-Qur’an ada
bentuk sumpah yang keluar dari bentuk asli sumpah. Misalnya bentuk sumpah yang
ditambah huruf La di depan fi’il qasamnya seperti Surat Al-Ma’arij : 40, Surat
Al-Waqi’ah : 75,Surat Al-Insyiqaq : 16,Surat Al-Haqqah : 38.
E.
Manfaat Aqsamul Qur’an .
1.
Mempertegas dan memperkuat berita yang sampai kepada pendengar.
2.
Memberikan nilai kepuasan kepada pembawa berita yang telah
menggunakan Qasam.
3.
Mengagungkan sifat dan kekuasaan Allah.
F.
Tujuan Aqsamul Qur’an
1.
Dalam substansinya sumpah dilakukan untuk memperkuat pembicaraan
agar dapat diterima atau dipercaya oleh pendengarnya. Sedang sikap pendengar
sesudah mendengar qasam akan bersikap salah satu dari beberapa
kemungkinan.
2.
Pendengar yang netral, tidak ragu dan tidak pula mengingkarinya.
Maka pendengar yang seperti ini akan diberi ungkapan ibtida’ (berita yang
diberi penguat taukid ataupun sumpah) contohsuratAl-Hadid:8.
3.
Pendengar mengingkari berita yang didengar. Oleh karenanya berita
harus berupa kalam ingkari (diperkuat sesuai kadar keingkarannya). Bila kadar
keingkarannya sedikit, cukup dengan satu taukid saja. ContohsuratAn-Nisa’:40.
Sedang apabila kadar keingkarannya cukup berat, maka menggunakan dua taukid
(penguat). SepertisuratAl-Maidah:72.
4.
untuk mengukuhkan dan mewujudkan muqsam alaih (jawab qasam,
pernyataan yang kerenanya qasam diucapkan). Oleh karena itulah muqsam alaih
haruslah berupa hal-hal yang layak didatangkan qasam baginya, seperti hal-hal
ghaib dan tersembunyi jika qasam itu diaksudkan untuk menetapkan keberadaannya
5.
untuk menjelaskan tauhid atau untuk menegaskan kebenaran al-Qur’an
FOOTNOTE
[1] Teuku Muhammad,Ilmu – ilmu Al Qur’an, (Semarang : PT Pustaka
Rizki Putra,2002),hal 1
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT
Hidakarya Agung, 1989), hal. 341
[3] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an,
terjemahan Aunar Rafiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al
Kautsar, Cet. IV, 2009), hal. 364
[4] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumul Qur’an, hal. 365
[5] Jalaluddin as-Syuyuthi asy-Syafi’i, Al-Itqaan fi Ulumil
Qur’an, (Beirut: Darul Fikr, 1429H/2008M), hal. 487
[6] “Baa” tidak terdapat dalam Alquran kecuali dengan fi’il
qasam, seperti dalam QS. An-Nur: 53
[7] Teuku Muhammad,Ilmu – ilmu Al Qur’an, (Semarang : PT Pustaka
Rizki Putra,2002),hal 185
Tidak ada komentar:
Posting Komentar