tindakan pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden
(Penpres) yang memakai Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum, dan sebagainya.
1.
Periode 1965-1998 (Orde Baru) Demokrasi Pancasila.
Demokrasi pada masa ini dinamakan demokrasi pancasila. Demokrasi
Pancasila dalam rezim Orde Baru hanya sebagai retorika dan gagasan belum sampai
pada tataran praksis atau penerapan. Karena dalam praktik kenegaraan dan
pemerintahan,rezim ini sangat tidak memberikan ruang bagi kehidupan
berdemokrasi. Menurut M. Rusli Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh; dominannya
peranan ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik,
pembatasan peran dan fungsi partai politik, campur tangan pemerintah dalam
persoalan partai politik dan publik, masa mengambang, monolitisasi ideologi
negara, dan inkorporasi lembaga nonpemerintah
2.
Periode 1998-sekarang ( Reformasi )..
Orde reformasi ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto pada
tanggal 21 Mei 1998. Jabatan presiden kemudian diisi oleh wakil presiden,
Prof. DR. Ir. Ing. B.J. Habibie. Turunnya presiden Soeharto disebabkan karena
tidak adanya lagi kepercayaan dari rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru. Bergulirnya
reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi
transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang
kritis karena dalam fase ini akan ditentukan ke mana arah demokrasi akan
dibangun.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Dikdik Baehaqi.2012.Diktat Mta Kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan.Universitas Ahmad Dahlan:Yogyakarta
Dr.Sahya Anggara,M.Si.2013.Sistem Politik Indonesia.CV PUSTAKA
SETIA:Bandung
Rauf Maswadi,dkk.2009.Manakar Demokrasi di Indonesia’Indeks Demokrasi
di Indonesia 2009’.UNDP:Jakarta
Septilina Ninis Ristina.2011.Hubungan Antara Pemahaman Demokrasi
dan Budaya Demokrasi dengan Sikap Demokrasi.uns:Surakarta
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......11
A.
Latar belakang.
Materi good
governancemerupakan salah satu materi yang bertujuan untuk memberikan pengayaan
pengetahuan tentang konsep, gagasan, urgensi serta fundamental dalam konteks
penegakan good dovernance.Istilahgood and clean governancemerupakan wacana
yang mengiringi gerakan reformasi. Konsep good
governancemenggambarkan bahwa sistem pemerintahan yang baik menekankan kepada
kesepakatan pengaturan negara yang diciptakan bersama pemerintah,
lembaga-lembaga negara baik di tingkat pusat maupun daerah,sektor swasta dan
masyakarakat madani.
Untuk lebih
memahani tentang good governance kita harus memahami pula tentang
prinsip-prinsip good governanxce.Prinsipgood governance bisa
didapatkan dari tolak ukur kinerja suatu pemerintah yangmana baik buruknya
suatu pemerintah dapat dilihat dari semua unsur-unsur yang terdapat dalam
prinsip-prinsip good governance.
Dalam
pembahasan ini juga kami akan membahas tentang factor-faktor yang mempengaruhi
kinerja birokrasi yang mana sangat banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kenerja birokrasi,dan hal-hal tersebut juga yang akan menentukan lancar
tidaknya suatu birokrasi dalam mencapai tujuan yang telah di
tetapkan.
B.
PENGERTIAN GOOD AND GOVERNANCE
Istilah good
and governancemuncul pasca runtunya rezim Orde Baru dan bergulirnya gerakan
reformasi,[1]pada awal 1990-an.Secara umum istilah good and
governance adalah segala hal yang berkaitan dengan tindakan atau
memengaruhi tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau
memengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
sehari hari.[2]
Pemikiran
tentang good and governance pertama kali dikembangkan oleh lembaga
dana internasional seperti World Bank, UNDP dan IMF dalam rangka menjaga
dan menjamin kelangsungan dana bantuan yang diberikan kepada negara sasaran
bantuan.Karena itu good governance menjadi isu sentral dalam hubungan
lembaga-lembaga multirateral tersebut dengan negara sasaran.[3]
Ada empat
pengetian yang menjadi arus utama, yakni pertama dimaknai sebagai kinerja suatu
lembaga; kedua dimaknai sebagai penerjemah kongkrit dari demokrasi dengan
meniscayakancivic culture sebgai penompang berkelanjutan demokrasi itu
sendiri; ketiga dan keempat diartikan dengan istilah aslinya atau tidak
diterjemahkan karena memandang luasnya dimensi good governance yang
tidak bisa direduksi hanya menjadi pemerintahan semata.
Jadi good
governancediartikan sebagai tata tingkah laku atau tindakan yang baik yang
didasarkan pada kaidah-kaidah tertentu untuk pengelolaan masalah-masalah public
dalam kehidupan keseharian.[4]
Dengan
demikian good and governance adalah pemerintahan yang baik dalam
standar proses dan hasil-hasilnya, semua unsur perintahan bisa bergerak secara
sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat dan
terlepas dari gerakan-gerakan anarkis yang dapat mengahmbat proses
pemabangunan.[5]
C.
PRINSIP-PRINSIP POKOK GOOD AND CLEAN GOVERNANCE
Untuk
meralisasikan pemerintahan yang professional dan akuntabel yang bersandar pada
prinsip-prinsip good governanceLembaga Administrasi Negara (LAN)[6] dan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)[7]merumuskan sembilan aspek fundamental (Asas) dalam good
governance yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut:
1. Partisipasi (participation).
2. Penegakan hukum (rule of
law).
3. Transparansi (transparency).
4. Responsive (responsiveness).
5. Orientasi kesepakatan
(consensus orientation).
6. Kesetaraan (equite).
7. Efiktivitas (effectivenness)
dan Efisiensi (eficiency).
8. Akuntabilitas
(accountability).
9. Visi strategis (strategic
vision).
1.
Partisipasi (Participation).
Asas partisipasi adalah bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam
pengambilan keputusan.Bentuk keikutsertaan dibagun berdasarkan prinsip
demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara
konstruktif.[8]
Menurut Jewell
dan Siegall (1998:67) partisipasi adalah keterlibatan anggota organisasi
didalam semua kegiatan organisasi.Di lain pihak Handoko (1998:31) menyatakan
partisipasi merupakan tindakan dan pengawasan kegiatan di dalam organisasi.[9]
semua warga
negara berhak terlibat dalam keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga
perwakilan yang sah untuk mewakili kepentingan mereka. Paradigma birokrasi
sebagai center for public harus diikuti dengan berbagai aturan sehingga proses
sebuah usaha dapat dilakukan dengan baik dan efisien, selain itu pemerintah
juga harus menjadi public server dengan memberikan pelayanan yang baik,
efektive, efisien, tepat waktu serta dengan biaya yang murah, sehingga mereka
memiliki kepercayaan dari masyarakat. Partisipasi masyarakat sangat berperan
besar dalam pembangunan, salah satunya diwujudkan dengan pajak.
2.
Penegakan Hukum (Rule of Law)
Penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintah yang profesional dan
harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa.[10]Penegakan hukum sangat berguna untuk menjaga stabilitas nasional.
Karena suatu hukum bersifat tegas dan mengikat.Sehubungan dengan itu,santosa
(2001:87)menegaskan, bahwa Perwujudan good governance harus di imbangi dengan
komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang mengandung unsur-unsur sebagai
berikut :[11]
a. Supremasi
Hukum, yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara dan peluang
partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada
hukum dan peraturan yang jelas dan tega dan dijamain pelaksanaannya secara
benar serta independen.
b. Kepastian
hukum, bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang
jelas dan pasti, tidak duplikasi dan tidak bertentangan antara satu dengan
lainnya.
c. Hukum
yang responsive, yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi
msyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil.
d. Penegakan
hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakan hukum yang berlaku
untuk semua orang tanpa pandang bulu jabatan maupun status sosialnya sebagai
contoh aparat penegak hukum yang melanggar kedisiplinan dan hukum wajib
dikenakan sanksi.
e. Independensi
peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh penguasa atau
pengaruh lainnya. Sayangnya, di negara kita independensi peradilan belum
begitu baik dan dinodai oleh aparat penegak hukum sendiri, sebagai contoh
kecilnya yaitu kasus suap jaksa.
3.
Tranparasi (Transparency).
Trasparaasi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan
yang diambil oleh pemerintah (Notodisoerjo,2002:129).Dengan adanya trasparasi
maka pemerintah menujakan kinerjanya sebgai tolak ukur dan informasi bagi
masyarakat di pemrintahan.
Menurut Jeff dan Shah (1998:68) indicator yang dapat digunakan
untuk mengukur trasparasi yaitu: Bertamabahnya wawasan dan pengetahuan
masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintah.[12]
Akibuat tidak adanya prinsip transparansi ini bangsa indonesia terjebak
dalam kubangan korupsi yang sangat parah. Salah satu yang dapat menimbulkan dan
memberi ruang gerak kegiatan korupsi adalah manajemen pemerintahan yang tidak
baik. Dalam pengelolaan negara, Goffer berpendapat bahwa terdapat
delapan unsur yang harus dilakukan secara transparasi, yaitu :
a. Penetapan posisi dan
jabatan.
b. Kekayaan pejabat publik.
c. Pemberian penghargaan.
d. Penetapan kebijakan yang
terkait dengan pencerahan kehidupan.
e. Kesehatan.
f. Moralitas para pejabat
dan aparatur pelayanan publik.
g. Keamanan dan
ketertiban.
h. Kebijakan strategis untuk
pencerahan kehidupan masyarakat.
Dalam hal
penepatan posisi jabatan public harus dilakukan melalui mekanisme test and
proper test (uji kelayakan) yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
independen,seperti komisi yudisial,komisi kepolisian,komisi pajak dan
sebagainya.[13]
4.
Responsif (Responsiveness)
Asas responsif adalah
bahwa pemerintah harus tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat secara
umum.Pemerintah harus memenuhi kebutuhan masyarakatnya, bukan menunggu
masyarakat menyampaikan aspirasinya, tetapi pemerintah harus proaktif dalam
mempelajaridan mengalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat.Jadi setiap unsur
pemerintah harus memiliki dua etika yaitu etika individual yang menuntut
pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional.Dan
etika sosial yang menuntut pemerintah memiliki sensitifitas terhadap berbagai
kebutuhan pubik.[14]Orientasi kesepakatan atau Konsensus (Consensus Orientation).
Asas konsensus
adalah bahwa setiap keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah.
Cara pengambilan keputusan secara konsensus akan mengikat sebagian besar
komponen yang bermusyawarah dalam upaya mewujudkan efektifitas pelaksanaan
keputusan. Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan maka
akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili selain itu
semakin banyak yang melakukan pengawasan serta kontrol terhadap
kebijakan-kebijakan umum maka akan semakin tinggi tingkat kehati-hatiannya dan
akuntanbilitas pelaksanaannya dapat semakin di pertanggungjawabkan.
5.
Konsesus (consesus)
Pengambilan
keputusan adalah salah satu asas yang fundamental yang harus di perhatikan oleh
pemrintah dalam melaksanakan tuhas-tugasnya untuk mencapai tujuan good
governance.Pengambilan keputusan secra konsessus yakni mengambil keputusan
melaui proses musyawarah dan semaksimal mungkin berdasrkan kesepakatan bersama.
Prinsip ini
menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah
melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan
sebagian besar pihak, juga akan menjadi keputusan yang mengikat dan milik
bersama, sehingga akan memiliki kekuatan memaksa bagi semuakomponen yang
terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut.
Pelaksanaan
prinsip pada paktinya sangat terkait dengan tingkat partisipasi masyarakat
dalam kegiatan pemerintahan, kulturaldemokrasi,serta tata aturan dalam kegiatan
pengambilan kebijakan yang berlaku dalam sebuah system.[15]
Paradigma ini
perlu dilakukan dalam konteks pelaksanaan pemerintahan, karena urusan yang
mereka kelola adalah persoalan-persoalan public yang ahrus di pertanggung
jawabkan kepada masyarakat.
6.
Kesetaraan (equity)
asas kesetaraan
yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan.Asas ini dikembankan berdasrkan
senuah kenyataan bahnwa bangsa Indonesia ini tergolong bangsa yang prural,baik
dari segi etnik,agama dan budaya.prulalisme ini tentu saja pada satu sis dapat
memicu masalah apabila dimanfaatkan dalam konteks kepentingan sempit seperti
primordialisme,egoism,dan sebagainya.[16]Krena prinsip kesetaraan harus diperhatikan agar tidak memicu akses
yang tidak diinginkan dalam penyelenggaraan pemedrintah.
Asas kesetaraan
dan keadilan adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik.Pemerintah
harus bersikap dan berprilaku adil dalam memberikan pelayanan terhadap publik
tanpa mengenal perbedaan kedudukan, keyakinan, suku, dan kelas sosial.[17]
Clean and good
governancejuga harus didukung dengan asa kesetaraan, yakni kesamaan dalam
perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh
oleh semua penyelenggara pemerintahan di Indonesia karena kenyatan sosiologis
bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama, dan budaya.
7.
Efektivitas (Effectifeness) dan Efisiensi (Efficiency).
Efisiensi berkaitan dengan penghematan keuangan, sedangkan
Efikktifitas berkaitan dengan ketepatan cara yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah (Handoko,1998:23).Menurut Jeff dan Shah (1998:7) indikator yang dapat
digunakan untuk mengur efisiensi dan efiktifitas,yaitu :Efisiensi: Meningkatnya
kesejahteraan dan nilai tambah dari pelayanan masyarakat, berkurangnya
penyimpanan pembelanjaan, berkuragnya bianya operasioanal pelayanan dan
mendapatkan ISO pelayanan.
Eviktivitas:
Meningkatnya masukan dari masyarakat terhadap penyimpangan (Kebocoran,
Pemborosan, Penyalahgunaan wewenang dan sebagainya) melalui media massa dan
berkurangnya pentimpangan.[18]
Konsep
efektivitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda,
yakni efektivitas dalam pelaksanan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat
publik maupun partisipasi masyarakat, dan kedua, efektivitas dalam konteks
hasil, yakni mampu membrikan kesejahteraan pada sebesar-besarnya kelompok dan
lapisan sosial.Kriteria efektif dan efisien yaitu pemerintah harus berdaya guna
dan berhasil guna. Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk
yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai
kelopok dan lapisan sosial.Sedangkan asas efisiensi umumnya diukur dengan
rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.Semakin
kecil biaya yang dipakai untuk mencapai tujuan dan sasaran maka pemerintah
dalam kategori efisien.
8.
Akuntabilitas (Accountability)
Asas
akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang
memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka.,di sisi lain
Akuntabilitas adalah kemampuan untuk mempertanggung jawabkan semua tindakan dan
kebijaksanaan yang telah ditemapuh (mardiasmo,2001:251).
Menurut Jeff
dan Shah (1998:70) Indikator yang daqpt digunakan untuk mengukur akuntabilitas,
yaitu meningktnya kepercanyaan dan kepuasan masyarakat terhadapa pemerintah,
tumbuhnya kesadaran masyarakat, meningkatnya keterwakilan berdasarkan pilihan
dan kepentingan masyarakat, dan berkurangnya kasus-kasus KKN.[19]
Setiap pejabat
publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral,
maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat.Inilah yang dituntut dalam asas
akuntabilitas dalam upaya menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
9.
Visi Strategis
Visi strategis
adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang.
Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang, seseorang
yang memiliki jabatan publik atau lembaga profesional lainnya, harus memiliki
kemampuan menganalisa persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh
lembaga yang dipimpinnya.[20]
Bangsa-bangsa
yang tidak memiliki sensitifitas terhadap perubahan serta perdiksi perubahan
kedepan,tidak saja tertinggal oleh bangsa lain di dunia,tapi juga
akan terperosok pada akumulasi kesulitan, sehingga proses recoverynya
tidak mudah.Salah satu contoh,Kecerobohan bangsa Indonesia dalam menerapkan
kebijakan devisa bebas di era 1980-an, dan memberi peluang pada sector swasta
untuk melakukandirect loan (pinjaman langsung) terhadap berbagai lembaga
keuangan di luar negeri,dengan tanpa perhitungan jadwal pembayaran yang
rasional telah mengakibatkan krisis keuangan di akhir 1990-an yang mengakibatkan
nilai tukar dolar meningkat dan kurs rupiah anjlok.Aspek lain yang lebih
penting dalam konteks pandangan strategi untuk masa ytuang akan datang,adalah
perumusan-perumusan blueprint design kehidupan ekonomi, social dan
budaya untuk sekian tahun kedepan yang ahrus dirancang dan dikerjakan sejak
sekarang.
Untuk
mewujudkan cita good governance dengan asas-asas fundamental
sebagaimana telah dipaparkan,setidaknya harus melakukan lima aspek
prioritas,yakni:[21]
1. Penguatan Fungsi dan
Peran Lembaga Perwakilan
2. Kemandirian Lembaga
Peradilan
3. Aparatur Pemerintah
yang Professional dan Penuh Integritas
4. Masyarakat Madani
(Civil Society) yang Kuat dan Partisipatif
5. Penguatan Upanya
Otonomi Daerah.
D.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA BIROKRASI
Kinerja
birokrasi di masa depan akan dipengaruhi oleh faktor- faktor berikut ini:
a. Struktur
biroksasi sebagai hubungan internal yang berkaitan dengan fungsi yang
menjalankan aktivitas birokrasi.
b. Kebijakan
pengelolaan, berupa visi, misi, tujuan, sasaran, dan tujuan dalam perencanaan
strategis pada birokrasi.
c. Sumber
daya manusia, yang berkaitan dengan kualitas kerja dan kapasitas diri untuk
bekerja dan berkarya secara optimal.
d. Sistem
informasi manajemen, yang berhubungan dengan pengelolaan data base dalam
kerangka mempertinggi kinerja birokrasi. Sarana dan prasarana yang dimiliki,
yang berhubungan dengan penggunaan teknologi bagi penyelenggaraan birokrasi
pada setiap aktifitas birokrasi.[22]
DAFTAR PUSTAKA
Agus Dwiyanto. Mewujudkan Good Governance Melalui
Pelayanan Publik. Gadjah Mada
University Press. 2005
Azra azyumardi,2003;Demokrasi,Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
madani
pendidikan kewarganegaraan,Jakarta:Prenada
Media.
Rojak Abdul dan Sayuti wahid,dkk,2004;pendidikan kewarganegaraan,Jakarta:Prenada Media.
Saefulloh Aep dan Tarsono,2011;modul pendidikan
kewarganegaraan,Bandung:Batik Press.
Sahid Asep Gatara dan Sofhian subhan,2012;Pendidikan
kewarganegaraan,Bandung:Fokusmedia.
Sulaiman Asep,2013;Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan,Bandung:Fadillah Press.
Ubaedillah A dan Abdul Rozak edisi revisi,2003:Pancasila Demokrasi
Hak Asasi Manusia Dan Mayarakat
Madani,Ciputat Jakarta Selatan:Prenada Media Gruf.
Ubaedillah A dan Abdul Rozak edisi ke-3,2003:Pancasila Demokrasi
Hak Asasi Manusia Dan Mayarakat Madani,Ciputat
Jakarta Selatan:Prenada Media Gruf.
Websate
FOOTNOTE
[1]Asep sahid gatara
dan subhan sofhian.pendidikan kewarganegaraan,hml.82.
[2] Ubaedillah
dan Abdul Rozak.Pendidikan kewarganegaraan,hml.160.
[3] Saiful
munjani.Muslim Demokrasi,hml.13.
[4] Asep sahid
gatara dan subhan sofhian.pendidikan kewarganegaraan,hml.83.
[5] Asep
sulaiman.pendidikan pancasila dan kewarganegaraan,hlm.180.
[6] Komarudin
hidayat dan Azyumardi Azra,Pendidikan Kewarganegaraan,hml.199.
[7] Ibid., hml
2-3.
[8] Ubaedillah
dan Abdul rozak,pendidikan kewarganegaraan,hml.161.
[9] Aep
Saepuloh dan Tarsono,Modul pendidikan dan kewarganegaraan,hml.176.
[10] Ubaedillah
dan Abdul rozak,pendidikan kewarganegaraan,hml.163.
[11] Azyumrdi
Azra,Demokrasi HAM dan Masyarakat madani,hml183.
[12]Aep Saepuloh dan
Tarsono,Modul pendidikan dan kewarganegaraan,hml.177.
[13] Ubaedillah
dan Abdul rozak,pendidikan kewarganegaraan,hml.163.
[14] Ubaedillah
dan Abdul rozak,pendidikan kewarganegaraan,hml.164.
[15] Azyumrdi
Azra,Demokrasi HAM dan Masyarakat madani,hml186.
[16] Azyumrdi
Azra,Demokrasi HAM dan Masyarakat madani,hml186.
[17] Ubaedillah
dan Abdul rozak,pendidikan kewarganegaraan,hml.164.
[18] Aep
Saepuloh dan Tarsono,Modul pendidikan dan kewarganegaraan,hml.178.
[19] Aep Saepuloh
dan Tarsono,Modul pendidikan dan kewarganegaraan,hml.178
[20]Ibid, hlm.
218-228
[21] Azyumrdi
Azra,Demokrasi HAM dan Masyarakat madani,hml190.
[22] A.Ubaedillah
dn Abdul Rozak,Pendidikan Kewarganegaraan.hlm.210.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....12
HAM MENURUT ISLAM DAN BARAT
A.
Pengertian HAM
Secara etimolgi
hak merupakan unsur normative yang berfungsi sebagai pedoman prilaku melindumgi
kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjadi
harkat dan martabatnya. Sedangkan asasi berarti yang bersifat paling mendasar
yang dimiliki manusia sebagai fitrah, sehingga tak satupun makhluk
mengintervensinya apalagi mencabutnya.
1.
Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching
Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan
bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya
manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia
2.
John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan
langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.
3.
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
B.
Sejarah HAM.
Negara yang
sering disebut sebagai negara pertama di dunia yang memperjuangkan hak asasi
manusia adalah Inggris. Tonggak pertama bagi kemenangan hak-hak asasi terjadi
di Inggris. Perjuangan tersebut tampak dengan adanya berbagai dokumen
kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan. Dokumen-dokumen tersebut adalah
MAGNA CHARTA. Tindakan sewenang-wenang Raja Inggris mengakibatkan rasa tidak
puas dari para bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak Raja Inggris untuk
membuat suatu perjanjian yang disebut Magna Charta atau Piagam Agung. Magna
Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan
kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja.
Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta
kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya,
kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan
kemenangan telah diraih sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan
dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan
terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang
derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja.
Perjuangan di
negara Inggris memicu perjuangan-perjuangan di banyak negara untuk Hak Azasi
Manusia. Seperit misalnya Amerika Serikat dengan Presiden Flanklin D. Roosevelt
tentang “empat kebebasan” yang diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat
tanggal 6 Januari 1941 antara lain kebebasan untuk berbicara dan melahirkan
pikiran (freedom of speech and expression), kebebasan memilih agama sesuai
dengan keyakinan dan kepercayaannya (freedom of religion), kebebasan dari rasa
takut (freedom from fear), kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom
from want).
Setelah perang
dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan piagam hak-hak asasi
manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi hak asasi
manusia (commission of human right). Sidangnya dimulai pada bulan januari
1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10
Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris
menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa UNIVERSAL
DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak Asasi
Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang
umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2
negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati
sebagai hari Hak Asasi Manusia
C.
Perbedaan Pandangan antara Islam dan Barat Tentang HAM
Terdapat
perbedaan-perbedaan yang mendasar antara konsep HAM dalam Islam dan HAM dalam
konsep Barat sebagaimana yang diterima oleh perangkat-perangkat internasional.
HAM dalam Islam didasarkan pada premis bahwa aktivitas manusia sebagai khalifah
Allah di muka bumi. Sedangkan dunia Barat, bagaimanapun, percaya bahwa pola
tingkah laku hanya ditentukan oleh hukum-hukum negara atau sejumlah otoritas
yang mencukupi untuk tercapainya aturan-aturan publik yang aman dan perdamaian
semesta.
Selain itu,
perbedaan yang mendasar juga terlihat dari cara memandang terhadap HAM itu
sendiri. Di Barat, perhatian kepada individu-individu timbul dari
pandangan-pandangan yang besifat anthroposentris, dimana manusia merupakan
ukuran terhadap gejala tertentu. Sedangkan Islam, menganut pandangan yang
bersifat theosentris, yaitu Tuhan Yang Maha Tinggi dan manusia hanya untuk
mengabdi kepada-Nya. Berdasarkan atas pandangan yang bersifat anthroposentris
tersebut, maka nilai-nilai utama dari kebudayaan Barat seperti demokrasi,
institusi sosial dan kesejahteraan ekonomi sebagai perangkat yang mendukung
tegaknya HAM itu berorientasi kepada penghargaan terhadap manusia. Dengan kata
lain manusia menjadi akhir dari pelaksanaan HAM tersebut.
Berbeda
keadaanya pada dunia Timur(Islam) yang bersifat theosentris, larangan dan
perintah lebih didasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Hadist. Al-Qur’an menjadi transformasi dari kualitas kesadaran manusia. Manusia
disuruh untuk hidup dan bekerja diatas dunia ini dengan kesadaran penuh bahwa
ia harus menunjukkan kepatuhannya kepada kehendak Allah swt. Mengakui hak-hak
dari manusia adalah sebuah kewajiban dalam rangka kepatuhan
kepada-Nya.
D.
HAM Menurut Islam
Hak asasi
manusia dalam Islam tertuang secara jelas untuk kepentingan manusia, lewat
syari’ah Islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syari’ah, manusia adalah
makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab, dan karenanya ia juga
mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas
dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban
tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan secara
eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. Sistem HAM
Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan
penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan, artinya Islam memandang semua
manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya keunggulan yang
dinikmati seorang manusia atas manusia lainya hanya ditentukan oleh tingkat
ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Hujarat ayat
13, yang artinya sebagai berikut : “Hai manusia, sesungguhnya Kami
ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kaum adalah yang paling takwa.”
Pada dasarnya
HAM dalam Islam terpusat pada lima hal pokok yang terangkum dalam al-dloruriyat
al-khomsah atau yang disebut juga al-huquq al-insaniyah fi al-islam (hak-hak
asasi manusia dalam Islam). Konsep ini mengandung lima hal pokok yang harus
dijaga oleh setiap individu, yaitu hifdzu al-din(penghormatan atas
kebebasan beragama), hifdzu al-mal(penghormatan atas harta
benda), hifdzu al-nafs wa al-‘ird(penghormatan atas jiwa, hak hidup dan
kehormatan individu) hifdzu al-‘aql(penghormatan atas kebebasan berpikir)
dan hifdzu al-nasl(keharusan untuk menjaga keturunan). Kelima hal pokok
inilah yang harus dijaga oleh setiap umat Islam supaya menghasilkan tatanan
kehidupan yang lebih manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu atas
individu, individu dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, masyarakat
dengan negara dan komunitas agama dengan komunitas agama lainnya.
E.
Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam
Al-Qur’an dan
Sunnah sebagai sumber hukum dalam Islam memberikan penghargaan yang tinggi
terhadap hak asasi manusia. Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama bagi umat
Islam telah meletakkan dasar-dasar HAM serta kebenaran dan keadilan, jauh
sebelum timbul pemikiran mengenai hal tersebut pada masyarakat dunia. Ini dapat
dilihat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an, antara lain :
1.) Dalam Al-Qur’an terdapat sekitar 80 ayat tentang hidup, pemeliharaan
hidup dan penyediaan sarana kehidupan, misalnya dalam Surat Al-Maidah ayat 32.
Di samping itu, Al-Qur’an juga berbicara tentang kehormatan dalam 20 ayat.
2.) Al-Qur’an juga menjelaskan dalam sekitas 150 ayat tentang ciptaan dan
makhluk-makhluk, serta tentang persamaan dalam penciptaan, misalnya dalam Surat
Al-Hujarat ayat 13. 3.) Al-Qur’an telah mengetengahkan sikap menentang
kezaliman dan orang-orang yang berbuat zalim dalam sekitar 320 ayat, dan
memerintahkan berbuat adil dalam 50 ayat yang diungkapkan dengan kata-kata :
‘adl, qisth dan qishash. 4.) Dalam Al-Qur’an terdapat sekitar 10 ayat yang
berbicara mengenai larangan memaksa untuk menjamin kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi. Misalnya yang dikemukakan oleh Surat
Al-Kahfi ayat 29.
Begitu juga
halnya dengan Sunnah Nabi. Nabi Muhammad saw telah memberikan tuntunan dan
contoh dalam penegakkan dan perlindungan terhadap HAM. Hal ini misalnya
terlihat dalam perintah Nabi yang menyuruh untuk memelihara hak-hak manusia dan
hak-hak kemuliaan, walaupun terhadap orang yang berbeda agama, melalui sabda
beliau : “Barang siapa yang menzalimi seseorang mu’ahid (seorang yang telah
dilindungi oleh perjanjian damai) atau mengurangi haknya atau membebaninya di
luar batas kesanggupannya atau mengambil sesuatu dari padanya dengan tidak rela
hatinya, maka aku lawannya di hari kiamat.”
F.
Hukum Islam dan HAM
Hukum Islam
telah mengatur dan melindungi hak-hak azasi manusia. Antar lain sebagai berikut
:
1. Hak
hidup dan memperoleh perlindungan
Hak
hidup adalah hak asasi yang paling utama bagi manusia, yang merupakan karunia
dari Allah bagi setiap manusia. Perlindungan hukum islam terhadap hak hidup
manusia dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan syari’ah yang melinudngi dan
menjunjung tinggi darah dan nyawa manusia, melalui larangan membunuh, ketentuan
qishash dan larangan bunuh diri. Membunuh adalah salah satu dosa besar yang
diancam dengan balasan neraka, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Nisa’
ayat 93 yang artinya sebagai berikut :“Dan barang siapa membunuh seorang muslim
dengan sengaja maka balasannya adalah jahannam, kekal dia di dalamnya dan Allah
murka atasnya dan melaknatnya serta menyediakan baginya azab yang berat.”
2. Hak
kebebasan beragama
Dalam Islam, kebebasan dan kemerdekaan merupakan HAM,
termasuk di dalmnya kebebasan menganut agama sesuai dengan keyakinannya. Oleh
karena itu, Islam melarang keras adanya pemaksaan keyakinan agama kepada orang
yang telah menganut agama lain. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat
AL-Baqarah ayat 256, yang artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang salah.”
3. Hak
atas keadilan.
Keadilan adalah dasar dari cita-cita Islam dan merupakan
disiplin mutlak untuk menegakkan kehormatan manusia. Dalam hal ini banyak
ayat-ayat Al-Qur’an maupun Sunnah ang mengajak untuk menegakkan keadilan, di
antaranya terlihat dalam Surat Al-Nahl ayat 90, yang artinya : “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji , kemungkaran dan permusuhan.”
4. Hak
persamaan
Islam tidak hanya mengakui prinsip kesamaan
derajat mutlak di antara manusia tanpa memndang warna kulit, ras atau
kebangsaan, melainkan menjadikannya realitas yang penting. Ini berarti bahwa
pembagian umat manusia ke dalam bangsa-bangsa, ras-ras, kelompok-kelompok dan
suku-suku adalah demi untuk adanya pembedaan, sehingga rakyat dari satu ras
atau suku dapat bertemu dan berkenalan dengan rakyat yang berasal dari ras atau
suku lain. Al-Qur’an menjelaskan idealisasinya tentang persamaan manusia dalam
Surat Al-Hujarat ayat 13, yang artinya : ”Hai manusia, sesungguhnya Kami
ciptakan kamu laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara
kamu adalah yang paling takwa.”
5. Hak mendapatkan pendidikan
Setiap orang
memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Setiap orang berhak
mendapatkan pendidikan sesuai dengan kesanggupan alaminya. Dalam Islam,
mendapatkan pendidikan bukan hanya merupakan hak, tapi juga merupakan kewajiban
bagi setiap manusia, sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits Nabi saw yang
diriwayatkan oleh Bukhari : “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap
muslim.” Di samping itu, Allah juga memberikan penghargaan terhadap orang yang
berilmu, di mana dalam Surat Al-Mujadilah ayat 11 dinyatakan bahwa Allah
meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu.
6. Hak kebebasan berpendapat.
Setiap orang
mempunyai hak untuk berpendapat dan menyatakan pendapatnya dalam batas-batas
yang ditentukan hukum dan norma-norma lainnya. Artinya tidak seorangpun
diperbolehkan menyebarkan fitnah dan berita-berita yang mengganggu ketertiban
umum dan mencemarkan nama baik orang lain. Dalam mengemukakan pendapat
hendaklah mengemukakan ide atau gagasan yang dapat menciptakan kebaikan dan
mencegah kemungkaran. Kebebasan berpendapat dan mengeluarkan pendapat juga
dijamin dengan lembaga syura, lembaga musyawarah dengan rakyat, yang dijelaskan
Allah dalam Surat Asy-Syura ayat 38, yang artinya : “Dan
urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.”
7. Hak kepemilikan
slam menjamin
hak kepemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apa pun untuk
mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya, sebagaimana firman Allah dalam
Surat Al-Baqarah ayat 188, yang artinya : “Dan janganlah sebagian kamu
memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan bathil dan
janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan harta
benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahuinya.”
8. Hak mendapatkan pekerjaan dan Memperoleh Imbalan
Islam tidak
hanya menempatkan bekerja sebagai hak, tetapi juga sebagai kewajiban. Bekerja
merupakan kehormatan yang perlu dijamin, sebagaimana sabda Nabi saw
: “Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang dari pada
makanan yang dihasilkan dari tangannya sendiri.” (HR. Bukhari) Sehubungan
dengan hak bekerja dan memperoleh upah dari suatu pekerjaan dijelaskan dalam
beberapa ayat dalam Al-Qur’an menyatakan sebagai berikut:
a. ”Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan kami berikan kepada mereka ganjaran dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan”(Q.s.An-Nahl/16:97) .
b. Dialah
yang menajadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah disegala penjurunya
dan makanlah sebagian dari rizki Nya. Dan hanya kepada Nya lah kamu kembali
(Q.S.Al-Mulk/67:15).
c. Katakanlah,
tiap-tiap orang berbuat menurut keadaan(keahlian)
nya.(Q.S.Al-Israa’/17:84).
Ayat-ayat di
atas menunjukkan bahwa Islam memberikan kesempatan kepada manusia untuk bekerja
dan berusaha serta memperoleh imbalan berupa upah dari apa yang dikerjakannya
untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi dirinnya. Pekerjaan atau usaha
yang dilakukan oleh seseorang hendaklah yang sesuai dengan bidang keahliannya.
Allah SWT juga mengakui adanya jenis-jenis pekerjaan yang beraneka ragamnya,
dan oleh karena itu, seseorang yang akan bekerja itu harus ditempatkan sesuai
dengan bidang keahliannya supaya ia bertanggung jawab dengan pekerjaannya
tersebut. Sebab, seseorang yang mengerjakan suatu pekerjaan yang bukan bidang
keahliannya bukan saja tidak bisa dipertanggungjawabkannya bahkan dapat
mendatangkan bencana bagi orang lain.
G.
Contoh Kasus Pelanggaran HAM Dari Sudut Pandang Islam
Berikut ini beberapa contoh kasus pelanggaran HAM, antara lain:
1.
PELANGGARAN HAM OLEH TNI
umumnya terjadi
pada masa pemerintahan Presiden Suharto, dimana (dikemudian hari berubah
menjadi TNI dan Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan. Pelanggaran HAM
oleh TNI mencapai puncaknya pada akhir masa pemerintahan Orde Baru, dimana
perlawanan rakyat semakin keras.
2.
KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU
Konflik dan
kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2 tahun 5
bulan; untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan
relatif stabil, sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua,
Haruku, Seram dan Buru) sampai saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota
Ambon sangat sulit diprediksikan, beberapa waktu yang lalu sempat tenang tetapi
sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang telah terjadi aksi kekerasan lagi
dengan modus yang baru ala ninja/penyusup yang melakukan operasinya di daerah –
daerah perbatasan kawasan Islam dan Kristen (ada indikasi tentara dan
masyarakat biasa).
Akibat
konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang luka –
luka, ribuan rumah, perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah hancur serta
terdapat 692.000 jiwa sebagai korban konflik yang sekarang telah menjadi
pengungsi di dalam/luar Maluku.
Komunikasi
sosial masyarakat tidak jalan dengan baik, sehingga perasaan saling curiga
antar kawasan terus ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang
menginginkan konmflik jalan terus. Perkembangan situasi dan kondisis yang
terakhir tidak ada pihak yang menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang
terjadi sehingga masyrakat mencari jawaban sendiri dan membuat antisipasi
sendiri.
Wilayah
pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen), masyarakat dalam
melakukan aktifitasnya selalu dilakukan dilakukan dalam kawasannya hal ini
terlihat pada aktifitas ekonomi seperti pasar sekarang dikenal dengan sebutan
pasar kaget yaitu pasar yang muncul mendadak di suatu daerah yang dulunya bukan
pasar hal ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan riil masyarakat; transportasi
menggunakan jalur laut tetapi sekarang sering terjadi penembakan yang
mengakibatkan korban luka dan tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini
biasa dilakukan diperbatasan antara supir Islam dan Kristen tetapi sejak 1
bulan lalu sekarang tidak lagi juga sekarang sudah ada penguasa – penguasa
ekonomi baru pasca konflik.
3.
PELANGGARAN HAM ATAS NAMA AGAMA
Kita telah
mengenal banyak sekelompok manusia dengan atribut agama, berlindung dalam
lembaga agama, mereka justru melakukan kejahatan kemanusiaan (crimes against
humanity) entah itu Kristen, Islam atau agama apapun. Atas nama ‘agama yang suci’
mereka melakukan ‘pelecehan yang tidak suci’ kepada sesamanya manusia. Akhir
abad 20 atau awal abad 21, akhir-akhir ini kita disuguhi sajian-sajian berita
akan kebobrokan manusia yang beragama melanggar hak asasi manusia, misalnya
kelompok Al-Qaeda dan sejenisnya menteror dengan bom, dan olehnya mungkin
sebagian dari kita telah prejudice menempatkan orang-orang Muslim di sekitar
kita sama jahatnya dengan kelompok ‘Al-Qaeda’.
Di sisi lain
Amerika Serikat (AS) sebagai ‘polisi dunia’ sering memakai ‘isu terorisme yang
dilakukan Al-Qaeda’ untuk melancarkan macam-macam agendanya. Invasi AS ke Iraq,
penyerangan ke Afganistan dan negara-negara lain yang disinyalir ‘ada
terorisnya’. Namun kehadiran pasukan AS dan sekutunya di Iraq tidak berdampak
baik, mungkin pada awalnya terlihat AS dengan sejatanya yang super-canggih
menguasai Iraq dalam sekejap, namun pasukan mereka babak-belur dalam
‘perang-kota’, ini mengingatkan kembali sejarah buruk, dimana mereka juga kalah
dalam perang gerilya di Vietnam. Kegagalan pasukan AS mendapat kecaman dari
dalam negeri, bahkan sekutunya, Inggris misalnya. Tekanan-tekanan ini membuat
PM Inggris Tony Blair memilih mengakhiri karirnya sebelum waktunya baru-baru
ini. Karena ia berada dalam posisi yang sulit : menuruti tuntutan dalam negeri
ataukah menuruti tuan Bush.
4.
PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM
Abilio Jose
Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi
Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim
dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan
saja meragukan tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim
tersebut benar-benar berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan
untuk mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia
waktu itu dengan mencari kambing hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang
dapat disimak dari keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.
Pertama, vonis
hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-Undang (UU)
No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan
bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan
menurut pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama
dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa
menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio
Soares.
Daftar pustaka
Kosasih, Ahmad. 2003. HAM Dalam Perspektif Islam.
Jakarta:Salemba Diniyah
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
UU KUHP
A.
Latar Belakang.
Dalam kehidupan
sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan yang mendesak,
kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakan
untuk mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap manusia itu akan
dapat dipenuhi, -walaupun tidak seluruhnya, -dalam keadaan yang tidak
memerlukan desakan dari dalam atau orang lain. Terhadap kebutuhan yang mendesak
pemenuhanya dan harus dipenuhi dengan segera biasanya sering dilaksanakan tanpa
pemikiran matang yang dapat merugikan lingkungan atau manusia lain. Hal seperti
itu akan menimbulkan suatu akibat negatif yang tidak seimbang dengan suasana
dari kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan
kehidupan yang bernilai baik itu di perlukan suatu pertanggung jawaban dari
pelaku yang berbuat sampai ada ketidakseimbangan. Dan pertanggung jawaban yang
wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidak enakan masyarakat
supaya dapat dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami. Pemberi pelimpahan
dilakukan oleh individu atau sekelompok orang yang berwenang untuk itu sebagai
tugas yang diberikan masyarakat kepadanya. Sedangkan penerima limpahan dalam
mempertanggung jawabkan perbuatanya pelimpahan itu berupa hukuman yang disebut
“dipidanakan”. Jadi bagi seseorang yang dipidanakan berarti dirinya menjalankan
suatu hukuman untuk mempertanggung jawabkan perbuatanya yang dinilai kurang
baik dan membahayakan kepentingan umum. Pernyataan ini dikehendaki
berlakunya oleh kehidupan sosial dan agama. Kalau ada orang yang melanggar
pernyataan ini baik dengan ucapan maupun dengan kegiatan anggota fisiknya, maka
ia akan dikenakan sanksi. Hanya saja yang dapat dirasakan berat adalah sanksi
hukum pidana, karena merupakan pelaksanaan pertanggung jawaban dari kegiatan
yang kerjakan dan wujud dari sanksi pidana itu sebagai sesuatu yang dirasa adil
oleh masyarakat. Aturan-aturan dan sanksi-sanksi atas penyimpangan terhadap
hukum yang berlaku pada masyarakat pada umumnya, tertulis jelas dalam KUHP,
pada makalah ini, akan menguraikan lebih jelas tentang sejarah perkembangan
KUHP.
B.
SEJARAH HUKUM KUHP.
Hukum pidana,
merupakan bagian dari hukum publuk. Hukum Pidana materil yang dapat juga
disebut dengan hukum pidana abstrak, dapat juga disebut dengan hukum pidana
dalam keadaan diam, yang sumber utamanya adalah KUHP[1]. Dimulai pada zaman Romawi. Dapat dikatakan hukum Romawi yang
dituangkan dalamCorpus Iuris Civil berlaku hampir selama seribu tahun atau
dalam pertengahan abad ke-6 Masehi. Dari sinilah kemudian hukum Romawi
mengembankan dirinya meliputi wilayah-wilayah yang semakin luas di seluruh
Eropa. Gejala ini dinamakan penerimaan (resepsi) hukum Romawi.
Mulai abad
pertengahan banyak mahasiswa-mahasiswa dari Eropa Barat dan Utara belajar di
Univrsitas-universitas di Italia dan Perancis Selatan (dimana Italia merupakan
pusat kebudayaan Eropah). Dimana pada era itu yang dipelajari hanya hukum
Romawi. Setelah mereka tiba di tanah airnya masing-masing maka Hukum Romawi
akan diterapkan apabila hukumnya sendiri tak dapat menyelesaikan persoalan
hukum mereka. Bahkan kadangkala hukumnya sendiri sengaja tidak
dipergunakan.Adanya kepercayaan pada hukum alam yang asasi, yang dianggap
sebagai suatu hukum yang sempurna dan berlaku bagi setiap waktu (zaman) dan
tempat, oleh karena itu mereka yang menerima hukum alam ini dapat melepaskan
dirinya dari hukum Romawi yang telah dipelajari di negara Italia dan Perancis
Selatan, maka biasanya mereka menyamakan hukum alam itu hukum Romawi.
Salah satu
negara di Eropah yang meresepsi hukum Romawi adalah Perancis.Hal ini
dikarenakan dalam sejarahnya Perancis pernah ditaklukan oleh Caesar,
kira-kira 50 tahun sebelum Masehi. Kemudian dalam abad ke-5 sesudah Masehi,
timbullah perubahan dimana bangsa Germania memasuki Gallia. Mula-mula
bangsa Wetsgota yang menduduki barat daya Gallia.
Pada abad ke
XVIII ada dua peristiwa yang menggemparkan, yang mempunyai pengaruh besar
terhadap opni publik yaitu mengenai pedagang JEAN CALAS (1762) di
Toulouse dijatuhi hukuman mati. VOLTAIRE telah menggugatnya dan meminta supaya
diadakan pemeriksaan revisi. Pemeriksaan revisi terjadi pada tahun 1765, dimana
dinyatakan bahwa JEAN CALAS tidak bersalah dan putusan yang pertama dibatalkan;
tetapi nyawa JEAN CALAS sudah tidak ada lagi;Peristiwa kedua yang terjadi pada
waktu 1764, adalah tulisan BECCARIA “Dei delitti e delle pene” yang
memprotes pelaksanaan hukuman-hukuman yang diluar peri kemanusiaan dan kejamnya
hukuman-hukuman. Kedua peristiwa itu, di samping memberikan anjuran pemakai
akal budi pada zaman RENAISSANCE (Aufklarung), sangat banyak pengaruhnya
terhadap pembaharuan hukum pidana.
Pada tahun 1791
setelah Revolusi Perancis terbentuk CODE PENAL yang pertama yang dalam banyak
hal dipengaruhi oleh jalan pikirannya BECCARIA. Pada tahun 1810 dalam
pemerintah NAPOLEON yang berlaku hingga saat ini, Code Penal tersebut lebih
banyak dipengaruhi oleh ajaran dari seorang utilist Inggris yang bernama
BENTHAM. Hukum Pidana ini dalam banyak hal masih ditujukan untuk
menakut-nakuti, terutama terlihat dari ancaman pidananya.
Di Belanda
mulai ada gerakan untuk membuat perundang-undangan hukum pidana pada tahun
1795, baru tahun 1809 terwujud : CRIMINEEL WETBOEK VOOR HET KONINGKRIJK HOLLAND
dalam pemerintahan LODEWIJK NAPOLEON, yang merupakan kodifikasi umum yang
pertama yang bersifat Nasional.
Penjajahan
Perancis tahun 1811, yang memberlakukan Code Penal Perancis sebagai
penggantinya sampai tahun 1886. Pada masa ini C.P. tersebut banyak mengalamai perobahan-perobahan
terutama mengenai ancaman pidananya yang kejam menjadi diperlunak. Pidana
penyiksaan dan pidana “cap-bakar” ditiadakan. Salah satu peristiwa penting yang
terjadi ketika itu ialah penghapusan pidana mati (dengan Undang-Undang 17
September 1870 stb. No. 162) dalam Wvs, sedang di WvMS jika terjadi pada waktu
damai dan tidak dilakukan kepada musuh. Pada tahun 1881 hukum pidana nasional
Belanda terwujud dan yang mulai berlaku pada tahun 1886, yang bernama “WETBOEK
VAN STRAFRECHT” sebagai pengganti Code Penal warisan dari Napoleon
C.
Sejarah Hukum Pidana di Indonesia.
Membicarakan
sejarah hukum pidana tidak akan lepas dari sejarah bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang hingga sampai dengan
saat ini. Beberapa kali periode mengalami masa penjajahan dari bangsa asing.
Hal ini secara langsung mempengaruhi hukum yang diberlakukan di Negara ini,
khususnya hukum pidana. Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik mempunyai
peranan penting dalam tata hukum dan bernegara. Aturan-aturan dalam hukum
pidana mengatur agar munculnya sebuah keadaan kosmis yang dinamis. Menciptakan
sebuah tata sosial yang damai dan sesuai dengan keinginan masyarakat.
Hukum pidana
menurut van hammel adalah “semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh
suatu Negara dalam menyelanggarakan ketertiban hukum yaitu dengan melarang apa
yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang
melanggar peraturan tersebut”. Mempelajari sejarah hukum akan mengetahui
bagaimana suatu hukum hidup dalam masyarakat pada masa periode tertentu dan
pada wilayah tertentu. Sejarah hukum punya pegangan penting bagi yuris pemula
untuk mengenal budaya dan pranata hukum.
Hukum Eropa
Continental merupakan suatu tatanan hukum yang merupakan perpaduan antara hukum
Germania dan hukum yang berasala dari hukum Romawi “Romana Germana”. Hukum
tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam lintasan kala
dan waktu. Secara umum sejarah hukum pidana di Indonesia dibagi menjadi beberapa
periode, yakni:
1.
Masa Sebelum Penjajahan Belanda.
Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma
pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana
adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam
arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu. Hukum adat tidak mengenal
adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata
(privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat
dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian
berkembang di Indonesia. Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan
secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu.
Di samping
hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh
mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum
pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan
mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita,
perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang
bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang
terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh
khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang
berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat
Sumatera Selatan,5 dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.
2.
Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda.
a.
MasaVereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-1799)
Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda
datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa
peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya
adalah kongsi dagang Belanda
yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan erdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.7 Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statute tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis.
yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan erdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.7 Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statute tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis.
Dalam perkembangannya,
salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan
kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan
adat.8 Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan
beberapa hal, antara lain:
i. sistem
pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak
memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati
peraturan-peraturan;
memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati
peraturan-peraturan;
ii. sistem
peradilan pidana adat terkadang tidak mampu menyelesaikan perkara pidana yang
terjadi karena permasalahan alat bukti;dan
iii. iii.
adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran antara hukum
pidana adat dengan hukum pidana yang dibawa VOC. Sebagai contoh adalah suatu
perbuatan yang menurut hokum pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan,
namun menurut pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga
perlu dipidana yang setimpal. Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat
adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan
pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai system pemidanaan
seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1750
VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang berisi
himpunan hukum pidana Islam.10 Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost
Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah
Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap
sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara
tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia
bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat.
b.
Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855)
Setelah Inggris
meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki kembali wilayah
Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan kepada raja
sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan kepada kongsi dagang sebagaimana
terjadi pada masa VOC. Dengan dasar Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal
36 UUD Negeri Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas
daerahdaerah jajahan. Dengan demikian ngara Belanda pada masa itu menggunakan
sistem pemerintahan monarkhi konstitusional. Raja berkuasa mutlak, namun
kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi. Untuk mengimplementasikannya, raja
kemudian mengangkat komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan
pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout,
Buyskes, dan Van dr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan
yang yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan
karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk mengisi
kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de Gisignes menerapkan
politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman dipaksakan untuk
kerja paksa (dwang arbeid).11 Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa
Besluiten Regering (BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian,
beberapa peraturan perundang-undangan di luar hukum pidana ditetapkan pada masa
ini, seperti Reglement op de Rechtilijke Organisatie (RO) atau Peraturan
Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) atau
Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW)
atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau
Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke
Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata.
c.
Masa Regering Reglement (1855-1926)
Masa Regering
Reglement dimulai karena adanya perubahan system pemerintahan di negara
Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer. Perubahan
ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD)
Belanda. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja,
karena parlemen (Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan
prundangundangan di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini
adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja
mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di bagian
dari dunia. Aturan tentang kebijakan pemerintah ditetapkan melalui
undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Halhal lain
yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan
diatur dengan undang-undang”.12 Dengan ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa
kekuasaan raja Belanda terhadap daerah jajahan di Indonesia berkurang.
Peraturanperaturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan raja
dengan Koninklijk Besluit, namun harus melalui mekanisme perundangundangan di
tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen
untuk mengatur pemerintahan negara jajahan adalah Regeling Reglement (RR). RR
ini berbentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855.
Selanjutnya RR disebut sebagai UUD Pemerintah Jajahan Belanda. Pada masa
berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi hukum pidana berhasil
diundangkan, yaitu:
1.
Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 Tahun 1866.
2.
Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang- undang
Hukum Pidana Eropa.
3.
Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Pribumi yang diundangkan denbgan Staatblad No. 85 Tahun 1872.
4.
Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
5.
Wetboek van Strafrechtvoor Netherlands-Indieatau Kitab Undang-udang
Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No. 732 Tahun
1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.
d.
Masa Indische Staatregeling (1926-1942)
Indische
Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling Reglement (RR) yang mulai
berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui Staatblad Nomor 415
Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia
Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet negera Belanda pada tahun 1922.
Perubahan Grond Wet
tahun 1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan undang-undang.
tahun 1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan undang-undang.
Pada masa ini,
keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam Pasal 131
jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta
hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek van
Strafrecht voor Netherlands- Indie) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk
Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling ini mempertegas
pemberlakuan hukum pidana Belanda semenjak diberlakukan 1 Januari 1918.
e.
Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
f.
Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum
pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali
peraturan jaman Belanda dahulu
dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut
menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih
tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hokum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat dibawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.
dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut
menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih
tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hokum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat dibawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.
3.
Masa Setelah Kemerdekaan
Masa
pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum
Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu
pertama masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah
Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia
Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950),
dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945. a. Tahun 1945-1949 Dengan
diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17
Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain
itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak sistem hukum
kolonial menjadi system hokum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian
bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur
negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam
penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-cita bahwa
proklamasi adalah awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem
tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan.
Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang
lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar
memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Oleh karena itu, untuk
mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hokum nasional belum dapat
diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan agar
segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini. Ketentuan ini menjelaskan
bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-peraturan
yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu
adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang telah
diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara.
Hal ini juga
berarti funding fathers bangsa Indonesia mengamanatkan kepada generasi
penerusnya untuk memperbaharui tata hokum colonial menjadi tata hukum
nasional. residen Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan
kembaliPera turan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tangal 10 Oktober
1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1 :
Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya
negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang
baru
menurut Undang Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang Dasar tersebut.
menurut Undang Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang Dasar tersebut.
Pasal 2 :
Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945. Sekilas ini Penpres ini
hampir sama dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, namun dalam Penpres ini dengan
tegas dinyatakan tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945. Sebagai dasar
yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan colonial sebagai hukum pidana positif
di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Pasal 1 undang-undang tersebut secara tegas menyatakan: Dengan menyimpang
seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober
1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku
sekarang adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret
1942. Dengan titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang
atas wilayah Indonesia ini berarti semua peraturan hokum pidana yang
dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang dikeluarkan oleh panglima
tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA) setelah tanggal 8 Maret 1942
dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2 undangundang tersebut juga dinyatakan
bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala
tentara Hindia Belanda dicabut. Pasal 2 ini diperlukan karena sebelum tanggal 8
Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda mengeluarkan
Verordeningen van het militer gezag. Secara lengkap bunyi Pasal 2 UU Nomor 1
Tahun 1946 adalah sebagai berikut: “Semua peraturan hukum pidana yang
dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen
van het milite gezag) dicabut”.16 Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan
ditetapkannya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata
belum menjawab persoalan. Kenyataan ini disebabkan karena perjuangan fisik
bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai. Secara de jure memang
Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun secara
de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja berkelanjutan. Melalui
aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun negara-negara boneka yang
berhasil dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi
kolonialismenya di Indonesia.
1.
Bahkan pada tanggal 22 September 1945, Belanda mengeluarkan kembali
aturan pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht
(Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum Pidana) dengan
Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlaku tanggal 7 Oktober 1945.
Ketentuan ini antara lain mengatur tentang diperberatnya ancaman pidana untuk
tindak pidana yang menyangkut ketatanegaraan, keamanan dan ketertiban,
perluasan daerah berlakunya pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta
dibekukannya Pasal 1 KUHP agarperaturan ini dapat berlaku surut. Nampak
jelas bahwa maksud ketentuan ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan. Dengan
adanya dua peraturan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia oleh dua
“penguasa” yang bermusuhan ini, maka munculah dua hukum pidana yang
diberlakukan bersama-sama di Indonesia. Oleh para ahli hukum pidana, adanya dua
hukum pidana ini disebut masa dualism KUHP.17.
2.
Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai
konsekuensi atas syarat pengakuan kemerdekaan dari Negara Belanda. Dengan
perubahan bentuk negara ini, maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan diganti
dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sebagai aturan peralihannya,
Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan: Peraturan-peraturan undang-undang dan
ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai
berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau
diubah oleh undang-undang dan ketentuanketentuan tata usaha atas kuasa
Konstitusi ini.18 Dengan adanya ketentuan ini maka praktis hokum pidana yang
berlaku pun masih tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek van Strafrecht yang berdasarkan
Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang
muncul setelah Belanda dating kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih
tetap berlangsung pada masa ini.
3.
Tahun 1950-1959 Setelah negara Indonesia menjadi negara yang
berbentuk negara serikat selama 7 bulan 16 hari, sebagai trik politik agar
Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950
Indonesia kembali menjadi negara republik-kesatuan. Dengan perubahan ini, maka
konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan UUD Sementara. Sebagai
peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hokum pidana masa sebelumnya pada
masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara menyebutkan:
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah
ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai
peraturan-peraturan dan ketentuanketntuan Republik Indonesia sendiri, selama
dan sekedar peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut,
ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas
kuasa Undang Undang Dasar ini. Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara
ini maka hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa
sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Namun demikian, permasalahan dualime KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai
akhir masa berlakunya UUD Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU
Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah
Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan:
“Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku
dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum
Pidana menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia
(Staatblad 1915 Nomor 732 seperti beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak
beralasan.
Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”
Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”
Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
4.
Tahun 1959-sekarang Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959, yang salah
satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886.21
Setelah perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya (Code Penal) selama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881). Selama usaha pembaharuan hokum pidana itu, Code Penal mengalami bebarapa perubahan, terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886. Sebelum negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, di wilayah Hindia Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 73.22 Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidanabagigolongannon-Eropa. Kenyataan ini dirasakan. Idenburg (Minister van Kolonien) sebagai permasalahan yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915 keluarlah Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 Januari 1918. Dengan gambaran sejarah demikian, runtutan sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia dapat dilustrasikan dalam bagan berikut. Tahun Peristiwa Selisih Waktu 1810 Code Penal diberlakukan di Perancis 1 tahun 1811 Code Penal diberlakukan di Belanda 56 tahun 1867 Wetboek van Strafrecht voor Europeanen berlaku di Hindia-Belanda 6 tahun 1873 Wetboek van Strafrecht voor Inlander diberlakukan di Hindia-Belanda 8 tahun 1881 Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda 5 tahun 1886 Wetboek van Strafrecht diberlakukan di Belanda 29 tahun 1915 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disahkan untuk Hindia-Belanda 3 tahun 1918 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie diberlakukan di Hindia-Belanda 28 tahun 1946 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disebut sebagai KUHP Indonesia Total selisih waktu 136 tahun.
satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886.21
Setelah perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya (Code Penal) selama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881). Selama usaha pembaharuan hokum pidana itu, Code Penal mengalami bebarapa perubahan, terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886. Sebelum negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, di wilayah Hindia Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 73.22 Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidanabagigolongannon-Eropa. Kenyataan ini dirasakan. Idenburg (Minister van Kolonien) sebagai permasalahan yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915 keluarlah Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 Januari 1918. Dengan gambaran sejarah demikian, runtutan sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia dapat dilustrasikan dalam bagan berikut. Tahun Peristiwa Selisih Waktu 1810 Code Penal diberlakukan di Perancis 1 tahun 1811 Code Penal diberlakukan di Belanda 56 tahun 1867 Wetboek van Strafrecht voor Europeanen berlaku di Hindia-Belanda 6 tahun 1873 Wetboek van Strafrecht voor Inlander diberlakukan di Hindia-Belanda 8 tahun 1881 Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda 5 tahun 1886 Wetboek van Strafrecht diberlakukan di Belanda 29 tahun 1915 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disahkan untuk Hindia-Belanda 3 tahun 1918 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie diberlakukan di Hindia-Belanda 28 tahun 1946 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disebut sebagai KUHP Indonesia Total selisih waktu 136 tahun.
D.
Problematika Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia
(Wetboek van Strafrecht) Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa hukum
pidana Indonesia merupakan warisan hukum kolonial ketika Belanda melakukan
penjajahan atas Indonesia.
Jika Indonesia
menyatakan dirinya sebagai bangsa yang merdeka sejak 17 Agustus 1945, maka
selayaknya
hokum pidana Indonesia adalah produk dari bangsa Indonesia sendiri. Namun
idealisme ini ternyata tidak sesuai dengan realitasnya. Hukum pidana Indonesia sampai sekarang masih mempergunakan hukum pidana warisan Belanda. Secara politis dan sosiologis, pemberlakuan hukum pidana kolonial ini jelas menimbulkan problem tersendiri bagi bangsa
Indonesia. Problematika tersebut antara lain sebagai berikut.
hokum pidana Indonesia adalah produk dari bangsa Indonesia sendiri. Namun
idealisme ini ternyata tidak sesuai dengan realitasnya. Hukum pidana Indonesia sampai sekarang masih mempergunakan hukum pidana warisan Belanda. Secara politis dan sosiologis, pemberlakuan hukum pidana kolonial ini jelas menimbulkan problem tersendiri bagi bangsa
Indonesia. Problematika tersebut antara lain sebagai berikut.
1.
Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan sejak 59 tahun lalu
merupakan awal pendobrakan hukum kolonial menjadi hokum yang bersifat nasional.
Namun pada realitasnya, hukum pidana positif (KUHP) Indonesia merupakan warisan
kolonial Belanda. Secara
politis ini menimbulkan masalah bagi bangsa yang merdeka.23 Dengan kata lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka, namun hukum pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penjajahan.
politis ini menimbulkan masalah bagi bangsa yang merdeka.23 Dengan kata lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka, namun hukum pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penjajahan.
2.
Wetboek van Strafrecht atau bisa disebut Kitab Undang-undang Hukum
Pidana telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918. Ini berarti KUHP telah
berumur lebih dari 87 tahun. Jika umur KUHP dihitung sejak dibuat pertama kali
di Belanda (tahun 1881), maka KUHP telah berumur lebih dari 124 tahun. Oleh
karena itu, KUHP dapat dianggap telah usang dan sangat tua, walaupun Indonesia
sendiri telah beberapa kali merubah materi KUHP ini. Namun demikian, perubahan
ini tidak sampai kepada masalah substansial dari KUHP tersebut. KUHP Belanda
sendiri pada saat ini telah banyak mengalami perkembangan.24
3.
Wujud asli hukum pidana Indonesia adalah Wetboek van Strafrecht
yang menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan KUHP. Hal ini menandakan
bahwa wujud asli KUHP adalah berbahasa Belanda.25 KUHP yang beredar di pasaran
adalah KUHP yang diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh beberapa pakar hukum
pidana, seperti terjemahan Mulyatno, Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, R.
Susilo, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Tidak ada teks resmi terjemahan
Wetboek van Strafrecht yang dikeluarkan oleh negara Indonesia. Oleh karena itu,
sangat mungkin dalam setiap terjemahan memiliki redaksi yang berbeda-beda.26
4.
KUHP warisan kolonial Belanda memang memiliki jiwa yang berbeda
dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda ini berasal
dari sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David
disebut dengan the Romano-Germanic Family. The Romano Germanic family ini
dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme
(individualism, liberalism, and individual right)27. Hal ini sangat berbeda
dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika
kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan
kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan
kejahatan-kejahatan baru.
5.
Jika KUHP dilihat dari tiga sisi masalah dasar28 dalam hukum
pidana, yaitu pidana, tindak pidana, dan pertanggungjawaban pidana, maka
masalah-masalah dalam KUHP antara lain:
a). Pidana KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan
bagi hakim atau penegak hukum yang lain, sehingga arah pemidanaan tidak tertuju
kepada tujuan dan pola yang sama. Pidana dalam KUHP juga bersifat kaku dalam
arti tidak dimungkinkannya modifikasi pidana yang didasarkan pada perubahan
atau perkembangan diri pelaku. Sistem pemidanaan dalam KUHP juga lebih kaku
sehingga tidak member keleluasaan bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat
untuk pelaku tindak pidana. Sebagai contoh mengenai jenis-jenis pidana,
pelaksanaan pidana pidana mati,29 pidana denda,30 pidana
penjara,31 dan pidana bagi anak.
b). Tindak pidana Dalam menetapkan dasar patut dipidananya
perbuatan, KUHP bersifat positifis dalam arti harus dicantumkan dengan
undangundang (asas legalitas formil). Dengan demikian, KUHP tidak memberikan tempat
bagi hukum yang hidup di tengah-tengah
masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-undangan. Disamping itu, KUHP menganut pada Daadstrafrecht yaitu hokum pidana yang berorientasi pada perbuatan. Aliran ini pada
sekarang sudah banyak ditinggalkan, karena hanya melihat dari aspek perbuatan (Daad) dan menafikan aspek pembuat (Dader).33 KUHP masih menganut pada pembedaan kejahatan dan
pelanggaran yang sekarang telah ditinggalkan. Tindak pidanatindak pidana yang muncul di era modern ini, seperti money laundering, cyber criminal, lingkungan hidup, dan beberapa
perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai tindak pidana belum tercover di dalam KUHP. Oleh karena itu, secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-undangan. Disamping itu, KUHP menganut pada Daadstrafrecht yaitu hokum pidana yang berorientasi pada perbuatan. Aliran ini pada
sekarang sudah banyak ditinggalkan, karena hanya melihat dari aspek perbuatan (Daad) dan menafikan aspek pembuat (Dader).33 KUHP masih menganut pada pembedaan kejahatan dan
pelanggaran yang sekarang telah ditinggalkan. Tindak pidanatindak pidana yang muncul di era modern ini, seperti money laundering, cyber criminal, lingkungan hidup, dan beberapa
perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai tindak pidana belum tercover di dalam KUHP. Oleh karena itu, secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
c). Pertanggungjawaban pidanaBeberapa masalah yang muncul dalam
aspek pertanggungjawaban pidana ini antara lain mengenai asaskesalahan
(culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara tegas dalam KUHP, namun hanya
disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan
WvS.34 Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang
dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1), yang berarti bahwa seseorang dapat dipidana
karena secara obyektif memang telah melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan
asas legalitas) dan secara subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku
(memenuhi rumusan asas culpabilitas). Masalah lainnya adalah masalah yang
terkait dengan pertanggungjawaban pidana anak. Anak di dalam KUHP (Pasal 45-47)
adalah mereka yang berumur di bawah 16 tahun. Pasal-pasal tersebut tidak
mengatur secara rinci tentang aturan pemidanaan bagi anak. Pasal 45 hanya
menyebutkan beberapa alternatif yang dapat diambil oleh hakim jika terdakwanya
adalah anak di bawah umur 16 tahun.35 Selain itu, KUHP tidak
menyebutkan pertanggungjawaban pidana korporasi.
DAFTAR PUSTAKA
Yulies Tiena Masriani, SH., M.Hum. 2004.Pengantar Hukum Indonesia,
Jakarta: SINAR GRAFIKA.
Drs. Adam Chazawi, S.H., 2011. PELAJARAN HUKUM PIDANA,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan &
Penyertaan, Jakarta: RajaGrafindo.
__________, 2011, KUHAP dan KUHP, Jakarta: SINAR
GRAFIKA.
[1] Drs. Adam
Chazawi, S.H. PELAJARAN HUKUM PIDANA, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001.
Hal. 2
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
UU KHI
Hukum Islam
adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun
As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara
universal-relevan pada setiap zaman (waktu)
dan Makan (ruang) manusia. Keuniversalan hukum Islam ini sebagai
kelanjutan langsung dari hakekat Islam sebagai agama universal, yakni agama yang
substansi-substansi ajaran-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia,
melainkan berlaku bagi semua orang Islam di mana pun, kapan pun, dan kebangsaan
apapun.
Selama ini
dalam menyelesaikan perkara-perkara muamalah, hakim pengadilan agama
berpedoman kepada kitab fikih yang berasal dari madzhab Syafi'i, yang
penggunaannya dapat dipastikan tergantung pada kemampuan hakim-hakim pengadilan
agama yang bersangkutan dalam memahami secara utuh dan menyeluruh kitab-kitab
fikih tersebut. Dampaknya tidak menutup kemungkinan timbul suatu putusan yang
berbeda-beda, walaupun perkara-perkara yang diajukan kepadanya sama. Untuk itu,
sudah seyogianya kita memiliki pula hukum materiil berupa hukum islam yang
berbentuk kodifikasi yang nantinya dijadikan landasan bersama dalam mengadili,
sehingga tidak akan menimbulkan disparitas (perbedaan) putusan lagi.
E.
Sejarah Terbentuknya Kompilasi Hukum Indonesia.
1.
Sejarah
Setelah
Indonesia merdeka, ditetapkan 13 kitab fikih sebagai referensi hukum materiil
di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama
RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985. Hal ini dilakukan karena hukum
Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan
berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi
penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan
kesatuan hukum di pengadilan agama. Muncul persoalam krusial yang berkenaan
dengan tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum
terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum
Islam itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di
Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di
Indonesia.
Hal ini
disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara
material memang telah ditetapkan 13 kitab yang dijadikan rujukan dalam
memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi tetap saja
menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim.
Bustanul Arifin
adalah seorang tokoh yang tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi
Hukum Indonesia. Gagasan-gagasan ini didasari pada pertimbangan-pertimbangan
berikut:
1. Untuk
berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan
dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2. Persepsi
yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan hal-hal: 1. Ketidakseragaman
dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), 2.
Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (Tanfiziyah) dan 3.
Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat
yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainya.
3. Di
dalam sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum Islam diberlakukan
(1). Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri, (2). Di
kerajaan Turki Ustmani yang terkenal dengan nama Majallah al-Ahkam Al-Adliyah
dan (3). Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang.[1]
Gagasan
Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat
Keputusan Bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI
No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bustanul dipercaya menjadi Pemimpin Umum
dengan anggota Tim yang meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen
Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat
di dalamnya maka terumuslah KHI yang ditindaklanjuti dengan keluarnya instruksi
presiden No.1 Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi
Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang
Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan. Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan
SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
Kemunculan KHI
di Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat
Islam. Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan
ditemukan lagi pluralisme Keputusan Peradilan agama, karena kitab yang
dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama adalah sama. Selain itu fikih yang
selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku
dan mengikat seluruh umat Islam Indinesia. Lebih penting dari itu, KHI
diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia
digali dari tradisi-tradisi bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan
Psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.[2]
2.
Pengertian dan Tujuan Kompilasi Hukum Islam.
a). Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Istilah kompilasi
berasal dari bahasa Latin Compilare yang masuk ke dalam bahasa
Belanda dengan sebutan compilatie, yang dalam bahasa inggrisnya
disebut compilation. Secara harfiah berarti kumpulan dari berbagai
karangan atau karangan yang tersusun dari kutipan-kutipan buku lain.
Bustanul Arifin
menyebut Kompilasi Hukum Islam sebagai "fikih dalam bahasa Undang-Undang
atau dalam bahasa rumpun Melayu disebut peng-Qanun-an hukum syara`". Wahyu
Widhiana menyatakan bahwa "Kompilasi Hukum Islam adalah sekumpulan materi
Hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri dari 3
kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan
-termasuk wasiat dan hibah- (44 pasal), dan Hukum Perwakafan (14 pasal),
ditambah satu pasal Ketentuan Penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum
tersebut.
Secara materi,
Kompilasi Hukum Islam itu adalah ketentuan hukum Islam yang ditulis dan disusun
secara sistematis menyerupai peraturan perundang-undangan untuk sedapat mungkin
diterapkan seluruh instansi Departemen Agama dalam menyelesaikan
masalah-masalah di bidang yang telah diatur Kompilasi Hukum Islam. Oleh para
hakim peradilan agama Kompilasi Hukum Islam digunakan sebagai pedoman dalam
memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan kepada-Nya.
b). Tujuan Penyusunan
Kompilasi Hukum Islam
Upaya
mempositifkan hukum Islam melalui Kompilasi Hukum Islam ini mempunyai beberapa
sasaran pokok yang hendak dicapai:
1) Melengkapi pilar Peradilan
Agama
2) Menyamakan persepsi penerapan
hukum
3) Mempercepat
proses Taqribi baina al-Madzahib
F.
Proses Perumusan Kompilasi Hukum Islam
Untuk melihat
gambaran umum hukum islam sebagai bagian hukum nasional, dengan mengikuti
proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk mendeskripsikan proses
perumusan kompilasi hukum Islam, tidak terlepas pada latar belakang Kompilasi
Hukum Islam, Landasan Yuridis dan Landasan Fungsional.
1.
Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam.
Setelah Indonesia merdeka, ditetapkanlah 13 kitab fikih sebagai
referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro
Peradilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1958. Hal ini dilakukan
karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak
tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi
penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan
kesatuan hukum di pengadilan agama. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah
yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk
menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Lahirnya KHI
tidak dapat dipisahkan dari latar belakang dan perkembangan (pemikiran) hukum
Islam di Indonesia. Di satu sisi, pembentukan KHI terkait erat dengan
usaha-usaha untuk keluar dari situasi dan kondisi internal hukum Islam yang
masih diliputi suasana kebekuan intelektual yang akut. Di sisi lain, KHI
mencerminkan perkembangan hukum Islam dalam konteks hukum nasional, melepaskan
diri dari pengaruh teori receptie, khususnya dalam rangkaian usaha pengembangan
Pengadilan Agama.
Hukum Islam di
Indonesia memang sejak lama telah berjalan di tengah-tengah masyarakat. Namun
harus dicatat bahwa hukum Islam tersebut tidak lain merupakan hukum fiqh hasil
interpretasi ulama-ulama abad ke dua hijriyah dan abad-abad sesudahnya.
Pelaksanaan hukum Islam sangat diwarnai suasana taqlid serta sikap fanatisme
mazhab yang cukup kental. Ini makin diperparah dengan anggapan bahwa fiqh
identik dengan Syari’ah atau hukum Islam yang merupakan wahyu aturan Tuhan,
sehingga tidak dapat berubah. Umat Islam akhirnya terjebak ke dalam pemahaman
yang tumpang tindih antara yang sakral dengan yang profan.
Situasi
tersebut berimplikasi negatif terhadap pelaksanaan hukum Islam di lingkungan Peradilan
Agama. Pengidentifikasian fiqh dengan Syari’ah atau hukum Islam
sepertiitu telah membawa akibat kekeliruan dalam penerapan hukum Islam yang
sangat “keterlaluan”. Dalam menghadapi penyelesaian kasus-kasus perkara di
lingkungan peradilan agama, para hakim menoleh kepada kitab-kitab fiqh sebagai
rujukan utama. Jadi, putusan pengadilan bukan didasarkan kepada hukum,
melainkan doktrin serta pendapat-pendapat mazhab yang telah terdeskripsi di
dalam kitab-kitab fiqh.
Akibat dari
cara kerja yang demikian, maka lahirlah berbagai produk putusan Pengadilan
Agama yang berbeda-beda meskipun menyangkut satu perkara hukum yang sama. Hal
ini menjadi semakin rumit dengan adanya beberapa mazhab dalam fiqh itu sendiri,
sehingga terjadi pertarungan antar mazhab dalam penerapan hukum Islam di
Pengadilan Agama.[3]
Proses
penerapan hukum Islam yang simpang-siur tersebut di atas tentu saja tidak dapat
dibenarkan dalam praktek peradilan modern, karena menimbulkan ketidakpastian
hukum dalam masyarakat. Menjadikan kitab-kitab fiqh sebagai rujukan hukum
materiil pada pengadilan agama juga telah menimbulkan keruwetan lain.
Kenyataan-kenyataan ini mengharuskan dibentuknya sebuah unifikasi hukum Islam
yang akhirnya berhasil disahkan pada tahun 1991, yakni Kompilasi Hukum Islam
yang diberlakukan oleh Inpres No. 1 tahun 1991.
2.
Landasan Yuridis
Landasan
yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran
hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat
1 yang berbunyi: ” Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, Fikih
Islam mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu,
tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berkembang, karenanya
pelaksanaan hukum menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan
masyarakat. Diantara metode itu ialah maslahat mursalah, istihsan,
istishab, dan urf.[4]
3.
Landasan fungsional.
Kompilasi Hukum
Islam adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi
kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia dimaksud adalah fikih
yang telah dicetuskan oleh Hazairin dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih
sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih
Hindy, fikih lain-lain yang sangat mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum
masyarakat setempat. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum islam.
Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan bentuk
terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional
di Indonesia.[5]
G.
Institusi (organisasi) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Hukum berfungsi
sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound ” a Tool
of social enginering”Dalam konteks dinamika Kompilasi Hukum Islam
diperlukan Institusi (organisasi) untuk menjalankan dan melakukan
pengawasan dalam penerapannya di masyarakat.
1.
Peradilan dan hakim-hakim agama
Peranan dari
para Hakim Agama yang mekanisme kerjanya sudah mempunyai landasan yang kokoh
dengan ditetapkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama,
maka dalam menghadapi kompilasi hukum islam sebagai ketentuan hukum material
yang harus dijalankan tidak hanya berfungsi sebagai "mulut dari
kompilasi" akan tetapi dituntut untuk lebih meningkatkan perannya dalam
berijtihad menemukanhukum melalui perkara-perkara yang ditanganimya.[6]
2.
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama
indonesia (MUI) lebih meningkatkan peranannya untuk mengkaji beberapa aspek
kemasyarakatan yang berdimensi hukum yang memang sangat diperlukan oleh
masyarakat dalam rangka penetapan hukum dalam masyarakat indonesia yang sedang
membangun. Visi MUI adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan,
kebangsaan dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah swt
menuju masyarakat berkualitas demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat
bagi seluruh alam.[7]
3.
Lembaga-lembaga hukum dan fatwa dari organisasi islam
Peranan dari
lambaga-lembaga hukum dan fatwa yang kita temui pada berbagai organisasi islam
yang ada di Indonesia seperti Muhamadiyah, Nahdlatul Ulama dan lain-lain perlu
lebih ditingkatkan dalam rangka mendukung dalam penetapan hukum islam.
4.
Lembaga pendidikan tinggi.
Kegiatan
penelitaian di bidang Hukum Islam harus lebih digalakkan. Lembaga pendidikan
sebagai media intelektual untuk mengawal dan selalu mengkritisi atas
berjalannya Kompilasi Hukum Islam. Perguruan Tinggi Islam khususnya diharapkan
memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan Kompilasi Hukum Islam.
5.
Lembaga-lembaga penelitian dan pengkajian pemerintah
Lembaga-
lembaga penelitian dan pengkajian dari pemerintah, semacam LIPI, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama
dan lain sebagainya sudah seharusnya melibatkan diri dalam kegiatan penelitian
dan pengkajian masalah-masalah hukum islam yang berskala nasional.
6.
Media massa
Peranan media
massa dalam persoalan ini sangat besar sekali untuk menjebatani komunikasi
ilmiah dari berbagai pihak yang terlibat dalam pengkajian dan penelitian
masalah-masalah hukum islam. Media selain untuk sosialisasi tetapi juga
berperan sebagai kontrol terhadap berjalannya penerapan Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia.[8]
FOOTNOTE
[1]aafandia.wordpress.com/2009/05/20/instruksi-presiden-ri-nomor-1-tahun-1991-tentang-kompilasi-hukum-islam/
[2] http://el-ghozali-hasanah.blogspot.com/2011/04/sejarah-terbentuknya-kompilasi-hukum-islam.html
[3] Zainuddin
Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia(Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), hlm. 98
[4] Ibid., hlm.
100.
[5] Ibid.
[6] Zainudin
Ali, Sosiologi Hukum(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 38.
[7] Mahfud,
Moh.MD.Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media,
1999) hlm. 259.
[8] Abdurahman, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hlm 7
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
TULISAN INI PERNYATAAN PROF. MAHFUD MD DI TV ONE DALAM MEMBAHAS
“APAKAH MK MENYETUJUI LGBT ?”
Dalam HAM ada pertentangan
yaitu:
1.
Konsep Universalisme.
HAM itu Universal, Termasuk LGBT, Zina itu tidak boleh dipidanakan.
Dasarnya yaitu Universal of Human Right 1948 di New York.
2.
Konsep partikularisme.
HAM tergantung bebutuhan lokal dan masyarakat karena hukum melayani
masyarakat, kalau masyarakat katakan zina tidak boleh jadikan dia hukum, LGBT
tidak boleh, jadikan hukum. apalagi masyarakat beragama tidak boleh jadikan dia
hukum. itu ada teorinya yaitu teori hubungan hukum dengan masyarakat, bahwa
hukum harus sesuai kebutuhan masyarakat , lain tempat lain hukum, lain waktu
lain hukum.
Namun hukum islam telah lebih
dahuluIbnul Qayyim ia mengatakan “Hukum berubah-ubah sesuai masyarakat, waktu,
tempat dan adat istiadat.
Tahun 1998 Deklarasi HAM di Kairo
tentang HAM di barat dan ditimur itu beda. Timur berdasarkan agama dan adat istiadat, partikular dan ini
kemudian ditanda tangani oleh pemerintah indonesia bahwa agama itu sumber hukum
karena itu dasar hidup masyarakat . dimana masuknya? Masuk dalam Pasal 28 G
ayat 2 “HAM, LGBT, ZINA boleh dihukumi hukum berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai Agama dan keamanan
masyarakat dan ketertiban umum. Jadi zina itu tinggal kita hubungkan atau tidak
itu agama manapun tidak suka itu zina.
Ada lagi yang ngawur bilang zina
itukan perbuatan “Fakhsa” hanya rugikan diri sendiri, itu rugikan diri sendiri
dan bilang “Amar ma’ruf nahi munkar” tidak ada amar ma’ruf nahi fahsa, ini
katanya. Ini ngawur saya bilang. Zina itu fakhsa dalam Al-Qur’an “Wayanha
anil fahsya iwal munkar” Fakhsa (dilarang karena rugi diri sendiri), Munkar
(dilarang karena rugi orang lain).
LGBT itukan pemebrian tuhan?, Iblis
juga pemberian dan ketetapan tuhan maka kita lawan “Prof. Mahfud MD”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar