Kelompok...1
KONSEP TAUHID IBNU TAIMIYAH
·
Ibnu taimiyah lahir di hara dan pada masa mudanya ia ikut
keluarganya menungsi untuk menghindari keganasan suku mongol. Abad ke-13
merupakan periode malapetaka besar bagi sejarah perdaban islam. Suku bangsa
mongol menyerbu negara-negara muslim, memusnahkan kekayaan intelektual dan
peradaban yang telah di bangun berabad-abad sebelumnya suku dari padang rumput
ini membantai jutaan kaum muslimin[1]
·
Lahie senin, 10 rabiul Awal 661 H/1282 M, ibnu taimiyah
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai guru besar hukum hanbali, tetapi cara
berpikirnya yang bebas menimbulkan permusuhan dengan penganut aliran syafi’i,
sehingga jabatan itu lepas darinya.[2]
·
Ada 3 prinsip pandangan ibnu taimiyah.
a.
Wahyu merupakan sumber pengetahuan agama, penalaran dan intuisi
hanyalah sumber terbatas.
b.
Kesepakatan umum pada ilmuwan yang terpercaya selama 3 abad pertama
islam juga turut memberi pengertian tentang asas pokok islam disamping Al-Quran
dan As-sunnah.
c.
Hanya Al-Quran dan sunnah penuntun autentik.
·
Menurut ibnu taimiyah , tauhid dibagi menjadi 3:
1.
Tahudi rububiyah, yaitu pengakuan bahwa yang menciptakan dan
mengatur langit dan bumi hanya Allah semata dan diyakini musyrik maupun mukmin
2.
Tauhid uluhiyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditunjuka kepada
Allah. Ibnu taimiyah “ilah (tuhan) yang haq adalah yang berhak untuk disembah,
sedangkan tauhid adalah beribadah kepada Allah semata tanpa mempersekutukannya.
3.
Tauhid asma’ wa_sifat, yaitu menetapkan hakikat nama-nama dan
sifat-sifat Allah sesuai dengan arti literal atau lafdiyah seperti yang biasa
dipahami kebanyakan orang, pengakuan seorang hanba tentang nama dan sifat Allah yang telah ditetapkan
baginya.
·
Konsep tauhid maturidiyah:
1.
Kewajiban mengetahui tuhan, akal semata-mata sanggup mengetahui
tuhan namun ia tidak sanggup dengan sendirinya hukum-hukum taklifi (perintah
Allah).
2.
Kebaikan dan keburukan dapat diketahui akal.
3.
Hikmah dan tujuan perbuatan tuhan, perbuatan tuhan mengandung
kebijaksanaan (hikmah) baik dalam cipytaan-ciptaan nya maupun dalam perintah
dan larangan-larangannya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari
Allah, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban mengandung suatu
perlawanan dengan iradatnya.
·
Maturidiyah dibagi menjadi 2:
1.
Maturidiyah smaarkand:
-
iman tidaklah cukup dengan
tasydiq tapi harus dengan ma’rifaf pula.
-
Perbuatan manusia itu dikehendaki oleh manusia itu sendiri dan dia
dihukum atas perbuatan yang dilakukannya atas kebebasan yang diberikan tuhan
kepadanya. Tuhan ahnaya membalas perbuatan baik dengan pahala dan perbuatan
buruk dengan dosa.[3]
2.
Maturidiyah Bukhara (Abu Al-Yusr muhammad Al-Bazdawi) lebih dekat
kepada Asy’ariyah ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam bermazhab
hanafi, akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban karena akal hanya mampu
mengetahui sebab kewajiban tuhan.[4]
·
Konsep tauhid Asy’Ariyah dibangun (873-935 M). Teologi Asy’ariyah:
1.
Sifat Allah, Allah mempunyai sifat berbeda dengan muktazilah
2.
Perilaku dosa besar, zina mencuri masih iman, tetapi jika anggapan
dosa besar itu boleh-boleh saja (di kafirkan).
3.
Dalil adanya Allah, menuurt muktazilah manusia harus percaya kepada
allah karena akal manusia sendiri yang menyimpulkan bahwa Allah itu ada
sedangkan menurut Asy’ariyah manusia wajib meyakini Allah karena nabi saw. mengajarkan
bahwa Allah itu sebagaimana dalam Al-qur’an.
4.
Kekuasaan Allah dan perbuatan manusia, dalam Asy’ari menganbil
posisi tengah anatar jabariyah dan Mu’tazilah. Menurut jabariyah amnsuia tidak
mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, sedangkan muktazilah mansuia
itulah yang mewujudkan perbuatannya dengan daya yang diberikan oleh Allah.
Sebagai jalan keluar Asy’ari menganbil konsep paham “kasb” perolehan yang sulit
dimengerti kecuali bila paham itu dipandnag
sebagai usaha untuk menjauhi jabariyah dan Qadariyah namun setelah melalui
jalan yang berbelok-belok akhirnya asy’ari menjatuhkan pikiran kepada
jabariyah, Dalil QS: Ash-shaffat, 96): “Allah yang menciptakan kamu dan apa
yang kamu perbuat itu”.
5.
Melihat Allah di akhirat, menurut Al-Asy’ari Allah dapat dilihat di
akhirat, sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Allah hanyalah
sifat-sifat yang akan membawa kepada paham diciptakan Allah. Sifat dapat
dilihatnya Allah diakhirat tidak membawa kepada pengertian diciptakannya Allah,
karena apa yang dilihat tidak mesti mengandung pengertian bahwa ia mesti
diciptakan, dengan demikian jika dikatakan Allah dapat dilihat itu tidak mesti
bahwa Allah harus bersifat diciptakan. ”Ila Rabbiha Naazirah” (kepada
tuhannyalah mereka melihat (Al-Qiyamah:23).
6.
Kedudukan Al-Qur’an, muktazilah bahwa Al-Qur’an itu diciptakan,
Qur’an itu Qadhim (tidak diciptakan) jika Qur’an diciptakan maka diperlukan
kata kun dan untuk terciptanya kun diperlukan puluhan yang lain, dan seterusnya
hingga tidak ada habis-habisnya.
7.
Pemakaian akal dan wahyu. Asy’ari akal memang dapat mengetahui tuhan, tapi tidak dapat
tautan bagaimana cara berterimakasih kepada tuhan, untuk hal itu perlu wahyu.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
A.
Ibnu taimiyah.
Ibn Taimiyah adalah ahli fikih
mazhab Hambali. Pengaruh pemikirannya sangat besar terhadap gerakan Wahhabi,
dakwah gerakan Sanusi, dan kelompok-kelompok agama yang ekstrem yang ada di
dunia Islam saat ini.[1]
Dalam sejarah panjang pemikiran
Islam, ada banyak “kata” yang seringkali dianggap saling berbenturan dan
membentuk sebuah efek paradoksal. “Kata” itu bisa saja mewakili sebuah kelompok
pemikiran (firqah), seorang tokoh, atau juga sebuah pemikiran tertentu.
Dalam pandangan sebagian kalangan,
kedua kata ini –Ibnu Taimiyah dan Tasawuf- dipandang sebagai dua unsur yang tak
mungkin bersatu. Ini tentu tidak mengherankan, sebab Ibnu Taimiyah telah lama
dianggap sebagai salah satu tokoh yang membenci, memusuhi, dan melontarkan
kritik-kritik tajamnya terhadap Tasawuf. Pandangan ini tentu saja semakin
menyempurnakan gambaran kekerasan pada tokoh yang satu ini. Sehingga –bagi
mereka yang tidak memahami dengan baik- setiap kali mendengarkan kata “Ibnu
Taimiyah”, maka opini dan image yang tercipta adalah kekerasan,
kekejaman, permusuhan, dan yang semacamnya.
B.
Biografi Ibnu Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim
bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul Awwal
tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah
tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus,
Syam, dan Mesir, serta kamu muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin
Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syaikh,
Khatib dan hakim di kotanya.[2]
Ibn Taimiyah terkenal sangat cerdas
sehingga pada usia 17 tahun, ia telah dipercaya masyarakat untuk memberikan
pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi.[3]Para ulama yang
merasa sangat risau oleh serangan-serangannya serta iti hati terhadap
kedudukannya di Istana Gubernur Damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran
Ibn Taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh
lawan-lawannya, bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antroporpisme,
sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian
dipenjarakan.
Masa hidup Ibn Taimiyah berbarengan
dengan kondisi dunia Islam yang sedang mengalami disintegrasi, dislokasi
sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah
Bagdad dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu, dalam upayanya
mempersatukan umat Islam, mengalami banyak rintangan, bahkan ia harus wafat di
dalam penjara.
Lingkungan keluarga Ibnu Taimiyah
sangat mendukung perkembangannya untuk kelak menjadi seorang ulama dan pemikir
Islam besar. Ayahnya, Syihab al-Din ‘Abd al-Halim adalah seorang ahli hadits
dan fakih madzhab Hanbaly yang memiliki jadwal mengajar di Mesjid Jami ‘Umawy.
Ia juga kemudian menjabat sebagai kepala para ulama (masyikhah) di Dar
al-Hadits al-Sukriyah. Sang ayah ini kemudian meninggal saat Ibnu Taimiyah
berusia 21tahun,
tepatnya di tahun 682 H.[4]
Di samping hal itu, ada beberapa
faktor lain yang juga dapat disimpulkan sebagai penyebab kecemerlangan
pemikiran Ibnu Taimiyah di kemudian hari. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kekuatan
hafalan dan pemahamannya yang luar biasa. Di usia yang masih sangat kecil ia
berhasil menyelesaikan hafalan al-Qur’annya. Setelah itu, ia pun mulai belajar
menulis dan hisab. Kemudian membaca berbagai kitab tafsir, fikih, hadits dan
bahasa secara mendalam. Semua ilmu itu berhasil dikuasainya sebelum ia berusia
20 tahun.
2. Kesiapan
pribadinya untuk terus meneliti. Ia dikenal tidak pernah lelah untuk belajar
dan meneliti. Dan itu sepanjang hidupnya, bahkan ketika ia harus berada dalam
penjara. Mungkin itu pulalah yang menyebabkan ia tidak lagi sempat untuk
menikah hingga akhir hayatnya.
3. Kemerdekaan
pikirannya yang tidak terikat pada madzhab atau pandangan tertentu. Baginya
dalil adalah pegangannya dalam berfatwa. Karena itu ia juga menyerukan
terbukanya pintu ijtihad, dan bahwa setiap orang –siapapun ia- dapat diterima
atau ditolak pendapatnya kecuali Rasulullah saw. Itulah sebabnya ia menegaskan,
“Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas dalam
madzhab Imam yang empat.”[5]
C.
Pemikiran Ibnu Taimiyah
1.
Ibnu Taimiyah dan Tasawuf
Sering kita mendengar bahwa Ibnu
Taimiyah itu anti tasawuf dan penentang sufi, padahal kalau diperhatikan dari
sikap dan pandangannya dia adalah seorang sufi dan pengikut ajaran tasawuf suni
(yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah), meskipun ia tidak mengistilahkan
ajaran tasawuf dengan istilah tersebut. Istilah yang sering dipakai oleh Ibnu
Taimiyah adalah istilah suluk, akan tetapi substansinya adalah apa yang ada
pada ajaran tasawuf.
Suluk menurut Ibnu Taimiyah
merupakan kewajiban setiap mukmin, seperti yang diungkapkannya dalam kitab
Fatawanya. “Suluk adalah jalan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya
berupa itikad, Ibadah dan Akhlak. Semua ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an
dan Sunah, dan suluk ini kedudukannya seperti makanan yang menjadi keharusan
seorang mukmin”.
Diantara kata-kata Ibnu Taimiyah
mengenai tasawuf adalah “amal-amal hati yang diberi
nama maqâmât danahwâl seperti: cinta kepada Allah dan Rasulnya,
tawakal, Ikhlas, sabar, syukur, khauf dan semacamnya adalah kewajiban setiap
maklhuk, baik kaumkhâs atapun orang-orang awam”.
Kesufian Ibnu Taimiyah tidak hanya
terbukti dari keilmuannya saja akan tetapi perbuatan dan sikapnya telah
membuktikan akan semua ini. Adz-Dzahabi pernah bercerita bahwa dia tidak pernah
menemukan orang yang banyak berdoa dan bertawajuh kepada Allah melebihi Ibnu
Taimiyah.
Ibnu Qoyyim dalam kitabnya Madarus
Salikin banyak bercerita tentang Ibnu Taimiyah dalam kerohanian (baca:
Tasawuf). Dalam kitab Kawakibud Duriyah bahwa Ibnu Taimiyah pada malam hari
sering menyepikan diri dari manusia, dia hanya sibuk dengan tuhannya, banyak
bermunajat dan membaca Al-Qur’an.
Sedang ke zuhudan dan ketawaduan
Ibnu Taimiyah adalah tauladan yang baik, dalah hal ini terbukti dengan
kata-katanya, “Aku tidak punya apa-apa, dariku tak ada apa-apa dan padaku tak ada
apa-apa”.
Itulah pribadi Ibnu Taimiyah dalam
suluk dan kerohaniannya, cukuplah kiranya Ibnu al-Qayyim dan karyanya Madarus
Salikin sebagai bukti tarbiah Ibnu Taimiyah dalam konteks kesufian.
Tidak hanya itu, Ibn Taimiyah dan
murid-muridnya sangat mempercayai adanya karamah para wali. Di sini Baduruddin
al-Aini berkata tentang Ibnu taimiyah, “Di samping kemuliaan dan ketinggian
Ilmunya, beliau (ibnu Taimiyah) juga mempunyai karamah yang tidak diragukan
lagi seperti yang ku dengar dari banyak orang”.
Ibnul Qayyim juga banyak bercerita
tentang firasat (mukasyafah) Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, “Aku telah
menyaksikan firasat Syaikhul Islam dari hal-hal yang menabjubkan. Sedang hal
yang tidak kusaksikan tentu lebih banyak dan lebih agung”.
Dengan demikian tidak ada alasan
untuk mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah dan kelompoknya anti ajaran Tasawwuf.
Adapun kepercayaan-kepercayaan yang mengatas namakan sufi dan tasawwuf akan
tetapi bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah tidak hanya Ibnu Taimiyah dan
Madrasahnya yang menentang, para sufipun juga menentangnya.
Sebagai seorang intelektual wajar
kalau Ibnu taimiyah sering melontarkan kritikan terhadap tokoh-tokoh lain,
hanya saja kadang Ibnu taimiyah melampau batas dalam pandangan dan kritikannya
sehingga menjadikan dia sebagai sosok yang kontrofersi.
2.
Kontrofersi pemikiran Ibnu Taimiyah.
Pemikiran
Ibnu taimiyah sering menjadi ajang polemik di kalangan para Ulama, sejak zaman
Ibnu Taimiyah sendiri, dan gara-gara itu dia sering keluar masuk penjara,
terutama mengenai masalah-masalah Akidah dan Fiqih. Keberanian Ibnu Taimiah ini
tidak hanya berbeda dengan para ulama di zamannya, namun Ibnu Taimiyah juga
sering menyalahi Ijma`. Itulah yang membuat ulama di zamnnya geram pada Ibnu
Taimiah.
Pemikiran pertama yang menjadi kontrofersi
terjadi pada tahun 698 H. Hal itu gara-gara satu fatwa yang dikenal dengan
masalah hamawiah. Fatwa ini membuat Qadhi waktu itu turun tangan, yaitu
Imamauddin al-Quzwaini. Qadhi itu memberi fatwa “Barang siapa yang mengambil
pendapatnya Ibnu taimiah maka dia akan dita`zir.” Pada tahun 705 Ibnu Taimiah
kembali membikin heboh yang membuat dirinya kembali masuk penjara, dan pada
tahun 709 dia dipindahkan ke Iskandariah, di sanapaun dia jaga mengeluarkan
fatwa-fatwa aneh yang dipermasalahkan oleh ulama setempat.
Begitulah seterusnya Ibnu taimiiyah,
dia terus keluar masuk penjara baik ketika dia di Syam atau di Mesir. Dalam
beberapa kasus, Ibnu Taimiyah terkesan tidak konsekwen pada pendapatnya, kadang
dia mengaku bermazhab Syafii, atau bermazhab Hambali dan kadang dia juga
mengaku berakidah Asyairah namun di lain kesempatan dia juga mencaci
tokoh-tokoh Asya’irah, seperti Imam Ghazali dan yang lainnya. Tidak hanya itu,
Ibnu Taimiyah juga berani lancang mencaci sahabat Nabi.
Oleh sebab itulah, ulama dari masa
ke masa senantiasa memperselisihkan sosok dan pemikiran Ibnu Taimiyah, ada yang
menganggapnya fasik, ada yang menganggapnya mubtadi` (ahli bid’ah)
dan bahkan ada yang menganggap kafir. Tidak hanya para penentangnyya yang
mengkritik Ibnu taimiyah, murid-muridnya juga sering berbeda dan menasehatinya,
seperti Ibnu Katsir dan adz-Dzahabi. Bahkan adz-Dzahabi menulis sebuah risalah
husus yang berisi nasehat-nasehat agar Ibnu Taimiyah kembali dan bertobat.
Surat ini di kenal dengan an-Nashîhah adz-Dzahabiyah li Ibn Taimiyah.
Penentang Ibnu Taimiyah sejak zaman
Ibnu Taimiyah sendiri sampai pada saat ini terus mengalir, mulai dari kalangan
fuqaha madzahabil arb’ahsampai para ulama kalam. Sedang yang mengarang
kitab yang berisi kritikan pada Ibnu taimiyah juga sangat banyak, seperti
as-Subki dan ulama-ulama setelahnya.
3.
Pemikiran kontrofersi Ibnu Taimiyah
Adapun pemikiran Ibnu Taimiyah yang
dianggap bertentangan dengan Ijma`dan mayoritas ahlu sunnah wal jamaah sangat
banyak diantaranya adalah:
a) Keyakinanya
tentang Zat Allah yang mempunyai jasad seperti jasadnya makhluk, duduk seperti
duduknya makhluk, bertangan, mempunyai mata dang telinga. Bahkan Ibnu Taimiyah
berkata bahwa Allah turun dari langit sebagai mana turunnya dia dari mimbar.
Mazhab ini di sebut al-Hasyawiyah al-Mujassamah.
b) Berani mencaci
Ulama dan Sahabat Nabi. Kelancangan Ibnu taimiyah ini membuat nyawanya terancam
karena telah berani mencaci Imam al-Ghazali dan pengikut Asya`irah lainnya.
Bukan hanya itu, Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa Imannya Sayyidina Ali tidak
sah, sebab beliau masuk Islam sebelum baligh, dan Iman sayyidina Abu Bakar juga
tidak sah karena Abu Bakar beriman dalam keadaan pikun hingga beliau tidak
mengerti apa yang di ucapkan. Imam Ali ra. menurutnya mempunyai 17 kesalahan. Dan
beliau berperang karena cinta kedudukan. Sedang sayyidina Utsman menurutnya
sangat cinta dunia. Dalam kitabDurarul Kaminah dan kitab Fatawa Ibnu
Taimiyah fil-Mizan dijelaskan panjang lebar masalah ini.
c) Inkar
terhadap Majaz. Ibnu taimiyah berasumsi bahwa dirinya dengan pemikiran itu
berada dalam Manhaj salaf. Sebab sebagaimana yang telah masyhur bahwa ulama
dalam menyikapi ayat-ayat musytabihat ada dua kelompak, kelompok pertama
adalah Tafwidh (menyerahkan penafsirannya pada Allah sendiri) mazhab
ini yang diikuti oleh kebanyakan ulama salaf. Dan kelompok kedua adalah mazhab
Ta`wil (mentafsiri ayat musytabihat sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah)
cara ini dipakai oleh ulama khalaf.
Sedang pendapat Ibnu taimiyah dalam
masalah ini berkonsekwensi pada pemahaman yang berbahaya dalam memahami
al-Quran dan nama dan sifat Allah, sebab hanya membawa pada pengertian yang
mustahil pada zat dan sifat Allah. Adapun pendapat salaf mengenai masalah
Tafwidh, salaf tidak mau panjang lebar mengenai masalah ini, sehingga
menyerahkan urusan ini pada Allah. Beda halnya dengan Ibnu taimiyah yang berani
menafsiri Al-Quran dengan lahirnya saja, sehingga mengakibatkan hal yang fatal.
Disamping itu keingkaran Ibnu
taymiyah pada majaz dapat menimbulkan pengertian yang salah terhadap teks
Syariah, Ibnu Qayyim sendiri sebagai murid setia Ibnu Taimiyah merasa
kebingungan menyikapi masalah ini, sebab tidak sedikit dari ulama salaf dan
pengikut mazhab Hanafi (Ibnu Taimiyah mengaku bermazhab ini) yang mempercayai
adanya majaz dalam al-Quran. Seperti Ibnu Abi Ya`la, Ibnu Agil, Ibnu al-Khattab
dan lain-lain sangat menganggap keberadaan majaz dalam al-Quran.
Seseorang yang membaca kitabShawaiq
al-Mursalah karya Ibnu Qayyim, maka akan tampak kebingungannya dalam
menyikapi pendapat gurunya tersebut.
d). Ibnu Taimiyah menyalahi
Ijma` ulama. Seperti pendapatnya talak waktu haid itu tidak terjadi, masalah
ta`liq talak, seorang haid boleh tawaf tampa membayar kaffarat, kata-kata talak
tiga hanya terjadi satu dan beberapa pendapat nyeleneh lainnya. Al-hasil banyak
pendapat Ibnu taimiyah yang bertentangan dengan mayoritas ulama Ahlu sunnah wal
jamaah.
Namun begitu sumbangan Ibnu Taimiyah
terhadap pemikiran Islam tidaklah sedikit, maka sikap yang terbaik mengenai
Ibnu taymiyah adalah sikap yang disampaikan oleh Syaekh Yusuf bin Ismail
an-Nabhani, “Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama besar yang masyhur dari salah
satu umat Muhammad, namun begitu dia tidak lepas dari kesalahan” Dalam buku
yang sama an-Nabhani juga berkata, “Ibnu taimiyah ibarat lautan besar yang
berkecamuk ombak, di mana ombak itu kadang membawa intan permata dan kadang
membawa batu dan pasir dan kadang juga melempar kotoran”.[6]
4.
Prinsip dasar Ibn Taimiyah
Ciri khas pemikiran Ibnu Taimiyah
adalah menganut system pemikiranAhlussunah Wal Jama'ah, yang dianut oleh Ahmad
bin Hambal dan tokoh mazhab hambali lainya. Sungguhpun demikian, ia juga
mengambil pikiran tokoh mazhab empat dan para pemuka hadits seperti, Bukhari,
Syafi'I, Thabari, Ibnu Khuzaimah dan lain-lain. Bahkan Ibnu Taimiyah
menerima semua pemikiran selama itu sejala dengan kaum salaf.
Prinsip berpikir yang menjadi
landasan berfikir Ibnu Taimiyah;
a.
al-Tauhid. Dengan prinsip tauhid, Ibnu Taimiyah meyakini bahwa
Allah adalah yang maha benar, yang nyata, pengajar setiap ilmu, pencipta segala
sesuatu, dan pembuat hukum. Karena Allah swt memiliki kualitas sperti di atas
maka ia memberi petunjuk kepada manusia melali perantara, yakni rasul dengan
mewahyikan al-kitab yang mengandung petunjukpetunjuk dan penjelasan dari rasul
yang disebut dengan Sunnah.
b.
kembali kepada al-qur'an dan sunnah. Prinsip ini berdasarkan pada
teorinya fitrah, yang mana ia merupakan potensi yang inheren dalam diri manusia
yang telah ada sejak ia dilahirkan. Fitrah tersebut mempunyai daya potensial
yang berfungsi untuk menganal Allah swt, mengesakan dan mencitai-Nya yang
disbut al-quwwatu al-aqliyah. Sedang daya yang berfungsi untuk menginduksi
hal-hal yang menyenangkan disebutquwah syahwatiah, dan daya yang berfungsi
untuk menjaga diri dan dan menghindarkan dari bentuk yang merusak dan
membahayakan disebut quwwah al-ghadab. Akan tetapi fitrah tersebut tidak tidak
dapat berfungsi tanpa bantuan daruluar dirinya yang disebut al-fitrah
al-munazzalah.
c.
persesuaian antara akal dan wahyu. Ibnu Taimiyah meletakkan akal
pikiran di belakang nash-nash agama yang tidak boleh berdiri sendiri. Dengan
kata lain, wahyu tidak dapat terpisahkan, namun ukuran-ukuran kesesuaian antara
keduanya harus jelas, yaitu penalaran akal yang jelas dan wahyu yang terjamin
penukilannya.
d.
Prinsip keadilan. Persoalan di dunia ini bisa baik jika diurus
secara adil. Cara begini lebih banyak berhasil daripada diurus secara zhalim.
Oleh karena itu, dikatakan bahwa, "Sesungguhnya Allah swt mempertahankan
atau memenagkan Negara yang adil meskipun kafir dan tidak membantu Negara yang
zhalim sekalipun Muslim.
e.
hakikat kebenaran. Menurut Ibnu Taimiyah, hakikat kebenaran itu ada
dalam dunia empirik, bukan dalam pikiran. Islam sebagai ajaran yang ditujukan
unutk kebaikan umat manusia adalah petunjuk praktis yang sesuai dengan
kenyataan-kenyataan yang dihadapi penganutnya. Oleh sebab itu, kebenaran yang
sesui dengan ajaran agama dapat diketahui oleh manusia. Dengan kata lain,
ajaran Islam mengandung sifat empirik yang memberi peluang kepada fungsi-fungsi
manusia.
f.
pokok-pokok dan cabang-cabang agama telah dijelaskan oleh Rasul.
Menurut Ibnu Taimiyah, Rasulullah telah menjelaskan semua aspek agama, baik
prinsip-prinsipnya naupun cabag-cabangnya, segi atin dan lahirnya, segi ilmu
maupun amalnya. Prinsip ini adalah pangkal prinsip-prinsip ilmu dan
iman. Barang siapa yang berpegang kuat-kuat kepada prinsip tersebut maka ia
lebih berhak atas kebenaran, baik dari segi ilmu maupun dari segi amal.
FOOTNOTE
[3]. Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, h.130
[5]. Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Al-Durar al-Kaminah fi A’yan
al-Mi’ah al-Tsaminah:, Dar al-Ma‘arif, Cetakan pertama, Tahun 1947.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
RUMAH TANGGA
A.
Penegrtian Rumah tangga.
Rumah tangga adalah lembaga yang di dalamnya terdapat sepasangsuami istri, dan kemudian anak(anaknya yang akan dibesarkan oleh suamiistri itu sebagai ayah dan ibu. Ini adalah pengertian rumahtangga secarade'initi', karena rumah tangga tidak pasti tidak mengikut sertakankeponakan, pembantu dan lain sebagainya.&an kemudian, secara perkata, apakah arti rumahtangga itu$!engapa pilihan katanya adalah rumah dan tangga.
Kalau rumah jelaslahsemua orang sudah ma'hum akan artinya, yaitu sebuah bangunan 'isik yang minimal mempunyai ) dinding, mempunyai pintu, jendela dankemudian atap. Lantas tangga!engapa lembaga yang menghimpun suami istri ini harusmenyandang kata tangga$ "pakah suatu rumah harus mempunyai tanggasupaya mereka sekeluarga dapat hidup layak$ &an bagaimana jika rumahmereka tidak mempunyai tangga$"da beberapa ahli yang menjelaskan, bahwa kata tangga dalamrumahtangga berarti susunan atau tingkat, mungkin semacam hirarki, baik hirarki tanggungjawab, hirarki wewenang, hirarki kepatuhan, dan lainsebagainya. *adi, dengan menganggap bahwa tangga adalah susunan, maka para pemikir menjelaskan bahwa dalam rumah tangga harus ada susunandan tingkatan wewenang dan tanggungjawab yang diatur dan dikeloladengan baik sehingga tercipta harmoni yang apik. Rumahtangga akankacaubalau jika insan(insan yang berdiam di dalamnya tidak berlakusesuai dengan tingkatannya dalam rumahtangga tersebut. Misal saja si istri berlaku sebagai suami, suami berlaku seperti anak dan seterusnya.
Dalam kehidupan sehari(hari, istilah rumah tangga sering diartikansebagai keluarga, padahal keduanya mempunyai arti yang berbeda.Pengertian rumah tangga lebih mengacu pada sisi ekonomi,sedangkankeluarga lebih mengacu pada hubungan kekerabatan, fungsi sosial dan lainsebagainya. definisi rumah tangga berbeda dengan keluarga, definisirumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiamisebagian atau seluruh bangunan tempat tinggal dan biasa tinggal bersamaserta pengelolaan kebutuhan sehari(hari menjadi satu, sedangkan yangdimaksud dengan keluarga adalah sekumpulan orang yang tinggal dalamlamandang.satu rumah atau lebih yang masih mempunyaihubungankekerabatan3hubungan darah karena perkawinan, kelahiran, adopsi danlain(lain. Sehingga, dalam satu rumah tangga bisa terdiri dari lebih satukeluarg
B.
Rumah tangga rasulullah saw.
Rasulullah mensunnahkan umatnya untuk menikah, berkeluargamembentuk keluarga islami yang bahagia, mawaddah wa rahmah. Karenakita umat muslim, alangkah baiknya kita belajar rumah tangga Rasulullahyaitu rumah tangga yang islami. &engan berumah tangga islami pula makaakan terbentuklah generasi islam yang kuat dalam memegang agamanya. Rasulullah !emulai Rumah tangganyaKehidupan rumah tangga Rasulullah dapat dibagi kedalam duamasa5 pertama ketika di !ekah dan kedua ketika beliau di !adinah. adasetiap masa kehidupannya terdapat ciri(ciri tersendiri yang jelas, dandiwarnai oleh suasana cerah dan terkadang suasana sulit.ada masa Rasul hidup di !ekah, dua puluh lima tahun ia hidupmembujang, tidak memiliki rumah sendiri atau tempat tinggal khusus yangmenghias pola hidup dan corak perilakunya.ada usia delapan tahun, kakeknya 6"bdul !uthalib7 wa'at.!enjelang ajalnya, "bdul !uthalib memberikan wasiat kepada "bu%halib selaku paman 0abi S"8 agar mengasuh dan mengasihi 0abi!uhammad dengan tulus."bu %halib 6sebagaimana umumnya orang "rab pada masa itu7mencari na'kah dengan cara berniaga dan suatu ketika bermaksudmelakukan perjalanan ke Syam 6Suria7, beliau membawa 0abi!uhammad yang waktu itu masih berusia +1 tahun untuk menemaninya.Kali keduanya !uhammad melakukan perjalanan niaganya kenegeri Syam, atas kepercayaan Siti Khadijah yang memberikan sejumlahharta kepada !uhammad untuk diperniagakan. Siti Khadijah kagum atas
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
AHKHLAK KEPADA KEDUA ORANG TUA
A.
Pengertian Akhlak
Akhlak berasal dari bahasa arab yaitu Al-khulq,
Al-khuluq yang mempunyai arti watak, tabiat. Secara Istilah Akhlak
menurutIbnu MaskawiAkhlak adalah sesuatu keadaan bagi jiwa yang mendorong
ia melakukan tindakan-tindakan dari keadaan itu tanpa melalui pikiran dan
pertimbangan.
Sedangkan yang dimaksud kedua orang
tua adalah Bapak Ibu baik itu dari keturunan (Nasab) atau susuan, baik keduanya
orang muslim ataupun kafir, termasuk juga kedua orang tua adalah nenek dan kakek
dari kedua belah pihak.
Jadi akhlak kepada Orang Tua adalah
Menghormati dan menyayangi mereka berdua dengan sopan santun dan berbakti
kepada keduanya dalam keadaan hidup dan dalam keadaan sudah meninggal dunia.
Akhlak merupakan pembinaan budi
pekerti anak sehingga menjadi budi pekerti yang mulia (akhlakul karimah).
Proses tersebut tidak lepas dari pembinaan kehidupan beragama seorang anak
secara total, akhlak mulia adalah suatu hal yang wajib dimiliki oleh setiap
muslim, agar setiap muslim dapat memiliki akhlak mulia maka harus diajarkan.
Orang tua berperan penting dalam pembentukan akhlak karena orang tua mempunyai
kewajiban untuk menanaamkan akhlak karimah terhadap anak-anaknya.
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa akhlak baik tidak dapat terbentuk kecuali dengan membiasakan seseorang
berbuat suatu pekerjaan yang sesuai dengan sifat akhlak itu.[1]
Kepribadian atau akhlak seseorang
tidak terbentuk secara tiba – tiba. Terdapat suatu hukum yang universal dalam
pembentukan akhlak, mulai dari perilaku sampai terbentuk sebuah akhlak. setiap
muslim diuntut untuk mengenali akhlaknya dengan baik, agar dapat
mengidentifikasi akhlak negative mereka, sehingga mereka dapat merubah akhlak
negative tesebut sesuai dengan akhlak seorang muslim sejati. Untuk dapat
mengenali dan merubah akhlak, kita harus mampu mengetahui bagaimana proses
terbentuknya akhlak, hal - hal apa saja yang dapat mempengaruhi terbentuknya
akhlak.
Akhlak juga yang mengendalikan diri
anak untuk melakukan perbuatan baik termasuk taat kepada Allah SWT, berbakti
kepaada orang tua, hormt terhadap yang lebihtua, dan sayang antara sesama
muslim. Ahlak yerhadap orang tua sangatlah penting karena semuanya sudah di nash kan
oleh Allah SWT, didalam Al-Quran serta hadits-hadits nabi juga memerintahkan
untuk berbakti terhadap orang tua.
Berbakti kepada orang tua merupakan
faktor utama diterimanya do’a seseorang, juga merupakan amal shaleh paling
utama yang dilakukan oleh seorang muslim. Banyak sekali ayat Al-Qur’an ataupun
Hadits yang menjelaskan keutamaan berbuat baik kepada kedua orang tua. Oleh
karena itu, perbuatan terpuji ini seiring dengan nilai-nilai kebaikan untuk
selamanya dan dicintai oleh setiap orang sepanjang masa.
Salah satu keutamaan berbuat baik
kepada kedua orang tua, disamping melaksanakan ketaatan atas perintah Allah SWT
adalah menghapus dosa-dosa besar.
B.
Dasar-Dasar Berbuat Baik kepada KeduaOrang Tua
Dasar-dasar keharusan berbuat baik kepada kedua orang tua adalah:
1.
Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa’: 36
36. sembahlah Allah dan janganlah
kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri,
2.
Allah berfirman dalam QS. Luqman: 14
14. dan Kami perintahkan kepada
manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah
mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.
Kita harus berbuat baik kepada kedua
orang tua. Ibu telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.
Menyusui dan mengasuhnya selama 2 tahun. Bersyukurlah kepada Allah dan Orang
tua. Jika kedua orang tua kita menyuruh berbuat dosa, maka jangan diikuti,
tetapi tetaplah pergaulin keduanya didunia dengan baik[2].
Allah Allah SWT berfirman dalam QS.
Al-Ahqaf: 15
Artinya: (15). Kami perintahkan
kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya
mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).
mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia
telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah
aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan
kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau
ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk
orang-orang yang berserah diri".
3.
Hadits.
a.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ:اَلصَّلاَةُ لِوَقْتِهَا قُلْتُ: ثُــمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ: ثُــمَّ أَيٌّ؟قَالَ: اَلْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ. (رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Aku bertanya kepada Rasulullah,apakah amal yang
disukai Allah?’. Beliau menjawab ‘ sholat pada waktunya.’ Dia
bertanya lagi, ‘kemudian apa?’ Beliau menjawab, ‘Berbuat baik
kepada kedua orang tua.’ Dia bertanya lagi, ‘kemudian apa?’ Beliau
menjawab, ‘Jihad pada jalan Allah’.”
b.
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
Al-Bazar meriwayatkan dalam sebuah hadits
dari Buraidah dari bapaknya bahwa ada seorang laki-laki yang sedang thawaf
sambil menggendong ibunya, lalu dia bertanya kapada Nabi Muhammad “Apakah
dengan ini sya sudah menunaikan haknya?” Beliau menjawab, “Belum walaupun
secuil.”
c.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ اِلَى رَسُوْلِ اللهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ مَنْ اَحَقُّ بِحُسْنِصَحَابَتِيْ؟ قَالَ: أُمُّكَ قَالَ: ثُـمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ قَالَ: ثُـمَّ مَنْ؟قَالَ: أُمُّكَ قَالَ: ثُـمَّ مَنْ؟قَالَ: ثُـمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُـمَّ أَبُوْكَ (رواهالبخارى و مسلم)
Artinya: Dari Abu Hurairah ra berkata: seorang laki-laki
datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata: Wahai Rasulullah, siapakah yang
paling berhak untuk saya pergauli dengan baik? Nabi
menjawab: “Ibumu”. Dia bertanya (lagi): lalu siapa? Nabi
menjawab: “Ibumu”. Dia bertanya (lagi): lalu siapa?Nabi
menjawab: “Ibumu”. Dia bertanya (lagi): lalu siapa? Nabi menjawab:
kemudian bapakmu. (H.R. Al-Bukhori dan Muslim)
d.
Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Amr bin Ash dikatakan:
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَاعَنِ النَّبِيِّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رِضَااللهِ فِيْ رِضَاالْوَالِدَيْنِ وَسُخْطُ اللهِ فِيَْسُخْطِ الْوَالِدَيْنِ (اخرجه التّرمذى وصحّحه ابن حبّان والحاكم)
Artinya: Dari Abdullah bin Amr bin Ash RA., dari Nabi SAW
beliau bersabda: “Keridlaan Allah terletak pada keridlaan kedua orang tua,
dan kemarahan Allah terletak pada kemarahan kedua orang tua”. (dikeluarkan
oleh Tirmidzi dan dibenarkan oleh Ibnu Hibban)
e.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa “ Seseorang datang kepada
NabiMuhammad kemudian meminta izin untuk mengikuti jihad. Beliau lalu
bertanya,“Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’Dia menjawab, ‘ya’.
Beliaupun mengatakan ,’pada keduanya, hendaklah engkau berjihad’’ [3].
C.
Menjaga Akhlak Kepada kedua orang tua
1.
Mentaati perintah kedua orang tua
2.
Menolak perintah bermaksiat kepada allah dan rasul-Nya dengan cara
baik dan Beretika.
3.
Berkata sopan dan tidak melukai hati, Menjaga akhlakkepada orang
tua dapat dilakukan dengan menjaga adab berbicara kepada kedua orang tua dengan
menggunakan bahasa yang baik, kalimat yang sopan, dan tidak menyakiti
hati.Allah berfirman dalam Q.S. Al-Isra’ Ayat 24. Artinya: “Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang, dan
ucapkanlah do’a : ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduannya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidikku waktu kecil.”
4.
Merawat kedua orang tua lanjut usia dengan sabar dan ikhlas, Agar
Akhlak kepada orang tua seorang muslim tetap terjaga hendaknya mereka menjaga
orang tuanya hingga kahir hayatnya. Allah berfirman dalam Q.S. A-Isra’ ayat 23;
Artinya: “… Bila salah satu dari keduanya atau kedua-duanya mencapai usia
lanjut disisimu, maka janganlah kamu katakan : “uhf!” dan jangan pula
menghardik, dan katakana kepada mereka perkataan yang mulia!”
5.
Mendo’akan orang tua semasa hidupnya dan setelah meninggal dunia, Dalam
hadis riwayatAbu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, yang bersumber dari Abu
Usaid bin Malik bin Rabiah As-Sa’idi, bahwa seorang laki laki Bani Salamah
dating kepada Rasulullah, “apakah masih ada sesuatu yang aku dapat lakukan
untuk berbakti kepada kedua orang tuaku setelah keduanya wafat?”. Beliau
bersabda ,“ Ya, yaitu mendo’akan keduanya, memintakan ampun, menunaikan
janjinya, menyambungpersaudaraan yang tidak disambungkecuali Karena keduanya,
dan memuliakan kawan kawan mereka.”
Akhlak terhadap orang tua yang
lain yaitu:
a. Mencintai
mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya.
b. Merendahkan
diri kepada keduanyadiiringi kasih sayang
c. Berkomunikasi
kepada orang tua dengan khidmat,mempergunakan kata-kata lemah lembut
d. Berbuat
baik kepada ibu-bapak dengan sebaik-baiknya
e. Mendo’akan
keselamatan dan keampunan bagi mereka yang orang tuanya sudah meninggal ataupun
belum meninggal.[4]
D.
Dampak durhaka kepada orang tua.
1.
Anak-anak yang mendurhakai orangtuanya akan di kutuk oleh Allah, Sesuai
dengan sabda Rasul yang artinya:“Barang siapa yang membuat ibu bapaknya marah ,
maka berarti membuat Allah marah kepadanya” (H.R Bukhari)
2.
Disegerakan siksanya di dunia ini. Sesuai dengan sabda Rasul yang
artinya:“Semua dosa itu, siksanya akan di tangguhkan Allah sesuka-Nya, kecuali
dosa karena dosa kepada orang tua, maka sesungguhnya Allah akan menyegerakannya
dalam hidup di dunia ini sebelum meninggal dunia” (H.R Hakim)
E.
Manfaat berbakti kepadaorang tua
1.
Diridhai oleh Allah Azza wa Jalla, Dalam hadis Qudsi Allah swt
berfirman:“Sesungguhnya yang pertama kali dicatat oleh Allah di Lawhil mahfuzh
adalah kalimat: ‘Aku adalah Allah, tiada Tuhan kecuali Aku, barangsiapa yang
diridhai oleh kedua orang tuanya, maka Aku meridhainya; dan barangsiapa yang
dimurkai oleh keduanya, maka Aku murka kepadanya.”(Jâmi’us Sa’adât, penghimpun
kebahagiaan, 2: 263).
2.
Disayangi oleh Allah swt, Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin
Abi Thalib (sa): “…Wahai Ali, Allah menyayangi kedua orang tua yang
melahirkan anak karena keberbaktiannya kepada mereka. Wahai Ali, barangsiapa
yang membuat sedih kedua orang tuanya, maka ia telah durhaka kepada
mereka.” (Al-Faqîh 4: 371)
FOOTNOTE
[2] Deden Makbuloh. Pendidikan
Agama Islam: Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Jakarta: Rajawali Pers. 2011. Hlm 149-150.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...3
AKHLAK DALAM BEREKONOMI (IQTISHADIYAH)
Semakin berkembangnya dunia perekonomian, islam sudah sejak dulu
membahas dunia perekonomian. Ini terbukti dari bangsa Arab yang melakukan
kegitan perdagangan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, islam mengarahkan
mekanisme berbasis moral spiritual dalam pemeliharaan keadailan sosial pada
aktivitas ekonomi.
Perekonomian sangat berpengaruh pada kehidupan manusia, semakin
banyak materi yang di miliki maka manusia itu akan hidup bahagia tapi di sisi
lain moral islam mengarahkan pada kenyataan bahwa hak milik harus berfungsi
sebagai pembebas manusia dari sifat materialistis. Dalam islam
legistimasi hak milik akan bergantung dan erat sekali dengan pesan moral untuk
menjamin keseimbangan kehidupan, konsep akhlak sangat erat sekali kaitannya
dengan hukum Allah SWT yang bersangkut paut dengan halal haram. Allah
menciptakan harta untuk umatnya tapi tidak untuk di salah gunakan, manusia
merupakan perantara pemanfaatan harta yang di berikan oleh Allah dan
pemanfaatannya harus mengutamakan kepentingan umat dan agama.[1]
Ada 4 nilai utama yang berhubungan dengan akhlak dan ekonomi yang
berlandaskan Islam yaitu:
1.Rabbaniyah (keTuhanan) yaitu
ekonomi yang sesuai dengan tuntunan Allah dan untuk mencari ridha Allah
2.Akhlak ekonomi yaitu dalam
melakukan kegiatan ekonomi kaum muslim tidak boleh meninggalkan akhlak seperti
aktivitas pariwisata kaum muslimin tidak boleh mengizinnkan membawa minuman
khamr atau menjadikan rumahnya sebagai tempat berjudi serta menghalalkan yamg
haram lainnya.
3.Ekonomi Kemanusiaan yaitu manusia
harus bekerja keras dan berkreasi untuk mendapatkan perekonomian yang baik
4.Pertengahan yaitu adanya
kesimbangan antara individu dan masyarakat.[2]
Akhlak ekonomi juga merupakan tindakan
ekonomi yang mencampur adukkan antara ranah ekonomi dan hukum agama yang
merupakan penentuan kebijakan ekonomi yang di tujukan kepada umat muslim yang
melekat pada watak manusia.[3]
Akhlak ekonomi sumber daya yang di gunakan secara rasional sesuai
kebutuhan tidak boleh berlebih-lebihan, dalam kegiatan sehari-hari tanpa di
sadari sebenarnya kita telah melakukan kegiatan ekonomi.[4] Akhlak
Ekonomi dalam islam di gunakan untuk mencegah hal-hal yang di larang dalam
islam. Di dalam melakukan kegiatan ekonomi kita harus tahu aturan-aturannya
mana yang di perbolehkan
FOOTNOTE
[1].Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan
Eksklusif Ekonomi Islam,Prenada Media Grup hlm.120-124
[2].Thonthowi, Peran Nilai dan Moral dalam
Perekonomian Islam, Robbani Press Jakarta hlm.23,25,27,64,83
[3].Arif Hoestoro, Ekonomi Islam,Badan
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, halm.210
[4].Google, IPI, journal Akhlak Ekonomi Islam
AKHLAK DALAM KEGIATAN EKONOMI (IQTISHADIYYAH)
A.
Konsep ekonomi (usaha) dalam islam
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang
mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan
agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman
dan rukun Islam. Bekerja merupakan suatu kewajiban karenaAllah swt
memerintahkannya.
Permasalahan ekonomi umat manusia
yang fundamentalis bersumber dari kenyataan bahwa kita mempunyai kebutuhan dan
kebutuhan ini pada umumnya tidak dapat dipenuhi tanpa mengeluarkan sumber daya,
energi manusia dan peralatan materiil yang terbatas. Bila kita memiliki sarana
yang tidak terbatas untuk memenuhi semua jenis kebutuhan, maka masalah ekonomi
tidak akan timbul. Sejauh mengenai masalah pokok kekurangan, hampir tidak
terdapat perbedaan apapun antara ilmu ekonomi islam dengan ilmu ekonomi modern.
Andaikata ada perbedaan, hal itu terletak pada sifat dan volumenya. Itulah
sebabnya mengapa perbedaan antara kedua sistem ekonomi ini dapat ditemukan
dengan memperhatikan penanganan masalah pilihan. Persoalan pilihan timbul dari
kenyataan bahwa sumber daya kita begitu terbatas sehingga dipenuhinya suatu
jenis keinginan berarti mengorbankan suatu kebutuhan lain yang tidak harus
dipenuhi. Dalam ekonomi modern masalah pilihan tergantung pada bermacam-macam
tingkah masing-masing individu, mereka mungkin atau mungkan juga tidak
memperhitungkan persyaratan-persyaratan masyarakat. Namun dalam ekonomi islam.
Kita tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber daya
kita semua, dalam hal ini ada suatu pembatasan moral yang serius berdasarkan
Al-Qur’an dan sunnah. [1]
Segala aturan yang diturunkan Allah
swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan,
keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh
ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia
mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar
antara lain :
1.
Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari
Allah SWT kepada manusia. Allah memberikan kekayaan kepada manusia untk
digunakan sebagaimana mestinya, namun Dia adalah pemilik sebenarnya segala
sesuatu. Sebagaimana firmannya dalam surat Taha ayat 6 : “Kepunyaan-Nya-lah
semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan
semua yang di bawah tanah.”
2.
Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu. Sesungguhnya
Islam sangat menghormati milik pribadi, baik itu barang- barang konsumsi ataupun
barang- barang modal. Namun pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan orang lain. Jadi, kepemilikan dalam Islam tidak mutlak, karena
pemilik sesungguhnya adalah Allah SWT.
3.
Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. Sistem
ekonomi yang berteraskan kepada kerjasama dan keseksamaan akan mewujudkan rasa
kasih sayang, sifat tanggungjawab dan tolong-menolong di antara satu sama lain.
4.
Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang
dikuasaioleh segelintir orang saja.
5.
Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya
direncanakanuntuk kepentingan banyak orang.
Dalam sistem ekonomi Islam
kepentingan individu dan kepentingan masyarakat adalah sehaluan dan selari,
bukannya bertentangan di antara satu sama lain sebagaimana yang dirumuskan oleh
sistem-sistem lain. Untuk mewujudkan keseimbangan ini, sistem ekonomi Islam
memberi kebebasan bagi anggota masyarakat untuk terlibat dengan berbagai-bagai
jenis kegiatan ekonomi yang halal di samping menyelaraskan beberapa bidang
kegiatan tersebut menerusi kuasa undang-undang dan pemerintahan.
6.
Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di
akhirat nanti. Manusia tidak boleh mengabaikan bahagiannya di dunia ini.
Manusia hendaklah bekerja sekuat-kuatnya untuk mendapatkan kebaikan di dunia
dengan cara yang paling adil dan dibenarkan oleh undang-undang. Sebagaiman
Firmannya dalam surat Al-Maidah ayat 87 - 88 yang artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan
bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi
baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah
yang kamu beriman kepada-Nya.”
B.
Islam melarang riba dalam segala bentuk.
Kegiatan ekonomi yang
berteraskan kepada kesaksamaan serta menghapuskan penindasan dan penipuan
adalah satu sistem yang benar-benar dapat menegakkan keadilan sosial dan
ekonomi dalam masyarakat. Di atas dasar inilah Islam membenarkan jual beli dan
mengharamkan riba dan segala jenis penipuan.[2]
Sistem ekonomi Islam tidak boleh
dipisahkan dari dasar-dasar aqidah dan nilai-nilai syariat Islam. Dari segi
aqidah, sistem ekonomi Islam dilandaskan kepada hakikat bahwa Allah adalah
Pencipta dan Pemilik alam semesta seperti firman Allah dalam surat Luqman ayat
20 : Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah
tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab
yang memberi penerangan. [3]
C.
Akhlak dalam kegiatan ekonomi (usaha)
1.
Niat yang Benar.
Niat yang benar dalam hal ini adalah
menginginkan kebaikan untuk diri sendiri
dan orang lain. Niat baik untuk diri sendiri berupa menjaga diri dari
kengkomsumsi harta yang haram, menjaga kehormatan
sehingga tidak meminta- minta,
menguatkan diri sehingga bisa melakukan ketaatan kepada Allah,
menjaga jalinan silaturahmi, berbuat baik dengan kerabat dan niat-niat baik
yang lain.
2.
Akhlak yang luhur.
Di antara akhlak luhur yang sangat
diperlukan dalam dunia bisnis adalah jujur,
amanah, qana’ah, memenuhi janji, menagih
hutang dengan bijak, memberi tempo
untuk orang yang
kesulitan melunasi hutangnya, memaafkan kesalahan orang lain, menunaikan
kewajiban, tidak menipu dan tidak menunda-nunda pelunasan
hutang.
3.
Bisnis dalam hal-hal yang baik saja
Allah telah menghalalkan yang
baik-baik saja dan mengharamkan yang
buruk- buruk bagi
hamba-hambaNya. Seorang businessman muslim tidak akan keluar
dari bingkai ini meski ada tawaran yang menggiurkan dalam bisnis yang haram.
4.
Menunaikan kewajiban
Kewajiban yang paling penting adalah
kewajiban terhadap Allah dalam harta para orang kaya. Itulah zakat, setelah itu
adalah sedekah dan berbagai sumbangan sosial.
5.
Menjauhi riba dan berbagai transaksi terlarang yang mengantarkan
kepada riba.
6.
Tidak memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar
7.
Komitmen dengan berbagai peraturan yang ada
Meski ada beberapa peraturan yang
tidak sejalan dengan syariat Islam,
businessman muslim akan
semaksimal mungkin menghindari berbagai tindakan
yang akan menyebabkannya mendapatkan hukuman, bukan karena meyakini bahwa
makhluk memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan. Akan tetapi bertitik tolak
dari kewajiban yang Allah tetapkan yaitu mencegah mafsadah (kerusakan)
dan tidak mencampakkan diri ke dalam kebinasaan.
8.
Tidak merugikan pihak lain
Bisnisman muslim adalah seorang yang
ksatria dalam persaingan bisnis. Dia
memiliki
prinsip tidak merugikan pihak lain. Dia tidak akan mempermainkan
harta untuk merugikan pihak-pihak lain. Dia tidak akan
mematok harga yang tinggi karena memanfaatkan kebutuhan
orang lain terhadap barang yang dia jual
atau karena
mengingat dia adalah produsen satu-satunya.
9.
Loyal dengan orang-orang yang beriman
Oleh karena itu, businessman muslim
tidak akan mengadakan hubungan dagang dengan
pihak-pihak yang secara terang-terangan menyatakan permusuhan dengan
Islam dan kaum muslimin.
10.
Mempelajari hukum-hukum syar’i seputar muamalah.
Di antara keyakinan setiap muslim
adalah hukum-hukum syar’i itu mencakup
semua aspek kehidupan.
Oleh karena itu, khalifah Umar mengusir pedagang yang tidak
menguasai hukum jual beli dari pasar kaum muslimin.
D.
Fungsi dan makna penting kekayaan dalam islam
Kekayaan bukanlah tujuan pokok atau
sasaran utama manusia di muka bumi, melainkan sarana bagi seorang muslim dalam
menjalankan perannya sebagai khalifah, di mana ia wajib memanfaatkan kekayaan
tersebut demi pengembangan segenap potensi manusia dan meningkatkan kemanusiaan
manusia di segala bidang, baik moral maupun material. Jadi, peningkatan
kekayaan demi realisasi tujuan utama manusia sebagai khalifah di muka bumi,
adalah sarana terbaik bagi akhirat. Tiada kebaikan bagi seseorang yang tidak
berjuang mendapatkannya. Dalam hal ini, orang yang mengabaikan dan meninggalkan
dunia tidak masuk dalam naungan Islam. Sedangkan orang yang berjuang
meningkatkan kekayaan demi kekayaan itu sendiri, dan menjadikannya sebagai
tujuan utama hidupnya sehingga ia begitu disibukkan dengan hal itu, dalam kasus
ini kekayaan menjadi puncak dan sumber utama dari setiap kesalahan dan
perbuatan dosa. Keadaan inilah yang menjauhkan manusia dari Tuhannya Yang Maha
Memberi rezeki, dan hal ini mesti dijauhi.
Islam ingin agar seorang muslim
berjuang meningkatkan kekayaan, menjadi tuan bagi kekayaannya itu, dan beroleh
manfaat darinya. Islam tidak ingin seorang muslim menjadi budak hartanya dan
melupakan tujuannya.
Islam tidak mengakui kekayaan dan
cara-cara peningkatannya yang menjadi hijab (pemisah) antara seorang muslim dan
Tuhannya Yang Maha Mencukupi kebutuhan-kekayaan yang membuatnya melupakan
hasrat spiritualnya, melupakan misi besarnya untuk mewujudkan serta memelihara
keadilan di muka bumi, dan mengikatnya dengan dunia. Sedangkan kekayaan dan
cara-cara peningkatannya yang menghubungkan seorang muslim dengan Tuhannya Yang
Maha Memberi karunia, membuatnya bisa beribadah dengan tenang dan nyaman;
membuatnya bisa memanfaatkan, mengembangkan, serta menyempurnakan segala bakat
dan potensinya; juga membantunya dalam mewujudkan cita-cita keadilan,
persaudaraan, dan kehormatan. Inilah tujuan yang Islam bebankan kepada setiap
muslim.
Namun kekayaan yang bersifat
kebendaan itu sejatinya semu jika tanpa di dasari dengan kekayaan hati.
Kekayaan materi bukanlah faktor utama menjadikan seseorang bisa menuai
kebahagiaan, akan tetapi kekayaan jiwalah yang sesungguhnya menjadi modal
penting. Sebab, materi jika tidak dikelola dengan baik bisa menjadi malapetaka.
Seorang muslim semestinya menyadari
bahwa kekayaan hakiki itu letaknya ada pada keikhlasan jiwa dan kerelaan hati
menerima karunia Illahi seberapapun besarnya. Selain itu,harta yang di berikan
selama di dunia adalah amanah yang harus dimanfaatkan demi jalan Allah SWT.
Dengan begitu,Ia akan di jauhkan dari memandang materi secara membabi buta,
Itulah hakekat kekayaan yang sebenarnya.
Dengan hati yang ikhlas, ia tidak
akan tergiur untuk melirik kekayaan materi dan segenap kenikmatan duniawi.
Sebab segala kenikmatan itu justru bisa menjerumuskannya kedalam perbuatan yang
tidak terpuji. Rasa sesal, menderita, dan mungkin perseteruan adalah sejumlah
akibat yang mungkin di timbulkan oleh melimpahnya materi tanpa berkah.
Perlu di dasari, kekayaan duniawi
dengan gemerlapnya yang sering melenakan hati, sesunggguhnya tidak berharga
sedikitpun di sisi Allah. Jadi, mengapa mesti menghinakan diri dengan
menghambakan kepadanya, dan kenapa pula manusia seringkali mengeluh dan
menyesal hanya lantaran ada sedikit harta yang hilang.
E.
Akhlak Orang Kaya
Islam mengajarkan umatnya untuk
memberi, sesuai dengan hadits yang artinya “ tangan di atas lebih baik dari
tangan yang dibawah” ini menunjukan himbauan untuk memberi, artinya orang yang
memberi itu lebih mulia daripada orang yang meminta – minta.
a.
Dermawan
Kedermawanan dalam bahasa Arab
disebut Al-Sakhawah. Lawannya adalah kebakhilan (bukhl). Orang yang
dermawan dinamakan sakhy atau karim. Salah satu nama Allah
adalah Al-Karim, karena Allah adalah yang paling suka memberi.
Katadermawan dalam kata bahasa Indonesia menunjuk pada seseorang yang
sukaberderma, atau yang senang memberikan sebagian hartanya kepada orang lain
baik dalam keadaan sempit maupun luas. Dermawan termasuk akhlak yang terpuji
yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Imam al Ghazali dalam kitab Ihya
Ulumuddin berkata “ apabila harta tidak dimiliki, maka manusia harus bersifat
Qana’ah. Jika memiliki harta, maka ia harus mengutamakan orang lain dan
bersifat dermawan serta menjauhi sifat kikir.[4]
Dalam ajaran agama Islam,
kedermawanan merupakan salah satu kunci kebaikan dan mulianya
agama. Sesuai sabda Nabi Muhammad SAW :
“Sesungguhnya inilah agama ( Islam )
yang Aku ridhai untuk diri-Ku. Dan tidak akan memperbaiki agama ini kecuali dengan
kedermawanan dan akhlak yang baik, karena itu muliakan agama ini dengan kedua
hal itu”( Thabrani ).
keutamaan orang yang memiliki
kekayaan dan mempunyai sifat dermawan diantaranya :
1.
menjadi orang yang dicintai oleh Allah SWT. Rasulullah SAW. bersabda
:” Sesungguhnya Allah itu dermawan yang menyukai kedermawanan, menyukai akhlak
– akhlak mulia, dan membenci akhlak yang buruk . “ ( Mutafaqun ‘alaih ).
2.
dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan jauh dari neraka.
Dalamriwayat Abu Hurairah RA., Nabi SAW. diriwayatkan bersabda,“ Orang
dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusian, dan jauh dari
neraka.
Orang yang bakhil jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga”
3.
Allah akan memberikan pahala dan mengganti harta yang ia dermakan dengan
yang lebih baik dan lebih banyak. Allah SWT. Berfirman.
“Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir
seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.
dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.(QS. Al-Baqarah:
261)
4.
menjadikannya sehat lahir dan batin. Rasululllah SAW. bersabda,“
Obatilah orang – orang sakit diantara kalian dengan sedekah .” (HR. Baihaki)
1.
Menjauhi sifat kikir
Sifat kikir itu disebabkan oleh
cinta harta, sedangkan cinta harta itu mempunyai dua sebab :
Pertama : kesukaan bersenang – senang, dan ini tidak bisa tercapai kecuali
dengan harta dan disertai panjang angan – angan. Atau barangkali anaknya
menggantikan kedudukan panjang angan – angannya sehingga dapat menahan hartanya
demi mereka. Oleh karena itu , Nabi SAW bersabda : Anak itu menyebabkan sifat
kikir dan sifat pengecut serta kebodohan. Apabila disamping itu ada rasa takut
miskin dan kurang percaya akan datangnya rezeki , maka sifat kikir pun menjadi
kuat.
Kedua : bila seseorang mencintai harta, sedang ia tahu bahwa ia tidak
memerlukannya di saat ia sudah tua dan tidak punya anak. Akan tetapi ia
mencintai harta itu sendiri. Ini adalah penyakit menahun di dalam hati. “Sekali-kali
janganlah orang-orang yang kikir dengan harta yang Allah berikan kepada mereka
dari karuniaNya menyangka, bahwa kekikiran itu baik bagi mereka. sebenarnya
kekikiran itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka kikirkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” ( Q.S Ali Imran : 180 )
Cara mengatasi sifat kikir adalah
dengan mengurangi syahwat, banyak mengingat mati, merenungkan kematian orang –
orang yang telah mendahuluinya, menziarahi kubur, merenungkan cacing – cacing
yang ada di dalamnya, dan memikirkan keadaan – keadaan itu. Perhatian terhadap
anak diatasi dengan menyadari bahwa penciptaannya menciptakan rezeki
bersamanya. Banyak anak yang mewarisi, sedang itu bukan rezekinya, dan banyak
pula anak yang tidak mewarisi, padahal Allav ta’ala mengaruniainya harta yang
banyak. Jika anaknya seorang yang shaleh , maka Allah ta’ala memimpin orang –
orang yang shalih. Jika ia seorang yang fasik maka semoga Allah tidak
memperbanyak anak-anak seperti itu , karena ia menggunakan hartanya untuk
bermaksiat.
2.
Menghindari Sifat Takabbur.
sifat takabur merupakan salah satu
sifat yang sangat berbahaya bagi seseorang dan juga membahayakan orang lain.
Tidak sedikit perbuatan yang didasari sifat takabur ini menjadi penyulut
terjadinya permusuhan di antara manusia. Dalam hubungan kemanusiaan sifat
takabur ini akan menjauhkan seseorang dalam pergaulan hidupnya dengan orang
lain. Sifat takabur ini muncul biasanya disulut oleh adanya keberhasilan dalam
hidup seseorang. Orang yang memegang jabatan tinggi, orang kaya, dan orang yang
sukses, akan mudah terjangkit sifat takabur ini. Namun, tidak sedikit juga
orang yang tidak memiliki harta, orang kecil, dan orang-orang yang tidak
berhasil memiliki sifat tersebut. Oleh karena itu, sifat ini harus dihindari
dan dihilangkan dari pribadi muslim.
Takabbur menurut bahasa yaitu
sombong. Sombong adalah sifat manusia yang menganggap dirinya lebih baik
daripada orang lain. Ketika orang merasa bangga dengan apa yang dimilikinya
(ujub) dan menganggap orang lain lebih rendah dari dirinya, maka hal itu
disebut sombong atau angkuh.
Menurut imam Ghozali kesombongan
adalah: sifat pada diri seseorang yang timbul karena melihat kepada dirinya.
Kesombongan yang timbul pada lahirnya adalah seperti pengaruh dari sifat itu.[5]
Sifat ini harus dihindari oleh semua
orang, khususnya orang kaya, karena kesombongan itu tercela, Allah ta’ala
berfirman : “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di
muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. ( Q.S
Al-A’raf : 146 ).
Cara menghindari sifat ini yaitu :
a.
Mendahulukan teman – temannya sebelum dirinya dalam majelis –
majelis.
b.
Memakai baju sederhana dihadapan orang banyak.
c.
Seseorang harus berpikir siapakah dia sebenarnya. Bagaimana
dia dulunya, sekarang, dan yang akan datang. Dengan menyadari bahwa dia dulunya
berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah, serta keberadaannya sekarang
juga masih banyak memiliki kelemahan, apakah patut dia itu takabur?
d.
Seseorang yang takabur harus banyak membaca ayat-ayat al-Quran dan
hadits-hadits Nabi yang mengutuk sifat takabur dan menjelaskan akibat buruknya
bagi manusia.
F.
Akhlak Orang Miskin.
1.
Qona’ah.
Qana’ah adalah sikap rela menerima
dan merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari rasa
tidak puas dan perasaan kurang. Orang yang memiliki sifat qana’ah memiliki
pendirian bahwa apa yang diperoleh atau yang ada di dirinya adalah kehendak
allah .
Kemiskinan itu terpuji, tetapi
patutlah orang fakir atau miskin tidak mengharapkan milik orang lain. Hal itu
bias terwujud kecuali dengan makan, minum, dan berpakaian, sesuai dengan
kebutuhan. Maka ia pun merasa cukup dengan kadar yang paling sedikitdan paling
rendah jenisnya. Ia tunda harapannya hingga sehari atau sebulan supaya tidak
memperbanyak kesabaran atas kemiskinan yang dapat menyebabkan tamak dan meminta
– minta serta merendahkan diri kepada orang kaya.[6]
Abu Hurairah berkata pada suatu hari
Rasulullah SAW bersabda : “hai Abu Hurairah, apabila engkau merasa lapar maka
makanlah sepotong roti serta segelas air, dan biarlah dunia hancur.
AkhlakQana’ah pun berfungsisebagai:
a.
Stabilisator: seorang muslim yang memiliki sifat qana’ah akan
selalu berlapang dada, berhati
tenteram, merasa kaya dan berkecukupan, dan bebas dari
keserakahan.
b.
Dinamisator: kekuatan batin yang mendorong seseorang untuk meraih
kemenangan hidup berdasarkan
kemandirian dengan tetap bergantung kepada karunia Allah
SWT.
2.
Sabar .
Seseorang yang ditakdirkan miskin
harus bersabar terhadap keadaannya. Bahkan imam Ghazali menyebutkan bahwasannya
orang miskin yang sabar itu lebih mulia dari orang kaya yang bersyukur. Meski
beliau berkata di tempat lain, “Berapa banyak orang faqir yang bersabar lebih
afdhal dibandingkan orang kaya yang bersyukur. Dan (begitu pula sebaliknya),
berapa banyak orang kaya yang bersyukur lebih afdhal dibandingkan orang faqir
yang sabar. Itulah orang kaya yang memberlakukan dirinya seperti orang faqir.
Ia tidak memegang harta untuk dirinya kecuali sebatas kebutuhan darurat, dan
selebihnya ia berikan untuk hal-hal kebaikan.
Dari Abū Hurairah,
Nabi bersabda:
يَدْخُل
فُقَرَاءُ الْمسْلمِينَ الْجنّةَ قَبْلَ أغْنِيَائِهِم بِنِصْفِ يَوْمٍ، وَهُوَ
خَمْسُمِائَة عَامٍ
“Orang-orang faqir kaum muslimin mendahului orang-orang kaya dalam
hal masuk surga selama setengah hari (di akhirat), yaitu lima ratus tahun.
Hadits di atas termasuk dalil yang
digunakan oleh mereka yang mengatakan bahwa orang faqir yang sabar lebih utama
dibandingkan orang kaya yang bersyukur.
FOOTNOTE
[1]MuhammadAbdul
Mannan,Teori & Praktek Ekonomi Islam , (Yogyakarta: PT.Bhakti Dana
Wakaf, 1993), hal. 20
[2]http://hadicahyono.dosen.narotama.ac.id/2011/04/14/sistem-ekonomi-dalam-islam/
[4] .
Imam Al Ghazali , Ringkasan Ihya Ulumuddin , (Jakarta,Pustaka Amani : 1995
), hal. 217
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....4
HAKIKAT MANUSIA
A.
Pengertian Manusia
Manusia atau orang dapat diartikan berbedabeda menurutbiologisdan islam.Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens
(Bahasa Latinuntuk manusia), sebuah spesiesprimatadari golonganmamaliayang dilengkapiotak berkemampuan tinggi.[5]
Menurut agama Islam itu sendiri, manusia adalah makhluk ciptaan Allahyang paling mulia di antara makhluk ciptaan-Nya yang lain, yang dipercaya untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dalam Alqur‘an, ada tiga kata yang digunakanuntuk menunjukan makna manusia. Kata yang digunakan adalah
1.
al basyar al insandanalKatabasyar diambil dari kata yang berarti `penampakan sesuatu dengan baik dan indah‘. Dari katabasyarahyang artinya `kulit‘. Jadi, manusia disebut denganbasyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang. Makamakna etimologisnya dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yangmemiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks,keamanan, kebahagiaan dan lain sebagainya. [6]
2.
Kata al-insan berasal dari kataal-unsSecara etimologi,al-insandapatdiartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Kataal-insan mengandung makna kesempurnaan sesuai dengan tujuan penciptaannya dankeunikan manusia sebagai makhluk Allah yang telah ditinggikan-Nya beerapaderajat dari makhluk-makhluk lain.[7]
3.
Kata alNas menunjukkan pada eksistensi manusia tanpa melihat statuskeimanan atau kekafirannya. Kata al-nash dinyatakan Allah dalam al-Qur‘an.
Artinya: Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukanorang-orang yang beriman.(Q.S. Al-Baqarah:8)
B.
Hakikat Kejadian Manusia
Hakikat manusia bersumber pada dua asal.
1.
ashalalba’id (asal yang jauh), yaitu penciptaan pertama dari tanah yang kemudian Allahmenyempurnakannya dan meniupkan kepadanya sebagian ruh-Nya
2.
ashalalqarib(asal yang dekat), yaitu penciptaan manusia dari nutfah.Yang terdapat dalam firman Allah:[8]Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian diamenjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian diamenyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan
dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu
sedikit sekali bersyukur.
C.
Penciptaan manusia selanjutnya adalah melalui proses biologi yang dapatdipahami secara sainsempirik. Didalam proses ini, manusia diciptakan dari intisari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang tersimpan di dalam tempatyang kokoh (rahim). Seperti firman Allah berikut:[9]
Artinya:”Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudianair mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itukami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikantulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengandaging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.(Q.S. Al-Mukminun:12-14)
D.
Berbicara mengenai pandangan filsafat tentang hakikat manusia, ada 4 aliranyang ditawarkan oleh para ahli filsafat. Adapun keempat aliran tersebut, sepertiyang dikutip jalaluddin dan Zuhairini adalah sebagai berikut:
1.
Aliran Serba Zat,Aliran ini menyatakan bahwa yang sungguhsungguh ada hanyalah zat ataumateri. Zat atau materi itulah hakikat sesuatu. Alam ini adalah zat atau mmateri.[10]dan manusia adalah unsure alam. Oleh karena itu, hakikat manusia adalah zatatau materi.
2.
Aliran serba ruhAliran ini berpandangan bahwa hakikat segala sesuatu yang ada di dunia iniadalah ruh. Adapun zat atau materi adalah manifestasi ruh di atas dunia ini.Dengan demikian, jasad atau badan manusia hanyalah manifestasi atau penjelmaan ruh.
3.
Aliran DualismeAliran ini menggabungkan pendapat kedua aliran diatas. Aliran ini berpandangan bahwa hakikatnya manusia terdiri dari substansi, yaitu jasmanidan rohani. Kedua substansi ini merupkan unsure asal, tidak tergantung satusama lain. Jadi, adan tidak berasal dari ruh, dan sevaliknya, ruh tidak berasaldari badan.
4.
Aliran EksistensialAliran ini memandang manusia dari segi eksistensinya. Menurut aliran ini,hakikat manusia merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya darimanusia. Intinya, hakikat manusia adalah pada yang menguasai manusiasecara menyeluruh.Dalam penciptaannya manusia dibekali dengan beberapa unsure sebagaikelengkapan dalam menunjang tugasnya. Unsur-unsur tersebut ialah.
a.
Dari segijasmani,Allah telah jadikan manusia dalam bentuk yang palingindah. Tidak ada makhluk yang mempunyai bentuk yang lebih indah darimanusia. Malaikat dan jin tidak mempunyai bentuk: hanya mereka dapatmenyerupakan diri mereka dengan manusia atau lain-lainnya. (al-Tin:4)
b.
Dari segirohani, Allah telah menjadikan manusia di atas fitrah yang hanif,iaitu: sifat semulanjadi manusia adalah lurus, bersih, suci dan sukakankebaikan. (ar-Rum:30)3.Akal: dengannya manusia dapat mencapai ilmu pengetahuan dan kemampuanuntuk memanfaatkan segala yang Allah cipta untuk mereka. Dapat
FOOTNOTE
(1). Zuhairini, filsafat pendidikan islam, jakarta, bumi aksara,
2004, 82.
(2). Al-Rasyidin, H. Samsul Nizar, filsafat
pendidikan islam
Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis
, (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005) hal 1-2
(3). Ibid h. 11
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....5
DINAMIKA RUHANI
A.
Hakikat mansuia
Allah menciptakan manusia dalam keadaan fitrah dengan dibekali
beberapa potensi yakni potensi yang ada dalam jasmani dan rohani. Bekal yang
dimiliki manusia pun tidak hanya berupa asupan positif saja, karena dalarn diri
manusia tercipta satu potensi yang diberi nama nafsu. Dan nafsu ini yang sering
membawa manusia lupa dan ingkar dengan fitrahnya sebagai hamba dan khalifah
Allah di bumi. Untuk itu manusia perlu mengembangkan potensi positif yang ada
dalam dirinya untuk mencapai fitrah tersebut.
Manusia merupakan makhluk pilihan
Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu sebagai khalifäh Allah dan Abdullah
(Abdi Allah). Untuk mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia dibekali
dengan sejumlah potensi didalam dirinya. Potensi-potensi tersebut berupa ruh,
nafs, akal, qalb, dan fitrah.[1]
B.
Hakikat Fitrah Manusia
Dalam dimensi pendidikan, keutamaan dan keunggulan manusia
dibanding dengan makhluk Allah lainnya terangkum dalam kata fitrah.
Secara bahasa, kata fitrah berasal dari kata fathara ( فطر ) yang berarti
menjadikan. Kata tersebut berasal dari akar kata al-fathr ( الفطر ) yang berarti belahan
atau pecahan.
Setiap manusia dilahirkan ke dunia
ini dalam keadaan fitrah, hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim:
“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah. Hanya bapak ibulah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan
Majusi”. (H.R. Muslim)
Dalam Al-Quran terdapat banyak kata
yang mengacu pada pemaknaan kata fitrah. Secara umum, pemaknaan kata fitrah
dalam Al-Quran dapat dikelompokkan dalam empat makna, yaitu sebagai berikut[2]:
1.
Proses penciptaan langit dan bumi
2.
Proses penciptaan manusia
3.
Pengaturan alam semesta beserta isinya dengan serasi dan seimbang
4.
Pemaknaan pada agama Allah sebagai acuan dasar dan pedoman bagi
manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Selanjutnya bila makna kata fitrah
dikaitkan pada manusia dapat dipahami dengan merujuk firman Allah surat al-Ruum
ayat 30 sebagai berikut:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٣٠)
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Secara umum, para pemikir muslim
cenderung memaknainya sebagai potensi manusia untuk beragama (tauhid ila
Allah). Fitrah diartikan sebagai kemampuan dasar untuk berkembang dalam pola
dasar keislaman (fitrah islamiah) karena faktor kelemahan diri manusia sebagai
ciptaan Allah yang berkecenderungan asli untuk berserah diri kepada
kekuatan-Nya.[3]
Secara lebih komprehensif, Muhammad
bin Asyur, seperti dikutip Quraish Shihab mendefinisikan fitrah sebagai
berikut: “Fitrah (makhluk) adalah bentuk lain dari sistem yang diwujudkan Allah
pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa
yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan jasmani dan
akalnya.[4]
Kemudian ada pula yang mengartikan
fitrah sebagai iman bawaan yang telah diberikan Allah kepada manusia sejak
masih dalam kandungan. Hal ini merujuk kepada Surat Al-A’raf ayat 172:
Artinya:Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini
Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”.
(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)”,
Namun kedua pendapat tersebut
menimbulkan banyak kontroversi diantara para cendekiawan muslim. Oleh karena
itu para pemikir muslim lainnya mencoba mencari definisi lain dari kata fitrah,
yaitu definisi yang dianggap lebih sesuai dengan kemampuan, fungsi dan
kedudukan manusia sebagai makhluk Allah yang sempurna.
Menurut H.M. Arifin, fitrah adalah
suatu kemampuan dasar manusia yang dianugerahkan Allah kepadanya, yang di
dalamnya terkandung berbagai komponen psikologis yang satu sama lain saling
berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia. Kemampuan dasar
manusia merupakan alat untuk mengenal Allah dan mengabdi kepadaNya. Komponen
psikologis yang terkandung dalam fitrah yaitu berupa kemampuan dasar untuk
beragama, naluri, dan bakat yang mengacu kepada keimanan kepada Allah.
“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah
SAW bersabda: Tidak ada orang yang dilahirkan (di dunia) kecuali dalam keadaan
fitrah. Maka orang tualah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Sebagaimana binatang ternak yang telah melahirkan anak-anaknya, apakah engkau
membersihkan unta yang termasuk binatang ternah? Kemudian Abu Hurairah RA
mengatakan: bacalah jika kalian semua menghendakinya; (tetaplah atas) fitrah
Allah SWT yang menciptakan manusia menurut fitrah itu” (HR. Bukhari).
Rujukan di atas memberikan
pengertian, bahwa lingkungan sebagai faktor eksternal, ikut mempengaruhi
dinamika dan arah pertumbuhan fitrah seorang anak. Semakin baik penempaan fitrah
yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula
sebaliknya, bila penempaan dan pembinaan fitrah yang dimiliki tidak pada
fitrah-Nya, maka manusia akan tergelincir dari tujuan hidupnya.
Gambaran fitrah beragama manusia dapat
dilihat dalam hal dimana manusia tidak dapat menghindari ketentuan bahwa
dirinya telah diatur secara menyeluruh oleh hukum Allah, kemudian mereka diberi
oleh Allah kemampuan akal dan kecerdasan. Kemampuan akal dan kecerdasan
inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain.
Manusia dilengkapi dengan
fitrah dari Allah berupa keterampilan yang dapat berkembang, sesuai dengan
kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Dengan keterampilan tersebut manusia
semakin lama mencapai peradaban yang tinggi dan maju. Setiap manusia yang
dilahirkan ke dunia ini, menurut fitrahnya akan mampu berkembang kepada
kesempurnaan. Kesempurnaan yang dimaksud disini bukan hanya kesmpurnaan fisik ,
melainkan termasuk kesempurnaan kepribadian yang mecerminkan figur seorang muslim
sejati.
Filsafat berpandangan bahwa hakikat
manusia itu berkaitan antara badan dan roh. Islam secara tegas mengatakan bahwa
badan dan roh adalah substansi alam sedangkan alam adalah makhluk dan keduannya
diciptakan oleh allah. Dalam hal ini bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan
manusia menuruthukum dan materil.
Menurut islam , manusia terdiri dari
substansi materi dari bumi dan roh yang berasal dari tuhan. Oleh karena
itu¸hakikat manusia adalah roh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang di
pergunakan oleh roh semata. Tanpa kedua substansi tersebut tidak dikatakan
manusia.[5]
Pada hakikatnya umat manusia itu
didalam hidupnya selalu diliputi dua hal yang sangat dominan yaitu: Harapan dan
Kecemasan. Harapan adalah Akan ada kehidupan yang baik, sejahtera, tentram,
aman, kecukupan rizki serta segala yang menyenangkan dan memuaskan. Sedangkan
Kecemasan adalah Akan ada kehidupan yang tidak baik, malapetaka , bencana,
kesengsaraaan, dan serba menakutkan. [6]
C.
Komponen Dasar Fitrah Manusia
Jika kita perhatikan berbagai
pandangan para ulama dan ilmuwan Islam yang telah memberikan makna terhadap
istilah “FITRAH” yang diangkat dari firman Allah dan sabda Nabi bahwa fitrah
adalah suatu kemampuan dasar berkembang manusia yang dianugrahkan Allah
kepadanya. Di dalamnya terkandung berbagai komponen psikologi yang satu sama
lain berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia.
Komponen-komponen fitrah tersebut
adalah:
1.
Kemampuan dasar untuk baragama Islam (ad-dinul qayyimaah), di mana
factor iman merupakan intinya beragama manusia. Muhammad ‘Abduh, Ibnu Qayyim,
Abu A’lah Al-Maududi, Sayyid Qutb berpendapat sama bahwa fitrah mengandung
kemampuan asli untuk beragama Islam, karena Islam adalah agama fitrah atau
identik dengan fitrah. Al i Fikry lebih menekankan pada peranan heriditas
(keturunan) dari bapak-ibu yang menentukan keberagamaan anaknya. Faktor keturunan
psikologi (heriditas kejiwaan) orang tua anak merupakan salah satu aspek dari
kemampuan dasar manusia itu.
2.
Mawahid (bakat) dan Qabiliyyat (tendensi atau kecenderungan) yang
mengacu kepada keimanan kepada Allah. Dengan demikian maka “fitrah” mengandung komponen
psikologi yang berupa keimanan tersebut. Karena iman bagi seorang mukmin
merupakan elan vitale (daya penggerak utama) dalam dirinya yang memberi
semangat untuk mencari kebenaran hakiki dari Allah.
Prof. DR. Mohammad Fadhil
Al-Djamaly, juga berpendapat bahwa Islam itu adalah Agama yang mendorong
manusia untuk mencari pembuktian melalui penelitian, berfikir dan merenungkan
ke arah iman yang benar.
3.
Naluri dan kewahyuan (revilasi) bagaikan dua sisi dari uang logam;
keduanya saling terpadu dalam perkembangan manusia. Menurut Prof. DR. Hasan
Langgulung, FITRAH itu dapat dilihat dari dua segi yakni: Pertama, segi naluri
sifat pembawaan manusia atau sifat-sifat Tuhan yang menjadi potensi manusia
sejak lahir, dan yang Kedua, dapat dilihat dari segi wahyu yang diturunkan
kepada Nabi-nabi-Nya. Jadi potensi manusia dan agama wahyu merupakan satu hal
yang nampak dalam dua sisi; ibaratnya mata uang logam yang mempunyai dua sisi
yang sama. Mata uang itu kita ibaratkan fitrah
Dilihat dari sisi ia adalah potensi
dan sisi lain adalah wahyu.
Prof. Langgulung memandang bahwa sifat-sifat Tuhan yang macam (Asma Al-Husna) merupakan potensi yang masing-masing berdiri sendiri. Tetapi bila dikombinasikan akan timbul sifat-sifat atau potensi manusia yang jumlahnya berjuta-juta macamnya.
Prof. Langgulung memandang bahwa sifat-sifat Tuhan yang macam (Asma Al-Husna) merupakan potensi yang masing-masing berdiri sendiri. Tetapi bila dikombinasikan akan timbul sifat-sifat atau potensi manusia yang jumlahnya berjuta-juta macamnya.
Kemampuan dasar untuk beragama
secara umum, tidak hanya terbatas pada agama Islam. Dengan kemampuan manusia
dapat dididik menjadi agama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi, namun tidak dapat
dididik menjadi atheist (anti Tuhan). Pendapat ini diikuti oleh banyak ulama
Islam yang berpaham ahli Mu’tazilah antara lain Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun.
Dalam fitrah tidak terdapat komponen
psikologis apapun, karena fitrah diartikan sebagai kondisi jiwa yang suci
bersih yang reseptif terbuka kepeda pengaruh eksternal, termasuk pendidikan.
Kemampuan untuk mengadakan reaksi atau responsi (jawaban) terhadap pengaruh
dari luar tidak terdapat di dalam fitrah.[7]
Pendapat ini dikembangkan oleh para
ulama ahli Sunnah Wal Jama’ah atau beberapa filosof muslim antara lain:
Al-Ghazaly. Untuk lebih jelasnya berikut ini dikemukakan sebuah diagram tentang
fitrah dan komponen-komponennya:
Komponen komponen diatas menunjukan
aspek-aspek psikologis fitrah yang saling pengaruh mempengaruhi antara satu
aspek terhadap aspek lainnya. Aspek-aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a.
Fitrah adalah faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang
terbawa sejak lahir yang berpusat pada potensi dasar untuk berkembang. Potensi
dasar itu berkembang secara menyeluruh (integral) yang menggerakkan seluruh
aspek-aspeknya yang secara mekanistis satu sama lain saling pengaruh
mempengaruhi menuju ke arah tujuan tertentu. Aspek-aspek fitrah adalah
merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis, responsif terhadap lingkungan
sekitar, termasuk pengaruh pendidikan.
Komponen-komponen dasar tersebut
meliputi :
1.
Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu kepada
perkembangan kemampuan akademis (ilmiah) dan
keahlian (profesional)dalam berbagai bidang kehidupan.
2.
Insting atau gharizah, adalah suatu kemampuan berbuat atau
bertingkah laku dengan tanpa melalui proses belajar.
3.
Nafsu dan dorongan-dorongannya (drivers)
4.
Karakter atau watak tabiat manusia adalah merupakan kemampuan
psikologis yang terbawa sejak kelahirannya.
5.
Hereditas atau keturunan adalah merupakan faktor kemampuan dasar
yang mengandung ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang diturunkan/diwariskan
oleh orang tua baik dalam garis yang dekat maupun yang telah jauh.
6.
Intuisi adalah kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham
tuhan.[8]
D.
Macam-Macam Fitrah Manusia
Menurut Ibnu Taimiyah, dalam diri
manusia setidaknya terdapat tiga potensi (fitrah), yaitu[9]
1.
Daya intelektual (quwwat al-‘aql), yaitu potensi dasar yang
memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan daya
intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
2.
Daya ofensif (quwwat al-syahwat), yaitu potensi dasar yang mampu
menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya,
baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
3.
Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yang dapat
menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya. Namun
demikian , diantara ketiga potensi tersebut, di samping agama – potensi akal
menduduki posisi sentral sebagai alat kendali (kontrol) dua potensi lainnya.
Dengan demikian, akan teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada secara
maksimal, sebagaimana yang disinyalir oleh Allah dalam kitab dan
ajaran-ajaranNya. Penginkaran dan pemalsuan manusia akan posisi potensi yang
dimilikinya itulah yang akan menyebabkannya melakukan perbuatan amoral.
Diantara ketiga potensi tersebut,
disamping potensi agama, potensi akal menduduki sentral sebagai alat kendali
dua potensi lainnya.
Ada juga pendapat Ibn Taimiyah yang
dikutip Nurchalis Majdid yang membagi fitrah manusia kepada dua bentuk yaitu:
1.
Fitrat al-gharizat merupakan potensi dalam diri manusia
yang dibawanya semenjak ia lahir. Potensi tersebut antara lain nafsu, akal,
hati nurani yang dapat dikembangkan melalui jalur pendididkan.
2.
Fitrat al-munaazalat merupakan potensi luar manusia. Adapun
wujud dari fitrah ini yaitu wahyu Allah yang diturunkan untuk membimbing dan
mengarahkan fitrat al-gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif.
Semakin tinggi tingkat interaksi
antara keduanya maka akan semakin tinggi kualitas manusia (insan kamil). Akan
tetapi sebaiknya, semakin rendah tidak mengalami keserasian, bahkan
berebenturan antara satu dengan yang lainnya maka manusia akan semakin
tergelincir dari fitrahnya yang hanif.
Muhammad Bin Asyur sebagamana
disitir M. Quraish Shihab dalam mendefinisikan fitrah manusia ada beberpa
potensi yang dimiliki oleh manusia diantaranya yaitu:
1.
Potensi jasadiah, yaitu contohnya potensi berjalan tegak dengan
menggunakan kedua kaki.
2.
Potensi akliyahnya, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk menarik
sesuatu kesimpulan dari sejumlah premis.
3.
Potensi rohaniyah, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk dapat
merasakan senang, nikmat, sedih, bahagia, tenteram, dan sebagainya.
Dari beberapa pendapat para ahli
tentang macam-macam potensi manusia, maka dapat diambil kesimpualan bahwa
potensi manusia yang dibawa sejak lahir terdiri dari:
1.
Potensi agama
2.
Potensi akal yang mencangkup spiritual
3.
Potensi fisik atau jasadiah
4.
Potensi rohaniah mencangkup hati nurani dan nafsu[10]
E.
POTENSI MANUSIA
Dalam eksistensinya manusia tidak
dapat dipisahkan dari ketergantungannya pada orang lain, karena manusia
merupakan makhluk sosial. Kita tadi sudah berbicara tentang hakikat
manusia itu sendiri. Sastraprateja mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
historis. Ha kikat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarahnya,
dalam sejarah bangsa manusia itu sendiri.[11]
Mengenai potensi manusia,
kitab suci Al-Quran memperkenalkan dua kata kunci untuk memahami manusia secara
komprehensif yaitu al-insan dan al-basyar. Kata insan jika
dilihat dari asal kata anasa mempunyai arti melihat, mengetahui dan
minta izin. Hal ini berarti bahwa adanya keterkaitan manusia dengan kemampuan
penalaran yaitu melalui penalaran manusia dapat mengambil pelajaran dari apa
yang dilihatnya, dapat mengetahui mana yang benar dan yang salah, dan
terdorong untuk meminta izin untuk menggunakan sesuatu yag bukan miliknya[12]
Pengertian ini menunjukkan adanya
potensi untuk dapat dididik pada diri manusia, artinya manusia merupakan
makhluk yang dapat diberi pelajaran atau pendidikan. Kemudian kata insan bila
dilihat dari asal kata nasiya yang artinya lupa, menunjukkan bahwa
manusia merupakan makhluk yang tidak luput dari lupa dan salah.
Adapun kata basyar adalah jamak dari
kata basyarah yang artinya permukaan kulit kepala, wajah, dan tubuh
yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Dalam Al-Quran pemakaian kata basyar
memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kata tersebut adalah anak Adam
yang biasa makan dan berjalan di pasar-pasar. Dengan demikian kata basyar
mengacu kepada manusia dari aspek lahiriyahnya.[13]
Dari beberapa pengertian tersebut
diatas dapat dikatakan bahwa manusia, dilihat dari kaitannya dengan kata insan,
merupakan makhluk yang potensial. Potensi-potensi yang dimiliki manusia
tersebut menjadi alat utama dalam memperoleh pengajaran dan pendidikan.
Kemudian jika dikaitkan dengan kata basyar, manusia satu dengan lainnya
merupakan makhluk yang sama dari aspek lahiriyahnya, yaitu makhluk yang
memiliki kesamaan dalam bentuk tubuh, makan dan minum dari sumber yang sama
dari alam ini, sama mengalami pertumbuhan dan perkembangan dan pada akhirnya
akan menemui ajalnya, kembali kepada Sang Khaliq.
Jadi pada dasarnya manusia memiliki
potensi jasmani dan rohani. Potensi jasmani mengacu pada kata basyar dan
potensi rohani mengacu pada kata insan. Dengan potensi tersebut mampu
menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi, sebagai pendukung, penerus
dan pengembang kebudayaan.
Manusia merupakan makhluk yang
sangat luar biasa dengan segala potensi yang dimilikinya. Pada saat sekarang
ini telah banyak terjadi perkembangan dan kemajuan yang dibuat oleh manusia.
ini disebabkan oleh potensi otak manusia yang luar biasa hebat. Kemampuan otak
manusia dapat menerima dan menyimpan banyak memori. Dengan pemanfaatan otak ini
manusia telah banyak menciptakan inovasi baru. Untuk itu manusia hendaknya
selalu mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah, salah satunya dengan
memanfaatkan fungsi otak kearah yang lebih baik yang akan menjadikannya makhluk
yang bermartabat, baik dimata Allah maupun dalam pandangan masyarakat.
Pada hakikatnya manusia sejak
lahirnya telah diberi oleh Allah berbagai macam potensi. Potensi-potensi
tersebut berupa potensi untuk mendengar (sam’a), potensi untuk melihat
(abshara), dan potensi memahami dengan hati (af-idah). Ketiga potensi tersebut
merupakan potensi dasar yang perlu dikembangkan sebaik dan semaksimal mungkin.
Artinya: Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
F.
Fitrah Sebagai Inner Potential
Inner potential dalam istilah
maslow disebut kodrat batin yang bersifat pembawaan, intrinsik, tidak
jahat, dan cenderung baik sementara dalam bahasa psikologi sufistik,
dimaknai fitrah rûhaniyyah atau inner potential yang memiliki daya
positif. Inner potential ini, bila dikembangkan terus melalui jalan
tashfiyat al nafs (penjernihan jiwa dari hal-hal yang tercela dan
pengembangan melalui berbagai perbuatan terpuji) maka secara psikologis akan
berpengaruh positif terhadap kesalihan tingkah laku. dengan demikian,
inner potential sebagai potensi ruhaniah memiliki hubungan fungsional
dengan tingkah laku psikologis yang dimunculkan. Tesis tersebut dibangun atas
dasar sebuah pandangan yang menyatakan, bahwa “suasana batin yang kondusif
dalam keadaan sempurna dan bersih, akan memunculkan tingkah laku yang baik dan
positif. Kemungkinan ini terjadi karena dalam realitas hampir tidak mungkin
ntingkah laku muncul dipermukaan tanpa adanya sebab dalam bentuk dorongan yang
berbasis kebutuhan psikologis
Manusia sebagai objek kajian
psikologi sufistik tidak hanya dimaknai dalam keterkaitannya dengan dimensi
jasmaniah dan kejiwaan dalam tataran psikofisik, tetapi pemaknaannya dikaitkan
juga dengan dimensi ruhaniah dalam tataran spiritual dan transendental. Konsep
di atas didasarkan atas sebuah pandangan, bahwa manusia diciptakan dari dua
unsur, jasmaniah dan ruhaniah. unsur jasmaniah terdiri dari materi, sedang
unsur ruhaniah berasal dari tuhan yang bersifatspiritual dan transendental.
karenanya, ada pendapat yang menyatakan bahwa manusia selain memiliki sifat
sifat kemanusiaan (nasût), jugamemiliki potensi ketuhanan (lahût).
Atas dasar pemikiran tersebut, maka
manusia dalam persepektif psikologi sufistik dituntut untuk menumbuh kembangkan
potensi ruhaniyah melalui tahapan takhalli, tahalli, dan tajalli hingga
sampai pada tingkat manusia ideal atau insan kamil dari sisi psikologi
sebenarnya merupakan proses aktualisasi diri, dimana manusia mencoba dan
berusaha mewujudkan akhlak ilahiyah sebagai roto tipenya, sehingga timbul
kesadaran yang kuat untuk mengubah situasi hidupnya ke arah hidup yang bermakna
pemancaran sifat-sifat ilahi dalam wujud akhlak insane merupakan perintah
allah.[14]
Potensi ruhaniyah ( Inner Potensial) meliputi ;
1.
al-Qalb
Menurut Al-Ghazali qalb mempunyai
dua pengertian. Arti pertama adalah hati jasmani (al-Qalb al-jasmani) atau
daging sanubari (al-lahm al-sanubari), yaitu daging khusus yang berbentuk
jantung pisang yang terletak di dalam rongga dada sebelah kiri dan berisi darah
hitam kental. Qalb dalam arti ini erat hubungannya dengan ilmu kedokteran, dan
tidak banyak menyangkut maksud-maksud agama dan kemanusiaan, karena hewan dan
orang mati pun mempunyai qalb. Sedangkan qalb dalam arti kedua adalah sebagai
luthf rabbani ruhiy. al-Qalb merupakan alat untuk mengetahui hakikat sesuatu.
Alqalb sebagai inner potensial bila
diberdayakan secara optimal, dapat berfungsi sebagai pemandu bagi pengembangan
semua tingkah laku, qalb yang berfunsi secara optimal dapat dikategorikan sebagai
qlbu salim atau hati yang sehat, yang indikasinya dapat diperhatikan melalui
cirri – cirri sebagai berikut:
1. selamat dari setiap nafsu yang
menyalahi ajaran Allah,
2. selamat dari hal – hal yang yang
berlawanan dengan kebaikan dan kebenaran,
3. selamat dari penghambaan selain
Allah ,
4. bila mencintai dan membenci
sesuatu karena Allah
5. memiliki sikap kepribadian yang
baik terhadap didri sendiri,
6. memiliki keseimbangan mental dan
7. memiliki empati dan kepekaan
social[15]
2.
al-Aql
Ada beberapa pengertian tentang aql.
Pertama, aql adalah potensi yang siap menerima pengetahuan teoritis. Kedua, aql
adalah pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemuhalan
sesuatu yang mustahil yang muncul pada anak usia tamyiz, seperti pengetahuan
bahwa dua itu lebih banyak dari pada satu dan kemustahilan seseorang dalam
waktu yang bersamaan berada di dua tempat. Ketiga, aql adalah pengetahuan yang
diperoleh melalui pengalaman empirik dalam berbagai kondisi. Keempat ,aql
adalah potensi untuk mengetahui akibat sesuatu dan memukul syahwat yang mendorong
pada kelezatan sesaat.[16]
Aql sebagai inner potensial dan sebagai alat berfikir atau daya
fikir, dalam psikologi sugistik memiliki 4 potensi:
1. Potensi yang dapat membedakan
citra manusia dengan hewan,
2. Potensi yang dapat mengetahui
perbuatan baik yang selanjutnya diamalkan dan perbuatan buruk selanjutnya
ditinggalkan,
3. Potensi yang dapat menyerap
pengalaman, dan
4. Potensi dapat mengantarkan
seseorang untuk mengetahui akibat segala tindakan[17]
3.
al-Ruh
Para ulama berbeda –beda dalam
mengartikan ruh. Sebagaian mengartikan kehidupan (al-hayah). Sementara menurut
al-Qusyairi, ruh adalah jisim yang halus bentuknya (sebagaimana malaikat,
setan) yang merupakan tempat akhlak terpuji. Dengan demikian ruh berbeda dengan
al-nafs dari sisi potensi positif dan negatif. Nafsu sebagai pusat akhlak
tercela sementara ruh sebagai pusat akhlak terpuji. Ruh juga merupakan tempat
mahabbah pada Allah.[18]
4.
al-Nafs
Al-Nafs sebagai inner potential
dibedakan menjadi 2 pengertian. Pertama, al-Nafs sebagai subtansi badani yang
berpotensi amoral, mengabaikan pertimbangan akal / hati nurani manusia. Nafs
ini cenderung mengartikan al-Nafs dengan konotasi negatif. Itulah sebabnya
nafsu wajib diperangi (mujahadah al-nafs).[19]
Kedua sebagai subtansi yang
berepotensi baik dan beradap. al-Nafs dalam arti ini mendapat berbaga i julukan
sesuai dengan kondisinya. Jika al-Nafs dalam menghadapi syahwat dengan tenang
maka dijuluki al-Nafs al-Muthmainnah, Jika al-Nafs dalam menghadapi syahwat
dengan tidak tenang tapi lebih cenderung mengikutinya maka diberi julukan
al-Nafs al-Ammarah, Nafs al-Nafs al-Ammarah bisa menjadi al-Nafs al-Muthmainnah
manakala seseorang terbebas dari akhlak yang tercela.[20]
Menurut al-Ghazali nafsu diartikan
“Perpaduan kekuatan marah (gadlab) dan syahwat dalam diri manusia”. Kekuatan
ghadlab pada awalnya tentu untuk sesuatu yang positif seperti untuk
mempertahankan diri, mempertahankan agama dan sebagainya. Dengan adanya ghdlab
itulah jihad diperintahkan dan kehormatan diri terjaga. Dengan kekuatan marah
seorang wanita menolak untuk dinodahi agama dan kehormatannya. Dengan kekuatan
marah seseorang dapat menumpas kedhaliman dan sebagainya. Namun ketika gadlab
tidak terkendali maka yang terjadi adalah kehancuran dan akhlak tercela.
Demikian juga dengan syahwat (syahwat sek) perkembangbiakan manusia tetap
berjalan, perpaduan antara pria dan wanita yang membentuk satu keluarga bisa
terjadi sehingga akan terbentuk komunitas sosial. Dengan syahwat (makan dan
minum), muamalah mencari rejeki dapat berjalan. Bisa dibayangkan seandainya
tidak ada syahwat makan, minum dan sebagainya tentu roda perekonomian tidak
mungkin berjalan. Namun bila syahwat tidak dikendalikan maka yang terjadi adalah
kehancuran dan akhlak tercela[21]
Islam disebut agama fithrah karena
merupakan jalan hidup yang dikehendaki dan ditunjukan oleh fithrah manusia.
Sebab, didalam islam tekandung pengertian penyerahan hamba kepada kehendak
Allah swt. Dan fithrah manusia itu sesuai dengan kehendaknya. [22]
FOOTNOTE
[1] Samsul Nizar , Pengantar Dasar-Dasar Pemikira
Pendidikan Islam,Jakarta : Media Pratama, 2001, hal 78
[2] Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-Dasar
Pemikira Pendidikan Islam, , Jakarta : Media Pratama , hal 37
[3] M. Arifin, Filasafat Pendidkan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1994, hal 160
[4] http:// hakikat-fitrah-manusia.html
[5] Jalaudin, Filsafat Pendidikan Islam,Jakarta: Raja
Grafindo Persada,2011, hal 127
[6] Abu Ahmadi, Dasar
DasarPendidikanAgama Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1991, hal 16
[9] Samsul
Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam, , Jakarta :
Media Pratama, 2001, hal 76
[14] Abdullah
Hadziq , Kontribusi Psikologi Sufistik Terhadap Pengembangan Pendidikan
Multicultural, Jakarta : Jurnal ISJD LIPI, 2008, hal. 8 – 9
[16] Tedi
Priatna. Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Bani
Quraisy, 2004, hal 88
[18] Abdurrahman
Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan
AL Qur’an, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994, Hal. 68
[19] Samsul
Nizar , Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam,Jakarta : Media
Pratama, 2001, hal 58
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....6
AKAL, RUH DAN JASAD
A.
Akal
Manusia adalah maklhuk yang
sempurna di antara semua maklhuk ciptaan Allah lantaran manusia di beri akal
pikiran, inilah yang membuat manusia ini begitu sempurna. Bangsa jin dan setan
diberi akal pikiran namun tidak sesempurna manusia, tapi mereka di beri
kelebihan di dalam jasadnya, jasad mereka lepas dari ruang dan waktu sedangkan
kita manusia memiliki kelebihan akal pikiran yang sempurna bahkan akal
pikirannya mampu menembus ruang dan waktu, namun jasad manusia tidak mampu
untuk menembus ruang dan waktu.
Tumbuhan dan hewan, mereka tidak
diberi akal pikiran dan jasad yang mampu menembus ruang dan waktu tersebut
namun mereka di beri kelebihan roh, roh itu suci dan selamanya suci. Tumbuhan
dan hewan bergerak berdasarkan insting mereka karena rohnya yang suci dan
mereka mampu merasakan Keagungan dan Kebesaran Allah SWT.
Oleh sebab itu tumbuhan dan hewan
tidak mempunyai dosa lantaran kesucian ruh tersebut, andaikata hewan membunuh
hewan lain bahkan membunuh manusia, mereka tetap tidak berdosa karena mereka
hanya mengikuti insting hewani mereka begitu juga dengan tumbuhan.
Pada Al Quran Allah berfirman
tentang penggunaan akal ini yaitu terdapat di dalam surat Al An’am: 32
Artinya: dan Tiadalah kehidupan
dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung
akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu
memahaminya?
Maksudnya: kesenangan-kesenangan
duniawi itu hanya sebentar dan tidak kekal. janganlah orang terperdaya dengan
kesenangan-kesenangan dunia, serta lalai dari memperhatikan urusan akhirat.
Di antara ketiga (Ruh, Akal dan
Jasad) yang paling kuat adalah ruh kemudian akal pikiran baru yang terakhir
jasad. Lalu yang jadi pertannyaan, kalau memang Ruh yang lebih kuat kenapa
manusia yang memiliki kelebihan akal pikiran menjadi maklhuk yang
sempurna?.jawabanya mudah saja, dengan akal pikiran kita mampu mengendalikan
ruh dan jasad.
Hal ini sudah terbukti secara ilmiah
dan logis. Dalam ajaran Psikologi di ajarkan bagaimana cara mengoptimalkan akal
pikiran manusia, sehingga manusia mampu menggunakan Hipnosis, Telephati dan
sebagainya, hal itu bisa terjadi karena akal pikiran kita sudah bertemu dan
berkomunikasi dengan ruh dan jasad kita. Kesadaran beragamapun merupakan salah
satu hasil dari pengoptimalan akal pikiran. Manusia sering disebut
dengan homoreligious(makhluk beragama)[1].
Dalam ajaran Islam di masa Nabi Adam
As, sebenarnya sudah di ajarkan cara untuk mengoptimalkan akal pikiran. Semua
orang-orang pilihan Allah seperti Rasul, Nabi, Wali dan lain sebagainya, beliau
sudah mampu mengendalikan ketiga-tiganya. Contoh simple, Nabi Sulaiman As,
beliau mampu berkomunikasi dengan hewan,tumbuhan dan juga jin.
Bagaimana hal tersebut bisa
terjadi?, karena Nabi Sulaiman As sudah mengendalikan ketiga hal tersebut (Ruh,
Akal, dan Jasad). Beliau berkomunikasi dengan hewan dan tumbuhan menggunakan
ruh, Karena Beliau sudah mempu mengendalikan Ruh dalam diri beliau sehingga
masuk akal apabila ruh bertemu dengan ruh akan mampu berkomunikasi karena hewan
dan tumbuhan di beri kelebihan Ruh oleh Allah seperti yang saya terangkan di
atas. Begitu juga dengan jin, Nabi Sulaiman As menggunakan kemampuan jasadnya
untuk berkomunikasi dengan jasad juga (jin). Dan masih banyak contoh-contoh
lain seperti Nabi Sulaiman.
Dengan akal pikiran kita mampu
mengendalikan 2 kemampuan maklhuk lain (jin,hewan dan tumbuhan). Dengan akal
pikiran kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang benar. Dengan akal
pikiran kita bisa mencapai Allah jauh lebih cepat dari kecepatan cahaya bahkan
lebih. Apapun bisa kita lakukan dengan akal pikiran kita,kalau kita mau
mempelajarinya lebih jauh lagi. Hal ini lah yang membuat manusia menjadi
maklhuk yang sempurna di anatara maklhuk lain ciptaan Allah.
Allah memberi kemampuan yang
sempurna ke pada manusia berupa akal pikiran, namun banyak manusia yang salah
jalan dengan akal pikirannya. “Dengan kemampuan yang besar disitu terletak
tanggung jawab yang besar pula”. Memang benar akal pikiran kita mampu melakukan
apapun dan tidak ada hal yang mustahil akan tetapi dengan akal pikiran kita
juga bisa terjebak ke dalam kemaksiatan. Oleh sebab itu di butuh kan Ruh dan
Jasad untuk mengatur keseimbangan akal pikiran kita agar kita semua tidak salah
jalan.
Banyak sekali metode-metode untuk
menseimbangkan ke 3 kemampuan itu. Dalam Psikologi 3 kemampuan tersebut menjadi
Needs (Jasad),Ego(Akal Pikiran), dan Super Ego (Ruh). Ke 3nya harus seimbang
untuk menjadi manusia seutuhnya. Dalam diri manusia terdapat sejumlah potensi
untuk memberi arah kehidupan yaitu naluriah, inderawi, nalar dan agama[2].
Adapun metode islami, yaitu sholat. Kita terkadang meremehkan hakikatnya sholat
dan kita sering menganggap sholat itu hanya kewajiban tanpa berfikir dulu.
B.
Qalbu
Pengetahuan yang diperoleh seseorang
yang saleh dari Allah SWT melalui ilham dan tanpa dipelajari lebih dahulu
melalui suatu jenjang pendidikan tertentu. Oleh sebab itu, ilmu tersebut bukan
hasil dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung atas kehendak dan
karunia Allah SWT.
Di dalam tasawuf dibedakan tiga
jenis alat untuk komunikasi rohaniah, yakni kalbu (hati nurani) untuk
mengetahui sifat-sifat Tuhan, roh untuk mencintai-Nya dan bagian yang paling
dalam yakni sirr (rahasia) untuk musyahadah (menyaksikan keindahan, kebesaran,
dan kemuliaan Allah SWT secara yakin sehingga tidak terjajah lagi oleh nafsu
amarah) kepada-Nya.
Meski dianggap memiliki hubungan
misterius dengan jantung secara jasmani, kalbu bukanlah daging atau darah,
melainkan suatu benda halus yang mempunyai potensi untuk mengetahui esensi
segala sesuatu. Lapisan dalam dari kalbu disebut roh; sedangkan bagian terdalam
dinamakan sirr, kesemuanya itu secara umum disebut hati. Apabila ketiga organ
tersebut telah disucikan sesuci-sucinya dan telah dikosongkan dari segala
hal yang buruk lalu diisi dengan dzikir yang mendalam, maka hati itu akan dapat
mengetahui Tuhan.
Mengenai qalbu ini, Allah berfirman:
Artinya: dan yang mempersatukan
hati mereka (orang-orang yang beriman)[622]. walaupun kamu membelanjakan semua
(kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati
mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia
Maha gagah lagi Maha Bijaksana. (Al-Anfaal: 63)
Penduduk Madinah yang terdiri dari
suku Aus dan Khazraj selalu bermusuhan sebelum Nabi Muhammad s.a.w hijrah ke
Medinah dan mereka masuk Islam, permusuhan itu hilang.
Qalbu dapat dianggap berpadanan
dengan Ruh, yang memiliki aspekRabbani sebagaimana aspek ciptaannya.
Salah satu di atara simbol-simbol agungRuh ialah matahari, yang merupakan
hati alam semesta kita.[3]
Tuhan akan melimpahkan nur cahaya
keilahian-Nya kepada hati yang suci ini. Hati seperti itu diumpamakan oleh kaum
sufi dengan sebuah cermin. Apabila cermin tadi telah dibersihkan dari debu dan
noda-noda yang mengotorinya, niscaya ia akan mengkilat, bersih dan bening. Pada
saat itu cermin tersebut akan dapat memantulkan gambar apa saya yang ada
ihadapannya.
Demikian juga hati manusia. Apabila
ia telah bersih, ia akan dapat memantulkan segala sesuatu yang datang dari Tuhan.
Pengetahuan seperti itu disebut makrifat musyahadah atau ilmu laduni. Semakin
tinggi makrifat seseorang semakin banyak pula ia mengetahui rahasi-rahasia
Tuhan dan ia pun semakin dekat dengan Tuhan. Meskipun demikian, memperoleh
makrifat atau ilmu laduni yang penuh dengan rahasia-rahasia ketuhanan tidaklah
mungkin karena manusia serba terbatas, sedangkan ilmu Allah SWT tanpa batas,
seperti dikatakan oleh Al-Junaid, seorang sufi modern, "Cangkir teh
tidak
akan dapat menampung segala air yang ada di samudera."
akan dapat menampung segala air yang ada di samudera."
Keberadaan dan status ilmu laduni
bukan tanpa alasan. Para sufi merujuk keberadaan ilmu ini pada Alquran (QS Al
Kahfi [18]:60-82) yang memaparkan beberapa episode tentang kisah Nabi Musa AS
dan Khidir AS. Kisah tersebut dijadikan oleh para sufi sebagai alasan
keberadaan dan status ilmu laduni.
Mereka memandang Khidir AS sebagai
orang yang mempunyai lmu laduni dan Musa AS sebagai orang yang mempunyai
pengetahuan biasa dan ilmu lahir. Ilmu tersebut dinamakan ilmu laduni karena di
dalam surah al-Kahfi ayat 65 disebutkan: "wa'allamnahu min ladunna
'ilman.." (..dan yang telah Kami ajarkan kepadanya (Khidir AS) ilmu dari
sisi Kami). Dengan demikian ilmu yang diterima langsung oleh hati manusia
melalui ilham, iluminasi (penerangan) atau inspirasi dari sisi Tuhan disebut
ilmu laduni.
C.
Nafs (Jiwa)
Dalam bahasa
Arab, nafs mempunyai banyak arti, dan salah satunya adalah
jiwa.. Nafs dalam arti jiwa telah dibicarakan para ahli sejak kurun waktu
yangsangat lama. Dan persoalan nafs telah dibahas dalam kajian filsafat,
psikologi dan juga ilmu tasawuf. Menurut Ar-Razi manusia adalah ungkapan
tetang fidik yang dikhususkan dan ada didalam badan ini.[4]Dalam
filsafat, pengertian jiwa diklasifikasi dengan bermacammacamteori, antara
lain:
1. Teori
yang memandang bahwa jiwa itu merupakan substansi yang berjeniskhusus, yang
dilawankan dengan substansi materi, sehingga manusia dipandang memiliki
jiwa dan raga.
2. Teori
yang memandang bahwa jiwa itu merupakan suatu jenis kemampuan,yakni semacam
pelaku atau pengaruh dalam kegiatan-kegiatan.
3. Teori
yang memandang jiwa sematamata sebagai sejenis proses yang
tampak pada organismeorganisme hidup.
4. Teori
yang menyamakan pengertian jiwa dengan pengertian tingkah laku.
Dalam psikologi, jiwa lebih
dihubungkan dengan tingkah laku sehingga yang diselidiki oleh psikologipsikologi
adalah perbuatanperbuatan yangdipandang sebagai gejalagejala dari jiwa. Teoriteori
psikologi, baik psikoanalisa,Behaviorisme maupun Humanisme memandang jiwa
sebagai suatu yang berada di belakang tingkah laku. Sedangkan di kalangan
ahli tasawuf, nafs diartikan sesuatu yang melahirkan sifat tercela. AlGhazali
(w. 1111 M.) misalnya menyebut nafs sebagai pusat potensi marah dan
syahwat pada manusia dan sebagai pangkal dari segala sifat tercela.
Pengertian ini antara lain
dipahami dari hadits yang artinya musuhmu yang paling berat
adalah nafsumu yang ada di dua sisimu.Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, nafs (nafsu) juga dipahami sebagai dorongan hati yang kuta
untuk berbuat kurang baik, padahal dalam alQur’an nafs tidak
selalu berkonotasi negatif. Kajian tentang nafs merupakan bagian dari
kajian tentan hakikat manusiaitu sendiri. Manusia adalah makhluk yang bisa
menempatkan dirinya menjadisubyek dan obyek sekaligus. Kajian tentang manusia
selalu menarik, tercermin pada disiplin ilmu yang berkembang, baik ilmu
murni maupun ilmu terapan.
Tentang manusia, alQur’an
menggunakan tiga nama, yaitu menurut kebanyakan tafsir, manusia sebagai
basyar lebih menunjukkan sifat lahiriah serta persamaannya dengan manusia
sebagai satu keseluruhan sehingga Nabi pun disebut
sebagai basyar, sama seperti yang lain, hanya saja beliau diberi
wahyu oleh Tuhan, satu hal yangmembuatnya berbeda denganbasyar yang lain,
seperti dijelaskan dalam surat alKahfi/18: 110
Artinya: Katakanlah:
Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
"Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya".
Sedangkan nama insan yang
berasal dari kata ‘uns yang berarti jinak, harmoni dan tampak,
atau dari kata nasiya yang artinya lupa, atau dari nasa
yanusu[5]yang
artinya berguncang, menunjuk kepada manusia. Sifat orang yang mempunyai
nafsul amarah antara lain mudah marah, sombong, takabbur, tamak, kikir , dengki
dan hasud, sering memperturutkan keinginan syahwat secara berlebihan. Contohnya
Seseorang dengan dorongan sifat marahnya, benci untuk menghadapi musuh
karena takut dirinya celaka, padahal menghadapi musuh lebih baiak untuk dirinya
didunia dan diakhirat, sementara ia mencari muka dan damai kepada musuhnya,
padahal sikap itu lebih buruk buat hidupnya baik didunia maupun diakhirat.[6]
Bagi manusia hanya ada dua pilihan ,
mengabdi pada kepentingan hawa nafsu atau mengabdi Pada Allah. Orang yang
mengabdi pada kepentingan hawa hawa nafsu dia akan lupa kepada Allah,
sebaliknya orang yang mengabdi pada Allah harus rela mengalahkan kepentingan
hawa nafsunya. Ia adalah awwab, yaitu suka kembali kepada Allah dari
kemaksiatan. Pulang kepadadzikrullah setelah melalaikannya.[7]Dua
kepentingan yang berbeda ini tidak mungkin dijadikan satu . Seseorang tidak
mungkin mengabdi kepada Allah sambil memuaskan kepentingan hawa nafsunya, Kita
harus memilih satu diantara dua , mengabdi pada Allah atau pada kepentingan
hawa nafsu.
D.
Ruh
Sifat Ruh, (Dari tulisan Al-Ghazzali) Bab ini mengenai tujuan Allah
dalam bersabda: “Ketika Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah
meniupkan ke dalamnya ruh-Ku...” (15:29)
1.
Peniupan Ruh ke dalam Adam
“Menyempurnakan kejadian” terdiri
dari perbuatan terhadap sasaran yang berkaitan dengan ruh. Sasaran itu adalah
tanah liat dalam kasus Adam, dan biji dalam kasus anak-anak [bani Adam,
bani-nya, anak cucunya, keturunannya]. Oleh karena itu, manusia menjadi sasaran
transformasi [watak] dan pengaturan total. Tubuh diubah ke kondisi termurni
yang dapat menerima ruh, dan dengan demikian juga tujuan Penciptaan. Ini mirip
dengan sumbu dari lampu minyak, yang menjadi siap dinyalakan setelah dibasahi
dengan minyak.
Peniupan (nafh) merupakan proses
menyalakan ruh di dalam wadahnya. Maka, meniupkan merupakan sebab dari
menyala. Tidak mungkin untuk memahami peniupan Allah Yang Maha Perkasa.
Diri (nafs) yangdihasilkan, dijelaskan oleh peniupan (nafh), yaitu proses
penyalaan dalam sumbu dari biji. Selain itu, terdapat cara dan hasil akhir
dari peniupan. Cara, untuk tujuan menyalakan, merupakan transmisi cinta
dan kehendak ke dalam seseorang penerima embusan dari Dia yang bertiup.
Alasan menyalakan cahaya ruh
merupakan sifat yang ada pada Pelaku dan penderita yang menerima ruh.
Sifat Pelaku adalah Kemurahan, yang menjadi sumber dari segala keberadaan.
Ia menghias semua makhluk dengan memasukkan realita ke dalamnya. Sifat ini
disebut Keperkasaan. Ini serupa dengan matahari, yang jika tidak ada
penghalang, sinarnya menerangi segala sesuatu yang mampu menerima cahaya.
Kemampuan menerima itu terdapat pada benda-benda yang berwarna, dan
keragaman; udara yang tidak berwarna tidak dapat menerima. Sifat
Penerima adalah ‘moderat’ dan ‘homogen’yang dihasilkan oleh proses-proses
persiapan. Allah Yang Maha Perkasa bersabda: “Ketika Aku
mempersiapkannya...”
Sifat penerimaan mirip dengan sifat
cermin. Cermin yang tidak dibersihkan dan dilap, tidak dapat menerima dan
menghasilkan bayanganmeskipun sesuatu bentuk berada dekat di depannya. Tetapi
jika cermin itu bersih, bentuk benda itu muncul sebagai bayangan di
dalamnya.
Begitu pula, jika keseragaman
penerimaan terdapat di dalam biji, ruh menjelma di dalam biji tanpa
perubahan pada sisi Pencipta. Tetapi ruh tidak diciptakan pada saat itu.
Penciptaan sudah terlebih dahuludilakukan, sebelum lokus diubah dalam proses
homogenisasi.
Kelimpahan Kemurahan berarti bahwa
Kemurahan Ilahi menyebabkan cahaya keberadaan bersinar dalam tiap sifat
yang sanggup menerima Kemurahanitu. Ini disebut kelimpahan Derma. Tentu ini
tidak dapat dipersamakan dengan penuangan air dari cangkir ke tangan
seseorang, karena di sini air mencapai tangan setelah terpisah [dari
sumbernya] meninggalkancangkir. Allah Yang Maha Perkasa tidak dapat dibandingkan
demikian.
2.
Kebenaran Ruh Merupakan Rahasia
Kebenaran ruh merupakan rahasia.
Adapun Nabi tidak diijinkan untuk menerangkan ini kecuali kepada orang tertentu
yang berhak. Kalau anda berhak, anda akan dapat mendengarkannya.
Artinya: dan mereka bertanya
kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". Pertanyaan
seperti ini diajukan oleh kaum Yahudi kepada Nabi Muhammad Saw. yang bertujuan
untuk mengetes dan menguji serta mencari-cari kelemahan beliau, yang kemudian
dijawab olehnya secara tegas berdasarkan petunjuk wahyu Al-Quran.[8]
Ruh bukan sesuatu yang memasuki
tubuh seperti air memasuki cangkir. Ruh juga bukan sesuatu yang memasuki kalbu
seperti pewarna hitam yang menyerap ke dalam benda hitam, atau masuknya
pengetahuan kepada orang berilmu. Sebaliknya, mereka yang tahu bersepakat bahwa
ruh merupakan sesuatu yang tidak dapat dibagi. Seandainya dapat dibagi, satu
bagian akan tahu, dan bagian lain tidak tahu, jadi keduanya akan tahu dan tidak
tahu, in ini mustahil. Ini merupakan bukti bahwa ruh itu tidak dapat dibagi.
Mengapa Nabi tidak diperkenankan
untuk membeberkan rahasia dan kebenaran tentang ruh? Karena ruh mempunyai sifat
tertentu yang tidak dapat dimengerti. Pada masa itu, masyarakat dibagi atas
orang biasa dan orang yang tahu. Orang-orang biasa [bahkan] tidak menyetujui
apa yang disampaikan Nabi dan diperkenankan oleh Allah. Bagaimana mereka dapat
mengerti keberadaan Ruh Manusia? Bahkan, beberapa orang biasa menyangkal Allah
dengan memisahkan-Nya dari kebendaan dan pengejawantahan. Mereka pikir
keberadaan Allah adalah tanda kebendaan-Nya. Orang-orang yang mampu berpikir
lebih jauh dari orang-orang biasa segera menjauhkan Allah dari sifat kebendaan,
tetapi mereka menyifatkan arah kepada Allah, karena kemampuan mental mereka
tidak mampu memisahkan-Nya dari sifat kebendaan. Hanya dua mazhab yang mampu
memisahkan Allah dari sifat kebendaan dan arah.
Dan mengapa rahasia tentang ruh
disembunyikan? Karena mereka memustahilkan segala sifat selain yang Ilahi
[yaitu mereka bertindak terlalu jauh ke arah Kerterpisahan atau Kekhususan
(tanzih).] Saat kamu menyebutkan sifat-sifat [manusia] ini, mereka akan
menuduhmu murtad dan berkata: “Ini pembandingan dengan Allah. Kamu [menerapkan
kepada dirimu sendiri] sifat yang hanya dimiliki Allah. Kamu [tidak mengerti
hakikat] sifat-sifat Allah.”
Apakah arti hubungan Ruh dengan
Allah saat Dia bersabda: “Aku tiupkan padanya Ruh-Ku”? Ruh itu bebas dari ruang
dan arah. Ia mampu melihat [mengenal] dan memahami semua ilmu pengetahuan. Hal
ini tidak mungkin dimiliki benda lain. Karena itu, dikhususkan-Nya untuk Ruh
dalam hubungannya
E.
Alam Perintah dan Alam Permulaan
Kamu terdiri dari dua hal: tubuh dan
ruh. Manusia adalah makhluk dalam dua alam. Ia berhubungan dengan Alam Khalikah
(Permulaan, khalq) dengan tubuhnya, dan dengan Alam Kuasa atau Amar (Perintah,
amr) dengan ruhnya. Ini dijelaskan pada kalimat:“Katakanlah: ... Ruh ada di
bawah Amar (amr) Tuhan-ku” (17:85). Semua yang dapat diukur dan dihitung
terdapat pada Alam Permulaan. Tetapi ruh dan hati tidak dapat diukur atau
diungkapkan dalam satuan.
Ada pun Alam Kuasa dan Permulaan,
artinya sbb: Telah diketahui bahwa segala sesuatu yang terjadi pada Ruh adalah
dekrit, keputusan, dan ini termasuk penyatuan dengan tubuh dan sifat-sifatnya.
Ini arti Alam Permulaan.
Permulaan ini merupakan pra-takdir
Allah, bukan pengejawantahan-Nya dan bukan penciptaan-Nya. Dalam konteks ini,
Permulaan berarti penentuan, tahap penetapan sesuatu sebelum dijadikan di
dunia. Sesuatu yang tidak memiliki jumlah dan takdir disebut Perintah Ilahi;
merupakan kemiripan dan kaitan dengan Allah. Manusia dan ruh malaikat, yang
serupa dengan ini, disebut Alam Perintah.
Alam Perintah berisi sesuatu yang
tidak memiliki jumlah, tetapi mempunyai ukuran dan dekrit dengan menyatu dengan
Alam Permulaan, seperti benda eksternal yang berkaitan dengan indera,
imajinasi, arah, ruang, diam dan masuk.
Jika keadaan ruh itu demikian,
bukankah dalam hal ini sesuatu yang abadi dan bukan makhluk?
Kesalahan ini [hanya] dapat terjadi
karena kebodohan dan tertipu. Jika seseorang berkata: “Tidak ditakdirkan dan
berkuantitas berarti Ruh bukan makhluk, tidak dapat dibagi dan tidak mempunyai
perluasan,” itu benar. Tapi jika ia berkata: “Ruh bukan makhluk dalam arti ia
abadi dan bukan bersifat sementara,” itu salah. Beberapa orang percaya bahwa
Ruh tidak berawal, bahwa ia pre-eksisten secara abadi, tetapi ini keliru. Yang
lain keliru karena mengira bahwa Ruh merupakan tubuh, tetapi tidak dapat dibagi
dan berlanjut.
Ruh bukan sifat, bukan tubuh; tidak
makan tempat, tidak mempunyai perluasan dan arah; tidak terhubung dengan tubuh
dan dunia; tetapi juga tidak terpisah dari mereka. Tubuh bukan tempat yang
sejati dari Ruh; melainkan hanya merupakan alat. Ruh tidak terhubung dengan
tubuh, dan [namun] tidak jauh darinya. Ruh menggunakan tubuh untuk
melayani tujuannya. Ruh bukan di dalam tubuh dan dunia, tetapi juga bukan
diluarnya.
Semua itu merupakan sifat esensiil
[Zat Ilahi] Allah. Sifat-sifat yang penting adalah: Hidup, Pengetahuan,
Perkasa, Berkehendak, Mendengar, Melihat, dan Berbicara. Ruh juga
memiliki sifat-sifat itu, dan dalam hal ini mempunyai kelekatan dengan Allah.
F.
Percampuran Ruh di dalam Tubuh
Tindakan Allah: dipandang dari sudut
kehendak, ini merupakan awal dari tindakan manusia sendiri. Efeknya mula-mula
timbul di dalam kalbu. Lalu menyebar melalui ruh Hewani (penggerak), dalam
bentuk “uap” halus di dalam rongga hati. Dari situ naik ke otak, kemudian
disebarkan ke seluruh organ tubuh, termasuk ujung jari. Jari terpengaruh dan
bergerak, menggerakkan pena, yang kemudian menggerakkan ujung pena.
Dari situ , apa yang akan ditulis
tergambar dalam imajinasi. Jika seseorang tidak membentuk sesuatu dalam
imajinasinya terlebih dahulu, tidak akan ada sesuatu yang tertulis di atas
kertas. Ahli filsafat Yunani setengahnya berpendapat bahwa kehendak itu mereka
dalam memilih, dan setengahnya berpendapat bahwa kehendak itu terpaksa
manjalani suatu jalan yang tidak dapat dilampauinya.[9]
Maka hal ini akan berhubunga dengan
hak yang dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang
dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, memperguanakan atau menuntut
sesuatu.[10] Hak
juga dapat berarti panggilan kepada kemauan orang lain dengan perantaraan
akalnya, perlawanan denga kekuasaan atau kekuatan fisik untuk mengakui wewenang
yang ada pada pihak lain.[11]
FOOTNOTE
[1] ) Arifin, Syamsul, Psikologi Agama, Pustaka Setia,
Bandung, 2008, hlm. 83
[2]) Ibid., hlm. 145
[3] ) Lings, Martin, “what Is Sufism?” Membedah
Tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, jakarta, 1987, hlm. 43
[4] ) Al-Jauziyyah, Ibnul Qayim, Menjelajah Alam
Roh.., Pustaka Arafah, Solo, 2004
[5] ) Ibn Manzhur, Lisan alArab, Kairo: dar alMa’arif,
tth, Jilid I, hlm. 147150
[6] ) Qayim, imam Ibnul, Pesan-pesan Ibnul Qayim, Gema
Insani Press, Jakarta, 1998, hlm. 81
[7] ) Ibid., hlm. 20
[8] ) Syukur, Amir, Tasawuf Konstektual Solusi Problem
Manusia Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 315
[9] ) Mustafa, H.A., Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia,
Bandung, 2010, hlm. 107
[10] ) Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Rajawali
Pers, Jakarta, 2010, hlm.137
[11] ) Zubair, Ahmad Charris, Kuliah Akhlak, Rajawali
Pers, Jakarta, 1990, cet.II, hlm.59.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...7
ETIKA, MORAL DAN AKHLAK
A.
Etika.
Pengertian etika atau lazimnya disebut etika moral adalah gambaran
rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta
prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut
secara moral diperintahkan atau dilarang. Etika juga merupakan kebiasaan moral
dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah laku
dan adat istiadat.Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan
khusus terhadap defenisi konsep-konsep etika, justifikasi atau penilaian
terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan
yangbaikdanburuk.
Secara fisik, manusia ada yang sehat dan ada juga yang cacat, ada yang buta, tuli, lumpuh, dan kekurangan-kekurangan lainnya yang bersifat jasmaniah. Tetapi dapatkah kita menyebutkan bahwa kekurangan-kekurangan jasmaniah tersebut juga menunjukkan adanya kekurangan dalam segi rohani dan kepribadiannya. Sokrates, misalnya, seorang filosof Yunani kenamaan, yang kadang disejajarkan dengan nabi, adalah orang yang amat buruk rupa. Tetapi, keburukan ini tidak dianggap cacat. Atau Abu al-‘Ala Mu’arra dan Thaha Husain, yang hidup di masa sekarang adalah para tunanetra.[1] Apakah perilaku mereka juga seburuk penampilannya, ataukah mereka memiliki cacat kepribadian?. Adalah salah bila menganggap rohani tergantung pada jasmani. Setiap manusia yang berpenampilan baik dalam segi jasmaniahnya belum dapat dipastikan memiliki tingkah laku atau perangai yang baik. hal di atas menunjukkan bahwa penilaian seseorang itu tidak bergantung pada segi jasmaninya.
Dalam kehidupan ini, kita sering tertipu dengan orang-orang yang berpenampilan baik sehingga kita menganggap dan menamainya sebagai orang baik. Di televisi dan media massa lainnya, pernah disebutkan: seorang guru mengaji yang sampai tega “mencabuli” murid-murid perempuannya yang masih kecil, atau seorang oknum aparat yang terlibat kasus perampokan, dan pejabat-pejabat yang merupakan “panutan masyarakat” terlibat kasus korupsi dan kolusi, serta contoh-contoh lainnya.
Jika dipersempit masalahnya kedalam masyarakat Islam, dan kita sebutkan saja pelaku-pelaku tindakan di atas adalah muslim, maka muncul pertanyaan: apakah pelaku tersebut tidak paham bahwa Islam telah mengajarkan tuntunan-tuntunan yang disebut ilmu akhlak?, jika ia mengerti bahwa dalam Islam ada ajaran akhlak, lantas mengapa ia masih tetap melakukan tindakan yang buruk tersebut?.
Berdasarkan hal di atas, maka permasalahannya dapat dibagi menjadi dua: Pertama bahwa ia memang tidak paham akan perilaku-perilaku yang sesuai dengan tuntunan akhlak islami. Kedua, ia mengetahuinya, tetapi tidak mengamalkannya dikarenakan pemahamannya tentang maksud dan hikmah yang terkandung didalam tuntunan-tuntunan tersebut masih terbatas. Dari sini dapat diketahui bahwa akhlak yang berisi tuntunan-tuntunan perilaku muslim, ternyata tidak hanya sebagai “makanan siap saji” yang langsung dapat dimakan tanpa perlu dikaji dan dipikirkan, bahan-bahan apa yang terkandung di dalamnya, apakah makanan tersebut sesuai dengan kondisi tubuhnya dan tidak membawa kemudharatan bagi kesehatannya.
Oleh sebab itu, akhlak, sebagai produk siap jadi, ternyata masih perlu dipikirkan kembali, dikaji ulang dan dipahami maksud-maksud yang terkandung didalamnya. Di sini, filsafat akhlak dan moral menjadi penting untuk dikaji kembali. Bukan untuk meruntuhkan tatanan yang sudah ada, tetapi untuk mengoreksi kembali agar tuntunan tersebutlebihterasabermakna.
Dalam sebuah “Temu ramah masyarakat NU Sumatera Utara” yang diadakan di Medan, Masdar F. Mas’udi, pernah menjelaskan perihal memelihara jenggot. Menurutnya, bahwa Nabi saw., menyuruh umat Islam memelihara jenggot supaya seorang muslim kelihatan berwibawa sehingga dengan jenggot yang lebat, orang-orang non muslim akan menaruh wibawa dan hormat kepadanya. Tetapi perintah ini kurang cocok untuk orang ras melayu (khususnya orang Indonesia rata-rata bertubuh kecil dan tidak berbulu lebat), karena bila seorang melayu memelihara jenggot yang tidak lebat (alias jenggotnya hanya tujuh lembar), maka hal itu tidak akan menimbulkan kewibawaan baginya, malahan bagi orang yang melihatnya akan menjadi sesuatu yang lucu dan konyol. Begitu kata Masdar.
Contoh di atas terkait dengan permasalah etika atau filsafat akhlak, yaitu bagaimana kita dapat menemukan dan memandang nilai-nilai yang baik bagi kehidupan. Sebagai salah satu cabang ilmu filsafat, etika mulai dibicarakan oleh para filosof Yunani hingga ke abad modern ini. Adalah Sokrates filosof yang pertama kali mengemukakan; untuk apa sebenarnya manusia hidup, bagaimana sebenarnya manusia harus bersikap dalam memandang diri dan kehidupannya, dan memandang nilai-nilai yang harus dijalankan dalam kehidupan ini agar melahirkan konsep-konsep yang dapat diwujudkan dalam kehidupan praktis. Dari sini, tradisi etika pun berlanjut hingga menjadi pembahasan yang tidak luput dari kajian para filosof muslim klasik dengan mengembangkan konsep-konsep etika warisan Yunani dengan prinsip-prinsip utama yang ada dalam ajaran Islam.
Secara defenisi, etika atau lazimnya disebut filsafat moral adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.[2] Etika juga merupakan kebiasaan moral dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah laku dan adat istiadat.[3] Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus terhadap defenisi konsep-konsep etika, justifikasi atau penilaian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan yang baik dan buruk.
Dalam agama Islam, konsep-konsep moral, keagamaan dan prilaku individu dan sosial sebenarnya telah terdapat pada teks-teks suci, namun tidak berisi teori-teori etika dalam bentuk baku walaupun ia membentuk keseluruhan ethos Islam. Jadi bagaimana cara mengeluarkan nilai-nilai tersebut menjadi sangat penting dalam studi etika Islam. Oleh karenanya, para teolog dan filosof mengambil posisi masing-masing dalam menggali otoritas al-Qur’an untuk mendukung pernyataan teoritis mereka dalam mengambil nilai-nilai yang terdapat dalam wahyu.
Para filosof muslim awal dalam kajiannya mengenai etika apakah Neo-Platonis seperti al-Farabi, Aristotelian seperti Ibnu Rusyd, atau Platonis seperti Abu Bakar al-Razi, berada dalam posisi yang berbeda dengan para teolog yang berangkat dari teks wahyu. Sekalipun mereka tidak bodoh atau secara sengaja menyangkal otoritas al-Qur’an, namun mereka setia terhadap kaidah-kaidah dalil filsafat yang telah diwariskan oleh filsafat Yunani. Pembahasan etika filosof-filosof muslim tersebut sering dihiasi dengan dalil-dalil al-Qur’an seperti cara-cara penulis muslim umumnya, akan tetapi dikhususkan pada diktum-diktum yang memperkuat kesimpulan mereka. Jadi untuk membedakan antara keduanya, bagi para teolog teks suci merupakan dasar kebenaran utama, sedangkan bagi para filosof adalah akal.[4]
Secara fisik, manusia ada yang sehat dan ada juga yang cacat, ada yang buta, tuli, lumpuh, dan kekurangan-kekurangan lainnya yang bersifat jasmaniah. Tetapi dapatkah kita menyebutkan bahwa kekurangan-kekurangan jasmaniah tersebut juga menunjukkan adanya kekurangan dalam segi rohani dan kepribadiannya. Sokrates, misalnya, seorang filosof Yunani kenamaan, yang kadang disejajarkan dengan nabi, adalah orang yang amat buruk rupa. Tetapi, keburukan ini tidak dianggap cacat. Atau Abu al-‘Ala Mu’arra dan Thaha Husain, yang hidup di masa sekarang adalah para tunanetra.[1] Apakah perilaku mereka juga seburuk penampilannya, ataukah mereka memiliki cacat kepribadian?. Adalah salah bila menganggap rohani tergantung pada jasmani. Setiap manusia yang berpenampilan baik dalam segi jasmaniahnya belum dapat dipastikan memiliki tingkah laku atau perangai yang baik. hal di atas menunjukkan bahwa penilaian seseorang itu tidak bergantung pada segi jasmaninya.
Dalam kehidupan ini, kita sering tertipu dengan orang-orang yang berpenampilan baik sehingga kita menganggap dan menamainya sebagai orang baik. Di televisi dan media massa lainnya, pernah disebutkan: seorang guru mengaji yang sampai tega “mencabuli” murid-murid perempuannya yang masih kecil, atau seorang oknum aparat yang terlibat kasus perampokan, dan pejabat-pejabat yang merupakan “panutan masyarakat” terlibat kasus korupsi dan kolusi, serta contoh-contoh lainnya.
Jika dipersempit masalahnya kedalam masyarakat Islam, dan kita sebutkan saja pelaku-pelaku tindakan di atas adalah muslim, maka muncul pertanyaan: apakah pelaku tersebut tidak paham bahwa Islam telah mengajarkan tuntunan-tuntunan yang disebut ilmu akhlak?, jika ia mengerti bahwa dalam Islam ada ajaran akhlak, lantas mengapa ia masih tetap melakukan tindakan yang buruk tersebut?.
Berdasarkan hal di atas, maka permasalahannya dapat dibagi menjadi dua: Pertama bahwa ia memang tidak paham akan perilaku-perilaku yang sesuai dengan tuntunan akhlak islami. Kedua, ia mengetahuinya, tetapi tidak mengamalkannya dikarenakan pemahamannya tentang maksud dan hikmah yang terkandung didalam tuntunan-tuntunan tersebut masih terbatas. Dari sini dapat diketahui bahwa akhlak yang berisi tuntunan-tuntunan perilaku muslim, ternyata tidak hanya sebagai “makanan siap saji” yang langsung dapat dimakan tanpa perlu dikaji dan dipikirkan, bahan-bahan apa yang terkandung di dalamnya, apakah makanan tersebut sesuai dengan kondisi tubuhnya dan tidak membawa kemudharatan bagi kesehatannya.
Oleh sebab itu, akhlak, sebagai produk siap jadi, ternyata masih perlu dipikirkan kembali, dikaji ulang dan dipahami maksud-maksud yang terkandung didalamnya. Di sini, filsafat akhlak dan moral menjadi penting untuk dikaji kembali. Bukan untuk meruntuhkan tatanan yang sudah ada, tetapi untuk mengoreksi kembali agar tuntunan tersebutlebihterasabermakna.
Dalam sebuah “Temu ramah masyarakat NU Sumatera Utara” yang diadakan di Medan, Masdar F. Mas’udi, pernah menjelaskan perihal memelihara jenggot. Menurutnya, bahwa Nabi saw., menyuruh umat Islam memelihara jenggot supaya seorang muslim kelihatan berwibawa sehingga dengan jenggot yang lebat, orang-orang non muslim akan menaruh wibawa dan hormat kepadanya. Tetapi perintah ini kurang cocok untuk orang ras melayu (khususnya orang Indonesia rata-rata bertubuh kecil dan tidak berbulu lebat), karena bila seorang melayu memelihara jenggot yang tidak lebat (alias jenggotnya hanya tujuh lembar), maka hal itu tidak akan menimbulkan kewibawaan baginya, malahan bagi orang yang melihatnya akan menjadi sesuatu yang lucu dan konyol. Begitu kata Masdar.
Contoh di atas terkait dengan permasalah etika atau filsafat akhlak, yaitu bagaimana kita dapat menemukan dan memandang nilai-nilai yang baik bagi kehidupan. Sebagai salah satu cabang ilmu filsafat, etika mulai dibicarakan oleh para filosof Yunani hingga ke abad modern ini. Adalah Sokrates filosof yang pertama kali mengemukakan; untuk apa sebenarnya manusia hidup, bagaimana sebenarnya manusia harus bersikap dalam memandang diri dan kehidupannya, dan memandang nilai-nilai yang harus dijalankan dalam kehidupan ini agar melahirkan konsep-konsep yang dapat diwujudkan dalam kehidupan praktis. Dari sini, tradisi etika pun berlanjut hingga menjadi pembahasan yang tidak luput dari kajian para filosof muslim klasik dengan mengembangkan konsep-konsep etika warisan Yunani dengan prinsip-prinsip utama yang ada dalam ajaran Islam.
Secara defenisi, etika atau lazimnya disebut filsafat moral adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.[2] Etika juga merupakan kebiasaan moral dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah laku dan adat istiadat.[3] Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus terhadap defenisi konsep-konsep etika, justifikasi atau penilaian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan yang baik dan buruk.
Dalam agama Islam, konsep-konsep moral, keagamaan dan prilaku individu dan sosial sebenarnya telah terdapat pada teks-teks suci, namun tidak berisi teori-teori etika dalam bentuk baku walaupun ia membentuk keseluruhan ethos Islam. Jadi bagaimana cara mengeluarkan nilai-nilai tersebut menjadi sangat penting dalam studi etika Islam. Oleh karenanya, para teolog dan filosof mengambil posisi masing-masing dalam menggali otoritas al-Qur’an untuk mendukung pernyataan teoritis mereka dalam mengambil nilai-nilai yang terdapat dalam wahyu.
Para filosof muslim awal dalam kajiannya mengenai etika apakah Neo-Platonis seperti al-Farabi, Aristotelian seperti Ibnu Rusyd, atau Platonis seperti Abu Bakar al-Razi, berada dalam posisi yang berbeda dengan para teolog yang berangkat dari teks wahyu. Sekalipun mereka tidak bodoh atau secara sengaja menyangkal otoritas al-Qur’an, namun mereka setia terhadap kaidah-kaidah dalil filsafat yang telah diwariskan oleh filsafat Yunani. Pembahasan etika filosof-filosof muslim tersebut sering dihiasi dengan dalil-dalil al-Qur’an seperti cara-cara penulis muslim umumnya, akan tetapi dikhususkan pada diktum-diktum yang memperkuat kesimpulan mereka. Jadi untuk membedakan antara keduanya, bagi para teolog teks suci merupakan dasar kebenaran utama, sedangkan bagi para filosof adalah akal.[4]
B.
Pe,bahasan etika, moral dan akhlak.
1.
Etika.
Etika
merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti: adat
istiadat.[5] Sebagai cabang dari filsafat, maka etika berangkat dari kesimpulan
logis dan rasio guna untuk menetapkan ukuran yang sama dan disepakati mengenai
sesuatu perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah dan
pantas atautidakpantasuntukdikerjakan.
Di dalam New Masters Pictorial encyclopaedia dikatakan: ethichs is science of moral philosophy concerned not with fact, but with values; not with caracter of, but the ideal of human conduct.[6] (Etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapitentangidenya).
Sebagian orang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat dengan ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran atau kriteria yang berlainan. Setiap golongan mempunyai konsepsi sendiri-sendiri.[7]
Di dalam New Masters Pictorial encyclopaedia dikatakan: ethichs is science of moral philosophy concerned not with fact, but with values; not with caracter of, but the ideal of human conduct.[6] (Etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapitentangidenya).
Sebagian orang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat dengan ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran atau kriteria yang berlainan. Setiap golongan mempunyai konsepsi sendiri-sendiri.[7]
2.
akhlak,
berasal
dari bahasa Arab jama’ dari khuluqun yang menurut lughat diartikan budi
pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Kata tersebut mengandung segi-segi
keterkaitan dengan perkataan khalqun yang berarti kejadian, serta erat
hubungannya dengan khaliq yang berarti pencipta, dan makhluq yang berarti
diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan
adanya hubungan baik antara khalik dengan makhluk dan makhluk dengan makhluk.[8]
3.
moral berasal dari bahasa Latin mores kata jamak dari mos yang
berarti adat istiadat. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan arti
susila. Yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide umum yang
diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Jadi sesuai dengan
ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima dalam lingkungan tertentu dan
sudah terlembagakandalamsuatumasyarakat.
Ketiga istilah di atas merupakan istilah-istilah yang banyak dipakai untuk mengungkapkan makna yang serupa atau hampir sama. Para peneliti etika secara sadar banyak menyebutkan etika sebagai moral atau juga akhlak. Filsafat moral disebut juga filsafat akhlak dan sebagainya. Istilah-istilah di atas yang maknanya disamaratakan pada dasarnya tetap memiliki perbedaan, karena dalam segi semantik dapat diketahui bahwa setiap kata pada dasarnya memiliki karakteristik arti atau makna tersendiri yang membedakannya dengan kata lainnya. Karena apabila ada dua kata atau lebih, memiliki makna sama maka akan ada pemubazirandalamberbahasa.
Untuk dapat membedakannya maka dapat diketahui bahwa etika menetapkan ukuran sesuatu bertitik tolak dari akal fikiran, tidak dari agama. Di sini letak perbedaannya dengan akhlak dalam pandangan Islam. Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ajaran etika Islam sesuai dengan fitrah akal dan fikiran yang lurus. Sementara perbedaannya antara moral dan etika, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyakbersifatpraktis.
Ketiga istilah di atas merupakan istilah-istilah yang banyak dipakai untuk mengungkapkan makna yang serupa atau hampir sama. Para peneliti etika secara sadar banyak menyebutkan etika sebagai moral atau juga akhlak. Filsafat moral disebut juga filsafat akhlak dan sebagainya. Istilah-istilah di atas yang maknanya disamaratakan pada dasarnya tetap memiliki perbedaan, karena dalam segi semantik dapat diketahui bahwa setiap kata pada dasarnya memiliki karakteristik arti atau makna tersendiri yang membedakannya dengan kata lainnya. Karena apabila ada dua kata atau lebih, memiliki makna sama maka akan ada pemubazirandalamberbahasa.
Untuk dapat membedakannya maka dapat diketahui bahwa etika menetapkan ukuran sesuatu bertitik tolak dari akal fikiran, tidak dari agama. Di sini letak perbedaannya dengan akhlak dalam pandangan Islam. Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ajaran etika Islam sesuai dengan fitrah akal dan fikiran yang lurus. Sementara perbedaannya antara moral dan etika, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyakbersifatpraktis.
a.
Jika kita boleh menarik garis batas antara moral dan etika, maka
moral adalah aturan-aturan normatif (dalam bahasa agama Islam disebut akhlak)
yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan
waktu. Penerapan tata moral dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat
tertentu menjadi bidang kajian antropologi, sedang etika adalah bidang kajian
filsafat. Realitas moral dalam kehidupan masyarakat yang terjernihkan lewat
studi kritis (critical studies) adalah wilayah yang dibidangi oleh etika. Jadi
studi kritis terhadap moralitas menjadi wilayah etika, sehingga moral tidak
lain adalah objek material daripada etika.[9]
Berbeda dari etika (filsafat moral), maka akhlak lebih dimaksudkan sebagai suatu ‘paket’ atau ‘produk jadi’ yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, tanpa perlu mempertanyakan dan menyelidiki secara kritis terlebih dahulu.
Berbeda dari etika (filsafat moral), maka akhlak lebih dimaksudkan sebagai suatu ‘paket’ atau ‘produk jadi’ yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, tanpa perlu mempertanyakan dan menyelidiki secara kritis terlebih dahulu.
b.
Akhlak atau moralitas adalah merupakan seperangkat tata nilai yang
‘sudah jadi’ dan ‘siap pakai’ tanpa dibarengi, bahkan menghindari studi kritis.
Sedangkan etika justru sebaliknya, bertugas untuk mempertanyakan secara kritis
rumusan-rumusan masa lalu yang sudah menggumpal dan mengkristal
dalamlapisanmasyarakat.[10]
Dalam bahasa Indonesia, selain menyerap istilah etika, moral dan akhlak, juga digunakan beberapa perkataan yang makna dan tujuannya sama atau hampir sama, yaitu tata susila, kesusilaan, budi pekerti, sopan santun, adab, perangai dan tingkah laku atau kelakuan.
Dalam bahasa Indonesia, selain menyerap istilah etika, moral dan akhlak, juga digunakan beberapa perkataan yang makna dan tujuannya sama atau hampir sama, yaitu tata susila, kesusilaan, budi pekerti, sopan santun, adab, perangai dan tingkah laku atau kelakuan.
C.
Etika dalam Al-Qur’an.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal bahwa al-Qur’an berisi
nilai-nilai ethos yang akhirnya membentuk sistem etika Islam. Namun tidak dalam
bentuk baku, karena teks-teks suci tersebut memuat banyak penafsiran. Term-term
dalam al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah etika akan menjadi fokus
pembahasan ini. Tentunya tidak semuanya dapat diuraikan. Ada beberapa hal yang
dianggap paling menyentuh dalam konsep etika seperti penggunaan kata al-khayr,
al-birrr, al-qisth, al-ma’ruf, dan beberapa kata lainnya akan dapat dijumpai
dalam al-Qur’an dan menjadi dasar-dasar pembentukanetikaIslam.
Dalam ajaran Islam, penggunaan kata-kata di atas menunjukkan bahwa konsep utama dalam al-Qur’an adalah benar-benar berasal dari konsep Tuhan yang maha adil, dan bahwa dalam lingkungan etika manusia setiap konsep sucinya hanyalah refleksi yang suram—atau imitasi yang sangat tidak sempurna—dari sifat ketuhanan itu sendiri, atau yang mengacu kepada respon khusus yang diperoleh dari perbuatan-perbuatan ketuhanan.[11] Di sini, seorang muslim dituntut untuk sebisa mungkin meniru sikap etis Tuhan, karena pada kenyataannya Tuhan merupakan sumber dari segala yang etis sebagaimana yang tertera dalam teks suci al-Qur’an.
Banyak para ahli merasa kesulitan dalam mengelompokkan kata-kata dalam al-Qur’an berkaitan dengan konsep moral dan etika religius, seperti: al-khayr, al-birr, al-qisth, al-iqsath, al-‘adl, al-haqq, al-ma’ruf dan al-taqwa. Perbuatan-perbuatan yang baik biasa disebut shalihat, sedangkan perbuatan yang buruk disebut sayyiat. Perbuatan sayyiat secara umum disebut itsm atau wizr yaitu dosa atau kejahatan yang artiasalnyaadalahbeban.[12]
Term-term di atas menjadi dasar umat Islam terhadap pengembangan konsep-konsep moral, yang disebut sebagai “moralitas skriptual”. Bentuk-bentuk pengamalan terhadap term-term tersebut juga dijelaskan dalam al-Qur’an serta masing-masing memiliki akibatnya. Perbuatan-perbuatan shalihat akan membawa manusia kepada konsekuensi yang baik bagi pelakunya dan perbuatan-perbuatan sayyiat juga akan membawa pelakunya terhadap akibat yang dapat merugikan dan membebani dirinya sendiri.
Dalam ajaran Islam, penggunaan kata-kata di atas menunjukkan bahwa konsep utama dalam al-Qur’an adalah benar-benar berasal dari konsep Tuhan yang maha adil, dan bahwa dalam lingkungan etika manusia setiap konsep sucinya hanyalah refleksi yang suram—atau imitasi yang sangat tidak sempurna—dari sifat ketuhanan itu sendiri, atau yang mengacu kepada respon khusus yang diperoleh dari perbuatan-perbuatan ketuhanan.[11] Di sini, seorang muslim dituntut untuk sebisa mungkin meniru sikap etis Tuhan, karena pada kenyataannya Tuhan merupakan sumber dari segala yang etis sebagaimana yang tertera dalam teks suci al-Qur’an.
Banyak para ahli merasa kesulitan dalam mengelompokkan kata-kata dalam al-Qur’an berkaitan dengan konsep moral dan etika religius, seperti: al-khayr, al-birr, al-qisth, al-iqsath, al-‘adl, al-haqq, al-ma’ruf dan al-taqwa. Perbuatan-perbuatan yang baik biasa disebut shalihat, sedangkan perbuatan yang buruk disebut sayyiat. Perbuatan sayyiat secara umum disebut itsm atau wizr yaitu dosa atau kejahatan yang artiasalnyaadalahbeban.[12]
Term-term di atas menjadi dasar umat Islam terhadap pengembangan konsep-konsep moral, yang disebut sebagai “moralitas skriptual”. Bentuk-bentuk pengamalan terhadap term-term tersebut juga dijelaskan dalam al-Qur’an serta masing-masing memiliki akibatnya. Perbuatan-perbuatan shalihat akan membawa manusia kepada konsekuensi yang baik bagi pelakunya dan perbuatan-perbuatan sayyiat juga akan membawa pelakunya terhadap akibat yang dapat merugikan dan membebani dirinya sendiri.
D.
Masalah dalam etika.
Sebelum masuk kedalam pembahasan atau permasalahan yang berkaitan
dengan etika, maka perlu diketahui tipe atau karakteristik yang dapat
memungkinkan kita melihat konsep-konsep pemikiran para pemikir muslim berkaitan
dengan konsep etika. Madjid Fakhry menjelaskan karakteristik etika Islam dengan
membaginya ke dalam dua tipe, yaitu: etika teologis dan etika filosofis.
Tipe etika teologis di dalamnya terdapat tiga aliran besar:
Tipe etika teologis di dalamnya terdapat tiga aliran besar:
1.
aliran rasional yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Qadariah dan
Mu’tazilah,
2.
semi rasionalis dan voluntaris yang didirikan oleh Abu Hasan
al-Asy’ari yang cenderung lebih tunduk terhadap terhadap otoritas kitab suci
daripada kaidah-kaidah rasional. Penganut aliran ini adalah al-Baqilaini,
al-Baghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali dan Fakhr al-din al-Razi.
3.
anti rasionalis (zahiriyah), yang mengharuskan agar kitab suci
sebagai sumber pokok kebenaran diinterpretasikan secara harfiah. Tokoh-tokohnya
di antaranya IbnuHazmdanIbnuTaimiyah.
Sedangkan etika filosofis pada awalnya dipengaruhi aliran-aliran filsafat Yunani. Karya-karya moral yang mula-mula ditulis oleh al-Kindi dan al-Razi mencerminkan pengaruh filsafat Plato dan Sokrates seperti yang dibentuk oleh pemikiran Cynic dan Stoa. Dalam tulisan-tulisan para filosof seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan Yahya ibn ‘Adi, pengaruh Platonisme lebih terasa dalam tulisan-tulisan mereka dan dimensi politik mulai tampak pada masa ini, di mana sebelumnya tidak ada. Di dalam karya etika Miskawaih, Platonisme berperan sebagai dasar pijakan elaborasi sistem etika di mana di dalamnya tali-tali Aristotelian, Neo Platonisme dan Stoa saling bertemu, yang mungkin di bawah pengaruh komentar Porphiry yang salah mengenai karya Aristotelas Nicomachean ethics yang terkenal berasal dari sumber-sumber Arab. Akan tetapi di sini pulalah dimensi politik menjadi berkurang. Dimensi politik muncul kembali secara penuh dalam tulisan-tulisan Nasr al-Din al-Tusi yang menggambarkan jauh lebih baik mengenai kesatuan organis antara politik dan etika daripada pendahulunya.[13]
Sejauh yang dapat diketahui mengenai pokok-pokok pembahasan etika, di bawah ini akan dapat dilihat beberapa pandangan pemikir muslim—khususnya para filosof—dalam beberapa hal seperti masalah jiwa, tingkah laku (akhlak), kebaikandankeburukan.
Sedangkan etika filosofis pada awalnya dipengaruhi aliran-aliran filsafat Yunani. Karya-karya moral yang mula-mula ditulis oleh al-Kindi dan al-Razi mencerminkan pengaruh filsafat Plato dan Sokrates seperti yang dibentuk oleh pemikiran Cynic dan Stoa. Dalam tulisan-tulisan para filosof seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan Yahya ibn ‘Adi, pengaruh Platonisme lebih terasa dalam tulisan-tulisan mereka dan dimensi politik mulai tampak pada masa ini, di mana sebelumnya tidak ada. Di dalam karya etika Miskawaih, Platonisme berperan sebagai dasar pijakan elaborasi sistem etika di mana di dalamnya tali-tali Aristotelian, Neo Platonisme dan Stoa saling bertemu, yang mungkin di bawah pengaruh komentar Porphiry yang salah mengenai karya Aristotelas Nicomachean ethics yang terkenal berasal dari sumber-sumber Arab. Akan tetapi di sini pulalah dimensi politik menjadi berkurang. Dimensi politik muncul kembali secara penuh dalam tulisan-tulisan Nasr al-Din al-Tusi yang menggambarkan jauh lebih baik mengenai kesatuan organis antara politik dan etika daripada pendahulunya.[13]
Sejauh yang dapat diketahui mengenai pokok-pokok pembahasan etika, di bawah ini akan dapat dilihat beberapa pandangan pemikir muslim—khususnya para filosof—dalam beberapa hal seperti masalah jiwa, tingkah laku (akhlak), kebaikandankeburukan.
E.
jiwa
Pembahasan tentang jiwa banyak diperbincangkan para filosof muslim dari masa klasik hingga modern. Sejak al-Kindi sampai Murtadha Muthahhari, persoalan jiwa masih menjadi perbincangan hangat. Ada yang menganggap jiwa sama dengan ruh atau nyawa, ada juga yang membedakannya, apakah jiwa juga berarti nafsu, apakah ia juga berarti akal, masing-masing ahli punya pendapat yang berbeda-beda karena dalam ajaran Islam masalah jiwa adalah rahasia Tuhan. Secara pasti manusia tidak mengetahui hakekat sebenarnya, manusia hanya mengetahui sedikit saja melalui informasi teks suci.[14]
Pembahasan tentang jiwa banyak diperbincangkan para filosof muslim dari masa klasik hingga modern. Sejak al-Kindi sampai Murtadha Muthahhari, persoalan jiwa masih menjadi perbincangan hangat. Ada yang menganggap jiwa sama dengan ruh atau nyawa, ada juga yang membedakannya, apakah jiwa juga berarti nafsu, apakah ia juga berarti akal, masing-masing ahli punya pendapat yang berbeda-beda karena dalam ajaran Islam masalah jiwa adalah rahasia Tuhan. Secara pasti manusia tidak mengetahui hakekat sebenarnya, manusia hanya mengetahui sedikit saja melalui informasi teks suci.[14]
Jiwa manusia merupakan rahasia Tuhan
yang terdapat pada hamba-Nya dan menjadi kebesaran Tuhan pada makhluk-Nya serta
teka teki kemanusiaan yang belum dapat dipecahkan dan barangkali tidak akan
bisa dipecahkan dengan memuaskan. Memang jiwa menjadi sumber pengetahuan
bermacam-macam dan tidak tebatas, tetapi belum lagi diketahui hakikatnya dengan
segala keyakinan. Jiwa menjadi sumber-sumber pikiran yang jelas, namun sebagian
besar pikiran-pikiran tentang jiwa diliputi oleh kegelapan dan kerahasiaan,
meskipun manusia sejak masa pertamanya sampai sekarang ini masih selalu
berusaha dan menyelidiki apa hakikatnya jiwa serta pertaliannya dengan badan.
Permasalahan jiwa dalam kajian etika berfokus pada pengenalan terhadap jiwa tersebut
sehingga digali potensi-potensinya untuk melahirkan kondisi jiwa yang baik dan
melahirkan perbuatan yang baik pula, sesuai dengan fitrah dan kemauan jiwa
kemanusiaan.
Para filosof muslim, hampir semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal dasar yang harus diketahui terlebih dahulu adalah pengetahuan tentang jiwa. Setiap tingkah laku atau perbuatan yang lahir merupakan cermin dari kondisi jiwanya. Perilaku yang baik akan lahir dari kondisi jiwa yang sehat, sedangkan perilaku yang buruk merupakan sebab dari kondisi jiwa yang buruk pula.
Para filosof muslim, hampir semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal dasar yang harus diketahui terlebih dahulu adalah pengetahuan tentang jiwa. Setiap tingkah laku atau perbuatan yang lahir merupakan cermin dari kondisi jiwanya. Perilaku yang baik akan lahir dari kondisi jiwa yang sehat, sedangkan perilaku yang buruk merupakan sebab dari kondisi jiwa yang buruk pula.
1.
Al-kindi menjelaskan, bahwa dalam diri manusia, terdapat ruh atau
jiwa yang mempunyai tiga daya atau kekuatan. Daya bernafsu yang berpusat di
perut, daya berani yang berpusat di dada, dan daya berfikir yang berpusat di
kepala. Daya berfikir inilah yang disebut akal.[15] Seseorang yang dapat
menguasai tiga daya tersebut dan dapat mengendalikannya ke arah yang baik maka
orang tersebut telah berhasil dalam mengaktualisasikan jiwa dalam kehidupannya.
Perhatian yang khusus terhadap masalah jiwa telah dilakukukan oleh Ibnu Sina, salah satu kitabnya yaitu Risalah al-Quwa al-Nafsiah telah membahas tentang kekuatan jiwa dengan tinjauan filsafat. Ia secara garis besar telah membagi segi-segi kejiwaan menjadi dua segi. Pertama, Segi fisika, yang membicarakan tentang macam-macam jiwa (jiwa tanam-tanaman, jiwa hewan, dan jiwa manusia), pembagian kebaikan-kebaikan,; jiwa manusia, indera dan lain-lain dan pembahasan-pembahasan lainnya yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya. Kedua, Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud haikikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.[16]
Perhatian yang khusus terhadap masalah jiwa telah dilakukukan oleh Ibnu Sina, salah satu kitabnya yaitu Risalah al-Quwa al-Nafsiah telah membahas tentang kekuatan jiwa dengan tinjauan filsafat. Ia secara garis besar telah membagi segi-segi kejiwaan menjadi dua segi. Pertama, Segi fisika, yang membicarakan tentang macam-macam jiwa (jiwa tanam-tanaman, jiwa hewan, dan jiwa manusia), pembagian kebaikan-kebaikan,; jiwa manusia, indera dan lain-lain dan pembahasan-pembahasan lainnya yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya. Kedua, Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud haikikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.[16]
2.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa jiwa itu dapat dilatih, dikuasai dan
diubah kepada akhlak yang mulia dan terpuji. Tiap sifat tumbih dari hati
manusia dan memancarkan akibatnya kepada anggotanya. Seseorang yang ingin
menulis bagus, pada mulanya harus memaksakan tangannya membiasakan menulis
bagus. Apabila kebiasaan ini sudah lama, maka paksaan tidak diperlukan lagi
karena digerakkan oleh jiwa dan hatinya.[17]
3.
Ibnu Miskawaih, seorang filosof muslim yang terkenal dengan
kitabnya Tahdzib al-Akhlak menjelaskan bahwa jiwa adalah sesuatu yang bukan
tubuh, bukan pula bagian dari tubuh dan juga bukan materi (‘aradh). Jika “jiwa”
tersebut semakin jauh dari hal-hal jasadi, maka jiwa semakin sempurna, apabila
jiwa bebas dari indera, maka jiwa semakin kuat dan sempurna serta semakin mampu
menilai yang benar dan menangkap ma’qulat yang simpel. Inilah dalil terjelas
bahwa tabiat dan subtansi jiwa ini berbeda dengan tabiat wadah kasar, dan bahwa
jiwa merupakan subtansi yang lebih mulia dan memiliki tabiat yang lebih tinggi
daripada semua benda yang ada di alam ini.[18]
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa jiwa terdiri dari tiga fakultas atau bagian: fakultas yang berkaitan dengan berfikir, melihat dan mempertimbangkan realitas segala sesuatu; fakultas yang terungkapkan dalam marah, berani, khususnya berani menghadapi bahaya, dan ingin berkuasa, menghargai diri dan menginginkan bermacam-macam kehormatan; fakultas yang membuat kita memiliki nafsu syahwat dan makan, keinginan pada nikmatnya makanan dan minuman, senggama, dan ditambah kenikmatan-kenikmatan inderawi lainnya. Ketiga fakultas ini berbeda satu dari yang lainnya. Hal ini bisa diketahui dari kenyataan terlalu berkembangnya salah satu dari ketiga fakultas itu, dan merusak yang lainnya. Salah satu dari ketiganya dapat meniadakan tindakan-tindakan dari yang lain, atau terkadang dianggap sebagai tiga jiwa, dan terkadang sebagai tiga fakultas dari satu jiwa.
Fakultas berfikir (al-quwwah al-natiqah) disebut fakultas raja, sedangkan organ tubuh yang digunakannya adalah otak. Fakultas nafsu syahwiyah disebut fakultas binatang, dan organ tubuh yang digunakan adalah hati. Adapun fakultas amarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) disebut fakultas binatang buas, dan organ tubuh yang dipergunakan disebut jantung.[19]
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa jiwa terdiri dari tiga fakultas atau bagian: fakultas yang berkaitan dengan berfikir, melihat dan mempertimbangkan realitas segala sesuatu; fakultas yang terungkapkan dalam marah, berani, khususnya berani menghadapi bahaya, dan ingin berkuasa, menghargai diri dan menginginkan bermacam-macam kehormatan; fakultas yang membuat kita memiliki nafsu syahwat dan makan, keinginan pada nikmatnya makanan dan minuman, senggama, dan ditambah kenikmatan-kenikmatan inderawi lainnya. Ketiga fakultas ini berbeda satu dari yang lainnya. Hal ini bisa diketahui dari kenyataan terlalu berkembangnya salah satu dari ketiga fakultas itu, dan merusak yang lainnya. Salah satu dari ketiganya dapat meniadakan tindakan-tindakan dari yang lain, atau terkadang dianggap sebagai tiga jiwa, dan terkadang sebagai tiga fakultas dari satu jiwa.
Fakultas berfikir (al-quwwah al-natiqah) disebut fakultas raja, sedangkan organ tubuh yang digunakannya adalah otak. Fakultas nafsu syahwiyah disebut fakultas binatang, dan organ tubuh yang digunakan adalah hati. Adapun fakultas amarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) disebut fakultas binatang buas, dan organ tubuh yang dipergunakan disebut jantung.[19]
F.
akhlak.
Pemikir muslim yang intens terhadap pembahasan akhlak adalah Al-Ghazali. Teori-teori etikanya terdapat dalam kitab Mizan al-‘Amal dan dalam karya etika religiusnya Ihya’ ‘Ulum al-Din. Dalam kitab-kitabnya ia menggambarkan bahwa tingkah laku seseorang adalah “lukisan batinnya” karena adanya pembiasaan-pembiasaan yang mewujud kepada prilaku atau akhlak. Ia menjelaskan bahwa kepribadian manusia pada dasarnya dapat menerima pembentukan, tetapi lebih cenderung kepada kebaikan daripada kejahatan. Jika kemudian diri manusia membiasakan yang jahat, maka menjadi jahatlah kelakuannya. Demikian juga sebaliknya jika membiasakan kebaikan, maka menjadi baiklah tingkah lakunya.[20]
Akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia. Apabila lahir tingkah laku yang indah dan terpuji maka dinamakan akhlak yang baik, dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji, dinamakanlah akhlak yang buruk. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa akhlak yang baik dapat mengadakan perimbangan antara tiga kekuatan dalam diri manusia, yaitu kekuatan berfikir, kekuatan hawa nafsu, dan kekuatan amarah.[21]
Pemikir muslim yang intens terhadap pembahasan akhlak adalah Al-Ghazali. Teori-teori etikanya terdapat dalam kitab Mizan al-‘Amal dan dalam karya etika religiusnya Ihya’ ‘Ulum al-Din. Dalam kitab-kitabnya ia menggambarkan bahwa tingkah laku seseorang adalah “lukisan batinnya” karena adanya pembiasaan-pembiasaan yang mewujud kepada prilaku atau akhlak. Ia menjelaskan bahwa kepribadian manusia pada dasarnya dapat menerima pembentukan, tetapi lebih cenderung kepada kebaikan daripada kejahatan. Jika kemudian diri manusia membiasakan yang jahat, maka menjadi jahatlah kelakuannya. Demikian juga sebaliknya jika membiasakan kebaikan, maka menjadi baiklah tingkah lakunya.[20]
Akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia. Apabila lahir tingkah laku yang indah dan terpuji maka dinamakan akhlak yang baik, dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji, dinamakanlah akhlak yang buruk. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa akhlak yang baik dapat mengadakan perimbangan antara tiga kekuatan dalam diri manusia, yaitu kekuatan berfikir, kekuatan hawa nafsu, dan kekuatan amarah.[21]
1.
Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa perbuatan manusia dapat
dibagi menjaditigajenis:
a. Perbuatan moral, yang di atas tingkat hewan.
b. perbuatan immoral, yang setingkat dengan hewan.
c. perbuatan antimoral, yang dibawah tingkat hewan.[22]
Apabila seseorang hanya memikirkan dirinya sendiri seperti hewan, ini bukan moral, tetapi immoral. Tetapi, kadang dalam sikapnya yang hanya memikirkan diri sendiri, ia mendapat penyakit mental, dan kemanusiaannya diperuntukkan bagi kehewanannya dan menjurus kepada pembunuhan diri. Sikap keserakahan, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, kezaliman, dan sikap-sikap buruk lainnya akan meruntuhkan perbuatan moral dan kemanusiaannya, sehingga manusia bisa jatuh kedalam perbuatan immoral dan antimoral.
a. Perbuatan moral, yang di atas tingkat hewan.
b. perbuatan immoral, yang setingkat dengan hewan.
c. perbuatan antimoral, yang dibawah tingkat hewan.[22]
Apabila seseorang hanya memikirkan dirinya sendiri seperti hewan, ini bukan moral, tetapi immoral. Tetapi, kadang dalam sikapnya yang hanya memikirkan diri sendiri, ia mendapat penyakit mental, dan kemanusiaannya diperuntukkan bagi kehewanannya dan menjurus kepada pembunuhan diri. Sikap keserakahan, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, kezaliman, dan sikap-sikap buruk lainnya akan meruntuhkan perbuatan moral dan kemanusiaannya, sehingga manusia bisa jatuh kedalam perbuatan immoral dan antimoral.
2.
Sementara Ibnu Bajjah[23] membagi perbuatan-perbuatan manusia
kepada dua bagian.
a.
perbuatan yang timbul dari motif-naluri dan hal-hal lain yang
berhubungan dengannya, baik dekat atau jauh.
b.
perbuatan yang timbul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang
bersih dan tinggi dan bagian ini disebut “perbuatan-perbuatan manusia.
Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan perbuatan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut, ia mengemukakan seseorang yang terantuk batu, kemudian ia luka-luka, lalu ia melempar batu itu. Kalau ia melemparnya dengan kesal karena batu itu telah melukainya, maka ini adalah perbuatan hewani yang didorong oleh naluri kehewanannya yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang mengganggunya.
Kalau melemparkannya agar batu itu tidak mengganggu orang lain, bukan karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak ada bersangkut paut dengan pelemparan tersebut, maka ini adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak, karena menurut Ibnu Bajjah, hanya orang yang bekerja di bawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada hubungannya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai perbuatannya dan bisa disebut orang langit, dan berhak dibicarakan oleh Ibnu Bajjah dalam bukunya.[24]
Setiap orang yang hendak menundukkan segi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam keadaan demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan, dan seorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, karena kekurangan ini timbul disebabakan ketundukannya kepada naluri.
Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan perbuatan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut, ia mengemukakan seseorang yang terantuk batu, kemudian ia luka-luka, lalu ia melempar batu itu. Kalau ia melemparnya dengan kesal karena batu itu telah melukainya, maka ini adalah perbuatan hewani yang didorong oleh naluri kehewanannya yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang mengganggunya.
Kalau melemparkannya agar batu itu tidak mengganggu orang lain, bukan karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak ada bersangkut paut dengan pelemparan tersebut, maka ini adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak, karena menurut Ibnu Bajjah, hanya orang yang bekerja di bawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada hubungannya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai perbuatannya dan bisa disebut orang langit, dan berhak dibicarakan oleh Ibnu Bajjah dalam bukunya.[24]
Setiap orang yang hendak menundukkan segi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam keadaan demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan, dan seorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, karena kekurangan ini timbul disebabakan ketundukannya kepada naluri.
G.
Dalam masalah baik dan buruk,
1.
Ibnu ‘Arabi
menggunakan
istilah cahaya dan kegelapan yang berasal dari kaum Zoroaster. Wujud positip
adalah sumber segala kebaikan dan wujud negatif merupakan basis dari semua
kejahatan. Sesuatu yang dianggap buruk karena satu atau beberapa alasan[25],
yaitu:
a.
karena satu atau lain agama memandangnya demikian.
b.
relatif terhadap prinsip etika atau standar kebiasaan yang disahkan
oleh kelompok masyarakat.
c.
karena hal-hal dan perbuatan itu bertentangan dengan temperamen individual
d.
karena hal-hal dan perbuatan itu tidak bisa memuaskan
keinginan-keinginan natural, moral atau intelektual dari suatu individu dan
sebagainya
e.
karena terdapat kekurangan atau kelemahan
Ada kategori buruk lainnya dari Ibnu
‘Arabi, yaitu kebodohan, kebohongan, ketidak harmonisan, ketidakteraturan,
ketidaksesuaian perangai, dosa dan kekafiran. Di dalam semua itu terdapat
kekurangan. Beberapa wujud atau kualitas positip yang apabila ditambahkan pada
hal-hal atau tindakan-tindakan yang kita golongkan buruk, akan berubah menjadi
baik. Tak ada yang buruk, semuanya baik. Dengan perkataan lain, apa yang
dinamakan buruk itu adalah realitas subyektif, bukan realitas obyektif. Bahkan
yang baik itupun apabila dipertentangkan dengan yang buruk akan menjadi
subyektif dan relatif. Satu-satunya kebaikan mutlak adalah wujud murni yaitu
Tuhan.
Ibnu ‘Arabi menjelaskan kerelatifan baik dan buruk dalam cara lain. Penilaian kita terhadap kebaikan dan keburukan dari hal-hal adalah relatif menurut pengetahuan kita. Kita katakan hal atau perbuatan itu buruk, oleh karena ketidaktahuan akan adanya baik yang tersembunyi di dalamnya. Setiap hal mempunyai aspek eksternal dan internal. Di dalam aspek internal terletak tujuan dari sang pencipta dan apabila kita awam terhadap tujuan seperti itu, kita cenderung mudah mengatakan hal itu sebagai yang buruk. Ibnu ‘Arabi mencontohkannya seperti makan obat. Di sini adalah suatu kasus buruk yang nampak, seperti rasa mual yang disebabkan oleh rasa obat itu di mana pasien mencaci obatnya sebagai buruk, karena pasien tidak mengetahuinya.[26]
Ibnu ‘Arabi menjelaskan kerelatifan baik dan buruk dalam cara lain. Penilaian kita terhadap kebaikan dan keburukan dari hal-hal adalah relatif menurut pengetahuan kita. Kita katakan hal atau perbuatan itu buruk, oleh karena ketidaktahuan akan adanya baik yang tersembunyi di dalamnya. Setiap hal mempunyai aspek eksternal dan internal. Di dalam aspek internal terletak tujuan dari sang pencipta dan apabila kita awam terhadap tujuan seperti itu, kita cenderung mudah mengatakan hal itu sebagai yang buruk. Ibnu ‘Arabi mencontohkannya seperti makan obat. Di sini adalah suatu kasus buruk yang nampak, seperti rasa mual yang disebabkan oleh rasa obat itu di mana pasien mencaci obatnya sebagai buruk, karena pasien tidak mengetahuinya.[26]
2.
ibnu Miskawaih
berpendapat
bahwa kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan
melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berkaitan dengan tujuan
diciptakannya manusia. Sedangkan keburukan merupakan penghambat manusia
mencapai kebaikan, di mana hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau
berupa kemalasan dan keengganan mencari kebaikan.[27]
Ia selanjutnya membagi jenis kebaikan pokok dan perbuatan jahat. jenis kebajikan pokok tersebut: kearifan, sederhana, berani, dermawan, dan adil. Sementara kebalikan dari perbuatan baik di atas adalah, bodoh, rakus, pengecut, danlalim.
Manusia berdasarkan perilakunya dapat dibagi menjadi tiga golongan. Bahwa ada manusia yang baik dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung kepada kejahatan, meski bagaimanapun, golongan ini tidak akan berubah dan akan tetap akan cenderung baik. Golongan ini merupakan minoritas. Golongan yang memang jahat asalnya adalah mayoritas, sama sekali tidak akan cenderung kepada kebaikan. Di antara golongan tersebut ada golongan yang dapat beralih kepada kebaikan dan kejahatan, karena pendidikan dan pengaruh lingkungan.[28]
Miskawaih tidak menjelaskan dengan rinci siapa orang-orang yang masuk dalam tiga kategori tersebut. Namun secara implisit, mungkin kita bisa mengatakan bahwa para nabi dan rasul serta orang-orang yang dimuliakan dan disucikan Allah, masuk dalam kategori yang pertama, yaitu golongan manusia yang awalnya baik dan tidak akan cenderung kepada kejahatan. Sementara golongan kedua dan ketiga merupakan kategori manusia awam dan umum.
Ia selanjutnya membagi jenis kebaikan pokok dan perbuatan jahat. jenis kebajikan pokok tersebut: kearifan, sederhana, berani, dermawan, dan adil. Sementara kebalikan dari perbuatan baik di atas adalah, bodoh, rakus, pengecut, danlalim.
Manusia berdasarkan perilakunya dapat dibagi menjadi tiga golongan. Bahwa ada manusia yang baik dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung kepada kejahatan, meski bagaimanapun, golongan ini tidak akan berubah dan akan tetap akan cenderung baik. Golongan ini merupakan minoritas. Golongan yang memang jahat asalnya adalah mayoritas, sama sekali tidak akan cenderung kepada kebaikan. Di antara golongan tersebut ada golongan yang dapat beralih kepada kebaikan dan kejahatan, karena pendidikan dan pengaruh lingkungan.[28]
Miskawaih tidak menjelaskan dengan rinci siapa orang-orang yang masuk dalam tiga kategori tersebut. Namun secara implisit, mungkin kita bisa mengatakan bahwa para nabi dan rasul serta orang-orang yang dimuliakan dan disucikan Allah, masuk dalam kategori yang pertama, yaitu golongan manusia yang awalnya baik dan tidak akan cenderung kepada kejahatan. Sementara golongan kedua dan ketiga merupakan kategori manusia awam dan umum.
KESIMPULAN
1. Etika adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.
2. Etika Islam merupakan pembahasan yang dikembangkan sebagai perpaduan antara etika Yunani dan etika yang ada dalam Islam yang berasal dari teks-teks suci. Perpaduan tersebut telah melahirkan sebuah bentuk baru dalam disiplin keilmuan yang disebut filsafat akhlak, di mana akhlak sebagai konsep-konsep praktis menjadi lebih tercerahkan dengan adanya kajian etika.
3. Para filosof muslim, hampir semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal dasar yang harus diketahui terlebih dahulu adalah pengetahuan tentang jiwa.
4. Akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia.
5. Kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berkaitan dengan tujuan diciptakannya manusia. Sedangkan keburukan merupakan penghambat manusia mencapai kebaikan, di mana hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganan mencari kebaikan.
1. Etika adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.
2. Etika Islam merupakan pembahasan yang dikembangkan sebagai perpaduan antara etika Yunani dan etika yang ada dalam Islam yang berasal dari teks-teks suci. Perpaduan tersebut telah melahirkan sebuah bentuk baru dalam disiplin keilmuan yang disebut filsafat akhlak, di mana akhlak sebagai konsep-konsep praktis menjadi lebih tercerahkan dengan adanya kajian etika.
3. Para filosof muslim, hampir semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal dasar yang harus diketahui terlebih dahulu adalah pengetahuan tentang jiwa.
4. Akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia.
5. Kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berkaitan dengan tujuan diciptakannya manusia. Sedangkan keburukan merupakan penghambat manusia mencapai kebaikan, di mana hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganan mencari kebaikan.
Footnote
------------------
[1] Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, terjemahan: M. Hashem, Lentera, Jakarta, 1994, h. 15
[2]Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. xv
[3] Richard G. Hovannisian (editor), Ethics In Islam, Undena Publications, California, 1985, h. 18
[4] Ibid., h. xvii
[5] Hamzah Ya’kub, Etika Islam, Diponegoro, Bandung, 1996, h. 13
[6] Lewis Mulford Adam, New Masters Pictorial Encyclopaedia, A Subsidiary of Publishers, New York, 1965, h. 560
[7] Hamzah Ya’kub, Op cit.,
[8] Ibid., h. 11
[9] Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, h. 147
[10] Ibid.,
[11] Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Qur’an, terj. Mansurddin Djoely, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, h. 27-28
[12] Madjid, h. 2
[13] Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. xix
[14] Dalam al-Qur’an dikatakan jiwa (ruh/nafs-jiwa) menjadi sumber hidup dan diambil dari tuhan (lihat: QS. Shad: 71-72) dan bahwa jiwa itu merupakan rahasia Tuhan pada makhluknya, yang oleh karena itu jika manusia tidak bisa mengetahui hakekatnya, maka tidaklah mengherankan. (lihat: QS. al-Isra’: 85) al-Qur’an juga menginformasikan tentang “jiwa penegur” (al-nafs al-lawwamah) yang tidak suka kepada perbuatan-perbuatan rendah (QS. al-Qiyamah: 1-2) kemudian tentang tingkatan jiwa tertinggi, yaitu “jiwa yang tenang” (al-nafs al-muthmainnah) (QS. al-Fajr: 27) dan tempat kembali semua jiwa adalah Tuhan (QS. al-Zumar: 42). Ahmad Hanafi, Pengantar filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) h. 121
[15] Harun Nasution, Filsafat & mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, h. 18
[16] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, h. 126
[17] Hamzah Ya’kub, h. 92
[18] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terjemahan. Helmi Hidayat, Mizan, Bandung, 1997, h. 36
[19] Ibid., h. 43-44
[20] Hamzah Ya’kub., h. 91
[21] Ibid., h. 92
[22] Muthahhari., h. 85
[23] Ahmad Hanafi, h. 159
[24] Ibid.,
[25] A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terjemahan: Sjahrir Mawi, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1995, h. 215-217
[26] Ibid., h. 218
[27] Ibn Miskawaih., h. 40-41
[28] Hamzah Ya’kub., h. 90
------------------
[1] Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, terjemahan: M. Hashem, Lentera, Jakarta, 1994, h. 15
[2]Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. xv
[3] Richard G. Hovannisian (editor), Ethics In Islam, Undena Publications, California, 1985, h. 18
[4] Ibid., h. xvii
[5] Hamzah Ya’kub, Etika Islam, Diponegoro, Bandung, 1996, h. 13
[6] Lewis Mulford Adam, New Masters Pictorial Encyclopaedia, A Subsidiary of Publishers, New York, 1965, h. 560
[7] Hamzah Ya’kub, Op cit.,
[8] Ibid., h. 11
[9] Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, h. 147
[10] Ibid.,
[11] Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Qur’an, terj. Mansurddin Djoely, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, h. 27-28
[12] Madjid, h. 2
[13] Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. xix
[14] Dalam al-Qur’an dikatakan jiwa (ruh/nafs-jiwa) menjadi sumber hidup dan diambil dari tuhan (lihat: QS. Shad: 71-72) dan bahwa jiwa itu merupakan rahasia Tuhan pada makhluknya, yang oleh karena itu jika manusia tidak bisa mengetahui hakekatnya, maka tidaklah mengherankan. (lihat: QS. al-Isra’: 85) al-Qur’an juga menginformasikan tentang “jiwa penegur” (al-nafs al-lawwamah) yang tidak suka kepada perbuatan-perbuatan rendah (QS. al-Qiyamah: 1-2) kemudian tentang tingkatan jiwa tertinggi, yaitu “jiwa yang tenang” (al-nafs al-muthmainnah) (QS. al-Fajr: 27) dan tempat kembali semua jiwa adalah Tuhan (QS. al-Zumar: 42). Ahmad Hanafi, Pengantar filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) h. 121
[15] Harun Nasution, Filsafat & mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, h. 18
[16] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, h. 126
[17] Hamzah Ya’kub, h. 92
[18] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terjemahan. Helmi Hidayat, Mizan, Bandung, 1997, h. 36
[19] Ibid., h. 43-44
[20] Hamzah Ya’kub., h. 91
[21] Ibid., h. 92
[22] Muthahhari., h. 85
[23] Ahmad Hanafi, h. 159
[24] Ibid.,
[25] A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terjemahan: Sjahrir Mawi, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1995, h. 215-217
[26] Ibid., h. 218
[27] Ibn Miskawaih., h. 40-41
[28] Hamzah Ya’kub., h. 90
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...8
SEJARAH DAN HUBUNGAN ILMU AHLAK
A.
Definisi Ilmu Akhlak
1.
Menurut Ibnu Athir “Hakikat makna khuluq itu, ialah gambaran batin
manusia yang tepat (yaitu jiwa dan sifat - sifatnya), sedang khalqu merupakan
gambaran bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi rendahnya tubuh dan
lain sebagainya)”
2.
Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin memberikan definisi bahwa yang disebut
akhlak “adhatul - Iradah” atau kehendak yang dibiasakan.
3.
Menurut Prof. KH. Farid Ma’ruf membuat kesimpulan tentang definisi
akhlak ini sebagai berikut “kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan
dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih
dahulu”
4.
Menurut Dr. M Abdullah Dirroz, mengemukakan definisi akhlak sebagai
berikut “akhlak adalah suatu kegiatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan
kehendak mana berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan yang benar
(dalam akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat).[1]
Berdasarkan pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang mempelajari kehendak manusia
yang biasa dilakukan dan menentukan baik buruknya seseorang.
B.
Objek Kajian Ilmu Akhlak
1.
Objek Material
Objek material suatu ilmu meliputi
semua gejala-gejala umum atau hal-hal pokok yang dipelajari atau diselidiki
oleh ilmu pengetahuan tersebut. Masalah pokok yang dipelajari oleh ilmu akhlak
adalah manusia dan perbuatannya. Jadi objek material ilmu akhlak adalah
perbuatan manusia.
2.
Objek Formal
Objek formal suatu ilmu adalah
kajian yang bersifat khusus atau spesifik dari ilmu tersebut. Objek formal ilmu
akhlak adalah perbuatan manusia ditinjau dari segi baik dan buruk.[2]
C.
Sejarah Kodifikasi Ilmu Akhlak
Dalam islam, kita ketahui bahwa nabi
Muhammad SAW adalah manusia dengan akhlak yang sempurna. Akan tetapi dalam hal
menggagas atau menulis akhlak dalam islam masih dalam perbincangan mengenai
tokoh yang pertamakali muncul. Berikut akan dikemukakan beberapa teori.
1.
Tokoh yang pertama kali menggagas ilmu akhlak ialah Ali bin Abi
Thalib. Ini berdasarkan sebuah risalah yang ditulisnya untuk putranya Al-Hasan,
setelah kepulangannya dari perang shiffin. Didalam risalah tersebut terdapat
banyak pelajaran akhlak dan berbagai keutamaan.
2.
Tokoh islam yang pertama kali menulis ilmu akhlak adalah Ismail bin
Mahran Abu An-Nasshr As-Saukani, ulama abad ke-2 H. beliau menuliskan kitab
akhlak yang pertama kali dikenal dalam islam.
3.
Pada abad ke-3 H, Ja’far bin Ahmad Al-Qummi menulis kitab
Al-Mani’AT MIN Dukhul Al-Jannah.
Tokoh-tokoh lain yang membicarakan
tentang akhlak adalah : Ar-Razy (250-313 H), Ali bin Ahmad alkufi pada abad
ke-4 H, Ibnu Maskawih pada abad ke-5, Waran bin Abi Alfawaris pada abad ke-6 H,
Syekh khawajah Nashir Ath-thusi pada abad ke-7H.[3]
D.
Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu lain
a.
Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf
Al- qur’an dan hadist menekankan
nilai - nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan,
keadilan, tolong menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka
dan sebagainya. Orang yang bertaqwa adalah orang yang berakhlak mulia dalam
diri mereka. Dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluk bi
akhlalaqillahyaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah
atau al-ittishaf bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat -
sifat yang dimiliki Allah.
Untuk tujuan ilmu tasawuf ini, ilmu
akhlak dapat membantu seseorang untuk menghilangkan berbagai kotoran hati yang
dapat menghalangi pemiliknya dari esensi ketuhanan. Dapat dikatakan bahwa
akhlak merupakan pintu gerbang ilmu tasawuf.[4]
b.
Hubungan Ilmu Akhlakdengan Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid sebagaiman dikemukakan
Harun Nasution mengandung arti sebagai ilmu yang membahas cara - cara
meng-Esakan Tuhan,sebagai salah satu sifat yang terpenting diantara sifat -
sifat Tuhan lainnya. Ilmu Tauhid itu pada intinya berkaitan dengan upaya
memahami dan meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat dan perbuatan-Nya.
Ilmu tauhid memberikan landasan
terhadap ilmu akhlak, sementara ilmu akhlak memberikan penjabaran dan
pengalaman dari ilmu tauhid. Dengan demikian, tauhid tanpa akhlak yang mulia
tidak akan ada artinya, dan akhlak yang mulia tanpa tauhid tidak akan kokoh.
c.
Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Jiwa.
Psikologi
adalah ilmu yang mempelajari berbagai hal yang berhubungan dengan keadaan jiwa.
Disamping itu, psikologi juga mempelajari masalah – masalah yang berhubungan
dengan kecerdasaan, bakat naluri, watak dan lain sebagainya.
Hubungan antara ilmu akhlak dengan
ilmu jiwa/ psikolog sangat erat dan saling berkait. Hanya saja, ilmu akhlak
memfokuskan pada nilai suatu perbuatan, sementara ilm jiwa lebih memfokuskan
kepada faktor – faktor yang mendorong lahirnya suatu perbuatan.
Dengan demikian ilmu akhlak sangat
membutuhkan ilmu jiwa, sebab dengan mengetahui faktor – faktor yang mendorong
terlahirnya suatu perbuatan akan memudahkan ilmu akhlak dalam mengarahkan
manusia untuk selalu berusaha berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruk.
d.
Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Pendidikan
Tujuan pendidikan dalam pandangan
islam banyak berhubungan dengan kualitas manusia yang berakhlak. Selain itu, terbentuknya
seorang hamba Allah yang patuh dan tunduk melaksanakan segala perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya serta memiliki sifat – sifat dan akhlak yang mulia
menjadi tujuan pendidikan dalam islam.
Dalam pelaksanaan pendidikan,
memerlukan banyak dukungan. Baik dari orang tua, guru, pimpinan serta tokoh
masyarakat dilingkungan. Dan ini semua bagian dari pelaksanaan pendidikan, yang
berarti pula tempat dilaksanakannya pendidikan akhlak.
Oleh karena itu, pendidikan budi
pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan islam. Mencapai suatu akhlak yang
sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan.
e.
Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Filsafat
Filsafat sebagaiman diketahui suatu
upaya berpikir mendalam atau sering diartikan sebagia cinta kebijaksanaan dalam
rangka menemukan inti mengenai segala sesuatu. Setiap manusia memiliki cara dan
pendekatan yang berbeda dalam menghadapi sesuatu. Dengan demikian ada metode
dan pendekatan yang berbeda dalam mengajarkan akhlak agar tepat sesuai dengan
tingkat dan daya tangkap seseorang.
Dalam pemikiran Ibn Khaldun, bahwa
manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud manakala
ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ini menunjukkan tentang perlunya
pembinaan manusia, termasuk dalam pembinaan akhlak.[5]
Pemikiran filsof tersebut akan
memberikan masukan yang berguna dalam merancang dan merencanakan tentang
cara-cara membina manusia yang berakhlak agar terciptanya kehidupan yang aman
dan damai.
FOOTNOTE
[1] Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia.
2014), Cet VI, hal 12,13, 14.
[2] Imam Suraji, Etika dalam perspektif al-qur’an dan
al-hadist, (Pekalongan: Stain press, 2013), hal 06
[3] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf(Bandung: Pustaka Setia,
2010), hal 59-60.
[4] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,(Bandung: Setia Pustaka,
2010), hal 42
[5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia,(Bandung:
Rajawali Pers, 2013) hal.17
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN YANG LAINNYA.
Sebelum melangkah lebih jauh
membahas materi, seyogyanya perlu dimengerti bahwa ahlak merupakan suatu sifat
yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan
mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan terlebih dahulu.[1]sedangkan
ilmu akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, dan menerangkan
apa yang harus diperbuat oleh sebagian manusia terhadap sesamanya dan
menjelaskan tujuan yang hendak dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka dan
menunjukkan yang lurus yang harus diperbuat.[2] Ilmu
Akhlak sering disamakan dengan ethika, namun diantara keduanya memiliki
perbedaan yaitu etika menentukan baik dan buruk perbuatan manusia dengan tolak
ukur akal pikiran, sedangkan ilmu akhlak menentukannya dengan tolak ukur ajaran
agama.[3] Dengan
demikian objek pembahasan ilmu akhlak berkaitan dengan norma atau penilaian
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang.
A.
Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf
Pada ahli ilmu tasawuf pada umumnya
membagi tasawuf menjadi tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, keduatasawuf
akhlaki dan ketiga tasawuf amali.Ketiga tasawuf ini tujuannya sama
yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari
perbuatan tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Ketiga macam
tasawuf ini memiliki perbedaan dalam hal pendekatan yang digunakan.[4]
Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu
tasawuf yaitu ketika mempelajari Tasawuf ternyata pula bahwa Al-Qur’an dan
Al-Hadits mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan Hadits menekankan kejujuran,
persaudaraan, keadilan, tolong menolong, murah hati, pemaaaf, sabar, baik
sangka, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berfikiran lurus,
nila-nilai ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim dan dimasukkan
kedalam dirinya sejak kecil.
Sebagaimana diketahui bahwa
dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena tasawuf itu pada hakikatnya
melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, dzikir, dan lain
sebagainya. Yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat
hubungannya dengan Akhlak.
B.
Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tauhid
Ilmu tauhid adalah ilmu ushuluddin,
ilmu pokok-pokok agama, yakni menyangkut aqidah dan keimanan, ilmu tauhid dapat
disebut juga dengan Ilmu kalam, yang merupakan disiplin ilmu ke Islaman yang
banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Pada
ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan
manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya.[5]sedangkan
ahlak yang baik menurut pandangan Islam haruslah berpijak pada keimanan. Iman
tidak sekedar cukup disimpan dalam hati. Melainkan harus dilahirkan dalam
perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal shaleh, barulah dikatakan iman itu
sempurna, karena telah dapat direalisir.[6]
Jelaslah bahwa akhlaqul karimah
adalah mata rantai iman. Sebagai contoh, malu (berbuat kejahatan) adalah salah
satu dari akhlakul mahmudah. Nabi dalam salah satu hadits menegaskan bahwa
“malu adalah salah satu cabang dari keimanan”.[7]
Sebaliknya akhlak yang dipandang
buruk adalah akhlak yang menyalahi prinsip-prinsip iman. Seterusnya sekalipun
manusia perbuatan pada lahirnya baik, tetapi titik tolaknya bukan karena iman
maka hal itu tidak mendapatkan penilaian disisi Allah. Demikianlah adanya
perbedaan nilai amal-amal baiknya orang beriman denganamal baiknya orang yang
tidak beriman.[8]
Hubungan antara Aqidah dan Akhlak
tercermin dalam pernyataan Rosulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah
r.a :
اَكْمَلُ
اْالمٌؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًااَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“orang mu’min yang sempurna imannya adalah yang terbaik budi
pekertinya”[9]
C.
Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu jiwa (psikologi)
Berbicara dalam hal relevansi dan
hubungan ilmu akhlak dengan ilmu psikologi sebenarnya merupakan bahasan yang
sangat strategis. Karena antara akhlak dengan ilmu psikologi memiliki hubungan
yang sangat kuat dimana, objek sasaran penyidikan psikologi adalah terletak
pada domain perasaan, khayal, paham, kamauan, ingatan, cinta dan kenikmatan.[10]Sedangkan
akhlak sangat menghajatkan apa yang dibicarakan oleh ilmu jiwa, bahkan ilmu
jiwa adalah pendahuluan tertentu bagi akhlak.[11]
Dengan lain perkataan, ilmu jiwa
sasarannya meneliti paranan yang dimainkan dalam perilaku manusia, karenanya
dia meneliti suara hati (dhamir), kamauan (iradah), daya ingatan, hafalan dan
pengertian, sangkaan yang ringan (waham) dan kecenderungan-kecenderungan
(wathif) manusia. Itu semua menjadi lapangan kerja jiwa, yang menggerakan
manusia untuk berbuat dan berkata. Oleh karena itu ilmu jiwa merupakan
muqaddimah yang pokok sebelum mengdakan kajian ilmu ahlak.[12]
Akhlak akan mempersoalkan apakah
jiwa mereka tersebut termasuk jiwa yang baik atau buruk. Dengan demikian,
menjadi jelas bahwa ahlak mempunyai hubungan dengan ilmu jiwa. Dimana ilmu
ahlak melihat dari segi apa yang sepatutnya dikerjakan manusia, sedangkan ilmu
jiwa meneropong dri segia apakah yang menyebabkan terjadi perbuatan itu.[13]
Pada masa akhir-akhir ini, terdapat
dalam ilmu jiwa suatu cabang yang disebut “ilmu jiwa masyarakat” (social
psychology). Ilmu ini menyelidiki akal manusia dari jurusan masyarakat. Yakni
menyelidiki soal bahasa dan bagaimana bekasnya terhadap akal, adat kebiasaan
suatu bangsa yang mudur dan bagaimana bekasnya terhadap akal, adat kebiasaan
suatu bangsa yang mundur dan bagaimana susunan masyarakat. Dan bagi cabang ini
memberi bekas yang langsung pada akhlak, melebihi dari ilmu jiwa perseorangan.[14]
D.
Hubungan ilmu ahlak dengan ilmu sosiologi (kemasyarakatan)
Secara etimologis sosiologi berasal
dari kata socius yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi sosiologi adalah
ilmu pengetahuan tentang berkawan atau di dalam arti luas adalah “ilmu
pengetahuan yang berobjek pada masalah hidup bermasyarakat”.[15] Mempelajari
masyarakat manusia yang pertama, dan bagaimana meningkat keatas, juga
menyelidiki tentang bahasa, agama, dan keluarga, dan bagaimana membentuk
undang-undang dan pemerintahan dan sebagainya. Mempelajari semua ini menolong
untuk memberi pengertian akan perbuatan manusia dan cara menentukan hukum baik
dan buruk.[16]
Hidup memasyarakat dapat dipahami
dalam pengertian yang luas, bisa dipahami dalam dimensi sempit. Masyarakat
dalam arti luas ialah kebulatan dari semua perhubungan didalam hidup
masyarakat. Sedangkan dalam arti sempit ialah suatu kelompok manusia yang
menjadi tempat hidup bermasyarakat, tidak semua aspeknya tetapi dalam berbagai
aspek yang bentuknya tidak tertentu. Masyarakat dalam arti sempit ini tidak
mempunyai arti tertentu, misalnya masyarakat mahasiswa, masyarakat pedagang,
masyarakat tani, dan lain-lain.[17]
Mempersoalkan hubungan antara ahlak
dengan ilmu sosiologi agaknya sangat signifikan karena ilmu ahlak membahas
tentang berbagai perilaku manusia yang ditimbulkan oleh kehendak, yang tidak
dapat terlepas dari kajian kehidupan kemasyarakatan yang menjadi kajian ilmu
sosiologi.[18] Demikianlah
karena manusia tidak dapat hidup kecuali bermasyarakat dan ia tetap menjadi
anggota masyarakat. Bukan menjadi kekuasaan kita untuk mengetahui keutamaan
seseorang dengan tidak mengetahui masyarakatnya, masyarakat mana yang dapat
membantu keutamaan atau merintanginya.[19]
E.
Hubungan ilmu ahlak dengan ilmu pendidikan
Antara ahlak dengan ilmu pendidikan
mempunyai hubungan yang sangat mendasar dalam hal teoritik dan pada tatanan
praktisnya. sebab, dunia pendidikan sangat besar sekali pengaruhnya terhadap
perubahan perilaku, ahlak seseorang. Berbagai ilmu diperkenalkan, agar siswa
memahaminya dan dapat melakukan suatu perubahan pada dirinya. Apabila
siswa diberi pelajaran “Ahlak”, pendidikan mengajarkan bagaimana seharusnya
manusia itu bertingkah laku, bersikap terhadap sesamanya dan penciptanya
(Tuhan).
Dengan demikian, posisi ilmu
pendidikan strategis sekali jika dijadikan pusat perubahan perilaku yang kurang
baik untuk diarahkan menuju perilaku yang baik. oleh karena itu, dibutuhkan
beberapa unsur dalam pendidikan untuk bisa dijadikan agen perubahan sikap dan
perilaku manusia. Dari tenaga pendidik (pengajar) misalnya, perlu memiliki
kemampuan profesionalitas dalam bidangnya. Unsur lain yang perlu diperhatikan
adalah materi pengajaran. Apabila materi pengajaran yang disampaikan oleh
pendidik menyimpang dan mengarah keperubahan perilaku yang menyimpang, inilah
suatu keburukan dalam pendidikan dan begitu pula sebaliknya.[20]
Lingkungan sekolah dalam dunia
pendidikan merupakan tempat bertemunya semua watak. Perilaku dari masing-masing
anak yang berlainan. Kondisi anak yang sedemikian rupa dalam interaksi antara
anak satu dengan yang lainnya akan saling mempengaruhi juga pada kepribadian
anak.[21] Dengan
demikian lingkungan pendidikan mempengaruhi jiwa anak didik. Dan akan diarahkan
kemana anak didik dan perkembangan kepribadian.[22]
F.
Hubungan ilmu ahlak dengan ilmu filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan
yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan
menggunakan pikiran. Filsafat memiliki bidang-bidng kajiannya mencakup berbagai
diiplin ilmu antara lain :
a. Metafisika
:
penyelidikan dibalik alam yang nyata
b. Kosmologi
:
penyelidikan tentang alam (filsafat alam)
c. Logika
: pembahasan tentang cara berfikir cepat dan tepat
d. Etika
: pembahsan tentang tingah laku manusia
e. Theodica
: pembahasan tentang ke-Tuhanan
f. Antropologia
: pembahasan tentang manusia
Dengan demikian jelaslah bahwa etika
termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu-ilmu yang pada mulanya
merupakan bagian filsafat karena ilmu tersebut kian meluas dan berkembang dan
akhirnya membentuk disiplin ilmu itu sendiri dan terlepas dari filsafat.
Demikian juga etika, dalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui
sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, kini telah merupakan ilmu yang
mempunyai identitas sendiri.[23]
G.
Hubungan ilmu ahlak dengan ilmu hukum
Pokok pembicaraan mengenai hubungan
akhlak dengan ilmu hukum adalah perbuatan manusia. Tujuannya mengatur perbuatan
manusia untuk kebahagiaanya. Akhlak memerintahkan untuk berbuat apa yang
berguna dan melarang berbuat segala apa yang mudlarat, sedang ilmu hukum tidak,
karena banyak perbuatan yang baik dan berguna tudak diperintahkan oleh hukum,
seperti berbuat baik kepada fakir miskin dan perlakuan baik antara suami istri.
Demikian juga beberapa perbuatan yang mendatangkan kemadlaratan tidak dicegah
oleh hukum, umpamanya dusta dan dengki. Ilmu hukum tidak mencampuri urusan ini
karena ilmu hukum tidak memerintahkan dan tidak melarang kecuali dalam hal
menjatuhkan hukuman kepada orang yang menyalahi perintah dan larangannya.[24]
Terkadang untuk melaksanakan
undang-undang itu hajat mempergunakan cara-cara yang lebih membahayakan kepada
ummat, dari apa yang diperintahkan atau dicegah olh undang-undang. Demikian
pula ada keburukan-keburukan yang samar-samar, seperti mengingkari nikmat dan
berkhianat, dan ini undang-undang tidak sampai untuk menjatuhkan siksaan kepada
pelakunya. Maka itu tidak dapat jatuh dibawah kekerasan undang-undang, dan
keadaanya dalam hal itu bukan seperti pencurian dan pembunuhan. Perbedaan
lainnya adalah bahwa ilmu hukum melihat segala perbuatan dari jurusan buah dan
akibatnya yang lahir, sedang akhlak menyelami gerak jiwa manusia yang atin
(walaupun tidak menimbulkan perbuatan yang lahir) dan juga menelidiki perbuatan
yang lahir.[25]
Ilmu hukum dapat berkata : “jangan
mencuri, membunuh”, tetapi tidak dapat berkata sesuatu tentang kelanjutannya.
Sedangkan ahlak, bersamaan dengan hukum mencegah pencurian dan pembunuhan.
Akhlak dapat mendorong manusia untuk “jangan berfikir dalam keburukan”,”jangan
mengkhayalkan yang tidak berguna”. Ilmu hukum dpat menjaga hak milik manusia
dan mencegah orang untuk melanggarnya, tetapi tidak dapat memerintahkan kepada
sipemilik agar mempergunakan miliknya untuk kebaikan. Adapun yang memerintahkan
untuk berbuat kebaikan adalah akhlak.[26]
FOOTNOTE
[1] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga.Pengantar Studi Ahlak.
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004) Hal. 4
[2] Ahmad amin. Etika (ilmu ahlak). (Jakarta : Bulan Bintang,
1988) Hal. 15
[3] Asmaran AS. Pengantar Studi Akhlak. ( Jakarta :
Rajawali Press, 1992). Hal. 7
[4] Ahmad Bangun Nasution, Rayani Hanum Siregar. Ahlak
Tasawuf pengenalan, pemahaman dan pengaplikasiannya. (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2013) Hal. 30-34
[5] Ahmad Bangun Nasution, Rayani Hanum Siregar. Ibid. Hal. 24
[6] Hamzah Ya’qub. Etika Islam Pembinaan
Ahlaqulkarimah. (Bandung : Diponegoro, 1985). Hal. 18
[7] Hamzah Ya’qub. Op. cit. Hal. 18
[8]Hamzah Ya’qub. Op. cit.. Hal. 18
[9]Hamzah Ya’qub. Op. cit Hal. 18
[10] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. Hal. 56
[11] Ahmad amin. Ibid. Hal. 20
[12]Ahmad Musthofa. Ahlak Tasawuf. (Bandung : Pustaka Setia,
1997) Hal. 22
Rahmat Djatmika. Sistem Ethika Islam (Akhlak
Mulia). (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1996) Hal. 51-59
[13] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. 2004) Hal. 57
[14] Ahmad amin. Ibid. Hal. 20
[15] Solardja Ponco Soetirto. Azas-Azas
Sosiologi. (Gajah Mada). Hal. 5
[16] Ahmad amin. Ibid. Hal. 20-21
[17] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. Hal. 57-58
[18] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. Hal. 58
[19] Ahmad amin. Ibid. Hal. 20
[20] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. Hal. 59-60
[21] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. Hal.60
[22] Ahmad Musthofa. Ibid. Hal. 109-110
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...9
AKHLAH PADA ALLAH, MANUSIA, ALAM
A.
Pengertian Akhlak
Sedangkan menurut istilah, para pakar dalam bidang ini mengemukakan
definisi akhlak sebagai berikut;
1.
Ibnu Misawaih, Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya
untuk melakukan perbuatan tanpa meerlukan pemikiran dan pertimbangan.
2.
Imam Al-Gazali, Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.
3.
Ibrahim Anis, Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya
lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran
dan pertimbangan.(1)
B.
Akhlak Kepada Allah
Titik tolak akhlak terhadap Allah
adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada
Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian
agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu
menjangkau hakikat-Nya.(2)
Itulah sebabnya mengapa
Al-Quran mengajarkan kepada manusia untuk
memuji-Nya, Wa qul
al-hamdulillah (Katakanlah "al-hamdulillah"). Dalam
Al-Quran surat An-Nam1 (27): 93, secara tegas
dinyatakan-Nya bahwa,
Dan katakanlah, "Segala puji
bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka
kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu
kerjakan."
Makhluk tidak
dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa
kesempurnaan dan keterpujian Allah Swt. Itu
sebabnya mereka --sebelum memuji-Nya--
bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jangan
sampai pujian yang mereka ucapkan
tidak sesuai dengan kebesaran-Nya.
Bertitik tolak dari
uraian mengenai kesempurnaan Allah, tidak heran kalau
Al-Quran memerintahkan manusia untuk berserah
diri kepada-Nya, karena segala yang bersumber dari-Nya adalah baik,
benar, indah, dan sempurna.
Tidak sedikit ayat Al-Quran yang
memerintahkan manusia untuk menjadikan Allah sebagai
"wakil". Misalnya firman-Nya dalam QS Al-Muzzammil (73): 9:
(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada
Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung).
Kata "wakil"
bisa diterjemahkan sebagai "pelindung". Kata
tersebut pada hakikatnya terambil dari kata
"wakkala-yuwakkilu" yang berarti mewakilkan. Apabila seseorang
mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu persoalan),
maka ia telah menjadikan orang yang mewakili
sebagai dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut,
sehingga sang wakil melaksanakan apa yang dikehendaki
oleh orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya.
Menjadikan Allah
sebagai wakil sesuai dengan makna yang
disebutkan di atas berarti menyerahkan
segala persoalan kepada-Nya. Dialah yang berkehendak
dan bertindak sesuai dengan kehendak
manusia yang menyerahkan perwakilan itukepada-Nya.
Allah Swt., yang kepada-Nya
diwakilkan segala persoalan adalah Yang Mahakuasa, Maha Mengetahui,
Mahabijaksana dan semua maha yang mengandung
pujian. Manusia sebaliknya, memiliki
keterbatasan pada segala hal. Jika demikian
"perwakilan"-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia.
Perbedaan
kedua adalah dalam keterlibatan
orang yang mewakilkan. Jika Anda mewakilkan orang lain untuk
melaksanakan sesuatu, Anda telah menugaskannya untuk melaksanakan hal tertentu.
Anda tidak perlu melibatkan diri, karena hal itu telah dikerjakan
oleh sang wakil. Ketika menjadikan Allah Swt. sebagai wakil,
manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.
Perintah
bertawakal kepada Allah
--atau perintah menjadikan-Nya sebagai wakil--
terulang dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak sembilan kali,
dan dalam bentuk jamak (tawakkalu) sebanyak
dua kali. Semuanya didahului olehperintah melakukan
sesuatu, lantas disusul dengan perintah
bertawakal. perhatikan misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat
61: Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah kepadanya, dan
bertawakallah kepada Allah.
C.
Ahlak kepada sesama mansuia.
Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan
dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya
dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti
badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada
menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya, tidak
peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang
disakiti hatinya itu. “Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari
sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima).
Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”. (QS al-Baqarah [2]: 263).
Di sisi lain al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad Saw. –misalnya -- dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain. Karena itu, al-Quran berpesan kepada orang-orang Mukmin: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari”. (QS al-Hujurât [49]: 2).
Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati. Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat”. (QS an-Nûr [24]:27).
Setiap ucapan haruslah ucapan yang baik, al-Quran memerintahkan, “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”. (QS al-Baqarah [2]:83).
Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”, (QS al-Ahzâb [33]:70).
Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan kesalahan. Karena itu, ketika Misthah --seorang yang selalu dibantu oleh Abu Bakar r.a. -- menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar dan banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah. Tetapi al-Quran turun menyatakan: “Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat (nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS an-Nûr [24]: 22).
Jika ada orang yang digelari gentleman – yakni yang memiliki harga diri, berucap benar, dan bersikap lemah lembut (terutama kepada wanita) -- seorang Muslim yang mengikuti petunjuk-petunjuk akhlak al-Quran tidak hanya pantas bergelar demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang demikian dalam bahasa al-Quran disebut al-muhsin.
Di sisi lain al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad Saw. –misalnya -- dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain. Karena itu, al-Quran berpesan kepada orang-orang Mukmin: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari”. (QS al-Hujurât [49]: 2).
Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati. Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat”. (QS an-Nûr [24]:27).
Setiap ucapan haruslah ucapan yang baik, al-Quran memerintahkan, “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”. (QS al-Baqarah [2]:83).
Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”, (QS al-Ahzâb [33]:70).
Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan kesalahan. Karena itu, ketika Misthah --seorang yang selalu dibantu oleh Abu Bakar r.a. -- menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar dan banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah. Tetapi al-Quran turun menyatakan: “Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat (nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS an-Nûr [24]: 22).
Jika ada orang yang digelari gentleman – yakni yang memiliki harga diri, berucap benar, dan bersikap lemah lembut (terutama kepada wanita) -- seorang Muslim yang mengikuti petunjuk-petunjuk akhlak al-Quran tidak hanya pantas bergelar demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang demikian dalam bahasa al-Quran disebut al-muhsin.
D.
Ahlak kepada Alam.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan.
Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat petunjuk al-Quran yang melarang melakukan penganiayaan. Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan terbesar.
Sebelum Eropa mengenal Organisasi Pencinta Binatang, Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan, “Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik”.
Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih ada lagi prinsip taskhîr, yang berarti penundukan. Namun dapat juga berarti "perendahan". Firman Allah yang menggunakan akar kata itu dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat 11 adalah: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”. (QS al-Jâtsiyah [45]:13).
Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda sehingga mengorbankan kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan kepentingannya di akhirat kelak.
FOOTNOTE
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan.
Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat petunjuk al-Quran yang melarang melakukan penganiayaan. Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan terbesar.
Sebelum Eropa mengenal Organisasi Pencinta Binatang, Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan, “Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik”.
Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih ada lagi prinsip taskhîr, yang berarti penundukan. Namun dapat juga berarti "perendahan". Firman Allah yang menggunakan akar kata itu dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat 11 adalah: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”. (QS al-Jâtsiyah [45]:13).
Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda sehingga mengorbankan kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan kepentingannya di akhirat kelak.
FOOTNOTE
(1) Abuddin
Nata. Akhlak Tasawuf,Jakarta, RajaGrafindo Persada. 2010. Hal. 2
(2) Rakhmat
Djatnika. Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Jakarta, Pustaka
Panjimas. 1992. hal. 173
(3) Ibid.
hal. 173
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
A.
Pengertian Akhlak Pada Diri Sendiri
Menurut etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab اخلاق bentuk jamak dari
mufradnya khuluq خلق yang berarti “budi pekerti”.
Sedangkan menurut terminologi, kata “budi pekerti”, budi adalah yang ada pada
manusia, berhubungan dengan kesadaran yang didorong oleh pemikiran, ratio.
Budi disebut juga karakter. Pekerti adalah apa yang terlihat pada
manusia karena didorong oleh perasaan hati yang
disebut behaviour. Jadi, budi pekerti adalah perpaduan dari hasil
rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia
Manusia sebagai makhluk Allah
mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri. Namun bukan berarti kewajiban ini
lebih penting daripada kewajiban kepada Allah. Dikarenakan kewajiban yang
pertama dan utama bagi manusia adalah mempercayai dengan keyakinan yang
sesungguhnya bahwa “Tiada Tuhan melainkan Allah”. Keyakinan pokok ini merupakan
kewajiban terhadap Allah sekaligus merupakan kewajiban manusia bagi dirinya
untuk keselamatannya.
Manusia mempunyai kewajiban kepada
dirinya sendiri yang harus ditunaikan untuk memenuhi haknya. Kewajiban ini
bukan semata-mata untuk mementingkan dirinya sendiri atau menzalimi dirinya
sendiri. Dalam diri manusia mempunyai dua unsur, yakni jasmani (jasad) dan
rohani (jiwa). Selain itu manusia juga dikaruniai akal pikiran yang membedakan
manusia dengan makhluk Allah yang lainnya. Tiap-tiap unsur memiliki hak di mana
antara satu dan yang lainnya mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan untuk
memenuhi haknya masing-masing. [1]
Jadi ,Yang dimaksud dengan akhlak
terhadap diri sendiri adalah[2] sikap
seseorang terhadap diri pribadinya baik itu jasmani sifatnya atau rohani . Kita
harus adil dalam memperlakukan diri kita , dan jangan pernah memaksa diri kita
untuk melakukan sesuatu yang tidak baik atau bahkan membahayakan jiwa.
Sesuatu yang membahayakan jiwa bisa
bersifat fisik atau psikis. Misalnya kita melakukan hal-hal yang bisa membuat
tubuh kita menderita. Seperti; terlalu banyak bergadang, sehingga daya tahan
tubuh berkurang, merokok, yang dapat menyebabkan paru-paru kita rusak,
mengkonsumsi obat terlarang dan minuman keras yang dapat membahyakan jantung
dan otak kita. Untuk itu kita harus bisa bersikap atau beraklak baik terhadap
tubuh kita. Selain itu sesuatu yang dapat membahayakan diri kita itu bisa
bersifat psikis. Misalkan iri, dengki , munafik dan lain sebagainya. Hal itu
semua dapat membahayakan jiwa kita, semua itu merupakan penyakit hati yang
harus kita hindari.
Hati yang berpenyakit seperti iri
dengki munafiq dan lain sebagainya akan sulit sekali menerima kebenaran, karena
hati tidak hanya menjadi tempat kebenaran, dan iman, tetapi hati juga bisa
berubah menjadi tempat kejahatan dan kekufuran.
Untuk menghindari hal tersebut di atas maka kita dituntut untuk mengenali berbagai macam penyakit hati yang dapat merubah hati kita, yang tadinya merupakan tempat kebaikan dan keimanan menjadi tempat keburukan dan kekufuran. Seperti yang telah dikatakan bahwa diantara penyakit hati adalah iri dengki dan munafik. Maka kita harus mengenali penyakit hati tersebut
Untuk menghindari hal tersebut di atas maka kita dituntut untuk mengenali berbagai macam penyakit hati yang dapat merubah hati kita, yang tadinya merupakan tempat kebaikan dan keimanan menjadi tempat keburukan dan kekufuran. Seperti yang telah dikatakan bahwa diantara penyakit hati adalah iri dengki dan munafik. Maka kita harus mengenali penyakit hati tersebut
1.
Dengki,
Orang
pendeki adalah orang yang paling rugi. Ia tidak mendapatkan apapun dari sifat
buruknya itu. Bahkan pahala kebaikan yang dimilikinya akan terhapus. Islam
tidak membenarkan kedengkian. Rasulullah bersabda: “Abu Hurairah r.a.
meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “hati-hatilah pada kedengkian
kaerena kedengkian menghapuskan kebajikan, seperti api yang
melahapminyak.”(H.R.AbuDawud).
2.
Munafiq,
Orang yang
mereka ucapkanmunafiq adalah orang yang berpura-pura atau ingkar. Apa tidak sama
dengan apa yang ada di hati dan tindakannya. Adapun tanda-tanda orang munafiq
ada tiga. Hal ini dijelaskan dalam hadits, yaitu:
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول االله صلعم. ” أيات المنافقين ثلاث, إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف, وإذا اؤتمن خان
Dari Abu hurairoh r.a. Rasulullah berkata: ” tanda-tanda orang munafiq ada tiga, jika ia berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanat ia berkhianat.” (H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan an-Nisa’i)
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول االله صلعم. ” أيات المنافقين ثلاث, إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف, وإذا اؤتمن خان
Dari Abu hurairoh r.a. Rasulullah berkata: ” tanda-tanda orang munafiq ada tiga, jika ia berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanat ia berkhianat.” (H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan an-Nisa’i)
B.
Macam-Macam Akhlak Seorang Muslim Pada Diri Sendiri
1.
Berakhlak terhadap jasmani
Islam menjadikan kebersihan sebagian
dari Iman. Seorang muslim harus bersih/ suci badan, pakaian, dan tempat,
terutama saat akan melaksanakan sholat dan beribadah kepada Allah, di samping
suci dari kotoran, juga suci dari hadas.
Artinya: Mereka bertanya
kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran".
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri. (QS. Al Baqarah:222)
Artinya : Janganlah kamu
bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh-nya mesjid yang
didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut
kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin
membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bersih. (QS. At Taubah:108)
Makan dan minum merupakan kebutuhan
vital bagi tubuh manusia, jika tidak makan dan minum dalam keadaan tertentu
yang normal maka manusia akan mati.
Allah SWT memerintahkan kepada
manusia agar makan dan minum dari yang halal dan tidak berlebihan. Sebaiknya
sepertiga dari perut untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga
untuk udara.
Allah SWT berfirman :
Artinya : Maka makanlah yang
halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah
ni'mat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.(QS. An Nahl:114)
Menjaga kesehatan bagi seorang
muslim adalah wajib dan merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT dan
sekaligus melaksanakan anmanah dari-Nya. Riyadhah atau latihan jasmani sangat
penting dalam penjagaan kesehatan, walau bagaimnapun riyadhah harus tetap
dilakukan menurut etika yang ditetapkan oleh Islam. Orang mukmin yang kuat,
lebih baik dan lebih dicintai Allah SWT daripada mukmin yang lemah.
Dari sahabat Abu Hurairah,
BersabdaRasulullah, “Mu’min yang kuat lebih dicintai Allah dari mu’min
yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan. Bersemangatlah terhadap
hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan
merasa malas, dan apabila engkau ditimpa sesuatu maka katakanlah “Qodarulloh wa
maa syaa’a fa’al, Telah ditakdirkan oleh Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti
terjadi”. (HR. Muslim)
Manusia mempunya budi, akal dan
kehormatan, sehingga bagian-bagian badannya ada yang harus ditutupi (aurat)
karena tidak pantas untuk dilihat orang lain. Dari segi kebutuhan alaminya,
badan manusia perlu ditutup dan dilindungi dari gangguan bahaya alam
sekitarnya, seperti dingin, panas, dll. Karena itu Allah SWT memerintahkan
manusia menutup auratnya dan Allah SWT menciptakan bahan-bahan di alam ini
untuk dibuatb pakaian sebagai penutup badan.
Artinya : Hai anak Adam,
sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup 'auratmu dan
pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang
demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan
mereka selalu ingat.(QS. Al A’raf:26)
a.
Menuntut Ilmu
Menuntut ilmu merupakan salah satu
kewajiban bagi setiap muslim, sekaligus sebagai bentuk akhlak seorang muslim.
Muslim yang baik, akan memberikan porsi terhadap akalnya yakni berupa
penambahan pengetahuan dalam sepanjang hayatnya. Sebuah hadits Rasulullah SAW
menggambarkan :
( مسلم
)رواه ابن ماجه طلب
العلم فريضة على كل
Artinya : “Menuntut ilmu
merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Seorang mu’min, tidak hanya mencari
ilmu dikarenakan sebagai satu kewajiban, yang jika telah selesai kewajibannya
maka setelah itu sudah dan berhenti. Namun seorang mu’min adalah yang
senantiasa menambah dan menambah ilmunya, kendatipun usia telah memakan
dirinya. Menuntut ilmu juga tidak terbatas hanya pada pendidikan formal
akademis namun dapat dilakukan di mana saja, kapan saja dan dengan siapa saja.
b.
Memiliki Spesialisasi Ilmu yang dikuasai
Setiap muslim perlu mempelajari
hal-hal yang memang sangat urgen dalam kehidupannya. Menurut Dr. Muhammad Ali
Al-Hasyimi (1993 : 48), hal-hal yang harus dikuasai setiap muslim adalah :
Al-Qur'an, baik dari segi bacaan, tajwid dan tafsirnya; kemudian ilmu hadits;
sirah dan sejarah para sahabat; fikih terutama yang terkait dengan permasalahan
kehidupan, dan lain sebagainya. Setiap muslim juga harus memiliki bidang spesialisasi
yang harus ditekuninya. Spesialisasi ini tidak harus bersifat ilmu syariah,
namun bisa juga dalam bidang-bidang lain, seperti ekonomi, tehnik, politik dan
lain sebagainya. Dalam sejarahnya, banyak diantara generasi awal kaum muslimin
yang memiliki spesialisasi dalam bidang tertentu.
c.
Mengajarkan Ilmu pada Orang Lain.
Termasuk akhlak muslim terhadap
akalnya adalah menyampaikan atau mengajarkan apa yang dimilikinya kepada orang
yang membutuhkan ilmunya.
Firman Allah SWT :
Artinya : “Dan Kami tidak mengutus
sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka;
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui”(An-Nahl:43)
d. Mengamalkan
Ilmu dalam Kehidupan
Diantara tuntutan dan sekaligus
akhlak terhadap akalnya adalah merealisasikan ilmunya dalam “alam nyata.”
Karena akan berdosa seorang yang memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya.
Firman Allah SWT : Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman,
kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.” (QS. As-Shaff)
3.
Berakhlak terhadap jiwa
a.
Bertaubat dan Menjauhkan Diri dari Dosa Besar.
Taubat
adalah meninggalkan seluruh dosa dan kemaksiatan, menyesali perbuatan dosa yang
telah lalu dan berkeinginan teguh untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa
tersebut pada waktu yang akan datang.[8][7] Allah
SWT berfirman :
[1] Teguh purnomo, 100 Muslim terhebat sepanjang masa (jogjakarta: Dira
Press, 2012) cet. 1, 231.
[2] Teguh purnomo, ibid 231.
[3] Harun nasution teologi, teologi islam (jakarta, UI Press, 2009).
[4] Afrizal M, tujuh perdebatan utama dalam teologi islam, (jakarta
erlangga, 2006), 40.
[8] 4, ibid 12-13.
[9] Abdurrahman an-nawawi, pendiidkan islam di rumah, sekolah, dan
masyarakat, jakarta: Gema Insani Press, 1995, 38.
[10] Zuhairini, 76.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar