Selasa, 24 April 2018

PKN Bagian I (satu)


MAKALAH PKN SEMESTER I
Dr. Euis srimulyani, MA.
R. 3.17
KATA PENGANTAR
          Alhamdulillahhirobbil alamin, segala puji bagi Allah tuhan semesta Alam, dan sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Alam nabi besar muhammad saw.
      Pertama saya sangat berterima kasih kepada dosen Mata kuliah PKN yaitu Dr. Euis srimulyani, MA yang telah memberikan berbagai ilmunya selama awal perkuliahan 1 September 2016 sampai januari 6 Januari 2017
      Alhamdulillah tulisan ini penulis ketik dan bahan di kumpulkan 4 bulan lebih ini merupakan makalah selama perkuliahan, semoga bermanfaat.


Penulis:


SYAHRUL RAMADHAN
(11160110000004)
Komplek Grand Puri Laras, Blok H. No. 94, Jln, Legoso raya, Pisangan, ciputat, kota tanggerang selatan, banten.
Tanggal: Rabu, 7 Febuari 2018
Waktu: 05.46 WIB.


PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2017




DAFTAR ISI
1.      Identitas nasional & Masyarakat Madani............................................................... 3
2.      Konstitusi & Rule Of Law................................................................................... 18
3.      Otonomi daerah.................................................................................................... 20
4.      UU & amandemen................................................................................................ 30
5.      Yudikatif, Eksekutif, Legislatif............................................................................ 34
6.      Sejarah MA, MK & KPK..................................................................................... 42
7.      Hukum Perdata..................................................................................................... 62
8.      Hukum Perdata Islam & Hukum Perdata Barat................................................... 69
9.      Hukum Tata Negara.............................................................................................. 84
10.  HTN, Politik & Politik Internasional.................................................................... 93
11.  Hukum & Politik Dalam Sistem Hukum Indonesia.............................................. 95
12.  Hukum pidana Islam........................................................................................... 103
13.  Hukum Pidana.................................................................................................... 107

















Kelompok.........1
IDENTITAS NASIONAL DAN MASYARAKAT MADANI
A.    Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang berbudaya namun mampu berinteraksi dengan dunia luar yang modern sehingga dapat terus berkembang dan maju. Dalam masyarakat madani, setiap warganya menyadari dan mengerti akan hak-haknya serta kewajibannya terhadap negara, bangsa dan agama. Masyarakat madani sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang bermoral yang menjamin keseimbangan antara kebebesan individu dan stabilitas masyarakat,dimana masyarakat memiliki motivasi dan inisiatif individual. Masyakat madani merupakan suatu masyarakat ideal yang didalamnya hidupmanusia-manusia partisipan yang masing- masing diakui sebagai warga dengan kedudukan yang serba serta dan sama dalam soal pembagian hak dan kewajiban. Istilah madani secara umum dapat diartikan sebagai”adap atau beradap”
Masyarakat madani dapat didefenisikan sebagai suatu masyarakat yang beradap dalam membangun, menjalani, dan memakai kehidupannya untuk dapat tata masyarakat yang beradap dalam membangun kemerdekaan masyarakat.Masyarakat madani di Indonesia memiliki banyak kesamaan istilah dan penyebutan, namun memiliki karakter dan peran yang berbeda satu dari yang lainnya. Merujuk sejarah perkembangan masyarakat sipil(civil society) di Barat,banyak ahli di indonesia menggunakan istilah yang berbeda untuk maksud serupa: masyarakat yang umumnya memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan lembaga Negara yang dikenal dewasa ini. [1]
Di bawah ini beberapa istilah dan penegas yang mengacu pada pengertian masyarakat sipil,sebagai mana yang dirumuskan oleh Dawam Raharjo.
B.     Latar Belakang Masyarakat Madani
1.      Masyarakat madani muncul karena faktor-faktor:
a.       Adanya penguasa politik yang cenderung mendominasi (menguasai) masyarakat dalam segala bidang agar patuh dan taat kepada penguasa.
b.       Tidak adanya keseimbangan dan pembagian yang proposional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang menyangkut aspek kehidupan.
c.       Adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat, karena secara esensial masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Masyarakat diasumsikan sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan yang baik (bodoh) dibandingkan dengan penguasa (pemerintah). Warganegara tidak mempunyai kebebasan penuh untuk melaksanakan aktivitasnya. Sementara demokratis merupakan satu entis yang menjadi penegak wacana masyarakat madani dalam menjalankan kehidupan, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Adanya usaha untuk membatasi ruang gerak dari masyarakat dalam kehidupan politik. Keadaan ini sangat menyulitkan masyarakat untuk mengemukakan pendapat, karena pada ruang publik yang bebaslah individu berada dalam posisi yang setara, dan akan mampu melakukan transaksi-transaksi politik tanpa ada kekhawatiran.
Dalam memasuki milenium III, tuntutan masyarakat madani di dalam negri oleh kaum reformis yang anti setatus quo menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik, dengan partisipasi politik yang lebih besar, jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak ke milikan, dan menghormati hak-hak asasi manusia.
C.     Karakteristik Dan Ciri-Ciri Masyarakat Madani.
1.      Karakteristik dalam masyarakat yang madani.
Free public sphere(ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, yaitu berhak dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik.
Demokratisasi, yaitu proses dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Toleransi, yaitu sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.[1] Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus.
Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan. Sebagai advokasi bagi masyarakt yang teraniaya dan tidak berdaya membela hak-hak dan kepentingan. Menjadi kelompok kepentingan atau kelompok penekan.
Dan karateristik lainnya adalah sebagai berikut:
a.       Terintegrasinya individu-individu dan kelompok- kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
b.      Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan- kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan- kekuatan alternatif.
c.       Dilengkapinya program- program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program- program pembangunan yang berbasis masyarakat
d.      Terjembataninya kepentingan- kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi- organisasi volunter mampu memberikan masukan- masukan terhadap keputusan- keputusan pemerintah.
e.       Tumbuh kembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rezim- rezim totaliter.
f.       Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu- individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga- lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif. Masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan- kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas- luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program- program pembangunan di Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah konsep yang cair yang dibentuk dari proses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara- negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa pra-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya Democratic Governance (pemerintahan demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience).
Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuan prasyarat masyarakat madani sebagai berikut:
a.       Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
b.      Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (social capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas- tugas kehidupan dan terjalinnya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
c.       Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
d.      Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga- lembaga swadaya untuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
e.       Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
f.       Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga- lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
g.      Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan- jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terper. [2]
2.      Ciri-Ciri Masyarakat Madani
a.       Ketakwaan terhadap tuhan yang tinggi.
b.      Hidup berdasarkan sains dan teknologi.
c.       Berpendidikan tinggi.
d.      Mengamalkan nilai hidup moderen dan progresif.
e.       Mengamalkan nilai kewarganegaraan.
f.       Akhlak dan moral yang baik.
g.      Mempunyai pengaruh yang kuat dalam peroses membuat keputusan.
h.      Menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, politik dan lembaga masyarakat.
Masyakat madani tidak muncul dengan sendirinya,ia membutuhkan unsur-unsur social yang menjadi persyaratan terwujudnya tatanan masyarakat madani. Factor-factor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan menjadi karakter khas masyarakat madani. Beberapa unsur pokok yang harus dimiliki oleh masyarakat madani adalah wilayah public yang bebas(free public sphere), demokrasi, toleransi,kemajemukan(pluralism), dan keadilan social.
D.    Institusi Penegakan Masyarakat Madani
Institusi Masyarakat madani adalah institusi (lembaga) yang dibentuk atas dasar motivasi dan kesadaran penuh dari diri individu, kelompok, dan masyarakat tanpa ada instruksi (perintah), baik yang bersifat resmi (formal) dari pemerintah (negara) maupun dari individu, kelompok dan masyarakat tertentu. Landasan pembentukan lembaga ini adalah idealisme perubahan kearah kehidupan yang independen dan mandiri.
1.      Sifat atau karakteristik lembaga (institusi) masyarakat madani adalah:
a.       Independen adalah bahwa negara ini memiliki sifat yang bebas (netral) dari intervensi lembaga lain, baik lembaga pemerintah mauppun non pemerintah.
b.      Mandiri, yaitu bahwa lembaga ini memiliki kemampuan dan kekuatan untuk melaksanakan tugas dan fungsi lembaga, dengan tidak melibatkan pihak lain diluar institusi.
c.       Swaorganisasi, yaitu bahwa pengelolaan dan pengendalian institusi dilakukan secara swadaya oleh SDM lembaga.
d.      Transparan, yaitu bahwa dalam pengelolaan dan pengendalian institussi dilakukan secara terbuka.
e.       Idealis, yaitu bahwa pengelolaan dan pengendalian, serta pelaksanaan institusi diselenggarakan dengan nilai-nilai yang jujur, ikhlas dan ditunjuk bagi kesejahteraan masyarakat banyak.
f.       Demokratis, yaitu bahwa institusi yang dibentuk, dikelol, serta dikendalikan dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri.
g.      Disiplin, yaitu bahwa institusi dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus taat dan setia terhadap segenap peraturan perundangan yang berlaku.
2.      Bentuk instansi masyarakat madani dapat diklasifikasikan dalam tiga macam:
a.       Institusi (lembaga) Sosial, seperti:
1). Lembaga Sosial.
2). Masyarakat (LSM) dan partai politik.
3). Organisasi kepemudaan, seperti KNPI, HMI, PMII, KAMMI.
4). Oganisasi kemahasiswaan.
5). Oganisasi kemasyarakatan, seperti MKGR, Kosgoro, SOKSI,
b.      Institusi (lembaga) Keagamaan. Institusi ini adalah institusi yang dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat, untuk melakukan pengelolaan, dan pengendalian program-program bagi pengembangan keagamaan. Bentuk institusi ini meliputi, antara lain:
1). Institusi (lembaga) Keagamaan dalam Islam, seperti NU, Muhammadiyah, MUI, ICM, dll.
2). Institusi (lembaga) Keagamaan Kristen, seperti PGI.
3). Institusi (lembaga) Keagamaan Budha, seperti Walubi.
4). Institusi (lembaga) Keagamaan Hindu, seperti Parsida Hindu Darma.
5). Institusi (lembaga) Keagamaan Katholik, seperti KWI.
c.       Institusi (lembaga) Paguyuban. Institusi ini adalah institusi yang dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian program-program bagi peningkatan kekerabatan /kekeluargaan, yang berdasarkan daerah atau suku bangsa yang sama.[3]
E.     Masyarakat Madani dan Demokratisasi
Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi, menurut Dawam bagaikan dua sisi mata uang, yang keduanya bersifat KO-eksistensi. Menurut masyarakat madani merupakan “rumah” persemian demokrasi, perlembang demokrasinya adalah pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Larry Diamond secara sistematis menyebutkan enam kontribusi masyrakat madani terhadap proses demokrasil:
1.      Menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat Negara.
2.      Pluraisme dalam masyarakat madani, bila diorganisir akan mejadi dasar yang penting bagi persaingan demokrasi.
3.      Memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan.
4.      Ikut menjaga stabilitas Negara.
5.      Tempat pimpinan politik.
6.      Menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim.
Untuk menciptakan masyarakat madani yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi diperlukan pembentukan Negara secara grandual dengan suatu masyrakat politik yang demokratis partisipatoris, reflektif dan dewasa yang mampu menjadi penyeimbang dan control atas kecenderungan eksesif Negara. Dalam masyrakat madani warga Negara sebagai pemilik kedaulatan dan hak untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat, sehingga setiap individu dalam masyarakat madani memiliki kesempatan untuk memperkuat kemandirian. Kemandirian dimaksudkan adalah harus mampu direfleksikan dalam seluruh ruang kehidupan politik, ekonomi dan budaya. Menurut M. Dawan Rahadjo ada beberapa asumsi yang berkembang:
1.      Demokratisasi bisa berkembang, apabila masyarakat madani menjadi kuat baik melalui perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri,
2.      Demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan Negara dikurangi atau dibatasi tanpa mengurangi efektivitas dan esensi melalui interaksi,
F.      Menuju Masyarakat Madani Indonesia
Indonesia menuju masyarakat madani sudah ada alatnya yaitu berupa UUD 1945, lambang Negara (bendera), bahasa Indonesia, lagu kebangsaan, pancasila sebagai pemersatu ideologi dan juga sebagai sarana untuk menjadikan indonesia menuju masyarakat yang madani yang dicita-citakan oleh semua golongan dan tentunya sejalan dengan yang ditawarkan Rosulllah SAW. Dalam piagam Madinahnya.[4]
Itu jika pemerintah secara sempurna menjalankan pancasila dengan sejujurnya tanpa adanya manipulasi dalam menjalankanya, pasti keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia akan sesui dan akan merealisasikan masyarakat yang bahagia sentosa dan menuju masyarakat madani yang sesungguhnya.
Disamping sebagai identitas Negara pancasila adalah falsafah Negara yang menyatukan pemikiran seluruh rakyat Indonesia yang tidak didominasi oleh salah satu pihak yang mayoritas saja, tapi pancasila mampu mengangkat dan menghormati kaum minoritas yang ada. Banyak sekali manfaat dari pancasila itu sendiri, disamping sebagai pilar Negara dia juga mampu menjadi tonggak kemajemukan Indonesia yang sangat kaya dengan budaya. Disamping sebagai pemersatu ideologi rakyat yang hidup didalamnya. Dengan keanekaragaman ideology masing-masing. Walau bermacam-macam agama, tapi pancasila mampu merangkul kesemuanya itu.
Banyak hal yang ditawarkan dalam penyusunan isi pancasila diantaranya adalah rumusan yang ditawarkan Mr. Muhammad Yamin yang disampaikan dalam pidato pada siding BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 adalah sebagai berikut :
1.      Peri kebangsaan;
2.      Peri kemanusiaan;
3.      Peri ketuhanan;
4.      Peri kerakyatan
5.      Kesejahteraan rakrat.
Kemudian pada masa yang sama hari itu juga, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan rancangan preambule UUD. Didalamnya tercantum lima landasan dasar Negara, yaitu:
1.      Ketuhanan yang maha esa;
2.      Kebangsaan persatuan indonesia;
3.      Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab;
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.      Keadilan social bagi seluruh rakyat indonesia.
Sedangkan rumusan pancasila dalam piagam Jakarta tanggal 22 juni 1945 adalah :
1.      Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluknya.
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3.      Persatuaan indonesia;
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan
5.      Keadilan social bagi seluruh rakyat indonesia.
Kemudian Ir. Soekarno dalam siding BPUPKI pada tanggal 1 juni 1945 mengusulkan adanya lima dasar Negara, yaitu:
1.      Kebangsaan indonesia;
2.      Internasionalisme dan perikemanusiaan;
3.      Kebangsaan;
4.      Kesejahteraan social;
5.      Ketuhanan yang bekebudayaan.
Rumusan dalam preambule UUD ( konstitusi) RIS yang penah belaku pada tanggal 29 Desember 1945 sampai 16 Agustus 1950 adalah :
1.      Ketuhanan yang Maha Esa;
2.      Peri kemanusiaan;
3.      Persatuan Indonesia;
4.      Kedaulatan rakyat;
5.      Keadilan sosial.
Pada akhirnya tersusunlah rumusan Pancasila seperti yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945, yaitu :
1.      Ketuhanan yang Maha Esa;
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3.      Persatuan Indonesia;
4.      Kerakyatanbyang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan perwakilan;
5.      Keadilah sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila tidak perlu direduksi menjadi slogan sehingga seolah tampak nyata dan personalistik. Slogan seperti “Membela Pancasila Sampai Mati” atau “Dengan Pancasila Kita Tegakkan Keadilan” menjadikan Pancasila seolah dikepung ancaman dramatis atau lebih buruk lagi, hanya dianggap sebatas instrumen tujuan. Akibatnya, kekecewaan bisa mudah mencuat jika slogan-slogan itu tidak menjadi pantulan realitas kehidupan masyarakat.
Pancasila, konstitusi (UUD 45), ke-Bhineka Tunggal Ika-an, serta Demokrasi jika dijalankan secara utuh oleh wakil rakyat dan masyarakat secara nyata, pasti akan menjadikan Indonesia menuju masyarkat madani yang seutuhnya. Dengan rasa aman, nyaman, penuh semangat, penuh toleransi, tenggang rasa, keadilan, kesejahteraan, kesatuan, sosial,dan juga ke-Tuhanan yang semua telah hadir dalam kontitusi yang telah tersusun dengan rapi di negara kita. Sebagai pembeda dan sebagai identitas negara indonesia adalah pancasila sebagai falsafah negara dan juga identitas negara serta adanya demokrasi pancasila sebagai penunjang semua masyrakat tuk menuju keragaman yang sejatinya adalah satu yaitu bergelar Bhineka Tunggal Ika sebagai wujud masyarakat madani di Indonesi.
Menurut Dawan ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyrakat madani Indonesia, yaitu:
1.      Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
2.      Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun ekonomi.
3.      Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah demokratisas[5]
G.    Pancasila, Demokrasi dan Masyarakat Madani
Merelevansikan dan menyinkronisasikan antara Pancasila dan aspek pengaktualisasiannya, demokrasi, HAM, serta Masyarakat Madani, maka dapat dianalogikan seperti sebuah kesatuan makhluk hidup dalam lingkup kawasan simbiosis mutualisme yang menghasilkan adanya sikap saling membutuhkan tanpa ada yang dirugikan. Keempat unsur dalam perspektif kewarganegaraan ini menjadi suatu kajian teoritis dan aplikatif yang adanya harus ditopang dengan latar kekuatan unsur lainnya (force background). Pancasila sebagai dasar fundamental dari falsafah negeri ini ditempatkan sebagai tonggak yang melindungi dan mengawasi terbentuk dan stabilnya aktualisasi dari demokrasi, hak asasi, dan terciptanya masyarakat yang madani.
Menelisik ke sisi lain, munculnya era reformasi pada 1998 sebenarnya memberikan harapan baru bagi seluruh aspek kemajuan Indonesia. Memberikan harapan baru bagi sikap pengaktualisasian Pancasila sebagai landasan dasar negara. Memberikan hal baru bagi kemajuan sikap paham akan konstitusi, demokrasi, dan penerapan hak asasi yang berlandaskan pada nilai-nilai sosial yang aktif dan reaktif. Mencermati hal ini, revitalisasi dan substansilisasi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi diharuskan untuk berjalan dengan baik dan dapat saling terkait serta terjadi menyeluruh di negeri ini.
Aktualisasi selayaknya ditempatkan pada posisi utama melihat dinamika masyarakat yang kian cepat, perilaku penyimpangan paham demokrasi yang kian gesit, hak asasi manusia yang dipandang sempit, serta masyarakat madani yang selalu morat-marit. Pancasila melahirkan jiwa-jiwa yang kritis dan demokratis. Menjadikan Pancasila sebagai substansi fundamentalis yang bersifat yuridis, mampu menjawab segala bentuk perbedaan yang mendasar yang saat ini masih terjadi.
Seperti diketahui, masalah hak asasi manusia serta perlindungan terhadapnya merupakan bagian penting dari aktualisasi Pancasila dan demokrasi serta penting untuk terwujudnya masyarakat yang madani. Dengan meluasnya konsep dalam konteks globalisasi dewasa ini, masalah hak asasi manusia menjadi isu yang hangat dibicarakan di hampir semua belahan dunia. Sebenarnya sudah dari dulu masalah ini dikenal di kawasan dunia, tetapi yang paling banyak sumber tertulisnya—dengan demikian lebih terkenal—ialah negara-negara Barat. HAM itu sendiri berdiri karena adanya pemahaman akan nilai-nilai kebebasan berpendapat dan berekspresi yang termaktub di dalam Pancasila dan nilai-nilai demokrasi. Hak asasi yang ditekankan dalam nilai-nilai tersebut ialah hak yang dibatasi dengan kebebasan orang lain, adanya batasan konstitusi, dan sesuai dengan kultural serta cita-cita kemajuan bangsa.
Pengaktualisasian Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara yang sangat kurang kini dilatarbelakangi oleh lunturnya toleransi dan pengaplikasian nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia lewat prinsip toleran dan saling menghargai pada diri masyarakat. Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan adanya keterkaitan besar antara sejumlah elemen nilai di atas. Hanya teori-teori berbentuk retorika dan wacana yang kian hari kian menjadi kebiasaan di masyarakat umumnya. Perlu tindakan realistis dan efektif antar kalangan untuk mengondisikan persepsi dan tujuan nasional ini.
Aktualisasi Pancasila seharusnya dilaksanakan secara bertahap, dengan pengawalan pengenalan ide-ide Pancasila, pemahaman hak asasi manusia, semangat perwujudan masyarakat madani, pembudayaan Pancasila dan demokrasi, hingga sampai dengan tataran praksis yang mengedepankan aspek-aspek implementasi nilai Pancasila itu sendiri. Tahapan ini hendaknya dikaji dan dilakukan secara empiris dan sistematis sehingga pemahaman dan implikasi terhadap filosofi Pancasila dan tiga elemen yang lain sehingga dapat termaktub di dalam diri kita masing-masing.
Pancasila dan semangat untuk mewujudkan masyarakat madani lahir dengan sejarah historis yang luar biasa. Lahir akibat dari kesepakatan bersama demi terciptanya negara Indonesia yang berdaulat. Lewat para tokoh-tokoh perjuangan nasional yang mengerahkan jiwa raganya hanya karena bangsa ini, mengungkapkan seluruh kajian teorinya, pandangan ke depan, dan visi yang jelas negeri ini dibangun sedemikian rupa. Tak mudah untuk bisa menyatukan pemikiran dan idealis dari seluruh kepala manusia di negeri ini. Pelajaran yang mestinya diambil bahwa negeri ini telah mampu menghadirkan sejarah sikap toleran dan kesabaran yang tinggi lewat tenggang rasa dengan tidak memaksakan idealisme demi kepentingan individu maupun komunal saja.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang diwarnai atau dijiwai oleh Pancasila, bahkan salah satu sila dari Pancasila, yaitu sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, merupakan perumusan yang singkat dari demokrasi Pancasila yang dimaksudPemahaman ini seharusnya ditanam dengan baik pada diri seluruh masyarakat negeri dalam penyatuan prinsip dari nilai demokrasi dan aktualisasi Pancasila.
Demokrasi Pancasila berarti demokrasi, kedaulatan Rakyat yang dijiwai dan disintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini berarti dalam menggunakan hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing, haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesusatu dengan martabat dan harkat manusia, haruslah menjamin dan mempersatukan bangsa, dan harys dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Demokrasi Pancasila berpangkal tolak dari paham kekeluargaan dan gotong-royong.
Kondisi objek negeri besar yang bernama Indonesia ini sesungguhnya amat rentan. Memang, Indonesia adalah negara besar, berbeda dengan negara lain yang mana pun. Ini perlu Merelevansikan dan menyinkronisasikan antara Pancasila dan aspek pengaktualisasiannya, demokrasi, HAM, serta Masyarakat Madani, maka dapat dianalogikan seperti sebuah kesatuan makhluk hidup dalam lingkup kawasan simbiosis mutualisme yang menghasilkan adanya sikap saling membutuhkan tanpa ada yang dirugikan. Keempat unsur dalam perspektif kewarganegaraan ini menjadi suatu kajian teoritis dan aplikatif yang adanya harus ditopang dengan latar kekuatan unsur lainnya (force background). Pancasila sebagai dasar fundamental dari falsafah negeri ini ditempatkan sebagai tonggak yang melindungi dan mengawasi terbentuk dan stabilnya aktualisasi dari demokrasi, hak asasi, dan terciptanya masyarakat yang madani.
Menelisik ke sisi lain, munculnya era reformasi pada 1998 sebenarnya memberikan harapan baru bagi seluruh aspek kemajuan Indonesia. Memberikan harapan baru bagi sikap pengaktualisasian Pancasila sebagai landasan dasar negara. Memberikan hal baru bagi kemajuan sikap paham akan konstitusi, demokrasi, dan penerapan hak asasi yang berlandaskan pada nilai-nilai sosial yang aktif dan reaktif.
Mencermati hal ini, revitalisasi dan substansilisasi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi diharuskan untuk berjalan dengan baik dan dapat saling terkait serta terjadi menyeluruh di negeri ini. Aktualisasi selayaknya ditempatkan pada posisi utama melihat dinamika masyarakat yang kian cepat, perilaku penyimpangan paham demokrasi yang kian gesit, hak asasi manusia yang dipandang sempit, serta masyarakat madani yang selalu morat-marit. Pancasila melahirkan jiwa-jiwa yang kritis dan demokratis.
Menjadikan Pancasila sebagai substansi fundamentalis yang bersifat yuridis, mampu menjawab segala bentuk perbedaan yang mendasar yang saat ini masih terjadi. Seperti diketahui, masalah hak asasi manusia serta perlindungan terhadapnya merupakan bagian penting dari aktualisasi Pancasila dan demokrasi serta penting untuk terwujudnya masyarakat yang madani.
Dengan meluasnya konsep dalam konteks globalisasi dewasa ini, masalah hak asasi manusia menjadi isu yang hangat dibicarakan di hampir semua belahan dunia. Sebenarnya sudah dari dulu masalah ini dikenal di kawasan dunia, tetapi yang paling banyak sumber tertulisnya—dengan demikian lebih terkenal—ialah negara-negara Barat. HAM itu sendiri berdiri karena adanya pemahaman akan nilai-nilai kebebasan berpendapat dan berekspresi yang termaktub di dalam Pancasila dan nilai-nilai demokrasi. Hak asasi yang ditekankan dalam nilai-nilai tersebut ialah hak yang dibatasi dengan kebebasan orang lain, adanya batasan konstitusi, dan sesuai dengan kultural serta cita-cita kemajuan bangsa.
Pengaktualisasian Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara yang sangat kurang kini dilatarbelakangi oleh lunturnya toleransi dan pengaplikasian nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia lewat prinsip toleran dan saling menghargai pada diri masyarakat. Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan adanya keterkaitan besar antara sejumlah elemen nilai di atas. Hanya teori-teori berbentuk retorika dan wacana yang kian hari kian menjadi kebiasaan di masyarakat umumnya. Perlu tindakan realistis dan efektif antar kalangan untuk mengondisikan persepsi dan tujuan nasional ini.
Aktualisasi Pancasila seharusnya dilaksanakan secara bertahap, dengan pengawalan pengenalan ide-ide Pancasila, pemahaman hak asasi manusia, semangat perwujudan masyarakat madani, pembudayaan Pancasila dan demokrasi, hingga sampai dengan tataran praksis yang mengedepankan aspek-aspek implementasi nilai Pancasila itu sendiri.
Tahapan ini hendaknya dikaji dan dilakukan secara empiris dan sistematis sehingga pemahaman dan implikasi terhadap filosofi Pancasila dan tiga elemen yang lain sehingga dapat termaktub di dalam diri kita masing-masing. Pancasila dan semangat untuk mewujudkan masyarakat madani lahir dengan sejarah historis yang luar biasa. Lahir akibat dari kesepakatan bersama demi terciptanya negara Indonesia yang berdaulat. Lewat para tokoh-tokoh perjuangan nasional yang mengerahkan jiwa raganya hanya karena bangsa ini, mengungkapkan seluruh kajian teorinya, pandangan ke depan, dan visi yang jelas negeri ini dibangun sedemikian rupa. Tak mudah untuk bisa menyatukan pemikiran dan idealis dari seluruh kepala manusia di negeri ini. Pelajaran yang mestinya diambil bahwa negeri ini telah mampu menghadirkan sejarah sikap toleran dan kesabaran yang tinggi lewat tenggang rasa dengan tidak memaksakan idealisme demi kepentingan individu maupun komunal saja.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang diwarnai atau dijiwai oleh Pancasila, bahkan salah satu sila dari Pancasila, yaitu sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, merupakan perumusan yang singkat dari demokrasi Pancasila yang dimaksudPemahaman ini seharusnya ditanam dengan baik pada diri seluruh masyarakat negeri dalam penyatuan prinsip dari nilai demokrasi dan aktualisasi Pancasila.
Demokrasi Pancasila berarti demokrasi, kedaulatan Rakyat yang dijiwai dan disintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini berarti dalam menggunakan hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing, haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesusatu dengan martabat dan harkat manusia, haruslah menjamin dan mempersatukan bangsa, dan harus Merelevansikan dan menyinkronisasikan antara Pancasila dan aspek pengaktualisasiannya, demokrasi, HAM, serta Masyarakat Madani, maka dapat dianalogikan seperti sebuah kesatuan makhluk hidup dalam lingkup kawasan simbiosis mutualisme yang menghasilkan adanya sikap saling membutuhkan tanpa ada yang dirugikan.
Keempat unsur dalam perspektif kewarganegaraan ini menjadi suatu kajian teoritis dan aplikatif yang adanya harus ditopang dengan latar kekuatan unsur lainnya (force background). Pancasila sebagai dasar fundamental dari falsafah negeri ini ditempatkan sebagai tonggak yang melindungi dan mengawasi terbentuk dan stabilnya aktualisasi dari demokrasi, hak asasi, dan terciptanya masyarakat yang madani.
Menelisik ke sisi lain, munculnya era reformasi pada 1998 sebenarnya memberikan harapan baru bagi seluruh aspek kemajuan Indonesia. Memberikan harapan baru bagi sikap pengaktualisasian Pancasila sebagai landasan dasar negara. Memberikan hal baru bagi kemajuan sikap paham akan konstitusi, demokrasi, dan penerapan hak asasi yang berlandaskan pada nilai-nilai sosial yang aktif dan reaktif.
Mencermati hal ini, revitalisasi dan substansilisasi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi diharuskan untuk berjalan dengan baik dan dapat saling terkait serta terjadi menyeluruh di negeri ini.        Aktualisasi selayaknya ditempatkan pada posisi utama melihat dinamika masyarakat yang kian cepat, perilaku penyimpangan paham demokrasi yang kian gesit, hak asasi manusia yang dipandang sempit, serta masyarakat madani yang selalu morat-marit. Pancasila melahirkan jiwa-jiwa yang kritis dan demokratis. Menjadikan Pancasila sebagai substansi fundamentalis.[6]
H.    Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani (Civil Society).
Filsuf yunani Aristoteles(384-322) yang memandang civil society (masyarakat sipil) sebagai system kenegaraan atau identik dengan Negara itu sendiri.pandangan ini merupakan fase pertama sejarah wacana civil society.pandangan ini telah berubah sama sekali dengan rumusan civil society yang berkembang dewasa ini,yakni masyarakat sipil diluar dan penyeimbang lembaga Negara pandangan Aristoteles ini selanjut nya dikembangkan oleh marcus tulius.
Pada masa Aristoteles, civil society dipahami sebagai system kenegaraan dengan mengunakan istilah koiinonia polotike, yakni sebuah komunikasi politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi politik dan mengambilan keputusan.istilah ekomoni politike yang dikemukakan oleh Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis di mana warga Negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum.hukum sendiri dianggap etos,yakni seperangkat nilai yang di sepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik,tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan dari berbagai bentuk interaksi diantara warga Negara. Fase kedua,pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society dengan konteks social dan politik di skotlandia. Berbea dengan pendahulu nya, ferguson lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan social.pemahaman ini lahir tidak lepas dari pengaruh revolusi industry dan melahirkan ketimpangan social yang mencolok.
Menurut furguson,ketimpangan social akibat kapitalisme harus dihilangkan. Ia yakin bahwa public secara alamiah memiliki spirit solidaritas social dan sentrimental moral yang dapan menghalangi munculnya kembali despotisme. Fase ketiga, pada 1792 thomas paine meyakini civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga dengan lembaga Negara,bahkan ia dianggap sebagai antitetis sesuatu Negara.
Menurut Paine terdapat batas-batas wilayah otonomi masyarakat sehingga nefara tidak di perkenankan memasuki wilayah sipil.dengan demikian, menurutnya civil society adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan member peluang bagi pemuasaan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan. Fase keempat, G,W,F Hegel,berpendapat bahwa masyarakat sipil tidaklah dianggap sebagai tindakan melanggar hukum.menurut hegel, masyarakat sipil hanya merupakan dua komponen yang saling memperkuat satu sama lain.[7]
I.       Masyarakat Madani Di Indonesia (Paradigma dan Praktik)
Indonesia memiliki tradisi kuat civil society( masyarakat madani). Bahkan jauh sebelum negara bangsa berdiri, masyarakat sipil telah berkembang pesat yang dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Selain berperan sebagai organisasi perjuangan penegakan HAM dan perlawanan terhadap kekuasaan colonial,organisi berbasis islam ( SI ), Nahdlatul Ulama( NU ),dan Muhamadiyah, telah menunjukan kiprahnya sebagai komponen civil society yang paling penting dalam perkembangan sejarah masyarakat sipil di Indonesia. Sifat kemandirian dan kesukarelaan para pengurus dan anggota organisasi tersebut merupakan khas sejarah masyarakat madani diindonesia. Tedapat beberapa strategi yang ditawarkan ahli tentang bagaimana seharusnya bangunan masyarakat madani bisa terwujud di Indonesia.
1.      Pandangan integrasi nasional dan politik. Pandangan ini menyatakan bahwa system demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam kenyataan hidup sehari-hari dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat. Bagi pengikut pandangan ini praktik demokrasi ala barat (demokrasi liberal) hanya akan berakibat konflik antara sesama warga bangsa baik social maupun politik.
2.      Pandangan reformasi system politik demokrasi, yakni pandangan yang menekan kan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah terlalu tergantung pada pembangunan ekonomi. Dalam tataran ini, pembangunan industri- industri politik yang demokratis lebih diutamakan oleh Negara darp pada pembangunan ekonomi.
3.      ,paradikma membangun masyarakat madani sebagai basis utama pembangun demokrasi. Pandangan ini merupakan paradigma alternatif diantara dua pandangan yang pertama di anggap gagal dalam pembangunan demokrasi. Berbeda dua pandangan pertama, pandangan ini lebih menekan kan proses pendidikan dan penyadaran politik warga negara khususnya kalangan menengah.[8]
Berdasarkan ketiga paradigm diatas pengembang demokrasi dan masyarakat madani selayaknya tidak hanya tergantung pada salah satu pandangan tersebut. Sebaiknya,untuk mewujutkan masyarakat madani yang seimbangan dengan kekuatan negara dibutuhkan gabungan kekuatan antara starategi dan paradigma. Tentang masyarakat madani diindonesia, menurut Raharjo masih merupakan lembaga-lembaga yang dihasilkan oleh system politik represif. Cirri kritisnya lebih menonjol dari pada cirri konstruktifnya. Mereka hanya lebih banyak melakukan protes dari pada mengajukan solusi, lebih banak menuntut dari pada memberikan sumbangan terhadap pemecah masalah.
J.       Gerakan Sosial Untuk Memperkuat Masyarakat Madani.
Keberadaan masyarakat madani tidak terlepas dari peran gerakan social. Gerakan social dapat dipadankan dengan perubahan social atau masyarakat sipil yang didasari oleh pembagian tiga ranah yaitu negara (state ),perusahan atau pasar ( coporation atau market ), dan masyarakat sipil. Berdasarkan pembagian ini,maka terdapat gerakan politik yang berada di ranah negara dan gerakan ekonomi diranah ekonomi. Pembagian ini telah dibahas jugak oleh Sidney tarrow yang melihat political parties berkaitan dengan gerakan politik, yakni sebagai upaya perebutan dan penguasaan jabatan politik oleh pertain politik melalui pemilu.sementara itu,gerakan ekonomi berkaitan dengan lobbydimana terdapat upaya melakukan perubahan kebijakan public tanpa harus munduduki jabatan public tersebut.
Selain itu, perbedaan ketiga ranah tersebut dibahas jugak oleh Habermas yang melihat gerakan social merupakan resistensi rogresif terhadap invasi negara dan system ekonomi. Jadi,salah satu factor yang membedakan ketiga gerakan tersebut adalah actornya, yakni parpol diranah politik, lobbyisdan perusahaan di ekonomi ( pasar ) dan organisasi masarakat sipil atau kelompok social diranah masyarakat sipil.
Berdasarkan pemetaan diatas, secara empiris ketiganya dapat saling sinergi. Pada ranah negara ( state ) dapat terjadi beberapa gerakan politik yang dilakukan oleh parpol dalam pemilu yang mengusung masalah yang jugak didukung oleh gerakan social. Sebagai contoh gerakan social oleh masyarakat sipil seperti mereka yang pro atau anti rancangan undang- undang anti ornografi dan pornoaksi (RUU APP ) mempunyai kaitan dengan kelompok atau parpol diranah politik maupun kelompok bisnis pada sisi yang lain.
Selain definisi gerakan social yang beradadi ranah masyarakat sipil maka para actor atau kelompok yang terlibat pun perlu diperjelas pengertian dan cakupannya. Selama ini ada yang memandang bahwa organisasi nonpemerintah ( NGO ) atau LSM merupakan satu- satunya wakil atau penjelmaan masyarakat sipil. Namun, sebenarnya organisasi nonpemerintah hanya merupakan salah satu dari organisasi masyarakat sipil yang berdamping dengan organisasi massa,organisasi profesi,media,lembaga pendidik dan lembaga lain yang tidak termasuk pada ranah politik dan ekonomi.
K.    Organisasi nonpemerintah dalam ranah masyarakat madani
Istilah organisasi nonpemerintah adalah terjemahan harfiah NGO ( non-govermental organization ) yang telah lama dikenal dalam pergaulan internasional. Dalam arti umum, pengertian organisasi nonpemerintah mencakup semua organisasi masyarakat yang berada diluar stuktur dan formal pemerintah, dan tidak dibentuk oleh atau merupakan bagian dari birokrasi pemerintah. Karena cakupan engertiannya yang luas, penggunaan istilah organisasi nonpemerintah,sering membingungkan dan juga mengaburkan pengertian atau kelmpok masyarakat yang semata-mata bergerak dalam rangka pembagunan social-ekonomi masyarakat tingkat bawah.
Istilah organisasi nonpemerintah bagi merekayang tidak setuju memakai istilah ini berpotensi memunculkan pengertian tidak menguntungkan. Pemerintahan khususnya menolak menggunakan istilah itu dengan alas an makna organisasi nonpeme-rintahan terkesan”memperhadap kan” serta seolah-olah” oposan pemerintah.” Pengertian organisasi nonpemerintah kemasyarakat lainnya yang bersifat nonpemerintah. Didalamnya bisa termasuk serikat pekerja,kaum buruh himpunan para petani atau nelayan, rukun tetangga, rukun warga, yayasan social ,lembaga keagamaan, klub olahraga,perkumpulan mahasiswa, organisasi profesi,partai politik, ataupun asosiasi bisnis swasta. LP3ES mendapatkan organisasi nonpemerintah sebagai organisasi atau kelompok dalam masyarakat yang secara hukum bukan merupakanbagian dari pemerinta ( non-goverment )
Dan berkerja tidak untuk mencari keuntungan ( non-profit ), tidak untuk melayani diri sendiri atau anggota- anggota ( self-serving ), tetapi untuk melayani kepentingan masyarakat yang membutuhkannya. Sosok organisasi nonpemerintah dalam pengertian riil sebagai gerakan terorganisasi dapat mengambil berbagai bentuk. Ada yang berbadan hukum pengumpulan atau perhimpunan atau yayasan, ada juga yang tidak berbadan hukum. Bahkan ada yang bersifat sementara seperti “forum”,aliansi,”konsorsium,”asosiasi,” jaringan ,”solidaritas, dan lain-lain. [9]
FOOTNOTE
[1] Azyumardi, Azra. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Tim ICCE UIN. Hal. 77
[1] Saepuloh, Aef & Tarsono.. Modul Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Islam. Bandung: BATIC PRESS Bandung.hal 123
[2] Gatara, Asep S. Pamudji, Demokrasi, Pancasila, dan Ketahanan Nasional Suatu Analisa di Bidang Politik dan Pemerintahan,(Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 7.
[3] Sahid & Sofian, Subhan. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan (civic education). Bandung:focus media.hal 78
[4] pidato kenegaraan presiden soeharto,tanggal 16 agustus 1967,termuat dalam buku pandangan soeharto. Hal 22-25
[5] Daden,M Ridwan,dan Nurjulianti,dewi, pembangunan masyarakat madani dan tantanggan demokratisasi di Indonesia,cetakan ke1 jakarta:LSAF, hal 90-93
[6] Ruharjo, M.Dawan, 1999,masyarakat madani:agama kelas menengah dan perubahan social cetakan 1 jakarta:LP3ES
[7] Usman, Widodo,dkk,ed,2000,membongkar mitos masyarakat madani, cetakan ke1 yogyakarta,pustaka pelajar.
[8] Azumardi Ara, menuju masyarakat madani,cetakan ke-1 bandung:PT remaja rosdakarya. Hal 45
[9] Nurcholish Majid, Asas-asas Pluralisme dan toleransi dalam mastarakat madani, bandung-ppim Jakarta-theasia foundation. Hal. 50-56
 XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.......2
KOSNTITUSI DAN RULE OF LAW
A.     Konstitusi.
1.      Penegertian konstitusi.
Para ahli memiliki pandangan yang bervariasi mengenai “konstitusi” dan “Undang-Undang Dasar”. Ada yang berpendapat sama, tetapi ada juga yang berpendapat berbeda. Kata konstitusi secara etimologis berasal dari bahasa latin (constitutio), constitution (inggris), constituer (Prancis), constitutie (Belanda), dan konstitution (Jerman). Dalam pengertian ketatanegaraan, istilah konstitusi mengandung arti undang-undang dasar, hukum dasar atau susunan badan. [2]
Suatu konstitusi menggambarkan seluruh sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah negara. Peraturan peraturan tersebut ada yang berbentuk tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang, ada pula yang bersumber dari peraturan yang tidak tertulis seperti norma, kebiasaan, adat istiadat, dan konvensi masyarakat. Khusus untuk konvensi, meskipun peraturan tersebut tidak tertulis., namun bukan berarti tidak efektif dalam mengatur kehidupan negara.
Dalam perkembangan politik dan ketatanegaraan, istilah konstitusi mempunyai 2 pengertian sebagai berikut:
a.       Dalam pengertian luas, “konstitusi” berarti keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar (droit constitunelle). Konstitusi seperti halnya hukum, ada yang dalam bentuk dokumen tertulis, atau juga berupa campuran dari dua unsur tersebut. Pelopornya adalah Bolingbroke.
b.      Dalam pengertian sempit (terbatas), “konstitusi” berarti piagam dasar atau undang-undang dasar (loiconstitunelle), yaitu suatu dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara; contoh, UUD 1945. Jadi, konstitusi dalam arti sempit, merupakan sebagai satu dokumen tertulis yang lengkap.
2.      Subtansi Konstitusi Negara
Subtansi berarti isi, dapat dibedakan antara konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Suatu konstitusi disebut tertulis bila merupakan satu naskah (documentary constitution), sedangkan konstitusi tak tertulis tidak merupakan satu naskah (non-documentary contitution) dan banyak dipengaruhi oleh tradisi dan konvensi. Contoh, negara Inggris yang konstitusi hanya merupakan kumpulan-kumpulan dokumen.
Konstitusi atau hukum dasar, dapat pula dibedakan antara Hukum Dasar Tertulis (written constitution), yaitu Undang-Undang Dasar dan Hukum Dasar Tidak Tertulis (unwritten constitusion) , yaitu konvensi. Salah satu contoh konvensi di Indonesia adalah pelaksanaan Pidato Kenegaraan Presiden menjelang peringatan Proklamasi 17 Agustus.[3]
3.      Kedudukan Konstitusi NKRI
Pembukaan UUD 1945 telah memenuhi syarat sebagai pokok kaidah negara yang fundamental karena vitalnya kedudukan pembukaan UUD 1945 itu sendiri. Rumusan kata dan kalimat yang terkandung didalamnya tidak boleh diubah oleh siapapun, termasuk MPR hasil pemilu. Pengubahan Pembukaan UUD 1945 berarti pengubahan esensi cita moral dan cita hukum yang ingin diwujudkan dan ditegakkan oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian, dalam hubungannya dengan pasal-pasal UUD 1945( Batang Tubuh UUD 1945), pembukaan UUD 1945 mempunyai kedudukan sebagai berikut:
a.       Dalam hubungan dengan tertib hukum Indonesia, Pembukaan UUD 1945 mempunyai kedudukan terpisah dari Batang Tubuh UUD 1945. Dalam kedudukan sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, pembukaan UUD 1945 mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada Batang Tubuh UUD 1945.
b.      Pembukaan UUD 1945 merupakan tertib hukum tertinggi dan mempunyai kedudukan lebih tinggi dan terpisah dari Batang Tubuh UUD 1945.
c.       Pembukaan merupakan pokok kaidah negara yang fundamental yang menentukan adanya UUD negara; jadi, ia merupakan sumber hukum dasar.
d.      Pembukaan UUD 1945 yang berkedudukan sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, mengandung pokok-pokok pikiran yang harus diciptakan atau diwujudkan dalam pasal-pasal UUD 1945.[4]
B.     Kesimpulan
Dasar negara merupakan pedoman pokok dalam mengatur kehidupan penyelenggaraan negara yang mencakup bidang kehidupan ekonomi, politik, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan. Pengetian konstitusi antara suatu tokoh dengan tokoh yang lain terdapat perbedaan. Namun demikian, ada kesamaan pandangan yang disepakati bahwa konstitusi memuat garis-garis besar dan asas tentang organisasi suatu negara.
Sifat konstitusi ada yang flexsibel dan ada juga yang rigid (kaku). Sedangkan fungsi pokok konstitusi adalah untuk membatasi kekuasaan pemerintah dalam dengan penyelenggaraan kekuasaan negara. Cara pembentukan konstitusi adalah dengan pemberian, sengaja dibentuk, dan cara evolusi. Sedangkan untuk mengubah konstitusi, dapat dilakukan melalui badan legislasi, referendum, dan dibentuknya badan khusus.
Pembukaan UUD 1945 bagi bangsa Indonesia merupakan sumber motivasi dan aspirasi serta cita hukum. Pembukaan UUD 1945 selain memiliki makna dalam setiap alenianya, juga pokok-pokok pikiran yang akan dijelmakan kedalam Batang Tubuh UUD 1945. Pokok-pokok pikiran yang terkandung didalam pembukaan UUD 1945, pada hakekatnya merupakan pancaran dari dasar falsafah negara Pancasila.
FOOTNOTE
[1] Budiyanto, Pendidikan Kewarganegaraan kls X, Erlangga, Jakarta, 2006 hal 96
[2] Opcit, hal 97
[3] Opcit, hal 98
[4] Opcit, hal 101, 102
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok........3
OTONOMI DAERAH.
A.        HAKIKAT OTONOMI DAERAH.
Otonomi Daerah berasal dari bahasa yunani yaitu authos yang berarti sendiri dan namos yang berarti undang-undang atau aturan. Oleh karena itu secara harfiah otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan sendiri. Otonomi Daerah adalah suatu pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan tersebut diberikan secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998.                                                            
Pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri. Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.[1]
Menurut pendapat yang lain, bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[2]
Salah satu aspek penting otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan, penggerakkan, dan pengawasan dalam pengelolaan pemerintahan daerah dalam penggunaan sumber daya pengelola dan memberikan pelayanan prima kepada publik.
Uraian diatas menunjukkan peranan administrasi negara dalam penyelengaraan otonomi daerah. Kebutuhan akan pentingnya administrasi negara terutama posisinya dalam penyelenggaraan otonomi daerah menjadi penting pada saat kita memasuki otonomi daerah yang dicanangkan pada tanggal 1 Januari 2001. Sehingga otonomi daerah semakin dituntut dalam pelayanan kepada masyarakat dan kesejahteraan umum.[3]
B.         VISI OTONOMI DAERAH.
Otonomi daerah sebagai kerangka penyelenggara pemerintahan mempunyai visi yang dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya: politik, ekonomi, sosial, dan budaya.[4]
1.      Politik.
Karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentalisasi dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang respontif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik.
2.      Ekonomi
Otonomi daerah disatu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan. Ekonomi didaerah, dan dipihak lain terbukanya peluang bagi pemerintahan daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya.
3.      Sosial dan Budaya
Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang kondusif dalam menciptakan kemampuan masyarakat untuk merespon dinamika kehidupan disekitarnya.[5]
Berdasarkan visi ini, maka konsep dasar otonomi daerah yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999, merangkum hal-hal berikut ini:
a)      Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah.
b)      Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat lokal dalam pemilihan dan penetapan kepala Daerah.
c)      Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur demokrasi demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula.
d)      Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan, setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah serta lebih responsif terhadap kebutuhan daerah.
e)      Peningkatan efisien administrasi keuangan darah serta pengaturan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue (pendapatan) dari sumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
f)       Perwujudan desentralisasi fiskal dari pemerintahan pusat yang bersifat alokasi subsidi berbentuk block gran, peraturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.
C.         SEJARAH OTONOMI DAERAH.
1.      Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat.
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.
2.      Masa Pendudukan Jepang
Ketika menjalar Perang dinginII Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942  yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.
3.      Masa Kemerdekaan.
a.       Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND (Komite Nasional Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1.       Provinsi
2.      Kabupaten/kota besar
3.       Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.
b.      Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
1.       Propinsi
2.      Kabupaten/kota besar
3.       Desa/kota kecil
4.      Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
c.       Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
1.       Daerah swatantra tingkat I, termasuk kota praja Jakarta Raya
2.      Daerah swatantra tingkat II
3.       Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
d.      Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1.    Provinsi (tingkat I)
2.    Kabupaten (tingkat II)
3.    Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
e.       Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 ,UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:
1.    Provinsi/ibu kota negara
2.    Kabupaten/kotamadya
3.    Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
f.       Periode Undang-undang Nomor 22dan 25 Tahun 1999, Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun  1999 adalah sebagai berikut:
1.  Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2.  Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
3.   Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4.   Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
g.      Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah yang  dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di perjelas.
D.        PRINSIP-PRINSIP PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan yang jelas.
Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.
Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.
Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22  tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,  agama serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:[6]
a.       Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
b.      Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
c.       Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d.      Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e.        Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
f.       Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
g.      Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
h.      Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
E.         PEMBAGIAN KEKUASAAN DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH
Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat fedralisme. Jenis yang ditangani pusat hampir sama dengan yang ditangai oleh pemerintah dinegara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan agama serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat seperti kebijakan makro ekonomi standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pengembangan sumber daya manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani pemerintah pusat disebutkan secara spesifik dalam UU tersebut.
Selain itu otonomi daerah yang diserahkan itu bersifat luas, nyata, dan bertanggung jawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada pemerintahan pusat ( seperti, pada Negara federal); disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyakut yang diperlukan, tumbuh dan hidup, dan berkembang di daerah; dan disebut bertanggunag jawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah. Disamping itu, otonomi seluas-luasnya ( keleluasaan otonomi) juga mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Kewenangan yang diserahkan ke pada daerah otonom dalam rangka desentralisai harus pula disertai penyelenggaraan dan pengalihan pembiayaan. Sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia.
Selain sebagai daerah otonom, provinsi juga merupakan daerah administrative, maka kewenangan yang ditangani provinsi/gubernur akan mencakup kewenangan dalam angka desentralisasi dan dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom provinsi dalam rangka desentralisasi mencakup:
a.       Kewenangan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti kewenangan bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan dan perkebunan.
b.      Kewenangan pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makra, pelatihan bidang alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup dalam wilayah provinsi, pengelolaan pelabuhan regioal, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular, dan perencanaan tata ruang provinsi.
c.       Kewenangan kelautan yang tidak meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum, dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
d.      Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota diserahkan kepada provinsi dengan penyertaan dari daerah otonom kabupaten atau kota tersebut.
Dalam rangka negara kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki kewenangan melakukakan pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi, pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah otonom yang kebih besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan kekuasaan yang dimaksud adalah pengawasan ini tidak lagi dilakukan secara struktural yaitu bupati/wali kota dan gubernur bertindak sebagai wakil pemerintah pusat sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak lagi secara preventif perundang-undangan, yaitu setiap peraturan daerah (perda) memerlukan persetujuan pusat untuk dapat berlaku.[7]
Terkait dengan pembagian kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah daerah terdapat 11 jenis kewenangan wajib yang diserahkan kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota, yaitu:[8]
1.      Pertahanan,
2.      Pertanian,
3.      Pendidikan dan kebudayaan,
4.      Tenaga kerja
5.       Kesehatan,
6.      Lingkungan hidup,
7.      Pekerjaan umum,
8.      Perhubungan,
9.      Perdagangan dan industri,
10.  Penanaman modal, dan
11.  Koperasi.
Penyerahan kesebelas jenis kewenangan ini kepada daerah otonomi kabupaten dan daerah otonomi kota dilandasi oleh sejumlah pertimbangan sebagai berikut :
1. Makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran, merata, berkualitas dan terjangkau.
2. Penyerahan sebelas jenis kewenangan itu kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota akan membuka peluang dan kesempatan bagi aktor-aktor politik lokal dan sumber daya manusia yang berkualitas didaerah untuk mengajukan prakarsa, berkreativitas dan melakukan inovasi karena kewenangan merencanakan, membahas, memutuskan, melaksanakan, mengevaluasi sebelas jenis kewenangan.
3. Karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata, dan kebanyakan berada di Jakarta dan kota besar lainnya, maka penyerahan sebelas jenis kewenangan ini juga dimaksudkan dapat menarik sumber daya manusia yang berkualitas di kota-kota besar untuk berkiprah di daerah-daerah otonom, yang kabupaten dan kota.
4. Pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi masalah nasional yang tidak saja hanya dipikulkan kepada pemerintah pusat semata.[9]
FOOTNOTE
[1]  A. Ubaedillah,dkk,Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta : Indonesia Center for Civic Education, 2000), hlm.170
[2] Prof. Drs. HAW Widjaja,Otonomi Daerah dan Daerah Otonom,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002),hlm. 76
[3] Prof. Drs. HAW Widjaja,Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005),hlm. 7
[4]  A. Ubaedillah,dkk,Pancasila, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta :ICCE UIN  Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hlm.179
[5] Ibid., hlm. 179
[6]  A. Ubaedillah,dkk,Pancasila, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta :ICCE UIN  Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hlm.182
[7] A. Ubaedillah,dkk,Pancasila, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta :ICCE UIN  Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hlm.179
[8] A. Ubaedillah,dkk,Pancasila, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta :ICCE UIN  Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hlm.185
[9] A. Ubaedillah,dkk, Pancasila,Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta :ICCE UIN  Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hlm.179
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.......4
UUD DAN AMANDEMEN
Monday, March 10, 2014
MAKALAH PANCASILA UUD 1945 DAN AMANDEMEN
Disusun oleh :
1.      Brigita Tri Damayanti 130420216
2.      Vincentia Vindi Dhea Citra Permatasari 130420226
3.      Tan Sien Nie 130420253
4.      Nikolas Aldian Putra 130420306
5.      R. Wahyu Susilo 130420307
6.      Yoseph Manuel Contardo130420302
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
A.     Sejarah Pemberlakuan UUD 1945.
 Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarnomenyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila.
Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancangPiagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah
Islam bagi pemeluk-pemeluknya", maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPKI untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli1945. Tanggal 18 Agustus 1945,PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
1.      Periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949)
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945memutuskan bahwa KNIPdiserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensial ("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.
2.      Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)
Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer. Bentuk pemerintahan dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang didalamnya terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya.
3.      Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)
Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.
4.      Periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli 1959 - 1966)
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli1959, Presiden Sukarnomengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu. Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya sebagai berikut:
a.       Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara.
b.      MPRS menetapkanSoekarno sebagai presiden seumur hidup.
B.     Alasan dan Tujuan amandemen dilakukan.
1.      Alasan amandemen dilakukan :
a.      Lemahnya checks and balances pada institusiinstitusi ketatanegaraan.
b.    Executive heavy, kekuasaan terlalu dominan berada di tangan Presiden (hak prerogative dan kekuasaan legislatif)
c.     Pengaturan terlalu fleksibel (vide:pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen)
d.    Terbatasnya pengaturan jaminan akan HAM
e.    Segi historis, pembuatan UUD 1945 ditetapkan secara tergesa-gesa, sehingga memuat banyak kekurangan.
f.      Segi substansi dan isi UUD 1945, dimana UUD 1945 memiliki kerterbatasan dan kelemahan.
g.     Segi sosiologis, yaitu adanya amanat dari rakyat untuk melakukan amandemen.
2.      Tujuan amandemen UUD 1945 menurut Husnie Thamrien, adalah sebagai berikut :
a.          Untuk menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional serta menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kekuatan rakyat.
b.         Memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi,
c.          Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak agar sesuai dengan perkembangan HAM dan peradaban umat manusia yang menjadi syarat negara hukum,
d.         Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern melalui pembagian kekuasan secara tegas sistem check and balances yang lebih ketat dan transparan dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan jaman,
e.          Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara memwujudkan kesejahteraan sosial mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika dan moral serta solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara kesejahteraan,
f.          Melengkapi aturan dasar dalam penyelenggaraan negara yang sangat penting bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi.
g.         Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi kebutuhan dan kepentingan bangsa dan negara Indonesia ini sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang.
C.     Sejarah amandemen UUD 1945.
1.      Amandemen I.
Amandemen yang pertama kali ini disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999 atas dasar SU MPR 14-21 Oktober 1999. Amandemen yang dilakukan terdiri dari 9 pasal, yakni: Pasal 5, pasal 7, pasal 9, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 17, pasal 20, pasal 21. Inti dari amandemen pertama ini adalah pergeseran kekuasaan Presiden yang dipandang terlalu kuat (executive heavy).
2.      Amandemen II
Amandemen yang kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 dan disahkan melalui sidang umum MPR 7-8 Agustus 2000. Amandemen dilakukan pada 5 Bab dan 25 pasal. Berikut ini rincian perubahan yang dilakukan pada amandemen kedua. Pasal 18, pasal 18A, pasal 18B, pasal 19, pasal 20, pasal 20A, pasal 22A, pasal 22B, pasal 25E, pasal 26, pasal 27, pasal 28A, pasal 28B, pasal 28C, pasal 28D, pasal 28E, pasal 28F, pasal 28G, pasal 28H, pasal 28I, pasal 28J, pasal 30, pasal 36B, pasal 36C. Bab IXA, Bab X, Bab XA, Bab XII, Bab XV, Ps. 36A. Inti dari amandemen kedua ini adalah Pemerintah Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak Asasi Manusia, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.
3.      Amandemen III.
Amandemen ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001 dan disahkan melalui ST MPR 1-9 November 2001. Perubahan yang terjadi dalam amandemen ketiga ini terdiri dari 3 Bab dan 22 Pasal. Berikut ini detil dari amandemen ketiga. Pasal 1, pasal 3, pasal 6, pasal 6A, pasal 7A, pasal 7B, pasal 7C, pasal 8, pasal 11, pasal 17,
pasal 22C, pasal 22D, pasal 22E, pasal 23, pasal 23A, pasal23C, pasal 23E, pasal 23F, pasal 23G, pasal 24, pasal 24A, pasal24B, pasal24C. Bab VIIA, Bab VIIB, Bab VIIIA. Inti perubahan yang dilakukan pada amandemen ketiga ini adalah Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman.
4.      Amandemen IV
Sejarah amandemen UUD 1945 yang terakhir ini disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002 melalui ST MPR 1-11 Agustus 2002. Perubahan yang terjadi pada amandemen ke-4 ini terdiri dari 2 Bab dan 13 Pasal. Pasal 2, pasal 6A, pasal 8, pasal 11, pasal16, pasal 23B, pasal 23D, pasal 24, pasal 31, pasal 32, pasal 33, pasal 34, pasal 37. BAB XIII, Bab XIV. Inti Perubahan: DPD sebagai bagian MPR, Penggantian Presiden, pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, mata uang, bank sentral, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, perubahan UUD.
D.      Addendum v.s Amandemen
Sistem amandemen sering di gunakan berbagai negara untuk menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan Negara, amandemen sendiri mempunyai arti Amandemen adalah proses perubahan terhadap ketentuan dalam sebuah peraturan. Berupa penambahan maupun pengurangan/penghilangan ketentuan tertentu. Amandemen hanya merubah sebagai ( kecil ) dari peraturan. namun sebagai tambahan ilmu kita, selain menggunakan amandemen, berbagai negara juga diterapkan sistem addendum. Sistem addendum sendiri memiliki arti Addendum : adalah istilah dalam kontrak atau surat perjanjian yang berarti tambahan klausula atau pasal yang secara fisik terpisah dari perjanjian pokoknya namun secara hukum melekat pada perjanjian pokok itu.
Dalam hubungan nya dengan undang–undang pada suatu negara, dengan menggunakan addendum suatu negara hanya menambahkan pasal pasal dalam undang-undang nya, tanpa harus mengubah teks undang undang yang asli. Sedangkan dengan amandemen, suatu bangsa mengubah isi daripada teks undang-undang yang asli. Pada realitanya negara yang menggunakan sistem amandemen adalah Indonesia, dengan amandemen Indonesia mengubah teks asli yang di buat dalam sejarah dengan cara mengurangi atau menambahkan pasal pasal dalam UUD1995. Sedangkan negara USA menggunakan sistem Addendum dalam menyempurnakan undang undang di negara nya, USA hanya menambahan pasal pasal tanpa merubah pasal pasal asli nya, dengan demikian bila keadaan berganti pemerintah hanya perlu mencoret atau menghilangkan pasal tambahan tersebut.
            SUMBER:
1.   Kaelan, 2004, Pancasila, Paradigma, Yogyakarta
2.   Kaelan, 2010, Pendidikan Pancasila
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok........5
YUDIKATIF, EKSEKUTIF, LEGISLATIF
MAKALAH HUKUM TATA NEGARA
MEKANISME HUBUNGAN LEMBAGA LEGISLATIF, EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF DIINDONESIA
Oleh:
Nama : Uluy Permadi
Npm : 14810184
Mata Kuliah :Hukum Tata NegaraUNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN (UNISKA)
MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI
FAKULTAS HUKUM
BANJARMASIN
2015
A.    Latar belakang.
Kekuasaan negara adalah kekuasaan yang mengatur, menerbitkan, dan memajukan kepentingan umum dalam rangka mencapai tujuannya, kekuasaan itu diserahkan kepada lembaga negara yang terbagi dinegara Indonesia.Negara republik Indonesia mengenal adanya lembaga-lembaga legislatif,eksekutif,dan yudikatif yaitu terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan melaksanakan pembagian kekuasaan antara lembaga-lembaga negara itu, kekuasaan lembaga-lembaga negara itu tidak diadakan pemisahan yang kaku dan tajam tetapi tetap ada kordinasi antar lembaga-lembaga tersebut.
            Negara Indonesia sebagai negara demokrasi yang akhirnya pemerintah menerapkan teori trias politika atau pembagian kekuasaan pemerintah menjadi tiga bidang yang memiliki kedudukan sejajar yaitu legislatif,eksekutif,dan yudikatif yang saling memiliki hubungan satu sama lain. Teori trias politika ini dikemukakan oleh monteMontesquieu mengatakan kekuasaan dibagi 3, yaitu kekuasaan legislatif (Pembentuk UU ) yaitu DPR,DPD,DPRD, kekuasaan eksekutif (Pelaksanaan UU) yaitu lembaga presiden, mentri-mentri, kekuasaan yudikatif (Pengawasan UU) yaitu MA, KY, MK, pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaa-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama,untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Karena akan menjalankan kekuasaan partainya, tujuan dari trias politika itu adalah supaya tidak ada campur tangan dan pihak-pihak karena ada yang mengawasi masing-masing lembaga yang saling berkaitan dalam menjalankan tugasnya masing-masing yaitu saling adanya pengawasan.
B.     Pengertian Lembaga Legislatif
            Lembaga legislatif adalah lembaga kenegaraan yang mencerminkan salah satu fungsi badan itu,yaitu legislate atau membuat undamg-undang nama lain yang sering dipakaiialah yang mengutamakan unsur berkumpul (untuk membicarakan masalah-masalah public). Nama lain lagi adalah parliament suatu istilah yang menekan unsur bicara dan merundingkan.sebutan lain mengutamakan keterwakilan anggota-anggotanya atau Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi apapun namanya dapat dipastikan bahwa badan ini merupakan simbol dari rakyat yang berdaulat.
Menurut teori yang berlaku,rakyatlah yang berdaulat rakyat yang berdaulat ini mempunyai suatu kehendak, keputusan-keputusan yang diambil oleh badan ini merupakan suara yang authentich. Karena itu keputusan-keputusannya, baik yang bersifat kebijakan maupun undang-undang mengikat seluruh masyarakat. Dalam berkembangnya gagasan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, maka badan legislatif menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya dalam undang-undang dalam pada itu badan eksekutif hanya merupakan penyelenggara dari kebijakan itu.
Badan legislatif dinegara demokrasi disusun sedemikian rupa hingga iamewakili mayoritas dari rakyat dan pemerintah bertanggung jawab kepadanya.Untuk menjamin perumusan yang menggabungkan tiga unsur dari suatu negara demokrasi, yaitu, representasi, partisipasi, dan tanggung jawab politik. Atau dengan perkataan lain, negara demokrasi didasari oleh sistem perwakilan demokrasi yang menjamin kedaulatan rakyat.
1.      Pembagian Lembaga Legislatif yaitu MPR, DPR, DPD.
a.       MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum untuk masa jabatan selama lima tahun dan berakhir bersama pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna.Sesuai dengan pasal 3 ayat 1 UUD 1945 MPR mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut yaitu mengubah dan menetapkan undang-undang dasar, melantik presiden dan wakil presiden, memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatan menurut undang undang dasar, MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota Negara. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, anggota MPR mempunyai hak berikut ini Mengajukan usulan perubahan pasal-pasal undang-undang dasar, menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan, memilih dan dipilih, membela diri, Imunitas, protokoler, keuangan dan atministrasi
b.      DPR merupakanlembagaperwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.Anggota DPR berasal dari anggota partai politik peserta pemilu yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. DPR berkedudukan ditingkat pusat,sedangkan yang berada ditingkat propinsi disebut DPRD propinsi dan yang berada di kabupaten/kota disebut DPRD kabupaten/kota.Keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan presiden.Anggota DPR berdomisili diibukota negara.Masa jabatan anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh ketua Mahkamah Agung dalam paripurna DPR.Lembaga negara DPR memiliki fungsi berikut ini fungsi legislasi, fungsi anggaran ,dan pungsi pengawasan.DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
c.       DPD merupakan lembaga negara baru yang sebelumnya tidak ada.DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.DPD terdiri atas wakil-wakil dari provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum.Jumlah anggota DPD disetiap provinsinya tidak sama, tetapi ditetapkan sebanyak-banyaknya empat orang, sesuai dengan Pasal 22 D UUD 1945 maka kewenangan DPD, antara lain sebagai berikut yaitu dapat mengajukan rancanganundang-undang kepada DPR berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan kekuasaan pusat dan daerah.
C.     Fungsi Lembaga Legislatif Secara Umum.
1.      Diantara fungsi badan legislatif yang paling penting ialahmenentukan kebijakan dan membuat undang-undang.Untuk itu badan legislatif diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah, dan terutama dibidang butget atau anggaran.
2.      Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga agar semua tidakan badan eksekutif sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan.Untuk menyelenggarakan tugas ini badan perwakilan rakyat diberi hak-hak control khusu
 fungsi legislasi menurut teori yang berlaku tugas utama legislatif terletak dibidang perundang-undangan, sealipun ia tidak mempunyai monovoli dibidang itu. Untuk membahas undang-undang sering dibentuk panetia-panetia yang berwenang untuk memanggil mentri atau pejabat lainnya untuk diminta keterangan seperlunya.Akan tetapi pada jaman sekarang ini telah menjadi gejala umum bahwa titik berat dibidang legislatif telah banyak bergeser kebidang eksekutif.Sedangkan badan legislatif tinggal membahas dan mengamandemenya.Pada umumnya dibidang keuangan pengaruh badan legislatif lebih besar daripada dibidang legislasi umum. Fungsi control dengan semakin berkurangnya pengaruh badan legislatif, maka perannya dibidang pengawasan dan kontro bertambah menonjol.Badan legislatif berkewajiban untuk mengawasi aktivitas badan eksekutif, agar sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.Pengawasan dilakukan melalui siding penitia-penitia legislatif dan melalui hak-hak yang khusus seperti hak bertanya, hak interplasi, hak angket, dan hak mosi.
3.      Fungsi lainnya disamping fungsi legislasi dan control badan legislatif mempunyai beberapa fungsi lain. Dengan meningkatnya peran badan eksekutifdan berkurangnya peran badan legislatif dibidang perundang-undangan. Badan legislatif dianggap sebagai forum kerja sama antara berbagai golongan. Dimana berbagai macam pendapat dibicarakan dimuka umum.Bagi anggota badan legislatif terbuka kesempatan untuk bertindak sebagai pembawa suara rakyat dan mengajukan beraneka ragam pandangan yang berkembang secara dinamis dalam masyarakat dengan demikian jarak antara yang memeritah dan yang diperitah dapat diperkecil.
D.    Pengertian Lembaga Eksekutif
            Kekuasaan eksekutif biasaanya dipegang oleh badan eksekutif.Di negara Indonesia di pegang oleh kepala negara yaitu presiden, beserta mentri-mentrinya.Badan eksekutif dalam arti yang luas juga mencakup para pegawai negri sipil dan militer.Dalam sistem presidensial mentri-mentri merupakan pembantu presiden dan langsung dipimpin olehnya, tugas badan eksekutif hanyalah melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif.Akan tetapi dalam pelaksanaannya badan eksekutif luas sekali ruang gerakannya zaman modern telah menimbulkan produk bahwa lebih banyak undang-undang yang diterima oleh badan legislatif dan yang harusnya dilaksanakan oleh badan eksekutif, lebih luas pula ruang lingkup kekuasaan badan eksekutifnya.
1.       Fungsi Lembaga Eksekutif Secara Umum
Disamping itu jelas dalam perkembangannya negara modern bahwa wewenang badan eksekutif dewasa ini jauh lebih luas daripada hanya melaksanakan undang-undang dasar saja. Mencakup beberapa bidang :atministratif, legislatif, keamanan, yudikatif, diplomatic. atministratif yaksni kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan peraturan perundangan lainnyanya dan menyelenggarakan atministrasi negara. Legislatif yaitku membuat rancangan undang-undang dan membimbingnya dalam badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang-undang.Keamanan artinya kekuasaan untuk mengatur polisi dan angkatan bersenjata, menyelelenggarakan perang,pertahana negara,serta keamanan dalam negri. Yudikatif memberi grasi,amnesi,dan sebagainya. Diplomatic yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan hubungan diplomatic dengan negara-negara lain.
2.      Pembagian Lembaga Eksekutif Yaitu Pesiden,Wakil Presiden
Presiden dan wakil presiden hasil perubahan undang-undang dasar 1945 yang berkaitan langsung dengan kekuasaan presiden dan wakil presiden, adalah pembatasan kekuasaan presiden sebagaimana diatur dalam pasal 7, yang berbunyi presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnaya dapat dipilih kembali. Penegasan didalam pasal 7 dipandang terlalu pleksibel untuk ditafsirkan, perubahan undang undang dasar 1945 mengenai alasan pemberhentian presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya diatur dalam pasal 7A, rumusannya berbunyi sebagai berikut presiden dan wakil dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh majelis permusyawaratan rakyat atas usulan dewan perwakilan rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,atau perbuatan tercela maupan apabila terbukti tidak lagi memenuhi sarat sebagai presiden dan atau wakil presiden.
Adapun prosedur pemberhentian presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya diatur dalam pasal 7B, yang rumusannya berbunyi sebagai berikut usulan presiden dan atau wakil presiden dapat diajukan oleh dewan perwakilan rakyat ke pada majelis permusyawaratan rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada mahkamah konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945.
Mentri-mentri yang dibuat presiden dan wakil presiden yaitu tunduk dibawah presiden dan wakil presiden.Atau pembantu presiden dan wakil presiden untuk menjalankankebijakan yang telah dibuat oleh presiden dan wakil persiden sehingga dapat berjalan dengan baik dan dapat menuju tujuan dari presiden dan wakil presiden untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
E.     Pengertian Lembaga Yudikatif
            Badan yudikatif yaitu badan yang mengontrol dari badan eksekutif dan legislatif agar tidak sewenang-wenang.Kekuasaan yudikatif prinsip yang tetap dipegang ialah bahwa yang dalam tiap negara hukum badan yudikatif haruslah bebas dari campur tangan badan eksekutif, ini dimaksud agar badan yudikatif dapat berpungsi secara sewajarnaya demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Sebab hanya dengan asas kebebasan badan yudikatif itulah dapat diharapkan bahwa keputusan yang diambil oleh badan yudikatif dalam suatu perkara tidak akan memihak,berat sebelah, dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati hakim itu sendiri dengan tidak usah takut bahwa kedudukannya terancam. Asas kebebasan badan yudikatif (indepent judiciary) terdapat dalam pasal 24 dan 25 undang-undang dasar 1945 mengenai kekuasaan kehakiman yang menyatakan kekuasaan kehakiman itu kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Sesuai dengan asas kebebasan badan yudikatif seperti yang tercantum dalam undang-undang no 14 tahun 1970 pasal 4 ayat 3 menuturkan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam undang-undang dasar.
            Kekuasaan kehakiman diindonesia banyak mengalami perubahan sejak masa reformasi, amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 10 november tahun 2001 mengenai bab kekuasaan kehakiman (BAB IX) membuat beberapa perubahan (pasal 24A, 24B, dan 24C ) amandemen menyebutkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terdiri atas Mahkamah Agung yang bertugas menguji peraturan perundangan dibawah undang-undang terhadap undang undang. Sedangkan mahkamah konstitusi mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
1.       Pembagian Lembaga Yudikatif Yaitu MA, MK
a.       Mahkamah Agung yaitu merupakan salah satu lembaga negara yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, seperti yang kita kenal.Kewenangan Mahkamah Agung adalah menyelenggarakan kekuasaan peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum, militer, agama, dan tata usaha negara.    Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tinkat kasasi.Mahkamah agung meguji peraturan-peraturan perundangan undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang (pasal 24A), calon hakim agung diajukan oleh komisi yudisial kepada dewan perwakilan rakyat untuk mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden, ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.
b.      Mahkamah Konsitusi yaitu merupakan lembaga negara yang tugas dan wewenang mahkamah konstitusi pasal 24C menegaskan bahwa mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Prinsip ini semula dimuat dalam penjelasan yang berbunyi negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machlistaat) disamping itu ada prinsip lain yang erat dengan prinsip negara hukum yang juga dimuat dalam pejelasan. Pemerintahan berdasar berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar)tidak bersipat absolutisme (kekuasaan yang tidak terpaksa) dengan ketentuan baru ini maka dasar sebagai negara berdasarkan atas hukum mempunyai sipat normatif bukan sekedar asas belaka.
            Sejalan dengan ketentuan tersebut maka satu prinsip penting negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman kehakiman yang merdeka bebas dari pengaruh kekuasaan lain untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.Yang putusannya bersipat pinal untuk menguji undang-undang terhadap undang undang dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutuskan pembubaran partai politik dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.Disamping itu mahkamah konstitusi wajib memberikan putusn atas pendapat dewan perwakilan rakyat mengenai dugaan penyelenggaraan oleh presiden danatau wakil presiden menirut undang-undang dasar.Perlu dicatat bahwa putusan ini sifatnay tidak final karena lembaga-lembaga negara menurut Undang-Undang Dasar 1945.
F.      Hubungan Lembaga Legislatif, Lembaga Eksekutif dan Yudikatif
            Hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnyayang diikat dengan prinsip checks and balances, dimana lembaga-lembaganegara tersebut diakui sederajat tetapi tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya mekanisme hubungan yang sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD.Dengan dihapuskannya penjelasan UUD, bisa jadi lembaga-lembaga negara menafsirkan sendiri UUD dengan seenaknya sesuai dengan kepentingan kelembagaannya.
            Menurut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang berdaulat.Rakyat yang berdaulat ini mempunyai kemauan.Rakyat memilih beberapa orang untuk duduk di lembaga legislatif sebagai wakil rakyat guna merumuskan dan menyuarakan kemauan rakyat dalam bentuk kebijaksanaan umum (publicpolicy).Lembaga ini mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang sebagai cerminan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan umum tadi.Lembaga ini sering disebut sebagai dewan perwakilan rakyat atau parlemen bagaimanapun juga kekuasaan parlemen walaupun kekuasaannya diberikan langsung oleh rakyat harus dibatasi agar tidak menjadikan parlemen sebagai lembaga perwakilan yang korup, dan hanya menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat (kepentingan umum).
            Lembaga penyelenggara kekuasaan negara berikutnya adalah lembaga eksekutif yang berfungsi menjalankan undang-undang.Di negara-negara demokratis, secara sempit lembaga eksekutif diartikan sebagai kekuasaan yang dipegang oleh raja atau presiden, beserta menteri-menterinya (kabinetnya).Dalam arti luas, lembaga eksekutif juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer.Oleh karenanya sebutan mudah bagi lembaga eksekutif adalah pemerintah.
Lembaga eksekutif dijalankan oleh Presiden dan dibantu oleh para menteri.Jumlah anggota eksekutif jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah anggota legislatif, hal ini bisa dimaknai karena eksekutif berfungsi hanya menjalankan undang-undang yang dibuat oleh legislatif.Pelaksanaan undang-undang ini tetap masih diawasi oleh legislatif.
            Dan lembaga yudikatif yang mengontrol dari legislatif, yang membuat undang-undang karena lembaga legislatif ini ada cendrung kekuasaan partai sehingga harus ada yang mengontrol yaitu lembaga yudikatif DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif, sedangkan eksekutif atau presiden adalah lembaga yang berwenang untuk menjalankan roda pemerintahan.Dari fungsinya tersebut maka antara pihak legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama, apalagi di Indonesia memegang prinsip pembagian kekuasaan.Dalam hal ini, maka tidak boleh ada suatu kekuatan yang mendominasi.
Dalam setiap hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekan-gesekan, begitu juga dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang merupakan wakil dari partai tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak jauh dari kepentingan partai, begitu juga dengan eksekutif yang meskipun dipilih langsung oleh rakyat tetapi secara historis presiden memiliki hubungan dengan partai, presiden sedikit banyak juga pasti mementingkan kepentingan partainya.Akibatnya konflik yang terjadi dari hubungan eksekutif dan legislatif adalah konflik kepentingan antar partai yang ada.
            Hubungan eksekutif dan legislatif pada masa sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 atau dengan kata lain pada masa Orde Baru, adalah sangat baik. Bisa dikatakan demikian karena hampir tidak ada konflik antara eksekutif dan legislatif pada masa itu.Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada masa itu menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap DPR dan peran dwifungsi ABRI menghasilkan kehidupan politis yang stabil. DPR yang tentunya sebagian besar dari fraksi Golongan Karya, selalu turut dengan apa yang ditentukan oleh Soeharto. Hal ini sangat berbeda dengan masa setelah Orba, yaitu pada masa reformasi. Legislatif tidak mau lagi hanya berdiam diri, menuruti segala apa yang dikatakan presiden. Bahkan cenderung kekuatan legislatif kini semakin kuat.Hal ini bisa dilihat ketika DPR menjatuhkan impeachment terhadap Gus Dur.
            Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pemilihan eksekutif dalam hal ini presiden dan wakil presiden dan pemilihan legislatif dalam hal ini anggota DPR yang telah mengubah pola atau sistem yaitu dengan pemilihan langsung oleh rakyat.Perubahan sistem pemilihan ini ternyata juga berpengaruh terhadap relasi atau hubungan antara presiden dengan anggota DPR itu sendiri.Pengaruh yang dimaksud disini adalah tentang relasi antara presiden dan anggota DPR yang tidak kunjung membaik.Dengan pemilihan dari rakyat langsung, membuat presiden dan anggota DPR merasa mempunyai legitimasi ataupun mempunyai hak bahwa dirinya adalah wakil dari rakyat langsung dan merasa punya dukungan penuh dari rakyat.
            Perasaan yang seperti ini, maka bisa jadi mendorong presiden menjadi kurang bertoleransi dengan kelompok oposisi.Hal ini membuat keegoisan antara Presiden dan anggota DPR menjadi semakin kuat.Bertolak dari pandangan Linz dan Cile tentang sistem multipartai dalam sistem presidensil, maka bisa jadi hubungan yang tidak kunjung membaik antara presiden Hubungan atau relasi presiden dengan anggota DPR, bisa juga disebabkan oleh sistem presidensil pada pemerintahan Indonesia.    Disini dapat dijelaskan bahwa sistem presidensil yang tidak mengenal adanya mosi tidak percaya, apabila suatu ketika ada konflik atau masalah dengan legislative, eksekutif tidak perlu takut dengan adanya penggulingan kekuasaan, karena DPR tidak bisa memberikan mosi tidak percaya. Dari sinilah, maka perselisihan antara presiden dengan anggota DPR bisa terus berlanjut tanpa ada suatu ‘ketakutan’ eksekutif akan kekuasaannya. Yudikatif sangat penting perannya agar terjadinya pencapaian yang memuaskan rakyat, seperti mk yaitu menguji undang-undang yang dibuat dpr yang telah berkordinasi denang eksekutif harus diawasi oleh yudikatif yaitu mk ataupun ma.

DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Huda, Ni’Matul. 2011. Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta : PT Raja Grafindo Fersada.
Ranadierksa, Hendarmin. 2007. Arsitektur Konsitusi Demokratik. Bandung :Fokus Media.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......6
SEJARAH MA, MK, DAN KPK
Rabu, 07 Februari 2018
SEJARAH DAN PEMBENTUKAN, KEDUDUKAN, SERTA KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Kamis, 13 Agustus 2015 | 08:50 WIB
A.    Latar belakang.
Paradigma susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis sejak reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002. Karena berbagai alasan dan kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru dibentuk,  meskipun ada juga lembaga yang dihapuskan. Salah satu lembaga yang dibentuk adalah Mahkamah Konstitusi. MK didesain menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya. Dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, MK berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Visi tersebut menjadi pedoman bagi MK dalam menjalankan kekuasaan kehakiman secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai amanat konstitusi.
Kiprah MK sejak kehadirannya sepuluh tahun silam (2003-2013) banyak dinilai cukup signifikan terutama dalam kontribusi menjaga hukum dan mengembangkan demokrasi. Oleh karena itu, kita sebagai Mahasiswa Program Studi Ilmu Kelembagaan Negara harus paham tetang seluk beluk tentang MK ini, dalam tulisan ini penulis bermaksud mengemukakan Sejarah Pembentukan, Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi  dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
B.     Sejarah dan Pembentukan Mahkamah Konstitusi.
1.      Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Membicarakan MK di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga MK. Empat momen dari jelajah histories yang patut dicermati antara lain ; kasus Madison vs Marbury di AS, ide Hans Kelsen di Austria, gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR pada sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945.
Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai Special Tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung, mengemban tugas khusus, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern nation-state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi.[1] Sejarah modern judicial review, yang merupakan ciri utama kewenangan Mahkamah Konstitusi, di Amerika Serikat dilakukan oleh Mahkamah Agung, dimulai sejak terjadinya kasus Marbury versus Madison (1803). Mahkamah Agung Amerika Serikat yang waktu itu di ketuai oleh Hakim Agung John Marshall memutus sengketa yang pada dasarnya bukanlah apa yang dimohonkan untuk diputus oleh kewenangannnya sebagai ketua Mahkamah Agung.
Para penggugat (William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe, dan Willia Harper)[2] memohonkan agar ketua Mahkamah Agung sebagai kewenangannnya memerintahkan pemerintah mengeluarkan write of mandamus[3] dalam rangka penyerahan surat-surat pengangkatan mereka. tetapi Mahkamah Agung dalam putusannnya membenarkan bahwa pemerintahan John Adams telah melakukan semua persyaratan yang ditentukan oleh hukum sehingga William Marbury dan kawan-kawan dianggap memang berhak atas surat-surat pengangkatan mereka. Namun Mahkamah Agung sendiri menyatakan tidak berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan surat-surat yang dimaksud. Mahkamah Agung menyatakan bahwa apa yang diminta oleh penggugat, yaitu agar Mahkamah Agung mengeluarkan write of mandamus sebagaimana ditentukan oleh Section 13 dari Judiciary Act tahun 1789 tidak dapat dibenarkan karena ketentuan Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat.[4] Atas dasar penafsiran terhadap konstitusi-lah perkara ini diputus oleh John Marshall.
Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden dalam sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak negara. Semenjak itulah, banyak undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court.
Hans Kelsen, seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke-20 (1881-1973) juga pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan Administrasi University of Vienna, diminta untuk menyusun sebuah konstitusi bagi Republik Austria yang muncul dari puing kekaisaran Austro-Hungarian tahun 1919. Sama dengan Marshall, Kelsen percaya bahwa konstitusi harus diperlakukan sebagai seperangkat norma hukum yang superior (lebih tinggi dari undang-undang biasa dan harus ditegakkan secara demikian). Kelsen juga mengakui adanya ketidakpercayaan yang luas terhadap badan peradilan biasa untuk melaksanakan tugas penegakan konstitusi yang demikian, sehingga dia merancang mahkamah khusus yang terpisah dari peradilan biasa untuk mengawasi undang-undang dan membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Meski Kelsen merancang model ini untuk Austria, yang mendirikan Mahkamah Konstitusi berdasar model itu untuk pertama kali adalah Cekoslowakia pada bulan Februari tahun 1920. Baru pada bulan Oktober 1920 rancangan Kelsen tersebut diwujudkan di Austria.[5]
Setelah perang dunia kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan Judicial Review menyebar keseluruh Eropa, dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi secara terpisah dari Mahkamah Agung. Akan tetapi, Perancis mengadopsi konsepsi ini secara berbeda dengan membentuk Constitutional Council (Conseil Constitutional). Negara-negara bekas jajahan Perancis mengikuti pola Perancis ini. Sehingga saat ini telah ada 78 negara yang mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi. dan Indonesia merupakan negara ke 78 yang mengadopsikannya.[6]
Momen yang patut dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI. Mohammad Yamin menggagas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil atau constitutional disputes. Gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsingrecht (uji materil) terhadap UU. Yamin mengusulkan perlunya Mahkamah Agung diberi wewenang “membanding” undang-undang. Namun usulan Yamin disanggah Soepomo dengan empat alasan bahwa (i) konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power), selain itu, (ii) tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang, (iii) kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan (iv) sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya, ide itu urung diadopsi dalam UUD 1945.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dalam rangka tuntutan untuk memberdayakan Mahkamah Agung. Diawali pada tahun 1970-an dengan perjuangan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang memperjuangkan agar Mahkamah Agung Indonesia diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar. Tuntutan ini tidak pernah ditanggapi karena dilatarbelakangi oleh suasana dan paradigma kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang monolitik waktu itu. Juga tidak diperkenankannya adanya perubahan konstitusi, bahkan Undang-Undang Dasar cendrung disakralkan.[7]
Tetapi setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 yang menghantam berbagai aspek kehidupan sosial, politik dan hukum. Gagasan Yamin muncul kembali pada proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi mengemuka pada sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), pada Maret-April tahun 2000. Mulanya, MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA, dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan undang-undang. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Akhirnya sejarah MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B pada 9 November 2001.
Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah mengalami perubahan mendasar sejak Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai Perubahan Keempat pada tahun 2002. Undang-undang Dasar 1945 setelah Perubahan Keempat tahun 2002, saat ini boleh dikatakan merupakan konstitusi baru sama sekali, dengan resmi disebut “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.
Perubahan-perubahan itu juga meliputi materi yang sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari tiga kali lipat jumlah materi muatan asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali perubahan, kini jumlah materi muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan, menyisakan hanya 25 butir yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, yaitu sebanyak 174 butir ketentuan dapat dikatakan merupakan materi atau ketentuan yang baru.[8]
Sri Soemantri menyatakan, bahwa prosedur serta sistem perubahan Undang- Undang Dasar 1945 seharusnya merupakan perwujudan dua hal, yaitu menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan memungkinkan adanya perubahan.[9] Merujuk pada pendapat ini, terjadinya perubahan UUD 1945 sejak Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat, tentunya harus mempengaruhi sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Terjadinya perubahan yang mendasar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia terutama mengenai lembaga Negara.
Sehubungan dengan itu penting disadari bahwa sistem ketatanegaraan Republik Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Perubahan itu juga mempengaruhi mekanisme struktural organ-organ Negara Republik Indonesia yang tidak dapat lagi dijelaskan menurut cara berpikir lama. Ada pokok-pokok pikiran baru yang diadopsikan ke dalam kerangka UUD 1945 itu; pokok pikiran tersebut antaranya adalah :
a)      Penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara komplementer;
b)      Pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and balances'
c)      Pemurnian sistem pemerintah presidential; dan
d)     Penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[10]
Berdasarkan pasal III Aturan Peralihan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan dibentuknya Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk maka kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Tanggal 13 Agustus 2003 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan kemudian pada tanggal 16 Agustus 2003 para hakim konstitusi dilantik dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003.[11]
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[12]Hal ini berarti bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY).
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.
2.      Alasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Apa alasannya sehingga kemudian MK disepakati untuk dibentuk di Indonesia? Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan MK menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik[13], juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai “grundnorm” atau “highest norm”, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.
Ide demikian yang turut melandasi pembentukan MK di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan agar pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Harus diakui berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal Orde Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain didominasi oleh hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru menuntut keberadaan wasit konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang terhadap konstitusi). Namun, penguasa waktu itu hanya memberikan hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di bawah undang-undang pada Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu kemudian mendorong Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan amandemen ketiga UUD 1945 akhirnya menyepakati organ baru bernama MK.
Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya.
Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
C.     Kedudukan Mahkamah Konstitusi
Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945. Berdasarkan division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara.
Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat.
Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. MK menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak beralasan mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih tinggi dibanding lembaga-lembaga negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru. Prinsip pemisahan kekuasaan yang  tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu sama lain.
Selanjutnya, UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini MK memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum.
D.    Fungsi dan Kewenangan  Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi juga sebagai penafsir akhir konstitusi. Di berbagai negara Mahkamah Konstitusi juga menjadi pelindung (protector) konstitusi. Sejak di-inkorporasi-kannya hak-hak asasi manusia dalam Undang Undang Dasar 1945, bahwa fungsi pelindung konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights) juga benar adanya.[14] Tetapi dalam penjelasan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan sebagai berikut:
“… salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang menimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi”.[15]
Lebih jelas Jimly Asshiddiqie menguraikan:
“Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mawarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat”.[16]
Lembaga negara lain dan bahkan orang perorang boleh saja menafsirkan arti dan makna dari ketentuan yang ada dalam konstitusi. Suatu konstitusi memang tidak selalu jelas karena rumusannya luas dan kadang-kadang kabur. Akan tetapi, yang menjadi otoritas akhir untuk memberi tafsir yang mengikat adalah Mahkamah Konstitusi. Dan tafsiran yang mengikat itu hanya diberikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan yang diajukan kepadanya.
Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:[17]
1.      Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2.      Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar.
Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dengan rincian sebagai berikut:[18]
1.      Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannnya bersifat final untuk:
a.       Menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60.[19] Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review. Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan MK. Melalui kewenangan judicial review, MK menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
b.      Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut. Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and balances, yang berarti sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing timbul kemungkinan terjadinya perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD., MK dalam hal ini, akan menjadi wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai ini telah diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 24 Tahun 2003.
c.       Memutus pembubaran partai politik;
Kewenangan ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak pada otoritarianisme dan arogansi, tidak demokratis, dan berujung pada pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun. Mekanisme yang ketat dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat demokrasi. Partai politik dapat dibubarkan oleh MK jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatannya bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 74  sampai dengan Pasal 79 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah mengatur kewenangan ini.
d.      Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi 1). Terpilihnya anggota DPD, 2). Penetapan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden. dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden, dan 3). Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.
2.      Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK.
Dalam hal ini hanya DPR yang dapat mengajukan ke MK. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.[20]
3.      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a.       Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
b.      Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
c.       Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d.      Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e.       Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
FOOTNOTE
[1] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), Hlm. 5.
[2] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), Hlm. 18.
[3] Write of mandamus merupakan suatu alas dasar bagi seseorang untuk menjalankan tugas yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan padanya. Lihat Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), Hlm. 18- 21
[4] Ibid, hlm. 19
[5] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,..Hlm. 6
[6] Ibid, Hlm. 6
[7] Ibid, Hlm. 7
[8] Undang-undang Dasar 1945 Sebelum Perubahan terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, 49 ayat, 4 Pasal Aturan Peralihan, 2 Ayat Tambahan, dan Penjelasan. Sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Perubahan terdiri dari 21 Bab, 37 Pasal, 170 Ayat, 3 Pasal Aturan Peralihan, 2 Pasal Aturan Tambahan dan Tanpa Penjelesan
[9] Mochamad Isnaeni Ramdhan, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: PT. Alumni, 2006), Hlm. 273
[10] Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, hlm. 1, Makalah dalam Simposium Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003.
[11] Ibid, Hlm. 9
[12] Perubahan ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB IX Kekuasaan Kehakiman.
[13] Nilai semantik menunjukkan bahwa konstitusi itu secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik
[14] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,..Hlm. 11
[15] Penjelasan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Bagian Umum
[16]Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi, Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern Dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal MKRI, 2004, Hal. iv. Seperti dikutip oleh Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,..Hlm. 12.
[17] Lihat Pasal 24C Perubahan Ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[18] Lihat Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[19] Pasal 50 tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat setelah dibatalkan MK.
[20] Lihat Pasal 7 B ayat (3) UUD 1945.
A.    Kedudukan Mahkamah Agung dalam Ketatanegaraan RI.
Keberadaan kekuasaan kehakiman tidak dapat dilepaskan dari teori klasik tentang pemisahan kekuasaan, dimana legislatif, eksekutif dan yudikatif berada di tangan tiga organ yang berbeda. Tujuan diadakannya pemisahan kekuasaan ini adalah untuk mencegah jangan sampai kekuasaan pemerintah dalam arti kekuasaan eksekutif dilakukan secara sewenang-wenang, yang tidak menghormati hak-hak yang diperintah. (Jimly Assihiddiqie, 2005 : 34)
Menurut Muhammad Yamin, ketiga konstitusi Indonesia yang pernah berlaku, yaitu UUD 1945, KRIS (konstitusi RIS) 1949, dan UUDS 1950, selalu disusun atas ajaran Trias Politika, sehingga pembagian atas tiga cabang kekuasaan berlaku. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) menegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (Ni’matul & Nazriyah, 2011 : 257)
Tap MPR X Tahun 1998 menetapkan kekuasaan kehakiman bebas dan terpisah dari kekuasaan eksekutif, kebijakan satu atap kemudian diatur dan dijabarkan dalam UU Nomor 35/1999 tentang Perubahan UU Nomor 14/1970, dan telah dicabut serta dinyatakan tidak berlaku oleh UU Nomor 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun tentang MA diatur dalam UU Nomor 5/2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14/1985. Selanjutnya, Keppres Nomor 21/2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan Urusan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Lembaga Peradilan dari Depkeh ke MA. (Sri Soemantri, 2014 : 124-127)
Mahkamah Agung (MA) merupakan puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan Kehakiman itu seperti ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Banyak yang menafsirkan bahwa dalam perkataan merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah itu, terkandung pengertian yang bersifat fungsional. Pengertian secara fungsional, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah itu tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat atau yang patut dapat diduga akan mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh Hakim. Karena itu penjelasan kedua pasal itu mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung, langsung dikaitkan dengan jaminan mengenai kedudukan para Hakim. Maksudnya ialah agar para Hakim dapat bekerja profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah, kedudukannya haruslah dijamin dalam undang-undang. 
Sebagai badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung (MA) merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksakan tugasnya terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain serta melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain. (Undang-Undang Dasar 1945)
1.      Sebelum Amandemen, Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung memegang kekuasaan kehakiman Pasal 24 (1). Lembaga ini dalam tugasnya diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama eksekutif dalam Penjelasan UUD 1945 Bab IX Pasal 24 dan 25.
2.      Sesudah Amandemen, MA memegang kekuasaan kehakiman bersama dengan Mahkamah Konstitusi Pasal 24 (2)***. MA membawahi peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara dalam Pasal 24 (2)***.
B.     KPK
1.      Korupsi diindonesia.
Berdasarkan tulisan dari Amien Rahayu, seorang analis sejarah LIPI dalam ‘’Jejak Sejarah Korupsi Indonesia’’ bahwa mulai zaman kerajaan – kerajaan lawas, budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Sebenarnya kehancuran kerajaan – kerajaan besar (Sriwijaya,Majapahit dan Mataram) adalah karena prilaku korup dari sebagian besar para bangsawanya. Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh ‘’budaya – tradisi korupsi’’ yang tiada henti karna di dorong oleh kekuasaan,kekayaan dan wanita.
Sering kita mendengar bahwasanya strategi jitu Belanda (VOC) menguasai politik pecah belah (devide et impera), tapi pernahkah kita bertanya atau meneliti persoalan atau penyebab utama mudahnya Bangsa asing (Belanda) mampu menjajah indonesia sekitar 350 tahun (versi sejarah nasional), lebih karena prilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarg, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan’’character building’’, mengabaikan hukum apabila demokrasi. Terlebih lagi sebagian besar penduduk di nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu, dan yang lebih parah mudah diadu domba[1].
2.      Komisi pemberantas Korupsi (KPK)
 Perlu diketahui sebelumnya bahwa sejak Indonesia merdeka, sudah terdapat berbagai lembaga yang khusus dibentuk untuk melakukan tugas khusus pemberantasan korupsi. Tapi hampir bisa dikatakan bahwa semua lembaga tersebut mengalami kegagalan. Lembaga – lembaga tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Era Orde Lama, Pada masa orde lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantas korupsi, yaitu :
1.      ’panitia Retooling Aparatur Negara’’(paran) yang di bentuk dengan perangkat aturan Undang – undang keadaan bahaya. Badan ini dipimpin oleh A.H.Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni professor M.yamin dan Roeslan Abdulgani. Namun dalam perjalananya, terdapat perlawan atau reaksi keras dari para penjabat yang korup pada saat itu dengan dalih yuridis bahwa berbekal alasan doktrin pertanggung jawaban secara langsung kepada president, formulir itu tidak diserahkan kepada paran, tapi langsung kepada president. Ditambah lagi dengan kekacauan politik, paran berakhir tragis, dead lock, dan akhirnya menyerahkan kembali tugasnya kkepada kabinet djuanda.
2.      Pada tahun 1963,melalui keputusan president No.275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H.Nasution, yang saat itu menjabat sebagai menteri koordinator pertahanan dan keamanan/kasab,dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo uuntuk memimpin lembaga baru yang lebih dikenal dengan ‘’Operasi Budhi’’. Kalai ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi kepengadilan dengan sasaran utama perusahaaan – perusahaan Negara serta lenbaga – lembaga Negara lainya yang dianggap rawan prakteik korupsi dan kolusi. Namun lagi- lagi operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan uang Negara kurang lebih 11 milyar. Operasi Budhi ini dihentikan oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (kontrar) dengan presiden soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwasanya seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi dimasa orde lama pun kembali masuk ke jalur lambat,bahkan macet.
b.      Era Orde Baru, Pada masa orde baru, dibawah kepemimpinan soeharto minimal ada 4 lembaga yang dipasrahi tugas untu melakukan pemberantasan korupsi. Lembaga – lembaga tersebut adalah sebagai beerikut :
1.      Tim pemberantas korupsi (TPK)
Tim ini dibentuk dengan keputusan president Nomor 228 Tahun 1967. Pada awal orde baru melalui pidato kenegaraan pada tanggal 16 agusstus 1967, Soeharto terang – terangan mengkritik orde lama yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungn dengan demokrasi yang terpusat ke istana. 
2.      Komite Empat
Komite ini terbentuk dikarenakan adanya banyak tuduhan ketidak seriusan tim pemberantas korupsi sebelumnya dan berjuang pada kebijakan soeharto untuk menunjuk komite empat. Komite ini dibentuk dengan keputusan president Nomor 12 Tahun 1970 Tanggal 31 januari 1970 dengan beranggotakan tokoh – tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti prof.Johanes,I.J.Kasimo,Mr.Wilopo dan A.Tjokrominoto. lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan untuk mandek dan vakum.
3.      Operasi Tertip (Opstib)
Berakhirnya Komite Empat memunculkan lembaga baru, yakni ketika laksamana Sudoso diangkat sebagai pangkopkamtip, dibentuklah Operasi Tertip (Opstib). Lembaga ini dibentuk dengan intruksi president nomer 9 tahun 1977, Namun karna adanya perselisihan pendapat mengenai metode  pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down dikalangan pemberantas korupsi itu sendiri cendrung semakin melemahkan upaya pemberantasan korupsi, sehingga Opsib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor disinggasana Orde Baru.
4.          Tim pemberantas korupsi bar
Tim ini dibentuk tahun 1982 melalui modus menghidupkan kembali (reinkarnasi) tim pemmberantas korupsi sebelumnya tanpa dibarengi dengan penerbitan keputusan president yang baru.Koruptifnya orde baru seakan memandulkan banyaknya lembaga yang telah dibentuk untuk membrantas korupsi.Apalagi dengan modus bahwa lembaga ini berada dibawah kendali president dalam pertanggung jawabannya. Bukan rahasia lagi kalau memang Orde baru adalah orde korupsi dalam semua lini.
c.       Era Reformasi
pada era reformasi, usaha pembrantasan korupsi dimulai oleh B.J.Habibie yang bersih dan bebas dari korupsi,kolusi,dan nepotisme, berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru,seperti komisi pengawas kekayaan penjabat Negara (KPKPN),KPPU,maupun lembaga Ombudsman.
President berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk tim gabungan pemberantas tindak pidana korupsi (            TGPTPK ) melalui peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2000. TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tidak sama juga dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi pemberantas korupsi, tugas KPKPN melebur masuk kedalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya KPK lah lembaga yang pemberantasan korupsi terbaru yang masih exsis.
Komisi pemberantasan korupsi (KPK) dibentuk lewat undang – undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang komisi pemberantas tindak pidana korupsi, lembaga baru ini dibentuk dalam suasana kebencian terhadap praktik kotor korupsi.
Sejak berdirinya tertanggal 29 Desember 2003, KPK telah dipimmpin oleh 2 rezim yang berbeda.KPK jilid pertama 2003 – 2007 terdiri dari Taufiqurachman Ruki, mantan polisi, sebagai ketua komisi. KPK jilid kedua yang telah disumpah oleh president Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 19 Desember 2007, KPK jilid kedua dipimpin oleh Antasari Azhar (mantan kepala kejaksaan negeri Jakarta selatan), sbagai ketua komisi. Dalam perjalananya lembaga KPK masih menempati rating tertinggi keppercayaan publik dalam hal penegakan hukum terutama kasus korupsi. Hal ini memang dipahami ddari kenyataan bahwa banyak pencapaian positif yyang dilakukan KPK[2].
C.      Bentuk – bentuk korupsi di indonesia .
Korupsi merupakan tindakan yang sangat tercela, selaain merugikan Negara, tindakan korupsi juga dapat merugikan pelaku korupsi itu sendiri jika terbukti perbuatannya diketahui oleh penindak korupsi yang berwenang.
Di Indonesia, klafikasi tindakan korupsi secara garis besar dapat di golongkan   dalam beberapa macam bentuk. Khusus untuk intansi yang melakukan administrasi penerimaan (revenue administration) yang meliputi instansi pajak bea cukai, tidak termasuk pemda dan pengelola penerimaan pnbp, tindakan korupsi dapay dibagikan menjadi beberapa jenis, antara lain :
1.      Korupsi kecil – kecilan (petty corruption) dan korupsi besar – besaran (grand corruption). korupsi kecil – kecilan merupaakan bentuk korupsi sehari – hari dalam pelaksanaan suatu kebijakan pemerintah. Korupsi ini biasanya cenderung terjadi saat petugas bertemu langsung dengan masyarakat. Korupsi ini juga di sebut dengan korupsi rutin (routine corruption) atau korupsi untuk bertahan hidup (survival corruption). Korupsi kecil – kecilan umumnya dijalankan oleh penjabat junior dan penjabat tingkat bawah sebagai pelaksana fungsional. Contohnya adalah pungutan untuk mempercepat pencairan dana yang terjadi di kppn. Sedangkan korupsi besar – besaran umumnya dilakukan oleh penjabat level tinggi, karena korupsi jenis ini melibatkan uang dalam jumlah yang sangat besar. Korupsi ini terjadi saat pembuatan, perubahan, atau pengecualian dari peraturan. Contohnya adalah pembbebasan pajak bagi perusahaan besar.
2.      Penyuapan (bribery), Untuk penyuapan yang biasanya dilakukan dalam birokrasi pemerintahan di indonesia khususnya dibidang atau intansi yang mengadministrasikan penerimaan Negara (revenue administration) dapat dibagi menjadi empat antara lain :
1.      Pembayaran untuk menunda atau mengurangi kewajiban bayar pajak dan cukai.
2.      Pembayaran untuk meyakinkan petugas agar tutup mata terhadap kegiatan illegal.
3.      Pembayaran kembali (kick back) setelah mendapatkan pembebasan pajak, agar dimasa mendatang mendapat perlakuan yang yang lebih ringan daripada administrasi normal.
4.      Pembayaran untuk meyakinkan atau memperlancar proses penerbitan ijin (license) dan pembebasan (clearance).
3.      Penyalahgunaan atau penyelewengan ( misappropriation)
Penyalahgunaan atau penyelewengan dapat terjadi bila pengendalian administrasi (check and balances) dan pemeriksaan serta supervise transaksi keuuangan tidak berjalan dengan baik. Contoh dari korupsi jenis ini adalah pemalsuan catatan, klafikasi barang yang salah, serta kecurangan (fraud).
4.      penggelapan (embezzlement)        korupsi ini adalah dengan menggelapkan atau mencuri uang Negara yang dikumpilkan, menyisakan sedikit atau tidak sama sekali.
5.      Pemerasan (extortion) Pemerasan ini terjadi ketika masyarakat tidak mengetahui tentang peraturan yang berlaku, dan dari celah inilah petugas melakukan pemerasan dengan menakut – nakuti masyarakat untuk membayar lebih mahal daripada yang semestinya.
6.           Perlindungan  (patronage), Perlidungan dilakukan dalam hal pemilihan, mutasi, atau promosi staf berdasarkan suku, kinship, dan hubungan sosial lainnya tanpa mempertimbangkan prestasi dan kemeampuan dari seseoran tersebut[1]
D.    Upaya penangan korupsi .
Seperti bentuk – bentuk kejahatan yang sering terjadi di masyarakat, perbuatan korupsi termasuk salah satu kejahatan yang dikutuk masyarakat dan terus diperangi oleh pemerintah dengan seluruh aparatnya. Hal ini disebabkan karena akibat serta bahaya yang ditimbulkan oleh perbuatan tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan Negara, menghambat dan mengancam program pembangunan, bahkan dapat berakibat mengurangi partisipasi masyarakat dalam tugas pembangunan dan menurunnya kepercayaan rakyat pada jajaran aparatur pemerintah[2].
1.      Factor terjadinya korupsi. Perbuatan korupsi terjadi dimana – mana, dan justru sering terjadi di Negara berkembang seperti indonesia. Hal tersebut di sebabkan oleh factor antara lain :
1.      Belum mantapnya sistem administrasi keuangan dan pemerintahan.
2.      Belum lengkapnya peraturan perundang – undangan yang dimiliki.
3.      Masih banyak ditemuinya celah – celah ketentuan yang  merugikan masyarakat.
4.      Lemahnya dan belum sempurnanya sistem pengawasan keuangan dan pembangunan.
5.      Serta tingkat penggajian atau pendapatan pegawai negri yang rendah .
Di samping itu juga masih dijumpai beberapa kendala yang menyebabkan        kurang efektifnya upaya – upaya pemberantasan korupsi, yang menyebabkan pemberantasan korupsi yang telah dilakukan belum mencapai hasil seperti yang diharapkan[3].
Kebijaksanaan pemerintah dalam mendorong exspor, peningkatan insvestasi melalui fasilitas – fasilitas penanaman modal maupun kebijaksanaan dalam kelonggaran, kemudahahan dalam bidang perbankan, sering menjadi sasaran tindak pidana korupsi, yang berkedok menggunakan fasilitas – fasilitas kemudahan dan kelonggaran yang diberikan pemerintah tersebut dengan cara menipulasi data, menipulasi administrasi maupun pemalsuaan – pemalsuan data, yang berakibat timbulnya keruugian Negara atau keuangan Negara.
2.      Factor  kendala dalam upaya pemberantasan korupsi 
Sayangnya sejarah kampanye anti korupsi di seluruh dunia tidak menggembirakan. Di tingkat nasional dan daerah, di tingkat kementrian, dan di tingkat organisasi seperti kepolisian, upaya anti korupsi besar – besaran sekalipun dan telah tersebar luas dalam masyarakat cendrung tersendat – sendat, terhenti, dan pada akhirnya mengecewakan.
Upaya anti korupsi banyak yang gagal karena pendekatan yang semata – mata bersifat pendekatan umum, atau terlalu bertumpu pada himbauan moral. Kadang – kadang upaya anti korupsi di lakukan setengah hati, kadang – kadang upaya anti korupsi itu sendiri berubah menjadi alat yang kotor untuk menjatuhkan lawan atau menyeret lawan kedalam penjara.
Untungnya ada juga upaya anti korupsi yang berhasil dan kita dapat menarik pelajaran dari situ. Pelajaran ini adalah : kunci sukses upaya anti korupsi adalah kita harus punya strategi untuk membrantas korupsi[4].
Dalam penjelasan lainnya faktor yang merupakan kendala dalam upaya pemberantasan korupsi tersebut, yang kita jumpai selama ini meliputi : belum memadainya sarana dan skill aparat penegak hukumnya, kejahatan korupsi yang terjadi baru diketahui setelah memakan waktu yang lama, sehingga para pelaku telah memindahkan, menggunakan dan menghabiskan hasil kejahatan korupsi tersebut, yang berakibat upaya pengembalian keuangan Negara relatif sangat kecil, beberapa kasus besar yang penangannya kurang hati – hati telah memberi dampak negatif terhadap proses penuntutan perkarannya.
3.          Ketentuan dan rumusan mengenai pemberantasan korupsi.
Di indonesia ketentuan mengenai pemberantasan korupsi telah ada sejak berlakunya undang – undang no.24 prp.1960 tentang pengusutan penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Mengingat UU No.24 Prp. 1960 tersebut sesuai dengan perkembangan masyarakat saat itu dinilai kurang mencukupi untuk mencapai hasil yang diharapkan, maka telah diganti dengan UU No.3 tahun 1971 tentang tindak pidana korupsi.
Rumusan tindak pidana korupsi berdasarkan UU No.3 tahun 1971 lebih luas dan memudahkan pembuktiannya dibandingkan rumusan tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU No.24 Prp, 1960. Hal ini sesuai dengan perkembangan masyarakat dan rasa tuntutan keadilan masyarakat terhadap pemberantas korupsi yang sangat merugikan masyarakat, keuangan Negara dan perekonomian Negara.
Batasan tentang tindak pidana korupsi berdasarkan undang – undang No.3 Tahun 1971 tentang batasan tindak pidana korupsi, meliputi :
Pasal 1 ayat (1)
a.       Barang siapa degngan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiriatau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara, atau diketaahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
b.      Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secra langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
c.       Barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam pasal – pasal, 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP.
d.      Barang siapa member hadiah atau janji kepada pegawai  negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengat mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
e.       Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat – singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberkan kepadanya seperti yang tersebut pada pasal 418, 419, dan 420, KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji kepada yang berwajib[5].
E.     Dampak korupsi .
1.      Dampak korupsi terhadap exsistensi Negara
a.       Lesunya perekonomian
     Korupsi memperlemah investasi dan pertumbuhan ekonomi. Korupsi merintangi akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Korupsi memperlemah aktivitas ekonomi, memunculkan inefisiensi, dan nepotisme. Korupsi menyebabkan lumpuhnya keuangan atau ekonomi meluasnya praktek korupsi di suatu Negara mengakibatkan berkurangnya dukungan Negara donor, karna korupsi menggoyahkan sendi – sendi kepercayaan pemilik modal asing.
b.      Meningkatkan keiskinan
           Efek penghancuran yang hebat terhadap orang miskin : dampak    langsung yang dirasakan oleh orang miskin, dampak tidak langsung terhadap orng miski, dua kategori pendudk mskin di indonsia : kemiskinan kronis ( chronic poverty ), keiskinan sementara ( transient poverty ), empat rsiko tinggi korupsi : ongkos fiansial (financial cost) moda manusia ( human capital ) kehancuran moral ( moal decay ) hancurnya modal social ( loss of capital socal ).
c.       Tinginya angka kriminalias
      Korupsi menyuburka bebagai macam kejahatan lain dlam masyarakat. Semakin tinggi tingkat korupsi, semain ber pula kejahatan. Menurut transparency rasionalnya, ketika angka korupsi meningkat, maka angka kejahatan juga meningkat. Sebalknya, ketika angka korupsi berhasil di kurangi, maka kepercayaan masyarakat terhdap penegakan hukum ( law enforcement ) juga meningkat. Dengan mengurangi korups dapat juga ( secara tidak lagsung ) mengurangi kejahatan yan lain.
Idealnya, angka kjahatan akan berkurang, jika timbul kesadaran masyarakat (marginal detterrence). Kondisi ini hanya terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan tingkat kesejahteraan masyarakat sudah memadai (sufficient). Soerjono soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum dalam suatu Negara selain tergantung dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana dan prasarana, juga tergantung pada kesadaran hukum masyaraka. Kesejahteraan yang memadai mengandung arti bahwa kejahatan tidak terjadi oleh karena kesulitan ekonomi.
d.      Demoraliasi
Korupsi yang merajalela di lingkungan pemerintah, dalam pengelihatan masyarakat umum akan menurunkan kredeblitas peerintah yang berkuasa, jika pemerintah justru memakmurkan praktik korupsi, maka lenyap pula unsure hormat dan trust (kepercayan) masyarakat kepada pemerintah. Praktik korupsi yang kronis menimbulkan demoralisasi di bagian pembangunan, korupsi pertumbuhan ekonomi. Lembaga internasional menolak membantu Negara – Negara korup. Sun yan said : korupsi menimbulkan demoralisasi, kersahan sosial, dan keterasingan politik.
e.       Kehancuran birokrasi
Kehancuran birokrasi pemerintah merupakan garda depan yang berhubungan dengan pelayan umum kepada masyarakat. Korupsi melemahkan birokrasi sebagai tulang punggung Negara, korupsi menimbulkan ketidak efisienan yang menyeluruh di dalam birokrasi. Korupsi di dalam birokrasi dapat di katagorikan dalam dua kecendrungan : yang menjangkiti masyarakat dan yang dilakukan dkalangan mereka sendiri. Transparency internasional membagi kegiatan korupsi di sektor publik kedalam dua jenis yaitu : korupsi adminisratif dan korpsi politik.
Menurut indria samego, korupsi menimbulkan empat kerusakan di tubuh birokrasi militer indonesia : secara formal, material anggaran pemerintah untuk menopang angaran angkatan berenjata sangat kurang, padahal pada kenytaanya TNI memiliki sumber dana lain diluar APBN. Prilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan pengusaha menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak mudorotnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara keseluruhan.orientasi komesial pada sebagian perwira militer pada giliranya juga menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memilki kesmpatan yang sama.
Orientasi komersial akan semakin melunturkan semangat profesionalisme militer pada sebagian perwira militer yang mengenyam kenikmaan berbisnis, baik atas nama angkatan bersenjata atau nama pribadi.
f.       Tergangunya fungsi politik dan fungsi pemerintahan[6].
F.      Penanganan Korupsi Paska Pembentukan KPK .
Komisi pemberantasan korupsi atau disingkat KPK adalah komisi di indonesia yang dibentuk pada tahun 2003, untuk mengatasi, menanggulangi dan membrantas korupsi di indonesia. Komisi ini didirkan berdasakan kepada undang – undang republik indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai komisi pemberantasan tindak pidana korupsi.
> Tahun 2004 tercatat ada 6 (enam) kasus korupsi besar yang ditangani oleh KPK.
> Tahun 2005 tercatat ada 6 (enam) kasus korupsi besar yang ditangani oleh KPK.
>  Tahun 2006 tercatat ada 8 (delapan) kasus korupsi besar yang ditangani oleh KPK.
> Tahun 2008 tercatat ada 10 (sepuluh) kasus korupsi besar yang ditangani oleh KPK.
> Tahun 2009 tercatat ada 1 (satu) kasus korupsi besar yang ditangani oleh KPK.
> Tahun 2010 tercatat ada 2 (dua) kasus korupsi besar yang ditangani oleh KPK.
> Tahun 2011 tercatat ada 13 (tiga belas) kasus korupsi besar yang ditangani oleh KPK[7].
DAFTAR PUSTAKA
  Teten Masduki, penuntun pemberantasan korupsi,Partenership For Governance Reform indonesia,2002.
  Soejono,S.H.,M.H.,kejahatan dan penegakan hukum di Indonesia,Rineka Cipta.
  Adib Bahari, S.H.- Khotibul Umam, S.H.,KPK,komisi pemberantasan korupsi dari A sampai Z,Pustaka Yustisia.
 http://inspirasikecilku.blogspot.com/2010/06/bentuk-korupsi-di-indonesia.
 http://dyhretnow.blogspot.com/2011/11/dampak-korupsi-terhadap-ekstensi.
http://id.wikipedia.org/wiki/komisi-pemberantas-korupsi
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....7
HUKUM PERDATA
A.        Pengertian Hukum Perdata Arti Luas dan Sempit
1.      Pengertian hukum perdata
Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai terjemahan dari bahasa Belanda yaitu burgerlijkrecht Wetboek (B.W)  pada masa pendudukan Jepang. Di samping istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civielrechtdan privatrecht. Para ahli memberikan batasan hukum perdata, seperti berikut. Van Dunne mengartikan hukum perdata, khususnya pada abad ke -19adalah: “Suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum publikmemberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”
Pendapat lain yaitu Vollmar, dia mengartikan hukum perdata adalah:
“Aturan-aturan atau  norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengna kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas”[1]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang dipaparkan para ahli di atas, kajian utamanya pada pengaturan tentang perlindungan antara orang yang satu dengan orang lain, akan tetapi di dalam ilmu hukum subyek hukum bukan hanya orang tetapi badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi untuk pengertian yang lebih sempurna yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.
2.      Arti luas
Hukum perdata dalam arti luas adalah bahan hukum sebagaimana tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan, dan juga Kitab Undang-Undang hukum dagangWetboek van Koophandel(WVK) beserta sejumlah undang-undang yang disebut undang-undang tambahan lainnya seperti peraturan yang ada dalam KUHPerdata, KUHD, serta sejumlah undang-undang tambahan (UU pasar modal, UU tentang PT dan sebagainya)).
3.      Arti sempit
Hukum perdata dalam arti sempit yaitu hukum perdata sebagaimana yang terdapat dalam KUHPerdata saja.
B.         Pengertian Hukum Perdata Material dan Formal
1.      Hukum  Perdata Material
Pengertian hukum perdatamaterial adalah menerangkan perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum serta hukuman-hukuman apa yang dapat dijatuhkan. Hukum materil menentukan isi sesuatu perjanjian, sesuatu perhubungan atau sesuatu perbuatan. Dalam pengertian hukum materil perhatian ditujukan kepada isi peraturan.
2.      Hukum Perdata Formal
Pengertian hukum perdata formal adalah menunjukkan cara mempertahankan atau menjalankan peraturan-peraturan itu dan dalam perselisihan maka hukum formil itu menunjukkan cara menyelesaikan di muka hakim. Hukum formil disebut pula hukum Acaara. Dalam pengertian hukum formil perhatian ditujukan kepada cara mempertahankan/ melaksanakan isi peraturan.[2]
C.         Sumber Hukum Perdata
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas dan nyata.[3]Sumber hukum perdata adalah asal mula hukum perdata atau tempat dimana hukum perdata di temukan.[4]
Volamar membagi sumber hukum perdata menjadi empat macam. Yaitu KUHperdata ,traktat, yurisprudensi, dan kebiasaan. Dari keempat sumber tersebut dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu sumber hukum perdata tertulis dan tidak tertulis. Yang dimaksud dengan sumber hukum perdata tertulis yaitu tempat ditemukannya kaidah-kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tertulis. Umumnya kaidah hukum perdata tertulis terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sumber hukum perdata tidak tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tidak tertulis. Seperti terdapat dalam hukum kebiasaan.
Yang menjadi sumber perdata tertulis yaitu:
1. AB (algemene bepalingen van Wetgeving) ketentuan umum permerintah Hindia Belanda
2. KUHPerdata (BW)
3. KUH dagang
4. UU No 1 Tahun 1974
5. UU No 5 Tahun 1960 Tentang Agraria.[5]
D.        Sistematika Hukum Perdata
Sistematika, yang di dalam bahasa Inggris, disebutsystematics, bahasa Belandanya, yaitu systematiken, yaitu susunan atau struktur dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di negara-negara yang menganut sistem Common Lawtidak mengenal pembagian antara hukum publik dan hukum privat. Sehingga hukum perdatanya tidak dibuat dalam sebuah kodifikasi, tetapi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hukum perdata tersebar dalam berbagai act atau undang-undang. Namun, di dalam sistem hukum yang menganutCivil Law, maka sumber hukum utama, yaitu hukum kodifikasi yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berikut ini, disajikan sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, Belanda, Rusia, Perancis dan Jerman.[6]
Sistematika KUH Perdata yang berlaku di Indonesia, meliputi :
Buku I             : tentang orang
Buku II           : tentang Hukum Perdata
Buku III          : tentang Perikanan
Buku IV          : tentang Pembuktian dan Daluarsa
Di negeri Belanda, Kitab Undang-Undang Hukum Perdatanya telah dilakukan penyempurnaan. Dengan adanya penyempurnaan itu, maka terjadi perubahan sistematika, yang semula hanya terdiri atas lima buku, yang meliputi :
Buku I     : tentang hukum orang dan keluarga (Personen-en-Familierecht)
Buku II    : tentang Badan Hukum (Rechrspersoon)
Buku III   : tentang Hukum Kebendaan (Van Verbindtenissen)
Buku IV   : tentang Daluarsa(Van Verjaring)
Kelima buku itu telah disempurnakan menjadi sepuluh buku. Kesepuluh buku itu, meliputi :[7]
Book 1                 : Person and Family Law (Hukum orang dan Keluarga)
Book 2                 : Legal Person(Badan Hukum)
Book 3                 : Property Law in General (Hukum harta kekayaan secara umum)
Book 4                 : Succession (inheritance) (hukum warisan)
Book 5                 :  Real Property Rights (hak atas harta kekayaan)
Book 6                 : Obligation and Contracts (perikatan dan kontrak)
Book 7                 : Particular Contracts (revised) (perjanjian khusus)
Book 7                 : Particular Contracts (unrevised) (perjanjian khusus)
Book 8                 : Transport Law(hukum pengangkutan)
Book 9                 : Intellectual Property  (hak kekayaan intelektual)
Book 10               : Private International Law (hukum perdata internasional)
Sementara itu, Rusia merupakan salah satu negara yang cukup maju dalam perkembangan hukum, khususnya hukum perdata, karena dinegara ini telah menetapkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Federasi Rusia, yang disebut dengan  The Civil Code of the Russian Federation. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Federasi Rusia ditetapkan dalam dua tahap, yaitu :[8]
1.      Tahap pertama ditetapkan pada tahun 2003
2.      Tahap kedua ditetapkan pada tanggal 18 Desember 2006.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Rusia terdiri dari 1551 pasal atau artikel dan empat bagian dan masing-masing dibagi dalam divisi-divisi. Code Civil Prancis terdiri dari empat buku dan terdiri atas bagian dan pasal, jumlah pasal yang tercantum Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Prancis, yaitu sebanyak 2302 pasal. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Jerman atau disebut juga German Civil Code atau Bürgerlichen Gesetzbuches (BGB) terdiri dari empat buku dan 2385 pasal, dan ditetapkan pada 18 agustus 1896.
E.         Asas-asas Hukum Perdata
Beberapa asas yang terkandung dalam KUHPerdatayang sangat penting dalam Hukum Perdata adalah:
1.      Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).
2.      Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
3.      Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.
4.      Asas Kekuatan Mengikat
Asas kekuatan mengikat ini adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan sifatnya hanya mengikat.
5.      Asas Persamaan hukum,
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
6.      Asas Keseimbangan,
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik
7.      Asas Kepastian Hukum,
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
8.      Asas Moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya
9.       Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak
10.  Asas Kepatutan.
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPdt. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya
11.  Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
12.  Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.[9]
F.          Sejarah Hukum Perdata di Indonesia
Hukum perdata tertulis yang berlaku di Indonesia merupakan produk hukum perdata Belanda yang diberlakukan asas konkordansiyaitu hukum yang berlaku di negeri jajahan (Belanda) sama dengan ketentuan yang berlaku di negeri penjajah.
Secara makrosubtansial perubahan-perubahan yang terjadi pada hukum perdata Indonesia : Pertama, pada mulanya hukum perdata indonesia merupakan ketentuan-ketentuan pemerintahan Hindia-Belanda yang diberlakukan di Indonesia (Algamene Bepalingen van Wetgeving) Kedua dengan konkordansi pada tahun 1847 diundangkan KUHPerdata (BW) oleh pemerintahan Belanda.
Dalam prespektif hukum sejarah, hukum perdata yang berlaku di Indonesia terbagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum Indonesia merdeka dan periode setelah Indonesia merdeka.[10]
1.      Hukum Perdata pada masa penjajahan Belanda
Sebagai negara jajahan, maka hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bangsa penjajah. Hal yang sama untuk hukum perdata. Hukum perdata yang diberlakukan bangsa Belanda untuk Indonesia mengalami adopsi dan perjalanan sejarah yang sangat panjang.
Pada mulanya hukum perdata Belanda dirancang oleh suatu panitia yang dibentuk tahun 1814 yang diketuai oleh Mr.J.M Kempers (1776-1824). Tahun 1816, Kempers menyampaikan rencana code hukum tersebut pada masa pemerintahan Belanda didasarkan pada hukum belanda kunodan diberi nama own Kempers. Dalam perjalanannya bagi orang-orang Tiong Hoa dan bukan Tiong Hoa mengalami pembedaan dalam pelaksanaan perundang-undangan dalam hukum perdata.
2.      Hukum Perdata sejak Kemerdekaan
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia didasarkan pada pasal II aturan peralihan UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan dinyatakan masih berlaku sebelum diadakan peraturan baru menurut UUD termasuk didalamnya hukum perdata belanda yang berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum(Rechtvacum), dibidang Hukum Perdata.
Menurut Sudikno Mertokusumo, keberlakuan hukum perdata Belanda tersebut di Indonesia didasarkan pada berberapa pertimbangan. Selain itu, secara keseluruhan hukum perdata Indonesia dalam perjalanan sejarahnya mengalami berberapa proses perubahan yang mana perubahan tersebut disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri. Hukum perdata ini meliputi enam pembahasan, yaitu : Hukum Agraria, Hukum Perkawinan, Hukum Islam yang Direseptio, Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Jaminan Fidusia, dan Lembaga Penjaminan Simpanan.[11]
FOOTNOTE
[1] Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia ,(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 209.
[2]http://www.hukumsumberhukum.com/2014/05/hukum-materil-dan-hukum-formil.html di akses tanggal 13/09/2015
[3] A. Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Bandung : PT Refika Aditama, 2007), hlm. 9.
[4] Abdulkadir Muhammad,Hukum Perdata Indonesia,(Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 13.
[5] http://ilmuhukumuin-suka.blogspot.co.id/2013/05/pengertian-hukum-perdata.htmldiakses pada tanggal 13/09/2015
[6]Erlis Septiana nurbani,Perbandingan Hukum perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014),  hlm. 17.
[7]https://purnama110393.wordpress.com Diakses pada 13-09-15
[8]Sri Sudewei Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata dan Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty), hlm. 5.
[9]http://yosepaliyinsh.blogspot.co.id/2012/09/asas-asas-hukum-perdata.html diakses pada tanggal 13/09/2015
[10] Salim HS, Hukum Perdata Tertulis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 8-10.
[11] Titik Triwulan Tutik,Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 20-25.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......8
HK. PERDATA ISLAM DAN HK. PERDATA BARAT
A.    HukumAdat.
            Hukum adat sering kita kenal dimasyakat dengan sebutan kebiasaan, hukum adat yang ada di Indonesia sangatlah beragam mengingat daerah indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya dan agama yang saling berbeda. Hukum adat pertamakali diperkenalkan oleh C Snouck Hurgronje di Indonesia dari bahasa belanda yaitu “adatrecth” yang selanjutnya dipakai oleh Van Vollenhoven dengan istilah teknis yuridis. Istilah hukum adat baru muncul dalam perundang-undangan pada tahun 1980, yaitu dalam undang-undang belanda mengenai perguruan tinggi di negeri Belanda. Hukum adat mulai diperkanalkan sejak zaman belanda, hal ini terbukti dengan adanya pengendalian masyarakat aceh dengan hukum adat. Hal ini diperjelas dengan sebuah buku yang berjudul De Atjehers yang dikarang oleh Snouck. Hukum adat adalah hukum non statutair dimana sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam. Hukum adat memang tidak diberlakukan secara tertulis seperti halnya undang-undang, namun keberadaab hukum adat sendiri memang diakui sebagi suatu aturan yang berlaku didalam sebuah masyarakat tertentu dan dilindungi keberadaannya oleh undang-undang
[1]. Hukum adat ditemukan pertamakali oleh tiga orang yang berkebangsaan belanda yang dikenal dengan trio penemu hukum adat yaitu:
1. Penemu hukum adat yang pertama.
Ialah Wilken datang di Indonesia sebagai pegawai pangreh praja belanda mula-mula diburu, kemudian di Gorontalo dan minahasa barat, selanjutnya di sipirok dan mandailing. Di semua daerah itu ia membukukan segala sesuatu yang dilihatnya, seperti tentang hak hutan diburu, tentang hak tanah hakullah di sipirok. Pada wilken hukum adat itu merupakan suatu bahan mandiri, meskipun ia tetap memelihara hubunganya dengan kebiasaan dan religi rakyat. Karena Wilken memberi tempat tersendiri kepada hukum adat itu, maka ia tidak mencampur adukkan hukum agama dengan hukum penduduk asli yang di sana-sini menunjukkan penyimpangan karena unsur-unsur agama islam atau agama hindu.
2. Penemu hukum adat yang kedua.
Ialah Liefrinck menjalankan tugasnya di lapangan Hukum sebagai pegawai Pangreh Praja Belanda di Indonesia .Seperti halnya dengan Wilken,maka Liefrinck-pun memberi tempat tersendiri kepada Hukum Adat.Namun berbeda dengan Wilken,maka Liefrinck membatasi penyelidikannya hanya pada satu lingkungan Hukum Adat,yaitu Bali dan Lombok. Pada tahun 1927 tulisan-tulisan terpenting dari Liefrinck di kumpulkan oleh van Earde di dalam sebuah himpunan “Bali dan Lombok” dengan sub judul: “GESCHRIFTEN”.
3. Penemu hukum adat yang ketiga.
Ialah Snouck Hurgronje seorang sarjana sastra yang menjadi politkus. Pada tahun 1884-1885 ia mengembara di tanah Arab sebagai mahasiswa,di Mekkah ia bertemu dengan orang Indonesia (Aceh dan Jawa) sehingga ia mengenal hukum adat.Tahun 1891 ia dikirim ke Indonesia untuk mempelajari lembaga Isalam,selama di Indonesia ia menulis beberapa buku: tentang lembaga-lembaga kebudayaan di Sumatera bagian utara,”De Atjehers”,dan “Het Gajoland”.Karyanya itu mengagumkan dunia Ilmu,karena ia mengarangnya berdasarkan percakapan belaka dengan orang-orang yang berada di pedalaman,sedang daerah itu belum atau tidak di kunjunginya. Karya utamanya “De Atjhers” dan “Het Hajoland”,terkonsentrasi pada satu lingkungan hukum atau bagian dan tidak bersifat perbandingan untuk seluruh Nusantara[2].
B.     Sejarah politik hukum adat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...