Selasa, 24 April 2018

Ulumul Qur'an Bagian II (Dua)


Menurut Az-Zarqani, penggunaan kata nuzul dalam hal nuzulul quran dimaksudkan dalam pengertian secara majazi. Artinya sebagai suatu ungkapan yang tidak dipahami secara harfiah. Pengertian majazi bagi nuzulul quran adalah pemberi tahuan mengenai al-quran dalam segala aspeknya (4).
A.     Cara Turunnya Al – Quran.
Al-Quran diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai malam17 ramadhan tahun 41 dari kelahiran nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada’ tahun 63 dari kelahiran nabi atau 10 H. Proses turunnya al-quran kepada nabi Muhammad SAW. Adalah melalui tiga tahapan, yaitu:
1.      Al-quran turun secara sekaligus dari allah ke lauh al-mahfuzh, yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian allah. Proses pertama ini diiyaratkan dalam Q.S. Al-Buruj (85) ayat 21-22. Artinya: bahkan yang didustakan mereka ialah al-quran yang mulia. Yang tersimpan dalam lauh al- mahfuzh. (Q.S. Al-Buruuj:21.22)
2.      Al-quran diturunkan dari lauh al-mahfuzh ke bait al-izzah (tempat yang ada di langit dunia). Proses kedua ini diisyaratkan allah dalam surat Al-Qadar (97) ayat 1. Artinya: Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. (Q.S. Al-Qadar:1)
3.      Al-quran diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Ada kalanya satu ayat, dua ayat, dan bahkan kadang-kadang satu surat. Mengenai proses turun dalam tahap ketiga diisyaratkan dalam Q.S Asy-Syu’ara’ (26) ayat 193-195. Artinya: Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, Dengan bahasa Arab yang jelas.(Q.S. Asy-Syu’ara’:193.195)
Al-Quran diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat Jibril, tidak secara sekaligus, melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, sering wahyu turun untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan kepada nabi atau untuk membenarkantindakan Nabi SAW. Di samping itu, banyak pula ayat atau surat yang diturunkantanpa melalui latar belakang pertanyaan atau kebijakan tertentu.
Dalam kenyataan tersebut terkandung hikmah dan  faedah yang besar, sebagaimana dijelaskan dalam al-quran surat al-furqon (25) ayat 32.
Artinya: Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). (Q.S.Al-Furqon:32) (5)
B.     Hikmah Turunnya Al-Quran.
Hikmah atas rahasia al-quran diturunkan berangsur-angsur adalah sebagai yang dijelaskan oleh Abu Syamah dalam antara lain-Murzidul Wajis, sebagai berikut:
“Bila orang menanyakan, apakah rahasia yang terkandung dalam menurunkan al-quran berangsur-angsur    dan mengapa tidak sekaligus semuanya sebagai kitab-kitab samawi yang lain?” Maka kami menjawab: “ pertanyaan ini telah dijawab allah SWT dalam firmannya.” (Q.S. Al-Furqon) ayat 32.
Wahyu itu diturunkan pada tiap-tiap waktu ada kejadian, teguhlah hati menerimanyadan mereka tidak jemu. Dengan pula demikian, malaikat yang membawanya akan berulang-ulang datang mengunjungi nabi. Hal yang serupa ini membangun kegembiraan dan kesenangan hati yang tak berbeda-beda, karena dengan demikian nabi selalu mendapat kiriman dari allah, dan selalu merasa gembira karenanya. Inilah sebabnya nabi terlalu murah hatinya dibulan-bulan ramadhan, karena dibulan-bulan itulah jibril selalu datang kepada nabi (6).Masih banyak hikmah diturunkannya al-quran secara berangsur-angsur, antara lain sebagai berikut:
1.      Memantapkan hati nabi, Ketika menyampaikan dakwah, nabi sering berhadapan dengan para penentang. Turunnya wahyu  yang berangsur-angsur itu merupakan dorongan tersendiri bagi nabi untuk terus menyampaikan dakwahnya.
2.      Menentang dan melemahkan para penentang al-quran, Nabi sering berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang dilontarkan orang-orang musyrik dengan tujuan melemahkan nabi. Turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu tidak saja menjawab pertanyaan itu, bahkan menentang mereka untuk membuat sesuatu yang serupa dengan al-quran. Dan ketika mereka tidak mampu memenuhi tantangan itu, hal itu sekaligus merupakan salah satu mukjizat al-quran.
3.      Memudahkan untuk dihapal dan dipahami, Al-Quran pertama kali turun di tengah-tengah masyarakat arab yang ummi, yakni yang tidak memiliki pengetahuan tentang bacaan dan tulisan. Turunnya wahyu secara berangsur-angsur memudahkan mereka untuk memahami dan menghapalkannya.
4.      Mengikuti setiap kejadian ( yang karenanya ayat-ayat al-quran turun) dan melakukan penahapan dalam penetapan syari’at.
5.      Membuktikan dengan pasti bahwa al-quran turun dari allah yang maha bijaksana7.
FOOTNOTE
(5)  Rosihon. Anwar, Ulumul Quran, (Bandung : Pustaka Setia, 2013.), hlm. 34-36
(6) Moh. Chotib, Buku Ajar Ulumul Quran, ( Pamekasan : Pustaka STAIN Pamekasan, 2006.), hlm. 11-12
(7) Rosihon. Anwar, Ulumul Quran, (Bandung : Pustaka Setia, 2013.), hlm. 36-37
(1)     Usman.ulumul quran ( Yogyakarta: TERAS: 2009), hlm. 37
(2)     Abdul Djala H.A, Ulumul Qur’an Edisi Lengkap, Surabaya : Dunia Ilmu, 2000, hlm, 50.
(3)     Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an 1 Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, Bandung: Pustaka Setia, 1997, hlm. 31
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....10
ASBABUN NUZUL
A.    Pengertian Asbabun Nuzul
Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dari kata “asbab” jamak dari “sababa” yang artinya sebab-sebab, nuzul yang artinya turun. Yang dimaksud disini adalah ayat al-Qur’an. Asbabun nuzul adalah suatu peristiwa atau saja yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an baik secara langsung atau tidak langsung.
Secara garis besarnya, sepanjang kenabian Muhammad SAW, paling tidak ada 2 pembagian asbabul nuzul (sebab turunnya) Al-Qur’an. Pertama, dikatakan bahwa ada sebagian besar Al-Qur’an ini yang turunnya ibtida’i artinya turun tanpa sebab. Jenis yang kedua, dimana Al-Qur’an itu turun berdasarkan satu sebab, nuzul bi sabab.
Ada tiga defenisi yang dikemukakan oleh ahli tafsir tentang Asbabun Nuzul:[1]
1.      Menurut Az-Zarqani, “Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
2.      Peristiwa-peristiwa pada masa Al-qur’an itu diturunkan (yaitu dalam waktu 23 tahun), baik peristiwa itu terjadi sebelum atau sesudah ayat itu diturunkan.
3.      Subhi Shalih, “Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi”.
B.     Bagaimana cara mengetahui Asbabun Nuzul[2].
Asbabun Nuzul tidak bisa diketahui semata-mata dengan akal (rasio), tidak lain mengetahuinya harus berdasarkan riwayat yang shahih dan didengar langsung dari orang-orang yang mengetahui turunnya Al-Qur’an, atau dari orang-orang yang memahami Asbabun Nuzul, lalu mereka menelitinya dengan cermat, baik dari kalangan sahabat, tabi’in atau lainnya dengan catatan pengetahuan mereka diperoleh dari ulama-ulama yang dapat dipercaya.
Ibnu Sirin mengatakan “saya pernah bertanya kepada Abidah tentang satu ayat Al-Qur’an, beliau menjawab; Bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar sebagaimana orang-orang yang mengetahui di mana Al-Qur’an turun” Salah satu cara mengetahui Ababun Nuzul berupa riwayat yang shahih adalah apabila perawi sendiri menyatakan lafazh sebab secara tegas, dalam hal ini merupakan nash yang nyata.
C.     Sebab-sebab turunnya Ayat (Asbabun Nuzul).
Mengutip pengertian dari Subhi al-Shaleh kita dapat mengetahui bahwa asbabun nuzul ada kalanya berbentuk peristiwa atau juga berupa pertanyaan, kemudian asbabun nuzul yang berupa peristiwa itu sendiri terbagi menjadi 3 macam:[3]
1.      Peristiwa berupa pertengkaran. Seperti kisah turunnya surat Ali Imran : 100Yang bermula dari adanya perselisihan oleh kaum Aus dan Khazraj hingga turun ayat 100 dari surat Ali Imran yang menyerukan untuk menjauhi perselisihan. “ Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.”
2.       Peristiwa berupa kesalahan yang serius, Contoh : Saat itu ada seorang Imam sholat dalam keadaam mabuk, sehingga salah mengucapkan surat Al-Kafirun, dan kemudian turunlah surat An-Nisa’ dengan Perintah untuk menjauhi sholat dalam keadaan mabuk. “  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan....”
3.      Peristiwa karena suatu hasrat atau cita-cita[4]
Ini dicontohkan dari sebagian sahabat Rosulullah yang mempunyai 3 cita-cita besar dan salah satunya adalah permintaan Umar kepada Rosulullah tentang maqam Ibrahim.
والتخذ وامن مقام ابراهيم مصلّى
Sedangkan peristiwa yang berupa pertanyaan dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
1. Pertanyaan tentang masa lalu seperti :
وَيَسْأَلُونَكَ عَن ذِي الْقَرْنَيْنِ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُم مِّنْهُ ذِكْراً
“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya". (QS. Al-Kahfi: 83)
2. Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu seperti ayat:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra’ : 85)
3. Pertanyaan tentang masa yang akan datang
“(orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya?”
D.    Pembagian dan macam-macam Asbabun Nuzul[5]
Sebab turunnya ayat bisa ditinjau dari berbagai aspek. Jika ditinjau dari bentuknya, sebab asbabun nuzul dapat dibagi menjadi dua bentuk, seperti telah diterangkan di permulaan bab ini. Yang pertama berbentuk peristiwa dan yang kedua berbentuk pertanyaan.
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, sebab al-nuzul dapat dibagi kepadata’addud al-asbab wa al-nazil wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun satu) dan ta’addud al-nazil wa al-sahab wahid (inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedangkan sebab turunnya satu)
E.     Satu ayat dengan banyak sebab
Para mufasir menyebutkan turunnya ayat yang mempunyai beberapa sebab, maka jika di temukan dalam satu ayat tersebut, maka salah satu mufasir berkata ayat ini turun mengenai urusan ini sedangkan riwayat lain menyebutkan asbabun nuzul dengan tegas dan riwayat yang tidak tegas, termasuk didalam hukum ayat "istri-istri mu ibarat kamu tempat bercocok tanam" sementara itu orang islam menyebutkan sebab nuzul yang bertentangan dengan riwayat melalui jabir, orang yahudi berkata "jika seorang laki-laki mendatangi istrinya dari belakang, maka anaknya bermata juling" jika suatu ayat disebutkan sebab dan sebab yang lain itu shoheh maka yang di jadikan pegangan adalah riwayat yang shoheh riwayat dari bokhori muslim dan hadist yang lainya dari humdan al bunawi nabi menderita sakit hingga dua hari dua malam kemudian datang seorang perempuan kepadanya dan berkata : "hai Muhammad kurasa setanmu sudah tak mendekatimu ,selama dua ,tiga malam ini sidah tidak mendekatimu lagi." maka Allah menurunkan ayat demi waktu dhuha dan demi malam apabila setelah sunyi tuhan mu tiada meninggalmu dan tidaklah membencimu.[6]
F.      Banyaknya ayat dengan satu sebab.
 Terkadang banyak ayat yang turun, sedangkan sebabnya hanya satu. Dalam hal ini tidak ada masalah yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun di dalam berbagai surat berkenaan dengan suatu peristiwa. Contohnya adalah ayat yang menjelaskan akan larangan meminum khamar, ayat-ayat yang membahas ini adalah Qs Al-Nahl (16):67, Qs Al-Baqarah (2):219, Qs An-Nisa’(4):4, Qs Al-Maidah(5):90-91.[7] “mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. Kemudian turun ayat An-Nisa’ pada saat seorang imam yang sholat dalam keadaan mabuk, sebagaimana yang sudah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya. Allah SWT melarang seorang sholat dalam keadaan mabuk. Sesuai dengan surat An-Nisa (4):43, 43. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,..
G.    Beberapa ayat yang turun mengenai satu orang.
 Terkadang seorang sahabat mengenai peristiwa lebih dari satu kali dan Al–Qur'an turun mengenai satu peristiwa, maka dari itu kebanyakan Al-Qur’an turun sesuai dengan peristiwa yang terjadi, misalnya seperti apa yang di riwayatkan oleh bukhori dalam kitab Al-adahi mufiat tentang berbakti kepada orang tua, dari saad bin abi waqos ada empat ayat Al-Qur’an turun berkenaan dengan aku:
1.      ketika ibuku bersumpah dia tidak akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan Muhammad lalu allah menurunkan ayat, " dan jika memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergilah keduanya di dunia dengan baik (luqman:15).
2.      ketika aku mengambil sebuah pedang dan mengaguminya maka aku berkata kepada rosullullah, ''berikan aku pedang ini'' maka turunlah ayat. Mereka bertanya kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang (Al-Anfal:01).
3.      ketika aku sedang sakit Rosullullah mengunjungiku dan aku bertanya kepada beliau: ''Rosullullah aku ingin membagikan hartaku, bolaehkah aku mewasiatkan separuh nya?'' beliau menjawab: ''tidak'' aku bertanya: ''bagaimana jika sepertiganya?'' Rosullullah diam. maka wasiat dengan sepertiga harta itu diperbolehkan.
4.      ketika aku sedang minum minuman keras (khomr) bersama kaum ansor , seorang memukul hidungku dengan tulang rahang unta, lalu aku datang kepada rasullulloh , maka Allah SWT melarang minum khomr. Dalam hal ini telah turun wahyu yang sesuai dengan banyak ayat.
H.    Faedah (manfaat) dari mempelajari Asbabun Nuzul.
Berdasarkan pendapat Ibnu Taimiyah, beliau “mengetahui sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an akan membantu seseorang itu memahami kandungan makna dan kejelasan ayat-ayat tersebut.  Mengetahui Asbabun Nuzul sangat besar pengaruhnya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Berikut faedah atau manfaat dari mempelajari Asbabun Nuzul:[8]
1.     Dapat mengetahui hikmah disyari’atkannya hukum. Imam Al-Wahidi mengatakan, ”Tidak mungkin orang bisa mengetahui tafsir suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan penjelasan mengenai turunnya lebih dahulu”.
2.     Kekhususan hukum disebabkan oleh sebab tertentu. Ibnu Taimiyyah mengatakan, ”Mengetahui asbabun nuzul sangat membantu untuk memahami ayat. Sesungguhnya dengan mengetahui sebab akan mendapatkan ilmu musabbab”.
3.     Mengetahui nama orang, dimana ayat diturunkan berkaitan dengannya, dan pemahaman ayat menjadi lebih jelas.
FOOTNOTE
[1] Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul qur’an,(Pekan Baru:Amzah,2009),hal 29.
[2] Mohammad Aly Ash Shabuny, Pengantar Study Al-Qur’an,(Bandung:PT.Alma’arif,1996),hal 46.
[3] Ibid,hal 30.
[4] Sukardi K.D,Belajar mudah ‘Ulum Al-Qur’an,(Jakarta:PT.LENTERA BASTRITAMA,2002), Hal 130
[5] Drs. H. Ramli Abdul Wahid,M.A, Ulumul Qur’an, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,1994), hal 38.
[6] www.excellent165.blogspot.com, Diakses 09-sepetember-2014,17:00 wib.
[7] Drs.H.Ramli Abdul Wahid, op.cit.hal 53-56
[8] Op.cit,Drs Abu Anwar,M.Ag,hal 35.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....11
MAKIYYAH DAN MADANIYAH
A.    Pengertian Makkiyah dan Madaniyah
Para sarjana muslim mengemukakan empat perspektif dalam mendefinisikan terminologi makkiyah dan madaniyah. Keempat perspektif itu adalah :
1.         Masa turun                  (zaman an-nuzul)
2.         Tempat turun               (makan an-nuzul)
3.         Objek pembicaraan     (mukhathab)
4.         Tema pemmbicaraan   (maudu’)
1.      Dari perspektif masa turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai berikut :.
 “Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum rasulullah hijrah ke madinah, kendatipun bukan turun di mekah, sedangkan madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah rasulullah hijrah ke madinah, kendatipun bukan turun di madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut madaniyyah walaupun turun di mekah atau di arafah.”
Dengan demikian, surat an-nisa’ [4]: 58 termasuk kategori madaniyyah kendatipun diturunkan di mekah, yaitu pada peristiwa terbukanya kota mekah (fath makkah). Begitu pula, surat al-maidah [5]: 3 termasuk kategori madaniyyah kendatipun tidak diturunkan di madinah karena ayat itu diturunkan pada peristiwa haji wada’.
2.      Dari perspektif tempat turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai berikut :
“Makkiyah adalah ayat-ayat yang turun di mekah dan sekitarnya seperti mina, arafah, dan hudaibiyyah, sedangkan madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun di madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba’ dan Sul’a” Terdapat celah kelemahan dari pendefnisian di atas sebab terdapat ayat-ayat tertentu, yang tidak di turunkan di Makkah dan di Madinah dan sekitarnya.
Misalnya surat At-Taubah [9]: 42 diturunkan di Tabuk, surat Az-Zukhruf [43]: 45 diturunkan di tengah perjalanan antara Makkah dan Madinah. Kedua ayat tersebut, jika melihat definisi kedua, tidak dapat dikategorikan ke dalamMakkiyyah dan Madaniyyah.
3.      Dari objek pembicaraan, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai berikut :
Artinya :“Makkiyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Makkah. SedangkanMadaniyyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orangMadinah”
Pendefinisian diatas dirumuskan para sarjana muslim berdasarkan asumsi bahwa kebanyakan ayat al-qur’an dimulai dengan ungkapan “ya ayyuhan naas” yang menjadi kriteria Makkiyah, dan ungkapan “ya ayyuha al-ladziina” yang menjadi kriteria Madaniyyah. Namun, tidak selamanya asumsi ini benar. Surat Al-Baqarah [2], misalnya, termasuk kategori Madaniyyah, padahal di dalamnya terdapat salah satu ayat, yaitu ayat 21 dan ayat 168, yang dimulai dengan ungkapan “ya ayyuhan naas”. Lagi pula, banyak ayat al-quran yang tidak dimulai dengan 2 ungkapan di atas.
4.      Dari tema pembicaraan, mereka akan mendefinisikan kedua terminologi   lebih terinci.
Kendatipun mengunggulkan pendefinisian Makkiyyah danMadaniyyah dari perspektif masa turun, subhi shahih melihat komponen-komponen serupa dalam tiga pendefinisian. Pada ketiga versi itu terkandung komponen masa tempat dan orang. Bukti lebih lanjut dari tesis shahih di atas bisa dilihat dalam kasus surat Al-Mumtahanah [60]. Bila dilihat dari perspektif tempat turun, surat ini termasukMadaniyyah karena diturunkan sesudah peristiwa hijrah. Akan tetapi, dalam perspektif objek pembicaraan, surat itu termasukMakkiyah karena menjadi khitab bagi orang-orang mekah. Oleh karena itu, para sarjana muslim memasukkan surat itu kedalam “ma nuzila bi al Madinah wa hukmuhu Makki ” (ayat-ayat yang di turunkan di Madinah, sedangkan hukumnya termasuk ayat-ayat yang diturunkan di Mekah). [1]
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa Makkiyyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah SWT sebelum hijrah ke Madinah, walaupun ayat tersebut turun di sekitar / bukan di kota Makkah, yang pembicaraannya lebih ditujukan untuk penduduk Makkah.
Sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya walaupun turunnya di Makkah, dan pembicaraannya lebih ditujukan untuk penduduk Madinah.
B.     Sejarah Perkembangan Maakkiyah dan Madaniyyah
Dikalangan ulama terdapat beberapa pendapat tentang dasar atau kriteria yang dipakai untuk menentukan Makkiyyah dan Madaniyyah suatu surat atau ayat.
Sebagian ulama menetapkan lokasi turunnya ayat-ayat atau surat sebagai dasar penentuan Makkiyyah dan Madaniyyah, sehingga mereka membuat definisi Makkiyyah dan Madaniyyah sebagai berikut:
Yang diartikan sebagi berikut: “Makiyah ialah yang diturunkan dimakkah sekalipun turunnya sesudah hijrah, madaniyah ialah yang diturunkan di madinah”
Agak sulit memang melacak dan mengidentifikasi secara pasti ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah karena urutan tata tertib ayat tidak mengikuti kronologi waktu turunnya ayat tetapi berdasarkan petunjuk nabi. Lagi pula pada mushaf usmani yang menjadi acuan sejak semula disusun mengikuti petunjuk nabi.
Koleksi mushaf para sahabat yang diantaranya ada yang ditulis berdasarkan turunnya ayat, semuanya sudah dibakar setelah tim penyusun al-Quran yang dibentuk Usman bin Affan menyelesaikan tugasnya. Jadi pembakaran mushaf tersebut bisa juga berarti sebagai kerugian intelektual, karena dengan demikian menjadi sulit melacak kronologi ayat berdasarkan waktu turunnya. [2]
C.     Perbedaan Makkiyah dan Madaniyyah
1.      Ciri-ciri khusus surat makkiyah
a.       Mengandung ayat sajdah (Al-A’raf : 206, A-Nahl : 149, An-Nahl : 50, Al-Isra’ : 107, Al-Isra’ : 108, Al-isra’ : 109, Maryam : 85, Al-Furqan : 60.)
b.      Terdapat lafal kalla sebagian besar ayatnya (Al-Humazah :4)
كلا لينبذن فى الحطمة
c.       Terdapat seruan dengan ya ayyuhannasu contonhya dalam surat Yunus : 57,
يايهاالناس قدجاءتكم موعظة من ربكم وشفاءلما فى الصدور وهدى ورحمة للمؤمنين
d.      Mengandung kisah nabi-nabi dan umat-umat yang telah lalu, kecuali surat Al-Baqarah (surat Al-A’raaf : kisah Nabi Adam dengan iblis, kisah Nabi Nuh dan kaumnya, kisah Nabi Shalih dan kaumnya, kisah Nabi Syu’aib dan kaumnya, kisah Nabi Musa dan Firaun).
e.       Terdapat kisah adam dan iblis.[3]
Contohnya dalam surat Al-A’raf : 11 yang artinya : “sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (adam), lalu kami bentuk tubuhmu, kemudian kami katakana kepada malaikat : bersujudlah kamu kepada adam. Maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.”
f.       Setiap suratnya terdapat Sujud Tilawah, sebagian ayat-ayatnya.
g.      Semua atau sebagian suratnya diawali huruf tahajji seperti Qaf (ق (, Nun ( ن ), Kha Mim (حم ) contonya (ص) dalam surat Shaad : 1
h.      Ayat-ayatnya dimulai dengan huruf terpotong-potong (al-ahraf al-muqatha’ah ataufawaatihussuwar), seperti “الم(surat Ar-Rum :1), الر (surat Hud :1),هم “, kecuali Q.S Al-Baqoroh dan Ali ‘Imron.[4]
2.      Ciri-ciri surat makkiyah yang aghlaniyah (umum).
a.       Ayat-ayatnya pendek, surat-suratnya pendek (An-Nass 6 ayat, Al-Ikhlas 4 ayat, Al-Falaq 5 ayat, Al-Lahab 5 ayat), nada perkataannya keras dan agak bersajak (surat Al-Ashr).
b.      Mengandung seruan pokok-pokok iman kepada Allah, hari akhir dan menggambarkan keadaan surga dan neraka.
c.       Menyeru manusia berperagai mulia dan berjalan lempang di atas jalan kebajikan (An-Nahl, = akhlak-akhlak baik)
d.      Mendebat orang-orang musyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan pendirian mereka (surat Al-Kahfi ayat 102-108)
e.       Banyak terdapat lafadz sumpah.[5] 
3.      Ciri-ciri khusus surat madaniyyah.
a.       Di dalamnya ada izin berperang atau ada penerangan tentang hal perang dan penjelasan tentang hukum-hukumnya. (QS. Al-Ahzab = tentang perang ahzab / khandaq).
b.      Di dalamnya terdapat penjelasan bagi hukuman-hukuman tindak pidana, fara’id, hak-hak perdata, peraturan-peraturan yang bersangkut paut dengan bidang keperdataan, kemasyarakatan dan kenegaraan. (QS. An-Nur = tentang hukum-hukum sekitar masalah zina, li’an, adab-adab pergaulan di luar dan di dalam rumah tangga. QS. Al-Ahzab = tentang hukum zihar, faraid)
c.       Di dalamnya tersebut tentang orang-orang munafik (surat An-Nur ayat 47-53 tentang perbedaan sikap orang-orang munafik dengan sikap orang-orang muslim dalam bertakhim kepada Rasul)
d.      Di dalamnya didebat para ahli kitab dan mereka diajak tidak berlebih-lebihan dalam beragama, seperti terdapat dalam surat Al-Baqarah, An-Nisa’, Ali Imran, At-Taubah dan lain-lain.[6]
4.      Ciri-ciri surat madaniyyah yang aghlaniyah (umum)
a.       Suratnya panjang-panjang, sebagian ayatnya pun panjang serta jelas menerangkan hukum (QS. Al-Baqarah surat dan ayatnya panjang, dan didalamnya terdapat hukum haji dan umrah, hukum qishas, hukum merubah kitab-kitab Allah, hukum haid, iddah, hukum bersumpah, hukum arak dan judi).
b.      Menjelaskan keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang menunjukkan kepada hakikat-hakikat keagamaan.
D.    Beberapa Contoh Ayat Makkiyah dan Madaniyah
1.      Makkiyah [7]
Diantaranya :
1
Al-‘Alaq
47
An-Naml
2
Al-Qolam
48
Al-Qoshash
3
Al-Muzzammil
49
Al-Isro’
4
Al-Muddatstsir
50
Yunus
5
Al-Fatihah
51
Hud
6
Al-Lahab
52
Yusuf
7
At-Takwir
53
Al-Hir
8
Al-A’la
54
Al-An’am
9
Al-Lail
55
Ash-Shaffat
10
Al-Fajr
56
Luqman
11
Ad-Dhuha
57
Saba’
12
Al-Insyiroh
58
Az-Zumar
13
Al-Ashr
59
Ghofir
14
Al-Adiyat
60
Fushshilat
15
Al-Kautsar
61
Asy-Syura
16
At-takatsur
62
Az-Zukhruf
17
Al-Ma’un
63
Ad-Dukhan
18
Al-Kafirun
64
Al-Jatsiah
19
Al-Fiil
65
Al-Ahqof
20
Al-Falaq
66
Al-Adzariyat
21
An-Nas
67
Al-Ghosiyah
22
Al-Ikhlas
68
Al-Kahfi
23
An-Najm
69
An-Nahl
24
‘Abasa
70
Nuh
25
Al-Qodar
71
Ibrahim
26
Asy-Syams
72
Al-Anbiya’
27
Al-Buruj
73
Al-Mu’minun
28
At-Tiin
74
As-Sajadah
29
Al-Quroisy
75
At-Thur
30
Al-Qori’ah
76
Al-Mulk
31
Al-Qiyamah
77
Al-Haqqoh
32
Al-Humazah
78
Al-Ma’arij
33
Al-Mursalat
79
An-Naba’
34
Qaf
80
An-Nazi’at
35
At-Thoriq
81
Al-Balad
36
Al-Qomar
82
Al-Infithor
37
Shad
83
Al-Insyiqoq
38
Al-A’rof
84
Ar-Rum
39
Jinn
85
Al-Ankabut
40
Yasin
86
Al-Muthoffifin
41
Al-Furqon
87
Al-Zalzalah
42
Fathir
88
Ar-Rod
43
Maryam
89
Ar-Rohman
44
Thoha
90
Al-Insan
45
Al-Waqiah
91
Al-Bayyinah
46
Asy-Syu’ara



2.      Madaniyah[8]
Diantaranya :
1
Al-Baqoroh
13
Ali-Imron
2
Al-Anfal
14
Al-Ahzab
3
Al-Mumtahanah
15
Al-Hujurat
4
An-Nisa’
16
At-Tahrim
5
Al-Hadid
17
At-Taghabun
6
Al-Qital
18
As-Shaf
7
At-Tholaq
19
Al-Jumuah
8
Al-Hasr
20
Al-Fath
9
An-Nur
21
Al-Maidah
10
Al-Hajj
22
At-Taubah
11
Al-Munafiqun
23
An-Nashr
12
Al-Mujadilah



E.     Fungsi Memahami Ilmu Makkiyah dan Madaniyah
An-Naisaburi dalam kitabnya At-Tanbih ‘ala Fadhl Ulum Al-Quran, memandang subjek makkiyah dan madaniyyah sebagai ilmu Al-Quran yang paling utama. Sementara itu , Manna’ Al-Qaththan mencoba lebih jauh lagi dalam mendeskripsikan urgensi mengetahui makkiyah dan madaniyyah sebagai berikut.
1.      Membantu dalam menafsirkan Al-qur’an
Pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa di seputar turunnya Al-Qur’an tentu sangat membantu dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, kendatipun ada teori yang mengatakan bahwa yang harus menjadi patokan adalah keumuman redaksi ayat dan bukan kehususan sebabin. Dengan mengetahui kronologis Al-Quran pula, seorang mufassir dapat memecahkan makna kontradiktif dalam dua ayat yang berbeda, yaitu dengan pemecahan konsepnasikh-mansukh yang hanya bisa diketahui melalui kronologi Al-Quran.
2.      Pedoman bagi langkah-langkah dakwah
Setiap kondisi tentu saja memerlukan ungkapan-ungkapan yang relevan. Ungkapan-ungkapan dan intonasi berbeda yang digunakan ayat-ayat makkiyah dan ayat-ayat madaniyyah memberikan informasi metodologi bagi cara-cara menyampaikan dakwah agar relevan dengan orang yang diserunya. Oleh karena itu, dakwah Islam berhasil mengetuk hati dan menyembuhkan segala penyakit rohani orang-orang yang diserunya. Di samping itu, setiap langkah-langkah dakwah memiliki objek kajian dan metode-metode tertentu, seiring dengan perbedaan kondisi sosio-kultural manusia. Periodisasi makkiyah dan madaniyyah telah memberikan contoh untuk itu.
3.      Memberi informasi tentang sirah kenabian
Penahapan turunnya wahyu seiring dengan perjalanan dakwah nabi, baik di mekah atau di madinah, dimulai sejak diturunkannya wahyu pertama sampai diturunkannya wahyu terakhir. Al-Quran adalah rujukan otentik bagi perjalanan dakwah nabi itu. Informasinya tidak bisa diragukan lagi.
Mengetahui sejarah hidup nabi melalui ayat-ayat Al-Quran, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dan segala peristiwa yang menyertainya, baik pada periode makkah maupun periode madinah, sejak turun iqra’ sampai ayat yang terakhir diturunkan. Al-Quran adalah sumber pokok bagi hidup Rasulullah. Pola hidup beliau harus sesuai dengan Al-Quran dan Al-Quran pun memberikan kata putus terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan. [9]
Selain itu juga pengetahuan tentang makkiyah dan madaniyah banyak membawa hikmah dan faedah serta kagunaan yang bermacam-macam, antara lain sebagai berikut:
1.      Mudah diketahui mana ayat-ayat yang turun lebih dahulu dan mana ayat yang turun belakangan dari kitab suci Al-Quran
2.      Mudah diketahui mana ayat-ayat Al-Quran yang hukum bacaannya telah dinaskh (dihapus dan diganti) dan mana ayat-ayat yang menasakhkannya, khususnya bila ada dua ayat yang menerangkan hukum sesuatu masalah, tetapi ketetapan hukumnya bertentangan yang satu dari yang lain.
3.      Mengetahui dan mengerti sejarah pensyariatan hukum-hukum Islam (Taarikhut Tasyri’) yang amat bijaksana dalam menetapkan peraturan-peraturan.
4.      Mengetahui hikmah disyariatkannya suatu hukum.
5.      Mengetahui perbedaan dan tahap-tahap dakwah Islamiah.
6.      Mengetahui perbedaan ushlub-ushlub (bentuk-bentuk bahasa) Al-Quran yang dalam surat-surat makkiyah berbeda dengan yang ada dalam surat madaniyah.[10]
F.      Ayat-ayat Al-qur’an Diturunkan Di Luar Kota Makkah dan Madinah
1.      Ayat yang di bawa dari makkah ke madinah
Contohnya ialah surat Al-A’la. HR. Al-Bukhari dari Al-Bara’ bin Azib yang mengatakan, “orang yang pertama kali datang kepada kami di kalangan sahabat Nabi adalah Mush’ab bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum keduanya membacakan Al-Quran kepada kami. Sesudah itu datanglah Ammar, Bilal dan Sa’ad. Kemudian datang pula Umar Bin Khattab sebagai orang yang kedua puluh. Baru setelah itu datanglah Nabi. Aku melihat penduduk Madinah bergembira setelah aku membacasabbihismarabbikal a’la dari antara surat yang semisal dengannya.” Pengertian ini cocok dengan Al-quran yang dibawa oleh golongan muhajirin, lalu mereka ajarkan kepada kaum anshar.
2.      Ayat yang di bawa dari madinah ke makkah
Contohnya dari awal surat Baqarah, yaitu ketika Rasulullah SAW memerintahkan kepada Abu Bakar untuk pergi haji pada tahun ke Sembilan. Ketika awal surat Baqarah turun, Rasulullah memerintahkan kepada Ali bin Abi Thalib untuk membawa surat tersebut kepada Abu Bakar, agar ia sampaikan kepada kaum musyrikin, maka Abu Bakar pun membacakannya kepada mereka dan mengumumkan bahwa tahun ini tidak ada oseorang musyrik pun yang boleh berhaji.
3.      Ayat yang turun di waktu dalam perjalanan
Mayoritas ayat-ayat dan surat-surat Al-Quran turun pada saat Nabi dalam keadaan menetap. Akan tetapi, karena kehidupan Rasulullah tidak pernah lepas dari jihad dan peperangan di jalan Allah, maka wahyu pun turun juga dalam perjalanan tersebut. Imam As-Suyuthi menyebutkan awal surat Al-Anfal yang turun di Badar setelah selesai perang, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Sa’ad bin Abi Waqqash.
Sedangkan ayatnya adalah sebagai berikut
والذين يكنزون الذهب والفضة ولا ينفقونها فى سبيل الله
Diriwayatkan Ahmad dari Tsauban, bahwa ayat tersebut turun ketika Rasulullah dalam salah satu perjalanan.
Juga awal surat Al-Hajj. At-Tirmidzi dan Al-Haakim meriwayatkan dari Imran bin Hushain yang menyatakan “ketika turun kepada Nabi ayat ‘wahai manusia, bertakwalah kepada tuhanmu, sesungguhnya goncangan Hari Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar …sampai dengan .. tetapi adzab Allah sangat kerasnya’ beliau sedang berada dalam perjalanan.”
Begitu juga surat Al-Fath. Al-Hakim dan yang lain meriwayatkan, dari Al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam, keduanya berkata “surat Al-Fath dari awal sampai akhir turun di antara kota makkah dan madinah berkaitan dengan masalah perdamaian Hudaibiyah.”
Sebagian dari ayat Al-Quran tidak hanya turun di kota makkah dan sekitarnya dan tidak pula di madinah dan sekitarnya, seperti firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 42 dan pada surat Az-Zukhruf ayat 45. Yang kedua ayat tersebut tidak turun di kota makkah dan sekitarnya dan tidak pula di kota madinah dan sekitarnya.  Menurut Ibnu Katsir bahwa surat At-Taubah ayat 42 turun di tabuk, dan surat Az-Zukhruf ayat 45 diturunkan di abitul maqdis pada malam Isra’.[11]
4.      Ayat yang turun di Kota Arofah pada haji wada’[12]
Surat Al-Baqarah ayat : 281
وَاتَقُوا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ اِلَى اللهِ ثُم تُوَفى َكُلُ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. kemudian masing-masing diri diberi Balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”[13]
5.      Ayat yang turun di Kota Mina pada haji wada’
Surat Al-Maidah ayat : 3[14]“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[15]

FOOTNOTE
[1] Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an, bandung,Pustaka Setia, 2008, hal:102-104.
[2] Quraish Shihab, Sejarah & Ulum Al-Quran, bandung, Pustaka Firdaus, 1997, hal: 64.
[3]Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy,Ilmu-Ilmu Ulumul Quran, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2009, hal: 72.
[4] Jalaluddin Rakhmat. ‘Ulum Al-Quran,Bandung: 1431 H, hal: 49.
[5] Ibid, hal: 73.
[6] Ibid, hal: 73-74.
[7] Quraish Shihab, Sejarah & Ulum Al-Quran,Bandung, Pustaka Firdaus, 1997, hal : 65-67
[8] Ibid, hal : 67-69
[9] Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an, bandung,Pustaka Setia, 2008, hal: 115-116
[10]http//www.jihadad.blogspot.com/p/mengenal-surat-makkiyah-dan.html. Diakses pada tanggal 05-04-2015 pada pukul 18:30
[11] Syeikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2006, hlm: 67-71.
[12] Jalaluddin Rakhmat. ‘Ulum Al-Quran,Bandung: 1431 H, hal. 58
[13] Abdullah bin Abdul Aziz Ali Sa’ud, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Pentafsir Al Qur’an, 1971, hal : 70
[14] Jalaluddin Rakhmat, Op Cit, hal. 59.
[15] Abdullah bin Abdul Aziz Ali Sa’ud, Op Cit,hal : 157

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....12
NASIK DAN MANSUK
A.    Pengertian Nasikh dan Mansukh dan Syarat-Syaratnya
Nasikh menurut bahasa memilki dua arti yaitu: hilangkan dan hapuskan. Misalnya dikatakan nasakhat asy-syamsu azh-zhilla, artinya matahari menghilangkan bayang-bayang dannasakhat ar-rih atsara al-masyyi, artinya angin menghapuskan jejak langkah kaki. Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya:nasakhtu al- kitab, artinya, saya menyalin isi kitab. Didalam Al-quran dikatakan:
هَٰذَا كِتَابُنَا يَنْطِقُ عَلَيْكُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: “ Sesunguhnya kami menyuruh untuk menasakhkan apa dahulu kalian kerjakan.” (Al-jatsiyah:29).
Maksudnya, kami (Allah) memindahkan amal perbuatan kedalam lembaran-lembaran catatan amal.
Sedangkan menurut istilah nakh ialah “mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain.” Disebutkan disini kata “hukum”, menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hukum asalnya boleh” (Al-Bara’ah Al-ashliyah) tidak termasuk yang di naskh. Kata-kata “dengan dalil hukum syara’” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum yang disebabkan kematian atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas. Contohnya:
وَ ِللهِ الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui. Disitulah wajah Allah” (QS. Al-Baqarah [2] : 115.)
              Kemudian di nasakh oleh ayat:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya: “maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram....”(QS. Al-Baqarah:144)
Ada yang berpendapat inilah yang benar, bahwa ayat pertama tidak dinaskh  sebab ia berkanaan dengan sholat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan diatas kendaraan, juga dalam keadaan takut dan daruarat. Dengan demikian, hkum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam Ash-Shahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan sholat fardlu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah kehadap Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
Sedangkan pengertian mansukh adalah hukum yang diangkat atau
dihapuskan. Maka ayat mawarits(warisan) atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
a.       Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
b.      Dalil penghapusan hukum tersebut adalahkhitab syar’i yang datang lebih kemudian hari khitab yang hukumnya di mansukh
c.       Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhiranya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Makki berkata: “segolongan Ulama menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas tertentu, seperti firman Allah: “Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya” (QS. Al-Baqarah;109), adalahmuhkam, tidak mansukh, sebab ia dikaitkan dengan batas waktu, dan sesuatu yang dibatasi oleh waktu tidak ada naskh di dalamnya.
B.     Sejarah Nasikh dan Mansukh.
Asal mula timbulnya teori nasikh ialah bermula adanya ayat-ayat yang menurut anggapan mereka saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Nasikh mansukh alam konteks eksternal agama yang lazim dikenal dengan sebutan al-badadiperselisihkan dikalangan antar pemeluk agama.Penolakan Yahudi dan Nasrani terhadap kemungkinan bada’ dan penerimaan kaum muslimin terhadap naskh antar agama, pada dasarnya timbul karena adanya perbedaan paham ketiga agama ini terhadap kenabian dan kitab sucinya. Yahudi dan Nasrani tidak mengakui adanya naskh, karena menurut mereka, naskh mengandung konsep al-bada’, yakni muncul setelah tersembunyi. Maksudnya mereka adalah, naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil pula bagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah naskh dan mansukh telah diketahui oleh Allah labih dahulu. Jadi pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hambaNya dari satu hukum ke hukum yang lain adalah karena sesuatu maslahat yang telah diketahuiNya yang absolut terhadap segala milikNya.
Pengetahuan tentang Nasikh dan Mansukh mempunyai manfaat besar, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kabur dan tidak terjadi kesalahpahaman. Oleh sebab itu, terdapat banyak atsar yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Seperti yang diriwayatkan Ali pada suatu hari, ia bertanya pada seorang hakim “Apakah kamu mengetahui yang naskh dan yangmansukh?” “Tidak” jawab hakim itu. Maka kata Ali, “Celakalah kamu dan kamupun akan mencelakakan orang lain.”
Untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh terdapat beberapa cara:
a.       Keterangan tegas dari Nabi
b.      Ijma’ umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh
c.       Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan sejarah.
C.     Klasifikasi Nasikh dan Mansukh
a.       Naskh Al-qur’an dengan Al-qur’an(Naskhul Qur’aani bil Qur’aani), Bagian ini dsiepakati kebolehannyaa dan telah terjadi di dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, ayat tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari.
b.      Naskh Al-qur’an dengan As-Sunnah(Naskhul Qur’aani bis Sunnati)
Naskh ini ada dua macam:
1).      Naskh Al-qur’an dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, Al-qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Al-qur’an adalah mutawattir dan menunjukkan keyakinan, sedang hadits ahad itu zhanni, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapusakan sesuatu yang maklum (jelas diketahui) dengan yang mazhnun (diduga).
2).     Naskh Al-qur’an dengan hadits mutawattir. Naskh senacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman:
Artinya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.  Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm 3-4)
Dalam pada itu Asy-syafi’i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskhseperti ini, berdasarkan firman Allah,
Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. Al-Baqarah:106) Sedang hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al-qur’an.
3). Naskh sunah dengan Al-qur’an(Naskhus Sunnah bil Qur’aani) Naskh ini menghapuskan hukum yang ditetapkan berdasarkan sunnah diganti dengan hukum yang didasarkan dengan Al-qur’an. Naskh jenis ini diperbolehkan oleh jumhur Ulama’. Contohnnya seperti berpuasa wajib pada hari Asy-Syura yang ditetapkan berdasarkan sunnah juga dinasakh firman Allah:
Artinya: “Maka barang siapa menyaksikan bulan Ramadlan hendaklah ia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah:185)[1]
Maksudnya, semula berpuasa hari Asy-Syura itu wajib, tetapi setelah turun ayat yang mewajibkan puasa pada bulan Ramadlan, maka puasa pada hari Asyura itu tidak wajib lagi, sehingga ada orang yang berpuasa dan ada yang tidak.
4). Nasikh sunah dengan sunah(Naskhus Sunnah bis Sunnah), Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh keduanya, maka pendapat yang shohih tidak membolehkannya.[2]
D.    Perbedaan antara Nasikh dan Mansukh
Adat Naskh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada. Nasikh yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya Nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapusnya. Sedangkan Mansukh adalah hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan. Dan Mansukh ‘anh yaitu orang yang dibebani hukum.
E.     Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh.
a.              Memelihara kepentingan hamba
b.              Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia
c.       Cobaan dan ujian bagi orangmukallaf untuk mengikutinya atau tidak
d.      Menghendaki  kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu  beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih kehal yang mengandung kemudahan dan keringanan.[3]
Pengetaguan yang benar terhadap teks yang nasikh dan yang mansukh, disamping dapat membantu seseorang di dalam memahami konteks diturunkannya sebuah teks,juga dapat mengetahui bagian mana teks al-Qur’an yang turun lebih dahulu dan yang turun kemudian.Disisi lain, pengetahuan terhadap fenomena ini juga akan memperteguh kekayaan kita bahwa sumber Al-Qur’an yang hakiki adalah Allah. Sebab Dialah yang menghapuskan sesuatu dan menetapkan yang lainnya menurtut kehendakNya dan kekuasaaNya tidak dapat diintervensi oleh kekuatan apapun.[4]
F.      Pendapat tentang Nasikh dan Mansukh dan ketetapannya
Dalam masalah Naskh, para Ulama terbagi atas empat golongan:
1.      Orang Yahudi. Mereka tidak mangakui adanya Naskh, karena menurutnya, Naskh mengandung konsep al-bada’, yakni Nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Yang dimaksud mereka ialah, Naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya Karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahilbagi-Nya. Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah Nasikh dan Mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuannya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari satu hokum ke hukum yang lain adalah karena suatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala milik-Nya.
Orang Yahudi sendiri mengakui bahwa syari’at Musa menghapuskan syari’at sebelumnya. Dan dalam nas-nas Taurat pun terdapat Naskh, sepert pengharaman sebagian binatang atas Bani Israil yang semula dihalalkan. Berkenaan dengan mereka Allah berfirman:
 “Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’kub) untuk dirinya sendiri.” (QS. Ali Imran [3]:93)[5]
Ditegaskan dalam Taurat, bahwa Adam menikah dengan saudara perempuannya. Tetapi kemudian Allah mengharamkan pernikahan dengan demikian atas Musa, dan Musa memerintahkan Bani Israil agar membunuh siapa saja di antara mereka yang menyembah patung anak sapi namun kemudian perintah in idicabut kembali.
2.      Orang Syi’ah Rafidah, mereka sangat berlebihan dalam menetapkan Naskh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang Yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a.secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah:
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَاب
Artinya: “Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki).” (ar-Ra’d [13]:39) dengan pengertian bahwa Allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan.
Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap Qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapuskan segala sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat. Disamping itu penghapusan dan penetapan terjadi dalam banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dengan kebaikan.
3.      Abu Muslim al-Asfahani. Menurutnya, secara logika Naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi Naskh dalam Al-Qur’an. Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebut ialah, bahwa Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
4.      Jumhur Ulama. Mereka berpendapat Naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
a.       Perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung padahal alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
b.      Nas-nas kitab dan Sunah menunjukkan kebolehan Naskh dan terjadinya. Antara lain:
1.      Firman Allah: “Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempa ayat yang lain…” (QS.An-Nahl [16]:101)
2.      Dalam sebuah hadist shahih, dari Ibn Abbas r.a., umar r.a.berkata : ”Yang paling paham dan paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: “Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW, padahal Allah telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami Naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya…” (Al-Baqarah [2]:106)[6]

FOOTNOTE
[1] http://muslim.or.id/tafsir/tafsir-surat-al-baqarah-185.html
[2]Manna Khalil Al-Qattan, StudiIlmu-Ilmu Qur’an,PustakaLiteraAntarNusa, Jakarta:2001.Hlm. 325-334.
[3]Rosihon Anwar,  Ulum Al-Qur’an,PustakaSetia, Bandung: 2000.Hlm.165-166.
[4] [4] Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung: 2001.hlm.278.
[5] http://saifuddinasm.com/2013/01/23/ali-imran93-94-batalnya-yahudi-yang-mengharamkan-makanan/
[6]Manna Khalil Al-Qattan, Op.Cit. hlm.330-334.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....13
MUNASABAH AL-QUR’AN
A.    Definisi Munasabah.
Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa arab dari asal kata nasaba-yunasibu-munasabahan yang berarti musyakalah (keserupaan)[1], dan muqarabah. Lebih jelas mengenai pengertian munasabah secara etimologis disebutkan dalam kitab Al burhan fi ulumil Qur”an bahwa munasabah merupakan ilmu yag mulia yang menjadi teka-teki akal fikiran, dan yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang di ucapkan.
Sedangkan secara terminologis definisi yang beragam muncul dari kalangan para ulama terkait dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah satunya, memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum dan lafal lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat dan ma’lul, kemiripan ayat pertentangan (ta’arudh).[2]
Manna Al-Qathan dalam mabahis fi ulum Al-Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan munasabah dalam pembahasan ini adalah segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dan satu ayat dengan ayat yang lain atau antara satu surat dengan surat yang lain. Menurut M Hasbi Ash Shiddieq membatasi pengertian munasabah kepada ayat-ayat atau antar ayat saja.
Dalam pengertian istilah, munasabah diartikan sebagai ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat Al-Qur’an atau dengan kalimat lain, munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar surat atau ayat yang dapat diterima oleh akal. Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia illahi, sekaligus sanggahanya, bagi mereka yang meragukan Al-Qur’an sebagai wahyu.[3]
Sedangkan menurut para ulama :
1.      Menurut Manna’ al-Qattan
Manna’ al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, munâsabah menurut bahasa disamping berarti muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah ulum al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi : Pertama, hubungan satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga, hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat; keempat, hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan satu ayat dengan ayat yang lain; keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam satu ayat; ketujuh, hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan antara penutup surat dengan awal surat. Jadi Menurut Manna’ Khalil Qattan : “Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat didalam Al-Qur’an”.
2.      Menurut Imam al-Zarkasyi
Menurut Imam al-Zarkasyi kata munâsabah menurut bahasa adalah mendekati (muqârabah), seperti dalam contoh kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata nasib adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”Jadi Menurut Az-Zarkasyi, adalah :  “Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan kepada akal, akal itu pasti menerimanya”.
3.      Menurut Ibn Al-Arabi : “Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung”.
4.      Menurut Al-Biqa’i, yaitu : “Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat  dengan ayat, atau surat dengan surat”.
Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan.
Pada dasarnya pengetahuan tentang munasabah atau hubungan antara ayat-ayat itu bukan tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihadi seorang mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an, rahasia retorika, dan segi keterangannya yang mandiri.
Seperti halnya pengetahuan tentang Asbabun Nuzul  yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antar ayat dengan ayat dan surat dengan surat juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat  dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama menghususkan diri untuk menulis buku mengenai pembahasan ini. Tetapi dalam pendapat lain dikemukakan atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika (perbedaan urutan surat dalam Al-Qur’an) adalah wajar jika teori Munasabah Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum Al-Qur’an walaupun keadaan sebenarnya Munasabah ini masih terus dibahas oleh para mufassir yang menganggap Al-Qur’an adalah Mukjizat secara keseluruhan baik Redaksi maupun pesan ilahi-Nya.
B.     SEJARAH PERKEMBANGAN MUNASABAH
Menurut Asy Syarahbani, seperti dikutip Az Zarkasyi dalam Al Burhan, orang pertama yang menampakkan munasabaah dalam menafsirkan Al-Qur’an ialah Abu Nakar An Naisaburi (wafat tahun 342 H). Besarnya perhatian An Naisaburi terhadap munasabah nampak dari ungkapan As Suyuti sebagai berikut : “Setiap kali ia duduk di atas kursi, apabila dibacakan Al-Qur’an kepadanya, beliau berkata, “Mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat inibdan apa rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini?” Beliau mengkritik para ulama Bagdad sebab mereka tidak mengetahui.”
Tindakan An Naisaburu merupakan kejutan dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap persesuian, baik antarayat ataupun antarsurat, terlepas dari segi tepat atau tidaknya, segi pro dan kontra terhadap apa yang dicetuskan beliau. Satu hal yang jelas, beliau di pandang sebagai Bapak Ilmu Munasabah.
Tokoh yang mula-mula membicarakan tentang ilmu ini ialah al-Imam Abu Bakr an-Naisaburi (meninggal 323H). Selain beliau terdapat banyak lagi ulama yang membahas. Antara lain:
1.      Al-Imam al-Biqa‘ie - Nazm ad-Durar fi Tanasub al-Ayi was Suwar
2.      Al-Imam as-Suyuti – Tanasuq ad-Durar wa Tanasub as-Suwar
3.       Al-Imam al-Farahi al-Hindi – Dala’il an-Nizam
Selain mereka para ulama seperti az-Zamakhsyari, ar-Razi, al-Baidhawi, Abu Hayyan, al-Alusi, Rasyid Ridha, Sayyid Qutb, Dr. Muhammad Abdullah Darraz dan lain-lain turut menyentuh tentang ilmu ini dan mempraktikkannya dalam penulisan kitab-kitab tafsir mereka.
Sungguhpun begitu, ilmu ini bukanlah disepakati kewujudannya atau diterima oleh semua ulama, mereka yang kontra mewajibkan syarat yang ketat untuk ilmu ini ialah: ‘Izzudin Bin Abdis Salam, as-Syaukani, as-Syinqiti dan sebagainya. Mereka ini berhujah bahwa ilmu al-Munasabah ini adalah takalluf (beban) dan ia tidak dituntut oleh syara’.[4]
C.     POKOK PEMBAHASAN MUNASABAH
Pembahasan Ilmu Munasabah ini terkait dengan bagian-bagian Ulumul Qur’an, baik ayat-ayat ataupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain persesuaian dan persambungannya. Hubungan dan persambungan dari bagian-bagian Al-Qur’an itu bermacam-macam. Ada yang berupa hubungan antara makna umum dan khusus, atau hubunngan pertalian (talazum), seperti hubungan antara sebab dengan akibatnya, ilat dengan ma’lulnya, atau antara dua hal yang sama, maupun antara dua hal yang kontradiksi.
Jadi, pembahasan Ilmu Munasabah atau Ilmu Tanaasubul Ayat Was Suwar ini ialah macam-macam hubungan dan persambungan, serta kaitan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang lain, dan antara surah Al-Quran yang satu dengan yang lain, dalam berbagai bentuk persesuaian dan persambungan.[5]
D.    MACAM-MACAM MUNASABAH
Berdasarkan kepada beberapa pengertian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, pada prinsipnya munasabah al-Qur’an mencakup hubungan antar kalimat, antar ayat, serta antar surat. Macam-macam hubungan tersebut apabila diperinci akan menjadi sebagai berikut :
1.      Munasabah antara surat dengan surat.
2.      Munasabah antara nama surat dengan kandungan isinya.
3.      Munasabah antara kalimat dalam satu ayat.
4.      Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surat.
5.      Munasabah antara ayat dengan isi ayat itu sendiri.
6.      Munasabah antara uraian surat dengan akhir uraian surat.
7.      Munasabah antara akhir surat dengan awal surat berikutnya.
8.      Munasabah antara ayat tentang satu tema.
Dalam upaya memahami lebih jauh tentang aspek-aspek munasabah yang telah diterangkan di atas akan diajukan beberapa contoh di bawah ini.
1.      Munasabah Antara Surat dengan Surat
Keserasian hubungan atau mnasabah antar surat ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan yang erat dari suatu surat dengan surat lainnya. Bentuk munasabah yang tercermin pada masing-masing surat, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan surat-surat lainnya menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya, baik secara umum maupun parsial. Salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah munasabah yang dapat ditarik pada tiga surat beruntun, masing-masing Q. S al-Fatihah (1), Q. S  al-Baqarah (2), dan Q. S al-Imran (3).
Satu surah berfungsi menjelaskansurat sebelumnya, misalnya di dalam surat al-Fatihah / 1 : 6 disebutkan :
إهدنا الصراط المستقيم (6)
Artinya : “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Q. S al-Fatihah / 1 : 6)
Lalu dijelaskan dalam surat al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk al-Qur’an, sebagaimana disebutkan :
تلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين( 2)
Artinya : “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (Q. S al-Baqarah / 2 : 2)
2.            Munasabah Antara Nama Surat dengan Kandungan Isinya
Nama satu surat pada dasarnya bersifat tauqifi (tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa suatu surat terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surat dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surat. Kaitan antara nama surat dengan isi ini dapat di identifikasikan sebagai berikut :
a.       Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan surat. Nama surat al-Fatihah disebut dengan umm al-Kitab karena urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b.      Nama diambil dari perumpamaan , peristiwa, kisah atau peran yang menonjol, yang dipaparkan pada rangkaian ayat-ayatnya; sementara di dalam perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu sarat dengan ide. Di sini dapat disebut nama-nama surat : al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil, al-Lahab dan sebagainya.
c.       Nama sebagai cerminan isi pokoknya, misalnya al-Ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling mendalam serta kepasrahan : al-Mulk mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan sebagainya.
d.      Nama diambil dari tema spesifik untuk dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain yang tersebar diberbagai surat. Contoh al-Hajj (dengan spesifik tema haji), al-Nisa’ (dengan spesifik tema tentang tatanan kehidupan rumah tangga). Kata Nisa’ yang berarti kaum wanita adalah irrig keharmonisan rumah tangga.
e.       Nama diambil dari huruf-huruf tertentu yang terletak dipermulaan surat, sekaligus untuk menuntut perhatian khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya : Thaha, Yasin, Shad, dan Qaf.
3.      Munasabah Antara Satu Kalimat  dengan Kalimat Lainnya dalam Satu Ayat
Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya dalam satu ayat dapat dilihat dari dua segi. Pertama adanya hubungan langsung antar kalimat secara konkrit yang jika hilang atau terputus salah satu kalimat akan merusak isi ayat. Identifikasi munasabah dalam tipe ini memperlihatkan irri-ciri ta’kid / tasydid (penguat / penegasan) dan tafsir / i’tiradh (interfretasi /penjelasan dan cirri-cirinya). Contoh sederhana ta’kid :
"فإن لم تفعلوا", diikuti "ولن تفعلوا" (Q.S al-Baqarah / 2:24).
Contoh tafsir:
سبحان الذي اسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسد الأقصى
Kemudian diikuti dengan (1:17/الإسراء) الذي باركنا حوله لنريه من اياتنا
Kedua masing-masing kalimat berdiri sendiri, ada hubungan tetapi tidak langsung secara konkrit, terkadang ada penghubung huruf ‘athaf’ dan terkadang tidak ada. Dalam konteks ini, munasabahnya terletak pada :
a.       Susunan kalimat-kalimatnya berbentuk rangkaian pertanyaan, perintah dan atau larangan yang tak dapat diputus dengan fashilah. Salah satu contoh :
ولإن سألتهم من خلق السماوات والأرض___ليقولون الله___قل الحمد لله (لقمن 25)
b.      Munasabah berbentuk istishrad (penjelasan lebih lanjut). Contoh :
يسألونك عن الأهله___قل هي___ (البقره 189)
c.       Munasabah berbentuk nazhir / matsil (hubungan sebanding) atau mudhaddah / ta’kis (hubungan kontradiksi). Contoh :
ليس البر ان تولوا وجوهكم قبل المشرك والمغرب___ولكن البر___(البقرة 177)
4.      Munasabah Antara Ayat dengan Ayat dalam Satu Surat
Untuk melihat munasabah semacam ini perlu diketahui bahwa ini didaftarkan pada pandangan datar yaitu meskipun dalam satu surat tersebar sejumlah ayat, namun pada hakikatnya semua ayat itu tersusun dengan tertib dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta jalinan informasi yang sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat di awal Q. S al-Baqarah : 1 – 20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan, kekufuran, serta kemunafikan. Untuk mengidentifikasikan ketiga tipologi iman, kafir dan nifaq, dapat ditarik hubungan ayat-ayat tersebut.
Misalnya surat al-Mu’minun dimulai dengan :
قد افلح المؤمنون
Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
Kemudian dibagian akhir surat ini ditemukan kalimat
انه لا يفلح الكافرون
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung”.
5.      Munasabah Antara Penutup Ayat dengan Isi Ayat Itu Sendiri
Munasabah pada bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat bentuk yaitu al-Tamkin (mengukuhkan isi ayat), al-Tashdir (memberikan sandaran isi ayat pada sumbernya), al-Tawsyih (mempertajam relevansi makna) dan al-Ighal (tambahan penjelasan). Sebagai contoh :
فتبارك الله احسن الخالقين mengukuhkan ثم خلقنا النطفة علقة bahkan mengukuhkan hubungan dengan dua ayat sebelumnya (al-mukminun: 12-14).
6.      Munasabah Antara Awal Uraian Surat dengan Akhir Uraian Surat
Salah satu rahasia keajaiban al-Qur’an adalah adanya keserasian serta hubungan yang erat antara awal uraian suatu surat dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan oleh al-Zamakhsyari demikian juga al-Kimani bahwa Q. S al-Mu’minun di awali dengan (respek Tuhan kepada orang-orang mukmin) dan di akhiri dengan (sama sekali Allah tidak menaruh respek terhadap orang-orang kafir). Dalam Q. S al-Qasash, al-Sayuthi melihat adanya munasabah antara pembicaraan tentang perjuangan Nabi Musa menghadapi Fir’aun seperti tergambar pada awal surat dengan Nabi Muhammad SAW yang menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi yang dihadapi oleh Musa AS dan Muhammad SAW, serta jaminan Allah bahwa akan memperoleh kemenangan.
7.      Munasabah Antara Penutup Suatu Surat dengan Awal Surat Berikutnya.
Misalnya akhir surat al-Waqi’ah / 96 :
فسبح باسم ربك العظيم
“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
Lalu surat berikutnya, yakni surat al-Hadid / 57 : 1 :

سبح الله ما في السموات والأرض وهو الزيز الحكيم

“Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dia-lah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
8.      Munasabah Antar Ayat dengan Satu Tema
Munasabah antar ayat tentang satu tema ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayuthi, pertama-tama dirintis oleh al-Kisa’i dan al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani menggunakan metodologi munasabah dalam membahas mutasyabih al-Qur’an dengan karyanya yang berjudul al-Burhan fi Mutasyabih al-Qur’an. Karya yang dinilainya paling bagus adalah Durrah al-Tanzil wa Gharrat al-Ta’wil oleh Abu ‘Abdullah al-Razi dan Malak al-Ta’wil oleh Abu Ja’far Ibn al-Zubair.
Munasabah ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah (tegaknya suatu kepemimpinan). Paling tidak terdapat dua ayat yang saling bermunasabah, yakni Q. S al-Nisa’ / 4 : 34 :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم.
Dan Q. S al-Mujadalah / 58 : 11 :
يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتو العلم درجات والله بما تعملون خبير.
Tegaknya qiwamah (konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala al-nisa’) erat sekali kaitannya dengan faktor ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi. Q. S an-Nisa’ menunjuk kata kunci “bimaa fadhdhala” dan “al-ilm”. Antara “bimaa fadhdhala” dengan “yarfa” terdapat kaitan dan keserasian arti dalam kata kunci nilai lebih yang muncul karena faktor ‘ilm.
Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk Nabi (tauqifi). Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal dalam kitab al-Qur’an.[6]
E.     FUNGSI MEMPELAJARI MUNASABAH
1.      Mengetahui persambungan / hubungan antara bagian al-Qur’an, baik antarakalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yanglain sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.Karena itu, Izzuddin Abd. Salam mengatakan bahwa ilmu munasabah itu adalah ilmu yang baik sekali. Ketika menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain, beliau mensyaratkan harus jatuh pada hal-hal yang betul-betul berkaitan, baik di awal ataupun di akhirnya.
2.      Mempermudah pemahaman al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surat Al-Fatihah yang artinya, “Tujukilah kami kepada jalan yang lurus” disambungdengan ayat tujuh yang artinya, “Yaitu, jalan orang-orang yang Engkau anugerahinikmat atas mereka. “Antara keduanya terdapat hubungan penjelasan bahwa jalanyang lurus dimaksud adalah jalan orang-orang yang telah mendapat nikmat dariAllah SWT.
3.      Menolak tuduhan bahwa susunan al-Qur’an kacau. Tuduhan misalnya munculkarena penempatan surat al-Fatihah pada awal Mushhaf sehingga surat inilahyang pertama dibaca. Padahal, dalam sejarah, lima ayat dari surat al-‘Alaqsebagai ayat-ayat pertama turun kepada Nabi SAW. akan tetapi, Nabi menetapkan letak al-Fatihah di awal Mushhaf yang kemudian disusul dengan surat al-Baqarah.Setelah didalami, ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surat al-Fatihah mengandung unsur-unsur pokok dari syariat Islam dan pada surat ini termuat doa manusia untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surat al-Baqarah diawali dengan petunjuk al-Kitab sebagai pedoman menuju jalan uang lurus. Dengandemikian, surat al-Fatihah merupakan titk bahasan yang akan diprinci pada surat berikutnya, al-Baqarah. Dengan mengemukakan munasabah tersebut, ternyatasusunan ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur’an tidak kacau melainkan mengandungmakna yang dalam.
4.      Dengan ilmu munasabah itu, dapat diketahui mutu dan tingkat ke-Balaghah-an bahasa al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain,serta persesuaian ayat / surahnya yang satu dari yang lain, sehingga lebihmenyakinkan kemukjizatannya, bahwa al-Qur’an itu benar-benar wahyu dariAllah SWT dan bukan buatan Nabi Muhammad SAW. karena itu, Abdul Djalaldalam bukunya menambahkan Imam Fakhruddin al-Razi mengatakan kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an terletak pada susunan dan penyesuaiannya, sedangkan susunan kalimat yang paling bersetaraadalah saling berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.Sebagaimana yang dinyatakan oleh ahli ulumul Qur’an diantaranya adalahAbu Bakar bin al-Arabi, Izzuddin bin Abdus-Salam bahwa ilmu munasabah adalahilmu yang baik ( ilmun hasanun ), ilmu mulia ( ilmun syarifun ), ilmu yang agung ( ilmun adzimun ). Dari semua julukan ini menandakan bahwa ilmu munasabah mendapat tempat dan penghargaan yang cukup tinggi atau peran yang cukupsignifikan dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Sehingga az-Zarkasyi berpendapat bahwa ilmu ini dapat dijadikan tolak ukur untuk mengetahui kecerdasanseorang mufassir. Kedudukan ilmu ini semakin terasa kebutuhannya manakalah seseorangmenafsirkan al-Qur’an menggunakan metode tafsir al-maudhu’I (tematik) atau al-muqaran (komparasi), karena metode ini memperhatikan keterkaitan ( munasabah)antara ayat yang berbicara tentang masalah yang sejenis. (A Zarkasyi,1988: 63) Berlainan dengan ilmu asbabun-nuzul  yang digolongkan kedalam ilmu sima’I dan karenanya maka bersifat naqli (periwayatan), maka ilmu munasabah digolongkan ke dalam kelompok ilmu-ilmu ijtihadi yang karenanya bersifat penalaran. Sebagai ilmu ijtihadi ilmu ini sangat berpeluang untuk dikembangkan dalam upayamemperkaya dan memperkuat penafsiran al-Qur’an, yaitu dengan cara mencarihubungan antara ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya.[7]
F.      PANDANGAN ULAMA’ MENGENAI MUNASABAH
Dalam menyikapi munasabah, para ulama terbagi kedalam dua golongan yang pertama: golongan yang tertarik dengan munasabah, dan yang kedua, Golongan yang tidak tertarik dan menganggap munasabah tidak perlu di kaji. Golongan pertama diwakili oleh Abu Bakar al-Nisabury, Fakhrudin al-Razi, Fakhrudin al-Razi seorang ulama yang sangat peduli terhadap munasabah, baik munasabah antar ayat atau antar surat.
Ia pernah memberikan apresiasi terhadap surat al-Baqarah dengan mengatakan bahwa “barangsiapa yang menghayati dan merenungkan bagian-bagian dari susunan dan keindahan urutan surat ini, maka pastiia akan mengetahui bahwa al-Quran itu merupakan mukjizat lantaran kefasihan lafal-lafalnya dan ketinggian mutu makna-maknanya. Jalaluddin al-Suyuthiy, ibn al-Arabiy , Izzuddin ibn Abdis Salam, dll.
Golongan ulama yang menolak adanya munasabah dalam al-Quran diwakili oleh Ma’ruf Dualibi. Ia paling keras menentang menggunakan munasabah untuk menafsirkan ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Quran. Ia mengatakan, ‘maka termasuk usaha yang tidak perlu dilakukan adalah mencari-cari hubungan di antara ayat-ayat dan surat-surat al-Quran.’ Karena menurutnya, “al-Quran dalam berbagai ayat yang ditampilkannya hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat prinsip (mabd’a) dan norma umum (kaidah) saja. Dengan demikian tidaklah pada tempatnya bila orang bersikeras dan memaksakan diri mencari korelasi (tanasub) antara ayat-ayat dan surat-surat yang bersifat tafshil lantaran kefasihan lafal-lafalnya dan ketinggian mutu makna-maknanya.
Mahmud Syaltut seorang ulama kontemporer, kurang setuju dengan analisis munasabah dan menolak menjadikan munasabah sebagai bagian dari ilmu-ilmu  al-Quran. Ia tidak setuju dengan mufasir yang menggunakan munasabah untuk menafsirkan al-Quran.
Di sisi lain terdapat pendapat-pendapat tentang munasabah: tertib surah dan ayat:
Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam al-qur’an adalah tauQifiy, artinya penetapan dari Rasul, Sementara tertib  surah dalam Al-Qur’an masih terjadi perbedaan pendapat.
Al-Qhurtubi meriwayatkan pernyataan Ibn Ath-Thibb bahwa tertib surat Al-Quran di perselisihkan, Dalam hal ini ada tiga golongan:
a.    Tertib surat berdasarkan ijtihad para sahabat. Pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama seperti Imam Malik, Al-Qhadi Abu Bakr At-Thibb. Beberapa alasan mereka adalah :
1.    Tidak ada petunjuk langsung dari Rasulullah tentang tertib surah dalam Al-Quran.
2.    Sahabat pernah mendengar Rasul membaca Al-Quran berbeda dengan susunan surah sekarang, hal ini di buktikan dengan munculnya empat buah mushaf dari kalangan sahabat yang berbeda susunannya antara yang satu dengan yang lainnya. Yaitu mushaf Ali, mushaf ‘Ubay, mushaf Ibn Mas’ud, mushaf Ibnu Abbas.
3.    Mushaf yang ada pada catatan sahabat berbeda-beda ini menunjukkan bahwa susunan surah tidak ada petunjuk resmi dari Rasul.
4.    Alasan lain adalah riwayat Abu Muhammad Al-Quraysi bahwa Umar memerintahkan agar mengurutkan surat At-Tiwal. Akan tetapi, riwayat ini diberi catatan kaki oleh As-Sayuthi agar diteliti kembali.
b.    Susunan surat berdasarkan petunjuk Rasulullah Saw (taukifi).
Di antara ulama yang  yang berpendapat demikian adalah Al-Qadhi Abu Bakr Al-Anbari, Ibn Hajar, Al-Zarkasyi dan As-Sayuthi. Alasan yang dikemukakan sebagai berikut :
1.      Ijma’ sahabat terhadap mushaf Utsman. Ijma’ ini tak akan mungkin terjadi kecuali kalau tertib itu tauqifiy, seandainya bersifat ijtihadiy, niscaya pemilik mushaf lainnya akan berpegang teguh pada mushafnya.
2.    Hadist tentang hijzb Al-Quran yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Dawud dari Huzaifah As-Syaqafi.
c.     Tertib surat sebagian taukifi dan sebagian ijtihadiy. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Baihaqi. Menurutnya: “seluruh surat susunannya berdasarkan tauqif  Rasul kecuali surat Baraah dan Al-Anfal.
Al-Qhadi Abu Muhammad Ibn Athiyah termasuk golongan ini, Dan alasan Lainnya:
Ternyata tidak semua nama-nama surah itu diberikan oleh Allah, tapi sebagiannya diberikan oleh Nabi dan bahkan ada yang diberikan oleh para sahabat. Adapun yang diberikan oleh Allah adalah misalnya surat Al-Baqarah, At-Taubah, Ali Imran dll. Nama surah yang diberikan oleh Nabi adalah yang Nabi sendiri menyebutkan surah tersebut, seperti surah Thaha dan Yasin. Oleh para sahabat seperti Al-Baro’ah, yaitu surat yang di awali dengan lafal basmalah.[8]
FOOTNOTE
[1] Badr al-Din al-Zarkasyi, al Burhany fii ulum Al-Qur’an, (beirut:Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al_Nasyir, 1972), hal. 35-36.
[2] Ibid
[3] Hasbi Ash Shiddiqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmui Tafsir, (Jakarta:Bulan Bintang, 1965), hal. 95.
[4] http://ki-stainsamarinda.blogspot.com/2012/09/munasabah-al-quran.html di akses tanggal 30 mei 2015 pukul 12.00 WIB.
[5] ‘Abdullah Ad-Darraz, An-Naba’ Al-‘Azhim, Dar-‘Urubah, Mesir, 1974, hlm. 159.
[7]http://www.scribd.com/doc/45969536/Munasabah-Al-Qur-An#scribd di akses tanggal 30 mei 2015 pukul 12.00 WIB.
[8]http://muhamri03.blogspot.com/2013/12/munasabah-al-quran.html di akses tanggal 30 mei 2015 pukul 12.00 WIB.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....14
KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN
A.    Definisi mukjizat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa kata mukjizat diartikan sebagai kejadian (peristiwa) yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia.[2] Kata mukjizat terambil dari bahasa Arab أعجز (a’jaza) yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu.[3] Sedangkan kata أعجز (a’jaza) itu sendiri berasal dari kata عجز (‘ajaza) yang berarti tidak mempunyai kekuatan (lemah).[4] Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mukjiz, dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka dinamaiمعجزة (mu’jizat). Tambahan ta marbuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).[5]
Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.[6] Dalam al-Quran, kata ‘ajaza dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 26 kali dalam 21 surat dan 25 ayat.[7]
Dalam Kamus al-Mu’jam al-Washith, mukjizat diartikan:“Sesuatu (hal atau urusan) yang menyalahi adat kebiasaan yang ditampakkan Allah diatas kekuasaan seorang nabi untuk memperkuat kenabiannya.” [8]
Imam Jalaluddin al-Sayuti menjelaskan bahwa mukjizat itu adalah: [9]
“Suatu hal atau peristiwa luar biasa yang disertai tantangan dan selamat (tidak ada yang sanggup) menjawab tantangan tersebut.”
Sedangkan menurut Manna al-Qattan, I’jaz (kemukjizatan) adalah menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum adalah ketidak mampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari qudrah (potensi, power, kemampuan). Apabila kemukjizatan muncul, maka nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu yang melemahkan. Yang dimaksud dengan i’jaz dalam pembahasan ini ialah menampakkan kebenaran nabi dalam pengakuannya sebagai seorang rasul, dengan menampakkan kelemahan orang Arab dalam melawan mukjizat yang kekal yakni al-Quran.[10]
Maka mukjizat adalah sebuah peristiwa, urusan, perkara yang luar biasa yang dibarengi dengan tantangan dan tidak bisa dikalahkan. Al-Quran menantang orang-orang Arab, mereka tidak kuasa melawan meskipun mereka merupakan orang-orang yang fasih, hal ini tiada lain karena al-Quran adalah mukjizat.[11]
Berdasarkan defenisi diatas maka dapat dikemukakan tiga unsur pokok mukjizat, yaitu:
1. Mukjizat harus menyalahi tradisi atau adat kebiasaan.
2. Mukjizat harus dibarengi dengan perlawanan, dan
3. Mukjizat tidak terkalahkan.[12]
Sedangkan menurut M. Qurais Shihab ada empat unsur yang harus menyertai sesuatu sehingga ia dinamakan mukjizat. Keeempat unsur itu adalah:
1. Hal atau peristiwa yang luar biasa.Yang dimaksud luar biasa adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab akibat yang diketahui secara umum hukum-hukumnya.
2. Terjadi atau dipaparkan oleh seorang yang mengaku nabi.Apabila hal-hal yang luar biasa terjadi bukan dari seseorang yang mengaku nabi, ia tidak dinamai mukjizat.
3. Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian.Tantangan ini harus berbarengan dengan pengakuannya sebagai nabi, bukan sebelumnya.
4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani.Bila yang ditantang berhasil melakukan hal yang serupa, maka ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti.[13]
B.     Macam-Macam Mukjizat
Secara garis besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat hissiyah (material indrawi), dan mukjizat yang bersifat ‘aqliyah (rasional).[14] Mukjizat nabi-nabi terdahulu semuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya, seperti perahu nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat; tidak terbakarnya nabi Ibrahim dalam kobaran api; tongkat nabi Musa yang berobah menjadi ular; penyembuhan yang dilakukan nabi Isa atas izin Allah dan lain-lain. Semuanya bersifat material indrawi, terbatas pada lokasi tempat nabi tersebut berada dan berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Berbeda dengan mukjizat nabi Muhammad Saw, sifatnya bukan material indrawi, tetapi ‘aqliyah (dapat dipahami oleh akal). Karena sifatnya yang demikian, maka ia tidak terbatas pada suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat al-Quran dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya, kapan dan dimanapun berada.[15]
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok.
Pertama, para nabi sebelum nabi Muhammad Saw., ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan nabi Muhammad Saw., yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan kepada setiap orang yang ragu kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Kedua, manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para nabi sebelum nabi Muhammad Saw., amat membutuhkan bukti kebenaran yang harus sesuai dengan tingkat pemikiran mereka, bukti tersebut harus jelas dan terjangkau indra mereka. Tetapi, setelah manusia mulai menanjak ke tahap kedewasaan berpikir, maka bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi. Ini bukan berarti bahwa tidak terjadi hal-hal luar biasa dari atau melalui nabi Muhammad Saw. Keluarnya air dari celah jari-jari beliau, makanan yang sedikit dapat mencukupi orang banyak, genggaman pasir yang beliau lontarkan kepada kaum musyrik dalam perang badar hingga menutupi pandangan mereka, dan lain-lain merupakan hal-hal luar biasa yang telah terjadi.[16]
Namun demikian dapat disimpulkan, Pertama, Bahwa mukjizat itu luar biasa dalam mengatasi segala persoalan manusia, tiada yang kuasa membuatnya, selain Allah menentukan ketentuan tersebut. Kedua, bahwa antara mukjizat nabi yang satu dengan lainnya adalah sama fungsinya, yaitu untuk memainkan peranannya dan mengatasi kepandaian kaumnya, disamping membuktikan kekuasaan Allah diatas segala-galanya.[17]
C.     Bentuk dan Tahapan Tantangan al Quran
Tantangan yang datang dari al-Quran terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1.      Tantangan umum, Tantangan ini ditujukan kepada semua golongan, baik kaum filosof, cendikiawan, ulama, dan hukama, serta semua manusia tanpa kecuali, orang Arab atau orang Ajam, orang putih atau orang hitam, mukmin atau kafir. Hal ini dijelaskan Allah dalam al-Quran surat al-Isra’ ayat 88.
2.      Tantangan khusus, Tantangan ini ditujukan khusus kepada orang-orang Arab, terutama bagi orang-orang kafir Quraisy. Tantangan bertanding khusus ini terbagi atas dua macam, yaitu :
a. Tantangan yang bersifat kulli (keseluruhan), yaitu tantangan dengan seluruh al-Quran mengenai hukum-hukumnya, keindahan bahasanya, balaghahnya dan kejelasannya. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat al-Thuur ayat 34.
b. Tantangan yang bersifat juz’i (sebagian), yaitu tantangan untuk mendatangkan sepuluh surat atau satu surat saja yang menyerupai surat-surat al-Quran. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat Hud ayat 13 dan surat al-Baqarah ayat 23.[18]
Adapun tahapan-tahapan tantangan al-Quran adalah sebagai berikut:
1.      Allah menantang untuk membuat semacam “keseluruhan al-Quran”, sebagaimana dipahami dari surat al-Thuur ayat 34,
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ (الطور: 34)
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Quran itu jika mereka termasuk orang-orang yang benar.” (Al-Thuur : 34).
Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa ketika ayat ini turun untuk menantang orang-orang kafir Quraisy yang meragukan dan menolak kebenaran al-Quran, maka mereka berdalih “kami tidak mengetahui sejarah umat terdahulu” (yang merupakan sebagian kandungan al-Quran).
Adapun yang dimaksud dengan kalimat بحديث (bihadiitsin) dalam ayat diatas adalah tandingan al-Quran, namun ternyata mereka tidak mampu mendatangkan sesuatu yang menyamai al-Quran.
2.       Allah meringankan tantangan, yaitu menantang untuk membuat sepuluh surat saja yang menyamai al-Quran, sebagaimana dinyatakan Allah Swt., dalam surat Hud ayat 13,
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (هود:13)
“Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat al-Quran itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya selain Allah jika kamu memang orang-orang yang benar.” (Hud : 13).
Kata مفتريات (muftarayaat) yang diterjemahkan dengan “dibuat-buat” dalam ayat diatas adalah tudingan orang-orang kafir Quraisy terhadap nabi Muhammad Saw., bahwa al-Quran itu dibuat-buat, oleh karenanya Allah menantang, kalaupun al-Quran itu dibuat-buat (bohong), jikalau mereka mampu menyusun redaksi seindah dan seteliti al-Quran maka itu sudah cukup untuk mengakui kebenaran dugaan mereka, tetapi tantangan kedua inipun tidak sanggup mereka layani.
3.      Allah meringankan lagi tantangan, yaitu tantangan untuk membuat satu surat saja yang menyamai al-Quran, sebagaimana firman Allah Swt., dalam surat Yunus ayat 38,
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (يونس: 38)
“Atau patutkah mereka berkata, “Dia (Muhammad) membuat-buatnya?”, Katakanlah (kalau benar tuduhan kamu itu), maka buatlah satu surah semacamnya dan panggillah siapapun yang dapat kamu panggil selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.” (Yunus : 38).
Tiga tahapan tantangan tersebut semuanya disampaikan ketika nabi Muhammad Saw., masih berada di Mekkah.
4.       Ketika nabi sudah hijrah ke Madinah Allah menantang kembali dengan tantangan yang lebih ringan lagi yaitu membuat satu surat yang hampir sama dengan al-Quran, sebagaimana dapat dipahami dalam surat al-Baqarah ayat 23,
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة: 23)
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat yang seumpamanya dan panggillah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang-orang yang benar.” (al-Baqarah : 23).
Ayat 23 yang terdapat dalam surat al-Baqarah ini mirip redaksinya dengan ayat 38 dalam surat Yunus. Perbedaannya antara lain pada kalimat (fa’tuu bisuuratin mitslihi dan fa’tuu bisuuratin min mitslihi). Kata من (min) disini diartikan “lebih kurang”, sehingga dengan demikian tantangan ini lebih rendah daripada tantangan sebelumnya yang menuntut membuat satu surah tanpa menggunakan kata من(min) atau “lebih kurang”.
Memang sejak semula Allah telah menegaskan bahwa siapapun dan kapanpun al-Quran tetap menjadi mukjizat dan tidak dapat ditandingi. Hal ini dapat kita pahami dari firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 88,
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا(الإسراء: 88)
“Katakanlah (hai Muhammad): Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu sebagian yang lain.” (al-Isra’ : 88).
Dengan demikian jelaslah bahwa tahap demi tahap tantangan al-Quran, ternyata tidak seorangpun sanggup untuk memenuhi tantangan tersebut, terutama orang-orang Arab kafir Quraisy yang dengan terang-tarangan tidak menerima kebenaran al-Quran. Dengan demikian jelaslah mukjizat al-Quran yang benar-benar diwahyukan Allah untuk nabinya Muhammad Saw., yang ummi.
D.    Aspek-Aspek Kemukjizatan Al Quran
Para ulama sepakat bahwasanya al-Quran tidaklah melemahkan manusia untuk mendatangkan sepadan al-Quran hanya karena satu aspek saja, akan tetapi karena beberapa aspek, baik aspek lafzhiyah (morfologis), ma’nawiyah (semantik) dan ruhiyah (psikologis). Semuanya bersandarkan dan bersatu, sehingga melemahkan manusia untuk melawannya.[19] Namun demikian mereka berbeda pendapat dalam meninjau segi kemukjizatan al-Quran. Perbedaan itu adalah sebagai berikut:
a. Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah sesuatu yang terkandung dalam al-Quran itu sendiri, yaitu susunan yang tersendiri dan berbeda dengan bentuk puisi orang Arab maupun bentuk prosanya, baik dalam permulaannya, maupun suku kalimatnya.
b. Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran itu terkandung dalam lafal-lafalnya yang jelas, redaksinya yang bernilai sastra dan susunannya yang indah, karena nilai sastra yang terkandung dalam al-Quran itu sangat tinggi dan tidak ada bandingannya.
c. Ulama lain berpendapat bahwa kemukjizatan itu karena al-Quran terhindar dari adanya pertentangan, dan mengandung arti yang lembut dan memuat hal-hal ghaib diluar kemampuan manusia dan diluar kekuasaan mereka untuk mengetahuinya.
d. Ada lagi ulama yang berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah keistimewaan-keistimewaan yang nampak dan keindahan-keindahan yang terkandung dalam al-Quran, baik dalam permulaan, tujuan maupun dalam menutup setiap surat.[20]
Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya al-Jami’i Ahkamil Quran menyebutkan sepuluh segi kemukjizatan al-Quran, sementara al-Zarkani dalam kitabnya Manahilul Irfan mencatat empat belas segi kemukjizatan al-Quran.[21                 
Perbedaan pendapat ulama diatas diketahui sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Jadi bukan berbeda dalam menentukan batasan-batasan kemukjizatan al-Quran, karena aspek-aspek kemukjizatan al-Quran tidak hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu yang mereka sebutkan.[22] Adapun aspek-aspek kemukjizatan al-Quran adalah:
1. Susunan bahasanya yang indah, berbeda dengan susunan bahasa Arab.
2. Uslubnya (susunannya) yang menakjubkan, jauh berbeda dengan segala bentuk susunan bahasa Arab.
3. Keagungan yang tidak mungkin bagi makhluk untuk mendatangkan sesamanya.
4. Syariat yang sangat rinci dan sempurna melebihi setiap undang-undang buatan manusia.
5. Mengabarkan hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu.
6. Tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
7. Al-Quran memenuhi setiap janji dan ancaman yang dikabarkannya.
8. Luasnya ilmu-ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya.
9. Kesanggupannya dalam memenuhi segala kebutuhan manusia.
10. Berpengaruh terhadap hati para pengikutnya dan orang-orang yang memusuhinya.[23]
Uraian singkat tentang aspek-aspek kemukjizatan al-Quran adalah sebagai berikut:
1.      Susunan bahasanya yang indah. Susunan gaya bahasa dalam al-Quran tidak bisa disamakan oleh apapun, karena al-Quran bukan susunan syair dan bukan pula susunan prosa, namun ketika al-Quran dibaca maka ketika itu terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Cendikiawaan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Quran, menulis: “Al-Quran mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka-cita”.[24]
2.      Uslubnya yang menakjubkan. Al-Quran muncul dengan uslub yang sangat baik dan indah, mengagumkan orang-orang Arab karena keserasian dan keindahannya, keharmonisan susunannya. Didalamnya terkandung nilai-nilai istimewa yang tidak akn terdapat dalam ucapan manusia.
3.      Keagungannya. Al-Quran mempunyai kemegahan ucapan yang luar biasa yang berada diluar kemampuan manusia untuk menguasainya atau mendatangkan persamaannya. Kandungan al-Quran dapat mempengaruhi jiwa-jiwa pendengarnya dan dapat melembutkan hati-hati yang keras.
4.      Syariat yang sangat rinci dan sempurna. Al-Quran menjelaskan pokok-pokok akidah, hokum-hukum ibadah, norma-norma keutamaan dan sopan santun, undang-undang hukum ekonomi, politik, sosial dan kemasyarakatan. Al-Quran juga mengatur kehidupan keluarga, menjunjung nilai-nilai kebebasan, keadilan (demokrasi) dan musyawarah.
5.       Berita tentang hal-hal yang gaib. Al-Quran mengungkap sekian banyak ragam hal gaib. Al-Quran mengungkap kejadian masa lampau yang tidak diketahui lagi oleh manusia, karena masanya telah demikian lama, dan mengungkap juga peristiwa masa datang atau masa kini yang belum diketahui manusia.
6.      Sejalan dengan ilmu pengetahuan modern. Al-Quran memuat petunjuk yang detail mengenai sebagian ilmu pengetahuan umum yang telah ditemukan terlebih dahulu dalam al-Quran sebelum ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern. Tiori al-Quran itu sama sekali tidak bertentangan dengan tiori-tiori ilmu pengetahuan modern, baik itu ilmu alam, arsitek dan fisika, geografi dan kedokteran.
7.      Menepati janji. Al-Quran senantiasa menepati janji dalam setiap apa yang telah dikabarkannya serta dalam setiap janji Allah kepada hamba-Nya, baik janji mutlak seperti janji Allah untuk menolong rasul-Nya, maupun janji terbatas yaitu janji yang bersyarat seperti harus memenuhi syarat takwa, sabar, menolong agama Allah, dan sebagainya.
8.      Terkandung ilmu pengetahuan yang luas. Al-Quran datang dengan membawa berbagai ilmu pengetahuan tentang akidah, hokum (undang-undang), etika, muamalat, dan berbagai lapangan lain dalam pendidikan dan pengajaran, politik dan ekonomi, filsafat dan sosial.
9.      Memenuhi segala kebutuhan manusia. Al-Quran datang dengan membawa petunjuk-petunjuk yang sempurna, fleksibel lagi luwes, dan dapat memenuhi segala kebutuhan manusia pada setiap tempat dan masa.
Berkesan dalam hati. Al-Quran dapat menggetarkan hati pengikut dan penantangnya. Seseorang yang sangat memusuhi al-Quran bisa berbalik dibawah lindungannya. Umar bin Khattab, Sa’ad bin Mu’az, dan Usaid bin Hudhair misalnya, mereka adalah orang-orang yang paling kejam terhadap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...