MAKALAH PKN SEMESTER I
Dr. Euis srimulyani, MA.
R. 3.17
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirobbil alamin, segala puji bagi Allah tuhan semesta Alam,
dan sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Alam nabi
besar muhammad saw.
Pertama saya sangat
berterima kasih kepada dosen Mata kuliah PKN yaitu Dr. Euis srimulyani, MA yang
telah memberikan berbagai ilmunya selama awal perkuliahan 1 September 2016
sampai januari 6 Januari 2017
Alhamdulillah tulisan
ini penulis ketik dan bahan di kumpulkan 4 bulan lebih ini merupakan makalah
selama perkuliahan, semoga bermanfaat.
Penulis:
SYAHRUL RAMADHAN
(11160110000004)
Komplek Grand Puri Laras, Blok H. No. 94, Jln, Legoso raya,
Pisangan, ciputat, kota tanggerang selatan, banten.
Tanggal: Rabu, 7 Febuari 2018
Waktu: 05.46 WIB.
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2017
DAFTAR ISI
1.
Identitas nasional & Masyarakat Madani............................................................... 3
2.
Konstitusi & Rule Of Law................................................................................... 18
3.
Otonomi daerah.................................................................................................... 20
4.
UU & amandemen................................................................................................ 30
5.
Yudikatif, Eksekutif, Legislatif............................................................................ 34
6.
Sejarah MA, MK & KPK..................................................................................... 42
7.
Hukum Perdata..................................................................................................... 62
8.
Hukum Perdata Islam & Hukum Perdata Barat................................................... 69
9.
Hukum Tata Negara.............................................................................................. 84
10.
HTN, Politik & Politik Internasional.................................................................... 93
11.
Hukum & Politik Dalam Sistem Hukum Indonesia.............................................. 95
12.
Hukum pidana Islam........................................................................................... 103
13.
Hukum Pidana.................................................................................................... 107
Kelompok.........1
IDENTITAS NASIONAL DAN MASYARAKAT MADANI
A.
Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang berbudaya namun mampu
berinteraksi dengan dunia luar yang modern sehingga dapat terus berkembang dan
maju. Dalam masyarakat madani, setiap warganya menyadari dan mengerti akan
hak-haknya serta kewajibannya terhadap negara, bangsa dan agama. Masyarakat
madani sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang bermoral yang menjamin
keseimbangan antara kebebesan individu dan stabilitas masyarakat,dimana
masyarakat memiliki motivasi dan inisiatif individual. Masyakat madani
merupakan suatu masyarakat ideal yang didalamnya hidupmanusia-manusia
partisipan yang masing- masing diakui sebagai warga dengan kedudukan yang serba
serta dan sama dalam soal pembagian hak dan kewajiban. Istilah madani secara
umum dapat diartikan sebagai”adap atau beradap”
Masyarakat madani dapat didefenisikan sebagai suatu masyarakat yang
beradap dalam membangun, menjalani, dan memakai kehidupannya untuk dapat tata
masyarakat yang beradap dalam membangun kemerdekaan masyarakat.Masyarakat
madani di Indonesia memiliki banyak kesamaan istilah dan penyebutan, namun
memiliki karakter dan peran yang berbeda satu dari yang lainnya. Merujuk
sejarah perkembangan masyarakat sipil(civil society) di Barat,banyak ahli di
indonesia menggunakan istilah yang berbeda untuk maksud serupa: masyarakat yang
umumnya memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan lembaga Negara yang
dikenal dewasa ini. [1]
Di bawah ini beberapa istilah dan
penegas yang mengacu pada pengertian masyarakat sipil,sebagai mana yang
dirumuskan oleh Dawam Raharjo.
B.
Latar Belakang Masyarakat Madani
1.
Masyarakat madani muncul karena faktor-faktor:
a.
Adanya penguasa politik yang cenderung mendominasi (menguasai)
masyarakat dalam segala bidang agar patuh dan taat kepada penguasa.
b.
Tidak adanya keseimbangan
dan pembagian yang proposional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara
yang menyangkut aspek kehidupan.
c.
Adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu
kelompok masyarakat, karena secara esensial masyarakat memiliki hak yang sama
dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Masyarakat
diasumsikan sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan yang baik (bodoh)
dibandingkan dengan penguasa (pemerintah). Warganegara tidak mempunyai
kebebasan penuh untuk melaksanakan aktivitasnya. Sementara demokratis merupakan
satu entis yang menjadi penegak wacana masyarakat madani dalam menjalankan
kehidupan, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Adanya
usaha untuk membatasi ruang gerak dari masyarakat dalam kehidupan politik.
Keadaan ini sangat menyulitkan masyarakat untuk mengemukakan pendapat, karena
pada ruang publik yang bebaslah individu berada dalam posisi yang setara, dan
akan mampu melakukan transaksi-transaksi politik tanpa ada kekhawatiran.
Dalam
memasuki milenium III, tuntutan masyarakat madani di dalam negri oleh kaum
reformis yang anti setatus quo menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang
mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan
desentralistik, dengan partisipasi politik yang lebih besar, jujur, adil,
mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara,
berserikat dan berekspresi, menjamin hak ke milikan, dan menghormati hak-hak
asasi manusia.
C.
Karakteristik Dan Ciri-Ciri Masyarakat Madani.
1.
Karakteristik dalam masyarakat yang madani.
Free public sphere(ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat
memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, yaitu berhak dalam
menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan
informasikan kepada publik.
Demokratisasi,
yaitu proses dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya
dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Toleransi,
yaitu sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang
dilakukan oleh orang/kelompok lain.[1] Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat
yang majemuk disertai dengan sikap tulus.
Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan
pembagian antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap
lingkungannya. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang
benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak
lain. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya
keadilan. Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan
dan pendidikan. Sebagai advokasi bagi masyarakt yang teraniaya dan tidak
berdaya membela hak-hak dan kepentingan. Menjadi kelompok kepentingan atau
kelompok penekan.
Dan karateristik lainnya adalah sebagai berikut:
a.
Terintegrasinya individu-individu dan kelompok- kelompok
ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
b.
Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan- kepentingan yang mendominasi
dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan- kekuatan alternatif.
c.
Dilengkapinya program- program pembangunan yang didominasi oleh
negara dengan program- program pembangunan yang berbasis masyarakat
d.
Terjembataninya kepentingan- kepentingan individu dan negara karena
keanggotaan organisasi- organisasi volunter mampu memberikan masukan- masukan
terhadap keputusan- keputusan pemerintah.
e.
Tumbuh kembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh
rezim- rezim totaliter.
f.
Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga
individu- individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak
mementingkan diri sendiri.
Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga- lembaga
sosial dengan berbagai ragam perspektif. Masyarakat madani adalah sebuah
masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan
kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-
kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas- luasnya
bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program- program pembangunan di
Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang
hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah konsep yang cair yang
dibentuk dari proses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus.
Bila kita kaji, masyarakat di negara- negara maju yang sudah dapat dikatakan
sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa pra-syarat yang harus dipenuhi
untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya Democratic Governance
(pemerintahan demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan
democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil
security; civil responsibility dan civil resilience).
Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuan prasyarat
masyarakat madani sebagai berikut:
a.
Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam
masyarakat.
b.
Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial
(social capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-
tugas kehidupan dan terjalinnya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
c.
Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan
kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
d.
Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-
lembaga swadaya untuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan
bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
e.
Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya
sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
f.
Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-
lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan
sosial.
g.
Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan- jaringan
kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar
mereka secara teratur, terbuka dan terper. [2]
2.
Ciri-Ciri Masyarakat Madani
a.
Ketakwaan terhadap tuhan yang tinggi.
b.
Hidup berdasarkan sains dan teknologi.
c.
Berpendidikan tinggi.
d.
Mengamalkan nilai hidup moderen dan progresif.
e.
Mengamalkan nilai kewarganegaraan.
f.
Akhlak dan moral yang baik.
g.
Mempunyai pengaruh yang kuat dalam peroses membuat keputusan.
h.
Menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial,
politik dan lembaga masyarakat.
Masyakat madani tidak muncul dengan sendirinya,ia membutuhkan
unsur-unsur social yang menjadi persyaratan terwujudnya tatanan masyarakat
madani. Factor-factor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan
menjadi karakter khas masyarakat madani. Beberapa unsur pokok yang harus
dimiliki oleh masyarakat madani adalah wilayah public yang bebas(free public
sphere), demokrasi, toleransi,kemajemukan(pluralism), dan keadilan social.
D.
Institusi Penegakan Masyarakat Madani
Institusi Masyarakat madani adalah institusi (lembaga) yang
dibentuk atas dasar motivasi dan kesadaran penuh dari diri individu, kelompok,
dan masyarakat tanpa ada instruksi (perintah), baik yang bersifat resmi
(formal) dari pemerintah (negara) maupun dari individu, kelompok dan masyarakat
tertentu. Landasan pembentukan lembaga ini adalah idealisme perubahan kearah
kehidupan yang independen dan mandiri.
1.
Sifat atau karakteristik lembaga (institusi) masyarakat madani
adalah:
a.
Independen adalah bahwa negara ini memiliki sifat yang bebas
(netral) dari intervensi lembaga lain, baik lembaga pemerintah mauppun non
pemerintah.
b.
Mandiri, yaitu bahwa lembaga ini memiliki kemampuan dan kekuatan
untuk melaksanakan tugas dan fungsi lembaga, dengan tidak melibatkan pihak lain
diluar institusi.
c.
Swaorganisasi, yaitu bahwa pengelolaan dan pengendalian institusi
dilakukan secara swadaya oleh SDM lembaga.
d.
Transparan, yaitu bahwa dalam pengelolaan dan pengendalian
institussi dilakukan secara terbuka.
e.
Idealis, yaitu bahwa pengelolaan dan pengendalian, serta
pelaksanaan institusi diselenggarakan dengan nilai-nilai yang jujur, ikhlas dan
ditunjuk bagi kesejahteraan masyarakat banyak.
f.
Demokratis, yaitu bahwa institusi yang dibentuk, dikelol, serta
dikendalikan dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri.
g.
Disiplin, yaitu bahwa institusi dalam menjalankan tugas dan
fungsinya harus taat dan setia terhadap segenap peraturan perundangan yang
berlaku.
2.
Bentuk instansi masyarakat madani dapat diklasifikasikan dalam tiga
macam:
a.
Institusi (lembaga) Sosial, seperti:
1). Lembaga
Sosial.
2). Masyarakat
(LSM) dan partai politik.
3). Organisasi
kepemudaan, seperti KNPI, HMI, PMII, KAMMI.
4). Oganisasi
kemahasiswaan.
5). Oganisasi
kemasyarakatan, seperti MKGR, Kosgoro, SOKSI,
b.
Institusi (lembaga) Keagamaan. Institusi ini adalah institusi yang
dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat, untuk melakukan pengelolaan, dan
pengendalian program-program bagi pengembangan keagamaan. Bentuk institusi ini
meliputi, antara lain:
1). Institusi (lembaga) Keagamaan dalam Islam, seperti NU,
Muhammadiyah, MUI, ICM, dll.
2). Institusi
(lembaga) Keagamaan Kristen, seperti PGI.
3). Institusi
(lembaga) Keagamaan Budha, seperti Walubi.
4). Institusi
(lembaga) Keagamaan Hindu, seperti Parsida Hindu Darma.
5). Institusi
(lembaga) Keagamaan Katholik, seperti KWI.
c.
Institusi (lembaga) Paguyuban. Institusi ini adalah institusi yang
dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat untuk melakukan pengelolaan dan
pengendalian program-program bagi peningkatan kekerabatan /kekeluargaan, yang
berdasarkan daerah atau suku bangsa yang sama.[3]
E.
Masyarakat Madani dan Demokratisasi
Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi, menurut Dawam
bagaikan dua sisi mata uang, yang keduanya bersifat KO-eksistensi. Menurut
masyarakat madani merupakan “rumah” persemian demokrasi, perlembang
demokrasinya adalah pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Larry Diamond secara
sistematis menyebutkan enam kontribusi masyrakat madani terhadap proses
demokrasil:
1.
Menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan
moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat Negara.
2.
Pluraisme dalam masyarakat madani, bila diorganisir akan mejadi
dasar yang penting bagi persaingan demokrasi.
3.
Memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran
kewarganegaraan.
4.
Ikut menjaga stabilitas Negara.
5.
Tempat pimpinan politik.
6.
Menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya
rezim.
Untuk menciptakan masyarakat madani yang kuat dalam konteks
pertumbuhan dan perkembangan demokrasi diperlukan pembentukan Negara secara
grandual dengan suatu masyrakat politik yang demokratis partisipatoris,
reflektif dan dewasa yang mampu menjadi penyeimbang dan control atas
kecenderungan eksesif Negara. Dalam masyrakat madani warga Negara sebagai
pemilik kedaulatan dan hak untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan yang
mengatasnamakan rakyat, sehingga setiap individu dalam masyarakat madani
memiliki kesempatan untuk memperkuat kemandirian. Kemandirian dimaksudkan
adalah harus mampu direfleksikan dalam seluruh ruang kehidupan politik, ekonomi
dan budaya. Menurut M. Dawan Rahadjo ada beberapa asumsi yang berkembang:
1.
Demokratisasi bisa berkembang, apabila masyarakat madani menjadi
kuat baik melalui perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri,
2.
Demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan Negara
dikurangi atau dibatasi tanpa mengurangi efektivitas dan esensi melalui
interaksi,
F.
Menuju Masyarakat Madani Indonesia
Indonesia menuju masyarakat madani sudah ada
alatnya yaitu berupa UUD 1945, lambang Negara (bendera), bahasa
Indonesia, lagu kebangsaan, pancasila sebagai pemersatu ideologi dan juga
sebagai sarana untuk menjadikan indonesia menuju masyarakat yang madani yang
dicita-citakan oleh semua golongan dan tentunya sejalan dengan yang ditawarkan
Rosulllah SAW. Dalam piagam Madinahnya.[4]
Itu jika pemerintah secara sempurna menjalankan pancasila dengan
sejujurnya tanpa adanya manipulasi dalam menjalankanya, pasti keadilan sosial
bagi seluruh rakyat indonesia akan sesui dan akan merealisasikan masyarakat
yang bahagia sentosa dan menuju masyarakat madani yang sesungguhnya.
Disamping sebagai identitas Negara pancasila adalah falsafah Negara
yang menyatukan pemikiran seluruh rakyat Indonesia yang tidak didominasi oleh
salah satu pihak yang mayoritas saja, tapi pancasila mampu mengangkat dan
menghormati kaum minoritas yang ada. Banyak sekali manfaat dari pancasila itu
sendiri, disamping sebagai pilar Negara dia juga mampu menjadi tonggak
kemajemukan Indonesia yang sangat kaya dengan budaya. Disamping sebagai
pemersatu ideologi rakyat yang hidup didalamnya. Dengan keanekaragaman ideology
masing-masing. Walau bermacam-macam agama, tapi pancasila mampu merangkul
kesemuanya itu.
Banyak hal yang ditawarkan dalam penyusunan isi pancasila
diantaranya adalah rumusan yang ditawarkan Mr. Muhammad Yamin yang disampaikan
dalam pidato pada siding BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 adalah sebagai berikut :
1.
Peri kebangsaan;
2.
Peri kemanusiaan;
3.
Peri ketuhanan;
4.
Peri kerakyatan
5.
Kesejahteraan rakrat.
Kemudian pada masa yang sama hari itu juga, Mr. Muhammad Yamin
menyampaikan rancangan preambule UUD. Didalamnya tercantum lima
landasan dasar Negara, yaitu:
1.
Ketuhanan yang maha esa;
2.
Kebangsaan persatuan indonesia;
3.
Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab;
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5.
Keadilan social bagi seluruh rakyat indonesia.
Sedangkan rumusan pancasila dalam piagam Jakarta tanggal 22 juni
1945 adalah :
1.
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluknya.
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3.
Persatuaan indonesia;
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan; dan
5.
Keadilan social bagi seluruh rakyat indonesia.
Kemudian Ir. Soekarno dalam siding BPUPKI pada tanggal 1 juni 1945
mengusulkan adanya lima dasar Negara, yaitu:
1.
Kebangsaan indonesia;
2.
Internasionalisme dan perikemanusiaan;
3.
Kebangsaan;
4.
Kesejahteraan social;
5.
Ketuhanan yang bekebudayaan.
Rumusan dalam preambule UUD ( konstitusi) RIS yang penah belaku
pada tanggal 29 Desember 1945 sampai 16 Agustus 1950 adalah :
1.
Ketuhanan yang Maha Esa;
2.
Peri kemanusiaan;
3.
Persatuan Indonesia;
4.
Kedaulatan rakyat;
5.
Keadilan sosial.
Pada akhirnya tersusunlah rumusan Pancasila seperti yang terdapat
dalam pembukaan UUD 1945, yaitu :
1.
Ketuhanan yang Maha Esa;
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3.
Persatuan Indonesia;
4.
Kerakyatanbyang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan
perwakilan;
5.
Keadilah sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila tidak perlu direduksi menjadi slogan sehingga seolah
tampak nyata dan personalistik. Slogan seperti “Membela Pancasila Sampai Mati”
atau “Dengan Pancasila Kita Tegakkan Keadilan” menjadikan Pancasila seolah
dikepung ancaman dramatis atau lebih buruk lagi, hanya dianggap sebatas
instrumen tujuan. Akibatnya, kekecewaan bisa mudah mencuat jika slogan-slogan
itu tidak menjadi pantulan realitas kehidupan masyarakat.
Pancasila, konstitusi (UUD 45), ke-Bhineka Tunggal Ika-an, serta
Demokrasi jika dijalankan secara utuh oleh wakil rakyat dan masyarakat secara nyata,
pasti akan menjadikan Indonesia menuju masyarkat madani yang seutuhnya. Dengan
rasa aman, nyaman, penuh semangat, penuh toleransi, tenggang rasa, keadilan,
kesejahteraan, kesatuan, sosial,dan juga ke-Tuhanan yang semua telah hadir
dalam kontitusi yang telah tersusun dengan rapi di negara kita. Sebagai pembeda
dan sebagai identitas negara indonesia adalah pancasila sebagai falsafah negara
dan juga identitas negara serta adanya demokrasi pancasila sebagai penunjang
semua masyrakat tuk menuju keragaman yang sejatinya adalah satu yaitu bergelar
Bhineka Tunggal Ika sebagai wujud masyarakat madani di Indonesi.
Menurut Dawan ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan
sebagai strategi dalam memberdayakan masyrakat madani Indonesia, yaitu:
1.
Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik.
Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung
dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang
kuat.
2.
Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik
demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun ekonomi.
G.
Pancasila, Demokrasi dan Masyarakat Madani
Merelevansikan dan menyinkronisasikan antara Pancasila dan aspek
pengaktualisasiannya, demokrasi, HAM, serta Masyarakat Madani, maka dapat
dianalogikan seperti sebuah kesatuan makhluk hidup dalam lingkup kawasan
simbiosis mutualisme yang menghasilkan adanya sikap saling membutuhkan tanpa
ada yang dirugikan. Keempat unsur dalam perspektif kewarganegaraan ini menjadi
suatu kajian teoritis dan aplikatif yang adanya harus ditopang dengan latar
kekuatan unsur lainnya (force background). Pancasila sebagai dasar fundamental
dari falsafah negeri ini ditempatkan sebagai tonggak yang melindungi dan
mengawasi terbentuk dan stabilnya aktualisasi dari demokrasi, hak asasi, dan
terciptanya masyarakat yang madani.
Menelisik ke sisi lain, munculnya era reformasi pada 1998 sebenarnya
memberikan harapan baru bagi seluruh aspek kemajuan Indonesia. Memberikan
harapan baru bagi sikap pengaktualisasian Pancasila sebagai landasan dasar
negara. Memberikan hal baru bagi kemajuan sikap paham akan konstitusi,
demokrasi, dan penerapan hak asasi yang berlandaskan pada nilai-nilai sosial
yang aktif dan reaktif. Mencermati hal ini, revitalisasi dan substansilisasi
Pancasila, demokrasi, dan hak asasi diharuskan untuk berjalan dengan baik dan
dapat saling terkait serta terjadi menyeluruh di negeri ini.
Aktualisasi selayaknya ditempatkan pada posisi utama melihat
dinamika masyarakat yang kian cepat, perilaku penyimpangan paham demokrasi yang
kian gesit, hak asasi manusia yang dipandang sempit, serta masyarakat madani
yang selalu morat-marit. Pancasila melahirkan jiwa-jiwa yang kritis dan
demokratis. Menjadikan Pancasila sebagai substansi fundamentalis yang bersifat
yuridis, mampu menjawab segala bentuk perbedaan yang mendasar yang saat ini
masih terjadi.
Seperti diketahui, masalah hak asasi manusia serta perlindungan
terhadapnya merupakan bagian penting dari aktualisasi Pancasila dan demokrasi
serta penting untuk terwujudnya masyarakat yang madani. Dengan meluasnya konsep
dalam konteks globalisasi dewasa ini, masalah hak asasi manusia menjadi isu
yang hangat dibicarakan di hampir semua belahan dunia. Sebenarnya sudah dari
dulu masalah ini dikenal di kawasan dunia, tetapi yang paling banyak sumber
tertulisnya—dengan demikian lebih terkenal—ialah negara-negara Barat. HAM itu
sendiri berdiri karena adanya pemahaman akan nilai-nilai kebebasan berpendapat
dan berekspresi yang termaktub di dalam Pancasila dan nilai-nilai demokrasi.
Hak asasi yang ditekankan dalam nilai-nilai tersebut ialah hak yang dibatasi
dengan kebebasan orang lain, adanya batasan konstitusi, dan sesuai dengan
kultural serta cita-cita kemajuan bangsa.
Pengaktualisasian Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara yang
sangat kurang kini dilatarbelakangi oleh lunturnya toleransi dan pengaplikasian
nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia lewat prinsip toleran dan saling
menghargai pada diri masyarakat. Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan
adanya keterkaitan besar antara sejumlah elemen nilai di atas. Hanya
teori-teori berbentuk retorika dan wacana yang kian hari kian menjadi kebiasaan
di masyarakat umumnya. Perlu tindakan realistis dan efektif antar kalangan
untuk mengondisikan persepsi dan tujuan nasional ini.
Aktualisasi Pancasila seharusnya dilaksanakan secara bertahap,
dengan pengawalan pengenalan ide-ide Pancasila, pemahaman hak asasi manusia,
semangat perwujudan masyarakat madani, pembudayaan Pancasila dan demokrasi,
hingga sampai dengan tataran praksis yang mengedepankan aspek-aspek
implementasi nilai Pancasila itu sendiri. Tahapan ini hendaknya dikaji dan
dilakukan secara empiris dan sistematis sehingga pemahaman dan implikasi
terhadap filosofi Pancasila dan tiga elemen yang lain sehingga dapat termaktub
di dalam diri kita masing-masing.
Pancasila dan semangat untuk mewujudkan masyarakat madani lahir
dengan sejarah historis yang luar biasa. Lahir akibat dari kesepakatan bersama
demi terciptanya negara Indonesia yang berdaulat. Lewat para tokoh-tokoh
perjuangan nasional yang mengerahkan jiwa raganya hanya karena bangsa ini,
mengungkapkan seluruh kajian teorinya, pandangan ke depan, dan visi yang jelas
negeri ini dibangun sedemikian rupa. Tak mudah untuk bisa menyatukan pemikiran
dan idealis dari seluruh kepala manusia di negeri ini. Pelajaran yang mestinya
diambil bahwa negeri ini telah mampu menghadirkan sejarah sikap toleran dan
kesabaran yang tinggi lewat tenggang rasa dengan tidak memaksakan idealisme
demi kepentingan individu maupun komunal saja.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang diwarnai atau dijiwai
oleh Pancasila, bahkan salah satu sila dari Pancasila, yaitu sila “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”,
merupakan perumusan yang singkat dari demokrasi Pancasila yang
dimaksudPemahaman ini seharusnya ditanam dengan baik pada diri seluruh
masyarakat negeri dalam penyatuan prinsip dari nilai demokrasi dan aktualisasi
Pancasila.
Demokrasi Pancasila berarti demokrasi, kedaulatan Rakyat yang
dijiwai dan disintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini berarti dalam
menggunakan hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai dengan rasa tanggung
jawab kepada Tuhan yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing,
haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesusatu dengan martabat dan
harkat manusia, haruslah menjamin dan mempersatukan bangsa, dan harys
dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Demokrasi Pancasila berpangkal
tolak dari paham kekeluargaan dan gotong-royong.
Kondisi objek negeri besar yang bernama Indonesia ini sesungguhnya
amat rentan. Memang, Indonesia adalah negara besar, berbeda dengan negara lain
yang mana pun. Ini perlu Merelevansikan dan menyinkronisasikan antara Pancasila
dan aspek pengaktualisasiannya, demokrasi, HAM, serta Masyarakat Madani, maka
dapat dianalogikan seperti sebuah kesatuan makhluk hidup dalam lingkup kawasan
simbiosis mutualisme yang menghasilkan adanya sikap saling membutuhkan tanpa
ada yang dirugikan. Keempat unsur dalam perspektif kewarganegaraan ini menjadi
suatu kajian teoritis dan aplikatif yang adanya harus ditopang dengan latar
kekuatan unsur lainnya (force background). Pancasila sebagai dasar fundamental
dari falsafah negeri ini ditempatkan sebagai tonggak yang melindungi dan
mengawasi terbentuk dan stabilnya aktualisasi dari demokrasi, hak asasi, dan
terciptanya masyarakat yang madani.
Menelisik ke sisi lain, munculnya era reformasi pada 1998
sebenarnya memberikan harapan baru bagi seluruh aspek kemajuan Indonesia.
Memberikan harapan baru bagi sikap pengaktualisasian Pancasila sebagai landasan
dasar negara. Memberikan hal baru bagi kemajuan sikap paham akan konstitusi, demokrasi,
dan penerapan hak asasi yang berlandaskan pada nilai-nilai sosial yang aktif
dan reaktif.
Mencermati hal ini, revitalisasi dan substansilisasi Pancasila,
demokrasi, dan hak asasi diharuskan untuk berjalan dengan baik dan dapat saling
terkait serta terjadi menyeluruh di negeri ini. Aktualisasi selayaknya
ditempatkan pada posisi utama melihat dinamika masyarakat yang kian cepat,
perilaku penyimpangan paham demokrasi yang kian gesit, hak asasi manusia yang
dipandang sempit, serta masyarakat madani yang selalu morat-marit. Pancasila
melahirkan jiwa-jiwa yang kritis dan demokratis.
Menjadikan Pancasila sebagai substansi fundamentalis yang bersifat
yuridis, mampu menjawab segala bentuk perbedaan yang mendasar yang saat ini
masih terjadi. Seperti diketahui, masalah hak asasi manusia serta perlindungan
terhadapnya merupakan bagian penting dari aktualisasi Pancasila dan demokrasi
serta penting untuk terwujudnya masyarakat yang madani.
Dengan meluasnya konsep dalam konteks globalisasi dewasa ini,
masalah hak asasi manusia menjadi isu yang hangat dibicarakan di hampir semua
belahan dunia. Sebenarnya sudah dari dulu masalah ini dikenal di kawasan dunia,
tetapi yang paling banyak sumber tertulisnya—dengan demikian lebih
terkenal—ialah negara-negara Barat. HAM itu sendiri berdiri karena adanya
pemahaman akan nilai-nilai kebebasan berpendapat dan berekspresi yang termaktub
di dalam Pancasila dan nilai-nilai demokrasi. Hak asasi yang ditekankan dalam
nilai-nilai tersebut ialah hak yang dibatasi dengan kebebasan orang lain,
adanya batasan konstitusi, dan sesuai dengan kultural serta cita-cita kemajuan
bangsa.
Pengaktualisasian Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara yang
sangat kurang kini dilatarbelakangi oleh lunturnya toleransi dan pengaplikasian
nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia lewat prinsip toleran dan saling
menghargai pada diri masyarakat. Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan
adanya keterkaitan besar antara sejumlah elemen nilai di atas. Hanya
teori-teori berbentuk retorika dan wacana yang kian hari kian menjadi kebiasaan
di masyarakat umumnya. Perlu tindakan realistis dan efektif antar kalangan
untuk mengondisikan persepsi dan tujuan nasional ini.
Aktualisasi Pancasila seharusnya dilaksanakan secara bertahap,
dengan pengawalan pengenalan ide-ide Pancasila, pemahaman hak asasi manusia,
semangat perwujudan masyarakat madani, pembudayaan Pancasila dan demokrasi,
hingga sampai dengan tataran praksis yang mengedepankan aspek-aspek
implementasi nilai Pancasila itu sendiri.
Tahapan ini hendaknya dikaji dan dilakukan secara empiris dan
sistematis sehingga pemahaman dan implikasi terhadap filosofi Pancasila dan
tiga elemen yang lain sehingga dapat termaktub di dalam diri kita
masing-masing. Pancasila dan semangat untuk mewujudkan masyarakat madani lahir dengan
sejarah historis yang luar biasa. Lahir akibat dari kesepakatan bersama demi
terciptanya negara Indonesia yang berdaulat. Lewat para tokoh-tokoh perjuangan
nasional yang mengerahkan jiwa raganya hanya karena bangsa ini, mengungkapkan
seluruh kajian teorinya, pandangan ke depan, dan visi yang jelas negeri ini
dibangun sedemikian rupa. Tak mudah untuk bisa menyatukan pemikiran dan idealis
dari seluruh kepala manusia di negeri ini. Pelajaran yang mestinya diambil
bahwa negeri ini telah mampu menghadirkan sejarah sikap toleran dan kesabaran
yang tinggi lewat tenggang rasa dengan tidak memaksakan idealisme demi
kepentingan individu maupun komunal saja.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang diwarnai atau dijiwai
oleh Pancasila, bahkan salah satu sila dari Pancasila, yaitu sila “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”,
merupakan perumusan yang singkat dari demokrasi Pancasila yang
dimaksudPemahaman ini seharusnya ditanam dengan baik pada diri seluruh
masyarakat negeri dalam penyatuan prinsip dari nilai demokrasi dan aktualisasi
Pancasila.
Demokrasi Pancasila berarti demokrasi, kedaulatan Rakyat yang
dijiwai dan disintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini berarti dalam
menggunakan hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai dengan rasa tanggung
jawab kepada Tuhan yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing,
haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesusatu dengan martabat dan
harkat manusia, haruslah menjamin dan mempersatukan bangsa, dan harus
Merelevansikan dan menyinkronisasikan antara Pancasila dan aspek
pengaktualisasiannya, demokrasi, HAM, serta Masyarakat Madani, maka dapat
dianalogikan seperti sebuah kesatuan makhluk hidup dalam lingkup kawasan
simbiosis mutualisme yang menghasilkan adanya sikap saling membutuhkan tanpa
ada yang dirugikan.
Keempat unsur dalam perspektif kewarganegaraan ini menjadi suatu
kajian teoritis dan aplikatif yang adanya harus ditopang dengan latar kekuatan
unsur lainnya (force background). Pancasila sebagai dasar fundamental dari
falsafah negeri ini ditempatkan sebagai tonggak yang melindungi dan mengawasi
terbentuk dan stabilnya aktualisasi dari demokrasi, hak asasi, dan terciptanya
masyarakat yang madani.
Menelisik ke sisi lain, munculnya era reformasi pada 1998
sebenarnya memberikan harapan baru bagi seluruh aspek kemajuan Indonesia.
Memberikan harapan baru bagi sikap pengaktualisasian Pancasila sebagai landasan
dasar negara. Memberikan hal baru bagi kemajuan sikap paham akan konstitusi,
demokrasi, dan penerapan hak asasi yang berlandaskan pada nilai-nilai sosial
yang aktif dan reaktif.
Mencermati hal ini, revitalisasi dan substansilisasi Pancasila,
demokrasi, dan hak asasi diharuskan untuk berjalan dengan baik dan dapat saling
terkait serta terjadi menyeluruh di negeri ini.
Aktualisasi selayaknya ditempatkan
pada posisi utama melihat dinamika masyarakat yang kian cepat, perilaku
penyimpangan paham demokrasi yang kian gesit, hak asasi manusia yang dipandang
sempit, serta masyarakat madani yang selalu morat-marit. Pancasila melahirkan
jiwa-jiwa yang kritis dan demokratis. Menjadikan Pancasila sebagai substansi
fundamentalis.[6]
H.
Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani (Civil Society).
Filsuf yunani Aristoteles(384-322) yang memandang civil society
(masyarakat sipil) sebagai system kenegaraan atau identik dengan Negara itu
sendiri.pandangan ini merupakan fase pertama sejarah wacana civil
society.pandangan ini telah berubah sama sekali dengan rumusan civil society
yang berkembang dewasa ini,yakni masyarakat sipil diluar dan penyeimbang
lembaga Negara pandangan Aristoteles ini selanjut nya dikembangkan oleh marcus
tulius.
Pada masa Aristoteles, civil society dipahami sebagai system
kenegaraan dengan mengunakan istilah koiinonia polotike, yakni sebuah
komunikasi politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai
percaturan ekonomi politik dan mengambilan keputusan.istilah ekomoni politike
yang dikemukakan oleh Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah
masyarakat politis dan etis di mana warga Negara di dalamnya berkedudukan sama
di depan hukum.hukum sendiri dianggap etos,yakni seperangkat nilai
yang di sepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik,tetapi juga
sebagai substansi dasar kebijakan dari berbagai bentuk interaksi diantara warga
Negara. Fase kedua,pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil
society dengan konteks social dan politik di skotlandia. Berbea dengan pendahulu
nya, ferguson lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan
social.pemahaman ini lahir tidak lepas dari pengaruh revolusi industry dan
melahirkan ketimpangan social yang mencolok.
Menurut furguson,ketimpangan social akibat kapitalisme harus
dihilangkan. Ia yakin bahwa public secara alamiah memiliki spirit solidaritas
social dan sentrimental moral yang dapan menghalangi munculnya kembali
despotisme. Fase ketiga, pada 1792 thomas paine meyakini civil
society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga dengan lembaga
Negara,bahkan ia dianggap sebagai antitetis sesuatu Negara.
Menurut Paine terdapat batas-batas wilayah otonomi masyarakat
sehingga nefara tidak di perkenankan memasuki wilayah sipil.dengan demikian,
menurutnya civil society adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan
kepribadian dan member peluang bagi pemuasaan kepentingannya secara bebas tanpa
paksaan. Fase keempat, G,W,F Hegel,berpendapat bahwa masyarakat sipil
tidaklah dianggap sebagai tindakan melanggar hukum.menurut hegel, masyarakat
sipil hanya merupakan dua komponen yang saling memperkuat satu sama lain.[7]
I.
Masyarakat Madani Di Indonesia (Paradigma dan Praktik)
Indonesia memiliki tradisi kuat civil society( masyarakat madani).
Bahkan jauh sebelum negara bangsa berdiri, masyarakat sipil telah berkembang
pesat yang dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Selain berperan sebagai
organisasi perjuangan penegakan HAM dan perlawanan terhadap kekuasaan
colonial,organisi berbasis islam ( SI ), Nahdlatul Ulama( NU ),dan Muhamadiyah,
telah menunjukan kiprahnya sebagai komponen civil society yang paling penting
dalam perkembangan sejarah masyarakat sipil di Indonesia. Sifat kemandirian dan
kesukarelaan para pengurus dan anggota organisasi tersebut merupakan khas
sejarah masyarakat madani diindonesia. Tedapat beberapa strategi yang
ditawarkan ahli tentang bagaimana seharusnya bangunan masyarakat madani bisa
terwujud di Indonesia.
1.
Pandangan integrasi nasional dan politik. Pandangan ini menyatakan
bahwa system demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam kenyataan hidup
sehari-hari dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan
bernegara yang kuat. Bagi pengikut pandangan ini praktik demokrasi ala barat
(demokrasi liberal) hanya akan berakibat konflik antara sesama warga bangsa
baik social maupun politik.
2.
Pandangan reformasi system politik demokrasi, yakni pandangan yang
menekan kan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah terlalu tergantung pada
pembangunan ekonomi. Dalam tataran ini, pembangunan industri- industri politik
yang demokratis lebih diutamakan oleh Negara darp pada pembangunan ekonomi.
3.
,paradikma membangun masyarakat madani sebagai basis utama pembangun
demokrasi. Pandangan ini merupakan paradigma alternatif diantara dua pandangan
yang pertama di anggap gagal dalam pembangunan demokrasi. Berbeda dua pandangan
pertama, pandangan ini lebih menekan kan proses pendidikan dan penyadaran
politik warga negara khususnya kalangan menengah.[8]
Berdasarkan ketiga paradigm diatas pengembang demokrasi dan
masyarakat madani selayaknya tidak hanya tergantung pada salah satu pandangan
tersebut. Sebaiknya,untuk mewujutkan masyarakat madani yang seimbangan dengan
kekuatan negara dibutuhkan gabungan kekuatan antara starategi dan paradigma.
Tentang masyarakat madani diindonesia, menurut Raharjo masih merupakan lembaga-lembaga
yang dihasilkan oleh system politik represif. Cirri kritisnya lebih menonjol
dari pada cirri konstruktifnya. Mereka hanya lebih banyak melakukan protes dari
pada mengajukan solusi, lebih banak menuntut dari pada memberikan sumbangan
terhadap pemecah masalah.
J.
Gerakan Sosial Untuk Memperkuat Masyarakat Madani.
Keberadaan masyarakat madani tidak terlepas dari peran gerakan
social. Gerakan social dapat dipadankan dengan perubahan social atau masyarakat
sipil yang didasari oleh pembagian tiga ranah yaitu negara (state ),perusahan
atau pasar ( coporation atau market ), dan masyarakat sipil. Berdasarkan
pembagian ini,maka terdapat gerakan politik yang berada di ranah negara dan
gerakan ekonomi diranah ekonomi. Pembagian ini telah dibahas jugak oleh Sidney tarrow yang
melihat political parties berkaitan dengan gerakan politik, yakni
sebagai upaya perebutan dan penguasaan jabatan politik oleh pertain politik
melalui pemilu.sementara itu,gerakan ekonomi berkaitan dengan lobbydimana
terdapat upaya melakukan perubahan kebijakan public tanpa harus munduduki
jabatan public tersebut.
Selain itu, perbedaan ketiga ranah tersebut dibahas jugak oleh
Habermas yang melihat gerakan social merupakan resistensi rogresif terhadap
invasi negara dan system ekonomi. Jadi,salah satu factor yang membedakan ketiga
gerakan tersebut adalah actornya, yakni parpol diranah politik, lobbyisdan
perusahaan di ekonomi ( pasar ) dan organisasi masarakat sipil atau kelompok
social diranah masyarakat sipil.
Berdasarkan pemetaan diatas, secara empiris ketiganya dapat saling
sinergi. Pada ranah negara ( state ) dapat terjadi beberapa gerakan politik
yang dilakukan oleh parpol dalam pemilu yang mengusung masalah yang jugak
didukung oleh gerakan social. Sebagai contoh gerakan social oleh masyarakat
sipil seperti mereka yang pro atau anti rancangan undang- undang anti ornografi
dan pornoaksi (RUU APP ) mempunyai kaitan dengan kelompok atau parpol diranah
politik maupun kelompok bisnis pada sisi yang lain.
Selain definisi gerakan social yang beradadi ranah masyarakat sipil
maka para actor atau kelompok yang terlibat pun perlu diperjelas pengertian dan
cakupannya. Selama ini ada yang memandang bahwa organisasi nonpemerintah ( NGO
) atau LSM merupakan satu- satunya wakil atau penjelmaan masyarakat sipil.
Namun, sebenarnya organisasi nonpemerintah hanya merupakan salah satu dari
organisasi masyarakat sipil yang berdamping dengan organisasi massa,organisasi
profesi,media,lembaga pendidik dan lembaga lain yang tidak termasuk pada ranah
politik dan ekonomi.
K.
Organisasi nonpemerintah dalam ranah masyarakat madani
Istilah organisasi nonpemerintah adalah terjemahan harfiah NGO (
non-govermental organization ) yang telah lama dikenal dalam pergaulan
internasional. Dalam arti umum, pengertian organisasi nonpemerintah mencakup
semua organisasi masyarakat yang berada diluar stuktur dan formal pemerintah,
dan tidak dibentuk oleh atau merupakan bagian dari birokrasi pemerintah. Karena
cakupan engertiannya yang luas, penggunaan istilah organisasi
nonpemerintah,sering membingungkan dan juga mengaburkan pengertian atau kelmpok
masyarakat yang semata-mata bergerak dalam rangka pembagunan social-ekonomi
masyarakat tingkat bawah.
Istilah organisasi nonpemerintah bagi merekayang tidak setuju
memakai istilah ini berpotensi memunculkan pengertian tidak menguntungkan.
Pemerintahan khususnya menolak menggunakan istilah itu dengan alas an makna
organisasi nonpeme-rintahan terkesan”memperhadap kan” serta seolah-olah” oposan
pemerintah.” Pengertian organisasi nonpemerintah kemasyarakat lainnya yang
bersifat nonpemerintah. Didalamnya bisa termasuk serikat pekerja,kaum buruh
himpunan para petani atau nelayan, rukun tetangga, rukun warga, yayasan social
,lembaga keagamaan, klub olahraga,perkumpulan mahasiswa, organisasi
profesi,partai politik, ataupun asosiasi bisnis swasta. LP3ES mendapatkan
organisasi nonpemerintah sebagai organisasi atau kelompok dalam masyarakat yang
secara hukum bukan merupakanbagian dari pemerinta ( non-goverment )
Dan berkerja tidak untuk mencari keuntungan ( non-profit ), tidak
untuk melayani diri sendiri atau anggota- anggota ( self-serving ), tetapi
untuk melayani kepentingan masyarakat yang membutuhkannya. Sosok organisasi
nonpemerintah dalam pengertian riil sebagai gerakan terorganisasi dapat
mengambil berbagai bentuk. Ada yang berbadan hukum pengumpulan atau perhimpunan
atau yayasan, ada juga yang tidak berbadan hukum. Bahkan ada yang bersifat
sementara seperti “forum”,aliansi,”konsorsium,”asosiasi,” jaringan
,”solidaritas, dan lain-lain. [9]
FOOTNOTE
[1] Azyumardi, Azra. Demokrasi, Hak
Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Tim ICCE UIN. Hal. 77
[1] Saepuloh,
Aef & Tarsono.. Modul Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Islam. Bandung: BATIC PRESS Bandung.hal 123
[2] Gatara, Asep S. Pamudji, Demokrasi, Pancasila, dan Ketahanan
Nasional Suatu Analisa di Bidang Politik dan Pemerintahan,(Jakarta: Bina
Aksara, 1985), hlm. 7.
[3] Sahid & Sofian, Subhan. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan
(civic education). Bandung:focus media.hal 78
[4] pidato kenegaraan presiden soeharto,tanggal 16 agustus
1967,termuat dalam buku pandangan soeharto. Hal 22-25
[5] Daden,M Ridwan,dan Nurjulianti,dewi, pembangunan masyarakat
madani dan tantanggan demokratisasi di Indonesia,cetakan ke1 jakarta:LSAF, hal 90-93
[6] Ruharjo, M.Dawan, 1999,masyarakat madani:agama kelas
menengah dan perubahan social cetakan 1 jakarta:LP3ES
[7] Usman, Widodo,dkk,ed,2000,membongkar mitos masyarakat
madani, cetakan ke1 yogyakarta,pustaka pelajar.
[9] Nurcholish Majid, Asas-asas Pluralisme dan toleransi dalam
mastarakat madani, bandung-ppim Jakarta-theasia foundation. Hal. 50-56
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.......2
KOSNTITUSI DAN RULE OF LAW
A.
Konstitusi.
1.
Penegertian konstitusi.
Para ahli memiliki pandangan yang bervariasi mengenai “konstitusi”
dan “Undang-Undang Dasar”. Ada yang berpendapat sama, tetapi ada juga yang
berpendapat berbeda. Kata konstitusi secara etimologis berasal dari bahasa
latin (constitutio), constitution (inggris), constituer (Prancis), constitutie
(Belanda), dan konstitution (Jerman). Dalam pengertian ketatanegaraan, istilah
konstitusi mengandung arti undang-undang dasar, hukum dasar atau susunan
badan. [2]
Suatu konstitusi menggambarkan seluruh sistem ketatanegaraan suatu
negara, yaitu berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau
memerintah negara. Peraturan peraturan tersebut ada yang berbentuk tertulis
sebagai keputusan badan yang berwenang, ada pula yang bersumber dari peraturan
yang tidak tertulis seperti norma, kebiasaan, adat istiadat, dan konvensi
masyarakat. Khusus untuk konvensi, meskipun peraturan tersebut tidak tertulis.,
namun bukan berarti tidak efektif dalam mengatur kehidupan negara.
Dalam perkembangan politik dan ketatanegaraan, istilah konstitusi
mempunyai 2 pengertian sebagai berikut:
a.
Dalam pengertian luas, “konstitusi” berarti keseluruhan dari
ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar (droit constitunelle). Konstitusi
seperti halnya hukum, ada yang dalam bentuk dokumen tertulis, atau juga berupa
campuran dari dua unsur tersebut. Pelopornya adalah Bolingbroke.
b.
Dalam pengertian sempit (terbatas), “konstitusi” berarti piagam
dasar atau undang-undang dasar (loiconstitunelle), yaitu suatu dokumen lengkap
mengenai peraturan-peraturan dasar negara; contoh, UUD 1945. Jadi, konstitusi
dalam arti sempit, merupakan sebagai satu dokumen tertulis yang lengkap.
2.
Subtansi Konstitusi Negara
Subtansi berarti isi, dapat dibedakan antara konstitusi tertulis
dan konstitusi tidak tertulis. Suatu konstitusi disebut tertulis bila merupakan
satu naskah (documentary constitution), sedangkan konstitusi tak tertulis tidak
merupakan satu naskah (non-documentary contitution) dan banyak dipengaruhi oleh
tradisi dan konvensi. Contoh, negara Inggris yang konstitusi hanya merupakan
kumpulan-kumpulan dokumen.
Konstitusi atau hukum dasar, dapat pula dibedakan antara Hukum
Dasar Tertulis (written constitution), yaitu Undang-Undang Dasar dan Hukum
Dasar Tidak Tertulis (unwritten constitusion) , yaitu konvensi. Salah satu
contoh konvensi di Indonesia adalah pelaksanaan Pidato Kenegaraan Presiden
menjelang peringatan Proklamasi 17 Agustus.[3]
3.
Kedudukan Konstitusi NKRI
Pembukaan UUD 1945 telah memenuhi syarat sebagai pokok kaidah
negara yang fundamental karena vitalnya kedudukan pembukaan UUD 1945 itu
sendiri. Rumusan kata dan kalimat yang terkandung didalamnya tidak boleh diubah
oleh siapapun, termasuk MPR hasil pemilu. Pengubahan Pembukaan UUD 1945 berarti
pengubahan esensi cita moral dan cita hukum yang ingin diwujudkan dan
ditegakkan oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian, dalam hubungannya dengan
pasal-pasal UUD 1945( Batang Tubuh UUD 1945), pembukaan UUD 1945 mempunyai
kedudukan sebagai berikut:
a. Dalam hubungan dengan
tertib hukum Indonesia, Pembukaan UUD 1945 mempunyai kedudukan terpisah dari
Batang Tubuh UUD 1945. Dalam kedudukan sebagai pokok kaidah negara yang
fundamental, pembukaan UUD 1945 mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada
Batang Tubuh UUD 1945.
b. Pembukaan UUD 1945 merupakan
tertib hukum tertinggi dan mempunyai kedudukan lebih tinggi dan terpisah dari
Batang Tubuh UUD 1945.
c. Pembukaan merupakan
pokok kaidah negara yang fundamental yang menentukan adanya UUD negara; jadi,
ia merupakan sumber hukum dasar.
d. Pembukaan UUD 1945 yang
berkedudukan sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, mengandung
pokok-pokok pikiran yang harus diciptakan atau diwujudkan dalam pasal-pasal UUD
1945.[4]
B.
Kesimpulan
Dasar negara merupakan pedoman pokok dalam mengatur kehidupan
penyelenggaraan negara yang mencakup bidang kehidupan ekonomi, politik,
sosial-budaya, dan pertahanan keamanan. Pengetian konstitusi antara suatu tokoh
dengan tokoh yang lain terdapat perbedaan. Namun demikian, ada kesamaan
pandangan yang disepakati bahwa konstitusi memuat garis-garis besar dan asas
tentang organisasi suatu negara.
Sifat konstitusi ada yang flexsibel dan ada juga yang rigid (kaku).
Sedangkan fungsi pokok konstitusi adalah untuk membatasi kekuasaan pemerintah
dalam dengan penyelenggaraan kekuasaan negara. Cara pembentukan konstitusi
adalah dengan pemberian, sengaja dibentuk, dan cara evolusi. Sedangkan untuk
mengubah konstitusi, dapat dilakukan melalui badan legislasi, referendum, dan
dibentuknya badan khusus.
Pembukaan UUD 1945 bagi bangsa Indonesia merupakan sumber motivasi
dan aspirasi serta cita hukum. Pembukaan UUD 1945 selain memiliki makna dalam
setiap alenianya, juga pokok-pokok pikiran yang akan dijelmakan kedalam Batang
Tubuh UUD 1945. Pokok-pokok pikiran yang terkandung didalam pembukaan UUD 1945,
pada hakekatnya merupakan pancaran dari dasar falsafah negara Pancasila.
FOOTNOTE
[1] Budiyanto,
Pendidikan Kewarganegaraan kls X, Erlangga, Jakarta, 2006 hal 96
[2] Opcit, hal
97
[3] Opcit, hal
98
[4] Opcit, hal
101, 102
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok........3
OTONOMI DAERAH.
A.
HAKIKAT OTONOMI DAERAH.
Otonomi Daerah berasal dari bahasa yunani yaitu authos yang berarti
sendiri dan namos yang berarti undang-undang atau aturan. Oleh karena itu
secara harfiah otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri
yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan sendiri. Otonomi Daerah adalah
suatu pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Kewenangan tersebut diberikan secara proposional yang diwujudkan
dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan
ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998.
Pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai
mandiri. Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya.
Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan
pembuatan dan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.[1]
Menurut pendapat yang lain, bahwa otonomi daerah adalah kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom
sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu
berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.[2]
Salah satu aspek penting otonomi daerah adalah pemberdayaan
masyarakat sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, penggerakkan, dan pengawasan dalam pengelolaan pemerintahan daerah
dalam penggunaan sumber daya pengelola dan memberikan pelayanan prima kepada
publik.
Uraian diatas menunjukkan peranan administrasi negara dalam
penyelengaraan otonomi daerah. Kebutuhan akan pentingnya administrasi negara
terutama posisinya dalam penyelenggaraan otonomi daerah menjadi penting pada
saat kita memasuki otonomi daerah yang dicanangkan pada tanggal 1 Januari 2001.
Sehingga otonomi daerah semakin dituntut dalam pelayanan kepada masyarakat dan
kesejahteraan umum.[3]
B.
VISI OTONOMI DAERAH.
Otonomi daerah
sebagai kerangka penyelenggara pemerintahan mempunyai visi yang dapat
dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama yang saling berhubungan satu dengan
yang lainnya: politik, ekonomi, sosial, dan budaya.[4]
1.
Politik.
Karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentalisasi dan
demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang
bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis,
memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang respontif terhadap
kepentingan masyarakat luas dan memelihara mekanisme pengambilan keputusan yang
taat pada asas pertanggung jawaban publik.
2.
Ekonomi
Otonomi daerah disatu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan
kebijakan. Ekonomi didaerah, dan dipihak lain terbukanya peluang bagi
pemerintahan daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk
mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya.
3.
Sosial dan Budaya
Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan
memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal
yang dipandang kondusif dalam menciptakan kemampuan masyarakat untuk merespon
dinamika kehidupan disekitarnya.[5]
Berdasarkan visi ini, maka konsep dasar otonomi daerah yang
kemudian melandasi lahirnya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999,
merangkum hal-hal berikut ini:
a) Penyerahan sebanyak mungkin
kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah.
b) Penguatan peran DPRD sebagai
representasi rakyat lokal dalam pemilihan dan penetapan kepala Daerah.
c) Pembangunan tradisi politik
yang lebih sesuai dengan kultur demokrasi demi menjamin tampilnya kepemimpinan
pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang
tinggi pula.
d) Peningkatan efektifitas
fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi
yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah
didesentralisasikan, setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan
kondisi daerah serta lebih responsif terhadap kebutuhan daerah.
e) Peningkatan efisien
administrasi keuangan darah serta pengaturan yang lebih jelas atas
sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue (pendapatan) dari
sumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi serta
tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
f) Perwujudan
desentralisasi fiskal dari pemerintahan pusat yang bersifat alokasi subsidi
berbentuk block gran, peraturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah,
pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan
serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga
swadaya pembangunan yang ada.
C.
SEJARAH OTONOMI DAERAH.
1.
Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No.
329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai
keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No.
137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan
sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah
provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya
menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang
merupakan persekutuan asli masyarakat setempat.
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial
dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan
demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan
dua administrasi pemerintahan.
2.
Masa Pendudukan Jepang
Ketika menjalar Perang dinginII Jepang melakukan invasi ke seluruh
Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra.
Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan
Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan
Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan
perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan penyelenggaraan
pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa
militer di Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942 yang
mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah
daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi
pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.
3.
Masa Kemerdekaan.
a.
Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas
dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND (Komite Nasional Daerah) di
keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu
oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing
dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1. Provinsi
2. Kabupaten/kota besar
3. Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan
segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan
tidak memiliki penjelasan.
b.
Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia
adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10
Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga
tingkat yakni:
1. Propinsi
2. Kabupaten/kota
besar
3. Desa/kota
kecil
4. Yang
berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
c.
Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah
daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak
mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
1. Daerah
swatantra tingkat I, termasuk kota praja Jakarta Raya
2. Daerah
swatantra tingkat II
3. Daerah
swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah
seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
d.
Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 Menurut UU ini, wilayah
negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1. Provinsi
(tingkat I)
2. Kabupaten
(tingkat II)
3. Kecamatan
(tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang
pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan
koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan
menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat.
Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin
pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan
dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar
pengadilan.
e.
Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 ,UU ini menyebutkan bahwa
daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya berdasar asas
desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat
I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya
menjadi:
1. Provinsi/ibu
kota negara
2. Kabupaten/kotamadya
3. Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena
daerah tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih
mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah
otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
f.
Periode Undang-undang Nomor 22dan 25 Tahun 1999, Pada
prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih
mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22
tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1. Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip
pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan
dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan
asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
3. Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4. Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi
daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan
keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa
keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
g.
Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang
pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa
dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan
hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat
berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat
berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di
bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu,
hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di
pertegas dan di perjelas.
D.
PRINSIP-PRINSIP PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh
masyarakat. Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa
untuk menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi
pemerintahan yang jelas.
Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan
kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian,
walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah
kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni
menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang
dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu
dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.
Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka
memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun
kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya
terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk
berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.
Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999,
dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk
lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman
daerah.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan
fiskal, agama serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi
maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa
yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada
dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang
dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada
daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam
mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang
serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian
otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:[6]
a. Penyelenggaraan otonomi
daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan
serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
b. Pelaksanaan otonomi daerah
didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
c. Pelaksanaan otonomi
daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota,
sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d. Pelaksanaan otonomi daerah
harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang
serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e. Pelaksanaan
otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan
karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah
administrasi.
f. Pelaksanaan otonomi
daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah,
baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas
penyelenggaraan pemerintah daerah.
g. Pelaksanaan azas
dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai
wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
h. Pelaksanaan azas tugas
pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga
dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
E.
PEMBAGIAN KEKUASAAN DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH
Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dilakukan berdasarkan
prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat fedralisme. Jenis yang ditangani
pusat hampir sama dengan yang ditangai oleh pemerintah dinegara federal, yaitu
hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan agama
serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral
oleh pemerintah pusat seperti kebijakan makro ekonomi standarisasi nasional,
administrasi pemerintahan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pengembangan
sumber daya manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani pemerintah pusat
disebutkan secara spesifik dalam UU tersebut.
Selain itu otonomi daerah yang diserahkan itu bersifat luas, nyata,
dan bertanggung jawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada
pemerintahan pusat ( seperti, pada Negara federal); disebut nyata karena
kewenangan yang diselenggarakan itu menyakut yang diperlukan, tumbuh dan hidup,
dan berkembang di daerah; dan disebut bertanggunag jawab karena kewenangan yang
diserahkan itu harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah,
yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah. Disamping itu,
otonomi seluas-luasnya ( keleluasaan otonomi) juga mencakup kewenangan yang
utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Kewenangan yang diserahkan ke pada
daerah otonom dalam rangka desentralisai harus pula disertai penyelenggaraan
dan pengalihan pembiayaan. Sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia.
Selain sebagai daerah otonom, provinsi juga merupakan daerah
administrative, maka kewenangan yang ditangani provinsi/gubernur akan mencakup
kewenangan dalam angka desentralisasi dan dekonsentrasi. Kewenangan yang
diserahkan kepada daerah otonom provinsi dalam rangka desentralisasi mencakup:
a. Kewenangan yang
bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti kewenangan bidang pekerjaan umum,
perhubungan, kehutanan dan perkebunan.
b. Kewenangan pemerintahan
lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makra,
pelatihan bidang alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang
mencakup dalam wilayah provinsi, pengelolaan pelabuhan regioal, pengendalian
lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit
menular, dan perencanaan tata ruang provinsi.
c. Kewenangan kelautan
yang tidak meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan
kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang,
penegakan hukum, dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
d. Kewenangan yang tidak atau
belum dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota diserahkan kepada
provinsi dengan penyertaan dari daerah otonom kabupaten atau kota tersebut.
Dalam rangka negara kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki
kewenangan melakukakan pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi, pengawasan
yang dilakukan pemerintah pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan
kewenangan daerah otonom yang kebih besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi
semacam keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan kekuasaan yang dimaksud adalah
pengawasan ini tidak lagi dilakukan secara struktural yaitu bupati/wali kota
dan gubernur bertindak sebagai wakil pemerintah pusat sekaligus kepala daerah
otonom, dan tidak lagi secara preventif perundang-undangan, yaitu setiap
peraturan daerah (perda) memerlukan persetujuan pusat untuk dapat berlaku.[7]
Terkait dengan pembagian kewenangan antara pemerintah dengan
pemerintah daerah terdapat 11 jenis kewenangan wajib yang diserahkan kepada
daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota, yaitu:[8]
1. Pertahanan,
2. Pertanian,
3. Pendidikan
dan kebudayaan,
4. Tenaga
kerja
5. Kesehatan,
6. Lingkungan
hidup,
7. Pekerjaan
umum,
8. Perhubungan,
9. Perdagangan
dan industri,
10. Penanaman
modal, dan
11. Koperasi.
Penyerahan kesebelas jenis kewenangan ini kepada daerah otonomi
kabupaten dan daerah otonomi kota dilandasi oleh sejumlah pertimbangan sebagai
berikut :
1. Makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan
warga masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran, merata, berkualitas dan
terjangkau.
2. Penyerahan sebelas jenis kewenangan itu kepada daerah otonom
kabupaten dan daerah otonom kota akan membuka peluang dan kesempatan bagi
aktor-aktor politik lokal dan sumber daya manusia yang berkualitas didaerah
untuk mengajukan prakarsa, berkreativitas dan melakukan inovasi karena
kewenangan merencanakan, membahas, memutuskan, melaksanakan, mengevaluasi
sebelas jenis kewenangan.
3. Karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak
merata, dan kebanyakan berada di Jakarta dan kota besar lainnya, maka
penyerahan sebelas jenis kewenangan ini juga dimaksudkan dapat menarik sumber
daya manusia yang berkualitas di kota-kota besar untuk berkiprah di
daerah-daerah otonom, yang kabupaten dan kota.
4. Pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi masalah nasional yang
tidak saja hanya dipikulkan kepada pemerintah pusat semata.[9]
FOOTNOTE
[1] A.
Ubaedillah,dkk,Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta : Indonesia Center
for Civic Education, 2000), hlm.170
[2] Prof. Drs.
HAW Widjaja,Otonomi Daerah dan Daerah Otonom,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,
2002),hlm. 76
[3] Prof. Drs.
HAW Widjaja,Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia,(Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2005),hlm. 7
[4] A.
Ubaedillah,dkk,Pancasila, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta
:ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hlm.179
[5] Ibid., hlm.
179
[6] A.
Ubaedillah,dkk,Pancasila, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta
:ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hlm.182
[7] A.
Ubaedillah,dkk,Pancasila, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta
:ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hlm.179
[8] A.
Ubaedillah,dkk,Pancasila, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta
:ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hlm.185
[9] A.
Ubaedillah,dkk, Pancasila,Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta
:ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hlm.179
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.......4
UUD DAN AMANDEMEN
Monday, March
10, 2014
Disusun oleh :
1. Brigita
Tri Damayanti 130420216
2. Vincentia
Vindi Dhea Citra Permatasari 130420226
3. Tan
Sien Nie 130420253
4. Nikolas
Aldian Putra 130420306
5. R.
Wahyu Susilo 130420307
6. Yoseph
Manuel Contardo130420302
Universitas
Atma Jaya Yogyakarta
A.
Sejarah Pemberlakuan UUD
1945.
Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada
tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa
sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945,
Ir. Soekarnomenyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi
nama Pancasila.
Pada tanggal 22 Juni 1945, 38
anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk
merancangPiagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah
dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah
Islam bagi pemeluk-pemeluknya", maka naskah Piagam Jakarta
menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945
Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPKI). Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena
hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPKI untuk
Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli1945.
Tanggal 18 Agustus 1945,PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia.
1.
Periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949)
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan
sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945memutuskan
bahwa KNIPdiserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk.
Tanggal 14 November 1945 dibentuk
Kabinet Semi-Presidensial ("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga
peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih
demokratis.
2.
Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 - 17
Agustus 1950)
Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer.
Bentuk pemerintahan dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang didalamnya
terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki
kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya.
3.
Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)
Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer
yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu
silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing
partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara
RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia
selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan
sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila
dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan
Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta
merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan
makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai
pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya
UUDS 1950.
4.
Periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli 1959 - 1966)
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak
saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD
baru, maka pada tanggal 5 Juli1959,
Presiden Sukarnomengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan
kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu. Pada masa ini, terdapat berbagai
penyimpangan UUD 1945, di antaranya sebagai berikut:
a. Presiden mengangkat
Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri
Negara.
B.
Alasan dan Tujuan amandemen dilakukan.
1.
Alasan amandemen dilakukan :
a. Lemahnya checks and
balances pada institusiinstitusi ketatanegaraan.
b. Executive heavy, kekuasaan terlalu
dominan berada di tangan Presiden (hak prerogative dan kekuasaan
legislatif)
c. Pengaturan terlalu fleksibel
(vide:pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen)
d. Terbatasnya pengaturan jaminan akan HAM
e. Segi historis, pembuatan UUD 1945 ditetapkan
secara tergesa-gesa, sehingga memuat banyak kekurangan.
f. Segi substansi dan isi UUD
1945, dimana UUD 1945 memiliki kerterbatasan dan kelemahan.
g. Segi sosiologis, yaitu adanya
amanat dari rakyat untuk melakukan amandemen.
2.
Tujuan amandemen UUD 1945 menurut Husnie Thamrien, adalah sebagai
berikut :
a. Untuk
menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih mantap
dalam mencapai tujuan nasional serta menyempurnakan aturan dasar mengenai
jaminan dan pelaksanaan kekuatan rakyat.
b. Memperluas
partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi,
c. Menyempurnakan
aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak agar sesuai dengan
perkembangan HAM dan peradaban umat manusia yang menjadi syarat negara hukum,
d. Menyempurnakan
aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern melalui
pembagian kekuasan secara tegas sistem check and balances yang lebih ketat dan
transparan dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi
perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan jaman,
e. Menyempurnakan
aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara memwujudkan
kesejahteraan sosial mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika dan moral
serta solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara
kesejahteraan,
f. Melengkapi
aturan dasar dalam penyelenggaraan negara yang sangat penting bagi eksistensi
negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi.
g. Menyempurnakan
aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan
perkembangan aspirasi kebutuhan dan kepentingan bangsa dan negara Indonesia ini
sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang.
C.
Sejarah amandemen UUD 1945.
1.
Amandemen I.
Amandemen yang
pertama kali ini disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999 atas dasar SU
MPR 14-21 Oktober 1999. Amandemen yang dilakukan terdiri dari 9 pasal, yakni:
Pasal 5, pasal
7, pasal 9, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 17, pasal 20, pasal 21.
Inti dari amandemen pertama ini adalah pergeseran kekuasaan Presiden yang
dipandang terlalu kuat (executive heavy).
2.
Amandemen II
Amandemen yang kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 dan
disahkan melalui sidang umum MPR 7-8 Agustus 2000. Amandemen dilakukan
pada 5 Bab dan 25 pasal. Berikut ini rincian perubahan yang dilakukan pada
amandemen kedua. Pasal 18, pasal 18A, pasal 18B,
pasal 19, pasal 20, pasal 20A, pasal 22A, pasal 22B,
pasal 25E, pasal 26, pasal 27, pasal 28A, pasal 28B, pasal 28C,
pasal 28D, pasal 28E, pasal 28F, pasal 28G, pasal 28H, pasal 28I,
pasal 28J, pasal 30, pasal 36B, pasal 36C. Bab IXA, Bab
X, Bab XA, Bab XII, Bab XV, Ps. 36A. Inti dari amandemen kedua ini
adalah Pemerintah Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak Asasi Manusia,
Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.
3.
Amandemen III.
Amandemen
ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001 dan disahkan melalui ST MPR
1-9 November 2001. Perubahan yang terjadi dalam amandemen ketiga ini
terdiri dari 3 Bab dan 22 Pasal. Berikut ini detil dari amandemen ketiga. Pasal
1, pasal 3, pasal 6, pasal 6A, pasal 7A, pasal 7B, pasal 7C, pasal 8, pasal 11,
pasal 17,
pasal 22C, pasal 22D, pasal 22E, pasal 23, pasal 23A, pasal23C, pasal 23E, pasal 23F, pasal 23G, pasal 24, pasal 24A, pasal24B, pasal24C. Bab VIIA, Bab VIIB, Bab VIIIA. Inti perubahan yang dilakukan pada amandemen ketiga ini adalah Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman.
pasal 22C, pasal 22D, pasal 22E, pasal 23, pasal 23A, pasal23C, pasal 23E, pasal 23F, pasal 23G, pasal 24, pasal 24A, pasal24B, pasal24C. Bab VIIA, Bab VIIB, Bab VIIIA. Inti perubahan yang dilakukan pada amandemen ketiga ini adalah Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman.
4.
Amandemen IV
Sejarah amandemen UUD 1945 yang terakhir ini disahkan pada
tanggal 10 Agustus 2002 melalui ST MPR 1-11 Agustus 2002. Perubahan
yang terjadi pada amandemen ke-4 ini terdiri dari 2 Bab dan 13 Pasal. Pasal 2,
pasal 6A, pasal 8, pasal 11, pasal16, pasal 23B, pasal 23D, pasal 24, pasal 31,
pasal 32, pasal 33, pasal 34, pasal 37. BAB XIII, Bab XIV. Inti Perubahan:
DPD sebagai bagian MPR, Penggantian Presiden, pernyataan perang, perdamaian dan
perjanjian, mata uang, bank sentral, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian
nasional dan kesejahteraan sosial, perubahan UUD.
D.
Addendum v.s Amandemen
Sistem amandemen sering di gunakan berbagai negara untuk
menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan Negara, amandemen sendiri
mempunyai arti Amandemen adalah proses perubahan terhadap ketentuan dalam
sebuah peraturan. Berupa penambahan maupun pengurangan/penghilangan
ketentuan tertentu. Amandemen hanya merubah sebagai ( kecil ) dari peraturan. namun
sebagai tambahan ilmu kita, selain menggunakan amandemen, berbagai negara juga
diterapkan sistem addendum. Sistem addendum sendiri memiliki arti Addendum :
adalah istilah dalam kontrak atau surat perjanjian yang berarti tambahan
klausula atau pasal yang secara fisik terpisah dari perjanjian pokoknya namun
secara hukum melekat pada perjanjian pokok itu.
Dalam hubungan nya dengan undang–undang pada suatu negara, dengan
menggunakan addendum suatu negara hanya menambahkan pasal pasal dalam
undang-undang nya, tanpa harus mengubah teks undang undang yang asli. Sedangkan
dengan amandemen, suatu bangsa mengubah isi daripada teks undang-undang yang
asli. Pada realitanya negara yang menggunakan sistem amandemen adalah
Indonesia, dengan amandemen Indonesia mengubah teks asli yang di buat dalam
sejarah dengan cara mengurangi atau menambahkan pasal pasal dalam UUD1995.
Sedangkan negara USA menggunakan sistem Addendum dalam menyempurnakan undang
undang di negara nya, USA hanya menambahan pasal pasal tanpa merubah pasal
pasal asli nya, dengan demikian bila keadaan berganti pemerintah hanya perlu
mencoret atau menghilangkan pasal tambahan tersebut.
SUMBER:
1. Kaelan,
2004, Pancasila, Paradigma, Yogyakarta
2. Kaelan,
2010, Pendidikan Pancasila
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok........5
YUDIKATIF, EKSEKUTIF, LEGISLATIF
MAKALAH HUKUM TATA NEGARA
MEKANISME HUBUNGAN LEMBAGA LEGISLATIF, EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF DIINDONESIA
MEKANISME HUBUNGAN LEMBAGA LEGISLATIF, EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF DIINDONESIA
Oleh:
Nama : Uluy Permadi
Npm : 14810184
Mata Kuliah :Hukum Tata NegaraUNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN (UNISKA)
MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI
FAKULTAS HUKUM
BANJARMASIN
2015
Nama : Uluy Permadi
Npm : 14810184
Mata Kuliah :Hukum Tata NegaraUNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN (UNISKA)
MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI
FAKULTAS HUKUM
BANJARMASIN
2015
A.
Latar belakang.
Kekuasaan negara adalah kekuasaan yang mengatur, menerbitkan, dan
memajukan kepentingan umum dalam rangka mencapai tujuannya, kekuasaan itu
diserahkan kepada lembaga negara yang terbagi dinegara Indonesia.Negara
republik Indonesia mengenal adanya lembaga-lembaga legislatif,eksekutif,dan
yudikatif yaitu terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan melaksanakan
pembagian kekuasaan antara lembaga-lembaga negara itu, kekuasaan
lembaga-lembaga negara itu tidak diadakan pemisahan yang kaku dan tajam tetapi
tetap ada kordinasi antar lembaga-lembaga tersebut.
Negara Indonesia sebagai negara demokrasi yang akhirnya pemerintah menerapkan teori trias politika atau pembagian kekuasaan pemerintah menjadi tiga bidang yang memiliki kedudukan sejajar yaitu legislatif,eksekutif,dan yudikatif yang saling memiliki hubungan satu sama lain. Teori trias politika ini dikemukakan oleh monteMontesquieu mengatakan kekuasaan dibagi 3, yaitu kekuasaan legislatif (Pembentuk UU ) yaitu DPR,DPD,DPRD, kekuasaan eksekutif (Pelaksanaan UU) yaitu lembaga presiden, mentri-mentri, kekuasaan yudikatif (Pengawasan UU) yaitu MA, KY, MK, pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaa-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama,untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Karena akan menjalankan kekuasaan partainya, tujuan dari trias politika itu adalah supaya tidak ada campur tangan dan pihak-pihak karena ada yang mengawasi masing-masing lembaga yang saling berkaitan dalam menjalankan tugasnya masing-masing yaitu saling adanya pengawasan.
Negara Indonesia sebagai negara demokrasi yang akhirnya pemerintah menerapkan teori trias politika atau pembagian kekuasaan pemerintah menjadi tiga bidang yang memiliki kedudukan sejajar yaitu legislatif,eksekutif,dan yudikatif yang saling memiliki hubungan satu sama lain. Teori trias politika ini dikemukakan oleh monteMontesquieu mengatakan kekuasaan dibagi 3, yaitu kekuasaan legislatif (Pembentuk UU ) yaitu DPR,DPD,DPRD, kekuasaan eksekutif (Pelaksanaan UU) yaitu lembaga presiden, mentri-mentri, kekuasaan yudikatif (Pengawasan UU) yaitu MA, KY, MK, pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaa-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama,untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Karena akan menjalankan kekuasaan partainya, tujuan dari trias politika itu adalah supaya tidak ada campur tangan dan pihak-pihak karena ada yang mengawasi masing-masing lembaga yang saling berkaitan dalam menjalankan tugasnya masing-masing yaitu saling adanya pengawasan.
B.
Pengertian Lembaga Legislatif
Lembaga legislatif adalah lembaga kenegaraan yang mencerminkan salah satu fungsi badan itu,yaitu legislate atau membuat undamg-undang nama lain yang sering dipakaiialah yang mengutamakan unsur berkumpul (untuk membicarakan masalah-masalah public). Nama lain lagi adalah parliament suatu istilah yang menekan unsur bicara dan merundingkan.sebutan lain mengutamakan keterwakilan anggota-anggotanya atau Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi apapun namanya dapat dipastikan bahwa badan ini merupakan simbol dari rakyat yang berdaulat.
Menurut teori yang berlaku,rakyatlah yang berdaulat rakyat yang berdaulat ini mempunyai suatu kehendak, keputusan-keputusan yang diambil oleh badan ini merupakan suara yang authentich. Karena itu keputusan-keputusannya, baik yang bersifat kebijakan maupun undang-undang mengikat seluruh masyarakat. Dalam berkembangnya gagasan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, maka badan legislatif menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya dalam undang-undang dalam pada itu badan eksekutif hanya merupakan penyelenggara dari kebijakan itu.
Badan legislatif dinegara demokrasi disusun sedemikian rupa hingga iamewakili mayoritas dari rakyat dan pemerintah bertanggung jawab kepadanya.Untuk menjamin perumusan yang menggabungkan tiga unsur dari suatu negara demokrasi, yaitu, representasi, partisipasi, dan tanggung jawab politik. Atau dengan perkataan lain, negara demokrasi didasari oleh sistem perwakilan demokrasi yang menjamin kedaulatan rakyat.
Lembaga legislatif adalah lembaga kenegaraan yang mencerminkan salah satu fungsi badan itu,yaitu legislate atau membuat undamg-undang nama lain yang sering dipakaiialah yang mengutamakan unsur berkumpul (untuk membicarakan masalah-masalah public). Nama lain lagi adalah parliament suatu istilah yang menekan unsur bicara dan merundingkan.sebutan lain mengutamakan keterwakilan anggota-anggotanya atau Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi apapun namanya dapat dipastikan bahwa badan ini merupakan simbol dari rakyat yang berdaulat.
Menurut teori yang berlaku,rakyatlah yang berdaulat rakyat yang berdaulat ini mempunyai suatu kehendak, keputusan-keputusan yang diambil oleh badan ini merupakan suara yang authentich. Karena itu keputusan-keputusannya, baik yang bersifat kebijakan maupun undang-undang mengikat seluruh masyarakat. Dalam berkembangnya gagasan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, maka badan legislatif menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya dalam undang-undang dalam pada itu badan eksekutif hanya merupakan penyelenggara dari kebijakan itu.
Badan legislatif dinegara demokrasi disusun sedemikian rupa hingga iamewakili mayoritas dari rakyat dan pemerintah bertanggung jawab kepadanya.Untuk menjamin perumusan yang menggabungkan tiga unsur dari suatu negara demokrasi, yaitu, representasi, partisipasi, dan tanggung jawab politik. Atau dengan perkataan lain, negara demokrasi didasari oleh sistem perwakilan demokrasi yang menjamin kedaulatan rakyat.
1.
Pembagian Lembaga Legislatif yaitu MPR, DPR, DPD.
a.
MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui
pemilihan umum untuk masa jabatan selama lima tahun dan berakhir bersama pada
saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh ketua
Mahkamah Agung dalam sidang paripurna.Sesuai dengan pasal 3 ayat 1 UUD 1945 MPR
mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut yaitu mengubah dan menetapkan
undang-undang dasar, melantik presiden dan wakil presiden, memberhentikan
presiden dan wakil presiden dalam masa jabatan menurut undang undang dasar, MPR
bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota Negara. Dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya, anggota MPR mempunyai hak berikut ini
Mengajukan usulan perubahan pasal-pasal undang-undang dasar, menentukan sikap
dan pilihan dalam pengambilan keputusan, memilih dan dipilih, membela diri,
Imunitas, protokoler, keuangan dan atministrasi
b.
DPR merupakanlembagaperwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai
lembaga negara.Anggota DPR berasal dari anggota partai politik peserta pemilu
yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. DPR berkedudukan ditingkat
pusat,sedangkan yang berada ditingkat propinsi disebut DPRD propinsi dan yang
berada di kabupaten/kota disebut DPRD kabupaten/kota.Keanggotaan DPR diresmikan
dengan keputusan presiden.Anggota DPR berdomisili diibukota negara.Masa jabatan
anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru
mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh ketua Mahkamah Agung dalam paripurna
DPR.Lembaga negara DPR memiliki fungsi berikut ini fungsi legislasi, fungsi
anggaran ,dan pungsi pengawasan.DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan
hak menyatakan pendapat.
c.
DPD merupakan lembaga negara baru yang sebelumnya tidak ada.DPD
merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga
negara.DPD terdiri atas wakil-wakil dari provinsi yang dipilih melalui
pemilihan umum.Jumlah anggota DPD disetiap provinsinya tidak sama, tetapi
ditetapkan sebanyak-banyaknya empat orang, sesuai dengan Pasal 22 D UUD 1945
maka kewenangan DPD, antara lain sebagai berikut yaitu dapat mengajukan
rancanganundang-undang kepada DPR berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dengan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan
kekuasaan pusat dan daerah.
C.
Fungsi Lembaga Legislatif Secara Umum.
1.
Diantara fungsi badan legislatif yang paling penting
ialahmenentukan kebijakan dan membuat undang-undang.Untuk itu badan legislatif
diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan
undang-undang yang disusun oleh pemerintah, dan terutama dibidang butget atau
anggaran.
2.
Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga agar semua tidakan
badan eksekutif sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan.Untuk
menyelenggarakan tugas ini badan perwakilan rakyat diberi hak-hak control khusu
fungsi legislasi menurut teori yang berlaku tugas utama legislatif terletak dibidang perundang-undangan, sealipun ia tidak mempunyai monovoli dibidang itu. Untuk membahas undang-undang sering dibentuk panetia-panetia yang berwenang untuk memanggil mentri atau pejabat lainnya untuk diminta keterangan seperlunya.Akan tetapi pada jaman sekarang ini telah menjadi gejala umum bahwa titik berat dibidang legislatif telah banyak bergeser kebidang eksekutif.Sedangkan badan legislatif tinggal membahas dan mengamandemenya.Pada umumnya dibidang keuangan pengaruh badan legislatif lebih besar daripada dibidang legislasi umum. Fungsi control dengan semakin berkurangnya pengaruh badan legislatif, maka perannya dibidang pengawasan dan kontro bertambah menonjol.Badan legislatif berkewajiban untuk mengawasi aktivitas badan eksekutif, agar sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.Pengawasan dilakukan melalui siding penitia-penitia legislatif dan melalui hak-hak yang khusus seperti hak bertanya, hak interplasi, hak angket, dan hak mosi.
fungsi legislasi menurut teori yang berlaku tugas utama legislatif terletak dibidang perundang-undangan, sealipun ia tidak mempunyai monovoli dibidang itu. Untuk membahas undang-undang sering dibentuk panetia-panetia yang berwenang untuk memanggil mentri atau pejabat lainnya untuk diminta keterangan seperlunya.Akan tetapi pada jaman sekarang ini telah menjadi gejala umum bahwa titik berat dibidang legislatif telah banyak bergeser kebidang eksekutif.Sedangkan badan legislatif tinggal membahas dan mengamandemenya.Pada umumnya dibidang keuangan pengaruh badan legislatif lebih besar daripada dibidang legislasi umum. Fungsi control dengan semakin berkurangnya pengaruh badan legislatif, maka perannya dibidang pengawasan dan kontro bertambah menonjol.Badan legislatif berkewajiban untuk mengawasi aktivitas badan eksekutif, agar sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.Pengawasan dilakukan melalui siding penitia-penitia legislatif dan melalui hak-hak yang khusus seperti hak bertanya, hak interplasi, hak angket, dan hak mosi.
3.
Fungsi lainnya disamping fungsi legislasi dan control badan
legislatif mempunyai beberapa fungsi lain. Dengan meningkatnya peran badan
eksekutifdan berkurangnya peran badan legislatif dibidang perundang-undangan.
Badan legislatif dianggap sebagai forum kerja sama antara berbagai golongan.
Dimana berbagai macam pendapat dibicarakan dimuka umum.Bagi anggota badan
legislatif terbuka kesempatan untuk bertindak sebagai pembawa suara rakyat dan
mengajukan beraneka ragam pandangan yang berkembang secara dinamis dalam
masyarakat dengan demikian jarak antara yang memeritah dan yang diperitah dapat
diperkecil.
D.
Pengertian Lembaga Eksekutif
Kekuasaan eksekutif biasaanya dipegang oleh badan eksekutif.Di negara Indonesia di pegang oleh kepala negara yaitu presiden, beserta mentri-mentrinya.Badan eksekutif dalam arti yang luas juga mencakup para pegawai negri sipil dan militer.Dalam sistem presidensial mentri-mentri merupakan pembantu presiden dan langsung dipimpin olehnya, tugas badan eksekutif hanyalah melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif.Akan tetapi dalam pelaksanaannya badan eksekutif luas sekali ruang gerakannya zaman modern telah menimbulkan produk bahwa lebih banyak undang-undang yang diterima oleh badan legislatif dan yang harusnya dilaksanakan oleh badan eksekutif, lebih luas pula ruang lingkup kekuasaan badan eksekutifnya.
Kekuasaan eksekutif biasaanya dipegang oleh badan eksekutif.Di negara Indonesia di pegang oleh kepala negara yaitu presiden, beserta mentri-mentrinya.Badan eksekutif dalam arti yang luas juga mencakup para pegawai negri sipil dan militer.Dalam sistem presidensial mentri-mentri merupakan pembantu presiden dan langsung dipimpin olehnya, tugas badan eksekutif hanyalah melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif.Akan tetapi dalam pelaksanaannya badan eksekutif luas sekali ruang gerakannya zaman modern telah menimbulkan produk bahwa lebih banyak undang-undang yang diterima oleh badan legislatif dan yang harusnya dilaksanakan oleh badan eksekutif, lebih luas pula ruang lingkup kekuasaan badan eksekutifnya.
1.
Fungsi Lembaga Eksekutif
Secara Umum
Disamping itu jelas dalam perkembangannya negara modern bahwa wewenang badan eksekutif dewasa ini jauh lebih luas daripada hanya melaksanakan undang-undang dasar saja. Mencakup beberapa bidang :atministratif, legislatif, keamanan, yudikatif, diplomatic. atministratif yaksni kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan peraturan perundangan lainnyanya dan menyelenggarakan atministrasi negara. Legislatif yaitku membuat rancangan undang-undang dan membimbingnya dalam badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang-undang.Keamanan artinya kekuasaan untuk mengatur polisi dan angkatan bersenjata, menyelelenggarakan perang,pertahana negara,serta keamanan dalam negri. Yudikatif memberi grasi,amnesi,dan sebagainya. Diplomatic yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan hubungan diplomatic dengan negara-negara lain.
Disamping itu jelas dalam perkembangannya negara modern bahwa wewenang badan eksekutif dewasa ini jauh lebih luas daripada hanya melaksanakan undang-undang dasar saja. Mencakup beberapa bidang :atministratif, legislatif, keamanan, yudikatif, diplomatic. atministratif yaksni kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan peraturan perundangan lainnyanya dan menyelenggarakan atministrasi negara. Legislatif yaitku membuat rancangan undang-undang dan membimbingnya dalam badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang-undang.Keamanan artinya kekuasaan untuk mengatur polisi dan angkatan bersenjata, menyelelenggarakan perang,pertahana negara,serta keamanan dalam negri. Yudikatif memberi grasi,amnesi,dan sebagainya. Diplomatic yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan hubungan diplomatic dengan negara-negara lain.
2.
Pembagian Lembaga Eksekutif Yaitu Pesiden,Wakil Presiden
Presiden dan wakil presiden hasil perubahan undang-undang dasar 1945 yang berkaitan langsung dengan kekuasaan presiden dan wakil presiden, adalah pembatasan kekuasaan presiden sebagaimana diatur dalam pasal 7, yang berbunyi presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnaya dapat dipilih kembali. Penegasan didalam pasal 7 dipandang terlalu pleksibel untuk ditafsirkan, perubahan undang undang dasar 1945 mengenai alasan pemberhentian presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya diatur dalam pasal 7A, rumusannya berbunyi sebagai berikut presiden dan wakil dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh majelis permusyawaratan rakyat atas usulan dewan perwakilan rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,atau perbuatan tercela maupan apabila terbukti tidak lagi memenuhi sarat sebagai presiden dan atau wakil presiden.
Adapun prosedur pemberhentian presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya diatur dalam pasal 7B, yang rumusannya berbunyi sebagai berikut usulan presiden dan atau wakil presiden dapat diajukan oleh dewan perwakilan rakyat ke pada majelis permusyawaratan rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada mahkamah konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945.
Mentri-mentri yang dibuat presiden dan wakil presiden yaitu tunduk dibawah presiden dan wakil presiden.Atau pembantu presiden dan wakil presiden untuk menjalankankebijakan yang telah dibuat oleh presiden dan wakil persiden sehingga dapat berjalan dengan baik dan dapat menuju tujuan dari presiden dan wakil presiden untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Presiden dan wakil presiden hasil perubahan undang-undang dasar 1945 yang berkaitan langsung dengan kekuasaan presiden dan wakil presiden, adalah pembatasan kekuasaan presiden sebagaimana diatur dalam pasal 7, yang berbunyi presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnaya dapat dipilih kembali. Penegasan didalam pasal 7 dipandang terlalu pleksibel untuk ditafsirkan, perubahan undang undang dasar 1945 mengenai alasan pemberhentian presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya diatur dalam pasal 7A, rumusannya berbunyi sebagai berikut presiden dan wakil dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh majelis permusyawaratan rakyat atas usulan dewan perwakilan rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,atau perbuatan tercela maupan apabila terbukti tidak lagi memenuhi sarat sebagai presiden dan atau wakil presiden.
Adapun prosedur pemberhentian presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya diatur dalam pasal 7B, yang rumusannya berbunyi sebagai berikut usulan presiden dan atau wakil presiden dapat diajukan oleh dewan perwakilan rakyat ke pada majelis permusyawaratan rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada mahkamah konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945.
Mentri-mentri yang dibuat presiden dan wakil presiden yaitu tunduk dibawah presiden dan wakil presiden.Atau pembantu presiden dan wakil presiden untuk menjalankankebijakan yang telah dibuat oleh presiden dan wakil persiden sehingga dapat berjalan dengan baik dan dapat menuju tujuan dari presiden dan wakil presiden untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
E.
Pengertian Lembaga Yudikatif
Badan yudikatif yaitu badan yang mengontrol dari badan eksekutif dan legislatif agar tidak sewenang-wenang.Kekuasaan yudikatif prinsip yang tetap dipegang ialah bahwa yang dalam tiap negara hukum badan yudikatif haruslah bebas dari campur tangan badan eksekutif, ini dimaksud agar badan yudikatif dapat berpungsi secara sewajarnaya demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Sebab hanya dengan asas kebebasan badan yudikatif itulah dapat diharapkan bahwa keputusan yang diambil oleh badan yudikatif dalam suatu perkara tidak akan memihak,berat sebelah, dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati hakim itu sendiri dengan tidak usah takut bahwa kedudukannya terancam. Asas kebebasan badan yudikatif (indepent judiciary) terdapat dalam pasal 24 dan 25 undang-undang dasar 1945 mengenai kekuasaan kehakiman yang menyatakan kekuasaan kehakiman itu kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Sesuai dengan asas kebebasan badan yudikatif seperti yang tercantum dalam undang-undang no 14 tahun 1970 pasal 4 ayat 3 menuturkan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam undang-undang dasar.
Kekuasaan kehakiman diindonesia banyak mengalami perubahan sejak masa reformasi, amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 10 november tahun 2001 mengenai bab kekuasaan kehakiman (BAB IX) membuat beberapa perubahan (pasal 24A, 24B, dan 24C ) amandemen menyebutkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terdiri atas Mahkamah Agung yang bertugas menguji peraturan perundangan dibawah undang-undang terhadap undang undang. Sedangkan mahkamah konstitusi mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Badan yudikatif yaitu badan yang mengontrol dari badan eksekutif dan legislatif agar tidak sewenang-wenang.Kekuasaan yudikatif prinsip yang tetap dipegang ialah bahwa yang dalam tiap negara hukum badan yudikatif haruslah bebas dari campur tangan badan eksekutif, ini dimaksud agar badan yudikatif dapat berpungsi secara sewajarnaya demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Sebab hanya dengan asas kebebasan badan yudikatif itulah dapat diharapkan bahwa keputusan yang diambil oleh badan yudikatif dalam suatu perkara tidak akan memihak,berat sebelah, dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati hakim itu sendiri dengan tidak usah takut bahwa kedudukannya terancam. Asas kebebasan badan yudikatif (indepent judiciary) terdapat dalam pasal 24 dan 25 undang-undang dasar 1945 mengenai kekuasaan kehakiman yang menyatakan kekuasaan kehakiman itu kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Sesuai dengan asas kebebasan badan yudikatif seperti yang tercantum dalam undang-undang no 14 tahun 1970 pasal 4 ayat 3 menuturkan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam undang-undang dasar.
Kekuasaan kehakiman diindonesia banyak mengalami perubahan sejak masa reformasi, amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 10 november tahun 2001 mengenai bab kekuasaan kehakiman (BAB IX) membuat beberapa perubahan (pasal 24A, 24B, dan 24C ) amandemen menyebutkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terdiri atas Mahkamah Agung yang bertugas menguji peraturan perundangan dibawah undang-undang terhadap undang undang. Sedangkan mahkamah konstitusi mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
1.
Pembagian Lembaga Yudikatif
Yaitu MA, MK
a.
Mahkamah Agung yaitu merupakan salah satu lembaga negara yang
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, seperti yang kita kenal.Kewenangan
Mahkamah Agung adalah menyelenggarakan kekuasaan peradilan yang berada
dilingkungan peradilan umum, militer, agama, dan tata usaha negara. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tinkat kasasi.Mahkamah agung meguji peraturan-peraturan perundangan undangan
dibawah undang-undang terhadap undang-undang (pasal 24A), calon hakim agung
diajukan oleh komisi yudisial kepada dewan perwakilan rakyat untuk mendapat
persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden, ketua dan wakil
ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.
b.
Mahkamah Konsitusi yaitu merupakan lembaga negara yang tugas dan
wewenang mahkamah konstitusi pasal 24C menegaskan bahwa mahkamah konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir telah membawa perubahan
dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
Undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum.
Prinsip ini semula dimuat dalam penjelasan yang berbunyi negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machlistaat) disamping itu ada prinsip lain yang erat dengan prinsip negara hukum yang juga dimuat dalam pejelasan. Pemerintahan berdasar berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar)tidak bersipat absolutisme (kekuasaan yang tidak terpaksa) dengan ketentuan baru ini maka dasar sebagai negara berdasarkan atas hukum mempunyai sipat normatif bukan sekedar asas belaka.
Sejalan dengan ketentuan tersebut maka satu prinsip penting negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman kehakiman yang merdeka bebas dari pengaruh kekuasaan lain untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.Yang putusannya bersipat pinal untuk menguji undang-undang terhadap undang undang dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutuskan pembubaran partai politik dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.Disamping itu mahkamah konstitusi wajib memberikan putusn atas pendapat dewan perwakilan rakyat mengenai dugaan penyelenggaraan oleh presiden danatau wakil presiden menirut undang-undang dasar.Perlu dicatat bahwa putusan ini sifatnay tidak final karena lembaga-lembaga negara menurut Undang-Undang Dasar 1945.
Prinsip ini semula dimuat dalam penjelasan yang berbunyi negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machlistaat) disamping itu ada prinsip lain yang erat dengan prinsip negara hukum yang juga dimuat dalam pejelasan. Pemerintahan berdasar berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar)tidak bersipat absolutisme (kekuasaan yang tidak terpaksa) dengan ketentuan baru ini maka dasar sebagai negara berdasarkan atas hukum mempunyai sipat normatif bukan sekedar asas belaka.
Sejalan dengan ketentuan tersebut maka satu prinsip penting negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman kehakiman yang merdeka bebas dari pengaruh kekuasaan lain untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.Yang putusannya bersipat pinal untuk menguji undang-undang terhadap undang undang dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutuskan pembubaran partai politik dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.Disamping itu mahkamah konstitusi wajib memberikan putusn atas pendapat dewan perwakilan rakyat mengenai dugaan penyelenggaraan oleh presiden danatau wakil presiden menirut undang-undang dasar.Perlu dicatat bahwa putusan ini sifatnay tidak final karena lembaga-lembaga negara menurut Undang-Undang Dasar 1945.
F.
Hubungan Lembaga Legislatif, Lembaga Eksekutif dan Yudikatif
Hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnyayang diikat dengan prinsip checks and balances, dimana lembaga-lembaganegara tersebut diakui sederajat tetapi tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya mekanisme hubungan yang sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD.Dengan dihapuskannya penjelasan UUD, bisa jadi lembaga-lembaga negara menafsirkan sendiri UUD dengan seenaknya sesuai dengan kepentingan kelembagaannya.
Menurut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang berdaulat.Rakyat yang berdaulat ini mempunyai kemauan.Rakyat memilih beberapa orang untuk duduk di lembaga legislatif sebagai wakil rakyat guna merumuskan dan menyuarakan kemauan rakyat dalam bentuk kebijaksanaan umum (publicpolicy).Lembaga ini mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang sebagai cerminan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan umum tadi.Lembaga ini sering disebut sebagai dewan perwakilan rakyat atau parlemen bagaimanapun juga kekuasaan parlemen walaupun kekuasaannya diberikan langsung oleh rakyat harus dibatasi agar tidak menjadikan parlemen sebagai lembaga perwakilan yang korup, dan hanya menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat (kepentingan umum).
Lembaga penyelenggara kekuasaan negara berikutnya adalah lembaga eksekutif yang berfungsi menjalankan undang-undang.Di negara-negara demokratis, secara sempit lembaga eksekutif diartikan sebagai kekuasaan yang dipegang oleh raja atau presiden, beserta menteri-menterinya (kabinetnya).Dalam arti luas, lembaga eksekutif juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer.Oleh karenanya sebutan mudah bagi lembaga eksekutif adalah pemerintah.
Lembaga eksekutif dijalankan oleh Presiden dan dibantu oleh para menteri.Jumlah anggota eksekutif jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah anggota legislatif, hal ini bisa dimaknai karena eksekutif berfungsi hanya menjalankan undang-undang yang dibuat oleh legislatif.Pelaksanaan undang-undang ini tetap masih diawasi oleh legislatif.
Dan lembaga yudikatif yang mengontrol dari legislatif, yang membuat undang-undang karena lembaga legislatif ini ada cendrung kekuasaan partai sehingga harus ada yang mengontrol yaitu lembaga yudikatif DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif, sedangkan eksekutif atau presiden adalah lembaga yang berwenang untuk menjalankan roda pemerintahan.Dari fungsinya tersebut maka antara pihak legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama, apalagi di Indonesia memegang prinsip pembagian kekuasaan.Dalam hal ini, maka tidak boleh ada suatu kekuatan yang mendominasi.
Dalam setiap hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekan-gesekan, begitu juga dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang merupakan wakil dari partai tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak jauh dari kepentingan partai, begitu juga dengan eksekutif yang meskipun dipilih langsung oleh rakyat tetapi secara historis presiden memiliki hubungan dengan partai, presiden sedikit banyak juga pasti mementingkan kepentingan partainya.Akibatnya konflik yang terjadi dari hubungan eksekutif dan legislatif adalah konflik kepentingan antar partai yang ada.
Hubungan eksekutif dan legislatif pada masa sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 atau dengan kata lain pada masa Orde Baru, adalah sangat baik. Bisa dikatakan demikian karena hampir tidak ada konflik antara eksekutif dan legislatif pada masa itu.Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada masa itu menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap DPR dan peran dwifungsi ABRI menghasilkan kehidupan politis yang stabil. DPR yang tentunya sebagian besar dari fraksi Golongan Karya, selalu turut dengan apa yang ditentukan oleh Soeharto. Hal ini sangat berbeda dengan masa setelah Orba, yaitu pada masa reformasi. Legislatif tidak mau lagi hanya berdiam diri, menuruti segala apa yang dikatakan presiden. Bahkan cenderung kekuatan legislatif kini semakin kuat.Hal ini bisa dilihat ketika DPR menjatuhkan impeachment terhadap Gus Dur.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pemilihan eksekutif dalam hal ini presiden dan wakil presiden dan pemilihan legislatif dalam hal ini anggota DPR yang telah mengubah pola atau sistem yaitu dengan pemilihan langsung oleh rakyat.Perubahan sistem pemilihan ini ternyata juga berpengaruh terhadap relasi atau hubungan antara presiden dengan anggota DPR itu sendiri.Pengaruh yang dimaksud disini adalah tentang relasi antara presiden dan anggota DPR yang tidak kunjung membaik.Dengan pemilihan dari rakyat langsung, membuat presiden dan anggota DPR merasa mempunyai legitimasi ataupun mempunyai hak bahwa dirinya adalah wakil dari rakyat langsung dan merasa punya dukungan penuh dari rakyat.
Perasaan yang seperti ini, maka bisa jadi mendorong presiden menjadi kurang bertoleransi dengan kelompok oposisi.Hal ini membuat keegoisan antara Presiden dan anggota DPR menjadi semakin kuat.Bertolak dari pandangan Linz dan Cile tentang sistem multipartai dalam sistem presidensil, maka bisa jadi hubungan yang tidak kunjung membaik antara presiden Hubungan atau relasi presiden dengan anggota DPR, bisa juga disebabkan oleh sistem presidensil pada pemerintahan Indonesia. Disini dapat dijelaskan bahwa sistem presidensil yang tidak mengenal adanya mosi tidak percaya, apabila suatu ketika ada konflik atau masalah dengan legislative, eksekutif tidak perlu takut dengan adanya penggulingan kekuasaan, karena DPR tidak bisa memberikan mosi tidak percaya. Dari sinilah, maka perselisihan antara presiden dengan anggota DPR bisa terus berlanjut tanpa ada suatu ‘ketakutan’ eksekutif akan kekuasaannya. Yudikatif sangat penting perannya agar terjadinya pencapaian yang memuaskan rakyat, seperti mk yaitu menguji undang-undang yang dibuat dpr yang telah berkordinasi denang eksekutif harus diawasi oleh yudikatif yaitu mk ataupun ma.
Hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnyayang diikat dengan prinsip checks and balances, dimana lembaga-lembaganegara tersebut diakui sederajat tetapi tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya mekanisme hubungan yang sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD.Dengan dihapuskannya penjelasan UUD, bisa jadi lembaga-lembaga negara menafsirkan sendiri UUD dengan seenaknya sesuai dengan kepentingan kelembagaannya.
Menurut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang berdaulat.Rakyat yang berdaulat ini mempunyai kemauan.Rakyat memilih beberapa orang untuk duduk di lembaga legislatif sebagai wakil rakyat guna merumuskan dan menyuarakan kemauan rakyat dalam bentuk kebijaksanaan umum (publicpolicy).Lembaga ini mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang sebagai cerminan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan umum tadi.Lembaga ini sering disebut sebagai dewan perwakilan rakyat atau parlemen bagaimanapun juga kekuasaan parlemen walaupun kekuasaannya diberikan langsung oleh rakyat harus dibatasi agar tidak menjadikan parlemen sebagai lembaga perwakilan yang korup, dan hanya menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat (kepentingan umum).
Lembaga penyelenggara kekuasaan negara berikutnya adalah lembaga eksekutif yang berfungsi menjalankan undang-undang.Di negara-negara demokratis, secara sempit lembaga eksekutif diartikan sebagai kekuasaan yang dipegang oleh raja atau presiden, beserta menteri-menterinya (kabinetnya).Dalam arti luas, lembaga eksekutif juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer.Oleh karenanya sebutan mudah bagi lembaga eksekutif adalah pemerintah.
Lembaga eksekutif dijalankan oleh Presiden dan dibantu oleh para menteri.Jumlah anggota eksekutif jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah anggota legislatif, hal ini bisa dimaknai karena eksekutif berfungsi hanya menjalankan undang-undang yang dibuat oleh legislatif.Pelaksanaan undang-undang ini tetap masih diawasi oleh legislatif.
Dan lembaga yudikatif yang mengontrol dari legislatif, yang membuat undang-undang karena lembaga legislatif ini ada cendrung kekuasaan partai sehingga harus ada yang mengontrol yaitu lembaga yudikatif DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif, sedangkan eksekutif atau presiden adalah lembaga yang berwenang untuk menjalankan roda pemerintahan.Dari fungsinya tersebut maka antara pihak legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama, apalagi di Indonesia memegang prinsip pembagian kekuasaan.Dalam hal ini, maka tidak boleh ada suatu kekuatan yang mendominasi.
Dalam setiap hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekan-gesekan, begitu juga dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang merupakan wakil dari partai tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak jauh dari kepentingan partai, begitu juga dengan eksekutif yang meskipun dipilih langsung oleh rakyat tetapi secara historis presiden memiliki hubungan dengan partai, presiden sedikit banyak juga pasti mementingkan kepentingan partainya.Akibatnya konflik yang terjadi dari hubungan eksekutif dan legislatif adalah konflik kepentingan antar partai yang ada.
Hubungan eksekutif dan legislatif pada masa sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 atau dengan kata lain pada masa Orde Baru, adalah sangat baik. Bisa dikatakan demikian karena hampir tidak ada konflik antara eksekutif dan legislatif pada masa itu.Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada masa itu menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap DPR dan peran dwifungsi ABRI menghasilkan kehidupan politis yang stabil. DPR yang tentunya sebagian besar dari fraksi Golongan Karya, selalu turut dengan apa yang ditentukan oleh Soeharto. Hal ini sangat berbeda dengan masa setelah Orba, yaitu pada masa reformasi. Legislatif tidak mau lagi hanya berdiam diri, menuruti segala apa yang dikatakan presiden. Bahkan cenderung kekuatan legislatif kini semakin kuat.Hal ini bisa dilihat ketika DPR menjatuhkan impeachment terhadap Gus Dur.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pemilihan eksekutif dalam hal ini presiden dan wakil presiden dan pemilihan legislatif dalam hal ini anggota DPR yang telah mengubah pola atau sistem yaitu dengan pemilihan langsung oleh rakyat.Perubahan sistem pemilihan ini ternyata juga berpengaruh terhadap relasi atau hubungan antara presiden dengan anggota DPR itu sendiri.Pengaruh yang dimaksud disini adalah tentang relasi antara presiden dan anggota DPR yang tidak kunjung membaik.Dengan pemilihan dari rakyat langsung, membuat presiden dan anggota DPR merasa mempunyai legitimasi ataupun mempunyai hak bahwa dirinya adalah wakil dari rakyat langsung dan merasa punya dukungan penuh dari rakyat.
Perasaan yang seperti ini, maka bisa jadi mendorong presiden menjadi kurang bertoleransi dengan kelompok oposisi.Hal ini membuat keegoisan antara Presiden dan anggota DPR menjadi semakin kuat.Bertolak dari pandangan Linz dan Cile tentang sistem multipartai dalam sistem presidensil, maka bisa jadi hubungan yang tidak kunjung membaik antara presiden Hubungan atau relasi presiden dengan anggota DPR, bisa juga disebabkan oleh sistem presidensil pada pemerintahan Indonesia. Disini dapat dijelaskan bahwa sistem presidensil yang tidak mengenal adanya mosi tidak percaya, apabila suatu ketika ada konflik atau masalah dengan legislative, eksekutif tidak perlu takut dengan adanya penggulingan kekuasaan, karena DPR tidak bisa memberikan mosi tidak percaya. Dari sinilah, maka perselisihan antara presiden dengan anggota DPR bisa terus berlanjut tanpa ada suatu ‘ketakutan’ eksekutif akan kekuasaannya. Yudikatif sangat penting perannya agar terjadinya pencapaian yang memuaskan rakyat, seperti mk yaitu menguji undang-undang yang dibuat dpr yang telah berkordinasi denang eksekutif harus diawasi oleh yudikatif yaitu mk ataupun ma.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Huda, Ni’Matul. 2011. Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta : PT Raja Grafindo Fersada.
Ranadierksa, Hendarmin. 2007. Arsitektur Konsitusi Demokratik. Bandung :Fokus Media.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Huda, Ni’Matul. 2011. Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta : PT Raja Grafindo Fersada.
Ranadierksa, Hendarmin. 2007. Arsitektur Konsitusi Demokratik. Bandung :Fokus Media.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......6
SEJARAH MA, MK, DAN KPK
Rabu, 07
Februari 2018
SEJARAH DAN
PEMBENTUKAN, KEDUDUKAN, SERTA KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Kamis, 13
Agustus 2015 | 08:50 WIB
A.
Latar belakang.
Paradigma
susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis sejak reformasi
konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002. Karena berbagai alasan dan kebutuhan,
lembaga-lembaga negara baru dibentuk, meskipun ada juga lembaga yang
dihapuskan. Salah satu lembaga yang dibentuk adalah Mahkamah Konstitusi. MK
didesain menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap Undang-Undang Dasar
melalui putusan-putusannya. Dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, MK
berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu tegaknya konstitusi dalam rangka
mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan yang bermartabat. Visi tersebut menjadi pedoman bagi MK dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai
amanat konstitusi.
Kiprah MK sejak kehadirannya sepuluh tahun silam (2003-2013) banyak
dinilai cukup signifikan terutama dalam kontribusi menjaga hukum dan
mengembangkan demokrasi. Oleh karena itu, kita sebagai Mahasiswa Program Studi
Ilmu Kelembagaan Negara harus paham tetang seluk beluk tentang MK ini, dalam
tulisan ini penulis bermaksud mengemukakan Sejarah Pembentukan, Kedudukan dan
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
B.
Sejarah dan Pembentukan Mahkamah Konstitusi.
1.
Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Membicarakan MK di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah
historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya
merupakan kewenangan paling utama lembaga MK. Empat momen dari jelajah
histories yang patut dicermati antara lain ; kasus Madison vs Marbury di
AS, ide Hans Kelsen di Austria, gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan
perdebatan PAH I MPR pada sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945.
Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai Special Tribunal secara
terpisah dari Mahkamah Agung, mengemban tugas khusus, merupakan konsepsi yang
dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern
nation-state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih
rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi.[1] Sejarah modern judicial review, yang merupakan ciri utama
kewenangan Mahkamah Konstitusi, di Amerika Serikat dilakukan oleh Mahkamah
Agung, dimulai sejak terjadinya kasus Marbury versus Madison (1803). Mahkamah
Agung Amerika Serikat yang waktu itu di ketuai oleh Hakim Agung John Marshall
memutus sengketa yang pada dasarnya bukanlah apa yang dimohonkan untuk diputus
oleh kewenangannnya sebagai ketua Mahkamah Agung.
Para penggugat (William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend
Hooe, dan Willia Harper)[2] memohonkan agar ketua Mahkamah Agung sebagai kewenangannnya
memerintahkan pemerintah mengeluarkan write of mandamus[3] dalam rangka penyerahan surat-surat pengangkatan mereka.
tetapi Mahkamah Agung dalam putusannnya membenarkan bahwa pemerintahan John
Adams telah melakukan semua persyaratan yang ditentukan oleh hukum sehingga
William Marbury dan kawan-kawan dianggap memang berhak atas surat-surat
pengangkatan mereka. Namun Mahkamah Agung sendiri menyatakan tidak berwenang
memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan surat-surat yang
dimaksud. Mahkamah Agung menyatakan bahwa apa yang diminta oleh penggugat,
yaitu agar Mahkamah Agung mengeluarkan write of mandamus sebagaimana ditentukan
oleh Section 13 dari Judiciary Act tahun 1789 tidak dapat dibenarkan karena
ketentuan Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan dengan Article III
Section 2 Konstitusi Amerika Serikat.[4] Atas dasar penafsiran terhadap konstitusi-lah perkara ini
diputus oleh John Marshall.
Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden dalam
sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik
hukum di banyak negara. Semenjak itulah, banyak undang-undang federal maupun
undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh
Supreme Court.
Hans Kelsen, seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada
abad ke-20 (1881-1973) juga pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan
Administrasi University of Vienna, diminta untuk menyusun sebuah konstitusi
bagi Republik Austria yang muncul dari puing kekaisaran Austro-Hungarian tahun
1919. Sama dengan Marshall, Kelsen percaya bahwa konstitusi harus diperlakukan
sebagai seperangkat norma hukum yang superior (lebih tinggi dari undang-undang
biasa dan harus ditegakkan secara demikian). Kelsen juga mengakui adanya
ketidakpercayaan yang luas terhadap badan peradilan biasa untuk melaksanakan
tugas penegakan konstitusi yang demikian, sehingga dia merancang mahkamah
khusus yang terpisah dari peradilan biasa untuk mengawasi undang-undang dan
membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Meski
Kelsen merancang model ini untuk Austria, yang mendirikan Mahkamah Konstitusi
berdasar model itu untuk pertama kali adalah Cekoslowakia pada bulan Februari
tahun 1920. Baru pada bulan Oktober 1920 rancangan Kelsen tersebut diwujudkan
di Austria.[5]
Setelah perang dunia kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan
Judicial Review menyebar keseluruh Eropa, dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi
secara terpisah dari Mahkamah Agung. Akan tetapi, Perancis mengadopsi konsepsi
ini secara berbeda dengan membentuk Constitutional Council (Conseil
Constitutional). Negara-negara bekas jajahan Perancis mengikuti pola Perancis
ini. Sehingga saat ini telah ada 78 negara yang mengadopsi gagasan pembentukan
Mahkamah Konstitusi. dan Indonesia merupakan negara ke 78 yang mengadopsikannya.[6]
Momen yang patut dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat
BPUPKI. Mohammad Yamin menggagas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa
di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil atau
constitutional disputes. Gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya
diberlakukan suatu materieele toetsingrecht (uji materil) terhadap UU. Yamin
mengusulkan perlunya Mahkamah Agung diberi wewenang “membanding” undang-undang.
Namun usulan Yamin disanggah Soepomo dengan empat alasan bahwa (i) konsep dasar
yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan
(separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of
power), selain itu, (ii) tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan
menguji undang-undang, (iii) kewenangan hakim untuk melakukan pengujian
undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan
Rakyat, dan (iv) sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli
mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya, ide
itu urung diadopsi dalam UUD 1945.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dalam rangka
tuntutan untuk memberdayakan Mahkamah Agung. Diawali pada tahun 1970-an dengan
perjuangan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang memperjuangkan agar Mahkamah
Agung Indonesia diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang
Undang Dasar. Tuntutan ini tidak pernah ditanggapi karena dilatarbelakangi oleh
suasana dan paradigma kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang
monolitik waktu itu. Juga tidak diperkenankannya adanya perubahan konstitusi,
bahkan Undang-Undang Dasar cendrung disakralkan.[7]
Tetapi setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia
pada tahun 1998 yang menghantam berbagai aspek kehidupan sosial, politik dan
hukum. Gagasan Yamin muncul kembali pada proses amandemen UUD 1945. Gagasan
membentuk Mahkamah Konstitusi mengemuka pada sidang kedua Panitia Ad Hoc I
Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), pada Maret-April tahun 2000. Mulanya, MK
akan ditempatkan dalam lingkungan MA, dengan kewenangan melakukan uji materil
atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang
serta kewenangan lain yang diberikan undang-undang. Usulan lainnya, MK diberi
kewenangan memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga
negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah
daerah. Dan setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta
dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai
negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum
tata negara, rumusan mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam
Perubahan Ketiga UUD 1945. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan
ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24
Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Akhirnya sejarah MK dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah disahkannya Perubahan Ketiga
UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B pada 9 November 2001.
Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah mengalami perubahan
mendasar sejak Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai Perubahan Keempat pada
tahun 2002. Undang-undang Dasar 1945 setelah Perubahan Keempat tahun 2002, saat
ini boleh dikatakan merupakan konstitusi baru sama sekali, dengan resmi
disebut “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.
Perubahan-perubahan itu juga meliputi materi yang sangat banyak,
sehingga mencakup lebih dari tiga kali lipat jumlah materi muatan asli UUD
1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat
kali perubahan, kini jumlah materi muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199
butir ketentuan, menyisakan hanya 25 butir yang tidak mengalami perubahan.
Selebihnya, yaitu sebanyak 174 butir ketentuan dapat dikatakan merupakan materi
atau ketentuan yang baru.[8]
Sri Soemantri menyatakan, bahwa prosedur serta sistem perubahan
Undang- Undang Dasar 1945 seharusnya merupakan perwujudan dua hal, yaitu
menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan memungkinkan adanya perubahan.[9] Merujuk pada pendapat ini, terjadinya perubahan UUD 1945
sejak Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat, tentunya harus mempengaruhi
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Terjadinya perubahan yang mendasar
terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia terutama mengenai lembaga Negara.
Sehubungan dengan itu penting disadari bahwa sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945 telah mengalami perubahan
yang sangat mendasar. Perubahan itu juga mempengaruhi mekanisme struktural
organ-organ Negara Republik Indonesia yang tidak dapat lagi dijelaskan menurut
cara berpikir lama. Ada pokok-pokok pikiran baru yang diadopsikan ke dalam
kerangka UUD 1945 itu; pokok pikiran tersebut antaranya adalah :
a) Penegasan dianutnya cita demokrasi
dan nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara komplementer;
b) Pemisahan kekuasaan dan prinsip
“checks and balances'
c) Pemurnian sistem pemerintah
presidential; dan
d) Penguatan cita persatuan dan keragaman
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[10]
Berdasarkan pasal III Aturan Peralihan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan dibentuknya Mahkamah
Konstitusi selambat-lambatnya 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk maka
kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Tanggal 13 Agustus 2003
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan kemudian
pada tanggal 16 Agustus 2003 para hakim konstitusi dilantik dan mulai bekerja secara
efektif pada tanggal 19 Agustus 2003.[11]
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional
Court) merupakan lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.[12]Hal ini berarti bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara
lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang
terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY).
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20.
Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang
membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang
membentuk lembaga ini.
2.
Alasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Apa alasannya sehingga kemudian MK disepakati untuk dibentuk di
Indonesia? Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari
perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad
ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari
otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan MK menjadi diskursus penting.
Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam
proses perubahan itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap
konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai
semantik[13], juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan
rakyat.
Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius
memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan
semangat penegakan konstitusi sebagai “grundnorm” atau “highest
norm”, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada
dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam
konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the
sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat
statement kerelaan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara. Oleh karena
itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik
oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap
konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.
Ide demikian yang turut melandasi pembentukan MK di Indonesia.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan agar pelaksanaan kedaulatan
rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Harus diakui berbagai
masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal Orde Baru telah
terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain didominasi oleh hegemoni
eksekutif, terutama semasa Orde Baru menuntut keberadaan wasit konstitusi
sekaligus pemutus judicial review (menguji bertentangan-tidaknya suatu
undang-undang terhadap konstitusi). Namun, penguasa waktu itu hanya memberikan
hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di bawah undang-undang pada
Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu kemudian mendorong
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan amandemen ketiga UUD 1945
akhirnya menyepakati organ baru bernama MK.
Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan
dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama,
sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara
demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan
yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang
berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang
berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan
Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan
menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip
checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang
membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu,
perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada
lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa
antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment)
Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001,
mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata
didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum
yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya.
Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga
pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan
masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai
lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil
Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi
nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
C.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi
Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan
separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar
terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945. Berdasarkan
division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara
vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga
tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai
pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu
sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah
lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung
(MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai
lembaga tinggi negara.
Akibat utama dari anutan sistem separation of power,
lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan
tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD
dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945,
kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga
melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada
satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya
sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau
sederajat.
Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan
berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. MK menjadi
salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar
dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi
sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak beralasan
mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih tinggi dibanding lembaga-lembaga
negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru. Prinsip pemisahan kekuasaan
yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu
sama lain.
Selanjutnya, UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi
pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang
sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD 1945 adalah
hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal
ini MK memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga
atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum.
D.
Fungsi dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard)
konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara
maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi juga sebagai penafsir akhir
konstitusi. Di berbagai negara Mahkamah Konstitusi juga menjadi pelindung
(protector) konstitusi. Sejak di-inkorporasi-kannya hak-hak asasi manusia dalam
Undang Undang Dasar 1945, bahwa fungsi pelindung konstitusi dalam arti
melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights) juga benar adanya.[14] Tetapi dalam penjelasan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan sebagai berikut:
“… salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang
ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya
pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman
kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang menimbulkan tafsir ganda terhadap
konstitusi”.[15]
Lebih
jelas Jimly Asshiddiqie menguraikan:
“Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan
sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional
di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan
menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara
secara konsisten dan bertanggungjawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi
yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi
selalu hidup dan mawarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat”.[16]
Lembaga negara lain dan bahkan orang perorang boleh saja
menafsirkan arti dan makna dari ketentuan yang ada dalam konstitusi. Suatu
konstitusi memang tidak selalu jelas karena rumusannya luas dan kadang-kadang
kabur. Akan tetapi, yang menjadi otoritas akhir untuk memberi tafsir yang
mengikat adalah Mahkamah Konstitusi. Dan tafsiran yang mengikat itu hanya
diberikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan yang diajukan
kepadanya.
Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai
berikut:[17]
1. Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberi
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar.
Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi
dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
dengan rincian sebagai berikut:[18]
1.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannnya bersifat final untuk:
a.
Menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24
Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60.[19] Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi
kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya
mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar
konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan
undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan
di atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak
dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review. Jika
undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak selaras
dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan MK. Melalui kewenangan
judicial review, MK menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi
terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
b.
Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan
pendapat yang disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang
dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut. Hal ini mungkin terjadi
mengingat sistem relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut
prinsip check and balances, yang berarti sederajat tetapi saling mengendalikan
satu sama lain. Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam melaksanakan
kewenangan masing-masing timbul kemungkinan terjadinya perselisihan dalam
menafsirkan amanat UUD., MK dalam hal ini, akan menjadi wasit yang adil untuk
menyelesaikannya. Kewenangan mengenai ini telah diatur dalam Pasal 61 sampai
dengan Pasal 67 UU Nomor 24 Tahun 2003.
c.
Memutus pembubaran partai politik;
Kewenangan ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak
terjebak pada otoritarianisme dan arogansi, tidak demokratis, dan berujung pada
pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun. Mekanisme yang ketat
dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat
demokrasi. Partai politik dapat dibubarkan oleh MK jika terbukti ideologi,
asas, tujuan, program dan kegiatannya bertentangan dengan UUD 1945. Pasal
74 sampai dengan Pasal 79 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi telah mengatur kewenangan ini.
d.
Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan
Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.
Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi 1).
Terpilihnya anggota DPD, 2). Penetapan pasangan calon yang masuk pada putaran
kedua pemilihan presiden. dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan
presiden dan wakil presiden, dan 3). Perolehan kursi partai politik peserta
pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian
Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74
sampai dengan Pasal 79.
2.
Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada
dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya
habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai
prinsip supremacy of law dan equality before law, presiden dapat diberhentikan
apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam
UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan
yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan.
Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK.
Dalam hal ini hanya DPR yang dapat mengajukan ke MK. Namun dalam
pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam ini harus melalui proses
pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah
seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri
sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.[20]
3.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. Pengkhianatan terhadap
negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam
undang-undang.
b. Korupsi dan penyuapan adalah
tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
c. Tindak pidana berat lainnya
adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih.
d. Perbuatan tercela adalah perbuatan
yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e. Tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 6 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
FOOTNOTE
[1] Maruarar
Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), Hlm. 5.
[2] Jimly
Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), Hlm. 18.
[3] Write
of mandamus merupakan suatu alas dasar bagi seseorang untuk menjalankan tugas
yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan padanya. Lihat Jimly
Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), Hlm. 18- 21
[4] Ibid,
hlm. 19
[5] Maruarar
Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,..Hlm. 6
[6] Ibid,
Hlm. 6
[7] Ibid,
Hlm. 7
[8] Undang-undang
Dasar 1945 Sebelum Perubahan terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, 49 ayat, 4 Pasal
Aturan Peralihan, 2 Ayat Tambahan, dan Penjelasan. Sedangkan Undang-Undang
Dasar 1945 Setelah Perubahan terdiri dari 21 Bab, 37 Pasal, 170 Ayat, 3 Pasal
Aturan Peralihan, 2 Pasal Aturan Tambahan dan Tanpa Penjelesan
[9] Mochamad
Isnaeni Ramdhan, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: PT.
Alumni, 2006), Hlm. 273
[10] Jimly
Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat
UUD Tahun 1945, hlm. 1, Makalah dalam Simposium Nasional yang diselenggarakan
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003.
[11] Ibid,
Hlm. 9
[12] Perubahan
ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB IX
Kekuasaan Kehakiman.
[13] Nilai
semantik menunjukkan bahwa konstitusi itu secara hukum tetap berlaku, tetapi
dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah
ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik
[14] Maruarar
Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,..Hlm. 11
[15] Penjelasan
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Bagian Umum
[16]Cetak
Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi, Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi
Yang Modern Dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal MKRI, 2004, Hal. iv. Seperti
dikutip oleh Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia,..Hlm. 12.
[17] Lihat
Pasal 24C Perubahan Ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
[18] Lihat
Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[19] Pasal
50 tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat setelah dibatalkan MK.
[20] Lihat
Pasal 7 B ayat (3) UUD 1945.
A.
Kedudukan Mahkamah Agung dalam Ketatanegaraan RI.
Keberadaan kekuasaan kehakiman tidak dapat dilepaskan dari teori
klasik tentang pemisahan kekuasaan, dimana legislatif, eksekutif dan yudikatif
berada di tangan tiga organ yang berbeda. Tujuan diadakannya pemisahan
kekuasaan ini adalah untuk mencegah jangan sampai kekuasaan pemerintah dalam
arti kekuasaan eksekutif dilakukan secara sewenang-wenang, yang tidak
menghormati hak-hak yang diperintah. (Jimly Assihiddiqie, 2005 : 34)
Menurut Muhammad Yamin, ketiga konstitusi Indonesia yang pernah
berlaku, yaitu UUD 1945, KRIS (konstitusi RIS) 1949, dan UUDS 1950, selalu
disusun atas ajaran Trias Politika, sehingga pembagian atas tiga cabang
kekuasaan berlaku. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga)
menegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(Ni’matul & Nazriyah, 2011 : 257)
Tap MPR X Tahun 1998 menetapkan kekuasaan kehakiman bebas dan
terpisah dari kekuasaan eksekutif, kebijakan satu atap kemudian diatur dan
dijabarkan dalam UU Nomor 35/1999 tentang Perubahan UU Nomor 14/1970, dan telah
dicabut serta dinyatakan tidak berlaku oleh UU Nomor 4/2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Adapun tentang MA diatur dalam UU Nomor 5/2004 tentang Perubahan
atas UU Nomor 14/1985. Selanjutnya, Keppres Nomor 21/2004 tentang Pelaksanaan
Pengalihan Urusan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Lembaga Peradilan
dari Depkeh ke MA. (Sri Soemantri, 2014 : 124-127)
Mahkamah Agung (MA) merupakan puncak kekuasaan kehakiman di
Indonesia. Kekuasaan Kehakiman itu seperti ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 24
dan 25 UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah. Banyak yang menafsirkan bahwa dalam perkataan merdeka dan
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah itu, terkandung pengertian yang
bersifat fungsional. Pengertian secara fungsional, yaitu bahwa kekuasaan
pemerintah itu tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat atau yang patut
dapat diduga akan mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam
penyelesaian perkara yang dihadapi oleh Hakim. Karena itu penjelasan kedua
pasal itu mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung, langsung
dikaitkan dengan jaminan mengenai kedudukan para Hakim. Maksudnya ialah agar
para Hakim dapat bekerja profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan
pemerintah, kedudukannya haruslah dijamin dalam undang-undang.
Sebagai badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung
(MA) merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang
dalam melaksakan tugasnya terlepas dari pengaruh Pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lain serta melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan
pengadilan yang lain. (Undang-Undang Dasar 1945)
1.
Sebelum Amandemen, Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman
yang berpuncak pada Mahkamah Agung memegang kekuasaan kehakiman Pasal 24 (1).
Lembaga ini dalam tugasnya diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh
diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama
eksekutif dalam Penjelasan UUD 1945 Bab IX Pasal 24 dan 25.
2.
Sesudah Amandemen, MA memegang kekuasaan kehakiman bersama dengan
Mahkamah Konstitusi Pasal 24 (2)***. MA membawahi peradilan dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan
lingkungan peradilan tata usaha negara dalam Pasal 24 (2)***.
B.
KPK
1.
Korupsi diindonesia.
Berdasarkan tulisan dari Amien Rahayu, seorang analis sejarah LIPI
dalam ‘’Jejak Sejarah Korupsi Indonesia’’ bahwa mulai zaman kerajaan – kerajaan
lawas, budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya dilatarbelakangi oleh adanya
kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Sebenarnya kehancuran kerajaan –
kerajaan besar (Sriwijaya,Majapahit dan Mataram) adalah karena prilaku korup
dari sebagian besar para bangsawanya. Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah
diwarnai oleh ‘’budaya – tradisi korupsi’’ yang tiada henti karna di dorong
oleh kekuasaan,kekayaan dan wanita.
Sering kita mendengar bahwasanya strategi jitu Belanda (VOC)
menguasai politik pecah belah (devide et impera), tapi pernahkah kita bertanya
atau meneliti persoalan atau penyebab utama mudahnya Bangsa asing (Belanda)
mampu menjajah indonesia sekitar 350 tahun (versi sejarah nasional), lebih
karena prilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarg,
kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan’’character
building’’, mengabaikan hukum apabila demokrasi. Terlebih lagi sebagian besar
penduduk di nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah
termakan isu, dan yang lebih parah mudah diadu domba[1].
2.
Komisi pemberantas Korupsi (KPK)
Perlu
diketahui sebelumnya bahwa sejak Indonesia merdeka, sudah terdapat berbagai
lembaga yang khusus dibentuk untuk melakukan tugas khusus pemberantasan
korupsi. Tapi hampir bisa dikatakan bahwa semua lembaga tersebut mengalami
kegagalan. Lembaga – lembaga tersebut adalah sebagai berikut :
a.
Era Orde Lama, Pada masa orde lama, tercatat dua kali dibentuk
badan pemberantas korupsi, yaitu :
1.
’panitia Retooling Aparatur Negara’’(paran) yang di bentuk dengan
perangkat aturan Undang – undang keadaan bahaya. Badan ini dipimpin oleh
A.H.Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni professor M.yamin dan Roeslan
Abdulgani. Namun dalam perjalananya, terdapat perlawan atau reaksi keras dari
para penjabat yang korup pada saat itu dengan dalih yuridis bahwa berbekal
alasan doktrin pertanggung jawaban secara langsung kepada president, formulir
itu tidak diserahkan kepada paran, tapi langsung kepada president. Ditambah
lagi dengan kekacauan politik, paran berakhir tragis, dead lock, dan akhirnya
menyerahkan kembali tugasnya kkepada kabinet djuanda.
2.
Pada tahun 1963,melalui keputusan president No.275 Tahun 1963, pemerintah
menunjuk lagi A.H.Nasution, yang saat itu menjabat sebagai menteri koordinator
pertahanan dan keamanan/kasab,dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo uuntuk
memimpin lembaga baru yang lebih dikenal dengan ‘’Operasi Budhi’’. Kalai ini
dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi kepengadilan
dengan sasaran utama perusahaaan – perusahaan Negara serta lenbaga – lembaga
Negara lainya yang dianggap rawan prakteik korupsi dan kolusi. Namun lagi-
lagi operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan uang Negara kurang
lebih 11 milyar. Operasi Budhi ini dihentikan oleh Soebandrio kemudian diganti
menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (kontrar) dengan presiden
soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.
Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwasanya seiring dengan lahirnya lembaga
ini, pemberantasan korupsi dimasa orde lama pun kembali masuk ke jalur
lambat,bahkan macet.
b.
Era Orde Baru, Pada masa orde baru, dibawah kepemimpinan soeharto
minimal ada 4 lembaga yang dipasrahi tugas untu melakukan pemberantasan
korupsi. Lembaga – lembaga tersebut adalah sebagai beerikut :
1.
Tim pemberantas korupsi (TPK)
Tim ini dibentuk dengan keputusan president Nomor 228 Tahun 1967.
Pada awal orde baru melalui pidato kenegaraan pada tanggal 16 agusstus 1967,
Soeharto terang – terangan mengkritik orde lama yang tidak mampu memberantas
korupsi dalam hubungn dengan demokrasi yang terpusat ke istana.
2.
Komite Empat
Komite ini terbentuk dikarenakan adanya banyak tuduhan ketidak
seriusan tim pemberantas korupsi sebelumnya dan berjuang pada kebijakan
soeharto untuk menunjuk komite empat. Komite ini dibentuk dengan keputusan
president Nomor 12 Tahun 1970 Tanggal 31 januari 1970 dengan beranggotakan
tokoh – tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti
prof.Johanes,I.J.Kasimo,Mr.Wilopo dan A.Tjokrominoto. lemahnya posisi komite
ini pun menjadi alasan untuk mandek dan vakum.
3.
Operasi Tertip (Opstib)
Berakhirnya Komite Empat memunculkan lembaga baru, yakni ketika
laksamana Sudoso diangkat sebagai pangkopkamtip, dibentuklah Operasi Tertip
(Opstib). Lembaga ini dibentuk dengan intruksi president nomer 9 tahun
1977, Namun karna adanya perselisihan pendapat mengenai
metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down dikalangan
pemberantas korupsi itu sendiri cendrung semakin melemahkan upaya pemberantasan
korupsi, sehingga Opsib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan
para koruptor disinggasana Orde Baru.
4.
Tim pemberantas korupsi bar
Tim ini dibentuk tahun 1982 melalui modus menghidupkan kembali
(reinkarnasi) tim pemmberantas korupsi sebelumnya tanpa dibarengi dengan
penerbitan keputusan president yang baru.Koruptifnya orde baru seakan
memandulkan banyaknya lembaga yang telah dibentuk untuk membrantas korupsi.Apalagi
dengan modus bahwa lembaga ini berada dibawah kendali president dalam
pertanggung jawabannya. Bukan rahasia lagi kalau memang Orde baru adalah
orde korupsi dalam semua lini.
c.
Era Reformasi
pada era reformasi, usaha pembrantasan korupsi dimulai oleh
B.J.Habibie yang bersih dan bebas dari korupsi,kolusi,dan nepotisme, berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru,seperti komisi pengawas kekayaan
penjabat Negara (KPKPN),KPPU,maupun lembaga Ombudsman.
President berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk tim gabungan
pemberantas tindak pidana korupsi
( TGPTPK
) melalui peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2000. TGPTPK akhirnya dibubarkan
dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi
tidak sama juga dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi pemberantas
korupsi, tugas KPKPN melebur masuk kedalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang
dan menguap. Artinya KPK lah lembaga yang pemberantasan korupsi terbaru yang
masih exsis.
Komisi pemberantasan korupsi (KPK) dibentuk lewat undang – undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang komisi pemberantas tindak pidana korupsi, lembaga
baru ini dibentuk dalam suasana kebencian terhadap praktik kotor korupsi.
Sejak berdirinya tertanggal 29 Desember 2003, KPK telah dipimmpin
oleh 2 rezim yang berbeda.KPK jilid pertama 2003 – 2007 terdiri dari
Taufiqurachman Ruki, mantan polisi, sebagai ketua komisi. KPK jilid kedua yang
telah disumpah oleh president Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 19 Desember
2007, KPK jilid kedua dipimpin oleh Antasari Azhar (mantan kepala kejaksaan
negeri Jakarta selatan), sbagai ketua komisi. Dalam perjalananya lembaga KPK
masih menempati rating tertinggi keppercayaan publik dalam hal penegakan hukum
terutama kasus korupsi. Hal ini memang dipahami ddari kenyataan bahwa banyak
pencapaian positif yyang dilakukan KPK[2].
C.
Bentuk – bentuk korupsi di
indonesia .
Korupsi
merupakan tindakan yang sangat tercela, selaain merugikan Negara, tindakan
korupsi juga dapat merugikan pelaku korupsi itu sendiri jika terbukti
perbuatannya diketahui oleh penindak korupsi yang berwenang.
Di Indonesia, klafikasi tindakan korupsi secara garis besar dapat
di golongkan dalam beberapa macam bentuk. Khusus untuk intansi
yang melakukan administrasi penerimaan (revenue administration) yang meliputi
instansi pajak bea cukai, tidak termasuk pemda dan pengelola penerimaan pnbp,
tindakan korupsi dapay dibagikan menjadi beberapa jenis, antara lain :
1.
Korupsi kecil – kecilan (petty corruption) dan korupsi besar –
besaran (grand corruption). korupsi kecil – kecilan merupaakan bentuk korupsi
sehari – hari dalam pelaksanaan suatu kebijakan pemerintah. Korupsi ini
biasanya cenderung terjadi saat petugas bertemu langsung dengan masyarakat. Korupsi
ini juga di sebut dengan korupsi rutin (routine corruption) atau korupsi untuk
bertahan hidup (survival corruption). Korupsi kecil – kecilan umumnya
dijalankan oleh penjabat junior dan penjabat tingkat bawah sebagai pelaksana
fungsional. Contohnya adalah pungutan untuk mempercepat pencairan dana yang
terjadi di kppn. Sedangkan korupsi besar – besaran umumnya dilakukan oleh
penjabat level tinggi, karena korupsi jenis ini melibatkan uang dalam jumlah
yang sangat besar. Korupsi ini terjadi saat pembuatan, perubahan, atau
pengecualian dari peraturan. Contohnya adalah pembbebasan pajak bagi perusahaan
besar.
2.
Penyuapan (bribery), Untuk penyuapan yang biasanya dilakukan dalam
birokrasi pemerintahan di indonesia khususnya dibidang atau intansi yang
mengadministrasikan penerimaan Negara (revenue administration) dapat dibagi
menjadi empat antara lain :
1. Pembayaran untuk menunda atau
mengurangi kewajiban bayar pajak dan cukai.
2. Pembayaran untuk meyakinkan
petugas agar tutup mata terhadap kegiatan illegal.
3. Pembayaran kembali (kick
back) setelah mendapatkan pembebasan pajak, agar dimasa mendatang mendapat
perlakuan yang yang lebih ringan daripada administrasi normal.
4. Pembayaran untuk meyakinkan
atau memperlancar proses penerbitan ijin (license) dan pembebasan (clearance).
3.
Penyalahgunaan atau penyelewengan ( misappropriation)
Penyalahgunaan atau penyelewengan dapat terjadi bila pengendalian
administrasi (check and balances) dan pemeriksaan serta supervise transaksi keuuangan
tidak berjalan dengan baik. Contoh dari korupsi jenis ini adalah pemalsuan
catatan, klafikasi barang yang salah, serta kecurangan (fraud).
4.
penggelapan
(embezzlement) korupsi ini adalah
dengan menggelapkan atau mencuri uang Negara yang dikumpilkan, menyisakan
sedikit atau tidak sama sekali.
5.
Pemerasan (extortion) Pemerasan ini terjadi ketika masyarakat tidak
mengetahui tentang peraturan yang berlaku, dan dari celah inilah petugas
melakukan pemerasan dengan menakut – nakuti masyarakat untuk membayar lebih
mahal daripada yang semestinya.
6.
Perlindungan (patronage), Perlidungan
dilakukan dalam hal pemilihan, mutasi, atau promosi staf berdasarkan suku,
kinship, dan hubungan sosial lainnya tanpa mempertimbangkan prestasi dan
kemeampuan dari seseoran tersebut[1].
D.
Upaya penangan korupsi .
Seperti bentuk – bentuk kejahatan yang sering terjadi di
masyarakat, perbuatan korupsi termasuk salah satu kejahatan yang dikutuk
masyarakat dan terus diperangi oleh pemerintah dengan seluruh aparatnya. Hal
ini disebabkan karena akibat serta bahaya yang ditimbulkan oleh perbuatan
tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan Negara, menghambat dan
mengancam program pembangunan, bahkan dapat berakibat mengurangi partisipasi
masyarakat dalam tugas pembangunan dan menurunnya kepercayaan rakyat pada
jajaran aparatur pemerintah[2].
1.
Factor terjadinya korupsi. Perbuatan korupsi terjadi dimana – mana,
dan justru sering terjadi di Negara berkembang seperti indonesia. Hal tersebut
di sebabkan oleh factor antara lain :
1. Belum mantapnya sistem
administrasi keuangan dan pemerintahan.
2. Belum lengkapnya peraturan
perundang – undangan yang dimiliki.
3. Masih banyak ditemuinya celah
– celah ketentuan yang merugikan masyarakat.
4. Lemahnya dan belum
sempurnanya sistem pengawasan keuangan dan pembangunan.
5. Serta tingkat penggajian atau
pendapatan pegawai negri yang rendah .
Di samping itu juga masih dijumpai beberapa kendala yang
menyebabkan kurang efektifnya
upaya – upaya pemberantasan korupsi, yang menyebabkan pemberantasan korupsi
yang telah dilakukan belum mencapai hasil seperti yang diharapkan[3].
Kebijaksanaan pemerintah dalam mendorong exspor, peningkatan
insvestasi melalui fasilitas – fasilitas penanaman modal maupun kebijaksanaan
dalam kelonggaran, kemudahahan dalam bidang perbankan, sering menjadi sasaran
tindak pidana korupsi, yang berkedok menggunakan fasilitas – fasilitas
kemudahan dan kelonggaran yang diberikan pemerintah tersebut dengan cara
menipulasi data, menipulasi administrasi maupun pemalsuaan – pemalsuan data,
yang berakibat timbulnya keruugian Negara atau keuangan Negara.
2.
Factor kendala dalam upaya pemberantasan korupsi
Sayangnya sejarah kampanye anti korupsi di seluruh dunia tidak
menggembirakan. Di tingkat nasional dan daerah, di tingkat kementrian, dan di
tingkat organisasi seperti kepolisian, upaya anti korupsi besar – besaran
sekalipun dan telah tersebar luas dalam masyarakat cendrung tersendat – sendat,
terhenti, dan pada akhirnya mengecewakan.
Upaya anti korupsi banyak yang gagal karena pendekatan yang semata
– mata bersifat pendekatan umum, atau terlalu bertumpu pada himbauan moral.
Kadang – kadang upaya anti korupsi di lakukan setengah hati, kadang – kadang
upaya anti korupsi itu sendiri berubah menjadi alat yang kotor untuk
menjatuhkan lawan atau menyeret lawan kedalam penjara.
Untungnya ada juga upaya anti korupsi yang berhasil dan kita dapat
menarik pelajaran dari situ. Pelajaran ini adalah : kunci sukses upaya anti
korupsi adalah kita harus punya strategi untuk membrantas korupsi[4].
Dalam penjelasan lainnya faktor yang merupakan kendala dalam upaya
pemberantasan korupsi tersebut, yang kita jumpai selama ini meliputi : belum
memadainya sarana dan skill aparat penegak hukumnya, kejahatan korupsi yang
terjadi baru diketahui setelah memakan waktu yang lama, sehingga para pelaku
telah memindahkan, menggunakan dan menghabiskan hasil kejahatan korupsi
tersebut, yang berakibat upaya pengembalian keuangan Negara relatif sangat
kecil, beberapa kasus besar yang penangannya kurang hati – hati telah
memberi dampak negatif terhadap proses penuntutan perkarannya.
3.
Ketentuan dan rumusan mengenai
pemberantasan korupsi.
Di indonesia ketentuan mengenai pemberantasan korupsi telah ada
sejak berlakunya undang – undang no.24 prp.1960 tentang pengusutan penuntutan
dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Mengingat UU No.24 Prp. 1960 tersebut
sesuai dengan perkembangan masyarakat saat itu dinilai kurang mencukupi untuk
mencapai hasil yang diharapkan, maka telah diganti dengan UU No.3 tahun 1971
tentang tindak pidana korupsi.
Rumusan tindak pidana korupsi berdasarkan UU No.3 tahun 1971 lebih
luas dan memudahkan pembuktiannya dibandingkan rumusan tindak pidana korupsi
yang diatur dalam UU No.24 Prp, 1960. Hal ini sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan rasa tuntutan keadilan masyarakat terhadap pemberantas korupsi
yang sangat merugikan masyarakat, keuangan Negara dan perekonomian Negara.
Batasan tentang tindak pidana korupsi berdasarkan undang – undang
No.3 Tahun 1971 tentang batasan tindak pidana korupsi, meliputi :
Pasal 1 ayat (1)
a. Barang siapa degngan
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiriatau orang lain, atau
suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara
atau perekonomian negara, atau diketaahui patut disangka olehnya bahwa
perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
b. Barang siapa dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang secra langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara.
c. Barang siapa melakukan
kejahatan tercantum dalam pasal – pasal, 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417,
418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP.
d. Barang siapa member hadiah
atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengat
mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya
atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan itu.
e. Barangsiapa tanpa
alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat – singkatnya setelah menerima
pemberian atau janji yang diberkan kepadanya seperti yang tersebut pada pasal
418, 419, dan 420, KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji kepada yang
berwajib[5].
E.
Dampak korupsi .
1.
Dampak korupsi terhadap exsistensi Negara
a. Lesunya perekonomian
Korupsi memperlemah investasi dan
pertumbuhan ekonomi. Korupsi merintangi akses masyarakat terhadap pendidikan
dan kesehatan yang berkualitas. Korupsi memperlemah aktivitas ekonomi,
memunculkan inefisiensi, dan nepotisme. Korupsi menyebabkan lumpuhnya keuangan
atau ekonomi meluasnya praktek korupsi di suatu Negara mengakibatkan
berkurangnya dukungan Negara donor, karna korupsi menggoyahkan sendi – sendi
kepercayaan pemilik modal asing.
b. Meningkatkan keiskinan
Efek
penghancuran yang hebat terhadap orang miskin :
dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin, dampak
tidak langsung terhadap orng miski, dua kategori pendudk mskin di indonsia :
kemiskinan kronis ( chronic poverty ), keiskinan sementara ( transient poverty
), empat rsiko tinggi korupsi : ongkos fiansial (financial cost) moda manusia (
human capital ) kehancuran moral ( moal decay ) hancurnya modal social ( loss
of capital socal ).
c. Tinginya angka
kriminalias
Korupsi menyuburka bebagai
macam kejahatan lain dlam masyarakat. Semakin tinggi tingkat korupsi, semain
ber pula kejahatan. Menurut transparency rasionalnya, ketika angka korupsi meningkat,
maka angka kejahatan juga meningkat. Sebalknya, ketika angka korupsi berhasil
di kurangi, maka kepercayaan masyarakat terhdap penegakan hukum ( law
enforcement ) juga meningkat. Dengan mengurangi korups dapat juga ( secara
tidak lagsung ) mengurangi kejahatan yan lain.
Idealnya, angka kjahatan akan berkurang, jika timbul kesadaran
masyarakat (marginal detterrence). Kondisi ini hanya terwujud jika tingkat
kesadaran hukum dan tingkat kesejahteraan masyarakat sudah memadai
(sufficient). Soerjono soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum dalam suatu
Negara selain tergantung dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana
dan prasarana, juga tergantung pada kesadaran hukum masyaraka. Kesejahteraan
yang memadai mengandung arti bahwa kejahatan tidak terjadi oleh karena
kesulitan ekonomi.
d.
Demoraliasi
Korupsi yang merajalela di lingkungan pemerintah, dalam
pengelihatan masyarakat umum akan menurunkan kredeblitas peerintah yang
berkuasa, jika pemerintah justru memakmurkan praktik korupsi, maka lenyap pula
unsure hormat dan trust (kepercayan) masyarakat kepada pemerintah. Praktik
korupsi yang kronis menimbulkan demoralisasi di bagian pembangunan, korupsi
pertumbuhan ekonomi. Lembaga internasional menolak membantu Negara – Negara
korup. Sun yan said : korupsi menimbulkan demoralisasi, kersahan sosial, dan
keterasingan politik.
e.
Kehancuran birokrasi
Kehancuran birokrasi pemerintah merupakan garda depan yang
berhubungan dengan pelayan umum kepada masyarakat. Korupsi melemahkan birokrasi
sebagai tulang punggung Negara, korupsi menimbulkan ketidak efisienan yang
menyeluruh di dalam birokrasi. Korupsi di dalam birokrasi dapat di katagorikan
dalam dua kecendrungan : yang menjangkiti masyarakat dan yang dilakukan
dkalangan mereka sendiri. Transparency internasional membagi kegiatan korupsi
di sektor publik kedalam dua jenis yaitu : korupsi adminisratif dan korpsi
politik.
Menurut indria samego, korupsi menimbulkan empat kerusakan di tubuh
birokrasi militer indonesia : secara formal, material anggaran pemerintah untuk
menopang angaran angkatan berenjata sangat kurang, padahal pada kenytaanya TNI
memiliki sumber dana lain diluar APBN. Prilaku bisnis perwira militer dan
kolusi yang mereka lakukan dengan pengusaha menimbulkan ekonomi biaya tinggi
yang lebih banyak mudorotnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan
prajurit secara keseluruhan.orientasi komesial pada sebagian perwira militer
pada giliranya juga menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang tidak
memilki kesmpatan yang sama.
Orientasi komersial akan semakin melunturkan semangat
profesionalisme militer pada sebagian perwira militer yang mengenyam kenikmaan
berbisnis, baik atas nama angkatan bersenjata atau nama pribadi.
F.
Penanganan Korupsi Paska Pembentukan KPK .
Komisi
pemberantasan korupsi atau disingkat KPK adalah komisi di indonesia yang
dibentuk pada tahun 2003, untuk mengatasi, menanggulangi dan membrantas korupsi
di indonesia. Komisi ini didirkan berdasakan kepada undang – undang republik
indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai komisi pemberantasan tindak pidana
korupsi.
> Tahun
2004 tercatat ada 6 (enam) kasus korupsi besar yang ditangani oleh KPK.
> Tahun
2005 tercatat ada 6 (enam) kasus korupsi besar yang ditangani oleh KPK.
> Tahun
2006 tercatat ada 8 (delapan) kasus korupsi besar yang ditangani oleh KPK.
> Tahun
2008 tercatat ada 10 (sepuluh) kasus korupsi besar yang ditangani oleh KPK.
> Tahun
2009 tercatat ada 1 (satu) kasus korupsi besar yang ditangani oleh KPK.
> Tahun
2010 tercatat ada 2 (dua) kasus korupsi besar yang ditangani oleh KPK.
DAFTAR PUSTAKA
Teten Masduki, penuntun pemberantasan
korupsi,Partenership For Governance Reform indonesia,2002.
Soejono,S.H.,M.H.,kejahatan dan penegakan hukum di
Indonesia,Rineka Cipta.
Adib Bahari, S.H.- Khotibul Umam, S.H.,KPK,komisi
pemberantasan korupsi dari A sampai Z,Pustaka Yustisia.
http://inspirasikecilku.blogspot.com/2010/06/bentuk-korupsi-di-indonesia.
http://dyhretnow.blogspot.com/2011/11/dampak-korupsi-terhadap-ekstensi.
http://id.wikipedia.org/wiki/komisi-pemberantas-korupsi
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.....7
HUKUM PERDATA
A.
Pengertian Hukum Perdata Arti Luas dan Sempit
1.
Pengertian hukum perdata
Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof.
Djojodiguno sebagai terjemahan dari bahasa Belanda yaitu burgerlijkrecht
Wetboek (B.W) pada masa pendudukan Jepang. Di samping istilah
itu, sinonim hukum perdata adalah civielrechtdan privatrecht. Para
ahli memberikan batasan hukum perdata, seperti berikut. Van Dunne mengartikan
hukum perdata, khususnya pada abad ke -19adalah: “Suatu peraturan yang mengatur
tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan
keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum publikmemberikan jaminan
yang minimal bagi kehidupan pribadi”
Pendapat lain yaitu Vollmar, dia mengartikan hukum perdata adalah:
“Aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan
dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan perseorangan dalam
perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengna kepentingan yang
lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai
hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas”[1]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata
yang dipaparkan para ahli di atas, kajian utamanya pada pengaturan tentang
perlindungan antara orang yang satu dengan orang lain, akan tetapi di dalam
ilmu hukum subyek hukum bukan hanya orang tetapi badan hukum juga termasuk
subyek hukum, jadi untuk pengertian yang lebih sempurna yaitu keseluruhan
kaidah-kaidah hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur
hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain dalam hubungan kekeluargaan
dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.
2.
Arti luas
Hukum perdata dalam arti luas adalah bahan hukum sebagaimana
tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yaitu segala hukum
pokok yang mengatur kepentingan perseorangan, dan juga Kitab Undang-Undang
hukum dagangWetboek van Koophandel(WVK) beserta sejumlah undang-undang yang
disebut undang-undang tambahan lainnya seperti peraturan yang ada dalam
KUHPerdata, KUHD, serta sejumlah undang-undang tambahan (UU pasar modal, UU
tentang PT dan sebagainya)).
3.
Arti sempit
Hukum perdata dalam arti sempit yaitu hukum perdata sebagaimana
yang terdapat dalam KUHPerdata saja.
B.
Pengertian Hukum Perdata Material dan Formal
1.
Hukum Perdata Material
Pengertian hukum perdatamaterial adalah menerangkan
perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum serta hukuman-hukuman apa yang dapat
dijatuhkan. Hukum materil menentukan isi sesuatu perjanjian, sesuatu perhubungan
atau sesuatu perbuatan. Dalam pengertian hukum materil perhatian ditujukan
kepada isi peraturan.
2.
Hukum Perdata Formal
Pengertian hukum perdata
formal adalah menunjukkan cara mempertahankan atau menjalankan
peraturan-peraturan itu dan dalam perselisihan maka hukum formil itu
menunjukkan cara menyelesaikan di muka hakim. Hukum formil disebut pula hukum
Acaara. Dalam pengertian hukum formil perhatian ditujukan kepada cara
mempertahankan/ melaksanakan isi peraturan.[2]
C.
Sumber Hukum Perdata
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan
yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau
dilanggar mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas dan nyata.[3]Sumber hukum perdata adalah asal mula hukum perdata atau tempat
dimana hukum perdata di temukan.[4]
Volamar membagi sumber hukum perdata menjadi empat macam. Yaitu
KUHperdata ,traktat, yurisprudensi, dan kebiasaan. Dari keempat sumber tersebut
dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu sumber hukum perdata tertulis dan tidak
tertulis. Yang dimaksud dengan sumber hukum perdata tertulis yaitu tempat
ditemukannya kaidah-kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tertulis.
Umumnya kaidah hukum perdata tertulis terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sumber hukum perdata tidak
tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukum perdata yang berasal dari
sumber tidak tertulis. Seperti terdapat dalam hukum kebiasaan.
Yang
menjadi sumber perdata tertulis yaitu:
1. AB (algemene bepalingen van Wetgeving) ketentuan umum
permerintah Hindia Belanda
2. KUHPerdata (BW)
3. KUH dagang
4. UU No 1 Tahun 1974
5. UU No 5 Tahun 1960 Tentang Agraria.[5]
D.
Sistematika Hukum Perdata
Sistematika, yang di dalam bahasa Inggris,
disebutsystematics, bahasa Belandanya, yaitu systematiken, yaitu
susunan atau struktur dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di negara-negara
yang menganut sistem Common Lawtidak mengenal pembagian antara hukum
publik dan hukum privat. Sehingga hukum perdatanya tidak dibuat dalam sebuah
kodifikasi, tetapi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hukum perdata
tersebar dalam berbagai act atau undang-undang. Namun, di dalam
sistem hukum yang menganutCivil Law, maka sumber hukum utama, yaitu hukum
kodifikasi yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berikut ini,
disajikan sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di
Indonesia, Belanda, Rusia, Perancis dan Jerman.[6]
Sistematika KUH Perdata yang berlaku di Indonesia, meliputi :
Buku
I :
tentang orang
Buku
II : tentang
Hukum Perdata
Buku
III : tentang
Perikanan
Buku
IV : tentang
Pembuktian dan Daluarsa
Di negeri Belanda, Kitab Undang-Undang Hukum Perdatanya telah
dilakukan penyempurnaan. Dengan adanya penyempurnaan itu, maka terjadi
perubahan sistematika, yang semula hanya terdiri atas lima buku, yang meliputi
:
Buku
I : tentang hukum orang dan
keluarga (Personen-en-Familierecht)
Buku
II : tentang Badan Hukum (Rechrspersoon)
Buku
III : tentang Hukum Kebendaan (Van Verbindtenissen)
Buku
IV : tentang Daluarsa(Van Verjaring)
Kelima buku itu telah disempurnakan menjadi sepuluh buku. Kesepuluh
buku itu, meliputi :[7]
Book
1 : Person
and Family Law (Hukum orang dan Keluarga)
Book
2 : Legal
Person(Badan Hukum)
Book
3 : Property
Law in General (Hukum harta kekayaan secara umum)
Book
4 : Succession
(inheritance) (hukum warisan)
Book
5 : Real
Property Rights (hak atas harta kekayaan)
Book
6 : Obligation
and Contracts (perikatan dan kontrak)
Book
7 : Particular
Contracts (revised) (perjanjian khusus)
Book
7 : Particular
Contracts (unrevised) (perjanjian khusus)
Book
8 : Transport
Law(hukum pengangkutan)
Book
9 : Intellectual
Property (hak kekayaan intelektual)
Book
10 : Private
International Law (hukum perdata internasional)
Sementara itu, Rusia merupakan salah satu negara yang cukup maju
dalam perkembangan hukum, khususnya hukum perdata, karena dinegara ini telah
menetapkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Federasi Rusia, yang disebut
dengan The Civil Code of the Russian Federation. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Federasi Rusia ditetapkan dalam dua tahap, yaitu :[8]
1. Tahap
pertama ditetapkan pada tahun 2003
2. Tahap
kedua ditetapkan pada tanggal 18 Desember 2006.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Rusia terdiri dari 1551 pasal
atau artikel dan empat bagian dan masing-masing dibagi dalam
divisi-divisi. Code Civil Prancis terdiri dari empat buku dan terdiri
atas bagian dan pasal, jumlah pasal yang tercantum Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Prancis, yaitu sebanyak 2302 pasal. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Jerman
atau disebut juga German Civil Code atau Bürgerlichen Gesetzbuches (BGB)
terdiri dari empat buku dan 2385 pasal, dan ditetapkan pada 18 agustus 1896.
E.
Asas-asas Hukum Perdata
Beberapa asas yang terkandung dalam KUHPerdatayang sangat penting
dalam Hukum Perdata adalah:
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas
ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun
juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur
dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).
2. Asas Konsensualisme
Asas
konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal
tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya
kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang
menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal,
melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
3. Asas Kepercayaan
Asas
kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan
perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka
dibelakang hari.
4. Asas Kekuatan Mengikat
Asas kekuatan mengikat ini adalah asas yang menyatakan bahwa
perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian
tersebut dan sifatnya hanya mengikat.
5. Asas Persamaan hukum,
Asas
persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak
boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu
berbeda warna kulit, agama, dan ras.
6. Asas Keseimbangan,
Asas
keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi
dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur,
namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan
itikad baik
7. Asas Kepastian Hukum,
Asas
kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan
asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan
asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak
boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
8. Asas Moral
Asas
moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari
seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak
debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan
dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk
meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan
motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan
pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya
9. Asas Perlindungan
Asas
perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus
dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak
debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang
menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu
kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus
diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu
kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para
pihak
10. Asas Kepatutan.
Asas
kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPdt. Asas ini berkaitan dengan ketentuan
mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat
perjanjiannya
11. Asas Kepribadian (Personality)
Asas
kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan
dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
12. Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas
itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas
bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik
dari para pihak.[9]
F.
Sejarah Hukum Perdata di Indonesia
Hukum perdata tertulis yang berlaku di Indonesia merupakan produk
hukum perdata Belanda yang diberlakukan asas konkordansiyaitu hukum yang
berlaku di negeri jajahan (Belanda) sama dengan ketentuan yang berlaku di
negeri penjajah.
Secara makrosubtansial perubahan-perubahan yang terjadi pada hukum
perdata Indonesia : Pertama, pada mulanya hukum perdata indonesia
merupakan ketentuan-ketentuan pemerintahan Hindia-Belanda yang diberlakukan di
Indonesia (Algamene Bepalingen van Wetgeving) Kedua dengan
konkordansi pada tahun 1847 diundangkan KUHPerdata (BW) oleh pemerintahan
Belanda.
Dalam prespektif hukum sejarah, hukum perdata yang berlaku di
Indonesia terbagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum
Indonesia merdeka dan periode setelah Indonesia merdeka.[10]
1.
Hukum Perdata pada masa penjajahan Belanda
Sebagai negara jajahan, maka hukum yang berlaku di Indonesia adalah
hukum bangsa penjajah. Hal yang sama untuk hukum perdata. Hukum perdata yang
diberlakukan bangsa Belanda untuk Indonesia mengalami adopsi dan perjalanan
sejarah yang sangat panjang.
Pada mulanya hukum perdata Belanda dirancang oleh suatu panitia
yang dibentuk tahun 1814 yang diketuai oleh Mr.J.M Kempers (1776-1824). Tahun
1816, Kempers menyampaikan rencana code hukum tersebut pada masa pemerintahan
Belanda didasarkan pada hukum belanda kunodan diberi nama own Kempers. Dalam
perjalanannya bagi orang-orang Tiong Hoa dan bukan Tiong Hoa mengalami
pembedaan dalam pelaksanaan perundang-undangan dalam hukum perdata.
2.
Hukum Perdata sejak Kemerdekaan
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia didasarkan pada pasal II
aturan peralihan UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan
dinyatakan masih berlaku sebelum diadakan peraturan baru menurut UUD termasuk
didalamnya hukum perdata belanda yang berlaku di Indonesia. Hal ini untuk
mencegah terjadinya kekosongan hukum(Rechtvacum), dibidang Hukum Perdata.
Menurut Sudikno Mertokusumo, keberlakuan hukum perdata Belanda
tersebut di Indonesia didasarkan pada berberapa pertimbangan. Selain itu,
secara keseluruhan hukum perdata Indonesia dalam perjalanan sejarahnya
mengalami berberapa proses perubahan yang mana perubahan tersebut disesuaikan
dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri. Hukum perdata ini meliputi enam
pembahasan, yaitu : Hukum Agraria, Hukum Perkawinan, Hukum Islam yang
Direseptio, Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan
Tanah, Jaminan Fidusia, dan Lembaga Penjaminan Simpanan.[11]
FOOTNOTE
[1] Kansil,
C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia ,(Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), hlm. 209.
[2]http://www.hukumsumberhukum.com/2014/05/hukum-materil-dan-hukum-formil.html di
akses tanggal 13/09/2015
[3] A. Siti
Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Bandung : PT Refika Aditama,
2007), hlm. 9.
[4] Abdulkadir
Muhammad,Hukum Perdata Indonesia,(Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2014), hlm.
13.
[5] http://ilmuhukumuin-suka.blogspot.co.id/2013/05/pengertian-hukum-perdata.htmldiakses
pada tanggal 13/09/2015
[6]Erlis Septiana
nurbani,Perbandingan Hukum perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2014), hlm. 17.
[7]https://purnama110393.wordpress.com Diakses
pada 13-09-15
[8]Sri Sudewei
Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata dan Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty),
hlm. 5.
[9]http://yosepaliyinsh.blogspot.co.id/2012/09/asas-asas-hukum-perdata.html diakses
pada tanggal 13/09/2015
[11] Titik
Triwulan Tutik,Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2010), hlm. 20-25.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......8
HK. PERDATA ISLAM DAN HK. PERDATA BARAT
A.
HukumAdat.
Hukum adat sering kita kenal dimasyakat dengan sebutan kebiasaan, hukum adat yang ada di Indonesia sangatlah beragam mengingat daerah indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya dan agama yang saling berbeda. Hukum adat pertamakali diperkenalkan oleh C Snouck Hurgronje di Indonesia dari bahasa belanda yaitu “adatrecth” yang selanjutnya dipakai oleh Van Vollenhoven dengan istilah teknis yuridis. Istilah hukum adat baru muncul dalam perundang-undangan pada tahun 1980, yaitu dalam undang-undang belanda mengenai perguruan tinggi di negeri Belanda. Hukum adat mulai diperkanalkan sejak zaman belanda, hal ini terbukti dengan adanya pengendalian masyarakat aceh dengan hukum adat. Hal ini diperjelas dengan sebuah buku yang berjudul De Atjehers yang dikarang oleh Snouck. Hukum adat adalah hukum non statutair dimana sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam. Hukum adat memang tidak diberlakukan secara tertulis seperti halnya undang-undang, namun keberadaab hukum adat sendiri memang diakui sebagi suatu aturan yang berlaku didalam sebuah masyarakat tertentu dan dilindungi keberadaannya oleh undang-undang[1]. Hukum adat ditemukan pertamakali oleh tiga orang yang berkebangsaan belanda yang dikenal dengan trio penemu hukum adat yaitu:
1. Penemu hukum adat yang pertama.
Hukum adat sering kita kenal dimasyakat dengan sebutan kebiasaan, hukum adat yang ada di Indonesia sangatlah beragam mengingat daerah indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya dan agama yang saling berbeda. Hukum adat pertamakali diperkenalkan oleh C Snouck Hurgronje di Indonesia dari bahasa belanda yaitu “adatrecth” yang selanjutnya dipakai oleh Van Vollenhoven dengan istilah teknis yuridis. Istilah hukum adat baru muncul dalam perundang-undangan pada tahun 1980, yaitu dalam undang-undang belanda mengenai perguruan tinggi di negeri Belanda. Hukum adat mulai diperkanalkan sejak zaman belanda, hal ini terbukti dengan adanya pengendalian masyarakat aceh dengan hukum adat. Hal ini diperjelas dengan sebuah buku yang berjudul De Atjehers yang dikarang oleh Snouck. Hukum adat adalah hukum non statutair dimana sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam. Hukum adat memang tidak diberlakukan secara tertulis seperti halnya undang-undang, namun keberadaab hukum adat sendiri memang diakui sebagi suatu aturan yang berlaku didalam sebuah masyarakat tertentu dan dilindungi keberadaannya oleh undang-undang[1]. Hukum adat ditemukan pertamakali oleh tiga orang yang berkebangsaan belanda yang dikenal dengan trio penemu hukum adat yaitu:
1. Penemu hukum adat yang pertama.
Ialah Wilken datang di Indonesia sebagai pegawai pangreh praja
belanda mula-mula diburu, kemudian di Gorontalo dan minahasa barat, selanjutnya
di sipirok dan mandailing. Di semua daerah itu ia membukukan segala sesuatu
yang dilihatnya, seperti tentang hak hutan diburu, tentang hak tanah hakullah
di sipirok. Pada wilken hukum adat itu merupakan suatu bahan mandiri, meskipun
ia tetap memelihara hubunganya dengan kebiasaan dan religi rakyat. Karena
Wilken memberi tempat tersendiri kepada hukum adat itu, maka ia tidak mencampur
adukkan hukum agama dengan hukum penduduk asli yang di sana-sini menunjukkan
penyimpangan karena unsur-unsur agama islam atau agama hindu.
2. Penemu hukum adat yang kedua.
2. Penemu hukum adat yang kedua.
Ialah Liefrinck menjalankan tugasnya di lapangan Hukum sebagai
pegawai Pangreh Praja Belanda di Indonesia .Seperti halnya dengan Wilken,maka
Liefrinck-pun memberi tempat tersendiri kepada Hukum Adat.Namun berbeda dengan
Wilken,maka Liefrinck membatasi penyelidikannya hanya pada satu lingkungan
Hukum Adat,yaitu Bali dan Lombok. Pada tahun 1927 tulisan-tulisan terpenting
dari Liefrinck di kumpulkan oleh van Earde di dalam sebuah himpunan “Bali dan
Lombok” dengan sub judul: “GESCHRIFTEN”.
3. Penemu hukum adat yang ketiga.
3. Penemu hukum adat yang ketiga.
Ialah Snouck Hurgronje seorang sarjana sastra yang menjadi
politkus. Pada tahun 1884-1885 ia mengembara di tanah Arab sebagai mahasiswa,di
Mekkah ia bertemu dengan orang Indonesia (Aceh dan Jawa) sehingga ia mengenal
hukum adat.Tahun 1891 ia dikirim ke Indonesia untuk mempelajari lembaga
Isalam,selama di Indonesia ia menulis beberapa buku: tentang lembaga-lembaga
kebudayaan di Sumatera bagian utara,”De Atjehers”,dan “Het Gajoland”.Karyanya
itu mengagumkan dunia Ilmu,karena ia mengarangnya berdasarkan percakapan belaka
dengan orang-orang yang berada di pedalaman,sedang daerah itu belum atau tidak
di kunjunginya. Karya utamanya “De Atjhers” dan “Het Hajoland”,terkonsentrasi
pada satu lingkungan hukum atau bagian dan tidak bersifat perbandingan untuk
seluruh Nusantara[2].
B.
Sejarah politik hukum adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar