Menurut Az-Zarqani, penggunaan kata
nuzul dalam hal nuzulul quran dimaksudkan dalam pengertian secara majazi.
Artinya sebagai suatu ungkapan yang tidak dipahami secara harfiah. Pengertian
majazi bagi nuzulul quran adalah pemberi tahuan mengenai al-quran dalam segala
aspeknya (4).
A.
Cara Turunnya Al – Quran.
Al-Quran diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu
mulai malam17 ramadhan tahun 41 dari kelahiran nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji
Wada’ tahun 63 dari kelahiran nabi atau 10 H. Proses turunnya al-quran kepada
nabi Muhammad SAW. Adalah melalui tiga tahapan, yaitu:
1.
Al-quran turun secara sekaligus dari allah ke lauh
al-mahfuzh, yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan
dan kepastian allah. Proses pertama ini diiyaratkan dalam Q.S. Al-Buruj
(85) ayat 21-22. Artinya: bahkan yang didustakan mereka ialah al-quran yang
mulia. Yang tersimpan dalam lauh al- mahfuzh. (Q.S. Al-Buruuj:21.22)
2.
Al-quran diturunkan dari lauh al-mahfuzh ke bait
al-izzah (tempat yang ada di langit dunia). Proses kedua ini diisyaratkan
allah dalam surat Al-Qadar (97) ayat 1. Artinya: Sesungguhnya kami Telah
menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. (Q.S. Al-Qadar:1)
3.
Al-quran diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati nabi
dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Ada kalanya satu ayat,
dua ayat, dan bahkan kadang-kadang satu surat. Mengenai proses turun dalam
tahap ketiga diisyaratkan dalam Q.S Asy-Syu’ara’ (26) ayat 193-195. Artinya:
Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar
kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,
Dengan bahasa Arab yang jelas.(Q.S. Asy-Syu’ara’:193.195)
Al-Quran diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW. Melalui Malaikat Jibril, tidak secara sekaligus, melainkan turun
sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, sering wahyu turun untuk menjawab pertanyaan
para sahabat yang dilontarkan kepada nabi atau untuk membenarkantindakan Nabi
SAW. Di samping itu, banyak pula ayat atau surat yang diturunkantanpa melalui
latar belakang pertanyaan atau kebijakan tertentu.
Dalam kenyataan tersebut terkandung
hikmah dan faedah yang besar, sebagaimana dijelaskan dalam al-quran
surat al-furqon (25) ayat 32.
Artinya: Berkatalah orang-orang yang
kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun
saja?"; demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami
membacanya secara tartil (teratur dan benar). (Q.S.Al-Furqon:32) (5)
B.
Hikmah Turunnya Al-Quran.
Hikmah atas rahasia al-quran diturunkan berangsur-angsur adalah
sebagai yang dijelaskan oleh Abu Syamah dalam antara lain-Murzidul Wajis,
sebagai berikut:
“Bila orang menanyakan, apakah rahasia yang terkandung dalam
menurunkan al-quran berangsur-angsur dan mengapa tidak
sekaligus semuanya sebagai kitab-kitab samawi yang lain?” Maka kami menjawab: “
pertanyaan ini telah dijawab allah SWT dalam firmannya.” (Q.S. Al-Furqon) ayat 32.
Wahyu itu diturunkan pada tiap-tiap waktu ada kejadian, teguhlah
hati menerimanyadan mereka tidak jemu. Dengan pula demikian, malaikat yang
membawanya akan berulang-ulang datang mengunjungi nabi. Hal yang serupa ini
membangun kegembiraan dan kesenangan hati yang tak berbeda-beda, karena dengan
demikian nabi selalu mendapat kiriman dari allah, dan selalu merasa gembira
karenanya. Inilah sebabnya nabi terlalu murah hatinya dibulan-bulan ramadhan,
karena dibulan-bulan itulah jibril selalu datang kepada nabi (6).Masih banyak
hikmah diturunkannya al-quran secara berangsur-angsur, antara lain sebagai
berikut:
1.
Memantapkan hati nabi, Ketika menyampaikan dakwah, nabi sering
berhadapan dengan para penentang. Turunnya wahyu yang
berangsur-angsur itu merupakan dorongan tersendiri bagi nabi untuk terus
menyampaikan dakwahnya.
2.
Menentang dan melemahkan para penentang al-quran, Nabi sering
berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang dilontarkan orang-orang
musyrik dengan tujuan melemahkan nabi. Turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu
tidak saja menjawab pertanyaan itu, bahkan menentang mereka untuk membuat
sesuatu yang serupa dengan al-quran. Dan ketika mereka tidak mampu memenuhi
tantangan itu, hal itu sekaligus merupakan salah satu mukjizat al-quran.
3.
Memudahkan untuk dihapal dan dipahami, Al-Quran pertama kali turun
di tengah-tengah masyarakat arab yang ummi, yakni yang tidak memiliki
pengetahuan tentang bacaan dan tulisan. Turunnya wahyu secara berangsur-angsur
memudahkan mereka untuk memahami dan menghapalkannya.
4.
Mengikuti setiap kejadian ( yang karenanya ayat-ayat al-quran
turun) dan melakukan penahapan dalam penetapan syari’at.
5.
Membuktikan dengan pasti bahwa al-quran turun dari allah yang maha
bijaksana7.
FOOTNOTE
(5) Rosihon. Anwar, Ulumul Quran, (Bandung :
Pustaka Setia, 2013.), hlm. 34-36
(6) Moh. Chotib, Buku Ajar Ulumul
Quran, ( Pamekasan : Pustaka STAIN Pamekasan, 2006.), hlm. 11-12
(7) Rosihon. Anwar, Ulumul Quran, (Bandung :
Pustaka Setia, 2013.), hlm. 36-37
(1)
Usman.ulumul
quran ( Yogyakarta: TERAS: 2009), hlm. 37
(2)
Abdul
Djala H.A, Ulumul Qur’an Edisi Lengkap, Surabaya : Dunia Ilmu, 2000, hlm,
50.
(3)
Ahmad
Syadali dan Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an 1 Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen
MKDK, Bandung: Pustaka Setia, 1997, hlm. 31
Kelompok....10
ASBABUN NUZUL
A.
Pengertian Asbabun Nuzul
Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dari kata “asbab” jamak dari “sababa” yang artinya sebab-sebab,
nuzul yang artinya turun. Yang dimaksud disini adalah ayat al-Qur’an. Asbabun
nuzul adalah suatu peristiwa atau saja yang menyebabkan turunnya ayat-ayat
al-Qur’an baik secara langsung atau tidak langsung.
Secara garis besarnya, sepanjang
kenabian Muhammad SAW, paling tidak ada 2 pembagian asbabul nuzul (sebab
turunnya) Al-Qur’an. Pertama, dikatakan bahwa ada sebagian besar
Al-Qur’an ini yang turunnya ibtida’i artinya turun tanpa sebab. Jenis
yang kedua, dimana Al-Qur’an itu turun berdasarkan satu sebab, nuzul bi
sabab.
Ada tiga defenisi yang dikemukakan oleh ahli tafsir tentang Asbabun
Nuzul:[1]
1.
Menurut Az-Zarqani, “Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu
yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi
sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
2.
Peristiwa-peristiwa pada masa Al-qur’an itu diturunkan (yaitu dalam
waktu 23 tahun), baik peristiwa itu terjadi sebelum atau sesudah ayat itu
diturunkan.
3.
Subhi Shalih, “Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab
turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu
peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum
ketika peristiwa itu terjadi”.
Asbabun Nuzul tidak bisa diketahui semata-mata dengan akal (rasio),
tidak lain mengetahuinya harus berdasarkan riwayat yang shahih dan didengar
langsung dari orang-orang yang mengetahui turunnya Al-Qur’an, atau dari
orang-orang yang memahami Asbabun Nuzul, lalu mereka menelitinya dengan cermat,
baik dari kalangan sahabat, tabi’in atau lainnya dengan catatan pengetahuan
mereka diperoleh dari ulama-ulama yang dapat dipercaya.
Ibnu Sirin mengatakan “saya pernah bertanya kepada Abidah tentang
satu ayat Al-Qur’an, beliau menjawab; Bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah
yang benar sebagaimana orang-orang yang mengetahui di mana Al-Qur’an turun” Salah
satu cara mengetahui Ababun Nuzul berupa riwayat yang shahih adalah apabila
perawi sendiri menyatakan lafazh sebab secara tegas, dalam hal ini merupakan
nash yang nyata.
C.
Sebab-sebab turunnya Ayat (Asbabun Nuzul).
Mengutip pengertian dari Subhi al-Shaleh kita dapat mengetahui
bahwa asbabun nuzul ada kalanya berbentuk peristiwa atau juga berupa
pertanyaan, kemudian asbabun nuzul yang berupa peristiwa itu sendiri terbagi
menjadi 3 macam:[3]
1.
Peristiwa berupa pertengkaran. Seperti kisah turunnya surat Ali
Imran : 100Yang bermula dari adanya perselisihan
oleh kaum Aus dan Khazraj hingga turun ayat 100 dari surat Ali
Imran yang menyerukan untuk menjauhi perselisihan. “ Hai orang-orang yang
beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab,
niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu
beriman.”
2.
Peristiwa berupa kesalahan
yang serius, Contoh : Saat itu ada seorang Imam sholat dalam keadaam
mabuk, sehingga salah mengucapkan surat Al-Kafirun, dan kemudian turunlah surat
An-Nisa’ dengan Perintah untuk menjauhi sholat dalam keadaan mabuk.
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan....”
Ini dicontohkan dari sebagian
sahabat Rosulullah yang mempunyai 3 cita-cita besar dan salah satunya adalah
permintaan Umar kepada Rosulullah tentang maqam Ibrahim.
والتخذ وامن مقام ابراهيم مصلّى
Sedangkan peristiwa yang berupa
pertanyaan dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
1. Pertanyaan tentang masa lalu
seperti :
وَيَسْأَلُونَكَ عَن ذِي الْقَرْنَيْنِ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُم
مِّنْهُ ذِكْراً
“Mereka akan bertanya kepadamu
(Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu
cerita tantangnya". (QS. Al-Kahfi: 83)
2. Pertanyaan yang berhubungan
dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu seperti ayat:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي
وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً
“Dan mereka bertanya kepadamu
tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah
kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra’ : 85)
3. Pertanyaan tentang masa yang akan
datang
“(orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari
kebangkitan, kapankah terjadinya?”
Sebab turunnya ayat bisa ditinjau dari berbagai aspek. Jika
ditinjau dari bentuknya, sebab asbabun nuzul dapat dibagi menjadi dua bentuk,
seperti telah diterangkan di permulaan bab ini. Yang pertama berbentuk
peristiwa dan yang kedua berbentuk pertanyaan.
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, sebab al-nuzul dapat
dibagi kepadata’addud al-asbab wa al-nazil wahid (sebab turunnya lebih
dari satu dan inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat
yang turun satu) dan ta’addud al-nazil wa al-sahab wahid (inti
persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari
satu sedangkan sebab turunnya satu)
E.
Satu ayat dengan banyak sebab
Para mufasir menyebutkan turunnya ayat yang mempunyai beberapa
sebab, maka jika di temukan dalam satu ayat tersebut, maka salah satu mufasir
berkata ayat ini turun mengenai urusan ini sedangkan riwayat lain menyebutkan
asbabun nuzul dengan tegas dan riwayat yang tidak tegas, termasuk didalam hukum
ayat "istri-istri mu ibarat kamu tempat bercocok tanam" sementara itu
orang islam menyebutkan sebab nuzul yang bertentangan dengan riwayat melalui
jabir, orang yahudi berkata "jika seorang laki-laki mendatangi istrinya
dari belakang, maka anaknya bermata juling" jika suatu ayat disebutkan sebab
dan sebab yang lain itu shoheh maka yang di jadikan pegangan adalah riwayat
yang shoheh riwayat dari bokhori muslim dan hadist yang lainya dari humdan al
bunawi nabi menderita sakit hingga dua hari dua malam kemudian datang seorang
perempuan kepadanya dan berkata : "hai Muhammad kurasa setanmu sudah tak
mendekatimu ,selama dua ,tiga malam ini sidah tidak mendekatimu lagi."
maka Allah menurunkan ayat demi waktu dhuha dan demi malam apabila setelah
sunyi tuhan mu tiada meninggalmu dan tidaklah membencimu.[6]
F.
Banyaknya ayat dengan satu sebab.
Terkadang banyak ayat yang turun, sedangkan sebabnya hanya
satu. Dalam hal ini tidak ada masalah yang cukup penting, karena itu banyak
ayat yang turun di dalam berbagai surat berkenaan dengan suatu peristiwa.
Contohnya adalah ayat yang menjelaskan akan larangan meminum khamar, ayat-ayat
yang membahas ini adalah Qs Al-Nahl (16):67, Qs Al-Baqarah (2):219, Qs
An-Nisa’(4):4, Qs Al-Maidah(5):90-91.[7] “mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi.
Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang
lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir. Kemudian turun ayat An-Nisa’ pada saat seorang
imam yang sholat dalam keadaan mabuk, sebagaimana yang sudah dijelaskan pada
penjelasan sebelumnya. Allah SWT melarang seorang sholat dalam keadaan mabuk.
Sesuai dengan surat An-Nisa (4):43, 43. Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan,..
G.
Beberapa ayat yang turun mengenai satu orang.
Terkadang seorang sahabat mengenai peristiwa lebih dari satu
kali dan Al–Qur'an turun mengenai satu peristiwa, maka dari itu kebanyakan
Al-Qur’an turun sesuai dengan peristiwa yang terjadi, misalnya seperti apa yang
di riwayatkan oleh bukhori dalam kitab Al-adahi mufiat tentang berbakti kepada
orang tua, dari saad bin abi waqos ada empat ayat Al-Qur’an turun berkenaan
dengan aku:
1.
ketika ibuku bersumpah dia tidak akan makan dan minum sebelum aku
meninggalkan Muhammad lalu allah menurunkan ayat, " dan jika memaksamu
untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergilah keduanya di dunia
dengan baik (luqman:15).
2.
ketika aku mengambil sebuah pedang dan mengaguminya maka aku
berkata kepada rosullullah, ''berikan aku pedang ini'' maka turunlah ayat.
Mereka bertanya kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang (Al-Anfal:01).
3.
ketika aku sedang sakit Rosullullah mengunjungiku dan aku bertanya
kepada beliau: ''Rosullullah aku ingin membagikan hartaku, bolaehkah aku
mewasiatkan separuh nya?'' beliau menjawab: ''tidak'' aku bertanya: ''bagaimana
jika sepertiganya?'' Rosullullah diam. maka wasiat dengan sepertiga harta itu
diperbolehkan.
4.
ketika aku sedang minum minuman keras (khomr) bersama kaum ansor ,
seorang memukul hidungku dengan tulang rahang unta, lalu aku datang kepada
rasullulloh , maka Allah SWT melarang minum khomr. Dalam hal ini telah turun
wahyu yang sesuai dengan banyak ayat.
H.
Faedah (manfaat) dari mempelajari Asbabun Nuzul.
Berdasarkan pendapat Ibnu Taimiyah, beliau “mengetahui sebab
turunnya ayat-ayat Al-Qur’an akan membantu seseorang itu memahami kandungan
makna dan kejelasan ayat-ayat tersebut. Mengetahui Asbabun Nuzul sangat
besar pengaruhnya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Berikut faedah atau manfaat dari mempelajari Asbabun Nuzul:[8]
1. Dapat
mengetahui hikmah disyari’atkannya hukum. Imam Al-Wahidi mengatakan, ”Tidak
mungkin orang bisa mengetahui tafsir suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan
penjelasan mengenai turunnya lebih dahulu”.
2. Kekhususan
hukum disebabkan oleh sebab tertentu. Ibnu Taimiyyah mengatakan, ”Mengetahui
asbabun nuzul sangat membantu untuk memahami ayat. Sesungguhnya dengan
mengetahui sebab akan mendapatkan ilmu musabbab”.
3. Mengetahui
nama orang, dimana ayat diturunkan berkaitan dengannya, dan pemahaman ayat
menjadi lebih jelas.
FOOTNOTE
[1] Drs. Abu
Anwar, M.Ag, Ulumul qur’an,(Pekan Baru:Amzah,2009),hal 29.
[2] Mohammad
Aly Ash Shabuny, Pengantar Study Al-Qur’an,(Bandung:PT.Alma’arif,1996),hal
46.
[3] Ibid,hal
30.
[4] Sukardi
K.D,Belajar mudah ‘Ulum Al-Qur’an,(Jakarta:PT.LENTERA
BASTRITAMA,2002), Hal 130
[5] Drs. H.
Ramli Abdul Wahid,M.A, Ulumul Qur’an, (Jakarta:PT RajaGrafindo
Persada,1994), hal 38.
[7] Drs.H.Ramli
Abdul Wahid, op.cit.hal 53-56
[8] Op.cit,Drs
Abu Anwar,M.Ag,hal 35.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....11
MAKIYYAH DAN MADANIYAH
A.
Pengertian Makkiyah dan Madaniyah
Para sarjana muslim mengemukakan empat perspektif dalam
mendefinisikan terminologi makkiyah dan madaniyah. Keempat perspektif itu
adalah :
1. Masa
turun
(zaman an-nuzul)
2. Tempat
turun
(makan an-nuzul)
3. Objek
pembicaraan (mukhathab)
4. Tema
pemmbicaraan (maudu’)
1.
Dari perspektif masa turun, mereka mendefinisikan kedua
terminologi di atas sebagai berikut :.
“Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum
rasulullah hijrah ke madinah, kendatipun bukan turun di mekah, sedangkan
madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah rasulullah hijrah ke madinah,
kendatipun bukan turun di madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa
hijrah disebut madaniyyah walaupun turun di mekah atau di arafah.”
Dengan demikian, surat an-nisa’ [4]:
58 termasuk kategori madaniyyah kendatipun diturunkan di mekah, yaitu pada
peristiwa terbukanya kota mekah (fath makkah). Begitu pula, surat al-maidah
[5]: 3 termasuk kategori madaniyyah kendatipun tidak diturunkan di madinah
karena ayat itu diturunkan pada peristiwa haji wada’.
2.
Dari perspektif tempat turun, mereka mendefinisikan kedua
terminologi di atas sebagai berikut :
“Makkiyah adalah ayat-ayat yang
turun di mekah dan sekitarnya seperti mina, arafah, dan hudaibiyyah, sedangkan
madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun di madinah dan sekitarnya, seperti Uhud,
Quba’ dan Sul’a” Terdapat celah kelemahan dari pendefnisian di atas sebab
terdapat ayat-ayat tertentu, yang tidak di turunkan di Makkah dan
di Madinah dan sekitarnya.
Misalnya surat At-Taubah [9]:
42 diturunkan di Tabuk, surat Az-Zukhruf [43]: 45 diturunkan di
tengah perjalanan antara Makkah dan Madinah. Kedua ayat tersebut,
jika melihat definisi kedua, tidak dapat dikategorikan ke dalamMakkiyyah
dan Madaniyyah.
3.
Dari objek pembicaraan, mereka mendefinisikan kedua
terminologi di atas sebagai berikut :
Artinya :“Makkiyah adalah ayat-ayat
yang menjadi khitab bagi orang-orang Makkah. SedangkanMadaniyyah adalah
ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orangMadinah”
Pendefinisian diatas dirumuskan para
sarjana muslim berdasarkan asumsi bahwa kebanyakan ayat al-qur’an dimulai
dengan ungkapan “ya ayyuhan naas” yang menjadi kriteria Makkiyah, dan ungkapan
“ya ayyuha al-ladziina” yang menjadi kriteria Madaniyyah. Namun, tidak
selamanya asumsi ini benar. Surat Al-Baqarah [2], misalnya, termasuk kategori
Madaniyyah, padahal di dalamnya terdapat salah satu ayat, yaitu ayat 21 dan
ayat 168, yang dimulai dengan ungkapan “ya ayyuhan naas”. Lagi pula, banyak
ayat al-quran yang tidak dimulai dengan 2 ungkapan di atas.
4.
Dari tema pembicaraan, mereka akan mendefinisikan kedua
terminologi lebih terinci.
Kendatipun
mengunggulkan pendefinisian Makkiyyah danMadaniyyah dari perspektif masa
turun, subhi shahih melihat komponen-komponen serupa dalam tiga pendefinisian.
Pada ketiga versi itu terkandung komponen masa tempat dan orang. Bukti lebih
lanjut dari tesis shahih di atas bisa dilihat dalam kasus
surat Al-Mumtahanah [60]. Bila dilihat dari perspektif tempat turun, surat
ini termasukMadaniyyah karena diturunkan sesudah peristiwa hijrah. Akan tetapi,
dalam perspektif objek pembicaraan, surat itu termasukMakkiyah karena menjadi
khitab bagi orang-orang mekah. Oleh karena itu, para sarjana muslim memasukkan
surat itu kedalam “ma nuzila bi al Madinah wa hukmuhu Makki ” (ayat-ayat
yang di turunkan di Madinah, sedangkan hukumnya termasuk ayat-ayat yang
diturunkan di Mekah). [1]
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa
Makkiyyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah SWT
sebelum hijrah ke Madinah, walaupun ayat tersebut turun di sekitar / bukan di
kota Makkah, yang pembicaraannya lebih ditujukan untuk penduduk Makkah.
Sedangkan Madaniyyah adalah
ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya walaupun turunnya
di Makkah, dan pembicaraannya lebih ditujukan untuk penduduk Madinah.
B.
Sejarah Perkembangan Maakkiyah dan Madaniyyah
Dikalangan ulama terdapat beberapa pendapat tentang dasar atau
kriteria yang dipakai untuk menentukan Makkiyyah dan Madaniyyah suatu surat
atau ayat.
Sebagian ulama menetapkan lokasi
turunnya ayat-ayat atau surat sebagai dasar penentuan Makkiyyah dan Madaniyyah,
sehingga mereka membuat definisi Makkiyyah dan Madaniyyah sebagai berikut:
Yang diartikan sebagi
berikut: “Makiyah ialah yang diturunkan dimakkah sekalipun turunnya
sesudah hijrah, madaniyah ialah yang diturunkan di madinah”
Agak sulit memang melacak dan
mengidentifikasi secara pasti ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah karena urutan
tata tertib ayat tidak mengikuti kronologi waktu turunnya ayat tetapi
berdasarkan petunjuk nabi. Lagi pula pada mushaf usmani yang menjadi acuan
sejak semula disusun mengikuti petunjuk nabi.
Koleksi mushaf para sahabat yang
diantaranya ada yang ditulis berdasarkan turunnya ayat, semuanya sudah dibakar
setelah tim penyusun al-Quran yang dibentuk Usman bin Affan menyelesaikan
tugasnya. Jadi pembakaran mushaf tersebut bisa juga berarti sebagai kerugian
intelektual, karena dengan demikian menjadi sulit melacak kronologi ayat
berdasarkan waktu turunnya. [2]
C.
Perbedaan Makkiyah dan Madaniyyah
1.
Ciri-ciri khusus surat makkiyah
a. Mengandung
ayat sajdah (Al-A’raf : 206, A-Nahl : 149, An-Nahl : 50, Al-Isra’ : 107,
Al-Isra’ : 108, Al-isra’ : 109, Maryam : 85, Al-Furqan : 60.)
b. Terdapat
lafal kalla sebagian besar ayatnya (Al-Humazah :4)
كلا لينبذن فى الحطمة
c. Terdapat
seruan dengan ya ayyuhannasu contonhya dalam surat Yunus : 57,
يايهاالناس قدجاءتكم موعظة
من ربكم وشفاءلما فى الصدور وهدى ورحمة للمؤمنين
d. Mengandung
kisah nabi-nabi dan umat-umat yang telah lalu, kecuali surat Al-Baqarah (surat
Al-A’raaf : kisah Nabi Adam dengan iblis, kisah Nabi Nuh dan kaumnya, kisah
Nabi Shalih dan kaumnya, kisah Nabi Syu’aib dan kaumnya, kisah Nabi Musa dan
Firaun).
e. Terdapat
kisah adam dan iblis.[3]
Contohnya dalam surat Al-A’raf : 11
yang artinya : “sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (adam), lalu kami
bentuk tubuhmu, kemudian kami katakana kepada malaikat : bersujudlah kamu
kepada adam. Maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk
mereka yang bersujud.”
f. Setiap
suratnya terdapat Sujud Tilawah, sebagian ayat-ayatnya.
g. Semua
atau sebagian suratnya diawali huruf tahajji seperti Qaf (ق (, Nun ( ن ), Kha Mim (حم ) contonya (ص) dalam surat Shaad : 1
h. Ayat-ayatnya
dimulai dengan huruf terpotong-potong (al-ahraf al-muqatha’ah ataufawaatihussuwar),
seperti “الم(surat Ar-Rum :1), الر (surat Hud :1),هم “, kecuali Q.S
Al-Baqoroh dan Ali ‘Imron.[4]
2.
Ciri-ciri surat makkiyah yang aghlaniyah (umum).
a.
Ayat-ayatnya pendek, surat-suratnya pendek (An-Nass 6 ayat,
Al-Ikhlas 4 ayat, Al-Falaq 5 ayat, Al-Lahab 5 ayat), nada perkataannya keras
dan agak bersajak (surat Al-Ashr).
b.
Mengandung seruan pokok-pokok iman kepada Allah, hari akhir dan
menggambarkan keadaan surga dan neraka.
c.
Menyeru manusia berperagai mulia dan berjalan lempang di atas jalan
kebajikan (An-Nahl, = akhlak-akhlak baik)
d.
Mendebat orang-orang musyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan
pendirian mereka (surat Al-Kahfi ayat 102-108)
3.
Ciri-ciri khusus surat madaniyyah.
a.
Di dalamnya ada izin berperang atau ada penerangan tentang hal perang
dan penjelasan tentang hukum-hukumnya. (QS. Al-Ahzab = tentang perang
ahzab / khandaq).
b.
Di dalamnya terdapat penjelasan bagi hukuman-hukuman tindak pidana,
fara’id, hak-hak perdata, peraturan-peraturan yang bersangkut paut dengan
bidang keperdataan, kemasyarakatan dan kenegaraan. (QS. An-Nur = tentang
hukum-hukum sekitar masalah zina, li’an, adab-adab pergaulan di luar dan di
dalam rumah tangga. QS. Al-Ahzab = tentang hukum zihar, faraid)
c.
Di dalamnya tersebut tentang orang-orang munafik (surat An-Nur
ayat 47-53 tentang perbedaan sikap orang-orang munafik dengan sikap orang-orang
muslim dalam bertakhim kepada Rasul)
d.
Di dalamnya didebat para ahli kitab dan mereka diajak tidak
berlebih-lebihan dalam beragama, seperti terdapat dalam surat Al-Baqarah, An-Nisa’,
Ali Imran, At-Taubah dan lain-lain.[6]
4.
Ciri-ciri surat madaniyyah yang aghlaniyah (umum)
a.
Suratnya panjang-panjang, sebagian ayatnya pun panjang serta jelas
menerangkan hukum (QS. Al-Baqarah surat dan ayatnya panjang, dan
didalamnya terdapat hukum haji dan umrah, hukum qishas, hukum merubah
kitab-kitab Allah, hukum haid, iddah, hukum bersumpah, hukum arak dan judi).
b.
Menjelaskan keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang menunjukkan
kepada hakikat-hakikat keagamaan.
D.
Beberapa Contoh Ayat Makkiyah dan Madaniyah
Diantaranya :
1
|
Al-‘Alaq
|
47
|
An-Naml
|
2
|
Al-Qolam
|
48
|
Al-Qoshash
|
3
|
Al-Muzzammil
|
49
|
Al-Isro’
|
4
|
Al-Muddatstsir
|
50
|
Yunus
|
5
|
Al-Fatihah
|
51
|
Hud
|
6
|
Al-Lahab
|
52
|
Yusuf
|
7
|
At-Takwir
|
53
|
Al-Hir
|
8
|
Al-A’la
|
54
|
Al-An’am
|
9
|
Al-Lail
|
55
|
Ash-Shaffat
|
10
|
Al-Fajr
|
56
|
Luqman
|
11
|
Ad-Dhuha
|
57
|
Saba’
|
12
|
Al-Insyiroh
|
58
|
Az-Zumar
|
13
|
Al-Ashr
|
59
|
Ghofir
|
14
|
Al-Adiyat
|
60
|
Fushshilat
|
15
|
Al-Kautsar
|
61
|
Asy-Syura
|
16
|
At-takatsur
|
62
|
Az-Zukhruf
|
17
|
Al-Ma’un
|
63
|
Ad-Dukhan
|
18
|
Al-Kafirun
|
64
|
Al-Jatsiah
|
19
|
Al-Fiil
|
65
|
Al-Ahqof
|
20
|
Al-Falaq
|
66
|
Al-Adzariyat
|
21
|
An-Nas
|
67
|
Al-Ghosiyah
|
22
|
Al-Ikhlas
|
68
|
Al-Kahfi
|
23
|
An-Najm
|
69
|
An-Nahl
|
24
|
‘Abasa
|
70
|
Nuh
|
25
|
Al-Qodar
|
71
|
Ibrahim
|
26
|
Asy-Syams
|
72
|
Al-Anbiya’
|
27
|
Al-Buruj
|
73
|
Al-Mu’minun
|
28
|
At-Tiin
|
74
|
As-Sajadah
|
29
|
Al-Quroisy
|
75
|
At-Thur
|
30
|
Al-Qori’ah
|
76
|
Al-Mulk
|
31
|
Al-Qiyamah
|
77
|
Al-Haqqoh
|
32
|
Al-Humazah
|
78
|
Al-Ma’arij
|
33
|
Al-Mursalat
|
79
|
An-Naba’
|
34
|
Qaf
|
80
|
An-Nazi’at
|
35
|
At-Thoriq
|
81
|
Al-Balad
|
36
|
Al-Qomar
|
82
|
Al-Infithor
|
37
|
Shad
|
83
|
Al-Insyiqoq
|
38
|
Al-A’rof
|
84
|
Ar-Rum
|
39
|
Jinn
|
85
|
Al-Ankabut
|
40
|
Yasin
|
86
|
Al-Muthoffifin
|
41
|
Al-Furqon
|
87
|
Al-Zalzalah
|
42
|
Fathir
|
88
|
Ar-Rod
|
43
|
Maryam
|
89
|
Ar-Rohman
|
44
|
Thoha
|
90
|
Al-Insan
|
45
|
Al-Waqiah
|
91
|
Al-Bayyinah
|
46
|
Asy-Syu’ara
|
2. Madaniyah[8]
Diantaranya :
1
|
Al-Baqoroh
|
13
|
Ali-Imron
|
2
|
Al-Anfal
|
14
|
Al-Ahzab
|
3
|
Al-Mumtahanah
|
15
|
Al-Hujurat
|
4
|
An-Nisa’
|
16
|
At-Tahrim
|
5
|
Al-Hadid
|
17
|
At-Taghabun
|
6
|
Al-Qital
|
18
|
As-Shaf
|
7
|
At-Tholaq
|
19
|
Al-Jumuah
|
8
|
Al-Hasr
|
20
|
Al-Fath
|
9
|
An-Nur
|
21
|
Al-Maidah
|
10
|
Al-Hajj
|
22
|
At-Taubah
|
11
|
Al-Munafiqun
|
23
|
An-Nashr
|
12
|
Al-Mujadilah
|
E.
Fungsi Memahami Ilmu Makkiyah dan Madaniyah
An-Naisaburi dalam
kitabnya At-Tanbih ‘ala Fadhl Ulum Al-Quran, memandang subjek
makkiyah dan madaniyyah sebagai ilmu Al-Quran yang paling utama. Sementara itu
, Manna’ Al-Qaththan mencoba lebih jauh lagi dalam mendeskripsikan urgensi
mengetahui makkiyah dan madaniyyah sebagai berikut.
1.
Membantu dalam menafsirkan Al-qur’an
Pengetahuan tentang
peristiwa-peristiwa di seputar turunnya Al-Qur’an tentu sangat membantu dalam
memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, kendatipun ada teori yang
mengatakan bahwa yang harus menjadi patokan adalah keumuman redaksi ayat dan
bukan kehususan sebabin. Dengan mengetahui kronologis Al-Quran pula, seorang
mufassir dapat memecahkan makna kontradiktif dalam dua ayat yang berbeda, yaitu
dengan pemecahan konsepnasikh-mansukh yang hanya bisa diketahui melalui
kronologi Al-Quran.
2.
Pedoman bagi langkah-langkah dakwah
Setiap kondisi tentu saja memerlukan
ungkapan-ungkapan yang relevan. Ungkapan-ungkapan dan intonasi berbeda yang
digunakan ayat-ayat makkiyah dan ayat-ayat madaniyyah memberikan informasi
metodologi bagi cara-cara menyampaikan dakwah agar relevan dengan orang yang
diserunya. Oleh karena itu, dakwah Islam berhasil mengetuk hati dan
menyembuhkan segala penyakit rohani orang-orang yang diserunya. Di samping itu,
setiap langkah-langkah dakwah memiliki objek kajian dan metode-metode tertentu,
seiring dengan perbedaan kondisi sosio-kultural manusia. Periodisasi makkiyah dan
madaniyyah telah memberikan contoh untuk itu.
3.
Memberi informasi tentang sirah kenabian
Penahapan turunnya wahyu seiring
dengan perjalanan dakwah nabi, baik di mekah atau di madinah, dimulai sejak
diturunkannya wahyu pertama sampai diturunkannya wahyu terakhir. Al-Quran
adalah rujukan otentik bagi perjalanan dakwah nabi itu. Informasinya tidak bisa
diragukan lagi.
Mengetahui sejarah hidup nabi
melalui ayat-ayat Al-Quran, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan
dengan sejarah dakwah dan segala peristiwa yang menyertainya, baik pada periode
makkah maupun periode madinah, sejak turun iqra’ sampai ayat yang terakhir
diturunkan. Al-Quran adalah sumber pokok bagi hidup Rasulullah. Pola hidup
beliau harus sesuai dengan Al-Quran dan Al-Quran pun memberikan kata putus
terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan. [9]
Selain itu juga pengetahuan tentang
makkiyah dan madaniyah banyak membawa hikmah dan faedah serta kagunaan yang
bermacam-macam, antara lain sebagai berikut:
1. Mudah
diketahui mana ayat-ayat yang turun lebih dahulu dan mana ayat yang turun
belakangan dari kitab suci Al-Quran
2. Mudah
diketahui mana ayat-ayat Al-Quran yang hukum bacaannya telah dinaskh (dihapus
dan diganti) dan mana ayat-ayat yang menasakhkannya, khususnya bila ada dua
ayat yang menerangkan hukum sesuatu masalah, tetapi ketetapan hukumnya
bertentangan yang satu dari yang lain.
3. Mengetahui
dan mengerti sejarah pensyariatan hukum-hukum Islam (Taarikhut Tasyri’) yang
amat bijaksana dalam menetapkan peraturan-peraturan.
4. Mengetahui
hikmah disyariatkannya suatu hukum.
5. Mengetahui
perbedaan dan tahap-tahap dakwah Islamiah.
6. Mengetahui
perbedaan ushlub-ushlub (bentuk-bentuk bahasa) Al-Quran yang dalam surat-surat
makkiyah berbeda dengan yang ada dalam surat madaniyah.[10]
F.
Ayat-ayat Al-qur’an Diturunkan Di Luar Kota Makkah dan Madinah
1.
Ayat yang di bawa dari makkah ke madinah
Contohnya
ialah surat Al-A’la. HR. Al-Bukhari dari Al-Bara’ bin Azib yang mengatakan,
“orang yang pertama kali datang kepada kami di kalangan sahabat Nabi adalah
Mush’ab bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum keduanya membacakan Al-Quran kepada
kami. Sesudah itu datanglah Ammar, Bilal dan Sa’ad. Kemudian datang pula Umar
Bin Khattab sebagai orang yang kedua puluh. Baru setelah itu datanglah Nabi.
Aku melihat penduduk Madinah bergembira setelah aku membacasabbihismarabbikal
a’la dari antara surat yang semisal dengannya.” Pengertian ini cocok
dengan Al-quran yang dibawa oleh golongan muhajirin, lalu mereka ajarkan kepada
kaum anshar.
2.
Ayat yang di bawa dari madinah ke makkah
Contohnya
dari awal surat Baqarah, yaitu ketika Rasulullah SAW memerintahkan kepada Abu
Bakar untuk pergi haji pada tahun ke Sembilan. Ketika awal surat Baqarah turun,
Rasulullah memerintahkan kepada Ali bin Abi Thalib untuk membawa surat tersebut
kepada Abu Bakar, agar ia sampaikan kepada kaum musyrikin, maka Abu Bakar pun
membacakannya kepada mereka dan mengumumkan bahwa tahun ini tidak ada oseorang
musyrik pun yang boleh berhaji.
3.
Ayat yang turun di waktu dalam perjalanan
Mayoritas
ayat-ayat dan surat-surat Al-Quran turun pada saat Nabi dalam keadaan menetap.
Akan tetapi, karena kehidupan Rasulullah tidak pernah lepas dari jihad dan
peperangan di jalan Allah, maka wahyu pun turun juga dalam perjalanan tersebut.
Imam As-Suyuthi menyebutkan awal surat Al-Anfal yang turun di Badar setelah
selesai perang, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Sa’ad bin Abi
Waqqash.
Sedangkan ayatnya adalah sebagai
berikut
والذين يكنزون الذهب والفضة ولا ينفقونها فى سبيل الله
Diriwayatkan Ahmad dari Tsauban,
bahwa ayat tersebut turun ketika Rasulullah dalam salah satu perjalanan.
Juga awal surat Al-Hajj. At-Tirmidzi
dan Al-Haakim meriwayatkan dari Imran bin Hushain yang menyatakan “ketika turun
kepada Nabi ayat ‘wahai manusia, bertakwalah kepada tuhanmu, sesungguhnya
goncangan Hari Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar …sampai
dengan .. tetapi adzab Allah sangat kerasnya’ beliau sedang berada
dalam perjalanan.”
Begitu juga surat Al-Fath. Al-Hakim
dan yang lain meriwayatkan, dari Al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin
Al-Hakam, keduanya berkata “surat Al-Fath dari awal sampai akhir turun di
antara kota makkah dan madinah berkaitan dengan masalah perdamaian Hudaibiyah.”
Sebagian dari ayat Al-Quran tidak
hanya turun di kota makkah dan sekitarnya dan tidak pula di madinah dan
sekitarnya, seperti firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 42 dan pada surat
Az-Zukhruf ayat 45. Yang kedua ayat tersebut tidak turun di kota makkah dan
sekitarnya dan tidak pula di kota madinah dan sekitarnya. Menurut Ibnu
Katsir bahwa surat At-Taubah ayat 42 turun di tabuk, dan surat Az-Zukhruf ayat
45 diturunkan di abitul maqdis pada malam Isra’.[11]
4.
Ayat yang turun di Kota Arofah pada haji wada’[12]
Surat Al-Baqarah ayat : 281
وَاتَقُوا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ اِلَى اللهِ ثُم تُوَفى َكُلُ
نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ
“Dan peliharalah dirimu dari (azab
yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada
Allah. kemudian masing-masing diri diberi Balasan yang sempurna terhadap apa
yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”[13]
5.
Ayat yang turun di Kota Mina pada haji wada’
Surat Al-Maidah ayat : 3[14]“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,
dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.
pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka
barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[15]
FOOTNOTE
[1] Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an, bandung,Pustaka
Setia, 2008, hal:102-104.
[2] Quraish Shihab, Sejarah & Ulum Al-Quran,
bandung, Pustaka Firdaus, 1997, hal: 64.
[3]Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy,Ilmu-Ilmu Ulumul Quran,
Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2009, hal: 72.
[4] Jalaluddin Rakhmat. ‘Ulum Al-Quran,Bandung: 1431 H,
hal: 49.
[5] Ibid, hal: 73.
[6] Ibid, hal: 73-74.
[7] Quraish Shihab, Sejarah & Ulum
Al-Quran,Bandung, Pustaka Firdaus, 1997, hal : 65-67
[8] Ibid, hal : 67-69
[9] Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an, bandung,Pustaka
Setia, 2008, hal: 115-116
[10]http//www.jihadad.blogspot.com/p/mengenal-surat-makkiyah-dan.html.
Diakses pada tanggal 05-04-2015 pada pukul 18:30
[11] Syeikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Al-Quran, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2006, hlm: 67-71.
[13] Abdullah bin Abdul Aziz Ali Sa’ud, Al Qur’an dan
Terjemahnya, Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Pentafsir Al Qur’an,
1971, hal : 70
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....12
NASIK DAN MANSUK
A.
Pengertian Nasikh dan Mansukh dan Syarat-Syaratnya
Nasikh menurut bahasa memilki dua arti yaitu: hilangkan dan
hapuskan. Misalnya dikatakan nasakhat asy-syamsu azh-zhilla, artinya
matahari menghilangkan bayang-bayang dannasakhat ar-rih atsara al-masyyi,
artinya angin menghapuskan jejak langkah kaki. Kata naskh juga dipergunakan
untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain.
Misalnya:nasakhtu al- kitab, artinya, saya menyalin isi kitab. Didalam Al-quran
dikatakan:
هَٰذَا كِتَابُنَا يَنْطِقُ عَلَيْكُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّا
كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: “ Sesunguhnya kami menyuruh untuk menasakhkan apa dahulu
kalian kerjakan.” (Al-jatsiyah:29).
Maksudnya, kami (Allah) memindahkan
amal perbuatan kedalam lembaran-lembaran catatan amal.
Sedangkan menurut
istilah nakh ialah “mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan
dalil hukum syara’ yang lain.” Disebutkan disini kata “hukum”, menunjukkan
bahwa prinsip “segala sesuatu hukum asalnya boleh” (Al-Bara’ah
Al-ashliyah) tidak termasuk yang di naskh. Kata-kata “dengan dalil hukum
syara’” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum yang disebabkan kematian
atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas. Contohnya:
وَ ِللهِ الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ
وَجْهُ اللهِ إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah
timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[83].
Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui. Disitulah wajah
Allah” (QS. Al-Baqarah [2] : 115.)
Kemudian di nasakh oleh ayat:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya: “maka palingkanlah mukamu
ke arah masjidil haram....”(QS. Al-Baqarah:144)
Ada yang berpendapat inilah yang
benar, bahwa ayat pertama tidak dinaskh sebab ia berkanaan dengan
sholat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan diatas kendaraan, juga dalam
keadaan takut dan daruarat. Dengan demikian, hkum ayat ini tetap berlaku,
sebagaimana dijelaskan dalam Ash-Shahihain. Sedang ayat kedua
berkenaan dengan sholat fardlu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini
menasakh perintah kehadap Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
Sedangkan pengertian mansukh adalah hukum yang diangkat atau
dihapuskan. Maka
ayat mawarits(warisan) atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya
adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau
kerabat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
a. Hukum yang mansukh
adalah hukum syara’
b. Dalil
penghapusan hukum tersebut adalahkhitab syar’i yang datang lebih kemudian
hari khitab yang hukumnya di mansukh
c. Khitab yang
dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu
tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan
berakhiranya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Makki berkata: “segolongan Ulama
menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas tertentu,
seperti firman Allah: “Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah
mendatangkan perintah-Nya” (QS. Al-Baqarah;109), adalahmuhkam, tidak mansukh, sebab
ia dikaitkan dengan batas waktu, dan sesuatu yang dibatasi oleh waktu tidak
ada naskh di dalamnya.
B.
Sejarah Nasikh dan Mansukh.
Asal mula timbulnya teori nasikh ialah bermula adanya ayat-ayat
yang menurut anggapan mereka saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.
Nasikh mansukh alam konteks eksternal agama yang lazim dikenal dengan
sebutan al-badadiperselisihkan dikalangan antar pemeluk agama.Penolakan
Yahudi dan Nasrani terhadap kemungkinan bada’ dan penerimaan kaum muslimin terhadap
naskh antar agama, pada dasarnya timbul karena adanya perbedaan paham ketiga
agama ini terhadap kenabian dan kitab sucinya. Yahudi dan Nasrani tidak
mengakui adanya naskh, karena menurut
mereka, naskh mengandung konsep al-bada’, yakni muncul
setelah tersembunyi. Maksudnya mereka adalah, naskh itu adakalanya
tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena suatu
kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil pula
bagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat
dibenarkan, sebab masing-masing
hikmah naskh dan mansukh telah diketahui oleh Allah labih
dahulu. Jadi pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru
muncul. Ia membawa hamba-hambaNya dari satu hukum ke hukum yang lain adalah karena
sesuatu maslahat yang telah diketahuiNya yang absolut terhadap segala milikNya.
Pengetahuan tentang Nasikh dan
Mansukh mempunyai manfaat besar, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi
kabur dan tidak terjadi kesalahpahaman. Oleh sebab itu, terdapat
banyak atsar yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Seperti yang
diriwayatkan Ali pada suatu hari, ia bertanya pada seorang hakim “Apakah kamu
mengetahui yang naskh dan yangmansukh?” “Tidak” jawab hakim itu.
Maka kata Ali, “Celakalah kamu dan kamupun akan mencelakakan orang lain.”
Untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh terdapat beberapa cara:
a. Keterangan
tegas dari Nabi
b. Ijma’
umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh
c. Mengetahui
mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan sejarah.
C.
Klasifikasi Nasikh dan Mansukh
a.
Naskh Al-qur’an dengan Al-qur’an(Naskhul Qur’aani bil Qur’aani), Bagian
ini dsiepakati kebolehannyaa dan telah terjadi di dalam pandangan mereka yang
mengatakan adanya naskh. Misalnya, ayat
tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari.
b.
Naskh Al-qur’an dengan As-Sunnah(Naskhul Qur’aani bis Sunnati)
Naskh ini ada dua macam:
1). Naskh
Al-qur’an dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, Al-qur’an tidak boleh
dinasakh oleh hadits ahad, sebab Al-qur’an adalah mutawattir dan menunjukkan
keyakinan, sedang hadits ahad itu zhanni, bersifat dugaan, disamping
tidak sah pula menghapusakan sesuatu yang maklum (jelas diketahui) dengan
yang mazhnun (diduga).
2). Naskh
Al-qur’an dengan hadits mutawattir. Naskh senacam ini dibolehkan oleh Malik,
Abu Hanifah, dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah
wahyu. Allah berfirman:
Artinya: “Dan Tiadalah yang
diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm 3-4)
Dalam pada itu Asy-syafi’i,
Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskhseperti ini,
berdasarkan firman Allah,
Artinya: “Ayat mana saja yang
Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui
bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. Al-Baqarah:106) Sedang
hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al-qur’an.
3).
Naskh sunah dengan Al-qur’an(Naskhus Sunnah bil Qur’aani) Naskh ini
menghapuskan hukum yang ditetapkan berdasarkan sunnah diganti dengan hukum yang
didasarkan dengan Al-qur’an. Naskh jenis ini diperbolehkan oleh jumhur Ulama’.
Contohnnya seperti berpuasa wajib pada hari Asy-Syura yang ditetapkan
berdasarkan sunnah juga dinasakh firman Allah:
Artinya: “Maka barang siapa
menyaksikan bulan Ramadlan hendaklah ia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah:185)[1]
Maksudnya, semula berpuasa hari
Asy-Syura itu wajib, tetapi setelah turun ayat yang mewajibkan puasa pada bulan
Ramadlan, maka puasa pada hari Asyura itu tidak wajib lagi, sehingga ada orang
yang berpuasa dan ada yang tidak.
4). Nasikh
sunah dengan sunah(Naskhus Sunnah bis Sunnah), Adapun menasakh ijma’ dengan
ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh keduanya, maka pendapat yang shohih
tidak membolehkannya.[2]
D.
Perbedaan antara Nasikh dan Mansukh
Adat Naskh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan
hukum yang telah ada. Nasikh yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang
telah ada. Pada hakikatnya Nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang
membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapusnya. Sedangkan Mansukh adalah hukum
yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan. Dan Mansukh ‘anh yaitu orang
yang dibebani hukum.
E.
Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh.
a.
Memelihara kepentingan hamba
b.
Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia
c. Cobaan
dan ujian bagi orangmukallaf untuk mengikutinya atau tidak
d. Menghendaki
kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal
yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih
kehal yang mengandung kemudahan dan keringanan.[3]
Pengetaguan yang benar terhadap teks
yang nasikh dan yang mansukh, disamping dapat membantu seseorang di dalam
memahami konteks diturunkannya sebuah teks,juga dapat mengetahui bagian mana
teks al-Qur’an yang turun lebih dahulu dan yang turun kemudian.Disisi lain,
pengetahuan terhadap fenomena ini juga akan memperteguh kekayaan kita bahwa
sumber Al-Qur’an yang hakiki adalah Allah. Sebab Dialah yang menghapuskan
sesuatu dan menetapkan yang lainnya menurtut kehendakNya dan kekuasaaNya tidak
dapat diintervensi oleh kekuatan apapun.[4]
F.
Pendapat tentang Nasikh dan Mansukh dan ketetapannya
Dalam masalah Naskh, para Ulama terbagi atas empat golongan:
1.
Orang Yahudi. Mereka tidak mangakui adanya Naskh, karena
menurutnya, Naskh mengandung konsep al-bada’, yakni Nampak jelas
setelah kabur (tidak jelas). Yang dimaksud mereka ialah, Naskh itu adakalanya
tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya Karena sesuatu hikmah
yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang
didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahilbagi-Nya. Cara berdalil
mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah Nasikh dan
Mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuannya tentang hikmah
tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari satu hokum
ke hukum yang lain adalah karena suatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh
sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap
segala milik-Nya.
Orang Yahudi sendiri mengakui bahwa
syari’at Musa menghapuskan syari’at sebelumnya. Dan dalam nas-nas Taurat pun
terdapat Naskh, sepert pengharaman sebagian binatang atas Bani Israil yang
semula dihalalkan. Berkenaan dengan mereka Allah berfirman:
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil
melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’kub) untuk dirinya
sendiri.” (QS. Ali Imran [3]:93)[5]
Ditegaskan dalam Taurat, bahwa Adam
menikah dengan saudara perempuannya. Tetapi kemudian Allah mengharamkan
pernikahan dengan demikian atas Musa, dan Musa memerintahkan Bani Israil agar
membunuh siapa saja di antara mereka yang menyembah patung anak sapi namun
kemudian perintah in idicabut kembali.
2.
Orang Syi’ah Rafidah, mereka sangat berlebihan dalam menetapkan
Naskh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai
suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka
sangat kontradiksi dengan orang Yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka
mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali
r.a.secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah:
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَاب
Artinya: “Allah menghapuskan apa
yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki).” (ar-Ra’d
[13]:39) dengan pengertian bahwa Allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan.
Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan
terhadap Qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapuskan segala
sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika
penetapannya mengandung maslahat. Disamping itu penghapusan dan penetapan
terjadi dalam banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dengan kebaikan.
3.
Abu Muslim al-Asfahani. Menurutnya, secara logika Naskh dapat saja
terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia
menolak sepenuhnya terjadi Naskh dalam Al-Qur’an. Pendapat Abu Muslim ini tidak
dapat diterima, karena makna ayat tersebut ialah, bahwa Qur’an tidak didahului
oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu
yang membatalkannya.
4.
Jumhur Ulama. Mereka berpendapat Naskh adalah suatu hal yang dapat
diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan
dalil-dalil:
a.
Perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung padahal alasan dan
tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya
pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan
hamba-hamba-Nya.
b.
Nas-nas kitab dan Sunah menunjukkan kebolehan Naskh dan terjadinya.
Antara lain:
1.
Firman Allah: “Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempa ayat
yang lain…” (QS.An-Nahl [16]:101)
2.
Dalam sebuah hadist shahih, dari Ibn Abbas r.a., umar r.a.berkata :
”Yang paling paham dan paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun
demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: “Aku
tidak akan meninggalkan sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari
Rasulullah SAW, padahal Allah telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami
Naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya…” (Al-Baqarah [2]:106)[6]
FOOTNOTE
[1] http://muslim.or.id/tafsir/tafsir-surat-al-baqarah-185.html
[2]Manna Khalil Al-Qattan, StudiIlmu-Ilmu
Qur’an,PustakaLiteraAntarNusa, Jakarta:2001.Hlm. 325-334.
[3]Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an,PustakaSetia, Bandung:
2000.Hlm.165-166.
[4] [4] Nor Ichwan, Memahami Bahasa
Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung: 2001.hlm.278.
[5] http://saifuddinasm.com/2013/01/23/ali-imran93-94-batalnya-yahudi-yang-mengharamkan-makanan/
[6]Manna Khalil Al-Qattan, Op.Cit. hlm.330-334.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....13
MUNASABAH AL-QUR’AN
A.
Definisi Munasabah.
Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa arab dari asal kata
nasaba-yunasibu-munasabahan yang berarti musyakalah (keserupaan)[1], dan muqarabah. Lebih jelas mengenai pengertian munasabah secara
etimologis disebutkan dalam kitab Al burhan fi ulumil Qur”an bahwa munasabah
merupakan ilmu yag mulia yang menjadi teka-teki akal fikiran, dan yang dapat
digunakan untuk mengetahui nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang di
ucapkan.
Sedangkan secara terminologis
definisi yang beragam muncul dari kalangan para ulama terkait dengan ilmu
munasabah ini. Imam Zarkasyi salah satunya, memaknai munasabah sebagai ilmu
yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan
lafal-lafal umum dan lafal lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait
dengan sebab akibat, illat dan ma’lul, kemiripan ayat pertentangan (ta’arudh).[2]
Manna Al-Qathan dalam mabahis fi
ulum Al-Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan munasabah dalam
pembahasan ini adalah segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain
dan satu ayat dengan ayat yang lain atau antara satu surat dengan surat yang
lain. Menurut M Hasbi Ash Shiddieq membatasi pengertian munasabah kepada
ayat-ayat atau antar ayat saja.
Dalam pengertian istilah, munasabah
diartikan sebagai ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat Al-Qur’an atau
dengan kalimat lain, munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali
rahasia hubungan antar surat atau ayat yang dapat diterima oleh akal. Dengan
demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia illahi, sekaligus
sanggahanya, bagi mereka yang meragukan Al-Qur’an sebagai wahyu.[3]
Sedangkan menurut para ulama :
1.
Menurut Manna’ al-Qattan
Manna’ al-Qattan dalam kitabnya
Mabahits fi Ulum al-Qur’an, munâsabah menurut bahasa disamping berarti
muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah ulum al-Qur’an
berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi
: Pertama, hubungan satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara
nama surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga, hubungan antara fawatih
al-suwar dengan isi surat; keempat, hubungan antara ayat pertama dengan ayat
terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan satu ayat dengan ayat yang lain;
keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam satu ayat;
ketujuh, hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan
antara penutup surat dengan awal surat. Jadi Menurut Manna’ Khalil Qattan :
“Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam satu ayat,
atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat didalam Al-Qur’an”.
2.
Menurut Imam al-Zarkasyi
Menurut Imam al-Zarkasyi kata
munâsabah menurut bahasa adalah mendekati (muqârabah), seperti dalam contoh
kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata nasib
adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika
keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat
(qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang
mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz
umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab
akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan
sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah
“menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi
seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”Jadi
Menurut Az-Zarkasyi, adalah : “Munasabah
adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan kepada akal, akal itu
pasti menerimanya”.
3.
Menurut Ibn Al-Arabi : “Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat
Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan
makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung”.
4.
Menurut Al-Biqa’i, yaitu : “Munasabah adalah suatu ilmu yang
mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian
Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat”.
Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an,
Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik
korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy),
atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi berupa sebab akibat, ‘illat dan
ma’lul, perbandingan, dan perlawanan.
Pada dasarnya pengetahuan tentang
munasabah atau hubungan antara ayat-ayat itu bukan tauqifi (tak dapat diganggu
gugat karena telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihadi seorang
mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an, rahasia
retorika, dan segi keterangannya yang mandiri.
Seperti halnya pengetahuan tentang
Asbabun Nuzul yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan
menafsirkan ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antar ayat
dengan ayat dan surat dengan surat juga membantu dalam pentakwilan dan
pemahaman ayat dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama
menghususkan diri untuk menulis buku mengenai pembahasan ini. Tetapi dalam
pendapat lain dikemukakan atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika
(perbedaan urutan surat dalam Al-Qur’an) adalah wajar jika teori Munasabah
Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum
Al-Qur’an walaupun keadaan sebenarnya Munasabah ini masih terus dibahas oleh
para mufassir yang menganggap Al-Qur’an adalah Mukjizat secara keseluruhan baik
Redaksi maupun pesan ilahi-Nya.
B.
SEJARAH PERKEMBANGAN MUNASABAH
Menurut Asy Syarahbani, seperti dikutip Az Zarkasyi dalam Al
Burhan, orang pertama yang menampakkan munasabaah dalam menafsirkan Al-Qur’an
ialah Abu Nakar An Naisaburi (wafat tahun 342 H). Besarnya perhatian An
Naisaburi terhadap munasabah nampak dari ungkapan As Suyuti sebagai berikut :
“Setiap kali ia duduk di atas kursi, apabila dibacakan Al-Qur’an kepadanya,
beliau berkata, “Mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat inibdan apa
rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini?” Beliau mengkritik para
ulama Bagdad sebab mereka tidak mengetahui.”
Tindakan An Naisaburu merupakan
kejutan dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai
kemampuan untuk menyingkap persesuian, baik antarayat ataupun antarsurat,
terlepas dari segi tepat atau tidaknya, segi pro dan kontra terhadap apa yang
dicetuskan beliau. Satu hal yang jelas, beliau di pandang sebagai Bapak Ilmu Munasabah.
Tokoh yang mula-mula membicarakan
tentang ilmu ini ialah al-Imam Abu Bakr an-Naisaburi (meninggal 323H). Selain
beliau terdapat banyak lagi ulama yang membahas. Antara lain:
1. Al-Imam al-Biqa‘ie - Nazm ad-Durar
fi Tanasub al-Ayi was Suwar
2. Al-Imam as-Suyuti – Tanasuq
ad-Durar wa Tanasub as-Suwar
3. Al-Imam al-Farahi al-Hindi –
Dala’il an-Nizam
Selain mereka para ulama seperti
az-Zamakhsyari, ar-Razi, al-Baidhawi, Abu Hayyan, al-Alusi, Rasyid Ridha,
Sayyid Qutb, Dr. Muhammad Abdullah Darraz dan lain-lain turut menyentuh tentang
ilmu ini dan mempraktikkannya dalam penulisan kitab-kitab tafsir mereka.
Sungguhpun begitu, ilmu ini bukanlah
disepakati kewujudannya atau diterima oleh semua ulama, mereka yang kontra
mewajibkan syarat yang ketat untuk ilmu ini ialah: ‘Izzudin Bin Abdis Salam,
as-Syaukani, as-Syinqiti dan sebagainya. Mereka ini berhujah bahwa ilmu
al-Munasabah ini adalah takalluf (beban) dan ia tidak dituntut oleh syara’.[4]
C.
POKOK PEMBAHASAN MUNASABAH
Pembahasan Ilmu Munasabah ini terkait dengan bagian-bagian Ulumul
Qur’an, baik ayat-ayat ataupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain
persesuaian dan persambungannya. Hubungan dan persambungan dari bagian-bagian
Al-Qur’an itu bermacam-macam. Ada yang berupa hubungan antara makna umum dan
khusus, atau hubunngan pertalian (talazum), seperti hubungan antara sebab
dengan akibatnya, ilat dengan ma’lulnya, atau antara dua hal yang sama, maupun
antara dua hal yang kontradiksi.
Jadi, pembahasan Ilmu Munasabah atau
Ilmu Tanaasubul Ayat Was Suwar ini ialah macam-macam hubungan dan persambungan,
serta kaitan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang lain, dan antara
surah Al-Quran yang satu dengan yang lain, dalam berbagai bentuk persesuaian
dan persambungan.[5]
D.
MACAM-MACAM MUNASABAH
Berdasarkan kepada beberapa
pengertian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, pada prinsipnya
munasabah al-Qur’an mencakup hubungan antar kalimat, antar ayat, serta antar
surat. Macam-macam hubungan tersebut apabila diperinci akan menjadi sebagai
berikut :
1. Munasabah antara surat dengan
surat.
2. Munasabah antara nama surat dengan
kandungan isinya.
3. Munasabah antara kalimat dalam
satu ayat.
4. Munasabah antara ayat dengan ayat
dalam satu surat.
5. Munasabah antara ayat dengan isi
ayat itu sendiri.
6. Munasabah antara uraian surat
dengan akhir uraian surat.
7. Munasabah antara akhir surat
dengan awal surat berikutnya.
8. Munasabah antara ayat tentang satu
tema.
Dalam upaya memahami lebih jauh
tentang aspek-aspek munasabah yang telah diterangkan di atas akan diajukan
beberapa contoh di bawah ini.
1.
Munasabah Antara Surat dengan Surat
Keserasian hubungan atau mnasabah
antar surat ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan yang erat dari suatu
surat dengan surat lainnya. Bentuk munasabah yang tercermin pada masing-masing
surat, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema
sentral, sedangkan surat-surat lainnya menguraikan sub-sub tema berikut
perinciannya, baik secara umum maupun parsial. Salah satu contoh yang dapat
diajukan di sini adalah munasabah yang dapat ditarik pada tiga surat beruntun,
masing-masing Q. S al-Fatihah (1), Q. S al-Baqarah (2), dan Q. S al-Imran
(3).
Satu surah berfungsi
menjelaskansurat sebelumnya, misalnya di dalam surat al-Fatihah / 1 : 6
disebutkan :
إهدنا الصراط المستقيم (6)
Artinya : “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Q. S al-Fatihah / 1 :
6)
Lalu dijelaskan
dalam surat al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk
al-Qur’an, sebagaimana disebutkan :
تلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين( 2)
Artinya : “Kitab
(al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa”
(Q. S al-Baqarah / 2 : 2)
2.
Munasabah Antara Nama Surat dengan
Kandungan Isinya
Nama satu surat pada dasarnya
bersifat tauqifi (tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). Namun beberapa
bukti menunjukkan bahwa suatu surat terkadang memiliki satu nama dan terkadang
dua nama atau lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli
tafsir sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya keterkaitan
antara nama-nama surat dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surat.
Kaitan antara nama surat dengan isi ini dapat di identifikasikan sebagai
berikut :
a.
Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan surat. Nama surat al-Fatihah
disebut dengan umm al-Kitab karena urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah
karena kedudukannya.
b.
Nama diambil dari perumpamaan , peristiwa, kisah atau peran yang menonjol, yang
dipaparkan pada rangkaian ayat-ayatnya; sementara di dalam perumpamaan,
peristiwa, kisah atau peran itu sarat dengan ide. Di sini dapat disebut
nama-nama surat : al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil, al-Lahab dan sebagainya.
c.
Nama sebagai cerminan isi pokoknya, misalnya al-Ikhlas karena mengandung ide
pokok keimanan yang paling mendalam serta kepasrahan : al-Mulk mengandung ide
pokok hakikat kekuasaan dan sebagainya.
d.
Nama diambil dari tema spesifik untuk dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain yang
tersebar diberbagai surat. Contoh al-Hajj (dengan spesifik tema haji), al-Nisa’
(dengan spesifik tema tentang tatanan kehidupan rumah tangga). Kata Nisa’ yang
berarti kaum wanita adalah irrig keharmonisan rumah tangga.
e.
Nama diambil dari huruf-huruf tertentu yang terletak dipermulaan surat,
sekaligus untuk menuntut perhatian khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya yang
memakai huruf itu. Contohnya : Thaha, Yasin, Shad, dan Qaf.
3.
Munasabah Antara Satu Kalimat dengan Kalimat Lainnya dalam
Satu Ayat
Munasabah antara satu kalimat dengan
kalimat yang lainnya dalam satu ayat dapat dilihat dari dua segi. Pertama
adanya hubungan langsung antar kalimat secara konkrit yang jika hilang atau
terputus salah satu kalimat akan merusak isi ayat. Identifikasi munasabah dalam
tipe ini memperlihatkan irri-ciri ta’kid / tasydid (penguat / penegasan) dan
tafsir / i’tiradh (interfretasi /penjelasan dan cirri-cirinya). Contoh
sederhana ta’kid :
"فإن
لم تفعلوا", diikuti "ولن تفعلوا" (Q.S al-Baqarah /
2:24).
Contoh tafsir:
سبحان الذي اسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسد الأقصى
Kemudian diikuti dengan (1:17/الإسراء) الذي باركنا حوله لنريه من اياتنا
Kedua masing-masing kalimat berdiri
sendiri, ada hubungan tetapi tidak langsung secara konkrit, terkadang ada
penghubung huruf ‘athaf’ dan terkadang tidak ada. Dalam konteks ini,
munasabahnya terletak pada :
a.
Susunan kalimat-kalimatnya berbentuk rangkaian pertanyaan, perintah dan atau
larangan yang tak dapat diputus dengan fashilah. Salah satu contoh :
ولإن سألتهم من
خلق السماوات والأرض___ليقولون الله___قل الحمد لله (لقمن 25)
b.
Munasabah berbentuk istishrad (penjelasan lebih lanjut). Contoh :
يسألونك عن
الأهله___قل هي___ (البقره 189)
c.
Munasabah berbentuk nazhir / matsil (hubungan sebanding) atau mudhaddah /
ta’kis (hubungan kontradiksi). Contoh :
ليس البر ان
تولوا وجوهكم قبل المشرك والمغرب___ولكن البر___(البقرة 177)
4.
Munasabah Antara Ayat dengan Ayat dalam Satu Surat
Untuk melihat munasabah semacam ini
perlu diketahui bahwa ini didaftarkan pada pandangan datar yaitu meskipun dalam
satu surat tersebar sejumlah ayat, namun pada hakikatnya semua ayat itu
tersusun dengan tertib dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta
jalinan informasi yang sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat di
awal Q. S al-Baqarah : 1 – 20 memberikan sistematika informasi tentang
keimanan, kekufuran, serta kemunafikan. Untuk mengidentifikasikan ketiga
tipologi iman, kafir dan nifaq, dapat ditarik hubungan ayat-ayat tersebut.
Misalnya surat al-Mu’minun dimulai dengan :
قد افلح المؤمنون
Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
Kemudian dibagian akhir surat ini ditemukan kalimat
انه لا يفلح الكافرون
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak
beruntung”.
5.
Munasabah Antara Penutup Ayat dengan Isi Ayat Itu Sendiri
Munasabah pada bagian ini, Imam
al-Sayuthi menyebut empat bentuk yaitu al-Tamkin (mengukuhkan isi ayat),
al-Tashdir (memberikan sandaran isi ayat pada sumbernya), al-Tawsyih
(mempertajam relevansi makna) dan al-Ighal (tambahan penjelasan). Sebagai
contoh :
فتبارك الله احسن الخالقين mengukuhkan ثم خلقنا النطفة علقة bahkan mengukuhkan
hubungan dengan dua ayat sebelumnya (al-mukminun: 12-14).
6.
Munasabah Antara Awal Uraian Surat dengan Akhir Uraian Surat
Salah satu rahasia keajaiban
al-Qur’an adalah adanya keserasian serta hubungan yang erat antara awal uraian
suatu surat dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan oleh
al-Zamakhsyari demikian juga al-Kimani bahwa Q. S al-Mu’minun di awali dengan
(respek Tuhan kepada orang-orang mukmin) dan di akhiri dengan (sama sekali
Allah tidak menaruh respek terhadap orang-orang kafir). Dalam Q. S al-Qasash,
al-Sayuthi melihat adanya munasabah antara pembicaraan tentang perjuangan Nabi
Musa menghadapi Fir’aun seperti tergambar pada awal surat dengan Nabi Muhammad
SAW yang menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi yang
dihadapi oleh Musa AS dan Muhammad SAW, serta jaminan Allah bahwa akan
memperoleh kemenangan.
7.
Munasabah Antara Penutup Suatu Surat dengan Awal Surat Berikutnya.
Misalnya akhir surat al-Waqi’ah / 96 :
فسبح باسم ربك العظيم
“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
Lalu surat berikutnya, yakni surat al-Hadid / 57 : 1 :
سبح الله ما في السموات والأرض وهو الزيز الحكيم
“Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah
(menyatakan kebesaran Allah). Dan Dia-lah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
8.
Munasabah Antar Ayat dengan Satu Tema
Munasabah antar ayat tentang satu
tema ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayuthi, pertama-tama dirintis oleh
al-Kisa’i dan al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani menggunakan metodologi munasabah
dalam membahas mutasyabih al-Qur’an dengan karyanya yang berjudul al-Burhan fi
Mutasyabih al-Qur’an. Karya yang dinilainya paling bagus adalah Durrah
al-Tanzil wa Gharrat al-Ta’wil oleh Abu ‘Abdullah al-Razi dan Malak al-Ta’wil
oleh Abu Ja’far Ibn al-Zubair.
Munasabah ini sebagai contoh dapat
dikemukakan tentang tema qiwamah (tegaknya suatu kepemimpinan). Paling tidak
terdapat dua ayat yang saling bermunasabah, yakni Q. S al-Nisa’ / 4 : 34 :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من
أموالهم.
Dan Q. S al-Mujadalah / 58 : 11 :
يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتو العلم درجات والله بما تعملون
خبير.
Tegaknya qiwamah (konteks parsialnya
qiwamat al-rijal ‘ala al-nisa’) erat sekali kaitannya dengan faktor ilmu
pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi. Q. S an-Nisa’ menunjuk kata kunci
“bimaa fadhdhala” dan “al-ilm”. Antara “bimaa fadhdhala” dengan “yarfa”
terdapat kaitan dan keserasian arti dalam kata kunci nilai lebih yang muncul
karena faktor ‘ilm.
Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan
ijtihad, bukan melalui petunjuk Nabi (tauqifi). Setiap orang bisa saja
menghubung-hubungkan antara berbagai hal dalam kitab al-Qur’an.[6]
E.
FUNGSI MEMPELAJARI MUNASABAH
1. Mengetahui
persambungan / hubungan antara bagian al-Qur’an, baik antarakalimat-kalimat
atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yanglain sehingga lebih
memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Qur’an dan memperkuat
keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.Karena itu, Izzuddin Abd.
Salam mengatakan bahwa ilmu munasabah itu adalah ilmu yang baik sekali. Ketika
menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain, beliau mensyaratkan
harus jatuh pada hal-hal yang betul-betul berkaitan, baik di awal ataupun di
akhirnya.
2. Mempermudah
pemahaman al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surat Al-Fatihah yang artinya,
“Tujukilah kami kepada jalan yang lurus” disambungdengan ayat tujuh yang artinya,
“Yaitu, jalan orang-orang yang Engkau anugerahinikmat atas mereka. “Antara
keduanya terdapat hubungan penjelasan bahwa jalanyang lurus dimaksud adalah
jalan orang-orang yang telah mendapat nikmat dariAllah SWT.
3. Menolak
tuduhan bahwa susunan al-Qur’an kacau. Tuduhan misalnya munculkarena penempatan
surat al-Fatihah pada awal Mushhaf sehingga surat inilahyang pertama dibaca.
Padahal, dalam sejarah, lima ayat dari surat al-‘Alaqsebagai ayat-ayat pertama
turun kepada Nabi SAW. akan tetapi, Nabi menetapkan letak al-Fatihah di awal
Mushhaf yang kemudian disusul dengan surat al-Baqarah.Setelah didalami,
ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surat al-Fatihah mengandung
unsur-unsur pokok dari syariat Islam dan pada surat ini termuat doa manusia untuk
memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surat al-Baqarah diawali dengan petunjuk
al-Kitab sebagai pedoman menuju jalan uang lurus. Dengandemikian, surat
al-Fatihah merupakan titk bahasan yang akan diprinci pada surat berikutnya,
al-Baqarah. Dengan mengemukakan munasabah tersebut, ternyatasusunan ayat-ayat
dan surat-surat Al-Qur’an tidak kacau melainkan mengandungmakna yang dalam.
4. Dengan
ilmu munasabah itu, dapat diketahui mutu dan tingkat ke-Balaghah-an bahasa
al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain,serta
persesuaian ayat / surahnya yang satu dari yang lain, sehingga lebihmenyakinkan
kemukjizatannya, bahwa al-Qur’an itu benar-benar wahyu dariAllah SWT dan bukan
buatan Nabi Muhammad SAW. karena itu, Abdul Djalaldalam bukunya menambahkan
Imam Fakhruddin al-Razi mengatakan kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an
terletak pada susunan dan penyesuaiannya, sedangkan susunan kalimat yang paling
bersetaraadalah saling berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang
lainnya.Sebagaimana yang dinyatakan oleh ahli ulumul Qur’an diantaranya
adalahAbu Bakar bin al-Arabi, Izzuddin bin Abdus-Salam bahwa ilmu munasabah
adalahilmu yang baik ( ilmun hasanun ), ilmu mulia ( ilmun syarifun ), ilmu
yang agung ( ilmun adzimun ). Dari semua julukan ini menandakan bahwa ilmu
munasabah mendapat tempat dan penghargaan yang cukup tinggi atau peran yang
cukupsignifikan dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Sehingga az-Zarkasyi
berpendapat bahwa ilmu ini dapat dijadikan tolak ukur untuk mengetahui
kecerdasanseorang mufassir. Kedudukan ilmu ini semakin terasa kebutuhannya
manakalah seseorangmenafsirkan al-Qur’an menggunakan metode tafsir al-maudhu’I
(tematik) atau al-muqaran (komparasi), karena metode ini memperhatikan
keterkaitan ( munasabah)antara ayat yang berbicara tentang masalah yang
sejenis. (A Zarkasyi,1988: 63) Berlainan dengan ilmu asbabun-nuzul yang
digolongkan kedalam ilmu sima’I dan karenanya maka bersifat naqli
(periwayatan), maka ilmu munasabah digolongkan ke dalam kelompok ilmu-ilmu
ijtihadi yang karenanya bersifat penalaran. Sebagai ilmu ijtihadi ilmu ini
sangat berpeluang untuk dikembangkan dalam upayamemperkaya dan memperkuat
penafsiran al-Qur’an, yaitu dengan cara mencarihubungan antara ayat-ayat
al-Qur’an dari berbagai aspeknya.[7]
F.
PANDANGAN ULAMA’ MENGENAI MUNASABAH
Dalam menyikapi munasabah, para ulama terbagi kedalam dua golongan
yang pertama: golongan yang tertarik dengan munasabah, dan yang kedua, Golongan
yang tidak tertarik dan menganggap munasabah tidak perlu di kaji. Golongan
pertama diwakili oleh Abu Bakar al-Nisabury, Fakhrudin al-Razi, Fakhrudin
al-Razi seorang ulama yang sangat peduli terhadap munasabah, baik munasabah
antar ayat atau antar surat.
Ia pernah memberikan apresiasi
terhadap surat al-Baqarah dengan mengatakan bahwa “barangsiapa yang menghayati
dan merenungkan bagian-bagian dari susunan dan keindahan urutan surat ini, maka
pastiia akan mengetahui bahwa al-Quran itu merupakan mukjizat lantaran
kefasihan lafal-lafalnya dan ketinggian mutu makna-maknanya. Jalaluddin
al-Suyuthiy, ibn al-Arabiy , Izzuddin ibn Abdis Salam, dll.
Golongan ulama yang menolak adanya
munasabah dalam al-Quran diwakili oleh Ma’ruf Dualibi. Ia paling keras
menentang menggunakan munasabah untuk menafsirkan ayat-ayat dan surat-surat
dalam al-Quran. Ia mengatakan, ‘maka termasuk usaha yang tidak perlu dilakukan
adalah mencari-cari hubungan di antara ayat-ayat dan surat-surat al-Quran.’
Karena menurutnya, “al-Quran dalam berbagai ayat yang ditampilkannya hanya
mengungkapkan hal-hal yang bersifat prinsip (mabd’a) dan norma umum (kaidah)
saja. Dengan demikian tidaklah pada tempatnya bila orang bersikeras dan
memaksakan diri mencari korelasi (tanasub) antara ayat-ayat dan surat-surat
yang bersifat tafshil lantaran kefasihan lafal-lafalnya dan ketinggian mutu
makna-maknanya.
Mahmud Syaltut seorang ulama
kontemporer, kurang setuju dengan analisis munasabah dan menolak menjadikan
munasabah sebagai bagian dari ilmu-ilmu al-Quran. Ia tidak setuju dengan
mufasir yang menggunakan munasabah untuk menafsirkan al-Quran.
Di sisi lain terdapat pendapat-pendapat tentang munasabah: tertib
surah dan ayat:
Para ulama sepakat bahwa tertib
ayat-ayat dalam al-qur’an adalah tauQifiy, artinya penetapan dari Rasul,
Sementara tertib surah dalam Al-Qur’an masih terjadi perbedaan pendapat.
Al-Qhurtubi meriwayatkan pernyataan
Ibn Ath-Thibb bahwa tertib surat Al-Quran di perselisihkan, Dalam hal ini ada
tiga golongan:
a. Tertib surat
berdasarkan ijtihad para sahabat. Pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama
seperti Imam Malik, Al-Qhadi Abu Bakr At-Thibb. Beberapa alasan mereka adalah :
1. Tidak ada
petunjuk langsung dari Rasulullah tentang tertib surah dalam Al-Quran.
2. Sahabat pernah
mendengar Rasul membaca Al-Quran berbeda dengan susunan surah sekarang, hal ini
di buktikan dengan munculnya empat buah mushaf dari kalangan sahabat yang
berbeda susunannya antara yang satu dengan yang lainnya. Yaitu mushaf Ali,
mushaf ‘Ubay, mushaf Ibn Mas’ud, mushaf Ibnu Abbas.
3. Mushaf yang ada
pada catatan sahabat berbeda-beda ini menunjukkan bahwa susunan surah tidak ada
petunjuk resmi dari Rasul.
4. Alasan lain
adalah riwayat Abu Muhammad Al-Quraysi bahwa Umar memerintahkan agar
mengurutkan surat At-Tiwal. Akan tetapi, riwayat ini diberi catatan kaki oleh
As-Sayuthi agar diteliti kembali.
b. Susunan surat berdasarkan petunjuk Rasulullah
Saw (taukifi).
Di antara ulama yang yang
berpendapat demikian adalah Al-Qadhi Abu Bakr Al-Anbari, Ibn Hajar, Al-Zarkasyi
dan As-Sayuthi. Alasan yang dikemukakan sebagai berikut :
1.
Ijma’ sahabat terhadap mushaf Utsman. Ijma’ ini tak akan mungkin terjadi
kecuali kalau tertib itu tauqifiy, seandainya bersifat ijtihadiy, niscaya
pemilik mushaf lainnya akan berpegang teguh pada mushafnya.
2. Hadist tentang
hijzb Al-Quran yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Dawud dari Huzaifah
As-Syaqafi.
c.
Tertib surat sebagian taukifi dan sebagian ijtihadiy. Di antara yang
berpendapat demikian adalah Al-Baihaqi. Menurutnya: “seluruh surat susunannya
berdasarkan tauqif Rasul kecuali surat Baraah dan Al-Anfal.
Al-Qhadi Abu Muhammad Ibn Athiyah termasuk golongan ini, Dan alasan
Lainnya:
Ternyata tidak semua nama-nama surah
itu diberikan oleh Allah, tapi sebagiannya diberikan oleh Nabi dan bahkan ada
yang diberikan oleh para sahabat. Adapun yang diberikan oleh Allah adalah
misalnya surat Al-Baqarah, At-Taubah, Ali Imran dll. Nama surah yang diberikan
oleh Nabi adalah yang Nabi sendiri menyebutkan surah tersebut, seperti surah
Thaha dan Yasin. Oleh para sahabat seperti Al-Baro’ah, yaitu surat yang di
awali dengan lafal basmalah.[8]
FOOTNOTE
[1] Badr al-Din
al-Zarkasyi, al Burhany fii ulum Al-Qur’an, (beirut:Dar al-Ma’rifah li
al-Tiba’ah wa al_Nasyir, 1972), hal. 35-36.
[2] Ibid
[3] Hasbi Ash
Shiddiqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmui Tafsir, (Jakarta:Bulan Bintang, 1965), hal.
95.
[4] http://ki-stainsamarinda.blogspot.com/2012/09/munasabah-al-quran.html di akses tanggal 30 mei 2015 pukul 12.00 WIB.
[5] ‘Abdullah
Ad-Darraz, An-Naba’ Al-‘Azhim, Dar-‘Urubah, Mesir, 1974, hlm. 159.
[6]http://najmadanzahra.blogspot.com/2013/12/makalah-munasabah-ayat-dalam-al-quran.html di akses tanggal 30 mei 2015 pukul 12.00 WIB.
[7]http://www.scribd.com/doc/45969536/Munasabah-Al-Qur-An#scribd di akses tanggal 30 mei 2015 pukul 12.00 WIB.
[8]http://muhamri03.blogspot.com/2013/12/munasabah-al-quran.html di akses tanggal 30 mei 2015 pukul 12.00 WIB.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....14
KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN
A.
Definisi mukjizat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa
kata mukjizat diartikan sebagai kejadian (peristiwa) yang sukar
dijangkau oleh kemampuan akal manusia.[2] Kata mukjizat terambil dari bahasa
Arab أعجز (a’jaza) yang berarti melemahkan atau
menjadikan tidak mampu.[3] Sedangkan kata أعجز (a’jaza) itu sendiri
berasal dari kata عجز (‘ajaza) yang berarti tidak mempunyai
kekuatan (lemah).[4] Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mukjiz, dan bila
kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam
lawan, maka dinamaiمعجزة (mu’jizat). Tambahan ta marbuthah pada
akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).[5]
Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai
sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah melalui para nabi dan
rasul-Nya sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.[6]
Dalam al-Quran, kata ‘ajaza dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 26 kali
dalam 21 surat dan 25 ayat.[7]
Dalam Kamus al-Mu’jam al-Washith,
mukjizat diartikan:“Sesuatu (hal atau urusan) yang menyalahi adat kebiasaan
yang ditampakkan Allah diatas kekuasaan seorang nabi untuk memperkuat
kenabiannya.” [8]
Imam Jalaluddin al-Sayuti menjelaskan bahwa mukjizat itu adalah:
[9]
“Suatu hal atau peristiwa
luar biasa yang disertai tantangan dan selamat (tidak ada yang sanggup)
menjawab tantangan tersebut.”
Sedangkan menurut Manna al-Qattan,
I’jaz (kemukjizatan) adalah menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian
umum adalah ketidak mampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari qudrah (potensi,
power, kemampuan). Apabila kemukjizatan muncul, maka nampaklah kemampuan mu’jiz
(sesuatu yang melemahkan. Yang dimaksud dengan i’jaz dalam pembahasan ini ialah
menampakkan kebenaran nabi dalam pengakuannya sebagai seorang rasul, dengan
menampakkan kelemahan orang Arab dalam melawan mukjizat yang kekal yakni
al-Quran.[10]
Maka mukjizat adalah sebuah
peristiwa, urusan, perkara yang luar biasa yang dibarengi dengan tantangan dan
tidak bisa dikalahkan. Al-Quran menantang orang-orang Arab, mereka tidak kuasa
melawan meskipun mereka merupakan orang-orang yang fasih, hal ini tiada lain
karena al-Quran adalah mukjizat.[11]
Berdasarkan defenisi diatas maka
dapat dikemukakan tiga unsur pokok mukjizat, yaitu:
1. Mukjizat harus menyalahi tradisi atau adat kebiasaan.
2. Mukjizat harus dibarengi dengan perlawanan, dan
3. Mukjizat tidak terkalahkan.[12]
Sedangkan menurut M. Qurais Shihab
ada empat unsur yang harus menyertai sesuatu sehingga ia dinamakan mukjizat.
Keeempat unsur itu adalah:
1. Hal atau peristiwa yang luar
biasa.Yang dimaksud luar biasa adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan
sebab akibat yang diketahui secara umum hukum-hukumnya.
2. Terjadi atau dipaparkan oleh seorang
yang mengaku nabi.Apabila hal-hal yang luar biasa terjadi bukan dari seseorang
yang mengaku nabi, ia tidak dinamai mukjizat.
3. Mengandung tantangan terhadap
yang meragukan kenabian.Tantangan ini harus berbarengan dengan pengakuannya
sebagai nabi, bukan sebelumnya.
4. Tantangan tersebut tidak mampu
atau gagal dilayani.Bila yang ditantang berhasil melakukan hal yang serupa,
maka ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti.[13]
B.
Macam-Macam Mukjizat
Secara garis besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok,
yaitu mukjizat yang bersifat hissiyah (material indrawi), dan mukjizat yang
bersifat ‘aqliyah (rasional).[14] Mukjizat nabi-nabi terdahulu semuanya
merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam
arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat
indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya, seperti
perahu nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam
situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat; tidak terbakarnya nabi
Ibrahim dalam kobaran api; tongkat nabi Musa yang berobah menjadi ular;
penyembuhan yang dilakukan nabi Isa atas izin Allah dan lain-lain. Semuanya
bersifat material indrawi, terbatas pada lokasi tempat nabi tersebut berada dan
berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Berbeda dengan mukjizat nabi
Muhammad Saw, sifatnya bukan material indrawi, tetapi ‘aqliyah (dapat dipahami
oleh akal). Karena sifatnya yang demikian, maka ia tidak terbatas pada suatu
tempat atau masa tertentu. Mukjizat al-Quran dapat dijangkau oleh setiap orang
yang menggunakan akalnya, kapan dan dimanapun berada.[15]
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok.
Pertama, para nabi
sebelum nabi Muhammad Saw., ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu.
Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut,
tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan nabi Muhammad Saw., yang diutus
untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran
ajarannya harus selalu siap dipaparkan kepada setiap orang yang ragu kapanpun
dan dimanapun mereka berada.
Kedua, manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para nabi
sebelum nabi Muhammad Saw., amat membutuhkan bukti kebenaran yang harus sesuai
dengan tingkat pemikiran mereka, bukti tersebut harus jelas dan terjangkau
indra mereka. Tetapi, setelah manusia mulai menanjak ke tahap kedewasaan
berpikir, maka bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi. Ini bukan
berarti bahwa tidak terjadi hal-hal luar biasa dari atau melalui nabi Muhammad
Saw. Keluarnya air dari celah jari-jari beliau, makanan yang sedikit dapat
mencukupi orang banyak, genggaman pasir yang beliau lontarkan kepada kaum
musyrik dalam perang badar hingga menutupi pandangan mereka, dan lain-lain merupakan
hal-hal luar biasa yang telah terjadi.[16]
Namun demikian dapat disimpulkan,
Pertama, Bahwa mukjizat itu luar biasa dalam mengatasi segala persoalan
manusia, tiada yang kuasa membuatnya, selain Allah menentukan ketentuan
tersebut. Kedua, bahwa antara mukjizat nabi yang satu dengan lainnya adalah
sama fungsinya, yaitu untuk memainkan peranannya dan mengatasi kepandaian
kaumnya, disamping membuktikan kekuasaan Allah diatas segala-galanya.[17]
C.
Bentuk dan Tahapan Tantangan al Quran
Tantangan yang datang dari al-Quran terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1.
Tantangan umum, Tantangan ini ditujukan kepada semua golongan, baik
kaum filosof, cendikiawan, ulama, dan hukama, serta semua manusia tanpa
kecuali, orang Arab atau orang Ajam, orang putih atau orang hitam, mukmin atau
kafir. Hal ini dijelaskan Allah dalam al-Quran surat al-Isra’ ayat 88.
2.
Tantangan khusus, Tantangan ini ditujukan khusus kepada orang-orang
Arab, terutama bagi orang-orang kafir Quraisy. Tantangan bertanding khusus ini
terbagi atas dua macam, yaitu :
a. Tantangan yang bersifat kulli
(keseluruhan), yaitu tantangan dengan seluruh al-Quran mengenai hukum-hukumnya,
keindahan bahasanya, balaghahnya dan kejelasannya. Hal ini dijelaskan Allah
dalam surat al-Thuur ayat 34.
b. Tantangan yang bersifat juz’i (sebagian),
yaitu tantangan untuk mendatangkan sepuluh surat atau satu surat saja yang
menyerupai surat-surat al-Quran. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah dalam
surat Hud ayat 13 dan surat al-Baqarah ayat 23.[18]
Adapun tahapan-tahapan tantangan al-Quran adalah sebagai berikut:
1.
Allah menantang untuk membuat semacam “keseluruhan al-Quran”,
sebagaimana dipahami dari surat al-Thuur ayat 34,
فَلْيَأْتُوا
بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ (الطور: 34)
“Maka hendaklah mereka
mendatangkan kalimat yang semisal al-Quran itu jika mereka termasuk orang-orang
yang benar.” (Al-Thuur : 34).
Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa
ketika ayat ini turun untuk menantang orang-orang kafir Quraisy yang meragukan
dan menolak kebenaran al-Quran, maka mereka berdalih “kami tidak mengetahui
sejarah umat terdahulu” (yang merupakan sebagian kandungan al-Quran).
Adapun yang dimaksud dengan kalimat بحديث (bihadiitsin) dalam ayat
diatas adalah tandingan al-Quran, namun ternyata mereka tidak mampu
mendatangkan sesuatu yang menyamai al-Quran.
2.
Allah meringankan tantangan,
yaitu menantang untuk membuat sepuluh surat saja yang menyamai al-Quran,
sebagaimana dinyatakan Allah Swt., dalam surat Hud ayat 13,
أَمْ
يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا
مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (هود:13)
“Bahkan mereka
mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat al-Quran itu”, Katakanlah: “(Kalau
demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya, dan panggillah
orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya selain Allah jika kamu memang
orang-orang yang benar.” (Hud : 13).
Kata مفتريات (muftarayaat) yang
diterjemahkan dengan “dibuat-buat” dalam ayat diatas adalah tudingan
orang-orang kafir Quraisy terhadap nabi Muhammad Saw., bahwa al-Quran itu
dibuat-buat, oleh karenanya Allah menantang, kalaupun al-Quran itu dibuat-buat
(bohong), jikalau mereka mampu menyusun redaksi seindah dan seteliti al-Quran
maka itu sudah cukup untuk mengakui kebenaran dugaan mereka, tetapi tantangan
kedua inipun tidak sanggup mereka layani.
3.
Allah meringankan lagi tantangan, yaitu tantangan untuk membuat
satu surat saja yang menyamai al-Quran, sebagaimana firman Allah Swt., dalam
surat Yunus ayat 38,
أَمْ يَقُولُونَ
افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ
دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (يونس: 38)
“Atau patutkah mereka
berkata, “Dia (Muhammad) membuat-buatnya?”, Katakanlah (kalau benar tuduhan
kamu itu), maka buatlah satu surah semacamnya dan panggillah siapapun yang
dapat kamu panggil selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.”
(Yunus : 38).
Tiga tahapan tantangan tersebut
semuanya disampaikan ketika nabi Muhammad Saw., masih berada di Mekkah.
4.
Ketika nabi sudah hijrah ke
Madinah Allah menantang kembali dengan tantangan yang lebih ringan lagi yaitu
membuat satu surat yang hampir sama dengan al-Quran, sebagaimana dapat dipahami
dalam surat al-Baqarah ayat 23,
وَإِنْ كُنْتُمْ
فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ
وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة:
23)
“Dan jika kamu (tetap)
dalam keraguan tentang al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami
(Muhammad), maka buatlah satu surat yang seumpamanya dan panggillah penolong-penolongmu
selain Allah jika kamu orang-orang yang benar.” (al-Baqarah : 23).
Ayat 23 yang terdapat dalam surat
al-Baqarah ini mirip redaksinya dengan ayat 38 dalam surat Yunus. Perbedaannya
antara lain pada kalimat (fa’tuu bisuuratin mitslihi dan fa’tuu bisuuratin min
mitslihi). Kata من (min) disini diartikan “lebih kurang”,
sehingga dengan demikian tantangan ini lebih rendah daripada tantangan
sebelumnya yang menuntut membuat satu surah tanpa menggunakan kata من(min) atau “lebih
kurang”.
Memang sejak semula Allah telah
menegaskan bahwa siapapun dan kapanpun al-Quran tetap menjadi mukjizat dan
tidak dapat ditandingi. Hal ini dapat kita pahami dari firman Allah dalam surat
al-Isra’ ayat 88,
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا
بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ ظَهِيرًا(الإسراء: 88)
“Katakanlah (hai Muhammad): Sesungguhnya jika manusia dan jin
berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan
dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu
sebagian yang lain.” (al-Isra’ : 88).
Dengan demikian jelaslah bahwa tahap
demi tahap tantangan al-Quran, ternyata tidak seorangpun sanggup untuk memenuhi
tantangan tersebut, terutama orang-orang Arab kafir Quraisy yang dengan
terang-tarangan tidak menerima kebenaran al-Quran. Dengan demikian jelaslah
mukjizat al-Quran yang benar-benar diwahyukan Allah untuk nabinya Muhammad
Saw., yang ummi.
D.
Aspek-Aspek Kemukjizatan Al Quran
Para ulama sepakat bahwasanya
al-Quran tidaklah melemahkan manusia untuk mendatangkan sepadan al-Quran hanya
karena satu aspek saja, akan tetapi karena beberapa aspek, baik aspek lafzhiyah
(morfologis), ma’nawiyah (semantik) dan ruhiyah (psikologis). Semuanya
bersandarkan dan bersatu, sehingga melemahkan manusia untuk melawannya.[19]
Namun demikian mereka berbeda pendapat dalam meninjau segi kemukjizatan
al-Quran. Perbedaan itu adalah sebagai berikut:
a. Sebagian ulama berpendapat bahwa
segi kemukjizatan al-Quran adalah sesuatu yang terkandung dalam al-Quran itu
sendiri, yaitu susunan yang tersendiri dan berbeda dengan bentuk puisi orang
Arab maupun bentuk prosanya, baik dalam permulaannya, maupun suku kalimatnya.
b. Sebagian yang lain berpendapat
bahwa segi kemukjizatan al-Quran itu terkandung dalam lafal-lafalnya yang
jelas, redaksinya yang bernilai sastra dan susunannya yang indah, karena nilai
sastra yang terkandung dalam al-Quran itu sangat tinggi dan tidak ada
bandingannya.
c. Ulama lain berpendapat bahwa
kemukjizatan itu karena al-Quran terhindar dari adanya pertentangan, dan
mengandung arti yang lembut dan memuat hal-hal ghaib diluar kemampuan manusia
dan diluar kekuasaan mereka untuk mengetahuinya.
d. Ada lagi ulama yang berpendapat
bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah keistimewaan-keistimewaan yang nampak
dan keindahan-keindahan yang terkandung dalam al-Quran, baik dalam permulaan,
tujuan maupun dalam menutup setiap surat.[20]
Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya
al-Jami’i Ahkamil Quran menyebutkan sepuluh segi kemukjizatan al-Quran,
sementara al-Zarkani dalam kitabnya Manahilul Irfan mencatat empat belas segi
kemukjizatan al-Quran.[21
Perbedaan pendapat ulama diatas
diketahui sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Jadi bukan berbeda
dalam menentukan batasan-batasan kemukjizatan al-Quran, karena aspek-aspek
kemukjizatan al-Quran tidak hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu yang
mereka sebutkan.[22] Adapun aspek-aspek kemukjizatan al-Quran adalah:
1. Susunan bahasanya yang indah,
berbeda dengan susunan bahasa Arab.
2. Uslubnya (susunannya) yang
menakjubkan, jauh berbeda dengan segala bentuk susunan bahasa Arab.
3. Keagungan yang tidak mungkin bagi
makhluk untuk mendatangkan sesamanya.
4. Syariat yang sangat rinci dan
sempurna melebihi setiap undang-undang buatan manusia.
5. Mengabarkan hal-hal ghaib yang
tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu.
6. Tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
7. Al-Quran memenuhi setiap janji
dan ancaman yang dikabarkannya.
8. Luasnya ilmu-ilmu pengetahuan
yang terkandung didalamnya.
9. Kesanggupannya dalam memenuhi
segala kebutuhan manusia.
10. Berpengaruh terhadap hati para
pengikutnya dan orang-orang yang memusuhinya.[23]
Uraian singkat tentang aspek-aspek
kemukjizatan al-Quran adalah sebagai berikut:
1.
Susunan bahasanya yang indah. Susunan gaya bahasa dalam al-Quran
tidak bisa disamakan oleh apapun, karena al-Quran bukan susunan syair dan bukan
pula susunan prosa, namun ketika al-Quran dibaca maka ketika itu terasa dan
terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Cendikiawaan Inggris,
Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Quran, menulis: “Al-Quran
mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa
menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka-cita”.[24]
2.
Uslubnya yang menakjubkan. Al-Quran muncul dengan uslub yang sangat
baik dan indah, mengagumkan orang-orang Arab karena keserasian dan
keindahannya, keharmonisan susunannya. Didalamnya terkandung nilai-nilai
istimewa yang tidak akn terdapat dalam ucapan manusia.
3.
Keagungannya. Al-Quran mempunyai kemegahan ucapan yang luar biasa
yang berada diluar kemampuan manusia untuk menguasainya atau mendatangkan
persamaannya. Kandungan al-Quran dapat mempengaruhi jiwa-jiwa pendengarnya dan
dapat melembutkan hati-hati yang keras.
4.
Syariat yang sangat rinci dan sempurna. Al-Quran menjelaskan
pokok-pokok akidah, hokum-hukum ibadah, norma-norma keutamaan dan sopan santun,
undang-undang hukum ekonomi, politik, sosial dan kemasyarakatan. Al-Quran juga
mengatur kehidupan keluarga, menjunjung nilai-nilai kebebasan, keadilan
(demokrasi) dan musyawarah.
5.
Berita tentang hal-hal yang
gaib. Al-Quran mengungkap sekian banyak ragam hal gaib. Al-Quran mengungkap
kejadian masa lampau yang tidak diketahui lagi oleh manusia, karena masanya
telah demikian lama, dan mengungkap juga peristiwa masa datang atau masa kini
yang belum diketahui manusia.
6.
Sejalan dengan ilmu pengetahuan modern. Al-Quran memuat petunjuk
yang detail mengenai sebagian ilmu pengetahuan umum yang telah ditemukan
terlebih dahulu dalam al-Quran sebelum ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern.
Tiori al-Quran itu sama sekali tidak bertentangan dengan tiori-tiori ilmu
pengetahuan modern, baik itu ilmu alam, arsitek dan fisika, geografi dan
kedokteran.
7.
Menepati janji. Al-Quran senantiasa menepati janji dalam setiap apa
yang telah dikabarkannya serta dalam setiap janji Allah kepada hamba-Nya, baik
janji mutlak seperti janji Allah untuk menolong rasul-Nya, maupun janji
terbatas yaitu janji yang bersyarat seperti harus memenuhi syarat takwa, sabar,
menolong agama Allah, dan sebagainya.
8.
Terkandung ilmu pengetahuan yang luas. Al-Quran datang dengan
membawa berbagai ilmu pengetahuan tentang akidah, hokum (undang-undang), etika,
muamalat, dan berbagai lapangan lain dalam pendidikan dan pengajaran, politik
dan ekonomi, filsafat dan sosial.
9.
Memenuhi segala kebutuhan manusia. Al-Quran datang dengan membawa
petunjuk-petunjuk yang sempurna, fleksibel lagi luwes, dan dapat memenuhi
segala kebutuhan manusia pada setiap tempat dan masa.
Berkesan
dalam hati. Al-Quran dapat menggetarkan hati pengikut dan penantangnya.
Seseorang yang sangat memusuhi al-Quran bisa berbalik dibawah lindungannya.
Umar bin Khattab, Sa’ad bin Mu’az, dan Usaid bin Hudhair misalnya, mereka
adalah orang-orang yang paling kejam terhadap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar