PANCASILA SUMBER NILAI EKONOMI KERAKYATAN
A.
Latar belakang.
Pancasila
mempunyai peran di berbagai bidang, salah satunya dalam bidang ekonomi.
Meskipun dasar negara Indonesia adalah Pancasila, namun ironisnya sistem
perekonomian yang selama ini berlangsung tidaklah bersumber darinya. Setelah
dicengkram sistem ekonomi koamando di era
orde lama yang bercorak sosialisme, berikutnya perekonomian Indonesia menganut
sistem ekonomi pasar yang bercorak kapitalisme di era Orde Baru. Jeratan
kapitalisme pun semakin menguat seiring derasnya paham ekonomi neoliberal yang
datang melalui agen-agen kapitalisme global seperti World Bank dan IMF setelah
Indonesia mengalami krisis moneter.
Pada
kenyataannya, sejak pertengahan 1997 krisis ekonomi yang menimpa Indonesia
masih terasa hingga hari ini. Di tingkat Asia, Indonesia yang oleh sebuah studi
dari The World Bank (1993) disebut sebagai bagian dari Asia miracle economics,
the unbelieveble progress of development, ternyata perekonomiannya tidak lebih
dari sekedar economic bubble, yang mudah sirna begitu diterpa badai krisis
(World Bank, 1993).
Krisis ekonomi
terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia Orde Baru dan Orde Lama yang
dialami sekarang ini telah mencuatkan tuntutan reformasi total dan mendasar
(radically). Bermula dari krisis moneter (depresi rupiah) merambah ke
lingkungan perbankan hingga ke lingkup perindustrian.
Kebijakan
perekonomian Indonesia yang diterapkan tidak membumi, hanya sebatas “membangun
rumah di atas langit” dan akibatnya upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat
menjadi tersingkirkan. Rakyat masih terus menjadi korban kegagalan kebijakan
pemerintah.
Potret
perekonomian Indonesia semakin buram, memperhatikan kebijakan pemerintah yang
selalu “pasrah” dengan Bank Dunia atau pun International Monetary Fund (IMF)
dalam mencari titik terang perbaikan ekonomi Indonesia. Belum lagi menumpuknya
utang luar negeri semakin menghimpit nafas bangsa Indonesia, sampai-sampai
seorang bayi baru lahir pun telah harus menanggung hutang tidak kurang dari 7
juta rupiah.
Jika hingga
saat ini kualitas perekonomian belum menampakkan perubahan yang signifikan,
tidak menutup kemungkinan, akan mendapat pukulan mahadasyat dari arus
globalisasi. Kekhawatiran ini muncul, karena pemerintah dalam proses
pemberdayaan masyarakat lemah masih parsial dan cenderung dualisme, antara
kemanjaan (ketergantungan) pemerintah kepada IMF, sementara keterbatasan
akomodasi bentuk perekonomian masyarakat yang tersebar (diversity of economy
style) di seluruh pelosok negeri tidak tersentuh. Hal ini juga terlihat jelas
pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak proporsional, tidak mencerminkan
model perekonomian yang telah dibangun oleh para Founding Father terdahulu. Hal
ini dapat dilihat pada beberapa kasus, misalnya, pencabutan subsidi di tengah
masyarakat yang sedang sulit mencari sesuap nasi, mengelabuhi masyarakat dengan
raskin (beras untuk rakyat miskin), atau jaring pengaman sosial (JPS) lain yang
selalu salah alamat.
B.
Teori-teori
1.
Pengertian Pancasila.
“Pancasila” berasal dari bahasa sansekerta dari India (bahasa kasta
Brahmana). Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa sansekerta “Pancasila” memiliki
dua macam arti yakni :“panca” artinya lima “syila” artinya batu sendi, alas
atau dasar “syiila” artinya peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau
yang senonoh.[1]
Sehingga dapat
diartikan bahwa Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini
terdiri dari dua kata dari Sansekerta: pañca berarti lima
dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan
pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.[2]
Lima sendi
utama penyusun Pancasila adalah :
Ketuhanan
Yang Maha Esa,
Kemanusiaan
yang adil dan beradab,
Persatuan
Indonesia,
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
Dan tercantum
pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
Peran Pancasila
ada di berbagai bidang diantaranya, hukum, pertahanan keamanan, ekonomi, dan
sosial budaya.
Pengaktualisasian
pancasila dalam bidang ekonomi yaitu dengan menerapkan sistem ekonomi
Pancasila.
Ekonomi
Pancasila merupakan ilmu ekonomi kelembagaan (institutional economics)
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelembagaan Pancasila sebagai ideologi
negara, yang kelima silanya, secara utuh maupun sendiri-sendiri, menjadi
rujukan setiap orang Indonesia yang menekankan pada harmoni mekanisme harga dan
social (sistem ekonomi campuran), bukan pada mekanisme pasar yang bersasaran
ekonomi kerakyatan agar rakyat bebas dari kemiskinan, keterbelakangan,
penjajahan/ketergantungan, rasa was-was, dan rasa diperlakukan tidak adil yang
memosisikan pemerintah memiliki asset produksi dalam jumlah yang signifikan
terutama dalam kegiatan ekonomi yang penting bagi negara dan yang menyangkut
hidup orang banyak. Sehingga perlu pengembangan Sistem Ekonomi Pancasila
sehingga dapat menjamin dan berpihak pada pemberdayaan koperasi serta usaha
menengah, kecil, dan mikro (UMKM). Selain itu ekonomi yang berdasarkan
Pancasila tidak dapat dilepaskan dari sifat dasar individu dan sosial. Manusia
tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain untuk memenuhi semua
kebutuhanya tetapi manusia juga mempunyai kebutuhan dimana orang lain tidak
diharapkan ada atau turut campur.[3]
Jika Pancasila
mengandung 5 asas, maka semua substansi sila Pancasila yaitu :
(1) etika
(2) kemanusiaan
(3) nasionalisme
(4) kerakyatan/demokrasi
(5) keadilan sosial, harus dipertimbangkan dalam model ekonomi yang
disusun.
Kalau sila
pertama dan kedua adalah dasarnya, sedangkan sila ketiga dan keempat sebagai
caranya, maka sila kelima Pancasila adalah tujuan dari Ekonomi Pancasila.
Disinilah
perlunya menengok ulang pemikiran Adam Smith yang 17 tahun sebelum menulis
karyanya Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of
Nations (1776) yang kemudian menjadi “kitab suci” ideologi kapitalisme,
telah menulis The Theory of Moral Sentiments (1759). Di dalam karya
terdahulunya, terdapatlah ajaran asli Bapak Ilmu Ekonomi ini bahwa ilmu ekonomi
sama sekali tidak bisa lepas dari faktor-faktor etika dan moral. Dalam buku
ini, Smith mencoba mengembangkan ilmu ekonomi yang tidak saja bermoral namun
juga mendesain aspek kelembagaannya. Dari sinilah keberadaan Ekonomi
Pancasila paralel dengan pemikiran Smith.
Menurut
Boediono (mantan Menkeu RI), sistem Ekonomi Pancasila dicirikan oleh lima hal
sebagai berikut:
(1) Koperasi
adalah sokoguru perekonomian nasional
(2) Manusia
adalah “economic man” sekaligus “social and religious man”.
(3) Ada
kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme dan kemerataan sosial.
(4) Prioritas
utama kebijakan diletakkan pada penyusunan perekonomian nasional yang tangguh.
(5) Pengandalan
pada sistem desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan ekonomi,
diimbangi dengan perencanaan yang kuat sebagai pemberi arah bagi perkembangan
ekonomi seperti yang dicerminkan dalam cita-cita koperasi.
Dalam
prakteknya, menurut Mubyarto (Kepala PUSTEP UGM), fakultas ekonomi sebagai
gudang pemikiran ilmu ekonomi telah menyumbang 3 dosa dalam pengajarannya yang
berperan memperparah marginalisasi Ekonomi Pancasila, yaitu:
1.
bersifat parsial dalam mengajarkan ajaran ekonom klasik Adam Smith.
Konsep Smith tentang Manusia Sosial (homosocius,tahun 1759) dilupakan atau
tidak diajarkan, sedangkan ajaran berikutnya pada tahun 1776 (manusia
sebagai homoeconomicus) dipuja-puji secara membabi buta.
2.
metode analisis deduktif dari teori ekonomi neoklasik
diajarkan secara penuh, sedangkan metode analisis induktifdiabaikan. Hal
demikian bertentangan dengan pesan Alfred Marshall dan Gustave Schmoller, dua
tokoh teori ekonomi neoklasik, untuk memakai dua metode secara serentak laksana
dua kaki.
3.
ilmu ekonomi menjadi spesialistis dan lebih diarahkan untuk menjadi
ilmu ekonomi matematika. Menurut Kenneth Boulding dalam Economic as A
Science, ilmu ekonomi dapat dikembangkan menjadi salah satu atau gabungan dari
cabang-cabang ilmu berikut: (a) ekonomi sebagai ilmu sosial (social science);
(b) ekonomi sebagai ilmu ekologi (ecological science); (c) ekonomi sebagai ilmu
perilaku (behavioral science); (d) ekonomi sebagai ilmu politik (political
science); (e) ekonomi sebagai ilmu matematika (mathematical science); dan (f)
ekonomi sebagai ilmu moral (moral science)
Sebagai sebuah
gagasan besar, Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi bukan-bukan,
bukan kapitalisme juga bukan sosialisme, menawarkan harapan berupa sistem
perekonomian alternatif yang bersifat komprehensif integral bagi jutaan
masyarakat Indonesia demi mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub
dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945.
Dalam konteks
inilah kemudian diperlukan adanya reformasi tidak saja dalam tataran
implementasi kebijakan perekonomian selama ini, namun juga transformasi pola
pikir dari ekonomi neoliberal yang dominan untuk menjadi lebih berkemanusiaan
dan berkeadilan sosial yang dijiwai nilai-nilai Pancasila. Bukan hal yang
mustahil jika kelak istilah Hattanomicsmenjadi ikon Ekonomi Pancasila dan
bisa menggeser dominasi
perspektif Reagenomicsdan Thatcherisme- ikon utama gagasan
Ekonomi Neoliberal.[4]
Pelaku ekonomi
di Indonesia dalam menjalankan usahanya tidak melakukan persaingan bebas,
meskipun sebagian dari mereka akan mendapat keuntungan yang lebih besar dan
menjanjikan. Hal ini dilakukan karena pengamalan dalam bidang ekonomi harus
berdasarkan kekeluargaan. Jadi interaksi antar pelaku ekonomi sama-sama menguntungkan
dan tidak saling menjatuhkan.
C.
PERAN PANCASILA DIBIDANG EKONOMI
1.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi.
Karena lamanya sistem control kelembagaan berkembang pula usaha
sekaligus sebagai pengusaha, yang didasarkan atas birokrasi dan wibawa keluarga
pengusaha. Kondisi yang demikian itu, jelas tidak berdasarkan nilai Pancasila
yang melerakan kemakmuran pada paradigma demi kesejahteraan seluruh bangsa.
Bangsa sebagai unsur pokok serta subjek dalam negara yang merupakan penjelmaan
sifat kodrat manusia individu makhluk sosial, adalah sebagai satu keluarga
bangsa. Oleh karena itu, perubahan dan pengembangan ekonomi harus diletakkan
pada peningkatan hartkat martabat serta kesejahteraan seluruh bangsa sebagai
satu keluarga. Sistem ekonomi yang berbasis pada kesejahteraan rakyat menurut
Moh.Hatta, adalah merupakan pilar (soko guru) ekonomi Indonesia.[5]
Sistem ekonomi
Indonesia pada masa Orde Baru bersifat “birokratik ototarian” yang ditandai
dengan pemusatan kekuasaan dan partisipasi dalam membuat keputusan nasional
hamper sepenuhnya berada di tangan penguasa bekerjasama dengan kelompok militer
dan kaum teknokrat.[6]
Kebijaksanaan
ekonomi yang selama ini diterapkan yang hanya mendasarkan pada pertumbuhan dan
mengabaikan prinsip nilai kesejahteraan barsama seluruh bangsa, dalam
kenyataannya hanya menyentuh kesejahteraan sekelompok kecil orang bahkan
penguasa.[7]
Dalam
kenyataannya sektor ekonomi yang justru mampu bertahan pada masa dewasa ini
adalah ekonomi kenyataan, yaitu ekonomi yang berbasis pada usaha rakyat. Oleh
karena itu, subsidi yang keluar biasa banyaknya pada kebijaksanaan masa orde
baru hanya dinikmati oleh sebagian kecil orang yaitu oleh sekelompok
konglomerat, sedangkan apabila mengalami kebangkrutan seperti saat ini
rakyatlah yang banyak dirugikan. Oleh karena itu, rekapitalisasi pengusaha pada
masa krisis dewasa ini sama halnya dengan rakyat banyak membantu pengusaha yang
sedang terpuruk.
Langkah yang
strategis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang berbasis pada ekonomi
rakyat yang berdasarkan nilai Pancasila yang mengutamakan kesejahteraan seluruh
bangsa adalah sebagai berikut :
a) Keamanan
pangan dan mengembalikan kepercayaan
b) Program
rehabilitas dan pemulihan ekonomi
c) Transformasi
struktur, guna memperkuat ekonomi rakyat maka perlu diciptakan sistem untuk
mendorong percepatan perubahan struktural (struktural transformation)
transformasi struktural ini meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional
ke ekonomi modern, ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, ekonomi subsistem ke
ekonomi pasar, ketergantungan keada mandiri.
d) Dengan
sistem ekonomi dan mendasarkan nilai pada upaya terwujudnya kesejahteraan
seluruh bangsa maka peningkatan kesejahteraan akan dirasakan oleh sebagian
besar rakyat, sehingga dapt mengurangi kesenjangan ekonomi. [8]
2.
Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi
Dalam dunia
ekonomi boleh dikatakan jarang ditemukan pakar ekonomi yang mendasarkan
pemikiran pengembangan ekonomi atas dasar moralitas kemanusiaan dan Ketuhanan.
Sehingga lazimnya pengembangan ekonomi mengarah pada persaingan bebas, dan
akhirnya yang kuatlah yang menang. Hal ini sebagai implikasi dari perkembangan
ilmu ekonomi pada akhirna abad ke-18 menumbuhkan ekonomi kapitalis.
Atas dasar
kenyataan objektif inilah maka di Eropa pada awal abad ke-19 muncullah
pemikiran sebagai reaksi atas perkembangan ekonomi tersebut yaitu sosialisme
komunisme yang memperjuangkan nasib kaum proletar yang ditindas oleh kaum
kapitalis. Oleh karena itu, kiranya menjadi sangat penting bahkan mendesak
untuk dikembangkan system ekonomi yang mendasarkan pada moralitas humanistik,
ekonomi yang berkemanusiaan.
Atas dasar kenyataan
tersebut maka Mubyarto kemudian mengembangkan ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi
yang humanistic yang berdasarkan pada tujuan demi kesejahteraan rakyat secara
luas. Pengembangan ekonomi bukan hanya mengejar pertumbuhan saja melainkan demi
kemanusiaan, demi kesejahteraan seluruh bangsa. Maka system ekonomi Indonesia
berdasarkan atas kekeluargaan seluruh bangsa. Pengembangan ekonomi tidak bisa
dipisahkan dengan nilai morak kemanusiaan. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa tujuan ekonomi itu sendiri adalah untuk memenuhi kebutuhan
manusia, agar manusia menjadi lebih sejahtera. Oleh karena itu, ekonomi harus
berdasarkan pada kemanusiaan yaitu demi kesejahteraan kemanusiaan ekonomi untuk
kesejahteraan manusia sehingga kita harus menghindarkan diri dari pengembangan
ekonomi yang hanya berdasarkan pada persaingan bebas, monopoli dan lainnya yang
dapat menimbulkan penderitaan pada manusia, menimbulkan penindasan atas manusia
satu dengan yang lainnya.[9]
3.
Ekonomi Pancasila Diteliti Dari Dalam Dan Pelaksanaan Sila-Sila
Pancasila Dalam Bidang Ekonomi.
Dalam prakteknya, menurut Mubyarto (Kepala PUSTEP UGM), fakultas
ekonomi sebagi gudang pemikiran ilmu ekonomi telah mnyumbang 3 dosa dalam
pengajarannya yang berperan memperparah marginalisasi Ekonomi
Pancasila :
(1) Bersifat
parsial dalam mengajarkan ajaran ekonom klasik Adam Smith. Konsep Smith tentang
Manusia Sosial (homosocius, tahun 1759) dilupakan atau tidak diajarkan,
sedangkan ajaran berikutnya pada tahun 1776 (manusia
sebagai homoeconomicus) dipuja-puji secara membabi buta.
(2) Metode
analisis deduktif dari teori ekonomi neoklasik diajarkan secara
penuh, sedangkan metode analisis induktifdiabaikan. Hal demikian bertentangan
dengan pesan Alfred Marshall dan Gustave Schmoller, dua tokoh teori ekonomi
neoklasik, untuk memakai dua metode secara serentak lasana dua kaki.
(3) Ilmu
ekonomi menjadi spesialis dan lebih diarahkan untuk menjadi ilmu ekonomi
matematika. Menurut Kenneth Boulding dan Ekonomic as A
Science, ilmu ekonomi dapat dikembangkan menjadi salah satu atau gabungan
dari cabang-cabang ilmu
berikut :
a) Ekonomi sebagai ilmu
sosial(social science)
b) Ekonomi sebagai ilmu ekologi
(ecological science)
c) Ekonomi sebagai ilmu
perilaku (behavioral science)
d) Ekonomi sebagi ilmu politik
(political science)
e) Ekonomi sebagai ilmu
matematika (mathematical science)
f) Ekonomi sebagai ilmu
moral (moral science)
Sebagai sebuah
gagasan besar, Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi bukan
kapitalisme juga bukan sosialisme, menawarkan harapan berupa sistem
perekonomian alternatif yang bersifat komprehensif integral bagi jutaan
masyarakat Indonesia demi mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub
dalam alenia IV Pembukaan UUD 1945.
Dalam konteks
inilah kemudian diperlukan adanya reformasi tidak saja dalam tataran
implementasi kebijakan perekonomian selama ini, namun juga transformasi pola
pikir dari ekonomi neoliberal yang dominant untuk menjadi lebih
berperikemanusiaan dan berkeadilan sosial yang dijiwai nilai-nilai Pancasila.
Bukan hal yang mustahil jika kelak istilah Hattanomics menjadi
ikon Ekonomics Pancasila dan bisa menggeser dominasi prespektif Reagenomics dan Thatcherisme ikon
utama gagasan Ekonomi Neoliberal.
D.
Pancasila sebagai dasar negara, maka sila-sila yang terdapat pada
Pancasila dapat diterapkan dalam kehidupan ekonomi bangsa, negara dan
masyarakat sebagai berikut :
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa, Menunjukkan bahwa pola perekonomian
digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial dan moral yang sangat
tinggi, yaitu moral manusia yang beragama sehingga para pelaku ekonomi tidak
akan semena-mena karena adanya pengawas tunggal, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Ada kehendak kuat dari
seluruh masyarakat untuk mewujudkan pemerataan-pemerataan sosial (egalitarian),
sesuai asas-asas kemanusiaan.
3.
Persatuan Indonesia, Prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah
penciptaan perekonomian nasional yang tangguh. Ini berarti nasionalisme
menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi.
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan. Koperasi merupakan sokoguru perekonomian dan
merupan bentuk paling konkrit dari usaha bersama.
5.
Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Hal ini
menunjukan pada adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di
tingkat nasional dan desentralisasi dalam pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi
untuk mencapai keadilan ekonomi dan keadilan sosial.
Aturan main
yang diturunkan dari setiap sila dalam Pancasila kita bisa melihat sejauh mana
aturan main tersebut telah bisa ditegakkan dalam masyarakat. Misalnya, dalam
sila Persatuan Indonesia kita bisa meneliti setiap kasus kebijakan ekonomi yang
hendak diambil, apakah akan membantu atau tidak pada peningkatan ketangguhan
atau ketahanan ekonomi nasional. Lebih spesifik lagi bisa diambil contoh apakah
setiap utang baru atau kerja sama ekonomi dengan negara lain bisa membantu atau
sebaliknya mengancam ketangguhan dan ketahanan ekonomi nasional.[10]
E.
Beberapa contoh konkrit pelaksanaan isi arti Pancasila yang khusus
dan konkrit dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara dalam bidang ekonomi
adalah :
1.
Adanya BUMN yang juga dapat melibatkan partisipasi swata, sehingga
terdapat pengembangan usaha milik negara dan warga sebagai perseorangan.
2.
Adanya subsidi negara terhadap distribusi BBM yang ditentukan
berdasarkan asas pemerataan.[11]
F.
SISTEM EKONOMI PANCASILA
Dalam kosep
kita, pembangunan nasional adalah pengamalan Pancasila. Pembangunan
ekonomi kita pun harus berlandaskan pancasila, sebagai dasar, tujuan dan
pedoman dalam penyelenggaraannya. Dengan dasar pemikiran tersebut, maka system
ekonomi yang ingin kita bangun adalah sistem ekonomi Pancasila.
Sistem ekonomi
diartikan sebagai kumpulan dari institusiyang terintegrasi dan berfungsi serta
beroperasi sebagai suatu kesatuanuntuk mencapai suatu tujuan (ekonomi)
tertentu. Institusi disini siartikan sebagai kumpulan dari
norma-norma,peraturan atau cara berfikir. Dalam pengertian institusi ini juga
diartikan juga termasuk institusi ekonomi seperti rumah tangga, pemerintah,
kekayaan, uang, serikat pekerja dan lain-lain
Sedangkan yang
dimaksud dengan sisitem ekonomi Pancasila adalah system ekonomi pasar
yang terkeloladan kendali pengelolaannya adalah nilai-nilai Pancasila. Atas dasar
itu , maka ekonomi Pancasila tidak semata-mata bersifat materialistis, karena
berlandaskan pada keimanan dan ketaqwaan yang timbul dari pengakuan kita pada
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian system ekonomi Pancasila dikendalikan
oleh kaidah-kaidah moral dan etika, sehingga pembangunan nasional bangsa
Indosesia adalah pembangunan yang berakhlak.
G.
Jika dilihat dari sila Pancasila, sila tiga dan empat maka dapat
diketahui bahwa :
1.
Sila persatuan Indonesia mengamanatkan kesatuan ekonomi
sebagai penjabaran wawasan nusantaradi bidang ekonomi. Ekonomi Pancasila dengan
demikian berwawasan kebangsaan dan tetap membutuhkan sikap patriotic meskipun
kegiatannya sudah mengglobal.
2.
Sila keempat pada Pancasila menunjukkan pandangan bangsa
Indonesia mengenai kedaulatan rakyat dan bagaimana demokrasi dijalankan di
Indonesia.
3.
Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
menunjukkan betapa seluruh upaya pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada
terciptanya kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam
sistem ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan pada asas
kekeluargaan. [12]
Menurut ISEI,
di dalam sistem ekonomi yang berlandaskan Demokrasi Ekonomi, usaha negara,
koperasi, dan usaha swasta dapat bergerak di dalam semua bidang usaha sesuai
dengan peranan dan hakikatnya masing-masing. Dalam konsep iti usaha berperan
sebagai :
1. Perintis
di dalam penyediaan barang dan jasa di bidang-bidang produksi yang belum cukup
atau kurang merangsang prakarsa dan minat penguasa swasta;
2. Pengelola
dan pengusaha di bidang-bidang produksi yang penting bagi negara;
3. Pengelola
dan pengusaha di bidang-bidang produksi yang mnguasai hajat hidup orang banyak;
4. Imbangan
bagi kekuatan pasar pengusaha swasta;
5. Pelengkap
penyediaan barang dan jasa yang belum cukup disediakan oleh swasta dan
koperasi, dan
6. Penunjang
palaksanaan kebijakan negara.
Namun, yang menjadi
tantangan kita sekarang adalah bagaimana membangun usaha swasta agar dapat
memotori ekonomi kita dalam memasuki era perdagangan bebas.
Pilar Sistem Ekonomi Pancasila meliputi:
(1) ekonomika etik dan ekonomika humanistik (dasar),
(2) nasionalisme ekonomi & demokrasi ekonomi (cara/metode
operasionalisasi), dan (3) ekonomi berkeadilan sosial (tujuan).
Kontekstualisasi
dan implementasi Pancasila dalam bidang ekonomi cukup dikaitkan dengan
pilar-pilar di atas dan juga dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan dasar yang
harus dipecahkan oleh sistem ekonomi apapun. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:
(a) Barang dan jasa apa yang akan dihasilkan dan berapa jumlahnya;
(b) Bagaimana pola atau cara memproduksi barang dan jasa itu, dan;
(c) Untuk siapa barang tersebut dihasilkan, dan
(d) Bagaimana mendistribusikan barang tersebut ke masyarakat.
Rendahnya upaya
dan kemamuan untuk menafsirkan Pancasila dalam bidang ekonomi yang lebih banyak
berkiblat ke kapitalisme; Tidak ada keteladanan; Kebijakan pemerintah sendiri
menyimpangi Pancasila; Social punishment & law enforcement yang rendah.
Langkah yang
perlu dilakukan adalah perlu digalakkan kembali penanaman nilai-nilai Pancasila
melalui proses pendidikan dan keteladanan. Perlu dimunculkan gerakan penyadaran
agar ilmu ekonomi ini dikembangkan ke arah ekonomi yg humanistik, bukan
sebaliknya mengajarkan keserakahan & mendorong persaingan yang saling
mematikan utk memuaskan kepentingan sendiri . Ini dilakukan guna mengimbangi
ajaran yg mengedepankan kepentingan pribadi, yang melahirkan manusia sebagai
manusia ekonomi (homo ekonomikus), telah melepaskan manusia dari fitrahnya
sebagai makhluk sosial (homo socius) dan mahluk beretika (homo ethicus). [13]
DAFTAR PUSTAKA
Prof.DR.Kaelan, M.S.2010.Pendidikan Pancasila..Yogyakarta:
Paradigma
Prof.DR.Kaelan, M.S.1999.Pendidikan Pancasila Yuridis
Kenegaraan.Yogyakarta: Paradigma
Dr. H.Kaelan, M.S.TT. Pendidikan Pancasila.Yogyakarta:
Paradigmahttp:// pancasila/peranan-pancasila-di-bidang-ekonomi.html
Footnote
Blog.unila.ac.id/radegunawans/files/2010/07.Makalah-Fisafat-Ilmu.pdf
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....2
PRANATA SOSIAL TENTANG HAM DAN DEMOKRASI
Saturday, December 12, 2015
Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
A.
Demokrasi, HAM, dan Negara.
HAM dan
demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari
sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga
dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan
mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan
demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.
Konsepsi HAM
dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan
kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati
posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima
facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai
kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena
yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus
dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar
secara mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang
bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.
Manusia
diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin
derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak
asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang
merupakan karunia Sang Pencipta.[3] Karena
setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka
prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial.
Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial
untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak
mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial.
Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.
Kekuasaan dalam
suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi
ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis.[4] Namun
kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya
mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan
lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan
yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi kekuasaan yang absolut,
karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang
berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan
negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa
dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.
Konsepsi
demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan
prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia
sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan
rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial,[5] untuk memenuhi hak-hak
tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual,
tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang
apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang
bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian
yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam
bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of
the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan
negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih
wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.
Konsepsi HAM
dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara
hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum,
bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum
yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum
menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping
merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan
demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.[6]
Selain itu,
prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan
perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan
perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau
hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip
demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa
orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang.
Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat,
melainkan democratische rechtsstaat.[7]
Sebagaimana
telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan
mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang
sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang
Dasar ini sebenarnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disahkan
sebelumnya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka
materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945
mencakup 27 materi berikut:
2.
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah[9].
3.
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi[10].
4.
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu[11].
5.
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta
berhak kembali[12].
6.
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya[13].
7.
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat[14].
8.
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia[15].
9.
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi[16].
10.
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain[17].
11. Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan[18].
12.
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan[19].
13.
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya
secara utuh sebagai manusia yang bermartabat[20].
14.
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun[21].
15.
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat manusia[22].
16.
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya[23].
17.
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum[24].
18.
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja[25].
19.
Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan[26].
20. Negara,
dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut[27].
21.
Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa[28].
22. Negara
menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan
oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
dan menjalankan ajaran agamanya[29].
23. Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah[30].
24. Untuk
memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,
diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan[31].
25. Untuk
menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen menurut ketentuan yang
diatur dengan undang-undang[32].
26. Setiap
orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
27.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis[33].
Jika ke-27
ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan
memasukkan elemen baru yang bersifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu
dikelompokkan kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat
di dalamnya, maka rumusan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar dapat
mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:
1.
Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan menjadi:
a.
Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
b.
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
c.
Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan.
d.
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
e.
Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.
f.
Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
g.
Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan
pemerintahan.
h.
Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
i.
Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
j.
Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.
k.
Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wilayah negaranya,
meninggalkan dan kembali ke negaranya.
l.
Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.
m. Setiap
orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak
mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
tersebut.
Terhadap
hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apapun atau bagaimanapun, negara tidak
dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan dalam Kelompok 1 “a” sampai
dengan “h”. Namun, ketentuan tersebut tentu tidak dimaksud dan tidak dapat
diartikan atau digunakan sebagai dasar untuk membebaskan seseorang
dari penuntutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan
penegasan ini penting untuk memastikan bahwa ketentuan tersebut tidak
dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri
dari ancaman tuntutan. Justru di sinilah letak kontroversi yang timbul setelah
ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan beberapa waktu yang lalu.
2.
Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya
a. Setiap
warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan
pendapatnya secara damai.
b.
Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga
perwakilan rakyat.
c.
Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik.
d.
Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak
bagi kemanusiaan.
e.
Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan
yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan.
f.
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.
g.
Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup
layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat.
h.
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
i.
Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran.
j.
Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan
kesejahteraan umat manusia.
k.
Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat
lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa[34].
l.
Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
m. Negara
menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh
setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan
menjalankan ajaran agamanya[35].
3.
Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan
a.
Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok
masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama.
b.
Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mencapai kesetaraan gender dalam
kehidupan nasional.
c.
Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi
reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
d.
Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlindungan orangtua,
keluarga, masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan
pribadinya.
e.
Setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut
menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.
f.
Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
g.
Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan
dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk
menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami
perlakuan diskriminasi dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan
perlakuan khusus sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini, tidak
termasuk dalam pengertian diskriminasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1
ayat (13).
4.
Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia
a.
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada
pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama,
moralitas dan kesusilaan, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat yang
demokratis.
c.
Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak-hak asasi manusia.
d.
Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan,
susunan dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.
Ketentuan-ketentuan
yang memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia itu
sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip
negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus
pula dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang
juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidupnya sejak sebelum kelahiran,
memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia. Pembentukan negara dan
pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan
kewajiban yang disandang oleh setiap manusia. Karena itu, jaminan hak dan
kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedudukan orang sebagai warga suatu
negara. Setiap orang di manapun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya.
Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib
menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya. Keseimbangan
kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pandangan
dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bangsa
Indonesia memahami bahwa The Universal Declaration of Human
Rights yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan pernyataan umat manusia
yang mengandung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan
itu, bangsa Indonesia juga memandang bahwa The Universal Declaration of
Human Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun
1997 juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi untuk melengkapi
The Universal Declaration of Human Rights tersebut. Kesadaran umum
mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum
dan konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu diadopsikan ke dalam rumusan
Undang-Undang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikembangkan
sendiri oleh bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang
Dasar ini mencakup warisan-warisan pemikiran mengenai hak asasi manusia di
masa lalu dan mencakup pula pemikiran-pemikiran yang masih terus akan berkembang
di masa-masa yang akan datang.
B.
Perkembangan Demokrasi dan HAM.
Sejak awal abad
ke-20, gelombang aspirasi ke arah kebebasan dan kemerdekaan umat manusia dari
penindasan penjajahan meningkat tajam dan terbuka dengan menggunakan pisau
demokrasi dan hak asasi manusia sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan
membebaskan. Puncak perjuangan kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan
yang sangat luas dan mendasar pada pertengahan abad ke-20 dengan munculnya
gelombang dekolonisasi di seluruh dunia dan menghasilkan berdiri dan
terbentuknya negara-negara baru yang merdeka dan berdaulat di berbagai belahan
dunia. Perkembangan demokratisasi kembali terjadi dan menguat pasca perang
dingin yang ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal
ini kemudian diikuti proses demokratisasi di negara-negara dunia ketiga pada
tahun 1990-an.[36]
Semua peristiwa
yang mendorong munculnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai
ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur
hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan
antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk
kemerdekaan dan hak asasi manusia pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang
menonjol adalah perjuangan mondial bangsa-bangsa terjajah menghadapi
bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara yang terjajah secara
mudah terbangkitkan semangatnya untuk secara bersama-sama menyatu dalam
gerakan solidaritas perjuangan anti penjajahan.
Sedangkan yang
lebih menonjol selama paruh kedua abad ke-20 adalah perjuangan rakyat melawan
pemerintahan yang otoriter. Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu negara,
tidak mesti identik dengan gagasan rakyat di negara lain yang lebih maju dan
menikmati kehidupan yang jauh lebih demokratis. Karena itu, wacana demokrasi
dan hak asasi manusia di zaman sekarang juga digunakan, baik oleh kalangan
rakyat yang merasa tertindas maupun oleh pemerintahan negara-negara lain yang
merasa berkepentingan untuk mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di
negara-negara lain yang dianggap tidak demokratis.
Karena itu,
pola hubungan kekuasaan antar negara dan aliansi perjuangan di zaman dulu dan
sekarang mengalami perubahan struktural yang mendasar. Dulu, hubungan
internasional diperankan oleh pemerintah dan rakyat dalam hubungan yang
terbagi antara hubungan Government to Government(G to G) dan
hubungan People to People (P to P). Sekarang, pola hubungan itu berubah
menjadi bervariasi, baik G to G, P to P maupun G to
P atau P to G. Semua kemungkinan bisa terjadi, baik atas prakarsa
institusi pemerintahan ataupun atas prakarsa perseorangan rakyat biasa. Bahkan
suatupemerintahan negara lain dapat bertindak untuk melindungi warga-negara
dari negara lain atas nama perlindungan hak asasi manusia.[37]
Dengan
perkataan lain, masalah pertama yang kita hadapi dewasa ini adalah bahwa
pemahaman terhadap konsep hak asasi manusia itu haruslah dilihat dalam
konteks relationalistic perspectives of power yang tepat. Bahkan,
konsep hubungan kekuasaan itu sendiripun juga mengalami perubahan berhubung
dengan kenyataan bahwa elemen-elemen kekuasaan itu dewasa ini tidak saja
terkait dengan kedudukan politik melainkan juga terkait dengan kekuasaan-kekuasaan
atas sumber-sumber ekonomi, dan bahkan teknologi dan industri yang justru
memperlihatkan peran yang makin penting dewasa ini. Oleh karena itu, konsep dan
prosedur-prosedur hak asasi manusia dewasa ini selain harus dilihat dalam
konteks hubungan kekuasaan politik, juga harus dikaitkan dengan konteks
hubungan kekuasaan ekonomi dan industri.[38]
Dalam kaitan
dengan itu, pola hubungan kekuasaan dalam arti yang baru itu dapat dilihat
sebagai hubungan produksi yang menghubungkan antara kepentingan produsen dan
kepentingan konsumen. Dalam era industrialisasi yang terus meningkat dengan
bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat dewasa ini,
dinamika proses produksi dan konsumsi ini terus berkembang di semua sektor
kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan umat manusia dewasa ini. Kebijakan
politik, misalnya, selain dapat dilihat dengan kacamata biasa, juga dapat
dilihat dalam konteks produksi. Negara, dalam hal ini merupakan produsen,
sedangkan rakyat adalah konsumennya. Karena itu, hak asasi manusia di zaman
sekarang dapt dipahami secara konseptual sebagai hak konsumen yang harus
dilindungi dari eksploitasi demi keuntungan dan kepentingan sepihak kalangan
produsen.
Dalam hubungan
ini, konsep dan prosedur hak asasi manusia mau tidak mau harus dikaitkan dengan
persoalan-persoalan:[39]
1.
Struktur kekuasaan dalam hubungan antar negara yang dewasa ini dapat dikatakan
sangat timpang, tidak adil, dan cenderung hanya menguntungkan negara-negara
maju ataupun negara-negara yang menguasai dan mendominasi proses-proses
pengambilan keputusan dalam berbagai forum dan badan-badan internasional, baik
yang menyangkut kepentingan-kepentingan politik maupun kepentingan-kepentingan
ekonomi dan kebudayaan.
2.
Struktur kekuasaan yang tidak demokratis di lingkungan internal negara-negara
yang menerapkan sistem otoritarianisme yang hanya menguntungkan segelintir
kelas penduduk yang berkuasa ataupun kelas penduduk yang menguasai
sumber-sumber ekonomi.
3.
Struktur hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara pemodal dengan pekerja
dan antara pemodal beserta manajemen produsen dengan konsumen di setiap lingkungan
dunia usaha industri, baik industri primer, industri manufaktur maupun industri
jasa.
Beberapa faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya pola hubungan “atas-bawah”, baik pada
peringkat lokal, nasional, regional maupun global antara lain adalah faktor
kekayaan dan sumber-sumber ekonomi, kewenangan politik, tingkat pendidikan atau
kecerdasan rata-rata, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, citra atau
nama baik, dan kekuatan fisik termasuk kekuatan militer. Makin banyak
faktor-faktor tersebut di atas dikuasai oleh seseorang, atau sekelompok orang
ataupun oleh suatu bangsa, makin tinggi pula kedudukannya dalam stratifikasi
atau peringkat pergaulan bersama. Di pihak lain, makin tinggi peringkat
seseorang, kelompok orang ataupun suatu bangsa di atas orang lain atau kelompok
lain atau bangsa lain, makin besar pula kekuasaan yang dimilikinya serta makin
besar pula potensinya untuk memperlakukan orang lain itu secara sewenang-wenang
demi keuntungannya sendiri. Dalam hubungan-hubungan yang timpang antara negara
maju dengan negara berkembang, antara suatu pemerintahan dengan rakyatnya, dan
bahkan antara pemodal atau pengusaha dengan konsumennya inilah dapat terjadi
ketidakadilan yang pada gilirannya mendorongnya munculnya gerakan perjuangan
hak asasi manusia dimana-mana. Karena itu, salah satu aspek penting yang tak
dapat dipungkiri berkenaan dengan persoalan hak asasi manusia adalah bahwa
persoalan ini berkaitan erat dengan dinamika perjuangan
kelas (meminjam istilah Karl Marx) yang menuntut keadilan.
Sering
dikemukakan bahwa pengertian konseptual hak asasi manusia itu dalam sejarah
instrumen hukum internasional setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi
perkembangan. Ketiga generasi perkembangan konsepsi hak asasi manusia itu
adalah:[40]
1.
pemikiran mengenai konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama
berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak eraenlightenment di Eropa,
meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Puncak perkembangan
generasi pertama hak asasi manusia ini adalah pada persitiwa penandatanganan
naskah Universal Declaration of Human Rights[41] Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlindungan hak
asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara,
seperti di Inggris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di
Amerika Serikat dengan Declaration of Independence, dan di Perancis
dengan Declaration of Rights of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi
generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal
prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan
sipil dan politik.
2.
Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi
manusia Generasi Kedua,di samping adanya International Couvenant on
Civil and Political Rights,[42] konsepsi
hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk
mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan,
hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan
penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua
ini tercapai dengan ditandatanganinya International Couvenant on Economic,
Social and Cultural Rights[43] pada
tahun 1966.
3.
Kemudian pada tahun 1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi
manusia yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan ataurights to
development. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau
kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap
orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau
atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut,
menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan,
pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain
sebagainya. Konsepsi baru inilah yang oleh para ahli disebut sebagai konsepsi
hak asasi manusia Generasi Ketiga.
Namun demikian,
ketiga generasi konsepsi hak asasi manusia tersebut pada pokoknya
mempunyai karakteristik yang sama, yaitu dipahami dalam konteks hubungan
kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan pemerintahan dalam suatu
negara. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia mulai dari generasi
pertama sampai ketiga selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa
dikategorikan sebagai crime by governmentyang termasuk ke dalam
pengertian political crime(kejahatan politik) sebagai lawan dari
pengertiancrime against government (kejahatan terhadap kekuasaan resmi).
Karena itu, yang selalu dijadikan sasaran perjuangan hak asasi manusia adalah
kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya. Akan tetapi, dalam perkembangan
zaman sekarang dan di masa-masa mendatang, sebagaimana diuraikan di atas
dimensi-dimensi hak asasi manusia itu akan berubah makin kompleks sifatnya.
Persoalan hak
asasi manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang
bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan yang
bersifat horizontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau
masyarakat, dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan
kelompok masyarakat di negara lain.
Konsepsi baru
inilah yang saya sebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi
Keempat seperti telah saya uraikan sebagian pada bagian terdahulu. Bahkan
sebagai alternatif, menurut pendapat saya, konsepsi hak asasi manusia yang
terakhir inilah yang justru tepat disebut sebagai Konsepsi HAM Generasi
Kedua,karena sifat hubungan kekuasaan yang diaturnya memang berbeda dari
konsepsi-konsep HAM sebelumnya. Sifat hubungan kekuasaan dalamkonsepsi Generasi
Pertama bersifat vertikal, sedangkan sifat hubungan kekuasaan dalam
konsepsi Generasi Kedua bersifat horizontal. Dengan demikian, pengertian
konsepsi HAM generasi kedua dan generasi ketiga sebelumnya cukup dipahami
sebagai perkembangan varian yang sama dalam tahap pertumbuhan konsepsi
generasi pertama.[44]
Menjelang
berakhirnya abad ke-20, kita menyaksikan munculnya beberapa fenomena baru yang
tidak pernah ada ataupun kurang mendapat perhatian di masa-masa sebelumnya.
1.
kita menyaksikan munculnya
fenomena konglomerasi berbagai perusahaan berskala besar dalam suatu negara
yang kemudian berkembang menjadi Multi National Corporations
(MNC’s) atau disebut jugaTrans-National Corporations
(TNC’s) dimana-mana di dunia. Fenomena jaringan kekuasaan MNC atauTNC
ini merambah wilayah yang sangat luas, bahkan jauh lebih luas dari jangkauan
kekuasaan negara, apalagi suatu negara yang kecil yang jumlahnya sangat banyak
di dunia. Dalam kaitannya dengan kekuasaan perusahaan-perusahaan besar ini,
yang lebih merupakan persoalan kita adalah implikasi-implikasi yang ditimbulkan
oleh kekuasaan modal yang ada di balik perusahaan besar itu terhadap
kepentingan konsumen produk yang dihasilkannya. Dengan perkataan lain, hubungan
kekuasaan yang dipersoalkan dalam hal ini adalah hubungan kekuasaan antara
produsen dan konsumen. Masalahnya adalah bagaimana hak-hak atau
kepentingan-kepentingan konsumen tersebut dapat dijamin, sehingga proses
produksi dapat terus dikembangkan dengan tetap menjamin hak-hak konsumen yang
juga harus dipandang sebagai bagian yang penting dari pengertian kita tentang
hak asasi manusia.
2.
abad ke-20 juga telah memunculkan fenomena Nations without
State, seperti bangsa Kurdi yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak;
bangsa Cina Nasionalis yang tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir
semua negara di dunia; bangsa Persia (Iran), Irak, dan Bosnia yang terpaksa
berkelana kemana-mana karena masalah-masalah politik yang mereka hadapi di
negeri asal mereka. Persoalan status hukum kewarganegaraan bangsa-bangsa yang
terpaksa berada di mana-mana tersebut, secara formal memang dapat diatasi
menurut ketentuan hukum yang lazim. Misalnya, bangsa Kurdi yang tinggal di Irak
Utara sudah tentu berkewar ganegaraan Irak, mereka yang hidup dan menetap
di Turki tentu berkewarganegaraan Turki, dan demikian pula mereka yang hidup di
negara-negara lain dapat menikmati status keawarganegaraan di negara mana
mereka hidup. Akan tetapi, persoalan kebangsaan mereka tidak serta merta
terpecahkan karena pengaturan hukum secara formal tersebut.
3.
dalam kaitannya dengan fenomena pertama dan kedua di atas, mulai
penghujung abad ke-20 telah pula berkembang suatu lapisan sosial tertentu
dalam setiap masyarakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan
internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagaiglobal citizens.
Mereka ini mula-mula berjumlah sedikit dan hanya terdiri dari kalangan korps
diplomatik yang membangun kelompok pergaulan tersendiri. Di kalangan mereka ini
berikut keluarganya, terutama para diplomat karir yang tumbuh dalam karir
diplomat yang berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, terbentuk suatu
jaringan pergaulan tersendiri yang lama kelamaan menjadi suatu kelas sosial
tersendiri yang terpisah dari lingkungan masyarakat yang lebih luas. Sebagai
contoh, di setiap negara, terdapat apa yang disebut dengan diplomatic shop yang
bebas pajak, yang secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk berbelanja.
Semua ini memperkuat kecenderungan munculnya kelas sosial tersendiri yang
mendorong munculnya kehidupan baru di kalangan sesama diplomat.
Bersamaan
dengan itu, di kalangan para pengusaha asing yang menanamkan modal sebagai
investor usaha di berbagai negara, juga terbentuk pula suatu kelas sosial
tersendiri seperti halnya kalangan korps diplomatik tersebut. Bahkan, banyak di
antara para pekerja ataupun pengusaha asing tugasnya terus menerus di luar
negeri, berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, yang jangkauan
pergaulan mereka lebih cocok untuk menyatu dengan dunia kalangan diplomat
seperti tersebut di atas, daripada bergaul dengan penduduk asli dari negara-negara
tempat mereka bekerja ataupun berusaha. Dari kedua kelompok bisnis dan
diplomatik inilah muncul fenomena baru di kalangan banyak warga dunia, meskipun
secara resmi memiliki status kewarganegaraan tertentu, tetapi mobilitas mereka
sangat dinamis, seakan-akan menjadi semacam global citizens yang
bebas bergerak ke mana-mana di seluruh dunia.
4.
dalam berbagai literatur mengenaicorporatisme negara,
terutama di beberapa negara yang menerapkan prosedur federal arrangement,
dikenal adanya konsep corporate federalism sebagai sistem yang
mengatur prinsip representasi politik atas dasar pertimbangan-pertimbangan ras
tertentu ataupun pengelompokan kultural penduduk. Pembagian
kelompok English speaking community danFrench speaking
community di Kanada, kelompokDutch speaking community dan German
speaking community di Belgia, dan prinsip representasi politik suku-suku
tertentu dalam kamar parlemen di Austria, dapat disebut sebagai corporate
federalismdalam arti luas. Kelompok-kelompok etnis dan kultural tersebut diperlakukan
sebagai suatu entitas hukum tersendiri yang mempunyai hak politik yang bersifat
otonom dan karena itu berhak atas representasi yang demokratis dalam institusi
parlemen. Pengaturan entitas yang bersifat otonom ini, diperlukan seakan-akan
sebagai suatu daerah otonom ataupun sebagai suatu negara bagian yang bersifat
tersendiri, meskipun komunitas-komunitas tersebut tidak hidup dalam suatu
teritorial tertentu. Karena itu, pengaturan demikian ini biasa disebut
dengan corporate federalism.
Keempat fenomena
yang bersifat sosio-kultural tersebut di atas dapat dikatakan bersifat sangat
khusus dan membangkitkan kesadaran kita mengenai keragaman kultural yang kita
warisi dari masa lalu, tetapi sekaligus menimbulkan persoalan mengenai
kesadaran kebangsaan umat manusia yang selama ini secara resmi dibatasi oleh
batas-batas teoritorial satu negara. Sekarang, zaman sudah berubah. Kita
memasuki era globalisasi, di mana ikatan batas-batas negara yang bersifat
formal itu berkembang makin longgar. Di samping ikatan-ikatan hukum
kewarganegaraan yang bersifat formal tersebut, kesadaran akan identitas yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor historis kultural juga harus turut
dipertimbangkan dalam memahami fenomena hubungan-hubungan kemanusiaan di masa
mendatang. Oleh karena itu, dimensi-dimensi hak asasi manusia di zaman sekarang
dan apalagi nanti juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari perubahan
corak-corak pengertian dalam pola-pola hubungan yang baru itu.
Dengan
perkataan lain, hubungan-hubungan kekuasaan di zaman sekarang dan nanti, selain
dapat dilihat dalam konteks yang bersifat vertikal dalam suatu negara, yaitu
antara pemerintah dan rakyatnya, juga dapat dilihat dalam konteks hubungan
yang bersifat horizontal sebagaimana telah diuraikan pada bagian pertama tulisan
ini. Konteks hubungan yang bersifat horizontal itu dapat terjadi antar kelompok
masyarakat dalam satu negara dan antara kelompok masyarakat antar negara. Di
zaman industri sekarang ini, corak hubungan yang bersifat horizontal tersebut
untuk mudahnya dapat dilihat sebagai proses produksi dalam arti yang
seluas-luasnya, yaitu mencakup pula pengertian produksi dalam konteks hubungan
kekuasaan yang bersifat vertikal, dimana setiap kebijakan pemerintahan dapat
disebut sebagai produk yang dikeluarkan oleh pemerintah yang merupakan
produsen, sedangkan rakyat banyak merupakan pihak yang mengkonsumsinya atau
konsumennya. Demikian pula setiap perusahaan adalah produsen, sedangkan
produk dibeli dan dikonsumsi oleh masyarakat konsumennya. Dengan perkataan lain,
hak konsumen dalam arti yang luas ini dapat disebut sebagai dimensi baru
hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilindungi dari kemungkinan
penyalahgunaan atau tindakan-tindakan sewenang-wenang dalam hubungan kekuasaan
yang bersifat horizontal antara pihak produsen dengan konsumennya.
Perkembangan
konsepsi yang terakhir ini dapat disebut sebagai perkembangan konsepsi hak
asasi manusia generasi kelimadengan ciri pokok yang terletak dalam pemahaman
mengenai struktur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen
yang memiliki segala potensi dan peluang untuk melakukan tindakan-tindakan
sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan
sewenang-wenang dan tidak adil. Kita semua harus menyadari perubahan struktur
hubungan kekuasaan ini, sehingga tidak hanya terpaku pada kemungkinan
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam pengertian konvensional saja.
Hanya dengan menyadari perubahan ini kita dapat menawarkan pemecahan dalam
perjuangan kolektif untuk menegakkan dan memajukan hak asasi manusia di masa
yang akan datang.
C.
Kewajiban Perlindungan dan Pemajuan HAM.
Konsepsi HAM
yang pada awalnya menekankan pada hubungan vertikal, terutama dipengaruhi oleh
sejarah pelanggaran HAM yang terutama dilakukan oleh negara, baik terhadap hak
sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai konsekuensinya,
disamping karena sudah merupakan tugas pemerintahan, kewajiban utama
perlindungan dan pemajuan HAM ada pada pemerintah. Hal ini dapat kita lihat
dari rumusan-rumusan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta Konvenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang merupakan pengakuan negara
terhadap hak asasi manusia sebagaimana menjadi substansi dari ketiga instrumen
tersebut. Konsekuensinya, negara-lah yang terbebani kewajiban perlindungan dan
pemajuan HAM. Kewajiban negara tersebut ditegaskan dalam konsideran “Menimbang”
baik dalam Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam hukum nasional,
Pasal 28I ayat (4) UUD 1945[45] menyatakan
bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab
negara, terutama Pemerintah.
Dengan
berkembangnya konsepsi HAM yang juga meliputi hubungan-hubungan horisontal
mengakibatkan perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor pelanggarnya. Hak
atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak hanya
menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab korporasi-korporasi
yang dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan
perusahaan-perusahaan mau tidak mau membawa dampak dalam kehidupan masyarakat
yang sering kali mengakibatkan berkurangnya hak asasi manusia.
Persinggungan
antara Korporasi dengan Hak Asasi Manusia paling tidak terkait dengan hak atas
lingkungan yang bersih dan sehat, hak atas ketersediaan dan aksesibilitas
terhadap sumber daya alam dan hak-hak pekerja. Secara lebih luas struktur
hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen juga memiliki
potensi dan peluang terjadinya tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak
konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil.
Maka
pelanggaran HAM tidak hanya dapat dilakukan oleh negara. Dalam pola relasi
kekuasaan horisontal peluang terjadinya pelanggaran HAM lebih luas dan aktor
pelakunya juga meliputi aktor-aktor non negara, baik individu maupun korporasi.
Karena itulah memang sudah saatnya kewajiban dan tanggungjawab perlindungan dan
pemajuan HAM juga ada pada setiap individu dan korporasi. Hal ini juga telah
dinyatakan dalam “Declaration on the Right and Responsibility of Individuals,
Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized
Human Rights and Fundamental Freedom”[46]pada
tahun 1998.
Kewajiban dan
tanggungjawab tersebut menjadi semakin penting mengingat masalah utama yang
dihadapi umat manusia bukan lagi sekedar kejahatan kemanusiaan, genosida,
ataupun kejahatan perang. Permasalahan yang dihadapi umat manusia saat ini
lebih bersifat mengakar, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan, yang mau tidak mau
harus diakui sebagai akibat eksploitasi atau paling tidak ketidakpedulian sisi
dunia lain yang mengenyam kekayaan dan kemajuan. Kewajiban dan tanggungjawab
korporasi dalam bentuk Corporate Social Responsibility terutama
dalam Community Development, tidak seharusnya sekedar dimaknai sebagai
upaya membangun citra. Kewajiban dan tanggungjawab tersebut lahir karena
komitmen kemanusiaan. Kewajiban tersebut juga lahir karena kesadaran bahwa
aktivitas korporasi, secara langsung maupun tidak, telah ikut menciptakan
ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Tanpa peran serta korporasi,
upaya menciptakan dunia yang lebih baik, dunia yang bebas dari kelaparan dan
keterbelakangan akan sulit dilakukan mengingat kekuasaan korporasi yang sering
kali melebihi kemampuan suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Materi yang disampaikan dalam studium general pada
acara The 1st National Converence Corporate Forum for Community
Development, Jakarta, 19 Desember 2005.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
[3] Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia mendefinisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”.Lembaran Negara RI Tahun 1999 No.
165, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3886.
[4] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal.
30 – 66.
[5] Harus diingat bahwa paling tidak terdapat tiga macam teori
kontrak sosial masing-masing dikemukakan oleh John Locke, Thomas Hobbes, dan
J.J. Rousseu yang masing-masing melahirkan konsep negara yang
berbeda-beda. Lihat George H. Sabine, A History of Political Theory,
Third Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt, Rinehart
and Winston, 1961), hal. 517 – 596.
[6] Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi &
Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005),
hal. 152-162.
[7] Ibid.
[8] Dari Pasal 28A Perubahan Kedua UUD 1945.
[9] Ayat (2) ini berasal dari Pasal 28B ayat (1) Perubahan
Kedua.
[10] Berasal dari ayat 28B ayat (2) Perubahan Kedua.
[11] Dari Pasal 28I ayat (2) Perubahan Kedua.
[12] Dari Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua.
[13] Pasal 28E ayat (2) Perubahan Kedua.
[27] Berasal dari rumusan Pasal 28I ayat (1) Perubahan Kedua yang
perumusannya mengundang kontroversi di kalangan banyak pihak. Disini
perumusannya dibalik dengan subjek negara.
[28] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) yang disesuaikan dengan
sistematika perumusan keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam
hubungannya dengan warga negara.
[29] Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan
dengan penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam
lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan perumusan
alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat
terakhir ayat ini, yaitu: “...serta melindungi penduduk dari penyebaran
paham yang bertentangan dengan ajaran agama”, sebaiknya dihapuskan saja,
karena dapat mengurangi kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun
mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut
sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak selayaknya ikut
campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal
suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri
(public domain). Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu
kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham
yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.
[31] Dari ayat (5) Pasal 28I Perubahan Kedua dengan menambahkan
perkataan “...memajukan..”, sehingga menjadi “Untuk memajukan, menegakkan,
dan melindungi....”
[32] Komnas HAM memang telah dikukuhkan keberadaannya dengan undang-undang.
Akan tetapi, agar lebih kuat, maka hal itu perlu dicantumkan tegas dalam UUD.
[34] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang disesuaikan
dengan sistematika perumusan keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam
hubungannya dengan warga negara.
[35] 123 Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan
berkenaan dengan penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana
tercantum dalam lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan
menggabungkan perumusan alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi, khusus
mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “... serta melindungi
penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan dengan ajaran agama”,
sebaiknya dihapuskan saja, karena dapat mengurangi kebebasan orang untuk
menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa
juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap
tidak selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam
paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain
masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang diberikan oleh
negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak
asasi kelompok paham yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.
[36] Lihat Samuel P. Huntington, The Third Wave:
Democratization in the Late Twentieth Century, (Norman; University of Oklahoma
Press, 1991).
[37] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi, (Jakarta; Konstitusi Press, 2005), hal. 209-228.
[38] Dalam kehidupan sosial terdapat tiga wilayah kekuasaan,
yaitu negara (state), masyarakat sipil (civil society), dan pasar (market).
Ketiga wilayah kekuasaan tersebut idealnya saling berhubungan secara seimbang
tanpa adanya dominasi dari salah satu pihak. Lihat,
Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, op cit.,
hal. 81. Namun kondisi sosial menunjukkan tarik-menarik antara ketiga wilayah
kekuasaan tersebut terjadi hingga terjadi dominasi oleh salah satu wilayah
kekuasaan. Lihat, Anthony Giddens, The Constitution of Society: Teori
Strukturasi untuk Analisis Sosial, Judul Asli: The Constitution of
Society: The Outline of the Theory of Structuration, Penerjemah: Adi Loka
Sujono, (Pasuruan; Penerbit Pedati, 2003). Bandingkan dengan Francis
Fukuyama, Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21,
Judul Asli: State Building: Governance and World Order in the
21st Century, Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2005).
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....3
NILAI-NILAI MUSYAWWARAH DAN DEMOKRASI GLOBAL
A.
Latar belakang
Demokrasi merupakan sebuah sistem yang paling banyak dianut pada
masa ini. Saat ini, banyak sekali Negara yang menganut sistem demokrasi sebagai
sistem pemerintahannya. Demokrasi sendiri berarti sistem yang berasal dari
rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi sering diartikan sebagai
penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan
keputusan, dan persamaan hukum. Dalam tradisi negara-negara barat, demokrasi
didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi pemerintah bagi
dirinya sendiri dan wakil rakyat menjadi pengendali yang bertanggung jawab
terhadap tugasnya. Oleh karenanya, rakyat tidak mungkin mengambil keputusan
karena jumlah yang terlalu besar. Maka dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat.
Pemerintah dipilih secara langsung oleh rakyat dan berfungsi sebagai
penyalur aspirasi dan membuat kebijakan untuk kepentingan rakyat
demi kesejahteraan rakyat.
Sistem
demokrasi pun dipercaya sebagai sebuah sistem pemerintahan di Indonesia.
Indonesia memiliki badan legislatif yang anggotanya merupakan wakil rakyat.
Rakyat juga berwenang memilih presiden dan wakil presiden. Namun kenyataannya,
Indonesia masih dalam masa “belajar” berdemokrasi, masih dalam masa sosialisasi
tentang demokrasi yang sebenarnya. Masih banyak rakyat yang tidak mengerti
hakikat dari berdemokrasi, dan masih banyak pula yang salah mengaplikasikan
bentuk dari demokrasi tersebut.
Dalam Islam,
demokrasi telah diajarkan Rasulullah SAW. Yaitu dengan musyawarah. Contohnya,
pada saat perang badar, beliau mendengarkan saran sahabatnya mengenai lokasi
perang walaupun itu bukan pilihan yang yang diajukan olehnya. Rasulullah pun
mulai sering melakukan musyawarah bersama sahabat-sahabatnya untuk memutuskan
sesuatu. Namun yang terjadi saat ini, banyak orang yang menganggap bahwa sistem
demokrasi diadaptasi dari Negara-negara barat, sehingga sistem demokrasi
dianggap tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Musyawarah dalam Islam
dianggap sebagai suatu cara untuk menemui kata mufakat secara adil dan
kekeluargaan. Sedangkan sistem demokrasi negara barat dianggap memiliki tujuan
yang bersifat duniawi dan materialistis. Maka dari itu, kita perlu memahami
hakikat demokrasi, musyawarah dan pelaksanaan demokrasi yang ideal yang sesuai
dengan kaidah-kaidah Islam serta sesuai dengan cita-cita bangsa dalam
Pancasila.
B.
Demokrasi
1.
Pengertian Demokrasi.
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas dua
kata, yaitu demos, yang berarti rakyat, dan cratein, yang berarti
pemerintah. Maka dilihat dari arti katanya, istilah demokrasi mengandung arti
pemerintahan rakyat, yang kemudian lebih dikenal dengan pengertian pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government from the people, by the
people, and for people)[1]
Batasan
demokrasi menurut pengertian secara harafiah diatas menimbulkan kontradiksi
dalam pemahamannya, karena dalam pengertian demikian berarti yang berjumlah
lebih banyak memerintah yang jumlahnya lebih sedikit, sedangkan dalam
kenyataannya adalah sebaliknya, yaitu yang berjumlah lebih sedikit memerintah,
yang berjumlah lebih banyak diperintah. Mengenai pengertian demokrasi ini Jean
Jacques Rousseau mengemukakan: [2]
“Kalau dipegang
arti kata seperti diartikan umum, maka demokrasi yang sungguh-sungguh tidak
pernah ada dan tidak ada. Adalah berlawanan dengan kodrat alam, bahwa yang
berjumlah terbesar memerintah, sedangkan yang paling sedikit harus diperintah”
Berhubungan
dengan hal itu, maka demokrasi dapat diberikan pengertian sebagi suatu sistem
pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat. Dari hal tersebut sesungguhnya
pengertian demokrasi itu mengalami perkembangan sejalan dengan paham dan asas
yang dianut oleh suatu Negara dalam kehidupan bernegara.
Negara-negara
yang ada didunia kini mendasarkan diri atas paham dan asas demokrasi, meskipun
paham dan asas yang dianutnya tersebut didalam pelaksanaannya tidak sama atau
berbeda, sehingga kita mengenal adanya berbagai sebutan yang dikaitkan dengan
paham demokrasi, seperti : social democracy, liberal democracy, people
democracy, guided democracy, dan sebagainya.
Pelaksanaan
demokrasi yang tidak sama antara Negara yang satu dengan lainnya dapat dilihat
dalam berbagai konstitusi Negara, dimana dikenal adanya macam-macam bentuk dan
sistem ketatanegaraan seperti: Negara kesatuan dan Negara federal, Negara
republik dan Negara kerajaan, dengan sistem yang dianutnya sepert: sistem satu
kamar dan dua kamar, sistem pemerintahan parlementer dan pemerintahan
presidensil, sistem diktatorial dan sistem campuran, dan sebagainya.[3]
Norma-norma
yang menjadi pandangan hidup demokrasi:[4]
1) Pentingnya
kesadaran akan pluralismee
2) Musyawarah
3) Pertimbangan
moral
4) Pemufakatan
yang jujur dan sehat
5) Pemenuhan
segi-segi ekonomi
6) Kerjasama
antar warga masyarakat dan sikap mempercayai itikad baik masing-masing
7) Pandangan
hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan.
2.
Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Perkembangan
demokrasi di Indonedia mengalami pasang-surut dari masa kemerdekaan sampai
sekarang ini. Dalam perjalanan bangsa dan Negara Indonesia, masalah pokok yang
dihadapi ialah bagaimana demokrasi mewujudkan mereka dalam sisi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Perkembangan demokrasi di Indonesia dilihat dari segi
waktu dibagi dalam empat periode :[5]
a.
Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Sistem
parlementer yang mulai berlaku setelah kemerdekaan kemudian diperkuat dalam UUD
1945 dan 1950, ternyata tidak cocok di Indonesia. Persatuan yang digalang
selama menghadapi musuh bersama tidak dapat dibina menjadi kekuatan konstruktif
setelah kemerdekaan tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem ini.
UUD 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif
terdiri dari presiden sebagai kepala negara konstitusional dan beserta
menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi
partai politik usia kabinet pada masa ini jarang dapat bertahan cukup lama.
Koalisi yang dibangun dengan sangat gampang pecah. Hal inilah yang mendorong
Ir. Soekarno sebagi presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang
menentukan berlakuknya kembali UUD 1945. Dengan demikian masa demokrasi ini
berakhir.[6]
b.
Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Ciri-ciri
demokrasi ini adalah dominasi dari presiden, terbatasnya partai politik, berkembangnya
pengaruh komunis dan meluasnya peran ABRI sebagai unsure social politik. Banyak
sekali penyimpangan yang terjadi pada masa pemerintahan ini, diantaranya
pengangkatan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup, yang tidak sesuai
dengan UUD 1945. Selain itu presiden juga membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat
hasil Pemilihan Umum, padahal dalam penjelasan UUD 1945 secara eksplisit
ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.[7]
c.
Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Landasan formal
demokrasi ini yaitu Pancasila, UUD 1945 serta ketetapan MPRS. Dalam usaha
meluruskan penyelewengan terhadap UUD pada masa demokrasi terpimpin, Tap MPRS
No. III/1963 mengenai penetapan masa jabatan seumur hidup Ir. Soekarno telah
dibatalkan.[8]
Beberapa
perumusan tentang demokrasi Pancasila sebagai berikut :
1) Demokrasi
dalam bidang politik pada hakikatnya adalah menegakkan kembali asas-asas Negara
hukum dan kepastian hukum.
2) Demokrasi
dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua
warga Negara.
3) Demokrasi
dalam bidang hukum pada hakikatnya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM,
peradilan yang tidak memihak.
Dengan demikian
secara umum dapat dijelaskan bahwa watak demokrasi Pancasila tidak berbeda
dengan demokrasi pada umumnya. Karena demokrasi Pancasila memandang kedaulatan
rakyat sebagai inti dari sistem demokrasi. Namun demikian “demokrasi Pancasila”
dalam rezim Orde Baru hanya sebagai retorika dan gagasan belum sampai pada
tataran praktis atau penerapan. Karena dalam praktiknya rezim ini sangat tidak
memberikan ruang bagi kehidupan berdemokrasi.[9]
d.
Demokrasi Orde Reformasi (1998-Sekarang)
Runtuhnya rezim
otoriter orde baru telah membawa harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di
Indonesia. Bergulirnya reformasi yang mengiringi runtuhnya keruntuhan rezim
tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi di Indonesia. Transisi
demokrasi merupakan fase krusial yang kritis, karena dalam fase ini akan
ditentukan akan kearah mana demokrasi yang akan dibangun. Sukses atau gagalnya
suatu transisi sangat tergantuung pada empat faktor kunci, yaitu :
- Komposisi
elite politik
- Desain
institusi politik
- Kultur
politik atau perubahan sikap terhadap politik.
- Masyarakat
madani (Civil Society)[10]
3.
Pelaksanaan Demokrasi yang Ideal
Menurut Dahl
(1958:10) berkaitan dengan problem pluralisme demokrasi,proses demokrasi yang
ideal hendaknya memenuhi 5 kriteria: [11]
1) Persamaan
hak pilih : Dalam mebuat keputusan kolektif yang mengikat, hak istimewa dari
setiap warga Negara seharusnya diperhatikan secara berimbang dalam menentukan
keputusan terakhir.
2) Partisipasi
efektif : Dalam seluurh proses pembuatan keputusan secara kolektif, termasuk
tahap penentuan agenda kerja, setiap warga Negara harus mempunyai kesempatan
yang sama dan memadai untuk menyatakan hak-hak istimewanya dalam rangka
mewujudkan kesimpulan terakhir.
3) Pembenaran
kebenaran : Dalam waktu yang dimungkinkan, karena keperluan untuk suatu
keputusan, setiap warga Negara harus mempunyai peluang yang sama dan memadai
untuk melakukan penilaian logis demi mencapai hasil yang paling diinginkan.
4) Kontrol
Terakhir terhadap agenda : Masyarakat harus mempunyai kekuasaan eksklusif untuk
menentukan soal-soal mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui
proses-proses yang memenuhi ketiga criteria yang disebut pertama. Dengan cara
lain, tidak memisahkan masyarakat dari hak kontrolnya terhadap agenda dan dapat
mendelegasikan wewenang kekuasaan kepada orang-orang lain yang mungkin dapat
membuat keputusan-keputusan lewat proses non demokrasi.
5) Pencakupan
: Masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum,
kecuali pendatang sementara.
4.
Pandangan Islam terhadap Demokrasi
Perdebatan
tentang hubungan antara Islam dan demokrasi sebagaimana diakui oleh Mun’im A.
Sirry memang masih menjadi perdebatan yang belum terselesaikan.
Berdasarkan pemetaan yang dikembangkan oleh Jhon L. Esposito dan James P.
Piscatory (Syukron Kamil : 2002) secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok pemikiran.[12]
a.
Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam
dipandang sebagai sistem politik alternatif terhadap demokrasi. Demokrasi
sebagai sistem barat tidak tepat untuk dijadikan acuan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Sementara Islam sebagai agamakaffah yang tidak hanya
mengatur aspek teologi (aqidah) dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek
kehidupan umat manusia. Ini diungkapkan oleh elit kerajaan Arab Saudi dan elit
politik Iran pada masa awal revolusi Iran, Syekh FadhAllah Nuri, Sayyid Qutb,
Thabathabi, Al-Sya’rawi dan Ali Benhadj.[13]
b.
kelompok yang menyatakan
bahwa Islam dan Demokrasi merupakan konsep yang sejalan setelah diadakan
penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri. Diantara tokoh
dari kelompok ini adalah al-Maududi, Abdul Fattah Morou, dan Taufiq Asy-Syawi.[14]
c.
Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem
demokrasi . Pandangan ini yang paling dominan yang ada di Indonesia, karena
demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem pemerintahan Indonesia dan
Negara-negara Islam lainnya. Diantara tokoh-tokohnya yaitu, Fahmi
Huwaidi, al-Aqqad, M Husain Haekal, Robert N. Bellah. Di Indonesia diwakili
oleh Nurcholis Majid (Cak Nur), Amien Rais, Munawir Syadzali, A. Syafi’i
Ma’arif dan Abdurrahman Zahid.[15]
Penerimaan
Negara-negara Islam terahadap demokrasi bukan bararti demokrasi dapat
berkembang dengan cepat secara otomatis. Ada beberapa alas an teoritis yang dapat
menjelaskan tentang lambatnya pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di dunia
Islam :[16]
1) Pemahaman
doktrinal menghambat praktek demokrasi. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan kaum
muslim yang cenderung memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan
dengan Islam.
2) Persoalan
kultur. Sebenarnya demokrasi telah dicoba di Negara-negara Islan sejak paruh
pertama abad dua puluh tetapi gagal. Tampaknya ia akan sukses pada masa-masa
mendatang, karena warisan kultural masyarakat muslim sudah terbiasa dengan
otokrasi dan ketaatan pasif. Persoalan kultur ditengarai sebagai yang paling
bertanggung jawab mengapa sulit membangun demokrasi di Negara Islam. Sebab,
secara doktrinal, pada dasarnya hamper tidak dijumpai hambatan teologis
dikalangan tokoh-tokoh partai, ormas, atau gerakan Islam. Bahkan ada
kecenderungan untuk merambah tugas baru yaitu merekonsiliasi perbedaan antara
teori politik modern dengan doktrin Islam.
3) Lambannya
pertumbuuhan demokrasi di dunia Islam tak ada hubungannya dengan teologi maupun
kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri.
Untuk membangun demokrasi dibutuhkan kesungguhan, kesabaran, dan diatas segalanya
adalah waktu. Jhon Esposito dan O. Voll adalah tokoh yang tetap optimis
terhadap masa depan demokrasi di dunia Islam. Terlepas dari itu semua, tak
dapat diragukan lagi, pengalaman empirik demokrasi dalam sejarah Islam memang
terbatas.[17]
5.
Demokrasi sebagai Implementasi Sila Keempat : Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan
Sila keempat
ini mempunyai makna bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat, dan dalam
melaksanakan kekuasaannya, rakyat menjalankan sistem perwakilan (rakyat memilih
wakil-wakilnya mealui pemilihan umum) dan keputusan-keputusan yang diambil
dilakukan dengan jalan musyawarah yang dikendalikan dengan pikiran yang sehat,
jernih, logis, serta penuh tanggung jawab baik kepada Tuhan maupun rakyat yang
diwakilinya. Butir-butir implementasi sila keempat adalah sebagai berikut :[18]
1. Mengutamakan
kepentingan negara dan masyarakat. Butir ini menghendaki masyarakat harus
mengawal wakil rakyat yang dipilih lewat pemilu, agar setiap keputusan wakil
rakyat mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
2. Tidak
memaksakan kehendak kepada orang lain. Butir ini menghendaki setiap warga
negara untuk tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, menghormati setiap
perbedaan, dan dengan akal sehat melakukan kompromi demi kebaikan masyarakat
dan negara.
3. Mengutamakan
musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Butir ini
menghendaki adanya musyawarah yaitu pembahasan secara bersama-sama atas suatu
penyelesaian masalah.
4. Musyawarah
untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan. Butir ini
menghendaki agar pengambilan keputusan secara bersama-sama didasarkan semangat
kekeluargaan yaitu hubungan kekerabatan yang sangat erat dan mendasar di
masyarakat.
5. Dengan
itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan
musyawarah. Butir ini menghendaki, setiap keputusan yang diambil dalam
musyawarah untuk diterima dan dilaksanakan dengan baik
6. Musyawarah
dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Butir ini
menghendaki prinsip musyawarah dalam memecahkan masalah bukan menang dan kalah,
serta kepentingan golongan, tetapi dengan menggunakan akal sehat, tidak mabuk
dan anarki, sesuai dengan hati nurani.
7. Keputusan
yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menjunjung tinggi harkat martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran
dan keadilan.
C.
Musyawarah
Kata musyawarah
terambil dari kata(شور ) syawara yang pada
mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian
berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil / di keluarkan
dari yang lain ( termasuk pendapat). Orang yang bermusyawarah
bagaikan orang yang minum madu(Quraish Shihab : 2001)
Dari makna
dasarnya ini diketahui bahwa lingkaran musyawarah yang terdiri dari peserta dan
pendapat yang akan disampaikan adalah lingkaran yang bernuansa kebaikan.
Peserta musyawarah adalah bagaikan lebah yang bekerja sangat disiplin, solid
dalam bekerja sama dan hanya makan dari hal- hal yang baik saja ( disimbolkan
dengan kembang), serta tidak melakukan gangguan apalagi merusak
dimanapun ia hinggap dengan catatan ia tidak diganggu. Bahkan sengatannya pun
bisa menjadi obat. Sedangkan isi atau pendapat musyawarah itu bagaikan madu
yang dihasilkan oleh lebah. Madu bukan hanya manis tapi juga menjadi obat dan
karenanya menjadi sumber kesehatan dan kekuatan. Itulah hakekat dan
semangat sebenarnya dari musyawarah. Karenanya kata tersebut tidak digunakan
kecuali untuk hal- hal yang baik- baik saja.
Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekeliling. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan maksudnya : urusan peperangan dan
hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan
lain-lainnya.kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal-lah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya
(Q.S. Ali Imran : 159)
Perintah
bermusyawarah pada ayat diatas turun setelah peristiwa menyedihkan pada perang
uhud. Ketika itu menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan sahabat-sahabatnya
untuk memusyawarahkan bagaimana sikap menghadapi musuh yang sedang dalam
perjalanan dari Mekah ke Madinah. Nabi cenderung bertahan di kota Madinah, dan
tidak keluar menghadapi musuh yang datang dari mekah. Sahabat-sahabat beliau,
terutama kamu muda yang penuh semangat mendesak agar kaum muslim, dibawah
pimpinan Nabi Muhammad SAW keluar menghadapi musuh.
Pendapat mereka
itu mendapat dukungan mayoritas, sehingga Nabi menyetujuinya. Tetapi,
peperangan berakhir dengan gugurnya para sahabat yang jumlahnya tidak kurang
dari tujuh puluh orang. Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis
yang dialami Nabi dan sahabat beliau amat perlu digaris bawahi untuk melihat
bagaimana pandangan Al-Quran tentang musyawarah.
Ayat ini
seakan-akan berpesan kepada Nabi, bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan
dan dilanjutkan. Walaupun terbukti pendapat yang mereka putuskan keliru.
Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan dapat menjadi tanggung jawab
bersama,dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan
pendapatnya sekalipun.
Dari ayat
tersebut dapat diambil empat sikap ideal ketika dan setelah melakukan
musyawarah :
1.
Sikap lemah lembut. Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi pemimpin
harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala.
2.
Memberi maaf dan membuka lembaran baru. Sikap ini harus dimiliki peserta
musyawarah, sebab tidak akan berjalan baik, kalau peserta masih diliputi
kekeruhan hati apalagi dendam.
3.
Memiliki hubungan yang harmonis dengan Tuhan yang dalam ayat itu dijelaskan
dengan permohonan ampunan kepada- Nya. Itulah sebabnya yang harus
mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfiroh dan ampunan Ilahi.
4.
Setelah selesai semuanya harus diserahkan kepada Allah, bertawakkal.
Kita sering mendengar mengenai Syura jika berbicara tentang musyawarah. Syura,
sebenarnya adalah suatu forum, dimana setiap orang mempunyai kemungkinan untuk
terlibat dalam urun rembuk, tukar pikiran, membentuk pendapat, dan memcahkan
suatu persoalan bersama. [19]
Musyawarah
adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan bersama dengan
maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah. Bermusyawarah artinya
berunding atau berembug. Sedangkan permusyawaratan berarti berunding. Sehingga
jelaslah bahwa permusyawaratan dalam sila keempat Pancasila merupakan
perundingan dalam rangka pembahasan bersama dengan maksud untuk mencapai
keputusan terhadap suatu masalah yang menyangkut orang banyak. [20]
Orang –orang
yang bisa dan layak bermusyawarah sebagaimana yang terisrat dalam Q.S Asy –
Syura : 38, bahwa setiap persoalan yang dipecahkan secara kolektif kolegial
akan memberikan manfaat dan kemashlahatan yang luas. Bahkan Islam sebagai
rahmatan lil alamin tidak membatasi keterlibatan non Islam dalam menyumbangkan
sarannya untuk memcahkan masalah. Karena musyawarah dalam Islam bersifat
inklusif.
Dengan
demikian, esensi musyawarah adalah pemberian kesempatan kepada anggota
masyarakat yang memiliki kemmapuan dan hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan
keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk aturan-aturan hukum atau kebijaksanaan
politik.
ANALISIS DAN KOMENTAR
Eksperimentasi
demokrasi mewujud dengan pemungutan suara. Voting menjadi kata kunci.
Mayoritas-minoritas. Menang atau kalah. Kita sedang dihadapkan pada
keprihatinan dimana demokrasi yang mewujud dalam pilkada menghadirkan pimpinan
yang terjerat kasus korupsi, yang menjadi aktor penghambat berkembangnya
demokrasi.
Transisi
demokrasi di Indonesia membuat demokrasi menjadi sesuatu yang eksplosif
(meledak-ledak). Karena eksplosif sering tanpa kontrol, ditambah lemahnya
Negara, sering terjadi eksplosi yang berujung pada anarki. Apa yang sebenarnya
terjadi dalam eksperimen demokrasi Indonesia? Euforia demokrasi tidak berjalan
sejajar dengan peningkatan pemahaman soal demokrasi itu sendiri. Kebebasan
kerap disalah artikan sebagai ‘kebebasan tanpa aturan’ dan tanpa kepatuhan pada
hukum.
Gejala
kekerasan yang terjadi menunjukkan masih jauhnya pemahaman demokrasi sebagai
art of compromise. Mengalami demokrasi masih menjadi sesuatu yang baru.
Demokrasi tidak cukup bisa dikembangkan sendiri. Ia harus disemaikan,dipupuk
secara terencana. Ia membutuhkan pendidikan yang mencakup: pendidikan demokrasi
dan pendidikan kewarganegaraan.
Dimana
musyawarah? Mohammad Hatta pernah berkata bahwa ada lima unsur demokrasi khas
Indonesia, yakni rapat, mufakat, gotong royong, hak mengajukan protes bersama,
dan hak menyingkir dari wilayah kekuasaan pemimpin yang tidak adil.
Musyawarah
menjadi kata kunci. Tetapi praktis politik menunjukkan pudarnya permusyawaratan
untuk mufakat. Tren baru mengarah pada demokrasi transaksional. Parta politik
menjadi penyewa perahu bagi kandidat untuk maju dalam pilkada: dan itu uang.
Hingga demokrasi kini terlihat sperti sebuah transaksi, mudah dibeli oleh uang.
Eksperimentasi
demokrasi yang berjalan sejak lama seharusnya menciptakan kesadaran baru.
Demokrasi tak mungkin dilepas dan diserahkan kepada para pelaku untuk
menafsirkan sendiri bagaimana demokrasi dipraktikkan. Demokrasi politik juga
tak akan bisa bertahan tanpa memunculkan keadilan sosial. Pemimpin visioner
dibutuhkan.
Diskursus soal
kerakyatan dan musyawarah-mufakat perlu dimunculkan. Pendidikan demokrasi
menjadi keniscayaan ditengah pergerakan demokrasi yang tak terkontrol. Esensi
musyawarah – mufakat yang terkandung dalam pancasila perlu diaplikasikan dalam
praktis politik.
Kita harus
melihat dan membumikan kembali relasi Pancasila,konstitusi, undang-undang,
serta perilaku poitik. Dengan upaya itu , kita bisa selamat dalam menjalani
eksperimentasi demokrasi.
Footnote
[1] Subandi
Al-Marsudi, Pancasila dan UUD’45 Dalam Paradigma Reformasi (Jakarta :
Raja Grafindo Nusantara,2001), hlm. 81
[2] Ibid.
[3] Ibid. hlm.
82
[4] Asep
Sulaiman, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (Bandung:Asman
Press,2012), hlm. 113
[5] Ibid. hlm.125
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm.126
[8] Ibid. hlm.126
[9] Ibid. hlm.127
[10] Ibid. hlm.127-128
[11] Aep
Saepuloh dan Tarsono, Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Islam(Bandung : Batik Press,2012) .hlm.124
[12] Asep
Sulaiman. Op.Cit.,hlm.129
[13] Loc.Cit.
[14] Loc.Cit.
[15] Loc.Cit.
[16] Loc.Cit.,hlm.130
[17] Loc.Cit.
[18] Aep
Saepuloh dan Tarsono.Op.Cit.,hlm.112-113
[19] Loc.cit.hlm
131
[20] Loc.cit.hlm
132
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....4
PANCASILA DAN DAN TANTANGAN IDEOLOGI RADIKAL
A.
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun, bila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada pondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham atau aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda. Paham atau aliran untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.Pahampaham radikal telah merajalela di Indonesia sejak merdeka hingga kini. Kompleksitas radikalisme di Indonesia yang tidak mudah diselesaikan karena akan selalu dikaitkan dengan pergolakan dunia lain terutama Timur Tengah, sehingga pilihan untuk penguatan basis kebangsaan dan keindonesiaan dengan memberikan pemahaman dan penguatan nasionalisme merupakan solusi jangka panjang yang harus ditempuh oleh pemerintah, disamping solusi jangka pendek yaitu dari sisi penegakan hukum dan ketegasan sikap dari keamanan yang berwenang.Rencana apapun itu, dibandingkan dengan dahulu, masyarakat sekarang sudah semakin cerdas dalam menyikapi isuisu radikalisme. Masyarakat sudah paham bahwa ada terlalu banyak variabel kemungkinan yang hadir dibelakang isu radikalisme yang berkembang. Cara yang paling bisa untuk dilakukan adalah dengan memperkuat sistem integrasi nasional dan ideologi bangsa.
Pancasila, dasar Negara yang mulai dilupakan sebagian besar masyarakat pun mulai diangkat lagi ke permukaaan. Sebagai masyarakat plural yang telah disatukan oleh Bhineka Tunggal Ika, bukan oleh satu agama saja, mulai memperbincangkan kembali kesadaran untuk memahami dan mengamalkan nilai Pancasila. Masyarakat seperti tercerahkan bahwa selama ini Pancasila telah mati, merapuhkan NKRI dan membuka celah bagi mereka yang ingin bertindak makat. Pancasila harus kembali menjadi philosophische grondsag, falsafah dan pandangan hidup bangsa seperti yang diciptakan oleh Ir.Soekarno.
B.
Pengertian Integrasi dan Disintegrasi
Kata integrasi berasal dari kata integer, yang berarti utuh, tidak retak, bulat, padu. Jadi, integrasi mempunyai arti sebagai suatu proses penyaluran dua unsur atau lebih yang mengakibatkan tercapainya suatu keinginan yang berjalan secara baik dan lancar. Secara umum, Integrasi saling ketergantungan yang lebih rapat dan erat antarbagian dalam organisme hidup atau antar anggota di daam masyarakat sehingga terjadi penyatuan hubungan yang dianggap harmonis.
Faktor pendorong integrasi. :
1. Tingginya tingkat kesadaran akan integrasi dan partisipasi.
2. Terwujudnya asas keadilan sosial dan asas-asas subsolidaritas atau power sharing secara efektif.
3. Adanya simbol persatuan
Faktor penghambat integrasi :
1. Berkembangnya paham kedaerahan.
2. Berkembangnya paham stratifikasi sosial atau kelompok.
3. Berkembangnya anggapan bahwa agama dan kepercayaan tertentu yang paling benar.
4. Berkembangnya anggapan bahwa kebudayaan tertentu yang paling tinggi dibanding dengan kebudayaan lain (trendilmu.com).
Disintegrasi yaitu memudarnya kesatupaduan dalam organisasi dan solidaritas antara yang kolektif, golongan, dan kelompok dalam suatu masyarakat. Situasi disintegrasi dipengaruhi oleh timbulnya ketidaksepahaman diantara anggota, tidak patuh terhadap norma-norma yang berlaku, dan tidak berfungsinya sanksi-sanksi (Tri Astuty, 2015).
C.
Radikalisme
Radikalisme merupakan salah satu dari jenis jenis ideologi. Kalau liberalisme mengenal dan memberikan nilai tertinggi pada kebebasan individu, maka dalam jenis ideologi radikalisme kesamaan merupakan pusatnya. Radikalisme berkembang terutama dalam konfrontasi dengan liberalisme, akan tetapi radikalisme sendiri mempunyai akar-akar yang sangat tua. Pada zaman pertengahan banyak terdapat berbagai macam gerakan-gerakan radikal yang mengadakan protes terhadap tata masyarakat, protes tersebut dilakukan karena tatanan ini ditandai oleh tidak adanya kesamaan (A. Ubaidillah, 2000).
Radikalisme dalam studi ilmu sosial diartikan sebagai pandangan yang ingin melakukan perubahan yang mendasar dengan interprestasinya terhadap realitas sosial atau ideologi yang dianutnya (Hasani dan Naipospos, 2011).
Radikalisme agama adalah paham atau aliran yang keras dalam suatu ajaran agama tertentu. Menurut aliran ini, setiap permasalahan atau persoalan harus disikapi dengan tegas dank eras, tidak setengah-setengah apalagi ragu-ragu dalam bertindak demi tegaknya ajaran agama tersebut. Namun terkadang aliran ini dalam bertindak melebihi aturan yang ada atau bahkan menghalalkan cara untuk mencapai tujuan (Tim Pusat Studi Pancasila UGM, 2014).
D.
Pancasila dan Tantangan Radikalisme Berkembangnya berbagai ideologi yang bertentangan dengan Pancasila patut diwaspadai sebagai upaya pengikisan nilai-nilai kebangsaan. Beberapa ideology dan paham radikal yaitu:
1.
Paham Atheisme.
Dalam ensiklopedia bebas dijelaskan ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme. Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan. Kaitannya dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, selain mengingkari tuhan, atheis juga sekaligus mengingkari dan menodai pancasila, sila pertama “Ketuhanan yang maha esa”. Sila tersebut memiliki makna mendalam tentang berketuhanan, segala hal yang ada di alam semesta ini tentunya tidak akan muncul atau ada begitu saja, tentunya ada suatu dzat agung yang menciptakan seluruh sistem alam semesta ini, dimana terdapat maksud-maksud dan tujuan dalam masing-masing penciptaanya. Oleh karena itu, pancasila mengatur bangsa Indonesia dan manusia lainnya agar bersyukur terhadap segala sesuatu yang ada, karena pancasila meyakini dan mengimani bahwa tuhan itu benar-benar ada.Hal inilah yang tidak dapat ditangkap oleh kalangan atheis, yang begitu mengandalkan logika dan rasionalitas semata, padahal tuhan telah berpesan, bahwa akal manusia itu dibatasi.Atheis sering menuntut kebenaran secara logika tentang segala sesuatu hal yang berkaitan dengan ketuhanan (Aziz, Maula, 2011).
2.
Paham Sekularisme.
Dalam ensklopedia bebas dijelaskan sekularisme atau sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganak emaskan sebuah agama tertentu. Sekularisme dianggap sebagai solusi dalam menjalani kehidupan orang Barat. Karena dengan sekuler Barat terlepas dari dogma-dogma agama yang mengkungkung kebebasan akal. Segala problematika tidak harus dikembalikan pada agama secara kaku. Manusia yang memiliki akal berhak mengatur kehidupannya sendiri tanpa campur tangan hukum Tuhan
Dalam prespektif keindonesian dalam hal ini kaitannya dengan Pancasila Di Indonesia yang memiliki tradisi historis tersendiri, konsep negara sekuler sulit diterapkan.
Dari segi freedom of religion, Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menjamin seseorang bebas mendiskusikan atau memilih atau tidak memilih suatu agama tanpa campur tangan negara, dan ketika telah menganut agama dia bebas mengikuti ajaran-ajarannya, berpartisipasi dalam kebaktian, menyebarkan ajaran-ajarannya dan menjadi pejabat dalam organisasi agamanya. Namun, Ayat 1 yang berbunyi 'negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa' tidak sesuai prinsip negara sekuler (Ali, Muhammad, forum.detik.com).
3.
Paham Liberal.
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama. Edmund Burke mengemukakan bahwa libelarisme berhubungan dengan masalah apa yang seharusnya tidak dilakukan negara melalui kebijaksanaan umum, dan yang seharusnya tidak dilakukan negara untuk memberikan kebebasan kepada rakyatnya. Sebagai sebuah ideologi, libelarisme mengembangkan suatu prinsip yang sangat mendasar sifatnya seperti: (1) pengakuan terhadap hak-hak asasi warga negara, (2) memungkinkan tegaknya tertib masyarakat dan negara atas supremasi hukum, (3) memungkinkan lahirnya pemerintahan yang demokratis, dan (4) penolakan terhadap pemerintahan yang totaliter (Soegito, 2012).
E.
Tantangan Radikalisme dalam Konteks Ke-Indonesiaan
1.
Tragedi Poso.
Awal mulai terjadi bentrokan yaitu pada tahun 1999 sampai dengan 2007 bentrok terjadi. Mulai dari pertikaian agama, pertikaian warga dan para anggota kepolisian, pengancaman dan penculikan serta yang dulu sempat beredar bahwa jaringan “Al-Qaeda” terorganisir di dalam daerah Poso (kakijurnalis.blogspot.co.id).
F.
Upaya Perwujudan Pancasila sebagai Nilai Integratif Bangsa.
Pancasila sebagai nilai integratif, sebagai sarana pemersatu dan prosedur penyelesaian konflik perlu pula dijabarkan dalam praktik kehidupan bernegara. Pancasila sebagai sarana pemersatu dalam masyarakat dan prosedur penyelesaian konflik itulah yang terkandung dalam nilai integratif Pancasila. Pancasila sudah diterima oleh masyarakat Indonesia sebagai sarana pemersatu, artinya sebagai suatu kesepakatan bersama bahwa nilainilai yang terkandung di dalamnya disefujui sebagai milik bersama. Pancasila menjadi semacarn social ethics dalam masyarakat yang heterogen.
Pancasila adalah kata kesepakatan dalam masyarakat bangsa. Kata kesepakatan ini mengandung makna pula sebagai konsensus bahwa daram hal konflik maka lembaga politik yang diwujudkan bersama akan memainkan peran sebagai penengah. Jadi, apakah pancasila dapat digunakan secara rangsung mempersatukan masyarakat dan mencegah konflik? Tidak, tetapi prosedur penyelesaian konflik yang dibuat bersama, baik meliputi lembaga maupun aturan itulah yang diharapkan mampu menyelesaikan konflik yang terjadi di masyaratat. Fungsi Pancasila di sini adalah bahwa dalam hal pembuatan prosedur penyelesaian konflik, nilainilai pancasila menjadi acuan normatif bersama.Nilainilai Pancasila hendaknya mewarnai setiap prosedur penyeresaian konflik yang ada di masyarakat. Secara normatif dapat dinyatakan sebagai berikut; bahwa penyelesaian suatu konflik hendaknya dilandasi oleh nilainilai religius, menghargai derajat kemanusiaan, mengedepankan persatuan, mendasarkan pada prosedur demokratis dan berujurrg pudu terciptanya keadilan.
Berkembangnya berbagai ideologi yang bertentangan dengan Pancasila patut diwaspadai sebagai upaya pengikisan nilainilai kebangsaan. Revitasilasi dalam menghadapi tantangan ideologi radikal dalam konteks ke-Indonesiaan dengan cara :
1. Mengetahui dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari untuk meningkatkan integrasi kebangsaan.
2. Menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi dalam Negara Indonesia.
3. Tidak mudah percaya kepada ideologi-ideologi radikal yang berkembang di Indonesia untuk menentang Pancasila.
4. Membentengi diri dengan nilai-nilai Pancasila dan agama (Kaelan, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad, Indonesia Bukan Negara Sekuler, diunduh dari http://forum.detik.com/indonesia-bukan-negara-sekuler-t198717.html
Astuty, Tri. 2015. SOSIOLOGI. Jakarta: Vicosta Publishing
Aziz, Maula, Faza. 2011. Layak Tidaknya Seorang Yang Tidak Beragama Hidup Di Negeri Dengan Dasar Falsafah Pancasila, diunduh dari http://research.amikom.ac.id.
Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos. 2012. Dari Radikalisme menuju Terorisme. Jakarta: SETARA Institute
Ilmu, Trend. 2015. Pengertian Integrasi Nasional dan Disintegrasi Nasional. http://www.trendilmu.com/2015/11/Pengertian.integritas.nasional.html?m=1 diakses pada tanggal 10 November 2016 pukul 18.26 WIB
Kaelan. 2002. Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Paradigma
Tim Pusat Studi Pancasila UGM. 2014. KONGRES PANCASILA VI. Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada
Segia, Muhammad. 2014. Surganya Mayat Tanpa Kepala “Poso”. http://kakijurnalis.blogspot.co.id/2014/07/surganya-mayat-tanpa-kepala-poso.html?m=1 diakses pada tanggal 11 November 2016 pukul 11.33 WIB
Soegito, AT, dkk,. 2012. Pendidikan Pancasila. Semarang: Unnes Press
Ubaidillah, A.. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan (Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani). Jakarta: IAIN Jakarta Press
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....5
PANCASILA GEOSTRATEGI DAN KETAHANAN NASIONAL
A.
Latar Belakang Masalah.
Republik
Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, terletak
di garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta
antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Karena letaknya yang berada di
antara dua benua, dan dua samudra, ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan
Antara). Terdiri dari 17.508 pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di
dunia. Dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada tahun 2006, Indonesia adalah
negara berpenduduk terbesar keempat di dunia.[1]
Indonesia
berbatasan dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, dengan Papua Nugini di Pulau
Papua dan dengan Timor Leste di Pulau Timor. Negara tetangga lainnya adalah
Singapura, Filipina, Australia, dan wilayah persatuan Kepulauan Andaman dan
Nikobar di India. Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari berbagai
suku, bahasa dan agama yang berbeda. Semboyan nasional Indonesia, “Bhinneka
tunggal ika” (“Berbeda-beda tetapi tetap satu”), berarti keberagaman yang
membentuk negara. Hal ini menunjukkan adanya masyarakat Indonesia yang majemuk
dan hiterogen, didalamnya terdiri dari berbagai ras suku bangsa, bahasa, warna
kulit, agama dan adat istiadat yang berbeda. Dari berbagai perbedaan tersebut
sehingga dalam masyarakat Indonesia rawan dengan adanya konflik antara daerah
yang satu dengan daerah yang lain.
Oleh karena itu
perlu adanya suatu strategi untuk menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat
Indonesia. Dalam perkembangannya strategi tersebut tidak hanya untuk
menanggulangi masalah konflik antar daerah di Indonesia tetapi juga untuk
menghadapi segala gangguan yang datang dari luar Indonesia yang mengancam
keutuhan Negara Kesatuan Rebublik Indonesia. Strategi tersebut dalam masyarakat
Indonesia dikenal dengan istilah geostrategi.
Geostrategi
diartikan sebagai geopolitik untuk kepentingan militer atau perang. Di
Indonesia, geostrategi diartikan sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita
proklamasi, sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD 1945, melalui proses
pembangunan nasional. Karena tujuan itulah maka ia menjadi doktrin
pembangunan dan diberi nama Ketahanan Nasional.
Mengingat
geostrategi Indonesia memberikan arahan tentang bagaimana membuat strategi
pembangunan guna mewujudkan masa depan yang lebih baik, lebih aman, dan
sebagainy sehingga Geostrategi Indonesia ditegaskan wujudnya dalam bentuk
rumusan ketahanan nasional sebagai kondisi, metode, dan doktrin dalam
pembangunan nasional.
B.
Pengertian Geostrategi dan Konsep Astagatra.
Strategi
diartikan suatu upaya memanfaatkan kondisi geografi Negara dalam menentukan
kebijakan, tujuan, sarana untuk mencapai tujuan nasional (pemanfaatan kondisi
lingkungan dalam mewujudkan tujuan politik). Geostrategi Indonesia diartikan
pula sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi sebagaimana
yang diamanatkan dalam pembukaan dan UUD 1945.
Geostrategi
merupakan upaya untuk mencapai tujuan atau sasaran ditetapkan sesuai dengan
keinginan politik. Karena strategi sendiri merupakan upaya pelaksanaan, maka
strategi pada hakekatnya merupakan suatu seni yang implementasinya didasari
oleh intuisi, perasaan dan hasil pengalaman. Strategi juga merupakan ilmu yang
langkah-langkahnya selalu berkaitan dengan data dan fakta yang ada. Seni dan
ilmu digunakan sekaligus untuk membina atau mengelola sumber daya yang dimiliki
dalam suatu rencana dan tindakan.[2]
Geostrategi
untuk negara dan bangsa Indonesia adalah kenyataan posisi silang Indonesia dari
berbagai aspek antara lain : aspek geografi, aspek demografi, ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam.
Geostrategi
Indonesia berawal dari kesadaran bahwa bangsa dan negara ini mengandung sekian
banyak anasir-anasir pemecah belah yang setiap saat dapat meledak dan
mencabik-cabik persatuan dan kesatuan bangsa. Hal itu tampak jelas pada
tahun 1998 dimana timur-timur lepas dari Negara kesatuan Rebublik Indonesia.
Tidak hanya itu saja, tatkala bangsa kita lemah karena sedang berada dalam
suasana tercabik-cabik maka serentak pulalah harga diri dan kehormatan dengan
mudah menjadi bahan tertawaan di forum internasional. Disitulah
ketidakberdayaan kita menjadi tontonan masyarakat internasional, yang
sekaligus, apabila kita sekalian sadar, seharusnya menjadi pelajaran berharga.
Pada
perkembangannya geostrategi indonesia bagi menjadi empat periode yaitu yang
pertama tahun 1962-an geopolitik indonesia disebut SESKOAD. Hal ini ditujukan
terhadap adanya kekhawatiran mengenai komunis, yang kedua Tahun 1965 (Tanas)
menyatakan bahwa geostrategi Indonesia harus berupa sebuah konsep strategi
untuk mengembangkan keuletan dan daya tahan, pengembangan kekuatan nsional
untuk menghadapi dan menangkal ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik
bersifat internal maupun eksternal. Yang ketiga Tahun 1972 juga dikenal dengan
istilah Tanas tetapi dengan pendekatan keamanan dan kesejahteraan guna
menjaga identitas kelangsungan serta integritas nasional sehingga dan tujuan
nasional dapat tercapai. Yang keempat Tahun 1978 disebutkan bahwa geostrategi
Indonesia ditegaskan wujudnya dalam bentuk rumusan ketahanan nasional sebagai
kondisi, metode, dan doktrin dalam pemmbangunan nasional.
Ketahanan
nasional merupakan kondisi dinamis yang harus diwujudkan oleh suatu Negara dan
harus dibina secara dini terus menerus dan sinergi dengan aspek-aspek kehidupan
bangsa lain. Pemikiran konseptual tentang ketahanan nasional inididasarkan atas
konsep geostrategi yang merupakan konsep yang dirancang dan dirumuskan dengan
memperhatikan kondisi bangsa dan kondisi stelasi geografi Indonesia yang
disebut dengan konsep ketahanan nasional.
Konsepsi
ketahanan nasional merupakan suatu konsepsi di dalam pengaturan dan
penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang mencangkup segenap kehidupan
bangsa yang dinamakan ASTAGATRA yang meliputi aspek Alamiah (TRIGATRA), dan
aspek Sosial (PANCAGATRA).
Yang dimaksud dengan aspek alamiah (trigatra) yaitu :
a.
posisi dan lokasi geografi negara.
posisi dan lokasi Negara kesatuan republik Indonesia memberikan
gambaran tentang bentuk kedalam (menampakkan corak wujud dan tata susunan
tertentu), dan bentuk keluar (situasi dan kondisi lingkungan serta hubungan
timbale balik antara Negara dan lingkungan) dari Negara kita. Posisi dan lokasi
ini merupakan wadah bagi bangsa yang mendiaminya serta saling mempengaruhi satu
sama lain, dan dengan batas nasional tertentu membedakan Negara Indonesia
dengan bangsa lain.
Negara
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang dikelilingi oleh lautan. Posisi dan
lokasi Negara Indonesia berada dalam posisi silang di jalan silang dunia yaitu
antara benua asia dan benua Australia serta samudra pasifik dan samudra hindia.
Kondisi yang demikian tidak hanya bersifat fisik tetapi juga terbuka terhadap
segala pengaruh dan aliran sosial.
b.
keadaan dan kekayaan alam
sebagai makhluk
tuhan, untuk hidup berkembang biak dan mempertahankan diri, mereka memanfaatkan
alam dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Tentu dalam pemanfaatan itu
harus seimbang dan seirama dengan perkembangan penduduk.
Kekayaan alam
terbagai menjadi tiga golongan yaitu hewani (fauna), nabati (flora) dan mineral
(ada yang dapat diperbaharui dan ada yang tidak dapat diperbaharui). Kekayaan
alam di atas terbagi menjadi tiga lingkungan yaitu di atmosfir, di permukaan
bumi dan di dalam bumi. Setiap bangsa wajib mengelola sumber daya alam untuk
kepentingan kesejahteraan maupun keamanan. Hal tersebut menjadi penting untuk
menjaga agar tidak terjadi ketimpangan antara perkembangan potensi alam dengan
jumlah penduduk, baik secara nasional maupun di dalam konteks dunia (global).
Karena hal tersebut dapat membahayakan ketahanan nasional.
c.
keadaan dan kemampuan penduduk
penduduk
merupakan manusia yang tinggal di suatu tempat atau wilayah. Yang termasuk di
dalam masalah penduduk antara lain : jumlah penduduk, komposisi penduduk, dan
distribusi penduduk. Masalah penduduk ini pada umumnya dikaitkan dengan
pencapaian tingkat kemakmuran (kesejahteraan dan keamanannya). Ada faktor
positif dan negatif dari keadaan dan kemampuan penduduk yang langsung atau
tidak langsung akan mempengaruhi ketahanan nasional.
sedangkan aspek sosial (pancagatra) meliputi :
a.
Ideologi.
Suatu bangsa memerlukan landasan falsafah bagi kelangsungan
hidupnya yang sekaligus berfungsi sebgai dasar dan cita-cita nasional yang
hendak dicapai. Bangsa Indonesia memiliki falsafah Negara yang kita kenal
dengan pancasila yang lahir dari nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat Indonesia. Makin tinggi kesadaran dan ketaatan suatu bangsa
mengamalkan ideologi negaranya, maka semakin tinggi pula tingkat ketahanan
nasional dibidang ideologinya.
b.
Politik
Masalah politik
yang kita maksudkan di sini dalam konteksnya dengan Negara. Pusat kekuasaan
suatu Negara berada pada pemerintahannya, maka perjuangan memperoleh kekuatan
berubah menjadi perjuangan mengurusi pemerintah.
Jika
dianaligikan dengan ketahanan nasional, maka ketahanan nasional dibidang
politik berarti suatu kondisi dinamik suatu bangsa, yang berisi keuletan dan
ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional di dalam
menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan
baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak
langsung membahayakan kelangsungan hidup politik bangsa dan Negara.
Bagi Negara
berkembang seperti Indonesia, maka bidang politikmasih banyak masalah yang
harus dihadapi. Kesadaran nasional yang masih perlu ditingkatkan, kwalitas
pertisipasi rakyat yang masih belum bersifat nasional, serta dibutuhkan
inisiatif pemerintah yang memadai, agar terjadi keseimbangan dan keserasian.
Maka tingkat ketahanan politik dapat diukur dengan kemampuan suatu sistem
politik dalam menghadapi dan menanggulangi problemnya.
c.
Ekonomi
Ketahanan
nasional dibidang ekonomi merupaka suatu kondisi dinamik suatu bangsa yang
berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan
kekuatan nasional didalam menghadapi segala tantangan, ancaman, hambatan dan
gangguan yang membahayakan kehidupan ekonomi bangsa dan Negara.
Oleh karena itu
untuk ketahanan nasional dibidang ekonomi ini diperlukan pembinaan ekonomi yang
pada dasarnya adalah menentukan kebijaksanaan ekonomi dan pembinaan faktor
produksi serta pengolahannya di dalam produksi dan distribusi serta
pengelolaanya di dalam distribusi barang dan jasa, baik di dalam negeri maupun
didalam hubungannya dengan luar negeri.
d.
Sosial budaya
Faktor yang
mempengaruhi ketahanan nasioanl dibidang sosial budaya adalah tradisi. Tradisi
bangsa adalah seluruh kepercayaan, anggapan dan tingkah laku yang terlembagakan
yang diwariskan dan diteruskan dari generasi kegenerasi serta memberikan suatu
bengsa sistem nilai dan sistem norma untuk menjawab tantangan setiap tahap
perkembangan sosial. Tradisi berisfat dinamis dapat membantu ketahanan
nasional, tetapi tradisionalisme yang sikap atau pandangan memuji secara
berlebihan masa kehendaknya dapat kita tinggalkan.
e.
Militer HANKAM
Pertahanan
kemanan adalah daya upaya rakyat dengan angkatan bersenjata sebagai inti dan
merupakan salah satu fungsi utama pemerintah Negara dalam menegakkan ketahanan
nasional dengan tujuan mencapai keamanan bangsa dan Negara, serta kemampuan
perjuangannya dilaksanakan dengan menyusun, mengerahkan dan menggerakkan
seluruh potensi dan kekuatan masyarakat dalam seluruh bidang kehidupan nasional
secara terintegrasi dan terkoordinasi.
Ketahanan
nasioanal dibidang HANKAM merupakan suatu kondisi dinamis suatu bangsa yang
berisi kemampuan mengembangkan kekuatan nasional di dalam menghadapi dan
mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan yang membahayakan
pertahanan dan keamanan bangsa dan Negara.
C.
Upaya Indonesia dalam Mencapai Perdamaian Dunia
Sejak dahulu
Indonesia selalu aktif dalam upaya mencapai suatu perdamaian dunia, geostrategi
Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia terbentuk dalam sistem poltik luar
negeri yang diterapkan di Indonesia. Dasar hukum pelaksanaan politik luar
negeri Republik Indonesia tergambarkan secara jelas di dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 alinea I dan alinea IV. Alinea I menyatakan “bahwa
kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri
keadilan”. Pada alinea IV dinyatakan bahwa “dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Dari dua
kutipan di atas, jelaslah bahwa politik luar negeri RI mempunyai landasan atau
dasar hukum yang sangat kuat, karena diatur di dalam Pembukaan UUD 1945. Selain
dalam pembukaan terdapat juga dalam beberapa pasal contohnya pasal 11 ayat 1,
2,3 dan pasal 13 ayat 1,2,3.
1.
Pasal 11 UUD 1945
a).
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
b).
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
c). Ketentuan lebih lanjut tentang
perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
2.
Pasal 13 UUD 1945
a)
Presiden mengangkat duta dan konsul.
b) Dalam
mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
c)
Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Sebagaimana
telah diuraikan di atas bahwa rumusan yang ada pada alinea I dan alinea IV
Pembukaan UUD 1945 merupakan dasar hukum yang sangat kuat bagi politik luar
negeri Republik Indonesia. Dari rumusan tersebut, kita belum mendapatkan
gambaran mengenai makna politik luar negeri yang bebas aktif. Karena itu dalam
uraian ini akan dikutip beberapa pendapat mengenai pengertian bebas dan aktif.
Menurut A.W Wijaya Bebas artinya tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh
suatu politik negara asing atau oleh blok negara-negara tertentu, atau
negara-negara adikuasa (super power). Aktif artinya dengan sumbangan realistis
giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerjasama internasional dengan
menghormati kedaulatan negara lain.
Dalam konteks
pada masa sekarang pengertian bebas aktif seperti yang dijelaskan di atas sudah
tidak relevan lagi mengingat pada masa sekarang sudah tidak ada lagi blok barat
maupun blok timur. Namun system politik luar negeri tetap menganut system
politik luar negeri bebas aktif artinya apa bahwa Indonesia selalu mau bekerja
sama dengan Negara manapun serta Indonesia tetap aktif dalam usaha mewujudkan
perdamaian dunia.
Berbagai usaha
dilakukan oleh Indonesia dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia antara lain :
Indonesia sebagai anggota OIC (Organization Islamic
Conference) menjadi pendorong bagi perdamaian di Timur Tengah khususnya
mendukung Palestina sebagai negara merdeka dari pendudukan zionisme Israel.
Indonesia juga menjadi tuan rumah dan pemrakarsa Konferensi Internasional Ulama
sedunia pada bulan April 2007 di Bogor.
Disini para
ulama sedunia menyuarakan penghentian kekerasan di Irak, Lebanon dan Palestina.
Pertemuan itu mengeluarkan pernyataan agar Amerika Serikat tidak menjadi
pemecah-belah umat Islam di Timur Tengah yang ditenggarai para ulama sebagai
alasan tidak terselesaikannya perdamaian di dunia Arab. Indonesia juga
mempromosikan Islam yang moderat, toleran, solidaritas, serta meningkatan
dialog lintas budaya dan peradaban, karena pada saat ini masyarakat
internasional salah persepsi bahwa penyerangan yang dilakukan oleh segelintir
orang muslim terhadap kepentingan barat dalam bentuk teror dipahami sebagai
benturan antar peradaban, tapi melainkan terjadi karena ketidakadilan dan
ketimpangan sosial di dunia.
Peran Indonesia
dalam hal HAM yaitu, telah meratifikasi Konvenan Internasional tentang
Hak ekonomi sosial dan budaya dan Konvenan internasional tentang hak Sipil dan
politik. Kemudian, kepercayaan Internasional kepada Indonesia menjadikan
Indonesia sebagai ketua Komisi HAM tahun 2006 dan terpilih kembali menjadi
Dewan HAM dalam periode satu tahun 2006-2007. tetapi sangat disayangkan karena
Indonesia sendiri belum menegakkan HAM secara tegas. Hal itu terkait
dengan belum terungkapnya kasus-kasus seperti, Tragedi Tanjung Priok,
Talangsari, kerusuhan Mei 1998, tragedi Semanggi dan kematian aktivis HAM
(Munir).
Di badan PBB
Indonesia terpilih bersama Qatar dari kawasan Asia menjadi DK tidak tetap di
PBB, namun Indonesia tidak menunjukkan Independensinya dengan ikut menyetujui
sanksi terhadap Iran yang dituduh Amerika Serikat (AS) mengoperasikan reaktor
nuklir untuk membuat senjata nuklir yang dirasa AS akan mengancam keamanan
negerinya. Saya berpendapat Indonesia melakukan itu karena mendapat tekanan
dari AS dimana kepentingan nasional Indonesia banyak bergantung kepada AS.
Sebagai anggota PBB Indonesia juga telah banyak ikut serta dalam Peace
Keeping Operationsalah satunya di Lebanon setelah penyerangan Israel baru-baru
ini. Dibidang pertahanan Indonesia telah menjajaki kerjasama dalam bidang
produksi senjata dengan India dalam pertemuan Komite Bersama Kerja Sama
Pertahanan RI-India di Jakarta, 12-14 Juni 2007, yang diharapkan Indonesia
mampu menciptakan alat utama sistem persenjataan secara mandiri yang diperlukan
dalam menjaga kedaulatan negara dari ancaman pihak luar. Pembelian pesawat
tempur dan kapal selam Rusia juga ditempuh agar tidak tergantung dengan negara
Barat khususnya Amerika Serikat
Semua peran
internasional Indonesia diatas merupakan poin penting untuk meningkatkan
kepercayaan kepada masyarakat internasional dalam ikut menyelesaikan masalah
internasional. Bila masyarakat internasional telah hormat dan segan kepada
Indonesia, diyakini pihak-pihak luar enggan mengusik Indonesia. Dengan modal
kepercayaan itulah Indonesia akan mempunyai nilai tawar yang tinggi untuk
mencapai kepentingan nasional dalam hubungannya dengan negara lain dan bangsa
Indonesia dapat menentukan nasibnya sendiri tanpa didikte pihak lain. Peran Indonesia
dalam menjaga perdamaian dunia merupakan amanah dari pembukaan UUD 1945, yaitu
ikut mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Harsawaskita, A. 2007. “Great Power Politics di Asia Tengah: Suatu
Pandangan Geopolitik”, dalam Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional.
Bandung: Graha Ilmu.
Sumarsono,S,et.al.2001. “Pendidikan Kewarganegaraan”. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hidayat, I.Mardiyono. 1983. “Geopolitik, Teori dan Strategi
Politik dalam Hubungannya dengan Manusia, Ruang dan Sumber Daya Alam.”
Surabaya: Usaha Nasional.
Endang Saelani Sukarya, dkk. 2002. “Geostrategi
Indonesia,”Jakarta: PT.Kuaternita Adidarma.
Suryohadiprojo,Sayidiman,2001,; Integrasi
Bangsa”, Jurnal Ketahanan Nasional, Program StudiKetahanan Nasional
S.Ps-UGM, Yogyakarta
[2] Endang Saelani Sukarya, dkk, Geostrategi Indonesia
(Jakarta: PT.Kuaternita Adidarma, 2002), hal.41-42.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......6
PANCASILA DALAM KEISLAMAN DAN KEINDONESIAAN
Kompas..Selasa, 16 Mei 2017 | 19:18 WIB
Oleh: Salahuddin Wahid
Di dalam BPUPKI
(Mei-Juni 1945), muncullah pertentangan antara keindonesiaan dan keislaman,
yakni ketika kalangan ”nasionalis Islam” mengusulkan dasar negara Islam dan
kalangan ”nasionalis Pancasila” mengusulkan dasar negara Pancasila. Komprominya
ialah ”Piagam Jakarta”, yang di dalamnya terkandung dasar negara Pancasila
dengan sila pertama ”Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi
Pemeluk-pemeluknya”.
Ternyata
kompromi itu masih ditolak kalangan ”non-Islam” pada 17 Agustus 1945. Maka,
para tokoh Islam dengan lapang dada menyetujui dicoretnya anak kalimat ”dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menyetujui
rumusan: ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Itulah keberhasilan awal dari upaya
memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Keberhasilan
kedua upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman ialah ketika para ulama di
bawah pimpinan KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad (22 Oktober
1945), yang mengilhami dan mendorong para pemuda Muslim untuk bertempur melawan
tentara Sekutu pada 10 November 1945. Jihad, sebuah istilah agama, digunakan
untuk perjuangan bersifat kebangsaan.
Para tokoh
Islam berhasil dalam perjuangan mendirikan Departemen Agama pada Januari 1946.
Itu adalah keberhasilan ketiga upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Pada 1951,
Menteri Agama KH A Wahid Hasyim dan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan Bahder Johan (keduanya dari Partai Masyumi) membuat nota kesepahaman
tentang pendirian madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah
aliyah. Ini adalah keberhasilan keempat dalam memadukan keindonesiaan dan
keislaman, yang memberi tempat bagi pendidikan Islam di dalam sistem pendidikan
nasional. Pendidikan Islam dalam bentuk pesantren sebenarnya sudah aktif 500
tahun sebelum Belanda mendirikan sekolah di Hindia Belanda pada 1840, yang
menjadi cikal bakalpendidikan nasional Indonesia.
A.
Menerima asas Pancasila
Pertentangan
antara keindonesiaan dan keislaman muncul kembali ketika partai-partai Islam
(Masyumi, Partai NU, PSII, Perti, AKUI) memperjuangkan dasar negara Islam dalam
Konstituante pada 1956-1959. Perjuangan itu gagal karena kalah dalam pemungutan
suara.
Pertentangan
antara keindonesiaan dan keislaman berlanjut dalam Pemilu 1971, ketika
partai-partai Islam (Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti) berkampanye untuk
memperjuangkan dasar negara Islam. ABRI dan aparat pemerintah Orde Baru
berjuang untuk mengalahkan partai-partai Islam dengan segala cara. Kursi yang
diperoleh partai-partai Islam jauh di bawah jumlah kursi pada Pemilu 1955.
Berarti kedudukan partai-partai Islam di dalam DPR amat lemah.
Pada 1973
dilakukan pembahasan terhadap RUU Perkawinan, yang beberapa pasal di dalamnya dianggap
oleh para ulama bertentangan dengan hukum Islam. Yang paling penting ialah
Pasal 2, yang rumusan awalnya ialah ”perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut UU ini”. Syuriah PBNU yang dipimpin Rais Aam KH Bisri Syansuri (murid
KH Hasyim Asy’ari) menolak rumusan tersebut dan mengusulkan supaya diganti
menjadi ”perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya”. Kalangan non-Islam tentu saja menolak usul tersebut
karena hal itu berarti menerima syariat Islam yang partikular ke dalam sistem
perundang-undangan kita.Presiden Soehartomenyetujui usulan para ulama itu. Ini
adalah keberhasilan kelima dalam upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Pemerintah pada
awal 1980-anberusaha supaya Pancasila menjadi satu-satunya asas bagi parpol dan
ormas yang ada di Indonesia. Menghadapi situasi seperti di atas, Syuriah PBNU
membentuksebuah tim untuk mengkaji ”hubungan antara Islam dan Pancasila”. Tim
terdiri atas sejumlah ulama mumpuni yang dipimpin KH Ahmad Siddiq, alumnus
Pesantren Tebuireng yang pernah mengaji langsung kepada KH Hasyim Asy’ari.
Berdasar dokumen ”Hubungan Islam Pancasila” yang disusun tim di atas, Muktamar
NU 1984 di Situbondo memutuskan untuk menerima secara resmi Pancasila sebagai
dasar negara. Langkah itu lalu diikuti oleh PPP dan semua ormas Islam, kecuali
beberapa ormas yang jumlahnya amat sedikit. Ini adalah keberhasilan keenam dari
upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Pada 1989, DPR
membahas RUU Peradilan Agama sebagai lanjutan dari UU No 14/1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kembalimuncul konflik antara
keindonesiaan dan keislaman sehingga terjadi perdebatan panas antara yang
menyetujui dan menolak RUU tersebut. Pada 29 Desember 1989, RUU tersebut
disetujui menjadi UU No 7/1989. Muktamar NU 1989 di Pesantren Krapyak DI
Yogyakarta menghargai pengesahan UU tersebut. Ini adalah keberhasilan ketujuh
dari upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Setelah itu,
masih terdapat banyak lagi keberhasilan dalam memadukan keindonesiaan dan
keislaman, seperti UU Perbankan Syariah, UU Haji, dan UU Wakaf.Selain itu, UU
Sistem Pendidikan Nasional (2003) memasukkan pesantren ke dalam nomenklatur
pendidikan Indonesia sehingga memberikan peluang lebih luas bagi pesantren
untuk mengembangkan diri. Di dalam masyarakat kini tampak peningkatan minat
masyarakat untuk mengirim siswa ke pesantren dan juga minat untuk mendirikan
pesantren. Jumlah pesantren yang pada 1999 hampir 10.000 kini mendekati angka
30.000, yang keseluruhannya adalah milik swasta.
B.
Kondisi mutakhir.
Saat ini ada
gejala munculnya kembali konflik antara keindonesiaan dan keislaman. Gejala itu
terjadi dalam kaitan pemilihan gubernur DKI Jakarta. Ada kelompok yang
menganggap bahwa merekalah yang ”paling Islam” dan sebaliknya juga ada kelompok
yang menganggap bahwa merekalah yang ”paling Indonesia”. Yang memilih
Ahok-Djarotdianggap anti-Islam dan munafik, sedangkan yang memilih Anies-Sandi
dianggap anti-Indonesia, intoleran, dan anti-kebinekaan. Kedua anggapan itu
keliru.
Kalau kita
pelajari kembali proses penyusunan UUD pada 1945, ada keinginan tokoh-tokoh
Islam supaya presiden RI adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam.
Setelah melalui musyawarah, tokoh-tokoh Islam yang menyusun UUD menyetujui
bahwa syarat ”harus beragama Islam” itu dibatalkan. Kesediaan tokoh dan umat
Islam menghapus syarat harus beragama Islam bagi presiden sebenarnya sudah
menunjukkan toleransi mereka.
Akan tetapi,
mereka yang tidak memilih non-Muslim karena alasan keagamaan tidak bisa
dianggap sebagai orang yang tidak toleran atau melanggar UUD atau merusak
kebinekaan. Itu didasarkan pada Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945. Yang perlu dijaga
ialah cara menyampaikan pendapat itu, jangan sampai memakai bahasa yang
menyinggung atau mengandung nada kebencian. Juga perlu diperhatikan tempat dan
waktu dalam menyampaikan pendapat tersebut.
Sebenarnya
konflik dalam kaitan pemilihan gubernur DKI Jakarta bukanlah antara umat Islam
dan umat non-Islam. Akan tetapi, justru terjadi antara kelompok dalam umat
Islam: antara yang menyetujui calon non-Muslim dan yang menolak calon
non-Muslim. Perbedaan pandangan itu terjadi karena perbedaan penafsiran
terhadap Surat Al-Maidah Ayat 51 dan sejumlah surat lain.
Di dalam
kalangan Islam sejak abad pertama Hijriah sudah terdapat dua aliran besar dalam
menafsirkan ayat-ayat suci. Aliran pertama berpendapat bahwa syariat Islam
bersifat dogmatis dengan berpegang pada teks nash murni tanpa menggunakan
potensi akal. Tokoh utama aliran ini adalah Abdullah bin Umar, Ibnu Abbas, Amr
bin Ash. Aliran kedua berpendapat bahwa syariat itu bersifat rasional, maka
dalam menafsirkan teks suci, kita perlu mengoptimalkan penggunaan potensi akal.
Tokoh-tokohnya ialah Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Khattab, dan Ali bin Abi
Thalib. Menyikapi adanya dua kelompok seperti di atas, kedua pihak harus saling
menghormati pilihan masing-masing. Tidak perlu saling menyalahkan, saling
menyerang, atau saling mengejek.
Konflik
keindonesiaan dan keislaman itu mungkin meluas pada Pilkada 2018. Kalau pada
Pilpres 2019 konflik semacam itu masih terjadi, hal itu berpotensi mengancam
persatuan Indonesia. Perlu ada upaya untuk meredamnya. Perlu dilakukan dialog
antarkelompok di dalam Islam maupun dengan kalangan agama lain untuk
meredamnya. Dalam dialog itu perlu dibahas dengan rinci apa yang dimaksud
dengan ”politisasi agama”, apa yang dimaksud dengan ”isu SARA” (suku, agama,
ras, dan antargolongan). Dialog itu harus dilakukan dengan hati dan kepala
dingin supaya dapat menghasilkan kesepakatan yang bisa diikuti dalam praksis sehari-hari.
Memang perlu waktu yang cukup untuk bisa mendinginkan suasana.
Pertanyaannya:
siapa pihak yang akan memprakarsai dialog itu dan siapa tokoh yang akan
mewakili kedua pihak? Berapa jumlahnya? Kapan saat yang tepat untuk memulai
dialog? Di mana dialog itu diadakan? Pihak yang memprakarsai dialog ialah pihak
yang dapat diterima oleh kedua kelompok. Ramadhan dan Syawal adalah saat yang
tepat untuk mengadakan dialog. Tempatnya harus mendapat persetujuan kedua
kelompok. Gedung MPR dan rumah di Jalan Imam Bonjol tempat para pendiri
merumuskan naskah proklamasi pada Agustus 1945 dapat dijadikan alternatif
tempat dialog diadakan.
Dalam dialog
itu harus disampaikan secara jelas dan terbuka apa saja keinginan kedua
kelompok dan apa saja yang tidak diinginkan oleh kedua kelompok. Sejumlah
keberhasilan memadukan keindonesiaan dan keislaman yang telah menjadi modal
berharga bangsa Indonesia harus menjadi acuan di dalam dialog tersebut.
Kelompok yang seusai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap Ahok mengeluarkan
seruan untuk menjaga keindonesiaan perlu memahami bahwa yang juga perlu dijaga
adalah keterpaduan keindonesiaan dan keislaman karena itu adalah faktor utama
persatuan Indonesia.
Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng
Pengasuh Pesantren Tebuireng
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Keindonesiaan dan Keislaman".
Editor: Krisiandi
Sumber:
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....7
PERANG DUNIA I DAN II
Rabu, 21 November 2012
A.
Latar Belakang
Pada abad
ke-19, kekuatan-kekuatan besar Eropa berupaya keras mempertahankan keseimbangan kekuatan di seluruh Eropa, sehingga pada tahun 1900 memunculkan
jaringan aliansi politik dan militer yang kompleks di benua ini.] Berawal
tahun 1815 dengan Aliansi Suci antara Prusia, Rusia, dan Austria. Kemudian, pada Oktober 1873, Kanselir
Jerman Otto von Bismarck menegosiasikan Liga Tiga Kaisar (Jerman: Dreikaiserbund) antara monarki
Austria-Hongaria, Rusia, dan Jerman. Perjanjian ini gagal karena
Austria-Hongaria dan Rusia tidak sepakat mengenai kebijakan Balkan, sehingga
meninggalkan Jerman dan Austria-Hongaria dalam satu aliansi yang dibentuk tahun
1879 bernamaAliansi Dua.
Hal ini dipandang sebagai metode melawan pengaruh Rusia diBalkan saat Kesultanan
Utsmaniyahterus
melemah.[Pada tahun 1882, aliansi ini meluas hingga Italia dan menjadi Aliansi
Tiga.Setelha 1870,
konflik Eropa terhindar melalui jaringan perjanjian yang direncanakan secara hati-hati
antara Kekaisaran Jerman dan seluruh Eropa yang dirancang oleh Bismarck. Ia
berupaya menahan Rusia agar tetap di pihak Jerman untuk menghindari perang dua
front dengan Perancis dan Rusia. Ketika Wilhelm
IInaik tahta
sebagai Kaisar Jerman(Kaiser), Bismarck terpaksa pensiun dan sistem aliansinya perlahan
dihapus. Misalnya, Kaiser menolak memperbarui Perjanjian Reasuransidengan Rusia pada tahun 1890. Dua tahun kemudian, Aliansi Perancis-Rusiaditandatangani untuk melawan kekuatan Aliansi Tiga. Pada tahun
1904, Britania Raya menandatangani serangkaian perjanjian dengan
Perancis, Entente Cordiale, dan pada 1907, Britania Raya dan Rusia menandatangani Konvensi Inggris-Rusia. Meski perjanjian ini secara formal tidak menyekutukan Britania
Raya dengan Perancis atau Rusia, mereka memungkinkan Britania masuk konflik
manapun yang kelak melibatkan Perancis dan Rusia, dan sistem penguncian
perjanjian bilateral ini kemudian dikenal sebagai Entente Tiga.
Kekuatan
industri dan ekonomi Jerman tumbuh pesat setelahpenyatuan dan pendirian Kekaisaranpada tahun 1871. Sejak pertengahan 1890-an sampai seterusnya,
pemerintahan Wilhelm II memakai basis industri ini untuk memanfaatkan sumber
daya ekonomi dalam jumlah besar untuk membangun Kaiserliche
Marine (Angkatan
Laut Kekaisaran Jerman), yang dibentuk oleh Laksamana Alfred von Tirpitz, untuk menyaingi Angkatan
Laut KerajaanBritania
Raya untuk supremasi laut dunia.[20] Hasilnya, setiap negara berusaha mengalahkan negara lain
dalam hal kapal modal.
Dengan peluncuran HMS Dreadnought tahun 1906, Imperium Britania memperluas keunggulannya
terhadap pesaingnya, Jerman. Perlombaan senjata antara Britania dan Jerman
akhirnya meluas ke seluruh Eropa, dengan semua kekuatan besar memanfaatkan
basis industri mereka untuk memproduksi perlengkapan dan senjata yang
diperlukan untuk konflik pan-Eropa. Antara 1908 dan 1913, belanja militer
kekuatan-kekuatan.
B.
Pembahasan Perang Dunia I
Strategi Blok
Sentral mengalami miskomunikasi. Jerman telah berjanji mendukung invasi
Austria-Hongaria ke Serbia, namun penafsiran maksudnya berbeda. Rencana
penempatan pasukan yang sebelumnya diuji telah diganti pada awal 1914, namun
penggantian tersebut tidak pernah diuji dalam latihan. Para pemimpin
Austria-Hongaria yakin Jerman akan melindungi perbatasan utaranya dari serbuan
Rusia.[30] Meski begitu, Jerman mengharapkan Austria-Hongaria
mengarahkan sebagian besar tentaranya ke Rusia, sementara Jerman menangani
Perancis. Kebingungan ini mendorong Angkatan Darat Austria-Hongariamembagi pasukannya antara front Rusia dan Serbia.
Pada tanggal 9
September 1914,Septemberprogramm, sebuah rencana memungkinkan yang menyebutkan tujuan perang
tertentu Jerman dan persyaratan yang dipaksakan Jerman terhadap Blok Sekutu,
dibuat olehKanselir Jerman Theobald von Bethmann-Hollweg. Rencana ini tidak pernah dilaksanakan secara resmi.
Sejumlah
pertempuran pertama dalam perang melibatkan kekuatan kolonial Britania,
Perancis, dan Jerman di Afrika. Tanggal 7 Agustus, tentara Perancis dan
Britania menyerbu protektorat Togoland Jerman.
Tanggal 10 Agustus, pasukan Jerman di Afrika
Barat Daya menyerang
Afrika Selatan; pertempuran sporadis dan sengit berlanjut sampai akhir perang.
Pasukan kolonial Jerman di Afrika
Timur Jerman, dipimpin
Kolonel Paul Emil von Lettow-Vorbeck, melakukan kampanye peperangan gerilya selama Perang Dunia I dan baru menyerah dua minggu setelah
gencatan senjata diberlakukan di Eropa.
Austria
menyerbu dan memerangi pasukan Serbia pada Pertempuran Cerdan Pertempuran Kolubara yang dimulai tanggal 12 Agustus. Sampai dua minggu
berikutnya, serangan Austria dipatahkan dengan kerugian besar, yang menandakan
kemenangan besar pertama Sekutu dalam perang ini dan memupuskan harapan
Austria-Hongaria akan kemenangan mulus. Akibatnya, Austria harus menempatkan
pasukan yang memadai di front Serbia, sehingga melemahkan upayanya membuka
perang dengan Rusia.[32]Kekalahan Serbia dalam invasi Austria-Hongaria tahun 1914 tergolong
sebagai kemenangan terbalik besar dalam abad terakhir.
Pada awal pecahnya
Perang Dunia Pertama, angkatan darat Jerman (di sebelah barat terdiri
dari tujuh pasukan lapangan) melaksanakan versi modifikasi Rencana
Schlieffen, yang
dirancang untuk menyerang Perancis secara cepat melalui Belgia yang netral
sebelum berbelok ke selatan untuk mengepung pasukan Perancis di perbatasan
Jerman.[10]. Karena Perancis telah menyatakan bahwa mereka akan
"bertindak sebebasnya andai terjadi perang antara Jerman dan Rusia",
Jerman memperkirakan kemungkinan serangan di dua front. Jika terjadi hal
seperti itu, Rencana Schlieffen menyatakan bahwa Jerman harus mencoba
mengalahkan Perancis secara cepat (seperti yang terjadi pada Perang
Perancis-Prusia1870-71).
Rencana ini menyarankan bahwa untuk mengulangi kemenangan cepat di barat,
Jerman tidak usah menyerang melalui Alsace-Lorraine (yang memiliki perbatasan
langsung di sebelah barat sungai Rhine), tetapi mencoba memutuskan Paris secara
cepat dari Selat Inggris (terputus dengan Britania Raya). Kemudian pasukan
Jerman dipindahkan ke timur untuk menyerbu Rusia. Rusia diyakini membutuhkan
persiapan lama sebelum bisa menjadi ancaman besar bagi Blok Sentral.
Jerman ingin
bergerak bebas melintasi Belgia (dan Belanda juga, meski ditolak Kaiser Wilhelm II) untuk bertemu Perancis di perbatasannya. Jawaban dari Belgia
netral tentu saja "tidak". Jerman kemudian merasa perlu menyerbu
Belgia, karena inilah rencana satu-satunya yang ada andai terjadi perang dua
front di Jerman. Perancis juga ingin menggerakkan tentara mereka melintasi
Belgia, tetapi Belgia menolak untuk menghindari pecahnya perang apapun di tanah
Belgia. Pada akhirnya, setelah serbuan Jerman, Belgia mencoba menggabungkan
pasukan mereka dengan Perancis (namun sebagian besar pasukan Belgia mundur
ke Antwerpen tempat mereka dipaksa menyerah ketika semua harapan bantuan
pupus).
Rencana ini
meminta agar sisi kanan Jerman bergerak ke Paris, dan awalnya Jerman berhasil,
terutama pada Pertempuran
Frontiers (14–24
Agustus). Pada 12 September, Perancis, dengan bantuan dari pasukan Britania, menghambat pergerakan Jerman ke timur Paris padaPertempuran
Marne Pertama (5–12
September) dan mendorong pasukan Jerman 50 km ke belakang. Hari-hari terakhir
pertempuran ini menandakan akhir dari peperangan bergerak di barat.[10] Serangan Perancis ke Alsace Selatan, dimulai tanggal 20
Agustus dengan Pertempuran
Mulhouse, mengalami
sedikit kesuksesan.
Di sebelah
timur, hanya satu pasukan lapangan, yaitu pasukan ke-8, yang bergerak cepat
melalui kereta api melintasi Kekaisaran Jerman. Pasukan yang dulunya cadangan
di barat ini dipimpin oleh Jenderal Paul
von Hindenburg untuk
mempertahankanPrusia Timur, setelah berhasil melakukan serbuan awal ke Rusia dengan dua unit
pasukan. Jerman mengalahkan Rusia dalam serangkaian pertempuran yang secara
kolektif disebut Pertempuran TannenbergPertama (17 Agustus – 2 September). Akan tetapi, invasi Rusia
yang gagal lebih disebabkan oleh berhentinya serangan Jerman di barat dan
kekalahan taktis oleh Angkatan Darat Perancis di Marne.
Pasukan Jerman semakin lelah dan pasukan cadangannya dipindahkan untuk menangani
invasi ke Rusia. Staf Jenderal Jerman di bawah JenderalHelmuth von Moltke yang Muda juga telah memperhitungkan bahwa pemanfaatan transportasi
tentara cepat melalui kereta api tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan di
luar Kekaisaran Jerman. Blok Sentral gagal mendapatkan kemenangan cepat di
Perancis dan terpaksa berperang di dua front. Pasukan Jerman mengambil posisi
defensif yang baik di dalam Perancis dan berhasil melumpuhkan mobilisasi
230.000 tentara Perancis dan Britania secara permanen. Meski begitu, masalah
komunikasi dan keputusan komando yang bisa dipertanyakan menggagalkan impian
kemenangan awal Jerman
Selandia
Baru menduduki Samoa Jerman (kemudian Samoa Barat) pada tanggal 30 Agustus 1914. Tanggal
11 September, Pasukan Ekspedisi Laut dan Militer Australia mendarat di pulauNeu Pommern (kemudian
Britania Baru), yang merupakan wilayah Nugini Jerman. Tanggal 28 Oktober, kapal jelajah SMS Emden menenggelamkankapal jelajah Jerman Zhemchug padaPertempuran Penang. Jepang merebt koloni Mikronesia Jerman dan, setelahPengepungan
Tsingtao, pelabuhan
batu bara Jerman di Qingdao di semenanjung Shandong, Cina. Dalam beberapa bulan, pasukan Sekutu telah merebut semua
teritori Jerman di Pasifik; hanya pos dagang terisolasi dan sedikit wilayah di
Nugini yang bertahan.
Taktik militer
sebelum Perang Dunia I gagal menyamai kemajuan teknologi. Kemajuan ini
memungkinkan terciptanya sistem pertahanan canggih yang tidak mampu disamai
taktik militer lama sepanjang perang. Kawat berduri merupakan penghalang efektif terhadap pergerakan infanteri
massal.Artileri, jauh lebih mematikan daripada tahun 1870-an, ditambah senjata mesin, menjadikan pergerakan di daratan terbuka sangat sulit dilakukan.
Jerman
memperkenalkan gas beracun; teknik ini kelak dipakai oleh kedua pihak, meski tidak pernah
terbukti menentukan dalam memenangkan suatu pertempuran. Dampaknya sangat
sadis, menyebabkan kematian yang lama dan menyakitkan, dan gas beracun menjadi
salah satu hal terburuk yang paling ditakuti dan diingat dalam perang ini.[38] Komandan di kedua sisi gagal mengembangkan taktik mematahkan
posisi parit dengan tanpa kerugian besar. Sementara itu, teknologi mulai
menciptakan senjata-senjata ofensif baru, seperti tank.
Setelah Pertempuran
Marne Pertama (5–12
September 1914), baik pasukan Entente dan Jerman mengawali serangkaian manuver mengepung dalam
peristiwa yang disebut "Perlombaan ke Laut". Britania dan Perancis kelak menyadari bahwa mereka
menghadapi pasukan parit Jerman dari Lorraine sampai
pesisir Belgia.[10] Britania dan Perancis berupaya melakukan serangan, sementara
Jerman mempertahankan teritori yang diduduki. Akibatnya, parit-parit Jerman
lebih kokoh ketimbang milik musuhnya, parit Inggris-Perancis hanya bersifat
"sementara" sebelum pasukan mereka mematahkan pertahanan Jerman.
Kedua sisi
mencoba memecah kebuntuan menggunakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada tanggal 22 April 1915 padaPertempuran
Ypres Kedua, Jerman
(melanggar Konvensi Den Haag) memakai gas klorin untuk
pertama kalinya di Front Barat. Tentara Aljazair mundur ketika digas sehingga
terbentuk celah sepanjang enam kilometer (empat mil) terbuka di lini Sekutu
yang segera dimanfaatkan Jerman, mengadakan Pertempuran Kitchener's Wood, sebelum ditutup olehtentara Kanada.[41] Tank pertama
dipakai dalam pertempuran oleh Britania pada Pertempuran
Flers-Courcelette (bagian
dari serangan Somme yang lebih besar) pada tanggal 15 September 1916 dengan
sedikit keberhasilan; Perancis memperkenalkan meriam putarRenault FT pada
akhir 1917; Jerman memanfaatkan tank-tank Sekutu yang ditangkap dan sejumlah
kecil tank mereka sendiri.
Kedua sisi
tidak mampu memberi pukulan menentukan selama dua tahun berikutnya. Sekitar 1,1
sampai 1,2 juta tentara pasukan Britania dan jajahannya berada di Front Barat
pada satu waktu. Seribu batalion, menempati sektor lini dari Laut Utarasampai Sungai Orne,
melakukan sistem rotasi empat tahap selama satu bulan, kecuali sebuah serangan
sedang terjadi. Front ini memiliki parit sepanjang 9.600 kilometer
(5,965 mil). Setiap batalion menduduki sektornya selama seminggu sebelum
kembali ke lini pendukung dan terus ke lini cadangan sebelum seminggu di luar
lini, biasanya di wilayah Poperinge atauAmiens.
Sepanjang
1915–17, Imperium Britania dan Perancis mengalami lebih banyak korban daripada
Jerman, karena sikap strategi dan taktik yang dipilih oleh sisinya. Secara
strategis, saat Jerman hanya melakukan satu serangan tunggal di Verdun, Sekutu melakukan banyak upaya untuk mematahkan lini Jerman.
Pada tanggal 1
Juli 1916,Angkatan Darat Britania Rayamengalami hari paling mematikan dalam sejarahnya, dengan korban
57.470 jiwa, termasuk 19.240 gugur, pada hari pertama Pertempuran
Somme. Kebanyakan
korban jatuh pada satu jam pertama serangan. Seluruh serangan Somme melibatkan
setengah juta prajurit Angkatan Darat Britania.
Serangan Jerman
yang terus-menerus di Verdun sepanjang 1916, ditambah Somme (Juli dan Agustus 1916), membawa pasukan Perancis yang lelah
di ambang perpecahan. Upaya sia-sia dalam serangan frontal memakan banyak
korban bagi Britania dan poilu Perancis
dan mendorong terjadinya mutini besar-besaran tahun 1917, setelah Serangan Nivelle (April dan Mei 1917) yang gagal.
Secara taktis,
doktrin komandan Jerman Erich Ludendorff berupa "pertahanan elastis" cocok dipakai untuk peperangan parit. Pertahanan ini terdiri
dari posisi depan yang minim pertahanan dan posisi utama jauh di belakang
jangkauan artileri yang lebih kuat, yang dari situlah serangan balasan cepat
dan kuat bisa dilancarkan. 25 Agustus mengakhiri fase kedua pertempuran
Flandria. Peristiwa ini memakan banyak korban dari pihak kami ...
Pertempuran Agustus mematikan di Flandria dan Verdun membawa tekanan berat bagi
tentara Barat. Meski di bawah perlindungan beton, semua tampak kurang kuat
menghadapi artileri musuh yang luar biasa. Pada beberapa saat, mereka tidak
lagi memiliki ketegasan yang saya, bersama para komandan setempat, harapkan.
Musuh berupaya mengadaptasikan diri mereka dengan metode kakmi dalam melakukan
serangan balasan ... Saya sendiri mengalami tekanan luar biasa. Suasana di
Barat tampak mencegah dilakukannya rencana-rencana kami di manapun. Jumlah
korban begitu banyak sehingga kami tidak sempat menguburkan mereka secara
layak, dan melebihi semua harapan kami.
Serangan besar
lain dilancarkan terhadap lini kami pada tanggal 20 September ...
Serangan musuh terhadap pasukan ke-20 berhasil, yang membuktikan superioritas
serangan terhadap pertahanan. Kekuatan mereka tidak melibatkan tank; kami
melihat mereka begitu tidak nyaman, tetapi terus mengerahkan semuanya. Kekuatan
serangan terletak di artileri, dan faktanya artileri kami tidak mampu memberi
dampak yang cukup untuk memecah infanteri saat mereka terus bersatu pada saat
itu juga.
Pada Pertempuran Arras 1917, satu-satunya keberhasilan besar militer Britania adalah
penaklukan Vimy Ridgeoleh Korps Kanada di
bawah pimpinanSir Arthur Currie dan Julian Byng.
Tentara yang menyerang, untuk pertama kalinya, mampu mengalahkan, bersatu
dengan cepat, dan mempertahankan pegunungan yang membatasi dataran Douai yang
kaya akan kandungan batu bara.
C.
Perjanjian Damai
Perjanjian
Versailles (1919)
adalah suatu perjanjian damai yang secara resmi mengakhiri Perang Dunia I antara Sekutu dan Kekaisaran Jerman. Setelah enam bulan negosiasi melalui Konferensi
Perdamaian Paris,
perjanjian ini akhirnya ditandatangani sebagai tindak lanjut dari perlucutan
senjata yang ditandatangani pada bulan November 1918 di Compiègne Forest, yang mengakhiri perseturuan sesungguhnya. Salah satu hal paling
penting yang dihasilkan oleh perjanjian ini adalah bahwa Jerman menerima tanggung jawab penuh sebagai penyebab peperangan
dan, melalui aturan dari pasal 231-247, harus melakukan perbaikan-perbaikan
pada negara-negara tertentu yang tergabung dalam Sekutu.
Negosiasi di
antara negara-negara sekutu dimulai pada 7 Mei1919,
pada peringatan tenggelamnyaRMS Lusitania. Aturan yang diterapkan terhadap Jerman pada perjanjian tersebut
antara lain adalah penyerahan sebagian wilayah Jerman kepada beberapa negara
tetangganya, pelepasan koloni seberang lautan danAfrika milik
Jerman, serta pembatasan pasukan militer Jerman yang diharapkan dapat
menghambat Jerman untuk kembali memulai perang. Karena Jerman tidak diizinkan
untuk mengambil bagian dalam negosiasi, pemerintah Jerman mengirimkan protes
terhadap hal yang dianggap mereka sebagai sesuatu yang tidak adil, dan
selanjutnya menarik diri dari perundingan. Belakangan, menteri
luar negeri baru
Jerman, Hermann Müller, setuju untuk menandatangani perjanjian pada 28 Juni 1919.
Perjanjian ini sendiridiratifikasi oleh Liga
Bangsa-Bangsapada
tanggal 10 Januari 1920.
D.
Syarat-Syarat Perjanjian
Perjanjian ini
menciptakan keadaan kondusif didirikannya Liga
Bangsa-Bangsa, sebuah
tujuan utama Presiden A.S. Woodrow Wilson. Liga Bangsa-Bangsa dimaksudkan untuk menengahi konflik-konflik
internasional dan dengan ini mencegah perang di masa depan. Hanya empat dari
“Empatbelas butir” (Fourteen Points) Wilson diwujudkan, karena ia harus berkompromi dengan Clemenceau,Lloyd George dan Orlando pada
beberapa butir dan sebagai gantinya dapat mempertahankan butirnya yang
“keempatbelas” Liga Bangsa-Bangsa.
Pandangan umum
ialah bahwa Clemenceau dari Perancis adalah yang paling bersemangat dalam
membalas dendam Jerman, Front Barat perang terutama berada di wilayah Perancis.
Perjanjian ini dianggap tidak adil kala itu karena merupakan perdamaian yang
didikte oleh para pemenang dan secara keseluruhan menyalahkan perang kepada
Jerman. Hal ini sungguh menyederhanakan situasi. Beberapa sejarawan modern
berpendapat bahwa perjanjian ini cukup adil karena merefleksikan syarat-syarat
berat yang didiktekan kepada Rusia oleh Jerman denganPerjanjian Brest-Litovsk.
DAFTAR PUSTAKA
Imran, Amrin dan Saleh Djamhari. 1999. Sejarah Nasional dan
Umum. Jakarta: Depdikbud.
Starlita. 2005. Ensiklopedi Umum untuk Pelajar.
Jakarta: Van Hove. Soebantardjo. 1954. Sari Sejarah
Eropa-Amerika ( cetakan II ).
Yogyakarta: Bopkri
Yogyakarta: Bopkri
Tate, Nicholas. 2002. Perang Dunia ( terjemahan oleh Rahmat Efendi
). Jakarta: Lontar Utama.
Yulianti. 2007. Sejarah Indonesia dan Dunia ( cetakan I ) Bandung: Yrama Widya
Yulianti. 2007. Sejarah Indonesia dan Dunia ( cetakan I ) Bandung: Yrama Widya
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Makalah Benny Permana, SMP Negeri 1 Jatibarang, Indramayu 2014
PERANG DUNIA KE II
Jatibarang, September 2014
A.
Latar Belakang
Perang Dunia I
membuat perubahan besar pada peta politik, dengan kekalahan Blok Sentral,
termasuk Austria-Hongaria, Jerman, dan Kesultanan Utsmaniyah; dan perebutan
kekuasaan oleh Bolshevik di Rusia pada tahun 1917. Sementara itu, negara-negara
Sekutu yang menang seperti Perancis, Belgia, Italia, Yunani, dan Rumania
memperoleh wilayah baru, dan negara-negara baru tercipta setelah runtuhnya
Austria-Hongaria, Kekaisaran Rusia, dan Kesultanan Utsmaniyah.
Meski muncul
gerakan pasifis setelah perang, kekalahan ini masih membuat nasionalisme
iredentis dan revanchis pemain utama di sejumlah negara Eropa. Iredentisme dan
revanchisme punya pengaruh kuat di Jerman karena kehilangan teritori, koloni,
dan keuangan yang besar akibat Perjanjian Versailles. Menurut perjanjian ini,
Jerman kehilangan 13 persen wilayah dalam negerinya dan seluruh koloninya di
luar negeri, sementara Jerman dilarang menganeksasi negara lain, harus membayar
biaya perbaikan perang, dan membatasi ukuran dan kemampuan angkatan bersenjata
negaranya. Pada saat yang sama, Perang Saudara Rusia berakhir dengan
terbentuknya Uni Soviet.
Kekaisaran
Jerman bubar melalui Revolusi Jerman 1918–1919 dan sebuah pemerintahaan
demokratis yang kemudian dikenal dengan nama Republik Weimar dibentuk. Periode
antarperang melibatkan kerusuhan antara pendukung republik baru ini dan
penentang garis keras atas sayap kanan maupun kiri. Walaupun Italia selaku
sekutu Entente berhasil merebut sejumlah wilayah, kaum nasionalis Italia marah
mengetahui janji-janji Britania dan Perancis yang menjamin masuknya Italia ke
kancah perang tidak dipenuhi dengan penyelesaian damai. Sejak 1922 sampai 1925,
gerakan Fasis pimpinan Benito Mussolini berkuasa di Italia dnegan agenda
nasionalis, totalitarian, dan kolaborasionis kelas yang menghapus demokrasi
perwakilan, penindasan sosialis, kaum sayap kiri dan liberal, dan mengejar
kebijakan luar negeri agresif yang berusaha membawa Italia sebagai kekuatan
dunia—"Kekaisaran Romawi Baru".
Di Jerman,
Partai Nazi yang dipimpin Adolf Hitler berupaya mendirikan pemerintahan fasis
di Jerman. Setelah Depresi Besar dimulai, dukungan dalam negeri untuk Nazi
meningkat dan, pada tahun 1933, Hitler ditunjuk sebagai Kanselir Jerman. Setelah
kebakaran Reichstag, Hitler menciptakan negara satu partai totalitarian yang
dipimpin Partai Nazi.
Parati
Kuomintang (KMT) di Tiongkok melancarkan kampanye penyatuan melawan panglima
perang regional dan secara nominal berhasil menyatukan Cina pada pertengahan
1920-an, tetapi langsung terlibat dalam perang saudara melawan bekas sekutunya
yang komunis. Pada tahun 1931, Kekaisaran Jepang yang semakin militaristik,
yang sudah lama berusaha memengaruhi Cina sebagai tahap pertama dari apa yang
disebut pemerintahnya sebagai hak untuk menguasai Asia, memakai Insiden Mukden
sebagai alasan melancarkan invasi ke Manchuria dan mendirikan negara boneka
Manchukuo.
Terlalu lemah
melawan Jepang, Cina meminta bantuan Liga Bangsa-Bangsa. Jepang menarik diri
dari Liga Bangsa-Bangsa setelah dikecam atas tindakannya terhadap Manchuria.
Kedua negara ini kemudian bertempur di Shanghai, Rehe, dan Hebei sampai
Gencatan Senjata Tanggu ditandatangani tahun 1933. Setelah itu, pasukan
voluntir Cina melanjutkan pemberontakan terhadap agresi Jepang di Manchuria,
dan Chahar dan Suiyuan.
B.
Benito Mussolini (kiri) dan Adolf Hitler (kanan)
Adolf Hitler,
setelah upaya gagal menggulingkan pemerintah Jerman tahun 1923, menjadi
Kanselir Jerman pada tahun 1933. Ia menghapus demokrasi, menciptakan revisi
orde baru radikal dan rasis, dan segera memulai kampanye persenjataan kembali.
Sementara itu, Perancis, untuk melindungi aliansinya, memberikan Italia kendali
atas Ethiopia yang diinginkan Italia sebagai jajahan kolonialnya. Situasi ini
memburuk pada awal 1935 ketika Teritori Cekungan Saar dengan sah bersatu
kembali dengan Jerman dan Hitler menolak Perjanjian Versailles, mempercepat
program persenjataan kembalinya dan memperkenalkan wajib militer.
Berharap
mencegah Jerman, Britania Raya, Perancis, dan Italia membentuk Front Stresa.
Uni Soviet, khawatir akan keinginan Jerman mencaplok wilayah luas di Eropa
Timur, membuat perjanjian bantuan bersama dengan Perancis. Sebelum
diberlakukan, pakta Perancis-Soviet ini perlu melewati birokrasi Liga
Bangsa-Bangsa, yang pada dasarnya menjadikannya tidak berguna. Akan tetapi,
pada bulan Juni 1935, Britania Raya membuat perjanjian laut independen dengan
Jerman, sehingga melonggarkkan batasan-batasan sebelumnya. Amerika Serikat,
setelah mempertimbangkan peristiwa yang terjadi di Eropa dan Asia, mengesahkan
Undang-Undang Netralitas pada bulan Agustus. Pada bulan Oktober, Italia
menginvasi Ethiopia, dan Jerman adalah satu-satunya negara besar Eropa yang
mendukung tindakan tersebut. Italia langsung menarik keberatannya terhadap
tindakan Jerman menganeksasi Austria.
Hitler menolak
Perjanjian Versailles dan Locarno dengan meremiliterisasi Rhineland pada bulan
Maret 1936. Ia mendapat sedikit tanggapan dari kekuatan-kekuatan Eropa
lainnya.[26] Ketika Perang Saudara Spanyol pecah bulan Juli, Hitler dan
Mussolini mendukung pasukan Nasionalis yang fasis dan otoriter dalam perang
saudara mereka melawan Republik Spanyol yang didukung Soviet. Kedua pihak
memakai konflik ini untuk menguji senjata dan metode peperangan baru, berakhir dengan
kemenangan Nasionalis pada awal 1939. Bulan Oktober 1936, Jerman dan Italia
membentuk Poros Roma-Berlin. Sebulan kemudian, Jerman dan Jepang menandatangani
Pakta Anti-Komintern, namun kelak diikuti Italia pada tahun berikutnya. Di
cina, setelah Insiden Xi'an, pasukan Kuomintang dan komunis menyetujui gencatan
senjata untuk membentuk front bersatu dan sama-sama melawan Jepang.
C.
Perang Dunia Ke II
Selama Perang
Dunia II, Jerman menyerbu sebagian besar wilayah Eropa dengan menggunakan
taktik baru yang disebut "Blitzkrieg" (perang kilat). Taktik
Blitzkrieg mencakup pengerahan pesawat terbang, tank, dan artileri.
Pasukan-pasukan ini akan menerobos pertahanan musuh menyusuri front yang
sempit. Kekuatan udara menghalangi musuh untuk menutupi celah pertahanan yang
lowong. Pasukan Jerman mengepung pasukan lawan dan memaksa mereka untuk
menyerah.
Dengan
menggunakan taktik Blitzkrieg, Jerman menaklukkan Polandia (diserang pada bulan
September 1939), Denmark (April 1940), Norwegia (April 1940), Belgia (Mei
1940), Belanda (Mei 1940), Luksemburg (Mei 1940), Prancis (Mei 1940),
Yugoslavia (April 1941), dan Yunani (April 1941). Akan tetapi, Jerman tidak
berhasil mengalahkan Inggris Raya, yang terlindungi dari serangan darat oleh
Terusan Inggris.
Pasukan Jerman
menyerang Uni Soviet pada bulan Juni 1941, menusuk hingga 600 mil lebih ke arah
pintu masuk kota Moskwa. Serangan kedua Jerman pada tahun 1942 mengantarkan
serdadu Jerman ke tepi Sungai Volga dan kota Stalingrad. Akan tetapi Uni
Soviet, bersama Inggris Raya dan Amerika Serikat, yang menyatakan perang
terhadap Jerman pada bulan Desember 1941, membalikkan keadaan perang terhadap
Jerman.
Di timur,
pertempuran perebutan kota Stalingrad terbukti menjadi titik balik yang
menentukan. Menyusul kekalahan di Stalingrad pada musim dingin tahun 1942-43,
pasukan Jerman mulai melakukan penarikan mundur. Pada bulan April 1945 pasukan
Soviet memasuki Berlin. Di barat, serdadu Sekutu mendarat pada tanggal 6 Juni
1944 (yang dikenal dengan D-Day) di Normandia, Prancis. Dua juta lebih serdadu
Sekutu meruah ke Prancis. Pada bulan Juli, pasukan Sekutu bergerak maju dari
pantai pendaratan Normandia. Sekutu melanjutkan serangan hingga ke Jerman. Pada
bulan Maret 1945, pasukan Sekutu melintasi Sungai Rhine dan bergerak maju
menuju jantung Jerman.
Jerman Nazi menyerah pada bulan Mei 1945.
D.
Penyebab Perang Dunia Ke II
1.
Penyebab Umum
a.
Kegagalan Liga Bangsa-bangsa (LBB) dalam menciptakan perdamaian
dunia. LBB bukan lagi alat untuk mencapai tujuan, tetapi menjadi alat politik
negara-negara besar untuk mencari keuntungan. LBB tidak dapat berbuat apa-apa
ketika negara-negara besar berbuat semaunya, misalnya pada tahun 1935 Italia
melakukan serangan terhadap Ethiopia.
b.
Negara-negara maju saling berlomba memperkuat militer dan
persenjataan. Dengan kegagalan LBB tersebut, dunia Barat terutama Jerman dan
Italia mencurigai komunisme Rusia tetapi kemudian Rusia mencurigai fasisme
Italia dan nasionalis-sosialis Jerman. Oleh karena saling mencurigai akhirnya
negara-negara tersebut memperkuat militer dan persenjataannya.
c.
Adanya politik aliansi (mencari kawan persekutuan). Kekhawatiran
akan adanya perang besar, maka negara-negara mencari kawan dan muncullah dua
blok besar yakni:
1). Blok Fasis, terdiri atas Jerman, Italia, dan Jepang.
2). Blok Sekutu, terdiri atas:
- Blok
demokrasi yaitu Perancis, Inggris, Amerika Serikat, dan Belanda.
- Blok
komunis yaitu Rusia, Polandia, Hongaria, Bulgaria, Yugoslavia, Rumania, dan
Cekoslovakia.
d.
Adanya pertentangan-pertentangan akibat ekspansi.
1). Jerman
mengumumkan Lebensraumnya (Jerman Raya) yang meliputi Eropa Tengah.
2). Italia
menginginkan Italia Irredenta yang meliputi seluruh laut Tengah dan Abyssinia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar