Selasa, 24 April 2018

Pendidikan Ahlak Bagian I (satu)


Kelompok...1
KONSEP TAUHID IBNU TAIMIYAH
·         Ibnu taimiyah lahir di hara dan pada masa mudanya ia ikut keluarganya menungsi untuk menghindari keganasan suku mongol. Abad ke-13 merupakan periode malapetaka besar bagi sejarah perdaban islam. Suku bangsa mongol menyerbu negara-negara muslim, memusnahkan kekayaan intelektual dan peradaban yang telah di bangun berabad-abad sebelumnya suku dari padang rumput ini membantai jutaan kaum muslimin[1]
·         Lahie senin, 10 rabiul Awal 661 H/1282 M, ibnu taimiyah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai guru besar hukum hanbali, tetapi cara berpikirnya yang bebas menimbulkan permusuhan dengan penganut aliran syafi’i, sehingga jabatan itu lepas darinya.[2]
·         Ada 3 prinsip pandangan ibnu taimiyah.
a.       Wahyu merupakan sumber pengetahuan agama, penalaran dan intuisi hanyalah sumber terbatas.
b.      Kesepakatan umum pada ilmuwan yang terpercaya selama 3 abad pertama islam juga turut memberi pengertian tentang asas pokok islam disamping Al-Quran dan As-sunnah.
c.       Hanya Al-Quran dan sunnah penuntun autentik.
·         Menurut ibnu taimiyah , tauhid dibagi menjadi 3:
1.      Tahudi rububiyah, yaitu pengakuan bahwa yang menciptakan dan mengatur langit dan bumi hanya Allah semata dan diyakini musyrik maupun mukmin
2.      Tauhid uluhiyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditunjuka kepada Allah. Ibnu taimiyah “ilah (tuhan) yang haq adalah yang berhak untuk disembah, sedangkan tauhid adalah beribadah kepada Allah semata tanpa mempersekutukannya.
3.      Tauhid asma’ wa_sifat, yaitu menetapkan hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan arti literal atau lafdiyah seperti yang biasa dipahami kebanyakan orang, pengakuan seorang hanba tentang nama  dan sifat Allah yang telah ditetapkan baginya.
·         Konsep tauhid maturidiyah:
1.      Kewajiban mengetahui tuhan, akal semata-mata sanggup mengetahui tuhan namun ia tidak sanggup dengan sendirinya hukum-hukum taklifi (perintah Allah).
2.      Kebaikan dan keburukan dapat diketahui akal.
3.      Hikmah dan tujuan perbuatan tuhan, perbuatan tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah) baik dalam cipytaan-ciptaan nya maupun dalam perintah dan larangan-larangannya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Allah, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban mengandung suatu perlawanan dengan iradatnya.
·         Maturidiyah dibagi menjadi 2:
1.      Maturidiyah smaarkand:
-           iman tidaklah cukup dengan tasydiq tapi harus dengan ma’rifaf pula.
-          Perbuatan manusia itu dikehendaki oleh manusia itu sendiri dan dia dihukum atas perbuatan yang dilakukannya atas kebebasan yang diberikan tuhan kepadanya. Tuhan ahnaya membalas perbuatan baik dengan pahala dan perbuatan buruk dengan dosa.[3]
2.      Maturidiyah Bukhara (Abu Al-Yusr muhammad Al-Bazdawi) lebih dekat kepada Asy’ariyah ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam bermazhab hanafi, akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban karena akal hanya mampu mengetahui sebab kewajiban tuhan.[4]
·         Konsep tauhid Asy’Ariyah dibangun (873-935 M). Teologi Asy’ariyah:
1.      Sifat Allah, Allah mempunyai sifat berbeda dengan muktazilah
2.      Perilaku dosa besar, zina mencuri masih iman, tetapi jika anggapan dosa besar itu boleh-boleh saja (di kafirkan).
3.      Dalil adanya Allah, menuurt muktazilah manusia harus percaya kepada allah karena akal manusia sendiri yang menyimpulkan bahwa Allah itu ada sedangkan menurut Asy’ariyah manusia wajib meyakini Allah karena nabi saw. mengajarkan bahwa Allah itu sebagaimana dalam Al-qur’an.
4.      Kekuasaan Allah dan perbuatan manusia, dalam Asy’ari menganbil posisi tengah anatar jabariyah dan Mu’tazilah. Menurut jabariyah amnsuia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, sedangkan muktazilah mansuia itulah yang mewujudkan perbuatannya dengan daya yang diberikan oleh Allah. Sebagai jalan keluar Asy’ari menganbil konsep paham “kasb” perolehan yang sulit dimengerti  kecuali bila paham itu dipandnag sebagai usaha untuk menjauhi jabariyah dan Qadariyah namun setelah melalui jalan yang berbelok-belok akhirnya asy’ari menjatuhkan pikiran kepada jabariyah, Dalil QS: Ash-shaffat, 96): “Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
5.      Melihat Allah di akhirat, menurut Al-Asy’ari Allah dapat dilihat di akhirat, sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Allah hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada paham diciptakan Allah. Sifat dapat dilihatnya Allah diakhirat tidak membawa kepada pengertian diciptakannya Allah, karena apa yang dilihat tidak mesti mengandung pengertian bahwa ia mesti diciptakan, dengan demikian jika dikatakan Allah dapat dilihat itu tidak mesti bahwa Allah harus bersifat diciptakan. ”Ila Rabbiha Naazirah” (kepada tuhannyalah mereka melihat (Al-Qiyamah:23).
6.      Kedudukan Al-Qur’an, muktazilah bahwa Al-Qur’an itu diciptakan, Qur’an itu Qadhim (tidak diciptakan) jika Qur’an diciptakan maka diperlukan kata kun dan untuk terciptanya kun diperlukan puluhan yang lain, dan seterusnya hingga tidak ada habis-habisnya.
7.      Pemakaian akal dan wahyu. Asy’ari akal memang  dapat mengetahui tuhan, tapi tidak dapat tautan bagaimana cara berterimakasih kepada tuhan, untuk hal itu perlu wahyu.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

A.    Ibnu taimiyah.
Ibn Taimiyah adalah ahli fikih mazhab Hambali. Pengaruh pemikirannya sangat besar terhadap gerakan Wahhabi, dakwah gerakan Sanusi, dan kelompok-kelompok agama yang ekstrem yang ada di dunia Islam saat ini.[1]
Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, ada banyak “kata” yang seringkali dianggap saling berbenturan dan membentuk sebuah efek paradoksal. “Kata” itu bisa saja mewakili sebuah kelompok pemikiran (firqah), seorang tokoh, atau juga sebuah pemikiran tertentu.
Dalam pandangan sebagian kalangan, kedua kata ini –Ibnu Taimiyah dan Tasawuf- dipandang sebagai dua unsur yang tak mungkin bersatu. Ini tentu tidak mengherankan, sebab Ibnu Taimiyah telah lama dianggap sebagai salah satu tokoh yang membenci, memusuhi, dan melontarkan kritik-kritik tajamnya terhadap Tasawuf. Pandangan ini tentu saja semakin menyempurnakan gambaran kekerasan pada tokoh yang satu ini. Sehingga –bagi mereka yang tidak memahami dengan baik- setiap kali mendengarkan kata “Ibnu Taimiyah”, maka opini dan image yang tercipta adalah kekerasan, kekejaman, permusuhan, dan yang semacamnya.
B.     Biografi Ibnu Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kamu muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syaikh, Khatib dan hakim di kotanya.[2]
Ibn Taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun, ia telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi.[3]Para ulama yang merasa sangat risau oleh serangan-serangannya serta iti hati terhadap kedudukannya di Istana Gubernur Damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya, bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antroporpisme, sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjarakan.
Masa hidup Ibn Taimiyah berbarengan dengan kondisi dunia Islam yang sedang mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah Bagdad dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu, dalam upayanya mempersatukan umat Islam, mengalami banyak rintangan, bahkan ia harus wafat di dalam penjara.
Lingkungan keluarga Ibnu Taimiyah sangat mendukung perkembangannya untuk kelak menjadi seorang ulama dan pemikir Islam besar. Ayahnya, Syihab al-Din ‘Abd al-Halim adalah seorang ahli hadits dan fakih madzhab Hanbaly yang memiliki jadwal mengajar di Mesjid Jami ‘Umawy. Ia juga kemudian menjabat sebagai kepala para ulama (masyikhah) di Dar al-Hadits al-Sukriyah. Sang ayah ini kemudian meninggal saat Ibnu Taimiyah berusia 21tahun, tepatnya di tahun 682 H.[4]
Di samping hal itu, ada beberapa faktor lain yang juga dapat disimpulkan sebagai penyebab kecemerlangan pemikiran Ibnu Taimiyah di kemudian hari. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Kekuatan hafalan dan pemahamannya yang luar biasa. Di usia yang masih sangat kecil ia berhasil menyelesaikan hafalan al-Qur’annya. Setelah itu, ia pun mulai belajar menulis dan hisab. Kemudian membaca berbagai kitab tafsir, fikih, hadits dan bahasa secara mendalam. Semua ilmu itu berhasil dikuasainya sebelum ia berusia 20 tahun.
2.    Kesiapan pribadinya untuk terus meneliti. Ia dikenal tidak pernah lelah untuk belajar dan meneliti. Dan itu sepanjang hidupnya, bahkan ketika ia harus berada dalam penjara. Mungkin itu pulalah yang menyebabkan ia tidak lagi sempat untuk menikah hingga akhir hayatnya.
3.    Kemerdekaan pikirannya yang tidak terikat pada madzhab atau pandangan tertentu. Baginya dalil adalah pegangannya dalam berfatwa. Karena itu ia juga menyerukan terbukanya pintu ijtihad, dan bahwa setiap orang –siapapun ia- dapat diterima atau ditolak pendapatnya kecuali Rasulullah saw. Itulah sebabnya ia menegaskan, “Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas dalam madzhab Imam yang empat.[5]
C.     Pemikiran Ibnu Taimiyah
1.      Ibnu Taimiyah dan Tasawuf
Sering kita mendengar bahwa Ibnu Taimiyah itu anti tasawuf dan penentang sufi, padahal kalau diperhatikan dari sikap dan pandangannya dia adalah seorang sufi dan pengikut ajaran tasawuf suni (yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah), meskipun ia tidak mengistilahkan ajaran tasawuf dengan istilah tersebut. Istilah yang sering dipakai oleh Ibnu Taimiyah adalah istilah suluk, akan tetapi substansinya adalah apa yang ada pada ajaran tasawuf.
Suluk menurut Ibnu Taimiyah merupakan kewajiban setiap mukmin, seperti yang diungkapkannya dalam kitab Fatawanya. “Suluk adalah jalan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya berupa itikad, Ibadah dan Akhlak. Semua ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunah, dan suluk ini kedudukannya seperti makanan yang menjadi keharusan seorang mukmin”.
Diantara kata-kata Ibnu Taimiyah mengenai tasawuf adalah “amal-amal hati yang diberi nama maqâmât danahwâl seperti: cinta kepada Allah dan Rasulnya, tawakal, Ikhlas, sabar, syukur, khauf dan semacamnya adalah kewajiban setiap maklhuk, baik kaumkhâs atapun orang-orang awam”.
Kesufian Ibnu Taimiyah tidak hanya terbukti dari keilmuannya saja akan tetapi perbuatan dan sikapnya telah membuktikan akan semua ini. Adz-Dzahabi pernah bercerita bahwa dia tidak pernah menemukan orang yang banyak berdoa dan bertawajuh kepada Allah melebihi Ibnu Taimiyah.
Ibnu Qoyyim dalam kitabnya Madarus Salikin banyak bercerita tentang Ibnu Taimiyah dalam kerohanian (baca: Tasawuf). Dalam kitab Kawakibud Duriyah bahwa Ibnu Taimiyah pada malam hari sering menyepikan diri dari manusia, dia hanya sibuk dengan tuhannya, banyak bermunajat dan membaca Al-Qur’an.
Sedang ke zuhudan dan ketawaduan Ibnu Taimiyah adalah tauladan yang baik, dalah hal ini terbukti dengan kata-katanya, “Aku tidak punya apa-apa, dariku tak ada apa-apa dan padaku tak ada apa-apa”.
Itulah pribadi Ibnu Taimiyah dalam suluk dan kerohaniannya, cukuplah kiranya Ibnu al-Qayyim dan karyanya Madarus Salikin sebagai bukti tarbiah Ibnu Taimiyah dalam konteks kesufian.
Tidak hanya itu, Ibn Taimiyah dan murid-muridnya sangat mempercayai adanya karamah para wali. Di sini Baduruddin al-Aini berkata tentang Ibnu taimiyah, “Di samping kemuliaan dan ketinggian Ilmunya, beliau (ibnu Taimiyah) juga mempunyai karamah yang tidak diragukan lagi seperti yang ku dengar dari banyak orang”.
Ibnul Qayyim juga banyak bercerita tentang firasat (mukasyafah) Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, “Aku telah menyaksikan firasat Syaikhul Islam dari hal-hal yang menabjubkan. Sedang hal yang tidak kusaksikan tentu lebih banyak dan lebih agung”.
Dengan demikian tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah dan kelompoknya anti ajaran Tasawwuf. Adapun kepercayaan-kepercayaan yang mengatas namakan sufi dan tasawwuf akan tetapi bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah tidak hanya Ibnu Taimiyah dan Madrasahnya yang menentang, para sufipun juga menentangnya.
Sebagai seorang intelektual wajar kalau Ibnu taimiyah sering melontarkan kritikan terhadap tokoh-tokoh lain, hanya saja kadang Ibnu taimiyah melampau batas dalam pandangan dan kritikannya sehingga menjadikan dia sebagai sosok yang kontrofersi.
2.      Kontrofersi pemikiran Ibnu Taimiyah.
Pemikiran Ibnu taimiyah sering menjadi ajang polemik di kalangan para Ulama, sejak zaman Ibnu Taimiyah sendiri, dan gara-gara itu dia sering keluar masuk penjara, terutama mengenai masalah-masalah Akidah dan Fiqih. Keberanian Ibnu Taimiah ini tidak hanya berbeda dengan para ulama di zamannya, namun Ibnu Taimiyah juga sering menyalahi Ijma`. Itulah yang membuat ulama di zamnnya geram pada Ibnu Taimiah.
Pemikiran pertama yang menjadi kontrofersi terjadi pada tahun 698 H. Hal itu gara-gara satu fatwa yang dikenal dengan masalah hamawiah. Fatwa ini membuat Qadhi waktu itu turun tangan, yaitu Imamauddin al-Quzwaini. Qadhi itu memberi fatwa “Barang siapa yang mengambil pendapatnya Ibnu taimiah maka dia akan dita`zir.” Pada tahun 705 Ibnu Taimiah kembali membikin heboh yang membuat dirinya kembali masuk penjara, dan pada tahun 709 dia dipindahkan ke Iskandariah, di sanapaun dia jaga mengeluarkan fatwa-fatwa aneh yang dipermasalahkan oleh ulama setempat.
Begitulah seterusnya Ibnu taimiiyah, dia terus keluar masuk penjara baik ketika dia di Syam atau di Mesir. Dalam beberapa kasus, Ibnu Taimiyah terkesan tidak konsekwen pada pendapatnya, kadang dia mengaku bermazhab Syafii, atau bermazhab Hambali dan kadang dia juga mengaku berakidah Asyairah namun di lain kesempatan dia juga mencaci tokoh-tokoh Asya’irah, seperti Imam Ghazali dan yang lainnya. Tidak hanya itu, Ibnu Taimiyah juga berani lancang mencaci sahabat Nabi.
Oleh sebab itulah, ulama dari masa ke masa senantiasa memperselisihkan sosok dan pemikiran Ibnu Taimiyah, ada yang menganggapnya fasik, ada yang menganggapnya mubtadi` (ahli bid’ah) dan bahkan ada yang menganggap kafir. Tidak hanya para penentangnyya yang mengkritik Ibnu taimiyah, murid-muridnya juga sering berbeda dan menasehatinya, seperti Ibnu Katsir dan adz-Dzahabi. Bahkan adz-Dzahabi menulis sebuah risalah husus yang berisi nasehat-nasehat agar Ibnu Taimiyah kembali dan bertobat. Surat ini di kenal dengan an-Nashîhah adz-Dzahabiyah li Ibn Taimiyah.
Penentang Ibnu Taimiyah sejak zaman Ibnu Taimiyah sendiri sampai pada saat ini terus mengalir, mulai dari kalangan fuqaha madzahabil arb’ahsampai para ulama kalam. Sedang yang mengarang kitab yang berisi kritikan pada Ibnu taimiyah juga sangat banyak, seperti as-Subki dan ulama-ulama setelahnya.
3.      Pemikiran kontrofersi Ibnu Taimiyah
Adapun pemikiran Ibnu Taimiyah yang dianggap bertentangan dengan Ijma`dan mayoritas ahlu sunnah wal jamaah sangat banyak diantaranya adalah:

a)    Keyakinanya tentang Zat Allah yang mempunyai jasad seperti jasadnya makhluk, duduk seperti duduknya makhluk, bertangan, mempunyai mata dang telinga. Bahkan Ibnu Taimiyah berkata bahwa Allah turun dari langit sebagai mana turunnya dia dari mimbar. Mazhab ini di sebut al-Hasyawiyah al-Mujassamah.
b)   Berani mencaci Ulama dan Sahabat Nabi. Kelancangan Ibnu taimiyah ini membuat nyawanya terancam karena telah berani mencaci Imam al-Ghazali dan pengikut Asya`irah lainnya. Bukan hanya itu, Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa Imannya Sayyidina Ali tidak sah, sebab beliau masuk Islam sebelum baligh, dan Iman sayyidina Abu Bakar juga tidak sah karena Abu Bakar beriman dalam keadaan pikun hingga beliau tidak mengerti apa yang di ucapkan. Imam Ali ra. menurutnya mempunyai 17 kesalahan. Dan beliau berperang karena cinta kedudukan. Sedang sayyidina Utsman menurutnya sangat cinta dunia. Dalam kitabDurarul Kaminah dan kitab Fatawa Ibnu Taimiyah fil-Mizan dijelaskan panjang lebar masalah ini.
c)    Inkar terhadap Majaz. Ibnu taimiyah berasumsi bahwa dirinya dengan pemikiran itu berada dalam Manhaj salaf. Sebab sebagaimana yang telah masyhur bahwa ulama dalam menyikapi ayat-ayat musytabihat ada dua kelompak, kelompok pertama adalah Tafwidh (menyerahkan penafsirannya pada Allah sendiri) mazhab ini yang diikuti oleh kebanyakan ulama salaf. Dan kelompok kedua adalah mazhab Ta`wil (mentafsiri ayat musytabihat sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah) cara ini dipakai oleh ulama khalaf.
Sedang pendapat Ibnu taimiyah dalam masalah ini berkonsekwensi pada pemahaman yang berbahaya dalam memahami al-Quran dan nama dan sifat Allah, sebab hanya membawa pada pengertian yang mustahil pada zat dan sifat Allah. Adapun pendapat salaf mengenai masalah Tafwidh, salaf tidak mau panjang lebar mengenai masalah ini, sehingga menyerahkan urusan ini pada Allah. Beda halnya dengan Ibnu taimiyah yang berani menafsiri Al-Quran dengan lahirnya saja, sehingga mengakibatkan hal yang fatal.
Disamping itu keingkaran Ibnu taymiyah pada majaz dapat menimbulkan pengertian yang salah terhadap teks Syariah, Ibnu Qayyim sendiri sebagai murid setia Ibnu Taimiyah merasa kebingungan menyikapi masalah ini, sebab tidak sedikit dari ulama salaf dan pengikut mazhab Hanafi (Ibnu Taimiyah mengaku bermazhab ini) yang mempercayai adanya majaz dalam al-Quran. Seperti Ibnu Abi Ya`la, Ibnu Agil, Ibnu al-Khattab dan lain-lain sangat menganggap keberadaan majaz dalam al-Quran.
Seseorang yang membaca kitabShawaiq al-Mursalah karya Ibnu Qayyim, maka akan tampak kebingungannya dalam menyikapi pendapat gurunya tersebut.
d). Ibnu Taimiyah menyalahi Ijma` ulama. Seperti pendapatnya talak waktu haid itu tidak terjadi, masalah ta`liq talak, seorang haid boleh tawaf tampa membayar kaffarat, kata-kata talak tiga hanya terjadi satu dan beberapa pendapat nyeleneh lainnya. Al-hasil banyak pendapat Ibnu taimiyah yang bertentangan dengan mayoritas ulama Ahlu sunnah wal jamaah.
Namun begitu sumbangan Ibnu Taimiyah terhadap pemikiran Islam tidaklah sedikit, maka sikap yang terbaik mengenai Ibnu taymiyah adalah sikap yang disampaikan oleh Syaekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani, “Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama besar yang masyhur dari salah satu umat Muhammad, namun begitu dia tidak lepas dari kesalahan” Dalam buku yang sama an-Nabhani juga berkata, “Ibnu taimiyah ibarat lautan besar yang berkecamuk ombak, di mana ombak itu kadang membawa intan permata dan kadang membawa batu dan pasir dan kadang juga melempar kotoran”.[6]
4.      Prinsip dasar Ibn Taimiyah
Ciri khas pemikiran Ibnu Taimiyah adalah menganut system pemikiranAhlussunah Wal Jama'ah, yang dianut oleh Ahmad bin Hambal dan tokoh mazhab hambali lainya. Sungguhpun demikian, ia juga mengambil pikiran tokoh mazhab empat dan para pemuka hadits seperti, Bukhari, Syafi'I, Thabari, Ibnu Khuzaimah dan lain-lain. Bahkan Ibnu Taimiyah menerima semua pemikiran selama itu sejala dengan kaum salaf.
Prinsip berpikir yang menjadi landasan berfikir Ibnu Taimiyah;
a.       al-Tauhid. Dengan prinsip tauhid, Ibnu Taimiyah meyakini bahwa Allah adalah yang maha benar, yang nyata, pengajar setiap ilmu, pencipta segala sesuatu, dan pembuat hukum. Karena Allah swt memiliki kualitas sperti di atas maka ia memberi petunjuk kepada manusia melali perantara, yakni rasul dengan mewahyikan al-kitab yang mengandung petunjukpetunjuk dan penjelasan dari rasul yang disebut dengan Sunnah.
b.      kembali kepada al-qur'an dan sunnah. Prinsip ini berdasarkan pada teorinya fitrah, yang mana ia merupakan potensi yang inheren dalam diri manusia yang telah ada sejak ia dilahirkan. Fitrah tersebut mempunyai daya potensial yang berfungsi untuk menganal Allah swt, mengesakan dan mencitai-Nya yang disbut al-quwwatu al-aqliyah. Sedang daya yang berfungsi untuk menginduksi hal-hal yang menyenangkan disebutquwah syahwatiah, dan daya yang berfungsi untuk menjaga diri dan dan menghindarkan dari bentuk yang merusak dan membahayakan disebut quwwah al-ghadab. Akan tetapi fitrah tersebut tidak tidak dapat berfungsi tanpa bantuan daruluar dirinya yang disebut al-fitrah al-munazzalah.
c.       persesuaian antara akal dan wahyu. Ibnu Taimiyah meletakkan akal pikiran di belakang nash-nash agama yang tidak boleh berdiri sendiri. Dengan kata lain, wahyu tidak dapat terpisahkan, namun ukuran-ukuran kesesuaian antara keduanya harus jelas, yaitu penalaran akal yang jelas dan wahyu yang terjamin penukilannya.
d.      Prinsip keadilan. Persoalan di dunia ini bisa baik jika diurus secara adil. Cara begini lebih banyak berhasil daripada diurus secara zhalim. Oleh karena itu, dikatakan bahwa, "Sesungguhnya Allah swt mempertahankan atau memenagkan Negara yang adil meskipun kafir dan tidak membantu Negara yang zhalim sekalipun Muslim.
e.       hakikat kebenaran. Menurut Ibnu Taimiyah, hakikat kebenaran itu ada dalam dunia empirik, bukan dalam pikiran. Islam sebagai ajaran yang ditujukan unutk kebaikan umat manusia adalah petunjuk praktis yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapi penganutnya. Oleh sebab itu, kebenaran yang sesui dengan ajaran agama dapat diketahui oleh manusia. Dengan kata lain, ajaran Islam mengandung sifat empirik yang memberi peluang kepada fungsi-fungsi manusia.
f.       pokok-pokok dan cabang-cabang agama telah dijelaskan oleh Rasul. Menurut Ibnu Taimiyah, Rasulullah telah menjelaskan semua aspek agama, baik prinsip-prinsipnya naupun cabag-cabangnya, segi atin dan lahirnya, segi ilmu maupun amalnya. Prinsip ini adalah  pangkal prinsip-prinsip ilmu dan iman. Barang siapa yang berpegang kuat-kuat kepada prinsip tersebut maka ia lebih berhak atas kebenaran, baik dari segi ilmu maupun dari segi amal.
FOOTNOTE
[1]. Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, h.229.
[2]. Abul Hasan Ali An-Nadawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1995, h.41
[3]. Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, h.130
[4]. Ibrahim Zaki Khurshid, Da’irah al-Ma‘arif al-Islamiyah:, Mathba‘ah al-Sya‘ab, Tahun 1969
[5]. Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Al-Durar al-Kaminah fi A’yan al-Mi’ah al-Tsaminah:, Dar al-Ma‘arif, Cetakan pertama, Tahun 1947.
[6].http://ibnujusup.multiply.com/journal/item/17/SOSOK_DAN_PEMIKIRAN_IBN_TAIMIYAH
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

RUMAH TANGGA
A.    Penegrtian Rumah tangga.
Rumah tangga adalah lembaga yang di dalamnya terdapat sepasangsuami istri, dan kemudian anak(anaknya yang akan dibesarkan oleh suamiistri itu sebagai ayah dan ibu. Ini adalah pengertian rumahtangga secarade'initi', karena rumah tangga tidak pasti tidak mengikut sertakankeponakan, pembantu dan lain sebagainya.&an kemudian, secara perkata, apakah arti rumahtangga itu$!engapa pilihan katanya adalah rumah dan tangga.  Kalau rumah jelaslahsemua orang sudah ma'hum akan artinya, yaitu sebuah bangunan 'isik yang minimal mempunyai ) dinding, mempunyai pintu, jendela dankemudian atap. Lantas tangga!engapa lembaga yang menghimpun suami istri ini harusmenyandang kata tangga$ "pakah suatu rumah harus mempunyai tanggasupaya mereka sekeluarga dapat hidup layak$ &an bagaimana jika rumahmereka tidak mempunyai tangga$"da beberapa ahli yang menjelaskan, bahwa kata tangga dalamrumahtangga berarti susunan atau tingkat, mungkin semacam hirarki, baik hirarki tanggungjawab, hirarki wewenang, hirarki kepatuhan, dan lainsebagainya. *adi, dengan menganggap bahwa tangga adalah susunan, maka para pemikir menjelaskan bahwa dalam rumah tangga harus ada susunandan tingkatan wewenang dan tanggungjawab yang diatur dan dikeloladengan baik sehingga tercipta harmoni yang apik. Rumahtangga akankacaubalau jika insan(insan yang berdiam di dalamnya tidak berlakusesuai dengan tingkatannya dalam rumahtangga tersebut. Misal saja si istri berlaku sebagai suami, suami berlaku seperti anak dan seterusnya.
Dalam kehidupan sehari(hari, istilah rumah tangga sering diartikansebagai keluarga, padahal keduanya mempunyai arti yang berbeda.Pengertian rumah tangga lebih mengacu pada sisi ekonomi,sedangkankeluarga lebih mengacu pada hubungan kekerabatan, fungsi sosial dan lainsebagainya. definisi rumah tangga berbeda dengan keluarga, definisirumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiamisebagian atau seluruh bangunan tempat tinggal dan biasa tinggal bersamaserta pengelolaan kebutuhan sehari(hari menjadi satu, sedangkan yangdimaksud dengan keluarga adalah sekumpulan orang yang tinggal dalamlamandang.satu rumah atau lebih yang masih mempunyaihubungankekerabatan3hubungan darah karena perkawinan, kelahiran, adopsi danlain(lain. Sehingga, dalam satu rumah tangga bisa terdiri dari lebih satukeluarg
B.     Rumah tangga rasulullah saw.
Rasulullah mensunnahkan umatnya untuk menikah, berkeluargamembentuk keluarga islami yang bahagia, mawaddah wa rahmah. Karenakita umat muslim, alangkah baiknya kita belajar rumah tangga Rasulullahyaitu rumah tangga yang islami. &engan berumah tangga islami pula makaakan terbentuklah generasi islam yang kuat dalam memegang agamanya.   Rasulullah !emulai Rumah tangganyaKehidupan rumah tangga Rasulullah dapat dibagi kedalam duamasa5 pertama ketika di !ekah dan kedua ketika beliau di !adinah. adasetiap masa kehidupannya terdapat ciri(ciri tersendiri yang jelas, dandiwarnai oleh suasana cerah dan terkadang suasana sulit.ada masa Rasul hidup di !ekah, dua puluh lima tahun ia hidupmembujang, tidak memiliki rumah sendiri atau tempat tinggal khusus yangmenghias pola hidup dan corak perilakunya.ada usia delapan tahun, kakeknya 6"bdul !uthalib7 wa'at.!enjelang ajalnya, "bdul !uthalib memberikan wasiat kepada "bu%halib selaku paman 0abi S"8 agar mengasuh dan mengasihi 0abi!uhammad dengan tulus."bu %halib 6sebagaimana umumnya orang "rab pada masa itu7mencari na'kah dengan cara berniaga dan suatu ketika bermaksudmelakukan perjalanan ke Syam 6Suria7, beliau membawa 0abi!uhammad yang waktu itu masih berusia +1 tahun untuk menemaninya.Kali keduanya !uhammad melakukan perjalanan niaganya kenegeri Syam, atas kepercayaan Siti Khadijah yang memberikan sejumlahharta kepada !uhammad untuk diperniagakan. Siti Khadijah kagum atas
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

AHKHLAK KEPADA KEDUA ORANG TUA
A.    Pengertian Akhlak
Akhlak berasal dari bahasa arab yaitu Al-khulq, Al-khuluq yang mempunyai arti watak, tabiat. Secara Istilah Akhlak menurutIbnu MaskawiAkhlak adalah sesuatu keadaan bagi jiwa yang mendorong ia melakukan tindakan-tindakan dari keadaan itu tanpa melalui pikiran dan pertimbangan.
Sedangkan yang dimaksud kedua orang tua adalah Bapak Ibu baik itu dari keturunan (Nasab) atau susuan, baik keduanya orang muslim ataupun kafir, termasuk juga kedua orang tua adalah nenek dan kakek dari kedua belah pihak.
Jadi akhlak kepada Orang Tua adalah Menghormati dan menyayangi mereka berdua dengan sopan santun dan berbakti kepada keduanya dalam keadaan hidup dan dalam keadaan sudah meninggal dunia.
Akhlak merupakan pembinaan budi pekerti anak sehingga menjadi budi pekerti yang mulia (akhlakul karimah). Proses tersebut tidak lepas dari pembinaan kehidupan beragama seorang anak secara total, akhlak mulia adalah suatu hal yang wajib dimiliki oleh setiap muslim, agar setiap muslim dapat memiliki akhlak mulia maka harus diajarkan. Orang tua berperan penting dalam pembentukan akhlak karena orang tua mempunyai kewajiban untuk menanaamkan akhlak karimah terhadap anak-anaknya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akhlak baik tidak dapat terbentuk kecuali dengan membiasakan seseorang berbuat suatu pekerjaan yang sesuai dengan sifat akhlak itu.[1]
Kepribadian atau akhlak seseorang tidak terbentuk secara tiba – tiba. Terdapat suatu hukum yang universal dalam pembentukan akhlak, mulai dari perilaku sampai terbentuk sebuah akhlak. setiap muslim diuntut untuk mengenali akhlaknya dengan baik, agar dapat mengidentifikasi akhlak negative mereka, sehingga mereka dapat merubah akhlak negative tesebut sesuai dengan akhlak seorang muslim sejati. Untuk dapat mengenali dan merubah akhlak, kita harus mampu mengetahui bagaimana proses terbentuknya akhlak, hal - hal apa saja yang dapat mempengaruhi terbentuknya akhlak. 
Akhlak juga yang mengendalikan diri anak untuk melakukan perbuatan baik termasuk taat kepada Allah SWT, berbakti kepaada orang tua, hormt terhadap yang lebihtua, dan sayang antara sesama muslim. Ahlak yerhadap orang tua sangatlah penting karena semuanya sudah di nash kan oleh Allah SWT, didalam Al-Quran serta hadits-hadits nabi juga memerintahkan untuk berbakti terhadap orang tua.
Berbakti kepada orang tua merupakan faktor utama diterimanya do’a seseorang, juga merupakan amal shaleh paling utama yang dilakukan oleh seorang muslim. Banyak sekali ayat Al-Qur’an ataupun Hadits yang menjelaskan keutamaan berbuat baik kepada kedua orang tua. Oleh karena itu, perbuatan terpuji ini seiring dengan nilai-nilai kebaikan untuk selamanya dan dicintai oleh setiap orang sepanjang masa.
Salah satu keutamaan berbuat baik kepada kedua orang tua, disamping melaksanakan ketaatan atas perintah Allah SWT adalah menghapus dosa-dosa besar.
B.     Dasar-Dasar Berbuat Baik kepada KeduaOrang Tua
Dasar-dasar keharusan berbuat baik kepada kedua orang tua adalah:
1.      Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa’: 36
36. sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,

2.      Allah berfirman dalam QS. Luqman: 14
14. dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Kita harus berbuat baik kepada kedua orang tua. Ibu telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah. Menyusui dan mengasuhnya selama 2 tahun. Bersyukurlah kepada Allah dan Orang tua. Jika kedua orang tua kita menyuruh berbuat dosa, maka jangan diikuti, tetapi tetaplah pergaulin keduanya didunia dengan baik[2].
Allah Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Ahqaf: 15
Artinya: (15). Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".
3.      Hadits.
a.       Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ:اَلصَّلاَةُ لِوَقْتِهَا قُلْتُثُــمَّ أَيٌّ؟ قَالَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُثُــمَّ أَيٌّ؟قَالَاَلْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ. (رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Aku bertanya kepada Rasulullah,apakah amal yang disukai Allah?’. Beliau menjawab ‘ sholat pada waktunya.’ Dia bertanya lagi, ‘kemudian apa?’ Beliau menjawab, ‘Berbuat baik kepada kedua orang tua.’ Dia bertanya lagi, ‘kemudian apa?’ Beliau menjawab, ‘Jihad pada jalan Allah’.”
b.      Dalam sebuah riwayat disebutkan:
Al-Bazar meriwayatkan dalam sebuah hadits dari Buraidah dari bapaknya bahwa ada seorang laki-laki yang sedang thawaf sambil menggendong ibunya, lalu dia bertanya kapada Nabi Muhammad “Apakah dengan ini sya sudah menunaikan haknya?” Beliau menjawab, “Belum walaupun secuil.”
c.       Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَجَاءَ رَجُلٌ اِلَى رَسُوْلِ اللهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَيَارَسُوْلَ اللهِ مَنْ اَحَقُّ بِحُسْنِصَحَابَتِيْ؟ قَالَأُمُّكَ قَالَثُـمَّ مَنْ؟ قَالَأُمُّكَ قَالَثُـمَّ مَنْ؟قَالَأُمُّكَ قَالَثُـمَّ مَنْ؟قَالَثُـمَّ مَنْ؟ قَالَثُـمَّ أَبُوْكَ (رواهالبخارى و مسلم)
Artinya: Dari Abu Hurairah ra berkata: seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata: Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak untuk saya pergauli dengan baik? Nabi menjawab: “Ibumu”. Dia bertanya (lagi): lalu siapa? Nabi menjawab: “Ibumu”. Dia bertanya (lagi): lalu siapa?Nabi menjawab: “Ibumu”. Dia bertanya (lagi): lalu siapa? Nabi menjawab: kemudian bapakmu. (H.R. Al-Bukhori dan Muslim)
d.      Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Amr bin Ash dikatakan:
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَاعَنِ النَّبِيِّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَرِضَااللهِ فِيْ رِضَاالْوَالِدَيْنِ وَسُخْطُ اللهِ فِيَْسُخْطِ الْوَالِدَيْنِ (اخرجه التّرمذى وصحّحه ابن حبّان والحاكم)
Artinya: Dari Abdullah bin Amr bin Ash RA., dari Nabi SAW beliau bersabda: “Keridlaan Allah terletak pada keridlaan kedua orang tua, dan kemarahan Allah terletak pada kemarahan kedua orang tua”. (dikeluarkan oleh Tirmidzi dan dibenarkan oleh Ibnu Hibban)
e.       Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa “ Seseorang datang kepada NabiMuhammad kemudian meminta izin untuk mengikuti jihad. Beliau lalu bertanya,“Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’Dia menjawab, ‘ya’. Beliaupun mengatakan ,’pada keduanya, hendaklah engkau berjihad’’ [3].
C.     Menjaga Akhlak Kepada kedua orang tua
1.      Mentaati perintah kedua orang tua
2.      Menolak perintah bermaksiat kepada allah dan rasul-Nya dengan cara baik dan Beretika.
3.      Berkata sopan dan tidak melukai hati, Menjaga akhlakkepada orang tua dapat dilakukan dengan menjaga adab berbicara kepada kedua orang tua dengan menggunakan bahasa yang baik, kalimat yang sopan, dan tidak menyakiti hati.Allah berfirman dalam Q.S. Al-Isra’ Ayat 24. Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah do’a : ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduannya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu kecil.”

4.      Merawat kedua orang tua lanjut usia dengan sabar dan ikhlas, Agar Akhlak kepada orang tua seorang muslim tetap terjaga hendaknya mereka menjaga orang tuanya hingga kahir hayatnya. Allah berfirman dalam Q.S. A-Isra’ ayat 23; Artinya: “… Bila salah satu dari keduanya atau kedua-duanya mencapai usia lanjut disisimu, maka janganlah kamu katakan : “uhf!” dan jangan pula menghardik, dan katakana kepada mereka perkataan yang mulia!”
5.      Mendo’akan orang tua semasa hidupnya dan setelah meninggal dunia, Dalam hadis riwayatAbu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, yang bersumber dari Abu Usaid bin Malik bin Rabiah As-Sa’idi, bahwa seorang laki laki Bani Salamah dating kepada Rasulullah, “apakah masih ada sesuatu yang aku dapat lakukan untuk berbakti kepada kedua orang tuaku setelah keduanya wafat?”. Beliau bersabda ,“ Ya, yaitu mendo’akan keduanya, memintakan ampun, menunaikan janjinya, menyambungpersaudaraan yang tidak disambungkecuali Karena keduanya, dan memuliakan kawan kawan mereka.”
Akhlak terhadap orang tua yang lain yaitu:
a.       Mencintai mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya.
b.      Merendahkan diri kepada keduanyadiiringi kasih sayang
c.       Berkomunikasi kepada orang tua dengan khidmat,mempergunakan kata-kata lemah lembut
d.      Berbuat baik kepada ibu-bapak dengan sebaik-baiknya
e.       Mendo’akan keselamatan dan keampunan bagi mereka yang orang tuanya sudah meninggal ataupun belum meninggal.[4]
D.    Dampak durhaka kepada orang tua.
1.      Anak-anak yang mendurhakai orangtuanya akan di kutuk oleh Allah, Sesuai dengan sabda Rasul yang artinya:“Barang siapa yang membuat ibu bapaknya marah , maka berarti membuat Allah marah kepadanya” (H.R Bukhari)
2.      Disegerakan siksanya di dunia ini. Sesuai dengan sabda Rasul yang artinya:“Semua dosa itu, siksanya akan di tangguhkan Allah sesuka-Nya, kecuali dosa karena dosa kepada orang tua, maka sesungguhnya Allah akan menyegerakannya dalam hidup di dunia ini sebelum meninggal dunia” (H.R Hakim)
E.     Manfaat berbakti kepadaorang tua
1.      Diridhai oleh Allah Azza wa Jalla, Dalam hadis Qudsi Allah swt berfirman:“Sesungguhnya yang pertama kali dicatat oleh Allah di Lawhil mahfuzh adalah kalimat: ‘Aku adalah Allah, tiada Tuhan kecuali Aku, barangsiapa yang diridhai oleh kedua orang tuanya, maka Aku meri­dhainya; dan barangsiapa yang dimurkai oleh keduanya, maka Aku murka kepadanya.”(Jâmi’us Sa’adât, penghimpun kebahagiaan, 2: 263).
2.      Disayangi oleh Allah swt, Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abi Thalib (sa): “…Wahai Ali, Allah menyayangi kedua orang tua yang melahirkan anak karena keberbaktiannya kepada mereka. Wahai Ali, barangsiapa yang membuat sedih kedua orang tuanya, maka ia telah durhaka kepada mereka.” (Al-Faqîh 4: 371)

FOOTNOTE
[1] Bukhori Umar, hadits tarbawi dalam perspektif hadits,(Jakarta: Amzah, 2014). hal 42-44.
[2]  Deden Makbuloh. Pendidikan Agama Islam: Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Pers. 2011. Hlm 149-150.
[3]  Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2010. Hlm. 107-109.
[4]  Mohammad Daud Ali. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2011. Hlm. 357.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...3
AKHLAK DALAM BEREKONOMI (IQTISHADIYAH)
Semakin berkembangnya dunia perekonomian, islam sudah sejak dulu membahas dunia perekonomian. Ini terbukti dari bangsa Arab yang melakukan kegitan perdagangan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, islam mengarahkan mekanisme berbasis moral spiritual dalam pemeliharaan keadailan sosial pada aktivitas ekonomi. 
Perekonomian sangat berpengaruh pada kehidupan manusia, semakin banyak materi yang di miliki maka manusia itu akan hidup bahagia tapi di sisi lain moral islam mengarahkan pada kenyataan bahwa hak milik harus berfungsi sebagai  pembebas manusia dari sifat materialistis. Dalam islam legistimasi hak milik akan bergantung dan erat sekali dengan pesan moral untuk menjamin keseimbangan kehidupan, konsep akhlak sangat erat sekali kaitannya dengan hukum Allah SWT yang bersangkut paut dengan halal haram. Allah menciptakan harta untuk umatnya tapi tidak untuk di salah gunakan, manusia merupakan perantara pemanfaatan harta yang di berikan oleh Allah dan pemanfaatannya harus mengutamakan kepentingan umat dan agama.[1]
Ada 4 nilai utama yang berhubungan dengan akhlak dan ekonomi yang berlandaskan Islam yaitu:
1.Rabbaniyah (keTuhanan) yaitu ekonomi yang sesuai dengan tuntunan Allah dan untuk mencari ridha Allah
2.Akhlak ekonomi yaitu dalam melakukan kegiatan ekonomi kaum muslim tidak boleh meninggalkan akhlak seperti aktivitas pariwisata kaum muslimin tidak boleh mengizinnkan membawa minuman khamr atau menjadikan rumahnya sebagai tempat berjudi serta menghalalkan yamg haram lainnya.
3.Ekonomi Kemanusiaan yaitu manusia harus bekerja keras dan berkreasi untuk mendapatkan perekonomian yang baik
4.Pertengahan yaitu adanya kesimbangan antara individu dan masyarakat.[2]
            Akhlak ekonomi juga merupakan tindakan ekonomi yang mencampur adukkan antara ranah ekonomi dan hukum agama yang merupakan penentuan kebijakan ekonomi yang di tujukan kepada umat muslim yang melekat pada watak manusia.[3]
Akhlak ekonomi sumber daya yang di gunakan secara rasional sesuai kebutuhan tidak boleh berlebih-lebihan, dalam kegiatan sehari-hari tanpa di sadari sebenarnya kita telah melakukan kegiatan ekonomi.[4] Akhlak Ekonomi dalam islam di gunakan untuk mencegah hal-hal yang di larang dalam islam. Di dalam melakukan kegiatan ekonomi kita harus tahu aturan-aturannya mana yang di perbolehkan
FOOTNOTE
[1].Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,Prenada Media Grup hlm.120-124
[2].Thonthowi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Robbani Press Jakarta hlm.23,25,27,64,83
[3].Arif Hoestoro, Ekonomi Islam,Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, halm.210
[4].Google, IPI, journal Akhlak Ekonomi Islam

AKHLAK DALAM KEGIATAN EKONOMI (IQTISHADIYYAH)

A.    Konsep ekonomi (usaha) dalam islam
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Bekerja merupakan suatu kewajiban karenaAllah swt memerintahkannya.
Permasalahan ekonomi umat manusia yang fundamentalis bersumber dari kenyataan bahwa kita mempunyai kebutuhan dan kebutuhan ini pada umumnya tidak dapat dipenuhi tanpa mengeluarkan sumber daya, energi manusia dan peralatan materiil yang terbatas. Bila kita memiliki sarana yang tidak terbatas untuk memenuhi semua jenis kebutuhan, maka masalah ekonomi tidak akan timbul. Sejauh mengenai masalah pokok kekurangan, hampir tidak terdapat perbedaan apapun antara ilmu ekonomi islam dengan ilmu ekonomi modern. Andaikata ada perbedaan, hal itu terletak pada sifat dan volumenya. Itulah sebabnya mengapa perbedaan antara kedua sistem ekonomi ini dapat ditemukan dengan memperhatikan penanganan masalah pilihan. Persoalan pilihan timbul dari kenyataan bahwa sumber daya kita begitu terbatas sehingga dipenuhinya suatu jenis keinginan berarti mengorbankan suatu kebutuhan lain yang tidak harus dipenuhi. Dalam ekonomi modern masalah pilihan tergantung pada bermacam-macam tingkah masing-masing individu, mereka mungkin atau mungkan juga tidak memperhitungkan persyaratan-persyaratan masyarakat. Namun dalam ekonomi islam. Kita tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber daya kita semua, dalam hal ini ada suatu pembatasan moral yang serius berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah. [1]
Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar antara lain :
1.      Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah SWT kepada manusia. Allah memberikan kekayaan kepada manusia untk digunakan sebagaimana mestinya, namun Dia adalah pemilik sebenarnya segala sesuatu. Sebagaimana firmannya dalam surat Taha ayat 6 : “Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.”
2.      Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu. Sesungguhnya Islam sangat menghormati milik pribadi, baik itu barang- barang konsumsi ataupun barang- barang modal. Namun pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain. Jadi, kepemilikan dalam Islam tidak mutlak, karena pemilik sesungguhnya adalah Allah SWT.
3.      Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. Sistem ekonomi yang berteraskan kepada kerjasama dan keseksamaan akan mewujudkan rasa kasih sayang, sifat tanggungjawab dan tolong-menolong di antara satu sama lain.
4.      Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasaioleh segelintir orang saja.
5.      Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakanuntuk kepentingan banyak orang.
Dalam sistem ekonomi Islam kepentingan individu dan kepentingan masyarakat adalah sehaluan dan selari, bukannya bertentangan di antara satu sama lain sebagaimana yang dirumuskan oleh sistem-sistem lain. Untuk mewujudkan keseimbangan ini, sistem ekonomi Islam memberi kebebasan bagi anggota masyarakat untuk terlibat dengan berbagai-bagai jenis kegiatan ekonomi yang halal di samping menyelaraskan beberapa bidang kegiatan tersebut menerusi kuasa undang-undang dan pemerintahan.
6.      Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti. Manusia tidak boleh mengabaikan bahagiannya di dunia ini. Manusia hendaklah bekerja sekuat-kuatnya untuk mendapatkan kebaikan di dunia dengan cara yang paling adil dan dibenarkan oleh undang-undang. Sebagaiman Firmannya dalam surat Al-Maidah ayat 87 - 88 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.
B.       Islam melarang riba dalam segala bentuk.
Kegiatan ekonomi yang  berteraskan kepada kesaksamaan serta menghapuskan penindasan dan penipuan adalah satu sistem yang benar-benar dapat menegakkan keadilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Di atas dasar inilah Islam membenarkan jual beli dan mengharamkan riba dan segala jenis penipuan.[2]
Sistem ekonomi Islam tidak boleh dipisahkan dari dasar-dasar aqidah dan nilai-nilai syariat Islam. Dari segi aqidah, sistem ekonomi Islam dilandaskan kepada hakikat bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemilik alam semesta seperti firman Allah dalam surat Luqman ayat 20 : Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan. [3]
C.     Akhlak dalam kegiatan ekonomi (usaha)
1.      Niat yang Benar.
Niat yang benar dalam hal ini adalah menginginkan kebaikan untuk diri sendiri        dan orang lain. Niat baik untuk diri sendiri berupa menjaga diri dari      kengkomsumsi harta yang haram, menjaga kehormatan sehingga tidak meminta-        minta, menguatkan diri sehingga bisa melakukan ketaatan kepada Allah,               menjaga jalinan silaturahmi, berbuat baik dengan kerabat dan niat-niat baik yang lain.
2.      Akhlak yang luhur.
Di antara akhlak luhur yang sangat diperlukan dalam dunia bisnis adalah jujur,        amanah, qana’ah, memenuhi janji, menagih hutang dengan bijak, memberi tempo            untuk orang yang kesulitan melunasi hutangnya, memaafkan kesalahan orang   lain, menunaikan kewajiban, tidak menipu dan tidak menunda-nunda pelunasan      hutang.
3.      Bisnis dalam hal-hal yang baik saja
Allah telah menghalalkan yang baik-baik saja dan mengharamkan yang buruk-          buruk bagi hamba-hambaNya. Seorang businessman muslim tidak akan keluar     dari bingkai ini meski ada tawaran yang menggiurkan dalam bisnis yang haram.
4.      Menunaikan kewajiban
Kewajiban yang paling penting adalah kewajiban terhadap Allah dalam harta para orang kaya. Itulah zakat, setelah itu adalah sedekah dan berbagai sumbangan sosial.
5.      Menjauhi riba dan berbagai transaksi terlarang yang mengantarkan kepada riba.     
6.      Tidak memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar
7.      Komitmen dengan berbagai peraturan yang ada
Meski ada beberapa peraturan yang tidak sejalan dengan syariat Islam,          businessman muslim akan semaksimal mungkin menghindari berbagai tindakan        yang akan menyebabkannya mendapatkan hukuman, bukan karena meyakini bahwa makhluk memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan. Akan tetapi bertitik tolak dari kewajiban yang Allah tetapkan yaitu mencegah mafsadah   (kerusakan) dan tidak mencampakkan diri ke dalam kebinasaan.
8.      Tidak merugikan pihak lain
Bisnisman muslim adalah seorang yang ksatria dalam persaingan bisnis. Dia             memiliki prinsip tidak merugikan pihak lain. Dia tidak akan mempermainkan      harta untuk merugikan pihak-pihak lain. Dia tidak akan mematok harga yang     tinggi karena memanfaatkan kebutuhan orang lain terhadap barang yang dia jual            atau karena mengingat dia adalah produsen satu-satunya.
9.      Loyal dengan orang-orang yang beriman
Oleh karena itu, businessman muslim tidak akan mengadakan hubungan dagang      dengan pihak-pihak yang secara terang-terangan menyatakan permusuhan   dengan Islam dan kaum muslimin.
10.  Mempelajari hukum-hukum syar’i seputar muamalah.
Di antara keyakinan setiap muslim adalah hukum-hukum syar’i itu mencakup           semua aspek kehidupan. Oleh karena itu, khalifah Umar mengusir pedagang yang    tidak menguasai hukum jual beli dari pasar kaum muslimin.
D.    Fungsi dan makna penting kekayaan dalam islam
Kekayaan bukanlah tujuan pokok atau sasaran utama manusia di muka bumi, melainkan sarana bagi seorang muslim dalam menjalankan perannya sebagai khalifah, di mana ia wajib memanfaatkan kekayaan tersebut demi pengembangan segenap potensi manusia dan meningkatkan kemanusiaan manusia di segala bidang, baik moral maupun material. Jadi, peningkatan kekayaan demi realisasi tujuan utama manusia sebagai khalifah di muka bumi, adalah sarana terbaik bagi akhirat. Tiada kebaikan bagi seseorang yang tidak berjuang mendapatkannya. Dalam hal ini, orang yang mengabaikan dan meninggalkan dunia tidak masuk dalam naungan Islam. Sedangkan orang yang berjuang meningkatkan kekayaan demi kekayaan itu sendiri, dan menjadikannya sebagai tujuan utama hidupnya sehingga ia begitu disibukkan dengan hal itu, dalam kasus ini kekayaan menjadi puncak dan sumber utama dari setiap kesalahan dan perbuatan dosa. Keadaan inilah yang menjauhkan manusia dari Tuhannya Yang Maha Memberi rezeki, dan hal ini mesti dijauhi.
Islam ingin agar seorang muslim berjuang meningkatkan kekayaan, menjadi tuan bagi kekayaannya itu, dan beroleh manfaat darinya. Islam tidak ingin seorang muslim menjadi budak hartanya dan melupakan tujuannya.
Islam tidak mengakui kekayaan dan cara-cara peningkatannya yang menjadi hijab (pemisah) antara seorang muslim dan Tuhannya Yang Maha Mencukupi kebutuhan-kekayaan yang membuatnya melupakan hasrat spiritualnya, melupakan misi besarnya untuk mewujudkan serta memelihara keadilan di muka bumi, dan mengikatnya dengan dunia. Sedangkan kekayaan dan cara-cara peningkatannya yang menghubungkan seorang muslim dengan Tuhannya Yang Maha Memberi karunia, membuatnya bisa beribadah dengan tenang dan nyaman; membuatnya bisa memanfaatkan, mengembangkan, serta menyempurnakan segala bakat dan potensinya; juga membantunya dalam mewujudkan cita-cita keadilan, persaudaraan, dan kehormatan. Inilah tujuan yang Islam bebankan kepada setiap muslim.
Namun kekayaan yang bersifat kebendaan itu sejatinya semu jika tanpa di dasari dengan kekayaan hati. Kekayaan materi bukanlah faktor utama menjadikan seseorang bisa menuai kebahagiaan, akan tetapi kekayaan jiwalah yang sesungguhnya menjadi modal penting. Sebab, materi jika tidak dikelola dengan baik bisa menjadi malapetaka.
Seorang muslim semestinya menyadari bahwa kekayaan hakiki itu letaknya ada pada keikhlasan jiwa dan kerelaan hati menerima karunia Illahi seberapapun besarnya. Selain itu,harta yang di berikan selama di dunia adalah amanah yang harus dimanfaatkan demi jalan Allah SWT. Dengan begitu,Ia akan di jauhkan dari memandang materi secara membabi buta, Itulah hakekat kekayaan yang sebenarnya.
Dengan hati yang ikhlas, ia tidak akan tergiur untuk melirik kekayaan materi dan segenap kenikmatan duniawi. Sebab segala kenikmatan itu justru bisa menjerumuskannya kedalam perbuatan yang tidak terpuji. Rasa sesal, menderita, dan mungkin perseteruan adalah sejumlah akibat yang mungkin di timbulkan oleh melimpahnya materi tanpa berkah.
Perlu di dasari, kekayaan duniawi dengan gemerlapnya yang sering melenakan hati, sesunggguhnya tidak berharga sedikitpun di sisi Allah. Jadi, mengapa mesti menghinakan diri dengan menghambakan kepadanya, dan kenapa pula manusia seringkali mengeluh dan menyesal hanya lantaran ada sedikit harta yang hilang.
E.     Akhlak Orang Kaya
Islam mengajarkan umatnya untuk memberi, sesuai dengan hadits yang artinya “ tangan di atas lebih baik dari tangan yang dibawah” ini menunjukan himbauan untuk memberi, artinya orang yang memberi itu lebih mulia daripada orang yang meminta – minta.
a.       Dermawan
Kedermawanan dalam bahasa Arab disebut Al-Sakhawah. Lawannya adalah kebakhilan (bukhl). Orang yang dermawan dinamakan sakhy atau karim. Salah satu nama Allah adalah Al-Karim, karena Allah adalah yang paling suka memberi. Katadermawan dalam kata bahasa Indonesia menunjuk pada seseorang yang sukaberderma, atau yang senang memberikan sebagian hartanya kepada orang lain baik dalam keadaan sempit maupun luas. Dermawan termasuk akhlak yang terpuji yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Imam al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin berkata “ apabila harta tidak dimiliki, maka manusia harus bersifat Qana’ah. Jika memiliki harta, maka ia harus mengutamakan orang lain dan bersifat dermawan serta menjauhi sifat kikir.[4]
Dalam ajaran agama Islam, kedermawanan merupakan salah satu kunci kebaikan dan   mulianya agama. Sesuai sabda Nabi Muhammad SAW :
“Sesungguhnya inilah agama ( Islam ) yang Aku ridhai untuk diri-Ku. Dan tidak akan memperbaiki agama ini kecuali dengan kedermawanan dan akhlak yang baik, karena itu muliakan agama ini dengan kedua hal itu”( Thabrani ).
keutamaan orang yang memiliki kekayaan dan mempunyai sifat dermawan diantaranya :
1.      menjadi orang yang dicintai oleh Allah SWT. Rasulullah SAW. bersabda :” Sesungguhnya Allah itu dermawan yang menyukai kedermawanan, menyukai akhlak – akhlak mulia, dan membenci akhlak yang buruk . “ ( Mutafaqun ‘alaih ).
2.      dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan jauh dari neraka. Dalamriwayat Abu Hurairah RA., Nabi SAW. diriwayatkan bersabda,“ Orang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusian, dan jauh dari             neraka. Orang yang bakhil jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga”
3.      Allah akan memberikan pahala dan mengganti harta yang ia dermakan dengan yang lebih baik dan lebih banyak. Allah SWT. Berfirman.
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.(QS. Al-Baqarah: 261)
4.      menjadikannya sehat lahir dan batin. Rasululllah SAW. bersabda,“ Obatilah orang – orang sakit diantara kalian dengan sedekah .” (HR. Baihaki)
1.      Menjauhi sifat kikir
Sifat kikir itu disebabkan oleh cinta harta, sedangkan cinta harta itu mempunyai dua sebab :
Pertama : kesukaan bersenang – senang, dan ini tidak bisa tercapai kecuali dengan harta dan disertai panjang angan – angan. Atau barangkali anaknya menggantikan kedudukan panjang angan – angannya sehingga dapat menahan hartanya demi mereka. Oleh karena itu , Nabi SAW bersabda : Anak itu menyebabkan sifat kikir dan sifat pengecut serta kebodohan. Apabila disamping itu ada rasa takut miskin dan kurang percaya akan datangnya rezeki , maka sifat kikir pun menjadi kuat.
Kedua : bila seseorang mencintai harta, sedang ia tahu bahwa ia tidak memerlukannya di saat ia sudah tua dan tidak punya anak. Akan tetapi ia mencintai harta itu sendiri. Ini adalah penyakit menahun di dalam hati. “Sekali-kali janganlah orang-orang yang kikir dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kekikiran itu baik bagi mereka. sebenarnya kekikiran itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” ( Q.S Ali Imran : 180 )
Cara mengatasi sifat kikir adalah dengan mengurangi syahwat, banyak mengingat mati, merenungkan kematian orang – orang yang telah mendahuluinya, menziarahi kubur, merenungkan cacing – cacing yang ada di dalamnya, dan memikirkan keadaan – keadaan itu. Perhatian terhadap anak diatasi dengan menyadari bahwa penciptaannya menciptakan rezeki bersamanya. Banyak anak yang mewarisi, sedang itu bukan rezekinya, dan banyak pula anak yang tidak mewarisi, padahal Allav ta’ala mengaruniainya harta yang banyak. Jika anaknya seorang yang shaleh , maka Allah ta’ala memimpin orang – orang yang shalih. Jika ia seorang yang fasik maka semoga Allah tidak memperbanyak anak-anak seperti itu , karena ia menggunakan hartanya untuk bermaksiat.
2.      Menghindari Sifat Takabbur.
sifat takabur merupakan salah satu sifat yang sangat berbahaya bagi seseorang dan juga membahayakan orang lain. Tidak sedikit perbuatan yang didasari sifat takabur ini menjadi penyulut terjadinya permusuhan di antara manusia. Dalam hubungan kemanusiaan sifat takabur ini akan menjauhkan seseorang dalam pergaulan hidupnya dengan orang lain. Sifat takabur ini muncul biasanya disulut oleh adanya keberhasilan dalam hidup seseorang. Orang yang memegang jabatan tinggi, orang kaya, dan orang yang sukses, akan mudah terjangkit sifat takabur ini. Namun, tidak sedikit juga orang yang tidak memiliki harta, orang kecil, dan orang-orang yang tidak berhasil memiliki sifat tersebut. Oleh karena itu, sifat ini harus dihindari dan dihilangkan dari pribadi muslim.
Takabbur menurut bahasa yaitu sombong. Sombong adalah sifat manusia yang menganggap dirinya lebih baik daripada orang lain. Ketika orang merasa bangga dengan apa yang dimilikinya (ujub) dan menganggap orang lain lebih rendah dari dirinya, maka hal itu disebut sombong atau angkuh.
Menurut imam Ghozali kesombongan adalah: sifat pada diri seseorang yang timbul karena melihat kepada dirinya. Kesombongan yang timbul pada lahirnya adalah seperti pengaruh dari sifat itu.[5]
Sifat ini harus dihindari oleh semua orang, khususnya orang kaya, karena kesombongan itu tercela, Allah ta’ala berfirman : “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. ( Q.S Al-A’raf : 146 ).
Cara menghindari sifat ini yaitu :
a.       Mendahulukan teman – temannya sebelum dirinya dalam majelis – majelis.
b.      Memakai baju sederhana dihadapan orang banyak.
c.        Seseorang harus berpikir siapakah dia sebenarnya. Bagaimana dia dulunya, sekarang, dan yang akan datang. Dengan menyadari bahwa dia dulunya berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah, serta keberadaannya sekarang juga masih banyak memiliki kelemahan, apakah patut dia itu takabur?
d.      Seseorang yang takabur harus banyak membaca ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi yang mengutuk sifat takabur dan menjelaskan akibat buruknya bagi manusia.
F.      Akhlak Orang Miskin.
1.      Qona’ah.
Qana’ah adalah sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari rasa tidak puas dan perasaan kurang. Orang yang memiliki sifat qana’ah memiliki pendirian bahwa apa yang diperoleh atau yang ada di dirinya adalah kehendak allah .
Kemiskinan itu terpuji, tetapi patutlah orang fakir atau miskin tidak mengharapkan milik orang lain. Hal itu bias terwujud kecuali dengan makan, minum, dan berpakaian, sesuai dengan kebutuhan. Maka ia pun merasa cukup dengan kadar yang paling sedikitdan paling rendah jenisnya. Ia tunda harapannya hingga sehari atau sebulan supaya tidak memperbanyak kesabaran atas kemiskinan yang dapat menyebabkan tamak dan meminta – minta serta merendahkan diri kepada orang kaya.[6]
Abu Hurairah berkata pada suatu hari Rasulullah SAW bersabda : “hai Abu Hurairah, apabila engkau merasa lapar maka makanlah sepotong roti serta segelas air, dan biarlah dunia hancur.
AkhlakQana’ah pun berfungsisebagai:
a.       Stabilisator: seorang muslim yang memiliki sifat qana’ah akan selalu berlapang         dada, berhati tenteram, merasa kaya dan berkecukupan, dan bebas dari        keserakahan.
b.      Dinamisator: kekuatan batin yang mendorong seseorang untuk meraih          kemenangan hidup berdasarkan kemandirian dengan tetap bergantung kepada     karunia Allah SWT.
2.      Sabar .
Seseorang yang ditakdirkan miskin harus bersabar terhadap keadaannya. Bahkan imam Ghazali menyebutkan bahwasannya orang miskin yang sabar itu lebih mulia dari orang kaya yang bersyukur. Meski beliau berkata di tempat lain, “Berapa banyak orang faqir yang bersabar lebih afdhal dibandingkan orang kaya yang bersyukur. Dan (begitu pula sebaliknya), berapa banyak orang kaya yang bersyukur lebih afdhal dibandingkan orang faqir yang sabar. Itulah orang kaya yang memberlakukan dirinya seperti orang faqir. Ia tidak memegang harta untuk dirinya kecuali sebatas kebutuhan darurat, dan selebihnya ia berikan untuk hal-hal kebaikan.
Dari Abū Hurairah, Nabi bersabda:
يَدْخُل فُقَرَاءُ الْمسْلمِينَ الْجنّةَ قَبْلَ أغْنِيَائِهِم بِنِصْفِ يَوْمٍ، وَهُوَ خَمْسُمِائَة عَامٍ
“Orang-orang faqir kaum muslimin mendahului orang-orang kaya dalam hal masuk surga selama setengah hari (di akhirat), yaitu lima ratus tahun.
Hadits di atas termasuk dalil yang digunakan oleh mereka yang mengatakan bahwa orang faqir yang sabar lebih utama dibandingkan orang kaya yang bersyukur.

FOOTNOTE
[1]MuhammadAbdul Mannan,Teori & Praktek Ekonomi Islam , (Yogyakarta: PT.Bhakti Dana Wakaf, 1993), hal. 20
[2]http://hadicahyono.dosen.narotama.ac.id/2011/04/14/sistem-ekonomi-dalam-islam/
[4] . Imam Al Ghazali , Ringkasan Ihya Ulumuddin , (Jakarta,Pustaka Amani : 1995 ), hal. 217
[5]Imam Al Ghazali , Ringkasan Ihya Ulumuddin, hal. 237. Jakarta pustaka azmi.
[6]Imam Al Ghazali , Ringkasan Ihya Ulumuddin, hal. 216, jakarta, pustaka azmi
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....4
HAKIKAT MANUSIA
A.    Pengertian Manusia
Manusia atau orang dapat diartikan berbedabeda menurutbiologisdan islam.Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens  (Bahasa Latinuntuk manusia), sebuah spesiesprimatadari golonganmamaliayang dilengkapiotak  berkemampuan tinggi.[5]
Menurut agama Islam itu sendiri, manusia adalah makhluk ciptaan Allahyang paling mulia di antara makhluk ciptaan-Nya yang lain, yang dipercaya untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dalam Alqur‘an, ada tiga kata yang digunakanuntuk menunjukan makna manusia. Kata yang digunakan adalah
1.      al basyar al insandanalKatabasyar diambil dari kata yang berarti `penampakan sesuatu dengan baik dan indah‘. Dari katabasyarahyang artinya `kulit‘. Jadi, manusia disebut denganbasyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang. Makamakna etimologisnya dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yangmemiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks,keamanan, kebahagiaan dan lain sebagainya. [6]
2.      Kata al-insan berasal dari kataal-unsSecara etimologi,al-insandapatdiartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Kataal-insan mengandung makna kesempurnaan sesuai dengan tujuan penciptaannya dankeunikan manusia sebagai makhluk Allah yang telah ditinggikan-Nya beerapaderajat dari makhluk-makhluk lain.[7]
3.      Kata alNas menunjukkan pada eksistensi manusia tanpa melihat statuskeimanan atau kekafirannya. Kata al-nash dinyatakan Allah dalam al-Qur‘an.
 Artinya: Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukanorang-orang yang beriman.(Q.S. Al-Baqarah:8)
B.     Hakikat Kejadian Manusia
Hakikat manusia bersumber pada dua asal. 
1.      ashalalba’id (asal yang jauh), yaitu penciptaan pertama dari tanah yang kemudian Allahmenyempurnakannya dan meniupkan kepadanya sebagian ruh-Nya
2.      ashalalqarib(asal yang dekat), yaitu penciptaan manusia dari nutfah.Yang terdapat dalam firman Allah:[8]Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian diamenjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian diamenyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
C.     Penciptaan manusia selanjutnya adalah melalui proses biologi yang dapatdipahami secara sainsempirik. Didalam proses ini, manusia diciptakan dari intisari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang tersimpan di dalam tempatyang kokoh (rahim). Seperti firman Allah berikut:[9]
Artinya:”Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudianair mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itukami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikantulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengandaging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.(Q.S. Al-Mukminun:12-14)
D.    Berbicara mengenai pandangan filsafat tentang hakikat manusia, ada 4 aliranyang ditawarkan oleh para ahli filsafat. Adapun keempat aliran tersebut, sepertiyang dikutip jalaluddin dan Zuhairini adalah sebagai berikut: 
1.      Aliran Serba Zat,Aliran ini menyatakan bahwa yang sungguhsungguh ada hanyalah zat ataumateri. Zat atau materi itulah hakikat sesuatu. Alam ini adalah zat atau mmateri.[10]dan manusia adalah unsure alam. Oleh karena itu, hakikat manusia adalah zatatau materi.
2.      Aliran serba ruhAliran ini berpandangan bahwa hakikat segala sesuatu yang ada di dunia iniadalah ruh. Adapun zat atau materi adalah manifestasi ruh di atas dunia ini.Dengan demikian, jasad atau badan manusia hanyalah manifestasi atau penjelmaan ruh.
3.      Aliran DualismeAliran ini menggabungkan pendapat kedua aliran diatas. Aliran ini berpandangan bahwa hakikatnya manusia terdiri dari substansi, yaitu jasmanidan rohani. Kedua substansi ini merupkan unsure asal, tidak tergantung satusama lain. Jadi, adan tidak berasal dari ruh, dan sevaliknya, ruh tidak berasaldari badan.
4.      Aliran EksistensialAliran ini memandang manusia dari segi eksistensinya. Menurut aliran ini,hakikat manusia merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya darimanusia. Intinya, hakikat manusia adalah pada yang menguasai manusiasecara menyeluruh.Dalam penciptaannya manusia dibekali dengan beberapa unsure sebagaikelengkapan dalam menunjang tugasnya. Unsur-unsur tersebut ialah.
a.       Dari segijasmani,Allah telah jadikan manusia dalam bentuk yang palingindah. Tidak ada makhluk yang mempunyai bentuk yang lebih indah darimanusia. Malaikat dan jin tidak mempunyai bentuk: hanya mereka dapatmenyerupakan diri mereka dengan manusia atau lain-lainnya. (al-Tin:4)
b.      Dari segirohani, Allah telah menjadikan manusia di atas fitrah yang hanif,iaitu: sifat semulanjadi manusia adalah lurus, bersih, suci dan sukakankebaikan. (ar-Rum:30)3.Akal: dengannya manusia dapat mencapai ilmu pengetahuan dan kemampuanuntuk memanfaatkan segala yang Allah cipta untuk mereka. Dapat
FOOTNOTE
(1). Zuhairini, filsafat pendidikan islam, jakarta, bumi aksara, 2004, 82.
(2). Al-Rasyidin, H. Samsul Nizar, filsafat pendidikan islam
Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis
, (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005) hal 1-2
(3). Ibid h. 11
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....5
DINAMIKA RUHANI
A.    Hakikat mansuia
Allah menciptakan manusia dalam keadaan fitrah dengan dibekali beberapa potensi yakni potensi yang ada dalam jasmani dan rohani. Bekal yang dimiliki manusia pun tidak hanya berupa asupan positif saja, karena dalarn diri manusia tercipta satu potensi yang diberi nama nafsu. Dan nafsu ini yang sering membawa manusia lupa dan ingkar dengan fitrahnya sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi. Untuk itu manusia perlu mengembangkan potensi positif yang ada dalam dirinya untuk mencapai fitrah tersebut.
Manusia merupakan makhluk pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu sebagai khalifäh Allah dan Abdullah (Abdi Allah). Untuk mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah potensi didalam dirinya. Potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafs, akal, qalb, dan fitrah.[1]
B.     Hakikat Fitrah Manusia
 Dalam dimensi pendidikan, keutamaan dan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk Allah lainnya  terangkum dalam kata fitrah. Secara bahasa, kata fitrah berasal dari kata fathara ( فطر ) yang berarti menjadikan. Kata tersebut berasal dari akar kata al-fathr ( الفطر ) yang berarti belahan atau pecahan.
Setiap manusia dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan fitrah, hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Hanya bapak ibulah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”. (H.R. Muslim)
Dalam Al-Quran terdapat banyak kata yang mengacu pada pemaknaan kata fitrah. Secara umum, pemaknaan kata fitrah dalam Al-Quran dapat dikelompokkan dalam empat makna, yaitu sebagai berikut[2]:
1.      Proses penciptaan langit dan bumi
2.      Proses penciptaan manusia
3.      Pengaturan alam semesta beserta isinya dengan serasi dan seimbang
4.      Pemaknaan pada agama Allah sebagai acuan dasar dan pedoman bagi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Selanjutnya bila makna kata fitrah dikaitkan pada manusia dapat dipahami dengan merujuk firman Allah surat al-Ruum ayat 30 sebagai berikut:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٣٠)
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Secara umum, para pemikir muslim cenderung memaknainya sebagai potensi manusia untuk beragama (tauhid ila Allah). Fitrah diartikan sebagai kemampuan dasar untuk berkembang dalam pola dasar keislaman (fitrah islamiah) karena faktor kelemahan diri manusia sebagai ciptaan Allah yang berkecenderungan asli untuk berserah diri kepada kekuatan-Nya.[3]
Secara lebih komprehensif, Muhammad bin Asyur, seperti dikutip Quraish Shihab mendefinisikan fitrah sebagai berikut: “Fitrah (makhluk) adalah bentuk lain dari sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan jasmani dan akalnya.[4]
Kemudian ada pula yang mengartikan fitrah sebagai iman bawaan yang telah diberikan Allah kepada manusia sejak masih dalam kandungan. Hal ini merujuk kepada Surat Al-A’raf ayat 172:
Artinya:Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”,
Namun kedua pendapat tersebut menimbulkan banyak kontroversi diantara para cendekiawan muslim. Oleh karena itu para pemikir muslim lainnya mencoba mencari definisi lain dari kata fitrah, yaitu definisi yang dianggap lebih sesuai dengan kemampuan, fungsi dan kedudukan manusia sebagai makhluk Allah yang sempurna.
Menurut H.M. Arifin, fitrah adalah suatu kemampuan dasar manusia yang dianugerahkan Allah kepadanya, yang di dalamnya terkandung berbagai komponen psikologis yang satu sama lain saling  berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia. Kemampuan dasar manusia merupakan alat untuk mengenal Allah dan mengabdi kepadaNya. Komponen psikologis yang terkandung dalam fitrah yaitu berupa kemampuan dasar untuk beragama, naluri, dan bakat yang mengacu kepada keimanan kepada Allah.
“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada orang yang dilahirkan (di dunia) kecuali dalam keadaan fitrah. Maka orang tualah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak yang telah melahirkan anak-anaknya, apakah engkau membersihkan unta yang termasuk binatang ternah? Kemudian Abu Hurairah RA mengatakan: bacalah jika kalian semua menghendakinya; (tetaplah atas) fitrah Allah SWT yang menciptakan manusia menurut fitrah itu” (HR. Bukhari).
Rujukan di atas memberikan pengertian, bahwa lingkungan sebagai faktor eksternal, ikut mempengaruhi dinamika dan arah pertumbuhan fitrah seorang anak. Semakin baik penempaan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, bila penempaan dan pembinaan fitrah yang dimiliki tidak pada fitrah-Nya, maka manusia  akan tergelincir dari tujuan hidupnya.
Gambaran fitrah beragama manusia dapat dilihat dalam hal dimana manusia tidak dapat menghindari ketentuan bahwa dirinya telah diatur secara menyeluruh oleh hukum Allah, kemudian mereka diberi oleh Allah kemampuan akal dan kecerdasan.  Kemampuan akal dan kecerdasan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain.
Manusia  dilengkapi dengan fitrah dari Allah berupa keterampilan yang dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Dengan keterampilan tersebut manusia semakin lama mencapai peradaban yang tinggi dan maju. Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini, menurut fitrahnya akan mampu berkembang kepada kesempurnaan. Kesempurnaan yang dimaksud disini bukan hanya kesmpurnaan fisik , melainkan termasuk kesempurnaan kepribadian yang mecerminkan figur seorang muslim sejati.
Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia itu berkaitan antara badan dan roh. Islam secara tegas mengatakan bahwa badan dan roh adalah substansi alam sedangkan alam adalah makhluk dan keduannya diciptakan oleh allah. Dalam hal ini bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menuruthukum dan materil.
Menurut islam , manusia terdiri dari substansi materi dari bumi dan roh yang berasal dari tuhan. Oleh karena itu¸hakikat manusia adalah roh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang di pergunakan oleh roh semata. Tanpa kedua substansi tersebut tidak dikatakan manusia.[5]
Pada hakikatnya umat manusia itu didalam hidupnya selalu diliputi dua hal yang sangat dominan yaitu: Harapan dan Kecemasan. Harapan adalah Akan ada kehidupan yang baik, sejahtera, tentram, aman, kecukupan rizki serta segala yang menyenangkan dan memuaskan. Sedangkan Kecemasan adalah Akan ada kehidupan yang tidak baik, malapetaka , bencana, kesengsaraaan, dan serba menakutkan. [6]
C.     Komponen Dasar Fitrah Manusia
Jika kita perhatikan berbagai pandangan para ulama dan ilmuwan Islam yang telah memberikan makna terhadap istilah “FITRAH” yang diangkat dari firman Allah dan sabda Nabi bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar berkembang manusia yang dianugrahkan Allah kepadanya. Di dalamnya terkandung berbagai komponen psikologi yang satu sama lain berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia.
            Komponen-komponen fitrah tersebut adalah:
1.      Kemampuan dasar untuk baragama Islam (ad-dinul qayyimaah), di mana factor iman merupakan intinya beragama manusia. Muhammad ‘Abduh, Ibnu Qayyim, Abu A’lah Al-Maududi, Sayyid Qutb berpendapat sama bahwa fitrah mengandung kemampuan asli untuk beragama Islam, karena Islam adalah agama fitrah atau identik dengan fitrah. Al i Fikry lebih menekankan pada peranan heriditas (keturunan) dari bapak-ibu yang menentukan keberagamaan anaknya. Faktor keturunan psikologi (heriditas kejiwaan) orang tua anak merupakan salah satu aspek dari kemampuan dasar manusia itu.
2.      Mawahid (bakat) dan Qabiliyyat (tendensi atau kecenderungan) yang mengacu kepada keimanan kepada Allah. Dengan demikian maka “fitrah” mengandung komponen psikologi yang berupa keimanan tersebut. Karena iman bagi seorang mukmin merupakan elan vitale (daya penggerak utama) dalam dirinya yang memberi semangat untuk mencari kebenaran hakiki dari Allah.
Prof. DR. Mohammad Fadhil Al-Djamaly, juga berpendapat bahwa Islam itu adalah Agama yang mendorong manusia untuk mencari pembuktian melalui penelitian, berfikir dan merenungkan ke arah iman yang benar.
3.      Naluri dan kewahyuan (revilasi) bagaikan dua sisi dari uang logam; keduanya saling terpadu dalam perkembangan manusia. Menurut Prof. DR. Hasan Langgulung, FITRAH itu dapat dilihat dari dua segi yakni: Pertama, segi naluri sifat pembawaan manusia atau sifat-sifat Tuhan yang menjadi potensi manusia sejak lahir, dan yang Kedua, dapat dilihat dari segi wahyu yang diturunkan kepada Nabi-nabi-Nya. Jadi potensi manusia dan agama wahyu merupakan satu hal yang nampak dalam dua sisi; ibaratnya mata uang logam yang mempunyai dua sisi yang sama. Mata uang itu kita ibaratkan fitrah
Dilihat dari sisi ia adalah potensi dan sisi lain adalah wahyu.
Prof. Langgulung memandang bahwa sifat-sifat Tuhan yang macam (Asma Al-Husna) merupakan potensi yang masing-masing berdiri sendiri. Tetapi bila dikombinasikan akan timbul sifat-sifat atau potensi manusia yang jumlahnya berjuta-juta macamnya.
Kemampuan dasar untuk beragama secara umum, tidak hanya terbatas pada agama Islam. Dengan kemampuan manusia dapat dididik menjadi agama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi, namun tidak dapat dididik menjadi atheist (anti Tuhan). Pendapat ini diikuti oleh banyak ulama Islam yang berpaham ahli Mu’tazilah antara lain Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun.
Dalam fitrah tidak terdapat komponen psikologis apapun, karena fitrah diartikan sebagai kondisi jiwa yang suci bersih yang reseptif terbuka kepeda pengaruh eksternal, termasuk pendidikan. Kemampuan untuk mengadakan reaksi atau responsi (jawaban) terhadap pengaruh dari luar tidak terdapat di dalam fitrah.[7]
Pendapat ini dikembangkan oleh para ulama ahli Sunnah Wal Jama’ah atau beberapa filosof muslim antara lain: Al-Ghazaly. Untuk lebih jelasnya berikut ini dikemukakan sebuah diagram tentang fitrah dan komponen-komponennya:
Komponen komponen diatas menunjukan aspek-aspek psikologis fitrah yang saling pengaruh mempengaruhi antara satu aspek terhadap aspek lainnya. Aspek-aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Fitrah adalah faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang terbawa sejak lahir yang berpusat pada potensi dasar untuk berkembang. Potensi dasar itu berkembang secara menyeluruh (integral) yang menggerakkan seluruh aspek-aspeknya yang secara mekanistis satu sama lain saling pengaruh mempengaruhi menuju ke arah tujuan tertentu. Aspek-aspek fitrah adalah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis, responsif terhadap lingkungan sekitar, termasuk pengaruh pendidikan.
Komponen-komponen dasar tersebut meliputi :
1.      Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu kepada perkembangan kemampuan akademis (ilmiah) dan keahlian (profesional)dalam berbagai bidang kehidupan.
2.      Insting atau gharizah, adalah suatu kemampuan berbuat atau bertingkah laku dengan tanpa melalui proses belajar.
3.      Nafsu dan dorongan-dorongannya (drivers)
4.      Karakter atau watak tabiat manusia adalah merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak kelahirannya.
5.      Hereditas atau keturunan adalah merupakan faktor kemampuan dasar yang mengandung ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang diturunkan/diwariskan oleh orang tua baik dalam garis yang dekat maupun yang telah jauh.
6.      Intuisi adalah kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham tuhan.[8]
D.    Macam-Macam Fitrah Manusia
Menurut Ibnu Taimiyah, dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi (fitrah), yaitu[9]
1.      Daya intelektual (quwwat al-‘aql), yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan daya intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
2.      Daya ofensif (quwwat al-syahwat), yaitu potensi dasar yang mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
3.      Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya. Namun demikian , diantara ketiga potensi tersebut, di samping agama – potensi akal menduduki posisi sentral sebagai alat kendali (kontrol) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada secara maksimal, sebagaimana yang disinyalir oleh Allah dalam kitab dan ajaran-ajaranNya. Penginkaran dan pemalsuan manusia akan posisi potensi yang dimilikinya itulah yang akan menyebabkannya melakukan perbuatan amoral.
Diantara ketiga potensi tersebut, disamping potensi agama, potensi akal menduduki sentral sebagai alat kendali dua potensi lainnya.
Ada juga pendapat Ibn Taimiyah yang dikutip Nurchalis Majdid yang membagi fitrah manusia kepada dua bentuk yaitu:
1.       Fitrat al-gharizat merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya semenjak ia lahir. Potensi tersebut antara lain nafsu, akal, hati nurani yang dapat dikembangkan melalui jalur pendididkan.
2.      Fitrat al-munaazalat merupakan potensi luar manusia. Adapun wujud dari fitrah ini yaitu wahyu Allah yang diturunkan untuk membimbing dan mengarahkan fitrat al-gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif.
Semakin tinggi tingkat interaksi antara keduanya maka akan semakin tinggi kualitas manusia (insan kamil). Akan tetapi sebaiknya, semakin rendah tidak mengalami keserasian, bahkan berebenturan antara satu dengan yang lainnya maka manusia akan semakin tergelincir dari fitrahnya yang hanif.
Muhammad Bin Asyur sebagamana disitir M. Quraish Shihab dalam mendefinisikan fitrah manusia ada beberpa potensi yang dimiliki oleh manusia diantaranya yaitu:
1.      Potensi jasadiah, yaitu contohnya potensi berjalan tegak dengan menggunakan kedua kaki.
2.      Potensi akliyahnya, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk menarik sesuatu kesimpulan dari sejumlah premis.
3.      Potensi rohaniyah, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk dapat merasakan senang, nikmat, sedih, bahagia, tenteram, dan sebagainya.
Dari beberapa pendapat para ahli tentang macam-macam potensi manusia, maka dapat diambil kesimpualan bahwa potensi manusia yang dibawa sejak lahir terdiri dari:
1.      Potensi agama
2.      Potensi akal yang mencangkup spiritual
3.      Potensi fisik atau jasadiah
4.      Potensi rohaniah mencangkup hati nurani dan nafsu[10]

E.     POTENSI MANUSIA
Dalam eksistensinya manusia tidak dapat dipisahkan dari ketergantungannya pada orang lain, karena  manusia merupakan makhluk sosial. Kita tadi sudah berbicara tentang  hakikat manusia itu sendiri. Sastraprateja mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang historis. Ha kikat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarahnya, dalam sejarah bangsa manusia itu sendiri.[11]
Mengenai  potensi manusia, kitab suci Al-Quran memperkenalkan dua kata kunci untuk memahami manusia secara komprehensif yaitu al-insan dan al-basyar. Kata insan jika dilihat dari asal kata anasa mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta izin. Hal ini berarti bahwa adanya keterkaitan manusia dengan kemampuan penalaran yaitu melalui penalaran manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, dapat mengetahui mana yang benar dan yang salah, dan  terdorong untuk meminta izin untuk menggunakan sesuatu yag bukan miliknya[12]
Pengertian ini menunjukkan adanya potensi untuk dapat dididik pada diri manusia, artinya manusia merupakan makhluk yang dapat diberi pelajaran atau pendidikan. Kemudian kata insan bila dilihat dari asal kata nasiya yang artinya lupa, menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk yang tidak luput dari lupa dan salah.
Adapun kata basyar adalah jamak dari kata basyarah yang artinya permukaan kulit kepala, wajah, dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Dalam Al-Quran pemakaian kata basyar memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kata tersebut adalah anak Adam yang biasa makan dan berjalan di pasar-pasar. Dengan demikian kata basyar mengacu kepada manusia dari aspek lahiriyahnya.[13]
Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa manusia, dilihat dari kaitannya dengan kata insan, merupakan makhluk yang potensial. Potensi-potensi yang dimiliki manusia tersebut menjadi alat utama dalam memperoleh pengajaran dan pendidikan. Kemudian jika dikaitkan dengan kata basyar, manusia satu dengan lainnya merupakan makhluk yang sama dari aspek lahiriyahnya, yaitu makhluk yang memiliki kesamaan dalam bentuk tubuh, makan dan minum dari sumber yang sama dari alam ini, sama mengalami pertumbuhan dan perkembangan dan pada akhirnya akan menemui ajalnya, kembali kepada Sang Khaliq.
Jadi pada dasarnya manusia memiliki potensi jasmani dan rohani. Potensi jasmani mengacu pada kata basyar dan potensi rohani mengacu pada kata insan. Dengan potensi tersebut mampu menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi, sebagai pendukung, penerus dan pengembang kebudayaan.
Manusia merupakan makhluk yang sangat luar biasa dengan segala potensi yang dimilikinya. Pada saat sekarang ini telah banyak terjadi perkembangan dan kemajuan yang dibuat oleh manusia. ini disebabkan oleh potensi otak manusia yang luar biasa hebat. Kemampuan otak manusia dapat menerima dan menyimpan banyak memori. Dengan pemanfaatan otak ini manusia telah banyak menciptakan inovasi baru. Untuk itu manusia hendaknya selalu mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah, salah satunya dengan memanfaatkan fungsi otak kearah yang lebih baik yang akan menjadikannya makhluk yang bermartabat, baik dimata Allah maupun dalam pandangan masyarakat.
Pada hakikatnya manusia sejak lahirnya telah diberi oleh Allah berbagai macam potensi. Potensi-potensi tersebut berupa potensi untuk mendengar (sam’a), potensi untuk melihat (abshara), dan potensi memahami dengan hati (af-idah). Ketiga potensi tersebut merupakan potensi dasar yang perlu dikembangkan sebaik dan semaksimal mungkin.
Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
F.      Fitrah Sebagai Inner Potential
Inner potential dalam istilah maslow disebut kodrat batin yang bersifat pembawaan, intrinsik, tidak jahat, dan cenderung baik  sementara dalam bahasa psikologi sufistik, dimaknai  fitrah rûhaniyyah atau inner potential yang memiliki daya positif. Inner potential ini, bila dikembangkan terus melalui jalan tashfiyat al nafs (penjernihan jiwa dari hal-hal yang tercela dan pengembangan melalui berbagai perbuatan terpuji) maka secara psikologis akan  berpengaruh positif terhadap kesalihan tingkah laku. dengan demikian, inner potential sebagai potensi ruhaniah memiliki hubungan fungsional dengan tingkah laku psikologis yang dimunculkan. Tesis tersebut dibangun atas dasar sebuah pandangan yang menyatakan, bahwa “suasana batin yang kondusif dalam keadaan sempurna dan bersih, akan memunculkan tingkah laku yang baik dan positif. Kemungkinan ini terjadi karena dalam realitas hampir tidak mungkin ntingkah laku muncul dipermukaan tanpa adanya sebab dalam bentuk dorongan yang berbasis kebutuhan psikologis
Manusia sebagai objek kajian psikologi sufistik tidak hanya dimaknai dalam keterkaitannya dengan dimensi jasmaniah dan kejiwaan dalam tataran psikofisik, tetapi pemaknaannya dikaitkan juga dengan dimensi ruhaniah dalam tataran spiritual dan transendental. Konsep di atas didasarkan atas sebuah pandangan, bahwa manusia diciptakan dari dua unsur, jasmaniah dan ruhaniah. unsur jasmaniah terdiri dari materi, sedang unsur ruhaniah berasal dari tuhan yang bersifatspiritual dan transendental. karenanya, ada pendapat yang menyatakan bahwa manusia selain memiliki sifat sifat kemanusiaan (nasût), jugamemiliki potensi ketuhanan (lahût).
Atas dasar pemikiran tersebut, maka manusia dalam persepektif psikologi sufistik dituntut untuk menumbuh kembangkan potensi ruhaniyah melalui tahapan takhalli, tahalli, dan tajalli hingga sampai  pada tingkat manusia ideal atau insan kamil dari sisi psikologi sebenarnya merupakan proses aktualisasi diri, dimana manusia mencoba dan berusaha mewujudkan akhlak ilahiyah sebagai roto tipenya, sehingga timbul kesadaran yang kuat untuk mengubah situasi hidupnya ke arah hidup yang bermakna pemancaran sifat-sifat ilahi dalam wujud akhlak insane merupakan perintah allah.[14]
Potensi ruhaniyah ( Inner Potensial) meliputi ;
1.      al-Qalb
Menurut Al-Ghazali qalb mempunyai dua pengertian. Arti pertama adalah hati jasmani (al-Qalb al-jasmani) atau daging sanubari (al-lahm al-sanubari), yaitu daging khusus yang berbentuk jantung pisang yang terletak di dalam rongga dada sebelah kiri dan berisi darah hitam kental. Qalb dalam arti ini erat hubungannya dengan ilmu kedokteran, dan tidak banyak menyangkut maksud-maksud agama dan kemanusiaan, karena hewan dan orang mati pun mempunyai qalb. Sedangkan qalb dalam arti kedua adalah sebagai luthf rabbani ruhiy. al-Qalb merupakan alat untuk mengetahui hakikat sesuatu.
Alqalb sebagai inner potensial bila diberdayakan secara optimal, dapat berfungsi sebagai pemandu bagi pengembangan semua tingkah laku, qalb yang berfunsi secara optimal dapat dikategorikan sebagai qlbu salim atau hati yang sehat, yang indikasinya dapat diperhatikan melalui cirri – cirri sebagai berikut:

1. selamat dari setiap nafsu yang menyalahi ajaran Allah,
2. selamat dari hal – hal yang yang berlawanan dengan kebaikan dan kebenaran,
3. selamat dari penghambaan selain Allah ,
4. bila mencintai dan membenci sesuatu karena Allah
5. memiliki sikap kepribadian yang baik terhadap didri sendiri,
6. memiliki keseimbangan mental dan
7. memiliki empati dan kepekaan social[15]
2.      al-Aql
Ada beberapa pengertian tentang aql. Pertama, aql adalah potensi yang siap menerima pengetahuan teoritis. Kedua, aql adalah pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemuhalan sesuatu yang mustahil yang muncul pada anak usia tamyiz, seperti pengetahuan bahwa dua itu lebih banyak dari pada satu dan kemustahilan seseorang dalam waktu yang bersamaan berada di dua tempat. Ketiga, aql adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman empirik dalam berbagai kondisi. Keempat ,aql adalah potensi untuk mengetahui akibat sesuatu dan memukul syahwat yang mendorong pada kelezatan sesaat.[16]
Aql sebagai inner potensial dan sebagai alat berfikir atau daya fikir, dalam psikologi sugistik memiliki 4 potensi:
1. Potensi yang dapat membedakan citra manusia dengan hewan,
2. Potensi yang dapat mengetahui perbuatan baik yang selanjutnya diamalkan dan perbuatan buruk selanjutnya ditinggalkan,
3. Potensi yang dapat menyerap pengalaman, dan
4. Potensi dapat mengantarkan seseorang untuk mengetahui akibat segala tindakan[17]
3.      al-Ruh
Para ulama berbeda –beda dalam mengartikan ruh. Sebagaian mengartikan kehidupan (al-hayah). Sementara menurut al-Qusyairi, ruh adalah jisim yang halus bentuknya (sebagaimana malaikat, setan) yang merupakan tempat akhlak terpuji. Dengan demikian ruh berbeda dengan al-nafs dari sisi potensi positif dan negatif. Nafsu sebagai pusat akhlak tercela sementara ruh sebagai pusat akhlak terpuji. Ruh juga merupakan tempat mahabbah pada Allah.[18]
4.      al-Nafs
Al-Nafs sebagai inner potential dibedakan menjadi 2 pengertian. Pertama, al-Nafs sebagai subtansi badani yang berpotensi amoral, mengabaikan pertimbangan akal / hati nurani manusia. Nafs ini cenderung mengartikan al-Nafs dengan konotasi negatif. Itulah sebabnya nafsu wajib diperangi (mujahadah al-nafs).[19]
Kedua sebagai subtansi yang berepotensi baik dan beradap. al-Nafs dalam arti ini mendapat berbaga i julukan sesuai dengan kondisinya. Jika al-Nafs dalam menghadapi syahwat dengan tenang maka dijuluki al-Nafs al-Muthmainnah, Jika al-Nafs dalam menghadapi syahwat dengan tidak tenang tapi lebih cenderung mengikutinya maka diberi julukan al-Nafs al-Ammarah, Nafs al-Nafs al-Ammarah bisa menjadi al-Nafs al-Muthmainnah manakala seseorang terbebas dari akhlak yang tercela.[20]
Menurut al-Ghazali nafsu diartikan “Perpaduan kekuatan marah (gadlab) dan syahwat dalam diri manusia”. Kekuatan ghadlab pada awalnya tentu untuk sesuatu yang positif seperti untuk mempertahankan diri, mempertahankan agama dan sebagainya. Dengan adanya ghdlab itulah jihad diperintahkan dan kehormatan diri terjaga. Dengan kekuatan marah seorang wanita menolak untuk dinodahi agama dan kehormatannya. Dengan kekuatan marah seseorang dapat menumpas kedhaliman dan sebagainya. Namun ketika gadlab tidak terkendali maka yang terjadi adalah kehancuran dan akhlak tercela. Demikian juga dengan syahwat (syahwat sek) perkembangbiakan manusia tetap berjalan, perpaduan antara pria dan wanita yang membentuk satu keluarga bisa terjadi sehingga akan terbentuk komunitas sosial. Dengan syahwat (makan dan minum), muamalah mencari rejeki dapat berjalan. Bisa dibayangkan seandainya tidak ada syahwat makan, minum dan sebagainya tentu roda perekonomian tidak mungkin berjalan. Namun bila syahwat tidak dikendalikan maka yang terjadi adalah kehancuran dan akhlak tercela[21]
Islam disebut agama fithrah karena merupakan jalan hidup yang dikehendaki dan ditunjukan oleh fithrah manusia. Sebab, didalam islam tekandung pengertian penyerahan hamba kepada kehendak Allah swt. Dan fithrah manusia itu sesuai dengan kehendaknya. [22]

FOOTNOTE
[1] Samsul Nizar , Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam,Jakarta : Media Pratama, 2001, hal 78
[2]  Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam, , Jakarta : Media Pratama , hal 37
[3] M. Arifin, Filasafat Pendidkan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, hal 160
[4] http:// hakikat-fitrah-manusia.html
[5] Jalaudin, Filsafat Pendidikan Islam,Jakarta: Raja Grafindo Persada,2011, hal 127
[6] Abu Ahmadi, Dasar DasarPendidikanAgama Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1991, hal 16

[7] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam,Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hal 97-100

[8] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam,Jakarta: Bumi Aksara , 2000, hal 100-103
[9] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam, , Jakarta : Media Pratama, 2001, hal 76
[10] Samsul Nizar, opcit, hal 42-44
[11]  Abuddin Nata, Filsafat PendidikanIslam 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hal 28
[12] Ibid., hal. 29
[13] Ibid., hal 31
[14] Abdullah Hadziq , Kontribusi Psikologi Sufistik Terhadap Pengembangan Pendidikan Multicultural, Jakarta : Jurnal ISJD LIPI, 2008, hal. 8 – 9
[15] Abdullah Hadziq , Opcit, hal 12
[16] Tedi Priatna. Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004, hal 88
[17] Abdullah Hadziq , Opcit , hal 11
[18] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan AL  Qur’an, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994, Hal. 68
[19] Samsul Nizar , Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam,Jakarta : Media Pratama, 2001, hal 58
[20] Abdullah Hadziq , Opcit , hal 13
[22] Hery Noer , Ilmu Pendidikan Islam , Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1995, hal 120
 XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....6
AKAL, RUH DAN JASAD
A.    Akal
Manusia adalah  maklhuk yang sempurna di antara semua maklhuk ciptaan Allah lantaran manusia di beri akal pikiran, inilah yang membuat manusia ini begitu sempurna. Bangsa jin dan setan diberi akal pikiran namun tidak sesempurna manusia, tapi mereka di beri kelebihan di dalam jasadnya, jasad mereka lepas dari ruang dan waktu sedangkan kita manusia memiliki kelebihan akal pikiran yang sempurna bahkan akal pikirannya mampu menembus ruang dan waktu, namun jasad manusia tidak mampu untuk menembus ruang dan waktu.
Tumbuhan dan hewan, mereka tidak diberi akal pikiran dan jasad yang mampu menembus ruang dan waktu tersebut namun mereka di beri kelebihan roh, roh itu suci dan selamanya suci. Tumbuhan dan hewan bergerak berdasarkan  insting mereka karena rohnya yang suci dan mereka mampu merasakan Keagungan dan Kebesaran Allah SWT.
Oleh sebab itu tumbuhan dan hewan tidak mempunyai dosa lantaran kesucian ruh tersebut, andaikata hewan membunuh hewan lain bahkan membunuh manusia, mereka tetap tidak berdosa karena mereka hanya mengikuti insting hewani mereka begitu juga dengan tumbuhan.
Pada Al Quran Allah berfirman tentang penggunaan akal ini yaitu terdapat di dalam surat Al An’am: 32
Artinya: dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?
Maksudnya: kesenangan-kesenangan duniawi itu hanya sebentar dan tidak kekal. janganlah orang terperdaya dengan kesenangan-kesenangan dunia, serta lalai dari memperhatikan urusan akhirat.
Di antara ketiga (Ruh, Akal dan Jasad) yang paling kuat adalah ruh kemudian akal pikiran baru yang terakhir jasad. Lalu yang jadi pertannyaan, kalau memang Ruh yang lebih kuat kenapa manusia yang memiliki kelebihan akal pikiran menjadi maklhuk yang sempurna?.jawabanya mudah saja, dengan akal pikiran kita mampu mengendalikan ruh dan jasad.
Hal ini sudah terbukti secara ilmiah dan logis. Dalam ajaran Psikologi di ajarkan bagaimana cara mengoptimalkan akal pikiran manusia, sehingga manusia mampu menggunakan Hipnosis, Telephati dan sebagainya, hal itu bisa terjadi karena akal pikiran kita sudah bertemu dan berkomunikasi dengan ruh dan jasad kita. Kesadaran beragamapun merupakan salah satu hasil dari pengoptimalan akal pikiran. Manusia sering disebut dengan homoreligious(makhluk beragama)[1].
Dalam ajaran Islam di masa Nabi Adam As, sebenarnya sudah di ajarkan cara untuk mengoptimalkan akal pikiran. Semua orang-orang pilihan Allah seperti Rasul, Nabi, Wali dan lain sebagainya, beliau sudah mampu mengendalikan ketiga-tiganya. Contoh simple, Nabi Sulaiman As, beliau mampu berkomunikasi dengan hewan,tumbuhan dan juga jin.
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?, karena Nabi Sulaiman As sudah mengendalikan ketiga hal tersebut (Ruh, Akal, dan Jasad). Beliau berkomunikasi dengan hewan dan tumbuhan menggunakan ruh, Karena Beliau sudah mempu mengendalikan Ruh dalam diri beliau sehingga masuk akal apabila ruh bertemu dengan ruh akan mampu berkomunikasi karena hewan dan tumbuhan di beri kelebihan Ruh oleh Allah seperti yang saya terangkan di atas. Begitu juga dengan jin, Nabi Sulaiman As menggunakan kemampuan jasadnya untuk berkomunikasi dengan jasad juga (jin). Dan masih banyak contoh-contoh lain seperti Nabi Sulaiman.
Dengan akal pikiran kita mampu mengendalikan 2 kemampuan maklhuk lain (jin,hewan dan tumbuhan). Dengan akal pikiran kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang benar. Dengan akal pikiran kita bisa mencapai Allah jauh lebih cepat dari kecepatan cahaya bahkan lebih. Apapun bisa kita lakukan dengan akal pikiran kita,kalau kita mau mempelajarinya lebih jauh lagi. Hal ini lah yang membuat manusia menjadi maklhuk yang sempurna di anatara maklhuk lain ciptaan Allah.
Allah memberi kemampuan yang sempurna ke pada manusia berupa akal pikiran, namun banyak manusia yang salah jalan dengan akal pikirannya. “Dengan kemampuan yang besar disitu terletak tanggung jawab yang besar pula”. Memang benar akal pikiran kita mampu melakukan apapun dan tidak ada hal yang mustahil akan tetapi dengan akal pikiran kita juga bisa terjebak ke dalam kemaksiatan. Oleh sebab itu di butuh kan Ruh dan Jasad untuk mengatur keseimbangan akal pikiran kita agar kita semua tidak salah jalan.
Banyak sekali metode-metode untuk menseimbangkan ke 3 kemampuan itu. Dalam Psikologi 3 kemampuan tersebut menjadi Needs (Jasad),Ego(Akal Pikiran), dan Super Ego (Ruh). Ke 3nya harus seimbang untuk menjadi manusia seutuhnya. Dalam diri manusia terdapat sejumlah potensi untuk memberi arah kehidupan yaitu naluriah, inderawi, nalar dan agama[2]. Adapun metode islami, yaitu sholat. Kita terkadang meremehkan hakikatnya sholat dan kita sering menganggap sholat itu hanya kewajiban tanpa berfikir dulu.
B.     Qalbu
Pengetahuan yang diperoleh seseorang yang saleh dari Allah SWT melalui ilham dan tanpa dipelajari lebih dahulu melalui suatu jenjang pendidikan tertentu. Oleh sebab itu, ilmu tersebut bukan hasil dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung atas kehendak dan karunia Allah SWT.
Di dalam tasawuf dibedakan tiga jenis alat untuk komunikasi rohaniah, yakni kalbu (hati nurani) untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, roh untuk mencintai-Nya dan bagian yang paling dalam yakni sirr (rahasia) untuk musyahadah (menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT secara yakin sehingga tidak terjajah lagi oleh nafsu amarah) kepada-Nya.
Meski dianggap memiliki hubungan misterius dengan jantung secara jasmani, kalbu bukanlah daging atau darah, melainkan suatu benda halus yang mempunyai potensi untuk mengetahui esensi segala sesuatu. Lapisan dalam dari kalbu disebut roh; sedangkan bagian terdalam dinamakan sirr, kesemuanya itu secara umum disebut hati. Apabila ketiga organ tersebut  telah disucikan sesuci-sucinya dan telah dikosongkan dari segala hal yang buruk lalu diisi dengan dzikir yang mendalam, maka hati itu akan dapat mengetahui Tuhan.
Mengenai qalbu ini, Allah berfirman:
Artinya: dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman)[622]. walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha gagah lagi Maha Bijaksana. (Al-Anfaal: 63)
Penduduk Madinah yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj selalu bermusuhan sebelum Nabi Muhammad s.a.w hijrah ke Medinah dan mereka masuk Islam, permusuhan itu hilang.
Qalbu dapat dianggap berpadanan dengan Ruh, yang memiliki aspekRabbani sebagaimana aspek ciptaannya. Salah satu di atara simbol-simbol agungRuh ialah matahari, yang merupakan hati alam semesta kita.[3]
Tuhan akan melimpahkan nur cahaya keilahian-Nya kepada hati yang suci ini. Hati seperti itu diumpamakan oleh kaum sufi dengan sebuah cermin. Apabila cermin tadi telah dibersihkan dari debu dan noda-noda yang mengotorinya, niscaya ia akan mengkilat, bersih dan bening. Pada saat itu cermin tersebut  akan dapat memantulkan gambar apa saya yang ada ihadapannya.
Demikian juga hati manusia. Apabila ia telah bersih, ia akan dapat memantulkan segala sesuatu yang datang dari Tuhan. Pengetahuan seperti itu disebut makrifat musyahadah atau ilmu laduni. Semakin tinggi makrifat seseorang semakin banyak pula ia mengetahui rahasi-rahasia Tuhan dan ia pun semakin dekat dengan Tuhan. Meskipun demikian, memperoleh makrifat atau ilmu laduni yang penuh dengan rahasia-rahasia ketuhanan tidaklah mungkin karena manusia serba terbatas, sedangkan ilmu Allah SWT tanpa batas, seperti dikatakan oleh Al-Junaid, seorang sufi modern, "Cangkir teh tidak
akan dapat menampung segala air yang ada di samudera."
Keberadaan dan status ilmu laduni bukan tanpa alasan. Para sufi merujuk keberadaan ilmu ini pada Alquran (QS Al Kahfi [18]:60-82) yang memaparkan beberapa episode tentang kisah Nabi Musa AS dan Khidir AS. Kisah tersebut dijadikan oleh para sufi sebagai alasan keberadaan dan status ilmu laduni.
Mereka memandang Khidir AS sebagai orang yang mempunyai lmu laduni dan Musa AS sebagai orang yang mempunyai pengetahuan biasa dan ilmu lahir. Ilmu tersebut dinamakan ilmu laduni karena di dalam surah al-Kahfi ayat 65 disebutkan: "wa'allamnahu min ladunna 'ilman.." (..dan yang telah Kami ajarkan kepadanya (Khidir AS) ilmu dari sisi Kami). Dengan demikian ilmu yang diterima langsung oleh hati manusia melalui ilham, iluminasi (penerangan) atau inspirasi dari sisi Tuhan disebut ilmu laduni.
C.     Nafs (Jiwa)
Dalam bahasa Arab, nafs mempunyai banyak arti, dan salah satunya adalah jiwa.. Nafs dalam arti jiwa telah dibicarakan para ahli sejak kurun waktu yangsangat lama. Dan persoalan nafs telah dibahas dalam kajian filsafat, psikologi dan juga ilmu tasawuf. Menurut Ar-Razi manusia adalah ungkapan tetang fidik yang dikhususkan  dan ada didalam badan ini.[4]Dalam filsafat, pengertian jiwa diklasifikasi dengan bermacam­macamteori, antara lain:
1.      Teori yang memandang bahwa jiwa itu merupakan substansi yang berjeniskhusus, yang dilawankan dengan substansi materi, sehingga manusia dipandang memiliki jiwa dan raga.
2.      Teori yang memandang bahwa jiwa itu merupakan suatu jenis kemampuan,yakni semacam pelaku atau pengaruh dalam kegiatan­-kegiatan.
3.      Teori yang memandang jiwa semata­mata sebagai sejenis proses yang tampak  pada organisme­organisme hidup.
4.      Teori yang menyamakan pengertian jiwa dengan pengertian tingkah laku.
Dalam psikologi, jiwa lebih dihubungkan dengan tingkah laku sehingga yang diselidiki oleh psikologi­psikologi adalah perbuatan­perbuatan yangdipandang sebagai gejala­gejala dari jiwa. Teori­teori psikologi, baik psikoanalisa,Behaviorisme maupun Humanisme memandang jiwa sebagai suatu yang berada di belakang tingkah laku. Sedangkan di kalangan ahli tasawuf, nafs diartikan sesuatu yang melahirkan sifat tercela. Al­Ghazali (w. 1111 M.) misalnya menyebut nafs sebagai pusat potensi marah dan syahwat pada manusia dan sebagai pangkal dari segala sifat tercela.
Pengertian ini antara lain dipahami dari hadits yang  artinya musuhmu yang paling berat adalah nafsumu yang ada di dua sisimu.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafs (nafsu) juga dipahami sebagai dorongan hati yang kuta untuk berbuat kurang baik, padahal dalam al­Qur’an nafs tidak selalu berkonotasi negatif. Kajian tentang nafs merupakan bagian dari kajian tentan hakikat manusiaitu sendiri. Manusia adalah makhluk yang bisa menempatkan dirinya menjadisubyek dan obyek sekaligus. Kajian tentang manusia selalu menarik, tercermin pada disiplin ilmu yang berkembang, baik ilmu murni maupun ilmu terapan.
Tentang manusia, al­Qur’an menggunakan tiga nama, yaitu menurut kebanyakan tafsir, manusia sebagai basyar lebih menunjukkan sifat lahiriah serta persamaannya dengan manusia sebagai satu keseluruhan sehingga Nabi pun disebut sebagai basyar, sama seperti yang lain, hanya saja beliau diberi wahyu oleh Tuhan, satu hal yangmembuatnya berbeda denganbasyar  yang lain, seperti dijelaskan dalam surat al­Kahfi/18: 110
Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
Sedangkan nama insan yang berasal dari kata ‘uns yang berarti jinak, harmoni dan tampak, atau dari kata nasiya yang artinya lupa, atau dari nasa yanusu[5]yang artinya berguncang, menunjuk kepada manusia. Sifat orang yang mempunyai nafsul amarah antara lain mudah marah, sombong, takabbur, tamak, kikir , dengki dan hasud, sering memperturutkan keinginan syahwat secara berlebihan. Contohnya Seseorang dengan dorongan  sifat marahnya, benci untuk menghadapi musuh karena takut dirinya celaka, padahal menghadapi musuh lebih baiak untuk dirinya didunia dan diakhirat, sementara ia mencari muka dan damai kepada musuhnya, padahal sikap itu lebih buruk buat hidupnya baik didunia maupun diakhirat.[6]
Bagi manusia hanya ada dua pilihan , mengabdi pada kepentingan hawa nafsu atau mengabdi Pada Allah. Orang yang mengabdi pada kepentingan hawa hawa nafsu dia akan lupa kepada Allah, sebaliknya orang yang mengabdi pada Allah harus rela mengalahkan kepentingan hawa nafsunya. Ia adalah awwab, yaitu suka kembali kepada Allah dari kemaksiatan. Pulang kepadadzikrullah setelah melalaikannya.[7]Dua kepentingan yang berbeda ini tidak mungkin dijadikan satu . Seseorang tidak mungkin mengabdi kepada Allah sambil memuaskan kepentingan hawa nafsunya, Kita harus memilih satu diantara dua , mengabdi pada Allah atau pada kepentingan hawa nafsu.
D.    Ruh
Sifat Ruh, (Dari tulisan Al-Ghazzali) Bab ini mengenai tujuan Allah dalam bersabda: “Ketika Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku...” (15:29)
1.      Peniupan Ruh ke dalam Adam
“Menyempurnakan kejadian” terdiri dari perbuatan terhadap sasaran yang berkaitan dengan ruh. Sasaran itu adalah tanah liat dalam kasus Adam, dan biji dalam kasus anak-anak [bani Adam, bani-nya, anak cucunya, keturunannya]. Oleh karena itu, manusia menjadi sasaran transformasi [watak] dan pengaturan total. Tubuh diubah ke kondisi termurni yang dapat menerima ruh, dan dengan demikian juga tujuan Penciptaan. Ini mirip dengan sumbu dari lampu minyak, yang menjadi siap dinyalakan setelah dibasahi dengan minyak.
Peniupan (nafh) merupakan proses menyalakan ruh di dalam wadahnya. Maka, meniupkan merupakan sebab dari menyala. Tidak mungkin untuk memahami peniupan Allah Yang Maha Perkasa. Diri (nafs) yangdihasilkan, dijelaskan oleh peniupan (nafh), yaitu proses penyalaan dalam sumbu dari biji. Selain itu, terdapat cara dan hasil akhir dari peniupan. Cara, untuk tujuan menyalakan, merupakan transmisi cinta dan kehendak ke dalam seseorang penerima embusan dari Dia yang bertiup.
Alasan menyalakan cahaya ruh merupakan sifat yang ada pada Pelaku dan penderita yang menerima ruh. Sifat Pelaku adalah Kemurahan, yang menjadi sumber dari segala keberadaan. Ia menghias semua makhluk dengan memasukkan realita ke dalamnya. Sifat ini disebut Keperkasaan. Ini serupa dengan matahari, yang jika tidak ada penghalang, sinarnya menerangi segala sesuatu yang mampu menerima cahaya. Kemampuan menerima itu terdapat pada benda-benda yang berwarna, dan keragaman; udara yang tidak berwarna tidak dapat menerima.  Sifat Penerima adalah ‘moderat’ dan ‘homogen’yang dihasilkan oleh proses-proses persiapan. Allah Yang Maha Perkasa bersabda: “Ketika Aku mempersiapkannya...”
Sifat penerimaan mirip dengan sifat cermin. Cermin yang tidak dibersihkan dan dilap, tidak dapat menerima dan menghasilkan bayanganmeskipun sesuatu bentuk berada dekat di depannya. Tetapi jika cermin itu bersih, bentuk benda itu muncul sebagai bayangan di dalamnya.
Begitu pula, jika keseragaman penerimaan terdapat di dalam biji, ruh menjelma di dalam biji tanpa perubahan pada sisi Pencipta. Tetapi ruh tidak diciptakan pada saat itu. Penciptaan sudah terlebih dahuludilakukan, sebelum lokus diubah dalam proses homogenisasi.
Kelimpahan Kemurahan berarti bahwa Kemurahan Ilahi menyebabkan cahaya keberadaan bersinar dalam tiap sifat yang sanggup menerima Kemurahanitu. Ini disebut kelimpahan Derma. Tentu ini tidak dapat dipersamakan dengan penuangan air dari cangkir ke tangan seseorang, karena di sini air mencapai tangan setelah terpisah [dari sumbernya] meninggalkancangkir. Allah Yang Maha Perkasa tidak dapat dibandingkan demikian.
2.      Kebenaran Ruh Merupakan Rahasia
Kebenaran ruh merupakan rahasia. Adapun Nabi tidak diijinkan untuk menerangkan ini kecuali kepada orang tertentu yang berhak. Kalau anda berhak, anda akan dapat mendengarkannya.
Artinya: dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". Pertanyaan seperti ini diajukan oleh kaum Yahudi kepada Nabi Muhammad Saw. yang bertujuan untuk mengetes dan menguji serta mencari-cari kelemahan beliau, yang kemudian dijawab olehnya secara tegas berdasarkan petunjuk wahyu Al-Quran.[8]
Ruh bukan sesuatu yang memasuki tubuh seperti air memasuki cangkir. Ruh juga bukan sesuatu yang memasuki kalbu seperti pewarna hitam yang menyerap ke dalam benda hitam, atau masuknya pengetahuan kepada orang berilmu. Sebaliknya, mereka yang tahu bersepakat bahwa ruh merupakan sesuatu yang tidak dapat dibagi. Seandainya dapat dibagi, satu bagian akan tahu, dan bagian lain tidak tahu, jadi keduanya akan tahu dan tidak tahu, in ini mustahil. Ini merupakan bukti bahwa ruh itu tidak dapat dibagi.
Mengapa Nabi tidak diperkenankan untuk membeberkan rahasia dan kebenaran tentang ruh? Karena ruh mempunyai sifat tertentu yang tidak dapat dimengerti. Pada masa itu, masyarakat dibagi atas orang biasa dan orang yang tahu. Orang-orang biasa [bahkan] tidak menyetujui apa yang disampaikan Nabi dan diperkenankan oleh Allah. Bagaimana mereka dapat mengerti keberadaan Ruh Manusia? Bahkan, beberapa orang biasa menyangkal Allah dengan memisahkan-Nya dari kebendaan dan pengejawantahan. Mereka pikir keberadaan Allah adalah tanda kebendaan-Nya. Orang-orang yang mampu berpikir lebih jauh dari orang-orang biasa segera menjauhkan Allah dari sifat kebendaan, tetapi mereka menyifatkan arah kepada Allah, karena kemampuan mental mereka tidak mampu memisahkan-Nya dari sifat kebendaan. Hanya dua mazhab yang mampu memisahkan Allah dari sifat kebendaan dan arah.
Dan mengapa rahasia tentang ruh disembunyikan? Karena mereka memustahilkan segala sifat selain yang Ilahi [yaitu mereka bertindak terlalu jauh ke arah Kerterpisahan atau Kekhususan (tanzih).] Saat kamu menyebutkan sifat-sifat [manusia] ini, mereka akan menuduhmu murtad dan berkata: “Ini pembandingan dengan Allah. Kamu [menerapkan kepada dirimu sendiri] sifat yang hanya dimiliki Allah. Kamu [tidak mengerti hakikat] sifat-sifat Allah.”
Apakah arti hubungan Ruh dengan Allah saat Dia bersabda: “Aku tiupkan padanya Ruh-Ku”? Ruh itu bebas dari ruang dan arah. Ia mampu melihat [mengenal] dan memahami semua ilmu pengetahuan. Hal ini tidak mungkin dimiliki benda lain. Karena itu, dikhususkan-Nya untuk Ruh dalam hubungannya
E.     Alam Perintah dan Alam Permulaan
Kamu terdiri dari dua hal: tubuh dan ruh. Manusia adalah makhluk dalam dua alam. Ia berhubungan dengan Alam Khalikah (Permulaan, khalq) dengan tubuhnya, dan dengan Alam Kuasa atau Amar (Perintah, amr) dengan ruhnya. Ini dijelaskan pada kalimat:“Katakanlah: ... Ruh ada di bawah Amar (amr) Tuhan-ku” (17:85). Semua yang dapat diukur dan dihitung terdapat pada Alam Permulaan. Tetapi ruh dan hati tidak dapat diukur atau diungkapkan dalam satuan.
Ada pun Alam Kuasa dan Permulaan, artinya sbb: Telah diketahui bahwa segala sesuatu yang terjadi pada Ruh adalah dekrit, keputusan, dan ini termasuk penyatuan dengan tubuh dan sifat-sifatnya. Ini arti Alam Permulaan.
Permulaan ini merupakan pra-takdir Allah, bukan pengejawantahan-Nya dan bukan penciptaan-Nya. Dalam konteks ini, Permulaan berarti penentuan, tahap penetapan sesuatu sebelum dijadikan di dunia. Sesuatu yang tidak memiliki jumlah dan takdir disebut Perintah Ilahi; merupakan kemiripan dan kaitan dengan Allah. Manusia dan ruh malaikat, yang serupa dengan ini, disebut Alam Perintah.
Alam Perintah berisi sesuatu yang tidak memiliki jumlah, tetapi mempunyai ukuran dan dekrit dengan menyatu dengan Alam Permulaan, seperti benda eksternal yang berkaitan dengan indera, imajinasi, arah, ruang, diam dan masuk.
Jika keadaan ruh itu demikian, bukankah dalam hal ini sesuatu yang abadi dan bukan makhluk?
Kesalahan ini [hanya] dapat terjadi karena kebodohan dan tertipu. Jika seseorang berkata: “Tidak ditakdirkan dan berkuantitas berarti Ruh bukan makhluk, tidak dapat dibagi dan tidak mempunyai perluasan,” itu benar. Tapi jika ia berkata: “Ruh bukan makhluk dalam arti ia abadi dan bukan bersifat sementara,” itu salah. Beberapa orang percaya bahwa Ruh tidak berawal, bahwa ia pre-eksisten secara abadi, tetapi ini keliru. Yang lain keliru karena mengira bahwa Ruh merupakan tubuh, tetapi tidak dapat dibagi dan berlanjut.
Ruh bukan sifat, bukan tubuh; tidak makan tempat, tidak mempunyai perluasan dan arah; tidak terhubung dengan tubuh dan dunia; tetapi juga tidak terpisah dari mereka. Tubuh bukan tempat yang sejati dari Ruh; melainkan hanya merupakan alat. Ruh tidak terhubung dengan tubuh, dan [namun]  tidak jauh darinya. Ruh menggunakan tubuh untuk melayani tujuannya. Ruh bukan di dalam tubuh dan dunia, tetapi juga bukan diluarnya.
Semua itu merupakan sifat esensiil [Zat Ilahi] Allah. Sifat-sifat yang penting adalah: Hidup, Pengetahuan, Perkasa, Berkehendak, Mendengar, Melihat, dan Berbicara. Ruh juga  memiliki sifat-sifat itu, dan dalam hal ini mempunyai kelekatan dengan Allah.
F.      Percampuran Ruh di dalam Tubuh
Tindakan Allah: dipandang dari sudut kehendak, ini merupakan awal dari tindakan manusia sendiri. Efeknya mula-mula timbul di dalam kalbu. Lalu menyebar melalui ruh Hewani (penggerak), dalam bentuk “uap” halus di dalam rongga hati. Dari situ naik ke otak, kemudian disebarkan ke seluruh organ tubuh, termasuk ujung jari. Jari terpengaruh dan bergerak, menggerakkan pena, yang kemudian menggerakkan ujung pena.
Dari situ , apa yang akan ditulis tergambar dalam imajinasi. Jika seseorang tidak membentuk sesuatu dalam imajinasinya terlebih dahulu, tidak akan ada sesuatu yang tertulis di atas kertas. Ahli filsafat Yunani setengahnya berpendapat bahwa kehendak itu mereka dalam memilih, dan setengahnya berpendapat bahwa kehendak itu terpaksa manjalani suatu jalan yang tidak dapat dilampauinya.[9]
Maka hal ini akan berhubunga dengan hak yang dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, memperguanakan atau menuntut sesuatu.[10] Hak juga dapat berarti panggilan kepada kemauan orang lain dengan perantaraan akalnya, perlawanan denga kekuasaan atau kekuatan fisik untuk mengakui wewenang yang ada pada pihak lain.[11]
FOOTNOTE
[1] ) Arifin, Syamsul, Psikologi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm. 83
[2]) Ibid., hlm. 145
[3] ) Lings, Martin, “what Is Sufism?” Membedah Tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, jakarta, 1987, hlm. 43
[4] ) Al-Jauziyyah, Ibnul Qayim, Menjelajah Alam Roh.., Pustaka Arafah,  Solo, 2004
[5] ) Ibn Manzhur, Lisan al­Arab, Kairo: dar al­Ma’arif, tth, Jilid I, hlm. 147­150
[6] ) Qayim, imam Ibnul, Pesan-pesan Ibnul Qayim, Gema Insani Press, Jakarta, 1998, hlm. 81
[7] ) Ibid., hlm. 20
[8] ) Syukur, Amir, Tasawuf Konstektual Solusi Problem Manusia Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 315
[9] ) Mustafa, H.A., Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 107
[10] ) Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Rajawali Pers,  Jakarta, 2010, hlm.137
[11] ) Zubair, Ahmad Charris, Kuliah Akhlak, Rajawali Pers, Jakarta, 1990, cet.II, hlm.59.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...7
ETIKA, MORAL DAN AKHLAK
A.    Etika.
Pengertian etika atau lazimnya disebut etika moral adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang. Etika juga merupakan kebiasaan moral dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah laku dan adat istiadat.Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus terhadap defenisi konsep-konsep etika, justifikasi atau penilaian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan yangbaikdanburuk.
            Secara fisik, manusia ada yang sehat dan ada juga yang cacat, ada yang buta, tuli, lumpuh, dan kekurangan-kekurangan lainnya yang bersifat jasmaniah. Tetapi dapatkah kita menyebutkan bahwa kekurangan-kekurangan jasmaniah tersebut juga menunjukkan adanya kekurangan dalam segi rohani dan kepribadiannya. Sokrates, misalnya, seorang filosof Yunani kenamaan, yang kadang disejajarkan dengan nabi, adalah orang yang amat buruk rupa. Tetapi, keburukan ini tidak dianggap cacat. Atau Abu al-‘Ala Mu’arra dan Thaha Husain, yang hidup di masa sekarang adalah para tunanetra.[1] Apakah perilaku mereka juga seburuk penampilannya, ataukah mereka memiliki cacat kepribadian?. Adalah salah bila menganggap rohani tergantung pada jasmani. Setiap manusia yang berpenampilan baik dalam segi jasmaniahnya belum dapat dipastikan memiliki tingkah laku atau perangai yang baik. hal di atas menunjukkan bahwa penilaian seseorang itu tidak bergantung pada segi jasmaninya.
            Dalam kehidupan ini, kita sering tertipu dengan orang-orang yang berpenampilan baik sehingga kita menganggap dan menamainya sebagai orang baik. Di televisi dan media massa lainnya, pernah disebutkan: seorang guru mengaji yang sampai tega “mencabuli” murid-murid perempuannya yang masih kecil, atau seorang oknum aparat yang terlibat kasus perampokan, dan pejabat-pejabat yang merupakan “panutan masyarakat” terlibat kasus korupsi dan kolusi, serta contoh-contoh lainnya.
            Jika dipersempit masalahnya kedalam masyarakat Islam, dan kita sebutkan saja pelaku-pelaku tindakan di atas adalah muslim, maka muncul pertanyaan: apakah pelaku tersebut tidak paham bahwa Islam telah mengajarkan tuntunan-tuntunan yang disebut ilmu akhlak?, jika ia mengerti bahwa dalam Islam ada ajaran akhlak, lantas mengapa ia masih tetap melakukan tindakan yang buruk tersebut?.
            Berdasarkan hal di atas, maka permasalahannya dapat dibagi menjadi dua: Pertama bahwa ia memang tidak paham akan perilaku-perilaku yang sesuai dengan tuntunan akhlak islami. Kedua, ia mengetahuinya, tetapi tidak mengamalkannya dikarenakan pemahamannya tentang maksud dan hikmah yang terkandung didalam tuntunan-tuntunan tersebut masih terbatas. Dari sini dapat diketahui bahwa akhlak yang berisi tuntunan-tuntunan perilaku muslim, ternyata tidak hanya sebagai “makanan siap saji” yang langsung dapat dimakan tanpa perlu dikaji dan dipikirkan, bahan-bahan apa yang terkandung di dalamnya, apakah makanan tersebut sesuai dengan kondisi tubuhnya dan tidak membawa kemudharatan bagi kesehatannya.

Oleh sebab itu, akhlak, sebagai produk siap jadi, ternyata masih perlu dipikirkan kembali, dikaji ulang dan dipahami maksud-maksud yang terkandung didalamnya. Di sini, filsafat akhlak dan moral menjadi penting untuk dikaji kembali. Bukan untuk meruntuhkan tatanan yang sudah ada, tetapi untuk mengoreksi kembali agar tuntunan tersebutlebihterasabermakna.
            Dalam sebuah “Temu ramah masyarakat NU Sumatera Utara” yang diadakan di Medan, Masdar F. Mas’udi, pernah menjelaskan perihal memelihara jenggot. Menurutnya, bahwa Nabi saw., menyuruh umat Islam memelihara jenggot supaya seorang muslim kelihatan berwibawa sehingga dengan jenggot yang lebat, orang-orang non muslim akan menaruh wibawa dan hormat kepadanya. Tetapi perintah ini kurang cocok untuk orang ras melayu (khususnya orang Indonesia rata-rata bertubuh kecil dan tidak berbulu lebat), karena bila seorang melayu memelihara jenggot yang tidak lebat (alias jenggotnya hanya tujuh lembar), maka hal itu tidak akan menimbulkan kewibawaan baginya, malahan bagi orang yang melihatnya akan menjadi sesuatu yang lucu dan konyol. Begitu kata Masdar.
            Contoh di atas terkait dengan permasalah etika atau filsafat akhlak, yaitu bagaimana kita dapat menemukan dan memandang nilai-nilai yang baik bagi kehidupan. Sebagai salah satu cabang ilmu filsafat, etika mulai dibicarakan oleh para filosof Yunani hingga ke abad modern ini. Adalah Sokrates filosof yang pertama kali mengemukakan; untuk apa sebenarnya manusia hidup, bagaimana sebenarnya manusia harus bersikap dalam memandang diri dan kehidupannya, dan memandang nilai-nilai yang harus dijalankan dalam kehidupan ini agar melahirkan konsep-konsep yang dapat diwujudkan dalam kehidupan praktis. Dari sini, tradisi etika pun berlanjut hingga menjadi pembahasan yang tidak luput dari kajian para filosof muslim klasik dengan mengembangkan konsep-konsep etika warisan Yunani dengan prinsip-prinsip utama yang ada dalam ajaran Islam.
            Secara defenisi, etika atau lazimnya disebut filsafat moral adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.[2] Etika juga merupakan kebiasaan moral dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah laku dan adat istiadat.[3] Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus terhadap defenisi konsep-konsep etika, justifikasi atau penilaian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan yang baik dan buruk.
Dalam agama Islam, konsep-konsep moral, keagamaan dan prilaku individu dan sosial sebenarnya telah terdapat pada teks-teks suci, namun tidak berisi teori-teori etika dalam bentuk baku walaupun ia membentuk keseluruhan ethos Islam. Jadi bagaimana cara mengeluarkan nilai-nilai tersebut menjadi sangat penting dalam studi etika Islam. Oleh karenanya, para teolog dan filosof mengambil posisi masing-masing dalam menggali otoritas al-Qur’an untuk mendukung pernyataan teoritis mereka dalam mengambil nilai-nilai yang terdapat dalam wahyu.
            Para filosof muslim awal dalam kajiannya mengenai etika apakah Neo-Platonis seperti al-Farabi, Aristotelian seperti Ibnu Rusyd, atau Platonis seperti Abu Bakar al-Razi, berada dalam posisi yang berbeda dengan para teolog yang berangkat dari teks wahyu. Sekalipun mereka tidak bodoh atau secara sengaja menyangkal otoritas al-Qur’an, namun mereka setia terhadap kaidah-kaidah dalil filsafat yang telah diwariskan oleh filsafat Yunani. Pembahasan etika filosof-filosof muslim tersebut sering dihiasi dengan dalil-dalil al-Qur’an seperti cara-cara penulis muslim umumnya, akan tetapi dikhususkan pada diktum-diktum yang memperkuat kesimpulan mereka. Jadi untuk membedakan antara keduanya, bagi para teolog teks suci merupakan dasar kebenaran utama, sedangkan bagi para filosof adalah akal.[4]
B.     Pe,bahasan etika, moral dan akhlak.
1.      Etika.
Etika merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti: adat istiadat.[5] Sebagai cabang dari filsafat, maka etika berangkat dari kesimpulan logis dan rasio guna untuk menetapkan ukuran yang sama dan disepakati mengenai sesuatu perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah dan pantas atautidakpantasuntukdikerjakan.
      Di dalam New Masters Pictorial encyclopaedia dikatakan: ethichs is science of moral philosophy concerned not with fact, but with values; not with caracter of, but the ideal of human conduct.[6] (Etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapitentangidenya).
      Sebagian orang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat dengan ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran atau kriteria yang berlainan. Setiap golongan mempunyai konsepsi sendiri-sendiri.[7]
2.      akhlak,
berasal dari bahasa Arab jama’ dari khuluqun yang menurut lughat diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Kata tersebut mengandung segi-segi keterkaitan dengan perkataan khalqun yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan khaliq yang berarti pencipta, dan makhluq yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khalik dengan makhluk dan makhluk dengan makhluk.[8] 
3.      moral berasal dari bahasa Latin mores kata jamak dari mos yang berarti adat istiadat. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan arti susila. Yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide umum yang diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Jadi sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima dalam lingkungan tertentu dan sudah terlembagakandalamsuatumasyarakat.
      Ketiga istilah di atas merupakan istilah-istilah yang banyak dipakai untuk mengungkapkan makna yang serupa atau hampir sama. Para peneliti etika secara sadar banyak menyebutkan etika sebagai moral atau juga akhlak. Filsafat moral disebut juga filsafat akhlak dan sebagainya. Istilah-istilah di atas yang maknanya disamaratakan pada dasarnya tetap memiliki perbedaan, karena dalam segi semantik dapat diketahui bahwa setiap kata pada dasarnya memiliki karakteristik arti atau makna tersendiri yang membedakannya dengan kata lainnya. Karena apabila ada dua kata atau lebih, memiliki makna sama maka akan ada pemubazirandalamberbahasa.
      Untuk dapat membedakannya maka dapat diketahui bahwa etika menetapkan ukuran sesuatu bertitik tolak dari akal fikiran, tidak dari agama. Di sini letak perbedaannya dengan akhlak dalam pandangan Islam. Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ajaran etika Islam sesuai dengan fitrah akal dan fikiran yang lurus. Sementara perbedaannya antara moral dan etika, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyakbersifatpraktis. 
a.       Jika kita boleh menarik garis batas antara moral dan etika, maka moral adalah aturan-aturan normatif (dalam bahasa agama Islam disebut akhlak) yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu. Penerapan tata moral dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat tertentu menjadi bidang kajian antropologi, sedang etika adalah bidang kajian filsafat. Realitas moral dalam kehidupan masyarakat yang terjernihkan lewat studi kritis (critical studies) adalah wilayah yang dibidangi oleh etika. Jadi studi kritis terhadap moralitas menjadi wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah objek material daripada etika.[9]
            Berbeda dari etika (filsafat moral), maka akhlak lebih dimaksudkan sebagai suatu ‘paket’ atau ‘produk jadi’ yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, tanpa perlu mempertanyakan dan menyelidiki secara kritis terlebih dahulu.
b.      Akhlak atau moralitas adalah merupakan seperangkat tata nilai yang ‘sudah jadi’ dan ‘siap pakai’ tanpa dibarengi, bahkan menghindari studi kritis. Sedangkan etika justru sebaliknya, bertugas untuk mempertanyakan secara kritis rumusan-rumusan masa lalu yang sudah menggumpal dan mengkristal dalamlapisanmasyarakat.[10]
            Dalam bahasa Indonesia, selain menyerap istilah etika, moral dan akhlak, juga digunakan beberapa perkataan yang makna dan tujuannya sama atau hampir sama, yaitu tata susila, kesusilaan, budi pekerti, sopan santun, adab, perangai dan tingkah laku atau kelakuan.
C.     Etika dalam Al-Qur’an.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal bahwa al-Qur’an berisi nilai-nilai ethos yang akhirnya membentuk sistem etika Islam. Namun tidak dalam bentuk baku, karena teks-teks suci tersebut memuat banyak penafsiran. Term-term dalam al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah etika akan menjadi fokus pembahasan ini. Tentunya tidak semuanya dapat diuraikan. Ada beberapa hal yang dianggap paling menyentuh dalam konsep etika seperti penggunaan kata al-khayr, al-birrr, al-qisth, al-ma’ruf, dan beberapa kata lainnya akan dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan menjadi dasar-dasar pembentukanetikaIslam.
            Dalam ajaran Islam, penggunaan kata-kata di atas menunjukkan bahwa konsep utama dalam al-Qur’an adalah benar-benar berasal dari konsep Tuhan yang maha adil, dan bahwa dalam lingkungan etika manusia setiap konsep sucinya hanyalah refleksi yang suram—atau imitasi yang sangat tidak sempurna—dari sifat ketuhanan itu sendiri, atau yang mengacu kepada respon khusus yang diperoleh dari perbuatan-perbuatan ketuhanan.[11] Di sini, seorang muslim dituntut untuk sebisa mungkin meniru sikap etis Tuhan, karena pada kenyataannya Tuhan merupakan sumber dari segala yang etis sebagaimana yang tertera dalam teks suci al-Qur’an.
            Banyak para ahli merasa kesulitan dalam mengelompokkan kata-kata dalam al-Qur’an berkaitan dengan konsep moral dan etika religius, seperti: al-khayr, al-birr, al-qisth, al-iqsath, al-‘adl, al-haqq, al-ma’ruf dan al-taqwa. Perbuatan-perbuatan yang baik biasa disebut shalihat, sedangkan perbuatan yang buruk disebut sayyiat. Perbuatan sayyiat secara umum disebut itsm atau wizr yaitu dosa atau kejahatan yang artiasalnyaadalahbeban.[12]
            Term-term di atas menjadi dasar umat Islam terhadap pengembangan konsep-konsep moral, yang disebut sebagai “moralitas skriptual”. Bentuk-bentuk pengamalan terhadap term-term tersebut juga dijelaskan dalam al-Qur’an serta masing-masing memiliki akibatnya. Perbuatan-perbuatan shalihat akan membawa manusia kepada konsekuensi yang baik bagi pelakunya dan perbuatan-perbuatan sayyiat juga akan membawa pelakunya terhadap akibat yang dapat merugikan dan membebani dirinya sendiri.
D.    Masalah dalam etika.
Sebelum masuk kedalam pembahasan atau permasalahan yang berkaitan dengan etika, maka perlu diketahui tipe atau karakteristik yang dapat memungkinkan kita melihat konsep-konsep pemikiran para pemikir muslim berkaitan dengan konsep etika. Madjid Fakhry menjelaskan karakteristik etika Islam dengan membaginya ke dalam dua tipe, yaitu: etika teologis dan etika filosofis.
 Tipe etika teologis di dalamnya terdapat tiga aliran besar:
1.      aliran rasional yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Qadariah dan Mu’tazilah,
2.      semi rasionalis dan voluntaris yang didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari yang cenderung lebih tunduk terhadap terhadap otoritas kitab suci daripada kaidah-kaidah rasional. Penganut aliran ini adalah al-Baqilaini, al-Baghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali dan Fakhr al-din al-Razi.
3.      anti rasionalis (zahiriyah), yang mengharuskan agar kitab suci sebagai sumber pokok kebenaran diinterpretasikan secara harfiah. Tokoh-tokohnya di antaranya IbnuHazmdanIbnuTaimiyah.
      Sedangkan etika filosofis pada awalnya dipengaruhi aliran-aliran filsafat Yunani. Karya-karya moral yang mula-mula ditulis oleh al-Kindi dan al-Razi mencerminkan pengaruh filsafat Plato dan Sokrates seperti yang dibentuk oleh pemikiran Cynic dan Stoa. Dalam tulisan-tulisan para filosof seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan Yahya ibn ‘Adi, pengaruh Platonisme lebih terasa dalam tulisan-tulisan mereka dan dimensi politik mulai tampak pada masa ini, di mana sebelumnya tidak ada. Di dalam karya etika Miskawaih, Platonisme berperan sebagai dasar pijakan elaborasi sistem etika di mana di dalamnya tali-tali Aristotelian, Neo Platonisme dan Stoa saling bertemu, yang mungkin di bawah pengaruh komentar Porphiry yang salah mengenai karya Aristotelas Nicomachean ethics yang terkenal berasal dari sumber-sumber Arab. Akan tetapi di sini pulalah dimensi politik menjadi berkurang. Dimensi politik muncul kembali secara penuh dalam tulisan-tulisan Nasr al-Din al-Tusi yang menggambarkan jauh lebih baik mengenai kesatuan organis antara politik dan etika daripada pendahulunya.[13]
      Sejauh yang dapat diketahui mengenai pokok-pokok pembahasan etika, di bawah ini akan dapat dilihat beberapa pandangan pemikir muslim—khususnya para filosof—dalam beberapa hal seperti masalah jiwa, tingkah laku (akhlak), kebaikandankeburukan.
E.     jiwa
            Pembahasan tentang jiwa banyak diperbincangkan para filosof muslim dari masa klasik hingga modern. Sejak al-Kindi sampai Murtadha Muthahhari, persoalan jiwa masih menjadi perbincangan hangat. Ada yang menganggap jiwa sama dengan ruh atau nyawa, ada juga yang membedakannya, apakah jiwa juga berarti nafsu, apakah ia juga berarti akal, masing-masing ahli punya pendapat yang berbeda-beda karena dalam ajaran Islam masalah jiwa adalah rahasia Tuhan. Secara pasti manusia tidak mengetahui hakekat sebenarnya, manusia hanya mengetahui sedikit saja melalui informasi teks suci.[14]
Jiwa manusia merupakan rahasia Tuhan yang terdapat pada hamba-Nya dan menjadi kebesaran Tuhan pada makhluk-Nya serta teka teki kemanusiaan yang belum dapat dipecahkan dan barangkali tidak akan bisa dipecahkan dengan memuaskan. Memang jiwa menjadi sumber pengetahuan bermacam-macam dan tidak tebatas, tetapi belum lagi diketahui hakikatnya dengan segala keyakinan. Jiwa menjadi sumber-sumber pikiran yang jelas, namun sebagian besar pikiran-pikiran tentang jiwa diliputi oleh kegelapan dan kerahasiaan, meskipun manusia sejak masa pertamanya sampai sekarang ini masih selalu berusaha dan menyelidiki apa hakikatnya jiwa serta pertaliannya dengan badan. Permasalahan jiwa dalam kajian etika berfokus pada pengenalan terhadap jiwa tersebut sehingga digali potensi-potensinya untuk melahirkan kondisi jiwa yang baik dan melahirkan perbuatan yang baik pula, sesuai dengan fitrah dan kemauan jiwa kemanusiaan.
            Para filosof muslim, hampir semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal dasar yang harus diketahui terlebih dahulu adalah pengetahuan tentang jiwa. Setiap tingkah laku atau perbuatan yang lahir merupakan cermin dari kondisi jiwanya. Perilaku yang baik akan lahir dari kondisi jiwa yang sehat, sedangkan perilaku yang buruk merupakan sebab dari kondisi jiwa yang buruk pula.
1.      Al-kindi menjelaskan, bahwa dalam diri manusia, terdapat ruh atau jiwa yang mempunyai tiga daya atau kekuatan. Daya bernafsu yang berpusat di perut, daya berani yang berpusat di dada, dan daya berfikir yang berpusat di kepala. Daya berfikir inilah yang disebut akal.[15] Seseorang yang dapat menguasai tiga daya tersebut dan dapat mengendalikannya ke arah yang baik maka orang tersebut telah berhasil dalam mengaktualisasikan jiwa dalam kehidupannya.
      Perhatian yang khusus terhadap masalah jiwa telah dilakukukan oleh Ibnu Sina, salah satu kitabnya yaitu Risalah al-Quwa al-Nafsiah telah membahas tentang kekuatan jiwa dengan tinjauan filsafat. Ia secara garis besar telah membagi segi-segi kejiwaan menjadi dua segi. Pertama, Segi fisika, yang membicarakan tentang macam-macam jiwa (jiwa tanam-tanaman, jiwa hewan, dan jiwa manusia), pembagian kebaikan-kebaikan,; jiwa manusia, indera dan lain-lain dan pembahasan-pembahasan lainnya yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya. Kedua, Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud haikikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.[16]
2.      Al-Ghazali menjelaskan bahwa jiwa itu dapat dilatih, dikuasai dan diubah kepada akhlak yang mulia dan terpuji. Tiap sifat tumbih dari hati manusia dan memancarkan akibatnya kepada anggotanya. Seseorang yang ingin menulis bagus, pada mulanya harus memaksakan tangannya membiasakan menulis bagus. Apabila kebiasaan ini sudah lama, maka paksaan tidak diperlukan lagi karena digerakkan oleh jiwa dan hatinya.[17]
3.      Ibnu Miskawaih, seorang filosof muslim yang terkenal dengan kitabnya Tahdzib al-Akhlak menjelaskan bahwa jiwa adalah sesuatu yang bukan tubuh, bukan pula bagian dari tubuh dan juga bukan materi (‘aradh). Jika “jiwa” tersebut semakin jauh dari hal-hal jasadi, maka jiwa semakin sempurna, apabila jiwa bebas dari indera, maka jiwa semakin kuat dan sempurna serta semakin mampu menilai yang benar dan menangkap ma’qulat yang simpel. Inilah dalil terjelas bahwa tabiat dan subtansi jiwa ini berbeda dengan tabiat wadah kasar, dan bahwa jiwa merupakan subtansi yang lebih mulia dan memiliki tabiat yang lebih tinggi daripada semua benda yang ada di alam ini.[18]
      Selanjutnya ia menjelaskan bahwa jiwa terdiri dari tiga fakultas atau bagian: fakultas yang berkaitan dengan berfikir, melihat dan mempertimbangkan realitas segala sesuatu; fakultas yang terungkapkan dalam marah, berani, khususnya berani menghadapi bahaya, dan ingin berkuasa, menghargai diri dan menginginkan bermacam-macam kehormatan; fakultas yang membuat kita memiliki nafsu syahwat dan makan, keinginan pada nikmatnya makanan dan minuman, senggama, dan ditambah kenikmatan-kenikmatan inderawi lainnya. Ketiga fakultas ini berbeda satu dari yang lainnya. Hal ini bisa diketahui dari kenyataan terlalu berkembangnya salah satu dari ketiga fakultas itu, dan merusak yang lainnya. Salah satu dari ketiganya dapat meniadakan tindakan-tindakan dari yang lain, atau terkadang dianggap sebagai tiga jiwa, dan terkadang sebagai tiga fakultas dari satu jiwa.
      Fakultas berfikir (al-quwwah al-natiqah) disebut fakultas raja, sedangkan organ tubuh yang digunakannya adalah otak. Fakultas nafsu syahwiyah disebut fakultas binatang, dan organ tubuh yang digunakan adalah hati. Adapun fakultas amarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) disebut fakultas binatang buas, dan organ tubuh yang dipergunakan disebut jantung.[19]
F.      akhlak.
            Pemikir muslim yang intens terhadap pembahasan akhlak adalah Al-Ghazali. Teori-teori etikanya terdapat dalam kitab Mizan al-‘Amal dan dalam karya etika religiusnya Ihya’ ‘Ulum al-Din. Dalam kitab-kitabnya ia menggambarkan bahwa tingkah laku seseorang adalah “lukisan batinnya” karena adanya pembiasaan-pembiasaan yang mewujud kepada prilaku atau akhlak. Ia menjelaskan bahwa kepribadian manusia pada dasarnya dapat menerima pembentukan, tetapi lebih cenderung kepada kebaikan daripada kejahatan. Jika kemudian diri manusia membiasakan yang jahat, maka menjadi jahatlah kelakuannya. Demikian juga sebaliknya jika membiasakan kebaikan, maka menjadi baiklah tingkah lakunya.[20]
            Akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia. Apabila lahir tingkah laku yang indah dan terpuji maka dinamakan akhlak yang baik, dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji, dinamakanlah akhlak yang buruk. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa akhlak yang baik dapat mengadakan perimbangan antara tiga kekuatan dalam diri manusia, yaitu kekuatan berfikir, kekuatan hawa nafsu, dan kekuatan amarah.[21]
1.      Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa perbuatan manusia dapat dibagi menjaditigajenis:
a. Perbuatan moral, yang di atas tingkat hewan.
b. perbuatan immoral, yang setingkat dengan hewan.
c. perbuatan antimoral, yang dibawah tingkat hewan.[22]
      Apabila seseorang hanya memikirkan dirinya sendiri seperti hewan, ini bukan moral, tetapi immoral. Tetapi, kadang dalam sikapnya yang hanya memikirkan diri sendiri, ia mendapat penyakit mental, dan kemanusiaannya diperuntukkan bagi kehewanannya dan menjurus kepada pembunuhan diri. Sikap keserakahan, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, kezaliman, dan sikap-sikap buruk lainnya akan meruntuhkan perbuatan moral dan kemanusiaannya, sehingga manusia bisa jatuh kedalam perbuatan immoral dan antimoral.
2.      Sementara Ibnu Bajjah[23] membagi perbuatan-perbuatan manusia kepada dua bagian.
a.       perbuatan yang timbul dari motif-naluri dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya, baik dekat atau jauh.
b.      perbuatan yang timbul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang bersih dan tinggi dan bagian ini disebut “perbuatan-perbuatan manusia.
            Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan perbuatan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut, ia mengemukakan seseorang yang terantuk batu, kemudian ia luka-luka, lalu ia melempar batu itu. Kalau ia melemparnya dengan kesal karena batu itu telah melukainya, maka ini adalah perbuatan hewani yang didorong oleh naluri kehewanannya yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang mengganggunya.
            Kalau melemparkannya agar batu itu tidak mengganggu orang lain, bukan karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak ada bersangkut paut dengan pelemparan tersebut, maka ini adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak, karena menurut Ibnu Bajjah, hanya orang yang bekerja di bawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada hubungannya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai perbuatannya dan bisa disebut orang langit, dan berhak dibicarakan oleh Ibnu Bajjah dalam bukunya.[24]
            Setiap orang yang hendak menundukkan segi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam keadaan demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan, dan seorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, karena kekurangan ini timbul disebabakan ketundukannya kepada naluri.
G.    Dalam masalah baik dan buruk,
1.      Ibnu ‘Arabi
menggunakan istilah cahaya dan kegelapan yang berasal dari kaum Zoroaster. Wujud positip adalah sumber segala kebaikan dan wujud negatif merupakan basis dari semua kejahatan. Sesuatu yang dianggap buruk karena satu atau beberapa alasan[25], yaitu:
a.       karena satu atau lain agama memandangnya demikian.
b.      relatif terhadap prinsip etika atau standar kebiasaan yang disahkan oleh kelompok masyarakat.
c.       karena hal-hal dan perbuatan itu bertentangan dengan temperamen individual
d.      karena hal-hal dan perbuatan itu tidak bisa memuaskan keinginan-keinginan natural, moral atau intelektual dari suatu individu dan sebagainya
e.       karena terdapat kekurangan atau kelemahan
Ada kategori buruk lainnya dari Ibnu ‘Arabi, yaitu kebodohan, kebohongan, ketidak harmonisan, ketidakteraturan, ketidaksesuaian perangai, dosa dan kekafiran. Di dalam semua itu terdapat kekurangan. Beberapa wujud atau kualitas positip yang apabila ditambahkan pada hal-hal atau tindakan-tindakan yang kita golongkan buruk, akan berubah menjadi baik. Tak ada yang buruk, semuanya baik. Dengan perkataan lain, apa yang dinamakan buruk itu adalah realitas subyektif, bukan realitas obyektif. Bahkan yang baik itupun apabila dipertentangkan dengan yang buruk akan menjadi subyektif dan relatif. Satu-satunya kebaikan mutlak adalah wujud murni yaitu Tuhan.
      Ibnu ‘Arabi menjelaskan kerelatifan baik dan buruk dalam cara lain. Penilaian kita terhadap kebaikan dan keburukan dari hal-hal adalah relatif menurut pengetahuan kita. Kita katakan hal atau perbuatan itu buruk, oleh karena ketidaktahuan akan adanya baik yang tersembunyi di dalamnya. Setiap hal mempunyai aspek eksternal dan internal. Di dalam aspek internal terletak tujuan dari sang pencipta dan apabila kita awam terhadap tujuan seperti itu, kita cenderung mudah mengatakan hal itu sebagai yang buruk. Ibnu ‘Arabi mencontohkannya seperti makan obat. Di sini adalah suatu kasus buruk yang nampak, seperti rasa mual yang disebabkan oleh rasa obat itu di mana pasien mencaci obatnya sebagai buruk, karena pasien tidak mengetahuinya.[26]
2.      ibnu Miskawaih
berpendapat bahwa kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berkaitan dengan tujuan diciptakannya manusia. Sedangkan keburukan merupakan penghambat manusia mencapai kebaikan, di mana hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganan mencari kebaikan.[27]
      Ia selanjutnya membagi jenis kebaikan pokok dan perbuatan jahat. jenis kebajikan pokok tersebut: kearifan, sederhana, berani, dermawan, dan adil. Sementara kebalikan dari perbuatan baik di atas adalah, bodoh, rakus, pengecut, danlalim.
      Manusia berdasarkan perilakunya dapat dibagi menjadi tiga golongan. Bahwa ada manusia yang baik dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung kepada kejahatan, meski bagaimanapun, golongan ini tidak akan berubah dan akan tetap akan cenderung baik. Golongan ini merupakan minoritas. Golongan yang memang jahat asalnya adalah mayoritas, sama sekali tidak akan cenderung kepada kebaikan. Di antara golongan tersebut ada golongan yang dapat beralih kepada kebaikan dan kejahatan, karena pendidikan dan pengaruh lingkungan.[28]
      Miskawaih tidak menjelaskan dengan rinci siapa orang-orang yang masuk dalam tiga kategori tersebut. Namun secara implisit, mungkin kita bisa mengatakan bahwa para nabi dan rasul serta orang-orang yang dimuliakan dan disucikan Allah, masuk dalam kategori yang pertama, yaitu golongan manusia yang awalnya baik dan tidak akan cenderung kepada kejahatan. Sementara golongan kedua dan ketiga merupakan kategori manusia awam dan umum.
KESIMPULAN
1. Etika adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.

2. Etika Islam merupakan pembahasan yang dikembangkan sebagai perpaduan antara etika Yunani dan etika yang ada dalam Islam yang berasal dari teks-teks suci. Perpaduan tersebut telah melahirkan sebuah bentuk baru dalam disiplin keilmuan yang disebut filsafat akhlak, di mana akhlak sebagai konsep-konsep praktis menjadi lebih tercerahkan dengan adanya kajian etika.

3. Para filosof muslim, hampir semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal dasar yang harus diketahui terlebih dahulu adalah pengetahuan tentang jiwa.

4. Akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia.

5. Kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berkaitan dengan tujuan diciptakannya manusia. Sedangkan keburukan merupakan penghambat manusia mencapai kebaikan, di mana hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganan mencari kebaikan.
Footnote
------------------
[1] Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, terjemahan: M. Hashem, Lentera, Jakarta, 1994, h. 15
[2]Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. xv
[3] Richard G. Hovannisian (editor), Ethics In Islam, Undena Publications, California, 1985, h. 18
[4] Ibid., h. xvii
[5] Hamzah Ya’kub, Etika Islam, Diponegoro, Bandung, 1996, h. 13
[6] Lewis Mulford Adam, New Masters Pictorial Encyclopaedia, A Subsidiary of Publishers, New York, 1965, h. 560
[7] Hamzah Ya’kub, Op cit.,
[8] Ibid., h. 11
[9] Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, h. 147
[10] Ibid.,
[11] Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Qur’an, terj. Mansurddin Djoely, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, h. 27-28
[12] Madjid, h. 2
[13] Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. xix
[14] Dalam al-Qur’an dikatakan jiwa (ruh/nafs-jiwa) menjadi sumber hidup dan diambil dari tuhan (lihat: QS. Shad: 71-72) dan bahwa jiwa itu merupakan rahasia Tuhan pada makhluknya, yang oleh karena itu jika manusia tidak bisa mengetahui hakekatnya, maka tidaklah mengherankan. (lihat: QS. al-Isra’: 85) al-Qur’an juga menginformasikan tentang “jiwa penegur” (al-nafs al-lawwamah) yang tidak suka kepada perbuatan-perbuatan rendah (QS. al-Qiyamah: 1-2) kemudian tentang tingkatan jiwa tertinggi, yaitu “jiwa yang tenang” (al-nafs al-muthmainnah) (QS. al-Fajr: 27) dan tempat kembali semua jiwa adalah Tuhan (QS. al-Zumar: 42). Ahmad Hanafi, Pengantar filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) h. 121
[15] Harun Nasution, Filsafat & mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, h. 18
[16] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, h. 126
[17] Hamzah Ya’kub, h. 92
[18] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terjemahan. Helmi Hidayat, Mizan, Bandung, 1997, h. 36
[19] Ibid., h. 43-44
[20] Hamzah Ya’kub., h. 91
[21] Ibid., h. 92
[22] Muthahhari., h. 85
[23] Ahmad Hanafi, h. 159
[24] Ibid.,
[25] A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terjemahan: Sjahrir Mawi, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1995, h. 215-217
[26] Ibid., h. 218
[27] Ibn Miskawaih., h. 40-41
[28] Hamzah Ya’kub., h. 90
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...8
SEJARAH DAN HUBUNGAN ILMU AHLAK
A.    Definisi Ilmu Akhlak
1.      Menurut Ibnu Athir “Hakikat makna khuluq itu, ialah gambaran batin manusia yang tepat (yaitu jiwa dan sifat - sifatnya), sedang khalqu merupakan gambaran bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi rendahnya tubuh dan lain sebagainya)”
2.      Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin memberikan definisi bahwa yang disebut akhlak “adhatul - Iradah” atau kehendak yang dibiasakan.
3.      Menurut Prof. KH. Farid Ma’ruf membuat kesimpulan tentang definisi akhlak ini sebagai berikut “kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu”
4.      Menurut Dr. M Abdullah Dirroz, mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut “akhlak adalah suatu kegiatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan yang benar (dalam akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat).[1]
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang mempelajari kehendak manusia yang biasa dilakukan dan menentukan baik buruknya seseorang.
B.     Objek Kajian Ilmu Akhlak
1.      Objek Material
Objek material suatu ilmu meliputi semua gejala-gejala umum atau hal-hal pokok yang dipelajari atau diselidiki oleh ilmu pengetahuan tersebut. Masalah pokok yang dipelajari oleh ilmu akhlak adalah manusia dan perbuatannya. Jadi objek material ilmu akhlak adalah perbuatan manusia.
2.      Objek Formal
Objek formal suatu ilmu adalah kajian yang bersifat khusus atau spesifik dari ilmu tersebut. Objek formal ilmu akhlak adalah perbuatan manusia ditinjau dari segi baik dan buruk.[2]
C.     Sejarah Kodifikasi Ilmu Akhlak
Dalam islam, kita ketahui bahwa nabi Muhammad SAW adalah manusia dengan akhlak yang sempurna. Akan tetapi dalam hal menggagas atau menulis akhlak dalam islam masih dalam perbincangan mengenai tokoh yang pertamakali muncul. Berikut akan dikemukakan beberapa teori.
1.      Tokoh yang pertama kali menggagas ilmu akhlak ialah Ali bin Abi Thalib. Ini berdasarkan sebuah risalah yang ditulisnya untuk putranya Al-Hasan, setelah kepulangannya dari perang shiffin. Didalam risalah tersebut terdapat banyak pelajaran akhlak dan berbagai keutamaan.
2.      Tokoh islam yang pertama kali menulis ilmu akhlak adalah Ismail bin Mahran Abu An-Nasshr As-Saukani, ulama abad ke-2 H. beliau menuliskan kitab akhlak yang pertama kali dikenal dalam islam.
3.      Pada abad ke-3 H, Ja’far bin Ahmad Al-Qummi menulis kitab Al-Mani’AT MIN Dukhul Al-Jannah.
Tokoh-tokoh lain yang membicarakan tentang akhlak adalah : Ar-Razy (250-313 H), Ali bin Ahmad alkufi pada abad ke-4 H, Ibnu Maskawih pada abad ke-5, Waran bin Abi Alfawaris pada abad ke-6 H, Syekh khawajah Nashir Ath-thusi pada abad ke-7H.[3]
D.    Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu lain
a.       Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf
Al- qur’an dan hadist menekankan nilai - nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka dan sebagainya. Orang yang bertaqwa adalah orang yang berakhlak mulia dalam diri mereka. Dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluk bi akhlalaqillahyaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah atau al-ittishaf bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat - sifat yang dimiliki Allah.
Untuk tujuan ilmu tasawuf ini, ilmu akhlak dapat membantu seseorang untuk menghilangkan berbagai kotoran hati yang dapat menghalangi pemiliknya dari esensi ketuhanan. Dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan pintu gerbang ilmu tasawuf.[4]
b.      Hubungan Ilmu Akhlakdengan Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid sebagaiman dikemukakan Harun Nasution mengandung arti sebagai ilmu yang membahas cara - cara meng-Esakan Tuhan,sebagai salah satu sifat yang terpenting diantara sifat - sifat Tuhan lainnya. Ilmu Tauhid itu pada intinya berkaitan dengan upaya memahami dan meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat dan perbuatan-Nya.
Ilmu tauhid memberikan landasan terhadap ilmu akhlak, sementara ilmu akhlak memberikan penjabaran dan pengalaman dari ilmu tauhid. Dengan demikian, tauhid tanpa akhlak yang mulia tidak akan ada artinya, dan akhlak yang mulia tanpa tauhid tidak akan kokoh.
c.        Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Jiwa.
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari berbagai hal yang berhubungan dengan keadaan jiwa. Disamping itu, psikologi juga mempelajari masalah – masalah yang berhubungan dengan kecerdasaan, bakat naluri, watak dan lain sebagainya.
Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu jiwa/ psikolog sangat erat dan saling berkait. Hanya saja, ilmu akhlak memfokuskan pada nilai suatu perbuatan, sementara ilm jiwa lebih memfokuskan kepada faktor – faktor yang mendorong lahirnya suatu perbuatan.
Dengan demikian ilmu akhlak sangat membutuhkan ilmu jiwa, sebab dengan mengetahui faktor – faktor yang mendorong terlahirnya suatu perbuatan akan memudahkan ilmu akhlak dalam mengarahkan manusia untuk selalu berusaha berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruk.
d.      Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Pendidikan
Tujuan pendidikan dalam pandangan islam banyak berhubungan dengan kualitas manusia yang berakhlak. Selain itu, terbentuknya seorang hamba Allah yang patuh dan tunduk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya serta memiliki sifat – sifat dan akhlak yang mulia menjadi tujuan pendidikan dalam islam.
Dalam pelaksanaan pendidikan, memerlukan banyak dukungan. Baik dari orang tua, guru, pimpinan serta tokoh masyarakat dilingkungan. Dan ini semua bagian dari pelaksanaan pendidikan, yang berarti pula tempat dilaksanakannya pendidikan akhlak.
Oleh karena itu, pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan.
e.       Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Filsafat
Filsafat sebagaiman diketahui suatu upaya berpikir mendalam atau sering diartikan sebagia cinta kebijaksanaan dalam rangka menemukan inti mengenai segala sesuatu. Setiap manusia memiliki cara dan pendekatan yang berbeda dalam menghadapi sesuatu. Dengan demikian ada metode dan pendekatan yang berbeda dalam mengajarkan akhlak agar tepat sesuai dengan tingkat dan daya tangkap seseorang.
Dalam pemikiran Ibn Khaldun, bahwa manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud manakala ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ini menunjukkan tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam pembinaan akhlak.[5]
Pemikiran filsof tersebut akan memberikan masukan yang berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia yang berakhlak agar terciptanya kehidupan yang aman dan damai.
FOOTNOTE
[1] Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia. 2014), Cet VI, hal  12,13, 14.
[2] Imam Suraji, Etika dalam perspektif al-qur’an dan al-hadist, (Pekalongan: Stain press, 2013), hal 06
[3] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf(Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal 59-60.
[4] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,(Bandung: Setia Pustaka, 2010), hal 42
[5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia,(Bandung: Rajawali Pers, 2013) hal.17
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN YANG LAINNYA.
Sebelum melangkah lebih jauh membahas materi, seyogyanya perlu dimengerti bahwa ahlak merupakan suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan terlebih dahulu.[1]sedangkan ilmu akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, dan menerangkan apa yang harus diperbuat oleh sebagian manusia terhadap sesamanya dan menjelaskan tujuan yang hendak dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan yang lurus yang harus diperbuat.[2] Ilmu Akhlak sering disamakan dengan ethika, namun diantara keduanya memiliki perbedaan yaitu etika menentukan baik dan buruk perbuatan manusia dengan tolak ukur akal pikiran, sedangkan ilmu akhlak menentukannya dengan tolak ukur ajaran agama.[3] Dengan demikian objek pembahasan ilmu akhlak berkaitan dengan norma atau penilaian terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang.
A.    Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf
Pada ahli ilmu tasawuf pada umumnya membagi tasawuf menjadi tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, keduatasawuf akhlaki dan ketiga tasawuf amali.Ketiga tasawuf ini tujuannya sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Ketiga macam tasawuf ini memiliki perbedaan dalam hal pendekatan yang digunakan.[4]
Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf yaitu ketika mempelajari Tasawuf ternyata pula bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadits mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan Hadits menekankan kejujuran, persaudaraan, keadilan, tolong menolong, murah hati, pemaaaf, sabar, baik sangka, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berfikiran lurus, nila-nilai ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim dan  dimasukkan kedalam dirinya sejak kecil.
Sebagaimana  diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena tasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, dzikir, dan lain sebagainya. Yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan Akhlak.
B.     Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tauhid
Ilmu tauhid adalah ilmu ushuluddin, ilmu pokok-pokok agama, yakni menyangkut aqidah dan keimanan, ilmu tauhid dapat disebut juga dengan Ilmu kalam, yang merupakan disiplin ilmu ke Islaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya.[5]sedangkan ahlak yang baik menurut pandangan Islam haruslah berpijak pada keimanan. Iman tidak sekedar cukup disimpan dalam hati. Melainkan harus dilahirkan dalam perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal shaleh, barulah dikatakan iman itu sempurna, karena telah dapat direalisir.[6]
Jelaslah bahwa akhlaqul karimah adalah mata rantai iman. Sebagai contoh, malu (berbuat kejahatan) adalah salah satu dari akhlakul mahmudah. Nabi dalam salah satu hadits menegaskan bahwa “malu adalah salah satu cabang dari keimanan”.[7]
Sebaliknya akhlak yang dipandang buruk adalah akhlak yang menyalahi prinsip-prinsip iman. Seterusnya sekalipun manusia perbuatan pada lahirnya baik, tetapi titik tolaknya bukan karena iman maka hal itu tidak mendapatkan penilaian disisi Allah. Demikianlah adanya perbedaan nilai amal-amal baiknya orang beriman denganamal baiknya orang yang tidak beriman.[8]
Hubungan antara Aqidah dan Akhlak tercermin dalam pernyataan Rosulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah r.a :
اَكْمَلُ اْالمٌؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًااَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“orang mu’min yang sempurna imannya adalah yang terbaik budi pekertinya”[9]
C.     Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu jiwa (psikologi)
Berbicara dalam hal relevansi dan hubungan ilmu akhlak dengan ilmu psikologi sebenarnya merupakan bahasan yang sangat strategis. Karena antara akhlak dengan ilmu psikologi memiliki hubungan yang sangat kuat dimana, objek sasaran penyidikan psikologi adalah terletak pada domain perasaan, khayal, paham, kamauan, ingatan, cinta dan kenikmatan.[10]Sedangkan akhlak sangat menghajatkan apa yang dibicarakan oleh ilmu jiwa, bahkan ilmu jiwa adalah pendahuluan tertentu bagi akhlak.[11]
Dengan lain perkataan, ilmu jiwa sasarannya meneliti paranan yang dimainkan dalam perilaku manusia, karenanya dia meneliti suara hati (dhamir), kamauan (iradah), daya ingatan, hafalan dan pengertian, sangkaan yang ringan (waham) dan kecenderungan-kecenderungan (wathif) manusia. Itu semua menjadi lapangan kerja jiwa, yang menggerakan manusia untuk berbuat dan berkata. Oleh karena itu ilmu jiwa merupakan muqaddimah yang pokok sebelum mengdakan kajian ilmu ahlak.[12]
Akhlak akan mempersoalkan apakah jiwa mereka tersebut termasuk jiwa yang baik atau buruk. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa ahlak mempunyai hubungan dengan ilmu jiwa. Dimana ilmu ahlak melihat dari segi apa yang sepatutnya dikerjakan manusia, sedangkan ilmu jiwa meneropong dri segia apakah yang menyebabkan terjadi perbuatan itu.[13]
Pada masa akhir-akhir ini, terdapat dalam ilmu jiwa suatu cabang yang disebut “ilmu jiwa masyarakat” (social psychology). Ilmu ini menyelidiki akal manusia dari jurusan masyarakat. Yakni menyelidiki soal bahasa dan bagaimana bekasnya terhadap akal, adat kebiasaan suatu bangsa yang mudur dan bagaimana bekasnya terhadap akal, adat kebiasaan suatu bangsa yang mundur dan bagaimana susunan masyarakat. Dan bagi cabang ini memberi bekas yang langsung pada akhlak, melebihi dari ilmu jiwa perseorangan.[14]
D.    Hubungan ilmu ahlak dengan ilmu sosiologi (kemasyarakatan)
Secara etimologis sosiologi berasal dari kata socius yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang berkawan atau di dalam arti luas adalah “ilmu pengetahuan yang berobjek pada masalah hidup bermasyarakat”.[15] Mempelajari masyarakat manusia yang pertama, dan bagaimana meningkat keatas, juga menyelidiki tentang bahasa, agama, dan keluarga, dan bagaimana membentuk undang-undang dan pemerintahan dan sebagainya. Mempelajari semua ini menolong untuk memberi pengertian akan perbuatan manusia dan cara menentukan hukum baik dan buruk.[16]
Hidup memasyarakat dapat dipahami dalam pengertian yang luas, bisa dipahami dalam dimensi sempit. Masyarakat dalam arti luas ialah kebulatan dari semua perhubungan didalam hidup masyarakat. Sedangkan dalam arti sempit ialah suatu kelompok manusia yang menjadi tempat hidup bermasyarakat, tidak semua aspeknya tetapi dalam berbagai aspek yang bentuknya tidak tertentu. Masyarakat dalam arti sempit ini tidak mempunyai arti tertentu, misalnya masyarakat mahasiswa, masyarakat pedagang, masyarakat tani, dan lain-lain.[17]
Mempersoalkan hubungan antara ahlak dengan ilmu sosiologi agaknya sangat signifikan karena ilmu ahlak membahas tentang berbagai perilaku manusia yang ditimbulkan oleh kehendak, yang tidak dapat terlepas dari kajian kehidupan kemasyarakatan yang menjadi kajian ilmu sosiologi.[18] Demikianlah karena manusia tidak dapat hidup kecuali bermasyarakat dan ia tetap menjadi anggota masyarakat. Bukan menjadi kekuasaan kita untuk mengetahui keutamaan seseorang dengan tidak mengetahui masyarakatnya, masyarakat mana yang dapat membantu keutamaan atau merintanginya.[19]
E.     Hubungan ilmu ahlak dengan ilmu pendidikan
Antara ahlak dengan ilmu pendidikan mempunyai hubungan yang sangat mendasar dalam hal teoritik dan pada tatanan praktisnya. sebab, dunia pendidikan sangat besar sekali pengaruhnya terhadap perubahan perilaku, ahlak seseorang. Berbagai ilmu diperkenalkan, agar siswa memahaminya dan dapat melakukan suatu perubahan pada dirinya.  Apabila siswa diberi pelajaran “Ahlak”, pendidikan mengajarkan bagaimana seharusnya manusia itu bertingkah laku, bersikap terhadap sesamanya dan penciptanya (Tuhan).
Dengan demikian, posisi ilmu pendidikan strategis sekali jika dijadikan pusat perubahan perilaku yang kurang baik untuk diarahkan menuju perilaku yang baik. oleh karena itu, dibutuhkan beberapa unsur dalam pendidikan untuk bisa dijadikan agen perubahan sikap dan perilaku manusia. Dari tenaga pendidik (pengajar) misalnya, perlu memiliki kemampuan profesionalitas dalam bidangnya. Unsur lain yang perlu diperhatikan adalah materi pengajaran. Apabila materi pengajaran yang disampaikan oleh pendidik menyimpang dan mengarah keperubahan perilaku yang menyimpang, inilah suatu keburukan dalam pendidikan dan begitu pula sebaliknya.[20]
Lingkungan sekolah dalam dunia pendidikan merupakan tempat bertemunya semua watak. Perilaku dari masing-masing anak yang berlainan. Kondisi anak yang sedemikian rupa dalam interaksi antara anak satu dengan yang lainnya akan saling mempengaruhi juga pada kepribadian anak.[21] Dengan demikian lingkungan pendidikan mempengaruhi jiwa anak didik. Dan akan diarahkan kemana anak didik dan perkembangan kepribadian.[22]
F.      Hubungan ilmu ahlak dengan ilmu filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Filsafat memiliki bidang-bidng kajiannya mencakup berbagai diiplin ilmu antara lain :
a.       Metafisika             : penyelidikan dibalik alam yang nyata
b.      Kosmologi             : penyelidikan tentang alam (filsafat alam)
c.       Logika                   : pembahasan tentang cara berfikir cepat dan tepat
d.      Etika                      : pembahsan tentang tingah laku manusia
e.       Theodica               : pembahasan tentang ke-Tuhanan
f.       Antropologia         : pembahasan tentang manusia
Dengan demikian jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu-ilmu yang pada mulanya merupakan bagian filsafat karena ilmu tersebut kian meluas dan berkembang dan akhirnya membentuk disiplin ilmu itu sendiri dan terlepas dari filsafat. Demikian juga etika, dalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, kini telah merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri.[23]
G.    Hubungan ilmu ahlak dengan ilmu hukum
Pokok pembicaraan mengenai hubungan akhlak dengan ilmu hukum adalah perbuatan manusia. Tujuannya mengatur perbuatan manusia untuk kebahagiaanya. Akhlak memerintahkan untuk berbuat apa yang berguna dan melarang berbuat segala apa yang mudlarat, sedang ilmu hukum tidak, karena banyak perbuatan yang baik dan berguna tudak diperintahkan oleh hukum, seperti berbuat baik kepada fakir miskin dan perlakuan baik antara suami istri. Demikian juga beberapa perbuatan yang mendatangkan kemadlaratan tidak dicegah oleh hukum, umpamanya dusta dan dengki. Ilmu hukum tidak mencampuri urusan ini karena ilmu hukum tidak memerintahkan dan tidak melarang kecuali dalam hal menjatuhkan hukuman kepada orang yang menyalahi perintah dan larangannya.[24]
Terkadang untuk melaksanakan undang-undang itu hajat mempergunakan cara-cara yang lebih membahayakan kepada ummat, dari apa yang diperintahkan atau dicegah olh undang-undang. Demikian pula ada keburukan-keburukan yang samar-samar, seperti mengingkari nikmat dan berkhianat, dan ini undang-undang tidak sampai untuk menjatuhkan siksaan kepada pelakunya. Maka itu tidak dapat jatuh dibawah kekerasan undang-undang, dan keadaanya dalam hal itu bukan seperti pencurian dan pembunuhan. Perbedaan lainnya adalah bahwa ilmu hukum melihat segala perbuatan dari jurusan buah dan akibatnya yang lahir, sedang akhlak menyelami gerak jiwa manusia yang atin (walaupun tidak menimbulkan perbuatan yang lahir) dan juga menelidiki perbuatan yang lahir.[25]
Ilmu hukum dapat berkata : “jangan mencuri, membunuh”, tetapi tidak dapat berkata sesuatu tentang kelanjutannya. Sedangkan ahlak, bersamaan dengan hukum mencegah pencurian dan pembunuhan. Akhlak dapat mendorong manusia untuk “jangan berfikir dalam keburukan”,”jangan mengkhayalkan yang tidak berguna”. Ilmu hukum dpat menjaga hak milik manusia dan mencegah orang untuk melanggarnya, tetapi tidak dapat memerintahkan kepada sipemilik agar mempergunakan miliknya untuk kebaikan. Adapun yang memerintahkan untuk berbuat kebaikan adalah akhlak.[26]
FOOTNOTE
[1] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga.Pengantar Studi Ahlak. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004) Hal. 4
[2] Ahmad amin. Etika (ilmu ahlak). (Jakarta : Bulan Bintang, 1988) Hal. 15
[3] Asmaran AS. Pengantar Studi Akhlak. ( Jakarta : Rajawali Press, 1992). Hal. 7
[4] Ahmad Bangun Nasution, Rayani Hanum Siregar. Ahlak Tasawuf pengenalan, pemahaman dan pengaplikasiannya. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013) Hal. 30-34
[5] Ahmad Bangun Nasution, Rayani Hanum Siregar. Ibid. Hal. 24
[6] Hamzah Ya’qub. Etika Islam Pembinaan Ahlaqulkarimah. (Bandung : Diponegoro, 1985). Hal. 18
[7] Hamzah Ya’qub. Op. cit. Hal. 18
[8]Hamzah Ya’qub. Op. cit.. Hal. 18
[9]Hamzah Ya’qub. Op. cit Hal. 18
[10] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. Hal. 56
[11] Ahmad amin. Ibid. Hal. 20
[12]Ahmad Musthofa. Ahlak Tasawuf. (Bandung : Pustaka Setia, 1997) Hal. 22
Rahmat Djatmika. Sistem Ethika Islam (Akhlak Mulia). (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1996) Hal. 51-59
[13] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. 2004) Hal. 57
[14] Ahmad amin. Ibid. Hal. 20
[15] Solardja Ponco Soetirto. Azas-Azas Sosiologi. (Gajah Mada). Hal. 5
[16] Ahmad amin. Ibid. Hal. 20-21
[17] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. Hal. 57-58
[18] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. Hal. 58
[19] Ahmad amin. Ibid. Hal. 20
[20] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. Hal. 59-60
[21] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. Hal.60
[22] Ahmad Musthofa. Ibid. Hal. 109-110
[23] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. Hal. 60-61
[24] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. Hal. 61-62
[25] Ahmad amin. Ibid. Hal. 21-22
[26] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. Hal. 62.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok...9
AKHLAH PADA ALLAH, MANUSIA, ALAM
A.    Pengertian  Akhlak
Sedangkan menurut istilah, para pakar dalam bidang ini mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut;
1.      Ibnu Misawaih, Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa meerlukan pemikiran dan pertimbangan.
2.      Imam Al-Gazali, Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
3.      Ibrahim Anis, Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.(1)
B.     Akhlak Kepada Allah
Titik  tolak  akhlak  terhadap  Allah  adalah  pengakuan   dan kesadaran  bahwa  tiada  Tuhan  melainkan  Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, yang  jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.(2) 
Itulah sebabnya mengapa Al-Quran  mengajarkan  kepada  manusia untuk    memuji-Nya,   Wa   qul   al-hamdulillah   (Katakanlah "al-hamdulillah"). Dalam  Al-Quran  surat  An-Nam1  (27):  93, secara tegas dinyatakan-Nya bahwa, 
Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan."
Makhluk  tidak  dapat  mengetahui dengan  baik  dan  benar  betapa kesempurnaan dan keterpujian Allah  Swt.  Itu  sebabnya   mereka   --sebelum   memuji-Nya-- bertasbih  terlebih  dahulu  dalam arti menyucikan-Nya. Jangan sampai  pujian  yang  mereka  ucapkan  tidak   sesuai   dengan kebesaran-Nya.    Bertitik    tolak   dari   uraian   mengenai kesempurnaan Allah, tidak heran kalau  Al-Quran  memerintahkan manusia  untuk  berserah  diri  kepada-Nya, karena segala yang bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna.
Tidak sedikit ayat Al-Quran yang memerintahkan  manusia  untuk menjadikan Allah sebagai "wakil". Misalnya firman-Nya dalam QS Al-Muzzammil (73): 9:
 (Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung).
Kata "wakil"  bisa  diterjemahkan  sebagai  "pelindung".  Kata tersebut  pada  hakikatnya  terambil dari kata "wakkala-yuwakkilu" yang berarti mewakilkan. Apabila seseorang mewakilkan kepada orang  lain  (untuk  suatu persoalan),  maka  ia  telah  menjadikan  orang  yang mewakili sebagai dirinya sendiri dalam  menangani  persoalan  tersebut, sehingga  sang  wakil  melaksanakan  apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya.
Menjadikan  Allah  sebagai  wakil  sesuai  dengan  makna  yang disebutkan   di  atas  berarti  menyerahkan  segala  persoalan kepada-Nya.  Dialah  yang  berkehendak  dan  bertindak  sesuai dengan   kehendak  manusia  yang  menyerahkan  perwakilan  itukepada-Nya.
Allah Swt., yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah Yang Mahakuasa, Maha Mengetahui, Mahabijaksana dan semua  maha yang   mengandung   pujian.   Manusia   sebaliknya,   memiliki keterbatasan pada segala hal. Jika  demikian  "perwakilan"-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia.
Perbedaan   kedua   adalah   dalam   keterlibatan  orang  yang mewakilkan. Jika Anda mewakilkan orang lain  untuk  melaksanakan  sesuatu, Anda telah menugaskannya untuk melaksanakan hal tertentu. Anda tidak perlu melibatkan diri, karena hal itu  telah  dikerjakan oleh sang wakil. Ketika  menjadikan  Allah Swt. sebagai wakil, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.
Perintah   bertawakal    kepada    Allah    --atau    perintah menjadikan-Nya  sebagai  wakil-- terulang dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak sembilan  kali,  dan  dalam  bentuk  jamak (tawakkalu)   sebanyak   dua  kali.  Semuanya  didahului  olehperintah melakukan sesuatu,  lantas  disusul  dengan  perintah bertawakal.  perhatikan  misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat 61: Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah.
C.     Ahlak kepada sesama mansuia.
 Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu. “Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”. (QS al-Baqarah [2]: 263).
           Di sisi lain al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad Saw. –misalnya -- dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain. Karena itu, al-Quran berpesan kepada orang-orang Mukmin: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari”. (QS al-Hujurât [49]: 2).
          Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati. Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat”. (QS an-Nûr [24]:27).
          Setiap ucapan haruslah ucapan yang baik, al-Quran memerintahkan, “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”. (QS al-Baqarah [2]:83).
           Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar,  “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”, (QS al-Ahzâb [33]:70).
          Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan kesalahan. Karena itu, ketika Misthah --seorang yang selalu dibantu oleh Abu Bakar r.a. -- menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar dan banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah. Tetapi al-Quran turun menyatakan: “Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat (nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS an-Nûr [24]: 22).
         Jika ada orang yang digelari gentleman – yakni yang memiliki harga diri, berucap benar, dan bersikap lemah lembut (terutama kepada wanita) -- seorang Muslim yang mengikuti petunjuk-petunjuk akhlak al-Quran tidak hanya pantas bergelar demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang demikian dalam bahasa al-Quran disebut al-muhsin.
D.    Ahlak kepada Alam.
            Lingkungan  adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
          Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
          Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan.
            Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
           Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat petunjuk al-Quran yang melarang melakukan penganiayaan. Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan terbesar.
          Sebelum Eropa mengenal Organisasi Pencinta Binatang, Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan, “Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik”.
         Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih ada lagi prinsip taskhîr, yang berarti penundukan. Namun dapat juga berarti "perendahan". Firman Allah yang menggunakan akar kata itu dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat 11 adalah: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”. (QS al-Jâtsiyah [45]:13).
          Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda sehingga mengorbankan kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan kepentingannya di akhirat kelak.
   FOOTNOTE
(1)    Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf,Jakarta, RajaGrafindo Persada. 2010. Hal. 2
(2)  Rakhmat Djatnika. Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Jakarta, Pustaka Panjimas. 1992. hal. 173
(3) Ibid. hal. 173
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
A.    Pengertian Akhlak Pada Diri Sendiri
Menurut etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab اخلاق bentuk jamak dari mufradnya khuluq خلق yang berarti “budi pekerti”. Sedangkan menurut terminologi, kata “budi pekerti”, budi adalah yang ada pada manusia, berhubungan dengan kesadaran yang didorong oleh pemikiran, ratio. Budi  disebut juga karakter. Pekerti adalah apa yang terlihat pada manusia karena didorong oleh perasaan hati yang disebut behaviour. Jadi, budi pekerti adalah perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia
Manusia sebagai makhluk Allah mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri. Namun bukan berarti kewajiban ini lebih penting daripada kewajiban kepada Allah. Dikarenakan kewajiban yang pertama dan utama bagi manusia adalah mempercayai dengan keyakinan yang sesungguhnya bahwa “Tiada Tuhan melainkan Allah”. Keyakinan pokok ini merupakan kewajiban terhadap Allah sekaligus merupakan kewajiban manusia bagi dirinya untuk keselamatannya.
Manusia mempunyai kewajiban kepada dirinya sendiri yang harus ditunaikan untuk memenuhi haknya. Kewajiban ini bukan semata-mata untuk mementingkan dirinya sendiri atau menzalimi dirinya sendiri. Dalam diri manusia mempunyai dua unsur, yakni jasmani (jasad) dan rohani (jiwa). Selain itu manusia juga dikaruniai akal pikiran yang membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lainnya. Tiap-tiap unsur memiliki hak di mana antara satu dan yang lainnya mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan untuk memenuhi haknya masing-masing. [1]
Jadi ,Yang dimaksud dengan akhlak terhadap diri sendiri adalah[2] sikap seseorang terhadap diri pribadinya baik itu jasmani sifatnya atau rohani . Kita harus adil dalam memperlakukan diri kita , dan jangan pernah memaksa diri kita untuk melakukan sesuatu yang tidak baik atau bahkan membahayakan jiwa.
Sesuatu yang membahayakan jiwa bisa bersifat fisik atau psikis. Misalnya kita melakukan hal-hal yang bisa membuat tubuh kita menderita. Seperti; terlalu banyak bergadang, sehingga daya tahan tubuh berkurang, merokok, yang dapat menyebabkan paru-paru kita rusak, mengkonsumsi obat terlarang dan minuman keras yang dapat membahyakan jantung dan otak kita. Untuk itu kita harus bisa bersikap atau beraklak baik terhadap tubuh kita. Selain itu sesuatu yang dapat membahayakan diri kita itu bisa bersifat psikis. Misalkan iri, dengki , munafik dan lain sebagainya. Hal itu semua dapat membahayakan jiwa kita, semua itu merupakan penyakit hati yang harus kita hindari.
Hati yang berpenyakit seperti iri dengki munafiq dan lain sebagainya akan sulit sekali menerima kebenaran, karena hati tidak hanya menjadi tempat kebenaran, dan iman, tetapi hati juga bisa berubah menjadi tempat kejahatan dan kekufuran.
        Untuk menghindari hal tersebut di atas maka kita dituntut untuk mengenali berbagai macam penyakit hati yang dapat merubah hati kita, yang tadinya merupakan tempat kebaikan dan keimanan menjadi tempat keburukan dan kekufuran. Seperti yang telah dikatakan bahwa diantara penyakit hati adalah iri dengki dan munafik. Maka kita harus mengenali penyakit hati tersebut                                           
1.      Dengki,
      Orang pendeki adalah orang yang paling rugi. Ia tidak mendapatkan apapun dari sifat buruknya itu. Bahkan pahala kebaikan yang dimilikinya akan terhapus. Islam tidak membenarkan kedengkian. Rasulullah bersabda: “Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “hati-hatilah pada kedengkian kaerena kedengkian menghapuskan kebajikan, seperti api yang melahapminyak.”(H.R.AbuDawud).
2.      Munafiq,
      Orang  yang mereka ucapkanmunafiq adalah orang yang berpura-pura atau ingkar. Apa tidak sama dengan apa yang ada di hati dan tindakannya. Adapun tanda-tanda orang munafiq ada tiga. Hal ini dijelaskan dalam hadits, yaitu:
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول االله صلعم. ” أيات المنافقين ثلاث, إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف, وإذا اؤتمن خان
Dari Abu hurairoh r.a. Rasulullah berkata: ” tanda-tanda orang munafiq ada tiga, jika ia berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanat ia berkhianat.” (H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan an-Nisa’i)

B.     Macam-Macam Akhlak Seorang Muslim Pada Diri Sendiri
1.      Berakhlak terhadap jasmani
a.       Senantiasa Menjaga Kebersihan[3]
Islam menjadikan kebersihan sebagian dari Iman. Seorang muslim harus bersih/ suci badan, pakaian, dan tempat, terutama saat akan melaksanakan sholat dan beribadah kepada Allah, di samping suci dari kotoran, juga suci dari hadas.
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al Baqarah:222)
Artinya : Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh-nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At Taubah:108)
b.      Menjaga Makan dan Minumnya[4]
Makan dan minum merupakan kebutuhan vital bagi tubuh manusia, jika tidak makan dan minum dalam keadaan tertentu yang normal maka manusia akan mati.
Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar makan dan minum dari yang halal dan tidak berlebihan. Sebaiknya sepertiga dari perut untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk udara.
Allah SWT berfirman :
Artinya : Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni'mat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.(QS. An Nahl:114)
              c.       Menjaga Kesehatan[5][4]
Menjaga kesehatan bagi seorang muslim adalah wajib dan merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT dan sekaligus melaksanakan anmanah dari-Nya. Riyadhah atau latihan jasmani sangat penting dalam penjagaan kesehatan, walau bagaimnapun riyadhah harus tetap dilakukan menurut etika yang ditetapkan oleh Islam. Orang mukmin yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai Allah SWT daripada mukmin yang lemah.
Dari sahabat Abu Hurairah, BersabdaRasulullah, “Mu’min yang kuat lebih dicintai Allah dari mu’min yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan. Bersemangatlah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa malas, dan apabila engkau ditimpa sesuatu maka katakanlah “Qodarulloh wa maa syaa’a fa’al, Telah ditakdirkan oleh Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi”. (HR. Muslim) 
d.      Berbusana yang Islami[6][5]
Manusia mempunya budi, akal dan kehormatan, sehingga bagian-bagian badannya ada yang harus ditutupi (aurat) karena tidak pantas untuk dilihat orang lain. Dari segi kebutuhan alaminya, badan manusia perlu ditutup dan dilindungi dari gangguan bahaya alam sekitarnya, seperti dingin, panas, dll. Karena itu Allah SWT memerintahkan manusia menutup auratnya dan Allah SWT menciptakan bahan-bahan di alam ini untuk dibuatb pakaian sebagai penutup badan.
Artinya : Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup 'auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.(QS. Al A’raf:26)
2.      Berakhlak terhadap Akal[7][6]
a.       Menuntut Ilmu
Menuntut ilmu merupakan salah satu kewajiban bagi setiap muslim, sekaligus sebagai bentuk akhlak seorang muslim. Muslim yang baik, akan memberikan porsi terhadap akalnya yakni berupa penambahan pengetahuan dalam sepanjang hayatnya. Sebuah hadits Rasulullah SAW menggambarkan :
( مسلم )رواه ابن ماجه طلب العلم فريضة على كل
Artinya : “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Seorang mu’min, tidak hanya mencari ilmu dikarenakan sebagai satu kewajiban, yang jika telah selesai kewajibannya maka setelah itu sudah dan berhenti. Namun seorang mu’min adalah yang senantiasa menambah dan menambah ilmunya, kendatipun usia telah memakan dirinya. Menuntut ilmu juga tidak terbatas hanya pada pendidikan formal akademis namun dapat dilakukan di mana saja, kapan saja dan dengan siapa saja.
b.      Memiliki Spesialisasi Ilmu yang dikuasai
Setiap muslim perlu mempelajari hal-hal yang memang sangat urgen dalam kehidupannya. Menurut Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi (1993 : 48), hal-hal yang harus dikuasai setiap muslim adalah : Al-Qur'an, baik dari segi bacaan, tajwid dan tafsirnya; kemudian ilmu hadits; sirah dan sejarah para sahabat; fikih terutama yang terkait dengan permasalahan kehidupan, dan lain sebagainya. Setiap muslim juga harus memiliki bidang spesialisasi yang harus ditekuninya. Spesialisasi ini tidak harus bersifat ilmu syariah, namun bisa juga dalam bidang-bidang lain, seperti ekonomi, tehnik, politik dan lain sebagainya. Dalam sejarahnya, banyak diantara generasi awal kaum muslimin yang memiliki spesialisasi dalam bidang tertentu.
c.       Mengajarkan Ilmu pada Orang Lain.
Termasuk akhlak muslim terhadap akalnya adalah menyampaikan atau mengajarkan apa yang dimilikinya kepada orang yang membutuhkan ilmunya.
Firman Allah SWT :
Artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”(An-Nahl:43)
                 d.   Mengamalkan Ilmu dalam Kehidupan
Diantara tuntutan dan sekaligus akhlak terhadap akalnya adalah merealisasikan ilmunya dalam “alam nyata.” Karena akan berdosa seorang yang memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya.
Firman Allah SWT : Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff)
3.      Berakhlak terhadap jiwa
a.       Bertaubat dan Menjauhkan Diri dari Dosa Besar.
Taubat adalah meninggalkan seluruh dosa dan kemaksiatan, menyesali perbuatan dosa yang telah lalu dan berkeinginan teguh untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa tersebut pada waktu yang akan datang.[8][7] Allah SWT berfirman :


[1] Teguh purnomo, 100 Muslim terhebat sepanjang masa (jogjakarta: Dira Press, 2012) cet. 1, 231.
[2] Teguh purnomo, ibid 231.
[3] Harun nasution teologi, teologi islam (jakarta, UI Press, 2009).
[4] Afrizal M, tujuh perdebatan utama dalam teologi islam, (jakarta erlangga, 2006), 40.
[5]
[6]
[7]
[8] 4, ibid 12-13.
[9] Abdurrahman an-nawawi, pendiidkan islam di rumah, sekolah, dan masyarakat, jakarta: Gema Insani Press, 1995, 38.
[10] Zuhairini, 76.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...