NAMA : SYAHRUL RAMADHAN
NIM : 11160110000004
KELAS : 3 C.
TUGAS : ARTIKEL TENTANG LANDASAN FILOSOFIS PENYUSUNAN KURIKULUM
BAB I
PENDAHULUAN.
Kurikulum pada
hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan, karena tujuan
pendidikan sangat dipengaruhi oleh filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa,
maka tentu saja kurikulum yang di kembangkan juga untuk mencerminkan
falsafah/pandangan hidup yang dianut oleh bangsa tersebut oleh karena itu
terdapat hubungan yang sangat erat antara kurikulum pendidikan di suatu negara
dengan filsafat negara yang dianutnya. Sebagai contoh indonesia ketika masa
penjajahan belanda, kurikulum yang dianut pada masa itu sangat berorientasi
pada kepentingan politik Belanda.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian filsafat.
Istilah filsafat
adalah terjemahan dari bahasa Ingris “phylosopy” yang berasal dari
perpanduan dua kata yaitu “philien” yang berarti cinta, dan “sophia”
yang berarti kebijaksanaan. Jadi secara etimologi filsafat berarti cinta akan
kebijaksanaan atau love of wisdom. Secara operasional filsafat
mengandung dua pengertian, yaitu sebagai proses (berfilsafat) dan sebagai hasil
berfilsafa (sistem teori atau pemikiran). Dalam kaitannya filsafat sebagai
proses socrates mengatakan bahwa filsafat adalah cara berpikir secara radikal,
menyeluruh, dan mendalam atau cara berpikir yang mengupas sesuatu
sedalam-dalamnya.
Ada 3 landasan yang
erat kaitannya dengan pengembangan kurikulum yaitu; landasan filosofis,
landasan psikologis dan landasan sosiologis, ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Namun, dalam artikel kali ini kita hanya khusus membahas tentang landasan yang
pertama yaitu landasan filosofisnya.
B.
Landasan filosofi dalam pengembangan kurikulum.
Filsafat yang berarti
“cinta akan kebijaksanaan”, untuk mengerti dan berbuat bijak, seseorang harus
memiliki pengetahuan, dan pengetahuan yang diperoleh melalui proses berfikir,
yaitu berfikir secara mendalam, logis dan sistematis. Secara harfiah, filsafat
dapat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Secara populer
filsafat diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian
hidup bagi individu.
Adapun alasan
filosofis dianggap sebagai landasan pengembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi
atau rumusan yang didapatkan dari hasil berfikir secara mendalam, analisis,
logis dan sistematis dalam merencanakan dan melaksanakan, membina dan
mengembangkan kurikulum.
Ada 4 (empat) fungsi
filsafat dalam proses pengembangan kurikulum :
1.
Filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan.
2.
Filsafat dapat menentukan isi atau materi pengajaran yang harus
diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
3.
Filsafat dapat mennetukan strategi atau cara pencapaian tujuan.
4.
Melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolak ukur
keberhasilan proses pendidikan.
Dalam kurikulum terdapat berbagai
komponen yang dalam pengembangannya harus didasari pada asumsi atau landasan pikiran
yang mendalam, logis, sistematis, dan menyeluruh atau disebut landasan
filosofis. Adapun manfaat penggunaan
filsafat pendidikan dan pengembangan kurikulum antara lain:
1.
Memberikan arah yang jelas terhadap tujuan pendidikan.
2.
Dapat memeberikan gambaran yang jelas dari hasil yang dicapai
3.
Memberikan arah terhadap proses yang harus dilakukan untuk mencapai
tujuan.
4.
Memungkinkan dapat mengukur hasil yang di capai.
5.
Memberikan motivasi yang kuat untuk melakukan aktivitas.
C.
Aliran-aliran filsafat pendidikan :
1.
Idealisme.
a). Konsep-konsep filsafat:
(1). Metafisika (hakikat realitas): Realitas atau kenyataan yang
sebenarnya bersifat spiritual atau rohaniah.
(2). Humanologi (hakikat manusia): jiwa dikaruniai kemampuan
berfikir /rasional. Kemampuan berfikir meneyababkan adanya kemampuan memilih.
(3). Epistemologi (hakikat pengetahuan): pengetahuan yang benar
diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali melalui berfikir.
(4). Aksiologi (hakikat nilai): kehidupan manusia diatur oleh
kewajiban moral yang diturunkan dari pandangan tentang kenyataan atau
metafisika.
b). konsep-konsep
pendidikan:
(1). Tujuan pendidikan: pembentukan karakter dan kemudian tertuju
pada pengembangan bakat dan kebajikan sosial.
(2). Isi pendidikan: penyiapan ketrampilan bekerja sesuatu mata
pencarian melalui pendidikan praktis dan mengembangkan kemampuan berfikir
melalui pendidikan liberal dan umum.
(3). Metode pendidikan: yaitu metode dialektik/dialogik,
(4) peranan peserta didik dan pendidik: peserta didik yaitu
mengembangkan bakat dan kepribadiannya. Sedangkan pendidikan adalah menciptakan
lingkungan yang memungkinkan peserta didik dapat belajar secara efisien dan
efektif.
2. Realisme
a). Konsep-konsep filsafat:
(1). Metafisika (hakekat realitas):
realitas atau kenyataan yang sebenarnya bersifat fisik atau materi.
(2). Humanologi (hakikat manusia):
hakikat manusia terletak pada apa yang dapat dikerjakannya. Jiwa merupakan
sebuah organisme yang sangat kompleks yang mempunyai kemampuan berfikir.
(3). Epistimologi (hakikat
pengetahuan): pengetahuan diperoleh melalui pengindraan dengan menggunakan
pikiran.
(4). Aksiologi (hakikat ilmu): tingkah
laku manusia diatur oleh hukum alam yang diperoleh melalui ilmu; dan pada taraf
yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasan atau adat istiadat yang telah
teruji dalam kehidupan.
b).
Konsep-konsep pendidikan
(1) tujuan pendidikan: yaitu dapat
menyesuakan diri secara tepat dalam hidup dan melaksanakan tanggung jawab
sosial.
(2). Isi pendidikan: yaitu kurikulum
komprehensif yang berisi semua pengetahuan yang berguna bagi penyusuaian diri
dalam hidup dan tanggung jawab sosial.
(3). Metode pendidikan didasarkan pada
pengalaman langsung maupun tidak langsung.
(4). Peran peserta didik
dan pendidik: yaitu menguasai pengetahuan yang dapat berubah-ubah. Sedangkan
peserta didik menguasai pengetahuan, terampil dan tekhnik mendidik, dan
memiliki kewenangan untuk mencapai hasil pendidikan yang dibebankan kepadanya.
3.
Pragmatisme.
Aliran ini berpendapat bahwa
kenyataan pada hakikatnya berada pada hubungan sosial, antara manusia dengan
manusia lainnya. Berkat hubungan sosial itu manusia dapat memperbaiki hubungan
memperbaiki mutu kehidupannya. Pengetahuadiperoleh dari pengamatan dan konteks
sosial yang berguna untuk kehidupan masyarakat.
4.
Eksistensialisme.
Aliran ini mengakui
bahwa sebagai individu setiap manusia memiliki kelemahan-kelemahan, namun
demikian setiap individu itu dapat memperbaiki dirinya sendiri sesuai dengan
norma-norma dan keyakinan yang ditentukannya sendiri. Setiap individu memiliki
kebebasan untuk memilih. Norma-norma ditentukan sendiri sesuai dengan
kebebasannya itu. Dengan demikian, setiap individu bisa memiliki norma yang
berbeda.
BAB III
PENUTUP
Filsafat merupakan
sebuah landasan dan patokan dalam penetapan kurikulum. Indonesia yang
berfalsafahkan pancasila, tentunya menjadikan pancasila sebagai acuan dan
dasar dalam penentuan kurikulum yang
akan diterapkan di indonesia. Aliran-aliran utama filsafat antara lain, yaitu:
idealisme, aliran realisme, aliran pragmatisme, aliran eksistensialis yang bisa
menjadi pemikiran filsafat yang untuk
memecahkan permasalahan pendidikan.
Sumber
:
1.
Prof. Dr. Nana syaodih sukmadinata, Pengembangan kurikulum,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010.
2.
Prof. Dr. H. Syafruddin nurdin, guru Profesional &
Implementasi Kurikulum, Tanggerang: Ciputat Press, 2005.
3.
Mansur Muslich, KTSP Dasar pemahaman dan pengembangan,
Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
ARTIKEL
KOMPONEN-KOMPONEN
KURIKULUM DAN PENGEMBANGANNYA
Nama : Syahrul
Ramadhan
Nim : 11160110000004
Kelas : 3 C.
Kurikulum adalah suatu alat atau sistem
yang ada dalam pendidikan, sebagai alat pendidikan kurikulum mempunyai
komponen-komponen yang saling mendukung satu sama lain.
para pemikir pendidikan mempunyai
ragam dalam menentukan jumlah komponen kurikulum, meskipun dari beberapa
pendapat akan tetapi pemahaman dan pengertiannya hampir sama. Subandijah
membagi komponen kurikulum menjadi 5 yaitu : Tujuan, Isi, Strategi, Media, dam
Proses. Sedangkan menurut Nasution komponen kurikulum ada 4 yaitu : Tujuan,
isi, metode, evaluasi. Berikut ini akan di uraikan secara singkat mengenai
komponen-komponen tersebut.
1.
Komponen Tujuan
Berdasarkan hakikat dari tujuan
diatas dijabarkan sejumlah tujuan kurikulum mulai dari tujuan kelembagaan
pendidikan atau tujuan institusional, tujuan mata pelajaran atau tujuan
kurikuler dan tujuan pengajaran atau tujuan instruksional.
a.
Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan yang bersifat
paling umum dan merupakan sasaran yang harus di jadikan pedoman oleh setiap
usaha pendidikan. Tujuan pendidikan umumnya biasanya dirumuskan dalam bentuk
prilaku yang ideal sesuai dengan pandangan hidup dan filsafat suatu bangsa yang
dirumuskan oleh pemerintah dalam bentuk undang-undang.
b.
Tujuan
institusional, adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap lembaga pendidikanmisalnya
SD, SMP, SMA, perguruan tinggi. Artinya kemampuan yang diharapkan dimiliki anak
didik setelah mereka menyelesaikan program studinya di lembaga pendidikan yang
ditempuh.
c.
Tujuan kurikuler, tujuan ini merupakan penjabaran
dari tujuan institusional sehingga sifatnya lebih khusus. Tujuan kurikuler
adalah tujuan-tujuan bidang studi atau mata pelajaran sehingga mencerminkan
hakikat keilmuwan yang ada didalamnya.
d. Tujuan instruksional, tujuan ini dijabarkan dari tujuan
kurikuler. Tujuan ini adalah tujuan yang langsung dihadapkan kepada anak didik
sebab harus dapat dicapai setelah anak didik menempuh proses belajar mengajar.
Ada dua jenis tujuan instruksional yakni tujuan instruksional umum (TIU) tujuan
instruksional khusus (TIK). Perbedaan kedua tujuan tersebut terletak dalam
kemampuan yang diharapkan dikuasai peserta didik. TIU sifatnya lebih luas dan
mendalam sedangkan TIK terbatas dan harus dapat diukur pada saat berlangsungnya
proses mengajar.
Menurut Bloom dalam bukunya yang
berjudul Taxonomy of Education Objectives yang terbit pada tahun 1965 bentuk
perilaku tujuan yang harus dirumuskan dapat digolongkan kedalam 3 klarifikasi
atau 3 domain:
a. Tujuan domain kognitif yaitu
tujuan yang mengarah pada pengembangan
akal dan intelektual peserta didik.
b. Tujuan domain afektif yaitu
tujuan yang mengarah pada penggerakan hati nurani para peserta didik.
c.
Tujuan domain psikomotor yaitu
tujuan yang menngarah pada pengembangan ketrampilan jasmani peserta didik.
Sekilas jika diperhatikan dari
tujuan diatas merupakan tujuan pendidikan islam, karena antara tujuan
pendidikan nasional dengan tujuan pendidikan islam cenderung mempunyai kesamaan
yang kuat yaitu menciptakan insani yang beriman dan bertakwa serta mempunyai
pengentahuan intelektual dan ketrampilan.
2.
Komponen Isi dan Struktur Progam
atau Materi
Isi atau materi tersebut berupa
materi-materi bidang studi, seperti matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan
sebagainya. Bidang-bidang tersebut disesuaikan dengan jenis, jenjang maupun
jalur pendidikan yang ada. Bidang-bidang tersebut biasanya telah dicantumkan
dalam struktur program kurikulum sekolah yang bersangkutan.
Materi pembelajaran disusun
secara logis dan sistematis, dalam bentuk :
a. Teori :
seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling
berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematiktentang gejala dengan
menspesifikasi hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan
meramalkan dengan gejala tersebut.
b. Konsep : suatu
abstraksi yang di bentuk oleh organisasi dari ke khususan-kehususan merupakan
definisi singkat dari sekelompok fakta dan gejala.
c. Generalisasi :
kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis,
pendapat atau pembuktian dalam penelitian .
d. Prinsip : ide
utama , pola sekema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara
beberapa konsep.
e. Prosedur : seri
langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus di lakukan
peserta didik.
f. Fakta :
sejumlah informasi khusus dalam materi yang di anggap penting, terdiri dari
terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
g. Istilah : kata-
kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
h.
Contoh / ilustrasi : hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk
memperjelas suatu uraian atau pendapat.
i.
Definisi : penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal / kata
dalam garis besarnya.
j.
Preposisi : cara yang di gunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam
upaya mencapai tujuan kurikulum.
Ada beberapa kriteria yang dapat
membantu para perancang kurikulum dalam menentukan isi kurikulum. Kriteria tersebut antara lain :
a.
Isi kurikulum harus sesuai, tepat
dan bermakna bagi perkembangan siswa
b.
Isi kurikulum harus mencerminkan
kenyataan sosial.
c.
Isi kurikulum dapat mencapai
tujuan yang komprehensif, artinya mengandung aspek intelektual, moral, sosial.
d.
Isi kurikulum harus mengandung
pengetahuan ilmiah yang tahan uji.
e.
Isi kurikulum harus dapat
menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Isi kurikulum disusun dalam bentuk
program pendidikan yang nantinya dijabarkan dan dilaksanakan melalui proses
pengajaran.
Mata pelajaran sebagai bagian dari
kebudayaan manusia merupakan pengetahuan bagi manusia itu sendiri untuk
mempermudah kehidupannya. Mata pelajaran dikelompokkan kedalam tiga bagian,
yakni :
a. Mata pelajaran umum dan mata pelajaran
khusus. Yang dikategorikan sebagai mata pelajaran umum yakni kegiatan yang
berkenaan dengan pemerintahan, kehidupan sosial budaya, sistem nilai/moral.
Dalam struktur kurikulum mata pelajaran tersebut disebut pendidikan umum
(general education) sedangkan pengetahuan yang diperlukan untuk hidup manusia
secara khusus misalnya untuk memenuhi dunia kerja. Dalam struktur kurikulum
pengetahuan khusus tersebut disebut pendidikan keahlian, contohnya seperti mata
pelajaran ekonomi dan pelajaran teknik.
b. Mata pelajaran deskriptif. Adalah
pengetahuan yang umumnya bersifat fakta misalnya struktur tumbuhan dan binatang
dan yang bersifat prinsip misalnya hukum, dll.
c.
Mata pelajaran normatif. Berisikan aturan untuk
mengadakan pilihan moral.
3.
Komponen metode/strategi
Metode adalah upaya mengiplementasikan
rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan tujuan yang telah
disusun tercapai secara optimal. Metode juga digunakan untuk merealisasikan
strategi yang telah di tetapkan. Dalam satu strategi pembelajaran digunakan
beberapa metode. Strategi berbeda dengan metode. Strategi menunjuk pada a plan
of operation achieving something, sedangkan metode adalah a way in achieving
something.
Roly killer (1998) ada dua pendekatan
dalam pembelajaran, yaitu:
a. pendekatan
yang berpusat pada guru
b. pendekatan
yang berpusat pada siswa.
4. Komponen Evaluasi atau Penilaian
Untuk melihat sejauh mana tingkat
keberhasilan dalam pelaksanaan kurikulum, maka diperlukan evaluasi. Mengingat
komponen evaluasi ini sangat berhubungan erat dengan semua komponen lainnya,
maka denagan cara evaluasi atau penilaian ini akan mengetahui tingkat
kebeerhasilan dari semua komponen.
Dalam mengevaluasi, biasanya pendidik akan mengevaluasi dengan materi
atau bahan pelajaran yang sudah diajarkan atau paling tidak yang ada kaitannya
dengan materi yang sudah diajarkan.
Komponen evaluasi ini tidak hanya
memperlihatkan sejauhmana prestasi peserta didik saja, tetapi juga sebagai
sumber input bagi sekolahan sebagai upaya perbaikan dan pembaharuan
suatu kurikulum.
Kurikulum yang akan dilaksanakan
atau diimplementasikan terlebih dahulu diuji cobakan dalam lingkungan terbatas,
sebelum akhirnya diputuskan untuk didesiminasikan ke semua lembaga pendidikan.
Berbagai upaya perlu dilakukan selama fase pengembangan kurikulum dilakukan,
termasuk kedalamnya adalah evaluasi dan revisi. Evaluasi yang signifikan dan
berkelanjutan sangat diperlukan untuk mendukung terwujudnya suatu pengembangan
kurikulum secara efektif dan bermakna.
Dengan evaluasi juga dapat diperoleh
informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan
belajar siswa. Berdasarkan informasi itu dapat dibuat keputusan tentang
kurikulum itu sendiri, pembelajaran, kesulitan, dan upaya bimbingan yang perlu
dilakukan. Evaluasi kurikulum membutuhkan pengumpulan, pemroresan, dan
interpretasi mengenai data terhadap program pendidikan.
Aspek-aspek yang harus
dievaluasi, menurut Arich Lewy sesuai dengan tahap-tahap dalam pengembangan
kurikulum, yaitu:
a.
Penentuan tujuan utama
b.
Perencanaan
c.
Uji-coba dan revisi
d.
Uji lapangan
e.
Pelaksanaan kerikulum
Menurut R. Ibrahim, Dalam kegiatan
evaluasi, cenderung ditempuh pendekatan atau cara-cara antara lain:
1)
Menempatkan kedudukan setiap
siswa dalam kelompoknya melalui pengembangan norma kelompok dalam
evaluasi hasil belajar
2)
Membandingkan hasil belajar
antara dua atau lebih kelompok yang menggunakan program atau matode pengajaran
yang berbeda-beda, malalui analisis secara kuantitatif
3)
Teknik evaluasi yang digunakan
terutama tes yang disusun dalam bentuk yang obyektif, yang terus dikembangkan
untuk menghasilkan alat evaluasi reliabel dan valid.
Sumber:
[6][6]Burhan Nurgiyantoro, Dasar-Dasar
Pengembangan Kurikulum Sekolah. Yogyakarta : BPF, 1985, hlm. 10
ARTIKEL PERUBAHAN DAN
INOVASI KURIKULUM
Nama: Syahrul ramadhan
NIM: 11160110000004
Kelas: 3 C
Inovasi Kurikulum
merupakan suatu gagasan atau praktek kurikulum baru dengan mengadopsi
bagian-bagian yang potensial dari kurikulum tersebut dengan tujuan untuk
memecahkan masalah atau mencapai tujuan tertentu. Inovasi dilakukan apabila
guru benar-benar menyakini bahwa pembaharuan itu memang harus dilakukan dan
diperlukan.
Implernentasi suatu
inovasi kurikulum dimaksudkan untuk mengikuti perkembangan jaman dan
meningkatkan mutu suatu satuan pendidikan. Namun, sering inovasi-inovasi
tersebut mengalami kegagalan dan tidak pernah diimplementasikan. Inovasi
kurikulum ini bukan hanya perubahan pemikiran, tetapi yang paling penting
adalah perubahan perilaku dalam pembelajaran. cepat atau lambatnya suatu
inovasi diterima oleh masyarakat atau sekolah tergantung pada karakteristik
inovasi.
Perubahan kurikulum mencakup
semua aspek kurikulum, seperti mata perlajaran, isi atau konten, proses belajar
mengajar, metode, pengelolaan waktu yang lebih baik, dan perolehan hasil
belajar siswa. tentu yang lebih baik.
Dalam menyikapi suatu
perubahan, setiap sekolah dituntut berperan dalam pembaharuan tersebut sampai
pada tahap implementasinya dan menetapkan perubahan itu sesuai dengan
perkembangan sekolah tersebut. Sering terjadi sekolah menerima suatu perubahan
tanpa memperhitungkan mengapa mereka mengadopsinya, apa dampak perubahan itu
bagi guru, siswa, dan masyarakat luas. Kemudian, sekolah yang dijadikan ajang
pembaharuan itu digembor-gemborkan sebagai suatu model yang akan menjadi contoh
bagi sekolah lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk memastikan
apakah satu sekolah perlu melakukan suatu perubahan.
Inovasi dilakukan
apabila guru benar-benar menyakini bahwa pembaharuan itu memang harus dilakukan
dan diperlukan. Berbicara mengenai inovasi (pembaharuan) mengingatkan kita pada
istilah invention dan discovery. Invention adalah penemuan sesuatu yang
benar-benar baru artinya hasil karya manuasia. Discovery adalah penemuan
sesuatu (benda yang sebenarnya telah ada sebelumnya).
Dengan demikian,
inovasi dapat diartikan usaha menemukan benda yang baru dengan jalan melakukan
kegiatan (usaha) invention dan discovery. Dalam kaitan ini Ibrahim (1989)
mengatakan bahwa inovasi adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang,
kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau
sekelompok orang (masyarakat).
Beberapa faktor yang
dijadikan landasan dalam merencanakan kurikulum yaitu:
1. Pertama
asas filosofis yang berkenaan dengan sistem nilai, pandangan, dan norma suatu
masalah.
2.
Kedua, asas psikologis yang berkenaan dengan cara belajar siswa dan factor yang
menghambat.
3. Ketiga,
asas sosiologis berkenaan dengan penyampaian kurikulum dalam masyarakat, apakah
sudah sesuai atau belum terhadat tuntutan masyarakat.
4. Terakhir,
asas organisasi berkenaan dengan bentuk penyajian bahan pelajaran.
Nana Syaodih
Sukmadinata (1997) bahwa ada prinsip umum dalam pengembangan inovasi yang perlu
dievaluasi kurikulum tersebut antara lain :
1.
Prinsip relevansi. Kurikulum yang kita rancang dan kembangkan apakah sudah
relevan dengan kebutuhan peserta didik untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
2.
Prinsip fleksibilitas. Kurikulum yang kita rancang dan kembangkan apakah
sudah bersifat adaptif, mampu menyesuaikan diri dengan konteks pembelajaran.
3.
Prinsip kontinuitas. Kurikulum yang kita rancang dan kembangkan
memungkinkah peserta didik lebih sanggup mengembangkan potensinya kelak dalam
rencana belajar berikutnya (prinsip belajar sepanjang hayat).
4.
Prinsip praktis. Kurikulum sebaiknya mudah digunakan dengan alat sederhana
dan biaya relatif murah, terutama dalam situasi ekonmi dewasa ini. Selain itu,
apa yang dipelajari mahasiswa seharusnya mampu membentuk dan meningkatkan
kompetensi mereka di dalam kehidupan sehari-hari.
5.
Prinsip efektivitas. Efektivitas sebuah kurikulum harus dilihat dari
sejauhmana perubahan peserta didik, sebagaimana dampak dalam kehidupan dan
karyanya.
Masalah-masalah yang
terjadi dalam inovasi kurikulum dibedakan menjadi empat :
1. Masalah
relevansi pendidikan berkaitan dengan tujuan tuntutan di era modern.
2. Masalah
mutu berkaitan dengan peningkatan aspek pendidikan demi menghasilkan lulusan yang berkualitas.
3. Masalah
efisiensi yang berkaitan dengan usaha memanfaatkan kesempatan dalam proses
pendidikan.
4. Pemerataan
pendidikan yaitu member kesempatan pada mereka yang belum pernah mengenyam
pendidikan dengan sistem desentralisasi.
Dalam penyusunan
kurikulum, perlu diperhatikan struktur materi. Hubungan vertikal yakni materi
pengajaran berkaitan dengan waktu. Hubungan horizontal, yaitu materi pengajaran
dalam kelas berkaitan antara materi pelajaran lainnya. Dan, terdapat tiga
kriteria dalam struktur materi, yaitu berkesinambungan, berurutan, dan
keterpaduan.
Inovasi dalam
pendekatan belajar mengajar dapat dilakukan antara lain, pertama pengalaman
belajar yang merupakan aktivitas siswa dalam menangkap dan mengembangkan materi
yang disampaikan guru. Kedua, cara belajar siswa aktif yaitu perubahan posisi
siswa dari objek belajar menjadi subjek yang belajar dengan melibatkan
keaktifan mentalnya (menyukai materi), intelektualnya (cara berpikir), dan
sosialnya (mendiskusikan materi dengan teman). Dan yang ketiga, belajar proses
yaitu belajar tidak harus selalu dihafal tetapi bagaimana proses penerimaan
materi.
Guru memerlukan inovasi
dalam penyampaian materi. Sistem penyampaian dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu sistem modul dan sistem paket belajar. Sistem modul bertujuan agar siswa
dapat belajar secara mandiri dan guru sebagai pembimbing, sehingga ada
kesempatan bagi mereka yang ada di daerah terpencil. Sistem paket belajar
bertujuan agar siswa mendapat bekal keterampilan yang berguna bagi hidupnya
kelak.
Kemudian, inovasi sistem penilaian
pada evaluasi pembelajaran dibagi menjadi enam cara yaitu tes non kertas (tes
non tertulis), tes dalam kondisi wajar (penilaian secara diam-diam), tes home
tes (berupa pekerjaan rumah/ PR), performance (praktik), portofolio
(pengumpulan tugas-tugas dalam kurun waktu tertentu), rubrik (penilaian
menggunakan kriteria tertentu berdasarkan kinerja pembelajaran).
Ada Beberapa pengembangan inovasi kurikulum diindonesia
1. Inovasi Kurikulum
Berbasis Kompetensi
Dikatakan sebagai salah satu bentuk
inovasi kurikulum. Kemunculannya seiring dengan munculnya semangat reformasi pendidikan,
diawali dengan munculnya kebijakan Pemerintah. Kurikulum berbasis kompetensi
dikembangkan untuk memberikan keahlian dan keterampilan sesuai dengan standar
kompetensi yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing dan daya jual untuk
menciptakan kehidupan yang berharkat dan bermartabat ditengah-tengah perubahan,
persaingan, dan kerumitan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Gordon (1988)
menyarankan beberapa aspek yang harus terkandung dalam kompetensi adalah:
pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan untuk melakukan proses berfikir.
Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki
individu. Keterampilan (skill), yaitu sesuatu yang dimiliki individu untuk
melakukan tugas yang dibebankan. Nilai (value), yaitu suatu standar perilaku
yang telah diyakini sehingga akan mewarnai dalam segala tindakannya. Sikap (
attitude), yaitu perasan atau reaksi terhadap suatu rangsang yang datang dari
luar, perasaan senang atau tidak senang terhadap sesuatu masalah. Minat
(interest), yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu tindakan atau
perbuatan untuk mempelajari materi pelajaran.
2. Inovasi Kurikulum Berbasis Mayarakat
Perkembangan pendidikan
anak sejalan dengan dinamika masyarakatnya, karena ciri masyarakat selalu
berkembang. Ada kelompok masyarakat yang berkembang sangat cepat, tetapi ada
pula yang lambat. Hal ini karena pengaruh dari perkembangan teknologi,
komunikasi dan telekomunikasi. Dalam kondisi seperti ini perubahan-perubahan di
masyarakat terjadi pada semua aspek kehidupan. Efek perubahan di masyarakat
akan berimbas pada setiap individu warga masyarakat, pengetahuan, kecakapan,
sikap, kebiasaan bahkan pola-pola kehidupan.
Kurikulum berbasis
masyarakat yang bahan dan objek kajiannya kebijakan dan ketetapan yang
dilakukan di daerah, disesuaikan dengan kondisi lingkungan alam, sosial,
ekonomi, budaya dan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan daerah yang perlu
dipelajari oleh siswa di daerah tersebut. Bagi siswa berguna untuk memberikan
kemungkinan dan kebiasaan untuk akrab dengan lingkungan dimana mereka tinggal.
Kemungkinan lain mencegah dari keterasingan lingkungan, terbiasa dengan budaya
dan adat istiadat setempat dan berusaha mencintai lingkungan hidup, sehingga
sebutan kurikulum ini disebut kurikulum berbasis wilayah.
3. Inovasi Kurikulum
Berbasis Keterpaduan
Kurikulum terpadu
merupakan kurikulum yang memungkinkan siswa baik secara individual maupun
klasikal aktif menggali dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik
bermakna dan otentik. Semuanya menekankan pada cara menyampaikan pelajarn yang
bermakna dengan melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Melalui
pembelajaran terpadu diharapkan para siswa memperoleh pengetahuan secara
menyeluruh dengan cara mengaitkan satu pelajaran dengan pelajaran lain.
Sumber
referensi:
1. Mohd.Ansyar & H. Nurtain, Pengembangan dan
Inovasi Kurikulum, 1991.
2.
Sanjaya. Wina, Kurikulum Dan
Pembelajaran, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
ARTIKEL
KURIKULUM DAN POLITIK PENDIDIKAN
Nama: syahrul Ramadhan
NIM: 11160110000004
Kata pendidikan tentu sudah tidak asing di telinga
anda, bisa dikatakan semua yang kita lakukan melalui proses pendidikan, nah
berbicara pendidikan secara formal tentu tidak lepas dari yang namanya
kurikulum, perubahan kurikulum di berbagai Negara tentunya sebagai langkah
menjadikan pendidikan itu sendiri dapat lebih berkualitas.
Berbicara Perubahan kurikulum pendidikan yang ada di berbagai Negara tidak dapat di lepaskan dengan kondisi politik di Negara tersebut.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pengembangan kurikulum, diantaranya filosofis, psikologis, sosial budaya, politik, pembangunan negara dan perkembangan dunia, dan ilmu dan teknologi (IPTEK), dalam makalah ini saya akan mengangkat salah satunya, yakni faktor politik.
Berbicara Perubahan kurikulum pendidikan yang ada di berbagai Negara tidak dapat di lepaskan dengan kondisi politik di Negara tersebut.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pengembangan kurikulum, diantaranya filosofis, psikologis, sosial budaya, politik, pembangunan negara dan perkembangan dunia, dan ilmu dan teknologi (IPTEK), dalam makalah ini saya akan mengangkat salah satunya, yakni faktor politik.
Studi politik pendidikan mengungkapkan cara-cara yang
ditempuh pemerintah dalam menggunakan pendidikan sebagai alat untuk memperkuat
posisinya dan menutup peran-peran aktivitas subversif terhadapnya. Contohnya,
bagaimana rezim otoriter memperkuat posisinya dengan ketat mengontrol
pendidikan dan bagaimana semua rezim menggunakan pendidikan memperkuat sentimen
kebangsaan dalam rangka memaksimalkan kekuasaan negara. Pertanyaanya adalah
bagaimana hal itu dilakukan? Tentu dalam hal dimana institusi pendidikan
memiliki ketergantungan terhadap rejim berkuasa (pemerintah). Sekolah-sekolah
dan Perguruan Tingi memiliki kepentingan yang sangat tinggi pada pemerintah,
terutama dalam hal akses pendanaan, penempatan lulusan dan sebagainya. Sekolah
dan Perguruan Tingi tentu tidak bisa berjalan sendiri, tanpa input dari
pemerintah, dan dalam konteks itulah maka pemerintah yang dipimpin oleh rezim
berkuasa memiliki ikatan bersama dengan lembaga-lembaga pendidikan. Dengan
begitu, pendidikan menjadi alat yang dapat dimanfaatkan untuk mengungkap
persaingan kekuasaan baik secara internal maupun eksternal. Diantara berbagai
institusi dan praktek yang secara signifikan mempengaruhi stabilitas dan
transformasi sistem politik adalah pendidikan.Melalui pendekatan filosofis,
fungsi politik dalam pendidikan mengungkap jenis-jenis penyelenggaraan
pendidikan, pengembagan kurikulum maupun pengembangan organisasi, dalam rangka
menanamkan konsep-konsep filosofis tentang masyarakat politik yang baik atau
tatanan sosial yang baik. Berkenaan dengan fungsi ini, maka Easton kemudian
mengajukan pertanyaan, apa peran yang harus dimainkan oleh pendidikan dalam
rangka membangun warga negara yang baik? Kajian tentang hal ini telah banyak
dijawab dalam beberapa karya Reisner (1992), McCully (1959), Talmon (1952), dan
Cobban (1938). Dari mereka para pendidik mendapatkan pernyataan bahwa sekolah
atau lembaga-lembaga pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk menjadi warga
negara yang aktif. Para insan pendidikan telah memusatkan tugas-tugas mereka
pada pengembangan program-program pelatihan kewarganegaraan dengan
mempromosikan kesetiaan kepada gagasan pemerintahan demokrasi.
Perubahan kurikulum yang ada di
berbagai negara tidak pernah lepas dari kondisi politik yang sedang berlaku di
negara tersebut. Untuk itu, tidak menutup kemungkinan kurikulum akan berubah
sewaktu-waktu sesuai dengan kondisi politik yang memengaruhi negara pada saat
itu.
Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI), Hamid Hasan, dalam rapat dengan Panja Kurikulum DPR RI, Rabu
(22/1/2013). Hamid mengatakan bahwa fakta ini juga terjadi di beberapa negara
besar seperti Amerika dan Jepang yang mengubah kurikulum dalam waktu singkat
karena adanya pergolakan politik di negara tersebut.
“Contoh saja Jepang, baru dua tahun pernah mengubah kurikulum hanya karena aspek politik. Jadi waktu itu terkait penjajahan Jepang, konten dalam pelajaran sejarahnya ada yang dihilangkan dengan maksud agar generasi saat itu tetap memiliki nasionalisme dan kecintaan terhadap negara,” katanya.
“Jadi, tidak ada satu pun kurikulum bebas dari pengaruh politik. Itu sudahestablished dalam kurikulum. Begitu power politik itu berubah, akan ada berpengaruh juga pada kurikulum,” tambah pria yang menjabat sebagai Ketua Tim Inti Pengembangan Kurikulum 2013 ini kemudian.
Anggota Panja Kurikulum DPR RI, Raihan Iskandar, mengatakan, untuk meminimalisasi perubahan kurikulum akibat kondisi politik yang berubah, ada baiknya dibuat Rencana Strategis (Renstra) Pendidikan yang jelas dan kuat. Pasalnya, muncul kekhawatiran kurikulum akan kembali dirombak pada 2014 mendatang.
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Wiles Bondi (dalam Sudrajat, 2008) dalam bukunya `Curriculum Development: A Guide to Practice’ turut menjelaskan pengaruh politik dalam pembentukan dan pengembangan kurikulum.
Hal ini jelas menunjukkkan bahwa pengembangan kurikulum dipengaruhi oleh proses politik, kerana setiap kali tampuk pimpinan sesebuah negara itu bertukar, maka setiap kali itulah kurikulum pendidikan berubah.
Walaupun kekuasaan politik terpusat pada berbagai kelompok dan individu, efektifitas dan kegunaannya dibentuk oleh berbagai institusi.pola institusional pendidiikan publik mungkin saja tampak kokoh, cukup mantap, sehingga untuk dapat berhasil, setiap proposal perlu menyesuaikan diri dengannya).
Elliot (1959: 1047) menambahkan bahwa salah satu komponen terpenting pendidikan, kurikulum,misalnya, dapat menjadi media sosialisasi politik. Menurutnya, kurikulum di suatu lembaga pendidikan memiliki tiga sumber utama. Pertama: pendapat kelompok profesional pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh institusi-institusi pelatihan guru dan seringkali merefleksikan atau mengadaptasi ide dari individu-individu yang didewa-dewakan, seperti John Dewey, John Lock, dan William Stern. Kedua, kebutuhan akan dana. Ketiga,aktivitas kelompok-kelompok berpengaruh, seperti asosiasi industri, perserikatan, dan beberapa organisasi kebangsaan yang memiliki semangat patriotik.
Fungsi politik pendidikan secara khusus juga dapat diaktualisasikan melalui proses pembelajaran. Menurut Massialas (1969: 18-79 dan 155), proses pembelajaran bisa bersifat kognitif (misalnya, mendapatkan pengetahuan dasar tentang suatus sistem), bisa bersifat afektif (misalnya, mengetahui sikap-sikap positif dan negatif terhadap penguasa atau simbol-simbol), bisa bersifat evaluatif (misalnya, menilai peran-peran politik berdasarkan standar tertentu), atau bisa bersifat motivatuf (misalnya, penanaman rasa ingin berpartisipasi). Sebagian besar unsur-unsur pembelajaran tersebut dapat dirancang dan diarahkan sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan politik tertentu.
Di banyak negara totaliter dan negara berkembang, pemimpin politik sangat menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajar (curriculum content) pendidikan. Di negara-negara Komunis, misalnya, metode brain washing digunakan secara luas membentuk pola pikir kaum muda, agar sejalan dengan doktrin komunisme.
“Contoh saja Jepang, baru dua tahun pernah mengubah kurikulum hanya karena aspek politik. Jadi waktu itu terkait penjajahan Jepang, konten dalam pelajaran sejarahnya ada yang dihilangkan dengan maksud agar generasi saat itu tetap memiliki nasionalisme dan kecintaan terhadap negara,” katanya.
“Jadi, tidak ada satu pun kurikulum bebas dari pengaruh politik. Itu sudahestablished dalam kurikulum. Begitu power politik itu berubah, akan ada berpengaruh juga pada kurikulum,” tambah pria yang menjabat sebagai Ketua Tim Inti Pengembangan Kurikulum 2013 ini kemudian.
Anggota Panja Kurikulum DPR RI, Raihan Iskandar, mengatakan, untuk meminimalisasi perubahan kurikulum akibat kondisi politik yang berubah, ada baiknya dibuat Rencana Strategis (Renstra) Pendidikan yang jelas dan kuat. Pasalnya, muncul kekhawatiran kurikulum akan kembali dirombak pada 2014 mendatang.
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Wiles Bondi (dalam Sudrajat, 2008) dalam bukunya `Curriculum Development: A Guide to Practice’ turut menjelaskan pengaruh politik dalam pembentukan dan pengembangan kurikulum.
Hal ini jelas menunjukkkan bahwa pengembangan kurikulum dipengaruhi oleh proses politik, kerana setiap kali tampuk pimpinan sesebuah negara itu bertukar, maka setiap kali itulah kurikulum pendidikan berubah.
Walaupun kekuasaan politik terpusat pada berbagai kelompok dan individu, efektifitas dan kegunaannya dibentuk oleh berbagai institusi.pola institusional pendidiikan publik mungkin saja tampak kokoh, cukup mantap, sehingga untuk dapat berhasil, setiap proposal perlu menyesuaikan diri dengannya).
Elliot (1959: 1047) menambahkan bahwa salah satu komponen terpenting pendidikan, kurikulum,misalnya, dapat menjadi media sosialisasi politik. Menurutnya, kurikulum di suatu lembaga pendidikan memiliki tiga sumber utama. Pertama: pendapat kelompok profesional pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh institusi-institusi pelatihan guru dan seringkali merefleksikan atau mengadaptasi ide dari individu-individu yang didewa-dewakan, seperti John Dewey, John Lock, dan William Stern. Kedua, kebutuhan akan dana. Ketiga,aktivitas kelompok-kelompok berpengaruh, seperti asosiasi industri, perserikatan, dan beberapa organisasi kebangsaan yang memiliki semangat patriotik.
Fungsi politik pendidikan secara khusus juga dapat diaktualisasikan melalui proses pembelajaran. Menurut Massialas (1969: 18-79 dan 155), proses pembelajaran bisa bersifat kognitif (misalnya, mendapatkan pengetahuan dasar tentang suatus sistem), bisa bersifat afektif (misalnya, mengetahui sikap-sikap positif dan negatif terhadap penguasa atau simbol-simbol), bisa bersifat evaluatif (misalnya, menilai peran-peran politik berdasarkan standar tertentu), atau bisa bersifat motivatuf (misalnya, penanaman rasa ingin berpartisipasi). Sebagian besar unsur-unsur pembelajaran tersebut dapat dirancang dan diarahkan sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan politik tertentu.
Di banyak negara totaliter dan negara berkembang, pemimpin politik sangat menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajar (curriculum content) pendidikan. Di negara-negara Komunis, misalnya, metode brain washing digunakan secara luas membentuk pola pikir kaum muda, agar sejalan dengan doktrin komunisme.
Mellaui kurikulum nasional, pendidikan diindonesia telah menjalani
proses yang yang amat berlainan dengan
perkembangan kebudayaan sehingga pendidikan diindonesia bukan lagi sebagai
persoalan budaya, melainkan kepentingan poltik di suatu titik dan kepentingan
ekonomi di sisi lain.
Darmaningtyas memberikan catatan kritis atas perjalanan kurikulum
nasional. Di masa orde baru, kurikulum dijadikan sarang indoktrinasi bagi
penguasa. Hal itu terwujud dengan adanya matapelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah
Perjuanagn Bangsa). Mata pelajarn ini lebih banyak menceritakan perjuanagn
fisik melawan penjajah terutama dari kalangan tentara (angkatan darat). Isi
mata pelajaran ini sebenarnya tumpang tindih dengan mata pelajaran lain seperti
IPS, Sejarah Nasional, dan PMP yang juga memuat hal tersebut.
Lalu muncul ditahun 1994 kurikulum baru penggnati kurikulum 1984.
Hal yang menonjol dari kurikulum ini adalah dominnanya pelajaran matematika
serta bahasa (Indonesia dan Ingris) dalam seluruh jenjang pendidikan. Tapi,
terlalu minimnya pelajaran seni baik seni musik, seni kriya dan seni-seni
lainnya. Dari sini dapat dinilai bahwa kurikulum 1994 merupakan kurikulum yang
menhapus rasa seni dari dunia pendidikan formal atau bisa dikatakan proses
pemiskinan cita rasa seni sebagai manusia karena manusia direduksi hanya untuk
menguasai tekhnologi saja.
Ditulisan lain darmaningtyas mencontohkannya kurikulum muatan
lokal. Secara konseptual kurikulum muatan lokal (Mulok) itu bagus karena menurut para perancangnya, hal tersebut
dimaksud untuk mengomodasi potensi-potensi lokal yang ada disekitar sekolah guna mengindarkan
terjadinya murid tercabut dari akar-akar lingkungan sosial dan budaya. akan tetapi,
apa yang terjadi di lapangan?
Di dalam praktiknya kurikulum muatan lokal ini menjadi tersentral
di tingkat provinsi. Artinya pelajaran muatan lokal disekolah satu dan lainnya
dalam satu provinsi itu sama, yang membedakan hanya satu provinsi satu dengan
provinsi lain. Itupun tidak semua. Sebagai contoh antara jawa tengah, DIY dan
jawa timur yang memiliki basis budaya jawa, pelajaran muatan lokalnya sebagian
sama yaitu bahasa dan kesenian jawa. Demikian yang ada di jawa barat muatan
lokalnya sama yaitu bahsa dan kesenian sunda. Mata pelajaran semacam itu jelas
tidak berllau bermanfaat bagi para pelajar yang tinggal di wilayah bekasi,
depok, dan tanggerang yang alam pergaulan mereka lebih banyak menggunakan
bahasa indonesia dan sebagian bahasa campuran (jawa, sunda, batak, madura)
karena mayoritas mereka adalah pendatang yang tidak memiliki latar belakang
budaya sunda. Dengan kata lain materi bahasa dan budaya sunda hanya
menghabiskan waktu dan energi saja.
Contoh lain di kepulauan seribu karena masuk dalam wilayah DKI maka
harus belajar Pengetahuan Lingkungan Kota Jakarta (PLK). Padahal secara
geografis, ekonomi, sosial dan budaya mereka berada dalam kehidupan yang amat
berbeda, yaitu dunia perairan seharusnya pengetahuan yang harus mereka kenal
dan kembangkan pun mestinya dunia perairan dengan segala dimensinya.
Kecuali, menurut perancnagnya materi muatan lokal ini tidak perlu
diujikan karena dimaksud hanya untuk mengetahui kemmapuan kognitif siswa dan
tidak terasing dengan lingkungannya. Akan tetapi yang terjadi dilapangan
kurikulum muatan lokal ini diujikan. Jadi gagasan muatan lokal itu bagus secara
filosofis dan subtansi tapi gagal pada tingkat implementasinya. Kegagalan
bersumber pada ketidakmampuan birokrasi memahami konsep kurikulum muatan lokal
sehingga menafsirkan mulok itu dalam bentuk sentralisasi ditingkat provinsi,
buka ditingkat sekolah.
Darmaningtyas juga melihat bahwasanya KBK telah menyebabkan
penyeragaman dan sentralisme dalam pendidikan, KBK mengedepankan beberapa
pelajaran dan diujikan atau dipersyaratkan untuk mengidentifikasi peserta didik
itu pintar, maju atau lulus, mata pelajaran itu adalah komputer dan bahasa
ingris. Ini mengakibatkan mata pelajaran lain dikesampingkan tapi penting
dipelajari tapi tidak menjadi syarat ia dianggap sekolahnya sebagai peserta
didik yang pintar dan sesuai dengan kurikulum berbasis kompetensi. Disini
kelihatan bahwa penguasa menginginkan peserta didik siap menhadapi globalisasi,
dengan menguasai alat berkomunikasi dunia yaitu bahsa ingris dan komputer.
Kurikulum semestinya dikembangkan dengan mendasarkan basis empiris
di masing-masing lingkungan sekolah. Sekolah-sekolah yang berada di pesisir
misalnya cocok mengembangkan bidang kelautan dan pesisir. Sebaliknya yang
berada di daerah agraris patut mengembangkan dunia pertanian. Sebab, itulah
potensi dasar yang harus dikembangkan oleh murid.
ARTIKEL
POULA FREIRE
MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM (FREIRE/HUMANISTIK/PENDIDIKAN
KRITIS)
Nama: Syahrul Ramadhan
Nim: 11160110000004
Pendidikan pada
hakekatnya adalah sebuah upaya untuk meningkatkan kualitas manusia. Oleh karena
itu, setiap proses pendidikan akan berusaha mengembangkan
seluas-luasnya potensi individu sebagai sebuah elemen penting untuk
mengembangkan dan mengubah masyarakat (agent of change). Dari beberapa
faktor yang mempengaruhi kualitas lulusan suatu lembaga pendidikan, barangkali
kurikulumlah yang bisa dianggap menjadi prioritas utama untuk diperhatikan.
Dalam artikel ini
akan membahas tentang model kurikulum yang di tawarkan oleh Poulo Freire dengan
pendidikan humanistik dan pendidikan kritis.
Kurikulum dalam pandangan Freire berpusat pada “problematisasi” situasi
yang kongkret. Peserta didik bersama pendidiknya memaknai berbaga ipersoalan
seputar pengalaman hidupnya dan berusaha memecahkannya. Sebagai mediator,
pendidik berfungsi meyakinkan atas realitas yang diketahui oleh peserta
didiknya, lantas secara bersama menganalisisnya sehingga pesertadidik membangun
ilmunya sendiri secara kritis dan kreatif.
Peserta didikmencari tahu arti
pengetahuan yang telah dibangunnya lewat diskusi dengan pendidik maupun dengan
kawan-kawanya. Pendidik juga aktif dalam mencari kejelasan, menanyakan
kebenaran, dan mengevaluasi alternatif yang ada. Akan nampak bahwa pendidik
juga berperan sebagai teman belajar bagi peserta didik.Kurikulum yang bertolak
dari realitas kongkret peserta didik serta berdasarkan atas prinsip-prinsip
yang dinamis, bukan pola statis (seperti dalam pendidikan
sistem bank), adalah mutlak bagi proses pendidikan yang sejati yang membebaskan.
Inilah yang dimaksud Freire dengan perlunya perlunyaexperience-centerd
curriculum dalam sistem sekolah.
Aspek-aspek dalam experience-centerd
curriculum didasarkan pada kebutuhan dan minat peserta didik untuk, kemudian
diarahkan bagi perkembangan pribadinya secara integral terutama aspek berfikir,
emosi,motorik, dan pengalaman sosial. Jadi pokok-pokok bahasan yang ada dalam kurikulum
terutama mengacu pada realitas kehidupan yang wajar dan problem pengalaman
hidup peserta didik, dengan pendekatan demikian ini, peserta didik tidak saja
dipersiapkan supaya mampu mengantisipasi masa depan. Namun juga sekaligus
menyadari dan ikut berpartisipasi dengan
situasi sosial sesungguhnya di mana ia dan sekolah adalah bagiannya.
Dalam hal ini sebagaimana Freire
mendasari landasan epistemologinya dengan nilai kemanusiaan Freire juga mendasari
kerangka aksiologisnya pada nilai humanisme yang berimplikasi pada kemaslahatan
manusia, dalam kerangka aksiologinya Freire berasumsi bahwa kebebasan
berpendapat dan berpikir adalah hak tiap manusia. Hak ini perlu diberikan ruang
agar manusia tumbuh menjadi makhluk yang imajinatif dan kreatif. Sebab itu
Freire merumuskan sebuah konsep tujuan pendidikan yang dapat memberikan hak
manusia untuk mengaktualisasikan potensi dan kreativitasnya sendiri, Berikut
konsep pendikan dalam pandangan Freire :
1. Pendidikan untuk penyadaran (Conscientizacao).
Penyadaran merupakan inti dari proses pendidikan. Pendidikan harus mengandung
muatan realistis, dalam materi ajar berhubungan dengan fenomena actual dari
realitas sosial masyarakat, sehingga setelah menggenyam pendidikan peserta
didik menjadi sadar akan kebutuhan, tantangan dan persoalan yang terkaitdengan
realitas sosial sekitarnya atau bahkan sadar akan realitas sosial dunia.
2. Pendidikan untuk pembebasan. Dalam banyak
kesempatan Freire mengatakan bahwa pendidikan nilai paling vital bagi proses
pembebasan manusia. Baginya pendidikan jalur permanen pembebasan, dan berada
dalam dua tahap : Pertama,
pendidikan menjadikan orang sadar akan penindasan yang menimpa mereka
dan melalui gerakan praksis untuk mengbubah keadaan itu. Kedua, pendidikan
merupakan proses permanen aksi budaya pembebasan.
3. Pendidikan untuk humanisasi. Humanisasi
merupakan fitrah manusia, namun ia sering diingkari oleh manusia sendiri (terutama
oleh golongan penindas) justru karena adanya pengingkaran tersebut, humanisasi
menjadi disadari. Pengingkaran biasanya berupa perlakuan tidak adil, pemerasan, penindasan dan kekejaman kaum
penindas. Bentukkerinduan kaum tertindas akan kebebasan dan keadilan, serta perjuangan
mereka untuk menarik kembali harkat kemanusiaan mereka yang hilang.
Paulo Freire
dengan model pembelajaran pasif, yakni pendidik menerangkan, peserta didik
mendengarkan, pendidik mendiktekan, peserta didik mencatat, pendidik bertanya,
peserta didik menjawab, dan seterusnya. Kenyataan seperti ini diistilahkan
Paulo Freire sebagai pendidikan gaya bank (banking system), yakni
pendidikan model deposito, pendidik
sebagai deposan yang mendepositokan pengetahuan serta berbagai pengalamannya
kepada peserta didik, sedangkan peserta didik hanya menerima, mencatat dan
menyimpan semua informasi yang disampaikan pendidik. Peserta didik merupakan pengumpul
sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya peserta didik itu sendiri yang
“disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank
menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya
manusia.
Konsep pendidikan yang membebaskan seharusnya dapat memecahkan
masalah kontradiksi guru dan murid yang selama ini terjadi. Dengan merujuk
kutub-kutub kontradiksi itu, sehingga kedua-uanya secara bersamaan adalah guru
dan murid. Karena semakin banyak murid menyimpan tabungan yang dititipkan
kepada mereka, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritis yang dapat mereka
peroleh dari keterlibatan di dunia sebagai pengubah dunia tersebut. Humanisme
dari pendekatan gaya bank menutupi suatu usaha untuk menjadikan manusia sebagai
benda terkendali (automaion).
Adapun
menurut Freire isi kurikulum harus bermuara pada dan untuk humanisasi, bukan
sekedar menghasilkan pekerja. Dalam kurikulum yang pro-neoliberalisme, para
siswa di didik untuk menjadi pekerja dan professional yang menyerahkan urusan
politik kepada para pembuat kebijakan resmi oleh pemimpin masyarakat. Kuriulum
netral keliru ini mendidik para siswa untuk mengamati fenomena tanpa
mempertimbangkan (judging), memahami dunia berdasarkan konsensus resmi,
melaksanakan perintah tampa mempertanyakannya, seakan masyarakat yang ada sudah
baik-baik adanya.
Dalam memahami
nilai humanisme, praktik pendidikan pembebasan bagi kaum tertindas Freire
mencoba memaparkan siswa sebagai subjek dalam proses pembebasan dari kekuasaan.
Siswa yang selalu diposisikan sebagai objek selalu disebut sebagai kaum yang
tertindas. Dalam pandangannya kaum tertindas tidak berusaha untuk mengupayakan
pembebasan, tetapi cenderung menjadikan dirinya penindas.
Dalam konteks
kesadaran kritis benda-benda dan fakta ditampilkan secara empirik, dalam
kausalitas dan saling berhubungan dengan lingkungan sekitar. Dalam pengertian
lain, kesadaran kritis berupaya untuk mengintegrasikan diri dengan realitas,
yang pada akhirnya lambat-laun akan diikuti oleh aksi atau tindakan. Karena
sekali manusia menemukan dan menangkap adanya tantangan, memahaminya, maka ia
akan bertindak
Upaya menggerakkan kesadaran ini dapat menggeser dinamika dari
pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Menurut Freire,
pendidikan revolusione adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem burjois
atau kaum penentang kalangan tertindas karena tugas utama pendidikan (selama
ini) adalah mereproduksi ideologis burjois. Artinya, pendidikan telah menjadi
kekuatan kaum burjois untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang
nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah
dikuasai oleh kaum burjois, kini menjadi jalan untuk mencipatakan ideologi baru
dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah
tatanan stuktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan
penuh atas masyarakat keseluruhan.
SUMBER:
1.
Jon Wiles, Joseph Bondi, Curriculum Developm\ent A Guide To
Practice, (New Jersey : Merril Prentice Hall,2002),
hlm. 34.
2. Kesuma, Dharma & Teguh Ibrahim. 2016. Struktur
Fundamental Pendagogik:
Membedah Pemikiran Paulo Freire. Bandung: PT Refika Aditama.
ARTIKEL
KURIKULUM DAN TEKHNOLOGI
Nama: Syahrul Ramadhan
NIM: 11160110000004
Kleas: 3 C.
Soedijarto
(1993:125) mengemukakan bahwa dalam menghadapi abad ke-21, ada tiga
indicator utama dari hasil pendidikan yang bermutu dan tercermin dari kemampuan
pribadi lulusannya,yaitu (1) kemampuan untuk bertahan dalam kehidupan, (2)
kemampuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan, baik dalam segi sosial budaya,
dalam segi politik, dalam segi ekonomi, maupun dalam segi fisik biologis, dan
(3) kemampuan untuk belajar terus pada pendidikan lanjutan. Sementara itu,
Wadirman (1996:3) menyatakan bahwa pendidikan hendakanya dapat
meningkatkan kreativitas, etos kerja, dan wawasan keunggulan peserta didik.
Dari
dua pendapat tersebut tampakanya terdapat kesamaan misi dan visi yang
didasarkan pada kenyataan bahwa dunia nyata yang akan dihadapi Oleh peserta
didik penuh dengan persaingan. Oleh karena itu, peserta didik perlu dibekali
kemampuan guna mengantisipasinya dan dapat mencari alternatif penyelesaian
masalah kehidupan yang dihadapinya.
Salah
satu masalah kehidupan yang akan dihadapi para lulusan peserta didik adalah
adanya perubahan masa yang akan datang yang belum pasti bentuk dan
arahnya. Namun, yang pasti adalah adanya tantangan yang menyangkut seluruh
aspek kehidupan manusia yang salah satunya berwujud teknologi
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu
merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat
mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup
manusia.
Nana Syaodih S. (1997:67) menyatakan bahwa sebenarnya sejak
dahulu teknologi sudah ada atau manusia sudah menggunakan teknologi. Kalau
manusia pada zaman dahulu memecahkan kemiri dengan batu atau memetik buah
dengan galah, sesungguhnya mereka sudah menggunakan teknologi, yaitu teknologi
sederhana.
Teknlogi ialah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia dengan bantuan alat dan akal sehingga seakan-akan
memperpanjang, memperkuat, atau membuat lebih ampuh anggota tubuh, pancaindra
dan otak manusia.
Dalam inovasi pendidikan tidak bisa lepas
dengan masalah revolusi metode, kurikulum yanh inovatif, teknologi serta SDM
yang kritis untuk bisa menghasilkan daya cipta dan hasil sekolah sebagai bentuk
perubahan pendidikan. Sekolah harus mempunyai
orientasi bisnis pelanggan yang memiliki daya saing global. Untuk itu ada 5
(lima) teknologi yang dapat menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik yaitu
:
1. Sistem berpikir
Setiap berpikir menjadikan
kita untuk lebih hati-hati dengan munculnya tiap metode di dunia pendidikan.
Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya perubahan yang tidak kita inginkan.
Tanpa sistem berpikir kita akan sulit untuk mengadakan peningkatan riil di
bidang pendidikan. Jadi sistem berpikir menghadirkan konsep sistem yang umum.
2. Desain sistem
Desain sistem adalah teknologi
merancang dan membangin system yang baru. Perubahan yang dimaksud adalah
perubahan yang cepat yang memungkinkan harapan. Desain sistem memberi kita
peralatan untuk menciptakan suatu system yanag baru dan suatu strategi utnuk peubahan.
3. Kualitas Pengetahuan
Mutu atau kualitas pengetahuan
merupakan teknologi yang memproduksi suatu prosuk atau jasa/layanan yang sesuai
harapan dan pelanggan. Ilmu pengetahuan yang berkualitas telah menjadi alat
yang sangat berharga dalam inovasi pendidikan/sekolah.
4. Manajemen Perubahan
Manajemen perubahan adalah
suatu cara untuk memandu energy kreatif kea rah positif. Dapat juga diartikan
system pemikiran yang berlaku untuk aspek manajemen inovasi tentunya dengan
berorientasi pada POAC (Perencanaan, Organisasi, Aktualisasi dan Control)
5. Teknologi
Pembelajaran
Disini ada dua bagian yaitu
peralatan pelajar elektronik (computer, multimedia, internet dan
telekomunikasi) dan pembelajaran yang di desain, metode dan strateginya diperlukan
untuk membuat peralatan elektronik yang efektif. Pelajaran elektronik ini
mengubah cara mengkomunikasikan belajar. Jadi teknologi pembelajaran adalah
system pemikiran yang berlaku untuk insruksi dan belajar
Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan
yang mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan
dalam menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya ada yang berbeda. Dalam
tekonologi pendidikan, lebih diutamakan adalah pembentukan dan penguasaan
kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan
budaya lama. Dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan dipilih oleh tim
ahli bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa data-data obyektif dan
keterampilan-keterampilan yang yang mengarah kepada kemampuan vocational . Isi
disusun dalam bentuk desain program atau desain pengajaran dan disampaikan
dengan menggunakan bantuan media elektronika dan para peserta didik belajar
secara individual
Dalam pengertian yang lebih umum, teknologi pembelajaran
diartikan sebagai media yang lahir sebagai akibat revolusi komunikasi yang
dapat digunakan untuk keperluan pembelajaran di samping guru, buku teks, dan
papan tulis, bagian yang membentuk teknologi pembelajaran adalah televisi,
film, OHP, komputer dan bagian perangkat keras maupun lunak lainnya.
Dalam kawasan pengembangan terdapat keterkaitan yang
kompleks antara teknologi dan teori yang mendorong terhadap desain pesan maupun
strategi pembelajarannya. Pengembangan adalah proses penterjemahan spesifikasi
desain ke dalam bentuk fisik, di dalamnya meliputi : (1) teknologi cetak; (2)
teknologi audio-visual; (3) teknologi berbasis komputer; dan (4) teknologi
terpadu.
1. Teknologi Cetak
adalah cara untuk memproduksi atau menyampaikan bahan, seperti : buku-buku,
bahan-bahan visual yang statis, terutama melalui pencetakan mekanis atau
photografis. Teknologi ini menjadi dasar untuk pengembangan dan pemanfaatan
dari kebanyakan bahan pembelajaran lain. Hasil teknologi ini berupa cetakan.
Teks dalam penampilan komputer adalah suatu contoh penggunaan teknologi
komputer untuk produksi. Apabila teks tersebut dicetak dalam bentuk “cetakan”
guna keperluan pembelajaran merupakan contoh penyampaian dalam bentuk teknologi
cetak.
Dua komponen teknologi ini adalah
bahan teks verbal dan visual. Pengembangan kedua jenis bahan pembelajaran
tersebut sangat bergantung pada teori persepsi visual, teori membaca,
pengolahan informasi oleh manusia dan teori belajar.
Secara khusus, teknologi
cetak/visual mempunyai karakteristik sebagai berikut : (1) teks dibaca secara
linier, sedangkan visual direkam menurut ruang; (2) keduanya biasanya
memberikan komunikasi satu arah yang pasif; (3) keduanya berbentuk visual yang
statis; (4) pengembangannya sangat bergantung kepada prinsip-prinsip linguistik
dan persepsi visual; (5) keduanya berpusat pada pembelajar; dan (6) informasi
dapat diorganisasikan dan distrukturkan kembali oleh pemakai.
2. Teknologi Audio-Visual;
merupakan cara memproduksi dan
menyampaikan bahan dengan menggunakan peralatan dan elektronis untuk menyajikan
pesan-pesan audio dan visual. Pembelajaran audio-visual dapat dikenal dengan
mudah karena menggunakan perangkat keras di dalam proses pengajaran. Peralatan
audio-visual memungkinkan pemroyeksian gambar hidup, pemutaran kembali suara,
dan penayangan visual yang beukuran besar. Pembelajaran audio-visual
didefinisikan sebagai produksi dan pemanfaatan bahan yang berkaitan dengan
pembelajaran melalui penglihatan dan pendengaran yang secara eksklusif tidak
selalu harus bergantung kepada pemahaman kata-kata dan simbol-simbol sejenis.
Secara khusus, teknologi
audio-visual cenderung mempunyai karakteristik sebagai berikut : (1) bersifat
linier; (2) menampilkan visual yang dinamis; (3) secara khas digunakan menurut
cara yang sebelumnya telah ditentukan oleh desainer/pengembang; (3) cenderung
merupakan bentuk representasi fisik dari gagasan yang riil dan abstrak: (4)
dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip psikologi tingkah laku dan kognitif;
(5) sering berpusat pada guru, kurang memperhatikan interaktivitas belajar si
pembelajar.
3. Teknologi Berbasis Komputer;
merupakan cara-cara memproduksi dan menyampaikan bahan dengan menggunakan
perangkat yang bersumber pada mikroprosesor. Pada dasarnya, teknologi berbasis
komputer menampilkan informasi kepada pembelajar melalui tayangan di layar
monitor. Berbagai aplikasi komputer biasanya disebut
“computer-based intruction (CBI)”, “computer assisted instruction (CAI”), atau
“computer-managed instruction (CMI)”.
Aplikasi-aplikasi ini hampir seluruhnya dikembangkan
berdasarkan teori perilaku dan pembelajaran terprogram, akan tetapi sekarang
lebih banyak berlandaskan pada teori kognitif. Aplikasi-aplikasi tersebut dapat
bersifat : (1) tutorial, pembelajaran utama diberikan, (2) latihan dan pengulangan
untuk membantu pembelajar mengembangkan kefasihan dalam bahan yang telah
dipelajari sebelumnya, (3) permainan dan simulasi untuk memberi kesempatan
menggunakan pengetahuan yang baru dipelajari; dan (5) dan sumber data yang
memungkinkan pembelajar untuk mengakses sendiri susunan data melalui tata cara
pengakasesan (protocol) data yang ditentukan secara eksternal.
Teknologi komputer, baik yang
berupa perangkat keras maupun perangkat lunak biasanya memiliki karakteristik
sebagai berikut :
1.
Dapat digunakan secara secara acak, disamping secara linier
2.
Dapat digunakan sesuai dengan keinginan Pembelajar, disamping menurut cara
seperti yang dirancang oleh pengembangnya.
3.
Gagasan-gagasan biasanya diungkapkan secara abstrak dengan menggunakan kata,
simbol maupun grafis.
4.
Prinsip-prinsip ilmu kognitif diterapkan selama pengembangan
5.
Belajar dapat berpusat pada pembelajar dengan tingkat interaktivitas tinggi.
4)
Teknologi Terpadu; merupakan cara untuk memproduksi dan menyampaikan bahan
dengan memadukan beberapa jenis media yang dikendalikan komputer. Keistimewaan
yang ditampilkan oleh teknologi ini,– khususnya dengan menggunakan komputer
dengan spesifikasi tinggi, yakni adanya interaktivitas pembelajar yang tinggi
dengan berbagai macam sumber belajar.
Pembelajaran dengan teknologi
terpadu ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1.
Dapat digunakan secara acak, disamping secara. linier
2.
Dapat digunakan sesuai dengan keinginan Pembelajar, disamping menurut cara
seperti yang dirancang oleh pengembangnya.
3.
Gagasan-gagasan sering disajikan secara realistik dalam konteks pengalaman
Pembelajar, relevan dengan kondisi pembelajar, dan di bawah kendali pembelajar.
4.
Prinsip-prinsip ilmu kognitif dan konstruktivisme diterapkan dalam pengembangan
dan pemanfaatan bahan pembelajaran
5.
Belajar dipusatkan dan diorganisasikan menurut pengetahuan kognitif sehingga
pengetahuan terbentuk pada saat digunakan.
6.
Bahan belajar menunjukkan interaktivitas pembelajar yang tinggi
7.
Sifat bahan yang mengintegrasikan kata-kata dan contoh dari banyak sumber
media.
Sumber:
Depdiknas. 2003. Kegiatan
Belajar Mengajar yang Efektif; Pelayanan Profesional
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan
Kurikum; Teori dan Praktek.
Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
ARTIKEL KURIKULUM DAN
PEMBELAJARAN
Nama : Syahrul ramadhan
NIM : 11160110000004
Kelas : C
Mata Kuliah : KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN
Dosen Pengampu : Dr. FAUZAN, M.A
BAB
I
PENDAHULUAN
Kurikulum adalah
seperangkat pedoman bagi pendidik dalam mengembangkan program pembelajaran
kepada siswa dengan tujuan agar siswa dapat mempersiapkan diri untuk
mengahadapi berbagai macam permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Pembelajaran dapat di artikan sebagai suatu kegiatan yang di lakukan oleh guru
sedemikian rupa, sehingga tingkah laku peserta didik berubah kearah yang lebih
baik. Kurikulum dan pembelajaran sendiri
menyangkut beberapa bahasan seperti; peranan kurikulum, landasan
pengembangan kurikulum, komponen-komponen, prinsip-prinsip, model-model
pengembangan, inovasi pembelajaran dan pengembangan kurikulum itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1
Makna Kurikulum.
Secara etimologi, istilah kurikulum (Curriculum)
berasal dari bahasa yunani yaitu Curir yang artinya “pelari” dan curere
yang berati “tempat berpacu”. Istilah kurikulum berasal dari dunia olah
raga, terutama dalam bidang atletik pada zaman romawi kuno di yunani. Dalam
bahasa prancis, istilah kurikulum berasal dari kata courier yang berarti
berlari (to run). Kurikulum berarti suatu jarak yang harus di tempuh oleh
seorang pelari dari garis star sampai dengan garis finis untuk
memperoleh mendali atau penghargaan. Jarak yang harus di tempuh tersebut
kemudian di ubah menjadi program sekolah dan semua orang yang terlibat
didalamnya. Program tersebut berisi mata pelajaran-mata pelajaran (courses)
yang harus di tempuh oleh peserta didik selama kurun waktu tertentu, seperti
SD/MI (enam tahun), SMP/MTS (tiga tahun), SMA/SMK/MA (tiga tahun). Dengan
demikian secara terminologi istilah
kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus di tempuh atau di
selesaikan peserta didik disekolah untuk memperoleh ijazah. Sedangkan menurut
UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas, kurikulum adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pembelajaran, serta cara yang di
gunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu (UUSPN, BAB I, Pasal 1, ayat 19).
1.2
Makna Kurikulum sebagai ide atau gagasan.
Kurikulum sebagai suatu ide atau konsep
kurikulum bersifat dinamis, atau selalu berubah mengikuti perkembangan zaman,
tuntunan masyarakat, ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Ide atau gagasan tentang
kurikulum hanya ada dalam pemikiran seseorang yang terlibat dalam proses
pendidikan, baik kepala sekolah, guru, pengawas. Dimensi kurikulum sebagai
sebuah ide biasanya di jadikan langkah awal dalam pengembangan kurikulum, yaitu
ketika melakukan studi pendapat. Di indonesia, pengambil keputusan tertinggi
adalah menteri pendidikan nasional.
1.3
Makna kurikulum sebagai sebuah proses/implementasi.
Secara sederhana implementasi bisa
di artikan pelaksanaan atau penerapan. Majone dan Wildavsky (1979) mengemukakan
implementasi sebagai evaluasi; Browne dan Wildavsky (1983) juga mengemukakan bahwa implementasi adalah
perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan. Implementasi bukan sekedar
aktivitas tapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh
berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Esensinya
implementasi adalah suatu proses, suatu aktivitas yang di gunakan untuk
mentransfer ide/gagasan, program, atau harapan-harapan yang dituangkan dalam
bentuk kurikulum desain (tertulis) agar dilaksanakan sesuai dengan desain
tersebut.
1.4
Kurikulum sebagai dokumen
dan evaluasi.
Kurikulum sebagai suatu dokumen memiliki
keterkaitan yang tidak terpisahkan dengan implementasi dokumen tersebut dalam
kegiatan pembelajaran. Kurikulum dan pembelajaran bagaikan dua sisi dari satu mata uang logam yang masing-masing
sama pentingnya. Evaluasi merupakan proses yang sangat penting dalam kegiatan
pendidikan formal. Mengapa demikian ? bagi guru evaluasi dapat menentukan
efektifitas kinerja selama ini; sedangkan bagi pengemban kurikulum evaluasi
dapat memberikan informasi untuk perbaikan kurikulum yang sedang berjalan.
Evaluasi sering dianggap sebagai salah satu hal yang sangat menakutkan bagi
siswa. Oleh karena itu, memang melalui kegiatan evaluasi dapat di tentukan
nasib siswa dalam proses pembelajaran selanjutnya. Anggapan ini harus di luruskan.
Evaluasi mestinya di pandang sebagai
sesuatu yang wajar yakni sebagai suatu bagian integral dari suatu proses
kegiatan pembelajaran.
1.5
Profil kurikulum sekolah/madrasah.
1.6
Peran dan fungsi kurikulum
dalam pendidikan.
Menurut oemar harnalik (1990) terdapat
tiga jenis peranankurikulum yang dinilai sangat penting, yaitu “peranan
konservatif, peranan kritis dan evaluatif, dan peranan kreatif”. Peranan
konservatif, yaitu peranan kurikulum untuk mewariskan, mentransmisikan, dan
menafsirkan nilai-nilai sosial dan budaya masa lampau yang tetap eksis dalam
masyarakat. Peranan krisis dan evaluatif, yaitu peranan kurikulum untuk menilai
dan memilih nilai-nilai sosial-budaya yang akan di wariskan kepada peserta
didik berdasarkan kriteria tertentu. Peranan kreatif, yaitu peranan kurikulum
untuk menciptakan dan menyusun kegiatan-kegiatan yang kreatif dan konstruktif
sesuai dengan perkembangan peserta didik dan kebutuhan masyarakat. Fungsi
kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu alat untuk
membentuk manusia seutuhnya sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan
nasional, termasuk berbagai tingkatan tujuan pendidikan yang ada di bawahnya.
Kurikulum sebagai alat dapat di wujudkan dalam bentuk program, yaitu kegiatan
dan pengalaman belajar yang harus
dilaksanakan oleh guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran.
BAB III
PENUTUP
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, pelajaran, serta cara yang di gunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Pengembanagn kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang beragam
mengacu pada standar Nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan
pendidikan nasional. Maka dari itu, hendaknya para pengajar dan semua individu
yang terkait dalam hal tersebut untuk dapat melaksanakan tugas profesinya
dengan seoptimal mungkin.
Buku
referensi :
1.
Zainal Arifin , Konsep dan Model pengembangan KURIKULUM,
(Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2011), cet. Pertama.
2.
Syafrudin Nurdin, Guru Profesional & Implementasi Kurikulum,
(Jakarta : PT. Ciputat Press, 2005), cet. Ketiga.
3.
Wina Sanjaya, KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN: TEORI DAN PRAKTIK
PENGEMBANGAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP), (Jakarta: Kencana,
2011), cet. Keempat.
TUGAS ARTIKEL TENTANG LANDASAN PSIKOLOGIS PENGEMBANGAN KURIKULUM
Nama : Syahrul Ramadhan
NIM : 11160110000004
Kelas : 3C
BAB I
PENDAHULUAN
Kurikulum sebagai suatu program dan alat untuk mencapai tujuan
pendidikan, mempunyai hubungan dengan proses perubahan perilaku peserta didik.
Dalam hal ini kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang berfungsi
sebagai alat untuk mengubah perilaku (peserta didik) ke arah yang diharapkan oleh
pendidikan. Oleh sebab itu, proses pengembangan kurikulum perlu memperhatikan
asumsi–asumsi yang bersumber dalam bidang kajian psikologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Psikologi.
Psikologi dapat diartikan
sebagai suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan
lingkungan, pengertian sejenis menyebutkan bahwa psikologi merupakan suatu ilmu
yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan
pengaruhnya pada perilaku, ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa. Pada
dasarnya terdapat dua cabang ilmu psikologi yang berkaitan erat dalam proses
pengembangan kurikulum, yaitu: psikologi perkembangan dan psikologi
belajar.
B. Psikologi Perkembangan dan Psikologi Belajar
1. Psikologi Perkembangan.
Psikologi
perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu
berkenaan dengan perkembangannya. Psikologi
perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu masa
pertemuan spermatozoid dengan sel telur sampai dengan dewasa.
Menurut Ross Vasta dkk, (1992) psikologi perkembangan adalah cabang
psikologi yang mempelajari tingkah laku dan kemampuan sepanjang proses
perkembangan individu dari mulai masa konsepsi sampai mati.Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, tahapan
perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu,
serta hal-hal lainnya yang berhubungan dengan perkembangan individu, yang
semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan
kurikulum.
Karakteristik
perilaku tiap individu pada tiap tingkat perkembangan merupakan kajian yang
terdapat dalam cabang psikologi perkembangan. Oleh sebab itu, dalam
pengembangan kurikulum yang senantiasa berhubungan dengan program pendidikan
untuk kepentingan peserta didik, maka landasan psikologi mutlak harus dijadikan
dasar dalam proses pengembangan kurikulum. Perkembangan yang dialami oleh
peserta didik pada umumnya diperoleh melalui proses belajar. Guru sebagai
pendidik harus mengupayakan cara/metode yang lebih baik untuk melaksanakan
proses pembelajaran guna mendapatkan hasil yang optimal, dalam hal ini proses
pembelajaran mutlak diperlukan pemikiran yang mendalam dengan memperhatikan
psikologi belajar.
a. Psikologi Perkembangan dan Kurikulum
Di dalam psikologi perkembangan terdapat
banyak pandangan ahli berkenaan dengan perkembangan individu pada tiap–tiap
fase perkembangan. Pandangan tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat
berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pendidikan. Setiap anak merupakan
pribadi tersendiri, memiliki perbedaan di samping persamaannya. Implikasi dari
hal tersebut terhadap pengembangan kurikulum, antara lain;
a. Tiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat, dan
kebutuhannya,
b.
Di samping disediakan
pembelajaran yang bersifat umum (program inti) yang harus dipelajari peserta
didik di sekolah, disediakan pula pembelajaran pilihan sesuai minat dan bakat
anak,
c.
Kurikulum selain
menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang
bersifat akademik,
d.
Kurikulum memuat tujuan
yang mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan ketrampilan yang menggambarkan
keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan bathin.
b.
Metode dalam psikologi perkembangan
a. Pengetahuan tentang perkembangan
individu diperoleh melalui studi yang bersifat longitudinal, cross
sectional, psikoanalitik, sosiologik, atau studi kasus. Studi longitudinal
menghimpun informasi tentang perkembangan individu melalui pengamatan dan
pengkajian perkembangan sepanjang masa perkembangan, sejak lahir sampai dengan
dewasa, seperti yang pernah dilakukan oleh Williard C. Olson. Metode cross
sectional pernah dilakukan oleh Arnold Gessel. Ia mempelajari beribu-ribu
anak dari berbagai tingkat usia, mencatat ciri-ciri fisik dan mental, pola-pola
perkemmbangan dan kemampuan, serta perilaku mereka. Studi Psikoanalitik
dilakukan oleh Sigmund Freud beserta para pengikutnya. Studi ini banyak
diarahkan mempelajari perkembangan anak pada masa-masa sebelumnya, terutama
pada masa kanak-kanak (balita).
b. Menurut mereka pengalaman yang
tidak menyenangkan pada masa balita itu dapat mengganggu perkembangan pada
masa-masa berikutnya. Metode sosiologik digunakan oleh Robert Huvighurst. Ia
mempelajari perkembangan anak dilihat dari tuntutan akan tugas-tugas yang harus
dihadapi dan dilakukan dalam masyarakat. Metode lain yang sering digunakan
untuk mengkaji perkembangan anak adalah studi kasus. Dengan mempelajari
kasus-kasus tertentu, para ahli psikologi perkembangan menarik beberapa
kesimpulan tentang pola-pola perkembangan anak. Studi demikian pernah dilakukan
oleh Jean Peaget tentang perkembangan kognitif anak.[1][2]
c. Secara psokologis, anak didik
memiliki keunikan dan perbedaan-perbedaan baik perbedaan minat, bakat, maupun
potensi yang dimilikinya sesuai dengan tahapan perkembangannya. Dengan alasan
itulah, kurikulum harus memperhatikan kondisi psikologis perkembangan dan
belajar anak.
d.
Anak sejak dilahirkan sudah memperlihatkan keunikan–keunikan yang berbeda
satu sama lainnya, seperti pernyataan dirinya dalam bentuk tangisan dan
gerakan–gerakan tubuhnya. Hal ini menggambarkan bahwa sejak lahir anak telah
memiliki potensi untuk berkembang. Di dalam psikologi perkembangan terdapat
banyak pandangan ahli berkenaan dengan perkembangan individu pada tiap–tiap
fase perkembangan.
e. Perkembangan anak adalah
perkembangan seluruh aspek kepribadiaan, tetapi tempo dan irama perkembangan
masing-masing anak pada setiap aspek tidak selalu sama. Seorang anak mungkin
lebih cepet perkembangannya pada tahap tertentu, tetapi lambat pada tahap
lainnya, atau perkembangan aspek tertentu lebih cepat di bandingkan dengan
aspek lainnya.
f. Pandangan tentang anak sebagai
makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum
pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan di
samping persamaannya.
g. Adanya perbedaan-perbedaan
tersebut sering menimbulkan kebingungan pada para guru, tetapi justru akan
memperluas dan memperkaya pengetahuan para pemakai teori-teori perkembangan
anak.
2. Psikologi Belajar dan Kurikulum
Psikologi belajar merupakan ilmu yang
mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar
mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek
perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semua dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan. Belajar dapat diartikan sebagai perubahan perilaku yang
terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan perilaku yang trejadi karena
proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Perubahan yang
terjadi secara insting/terjadi karena secara kebetulan bukan termasuk
belajar.
Psikologi belajar yang berkembang sampai
saat ini, pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi 3 kelas, antara lain ;
a. Teori
disiplin daya/disiplin mental (faculty theory)
Menurut teori ini anak sejak dilahirkan
memiliki potensi atau daya tertentu (faculties) yang masing–masing memiliki
fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir, daya
mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan sejenisnya.
Potensi–potensi tersebut dapat dilatih agar dapat berfungsi secara optimal,daya
berpikir anak sering dilatih dengan pembelajaran berhitung misalnya, daya
mengingat dilatih dengan menghapal sesuatu.
b. Behaviorisme
Behaviorisme muncul dari adanya
pandangan bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan
individu dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat.
Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal yang
bersifat mental, perkembangan hanya menyangkut hal yang bersifat nyata yang
dapat dilihat dan diamati.
Menurut teori ini kehidupan tunduk pada
hukum S – R (stimulus – respon) atau aksi-reaksi. Menurut teori ini, pada
dasarnya belajar merupakan hubungan respon – stimulus. Belajar merupakan upaya
untuk membentuk hubungan stimulus – respon seoptimal mungkin. Hukum
latihan/pengulangan (exercise/repetition) stimulus dan respon akan
terbentuk apabila sering dilatih atau diulang – ulang. Hukum akibat (effect)
menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respon akan terjadi apabila ada
akibat yang menyenangkan.
c. Organismic/Cognitive Gestalt Field
Menurut teori ini keseluruhan lebih
bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian.
Manusia dianggap sebagai makhluk yang melakukan hubungan timbal balik dengan
lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon.
Stimulus yang hadir diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan
interaksi dengannya terus-menerus sehingga terjadi suatu proses pembelajaran.
Dalam hal ini guru lebih berperan sebagai pembimbing bukan sumber informasi
sebagaimana diungkapkan dalam pandangan koneksionisme, peserta didik lebih
berperan dalam hal proses pembelajaran, belajar berlangsung berdasarkan
pengalaman yaitu kegiatan interaksi antara individu dengan lingkungannya.
BAB III
PENUTUP
Kurikulum merupakan inti dari bidang
pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan.
Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka
penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan
kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang di dasarkan pada
hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Salah satu dari dasar dan
landasan itu adalah landasan psikologi, dimana dalam landasan psikologi harus
memahami minimal dua bidang psikologi yang mendasari perkembangan kurikulum,
yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan
merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan
perkembangannya. Psikologi belajar
merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks
belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori
belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang
semua dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan.
DAFTAR PUSTAKA
Desmita. Psikologi
Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2005
Papalia, Diane E., et.
al. Human Development. Mc. Graw Hill Companies. 2008
Purwanto, Ngalim. Ilmu
Pendidikan Teoritis dan Praktis—cet. kedelapanbelas. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2007
Pusat Bahasa Depdiknas.
Kamus Besar Bahasa Indonesia—Edisi ketiga, cetakan ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka. 2005
Sukarman, Dadang. Pengembangan
Kurikulum – electronic book Kurikulum dan Teknologi Pendidikan – UPI. Bandung:
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UPI. 2007
Syaodih, Nana. Pengembangan
Kurikum: Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya. 1997
ARTIKEL
LANDASAN SOSIOLOGIS PENYUSUNAN KURIKULUM
Nama : Syahrul Ramadhan
NIM : 11160110000004
Kelas : 3C
BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara mengenai landasan sosiologis
sebuah kurikulum, maka kita juga pasti akan sedikit banyak bersinggungan dengan
keadaan sosial, masyarakat dan budaya. Karena faktanya, budaya tidak bisa
dilepaskan dari aspek sosial kemasyarakatan.. budaya merupakan hasil dari
interaksi sosial yang terjadi melalui ide-ide yang muncul dari sebuah komunitas
manusia. Anak-anak sekolah berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik
formal, informal, maupun non formal. Dan mereka semua diarahkan agar mampu
terjun dalam kehidupan masyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya
dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam melaksanakan kurikulum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Landasan sosiologis penyusunan kurikulum.
Sebelum berbicara
lebih jauh maka ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu arti dan makna dari
empat kata tersebut, agar kita lebih jelas dengan apa yang akan kita bahas,
karena jika kita membahas sesuatu yang belum jelas maka itu akan membingungkan
kita sendiri.
Pertama: “Landasan”,
yang mempunyai arti alas, bantalan, dasar dan tumpuan.
Kedua: “Sosiologi”,
yang mempunyai arti bersifat sosial kemasyarakatan dan yang bersifat pengetahuan tentang sifat
dan perkembangan masyarakat.
Ketiga: “Penyusunan”,
mempunyai arti proses, atau cara serta perbuatan untuk memberikan susunan yang
sisteamtis.
Keempat: “Kurikulum”,
yang mempunyai arti perangkat mata pelajaran yang diajarkan lembaga pendidikan.
Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa secara etimologi landasan
sosiologis penyusunan kurikulum adalah suatu landasan atau pijakan dalam
menyusun sebuah kurikulum yang mengacu pada aspek kemasyarakatan.
Secara terminologi adalah asumsi-asumsi
yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam penyusunan
kurikulum.
B.
Landasan Sosiologis.
Ciri universal dari
manusia adalah hidup secara berkelompok, dan pasti membutuhkan orang lain.
Manusia belajar dan tumbuh dari masyarakat. Tidak ada satu manusiapun yang
hidup tanpa bantuan orang lain. Masyarakat adalah suatu sistem, yang didalamnya
ada beberapa subsistem yang berjenjang secara struktural, mulai dari subsistem
kepercayaan, nilai, dan subsistem kebutuhan. Subsistem-subsitem tersebut mempunyai korelasi yang saling terkait.
Masyarakat sebagai sistem mampu memproses pendidikan. Oleh karenanya,
masyarakat harus mempertimbangkan dalam penyusunan sebuah kurikulum.
James W. Thorton
seperti yang di kutip Prof. Oemar Hamalik, mengatakan bahwa setidaknya ada
empat kelompok kekuatan sosial yang mempengaruhi kurikulum. Di antaranya:
1.
Kekuatan sosial yang resmi, yang terdiri atas:
a.
Pemerintah suatu negara, melalui UUD dan ideologi negara
b.
Pemerintah daerah, melalui kebijakannya
c.
Perwakilan departemen pendidikan setempat
2.
Kekuatan sosial masyarakat setempat, yang terdiri atas:
a.
Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan
b.
Kerukunan atau persatuan keluarga sekolah-sekolah sejenis.
c.
Perguruan tinggi
d.
Persatuan orang tua murid
e.
Penerbit buku-buku pelajaran
f.
Media massa
g.
Adat kebiasaan masyarakat setempat.
3.
Organisasi profesional, yang terdiri atas:
a.
Persatuan Guru
b.
Persatuan Dokter
c.
Ahli hukum
4.
Kelompok atau organisasi yang bergerak berdasarkan kepentingan
tertentu, seperti kelompok patriotik dan sebagainya.
Sulaiman sumardi merumuskan bahwa
kebudayaan adalah hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Pertama: “Karya”, yaitu karya masyarakat yang menghasilkan tekhnologi dan
kebudayaan kebendaan.
Kedua: “Rasa”, meliputi jiwa manusia yang di wujudkan dalam norma-norma
dan nilai.
Ketiga: “Cipta”, merupakan pikiran orang-orang dalam hidup bermasyarakat.
C.
Implikasi landasan sosiologis dalam penyusunan kurikulum.
Faktor sosial budaya
snagat penting dalam penyusunan kurikulum yang relevan, karena kurikulum
merupakan alat untuk merealisasikan sistem pendidikan. Implikasi dasar sebagai
berikut:
1.
Kurikulum harus disusun berdasarkan kondisi sosial budaya masyarakat.
Kurikulum disusun bukan hanya harus berdasarkan nilai, adat istiadat, cita-cita
dari masyarakat, tetapi juga harus berlandaskan semua dimensi kebudayaan.
2.
Karena kondisi sosial budaya senantiasa berubah dan berkembang
sejalan dengan perubahan masyarakat. Amak kurikulum harus disusun dengan memperhatikan unsur fleksibilitas dan
bersifat dinamis, sehingga kurikulum tersebut senantiasa relevan dengan
amsyarakat.
3.
Program kurikulum harus disusun dan mengandung materi sosial budaya
dalam masyarakat.
4.
Kurikulum di sekolah harus berdasarkan kebudayaan nasional yang
berlandaskan pada falsafah pancasila, yang mencakup perkembangan kebudayaan
daerah.
BAB
III
PENUTUP
Sekolah adalah suatu institusi yang didirikan dan diperuntukan bagi
kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum sebaiknya mempertimbangkan
segi sosiologis ini, baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun perbaikan
kurikulum. Masyarakat adalah suatu sistem yang meliptu berbagai komponen antara
lain, subsistem kepercayaan, nilai-nilai, kebutuhan dan permintaan.
Masing-masing komponen berpengaruh
terhadap penyusunan kurikulum. Dan di dalam masyarakat terdapat berbagai
lembaga sosial yang masing-masing memiliki pengaruh dan patut untuk di
pertimbangkan dalam penyusunan kurikulum.
Sumber Referensi :
1.
Nana Syaodih sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktek, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010).
2.
Oemar Hamali, Dasar-Dasar pengembangan kurikulum, (Bnadung:
Remaja Rosdakarya, 2011).
3.
Abdullah Idi, Pengenbangan Kurikulum Teori dan Praktik,
(Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011).
4.
Syarifudin Nuruddin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003).
ARTIKEL MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
Nama : Syahrul Ramadhan
Nim : 11160110000004
Kelas : 3 C
A.
Pengembangan Kurikulum menurut Hilda Taba
Kurikulum
menurut Hilda Taba adalah: “ a curriculum is a plan for learning, therefore
what is know about the learning process and the development of individual has
bearing on the shaping of the curriculum”. kurikulum adalah suatu rencana
belajar, oleh karena itu, konsep-konsep tentang belajar dan perkembangan
individu dapat mewarnai bentuk-bentuk kurikulum.Kurikulum tidak hanya terletak
pada pelaksanaanya, tetapi pada keluasan cakupannya, terutama pada isi, metode
dan tujuannya, terutama tujuan jangka panjang, karena justeru kurikulum
terletak pada tujuannya yang umum dan jangka panjang itu, sedangkan
imlementasinya yang sempit termasuk pada pengajaran, yang keduanya harus
kontinue.
Kurikulum merupakan pernyataan tentang
tujuan-tujuan pendidikan yang bersifat umum dan khusus dan materinya dipilih
dan diorganisasikan berdasarkan suatu pola tertentu untuk kepentingan belajar
dan mengajar. Hilda Taba berpendapat bahwa pada hakikatnya tiap kurikulum
merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berpartisipasi sebagai
anggota yang produktif dalam masyarakatnya.Berbeda dengan model yang
dikembangkan Tyler, model Taba lebih menitik beratkan kepada bagaimana
mengembangkan kurikulum sebagai suatau proses perbaikan dan penyempurnaan. Oleh
karena itu, dalam kurikulum ini dikembangkan tahapan-tahapan yang harus
dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Model pengembangan ini lebih rinci
dan lebih sempurna jika dibandingkan dengan model pengembangan Tyler. Model
Taba merupakan modifikasi dari model Tyler. Modifikasi tersebut terutama
penekanannya pada pemusatan perhatian guru. Teori Taba mempercayai bahwa guru
merupakan faktor utama dalam pegembangan kurikulum.
Ada lima langkah pengembangan kurikulum model terbalik
dari Taba, yaitu
1.
Membuat unit-unit
eksperimen bersama dengan guru-guru :Dalam kegiatan ini perlu mempersiapkan 1.
Perencanaan berdasarkan pada teori-teori yang kuat, dan 2. Eksperimen harus
dilakukan di dalam kelas dengan menghasilkan data yang empiric dan teruji. Unit
–unit eksperimen ini harus dirancang melaui tahapan-tahapan sebagai berikut:·
Mendiagnosis kebutuhan. Pada langkah ini, pengembangan kurikulum dimulai dengan
menentukan kebuttuhan-kebutuhan siswa melalui diagnosis tentang berbagai
kekurangan (deficiencies), dan perbedaan latar belakang siswa. Tenaga pengajar
mengidentifikasi masalah-masalah, kondisi, kesulitan serta kebutuhan-kebutuhan
siswa dalam suatu proses pengajaran. Lingkup diagnosis tergantung pada latar
belakang program yang akan direvisi, termasuk didalamnya tujuan konteks dimana
program tersebut difungsikan. · Merumuskan tujuan khusus. Setelah
kebuttuhan-kebutuhan siswa didiagnosis, selanjutnya para pengembang kurikulum
merumuskan tujuan. Rumusan tujuan akan meliputi:- Konsep atau gagasan yang akan
dipelajari- Sikap, kepekaan dan perasaan yang akan dikembangkan- Cara befikir
untuk memperkuat, - Kebiasaan dan keterampilan yang akan dikuasai· Memilih isi.
Pemilihan isi kurikulum sesuai dengan tujuan meerupakan langkah berikutnya.
Pemilihan isi bukan saja didasarkan pada tujuan yang harus dicapai sesuai
dengan langkah kedua, akan tetapi juga harus mempertimbangkan segi validitas
dan kebermaknaannya untuk siswa.· Mengorganisasi isi. Melalui penyeleksian,
selanjutnya isi kurikulum yang telah ditentukan itu disusun urutannya, sehingga
tampak pada tingkat atau kelas berapa sebaiknya kurikulum itu diberikan.·
Memilih pengalaman belajar. Pada tahap ini ditentukan pengalaman-pengalaman
belajar yag harus dimiliki siswa untuk mencapai tujuan kurikulum.·
Mengorganisasi pengalaman belajar. Guru selanjutnya menentukan bagaimana
mengemas pengalaman-pengalaman belajar yang telah ditentukan itu kedalam
paket-paket kegiatan itu, siswa diajak serta, agar mereka memiliki tanggung
jawab dalam melaksanakan kegiatan belajar.· Menentukan alat evaluasi dan
prosedur yang harus dilakukan siswa. Peda penentuan alat evaluasi guru dapat
menyeleksi berbagai teknik yang dapat dilakukan untuk menilai prestasi siswa,
apakah siswa sudah mencapai tujuan atau belum.· Menguji keseimbangan isi
kurikulum. Pengujian ini perlu dilakukan untuk melihat kesesuaian antara isi,
pengalaman belajar, dan tipe-tipe belajar siswa.
2.
Menguji unit eksperimenUnit yang sudah sudah dihasilkan
pada langkah yang pertama harus diujicobakan pada berbagai situasi dan kondisi
belajar. Pengujian dilakukan untuk mengetahui tigkat validitas dan kepraktisan
sehingga dapat menghimpun data sebagai penyempurnaan.
3.
Mengadakan
revisi dan konsolidasiSetelah langkah pengujian, maka langkah selanjutnya
melakukan revisi dan konsolidasi. Perbaikan dan penyempurnaan dilakukan pada
data yang dihimpun sebelumnya. Selain dilakukan perbaikan dan penyempurnaan
dilakukan juga konsolidasi yaitu penarikan kesimpulan hal-hal yang umum dan
tentang konsistensi teori-teori yang digunakan. Langkah ini dilakukan secara
bersana-sama dengan coordinator kurikulum maupun ahli kurikulum. produk dari
langkah ini adalah berupa teaching learning unit yang telah diuji dilapangan.
Pada langkah ini dilakukan pula penarikan kesimpulan (konsolidasi) tentang
konsistensi teori yang digunakan. Langkah ini dilakukan bersama oleh
koordinator kurikulum dan ahli kurikulum. Bila hasilnya sudah memadai, maka
unit-unit tersebut dapat disebarkan dalam lingkup yang lebih luas.
4.
Pengembangan
keseluruhan kerangka kurikulum (developing a frame work)Apabila dalam kegiatan
penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh sifatnya yang lebih menyeluruh
atau berlaku lebih luas, hal itu harus dikaji oleh para ahli kurikulum.Ada
beberapa pertanyaan yang harus dijawab dalam langkah ini.- Apakah lingkup isi
telah memadai - Apakah isi telah tersusun secara logis - Apakah pemebelajaran
telah memberikan peluang terhadap pengembangan intelektual, keterampilan dan
sikap - Dan apakah konsep dasar telah terakomodasi Perkembangan yang
dipergunakan untuk melakukan kegiatan yang berdasarkan pada
pertanyaan-pertanyaan apa isi unit-unit yang disusun secara berurutan itu telah
berimbang ke dalamnya dan keluasannya, dan apakah pengalaman belajar telah
memungkinkan belajarnya kemampuan intelektual dan emosional. Pengembangan ini
dilakukan oleh ahli kurikulum dan para professional kurikulum lainnya. Produk
dari langkah-langkah ini adalah dokumen kurikulum yang siap untuk diimplementasikan
dan didesiminasikan.
5.
Implementasi dan
desiminasiDalam langkah ini dilakukan penerapan dan penyebarluasan program ke
daerah dan sekolah-sekolah dan dilakukan pendataan tetang kesulitan serta
permasalahan yang dihadapi guru-guru di lapangan. Oleh karena itu perlu
diperhatikan tentang persiapan dilapangan yang berkaitan dengan aspek-aspek penerapan
kurikulum. Pengembangan kurikulum realitas dengan pelaksanaannya, yaitu melalui
pengujian terlebih dahulu oleh staf pengajar yang profesional. Dengan demikian,
model ini benar-benar memadukan teori dan praktek. Tanggung jawab tahap ini
dibebankan pada administrator sekolah. Penerapan kurikulum merupakan tahap yang
ditempuh dalam kegiatan pengembangan kurikulum. Pada tahap ini harus
diperhatikan berbagai masalah : seperti kesiapan tenaga pengajar untuk
melaksanakan kurikulum di kelasnya, penyediaan fasilitas pendukung yang
memadai, alat atau bahan yang diperlukan dan biaya yang tersedia, semuanya
perlu mendapat perhatian dalam penerapan kurikulum agar tercapai hasil optimal.
B.
Ralph W Tyler.
Ralph W Tyler merumuskan empat pertanyaan mendasar yang harus terjawab dalam suatu pengembangan kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain:
Ralph W Tyler merumuskan empat pertanyaan mendasar yang harus terjawab dalam suatu pengembangan kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain:
a) What educational purpose should the school seek to
attain? à Apa tujuan pendidikan
yang harus dicapai di sekolah?
b) What educational experiences can be provided that are
likely to attain these purposes? à Apa pengalaman pendidikan yang dapat disediakan jika kita mencapai tujuan
tersebut?
c) How can these educational experiences be
effectively organized? à Bagaimana pengalaman pendidikan dapat diorganisir secara efektif?
d) How can we determine whether these purposes are being
attained? à Bagaimana kita mampu
memutuskan apakan tujuan ini telah tercapai.
Dari keempat pertanyaan mendasar
tersebut, disusunlah langkah-langkah pengembangan
kurikulum model Tyler adalah sebagai berikut:
a) Menentukan tujuan
Dalam menentukan tujuan pendidikan
melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) mempelajari siswa sebagai sumber
tujuan. (2) mempelajari kehidupan kontemporer dilingkungan masyarakat, (3)
penentuan tujuan berdasarkan tinjauan filosofis, (4) peninjauan tujuan
berdasarkan tinjauan psikologis.
b) Menentukan pengalaman belajar.
Ada 5 prinsip pengalaman belajar, yaitu : (1)
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbuat tingkah laku yang menjadi
tujuan, (2) pengalaman belajar harus menyenangkan bagi siswa, (3) siswa harus
terlibat dalam belajar, (4) diberikan beberapa pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan pendidikan, (5) pengalaman belajar yang disediakan dapat
menghasilkan beberapa kemampuan, yaitu: kemampuan berfikir, memperoleh
informasi, mengembangkan sikap sosial, mengembangkan minat.
c) Pengorganisasian pengalaman belajar
Ada tiga prinsip
menurut Tyler (1950: 55) dalam mengorganisasi pengalaman belajar, yaitu:
kontinuitas, urutan isi, dan integrasi.
Prinsip kontinuitas ada yang bersifat
vertikal dan horizontal. Bersifat vertikal artinya pengalaman belajar yang
diberikan harus memiliki kesinambungan yang diperlukan untuk pengembangan
pengalaman belajar selanjutnya. Prinsip kontinuitas bersifat horizontal artinya
bahwa suatu pengalaman yang diberikan pada siswa harus memiliki fungsi dan
bermanfaat untuk memperoleh pengalaman belajar dalam bidang lain.
Prinsip urutan isi, sebenarnya erat hubungannya
dengan kontinuitas, perbedaannya terletak pada tingkat kesulitan dan keluasan
bahasan. Artinya, setiap pengalaman belajar yang diberikan kepada siswa harus
memerhatikan tingkat perkembangan siswa. pengalaman belajar yang diberikan di
kelas lima harus berbeda dengan pengalaman pada tingkat selanjutnya.
d) Evaluasi
Evaluasi dimaksudkan untuk
mengetahui hasil belajar siswa sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dan mengetahui
kelemahan dan kekuatan program kurikulum. Ada dua aspek yang perlu diperhatikan sehubungan dengan evaluasi. Pertama,
evaluasi harus menilai apakah telah terjadi perubahan tingkah laku siswa sesuai
dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Kedua, evaluasi sebaiknya
menggunakan lebih dari satu alat penilaian dalam suatu waktu tertentu.
Daftar Pustaka
Abdullah. 2007. Pengembangan KURIKULUM Teori & Praktik.
Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.
Dakir, H. 2004. PERENCANAAN dan PENGEMBANGAN KURIKULUM.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Hamlik, Oemar. 2005. Kurikulum
dan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Sanjaya, Wina. 2010. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Subandijan. 1996. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum.
Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Asfari Rifai, Soekirno, Soedarminto.
1999 Materi Pokok Pengembangan Kurikulum dan Bahan Belajar. Jakarta:
Universitas Terbuka.
ARTIKEL PERUBAHAN DAN
INOVASI KURIKULUM
Nama: Syahrul ramadhan
NIM: 11160110000004
Kelas: 3 C
Inovasi Kurikulum
merupakan suatu gagasan atau praktek kurikulum baru dengan mengadopsi
bagian-bagian yang potensial dari kurikulum tersebut dengan tujuan untuk
memecahkan masalah atau mencapai tujuan tertentu. Inovasi dilakukan apabila
guru benar-benar menyakini bahwa pembaharuan itu memang harus dilakukan dan
diperlukan.
Implernentasi suatu
inovasi kurikulum dimaksudkan untuk mengikuti perkembangan jaman dan
meningkatkan mutu suatu satuan pendidikan. Namun, sering inovasi-inovasi
tersebut mengalami kegagalan dan tidak pernah diimplementasikan. Inovasi
kurikulum ini bukan hanya perubahan pemikiran, tetapi yang paling penting
adalah perubahan perilaku dalam pembelajaran. cepat atau lambatnya suatu
inovasi diterima oleh masyarakat atau sekolah tergantung pada karakteristik
inovasi.
Perubahan kurikulum mencakup
semua aspek kurikulum, seperti mata perlajaran, isi atau konten, proses belajar
mengajar, metode, pengelolaan waktu yang lebih baik, dan perolehan hasil
belajar siswa. tentu yang lebih baik.
Dalam menyikapi suatu
perubahan, setiap sekolah dituntut berperan dalam pembaharuan tersebut sampai
pada tahap implementasinya dan menetapkan perubahan itu sesuai dengan
perkembangan sekolah tersebut. Sering terjadi sekolah menerima suatu perubahan
tanpa memperhitungkan mengapa mereka mengadopsinya, apa dampak perubahan itu
bagi guru, siswa, dan masyarakat luas. Kemudian, sekolah yang dijadikan ajang
pembaharuan itu digembor-gemborkan sebagai suatu model yang akan menjadi contoh
bagi sekolah lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk memastikan
apakah satu sekolah perlu melakukan suatu perubahan.
Inovasi dilakukan
apabila guru benar-benar menyakini bahwa pembaharuan itu memang harus dilakukan
dan diperlukan. Berbicara mengenai inovasi (pembaharuan) mengingatkan kita pada
istilah invention dan discovery. Invention adalah penemuan sesuatu yang
benar-benar baru artinya hasil karya manuasia. Discovery adalah penemuan
sesuatu (benda yang sebenarnya telah ada sebelumnya).
Dengan demikian,
inovasi dapat diartikan usaha menemukan benda yang baru dengan jalan melakukan
kegiatan (usaha) invention dan discovery. Dalam kaitan ini Ibrahim (1989)
mengatakan bahwa inovasi adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang,
kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau
sekelompok orang (masyarakat).
Beberapa faktor yang
dijadikan landasan dalam merencanakan kurikulum yaitu:
1. Pertama
asas filosofis yang berkenaan dengan sistem nilai, pandangan, dan norma suatu
masalah.
2.
Kedua, asas psikologis yang berkenaan dengan cara belajar siswa dan factor yang
menghambat.
3. Ketiga,
asas sosiologis berkenaan dengan penyampaian kurikulum dalam masyarakat, apakah
sudah sesuai atau belum terhadat tuntutan masyarakat.
4. Terakhir,
asas organisasi berkenaan dengan bentuk penyajian bahan pelajaran.
Nana Syaodih
Sukmadinata (1997) bahwa ada prinsip umum dalam pengembangan inovasi yang perlu
dievaluasi kurikulum tersebut antara lain :
1.
Prinsip relevansi. Kurikulum yang kita rancang dan kembangkan apakah sudah
relevan dengan kebutuhan peserta didik untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
2.
Prinsip fleksibilitas. Kurikulum yang kita rancang dan kembangkan apakah
sudah bersifat adaptif, mampu menyesuaikan diri dengan konteks pembelajaran.
3.
Prinsip kontinuitas. Kurikulum yang kita rancang dan kembangkan
memungkinkah peserta didik lebih sanggup mengembangkan potensinya kelak dalam
rencana belajar berikutnya (prinsip belajar sepanjang hayat).
4.
Prinsip praktis. Kurikulum sebaiknya mudah digunakan dengan alat sederhana
dan biaya relatif murah, terutama dalam situasi ekonmi dewasa ini. Selain itu,
apa yang dipelajari mahasiswa seharusnya mampu membentuk dan meningkatkan
kompetensi mereka di dalam kehidupan sehari-hari.
5.
Prinsip efektivitas. Efektivitas sebuah kurikulum harus dilihat dari
sejauhmana perubahan peserta didik, sebagaimana dampak dalam kehidupan dan
karyanya.
Masalah-masalah yang
terjadi dalam inovasi kurikulum dibedakan menjadi empat :
1. Masalah
relevansi pendidikan berkaitan dengan tujuan tuntutan di era modern.
2. Masalah
mutu berkaitan dengan peningkatan aspek pendidikan demi menghasilkan lulusan yang berkualitas.
3. Masalah
efisiensi yang berkaitan dengan usaha memanfaatkan kesempatan dalam proses
pendidikan.
4. Pemerataan
pendidikan yaitu member kesempatan pada mereka yang belum pernah mengenyam
pendidikan dengan sistem desentralisasi.
Dalam penyusunan
kurikulum, perlu diperhatikan struktur materi. Hubungan vertikal yakni materi
pengajaran berkaitan dengan waktu. Hubungan horizontal, yaitu materi pengajaran
dalam kelas berkaitan antara materi pelajaran lainnya. Dan, terdapat tiga
kriteria dalam struktur materi, yaitu berkesinambungan, berurutan, dan
keterpaduan.
Inovasi dalam
pendekatan belajar mengajar dapat dilakukan antara lain, pertama pengalaman
belajar yang merupakan aktivitas siswa dalam menangkap dan mengembangkan materi
yang disampaikan guru. Kedua, cara belajar siswa aktif yaitu perubahan posisi
siswa dari objek belajar menjadi subjek yang belajar dengan melibatkan
keaktifan mentalnya (menyukai materi), intelektualnya (cara berpikir), dan
sosialnya (mendiskusikan materi dengan teman). Dan yang ketiga, belajar proses
yaitu belajar tidak harus selalu dihafal tetapi bagaimana proses penerimaan
materi.
Guru memerlukan inovasi
dalam penyampaian materi. Sistem penyampaian dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu sistem modul dan sistem paket belajar. Sistem modul bertujuan agar siswa
dapat belajar secara mandiri dan guru sebagai pembimbing, sehingga ada
kesempatan bagi mereka yang ada di daerah terpencil. Sistem paket belajar
bertujuan agar siswa mendapat bekal keterampilan yang berguna bagi hidupnya
kelak.
Kemudian, inovasi sistem penilaian
pada evaluasi pembelajaran dibagi menjadi enam cara yaitu tes non kertas (tes
non tertulis), tes dalam kondisi wajar (penilaian secara diam-diam), tes home
tes (berupa pekerjaan rumah/ PR), performance (praktik), portofolio
(pengumpulan tugas-tugas dalam kurun waktu tertentu), rubrik (penilaian
menggunakan kriteria tertentu berdasarkan kinerja pembelajaran).
Ada Beberapa pengembangan inovasi kurikulum diindonesia
1. Inovasi Kurikulum
Berbasis Kompetensi
Dikatakan sebagai salah satu bentuk
inovasi kurikulum. Kemunculannya seiring dengan munculnya semangat reformasi pendidikan,
diawali dengan munculnya kebijakan Pemerintah. Kurikulum berbasis kompetensi
dikembangkan untuk memberikan keahlian dan keterampilan sesuai dengan standar
kompetensi yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing dan daya jual untuk
menciptakan kehidupan yang berharkat dan bermartabat ditengah-tengah perubahan,
persaingan, dan kerumitan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Gordon (1988)
menyarankan beberapa aspek yang harus terkandung dalam kompetensi adalah:
pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan untuk melakukan proses berfikir.
Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki
individu. Keterampilan (skill), yaitu sesuatu yang dimiliki individu untuk
melakukan tugas yang dibebankan. Nilai (value), yaitu suatu standar perilaku
yang telah diyakini sehingga akan mewarnai dalam segala tindakannya. Sikap (
attitude), yaitu perasan atau reaksi terhadap suatu rangsang yang datang dari
luar, perasaan senang atau tidak senang terhadap sesuatu masalah. Minat
(interest), yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu tindakan atau
perbuatan untuk mempelajari materi pelajaran.
2. Inovasi Kurikulum Berbasis Mayarakat
Perkembangan pendidikan
anak sejalan dengan dinamika masyarakatnya, karena ciri masyarakat selalu
berkembang. Ada kelompok masyarakat yang berkembang sangat cepat, tetapi ada
pula yang lambat. Hal ini karena pengaruh dari perkembangan teknologi,
komunikasi dan telekomunikasi. Dalam kondisi seperti ini perubahan-perubahan di
masyarakat terjadi pada semua aspek kehidupan. Efek perubahan di masyarakat
akan berimbas pada setiap individu warga masyarakat, pengetahuan, kecakapan,
sikap, kebiasaan bahkan pola-pola kehidupan.
Kurikulum berbasis
masyarakat yang bahan dan objek kajiannya kebijakan dan ketetapan yang
dilakukan di daerah, disesuaikan dengan kondisi lingkungan alam, sosial,
ekonomi, budaya dan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan daerah yang perlu
dipelajari oleh siswa di daerah tersebut. Bagi siswa berguna untuk memberikan
kemungkinan dan kebiasaan untuk akrab dengan lingkungan dimana mereka tinggal.
Kemungkinan lain mencegah dari keterasingan lingkungan, terbiasa dengan budaya
dan adat istiadat setempat dan berusaha mencintai lingkungan hidup, sehingga
sebutan kurikulum ini disebut kurikulum berbasis wilayah.
3. Inovasi Kurikulum
Berbasis Keterpaduan
Kurikulum terpadu
merupakan kurikulum yang memungkinkan siswa baik secara individual maupun
klasikal aktif menggali dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik
bermakna dan otentik. Semuanya menekankan pada cara menyampaikan pelajarn yang
bermakna dengan melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Melalui
pembelajaran terpadu diharapkan para siswa memperoleh pengetahuan secara
menyeluruh dengan cara mengaitkan satu pelajaran dengan pelajaran lain.
Sumber
referensi:
1. Mohd.Ansyar & H. Nurtain, Pengembangan dan
Inovasi Kurikulum, 1991.
2.
Sanjaya. Wina, Kurikulum Dan
Pembelajaran, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar