Selasa, 24 April 2018

Sejarah Pendidikan Islam Bagian II (dua)


1.      ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak tidak ada manfaatnya, baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, rujum dan ilmu ramalan.
2.      ilmu-ilmu terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa , mendekatkan diri kepada Allah.
3.       ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, dan tercela bila mempelajarinya secara mendalam, karena jika dipelajari nya secara mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya kekacauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan, serta dapat pula membawa pada kekafiran, seperti ilmu filsafat.
·         Al-Ghazali tergolong sebagai penganut paham pragmatis teologis, yaitu pemanfaatan yang didasarkan atas tujuan iman dan dekat denganAllah SWT. Hal ini tidak dapat dilepas dari sikapnya sebagai seorang sufi yang memiliki trend praktis dan faktual.
·         menurut al-Ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajaran.
·         Metode yang bisa digunakan, misalnya ia menggunakan metode mujahadah dan riyadhah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli serta bimbingan dan nasihat, dan tidak kalah pentingnya adalah dengan keteladanan. Sedangkan media/alat beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman, disamping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak mulia.
a.       Rasa kasih sayang,
b.      Guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajar itu.
c.       Sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya
d.      Menggunakan cara yang simpatik, halus, dan tidak menggunakan kekerasan
e.       Sebagai teladan atau panutan yang baik dihadapan murid-muuridnya
f.       Memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki
g.      Memahami bakat, tabi’at dan kejiwaan muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya.[1]
Adapun kaitannya terhadap peserta didik, bahwa fitrah manusia mengandung pengertian yang sangat luas. Al-Ghazali menjelaskan klasifikasi fitrah dalam beberapa pokok sebagai berikut:
a.       Beriman kepada Allah.
b.      Kemampuan dan kesedian untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran.
c.       Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran.
d.      Dorongan biologis yang berupa syahwat.
  • Dengan demikian konsep fitrah yang diletakkan Al-Ghazali dalam memahami peserta didik masih memiliki relevansi dengan dunia pendidikan modern dalam hal sifat-sifat pembawaan, keturunan dan insting manusia. Hanya saja, dalam hal ini pandangan Al-Ghazali lebih terkonsentrasi pada nilai moral, belajar merupakan salah satu bagian dari ibadah guna mencapai derajat seorang hamba yang tetap dekat (taqarrub) dengan khaliknya.
  • Selanjutnya syarat yang mendasar bagi peserta didik seperti diatas mendorong kepada terwujudnya syarat dan sifat lain sebagai seorang peserta didik, syarat- syarat tersebut antara lain:[2]
1)      Peserta didik harus memuliakan pendidik dan bersikap rendah hati atau tidak takabur.
2)      Peserta didik harus merasa satu bangunan dengan peserta didik lainnya
3)      Peserta didik harus menjauhi diri dari mempelajari berbagai madzhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran
4)      Peserta didik harus mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang bermanfaat.
Kelompok...11
GAGASAN IBNU JAMA’AH
A.    Riwayat Hidup Ibn Jama’ah
·         Ia lahir di Hamah, Mesir, 639 H/1241 M. Ia wafat pada pertengahan malam akhir hari Senin tanggal 21 Jumada al-Ula tahun 733 H/1333 M dan dimakamkan di Qirafah, Mesir. Dengan demikian, Ibn Jama’ah genap berusia 64 tahun 1 bulan 1 hari.
·         Dengan melihat kurun waktu masa hidupnya, Ibn Jama’ah hidup setelah al-Ghazali (450 H/1058 M-505 H/1111 M), Ibn Rusyd (1126-1198 M), dan al-Zarnuji (wafat sekitar 615 H/1222 M), dan hampir bersamaan dengan Ibn Bathuthah (1304-1377 M), dan Ibn Khaldun (732 H-808 H/1332 M-1398 M).
·         Dalam keluarganya , Ibn Jama’ah memiliki empat orang saudara, dan Jama’ah sendiri merupakan anak yang paling kecil (bungsu). Dan istilah keluarga ini telah melahirkan sejumlah intelektual muslim pada masanya. Sebagaimana ‘Abd al-Jawaad Khalaf mencatat, bahwa setidaknya ada empat puluh sarjana terkenal yang lahir dari keluarga Jama’ah sepanjang masa Ayubiyah dan Mamlik.
·         Pengalaman pendidikan Ibn Jama’ah diperoleh untuk pertama kalinya dari lingkungan keluarganya, yang telah miliki tradisi intelektual yang mapan. Ayahnya sendiri, Ibrahim ibn Sa’d Alah Ibn Jama’ah (596-675 H), adalah seorang ulama besar dan ahli fiqih sekaligus sufi. Dan ayahnya inilah Ibn Jama’ah banyak mendapatkan ilmu.
·         Ibn Jama’ah juga memperoleh kesempatan berguru kepada sejumlah tokoh kairo, mesir, yakni kepada:
1.      Taqy al-Din Ibn Razin (wafat 68-/1281), dan
2.      Jamal al-Din Ibn Malik guna mempelajari ‘ilm Nahw.
3.      Al- Rasyd al-Athar (wafat 662/1264),
4.      Ibn Abi Umar,
5.      al-Taj al-Qasthalany (wafat 665/1267),
6.      al-Majd ibn Daqiq al-id (wafat 667/1269),
7.      Ibn Abi Muslamah,
8.      Makky Ibn Ilan,
9.      Isma’I al-Iraqy,
10.  al-Mushaffa,
11.  al-Braza’iy,
12.  syarf al-Din  al-Subki (wafat 669/1271).
·         Berkat pengembaraannya itu, Ibn Jama’ah sangat professional dalam banyak bidang sehingga ia menjadi pendidik, orator, hakim, penyair, faqih, mufassir, muhadddits dan lain-lain. Sebagai pendidik, ia pernah mengajar di Damaskus seperti Qimyariyah, lembaga akademik Ibn Thulun, salah satu Institusi pendidikan yang lebih menekuni pada konsep-konsep Syafi’iyyah, dalam masa yang cukup panjang. Dari beberapa keterangan yang didapat, Ibn Jama’ah tampaknya menguasai aspek-aspek pendidikan. Seperti kesan yang dilontarkan Ibn Hajar ‘’ia penuh kasih sayang, berakhlak bai, pandai ceramah… mengajar dengan baik tanpa kekerasan’’.
·         Sebagai orator, Ibn Jama’ah sering ceramah di masjid al-Aqsha dan lembaga pendidikan al-Amwa, Damaskus, juga di al-adzhar, mesir, dalam interval masa yang cukup lama. Seringnya ceramah di Damaskus dan Mesir ini berbarengan dengan kesibukannya seagai hakim (Qadhy al-Qudhah). Karir dalam bidang hukum ini terlihat pada tahu 687 H ketika ia menjabati sebagai hakim di Damaskus, dan tahun 690 H beliau pinah ke daerah mesir. Pada masa itulah Ibn Jama’ah sering bergabung dan bertukar pikiran dengan beberapa syaikh yang lain.
·         Sungguhpun demikian, karir Ibn Jama’ah dalam bidang hakim ini tampaknya diuntungkan oleh situasi politik ketika terjadi pertentangan antarhakim al-Syafi’iyah di Mesir, yakni antara Taqy al-Din Abd al-rahman Ibn al-A’uzz dengan al-Wazir Ibn al-sal’us, mengenai kandidat yang dapat diajukan untuk menduduki posisi penguasa hukum (qashy). Ibn Sal’us merekomendasikan kepada penguasa mesir, ketika itu Khalil Ibn Qalawun, bahwa yang berhak menduduki posisi itu adalah Ibn Jama’ah. Rekomendasi itu kemudia diterima oleh penguasa dan ditetapkanlah Ibn Jama’ah yang dipilih
·         Pada permulaan tahun 693 H. penguasa mesir terbunuh, lalu ibn jama’ah pindah ke Syam hingga bertemu dengan Ibn al-A’uzz dan Taqy al-Din Ibn Daqiq al-id. Tahun 702 H. Taqy al-Din Ibn Daqiq al-id wafat dan Ibn Jama’ah pindah lagi ke Mesir hingga awaltahun 710-an H. akhirnya, Ibn jama’ah tetap menjadi qadhy dan berakhir hingga tahun 727 H oleh karena kondisi kesehatannnya kurang normal.
·         Selain ahli dalam beberapa disiplin di atas, Ibn Jama’ah juga dapat dipandang sebagai ahli sastra pada zamannya. Ia ingat betul pada nazham-nazham syairnya, sehingga imam al-Asnawi menyatakan bahwa Ibn Jama’ah piawai dalam menyusun syair-syair yang baik. Kesan demikian pun tampaknya diakui juga oleh Ibn hajar.
·         Sesungguhnya ibn Jama’ah ahli dalam banyak hal, namun hidup kesehariannya tampak sederhana baik dalam hal makanan, pakaian, kendaraan, maupun tempat tinggalnya. Ia sangat menjaga diri dari perbuatan maksiat (wara’), konsisten dalam beribadah kepada allah (murraqabah), mengasihi orang fakir-miskin, menyukai tasawuf, toleran, senantiasa terbuka dan menyukai ilmu pengetahuan. Bagi Ibn Jama’ah ilmu pengetahuan harus lebih diutamakan daripada melakukan ibadah sunnah yang bersifat jasmani, seperti shalat, puasa, membaca tasbih, dan lain-lain. Menurutnya, ilmu pengetahuan mampu memberikan efek positif kepada yang bersangkutan, disamping juga kepada orang lain secara keseluruhan. Ibadah hanya memberikan implikasi spesifik, yakni hanya kepada yang melakukan ibadah itu saja, sementara orang lain tidak.[3]
B.     Karakteristik Pemikiran Kependidikan Ibn Jama’ah
·         menurut Hasan Langgulung, pada dasarnya literatur kependidikan islam itu dapat di golongkan ke dalam beberapa corak.
1.      corak pemikiran pendidikan yang awalnya adalah sajian dalam spesifikasi fiqih, tafsir dan hadis kemudian mendapat perhatian tersendiri dengan mengembangkan aspek-aspek pendidikan. Model ini diwakili oleh Ibn Hazm (384-456 H) dengan karyanya Kitab al-mufashshal fi al-Milal wa al-ahwa wa al-nihal.
2.      corak pemikiran pendidikan yang bermuatan sastra. Contohnya adalah Abdullah bin al-Muqaffa’ (106-142 H/724-759 M) dalam karyanya Risalat al-shahabah yang dianggap memuat pemikiran-pemikiran yang bersal dari luar islam dan al-Jahiz (160-225 h/775-868 M) dengan karyanya al-Taj fi akhlaq al-Muluk yang memuat pemikiran arab islam yang asli.
