Selasa, 24 April 2018

Pancasila Bagian I (Satu)


Kelompok...1
PANCASILA SUMBER NILAI EKONOMI KERAKYATAN
A.    Latar belakang.
Pancasila mempunyai peran di berbagai bidang, salah satunya dalam bidang ekonomi. Meskipun dasar negara Indonesia adalah Pancasila, namun ironisnya sistem perekonomian yang selama ini berlangsung tidaklah bersumber darinya. Setelah dicengkram sistem ekonomi koamando di era orde lama yang bercorak sosialisme, berikutnya perekonomian Indonesia menganut sistem ekonomi pasar yang bercorak kapitalisme di era Orde Baru. Jeratan kapitalisme pun semakin menguat seiring derasnya paham ekonomi neoliberal yang datang melalui agen-agen kapitalisme global seperti World Bank dan IMF setelah Indonesia mengalami krisis moneter.
Pada kenyataannya, sejak pertengahan 1997 krisis ekonomi yang menimpa Indonesia masih terasa hingga hari ini. Di tingkat Asia, Indonesia yang oleh sebuah studi dari The World Bank (1993) disebut sebagai bagian dari Asia miracle economics, the unbelieveble progress of development, ternyata perekonomiannya tidak lebih dari sekedar economic bubble, yang mudah sirna begitu diterpa badai krisis (World Bank, 1993).
Krisis ekonomi terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia Orde Baru dan Orde Lama yang dialami sekarang ini telah mencuatkan tuntutan reformasi total dan mendasar (radically). Bermula dari krisis moneter (depresi rupiah) merambah ke lingkungan perbankan hingga ke lingkup perindustrian.
Kebijakan perekonomian Indonesia yang diterapkan tidak membumi, hanya sebatas “membangun rumah di atas langit” dan akibatnya upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat menjadi tersingkirkan. Rakyat masih terus menjadi korban kegagalan kebijakan pemerintah.
Potret perekonomian Indonesia semakin buram, memperhatikan kebijakan pemerintah yang selalu “pasrah” dengan Bank Dunia atau pun International Monetary Fund (IMF) dalam mencari titik terang perbaikan ekonomi Indonesia. Belum lagi menumpuknya utang luar negeri semakin menghimpit nafas bangsa Indonesia, sampai-sampai seorang bayi baru lahir pun telah harus menanggung hutang tidak kurang dari 7 juta rupiah.
Jika hingga saat ini kualitas perekonomian belum menampakkan perubahan yang signifikan, tidak menutup kemungkinan, akan mendapat pukulan mahadasyat dari arus globalisasi. Kekhawatiran ini muncul, karena pemerintah dalam proses pemberdayaan masyarakat lemah masih parsial dan cenderung dualisme, antara kemanjaan (ketergantungan) pemerintah kepada IMF, sementara keterbatasan akomodasi bentuk perekonomian masyarakat yang tersebar (diversity of economy style) di seluruh pelosok negeri tidak tersentuh. Hal ini juga terlihat jelas pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak proporsional, tidak mencerminkan model perekonomian yang telah dibangun oleh para Founding Father terdahulu. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kasus, misalnya, pencabutan subsidi di tengah masyarakat yang sedang sulit mencari sesuap nasi, mengelabuhi masyarakat dengan raskin (beras untuk rakyat miskin), atau jaring pengaman sosial (JPS) lain yang selalu salah alamat.
B.     Teori-teori
1.      Pengertian Pancasila.
“Pancasila” berasal dari bahasa sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana). Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa sansekerta “Pancasila” memiliki dua macam arti yakni :“panca” artinya lima “syila” artinya batu sendi, alas atau dasar “syiila” artinya peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh.[1]
Sehingga dapat diartikan bahwa Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.[2]
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah :
         Ketuhanan Yang Maha Esa,
         Kemanusiaan yang adil dan beradab,
         Persatuan Indonesia,
         Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
         keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
Dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
Peran Pancasila ada di berbagai bidang diantaranya, hukum, pertahanan keamanan, ekonomi, dan sosial budaya.
Pengaktualisasian pancasila dalam bidang ekonomi yaitu dengan menerapkan sistem ekonomi Pancasila.
Ekonomi Pancasila merupakan ilmu ekonomi kelembagaan (institutional economics) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelembagaan Pancasila sebagai ideologi negara, yang kelima silanya, secara utuh maupun sendiri-sendiri, menjadi rujukan setiap orang Indonesia yang menekankan pada harmoni mekanisme harga dan social (sistem ekonomi campuran), bukan pada mekanisme pasar yang bersasaran ekonomi kerakyatan agar rakyat bebas dari kemiskinan, keterbelakangan, penjajahan/ketergantungan, rasa was-was, dan rasa diperlakukan tidak adil yang memosisikan pemerintah memiliki asset produksi dalam jumlah yang signifikan terutama dalam kegiatan ekonomi yang penting bagi negara dan yang menyangkut hidup orang banyak. Sehingga perlu pengembangan Sistem Ekonomi Pancasila sehingga dapat menjamin dan berpihak pada pemberdayaan koperasi serta usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM). Selain itu ekonomi yang berdasarkan Pancasila tidak dapat dilepaskan dari sifat dasar individu dan sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain untuk memenuhi semua kebutuhanya tetapi manusia juga mempunyai kebutuhan dimana orang lain tidak diharapkan ada atau turut campur.[3]
Jika Pancasila mengandung  5 asas, maka semua substansi sila Pancasila yaitu :
(1) etika
(2) kemanusiaan
(3) nasionalisme
(4) kerakyatan/demokrasi
(5) keadilan sosial, harus dipertimbangkan dalam model ekonomi yang disusun.

Kalau sila pertama dan kedua adalah dasarnya, sedangkan sila ketiga dan keempat sebagai caranya, maka sila kelima Pancasila adalah tujuan dari Ekonomi Pancasila.
Disinilah perlunya menengok ulang pemikiran Adam Smith yang 17 tahun sebelum menulis karyanya Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nations (1776) yang kemudian menjadi “kitab suci” ideologi kapitalisme, telah menulis The Theory of Moral Sentiments (1759). Di dalam karya terdahulunya, terdapatlah ajaran asli Bapak Ilmu Ekonomi ini bahwa ilmu ekonomi sama sekali tidak bisa lepas dari faktor-faktor etika dan moral. Dalam buku ini, Smith mencoba mengembangkan ilmu ekonomi yang tidak saja bermoral namun juga mendesain aspek kelembagaannya. Dari sinilah keberadaan Ekonomi Pancasila paralel dengan pemikiran Smith.
Menurut Boediono (mantan Menkeu RI), sistem Ekonomi Pancasila dicirikan oleh lima hal sebagai berikut:
(1)       Koperasi adalah sokoguru perekonomian nasional
(2)       Manusia adalah “economic man” sekaligus “social and religious man”.
(3)       Ada kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme dan kemerataan sosial.
(4)       Prioritas utama kebijakan diletakkan pada penyusunan perekonomian nasional yang tangguh.
(5)       Pengandalan pada sistem desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan ekonomi, diimbangi dengan perencanaan yang kuat sebagai pemberi arah bagi perkembangan ekonomi seperti yang dicerminkan dalam cita-cita koperasi.
Dalam prakteknya, menurut Mubyarto (Kepala PUSTEP UGM), fakultas ekonomi sebagai gudang pemikiran ilmu ekonomi telah menyumbang 3 dosa dalam pengajarannya yang berperan memperparah marginalisasi Ekonomi Pancasila, yaitu:
1.      bersifat parsial dalam mengajarkan ajaran ekonom klasik Adam Smith. Konsep Smith tentang Manusia Sosial (homosocius,tahun 1759) dilupakan atau tidak diajarkan, sedangkan ajaran berikutnya pada tahun 1776 (manusia sebagai homoeconomicus) dipuja-puji secara membabi buta.
2.      metode analisis deduktif dari teori ekonomi neoklasik diajarkan secara penuh, sedangkan metode analisis induktifdiabaikan. Hal demikian bertentangan dengan pesan Alfred Marshall dan Gustave Schmoller, dua tokoh teori ekonomi neoklasik, untuk memakai dua metode secara serentak laksana dua kaki.
3.      ilmu ekonomi menjadi spesialistis dan lebih diarahkan untuk menjadi ilmu ekonomi matematika. Menurut Kenneth Boulding dalam Economic as A Science, ilmu ekonomi dapat dikembangkan menjadi salah satu atau gabungan dari cabang-cabang ilmu berikut: (a) ekonomi sebagai ilmu sosial (social science); (b) ekonomi sebagai ilmu ekologi (ecological science); (c) ekonomi sebagai ilmu perilaku (behavioral science); (d) ekonomi sebagai ilmu politik (political science); (e) ekonomi sebagai ilmu matematika (mathematical science); dan (f) ekonomi sebagai ilmu moral (moral science)
Sebagai sebuah gagasan besar, Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi bukan-bukan, bukan kapitalisme juga bukan sosialisme, menawarkan harapan berupa sistem perekonomian alternatif yang bersifat komprehensif integral bagi jutaan masyarakat Indonesia demi mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945.
Dalam konteks inilah kemudian diperlukan adanya reformasi tidak saja dalam tataran implementasi kebijakan perekonomian selama ini, namun juga transformasi pola pikir dari ekonomi neoliberal yang dominan untuk menjadi lebih berkemanusiaan dan berkeadilan sosial yang dijiwai nilai-nilai Pancasila. Bukan hal yang mustahil jika kelak istilah Hattanomicsmenjadi ikon Ekonomi Pancasila dan bisa menggeser dominasi perspektif Reagenomicsdan Thatcherisme- ikon utama gagasan Ekonomi Neoliberal.[4]
Pelaku ekonomi di Indonesia dalam menjalankan usahanya tidak melakukan persaingan bebas, meskipun sebagian dari mereka akan mendapat keuntungan yang lebih besar dan menjanjikan. Hal ini dilakukan karena pengamalan dalam bidang ekonomi harus berdasarkan kekeluargaan. Jadi interaksi antar pelaku ekonomi sama-sama menguntungkan dan tidak saling menjatuhkan.
C.     PERAN PANCASILA DIBIDANG EKONOMI
1.      Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi.
Karena lamanya sistem control kelembagaan berkembang pula usaha sekaligus sebagai pengusaha, yang didasarkan atas birokrasi dan wibawa keluarga pengusaha. Kondisi yang demikian itu, jelas tidak berdasarkan nilai Pancasila yang melerakan kemakmuran pada paradigma demi kesejahteraan seluruh bangsa. Bangsa sebagai unsur pokok serta subjek dalam negara yang merupakan penjelmaan sifat kodrat manusia individu makhluk sosial, adalah sebagai satu keluarga bangsa. Oleh karena itu, perubahan dan pengembangan ekonomi harus diletakkan pada peningkatan hartkat martabat serta kesejahteraan seluruh bangsa sebagai satu keluarga. Sistem ekonomi yang berbasis pada kesejahteraan rakyat menurut Moh.Hatta, adalah merupakan pilar (soko guru) ekonomi Indonesia.[5]
Sistem ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru bersifat “birokratik ototarian” yang ditandai dengan pemusatan kekuasaan dan partisipasi dalam membuat keputusan nasional hamper sepenuhnya berada di tangan penguasa bekerjasama dengan kelompok militer dan kaum teknokrat.[6]
Kebijaksanaan ekonomi yang selama ini diterapkan yang hanya mendasarkan pada pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai kesejahteraan barsama seluruh bangsa, dalam kenyataannya hanya menyentuh kesejahteraan sekelompok kecil orang bahkan penguasa.[7]
Dalam kenyataannya sektor ekonomi yang justru mampu bertahan pada masa dewasa ini adalah ekonomi kenyataan, yaitu ekonomi yang berbasis pada usaha rakyat. Oleh karena itu, subsidi yang keluar biasa banyaknya pada kebijaksanaan masa orde baru hanya dinikmati oleh sebagian kecil orang yaitu oleh sekelompok konglomerat, sedangkan apabila mengalami kebangkrutan seperti saat ini rakyatlah yang banyak dirugikan. Oleh karena itu, rekapitalisasi pengusaha pada masa krisis dewasa ini sama halnya dengan rakyat banyak membantu pengusaha yang sedang terpuruk.
Langkah yang strategis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang berbasis pada ekonomi rakyat yang berdasarkan nilai Pancasila yang mengutamakan kesejahteraan seluruh bangsa adalah sebagai berikut        :
a)       Keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan
b)      Program rehabilitas dan pemulihan ekonomi
c)       Transformasi struktur, guna memperkuat ekonomi rakyat maka perlu diciptakan sistem untuk mendorong percepatan perubahan struktural (struktural transformation) transformasi struktural ini meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, ekonomi subsistem ke ekonomi pasar, ketergantungan keada mandiri.
d)      Dengan sistem ekonomi dan mendasarkan nilai pada upaya terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka peningkatan kesejahteraan akan dirasakan oleh sebagian besar rakyat, sehingga dapt mengurangi kesenjangan ekonomi. [8]
2.      Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi
Dalam dunia ekonomi boleh dikatakan jarang ditemukan pakar ekonomi yang mendasarkan pemikiran pengembangan ekonomi atas dasar moralitas kemanusiaan dan Ketuhanan. Sehingga lazimnya pengembangan ekonomi mengarah pada persaingan bebas, dan akhirnya yang kuatlah yang menang. Hal ini sebagai implikasi dari perkembangan ilmu ekonomi pada akhirna abad ke-18 menumbuhkan ekonomi kapitalis.
Atas dasar kenyataan objektif inilah maka di Eropa pada awal abad ke-19 muncullah pemikiran sebagai reaksi atas perkembangan ekonomi tersebut yaitu sosialisme komunisme yang memperjuangkan nasib kaum proletar yang ditindas oleh kaum kapitalis. Oleh karena itu, kiranya menjadi sangat penting bahkan mendesak untuk dikembangkan system ekonomi yang mendasarkan pada moralitas humanistik, ekonomi yang berkemanusiaan.
Atas dasar kenyataan tersebut maka Mubyarto kemudian mengembangkan ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi yang humanistic yang berdasarkan pada tujuan demi kesejahteraan rakyat secara luas. Pengembangan ekonomi bukan hanya mengejar pertumbuhan saja melainkan demi kemanusiaan, demi kesejahteraan seluruh bangsa. Maka system ekonomi Indonesia berdasarkan atas kekeluargaan seluruh bangsa. Pengembangan ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan nilai morak kemanusiaan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa tujuan ekonomi itu sendiri adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia, agar manusia menjadi lebih sejahtera. Oleh karena itu, ekonomi harus berdasarkan pada kemanusiaan yaitu demi kesejahteraan kemanusiaan ekonomi untuk kesejahteraan manusia sehingga kita harus menghindarkan diri dari pengembangan ekonomi yang hanya berdasarkan pada persaingan bebas, monopoli dan lainnya yang dapat menimbulkan penderitaan pada manusia, menimbulkan penindasan atas manusia satu dengan yang lainnya.[9] 
3.      Ekonomi Pancasila Diteliti Dari Dalam Dan Pelaksanaan Sila-Sila Pancasila Dalam Bidang Ekonomi.
Dalam prakteknya, menurut Mubyarto (Kepala PUSTEP UGM), fakultas ekonomi sebagi gudang pemikiran ilmu ekonomi telah mnyumbang 3 dosa dalam pengajarannya yang berperan memperparah marginalisasi Ekonomi Pancasila :
(1)    Bersifat parsial dalam mengajarkan ajaran ekonom klasik Adam Smith. Konsep Smith tentang Manusia Sosial (homosocius, tahun 1759) dilupakan atau tidak diajarkan, sedangkan ajaran berikutnya pada tahun 1776 (manusia sebagai homoeconomicus) dipuja-puji secara membabi buta.
(2)    Metode analisis deduktif  dari teori ekonomi neoklasik diajarkan secara penuh, sedangkan metode analisis induktifdiabaikan. Hal demikian bertentangan dengan pesan Alfred Marshall dan Gustave Schmoller, dua tokoh teori ekonomi neoklasik, untuk memakai dua metode secara serentak lasana dua kaki.
(3)    Ilmu ekonomi menjadi spesialis dan lebih diarahkan untuk menjadi ilmu ekonomi matematika. Menurut Kenneth Boulding dan Ekonomic as A Science, ilmu ekonomi dapat dikembangkan menjadi salah satu atau gabungan dari cabang-cabang ilmu berikut          :
a)       Ekonomi sebagai ilmu sosial(social science)
b)      Ekonomi sebagai ilmu ekologi (ecological science)
c)       Ekonomi sebagai ilmu perilaku (behavioral science)
d)      Ekonomi sebagi ilmu politik (political science)
e)       Ekonomi sebagai ilmu matematika (mathematical science)
f)       Ekonomi sebagai ilmu moral (moral science)
Sebagai sebuah gagasan besar, Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi bukan kapitalisme juga bukan sosialisme, menawarkan harapan berupa sistem perekonomian alternatif yang bersifat komprehensif integral bagi jutaan masyarakat Indonesia demi mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam alenia IV Pembukaan UUD 1945.
Dalam konteks inilah kemudian diperlukan adanya reformasi tidak saja dalam tataran implementasi kebijakan perekonomian selama ini, namun juga transformasi pola pikir dari ekonomi neoliberal yang dominant untuk menjadi lebih berperikemanusiaan dan berkeadilan sosial yang dijiwai nilai-nilai Pancasila. Bukan hal yang mustahil jika kelak istilah Hattanomics menjadi ikon Ekonomics Pancasila dan bisa menggeser dominasi prespektif Reagenomics dan Thatcherisme ikon utama gagasan Ekonomi Neoliberal.
D.    Pancasila sebagai dasar negara, maka sila-sila yang terdapat pada Pancasila dapat diterapkan dalam kehidupan ekonomi bangsa, negara dan masyarakat sebagai berikut :
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa, Menunjukkan bahwa pola perekonomian digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial dan moral yang sangat tinggi, yaitu moral manusia yang beragama sehingga para pelaku ekonomi tidak akan semena-mena karena adanya pengawas tunggal, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
2.      Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Ada kehendak kuat dari seluruh masyarakat untuk mewujudkan pemerataan-pemerataan sosial (egalitarian), sesuai asas-asas kemanusiaan.
3.      Persatuan Indonesia, Prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh. Ini berarti nasionalisme menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi.

4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Koperasi merupakan sokoguru perekonomian dan merupan bentuk paling konkrit dari usaha bersama.
5.      Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Hal ini menunjukan pada adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dan desentralisasi dalam pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi untuk mencapai keadilan ekonomi dan keadilan sosial.
Aturan main yang diturunkan dari setiap sila dalam Pancasila kita bisa melihat sejauh mana aturan main tersebut telah bisa ditegakkan dalam masyarakat. Misalnya, dalam sila Persatuan Indonesia kita bisa meneliti setiap kasus kebijakan ekonomi yang hendak diambil, apakah akan membantu atau tidak pada peningkatan ketangguhan atau ketahanan ekonomi nasional. Lebih spesifik lagi bisa diambil contoh apakah setiap utang baru atau kerja sama ekonomi dengan negara lain bisa membantu atau sebaliknya mengancam ketangguhan dan ketahanan ekonomi nasional.[10]
E.     Beberapa contoh konkrit pelaksanaan isi arti Pancasila yang khusus dan konkrit dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara dalam bidang ekonomi adalah :
1.      Adanya BUMN yang juga dapat melibatkan partisipasi swata, sehingga terdapat pengembangan usaha milik negara dan warga sebagai perseorangan.
2.      Adanya subsidi negara terhadap distribusi BBM yang ditentukan berdasarkan asas pemerataan.[11]
F.      SISTEM EKONOMI PANCASILA
Dalam kosep kita, pembangunan nasional  adalah pengamalan Pancasila. Pembangunan ekonomi kita pun harus berlandaskan pancasila, sebagai dasar, tujuan dan pedoman dalam penyelenggaraannya. Dengan dasar pemikiran tersebut, maka system ekonomi yang ingin kita bangun adalah sistem ekonomi Pancasila.
Sistem ekonomi diartikan sebagai kumpulan dari institusiyang terintegrasi dan berfungsi serta beroperasi sebagai suatu kesatuanuntuk mencapai suatu tujuan (ekonomi) tertentu. Institusi disini siartikan sebagai kumpulan dari norma-norma,peraturan atau cara berfikir. Dalam pengertian institusi ini juga diartikan juga termasuk institusi ekonomi seperti rumah tangga, pemerintah, kekayaan, uang, serikat pekerja dan lain-lain
Sedangkan yang dimaksud dengan sisitem ekonomi Pancasila adalah system ekonomi pasar yang terkeloladan kendali pengelolaannya adalah nilai-nilai Pancasila. Atas dasar itu , maka ekonomi Pancasila tidak semata-mata bersifat materialistis, karena berlandaskan pada keimanan dan ketaqwaan yang timbul dari pengakuan kita pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian system ekonomi Pancasila dikendalikan oleh kaidah-kaidah moral dan etika, sehingga pembangunan nasional bangsa Indosesia adalah pembangunan yang berakhlak.
G.    Jika dilihat dari sila Pancasila, sila tiga dan empat maka dapat diketahui bahwa :
1.      Sila persatuan Indonesia mengamanatkan kesatuan ekonomi sebagai penjabaran wawasan nusantaradi bidang ekonomi. Ekonomi Pancasila dengan demikian berwawasan kebangsaan dan tetap membutuhkan sikap patriotic meskipun kegiatannya sudah mengglobal.
2.      Sila keempat pada Pancasila menunjukkan pandangan bangsa Indonesia mengenai kedaulatan rakyat dan bagaimana demokrasi dijalankan di Indonesia.
3.      Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menunjukkan betapa seluruh upaya pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam sistem ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan pada asas kekeluargaan.  [12]
Menurut ISEI, di dalam sistem ekonomi yang berlandaskan Demokrasi Ekonomi, usaha negara, koperasi, dan usaha swasta dapat bergerak di dalam semua bidang usaha sesuai dengan peranan dan hakikatnya masing-masing. Dalam konsep iti usaha berperan sebagai :
1.        Perintis di dalam penyediaan barang dan jasa di bidang-bidang produksi yang belum cukup atau kurang merangsang prakarsa dan minat penguasa swasta;
2.        Pengelola dan pengusaha di bidang-bidang produksi yang penting bagi negara;
3.        Pengelola dan pengusaha di bidang-bidang produksi yang mnguasai hajat hidup orang banyak;
4.        Imbangan bagi kekuatan pasar pengusaha swasta;
5.        Pelengkap penyediaan barang dan jasa yang belum cukup disediakan oleh swasta dan koperasi, dan
6.        Penunjang palaksanaan kebijakan negara.
Namun, yang menjadi tantangan kita sekarang adalah bagaimana membangun usaha swasta agar dapat memotori ekonomi kita dalam memasuki era perdagangan bebas.
Pilar Sistem Ekonomi Pancasila meliputi:
(1) ekonomika etik dan ekonomika humanistik (dasar),
(2) nasionalisme ekonomi & demokrasi ekonomi (cara/metode operasionalisasi), dan (3) ekonomi berkeadilan sosial (tujuan).
Kontekstualisasi dan implementasi Pancasila dalam bidang ekonomi cukup dikaitkan dengan pilar-pilar di atas dan juga dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus dipecahkan oleh sistem ekonomi apapun. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:
(a) Barang dan jasa apa yang akan dihasilkan dan berapa jumlahnya;
(b) Bagaimana pola atau cara memproduksi barang dan jasa itu, dan;
(c) Untuk siapa barang tersebut dihasilkan, dan
(d) Bagaimana mendistribusikan barang tersebut ke masyarakat.
Rendahnya upaya dan kemamuan untuk menafsirkan Pancasila dalam bidang ekonomi yang lebih banyak berkiblat ke kapitalisme; Tidak ada keteladanan; Kebijakan pemerintah sendiri menyimpangi Pancasila; Social punishment & law enforcement yang rendah.
Langkah yang perlu dilakukan adalah perlu digalakkan kembali penanaman nilai-nilai Pancasila melalui proses pendidikan dan keteladanan. Perlu dimunculkan gerakan penyadaran agar ilmu ekonomi ini dikembangkan ke arah ekonomi yg humanistik, bukan sebaliknya mengajarkan keserakahan & mendorong persaingan yang saling mematikan utk memuaskan kepentingan sendiri . Ini dilakukan guna mengimbangi ajaran yg mengedepankan kepentingan pribadi, yang melahirkan manusia sebagai manusia ekonomi (homo ekonomikus), telah melepaskan manusia dari fitrahnya sebagai makhluk sosial (homo socius) dan mahluk beretika (homo ethicus). [13]
DAFTAR  PUSTAKA
Prof.DR.Kaelan, M.S.2010.Pendidikan Pancasila..Yogyakarta: Paradigma
Prof.DR.Kaelan, M.S.1999.Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan.Yogyakarta: Paradigma
Dr. H.Kaelan, M.S.TT. Pendidikan Pancasila.Yogyakarta: Paradigmahttp:// pancasila/peranan-pancasila-di-bidang-ekonomi.html
Footnote
[1] Drs. Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan,Paradigma,Yogyakarta.1999.hal 18
[2] http:// /pancasila/Makalah Pancasila dan Masyarakat _ peutuah.html
[3] http://ezzelhague.multiply.com
[4] http://ezzelhague.multiply.com
[5] Prof.DR.Kaelan,M.S Pendidikan Pancasila.Paradigma Yogyakarta.2010.hal 257-258.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Dr. H.Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila,Paradigma, Yogyakarta,TT,hal 257-259
[9] Prof.DR.Kaelan,M.S Pendidikan Pancasila.Paradigma,Yogyakarta.2010.hal 231.
Blog.unila.ac.id/radegunawans/files/2010/07.Makalah-Fisafat-Ilmu.pdf
[11] Drs. Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan,Paradigma,Yogyakarta.1999. hal 75.
[12] www.ginandjar.com
[13] http:// pancasila/peranan-pancasila-di-bidang-ekonomi.html
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....2
PRANATA SOSIAL TENTANG HAM DAN DEMOKRASI
Saturday, December 12, 2015
DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA
Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
A.    Demokrasi, HAM, dan Negara.
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta.[3] Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.
Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis.[4] Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut  dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.
Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial,[5] untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.
Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.[6]
Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.[7]
Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebe­narnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disah­kan sebe­lum­nya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut:
1.   Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper­tahankan hidup dan kehidupannya[8].
2.   Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjut­kan keturunan melalui perkawinan yang sah[9].
3.   Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari ke­ke­rasan dan diskriminasi[10].
4.   Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskri­minatif atas dasar apapun dan berhak mendapat­kan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat dis­kri­mi­natif itu[11].
5.   Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menu­rut aga­ma­nya, memilih pendidikan dan pengajaran, me­mi­­­lih peker­jaan, memilih kewarganegaraan, memilih tem­pat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali[12].
6.   Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keperca­yaan, me­nya­takan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya[13].
7.   Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkum­pul, dan mengeluarkan pendapat[14].
8.   Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memper­oleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan ling­kungan sosial­nya serta berhak untuk mencari, mem­per­oleh, memiliki, menyim­pan, mengolah, dan menyam­pai­kan informasi dengan menggu­nakan segala jenis saluran yang tersedia[15].
9.   Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, ke­luar­ga, ke­hor­matan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekua­saannya, serta berhak atas rasa aman dan per­lindungan dari an­caman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi[16].
10.       Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak mem­peroleh suaka politik dari negara lain[17].
11.  Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, ber­tempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kese­hatan[18].
12.        Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perla­ku­an khu­sus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan[19].
13.        Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memung­kinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manu­sia yang ber­martabat[20].
14.        Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewe­nang-wenang oleh siapapun[21].
15.  Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pe­me­nuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidik­an dan memper­oleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kese­jah­teraan umat manusia[22].
16.        Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam mem­perjuangkan haknya secara kolektif untuk mem­ba­ngun ma­sya­rakat, bangsa dan negaranya[23].
17.  Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlin­dung­an, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadap­an hukum[24].
18.        Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbal­an dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja[25].
19.        Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan[26].
20. Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut[27].
21.        Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkem­bangan zaman dan tingkat peradaban bangsa[28].
22. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral ke­ma­nu­siaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan men­ja­min kemer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk me­me­luk dan menjalankan ajaran agamanya[29].
23. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, ter­utama pemerintah[30].
24. Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi ma­nusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, ma­ka pelaksanaan hak asasi manusia dija­min, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan[31].
25. Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat inde­penden menurut ketentuan yang diatur dengan undang-un­dang[32].
26. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain da­lam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber­negara.
27.       Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan de­ngan undang-undang dengan maksud semata-mata un­tuk menjamin peng­akuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertim­bangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis[33].
Jika ke-27 ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan ele­men baru yang ber­sifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka ru­mus­an hak asasi manusia dalam Un­dang-Undang Dasar da­pat mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:
1.      Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan men­jadi:
a.   Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
b.   Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
c.   Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbu­dakan.
d.   Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
e.   Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.
f.   Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di ha­dapan hukum.
g.   Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di ha­dapan hukum dan pemerintahan.
h.   Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
i.    Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melan­jutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
j.    Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.
k.   Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wi­layah negaranya, meninggalkan dan kembali ke negaranya.
l.    Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.
m.  Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perla­kuan dis­kriminatif dan berhak mendapatkan perlin­dungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskrimi­natif tersebut.
Terhadap hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apa­pun atau ba­gai­manapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan dalam Kelompok 1 “a” sampai dengan “h”. Namun, ke­tentuan tersebut tentu tidak di­mak­sud dan tidak dapat diartikan atau digunakan seba­gai dasar untuk membebaskan seseorang dari penun­tutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting untuk memas­tikan bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan. Justru di sini­lah letak kontro­versi yang timbul setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan beberapa waktu yang lalu.
2.      Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya
a.   Setiap warga negara berhak untuk berserikat, ber­kum­pul dan menyatakan pendapatnya secara damai.
b.   Setiap warga negara berhak untuk memilih dan di­pi­lih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.
c.   Setiap warga negara dapat diangkat untuk mendu­duki ja­batan-jabatan publik.
d.   Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih peker­jaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.
e.   Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbal­an, dan men­dapat perlakuan yang layak dalam hu­bung­an kerja yang berkeadilan.
f.   Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.
g.   Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibu­tuh­kan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang ber­martabat.
h.   Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mem­peroleh informasi.
i.    Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendi­dikan dan pengajaran.
j.    Setiap orang berhak mengembangkan dan memper­oleh man­faat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.
k.   Negara menjamin penghormatan atas identitas bu­da­ya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan per­kembangan za­man dan tingkat peradaban bangsa[34].
l.    Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebu­dayaan nasional.
m.  Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kema­nusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin ke­mer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menja­lankan ajaran agamanya[35].
3.      Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan
a.   Setiap warga negara yang menyandang masalah so­sial, terma­suk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak men­dapat kemudahan dan per­lakuan khusus untuk mem­peroleh kesempatan yang sama.
b.   Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk men­capai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.
c.   Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dika­renakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
d.   Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlin­dungan orangtua, keluarga, masyarakat dan ne­ga­ra bagi per­tumbuhan fisik dan mental serta per­kem­bangan pribadinya.
e.   Setiap warga negara berhak untuk berperan serta da­lam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.
f.   Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang ber­sih dan sehat.
g.   Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang ber­sifat sementara dan dituangkan dalam peraturan per­undangan-un­dangan yang sah yang dimaksudkan un­tuk menyetarakan tingkat perkembangan kelom­pok tertentu yang pernah me­nga­lami perlakuan dis­krimi­nasi dengan kelompok-kelompok lain dalam masya­rakat, dan perlakuan khusus sebagaimana di­ten­tukan dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pe­nger­tian diskriminasi sebagaimana ditentu­kan dalam Pasal 1 ayat (13).
4.      Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia
a.   Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b.   Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang dite­tap­kan oleh undang-undang dengan maksud semata-ma­ta untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk meme­nuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai aga­ma, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan keter­tib­an umum dalam masyarakat yang demokratis.
c.   Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pema­juan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi ma­nusia.
d.   Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pem­bentukan, susunan dan kedu­dukannya diatur dengan undang-undang.
Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konsti­tusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan diang­gap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipa­hami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung­jawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidup­nya sejak sebe­lum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki seba­gai manusia. Pembentukan negara dan pemerin­tahan, untuk alas­­an apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewa­jiban yang disandang oleh setiap ma­nu­sia. Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak diten­tukan oleh kedu­dukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di ma­na­pun ia berada harus dija­min hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagai­mana mestinya. Keseim­bangan kesadaran akan ada­nya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pan­dangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bangsa Indonesia memahami bahwa The Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan per­nyataan umat manusia yang mengan­dung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga memandang bahwa The Universal Declaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun 1997 juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi un­tuk melengkapi The Universal Declaration of Human Rights tersebut. Kesa­daran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu di­adop­sikan ke dalam rumusan Undang-Un­dang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikem­bangkan sen­diri oleh bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang Dasar ini mencakup warisan-warisan pemi­kiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan menca­kup pula pemi­kiran-pemikiran yang masih terus akan ber­kem­bang di masa-masa yang akan datang.
B.     Perkembangan Demokrasi dan HAM.
Sejak awal abad ke-20, gelombang aspirasi ke arah kebe­basan dan kemerdekaan umat manusia dari penin­dasan penjajahan me­ningkat tajam dan terbuka dengan menggu­nakan pisau demokrasi dan hak asasi manusia sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan membebaskan. Puncak perjuangan kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan yang sangat luas dan mendasar pada pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang dekolonisasi di seluruh dunia dan menghasilkan berdiri dan terbentuknya negara-negara baru yang merdeka dan berdaulat di berbagai belahan dunia. Perkembangan demokratisasi kembali terjadi dan menguat pasca perang dingin yang ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini kemudian diikuti proses demokratisasi di negara-negara dunia ketiga pada tahun 1990-an.[36]
Semua peristiwa yang mendorong mun­culnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk kemerde­kaan dan hak asasi manusia pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara yang terjajah secara mudah ter­bangkitkan semangatnya untuk secara bersama-sama menya­tu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penja­jahan.
Sedangkan yang lebih menonjol selama paruh kedua abad ke-20 adalah perjuangan rakyat melawan pemerintahan yang otoriter. Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu negara, tidak mesti identik dengan gagasan rakyat di negara lain yang lebih maju dan menikmati kehidupan yang jauh lebih demokratis. Karena itu, wacana demokrasi dan hak asasi manusia di zaman sekarang juga digunakan, baik oleh kalangan rakyat yang merasa tertindas maupun oleh peme­rintahan negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk mempromosikan demo­krasi dan hak asasi manusia di negara-negara lain yang dianggap tidak demokratis.
Karena itu, pola hubungan kekuasaan antar negara dan aliansi perjuangan di zaman dulu dan sekarang mengalami perubahan struktural yang mendasar. Dulu, hubungan internasional diperan­kan oleh pemerintah dan rakyat dalam hubungan yang terbagi antara hubungan Government to Government(G to G) dan hubungan People to People (P to P). Sekarang, pola hubungan itu berubah menjadi bervariasi, baik G to G, P to P maupun G to P atau P to G. Semua kemung­kinan bisa terjadi, baik atas prakarsa institusi peme­rintahan ataupun atas prakarsa perseorangan rakyat biasa. Bahkan suatupemerintahan negara lain dapat bertindak untuk melindungi warga-negara dari negara lain atas nama perlin­dungan hak asasi manusia.[37]
Dengan perkataan lain, masalah pertama yang kita ha­dapi dewasa ini adalah bahwa pemahaman terhadap konsep hak asasi manusia itu haruslah dilihat dalam konteks rela­tionalistic perspectives of power yang tepat. Bahkan, konsep hubungan kekuasaan itu sendiripun juga mengalami perubah­an berhubung dengan kenyataan bahwa elemen-elemen kekuasaan itu dewasa ini tidak saja terkait dengan kedudukan politik melainkan juga terkait dengan kekuasaan-ke­kuasaan atas sumber-sumber ekonomi, dan bahkan tekno­logi dan industri yang justru memperlihatkan peran yang makin penting dewasa ini. Oleh karena itu, konsep dan prosedur-pro­sedur hak asasi manusia dewasa ini selain harus dilihat dalam konteks hubungan kekuasaan politik, juga harus di­kaitkan dengan konteks hubungan kekuasaan ekonomi dan industri.[38]
Dalam kaitan dengan itu, pola hubungan kekuasaan dalam arti yang baru itu dapat dilihat sebagai hubungan produksi yang menghubungkan antara kepentingan produsen dan kepentingan konsumen. Dalam era industrialisasi yang terus meningkat dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat dewasa ini, dinamika proses produksi dan konsumsi ini terus berkembang di semua sektor kehidup­an kemasya­rakatan dan kenegaraan umat manusia dewasa ini. Kebijakan politik, misalnya, selain dapat dilihat dengan kacamata biasa, juga dapat dilihat dalam konteks produksi. Negara, dalam hal ini meru­pakan produsen, sedangkan rakyat adalah konsu­mennya. Karena itu, hak asasi manusia di zaman sekarang dapt dipahami secara konseptual sebagai hak konsumen yang harus dilindungi dari eks­ploitasi demi keuntungan dan kepentingan sepihak kalangan produsen.
Dalam hubungan ini, konsep dan prosedur hak asasi manusia mau tidak mau harus dikaitkan dengan persoalan-persoalan:[39]
1.   Struktur kekuasaan dalam hubungan antar negara yang dewasa ini dapat dikatakan sangat timpang, tidak adil, dan cenderung hanya menguntungkan negara-negara maju ataupun negara-negara yang menguasai dan mendo­minasi proses-proses pengambilan keputusan dalam berbagai forum dan badan-badan internasional, baik yang menyang­kut kepen­tingan-kepentingan politik maupun kepen­tingan-kepentingan ekonomi dan kebudayaan.
2.   Struktur kekuasaan yang tidak demokratis di lingkungan internal negara-negara yang menerapkan sistem otori­tarianisme yang hanya menguntungkan segelintir kelas pen­duduk yang berkuasa ataupun kelas penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
3.   Struktur hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara pemodal dengan pekerja dan antara pemodal beserta mana­jemen produsen dengan konsumen di setiap ling­kungan dunia usaha industri, baik industri primer, industri manufaktur maupun industri jasa.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pola hubungan “atas-bawah”, baik pada peringkat lokal, nasional, regional maupun global antara lain adalah faktor kekayaan dan sumber-sumber ekonomi, kewenangan politik, tingkat pendidikan atau kecerdasan rata-rata, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, citra atau nama baik, dan kekuatan fisik termasuk kekuatan militer. Makin banyak faktor-faktor tersebut di atas dikuasai oleh seseorang, atau sekelom­pok orang ataupun oleh suatu bangsa, makin tinggi pula kedudukannya dalam stratifikasi atau peringkat pergaulan bersama. Di pihak lain, makin tinggi peringkat seseorang, kelompok orang ataupun suatu bangsa di atas orang lain atau kelompok lain atau bangsa lain, makin besar pula kekuasaan yang dimilikinya serta makin besar pula potensinya untuk memperlakukan orang lain itu secara sewenang-wenang demi keuntungannya sendiri. Dalam hubungan-hubungan yang timpang antara negara maju dengan negara berkembang, antara suatu pemerintahan dengan rakyatnya, dan bahkan antara pemodal atau pengusaha dengan konsumennya inilah dapat terjadi ketidakadilan yang pada gilirannya mendorong­nya munculnya gerakan perjuangan hak asasi manusia dimana-mana. Karena itu, salah satu aspek penting yang tak dapat dipungkiri berkenaan dengan persoalan hak asasi manusia adalah bahwa persoalan ini berkaitan erat dengan dinamika perjuangan kelas (meminjam istilah Karl Marx) yang menuntut keadilan.
Sering dikemukakan bahwa pengertian konseptual hak asasi manusia itu dalam sejarah instrumen hukum internasional setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi perkembangan. Ketiga generasi perkembangan konsepsi hak asasi manusia itu adalah:[40]
1.      pemikiran mengenai konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak eraenlightenment di Eropa, meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Puncak perkembangan generasi pertama hak asasi manusia ini adalah pada persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human Rights[41] Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlin­dungan hak asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti di Inggris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat dengan Declaration of Indepen­dence, dan di Perancis dengan Decla­ration of Rights of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.
2.      Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia Generasi Kedua,di samping adanya International Couvenant on Civil and Political Rights,[42] konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan penemuan-pene­muan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan ditanda­tanganinya International Couvenant on Eco­nomic, Social and Cultural Rights[43] pada tahun 1966.
3.      Kemudian pada tahun 1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan ataurights to development. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pemba­ngunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Konsepsi baru inilah yang oleh para ahli disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Ketiga.
Namun demikian, ketiga generasi konsepsi hak asasi manusia tersebut pada pokoknya mempunyai karakteristik yang sama, yaitu dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan peme­rintahan dalam suatu negara. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia mulai dari generasi pertama sampai ketiga selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by governmentyang termasuk ke dalam pengertian political crime(kejahatan politik) sebagai lawan dari pengertiancrime against government (kejahatan terhadap kekuasaan resmi). Karena itu, yang selalu dijadikan sasaran perjuangan hak asasi manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman sekarang dan di masa-masa mendatang, sebagaimana diuraikan di atas dimensi-dimensi hak asasi manusia itu akan berubah makin kompleks sifatnya.
Persoalan hak asasi manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekua­saan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok masyarakat di negara lain.
Konsepsi baru inilah yang saya sebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Keempat seperti telah saya uraikan sebagian pada bagian terdahulu. Bahkan sebagai alternatif, menurut pendapat saya, konsepsi hak asasi manusia yang terakhir inilah yang justru tepat disebut sebagai Konsepsi HAM Generasi Kedua,karena sifat hubungan kekuasaan yang diaturnya memang berbeda dari konsepsi-konsep HAM sebelumnya. Sifat hubungan kekuasaan dalamkonsepsi Generasi Pertama bersifat vertikal, sedang­kan sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi Generasi Kedua bersifat horizontal. Dengan demikian, pengertian konsepsi HAM generasi kedua dan generasi ketiga sebelumnya cukup dipahami sebagai perkembangan varian yang sama dalam tahap pertumbuhan konsepsi generasi pertama.[44]
Menjelang berakhirnya abad ke-20, kita menyaksikan munculnya beberapa fenomena baru yang tidak pernah ada ataupun kurang mendapat perhatian di masa-masa sebelum­nya. 
1.       kita menyaksikan munculnya fenomena konglo­merasi berbagai perusahaan berskala besar dalam suatu negara yang kemudian berkembang menjadi Multi National Corporations (MNC’s) atau disebut jugaTrans-National Corpo­rations (TNC’s) dimana-mana di dunia. Fenomena jaringan kekuasaan MNC atauTNC ini merambah wilayah yang sangat luas, bahkan jauh lebih luas dari jangkauan kekuasaan negara, apalagi suatu negara yang kecil yang jumlahnya sangat banyak di dunia. Dalam kaitannya dengan kekuasaan perusa­haan-peru­sahaan besar ini, yang lebih merupakan persoalan kita adalah implikasi-implikasi yang ditimbulkan oleh kekuasaan modal yang ada di balik perusa­haan besar itu terhadap kepentingan konsumen produk yang dihasilkannya. Dengan perkataan lain, hubungan kekuasaan yang dipersoalkan dalam hal ini adalah hubungan kekuasaan antara produsen dan konsumen. Masalahnya adalah bagaimana hak-hak atau kepentingan-kepentingan konsumen tersebut dapat dijamin, sehingga proses produksi dapat terus dikembangkan dengan tetap menjamin hak-hak konsumen yang juga harus dipandang sebagai bagian yang penting dari pengertian kita tentang hak asasi manusia.
2.      abad ke-20 juga telah memunculkan fenomena Nations without State, seperti bangsa Kurdi yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina Nasionalis yang tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa Persia (Iran), Irak, dan Bosnia yang terpaksa berkelana kemana-mana karena masalah-masalah politik yang mereka hadapi di negeri asal mereka. Persoalan status hukum kewarganegaraan bangsa-bangsa yang terpaksa berada di mana-mana tersebut, secara formal memang dapat diatasi menurut ketentuan hukum yang lazim. Misalnya, bangsa Kurdi yang tinggal di Irak Utara sudah tentu berkewar ganegaraan Irak, mereka yang hidup dan menetap di Turki tentu berkewarganegaraan Turki, dan demikian pula mereka yang hidup di negara-negara lain dapat menikmati status keawarganegaraan di negara mana mereka hidup. Akan tetapi, persoalan kebangsaan mereka tidak serta merta terpecahkan karena pengaturan hukum secara formal tersebut.
3.      dalam kaitannya dengan fenomena pertama dan kedua di atas, mulai penghujung abad ke-20 telah pula berkem­bang suatu lapisan sosial tertentu dalam setiap masya­rakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagaiglobal citizens. Mereka ini mula-mula berjumlah sedikit dan hanya terdiri dari kalangan korps diplomatik yang membangun kelompok pergaulan tersendiri. Di kalangan mereka ini berikut keluarganya, terutama para diplomat karir yang tumbuh dalam karir diplomat yang berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, terbentuk suatu jaringan pergaulan tersendiri yang lama kelamaan menjadi suatu kelas sosial tersendiri yang terpisah dari lingkungan masya­rakat yang lebih luas. Sebagai contoh, di setiap negara, terdapat apa yang disebut dengan diplo­matic shop yang bebas pajak, yang secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk berbe­lanja. Semua ini memper­kuat kecenderungan munculnya kelas sosial tersendiri yang mendo­rong munculnya kehidupan baru di kalangan sesama diplomat.
Bersamaan dengan itu, di kalangan para pengusaha asing yang menanamkan modal sebagai investor usaha di berbagai negara, juga terbentuk pula suatu kelas sosial tersendiri seperti halnya kalangan korps diplomatik tersebut. Bahkan, banyak di antara para pekerja ataupun pengusaha asing tugasnya terus menerus di luar negeri, berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, yang jangkauan pergaulan mereka lebih cocok untuk menyatu dengan dunia kalangan diplomat seperti tersebut di atas, daripada bergaul dengan penduduk asli dari negara-negara tempat mereka bekerja ataupun berusaha. Dari kedua kelompok bisnis dan diplomatik inilah muncul fenomena baru di kalangan banyak warga dunia, meskipun secara resmi memiliki status kewarganegaraan tertentu, tetapi mobilitas mereka sangat dinamis, seakan-akan menjadi semacam global citizens yang bebas bergerak ke mana-mana di seluruh dunia.
4.       dalam berbagai literatur menge­naicorpo­ratisme negara, terutama di beberapa negara yang menerap­kan prosedur federal arrangement, dikenal adanya konsep corporate federalism sebagai sistem yang mengatur prinsip representasi politik atas dasar pertimbangan-pertimbangan ras tertentu ataupun pengelom­pokan kultural penduduk. Pem­bagian kelompok English speaking community danFrench speaking community di Kanada, kelompokDutch speaking community dan German speaking community di Belgia, dan prinsip representasi politik suku-suku tertentu dalam kamar parlemen di Austria, dapat disebut sebagai corporate federalismdalam arti luas. Kelompok-kelompok etnis dan kultural tersebut diperlakukan sebagai suatu entitas hukum tersendiri yang mempunyai hak politik yang bersifat otonom dan karena itu berhak atas representasi yang demo­kratis dalam institusi parlemen. Pengaturan entitas yang bersifat otonom ini, diperlukan seakan-akan sebagai suatu daerah otonom ataupun sebagai suatu negara bagian yang bersifat tersendiri, meskipun komunitas-komunitas tersebut tidak hidup dalam suatu teritorial tertentu. Karena itu, pengaturan demikian ini biasa disebut dengan corporate federalism.
Keempat fenomena yang bersifat sosio-kultural tersebut di atas dapat dikatakan bersifat sangat khusus dan membang­kitkan kesadaran kita mengenai keragaman kultural yang kita warisi dari masa lalu, tetapi sekaligus menimbulkan persoalan mengenai kesadaran kebangsaan umat manusia yang selama ini secara resmi dibatasi oleh batas-batas teoritorial satu negara. Sekarang, zaman sudah berubah. Kita memasuki era globalisasi, di mana ikatan batas-batas negara yang bersifat formal itu berkembang makin longgar. Di samping ikatan-ikatan hukum kewarganegaraan yang bersifat formal tersebut, kesadaran akan identitas yang dipengaruhi oleh faktor-faktor historis kultural juga harus turut dipertimbangkan dalam memahami fenomena hubungan-hubungan kema­nusiaan di masa mendatang. Oleh karena itu, dimensi-dimensi hak asasi manusia di zaman sekarang dan apalagi nanti juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari perubahan corak-corak pengertian dalam pola-pola hubungan yang baru itu.
Dengan perkataan lain, hubungan-hubungan kekuasaan di zaman sekarang dan nanti, selain dapat dilihat dalam konteks yang bersifat vertikal dalam suatu negara, yaitu antara peme­rintah dan rakyatnya, juga dapat dilihat dalam konteks hubung­an yang bersifat horizontal sebagaimana telah diuraikan pada bagian pertama tulisan ini. Konteks hubungan yang bersifat horizontal itu dapat terjadi antar kelompok masyarakat dalam satu negara dan antara kelompok masya­rakat antar negara. Di zaman industri sekarang ini, corak hubungan yang bersifat horizontal tersebut untuk mudahnya dapat dilihat sebagai proses produksi dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu mencakup pula pengertian produksi dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, dimana setiap kebijakan pemerintahan dapat disebut sebagai produk yang dikeluarkan oleh pemerintah yang merupakan produsen, sedangkan rakyat banyak merupakan pihak yang mengkon­sumsinya atau konsumennya. Demikian pula setiap perusa­haan adalah pro­dusen, sedangkan produk dibeli dan dikon­sumsi oleh masya­rakat konsumennya. Dengan perkataan lain, hak konsumen  dalam arti yang luas ini dapat disebut sebagai dimensi baru hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilin­dungi dari kemungkinan penyalahgunaan atau tindakan-tindakan sewe­nang-wenang dalam hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara pihak produsen dengan konsu­mennya.
Perkembangan konsepsi yang terakhir ini dapat disebut sebagai perkembangan konsepsi hak asasi manusia generasi kelimadengan ciri pokok yang terletak dalam pemahaman mengenai struk­tur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen yang memiliki segala potensi dan peluang untuk melakukan tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil. Kita semua harus menyadari perubahan struktur hubungan kekuasaan ini, sehingga tidak hanya terpaku pada kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam pengertian konvensional saja. Hanya dengan menyadari perubahan ini kita dapat menawarkan pemecahan dalam perjuangan kolektif untuk menegakkan dan memajukan hak asasi manusia di masa yang akan datang.
C.     Kewajiban Perlindungan dan Pemajuan HAM.
Konsepsi HAM yang pada awalnya menekankan pada hubungan vertikal, terutama dipengaruhi oleh sejarah pelanggaran HAM yang terutama dilakukan oleh negara, baik terhadap hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai konsekuensinya, disamping karena sudah merupakan tugas pemerintahan, kewajiban utama perlindungan dan pemajuan HAM ada pada pemerintah. Hal ini dapat kita lihat dari rumusan-rumusan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta  Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang merupakan pengakuan negara terhadap hak asasi manusia sebagaimana menjadi substansi dari ketiga instrumen tersebut. Konsekuensinya, negara-lah yang terbebani kewajiban perlindungan dan pemajuan HAM. Kewajiban negara tersebut ditegaskan dalam konsideran “Menimbang” baik dalam Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam hukum nasional, Pasal 28I ayat (4) UUD 1945[45] menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.
Dengan berkembangnya konsepsi HAM yang juga meliputi hubungan-hubungan horisontal mengakibatkan perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor pelanggarnya. Hak atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak hanya menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab korporasi-korporasi yang dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan perusahaan-perusahaan mau tidak mau membawa dampak dalam kehidupan masyarakat yang sering kali mengakibatkan berkurangnya hak asasi manusia.
Persinggungan antara Korporasi dengan Hak Asasi Manusia paling tidak terkait dengan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, hak atas ketersediaan dan aksesibilitas terhadap sumber daya alam dan hak-hak pekerja. Secara lebih luas struk­tur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen juga memiliki potensi dan peluang terjadinya tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil.
Maka pelanggaran HAM tidak hanya dapat dilakukan oleh negara. Dalam pola relasi kekuasaan horisontal peluang terjadinya pelanggaran HAM lebih luas dan aktor pelakunya juga meliputi aktor-aktor non negara, baik individu maupun korporasi. Karena itulah memang sudah saatnya kewajiban dan tanggungjawab perlindungan dan pemajuan HAM juga ada pada setiap individu dan korporasi. Hal ini juga telah dinyatakan dalam “Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom”[46]pada tahun 1998.
Kewajiban dan tanggungjawab tersebut menjadi semakin penting mengingat masalah utama yang dihadapi umat manusia bukan lagi sekedar kejahatan kemanusiaan, genosida, ataupun kejahatan perang. Permasalahan yang dihadapi umat manusia saat ini lebih bersifat mengakar, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan, yang mau tidak mau harus diakui sebagai akibat eksploitasi atau paling tidak ketidakpedulian sisi dunia lain yang mengenyam kekayaan dan kemajuan. Kewajiban dan tanggungjawab korporasi dalam bentuk Corporate Social Responsibility terutama dalam Community Development, tidak seharusnya sekedar dimaknai sebagai upaya membangun citra. Kewajiban dan tanggungjawab tersebut lahir karena komitmen kemanusiaan. Kewajiban tersebut juga lahir karena kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun tidak, telah ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Tanpa peran serta korporasi, upaya menciptakan dunia yang lebih baik, dunia yang bebas dari kelaparan dan keterbelakangan akan sulit dilakukan mengingat kekuasaan korporasi yang sering kali melebihi kemampuan suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Materi yang disampaikan dalam studium general pada acara The 1st National Converence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
[3] Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 165, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3886.
[4] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 30 – 66.
[5] Harus diingat bahwa paling tidak terdapat tiga macam teori kontrak sosial masing-masing dikemukakan oleh John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseu yang masing-masing melahirkan konsep negara yang berbeda-beda. Lihat George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt, Rinehart and Winston, 1961), hal. 517 – 596.
[6] Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 152-162.
[7] Ibid.
[8] Dari Pasal 28A Perubahan Kedua UUD 1945.
[9]  Ayat (2) ini berasal dari Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua.
[10] Berasal dari ayat 28B ayat (2) Perubahan Kedua.
[11] Dari Pasal 28I ayat (2) Perubahan Kedua.
[12] Dari Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua.
[13] Pasal 28E ayat (2) Perubahan Kedua.
[14] Pasal 28E ayat (3) Perubahan Kedua.
[15] Dari Pasal 28F Perubahan Kedua.
[16] Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28G ayat (1) Perubahan Kedua.
[17] Dari Pasal 28G ayat (2) Perubahan Kedua.
[18] Ayat (1) ini berasal dari Pasal 28H ayat (1) Perubahan Kedua.
[19] Pasal 28H ayat (2) Perubahan Kedua.
[20] Pasal 28H ayat (3) Perubahan Kedua.
[21] Pasal 28H ayat (4) Perubahan Kedua.
[22] Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28C ayat (1) Perubahan Kedua.
[23] Dari Pasal 28C ayat (2) Perubahan Kedua.
[24] Ayat (7) ini berasal dari Pasal 28D ayat (1) Perubahan Kedua.
[25] Ayat (8) ini berasal dari Pasal 28D ayat (2) Perubahan Kedua.
[26] Ayat ini berasal dari Pasal 28E ayat (4) Perubahan Kedua.
[27] Berasal dari rumusan Pasal 28I ayat (1) Perubahan Kedua yang perumus­an­nya mengundang kontroversi di kalangan banyak pihak. Disini perumusannya dibalik dengan subjek negara.
[28] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) yang disesuaikan dengan sistematika peru­musan keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam hubungannya dengan warga negara.
[29] Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan dengan pe­nyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan perumusan alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “...serta melindungi penduduk dari penyebaran paham yang berten­tang­an dengan ajaran agama”, sebaiknya dihapuskan saja, karena dapat mengu­rangi kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.
[30] Ayat (6) ini berasal dari Pasal 28I ayat (4) Perubahan Kedua.
[31] Dari ayat (5) Pasal 28I Perubahan Kedua dengan menambahkan perka­ta­an “...memajukan..”, sehingga menjadi “Untuk memajukan, menegakkan, dan me­lin­dungi....”
[32] Komnas HAM memang telah dikukuhkan keberadaannya dengan un­dang-undang. Akan tetapi, agar lebih kuat, maka hal itu perlu dicantumkan tegas dalam UUD.
[33]  Berasal dari Pasal 28J Perubahan Kedua.

[34] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang disesuaikan dengan sis­tematika perumusan keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam hubungan­nya dengan warga negara.
[35] 123 Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan de­ngan penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam lam­piran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan peru­musan alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “... serta melindungi penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan dengan ajaran agama”, sebaiknya dihapuskan saja, karena da­pat mengurangi kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak selayaknya ikut campur mengatur da­lam urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.
[36] Lihat Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, (Norman; University of Oklahoma Press, 1991).
[37] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta; Konstitusi Press, 2005), hal. 209-228.
[38] Dalam kehidupan sosial terdapat tiga wilayah kekuasaan, yaitu negara (state), masyarakat sipil (civil society), dan pasar (market). Ketiga wilayah kekuasaan tersebut idealnya saling berhubungan secara seimbang tanpa adanya dominasi dari salah satu pihak. Lihat, Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, op cit., hal. 81. Namun kondisi sosial menunjukkan tarik-menarik antara ketiga wilayah kekuasaan tersebut terjadi hingga terjadi dominasi oleh salah satu wilayah kekuasaan. Lihat, Anthony Giddens, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, Judul Asli: The Constitution of Society: The Outline of the Theory of Structuration, Penerjemah: Adi Loka Sujono, (Pasuruan; Penerbit Pedati, 2003). Bandingkan dengan Francis Fukuyama, Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, Judul Asli: State Building: Governance and World Order in the 21st Century, Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005).
[39] Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, op cit, hal. 211-212.
[40] Ibid.
[41] Ditetapkan oleh Majelis Umum dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948.
[42] Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16 Desember 1966.
[43] Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16 Desember 1966.
[44] Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, op. cit, hal. 220-222.
[45]   Hasil Perubahan Kedua UUD 1945.
[46]   Diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1998 dengan Resolusi 53/144.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....3
NILAI-NILAI MUSYAWWARAH DAN DEMOKRASI GLOBAL
A.    Latar belakang
Demokrasi merupakan sebuah sistem yang paling banyak dianut pada masa ini. Saat ini, banyak sekali Negara yang menganut sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Demokrasi sendiri berarti sistem yang berasal dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan persamaan hukum. Dalam tradisi negara-negara barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi pemerintah bagi dirinya sendiri dan wakil rakyat menjadi pengendali yang bertanggung jawab terhadap tugasnya. Oleh karenanya, rakyat tidak mungkin mengambil keputusan karena jumlah yang terlalu besar. Maka dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah dipilih secara langsung oleh rakyat dan berfungsi sebagai penyalur  aspirasi dan membuat kebijakan untuk kepentingan rakyat demi kesejahteraan rakyat.
Sistem demokrasi pun dipercaya sebagai sebuah sistem pemerintahan di Indonesia. Indonesia memiliki badan legislatif yang anggotanya merupakan wakil rakyat. Rakyat juga berwenang memilih presiden dan wakil presiden. Namun kenyataannya, Indonesia masih dalam masa “belajar” berdemokrasi, masih dalam masa sosialisasi tentang demokrasi yang sebenarnya. Masih banyak rakyat yang tidak mengerti hakikat dari berdemokrasi, dan masih banyak pula yang salah mengaplikasikan bentuk dari demokrasi tersebut.
Dalam Islam, demokrasi telah diajarkan Rasulullah SAW. Yaitu dengan musyawarah. Contohnya, pada saat perang badar, beliau mendengarkan saran sahabatnya mengenai lokasi perang walaupun itu bukan pilihan yang yang diajukan olehnya. Rasulullah pun mulai sering melakukan musyawarah bersama sahabat-sahabatnya untuk memutuskan sesuatu. Namun yang terjadi saat ini, banyak orang yang menganggap bahwa sistem demokrasi diadaptasi dari Negara-negara barat, sehingga sistem demokrasi dianggap tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Musyawarah dalam Islam dianggap sebagai suatu cara untuk menemui kata mufakat secara adil dan kekeluargaan. Sedangkan sistem demokrasi negara barat dianggap memiliki tujuan yang bersifat duniawi dan materialistis. Maka dari itu, kita perlu memahami hakikat demokrasi, musyawarah dan pelaksanaan demokrasi yang ideal yang sesuai dengan kaidah-kaidah Islam serta sesuai dengan cita-cita bangsa dalam Pancasila.
B.     Demokrasi
1.      Pengertian Demokrasi.
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas dua kata, yaitu demos, yang berarti rakyat, dan cratein, yang berarti pemerintah. Maka dilihat dari arti katanya, istilah demokrasi mengandung arti pemerintahan rakyat, yang kemudian lebih dikenal dengan pengertian pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government from the people, by the people, and for people)[1]
Batasan demokrasi menurut pengertian secara harafiah diatas menimbulkan kontradiksi dalam pemahamannya, karena dalam pengertian demikian berarti yang berjumlah lebih banyak memerintah yang jumlahnya lebih sedikit, sedangkan dalam kenyataannya adalah sebaliknya, yaitu yang berjumlah lebih sedikit memerintah, yang berjumlah lebih banyak diperintah. Mengenai pengertian demokrasi ini Jean Jacques Rousseau mengemukakan: [2]
“Kalau dipegang arti kata seperti diartikan umum, maka demokrasi yang sungguh-sungguh tidak pernah ada dan tidak ada. Adalah berlawanan dengan kodrat alam, bahwa yang berjumlah terbesar memerintah, sedangkan yang paling sedikit harus diperintah”
Berhubungan dengan hal itu, maka demokrasi dapat diberikan pengertian sebagi suatu sistem pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat. Dari hal tersebut sesungguhnya pengertian demokrasi itu mengalami perkembangan sejalan dengan paham dan asas yang dianut oleh suatu Negara dalam kehidupan bernegara.
Negara-negara yang ada didunia kini mendasarkan diri atas paham dan asas demokrasi, meskipun paham dan asas yang dianutnya tersebut didalam pelaksanaannya tidak sama atau berbeda, sehingga kita mengenal adanya berbagai sebutan yang dikaitkan dengan paham demokrasi, seperti : social democracy, liberal democracy, people democracy, guided democracy, dan sebagainya.
Pelaksanaan demokrasi yang tidak sama antara Negara yang satu dengan lainnya dapat dilihat dalam berbagai konstitusi Negara, dimana dikenal adanya macam-macam bentuk dan sistem ketatanegaraan seperti: Negara kesatuan dan Negara federal, Negara republik dan Negara kerajaan, dengan sistem yang dianutnya sepert: sistem satu kamar dan dua kamar, sistem pemerintahan parlementer dan pemerintahan presidensil, sistem diktatorial dan sistem campuran, dan sebagainya.[3]
Norma-norma yang menjadi pandangan hidup demokrasi:[4]
1)      Pentingnya kesadaran akan pluralismee
2)      Musyawarah
3)      Pertimbangan moral
4)      Pemufakatan yang jujur dan sehat
5)      Pemenuhan segi-segi ekonomi
6)      Kerjasama antar warga masyarakat dan sikap mempercayai itikad baik masing-masing
7)      Pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan.
2.      Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonedia mengalami pasang-surut dari masa kemerdekaan sampai sekarang ini. Dalam perjalanan bangsa dan Negara Indonesia, masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana demokrasi mewujudkan mereka dalam sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangan demokrasi di Indonesia dilihat dari segi waktu dibagi dalam empat periode :[5]
a.       Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Sistem parlementer yang mulai berlaku setelah kemerdekaan kemudian diperkuat dalam UUD 1945 dan 1950, ternyata tidak cocok di Indonesia. Persatuan yang digalang selama menghadapi musuh bersama tidak dapat dibina menjadi kekuatan konstruktif setelah kemerdekaan tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem ini. UUD 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara konstitusional dan beserta menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai politik usia kabinet pada masa ini jarang dapat bertahan cukup lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat gampang pecah. Hal inilah yang mendorong Ir. Soekarno sebagi presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang menentukan berlakuknya kembali UUD 1945. Dengan demikian masa demokrasi ini berakhir.[6]
b.      Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Ciri-ciri demokrasi ini adalah dominasi dari presiden, terbatasnya partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peran ABRI sebagai unsure social politik. Banyak sekali penyimpangan yang terjadi pada masa pemerintahan ini, diantaranya pengangkatan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup, yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Selain itu presiden juga membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan Umum, padahal dalam penjelasan UUD 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.[7]
c.       Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Landasan formal demokrasi ini yaitu Pancasila, UUD 1945 serta ketetapan MPRS. Dalam usaha meluruskan penyelewengan terhadap UUD pada masa demokrasi terpimpin, Tap MPRS No. III/1963 mengenai penetapan masa jabatan seumur hidup Ir. Soekarno telah dibatalkan.[8]
Beberapa perumusan tentang demokrasi Pancasila sebagai berikut :
1)      Demokrasi dalam bidang politik pada hakikatnya adalah menegakkan kembali asas-asas Negara hukum dan kepastian hukum.
2)      Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga Negara.
3)      Demokrasi dalam bidang hukum pada hakikatnya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang tidak memihak.
Dengan demikian secara umum dapat dijelaskan bahwa watak demokrasi Pancasila tidak berbeda dengan demokrasi pada umumnya. Karena demokrasi Pancasila memandang kedaulatan rakyat sebagai inti dari sistem demokrasi. Namun demikian “demokrasi Pancasila” dalam rezim Orde Baru hanya sebagai retorika dan gagasan belum sampai pada tataran praktis atau penerapan. Karena dalam praktiknya rezim ini sangat tidak memberikan ruang bagi kehidupan berdemokrasi.[9]
d.      Demokrasi Orde Reformasi (1998-Sekarang)
Runtuhnya rezim otoriter orde baru telah membawa harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Bergulirnya reformasi yang mengiringi runtuhnya keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi di Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis, karena dalam fase ini akan ditentukan akan kearah mana demokrasi yang akan dibangun. Sukses atau gagalnya suatu transisi sangat tergantuung pada empat faktor kunci, yaitu :
-          Komposisi elite politik
-          Desain institusi politik
-          Kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik.
-          Masyarakat madani (Civil Society)[10]
3.      Pelaksanaan Demokrasi yang Ideal
Menurut Dahl (1958:10) berkaitan dengan problem pluralisme demokrasi,proses demokrasi yang ideal hendaknya memenuhi 5 kriteria: [11]
1)      Persamaan hak pilih : Dalam mebuat keputusan kolektif yang mengikat, hak istimewa dari setiap warga Negara seharusnya diperhatikan secara berimbang dalam menentukan keputusan terakhir.
2)      Partisipasi efektif : Dalam seluurh proses pembuatan keputusan secara kolektif, termasuk tahap penentuan agenda kerja, setiap warga Negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan memadai untuk menyatakan hak-hak istimewanya dalam rangka mewujudkan kesimpulan terakhir.
3)      Pembenaran kebenaran : Dalam waktu yang dimungkinkan, karena keperluan untuk suatu keputusan, setiap warga Negara harus mempunyai peluang yang sama dan memadai untuk melakukan penilaian logis demi mencapai hasil yang paling diinginkan.
4)      Kontrol Terakhir terhadap agenda : Masyarakat harus mempunyai kekuasaan eksklusif untuk menentukan soal-soal mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses-proses yang memenuhi ketiga criteria yang disebut pertama. Dengan cara lain, tidak memisahkan masyarakat dari hak kontrolnya terhadap agenda dan dapat mendelegasikan wewenang kekuasaan kepada orang-orang lain yang mungkin dapat membuat keputusan-keputusan lewat proses non demokrasi.
5)      Pencakupan : Masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum, kecuali pendatang sementara.

4.      Pandangan Islam terhadap Demokrasi
Perdebatan tentang hubungan antara Islam dan demokrasi sebagaimana diakui oleh Mun’im A. Sirry  memang masih menjadi perdebatan yang belum terselesaikan. Berdasarkan pemetaan yang dikembangkan oleh Jhon L. Esposito dan James P. Piscatory (Syukron Kamil : 2002) secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok pemikiran.[12]
a.       Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam dipandang sebagai sistem politik alternatif terhadap demokrasi. Demokrasi sebagai sistem barat tidak tepat untuk dijadikan acuan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sementara Islam sebagai agamakaffah yang tidak hanya mengatur aspek teologi (aqidah) dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusia. Ini diungkapkan oleh elit kerajaan Arab Saudi dan elit politik Iran pada masa awal revolusi Iran, Syekh FadhAllah Nuri, Sayyid Qutb, Thabathabi, Al-Sya’rawi dan Ali Benhadj.[13]
b.       kelompok yang menyatakan bahwa Islam dan Demokrasi merupakan konsep yang sejalan setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri. Diantara tokoh dari kelompok ini adalah al-Maududi, Abdul Fattah Morou, dan Taufiq Asy-Syawi.[14]
c.       Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem demokrasi . Pandangan ini yang paling dominan yang ada di Indonesia, karena demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem pemerintahan Indonesia dan Negara-negara Islam lainnya. Diantara tokoh-tokohnya yaitu,  Fahmi Huwaidi, al-Aqqad, M Husain Haekal, Robert N. Bellah. Di Indonesia diwakili oleh Nurcholis Majid (Cak Nur), Amien Rais, Munawir Syadzali, A. Syafi’i Ma’arif dan Abdurrahman Zahid.[15]
Penerimaan Negara-negara Islam terahadap demokrasi bukan bararti demokrasi dapat berkembang dengan cepat secara otomatis. Ada beberapa alas an teoritis yang dapat menjelaskan tentang lambatnya pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di dunia Islam :[16]
1)      Pemahaman doktrinal menghambat praktek demokrasi. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan kaum muslim yang cenderung memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam.
2)      Persoalan kultur. Sebenarnya demokrasi telah dicoba di Negara-negara Islan sejak paruh pertama abad dua puluh tetapi gagal. Tampaknya ia akan sukses pada masa-masa mendatang, karena warisan kultural masyarakat muslim sudah terbiasa dengan otokrasi dan ketaatan pasif. Persoalan kultur ditengarai sebagai yang paling bertanggung jawab mengapa sulit membangun demokrasi di Negara Islam. Sebab, secara doktrinal, pada dasarnya hamper tidak dijumpai hambatan teologis dikalangan tokoh-tokoh partai, ormas, atau gerakan Islam. Bahkan ada kecenderungan untuk merambah tugas baru yaitu merekonsiliasi perbedaan antara teori politik modern dengan doktrin Islam.
3)      Lambannya pertumbuuhan demokrasi di dunia Islam tak ada hubungannya dengan teologi maupun kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk membangun demokrasi dibutuhkan kesungguhan, kesabaran, dan diatas segalanya adalah waktu. Jhon Esposito dan O. Voll adalah tokoh yang tetap optimis terhadap masa depan demokrasi di dunia Islam. Terlepas dari itu semua, tak dapat diragukan lagi, pengalaman empirik demokrasi dalam sejarah Islam memang terbatas.[17]

5.      Demokrasi sebagai Implementasi Sila Keempat : Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan
Sila keempat ini mempunyai makna bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat, dan dalam melaksanakan kekuasaannya, rakyat menjalankan sistem perwakilan (rakyat memilih wakil-wakilnya mealui pemilihan umum) dan keputusan-keputusan yang diambil dilakukan dengan jalan musyawarah yang dikendalikan dengan pikiran yang sehat, jernih, logis, serta penuh tanggung jawab baik kepada Tuhan maupun rakyat yang diwakilinya. Butir-butir implementasi sila keempat adalah sebagai berikut :[18]
1.      Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. Butir ini menghendaki masyarakat harus mengawal wakil rakyat yang dipilih lewat pemilu, agar setiap keputusan wakil rakyat mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
2.      Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Butir ini menghendaki setiap warga negara untuk tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, menghormati setiap perbedaan, dan dengan akal sehat melakukan kompromi demi kebaikan masyarakat dan negara.
3.      Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Butir ini menghendaki adanya musyawarah yaitu pembahasan secara bersama-sama atas suatu penyelesaian masalah.
4.      Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan. Butir ini menghendaki agar pengambilan keputusan secara bersama-sama didasarkan semangat kekeluargaan yaitu hubungan kekerabatan yang sangat erat dan mendasar di masyarakat.
5.      Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah. Butir ini menghendaki, setiap keputusan yang diambil dalam musyawarah untuk diterima dan dilaksanakan dengan baik
6.      Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Butir ini menghendaki prinsip musyawarah dalam memecahkan masalah bukan menang dan kalah, serta kepentingan golongan, tetapi dengan menggunakan akal sehat, tidak mabuk dan anarki, sesuai dengan hati nurani.
7.      Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
C.     Musyawarah
Kata musyawarah terambil dari kata(شور )  syawara  yang pada mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil / di keluarkan dari yang lain ( termasuk pendapat).  Orang yang bermusyawarah bagaikan  orang yang minum madu(Quraish Shihab : 2001)
Dari makna dasarnya ini diketahui bahwa lingkaran musyawarah yang terdiri dari peserta dan pendapat yang akan disampaikan adalah lingkaran yang bernuansa kebaikan. Peserta musyawarah adalah bagaikan lebah yang bekerja sangat disiplin, solid dalam bekerja sama dan hanya makan dari hal- hal yang baik saja ( disimbolkan dengan kembang), serta tidak melakukan gangguan  apalagi merusak dimanapun ia hinggap dengan catatan ia tidak diganggu. Bahkan sengatannya pun bisa menjadi obat. Sedangkan isi atau pendapat musyawarah itu bagaikan madu yang dihasilkan oleh lebah. Madu bukan hanya manis tapi juga menjadi obat dan karenanya  menjadi sumber kesehatan dan kekuatan. Itulah hakekat dan semangat sebenarnya dari musyawarah. Karenanya kata tersebut tidak digunakan kecuali untuk hal- hal yang baik- baik saja.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekeliling. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan maksudnya : urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya (Q.S. Ali Imran : 159)
Perintah bermusyawarah pada ayat diatas turun setelah peristiwa menyedihkan pada perang uhud. Ketika itu menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk memusyawarahkan bagaimana sikap menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah. Nabi cenderung bertahan di kota Madinah, dan tidak keluar menghadapi musuh yang datang dari mekah. Sahabat-sahabat beliau, terutama kamu muda yang penuh semangat mendesak agar kaum muslim, dibawah pimpinan Nabi Muhammad SAW keluar menghadapi musuh.
Pendapat mereka itu mendapat dukungan mayoritas, sehingga Nabi menyetujuinya. Tetapi, peperangan berakhir dengan gugurnya para sahabat yang jumlahnya tidak kurang dari tujuh puluh orang. Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi dan sahabat beliau amat perlu digaris bawahi untuk melihat bagaimana pandangan Al-Quran tentang musyawarah.
Ayat ini seakan-akan berpesan kepada Nabi, bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan. Walaupun terbukti pendapat yang mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan dapat menjadi tanggung jawab bersama,dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun.
Dari ayat tersebut dapat diambil empat sikap ideal ketika dan setelah melakukan musyawarah :
1.      Sikap lemah lembut. Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi  pemimpin harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala.
2.      Memberi maaf dan membuka lembaran baru. Sikap ini harus dimiliki peserta musyawarah, sebab tidak akan berjalan baik, kalau peserta masih diliputi kekeruhan hati apalagi dendam.
3.      Memiliki hubungan yang harmonis dengan Tuhan yang dalam ayat itu dijelaskan dengan permohonan ampunan kepada- Nya. Itulah  sebabnya  yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfiroh dan ampunan Ilahi.
4.      Setelah selesai semuanya harus diserahkan kepada Allah, bertawakkal.
            Kita sering mendengar mengenai Syura jika berbicara tentang musyawarah. Syura, sebenarnya adalah suatu forum, dimana setiap orang mempunyai kemungkinan untuk terlibat dalam urun rembuk, tukar pikiran, membentuk pendapat, dan memcahkan suatu persoalan bersama. [19]
Musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah. Bermusyawarah artinya berunding atau berembug. Sedangkan permusyawaratan berarti berunding. Sehingga jelaslah bahwa permusyawaratan dalam sila keempat Pancasila merupakan perundingan dalam rangka pembahasan bersama dengan maksud untuk mencapai keputusan terhadap suatu masalah yang menyangkut orang banyak. [20]
Orang –orang yang bisa dan layak bermusyawarah sebagaimana yang terisrat dalam Q.S Asy – Syura : 38, bahwa setiap persoalan yang dipecahkan secara kolektif kolegial akan memberikan manfaat dan kemashlahatan yang luas. Bahkan Islam sebagai rahmatan lil alamin tidak membatasi keterlibatan non Islam dalam menyumbangkan sarannya untuk memcahkan masalah. Karena musyawarah dalam Islam bersifat inklusif.
Dengan demikian, esensi musyawarah adalah pemberian kesempatan kepada anggota masyarakat yang memiliki kemmapuan dan hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk aturan-aturan hukum atau kebijaksanaan politik.
ANALISIS DAN KOMENTAR
Eksperimentasi demokrasi mewujud dengan pemungutan suara. Voting menjadi kata kunci. Mayoritas-minoritas. Menang atau kalah. Kita sedang dihadapkan pada keprihatinan dimana demokrasi yang mewujud dalam pilkada menghadirkan pimpinan yang terjerat kasus korupsi, yang  menjadi aktor penghambat berkembangnya demokrasi.
Transisi demokrasi di Indonesia membuat demokrasi menjadi sesuatu yang eksplosif (meledak-ledak). Karena eksplosif sering tanpa kontrol, ditambah lemahnya Negara, sering terjadi eksplosi yang berujung pada anarki. Apa yang sebenarnya terjadi dalam eksperimen demokrasi Indonesia? Euforia demokrasi tidak berjalan sejajar dengan peningkatan pemahaman soal demokrasi itu sendiri. Kebebasan kerap disalah artikan sebagai ‘kebebasan tanpa aturan’ dan tanpa kepatuhan pada hukum.
Gejala kekerasan yang terjadi menunjukkan masih jauhnya pemahaman demokrasi sebagai art of compromise. Mengalami demokrasi masih menjadi sesuatu yang baru. Demokrasi tidak cukup bisa dikembangkan sendiri. Ia harus disemaikan,dipupuk secara terencana. Ia membutuhkan pendidikan yang mencakup: pendidikan demokrasi dan pendidikan kewarganegaraan.
Dimana musyawarah? Mohammad Hatta pernah berkata bahwa ada lima unsur demokrasi khas Indonesia, yakni rapat, mufakat, gotong royong, hak mengajukan protes bersama, dan hak menyingkir dari wilayah kekuasaan pemimpin yang tidak adil.
Musyawarah menjadi kata kunci. Tetapi praktis politik menunjukkan pudarnya permusyawaratan untuk mufakat. Tren baru mengarah pada demokrasi transaksional. Parta politik menjadi penyewa perahu bagi kandidat untuk maju dalam pilkada: dan itu uang. Hingga demokrasi kini terlihat sperti sebuah transaksi, mudah dibeli oleh uang.
Eksperimentasi demokrasi yang berjalan sejak lama seharusnya menciptakan kesadaran baru. Demokrasi tak mungkin dilepas dan diserahkan kepada para pelaku untuk menafsirkan sendiri bagaimana demokrasi dipraktikkan. Demokrasi politik juga tak akan bisa bertahan tanpa memunculkan keadilan sosial. Pemimpin visioner dibutuhkan.
Diskursus soal kerakyatan dan musyawarah-mufakat perlu dimunculkan. Pendidikan demokrasi menjadi keniscayaan ditengah pergerakan demokrasi yang tak terkontrol. Esensi musyawarah – mufakat yang terkandung dalam pancasila perlu diaplikasikan dalam praktis politik.
Kita harus melihat dan membumikan kembali relasi Pancasila,konstitusi, undang-undang, serta perilaku poitik. Dengan upaya itu , kita bisa selamat dalam menjalani eksperimentasi demokrasi.
Footnote
[1] Subandi Al-Marsudi, Pancasila dan UUD’45 Dalam Paradigma Reformasi (Jakarta : Raja Grafindo Nusantara,2001), hlm. 81
[2] Ibid.
[3] Ibid. hlm. 82
[4] Asep Sulaiman, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (Bandung:Asman Press,2012), hlm. 113
[5] Ibid. hlm.125
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm.126
[8] Ibid. hlm.126
[9] Ibid. hlm.127
[10] Ibid. hlm.127-128
[11] Aep Saepuloh dan Tarsono, Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Islam(Bandung : Batik Press,2012) .hlm.124
[12] Asep Sulaiman. Op.Cit.,hlm.129
[13] Loc.Cit.
[14] Loc.Cit.
[15] Loc.Cit.
[16] Loc.Cit.,hlm.130
[17] Loc.Cit.
[18]  Aep Saepuloh dan Tarsono.Op.Cit.,hlm.112-113
[19] Loc.cit.hlm 131
[20] Loc.cit.hlm 132
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....4
PANCASILA DAN DAN TANTANGAN IDEOLOGI RADIKAL
A.    Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun, bila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada pondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham atau aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda. Paham atau aliran untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.Pahampaham radikal telah merajalela di Indonesia sejak merdeka hingga kini. Kompleksitas radikalisme di Indonesia yang tidak mudah diselesaikan karena akan selalu dikaitkan dengan pergolakan dunia lain terutama Timur Tengah, sehingga pilihan untuk penguatan basis kebangsaan dan keindonesiaan dengan memberikan pemahaman dan penguatan nasionalisme merupakan solusi jangka panjang yang harus ditempuh oleh pemerintah, disamping solusi jangka pendek yaitu dari sisi penegakan hukum dan ketegasan sikap dari keamanan yang berwenang.Rencana apapun itu, dibandingkan dengan dahulu, masyarakat sekarang sudah semakin cerdas dalam menyikapi isuisu radikalisme. Masyarakat sudah paham bahwa ada terlalu banyak variabel kemungkinan yang hadir dibelakang isu radikalisme yang berkembang. Cara yang paling bisa untuk dilakukan adalah dengan memperkuat sistem integrasi nasional dan ideologi bangsa. 
Pancasila, dasar Negara yang mulai dilupakan sebagian besar masyarakat pun mulai diangkat lagi ke permukaaan. Sebagai masyarakat plural yang telah disatukan oleh Bhineka Tunggal Ika, bukan oleh satu agama saja, mulai memperbincangkan kembali kesadaran untuk memahami dan mengamalkan nilai Pancasila. Masyarakat seperti tercerahkan bahwa selama ini Pancasila telah mati, merapuhkan NKRI dan membuka celah bagi mereka yang ingin bertindak makat. Pancasila harus kembali menjadi philosophische grondsag, falsafah dan pandangan hidup bangsa seperti yang diciptakan oleh Ir.Soekarno.
B.      Pengertian Integrasi dan Disintegrasi
Kata integrasi berasal dari kata integer, yang berarti utuh, tidak retak, bulat, padu. Jadi, integrasi mempunyai arti sebagai suatu proses penyaluran dua unsur atau lebih yang mengakibatkan tercapainya suatu keinginan yang berjalan secara baik dan lancar. Secara umum, Integrasi saling ketergantungan yang lebih rapat dan erat antarbagian dalam organisme hidup atau antar anggota di daam masyarakat sehingga terjadi penyatuan hubungan yang dianggap harmonis.
Faktor pendorong integrasi. :
1. Tingginya tingkat kesadaran akan integrasi dan partisipasi.
2. Terwujudnya asas keadilan sosial dan asas-asas subsolidaritas atau power sharing secara efektif.
3. Adanya simbol persatuan
Faktor penghambat integrasi :
1. Berkembangnya paham kedaerahan.
2. Berkembangnya paham stratifikasi sosial atau kelompok.
3. Berkembangnya anggapan bahwa agama dan kepercayaan tertentu yang paling benar.
4. Berkembangnya anggapan bahwa kebudayaan tertentu yang paling tinggi dibanding dengan kebudayaan lain (trendilmu.com).
Disintegrasi yaitu memudarnya kesatupaduan dalam organisasi dan solidaritas antara yang kolektif, golongan, dan kelompok dalam suatu masyarakat. Situasi disintegrasi dipengaruhi oleh timbulnya ketidaksepahaman diantara anggota, tidak patuh terhadap norma-norma yang berlaku, dan tidak berfungsinya sanksi-sanksi (Tri Astuty, 2015).
C.     Radikalisme
Radikalisme merupakan salah satu dari jenis jenis ideologi. Kalau liberalisme mengenal dan memberikan nilai tertinggi pada kebebasan individu, maka dalam jenis ideologi radikalisme kesamaan merupakan pusatnya. Radikalisme berkembang terutama dalam konfrontasi dengan liberalisme, akan tetapi radikalisme sendiri mempunyai akar-akar yang sangat tua. Pada zaman pertengahan banyak terdapat berbagai macam gerakan-gerakan radikal yang mengadakan protes terhadap tata masyarakat, protes tersebut dilakukan karena tatanan ini ditandai oleh tidak adanya kesamaan (A. Ubaidillah, 2000).
Radikalisme dalam studi ilmu sosial diartikan sebagai pandangan yang ingin melakukan perubahan yang mendasar dengan interprestasinya terhadap realitas sosial atau ideologi yang dianutnya (Hasani dan Naipospos, 2011).
 Radikalisme agama adalah paham atau aliran yang keras dalam suatu ajaran agama tertentu. Menurut aliran ini, setiap permasalahan atau persoalan harus disikapi dengan tegas dank eras, tidak setengah-setengah apalagi ragu-ragu dalam bertindak demi tegaknya ajaran agama tersebut. Namun terkadang aliran ini dalam bertindak melebihi aturan yang ada atau bahkan menghalalkan cara untuk mencapai tujuan (Tim Pusat Studi Pancasila UGM, 2014).
D.    Pancasila dan Tantangan Radikalisme            Berkembangnya berbagai ideologi yang bertentangan dengan Pancasila patut diwaspadai sebagai upaya pengikisan nilai-nilai kebangsaan. Beberapa ideology dan paham radikal yaitu:
1.      Paham Atheisme.
Dalam ensiklopedia bebas dijelaskan ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme. Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan. Kaitannya dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, selain mengingkari tuhan, atheis juga sekaligus mengingkari dan menodai pancasila, sila pertama “Ketuhanan yang maha esa”. Sila tersebut memiliki makna mendalam tentang berketuhanan, segala hal yang ada di alam semesta ini tentunya tidak akan muncul atau ada begitu saja, tentunya ada suatu dzat agung yang menciptakan seluruh sistem alam semesta ini, dimana terdapat maksud-maksud dan tujuan dalam masing-masing penciptaanya. Oleh karena itu, pancasila mengatur bangsa Indonesia dan manusia lainnya agar bersyukur terhadap segala sesuatu yang ada, karena pancasila meyakini dan mengimani bahwa tuhan itu benar-benar ada.Hal inilah yang tidak dapat ditangkap oleh kalangan atheis, yang begitu mengandalkan logika dan rasionalitas semata, padahal tuhan telah berpesan, bahwa akal manusia itu dibatasi.Atheis sering menuntut kebenaran secara logika tentang segala sesuatu hal yang berkaitan dengan ketuhanan (Aziz, Maula, 2011).
2.      Paham Sekularisme.
Dalam ensklopedia bebas dijelaskan sekularisme atau sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganak emaskan sebuah agama tertentu. Sekularisme dianggap sebagai solusi dalam menjalani kehidupan orang Barat. Karena dengan sekuler Barat terlepas dari dogma-dogma agama yang mengkungkung kebebasan akal. Segala problematika tidak harus dikembalikan pada agama secara kaku. Manusia yang memiliki akal berhak mengatur kehidupannya sendiri tanpa campur tangan hukum Tuhan
Dalam prespektif keindonesian dalam hal ini kaitannya dengan Pancasila Di Indonesia yang memiliki tradisi historis tersendiri, konsep negara sekuler sulit diterapkan. 
Dari segi freedom of religion, Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menjamin seseorang bebas mendiskusikan atau memilih atau tidak memilih suatu agama tanpa campur tangan negara, dan ketika telah menganut agama dia bebas mengikuti ajaran-ajarannya, berpartisipasi dalam kebaktian, menyebarkan ajaran-ajarannya dan menjadi pejabat dalam organisasi agamanya. Namun, Ayat 1 yang berbunyi 'negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa' tidak sesuai prinsip negara sekuler (Ali, Muhammad, forum.detik.com).
3.      Paham Liberal.
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama. Edmund Burke mengemukakan bahwa libelarisme berhubungan dengan masalah apa yang seharusnya tidak dilakukan negara melalui kebijaksanaan umum, dan yang seharusnya tidak dilakukan negara untuk memberikan kebebasan kepada rakyatnya. Sebagai sebuah ideologi, libelarisme mengembangkan suatu prinsip yang sangat mendasar sifatnya seperti: (1) pengakuan terhadap hak-hak asasi warga negara, (2) memungkinkan tegaknya tertib masyarakat dan negara atas supremasi hukum, (3) memungkinkan lahirnya pemerintahan yang demokratis, dan (4) penolakan terhadap pemerintahan yang totaliter (Soegito, 2012).
E.     Tantangan Radikalisme dalam Konteks Ke-Indonesiaan
1.      Tragedi Poso.
Awal mulai terjadi bentrokan yaitu pada tahun 1999 sampai dengan 2007 bentrok terjadi. Mulai dari pertikaian agama, pertikaian warga dan para anggota kepolisian, pengancaman dan penculikan serta yang dulu sempat beredar bahwa jaringan “Al-Qaeda” terorganisir di dalam daerah Poso (kakijurnalis.blogspot.co.id).
F.      Upaya Perwujudan Pancasila sebagai Nilai Integratif Bangsa.
Pancasila sebagai nilai integratif, sebagai sarana pemersatu dan prosedur penyelesaian konflik perlu pula dijabarkan dalam praktik kehidupan bernegara. Pancasila sebagai sarana pemersatu dalam masyarakat dan prosedur penyelesaian konflik itulah yang terkandung dalam nilai integratif Pancasila. Pancasila sudah diterima oleh masyarakat Indonesia sebagai sarana pemersatu, artinya sebagai suatu kesepakatan bersama bahwa nilainilai yang terkandung di dalamnya disefujui sebagai milik bersama. Pancasila menjadi semacarn social ethics dalam masyarakat yang heterogen.
Pancasila adalah kata kesepakatan dalam masyarakat bangsa. Kata kesepakatan ini mengandung makna pula sebagai konsensus bahwa daram hal konflik maka lembaga politik yang diwujudkan bersama akan memainkan peran sebagai penengah. Jadi, apakah pancasila dapat digunakan secara rangsung mempersatukan masyarakat dan mencegah konflik? Tidak, tetapi prosedur penyelesaian konflik yang dibuat bersama, baik meliputi lembaga maupun aturan itulah yang diharapkan mampu menyelesaikan konflik yang terjadi di masyaratat. Fungsi Pancasila di sini adalah bahwa dalam hal pembuatan prosedur penyelesaian konflik, nilainilai pancasila menjadi acuan normatif bersama.Nilainilai Pancasila hendaknya mewarnai setiap prosedur penyeresaian konflik yang ada di masyarakat. Secara normatif dapat dinyatakan sebagai berikut; bahwa penyelesaian suatu konflik hendaknya dilandasi oleh nilainilai religius, menghargai derajat kemanusiaan, mengedepankan persatuan, mendasarkan pada prosedur demokratis dan berujurrg pudu terciptanya keadilan.
Berkembangnya berbagai ideologi yang bertentangan dengan Pancasila patut diwaspadai sebagai upaya pengikisan nilainilai kebangsaan. Revitasilasi dalam menghadapi tantangan ideologi radikal dalam konteks ke-Indonesiaan dengan cara :
1. Mengetahui dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari untuk  meningkatkan integrasi kebangsaan.
2. Menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi dalam Negara Indonesia.
3. Tidak mudah percaya kepada ideologi-ideologi radikal yang berkembang di Indonesia untuk menentang Pancasila.
4. Membentengi diri dengan nilai-nilai Pancasila dan agama (Kaelan, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad, Indonesia Bukan Negara Sekuler, diunduh dari    http://forum.detik.com/indonesia-bukan-negara-sekuler-t198717.html
Astuty, Tri. 2015. SOSIOLOGI. Jakarta: Vicosta Publishing
Aziz, Maula, Faza. 2011. Layak Tidaknya Seorang Yang Tidak Beragama Hidup Di Negeri Dengan Dasar Falsafah Pancasila, diunduh dari http://research.amikom.ac.id.
Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos. 2012. Dari Radikalisme menuju Terorisme. Jakarta: SETARA Institute
Ilmu, Trend. 2015. Pengertian Integrasi Nasional dan Disintegrasi Nasional. http://www.trendilmu.com/2015/11/Pengertian.integritas.nasional.html?m=1 diakses pada tanggal 10 November 2016 pukul 18.26 WIB
Kaelan. 2002.  Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Paradigma
Tim Pusat Studi Pancasila UGM. 2014. KONGRES PANCASILA VI. Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada
Segia, Muhammad. 2014. Surganya Mayat Tanpa Kepala “Poso”. http://kakijurnalis.blogspot.co.id/2014/07/surganya-mayat-tanpa-kepala-poso.html?m=1 diakses pada tanggal 11 November 2016 pukul 11.33 WIB
Soegito, AT, dkk,. 2012. Pendidikan Pancasila. Semarang: Unnes Press
Ubaidillah, A.. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan (Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani). Jakarta: IAIN Jakarta Press
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....5
PANCASILA GEOSTRATEGI DAN KETAHANAN NASIONAL
A.    Latar Belakang Masalah.
Republik Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, terletak di garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Karena letaknya yang berada di antara dua benua, dan dua samudra, ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Terdiri dari 17.508 pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada tahun 2006, Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia.[1]
Indonesia berbatasan dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, dengan Papua Nugini di Pulau Papua dan dengan Timor Leste di Pulau Timor. Negara tetangga lainnya adalah Singapura, Filipina, Australia, dan wilayah persatuan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India. Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Semboyan nasional Indonesia, “Bhinneka tunggal ika” (“Berbeda-beda tetapi tetap satu”), berarti keberagaman yang membentuk negara. Hal ini menunjukkan adanya masyarakat Indonesia yang majemuk dan hiterogen, didalamnya terdiri dari berbagai ras suku bangsa, bahasa, warna kulit, agama dan adat istiadat yang berbeda. Dari berbagai perbedaan tersebut sehingga dalam masyarakat Indonesia rawan dengan adanya konflik antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Oleh karena itu perlu adanya suatu strategi untuk menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia. Dalam perkembangannya strategi tersebut tidak hanya untuk menanggulangi masalah konflik antar daerah di Indonesia tetapi juga untuk menghadapi segala gangguan yang datang dari luar Indonesia yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Rebublik Indonesia. Strategi tersebut dalam masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah geostrategi.
Geostrategi diartikan sebagai geopolitik untuk kepentingan militer atau perang.  Di Indonesia, geostrategi diartikan sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi, sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD 1945, melalui proses pembangunan nasional.  Karena tujuan itulah maka ia menjadi doktrin pembangunan dan diberi nama Ketahanan Nasional.
Mengingat geostrategi Indonesia memberikan arahan tentang bagaimana membuat strategi pembangunan guna mewujudkan masa depan yang lebih baik, lebih aman, dan sebagainy sehingga Geostrategi Indonesia ditegaskan wujudnya dalam bentuk rumusan ketahanan nasional sebagai kondisi, metode, dan doktrin dalam pembangunan nasional.
B.     Pengertian Geostrategi dan Konsep Astagatra.
Strategi diartikan suatu upaya memanfaatkan kondisi geografi Negara dalam menentukan kebijakan, tujuan, sarana untuk mencapai tujuan nasional (pemanfaatan kondisi lingkungan dalam mewujudkan tujuan politik). Geostrategi Indonesia diartikan pula sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi sebagaimana yang  diamanatkan dalam pembukaan dan UUD 1945.
Geostrategi merupakan upaya untuk mencapai tujuan atau sasaran ditetapkan sesuai dengan keinginan politik. Karena strategi sendiri merupakan upaya pelaksanaan, maka strategi pada hakekatnya merupakan suatu seni yang implementasinya didasari oleh intuisi, perasaan dan hasil pengalaman. Strategi juga merupakan ilmu yang langkah-langkahnya selalu berkaitan dengan data dan fakta yang ada. Seni dan ilmu digunakan sekaligus untuk membina atau mengelola sumber daya yang dimiliki dalam suatu rencana dan tindakan.[2]
Geostrategi untuk negara dan bangsa Indonesia adalah kenyataan posisi silang Indonesia dari berbagai aspek antara lain : aspek geografi, aspek demografi, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam.
Geostrategi Indonesia berawal dari kesadaran bahwa bangsa dan negara ini mengandung sekian banyak anasir-anasir pemecah belah yang setiap saat dapat meledak dan mencabik-cabik persatuan dan kesatuan bangsa. Hal itu tampak jelas pada tahun 1998 dimana timur-timur lepas dari Negara kesatuan Rebublik Indonesia. Tidak hanya itu saja, tatkala bangsa kita lemah karena sedang berada dalam suasana tercabik-cabik maka serentak pulalah harga diri dan kehormatan dengan mudah menjadi bahan tertawaan di forum internasional.  Disitulah ketidakberdayaan kita menjadi tontonan masyarakat internasional, yang sekaligus, apabila kita sekalian sadar, seharusnya menjadi pelajaran berharga.
Pada perkembangannya geostrategi indonesia bagi menjadi empat periode yaitu yang pertama tahun 1962-an geopolitik indonesia disebut SESKOAD. Hal ini ditujukan terhadap adanya kekhawatiran mengenai komunis, yang kedua Tahun 1965 (Tanas) menyatakan bahwa geostrategi Indonesia harus berupa sebuah konsep strategi untuk mengembangkan keuletan dan daya tahan, pengembangan kekuatan nsional untuk menghadapi dan menangkal ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik bersifat internal maupun eksternal. Yang ketiga Tahun 1972 juga dikenal dengan istilah  Tanas tetapi dengan pendekatan keamanan dan kesejahteraan guna menjaga identitas kelangsungan serta integritas nasional sehingga dan tujuan nasional dapat tercapai. Yang keempat Tahun 1978 disebutkan bahwa geostrategi Indonesia ditegaskan wujudnya dalam bentuk rumusan ketahanan nasional sebagai kondisi, metode, dan doktrin dalam pemmbangunan nasional.
Ketahanan nasional merupakan kondisi dinamis yang harus diwujudkan oleh suatu Negara dan harus dibina secara dini terus menerus dan sinergi dengan aspek-aspek kehidupan bangsa lain. Pemikiran konseptual tentang ketahanan nasional inididasarkan atas konsep geostrategi yang merupakan konsep yang dirancang dan dirumuskan dengan memperhatikan kondisi bangsa dan kondisi stelasi geografi Indonesia yang disebut dengan konsep ketahanan nasional.
Konsepsi ketahanan nasional merupakan suatu konsepsi di dalam pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang mencangkup segenap kehidupan bangsa yang dinamakan ASTAGATRA yang meliputi aspek Alamiah (TRIGATRA), dan aspek Sosial (PANCAGATRA).
Yang dimaksud dengan aspek alamiah (trigatra) yaitu :
a.       posisi dan lokasi geografi negara.
posisi dan lokasi Negara kesatuan republik Indonesia memberikan gambaran tentang bentuk kedalam (menampakkan corak wujud dan tata susunan tertentu), dan bentuk keluar (situasi dan kondisi lingkungan serta hubungan timbale balik antara Negara dan lingkungan) dari Negara kita. Posisi dan lokasi ini merupakan wadah bagi bangsa yang mendiaminya serta saling mempengaruhi satu sama lain, dan dengan batas nasional tertentu membedakan Negara Indonesia dengan bangsa lain.
Negara Indonesia merupakan Negara kepulauan yang dikelilingi oleh lautan. Posisi dan lokasi Negara Indonesia berada dalam posisi silang di jalan silang dunia yaitu antara benua asia dan benua Australia serta samudra pasifik dan samudra hindia. Kondisi yang demikian tidak hanya bersifat fisik tetapi juga terbuka terhadap segala pengaruh dan aliran sosial.
b.      keadaan dan kekayaan alam
sebagai makhluk tuhan, untuk hidup berkembang biak dan mempertahankan diri, mereka memanfaatkan alam dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Tentu dalam pemanfaatan itu harus seimbang dan seirama dengan perkembangan penduduk.
Kekayaan alam terbagai menjadi tiga golongan yaitu hewani (fauna), nabati (flora) dan mineral (ada yang dapat diperbaharui dan ada yang tidak dapat diperbaharui). Kekayaan alam di atas terbagi menjadi tiga lingkungan yaitu di atmosfir, di permukaan bumi dan di dalam bumi. Setiap bangsa wajib mengelola sumber daya alam untuk kepentingan kesejahteraan maupun keamanan. Hal tersebut menjadi penting untuk menjaga agar tidak terjadi ketimpangan antara perkembangan potensi alam dengan jumlah penduduk, baik secara nasional maupun di dalam konteks dunia (global). Karena hal tersebut dapat membahayakan ketahanan nasional.
c.       keadaan dan kemampuan penduduk
penduduk merupakan manusia yang tinggal di suatu tempat atau wilayah. Yang termasuk di dalam masalah penduduk antara lain : jumlah penduduk, komposisi penduduk, dan distribusi penduduk. Masalah penduduk ini pada umumnya dikaitkan dengan pencapaian tingkat kemakmuran (kesejahteraan dan keamanannya). Ada faktor positif dan negatif dari keadaan dan kemampuan penduduk yang langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi ketahanan nasional.
sedangkan aspek sosial (pancagatra) meliputi :
a.       Ideologi.
Suatu bangsa memerlukan landasan falsafah bagi kelangsungan hidupnya yang sekaligus berfungsi sebgai dasar dan cita-cita nasional yang hendak dicapai. Bangsa Indonesia memiliki falsafah Negara yang kita kenal dengan pancasila yang lahir dari nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Makin tinggi kesadaran dan ketaatan suatu bangsa mengamalkan ideologi negaranya, maka semakin tinggi pula tingkat ketahanan nasional dibidang ideologinya.
b.      Politik
Masalah politik yang kita maksudkan di sini dalam konteksnya dengan Negara. Pusat kekuasaan suatu Negara berada pada pemerintahannya, maka perjuangan memperoleh kekuatan berubah menjadi perjuangan mengurusi pemerintah.
Jika dianaligikan dengan ketahanan nasional, maka ketahanan nasional dibidang politik berarti suatu kondisi dinamik suatu bangsa, yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional di dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup politik bangsa dan Negara.
Bagi Negara berkembang seperti Indonesia, maka bidang politikmasih banyak masalah yang harus dihadapi. Kesadaran nasional yang masih perlu ditingkatkan, kwalitas pertisipasi rakyat yang masih belum bersifat nasional, serta dibutuhkan inisiatif pemerintah yang memadai, agar terjadi keseimbangan dan keserasian. Maka tingkat ketahanan politik dapat diukur dengan kemampuan suatu sistem politik dalam menghadapi dan menanggulangi problemnya.
c.       Ekonomi
Ketahanan nasional dibidang ekonomi merupaka suatu kondisi dinamik suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional didalam menghadapi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan yang membahayakan kehidupan ekonomi bangsa dan Negara.
Oleh karena itu untuk ketahanan nasional dibidang ekonomi ini diperlukan pembinaan ekonomi yang pada dasarnya adalah menentukan kebijaksanaan ekonomi dan pembinaan faktor produksi serta pengolahannya di dalam produksi dan distribusi serta pengelolaanya di dalam distribusi barang dan jasa, baik di dalam negeri maupun didalam hubungannya dengan luar negeri.
d.      Sosial budaya
Faktor yang mempengaruhi ketahanan nasioanl dibidang sosial budaya adalah tradisi. Tradisi bangsa adalah seluruh kepercayaan, anggapan dan tingkah laku yang terlembagakan yang diwariskan dan diteruskan dari generasi kegenerasi serta memberikan suatu bengsa sistem nilai dan sistem norma untuk menjawab tantangan setiap tahap perkembangan sosial. Tradisi berisfat dinamis dapat membantu ketahanan nasional, tetapi tradisionalisme yang sikap atau pandangan memuji secara berlebihan masa kehendaknya dapat kita tinggalkan.
e.       Militer HANKAM
Pertahanan kemanan adalah daya upaya rakyat dengan angkatan bersenjata sebagai inti dan merupakan salah satu fungsi utama pemerintah Negara dalam menegakkan ketahanan nasional dengan tujuan mencapai keamanan bangsa dan Negara, serta kemampuan perjuangannya dilaksanakan dengan menyusun, mengerahkan dan menggerakkan seluruh potensi dan kekuatan masyarakat dalam seluruh bidang kehidupan nasional secara terintegrasi dan terkoordinasi.
Ketahanan nasioanal dibidang HANKAM merupakan suatu kondisi dinamis suatu bangsa yang berisi kemampuan mengembangkan kekuatan nasional di dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan yang membahayakan pertahanan dan keamanan bangsa dan Negara.
C.     Upaya Indonesia dalam Mencapai Perdamaian Dunia
Sejak dahulu Indonesia selalu aktif dalam upaya mencapai suatu perdamaian dunia, geostrategi Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia terbentuk dalam sistem poltik luar negeri yang diterapkan di Indonesia. Dasar hukum pelaksanaan politik luar negeri Republik Indonesia tergambarkan secara jelas di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea I dan alinea IV. Alinea I menyatakan “bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”. Pada alinea IV dinyatakan bahwa “dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Dari dua kutipan di atas, jelaslah bahwa politik luar negeri RI mempunyai landasan atau dasar hukum yang sangat kuat, karena diatur di dalam Pembukaan UUD 1945. Selain dalam pembukaan terdapat juga dalam beberapa pasal contohnya pasal 11 ayat 1, 2,3 dan  pasal 13 ayat 1,2,3.
1.      Pasal 11 UUD 1945
a).      Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
b).     Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
c).      Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
2.      Pasal 13 UUD 1945
a)      Presiden mengangkat duta dan konsul.
b)     Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
c)      Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa rumusan yang ada pada alinea I dan alinea IV Pembukaan UUD 1945 merupakan dasar hukum yang sangat kuat bagi politik luar negeri Republik Indonesia. Dari rumusan tersebut, kita belum mendapatkan gambaran mengenai makna politik luar negeri yang bebas aktif. Karena itu dalam uraian ini akan dikutip beberapa pendapat mengenai pengertian bebas dan aktif. Menurut A.W Wijaya Bebas artinya tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh suatu politik negara asing atau oleh blok negara-negara tertentu, atau negara-negara adikuasa (super power). Aktif artinya dengan sumbangan realistis giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain.
Dalam konteks pada masa sekarang pengertian bebas aktif seperti yang dijelaskan di atas sudah tidak relevan lagi mengingat pada masa sekarang sudah tidak ada lagi blok barat maupun blok timur. Namun system politik luar negeri tetap menganut system politik luar negeri bebas aktif artinya apa bahwa Indonesia selalu mau bekerja sama dengan Negara manapun serta Indonesia tetap aktif dalam usaha mewujudkan perdamaian dunia.
Berbagai usaha dilakukan oleh Indonesia dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia antara lain : Indonesia sebagai anggota OIC (Organization Islamic Conference) menjadi pendorong bagi perdamaian di Timur Tengah khususnya mendukung Palestina sebagai negara merdeka dari pendudukan zionisme Israel. Indonesia juga menjadi tuan rumah dan pemrakarsa Konferensi Internasional Ulama sedunia pada bulan April 2007 di Bogor.
Disini para ulama sedunia menyuarakan penghentian kekerasan di Irak, Lebanon dan Palestina. Pertemuan itu mengeluarkan pernyataan agar Amerika Serikat tidak menjadi pemecah-belah umat Islam di Timur Tengah yang ditenggarai para ulama sebagai alasan tidak terselesaikannya perdamaian di dunia Arab. Indonesia juga mempromosikan Islam yang moderat, toleran, solidaritas, serta meningkatan dialog lintas budaya dan peradaban, karena pada saat ini masyarakat internasional salah persepsi bahwa penyerangan yang dilakukan oleh segelintir orang muslim terhadap kepentingan barat dalam bentuk teror dipahami sebagai benturan antar peradaban, tapi melainkan terjadi karena ketidakadilan dan ketimpangan sosial di dunia.
Peran Indonesia dalam hal HAM yaitu, telah meratifikasi Konvenan Internasional  tentang Hak ekonomi sosial dan budaya dan Konvenan internasional tentang hak Sipil dan politik. Kemudian, kepercayaan Internasional kepada Indonesia menjadikan Indonesia sebagai ketua Komisi HAM tahun 2006 dan terpilih kembali menjadi Dewan HAM dalam periode satu tahun 2006-2007. tetapi sangat disayangkan karena Indonesia sendiri belum menegakkan HAM  secara tegas. Hal itu terkait dengan belum terungkapnya kasus-kasus seperti, Tragedi Tanjung Priok, Talangsari, kerusuhan Mei 1998, tragedi Semanggi dan kematian aktivis HAM (Munir).
Di badan PBB Indonesia terpilih bersama Qatar dari kawasan Asia menjadi DK tidak tetap di PBB, namun Indonesia tidak menunjukkan Independensinya dengan ikut menyetujui sanksi terhadap Iran yang dituduh Amerika Serikat (AS) mengoperasikan reaktor nuklir untuk membuat senjata nuklir yang dirasa AS akan mengancam keamanan negerinya. Saya berpendapat Indonesia melakukan itu karena mendapat tekanan dari AS dimana kepentingan nasional Indonesia banyak bergantung kepada AS. Sebagai anggota PBB Indonesia juga telah banyak ikut serta dalam Peace Keeping Operationsalah satunya di Lebanon setelah penyerangan Israel baru-baru ini. Dibidang pertahanan Indonesia telah menjajaki kerjasama dalam bidang produksi senjata dengan India dalam pertemuan Komite Bersama Kerja Sama Pertahanan RI-India di Jakarta, 12-14 Juni 2007, yang diharapkan Indonesia mampu menciptakan alat utama sistem persenjataan secara mandiri yang diperlukan dalam menjaga kedaulatan negara dari ancaman pihak luar. Pembelian pesawat tempur dan kapal selam Rusia juga ditempuh agar tidak tergantung dengan negara Barat khususnya Amerika Serikat
Semua peran internasional Indonesia diatas merupakan poin penting untuk meningkatkan kepercayaan kepada masyarakat internasional dalam ikut menyelesaikan masalah internasional. Bila masyarakat internasional telah hormat dan segan kepada Indonesia, diyakini pihak-pihak luar enggan mengusik Indonesia. Dengan modal kepercayaan itulah Indonesia akan mempunyai nilai tawar yang tinggi untuk mencapai kepentingan nasional dalam hubungannya dengan negara lain dan bangsa Indonesia dapat menentukan nasibnya sendiri tanpa didikte pihak lain. Peran Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia merupakan amanah dari pembukaan UUD 1945, yaitu ikut mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Harsawaskita, A. 2007. “Great Power Politics di Asia Tengah: Suatu Pandangan Geopolitik”, dalam Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional. Bandung: Graha Ilmu.
Sumarsono,S,et.al.2001. “Pendidikan Kewarganegaraan”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hidayat, I.Mardiyono. 1983. “Geopolitik, Teori dan Strategi Politik dalam Hubungannya dengan Manusia, Ruang dan Sumber Daya Alam.” Surabaya: Usaha Nasional.
Endang Saelani Sukarya, dkk. 2002. “Geostrategi Indonesia,”Jakarta: PT.Kuaternita Adidarma.
Suryohadiprojo,Sayidiman,2001,; Integrasi Bangsa”, Jurnal Ketahanan Nasional, Program StudiKetahanan Nasional S.Ps-UGM, Yogyakarta
[2]   Endang Saelani Sukarya, dkk, Geostrategi Indonesia (Jakarta: PT.Kuaternita Adidarma, 2002), hal.41-42.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......6
PANCASILA DALAM KEISLAMAN DAN KEINDONESIAAN
Kompas..Selasa, 16 Mei 2017 | 19:18 WIB
Oleh: Salahuddin Wahid
Di dalam BPUPKI (Mei-Juni 1945), muncullah pertentangan antara keindonesiaan dan keislaman, yakni ketika kalangan ”nasionalis Islam” mengusulkan dasar negara Islam dan kalangan ”nasionalis Pancasila” mengusulkan dasar negara Pancasila. Komprominya ialah ”Piagam Jakarta”, yang di dalamnya terkandung dasar negara Pancasila dengan sila pertama ”Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”.
Ternyata kompromi itu masih ditolak kalangan ”non-Islam” pada 17 Agustus 1945. Maka, para tokoh Islam dengan lapang dada menyetujui dicoretnya anak kalimat ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menyetujui rumusan: ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Itulah keberhasilan awal dari upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Keberhasilan kedua upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman ialah ketika para ulama di bawah pimpinan KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad (22 Oktober 1945), yang mengilhami dan mendorong para pemuda Muslim untuk bertempur melawan tentara Sekutu pada 10 November 1945. Jihad, sebuah istilah agama, digunakan untuk perjuangan bersifat kebangsaan.
Para tokoh Islam berhasil dalam perjuangan mendirikan Departemen Agama pada Januari 1946. Itu adalah keberhasilan ketiga upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Pada 1951, Menteri Agama KH A Wahid Hasyim dan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Bahder Johan (keduanya dari Partai Masyumi) membuat nota kesepahaman tentang pendirian madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah. Ini adalah keberhasilan keempat dalam memadukan keindonesiaan dan keislaman, yang memberi tempat bagi pendidikan Islam di dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan Islam dalam bentuk pesantren sebenarnya sudah aktif 500 tahun sebelum Belanda mendirikan sekolah di Hindia Belanda pada 1840, yang menjadi cikal bakalpendidikan nasional Indonesia.
A.    Menerima asas Pancasila
Pertentangan antara keindonesiaan dan keislaman muncul kembali ketika partai-partai Islam (Masyumi, Partai NU, PSII, Perti, AKUI) memperjuangkan dasar negara Islam dalam Konstituante pada 1956-1959. Perjuangan itu gagal karena kalah dalam pemungutan suara.
Pertentangan antara keindonesiaan dan keislaman berlanjut dalam Pemilu 1971, ketika partai-partai Islam (Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti) berkampanye untuk memperjuangkan dasar negara Islam. ABRI dan aparat pemerintah Orde Baru berjuang untuk mengalahkan partai-partai Islam dengan segala cara. Kursi yang diperoleh partai-partai Islam jauh di bawah jumlah kursi pada Pemilu 1955. Berarti kedudukan partai-partai Islam di dalam DPR amat lemah.
Pada 1973 dilakukan pembahasan terhadap RUU Perkawinan, yang beberapa pasal di dalamnya dianggap oleh para ulama bertentangan dengan hukum Islam. Yang paling penting ialah Pasal 2, yang rumusan awalnya ialah ”perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut UU ini”. Syuriah PBNU yang dipimpin Rais Aam KH Bisri Syansuri (murid KH Hasyim Asy’ari) menolak rumusan tersebut dan mengusulkan supaya diganti menjadi ”perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”. Kalangan non-Islam tentu saja menolak usul tersebut karena hal itu berarti menerima syariat Islam yang partikular ke dalam sistem perundang-undangan kita.Presiden Soehartomenyetujui usulan para ulama itu. Ini adalah keberhasilan kelima dalam upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Pemerintah pada awal 1980-anberusaha supaya Pancasila menjadi satu-satunya asas bagi parpol dan ormas yang ada di Indonesia. Menghadapi situasi seperti di atas, Syuriah PBNU membentuksebuah tim untuk mengkaji ”hubungan antara Islam dan Pancasila”. Tim terdiri atas sejumlah ulama mumpuni yang dipimpin KH Ahmad Siddiq, alumnus Pesantren Tebuireng yang pernah mengaji langsung kepada KH Hasyim Asy’ari. Berdasar dokumen ”Hubungan Islam Pancasila” yang disusun tim di atas, Muktamar NU 1984 di Situbondo memutuskan untuk menerima secara resmi Pancasila sebagai dasar negara. Langkah itu lalu diikuti oleh PPP dan semua ormas Islam, kecuali beberapa ormas yang jumlahnya amat sedikit. Ini adalah keberhasilan keenam dari upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Pada 1989, DPR membahas RUU Peradilan Agama sebagai lanjutan dari UU No 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kembalimuncul konflik antara keindonesiaan dan keislaman sehingga terjadi perdebatan panas antara yang menyetujui dan menolak RUU tersebut. Pada 29 Desember 1989, RUU tersebut disetujui menjadi UU No 7/1989. Muktamar NU 1989 di Pesantren Krapyak DI Yogyakarta menghargai pengesahan UU tersebut. Ini adalah keberhasilan ketujuh dari upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Setelah itu, masih terdapat banyak lagi keberhasilan dalam memadukan keindonesiaan dan keislaman, seperti UU Perbankan Syariah, UU Haji, dan UU Wakaf.Selain itu, UU Sistem Pendidikan Nasional (2003) memasukkan pesantren ke dalam nomenklatur pendidikan Indonesia sehingga memberikan peluang lebih luas bagi pesantren untuk mengembangkan diri. Di dalam masyarakat kini tampak peningkatan minat masyarakat untuk mengirim siswa ke pesantren dan juga minat untuk mendirikan pesantren. Jumlah pesantren yang pada 1999 hampir 10.000 kini mendekati angka 30.000, yang keseluruhannya adalah milik swasta.
B.     Kondisi mutakhir.
Saat ini ada gejala munculnya kembali konflik antara keindonesiaan dan keislaman. Gejala itu terjadi dalam kaitan pemilihan gubernur DKI Jakarta. Ada kelompok yang menganggap bahwa merekalah yang ”paling Islam” dan sebaliknya juga ada kelompok yang menganggap bahwa merekalah yang ”paling Indonesia”. Yang memilih Ahok-Djarotdianggap anti-Islam dan munafik, sedangkan yang memilih Anies-Sandi dianggap anti-Indonesia, intoleran, dan anti-kebinekaan. Kedua anggapan itu keliru.
Kalau kita pelajari kembali proses penyusunan UUD pada 1945, ada keinginan tokoh-tokoh Islam supaya presiden RI adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam. Setelah melalui musyawarah, tokoh-tokoh Islam yang menyusun UUD menyetujui bahwa syarat ”harus beragama Islam” itu dibatalkan. Kesediaan tokoh dan umat Islam menghapus syarat harus beragama Islam bagi presiden sebenarnya sudah menunjukkan toleransi mereka.
Akan tetapi, mereka yang tidak memilih non-Muslim karena alasan keagamaan tidak bisa dianggap sebagai orang yang tidak toleran atau melanggar UUD atau merusak kebinekaan. Itu didasarkan pada Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945. Yang perlu dijaga ialah cara menyampaikan pendapat itu, jangan sampai memakai bahasa yang menyinggung atau mengandung nada kebencian. Juga perlu diperhatikan tempat dan waktu dalam menyampaikan pendapat tersebut.
Sebenarnya konflik dalam kaitan pemilihan gubernur DKI Jakarta bukanlah antara umat Islam dan umat non-Islam. Akan tetapi, justru terjadi antara kelompok dalam umat Islam: antara yang menyetujui calon non-Muslim dan yang menolak calon non-Muslim. Perbedaan pandangan itu terjadi karena perbedaan penafsiran terhadap Surat Al-Maidah Ayat 51 dan sejumlah surat lain.
Di dalam kalangan Islam sejak abad pertama Hijriah sudah terdapat dua aliran besar dalam menafsirkan ayat-ayat suci. Aliran pertama berpendapat bahwa syariat Islam bersifat dogmatis dengan berpegang pada teks nash murni tanpa menggunakan potensi akal. Tokoh utama aliran ini adalah Abdullah bin Umar, Ibnu Abbas, Amr bin Ash. Aliran kedua berpendapat bahwa syariat itu bersifat rasional, maka dalam menafsirkan teks suci, kita perlu mengoptimalkan penggunaan potensi akal. Tokoh-tokohnya ialah Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Khattab, dan Ali bin Abi Thalib. Menyikapi adanya dua kelompok seperti di atas, kedua pihak harus saling menghormati pilihan masing-masing. Tidak perlu saling menyalahkan, saling menyerang, atau saling mengejek.
Konflik keindonesiaan dan keislaman itu mungkin meluas pada Pilkada 2018. Kalau pada Pilpres 2019 konflik semacam itu masih terjadi, hal itu berpotensi mengancam persatuan Indonesia. Perlu ada upaya untuk meredamnya. Perlu dilakukan dialog antarkelompok di dalam Islam maupun dengan kalangan agama lain untuk meredamnya. Dalam dialog itu perlu dibahas dengan rinci apa yang dimaksud dengan ”politisasi agama”, apa yang dimaksud dengan ”isu SARA” (suku, agama, ras, dan antargolongan). Dialog itu harus dilakukan dengan hati dan kepala dingin supaya dapat menghasilkan kesepakatan yang bisa diikuti dalam praksis sehari-hari. Memang perlu waktu yang cukup untuk bisa mendinginkan suasana.
Pertanyaannya: siapa pihak yang akan memprakarsai dialog itu dan siapa tokoh yang akan mewakili kedua pihak? Berapa jumlahnya? Kapan saat yang tepat untuk memulai dialog? Di mana dialog itu diadakan? Pihak yang memprakarsai dialog ialah pihak yang dapat diterima oleh kedua kelompok. Ramadhan dan Syawal adalah saat yang tepat untuk mengadakan dialog. Tempatnya harus mendapat persetujuan kedua kelompok. Gedung MPR dan rumah di Jalan Imam Bonjol tempat para pendiri merumuskan naskah proklamasi pada Agustus 1945 dapat dijadikan alternatif tempat dialog diadakan.
Dalam dialog itu harus disampaikan secara jelas dan terbuka apa saja keinginan kedua kelompok dan apa saja yang tidak diinginkan oleh kedua kelompok. Sejumlah keberhasilan memadukan keindonesiaan dan keislaman yang telah menjadi modal berharga bangsa Indonesia harus menjadi acuan di dalam dialog tersebut. Kelompok yang seusai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap Ahok mengeluarkan seruan untuk menjaga keindonesiaan perlu memahami bahwa yang juga perlu dijaga adalah keterpaduan keindonesiaan dan keislaman karena itu adalah faktor utama persatuan Indonesia.
Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "
Keindonesiaan dan Keislaman".
Editor: Krisiandi
Sumber: 
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....7
PERANG DUNIA I DAN II
Rabu, 21 November 2012
makalah lengkap perang dunia 1
A.      Latar Belakang
Pada abad ke-19, kekuatan-kekuatan besar Eropa berupaya keras mempertahankan keseimbangan kekuatan di seluruh Eropa, sehingga pada tahun 1900 memunculkan jaringan aliansi politik dan militer yang kompleks di benua ini.] Berawal tahun 1815 dengan Aliansi Suci antara Prusia, Rusia, dan Austria. Kemudian, pada Oktober 1873, Kanselir Jerman Otto von Bismarck menegosiasikan Liga Tiga Kaisar (Jerman: Dreikaiserbund) antara monarki Austria-Hongaria, Rusia, dan Jerman. Perjanjian ini gagal karena Austria-Hongaria dan Rusia tidak sepakat mengenai kebijakan Balkan, sehingga meninggalkan Jerman dan Austria-Hongaria dalam satu aliansi yang dibentuk tahun 1879 bernamaAliansi Dua. Hal ini dipandang sebagai metode melawan pengaruh Rusia diBalkan saat Kesultanan Utsmaniyahterus melemah.[Pada tahun 1882, aliansi ini meluas hingga Italia dan menjadi Aliansi Tiga.Setelha 1870, konflik Eropa terhindar melalui jaringan perjanjian yang direncanakan secara hati-hati antara Kekaisaran Jerman dan seluruh Eropa yang dirancang oleh Bismarck. Ia berupaya menahan Rusia agar tetap di pihak Jerman untuk menghindari perang dua front dengan Perancis dan Rusia. Ketika Wilhelm IInaik tahta sebagai Kaisar Jerman(Kaiser), Bismarck terpaksa pensiun dan sistem aliansinya perlahan dihapus. Misalnya, Kaiser menolak memperbarui Perjanjian Reasuransidengan Rusia pada tahun 1890. Dua tahun kemudian, Aliansi Perancis-Rusiaditandatangani untuk melawan kekuatan Aliansi Tiga. Pada tahun 1904, Britania Raya menandatangani serangkaian perjanjian dengan Perancis, Entente Cordiale, dan pada 1907, Britania Raya dan Rusia menandatangani Konvensi Inggris-Rusia. Meski perjanjian ini secara formal tidak menyekutukan Britania Raya dengan Perancis atau Rusia, mereka memungkinkan Britania masuk konflik manapun yang kelak melibatkan Perancis dan Rusia, dan sistem penguncian perjanjian bilateral ini kemudian dikenal sebagai Entente Tiga.
Kekuatan industri dan ekonomi Jerman tumbuh pesat setelahpenyatuan dan pendirian Kekaisaranpada tahun 1871. Sejak pertengahan 1890-an sampai seterusnya, pemerintahan Wilhelm II memakai basis industri ini untuk memanfaatkan sumber daya ekonomi dalam jumlah besar untuk membangun Kaiserliche Marine (Angkatan Laut Kekaisaran Jerman), yang dibentuk oleh Laksamana Alfred von Tirpitz, untuk menyaingi Angkatan Laut KerajaanBritania Raya untuk supremasi laut dunia.[20] Hasilnya, setiap negara berusaha mengalahkan negara lain dalam hal kapal modal. Dengan peluncuran HMS Dreadnought tahun 1906, Imperium Britania memperluas keunggulannya terhadap pesaingnya, Jerman. Perlombaan senjata antara Britania dan Jerman akhirnya meluas ke seluruh Eropa, dengan semua kekuatan besar memanfaatkan basis industri mereka untuk memproduksi perlengkapan dan senjata yang diperlukan untuk konflik pan-Eropa. Antara 1908 dan 1913, belanja militer kekuatan-kekuatan.
B.      Pembahasan Perang Dunia I
Strategi Blok Sentral mengalami miskomunikasi. Jerman telah berjanji mendukung invasi Austria-Hongaria ke Serbia, namun penafsiran maksudnya berbeda. Rencana penempatan pasukan yang sebelumnya diuji telah diganti pada awal 1914, namun penggantian tersebut tidak pernah diuji dalam latihan. Para pemimpin Austria-Hongaria yakin Jerman akan melindungi perbatasan utaranya dari serbuan Rusia.[30] Meski begitu, Jerman mengharapkan Austria-Hongaria mengarahkan sebagian besar tentaranya ke Rusia, sementara Jerman menangani Perancis. Kebingungan ini mendorong Angkatan Darat Austria-Hongariamembagi pasukannya antara front Rusia dan Serbia.
Pada tanggal 9 September 1914,Septemberprogramm, sebuah rencana memungkinkan yang menyebutkan tujuan perang tertentu Jerman dan persyaratan yang dipaksakan Jerman terhadap Blok Sekutu, dibuat olehKanselir Jerman Theobald von Bethmann-Hollweg. Rencana ini tidak pernah dilaksanakan secara resmi.
Sejumlah pertempuran pertama dalam perang melibatkan kekuatan kolonial Britania, Perancis, dan Jerman di Afrika. Tanggal 7 Agustus, tentara Perancis dan Britania menyerbu protektorat Togoland Jerman. Tanggal 10 Agustus, pasukan Jerman di Afrika Barat Daya menyerang Afrika Selatan; pertempuran sporadis dan sengit berlanjut sampai akhir perang. Pasukan kolonial Jerman di Afrika Timur Jerman, dipimpin Kolonel Paul Emil von Lettow-Vorbeck, melakukan kampanye peperangan gerilya selama Perang Dunia I dan baru menyerah dua minggu setelah gencatan senjata diberlakukan di Eropa.
Austria menyerbu dan memerangi pasukan Serbia pada Pertempuran Cerdan Pertempuran Kolubara yang dimulai tanggal 12 Agustus. Sampai dua minggu berikutnya, serangan Austria dipatahkan dengan kerugian besar, yang menandakan kemenangan besar pertama Sekutu dalam perang ini dan memupuskan harapan Austria-Hongaria akan kemenangan mulus. Akibatnya, Austria harus menempatkan pasukan yang memadai di front Serbia, sehingga melemahkan upayanya membuka perang dengan Rusia.[32]Kekalahan Serbia dalam invasi Austria-Hongaria tahun 1914 tergolong sebagai kemenangan terbalik besar dalam abad terakhir.
Pada awal pecahnya Perang Dunia Pertama, angkatan darat Jerman (di sebelah barat terdiri dari tujuh pasukan lapangan) melaksanakan versi modifikasi Rencana Schlieffen, yang dirancang untuk menyerang Perancis secara cepat melalui Belgia yang netral sebelum berbelok ke selatan untuk mengepung pasukan Perancis di perbatasan Jerman.[10]. Karena Perancis telah menyatakan bahwa mereka akan "bertindak sebebasnya andai terjadi perang antara Jerman dan Rusia", Jerman memperkirakan kemungkinan serangan di dua front. Jika terjadi hal seperti itu, Rencana Schlieffen menyatakan bahwa Jerman harus mencoba mengalahkan Perancis secara cepat (seperti yang terjadi pada Perang Perancis-Prusia1870-71). Rencana ini menyarankan bahwa untuk mengulangi kemenangan cepat di barat, Jerman tidak usah menyerang melalui Alsace-Lorraine (yang memiliki perbatasan langsung di sebelah barat sungai Rhine), tetapi mencoba memutuskan Paris secara cepat dari Selat Inggris (terputus dengan Britania Raya). Kemudian pasukan Jerman dipindahkan ke timur untuk menyerbu Rusia. Rusia diyakini membutuhkan persiapan lama sebelum bisa menjadi ancaman besar bagi Blok Sentral.
Jerman ingin bergerak bebas melintasi Belgia (dan Belanda juga, meski ditolak Kaiser Wilhelm II) untuk bertemu Perancis di perbatasannya. Jawaban dari Belgia netral tentu saja "tidak". Jerman kemudian merasa perlu menyerbu Belgia, karena inilah rencana satu-satunya yang ada andai terjadi perang dua front di Jerman. Perancis juga ingin menggerakkan tentara mereka melintasi Belgia, tetapi Belgia menolak untuk menghindari pecahnya perang apapun di tanah Belgia. Pada akhirnya, setelah serbuan Jerman, Belgia mencoba menggabungkan pasukan mereka dengan Perancis (namun sebagian besar pasukan Belgia mundur ke Antwerpen tempat mereka dipaksa menyerah ketika semua harapan bantuan pupus).
Rencana ini meminta agar sisi kanan Jerman bergerak ke Paris, dan awalnya Jerman berhasil, terutama pada Pertempuran Frontiers (14–24 Agustus). Pada 12 September, Perancis, dengan bantuan dari pasukan Britania, menghambat pergerakan Jerman ke timur Paris padaPertempuran Marne Pertama (5–12 September) dan mendorong pasukan Jerman 50 km ke belakang. Hari-hari terakhir pertempuran ini menandakan akhir dari peperangan bergerak di barat.[10] Serangan Perancis ke Alsace Selatan, dimulai tanggal 20 Agustus dengan Pertempuran Mulhouse, mengalami sedikit kesuksesan.
Di sebelah timur, hanya satu pasukan lapangan, yaitu pasukan ke-8, yang bergerak cepat melalui kereta api melintasi Kekaisaran Jerman. Pasukan yang dulunya cadangan di barat ini dipimpin oleh Jenderal Paul von Hindenburg untuk mempertahankanPrusia Timur, setelah berhasil melakukan serbuan awal ke Rusia dengan dua unit pasukan. Jerman mengalahkan Rusia dalam serangkaian pertempuran yang secara kolektif disebut Pertempuran TannenbergPertama (17 Agustus – 2 September). Akan tetapi, invasi Rusia yang gagal lebih disebabkan oleh berhentinya serangan Jerman di barat dan kekalahan taktis oleh Angkatan Darat Perancis di Marne. Pasukan Jerman semakin lelah dan pasukan cadangannya dipindahkan untuk menangani invasi ke Rusia. Staf Jenderal Jerman di bawah JenderalHelmuth von Moltke yang Muda juga telah memperhitungkan bahwa pemanfaatan transportasi tentara cepat melalui kereta api tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan di luar Kekaisaran Jerman. Blok Sentral gagal mendapatkan kemenangan cepat di Perancis dan terpaksa berperang di dua front. Pasukan Jerman mengambil posisi defensif yang baik di dalam Perancis dan berhasil melumpuhkan mobilisasi 230.000 tentara Perancis dan Britania secara permanen. Meski begitu, masalah komunikasi dan keputusan komando yang bisa dipertanyakan menggagalkan impian kemenangan awal Jerman
Selandia Baru menduduki Samoa Jerman (kemudian Samoa Barat) pada tanggal 30 Agustus 1914. Tanggal 11 September, Pasukan Ekspedisi Laut dan Militer Australia mendarat di pulauNeu Pommern (kemudian Britania Baru), yang merupakan wilayah Nugini Jerman. Tanggal 28 Oktober, kapal jelajah SMS Emden menenggelamkankapal jelajah Jerman Zhemchug padaPertempuran Penang. Jepang merebt koloni Mikronesia Jerman dan, setelahPengepungan Tsingtao, pelabuhan batu bara Jerman di Qingdao di semenanjung Shandong, Cina. Dalam beberapa bulan, pasukan Sekutu telah merebut semua teritori Jerman di Pasifik; hanya pos dagang terisolasi dan sedikit wilayah di Nugini yang bertahan.
Taktik militer sebelum Perang Dunia I gagal menyamai kemajuan teknologi. Kemajuan ini memungkinkan terciptanya sistem pertahanan canggih yang tidak mampu disamai taktik militer lama sepanjang perang. Kawat berduri merupakan penghalang efektif terhadap pergerakan infanteri massal.Artileri, jauh lebih mematikan daripada tahun 1870-an, ditambah senjata mesin, menjadikan pergerakan di daratan terbuka sangat sulit dilakukan.
 Jerman memperkenalkan gas beracun; teknik ini kelak dipakai oleh kedua pihak, meski tidak pernah terbukti menentukan dalam memenangkan suatu pertempuran. Dampaknya sangat sadis, menyebabkan kematian yang lama dan menyakitkan, dan gas beracun menjadi salah satu hal terburuk yang paling ditakuti dan diingat dalam perang ini.[38] Komandan di kedua sisi gagal mengembangkan taktik mematahkan posisi parit dengan tanpa kerugian besar. Sementara itu, teknologi mulai menciptakan senjata-senjata ofensif baru, seperti tank.
Setelah Pertempuran Marne Pertama (5–12 September 1914), baik pasukan Entente dan Jerman mengawali serangkaian manuver mengepung dalam peristiwa yang disebut "Perlombaan ke Laut". Britania dan Perancis kelak menyadari bahwa mereka menghadapi pasukan parit Jerman dari Lorraine sampai pesisir Belgia.[10] Britania dan Perancis berupaya melakukan serangan, sementara Jerman mempertahankan teritori yang diduduki. Akibatnya, parit-parit Jerman lebih kokoh ketimbang milik musuhnya, parit Inggris-Perancis hanya bersifat "sementara" sebelum pasukan mereka mematahkan pertahanan Jerman.
Kedua sisi mencoba memecah kebuntuan menggunakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tanggal 22 April 1915 padaPertempuran Ypres Kedua, Jerman (melanggar Konvensi Den Haag) memakai gas klorin untuk pertama kalinya di Front Barat. Tentara Aljazair mundur ketika digas sehingga terbentuk celah sepanjang enam kilometer (empat mil) terbuka di lini Sekutu yang segera dimanfaatkan Jerman, mengadakan Pertempuran Kitchener's Wood, sebelum ditutup olehtentara Kanada.[41] Tank pertama dipakai dalam pertempuran oleh Britania pada Pertempuran Flers-Courcelette (bagian dari serangan Somme yang lebih besar) pada tanggal 15 September 1916 dengan sedikit keberhasilan; Perancis memperkenalkan meriam putarRenault FT pada akhir 1917; Jerman memanfaatkan tank-tank Sekutu yang ditangkap dan sejumlah kecil tank mereka sendiri.
Kedua sisi tidak mampu memberi pukulan menentukan selama dua tahun berikutnya. Sekitar 1,1 sampai 1,2 juta tentara pasukan Britania dan jajahannya berada di Front Barat pada satu waktu. Seribu batalion, menempati sektor lini dari Laut Utarasampai Sungai Orne, melakukan sistem rotasi empat tahap selama satu bulan, kecuali sebuah serangan sedang terjadi. Front ini memiliki parit sepanjang 9.600 kilometer (5,965 mil). Setiap batalion menduduki sektornya selama seminggu sebelum kembali ke lini pendukung dan terus ke lini cadangan sebelum seminggu di luar lini, biasanya di wilayah Poperinge atauAmiens.
Sepanjang 1915–17, Imperium Britania dan Perancis mengalami lebih banyak korban daripada Jerman, karena sikap strategi dan taktik yang dipilih oleh sisinya. Secara strategis, saat Jerman hanya melakukan satu serangan tunggal di Verdun, Sekutu melakukan banyak upaya untuk mematahkan lini Jerman.
Pada tanggal 1 Juli 1916,Angkatan Darat Britania Rayamengalami hari paling mematikan dalam sejarahnya, dengan korban 57.470 jiwa, termasuk 19.240 gugur, pada hari pertama Pertempuran Somme. Kebanyakan korban jatuh pada satu jam pertama serangan. Seluruh serangan Somme melibatkan setengah juta prajurit Angkatan Darat Britania.
Serangan Jerman yang terus-menerus di Verdun sepanjang 1916, ditambah Somme (Juli dan Agustus 1916), membawa pasukan Perancis yang lelah di ambang perpecahan. Upaya sia-sia dalam serangan frontal memakan banyak korban bagi Britania dan poilu Perancis dan mendorong terjadinya mutini besar-besaran tahun 1917, setelah Serangan Nivelle (April dan Mei 1917) yang gagal.
Secara taktis, doktrin komandan Jerman Erich Ludendorff berupa "pertahanan elastis" cocok dipakai untuk peperangan parit. Pertahanan ini terdiri dari posisi depan yang minim pertahanan dan posisi utama jauh di belakang jangkauan artileri yang lebih kuat, yang dari situlah serangan balasan cepat dan kuat bisa dilancarkan. 25 Agustus mengakhiri fase kedua pertempuran Flandria. Peristiwa ini memakan banyak korban dari pihak kami ... Pertempuran Agustus mematikan di Flandria dan Verdun membawa tekanan berat bagi tentara Barat. Meski di bawah perlindungan beton, semua tampak kurang kuat menghadapi artileri musuh yang luar biasa. Pada beberapa saat, mereka tidak lagi memiliki ketegasan yang saya, bersama para komandan setempat, harapkan. Musuh berupaya mengadaptasikan diri mereka dengan metode kakmi dalam melakukan serangan balasan ... Saya sendiri mengalami tekanan luar biasa. Suasana di Barat tampak mencegah dilakukannya rencana-rencana kami di manapun. Jumlah korban begitu banyak sehingga kami tidak sempat menguburkan mereka secara layak, dan melebihi semua harapan kami.
Serangan besar lain dilancarkan terhadap lini kami pada tanggal 20 September ... Serangan musuh terhadap pasukan ke-20 berhasil, yang membuktikan superioritas serangan terhadap pertahanan. Kekuatan mereka tidak melibatkan tank; kami melihat mereka begitu tidak nyaman, tetapi terus mengerahkan semuanya. Kekuatan serangan terletak di artileri, dan faktanya artileri kami tidak mampu memberi dampak yang cukup untuk memecah infanteri saat mereka terus bersatu pada saat itu juga.
Pada Pertempuran Arras 1917, satu-satunya keberhasilan besar militer Britania adalah penaklukan Vimy Ridgeoleh Korps Kanada di bawah pimpinanSir Arthur Currie dan Julian Byng. Tentara yang menyerang, untuk pertama kalinya, mampu mengalahkan, bersatu dengan cepat, dan mempertahankan pegunungan yang membatasi dataran Douai yang kaya akan kandungan batu bara.
C.      Perjanjian Damai
Perjanjian Versailles (1919) adalah suatu perjanjian damai yang secara resmi mengakhiri Perang Dunia I antara Sekutu dan Kekaisaran Jerman. Setelah enam bulan negosiasi melalui Konferensi Perdamaian Paris, perjanjian ini akhirnya ditandatangani sebagai tindak lanjut dari perlucutan senjata yang ditandatangani pada bulan November 1918 di Compiègne Forest, yang mengakhiri perseturuan sesungguhnya. Salah satu hal paling penting yang dihasilkan oleh perjanjian ini adalah bahwa Jerman menerima tanggung jawab penuh sebagai penyebab peperangan dan, melalui aturan dari pasal 231-247, harus melakukan perbaikan-perbaikan pada negara-negara tertentu yang tergabung dalam Sekutu.
Negosiasi di antara negara-negara sekutu dimulai pada 7 Mei1919, pada peringatan tenggelamnyaRMS Lusitania. Aturan yang diterapkan terhadap Jerman pada perjanjian tersebut antara lain adalah penyerahan sebagian wilayah Jerman kepada beberapa negara tetangganya, pelepasan koloni seberang lautan danAfrika milik Jerman, serta pembatasan pasukan militer Jerman yang diharapkan dapat menghambat Jerman untuk kembali memulai perang. Karena Jerman tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam negosiasi, pemerintah Jerman mengirimkan protes terhadap hal yang dianggap mereka sebagai sesuatu yang tidak adil, dan selanjutnya menarik diri dari perundingan. Belakangan, menteri luar negeri baru Jerman, Hermann Müller, setuju untuk menandatangani perjanjian pada 28 Juni 1919. Perjanjian ini sendiridiratifikasi oleh Liga Bangsa-Bangsapada tanggal 10 Januari 1920.
D.    Syarat-Syarat Perjanjian
Perjanjian ini menciptakan keadaan kondusif didirikannya Liga Bangsa-Bangsa, sebuah tujuan utama Presiden A.S. Woodrow Wilson. Liga Bangsa-Bangsa dimaksudkan untuk menengahi konflik-konflik internasional dan dengan ini mencegah perang di masa depan. Hanya empat dari “Empatbelas butir” (Fourteen Points) Wilson diwujudkan, karena ia harus berkompromi dengan Clemenceau,Lloyd George dan Orlando pada beberapa butir dan sebagai gantinya dapat mempertahankan butirnya yang “keempatbelas” Liga Bangsa-Bangsa.
Pandangan umum ialah bahwa Clemenceau dari Perancis adalah yang paling bersemangat dalam membalas dendam Jerman, Front Barat perang terutama berada di wilayah Perancis. Perjanjian ini dianggap tidak adil kala itu karena merupakan perdamaian yang didikte oleh para pemenang dan secara keseluruhan menyalahkan perang kepada Jerman. Hal ini sungguh menyederhanakan situasi. Beberapa sejarawan modern berpendapat bahwa perjanjian ini cukup adil karena merefleksikan syarat-syarat berat yang didiktekan kepada Rusia oleh Jerman denganPerjanjian Brest-Litovsk.
DAFTAR PUSTAKA
Imran, Amrin dan Saleh Djamhari. 1999. Sejarah Nasional dan Umum. Jakarta: Depdikbud.
Starlita. 2005. Ensiklopedi Umum untuk Pelajar.
Jakarta: Van Hove. Soebantardjo. 1954. Sari Sejarah Eropa-Amerika ( cetakan II ).
Yogyakarta: Bopkri
Tate, Nicholas. 2002. Perang Dunia ( terjemahan oleh Rahmat Efendi ). Jakarta: Lontar Utama.
Yulianti. 2007. Sejarah Indonesia dan Dunia ( cetakan I ) Bandung: Yrama Widya
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Makalah Benny Permana, SMP Negeri 1 Jatibarang, Indramayu 2014
PERANG DUNIA KE II
Jatibarang, September 2014
A.    Latar Belakang
Perang Dunia I membuat perubahan besar pada peta politik, dengan kekalahan Blok Sentral, termasuk Austria-Hongaria, Jerman, dan Kesultanan Utsmaniyah; dan perebutan kekuasaan oleh Bolshevik di Rusia pada tahun 1917. Sementara itu, negara-negara Sekutu yang menang seperti Perancis, Belgia, Italia, Yunani, dan Rumania memperoleh wilayah baru, dan negara-negara baru tercipta setelah runtuhnya Austria-Hongaria, Kekaisaran Rusia, dan Kesultanan Utsmaniyah.
Meski muncul gerakan pasifis setelah perang, kekalahan ini masih membuat nasionalisme iredentis dan revanchis pemain utama di sejumlah negara Eropa. Iredentisme dan revanchisme punya pengaruh kuat di Jerman karena kehilangan teritori, koloni, dan keuangan yang besar akibat Perjanjian Versailles. Menurut perjanjian ini, Jerman kehilangan 13 persen wilayah dalam negerinya dan seluruh koloninya di luar negeri, sementara Jerman dilarang menganeksasi negara lain, harus membayar biaya perbaikan perang, dan membatasi ukuran dan kemampuan angkatan bersenjata negaranya. Pada saat yang sama, Perang Saudara Rusia berakhir dengan terbentuknya Uni Soviet.
Kekaisaran Jerman bubar melalui Revolusi Jerman 1918–1919 dan sebuah pemerintahaan demokratis yang kemudian dikenal dengan nama Republik Weimar dibentuk. Periode antarperang melibatkan kerusuhan antara pendukung republik baru ini dan penentang garis keras atas sayap kanan maupun kiri. Walaupun Italia selaku sekutu Entente berhasil merebut sejumlah wilayah, kaum nasionalis Italia marah mengetahui janji-janji Britania dan Perancis yang menjamin masuknya Italia ke kancah perang tidak dipenuhi dengan penyelesaian damai. Sejak 1922 sampai 1925, gerakan Fasis pimpinan Benito Mussolini berkuasa di Italia dnegan agenda nasionalis, totalitarian, dan kolaborasionis kelas yang menghapus demokrasi perwakilan, penindasan sosialis, kaum sayap kiri dan liberal, dan mengejar kebijakan luar negeri agresif yang berusaha membawa Italia sebagai kekuatan dunia—"Kekaisaran Romawi Baru".
Di Jerman, Partai Nazi yang dipimpin Adolf Hitler berupaya mendirikan pemerintahan fasis di Jerman. Setelah Depresi Besar dimulai, dukungan dalam negeri untuk Nazi meningkat dan, pada tahun 1933, Hitler ditunjuk sebagai Kanselir Jerman. Setelah kebakaran Reichstag, Hitler menciptakan negara satu partai totalitarian yang dipimpin Partai Nazi.
Parati Kuomintang (KMT) di Tiongkok melancarkan kampanye penyatuan melawan panglima perang regional dan secara nominal berhasil menyatukan Cina pada pertengahan 1920-an, tetapi langsung terlibat dalam perang saudara melawan bekas sekutunya yang komunis. Pada tahun 1931, Kekaisaran Jepang yang semakin militaristik, yang sudah lama berusaha memengaruhi Cina sebagai tahap pertama dari apa yang disebut pemerintahnya sebagai hak untuk menguasai Asia, memakai Insiden Mukden sebagai alasan melancarkan invasi ke Manchuria dan mendirikan negara boneka Manchukuo.
Terlalu lemah melawan Jepang, Cina meminta bantuan Liga Bangsa-Bangsa. Jepang menarik diri dari Liga Bangsa-Bangsa setelah dikecam atas tindakannya terhadap Manchuria. Kedua negara ini kemudian bertempur di Shanghai, Rehe, dan Hebei sampai Gencatan Senjata Tanggu ditandatangani tahun 1933. Setelah itu, pasukan voluntir Cina melanjutkan pemberontakan terhadap agresi Jepang di Manchuria, dan Chahar dan Suiyuan.

B.     Benito Mussolini (kiri) dan Adolf Hitler (kanan)
Adolf Hitler, setelah upaya gagal menggulingkan pemerintah Jerman tahun 1923, menjadi Kanselir Jerman pada tahun 1933. Ia menghapus demokrasi, menciptakan revisi orde baru radikal dan rasis, dan segera memulai kampanye persenjataan kembali. Sementara itu, Perancis, untuk melindungi aliansinya, memberikan Italia kendali atas Ethiopia yang diinginkan Italia sebagai jajahan kolonialnya. Situasi ini memburuk pada awal 1935 ketika Teritori Cekungan Saar dengan sah bersatu kembali dengan Jerman dan Hitler menolak Perjanjian Versailles, mempercepat program persenjataan kembalinya dan memperkenalkan wajib militer.
Berharap mencegah Jerman, Britania Raya, Perancis, dan Italia membentuk Front Stresa. Uni Soviet, khawatir akan keinginan Jerman mencaplok wilayah luas di Eropa Timur, membuat perjanjian bantuan bersama dengan Perancis. Sebelum diberlakukan, pakta Perancis-Soviet ini perlu melewati birokrasi Liga Bangsa-Bangsa, yang pada dasarnya menjadikannya tidak berguna. Akan tetapi, pada bulan Juni 1935, Britania Raya membuat perjanjian laut independen dengan Jerman, sehingga melonggarkkan batasan-batasan sebelumnya. Amerika Serikat, setelah mempertimbangkan peristiwa yang terjadi di Eropa dan Asia, mengesahkan Undang-Undang Netralitas pada bulan Agustus. Pada bulan Oktober, Italia menginvasi Ethiopia, dan Jerman adalah satu-satunya negara besar Eropa yang mendukung tindakan tersebut. Italia langsung menarik keberatannya terhadap tindakan Jerman menganeksasi Austria.
Hitler menolak Perjanjian Versailles dan Locarno dengan meremiliterisasi Rhineland pada bulan Maret 1936. Ia mendapat sedikit tanggapan dari kekuatan-kekuatan Eropa lainnya.[26] Ketika Perang Saudara Spanyol pecah bulan Juli, Hitler dan Mussolini mendukung pasukan Nasionalis yang fasis dan otoriter dalam perang saudara mereka melawan Republik Spanyol yang didukung Soviet. Kedua pihak memakai konflik ini untuk menguji senjata dan metode peperangan baru, berakhir dengan kemenangan Nasionalis pada awal 1939. Bulan Oktober 1936, Jerman dan Italia membentuk Poros Roma-Berlin. Sebulan kemudian, Jerman dan Jepang menandatangani Pakta Anti-Komintern, namun kelak diikuti Italia pada tahun berikutnya. Di cina, setelah Insiden Xi'an, pasukan Kuomintang dan komunis menyetujui gencatan senjata untuk membentuk front bersatu dan sama-sama melawan Jepang.
C.     Perang Dunia Ke II
Selama Perang Dunia II, Jerman menyerbu sebagian besar wilayah Eropa dengan menggunakan taktik baru yang disebut "Blitzkrieg" (perang kilat). Taktik Blitzkrieg mencakup pengerahan pesawat terbang, tank, dan artileri. Pasukan-pasukan ini akan menerobos pertahanan musuh menyusuri front yang sempit. Kekuatan udara menghalangi musuh untuk menutupi celah pertahanan yang lowong. Pasukan Jerman mengepung pasukan lawan dan memaksa mereka untuk menyerah.
Dengan menggunakan taktik Blitzkrieg, Jerman menaklukkan Polandia (diserang pada bulan September 1939), Denmark (April 1940), Norwegia (April 1940), Belgia (Mei 1940), Belanda (Mei 1940), Luksemburg (Mei 1940), Prancis (Mei 1940), Yugoslavia (April 1941), dan Yunani (April 1941). Akan tetapi, Jerman tidak berhasil mengalahkan Inggris Raya, yang terlindungi dari serangan darat oleh Terusan Inggris.
Pasukan Jerman menyerang Uni Soviet pada bulan Juni 1941, menusuk hingga 600 mil lebih ke arah pintu masuk kota Moskwa. Serangan kedua Jerman pada tahun 1942 mengantarkan serdadu Jerman ke tepi Sungai Volga dan kota Stalingrad. Akan tetapi Uni Soviet, bersama Inggris Raya dan Amerika Serikat, yang menyatakan perang terhadap Jerman pada bulan Desember 1941, membalikkan keadaan perang terhadap Jerman.
Di timur, pertempuran perebutan kota Stalingrad terbukti menjadi titik balik yang menentukan. Menyusul kekalahan di Stalingrad pada musim dingin tahun 1942-43, pasukan Jerman mulai melakukan penarikan mundur. Pada bulan April 1945 pasukan Soviet memasuki Berlin. Di barat, serdadu Sekutu mendarat pada tanggal 6 Juni 1944 (yang dikenal dengan D-Day) di Normandia, Prancis. Dua juta lebih serdadu Sekutu meruah ke Prancis. Pada bulan Juli, pasukan Sekutu bergerak maju dari pantai pendaratan Normandia. Sekutu melanjutkan serangan hingga ke Jerman. Pada bulan Maret 1945, pasukan Sekutu melintasi Sungai Rhine dan bergerak maju menuju jantung Jerman.
Jerman Nazi menyerah pada bulan Mei 1945.
D.    Penyebab Perang Dunia Ke II
1.      Penyebab Umum
a.       Kegagalan Liga Bangsa-bangsa (LBB) dalam menciptakan perdamaian dunia. LBB bukan lagi alat untuk mencapai tujuan, tetapi menjadi alat politik negara-negara besar untuk mencari keuntungan. LBB tidak dapat berbuat apa-apa ketika negara-negara besar berbuat semaunya, misalnya pada tahun 1935 Italia melakukan serangan terhadap Ethiopia.
b.      Negara-negara maju saling berlomba memperkuat militer dan persenjataan. Dengan kegagalan LBB tersebut, dunia Barat terutama Jerman dan Italia mencurigai komunisme Rusia tetapi kemudian Rusia mencurigai fasisme Italia dan nasionalis-sosialis Jerman. Oleh karena saling mencurigai akhirnya negara-negara tersebut memperkuat militer dan persenjataannya.
c.       Adanya politik aliansi (mencari kawan persekutuan). Kekhawatiran akan adanya perang besar, maka negara-negara mencari kawan dan muncullah dua blok besar yakni:
1). Blok Fasis, terdiri atas Jerman, Italia, dan Jepang.
2). Blok Sekutu, terdiri atas:
-          Blok demokrasi yaitu Perancis, Inggris, Amerika Serikat, dan Belanda.
-          Blok komunis yaitu Rusia, Polandia, Hongaria, Bulgaria, Yugoslavia, Rumania, dan Cekoslovakia.
d.      Adanya pertentangan-pertentangan akibat ekspansi.
1). Jerman mengumumkan Lebensraumnya (Jerman Raya) yang meliputi Eropa Tengah.
2). Italia menginginkan Italia Irredenta yang meliputi seluruh laut Tengah dan Abyssinia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...