3.      corak pemikiran pendidikan islam filosofis. Sebagai contoh adalah corak pendidikan yang dikembangkan oleh aliran Mu’tazilah, Ikhwan al-Shafa dan para filosof. Beberapa filosof yang menyediakan konsep pendidikannya dengan model ini adalah al-kindi (259 H/873 M), al-Farabi ( wafat 339 H/951 M), Ibn sina (wafat 432H/1027 M), al-Ghazali (wafat 505 H/1111 M), Ibn Rusyd (wafat 559 H/1198 M), dan Ibn Khaldun (wafat 808 H/1406 M).
4.      pemikiran pendidikan islam yang berdiri sendiri dan berlainan dari beberapa corak di atas, tetapi ia tetap berpegang pada semangat Alquran dan al-Hadist. Corak yang terakhir ini terlihat pada karya Muhammad bin Sahnun (wafat 256 H/871 M) adab al-mu’allimin, dan Burhan al-Din al-Zarnuji (wafat 571 atau 591 H), ta’lim al-muta’allim Thariqq al-Ta’allum.
·         Jika mengacu pada klasifikasi hasan langgulung di atas, tampaknya  Tadzkirat al-sami’ wa al-mutakallim fi adab al-Alim wa al-muta’allim dapat digolongkan pada corak yang terakhir. Hal ini didasarkan atas kandungan dalam kitab tersebut yang tidak memuat kajian-kajian dalam spesifikasi fiqih, sastra, dan filsafat. Baik  tadzkirat al-sami’ maupun adab al-alim, keduanya semata-mata untuk memberi petunjuk praktis bagi siapa saja yang terlibat dalam proses pendidikan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn jama’ah tentang latar belakang penulisannya.
·         Selain itu, Tadzkirat al-sami’ mempunyai banyak kesamaan dengan  Ta’lim al-Muta’allim karya al-Zarnuji. Dalam kitab-kitab tersebut, masing-masing membahas secara khusus ide-ide kependidikan dengan mengutip pandangan sejumlah ulama, sehingga tidaklah berlebihan jika antara kitab Tadzkirat al-Sami’ di satu sisi dengan Ta’lim al-Muta’allimi di sisi lain, dalam hal ini dapat dianalogikan.
·         Di sisi lain, karakter pemikiran pendidikan Ibn Jama’ah dapat dimasukan ke dalam garis mazhab syafi’iyyah. Bukti kuat untuk menunjukan bahwa Ibn Jama’ah itu penganut mazhab Syafi’iyyah adalah adanya pe-nisbah-an al-Syafi’iy pada nama Ibn Jam’ah. Di samping itu, Ibn Jama’ah seringkali mengutip tokoh-tokoh Syafi’iyah, termasuk Imam al-syafi’I sendiri, ketimbang tokoh-tokoh mazhab lain. Menurut ‘Abd al-Mu’idz Khan, denga pengungkapa ide-ide tokoh mazhab yang dianutnya, hampir dapat dipastikan itu memberi pengaruh terhadap pemikiran kependidikannya.
·         Bagi Ibn Jama’ah, penganutan dirinya terhadap mazhab Syafi’iyah agaknya didorong oleh kondisi social, politik, dan tradisi keagamaan yang berkembang ketika itu. Sebagaimana dideskripsikan dalam biografi Ibn Jma’ah, setelah Dinasti Fatimiyah yang menganut aliran Syi’ah dihancurkan oleh Dinasti Ayubiyah yang sangat fanatic terhadap  Syafi’iyah, gagasan-gagasan syafi-isme kian mendapat tempat yang lebih luas dalam segala sektor, termasuk dalam pendidikan. Segala upaya Ayubiyah dikerahkan semata-mata untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh Syi’ah dan menghidupkan tradisi-tradisi Syafi’iyah. Oleh karenanya, hal itu sangat memungkinkan terhadap pembentukan kecenderungan pemikiran Ibn Jama’ah sebagai pemikir yang menganut mazhab syafi’iyah.
·         Kecendeungan lain dalam pemikiran Ibn Jama’ah adalah mengetengahkan nilai-nilai estetika yang bernapaskan sufistik.
·         Kecenderungan sufistik pada pemikiran Ibn jama’ah tampaknya lebih dipengaruhi oleh penidikan dialaminya, terutama dengan ayahnya, Ibrahim bin sa’ad Allah bin Jama’ah (596-675 H), yang merupakan ulama besar dalam bidang fiqih sekaligus seorang sufi. Selain itu, dalam nuansa yang berkembang saat itu, tradisi-tradisi sufistik kian menjadi mainstream tersendiri.
·         Kecenderungan ini merupakan wacana umum bagi literature-literatur kitab kuning yang tidak bisa dihindari dari persoalan-persoala sufistik, yang secara umum merupakan bentuk replikasi atas prinsip-prinsip sufisme al-Ghazali. Terbukti bahwa konsep Ibn jama’ah ternyata banyak kesamaannya dengan konsep-konsep yang ditawarkan al-ghazali terutama dalam karyanya, ihya’ ulum al-Din.
·         Berkenaan dengan hal di atas, Abd al-Mu’idz Khan, salah seorang intelektual muslim kependidikan, mengkomparasikan antara materi yang terkandung dalam Tadzkirat al-sami’ dengan materi  Ta’lim al-Muta’allim. dalam pengkomparasian itu, ia mendudukan Tadzkirat al-sami’ sama dengan kitab ihya ‘ulum al-Din karya imam al-Ghazali dan kitab Muqaddimah, baik karya Imam Nawawi maupun karya Ibn khaldun. Sedangkan Ta’lim al-Muta’allim antara lain disamakan dengan kitab al-Alim  wa al-muta’allim  karya imam Abu Hanifah dan irsyad al-Qashid ila Asna Maqashid karya Ibn Sa’id. Dengan al-Din karya Al-Ghazali ini menunjukan betapa suratnya muatan-muatan sutisfik dalam konsep kependidikan Ibn Jama’ah.
·         Sebagaiamana dijelaskan oleh Afandi Mochtar, ‘Abd al-Mu’idz Khan membandingkan tiga aspek kandungan Tadzkirat al-Sami dengan Ta’lim al-Muta’allm. Ketiga kandungan yang dibandingkan oleh ‘Abd al-Mu’idz Khan adalah sebagai berikut:
1.       menurut al-Zarnuji, ilmu adalah media untuk mencapai derajat taqwa kepada Allah SWT. Hal ini diperkuat oleh pernyataan:
a.       Imam Abu Hanifah bahwa belajar ilmu fiqih dimaksudkan untuk memahami hakikat diri sendiri sehingga mempelajari ilmu sekaligus berarti mengamalkannya. Pengetahua seseorang akan ketentuan hukum yang menjelaskan sesuatu itu benar atau salah denga demikian menjadi sangat penting. Sebagai konsekuensinya, ia harus konsisten dengan apa yang dianggap sebagai kebenaran dalam perilaku kehidupannya. Imam Hanafi => Menurut imam mazhab ini, seseorang harus beriman kepada Allah atas dasar rasionalisasi ‘aqliyah.  Sebab, katanya, betapapun benarnya, keimanan yang ikut-ikutan (taqlid) dianggap sebagai dosa sejuh tidak mendukung oleh alasan akal dan intelek.
b.      Sementara dalam pandangan Ibn jama’ah, , menurut ‘Abd al-Mu’idz khan, diskursus pembahasan studi kalam itu tidak berlaku, atau paling tidak sangat minim dalam apresiasinya. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa pengetahuan yang didapat selain dari wahyu itu kurang memiliki keuntunga yang berharga. Begitupun pendekatan intelektual untuk menemukan kebenaran yang murni dianggap sebagai kesalahan. Pendidikan menurut Ibn Jama’ah adalah media untuk mendekatkan seseorangkepada Allah dan untuk syariat-nya. Dalam hal keimanan sseorang harus menerima apa yang Allah wahyukan kepada Rasul-nya sekalipun tidak sesuai dengan pertimbangan rasio.
2.      berkaitan dengan klasifikasi mata pelajaran menurut al-Zarnuji:
a.       mazhab Hanafiyah mata pelajaran terbagi kedalam dua kategori, yaitu wajib (fardlu ‘ain) dan pilihan (fardlu kifayah).
b.      pandangan Syafi’iyah, mata pelajaran itu diklasifikasikan ke dalam mata pelajaran keagamaan (syar’i) dan mata pelajaran nonkeagamaan (ghair syar’i). mata pelajaran golongan kedua ini, nonkeagamaan, meliputi beberapa mata pelajaran yang dilarang (haram), yang dibenci (makruh), dan yang diperbolehkan (mubah). Dalam pada itu, mata plajaran keagamaan terdiri dari tiga, yakni yang diharuskan (fardlu ‘ain), yang pilihan (Fardlu Kifayah), dan yang disarankan (nafl).
3.      berkenaan metode belajar:
a.       bagi al-Zarnuji, belajar dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan mental, memori, dan intelek. Ia mendudukan kepentingan menghafal secara gradual, disatu pihak, juga menekankan perlunya diskusi (munazarah) dan dialog (mutharahah) sehingga mencapai pemahaman yang baik , di lain pihak baginya, memahami dua kata lebih baik daripada menghafal dua buku bacaan.
b.      dikalangan Syafi’iyah dalam hal ini diwakili oleh Ibn Jama’ah, system pengulangan lebih ditekankan daripada pemahaman. Sangat terbiasa seorang murid mengahafal sejumlah materi yang sangat banyak tetapi kurang memahaminya.[4]
C.     Konsep Pendidikan Ibnu Jama’ah
·         Konsep pendidikan yang dikemukakan Ibnu Jama’ah secara keseluruhan dituangkan dalam karyanya Tadzkirat as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim. Keseluruhan konsep pendidikan Ibnu Jama’ah ini dapat dikamukakan sebagai berikut
1.      Konsep Guru/Ulama =>  Ibnu Jama’ah menawarkan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menjadi seorang guru:
a.       menjaga akhlak selama melaksanakan tugas pendidikan. 
b.       tidak menjadikan profesi guru sebagai usaha untuk menutupi kebutuhan ekonominya. 
c.        mengetahui situasi social kemasyarakatan. 
d.       kasih saying dan sabar. 
e.        adil dalam memperlakukan peserta didik. 
f.        menolong dengan kemampuan yang dimilikinya. 
Dari keenam kriteria tersebut, yang menarik adalah kriteria tentang tidak bolehnya profesi guru dijadikan sebagai usaha mendapatkan keuntungan materil, suatu konsep yang di masa sekarang tampak kurang relevan, karena salah satu ciri kerja professional adalah pekerjaan dimana orang yang melakukannya menggantungkan kehidupan di atas profesinya itu. Namun Ibnu Jama’ah berpendapat demikian sebagai konsekuensi logis dari konsepnya tentang pengetahuan. Bagi Ibnu Jama’ah pengetahuan (ilmu) sangat agung lagi luhur, bahkan bagi pendidik menjadi kewajiban tersendiri untuk mengagungkan pengetahuan tersebut, sehingga pendidik tidak menjadikan pengetahuannya itu sebagai lahan komoditasnya, dan jika hal itu dilakukan berarti telah merendahkan keagungan pengetahuan. Secara umum kriteria-kriteria tersebut diatas menampakkan kesempurnaan sifat-sifat dan keadaan pendidik dengan memiliki persyaratan-persyaratan tertentu sehingga layak menjadi pendidik sebagaimana mestinya. 
2.      Peserta Didik => Menurut Ibnu Jama’ah peserta yang baik adalah peserta didik yang mempunyai kemampuan dan kecerdasan untuk memilih, memutuskan dan mengusahakan tindakan-tindakan belajar secara mandiri, Ibnu jama’ah sangat mendorong para siswa agar mengembangkan kemampuan akalnya. Menurut Ibnu Jama’ah bahwa akal merupakan anugerah dari Tuhan yang sangat istimewa dan berharga, dan oleh karenanya patut disyukuri dengan jalan memanfaatkannya secra optimal. Atas dasar ini, maka IbnuJama’ah menganjurkan agar seiap peserta didik mengembangkan daya inteleknya guna menemukan kebenaran-kebenaran yang ada dalam kajian apapun, termasuk dalam kajian keimanan atau ibadah. serta menyediakan waktu-waktu tertentu untuk mengembangkan daya inteleknya itu. 
3.      Materi Pelajaran/Kurikulum => Materi pelajaran yang dikemukakan Ibnu Jama’ah terkait dengan tujuan belajar, yaitu semata-mata menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, dan tidak untuk kepentingan mencari dunia atau materi. Sejalan dengan tujuan tersebut diatas, maka materi pelajran yang diajarkan harus dikaitkan dengan etika dan nilai-nilai spiritualitas. Dengan demikian, ruang lingkup epistimologi persoalan yang dikaji oleh pesrta didik menjadi meluas, yaitu meliputi epistimologi kajian keagamaan dan epistimologi diluar wilayah keagamaan (sekuler). Ibnu Jama’ah lebih menitikberatkan pada kajian materi keagamaan. Hal ini antara lain terlihat pada pandangannya mengenai urutan matrei yang dikaji sangat menampakkan materi-materi keagamaan. Urutan mata pelajaran yang dikemukakan Ibnu Jama’ah adalah pelajaran Al-quran, tafsir, hadits, ulum al-hadits, ushul al-fiqh, nahwu dan shorof. Karena sebagaimana pendapat Muhammad Faisal Ali Sa’ud, kurikulum Al-Qur’an merupakan cirri yang membedakan antara kurikulum pendidikan Islam dengan pendidikan lainya. Sudah seharusnya kurikulum pendidikan Islam disusun sesuai dengan Al-Qur’an Al-Karim, dan ditambah dengan Al-Hadits untuk melengkapinya.[5] 
4.      Metode Pembelajaran => Konsep Ibnu Jama’ah tentang metode pembelajaran banyak ditekankan pada hafalan ketimbang dengan metode lain. Metode hafalan memang kurang memberikan kesempatan pada akal untuk mendayagunakan secara maksimal proses berfikir, akan tetapi, hafalan sesungguhnya menantang kemampuan akal untuk selalu aktif dan konsentrasi dengan pengetahuan yang didapat. Selain metode ini, beliau juga menekankan tentang pentingnya menciptakan kondisi yang mendorong kreativitas para siswa, menurut beliau kegiatan belajar tidak digantungkan sepenuhnya kepada pendidik, untuk itu perlu diciptakan peluang-peluang yang memungkinkan dapat mengembangkan daya kreasi dan daya intelek peserta didik. 
5.      Lingkungan Pendidikan =>  Menurutnya bahwa lingkungan yang baik adalah lingkungan yang didalamnya mengandung pergaulan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etis. Pergaulan yang ada bukanlah pergaulan bebas, tetapi pergaulan yang ada batas-batasnya. Lingkungan memiliki peranan dalam pembentukan keberhasilan pendidikan. Keduanya menginginkan adanya lingkungan yang kondusif untuk kegiatan belajar mengajar, yaitu kondisi lingkungan yang mencerminkan nuansa etis dan agamis.[6]
D.    Pandangan Ibn Jama’ah tentang imbalan dan sanksi
·         Pandangan Ibnu Jama’ah-Pemberian imbalan lebih kuat dan lebih berpengaruh terhadap pendidikan anak dari pada pemberian sanksi. Sanjungan dan pujian guru dapat mendorong siswanya untuk meraih keberhasilan dan prestasi yang lebih baik. Ibnu Jama’ah lebih memprioritaskan imbalan, anggapan baik, pujian dan sanjungan. Ibnu Jama’ah sangat menghindar dari penerapan sanksi yang dapat menodai kemuliaan manusia dan merendahkan martabatnya. Jadi sanksi itu merupakan bimbingan dan pengarahan perilaku serta pengendaliannya dengan kasih sayang. Sanksi perlu diberikan dengan landasan pendidikan yang baik dan ketulusan dalam bekerja, bukan berlandaskan kebencian dan kemarahan. Adapun Ibnu Jama’ah memandang bahwa sanksi kependidikan dapat diberikan dalam empat tahapan. Jika siswa melakukan perilaku yang tidak dapat diterima, guru dapat mengikuti empat tahapan tersebut:
1.      Melarang perbuatan itu didepan siswa yang melakukan kesalahan tanpa menyebutkan namanya. 
2.      Jika anak tidak menghentikan, guru dapat melarangnya secara sembunyi-sembunyi, misal dengan isyarat.
3.      Jika anak tidak juga menghentikannya, guru dapat melarangnya secara tegas dan keras, agar yang dia dan teman-temannya menjauhkan diri dari perbuatan semacam itu.
4.      Jika anak tidak kunjung menhentikannya, guru dapat mengusirnya dan tidak memperdulikannya.[7]
E.     Karya Tulis Ibn Jama’ah
·         Karya-karya Ibn Jama’ah pada garis besarnya terbagi kepada masalah pendidikan, astronomi, ulumul hadits, ulum at-tafsir, Ilmu fiqh dan Ushul al-Fiqh.
a.       Kitab Tadzkirat as-Sami’wa al-Mutakallimin fi Adab al-Alim wa al-Muta’ilim merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan.
b.      Kitab Usthurulah merupakan kitab yang membahas masalah astrologi.
c.       Kitab al-Munhil al-Rawy fi Ulum al-Hadits al-Nabawy merupakan ringkasan dari kitab ilmu hadits yang ditulis Ibn as-Shalah. Dalam kitab ini, Ibn Jama’ah menambahkan beberapa cacatan dan mengurutkan beberapa pembahasan. Kitab ini selesai ditulis pada bulan Sya’ban tahun 687 H. di Damaskus. Selain kitab-kitab di atas, Ibnu Jama’ah juga menulis beberapa kitab lainnya, yaitu Idlah ad-Dalil fi Qath’I Hujaj ahl-Ta’wil, at-Tibyan li Muhhimat Al-Qur’an, Tajnid al-Ajnad wa Jihat al-Jihad, Tahrir al-Ahkam fi Tadhir Jasys al-Islam, al-Tanzih fi Ibthal al-Hujaj at-Tasybih, Tanqih al-Munazharat fi Tashhih al-Mukhabarah, Hujai as-Suluk fi Muhadat al-Muluk, at-Tha’ah fi Fadhilat as-Shalat al-Jama’ah, Ghurr at-Tibyan fi Tafsir A-Qur’an, al-Fawaid al-Ghazirat al-Mustanbihat min Ahadits Barirah, al-Fawaid al-Laihat min Surat Al-Fatihah, Kasyf al-Ghimmat fi Ahkam Ahl ad-Dimmah, kasyf al-Ma’any an al-Mutasyabih min al-Matsany, Mustamid al-Ajnad fi Alat al-Jihad, ar-Radd ‘ala al-Musyabbahah fi Qaulih Ta’ala ar-Rahman ‘ala al-Arsy Istawa’ al-Masalik fi ilmu al-Manasik, al-Mukhtashar fi Ulum al-Hadits, al- Muqradh fi Fawaid Takrir al- Qashash, dan lain-lain.[8]

Kelompok 12                                  
Madrasah haramain
·         Sejarah Madrasah di Haramain. Haramayn secara harfiah berarti “dua haram”. Maksudnya, dua kota suci umat Islam yaitu Makkah dan Madinah yang terletak di daerah Hijaz, Arab Saudi.
·         Berdirinya Madrasah Nizhamiyah, yang merupakan era kebangkitan tradisi keilmuan Sunni, sangat mempengaruhi perkembangan madrasah-madrasah di Haramayn, yang pada gilirannya kemudian menggantikan posisi Nizhamiyah sebagai pusat keilmuan Islam Sunni. Akan tetapi, kurikulum dan metode pengajaran di Madrasah Haramayn tampaknya tidak jauh berbeda dengan yang berlaku di Madrasah Nizhamiyah, yakni lebih menekankan ilmu-ilmu agama terutama disiplin fiqh dari empat mazhab hukum yang diakui dalam ortodoksi Sunni.
·         Madrasah Haramain mulai tumbuh dan berkembang pada fase kedua, yaitu fase keemasan. Meski fase ini dikenal sebagai fase awal digunakannya madrasah sebagai sebuah pendidikan, namun yang berkembang di Haramain bukanlah yang pertama. Karena sebelumnya sudah ada al-Nizamiyah di Baghdad dan al-Azhar di Mesir.[9]
·         Adapun Sejarah perkembangan pendidikan dapat di klasifikasikan dalam empat fase yaitu:
1.      fase pertumbuhan yang berlangsung mulai awal perkembangan islam hingga ahir masa dinasti umayyah. Pada fase ini, meski diindikasikan belum ada lembaga pendidikan yang bernama madrasah, namun Makah dan Madinah sudah menjadi pusat perkembangan intelektual. Hal ini terbukti dengan lahirnya intelektual-intelektual muslim seperti: Imam Ali, Imam Abbas, Imam Ja’far Shodiq, Imam Malik dan Imam Hambali. Dijelaskan pula bahwa khalifah Harun Al-Rasyid juga pernah mengirimkan kedua anaknya ke Madinah untuk belajar agama, tradisi dan bahasa.
2.      fase keemasan yang berawal dari berdirinya dinasti abbasiyah hingga kemunduran dan keruntuhan Baghdad. Pada fase ini, madrasah sebagai sebuah terminologi lembaga pendidikan islam mulai digunakan. Pada fase ini pula berdiri madrasah Nizamiyah yang kemudian mewarnai belantika perkembangan madrasah yang muncul sesudahnya, termasuk madrasah yang berkembang di Makkah dan Madinah.
3.      fase kemunduran yang berlangsung sejak kekuasaan turki usmani sampai era kemerdekaan negara Arab dari turki usmani.
4.      fase pembaruan dan rekonstruksi yang berlangsung semenjak awal kemerdekaan hingga sekarang.[10]
·         Ulama-Ulama Nusantara Yang belajar dan mengajar di Madrasah haromain: Azumardi Azra Dalam  “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII: Akar pembaharuan Islam di Indonesia, Menyebutkan bahwa hubungan antara Nusantara dan Haramain memiliki corak spesial karena pada abad ke XVII dan XVIII banyak ulama nusantara yang ke haramain gunamenuntut Ilmu.
1.      Syeikh NawawiL-Bantani. Syekh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani kerap disebut sebagai “Imam Nawawi Kedua”. Gelar ini diberikan oleh Syekh Wan Ahmad bin Muhammad Zain Al-Fathani. Ulama yang juga berjuluk “Sayyid Ulama Hijaz” ini lahir dengan nama Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Ulama yang lahir di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sekarang di Kampung Pesisir, desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syekh Nawawi Bantani) pada tahun 1230 H atau 1815 M ini bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-12 dari Sultan Banten. Nasab dia melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw.
Setiap kali mengajar di Masjidil Haram, ia selalu dikelilingi sekitar 200-an orang. Pernah pula diundang ke Universitas Al-Azhar, Mesir, untuk memberi ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara khusus. Di antara kitab karyanya Nihayatuz Zain, Nashaihul ‘Ibad, Tafsir Marah Labid, Uqudul Lujain, dan sebagainya. Total jumlah karyanya mencapai tidak kurang dari 115 kitab.
Banyak murid-muridnya yang di belakang hari menjadi ulama, misalnya K.H.  Hasyim Asyari  (Pendiri  Nahdlatul Ulama ),  KH. Khalil Bangkalan , KH.  Asnawi Kudus ,
2.      Syeikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tarmasi, lahir di Termas, Pacitan, Jawa Timur, pada 12 Jumadil Ula 1285 H/31 Agustus 1868 M, dan bermukim di Makkah sampai beliau wafat pada 1 Rajab 1338 H/ 20 Mei,1920M.
                  Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa karangan Syekh Mahfudz mencapai lebih 20 karangan. Mengingat karyanya itu, tidak berlebihan kiranya jika Syekh Yasin Al-Padani, ulama Makkah asal Padang, Sumatra Barat, yang berpengaruh pada tahun 1970-an.
3.                  Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Satu-satunya orang non-Arab yang menjadi imam besar Masjidil Haram di Makkah adalah seorang Minang bernama Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, di akhir abad 19 dan awal abad 20 an. Selain itu, ia juga menjadi Mufti Mazhab Syafi’i yang disegani. Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat di Makkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H(1916M). Murid2 beliau ini => seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayahanda dari Buya Hamka; Syekh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi, Syekh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, Syekh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, Syekh Khatib Ali Padang, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan Syekh Hasan Maksum, Medan, hingga KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan. Meskipun tinggal di Makkah, namun ia tak melupakan kampung halamannya. Kepakarannya dalam  mawarits  (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam.
Salah satu kritik Syekh Ahmad Khatib yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu. Syekh Khatib juga melontarkan kritik terhadap praktek tarekat yang dianggap menyimpang. Selain itu, beliau sempat berpolemik dengan Syekh M Hasyim Asy'ari mengenai Sarekat Islam, menurut pertimbangan manfaat dan madaratnya. Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari menulis Kaff al-Awam, pada 1912, sedangkan sanggahannya dilontarkan oleh Syekh Khatib melalui Tanbih al-Anam yang ditulis dua tahun berselang. Ulama besar ini wafat di  Mekkah  hari Senin 8  Jumadil Awal  1334 H (1916 M) dengan meninggalkan puluhan karya tulis.
4.                  Syekh Muhammad Mukhtar Al-Bughuri, Lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 14 Sya’ban 1278 (14 Februari 1862). Semasa muda, ia telah mampu menghafal Al-Qur’an. Tahun 1299 hijrah ke Betawi (Jakarta) untuk menimba ilmu kepada Sayyid Utsman, Mufti Batavia. Tidak puas juga, ia kemudian menuju ke Makkah. Selama di Makkah, Mukhtar Al-Bughuri belajar kepada ulama termasyhur, Syekh Ahmad Al-Fathani. Ia juga diberi kesempatan untuk mengajar di Masjidil-Haram selama 28 tahun.  Setiap kesempatan mengajar, ia selalu dikelilingi sekitar 400-an muridnya. Semasa hidupnya telah menulis berpuluh-puluh karya, antara lain kitab Aqaid Ahl As-Sunnah wal-Jamaah, sebuah kitab teologis yang ditulis menggunakan bahasa Sunda yang uniknya diterbitkan oleh penerbit legendaris, Mustafa Bab al-Halabi, Kairo, pada bulan Jumadil Ula tahun 1341 H yang bertepatan dengan Desember 1922.
Selain menjadi guru bagi pendiri Muhammadiyah dan NU, Syekh Mukhtar juga merupakan guru dari Syekh Mahmud al-Banjari (cicit Syekh Arsyad al-Banjari), Syekh Abdullah Fahim (Mufti Pulau Penang), Syekh Mahmud Zuhdi (Mufti Selangor), Sayyid Muhsin al-Musawa al-Falimbani (pendiri Madrasah Darul Ulum Makkah), dan KH. Ahmad Dimyathi bin Abdullah Attarmasi, yang merupakan adik Syekh Mahfidz Attarmasi. Syekh Mukhtar Al-Bughri wafat di Makkah pada 17 Shafar 1349 (13 Juli 1930)
·         Madrasah di Mekkah. Menurut sejarawan Al-Fasi Al-Makki Al-Maliki (775-832 H./1373-1428 M), madrasah pertama di Mekkah adalah madrasah Al-Ursufiyah yang didirikan pada 1175 oleh Afif Abdullah Muhammad Al-Ursufi (w. 1196 M).
·         Ciri terpenting madrasah-madrasah di Mekkah adalah hampir seluruh madrasah itu dibangun oleh penguasa-penguasa atau dermawan non-Hijazi. Hanya satu madrasah, yakni madrasah Al-Syarif Al-Ajlan yang dibangun penguasa Mekkah, Ajlan Abu Syari’ah (744-777H./1344-1375 M).
·         Sedangkan yang terbanyak mendirikan madrasah di Mekkah adalah penguasa Usmani, mereka membangun 5 madrasah, yaitu 4 dibangun oleh sultan Sulaiman Al-Qanuni dan 1 lagi dibangun oleh sultan Murad (1574-1595 M).
·         Selanjutnya penguasa dan para pejabat Abbasiyah membangun 4 madrasah. Sementara yang lain penguasa-penguasa Mamluk dan Yaman serta penguasa muslim India. Selain kedua madrasah diatas, Hillanbrand menjelaskan bahwa pada tahun 1183-1184 M, gubernur Aden juga telah mendirikan madrasah untuk m adzab hanafi di mekkah. Dan setahun kemudian ia membangun madrasah untuk madzab syafi’i.[11]
·         Berikut adalah Madrasah-madrasah Di Mekkah Periode Pertengahan. Pada periode ini, terdapat setidaknya 23 madrasah yang dikenal luas di Mekkah.
1.      Madrasah al-Arsufi (1175 M) Ini adalah madrasah yang paling tua yang berdiri di Mekkah, yang berdiri kira-kira pada tahun 1175 M. Literatur lain menyebutkan bahwa sejak pembangunan madrasah Al-Ursufiyah hingga awal abad ke-17 terdapat setidaknya 19 madrasah di Mekkah. Adapun pendiri madrasah ini adalah Al-Afif Abdullah Muhammad Al-Arsufi, seorang berkebangsaan Syiria.
2.      Madrasah Amir al-Zanjili (1183 M)mengembangkan keilmuan madzhab Hanafi, dan diformulasikan sebagai sarana untuk mengajarkan hukum-hukum Islam. Madrasah ini didirikan oleh seorang syeikh Mekkah bernama Amir Fakhruddin Usman bin Ali Al-Zanjili. Ia diangkat sebagai Gubernur di Aden oleh dinasti Ayyubiyah pada saat Salahuddin Al-Ayyubi menaklukkan Hijaz. Al-Zanjili meninggal di Damaskus pada tahun 1187 M.
3.      Madrasah Tab al-Zaman al-Habasiyah (1184 M) Madrasah ini didirikan oleh seorang wanita dari dinasti Abbasiyah, pada tahun 1184 M. Madrasah ini dibangun di dekat monumen Zubaidah, istri dari Harun Ar-Rasyid.
4.       Madrasah Muzaffar al-Din (1208 M) Madrasah ini didirikan pada tahun 1208 M oleh Muzaffar al-Din, seorang penguasa di kota Arbil, sebuah kota besar di Iraq. Al-Malik al-Mu’azzam Muzaffar al-Din Kukaburi telah diamanati untuk memegang kontrol pemerintahan di kota Irbil oleh kesultanan Ayyubiyah pada tahun 1190 M. Ia meninggal pada tahun 1233 M.
5.      Madrasah al-Nihawandi (1231 M) Sejarawan memperkirakan madrasah ini mampu bertahan hingga 200 tahun.
6.      Madrasah Abu Ali bin Abi Zakariya (1237 M)
7.      Madrasah Ibnu Al-Haddad al-Mahdawi (1240 M) Madrasah ini memfokuskan perkuliahan pada fiqih-fiqih madzhab
8.      Madrasah Amir Fakhr al-Din al-Shallah (1242 M) Fakhr al-Din al-Shallah adalah seorang dari dinasti Mamluk. Ia mengabdi sebagai Gubernur di Mekkah dari tahun 1242-1249 M. mengajarkan fiqih madzhab Syafi’i dan hadis Nabawi.
9.      Madrasah Malik Al-Mansur (1243 M) Fiqih madzhab Syafi’i dan studi hadis Nabawi menjadi kurikulum pada institusi ini. Meskipun menurut catatan Al-Fasi, pembelajaran hadis pada madrasah ini telah dimulai sejak putra Al-Mansur, yakni Malik Al-Muzaffar. Madrasah ini dipelihara oleh dua dinasti sekaligus, yaitu dinasti Ayyubiyah dan Mamluk di Mesir, juga dinasti Rasulid di Yaman.
10.  Madrasah Malik Al-Muzaffar (1249 M) Madrasah ini didirikan oleh sultan kedua dinasti Rasulid, yaitu Malik al-Muzaffar Yusuf bin Umar
11.  Madrasah Arghun Shah al-Nasiri (1320 M) Amir Arghun Shah adalah perwakilan pertama dari dinasti Mamluk yang mempelopori berdirinya universitas di Mekkah. Sebenarnya ia adalah salah seorang pejabat sultan Mamluk yang mengabdi sebagai wakil Gubernur Mesir selama 16 tahun, dan di Aleppo selama 4 tahun. Madrasah ini menerapkan ajaran fiqih madzhab Hanafi sebagai kurikulum yang diajarkan.
12.  Madrasah Malik Al-Mujahid (1338 M) Hukum Islam madzhab Syafi’i menjadi kurikulum yang diajarkan di madrasah tersebut.
13.  Madrasah Malik al-Afdhal Abbas (1366 M) Sultan Rasulid, Malik al-Afdhal Abbas (1364-1376 M) mendirikan sebuah madrasah di sebelah timur gerbang utama Masjidil Haram. Konsentrasi yang diajarkan adalah fiqih Syafi’i. pembelajaran dilakukan dengan menggaji seorang syeikh atau profesor hukum madzhab Syafi’i, dan didampingi oleh seorang asistennya. Selain itu, madrasah ini memfokuskan kurikulumnya pada pengajaran ilmu-ilmu al-Qur’an dan pendalaman bagi seorang Imam.
14.  Madrasah Ajlan bin Rumaytha (sekitar pertengahan abad 18) Sejak berdirinya dinasti Hasanid di Mekkah pada pertengahan abad 14, beberapa daerah bagian dari kekuasaan Hasanid sukses dalam memerintah wilayah Emirat, sehingga madzhab Syi’ah Zaidiyah berhasil menguasai wilayah di sekitarnya. Hal inilah tampaknya yang menyebabkan tidak berdirinya madrasah-madrasah di Mekkah selama periode tersebut. Yang bisa disaksikan adalah lembaga pendidikan pada masa itu hanya bertumpu pada beberapa sekolah hukum Islam yang beraliran Sunni. Pada waktu itulah, seorang penguasa Mekkah yang bermadzhab Syafi’i, yaitu Ajlan bin Rumaytha , dengan dibantu saudaranya yang bernama Thabaqa dan anaknya yang bernama Ahmad, mendirikan sebuah madrasah yang pada awalnya dimaksudkan untuk melawan perkembangan ajaran Syi’ah Zaidiyah. Madrasah ini eksis pada tahun 1345-1375 M. Namun sayangnya, antara tahun itu madrasah Ajlan justru mendapat saingan yang kuat dari para penerus madrasah Mujahidiyahdi bagian selatan pintu utama Masjidil Haram.
15.  Madrasah Sharif Jar Allah (1387 M)
16.  Madrasah Sharif Hasan bin Ajlan (sebelum tahun 1400 M) Madrasah ini didirikan oleh Sharif Hasan bin Ajlan, dan beraktivitas sekitar tahun 1395 hingga 1400 M. Dalam literatur yang ditulis oleh Umar Fahd, Hasan bin Ajlan mendirikan madrasah ini setelah penaklukkan Emirat atas kota suci Mekkah, selama beberapa tahun lamanya.
17.  Madrasah Bangaliya (1410 M) Madrasah atau universitas yang pertama kali – dari tiga universitas – yang didirikan oleh muslim India adalah madrasah Bangaliya. Madrasah ini didirikan oleh sultan besar kesultanan Ilyas Shah di Bengal, yang bernama Ghiyath al-Din Abu al-Muzaffar Azam Shah (1390-1411 M). Dia adalah orang pertama yang membangun model pembelajaran tingkat perguruan tinggi pertama pada masa awal berdirinya. Madrasah ini mengajarkan ajaran keempat madzhab sekaligus sebagai kurikulumnya. Adapun pengajar madzhab Syafi’i adalah Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin Zahira (1350-1414 M). Sedangkan pengajar dari madzhab Hanafi adalah Syihabuddin Ahmad Al-Diya (1348-1422 M), seorang ulama berkebangsaan India. Kemudian pengajar madzhab Maliki adalah Taqiuddin Muhammad bin Ahmad Al-Fasi (1373-1429 M), seorang ahli sejarah Mekah. Dan pengajar madzhab Hambali adalah Sirajuddin Abdul Latif bin Abi Fath Muhammad bin Ahmad Al-Hasani Al-Fasi (1377-1449 M), seorang hakim dan ahli hukum bermadzhab Hambali di Mekkah. Selain membangun madrasah di Mekkah, sultan ini juga mendirikan sebuah madrasah di Madinah. Madrasah A’zham Syah di Madinah, yang dibangun pada waktu hampir bersamaan dengan madrasah di Mekkah, terletak di dekat kawasan Bab Al-Salam, Masjid Nabawi.
18.  Madrasah Gulbargiyya (1427 M) syeikh Jalaluddin Abdul Wahid Al-Mursidi, seorang pengikut madzhab Hanafi dan guru tata bahasa Arab. Pelajaran yang diajarkan pada madrasah ini adalah tafsir al-Qur’an, hukum Islam dan tata bahasa Arab. Apa yang diajarkan di madrasah ini berdasarkan instruksi langsung dari sultan Gulbargiyah di India.
19.  Madrasah Basitiyah (1431 M) Syeikh besar bermadzhab Syafi’i yang bernama syeikh Jalaluddin Abu Sa’adat Muhammad bin Zahra, adalah orang pertama yang menjadi guru pada madrasah tersebut.
20.  Madrasah Zimamiyah (1431 M) Najmuddin Umar bin Fahd menggambarkan madrasah ini sebagai tempat orang-orang miskin dan para sufi berkumpul untuk mengkaji dan mendalami al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, setiap sore hari mereka berkumpul di madrasah ini.
21.  Madrasah Utaifiyah (1456 M) Pendirinya adalah Zainab bin Badruddin Hasan bin Khasbak, seorang permaisuri kesultanan Mamluk (1453-1461 M).
22.  Madrasah Sultan Cambay (1461 M) Pendirinya adalah Ghiyath al-Din Muhammad Shah, seorang sultan Cambay di India. Madrasah ini selain mendidik banyak murid dalam bidang tasawuf, juga mengajarkan khazanah keilmuan madzhab Hanafi. Penataan siswa pada madrasah ini juga dilakukan secara lebih teratur. Ada yang pengajaran dilakukan setelah shalat asar, ada juga yang dilakukan setiap hari. Ada kelas untuk siswa-siswa yang tidak punya, ada juga kelas untuk siswa yang memiliki cukup bekal untuk belajar.
23.  Madrasah Sultan Qa’itbay (1480 M) Madrasah ini didirikan oleh sulta Mamluk yang bernama Malik Al-Ashraf Qa’itbay, Madrasah ini memiliki satu ruang besar untuk kuliah umum, 72 ruang kelas untuk guru dan murid, dan 4 perpustakaan untuk masing-masing madzhab Sunni.
·         Madrasah di Madinah, Jika dibandingkan dengan mekkah, perkembangan madrasah dimadinah terlihat lebih gelap. Pasalnya, sumber-sumber yang berhubungan dengan sejarah madinah pada umumnya tidak membahas tentang hal tersebut. Namun, dari hasil pelacakannya, Azyumardi hanya memperoleh beberapa informasi sebagai berikut:[12]
a.       Dari buku The Travels Of Ibnu Jubayr, Aazyumardi memperoleh informasi bahwa ibnu jubayr telah menghadiri kegiatan perkuliahan di Mekah dan Madinah pada tahun 579 H/ 1183M. Namun, nama madrasah tersebut tidak dijelaskan secara eksplisit.
b.      The Travels Of Ibnu Battutah, Azyumardi juga memperoleh informasi bahwa Ibnu Battutah yang berada di madinah menjelang ahir tahun 728H/ 1326 M, sering mengamati kegiatan keilmuan yang diselenggarakan dimasjid al-nabawi dalam bentuk halaqah, lengkap dengan al-quran dan kitab-kitab lainnya.
c.       Dari buku Al-iqd Al Stamin fi tarikh Al Balad Al-Amin, Azyumardi memperoleh informasi bahwa selain membangun madrasah di Mekkah, sultan Ghiyats Al Din juga mendirikan madrasah di Madinah yang terletak dikawasan Bab Al-salam, masjid Al-Nabawi. Masjid ini dikenal dengan nama A’dzam Syah. Informasi ini juga ditemukan oleh Azyumardi dalam buku
d.      Dari buku wafa al-wafa, Azyumardi memperoleh informasi bahwa diantara wilayah Dar Al-syibak dan Al Husn Al Atiq, penguasa Mamluk juga pernah mendirikan sebuah madrasah yang bernama madrasah Jaubaniyyah. Penguasa Mamluk lainnya juga melakukan hal yang sama sehingga secara kolektif madrasah-madrasah tersebut dikenal dengan nama madrasah Asyafi’iyah.
e.       Dari buku Tuhfat Allathifah Fi Tarikh Al-Madinah Al-Syarifah, Azyumardi memperoleh informasi tentang adanya beberapa nama madrasah yang pernah didirikan di Madinah yaitu: madrasah Qeit Bey, madrasah Albasithiyah yang didirikan Zayni Abd Al- Basith, madrasah Al-Zamaniyah yang didirikan oleh Syams Al-Din Al Zaman, Al-Sanjariyah, Al-Syahabiyah, dan Al-Mazhariyah yang didirikan oleh Zayni Katib. Keenam, dari Buku Travels In Arabia, Azyumardi memperoleh informasi tentang adanya madrasah Al-Hamdiyah yang didirikan oleh salah seorang penguasa usmani.
·         Konteks Masyarakat Mekah dan Madinah dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Madrasah. Menurut azumardi  Ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai pisau analisis. Yaitu:
1.      Sosial politik Dalam kacamata sosial politik, tumbuh dan berkembangnya madrasah haramayn tidak bisa lepas dari hal sebagai berikut:
a.    Pertama, perubahan situasi menjelang abad ke-II seiring dengan diraih kembalinya kontrol politik penguasa Sunni atas sebagaian besar wilayah Timur. Sebagaimana diketahui sejak abad ke sembilan, situasi politik di Hijaz hususnya di Makkah, sangat buruk. Beberapa tahun kemudian, tepatnya awal abad ke-10, kaum Syiah muncul dan menguasai sebagaian wilayah Timur Tengah; dinasti Fatimiyah di Mesir dan Afrika, sedangkan dinasti Buwaihiyah di Irak Iran dan bahkan mendikte khalifah sunni di Baghdad. Kenyataan diatas, benar- benar menjadi sebuah pukulan moral bagi mayoritas kaum Sunni. Terlebih mereka yang berada di Hijaz harus berhadapan dengan syiah Qarmathiyah yang cenderung bersifat kasar dan toleran sebagaimana syiah Fathimiyah. Perlakuan kelompok syiah Qarmmathiyah yang kemudian menjadikan dampak negatif substansial bagi masyarakat sunni Haramayn. Baik dari sisi ekonomi maupun pendidikan. Dan situasi ini mulai berubah semenjak kekuasaan atas kontrol politik kembali dipegang oleh penguasa sunni.[13]
b.    Kedua, kembalinya para ulama Sunni kekota Makah dan Madinah setelah mengembara kemana-mana selama masa-masa sulit.
c.    Ketiga, patronase penguasa atau dermawan non hijazi terhadap perkembangan madrasah. Dalam hal ini, Azyumardi menjelaskan bahwa ciri terpenting madrasah di Haramayn, hususnya di Makah adalah, hampir seluruh madrasah dibangun oleh penguasa atau dermawan non-Hijazi. Selain itu, sumber dana pendidikan di madrasah haramayn sangat tergantung pada waqaf yang diberikan oleh mereka. Akibatnya, dari segi keuangan madrasah cenderung rapuh.
2.      Wacana keagamaan.
Salah satu kebijakan yang masyhur di keluarkan oleh dinasti Saljuq adalah kembali pada ortodoksi sunni. Bahkan untuk menunjang pelaksanaan kebijakan tersebut, pendirian madrasah Nizamiyah pun diorientasikan pada tujuan politis yang demikian. Lebih dari itu perkembangan madrasah ditempat lain, termasuk di Haramayn, juga diorganisasikan dalam garis kebijakan yang sama.[14] Dari sini dapat disimpulkan bahwa madrasah Haramayn tumbuh dan berkembang dalam iklim wacana keagamaan yang bersifat indoktrinasi dalam ortodoksi islam, jauh berbeda dengan iklim di awal masa kekuasaan Abbasiyah. Implikasi terpenting dalam hal ini adalah, semakin surut dan hilangnya tradisi penelitian dalam dunia islam yang pernah berkembang sebelumnya. Selain itu, dinamisme, kreatifitas, progresifitas, serta kebebasan berfikir dan berinvestigasi juga semakin terbatasi oleh ortodoksi. Meminjam istilah Muhammad Arkoun, masyarakat muslim terus hidup dalam epistimologi[15] thinkble[16] (Muhammad arkoun, 1999), dan tidak pernah mau menyentuh epistema unthinkable[17] dan not yet thought. Dan berawal dari menyerahnya unsur-unsur dinamisme dan kebebasan pada konsep-konsep yang bersifat statis dan ortodoktif inilah, obor keilmuan diserahkan pada renaissans eropa (Mehdi Nakosten, 1996).
3.      Peran dan fungsi lembaga pendidikan (Madrasah).
Dalam teori managemen, untuk menjadi sebuah pusat peradaban, lembaga pendidikan (madrasah) tidak hanya harus memainkan peran sebagai sebuah lembaga pembudayaan saja. Lebih dari itu, dia juga harus memainkan fungsi dan perannya sebagai lembaga pendidikan dan pengetahuan, dan ketiga peran tersebut sejatinya harus dimainkan secara integrated serta membentuk sebuah sinergi yang bersifat positif.[18] Menurut Azyumardi Azra, semenjak berdirinya An-Nizamiyah, madrasah hususnya yang berafiliasi dengan sunni, cenderung hanya berfungsi sebagai: Pertama, transfer ilmu dan ajaran islam. Kedua, pemeliharaan tradisi islam. Ketiga, reproduksi ulama. Sementara itu, tradisi penelitian yang menjadi prasyarat utama bagi perkembangan ilmu pengetahuan justru tidak terjadi. Hal ini tentunya tidak dilepaskan dari sedemikian kuatnya gerakan ortodoksi pada saat itu, jadi tidak berlebihan seandainya disimpulkan bahwa madrasah Haramayn dalam sejarah perkembangannya, baru memainkan peran pembudayaan dan pengetahuan, serta belum memainkan peran pendidikannya secara optimal.

Kelompok.....13
PENDIDIKAN TURKI USMANI
A. Sekilas Tentang Kerajaan Turki Utsmani
·         Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dan kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu sekitar tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke-9 atau ke-10 di bawah pimpinan Ortogrol. Mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alaudin, Sultan Saljuk yang kebetulan sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alaudin memperoleh kemenangan. Atas jasa baik mereka itu, Alaudin menghadiahkan sebidang tanah di Asia kecil yang berbatasan dengan Bizantium.
B.Sistem Pengajaran
·         Sistem pengajaran yang dikembangkan pada Turki Utsmani adalah menghafal matan-matan meskipun murid tidak mengerti maksudnya, seperti menghafal matan al-Jurumiah, matan Taqrib, matan Alfiah, matan Sultan dan lain-lain. Murid-murid setelah menghafal matan-matan itu barulah mempelajari syarahnya.
C. Kondisi Pendidikan Islam pada Masa Turki Utsmani
·         Setelah Mesir jatuh di bawah kekuasaan Utsmaniah Turki, Sultan Salim memerintahkan supaya kitab-kitab di perpustakaan dan barang-barang berharga di Mesir di pindahkan ke Istanbul, anak-anak Sultan Mamluk, ulama-ulama. Pembesar-pembesar yang berpengaruh di Mesir semuanya di buang ke Istambul. Bahkan juga Khalifah Abbasiyah sendiri di buang ke Istambul, setelah mengundurkan diri sebagai khalifah dan menyerahkan pangkat khalifah itu kepada Sultan Turki.[19]
·         Sementara itu, ulama-ulama dan kitab-kitab yang ada di perpustakaan Mesir berpindah ke Istambul, sehingga Mesir mengalami kemunduran dalam ilmu pengetahuan, dan Istambullah yang menjadi pusat pendidikan dan pengembangan kebudayaan saat itu.
·         Pada masa Turki Utsmani, penidikan dan pengajaran mengalami kemunduran, terutama di wilayah-wilayah seperti Mesir, Baghdad dan lain-lain. Yang mula-mula mendirikan Madrasah pada masa Turki Utsmani adalah Sultan Orkhan.
·         Bangsa turki adalah bangsa yang berdarah militer, sehingga terfokus pada militer sementara dalam bidang ilmu pengetahuan tidak terlalu terfokuskan ,  kecuali bidang arsitek (kaligrafi) jadi sedikit saja ilmuwan terkenal. Dan fokus pada pembangunan mesjid, sekolah. Ex: Masjid Muhammad Al-Fatih. [20]
·         Berikut ini adalah ulama-ulama yang masyhur pada masa Turki Utsmani:
1. Syaikh Hasan bin Ali Ahmad Al-Syabi’iy yang termasyhur dengan Al-Madabighy. Ia juga adalah pengarang khasiyah jam’ul dan syarah al-Jurumiyah .
2. Syamsuddin Ramali pengarang Nihayah
3. Ibnu Hajar Al-Haijsyamy pengarang Tuhfa
4. Muhammad bin Abdur Razaq, Murtadhoh al-Husaini al-Zubaidi pengarang sejarah al-Qomus, bernama Tajjul Urusy
5. Abdurrahman Al-Jabartiy pengarang kitab Tarikh Mesir bernama al-Zaibul atsar fi al-Tarjim wa al-Akbar
6. Syaikh Hasan Al-Kafrawy Al-Safi’y Al-Azhar pengarang kitab Nahwu, Syrah al-Jurumiyah,bernama Al-Kafrawi
7. Syaikh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bijrmy Al-Syafi’iy pengarang syarah-syarah dan khasiroh-khasiroh
8. Syaikh Hasan Al-Atthar ahli ilmu pasti dan ilmu kedokteran
9. Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Arfah Al-Dusuqy Al-Maliki ahli filsafat dan ilmu falak serta ilmu ukur.
·         Sementara perpustakaan yang masyhur pada masa Turki Utsmani adalah sebagai berikut:
1.      Di istanbul ada 22 perpustakaan dengan jumlah buku 27.355.
2.      Cairo ada 1 yaitu maktabah Al-Azhar  dengan buku 1099.
3.      Damsyiq 1 yaitu Abdul Basya Al’Azam dengan buku 422.
4.      Halab, hanya ada dua:
a.       Madrasah ahmadiyah, 269 Buku.
b.      Qudus, 609 Buku.
Demikianlah keadaan pendidikan dan pengajaran pada masa Utsmani, sampai  jatuh Sultan/Khalifah yang terakhir tahun 1924.
D. Perkembangan Pendidikan Islam Utsmani
1. Zaman Pertengahan (Usman I 1300- pra Mahmud II 1808)
·         Kehidupan keagamaan merupakan bagian terpenting dalam sistem sosial dan politik daulah ini. Pihak penguasa sangat terikat dengan syariat islam. Ulama mempunyai kedudukan tinggi dalam negara dan masyarakat. Kegiatan tarekat berkembang pesat. Al Bektasyi dan al-aulawy merupakan dua aliran tarekat yang paling besar. Tarekat BBektasyi sangat berpengaruh di kalangan tentara Yennissery. Tarekat Maulawy berpengaruh besar di kalangan penguasa.
·         Sufisme pada masa itu digemari umat Islam dan berkembang pesat. Keadaan frustasi yang merata di kalangan umat karena hancurnya tatanan kehidupan intelektual dan material akibat konflik-konflik internal dan serangan tentara Mongol yang membabi buta, menyebabkan orang kembali kepada Tuhan dan bersikap fatalisti. Madrasah-madrasah berkembang menjadi zawiyah-zawiyah untuk mengadakan riyadhah, merintis jalan untuk kembali kepada Tuhan di bawah bimbingan dan otoritas guru-guru sufi. Maka berkembanglah berbagai sistem riyadhah untuk menuntun para murid, itulah yang kemudia disebut tarekat.
·         Fazlurrahman melukiskan keadaan pada masa itu sebagai berikut.
“...disebagian besar pusat-pusat sufi terutama di Turki, kurikulum akademis terdiri hampir seluruhnya buku-buku tentang sufi. Di Turki waktu itu terdapat beberapa tempat khusus Methnevikhana, di mana matsnawi-nya Rumi merupakan satu-satunya buku yang diajarkan. Lebih jauh lagi, isi dan karya-karya tersebut yang sebagian besar dikuasai pantheisme adalah bertentangan secara tajam dengan lembaga-lembaga pendidikan ortodoks. Karena itu timbullah suatu dualisme spiritual yang tajam dan berlarut-larut antara madrasah dan halaqah. Ciri khas dari fenomena ini adalah melimpahnya pertanyaan-pertanyaan sufi yang taubat setelah menemukan jalan, lalu membakar buku-buku madrasah mereka atau melemparkannya dalam sumur” (Fazlurrahman:1984).
·         Kemerosotan gradual standar-standar akademis selama berabad-abad ini berputar di persoalan sedikitnya jumlah buku-buku yang tercantum dalam kurikulum, dan waktu yang diberikan terlalu singkat untuk murid dapat menguasai bahan-bahan yang ‘berat’ dan seringkali sulit dipahami. Ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih bersifat studi tekstual daripada upaya memahami dan lebih mendorong hafalan daripada pemahaman yang sebenarnya.
2. Zaman Modern (Mahmud II 1808-Abdul Majid 1922)
·         Mahmud II (Sultan ke 33) dinilai sebagai penggagas tonggak reformasi Utsmani.
1.      Ia mengubah pendidikan tradisional  disesuaikan dengan zamannya (abad ke-19) dalam kurikulum dimasukan pelajaran umum dan sekolah-sekolah penerjemah untuk kepentingan.
2.      Setelah itu Sultan Mahmud II mendirikan pula sekolah militer, sekolah teknik, sekolah kedokteran dan sekolah pembedahan. Di sekolah ini terdapat pula buku-buku filsafat dan berbagai pengetahuan umum.
Selanjutnya pada tahun 1831 M. ia menerbitkan surat kabar resmi Takvim-i Vekayi yang memuat berita peristiwa-peristiwa dan artikel-artikel mengenai ide-ide yang berasal dari Barat. Media ini memberi pengaruh yang luas di masyarakat, dengan kritik terhadap adat istiadat Timur dan memuja Barat dalam kemajuan ilmu pengetahuan, kemerdekaan dalam agama, patriotisme, dan meratanya pendidikan.
·         Pada masa Sultan Hamid, sultan ke 37. Mendirikan perguruan-perguruan tinggi:
1.      Sekolah Hukum Tinggi (1878),     5. Sekolah Tinggi Teknik (1888)
2.      Sekolah Tinggi Keuangan (1878),            6. Sekolah Dokter Hewan (1889),
3.      Sekolah tinggi Kesenian (1879),   7. Sekolah Tinggi Polisi (1891),
4.      Sekolah Tinggi Dagang (1882),    8. Universitas Istambul (1900).
·         Pada tahun 1905 Sultan Abdul Hamid dijatuhkan dan diganti oleh saudaranya Sultan Mehmed V. Kemudian terbentuklah tiga kristal dalam aliran pembaru, yaitu yang berhaluan Barat, Islam dan Nasionalis. Golongan Barat ingin mengambil peradaban Barat sebagai dasar pembaruan, golongan Islam ingin Islamlah dasar pembaruan, dan golongan Nasionalis Turki yang timbul belakangan menyatakan bukan Barat dan bukan Islam yang dijadikan dasar tetapi nasionalisme Turki.

PENDIDIKAN ISLAM DI IRAN
A.    Republik Islam Iran
·         Sebelum Islam, Persia adalah negara urani dengan kekuasaan yang tidak terbatas walaupun konsep keadilan yang merupakan azas dan dasar agama Zoastrian. Tiga tugas yang terkandung dalam agama Zoastrian adalah: pemikiran yang penuh keimanan, amalan yang baik, dan pembicaran yang penuh keramahan.
·         Pendidikan diberikan hanya kepada orang-orang yang lahir dari keluarga tinggi sedangkan yang lain terjun ke perdagangan sebagai anak buah. Selama kekuasaan Sassanids. Dari 224 SM sampai 642, yaitu sebelum Islam, universitas pertama didirikan di Djondissapur di bagian Barat Laut Persia, silabus universitas ini terdiri dari teologi, filsafat, kedokteran, kesustraan, matematika, dan astronomi (Sadigh, 1969).
Sesudah Invansi bangsa Arab (642), dan setelah wafatnya Muhammad, mazhab syi’ah menjadi sangat dominan, rasa pemujaan yang berlebihan atau mistisme yang dikenal dengan ajaran sufi.[21]
·         Dari daerah ini muncul tokoh-tokoh atau pakar dari berbagai macam keahlian, diantaranya Al-Biruni, Muhammad Musa Al-Khawarizmi, Umar Khayam, dan lain-lain.
·         Revolusi yang terjadi pada 1979 tidak hanya dalam aspek pemerintahan, tetapi juga dalam bidang pendidikan, yaitu islamisasi ilmu pengetahuan. Setelah revolusi, sekolah-sekolah swasta dinasionalisasi, semua siswa dipisahkan menurut jenis kelamin,
·         mulai 1982-1983 dengan menggunakan kurikulum yang Islami (Islamisasi ilmu pengetahuan)
·         Materi pelajaran agama (religious education) diberikan selama dua jam setiap minggu ditambah materi pelajaran tentang Alquran.
·         Bagi mereka yang berkeinginan mempelajari secara mendalam tentang ilmu keislaman, dapat menjutkan ke tingkat perguruan tinggi pada Fakultas Teologi atau di universitas swasta.[22]
·         Pada tahun 1957, Kementrian Pendidikan Republik Islam Iran mengumumkan tujuan pendidikan sebagai berikut:
1.      Untuk mengembangkan fisik: murid-murid harus belajar olahraga dan kesehatan. Perhatian terhadap kedua aspek ini telah dimulai sejak lama.
2.      Untuk pengembangan sosial: murid-murid harus belajar menghormati keluarga, masyarakat dan kebebasan. Mereka harus memahami kehidupan sosial ekonomi, dan berusaha hidup di dalamnya dan untuk masyarakat
3.      Untuk pengembangan intelektual: murid-murid harus belajar berfikir, kalau dapat melalui pengalaman mereka sendiri,
4.      Untuk pengembangan moral: murid-murid harus mengerti agama, kebudayaan dan peradaban. Sehingga dengan itu mereka mampu mengendalikan diri sendiri.
5.      Untuk pengembangan estetika: murid-murid harus cinta pada alam, dan memperkuat kepribadiannyamelalui penikmatan seni.[23]
·         Pendidikan prasekolah umumnya, diselenggarakan oleh lembaga-lembaga swasta. Tujuan pendidikan awal ini adalah untuk mempersiapkan anak-anak memasuki pendidikan formal. Kegiatan-kegiatan pada prasekolah ini antara lain: permainan bersama, membacakan cerita-cerita, bernyanyi, permainan aktivitas, dan pekerjaan tangan yang perlengkapannya sangat sederhana seperti kertas, papan tulis, dan pena.
·         Pendidikan dasar dimulai pada anak umur enam tahun dan berlangsung selama lima tahun, dan kemudian diikuti dengan sekolah bimbingan atau orientasi selama 3 tahun. Dengan demikian, ada pendidikan umum bagi anak-anak selama delapan tahun. Pendidikan orientasi tiga tahun dimaksudkan bagi anak-anak yang bercita-cita untuk melanjutkan pendidikannya di masa depan atau untuk mencari pekerjaan. Pendidikan wajib belajar berlangsung sampai kelas 8 dan dilaksanakan secara gratis untuk masyarakat. Tingkatan pendidikan dasar dibagi menjadi lima tahun pada tingkat pertama dan tiga tahun untuk tingkat lanjutan. Pada tingkat dasar siswa melakukan proses pembelajaran sebanyak 24 jam per minggu. Kurikulum mencakup studi Islam, membaca sejarah Persia, menulis dan memahami ilmu pengetahuan sosial, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.[24]
·         Pendidikan menengah diselenggarakan selama empat tahun, dan dibagi dalam dua jalur:
1.      Jalur akademik: yang terbagi dua bidang yaitu: bidang sains, dan bidang humaniora
2.      Jalur teknik: kejuruan yang kurang berkembang dan terdiri dari 2 bidang yaitu: industry dan pertanian.
·         Pendidikan tinggi terbagi dalam sekolah pendidikan guru yang tidak menuntut tamatan pendidikan menengah sebagai persyaratan masuk, dan berbagai sekolah tinggi dan universitasnya.
E.     Kurikulum dan Metodologi Pengajaran
·         Panitia-panitia khusus dibentuk untuk melakukan pengkajian atau mereviau atas rekomendasi yang diajukan panitia-panitia lokal dari daerah yang berbeda-beda. Panitia ini membuat saran-saran mengenai isi dan metodologi untuk tiap mata pelajaran pada setiap tingkat kelas. Hasil bahasan badan koordinasi dan panitia khusus dikirim kepada Dewan Tinggi Pendidikan untuk mendapatkan persetujuan akhir. Dewan ini menyampaikan kepada para penulis untuk dijadikan buku teks. Panitia daerah dan provinsi mengkaji ulang buku teks yang disusun para penulis, dan mengusulkan revisi. Di tingkat perguruan Tinggi para dosenlah yang menentukan isi mata kuliah.
·         Metode meniru maktab yaitu menguatkan hafalan. Siswa yang baik yang mengucapkan kembali buku yang tertulis dan guru menganbil buku siswa dan menyuruh mereka dan melanjutkan bisa.
Kelompok...15
POLA HUBUNGAN PENGELOLA LEMBAGA PENDIDIKAN DENGAN PENGUASA
A.    Berkembangnya Lembaga – Lembaga Pendidikan Islam
·         Disejarah peradaban islam, keterkaitan antara pendidikan dan politik terlihat jelas. Bagaimana aliran-aliran teologi, fiqih mulai dari mu’tazilam, syiag, sunni, jabbariah, maturidiyah, Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan lain sebaginya begulat bekerjasama dengan kekuasaan, silih berganti untuk saling mengalahkan, dan menghancurkan paham lainnya. Sejarah peradaban islam banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam memperhatikan pesoalan pendidikan dalam upaya memperkuat posisi sosial politik kelompok dan pengikutnya.[25]
·         Sebelum timbulnya sekolah dan Universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan islam yang bersifat non formal. Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan dengannya tumbuh dan berkembang bentuk – bentuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Diantara lembaga – lembaga pendidikan islam yang bercorak non formal tersebut adalah:
1.      Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar
Kuttab atau maktab, berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Jadi katab adalah tempat belajar menulis. Di antara penduduk Makkah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab ialah:
a.        Sufyan Ibnu Umaiyah,
b.      ibnu Abdu Syam, dan
c.       Abu Qais Ibnu Abdi Manaf
d.      Ibnu Zuhroh Ibnu Kilat. Keduanya mempelajarinya di negeri hijrah.[26]
·         Kemudian pada akhirnya abad pertama hijriyah, mulai timbul jenis kuttab, yang disamping memberikan pelajaran menulis dan membaca, juga mengajarkan membaca Al-Qur’an dan pokok – pokok ajaran agama. Pada mulanya kuttab jenis ini, merupakan pemindahan dari pengajaran AlQur’an yang berlangsung di masjid, yang sifatnya umum (bukan saja bagi anak-anak, tetapi terutama bagi orang-orang dewasa). Selanjutnya berkembanglah tempat-tempaat khusus (baik yang dihubungkan dengan masjid maupun terpisah) untuk pengajaran anak-anak dan berkembanglah kuttab-kuttab yang bukan hanya mengajarkan Al-Qur’an, tertapi juga pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya. Dengan demikian, kuttab tersebut berkembang menjadi lembaga pendidikan dasar yang bersifat formal.[27]
2.      Pendidikan Rendah di Istana
Di istana orang tua murid (para pembesar di istana) adalah yang membuat rencana pembelajaran tersebut selaras dengan anaknya dan tujuan yang dikehendakinya oleh orang tuanya. Guru yang mengajar di istana disebut Mu’addib. Rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja dengan rencana pelajaran pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau dikurangin menurut kehendak para pembesar yang bersangkutan, dan selaras dengan kenginginan untuk menyiapkan anak tersebut secara khusus untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan dihadapinya dalam kehidupannya nanti.[28]
3. Toko – Toko Kitab  
Pada permulaanya masa Daulah Bani Abbasiyah, dimana ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam sudah tumbuh dan berkembang dan diikuti oleh penulisan kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, maka berdirilah toko – toko kitab. Pada mulanya toko – toko kitab tersebut berfungsi sebagai tempat berjual beli kitab- kitab yang telah ditulis dalam berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu. Saudagar-saudagar buku tersebut bukanlah orang-orang yang semata-mata mencari keuntungan denngan laba, akan tetapi kebanyakan mereka adalah sastrawan-sastrawan yang cerdas, yang telah memilih usaha sebagai pedagang kitab tersebut, agar mereka mendapat kesempatan yang baik untuk membaca dan menelaah, serta bergaul dengan  para ulama dan pujangga-pujangga. juga merupakan  tempat berkumpulnya para ulama, pujangga dan ahli- ahli ilmu pengetahuan lainnya, untuk berdiskusi, berdebat bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah.[29]
 4. Rumah – Rumah Para Ulama (ahli ilmu pengetahuan)
Di antara rumah para ulama terkenal yang menjadi tempat belajar adalah ruma
a. Ibnu Sina,                                        d. Ya’qub Ibnu Killis
b.  Al-Gazali,                                       e. Wazir Khalifah AlAziz Billah Al- Fatimy
c. Ali Ibnu Muhammad Al- Fasihi,
Selanjutnya Ahmad Syalabi, mengemukakan bahwa dipergunakannya rumah- rumah ulama dan para ahli tersebut, adalah karena terpaksa dalam keadaan darurat.
a.       Al- Gazali setelah tidak mengajar lagi di Madrasah Nidamiyah dan menjalani kehidupan sufi. Para pelajar terpaksa datang kerumahnya karena kehausan akan ilmu pengetahuan dan terutama karena pendapatnya yang sangat menarik perhatian mereka.
b.      Ali Ibnu Muhammad Al-Fasihi, yang dituduh sebagai seorang Syi’ah kemudian dipecat dari mengajar di Madrasah Nidamiyah, lalau mengajar di rumahnya sendiri. Beliau- beliau karena dikenal sebagai guru dan ulama yang kenamaan maka kelompok-                                                      kelompok pelajar tetap megunjungi di rumahnya untuk meneruskan pelajaran.[30]
5. Majlis atau Saloon Kesusasteraan 
adalah suatu majlis khusus yang diadakan oleh khalifah untuik membahas berbagai maacam ilmu pengetahuan. Majlis ini bermula sejak zaman Khulafah al Rasyidin, yang biasanya memberikan fatwa dan musyawarah serta diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada masa itu. Tempat pertemuan pada masa itu adalah masjid. Dalam majlis sastra tersebut, bukan hanya dibahas dan didiskusikan masalah- masalah kesusatraan saja, melainkan juga berbagai macam ilmu pengetahuan ( majlis ilmu pengetahuan) dan berbagai kesenian ( majlis kesenian). 
Pada masa Harun Al- Rasyid (170-193) majlis sastra ini mengalami kemajuan yang luar biasa, katena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan dan juga mempunyai kecerdasan, sehingga khalifah sendiri aktif didalamnya. Pada masa itu beliau sering mengadakan perlombaan antara ahli-ahli syair, perdebatan antar fukaha dan juga sayembara antara ahli kesenian dan pujangga.[31]
6. Badiah
Sejak berkembang luasnya islam, dan bahasa arab digunakan sebagai bahasa pengantar oleh bangsa-bangsa di luar bangsa Arab yang beragama islam, dan tertutama di kota- kota yang banyak percampurannya dengan bahasa - bahasa lain, maka bahasa Arab berkembang luas, tetapi bahasa Arab cenderung kehilangan keaslian dan kemurniannya. Kalau di kota- kota bahasa Arab sudah rusak dan menjadi bahasa pasaran dan campur baur dengan bahasa- bahasa lain, ternyata tidak demikian halnya di badiah-badiah atau dusun- dusun tempat tinggal orang- orang Arab dipandang mereka tetap mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Mereka masih sangat memperhatikan kefasihan berbahasa dengan memelihara kaidah- kaidah bahasanya. Dengan demikian, badiah- badiah ini merupakan sumber bahasa Arab asli dan murni. Oleh karena itu khalifah- khalifah biasanya mengirimkan anak- anaknya ke badiah – badiah ini untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih lagi murni, dan mempelajari pula Syair- Syair serta sastra Arab dari sumbernya yang asli. Di samping itu, di abdiah- badiah ini biasanya berdiri ribat- ribat atau zawiyah – zawiyah yang merupakan pusat- pusat kegiatan dari pada ahli sufi. Di sanalah para sufi mengembangkan metode khusus dalam mencapai Ma’rifat, suatu tingkat ilmu pengetahuan yang mereka anggap paling tinggi nilainya.
7. Rumah Sakit
Rumah – rumah sakit tersebut, bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang – orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga- tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat- obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu obat- obatan atau farmasi.
8. Perpustakaan
Para ulama dan sarjana dari berbagai macam keahlian, pada umunya menulis buku- buku dalam bidangnya masing- masing dan selanjutnya untuk di ajarkan atau di sampaikan kepada para penuntut ilmu. Disamping itu berkembang pula perpustakaan-perpustakaan yang sifatnya umum, yang diselenggarakan oleh pemerintah atau merupakan wakaf dari para ulama dan sarjana. Baitul Hikmah di Bagdad yang didirikan oleh Khalifah Harun Al- Rasyid.
 9. Masjid 
Semenjak berdirinya di zaman Nabi Muhammad SAW masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kehidupan kaum muslimin. Ia menjadi tempat bermusyawarah, tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan penerangan agama, dan informasi- informasi lainnya dan tempat penyelanggaraan pendidikan, baik  bagi anak- anak maupun orang dewasa. Kemudian pada masa Khalifa Bani Umayyah berkembang fungsinya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan, terutama yang bersifat keagamaan. Para ulama mengajarkan ilmu di masjid, tetapi majlis Khalifah berpindah ke masjid atau ke tempat tersendiri.   



[1] Op Cit., hal.98
[2] Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan ( Bandung: Angkasa, 2003), hal.167
[3] Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam( Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2004)hal.31-36
[4] Ibid.,,44-53
[5] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta (Kalam Mulia, 1994)h.65 
[8] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta (Raja Grafindo Persada , 2001)h.113-115

[9] Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (jakarta : kencana, 2005) hal, 190.
[10] Ibid.
[11] Hillandbrad, Madrasah dalam the enclyclopedia of islam , ( Leiden: E.J.Bill, 1986), hal. 1127
[12] Azra, Azumardi,  Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (.Bandung: Mizan, 2004) hal. 120
[13] Azumardi azra, Op.Cit., hal. 54
[14] Ibid., 62.
[15] Episttimologi adalah cabang filsafat ilmu yang berbicara tentang metode untuk memperoleh dan menyusun struktur bangunan ilmu, atau struktur nalar yang membentuk ilmu.
[16] Lepensable/thinkable yang artinya “terpikirkan” untuk kemudian diterapkan dalam rangka membedah sejarah sistem pemikiran Arab-Islam. Tema “Yang terpikirkan” adalah hal-hal yang mungkin  umat islam meikirkannya, karena jelas dan boleh dipikirkan. Karena keterjangkauan yang diperbantukan oleh bahasa, pikiran, dan kondisi masyrakat. Lihat, Muhammad Arkhoun, Al-fikri al-ushuli wa istihalah al-ta’sil, (Dar Al-Qasi 2007) hal. 10
[17] I’impensable/not yet thought atau tema yang tak terpikirkan adalah hal-hal tabu akibat kemampuan akl sejarah yang belum sampai kesana atau karena tersumbatnya pemikiran yang ada oleh sebab tidak ada kaitannya antara ajaran agama dengan kehidupan yang berlaku saat ini. Atau ketertindasan pemikiran tersebut oleh faktor agamawan atau penguasa politik. Namun, menurut Ali harb, Arkhoun kerap menyepelekan hal-hal tekhnis seperti mendefinisikan secara detail suatu diskursus serta kebanyakan menggunakan “tema-tema membingungkan” pe,baca; karenanya Ali Harb memplesetkan “wilayah tak terpikirkan Arkhoun” (I’impsine/unthinkable/alla mufakar fih) menjadi wilayah terlarang (al-mumtani’an al-tafkir), Lihat, Ali Harb “al-mamnu’ wa al-mumtani (beirut, 2005) cet. IV, hal. 123
[18] Fadjar, Malik, Menatap masa depan Peradaban Islam, (Jakarta: Handout, 2004).
[19] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidayah Agung, 1989), hlm 164
[20] Badri Yatim, Sejarah Pendidikan Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm 126
[21] H.Agustiar Syah Nur, Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara, (Bandung: Penerbit Lubuk Agung, 2000) hal 127-1281
[22] Rasidin, “ Pendidikan Islam di Republik Islam Iran”, Volume 26. No. 2 (2011)

[23] Ibid., hal 129
[24]M.  Nurul Ikhsan Saleh, “ Perbandingan Sistem Pendidikan di Tiga Negara: Mesir, Iran, dan Turki”, Jurnal Pendidikan Islam, Volume IV. No. 1 (2015)
[25] Muhammad Rifai, Politik Pendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Hal. 20.
[26] Al- Qur’an Surat Al- Alaq, ayat 1-5. 
[27] Zuhairi, SejaraH Pendidikan Islam, ( Jakarta, PT Bumi Aksara: 2004), Hal. 91. 
[28] Ibid., hal. 93.
[29] Ibid., hal. 94
[30] Ibid., hal.95
[31] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam: Napaktilas Perubahan Konsep, Filsafat, Dan Metodologi Pendidikan Islam Dari Era Nabi SAW Sampai Ulama Nusantara, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), Hal. 81.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...