1.
ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak tidak ada
manfaatnya, baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, rujum dan ilmu
ramalan.
2.
ilmu-ilmu terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat
kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan
dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa , mendekatkan diri kepada Allah.
3.
ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, dan tercela bila mempelajarinya
secara mendalam, karena jika dipelajari nya secara mendalam itu dapat
menyebabkan terjadinya kekacauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan
keraguan, serta dapat pula membawa pada kekafiran, seperti ilmu filsafat.
·
Al-Ghazali tergolong sebagai penganut paham pragmatis teologis,
yaitu pemanfaatan yang didasarkan atas tujuan iman dan dekat denganAllah SWT.
Hal ini tidak dapat dilepas dari sikapnya sebagai seorang sufi yang memiliki
trend praktis dan faktual.
·
menurut al-Ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis,
maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode
pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajaran.
·
Metode yang bisa digunakan, misalnya ia menggunakan metode mujahadah
dan riyadhah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil
naqli dan aqli serta bimbingan dan nasihat, dan tidak kalah pentingnya adalah
dengan keteladanan. Sedangkan media/alat beliau menyetujui adanya pujian dan
hukuman, disamping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya
akhlak mulia.
a.
Rasa kasih sayang,
b.
Guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajar itu.
c.
Sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan
murid-muridnya
d.
Menggunakan cara yang simpatik, halus, dan tidak menggunakan
kekerasan
e.
Sebagai teladan atau panutan yang baik dihadapan murid-muuridnya
f.
Memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki
g.
Memahami bakat, tabi’at dan kejiwaan muridnya sesuai dengan tingkat
perbedaan usianya.[1]
Adapun
kaitannya terhadap peserta didik, bahwa fitrah manusia mengandung pengertian
yang sangat luas. Al-Ghazali menjelaskan klasifikasi fitrah dalam beberapa
pokok sebagai berikut:
a.
Beriman kepada
Allah.
b.
Kemampuan dan
kesedian untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk
menerima pendidikan dan pengajaran.
c.
Dorongan ingin
tahu untuk mencari hakikat kebenaran.
d.
Dorongan
biologis yang berupa syahwat.
- Dengan demikian konsep fitrah yang diletakkan Al-Ghazali dalam memahami peserta didik masih memiliki relevansi dengan dunia pendidikan modern dalam hal sifat-sifat pembawaan, keturunan dan insting manusia. Hanya saja, dalam hal ini pandangan Al-Ghazali lebih terkonsentrasi pada nilai moral, belajar merupakan salah satu bagian dari ibadah guna mencapai derajat seorang hamba yang tetap dekat (taqarrub) dengan khaliknya.
- Selanjutnya syarat yang mendasar bagi peserta didik seperti diatas mendorong kepada terwujudnya syarat dan sifat lain sebagai seorang peserta didik, syarat- syarat tersebut antara lain:[2]
1)
Peserta didik
harus memuliakan pendidik dan bersikap rendah hati atau tidak takabur.
2)
Peserta didik
harus merasa satu bangunan dengan peserta didik lainnya
3)
Peserta didik
harus menjauhi diri dari mempelajari berbagai madzhab yang dapat menimbulkan
kekacauan dalam pikiran
4)
Peserta didik
harus mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang bermanfaat.
Kelompok...11
GAGASAN IBNU JAMA’AH
A. Riwayat Hidup Ibn Jama’ah
·
Ia lahir di Hamah, Mesir, 639 H/1241 M. Ia wafat pada pertengahan
malam akhir hari Senin tanggal 21 Jumada al-Ula tahun 733 H/1333 M dan
dimakamkan di Qirafah, Mesir. Dengan demikian, Ibn Jama’ah genap berusia 64
tahun 1 bulan 1 hari.
·
Dengan melihat kurun waktu masa hidupnya, Ibn Jama’ah hidup setelah
al-Ghazali (450 H/1058 M-505 H/1111 M), Ibn Rusyd (1126-1198 M), dan al-Zarnuji
(wafat sekitar 615 H/1222 M), dan hampir bersamaan dengan Ibn Bathuthah
(1304-1377 M), dan Ibn Khaldun (732 H-808 H/1332 M-1398 M).
·
Dalam keluarganya , Ibn Jama’ah memiliki empat orang
saudara, dan Jama’ah sendiri merupakan anak yang paling kecil (bungsu). Dan
istilah keluarga ini telah melahirkan sejumlah intelektual muslim pada masanya.
Sebagaimana ‘Abd al-Jawaad Khalaf mencatat, bahwa setidaknya ada empat puluh
sarjana terkenal yang lahir dari keluarga Jama’ah sepanjang masa Ayubiyah dan
Mamlik.
·
Pengalaman pendidikan Ibn Jama’ah diperoleh untuk
pertama kalinya dari lingkungan keluarganya, yang telah miliki tradisi
intelektual yang mapan. Ayahnya sendiri, Ibrahim ibn Sa’d Alah Ibn Jama’ah
(596-675 H), adalah seorang ulama besar dan ahli fiqih sekaligus sufi. Dan
ayahnya inilah Ibn Jama’ah banyak mendapatkan ilmu.
·
Ibn Jama’ah juga memperoleh kesempatan berguru kepada sejumlah
tokoh kairo, mesir, yakni kepada:
1. Taqy al-Din Ibn
Razin (wafat 68-/1281), dan
2. Jamal al-Din
Ibn Malik guna mempelajari ‘ilm Nahw.
3. Al- Rasyd
al-Athar (wafat 662/1264),
4. Ibn Abi Umar,
5. al-Taj
al-Qasthalany (wafat 665/1267),
6. al-Majd ibn
Daqiq al-id (wafat 667/1269),
7. Ibn Abi
Muslamah,
8. Makky Ibn Ilan,
9. Isma’I
al-Iraqy,
10. al-Mushaffa,
11. al-Braza’iy,
12. syarf
al-Din al-Subki (wafat 669/1271).
·
Berkat pengembaraannya itu, Ibn Jama’ah sangat
professional dalam banyak bidang sehingga ia menjadi pendidik, orator, hakim,
penyair, faqih, mufassir, muhadddits dan lain-lain. Sebagai pendidik, ia pernah
mengajar di Damaskus seperti Qimyariyah, lembaga akademik Ibn Thulun, salah
satu Institusi pendidikan yang lebih menekuni pada konsep-konsep Syafi’iyyah, dalam masa yang cukup
panjang. Dari beberapa keterangan yang didapat, Ibn Jama’ah tampaknya menguasai
aspek-aspek pendidikan. Seperti kesan yang dilontarkan Ibn Hajar ‘’ia penuh
kasih sayang, berakhlak bai, pandai ceramah… mengajar dengan baik tanpa
kekerasan’’.
·
Sebagai orator, Ibn Jama’ah sering ceramah di masjid
al-Aqsha dan lembaga pendidikan al-Amwa, Damaskus, juga di al-adzhar, mesir,
dalam interval masa yang cukup lama. Seringnya ceramah di Damaskus dan Mesir
ini berbarengan dengan kesibukannya seagai hakim (Qadhy al-Qudhah). Karir dalam bidang hukum ini terlihat pada tahu
687 H ketika ia menjabati sebagai hakim di Damaskus, dan tahun 690 H beliau
pinah ke daerah mesir. Pada masa itulah Ibn Jama’ah sering bergabung dan
bertukar pikiran dengan beberapa syaikh yang
lain.
·
Sungguhpun demikian, karir Ibn Jama’ah dalam bidang hakim ini
tampaknya diuntungkan oleh situasi politik ketika terjadi pertentangan
antarhakim al-Syafi’iyah di Mesir,
yakni antara Taqy al-Din Abd al-rahman Ibn al-A’uzz dengan al-Wazir Ibn
al-sal’us, mengenai kandidat yang dapat diajukan untuk menduduki posisi
penguasa hukum (qashy). Ibn Sal’us
merekomendasikan kepada penguasa mesir, ketika itu Khalil Ibn Qalawun, bahwa
yang berhak menduduki posisi itu adalah Ibn Jama’ah. Rekomendasi itu kemudia diterima oleh
penguasa dan ditetapkanlah Ibn Jama’ah yang dipilih
·
Pada permulaan tahun 693 H. penguasa mesir terbunuh, lalu ibn
jama’ah pindah ke Syam hingga bertemu dengan Ibn al-A’uzz dan Taqy al-Din Ibn
Daqiq al-id. Tahun 702 H. Taqy al-Din Ibn Daqiq al-id wafat dan Ibn Jama’ah
pindah lagi ke Mesir hingga awaltahun 710-an H. akhirnya, Ibn jama’ah tetap
menjadi qadhy dan berakhir hingga
tahun 727 H oleh karena kondisi kesehatannnya kurang normal.
·
Selain ahli dalam beberapa disiplin di atas, Ibn
Jama’ah juga dapat dipandang sebagai ahli sastra pada zamannya. Ia ingat betul
pada nazham-nazham syairnya, sehingga
imam al-Asnawi menyatakan bahwa Ibn Jama’ah piawai dalam menyusun syair-syair
yang baik. Kesan demikian pun tampaknya diakui juga oleh Ibn hajar.
·
Sesungguhnya ibn Jama’ah ahli dalam banyak hal, namun hidup
kesehariannya tampak sederhana baik dalam hal makanan, pakaian, kendaraan,
maupun tempat tinggalnya. Ia sangat menjaga diri dari perbuatan maksiat (wara’), konsisten dalam beribadah kepada
allah (murraqabah), mengasihi orang
fakir-miskin, menyukai tasawuf, toleran, senantiasa terbuka dan menyukai ilmu
pengetahuan. Bagi Ibn Jama’ah ilmu pengetahuan harus lebih diutamakan daripada
melakukan ibadah sunnah yang bersifat jasmani, seperti shalat, puasa, membaca tasbih, dan lain-lain. Menurutnya, ilmu pengetahuan mampu
memberikan efek positif kepada yang bersangkutan, disamping juga kepada orang
lain secara keseluruhan. Ibadah hanya memberikan implikasi spesifik, yakni
hanya kepada yang melakukan ibadah itu saja, sementara orang lain tidak.[3]
B. Karakteristik Pemikiran Kependidikan Ibn
Jama’ah
·
menurut Hasan Langgulung, pada dasarnya literatur
kependidikan islam itu dapat di golongkan ke dalam beberapa corak.
1.
corak pemikiran pendidikan yang awalnya adalah sajian
dalam spesifikasi fiqih, tafsir dan hadis kemudian mendapat perhatian
tersendiri dengan mengembangkan aspek-aspek pendidikan. Model ini diwakili oleh
Ibn Hazm (384-456 H) dengan karyanya Kitab
al-mufashshal fi al-Milal wa al-ahwa wa al-nihal.
2.
corak pemikiran pendidikan yang bermuatan sastra.
Contohnya adalah Abdullah bin al-Muqaffa’ (106-142 H/724-759 M) dalam karyanya Risalat al-shahabah yang dianggap memuat
pemikiran-pemikiran yang bersal dari luar islam dan al-Jahiz (160-225 h/775-868
M) dengan karyanya al-Taj fi akhlaq
al-Muluk yang memuat pemikiran arab islam yang asli.
3.
corak pemikiran pendidikan islam filosofis. Sebagai
contoh adalah corak pendidikan yang dikembangkan oleh aliran Mu’tazilah, Ikhwan
al-Shafa dan para filosof. Beberapa filosof yang menyediakan konsep
pendidikannya dengan model ini adalah al-kindi (259 H/873 M), al-Farabi ( wafat
339 H/951 M), Ibn sina (wafat 432H/1027 M), al-Ghazali (wafat 505 H/1111 M),
Ibn Rusyd (wafat 559 H/1198 M), dan Ibn Khaldun (wafat 808 H/1406 M).
4.
pemikiran pendidikan islam yang berdiri sendiri dan
berlainan dari beberapa corak di atas, tetapi ia tetap berpegang pada semangat
Alquran dan al-Hadist. Corak yang terakhir ini terlihat pada karya Muhammad bin
Sahnun (wafat 256 H/871 M) adab
al-mu’allimin, dan Burhan al-Din al-Zarnuji (wafat 571 atau 591 H), ta’lim al-muta’allim Thariqq al-Ta’allum.
·
Jika mengacu pada klasifikasi hasan langgulung di
atas, tampaknya Tadzkirat al-sami’ wa al-mutakallim fi adab al-Alim wa al-muta’allim dapat
digolongkan pada corak yang terakhir. Hal ini didasarkan atas kandungan
dalam kitab tersebut yang tidak memuat kajian-kajian dalam spesifikasi fiqih,
sastra, dan filsafat. Baik tadzkirat al-sami’ maupun adab al-alim, keduanya semata-mata untuk
memberi petunjuk praktis bagi siapa
saja yang terlibat dalam proses pendidikan, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ibn jama’ah tentang latar belakang penulisannya.
·
Selain itu, Tadzkirat
al-sami’ mempunyai banyak kesamaan dengan
Ta’lim al-Muta’allim karya
al-Zarnuji. Dalam kitab-kitab tersebut, masing-masing membahas secara khusus
ide-ide kependidikan dengan mengutip pandangan sejumlah ulama, sehingga
tidaklah berlebihan jika antara kitab Tadzkirat
al-Sami’ di satu sisi dengan Ta’lim
al-Muta’allimi di sisi lain, dalam hal ini dapat dianalogikan.
·
Di sisi lain, karakter pemikiran pendidikan Ibn
Jama’ah dapat dimasukan ke dalam garis mazhab syafi’iyyah. Bukti kuat untuk
menunjukan bahwa Ibn Jama’ah itu penganut mazhab Syafi’iyyah adalah adanya
pe-nisbah-an al-Syafi’iy pada nama Ibn Jam’ah. Di samping itu, Ibn Jama’ah
seringkali mengutip tokoh-tokoh Syafi’iyah, termasuk Imam al-syafi’I sendiri,
ketimbang tokoh-tokoh mazhab lain. Menurut ‘Abd al-Mu’idz Khan, denga
pengungkapa ide-ide tokoh mazhab yang dianutnya, hampir dapat dipastikan itu
memberi pengaruh terhadap pemikiran kependidikannya.
·
Bagi Ibn Jama’ah, penganutan dirinya terhadap mazhab
Syafi’iyah agaknya didorong oleh kondisi social, politik, dan tradisi keagamaan
yang berkembang ketika itu. Sebagaimana dideskripsikan dalam biografi Ibn
Jma’ah, setelah Dinasti Fatimiyah yang menganut aliran Syi’ah dihancurkan oleh
Dinasti Ayubiyah yang sangat fanatic terhadap
Syafi’iyah, gagasan-gagasan syafi-isme kian mendapat tempat yang lebih
luas dalam segala sektor, termasuk dalam pendidikan. Segala upaya Ayubiyah
dikerahkan semata-mata untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh Syi’ah dan
menghidupkan tradisi-tradisi Syafi’iyah. Oleh karenanya, hal itu sangat
memungkinkan terhadap pembentukan kecenderungan pemikiran Ibn Jama’ah sebagai
pemikir yang menganut mazhab syafi’iyah.
·
Kecendeungan lain dalam pemikiran Ibn Jama’ah adalah
mengetengahkan nilai-nilai estetika yang bernapaskan sufistik.
·
Kecenderungan sufistik pada pemikiran Ibn jama’ah tampaknya lebih
dipengaruhi oleh penidikan dialaminya, terutama dengan ayahnya, Ibrahim bin
sa’ad Allah bin Jama’ah (596-675 H), yang merupakan ulama besar dalam bidang
fiqih sekaligus seorang sufi. Selain itu, dalam nuansa yang berkembang saat itu, tradisi-tradisi
sufistik kian menjadi mainstream tersendiri.
·
Kecenderungan ini merupakan wacana umum bagi
literature-literatur kitab kuning yang tidak bisa dihindari dari
persoalan-persoala sufistik, yang secara umum merupakan bentuk replikasi atas
prinsip-prinsip sufisme al-Ghazali. Terbukti bahwa konsep Ibn jama’ah ternyata
banyak kesamaannya dengan konsep-konsep yang ditawarkan al-ghazali terutama
dalam karyanya, ihya’ ulum al-Din.
·
Berkenaan dengan hal di atas, Abd al-Mu’idz Khan, salah seorang
intelektual muslim kependidikan, mengkomparasikan antara materi yang terkandung
dalam Tadzkirat al-sami’ dengan
materi Ta’lim al-Muta’allim. dalam
pengkomparasian itu, ia mendudukan Tadzkirat
al-sami’ sama dengan kitab ihya ‘ulum
al-Din karya imam al-Ghazali dan kitab Muqaddimah,
baik karya Imam Nawawi maupun karya Ibn khaldun. Sedangkan Ta’lim al-Muta’allim antara lain
disamakan dengan kitab al-Alim wa al-muta’allim karya imam Abu Hanifah dan irsyad al-Qashid ila Asna Maqashid karya
Ibn Sa’id. Dengan al-Din karya
Al-Ghazali ini menunjukan betapa suratnya muatan-muatan sutisfik dalam konsep
kependidikan Ibn Jama’ah.
·
Sebagaiamana dijelaskan oleh Afandi Mochtar, ‘Abd al-Mu’idz Khan
membandingkan tiga aspek kandungan Tadzkirat
al-Sami dengan Ta’lim al-Muta’allm. Ketiga kandungan yang dibandingkan oleh
‘Abd al-Mu’idz Khan adalah sebagai berikut:
1. menurut al-Zarnuji, ilmu adalah media untuk
mencapai derajat taqwa kepada Allah SWT. Hal ini diperkuat oleh pernyataan:
a. Imam Abu
Hanifah bahwa belajar ilmu fiqih dimaksudkan untuk memahami hakikat diri
sendiri sehingga mempelajari ilmu sekaligus berarti mengamalkannya. Pengetahua seseorang akan ketentuan hukum
yang menjelaskan sesuatu itu benar atau salah denga demikian menjadi sangat
penting. Sebagai konsekuensinya, ia harus konsisten dengan apa yang dianggap
sebagai kebenaran dalam perilaku kehidupannya. Imam Hanafi => Menurut imam mazhab ini, seseorang harus beriman kepada Allah atas dasar
rasionalisasi ‘aqliyah. Sebab, katanya, betapapun benarnya, keimanan
yang ikut-ikutan (taqlid) dianggap
sebagai dosa sejuh tidak mendukung oleh alasan akal dan intelek.
b. Sementara dalam pandangan Ibn jama’ah, ,
menurut ‘Abd al-Mu’idz khan, diskursus pembahasan studi kalam itu tidak berlaku,
atau paling tidak sangat minim dalam apresiasinya. Hal ini disebabkan oleh
anggapan bahwa pengetahuan yang didapat selain dari wahyu itu kurang memiliki
keuntunga yang berharga. Begitupun pendekatan intelektual untuk menemukan
kebenaran yang murni dianggap sebagai kesalahan. Pendidikan menurut Ibn Jama’ah
adalah media untuk mendekatkan seseorangkepada Allah dan untuk syariat-nya.
Dalam hal keimanan sseorang harus menerima apa yang Allah wahyukan kepada
Rasul-nya sekalipun tidak sesuai dengan pertimbangan rasio.
2. berkaitan
dengan klasifikasi mata pelajaran menurut al-Zarnuji:
a. mazhab
Hanafiyah mata pelajaran terbagi kedalam dua kategori, yaitu wajib (fardlu ‘ain) dan pilihan (fardlu kifayah).
b.
pandangan Syafi’iyah, mata pelajaran itu diklasifikasikan ke dalam
mata pelajaran keagamaan (syar’i) dan
mata pelajaran nonkeagamaan (ghair syar’i).
mata pelajaran golongan kedua ini, nonkeagamaan, meliputi beberapa mata
pelajaran yang dilarang (haram), yang
dibenci (makruh), dan yang
diperbolehkan (mubah). Dalam pada itu,
mata plajaran keagamaan terdiri dari tiga, yakni yang diharuskan (fardlu ‘ain),
yang pilihan (Fardlu Kifayah), dan
yang disarankan (nafl).
3. berkenaan metode belajar:
a. bagi al-Zarnuji, belajar dimaksudkan untuk
mengembangkan kemampuan mental, memori, dan intelek. Ia mendudukan kepentingan
menghafal secara gradual, disatu pihak, juga menekankan perlunya diskusi (munazarah) dan dialog (mutharahah) sehingga mencapai pemahaman
yang baik , di lain pihak baginya, memahami dua kata lebih baik daripada
menghafal dua buku bacaan.
b. dikalangan Syafi’iyah dalam hal ini
diwakili oleh Ibn Jama’ah, system pengulangan lebih ditekankan daripada
pemahaman. Sangat terbiasa seorang murid mengahafal sejumlah materi yang sangat
banyak tetapi kurang memahaminya.[4]
C. Konsep Pendidikan Ibnu Jama’ah
·
Konsep pendidikan yang
dikemukakan Ibnu Jama’ah secara keseluruhan dituangkan dalam karyanya Tadzkirat
as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim. Keseluruhan
konsep pendidikan Ibnu Jama’ah ini dapat dikamukakan sebagai berikut
1. Konsep Guru/Ulama => Ibnu Jama’ah menawarkan sejumlah kriteria
yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menjadi seorang guru:
a. menjaga akhlak selama melaksanakan tugas pendidikan.
b. tidak menjadikan profesi guru
sebagai usaha untuk menutupi kebutuhan ekonominya.
c. mengetahui situasi social
kemasyarakatan.
d. kasih saying dan sabar.
e. adil dalam memperlakukan peserta
didik.
f. menolong dengan kemampuan yang
dimilikinya.
Dari keenam kriteria
tersebut, yang menarik adalah kriteria tentang tidak bolehnya profesi guru
dijadikan sebagai usaha mendapatkan keuntungan materil, suatu konsep yang di
masa sekarang tampak kurang relevan, karena salah satu ciri kerja professional
adalah pekerjaan dimana orang yang melakukannya menggantungkan kehidupan di
atas profesinya itu. Namun Ibnu Jama’ah berpendapat demikian sebagai
konsekuensi logis dari konsepnya tentang pengetahuan. Bagi Ibnu Jama’ah
pengetahuan (ilmu) sangat agung lagi luhur, bahkan bagi pendidik menjadi
kewajiban tersendiri untuk mengagungkan pengetahuan tersebut, sehingga pendidik
tidak menjadikan pengetahuannya itu sebagai lahan komoditasnya, dan jika hal
itu dilakukan berarti telah merendahkan keagungan pengetahuan. Secara umum
kriteria-kriteria tersebut diatas menampakkan kesempurnaan sifat-sifat dan
keadaan pendidik dengan memiliki persyaratan-persyaratan tertentu sehingga
layak menjadi pendidik sebagaimana mestinya.
2. Peserta Didik => Menurut Ibnu Jama’ah peserta yang baik adalah
peserta didik yang mempunyai kemampuan dan kecerdasan untuk memilih, memutuskan
dan mengusahakan tindakan-tindakan belajar secara mandiri, Ibnu jama’ah sangat
mendorong para siswa agar mengembangkan kemampuan akalnya. Menurut Ibnu Jama’ah
bahwa akal merupakan anugerah dari Tuhan yang sangat istimewa dan berharga, dan
oleh karenanya patut disyukuri dengan jalan memanfaatkannya secra optimal. Atas
dasar ini, maka IbnuJama’ah menganjurkan agar seiap peserta didik mengembangkan
daya inteleknya guna menemukan kebenaran-kebenaran yang ada dalam kajian
apapun, termasuk dalam kajian keimanan atau ibadah. serta menyediakan
waktu-waktu tertentu untuk mengembangkan daya inteleknya itu.
3. Materi Pelajaran/Kurikulum => Materi pelajaran yang dikemukakan
Ibnu Jama’ah terkait dengan tujuan belajar, yaitu semata-mata menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah SWT, dan tidak untuk kepentingan mencari dunia atau
materi. Sejalan dengan tujuan tersebut diatas, maka materi pelajran yang
diajarkan harus dikaitkan dengan etika dan nilai-nilai spiritualitas. Dengan
demikian, ruang lingkup epistimologi persoalan yang dikaji oleh pesrta didik
menjadi meluas, yaitu meliputi epistimologi kajian keagamaan dan epistimologi
diluar wilayah keagamaan (sekuler). Ibnu Jama’ah lebih menitikberatkan pada
kajian materi keagamaan. Hal ini antara lain terlihat pada pandangannya
mengenai urutan matrei yang dikaji sangat menampakkan materi-materi
keagamaan. Urutan mata pelajaran yang dikemukakan Ibnu Jama’ah adalah
pelajaran Al-quran, tafsir, hadits, ulum al-hadits, ushul al-fiqh, nahwu dan
shorof. Karena sebagaimana pendapat Muhammad Faisal Ali Sa’ud, kurikulum
Al-Qur’an merupakan cirri yang membedakan antara kurikulum pendidikan Islam
dengan pendidikan lainya. Sudah seharusnya kurikulum pendidikan Islam disusun
sesuai dengan Al-Qur’an Al-Karim, dan ditambah dengan Al-Hadits untuk
melengkapinya.[5]
4. Metode Pembelajaran => Konsep Ibnu Jama’ah tentang metode
pembelajaran banyak ditekankan pada hafalan ketimbang dengan metode lain.
Metode hafalan memang kurang memberikan kesempatan pada akal untuk
mendayagunakan secara maksimal proses berfikir, akan tetapi, hafalan
sesungguhnya menantang kemampuan akal untuk selalu aktif dan konsentrasi dengan
pengetahuan yang didapat. Selain metode ini, beliau juga menekankan
tentang pentingnya menciptakan kondisi yang mendorong kreativitas para siswa,
menurut beliau kegiatan belajar tidak digantungkan sepenuhnya kepada pendidik,
untuk itu perlu diciptakan peluang-peluang yang memungkinkan dapat
mengembangkan daya kreasi dan daya intelek peserta didik.
5. Lingkungan Pendidikan => Menurutnya bahwa lingkungan yang baik
adalah lingkungan yang didalamnya mengandung pergaulan yang menjunjung tinggi
nilai-nilai etis. Pergaulan yang ada bukanlah pergaulan bebas, tetapi pergaulan
yang ada batas-batasnya. Lingkungan memiliki peranan dalam pembentukan
keberhasilan pendidikan. Keduanya menginginkan adanya lingkungan yang kondusif
untuk kegiatan belajar mengajar, yaitu kondisi lingkungan yang mencerminkan
nuansa etis dan agamis.[6]
D. Pandangan Ibn Jama’ah tentang imbalan dan sanksi
·
Pandangan Ibnu Jama’ah-Pemberian imbalan lebih
kuat dan lebih berpengaruh terhadap pendidikan anak dari pada pemberian sanksi.
Sanjungan dan pujian guru dapat mendorong siswanya untuk meraih keberhasilan
dan prestasi yang lebih baik. Ibnu Jama’ah lebih memprioritaskan imbalan,
anggapan baik, pujian dan sanjungan. Ibnu Jama’ah sangat menghindar dari
penerapan sanksi yang dapat menodai kemuliaan manusia dan merendahkan
martabatnya. Jadi sanksi itu merupakan bimbingan dan pengarahan perilaku serta
pengendaliannya dengan kasih sayang. Sanksi perlu diberikan dengan landasan
pendidikan yang baik dan ketulusan dalam bekerja, bukan berlandaskan kebencian
dan kemarahan. Adapun Ibnu Jama’ah memandang bahwa sanksi kependidikan
dapat diberikan dalam empat tahapan. Jika siswa melakukan perilaku yang tidak
dapat diterima, guru dapat mengikuti empat tahapan tersebut:
1. Melarang perbuatan itu didepan siswa yang melakukan kesalahan tanpa
menyebutkan namanya.
2. Jika anak tidak menghentikan, guru dapat melarangnya secara
sembunyi-sembunyi, misal dengan isyarat.
3. Jika anak tidak juga menghentikannya, guru dapat melarangnya secara tegas
dan keras, agar yang dia dan teman-temannya menjauhkan diri dari perbuatan
semacam itu.
4. Jika anak tidak kunjung menhentikannya, guru dapat mengusirnya dan tidak
memperdulikannya.[7]
E. Karya Tulis Ibn Jama’ah
·
Karya-karya Ibn Jama’ah
pada garis besarnya terbagi kepada masalah pendidikan, astronomi, ulumul
hadits, ulum at-tafsir, Ilmu fiqh dan Ushul al-Fiqh.
a. Kitab Tadzkirat as-Sami’wa al-Mutakallimin fi Adab al-Alim wa
al-Muta’ilim merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan.
b. Kitab Usthurulah merupakan kitab yang membahas masalah
astrologi.
c.
Kitab al-Munhil
al-Rawy fi Ulum al-Hadits al-Nabawy merupakan ringkasan dari kitab
ilmu hadits yang ditulis Ibn as-Shalah. Dalam kitab ini, Ibn Jama’ah
menambahkan beberapa cacatan dan mengurutkan beberapa pembahasan. Kitab ini
selesai ditulis pada bulan Sya’ban tahun 687 H. di Damaskus. Selain kitab-kitab
di atas, Ibnu Jama’ah juga menulis beberapa kitab lainnya, yaitu Idlah
ad-Dalil fi Qath’I Hujaj ahl-Ta’wil, at-Tibyan li Muhhimat Al-Qur’an, Tajnid
al-Ajnad wa Jihat al-Jihad, Tahrir al-Ahkam fi Tadhir Jasys al-Islam, al-Tanzih
fi Ibthal al-Hujaj at-Tasybih, Tanqih al-Munazharat fi Tashhih al-Mukhabarah,
Hujai as-Suluk fi Muhadat al-Muluk, at-Tha’ah fi Fadhilat as-Shalat al-Jama’ah,
Ghurr at-Tibyan fi Tafsir A-Qur’an, al-Fawaid al-Ghazirat al-Mustanbihat min
Ahadits Barirah, al-Fawaid al-Laihat min Surat Al-Fatihah, Kasyf al-Ghimmat fi
Ahkam Ahl ad-Dimmah, kasyf al-Ma’any an al-Mutasyabih min al-Matsany, Mustamid
al-Ajnad fi Alat al-Jihad, ar-Radd ‘ala al-Musyabbahah fi Qaulih Ta’ala
ar-Rahman ‘ala al-Arsy Istawa’ al-Masalik fi ilmu al-Manasik, al-Mukhtashar fi
Ulum al-Hadits, al- Muqradh fi Fawaid Takrir al- Qashash, dan
lain-lain.[8]
Kelompok 12
Madrasah
haramain
·
Sejarah Madrasah di Haramain. Haramayn secara harfiah berarti “dua haram”. Maksudnya, dua kota
suci umat Islam yaitu Makkah dan Madinah yang terletak di daerah Hijaz, Arab
Saudi.
·
Berdirinya Madrasah Nizhamiyah, yang merupakan era kebangkitan
tradisi keilmuan Sunni, sangat mempengaruhi perkembangan madrasah-madrasah di
Haramayn, yang pada gilirannya kemudian menggantikan posisi Nizhamiyah sebagai
pusat keilmuan Islam Sunni. Akan tetapi, kurikulum dan metode pengajaran di
Madrasah Haramayn tampaknya tidak jauh berbeda dengan yang berlaku di Madrasah
Nizhamiyah, yakni lebih menekankan ilmu-ilmu agama terutama disiplin fiqh dari
empat mazhab hukum yang diakui dalam ortodoksi Sunni.
·
Madrasah Haramain mulai tumbuh dan berkembang pada
fase kedua, yaitu fase keemasan. Meski fase ini dikenal sebagai fase awal
digunakannya madrasah sebagai sebuah pendidikan, namun yang berkembang di
Haramain bukanlah yang pertama. Karena sebelumnya sudah ada al-Nizamiyah di
Baghdad dan al-Azhar di Mesir.[9]
·
Adapun Sejarah perkembangan pendidikan dapat di
klasifikasikan dalam empat fase yaitu:
1. fase
pertumbuhan yang berlangsung mulai awal perkembangan islam hingga ahir masa
dinasti umayyah. Pada fase ini, meski diindikasikan belum ada lembaga
pendidikan yang bernama madrasah, namun Makah dan Madinah sudah menjadi pusat
perkembangan intelektual. Hal ini terbukti dengan lahirnya
intelektual-intelektual muslim seperti: Imam Ali, Imam Abbas, Imam Ja’far
Shodiq, Imam Malik dan Imam Hambali. Dijelaskan pula bahwa khalifah Harun
Al-Rasyid juga pernah mengirimkan kedua anaknya ke Madinah untuk belajar agama,
tradisi dan bahasa.
2. fase
keemasan yang berawal dari berdirinya dinasti abbasiyah hingga kemunduran dan
keruntuhan Baghdad. Pada fase ini, madrasah sebagai sebuah terminologi lembaga
pendidikan islam mulai digunakan. Pada fase ini pula berdiri madrasah Nizamiyah
yang kemudian mewarnai belantika perkembangan madrasah yang muncul sesudahnya,
termasuk madrasah yang berkembang di Makkah dan Madinah.
3. fase
kemunduran yang berlangsung sejak kekuasaan turki usmani sampai era kemerdekaan
negara Arab dari turki usmani.
4. fase
pembaruan dan rekonstruksi yang berlangsung semenjak awal kemerdekaan hingga
sekarang.[10]
·
Ulama-Ulama Nusantara Yang belajar dan mengajar di
Madrasah haromain: Azumardi Azra Dalam
“Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVII: Akar pembaharuan Islam di Indonesia, Menyebutkan bahwa hubungan antara
Nusantara dan Haramain memiliki corak spesial karena pada abad ke XVII dan
XVIII banyak ulama nusantara yang ke haramain gunamenuntut Ilmu.
1. Syeikh
NawawiL-Bantani. Syekh
Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani kerap disebut sebagai “Imam Nawawi Kedua”.
Gelar ini diberikan oleh Syekh Wan Ahmad bin Muhammad Zain Al-Fathani. Ulama
yang juga berjuluk “Sayyid Ulama Hijaz” ini lahir dengan nama Muhammad Nawawi
bin ‘Umar bin ‘Arabi. Ulama yang lahir di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di
kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sekarang di Kampung
Pesisir, desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syekh Nawawi
Bantani) pada tahun 1230 H atau 1815 M ini bernasab kepada keturunan Maulana
Hasanuddin putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-12 dari Sultan
Banten. Nasab dia melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw.
Setiap kali mengajar di Masjidil Haram, ia selalu dikelilingi sekitar 200-an orang. Pernah pula diundang ke Universitas Al-Azhar, Mesir, untuk memberi ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara khusus. Di antara kitab karyanya Nihayatuz Zain, Nashaihul ‘Ibad, Tafsir Marah Labid, Uqudul Lujain, dan sebagainya. Total jumlah karyanya mencapai tidak kurang dari 115 kitab.
Banyak murid-muridnya yang di belakang hari menjadi ulama, misalnya K.H. Hasyim Asyari (Pendiri Nahdlatul Ulama ), KH. Khalil Bangkalan , KH. Asnawi Kudus ,
Setiap kali mengajar di Masjidil Haram, ia selalu dikelilingi sekitar 200-an orang. Pernah pula diundang ke Universitas Al-Azhar, Mesir, untuk memberi ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara khusus. Di antara kitab karyanya Nihayatuz Zain, Nashaihul ‘Ibad, Tafsir Marah Labid, Uqudul Lujain, dan sebagainya. Total jumlah karyanya mencapai tidak kurang dari 115 kitab.
Banyak murid-muridnya yang di belakang hari menjadi ulama, misalnya K.H. Hasyim Asyari (Pendiri Nahdlatul Ulama ), KH. Khalil Bangkalan , KH. Asnawi Kudus ,
2. Syeikh
Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tarmasi, lahir di Termas, Pacitan, Jawa Timur,
pada 12 Jumadil Ula 1285 H/31 Agustus 1868 M, dan bermukim di Makkah sampai
beliau wafat pada 1 Rajab 1338 H/ 20 Mei,1920M.
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa karangan Syekh Mahfudz mencapai lebih 20 karangan. Mengingat karyanya itu, tidak berlebihan kiranya jika Syekh Yasin Al-Padani, ulama Makkah asal Padang, Sumatra Barat, yang berpengaruh pada tahun 1970-an.
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa karangan Syekh Mahfudz mencapai lebih 20 karangan. Mengingat karyanya itu, tidak berlebihan kiranya jika Syekh Yasin Al-Padani, ulama Makkah asal Padang, Sumatra Barat, yang berpengaruh pada tahun 1970-an.
3.
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Satu-satunya
orang non-Arab yang menjadi imam besar Masjidil Haram di Makkah adalah seorang
Minang bernama Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, di akhir abad 19 dan awal
abad 20 an. Selain itu, ia juga menjadi Mufti Mazhab Syafi’i yang disegani.
Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H
(1860 Masehi) dan wafat di Makkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H(1916M).
Murid2 beliau ini => seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayahanda dari
Buya Hamka; Syekh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syekh Sulaiman Ar-Rasuli,
Candung, Bukittinggi, Syekh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syekh Abbas
Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, Syekh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki,
Syekh Khatib Ali Padang, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Mustafa Husein,
Purba Baru, Mandailing, dan Syekh Hasan Maksum, Medan, hingga KH. Hasyim
Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan. Meskipun tinggal di Makkah, namun ia tak melupakan
kampung halamannya. Kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah
membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam.
Salah satu kritik Syekh Ahmad Khatib yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu. Syekh Khatib juga melontarkan kritik terhadap praktek tarekat yang dianggap menyimpang. Selain itu, beliau sempat berpolemik dengan Syekh M Hasyim Asy'ari mengenai Sarekat Islam, menurut pertimbangan manfaat dan madaratnya. Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari menulis Kaff al-Awam, pada 1912, sedangkan sanggahannya dilontarkan oleh Syekh Khatib melalui Tanbih al-Anam yang ditulis dua tahun berselang. Ulama besar ini wafat di Mekkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M) dengan meninggalkan puluhan karya tulis.
Salah satu kritik Syekh Ahmad Khatib yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu. Syekh Khatib juga melontarkan kritik terhadap praktek tarekat yang dianggap menyimpang. Selain itu, beliau sempat berpolemik dengan Syekh M Hasyim Asy'ari mengenai Sarekat Islam, menurut pertimbangan manfaat dan madaratnya. Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari menulis Kaff al-Awam, pada 1912, sedangkan sanggahannya dilontarkan oleh Syekh Khatib melalui Tanbih al-Anam yang ditulis dua tahun berselang. Ulama besar ini wafat di Mekkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M) dengan meninggalkan puluhan karya tulis.
4.
Syekh Muhammad Mukhtar Al-Bughuri, Lahir di Bogor,
Jawa Barat, pada 14 Sya’ban 1278 (14 Februari 1862). Semasa muda, ia telah mampu
menghafal Al-Qur’an. Tahun 1299 hijrah ke Betawi (Jakarta) untuk menimba ilmu
kepada Sayyid Utsman, Mufti Batavia. Tidak puas juga, ia kemudian menuju ke
Makkah. Selama di Makkah, Mukhtar Al-Bughuri belajar kepada ulama termasyhur,
Syekh Ahmad Al-Fathani. Ia juga diberi kesempatan untuk mengajar di
Masjidil-Haram selama 28 tahun. Setiap kesempatan mengajar, ia selalu
dikelilingi sekitar 400-an muridnya. Semasa hidupnya telah menulis
berpuluh-puluh karya, antara lain kitab Aqaid Ahl As-Sunnah wal-Jamaah, sebuah
kitab teologis yang ditulis menggunakan bahasa Sunda yang uniknya diterbitkan
oleh penerbit legendaris, Mustafa Bab al-Halabi, Kairo, pada bulan Jumadil Ula
tahun 1341 H yang bertepatan dengan Desember 1922.
Selain menjadi guru bagi pendiri Muhammadiyah dan NU, Syekh Mukhtar juga merupakan guru dari Syekh Mahmud al-Banjari (cicit Syekh Arsyad al-Banjari), Syekh Abdullah Fahim (Mufti Pulau Penang), Syekh Mahmud Zuhdi (Mufti Selangor), Sayyid Muhsin al-Musawa al-Falimbani (pendiri Madrasah Darul Ulum Makkah), dan KH. Ahmad Dimyathi bin Abdullah Attarmasi, yang merupakan adik Syekh Mahfidz Attarmasi. Syekh Mukhtar Al-Bughri wafat di Makkah pada 17 Shafar 1349 (13 Juli 1930)
Selain menjadi guru bagi pendiri Muhammadiyah dan NU, Syekh Mukhtar juga merupakan guru dari Syekh Mahmud al-Banjari (cicit Syekh Arsyad al-Banjari), Syekh Abdullah Fahim (Mufti Pulau Penang), Syekh Mahmud Zuhdi (Mufti Selangor), Sayyid Muhsin al-Musawa al-Falimbani (pendiri Madrasah Darul Ulum Makkah), dan KH. Ahmad Dimyathi bin Abdullah Attarmasi, yang merupakan adik Syekh Mahfidz Attarmasi. Syekh Mukhtar Al-Bughri wafat di Makkah pada 17 Shafar 1349 (13 Juli 1930)
·
Madrasah di Mekkah. Menurut sejarawan Al-Fasi
Al-Makki Al-Maliki (775-832 H./1373-1428 M), madrasah pertama di Mekkah adalah
madrasah Al-Ursufiyah yang didirikan pada 1175 oleh Afif Abdullah Muhammad
Al-Ursufi (w. 1196 M).
·
Ciri terpenting madrasah-madrasah di Mekkah adalah
hampir seluruh madrasah itu dibangun oleh penguasa-penguasa atau dermawan
non-Hijazi. Hanya satu madrasah, yakni madrasah Al-Syarif Al-Ajlan yang
dibangun penguasa Mekkah, Ajlan Abu Syari’ah (744-777H./1344-1375 M).
·
Sedangkan yang terbanyak mendirikan madrasah di
Mekkah adalah penguasa Usmani, mereka membangun 5 madrasah, yaitu 4 dibangun
oleh sultan Sulaiman Al-Qanuni dan 1 lagi dibangun oleh sultan Murad (1574-1595
M).
·
Selanjutnya penguasa dan para pejabat Abbasiyah
membangun 4 madrasah. Sementara yang lain penguasa-penguasa Mamluk dan Yaman
serta penguasa muslim India. Selain kedua madrasah diatas, Hillanbrand
menjelaskan bahwa pada tahun 1183-1184 M, gubernur Aden juga telah mendirikan
madrasah untuk m adzab hanafi di mekkah. Dan setahun kemudian ia membangun
madrasah untuk madzab syafi’i.[11]
·
Berikut adalah Madrasah-madrasah Di Mekkah Periode
Pertengahan. Pada periode ini, terdapat setidaknya 23 madrasah yang dikenal
luas di Mekkah.
1. Madrasah
al-Arsufi (1175 M) Ini adalah madrasah yang paling tua yang berdiri di Mekkah,
yang berdiri kira-kira pada tahun 1175 M. Literatur lain menyebutkan bahwa
sejak pembangunan madrasah Al-Ursufiyah hingga awal abad ke-17 terdapat
setidaknya 19 madrasah di Mekkah. Adapun pendiri madrasah ini adalah Al-Afif
Abdullah Muhammad Al-Arsufi, seorang berkebangsaan Syiria.
2. Madrasah
Amir al-Zanjili (1183 M)mengembangkan keilmuan madzhab Hanafi, dan
diformulasikan sebagai sarana untuk mengajarkan hukum-hukum Islam. Madrasah ini
didirikan oleh seorang syeikh Mekkah bernama Amir Fakhruddin Usman bin Ali
Al-Zanjili. Ia diangkat sebagai Gubernur di Aden oleh dinasti Ayyubiyah pada
saat Salahuddin Al-Ayyubi menaklukkan Hijaz. Al-Zanjili meninggal di Damaskus
pada tahun 1187 M.
3.
Madrasah Tab al-Zaman al-Habasiyah (1184 M) Madrasah
ini didirikan oleh seorang wanita dari dinasti Abbasiyah, pada tahun 1184 M.
Madrasah ini dibangun di dekat monumen Zubaidah, istri dari Harun Ar-Rasyid.
4.
Madrasah
Muzaffar al-Din (1208 M) Madrasah ini didirikan pada tahun 1208 M oleh Muzaffar
al-Din, seorang penguasa di kota Arbil, sebuah kota besar di Iraq. Al-Malik
al-Mu’azzam Muzaffar al-Din Kukaburi telah diamanati untuk memegang kontrol
pemerintahan di kota Irbil oleh kesultanan Ayyubiyah pada tahun 1190 M. Ia
meninggal pada tahun 1233 M.
5.
Madrasah al-Nihawandi (1231 M) Sejarawan
memperkirakan madrasah ini mampu bertahan hingga 200 tahun.
6.
Madrasah Abu Ali bin Abi Zakariya (1237 M)
7.
Madrasah Ibnu Al-Haddad al-Mahdawi (1240 M) Madrasah
ini memfokuskan perkuliahan pada fiqih-fiqih madzhab
8.
Madrasah Amir Fakhr al-Din al-Shallah (1242 M) Fakhr
al-Din al-Shallah adalah seorang dari dinasti Mamluk. Ia mengabdi sebagai
Gubernur di Mekkah dari tahun 1242-1249 M. mengajarkan fiqih madzhab Syafi’i
dan hadis Nabawi.
9.
Madrasah Malik Al-Mansur (1243 M) Fiqih madzhab
Syafi’i dan studi hadis Nabawi menjadi kurikulum pada institusi ini. Meskipun
menurut catatan Al-Fasi, pembelajaran hadis pada madrasah ini telah dimulai
sejak putra Al-Mansur, yakni Malik Al-Muzaffar. Madrasah ini dipelihara oleh
dua dinasti sekaligus, yaitu dinasti Ayyubiyah dan Mamluk di Mesir, juga
dinasti Rasulid di Yaman.
10.
Madrasah Malik Al-Muzaffar (1249 M) Madrasah ini
didirikan oleh sultan kedua dinasti Rasulid, yaitu Malik al-Muzaffar Yusuf bin
Umar
11.
Madrasah Arghun Shah al-Nasiri (1320 M) Amir Arghun
Shah adalah perwakilan pertama dari dinasti Mamluk yang mempelopori berdirinya
universitas di Mekkah. Sebenarnya ia adalah salah seorang pejabat sultan Mamluk
yang mengabdi sebagai wakil Gubernur Mesir selama 16 tahun, dan di Aleppo
selama 4 tahun. Madrasah ini menerapkan ajaran fiqih madzhab Hanafi sebagai
kurikulum yang diajarkan.
12.
Madrasah Malik Al-Mujahid (1338 M) Hukum Islam
madzhab Syafi’i menjadi kurikulum yang diajarkan di madrasah tersebut.
13.
Madrasah Malik al-Afdhal Abbas (1366 M) Sultan
Rasulid, Malik al-Afdhal Abbas (1364-1376 M) mendirikan sebuah madrasah di sebelah
timur gerbang utama Masjidil Haram. Konsentrasi yang diajarkan adalah fiqih
Syafi’i. pembelajaran dilakukan dengan menggaji seorang syeikh atau profesor
hukum madzhab Syafi’i, dan didampingi oleh seorang asistennya. Selain itu,
madrasah ini memfokuskan kurikulumnya pada pengajaran ilmu-ilmu al-Qur’an dan
pendalaman bagi seorang Imam.
14.
Madrasah Ajlan bin Rumaytha (sekitar pertengahan abad
18) Sejak berdirinya dinasti Hasanid di Mekkah pada pertengahan abad 14,
beberapa daerah bagian dari kekuasaan Hasanid sukses dalam memerintah wilayah
Emirat, sehingga madzhab Syi’ah Zaidiyah berhasil menguasai wilayah di
sekitarnya. Hal inilah tampaknya yang menyebabkan tidak berdirinya
madrasah-madrasah di Mekkah selama periode tersebut. Yang bisa disaksikan
adalah lembaga pendidikan pada masa itu hanya bertumpu pada beberapa sekolah
hukum Islam yang beraliran Sunni. Pada waktu itulah, seorang penguasa Mekkah
yang bermadzhab Syafi’i, yaitu Ajlan bin Rumaytha , dengan dibantu saudaranya
yang bernama Thabaqa dan anaknya yang bernama Ahmad, mendirikan sebuah madrasah
yang pada awalnya dimaksudkan untuk melawan perkembangan ajaran Syi’ah
Zaidiyah. Madrasah ini eksis pada tahun 1345-1375 M. Namun sayangnya, antara
tahun itu madrasah Ajlan justru mendapat saingan yang kuat dari para penerus
madrasah Mujahidiyahdi bagian selatan pintu utama Masjidil Haram.
15.
Madrasah Sharif Jar Allah (1387 M)
16.
Madrasah Sharif Hasan bin Ajlan (sebelum tahun 1400
M) Madrasah ini didirikan oleh Sharif Hasan bin Ajlan, dan beraktivitas sekitar
tahun 1395 hingga 1400 M. Dalam literatur yang ditulis oleh Umar Fahd, Hasan
bin Ajlan mendirikan madrasah ini setelah penaklukkan Emirat atas kota suci
Mekkah, selama beberapa tahun lamanya.
17.
Madrasah Bangaliya (1410 M) Madrasah atau universitas
yang pertama kali – dari tiga universitas – yang didirikan oleh muslim India
adalah madrasah Bangaliya. Madrasah ini didirikan oleh sultan besar kesultanan
Ilyas Shah di Bengal, yang bernama Ghiyath al-Din Abu al-Muzaffar Azam Shah
(1390-1411 M). Dia adalah orang pertama yang membangun model pembelajaran
tingkat perguruan tinggi pertama pada masa awal berdirinya. Madrasah ini
mengajarkan ajaran keempat madzhab sekaligus sebagai kurikulumnya. Adapun
pengajar madzhab Syafi’i adalah Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin Zahira
(1350-1414 M). Sedangkan pengajar dari madzhab Hanafi adalah Syihabuddin Ahmad
Al-Diya (1348-1422 M), seorang ulama berkebangsaan India. Kemudian pengajar
madzhab Maliki adalah Taqiuddin Muhammad bin Ahmad Al-Fasi (1373-1429 M),
seorang ahli sejarah Mekah. Dan pengajar madzhab Hambali adalah Sirajuddin
Abdul Latif bin Abi Fath Muhammad bin Ahmad Al-Hasani Al-Fasi (1377-1449 M),
seorang hakim dan ahli hukum bermadzhab Hambali di Mekkah. Selain membangun
madrasah di Mekkah, sultan ini juga mendirikan sebuah madrasah di Madinah.
Madrasah A’zham Syah di Madinah, yang dibangun pada waktu hampir bersamaan
dengan madrasah di Mekkah, terletak di dekat kawasan Bab Al-Salam, Masjid
Nabawi.
18.
Madrasah Gulbargiyya (1427 M) syeikh Jalaluddin Abdul
Wahid Al-Mursidi, seorang pengikut madzhab Hanafi dan guru tata bahasa Arab.
Pelajaran yang diajarkan pada madrasah ini adalah tafsir al-Qur’an, hukum Islam
dan tata bahasa Arab. Apa yang diajarkan di madrasah ini berdasarkan instruksi
langsung dari sultan Gulbargiyah di India.
19.
Madrasah Basitiyah (1431 M) Syeikh besar bermadzhab
Syafi’i yang bernama syeikh Jalaluddin Abu Sa’adat Muhammad bin Zahra, adalah
orang pertama yang menjadi guru pada madrasah tersebut.
20.
Madrasah Zimamiyah (1431 M) Najmuddin Umar bin Fahd
menggambarkan madrasah ini sebagai tempat orang-orang miskin dan para sufi
berkumpul untuk mengkaji dan mendalami al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, setiap
sore hari mereka berkumpul di madrasah ini.
21.
Madrasah Utaifiyah (1456 M) Pendirinya adalah Zainab
bin Badruddin Hasan bin Khasbak, seorang permaisuri kesultanan Mamluk
(1453-1461 M).
22.
Madrasah Sultan Cambay (1461 M) Pendirinya adalah Ghiyath
al-Din Muhammad Shah, seorang sultan Cambay di India. Madrasah ini selain
mendidik banyak murid dalam bidang tasawuf, juga mengajarkan khazanah keilmuan
madzhab Hanafi. Penataan siswa pada madrasah ini juga dilakukan secara lebih
teratur. Ada yang pengajaran dilakukan setelah shalat asar, ada juga yang
dilakukan setiap hari. Ada kelas untuk siswa-siswa yang tidak punya, ada juga
kelas untuk siswa yang memiliki cukup bekal untuk belajar.
23. Madrasah
Sultan Qa’itbay (1480 M) Madrasah ini didirikan oleh sulta Mamluk yang bernama
Malik Al-Ashraf Qa’itbay, Madrasah ini memiliki satu ruang besar untuk kuliah
umum, 72 ruang kelas untuk guru dan murid, dan 4 perpustakaan untuk
masing-masing madzhab Sunni.
·
Madrasah di Madinah, Jika dibandingkan dengan mekkah,
perkembangan madrasah dimadinah terlihat lebih gelap. Pasalnya, sumber-sumber
yang berhubungan dengan sejarah madinah pada umumnya tidak membahas tentang hal
tersebut. Namun, dari hasil pelacakannya, Azyumardi hanya memperoleh beberapa
informasi sebagai berikut:[12]
a. Dari
buku The Travels Of Ibnu Jubayr, Aazyumardi memperoleh informasi bahwa
ibnu jubayr telah menghadiri kegiatan perkuliahan di Mekah dan Madinah pada
tahun 579 H/ 1183M. Namun, nama madrasah tersebut tidak dijelaskan secara
eksplisit.
b. The
Travels Of Ibnu Battutah, Azyumardi juga memperoleh informasi bahwa Ibnu Battutah yang
berada di madinah menjelang ahir tahun 728H/ 1326 M, sering mengamati kegiatan
keilmuan yang diselenggarakan dimasjid al-nabawi dalam bentuk halaqah, lengkap
dengan al-quran dan kitab-kitab lainnya.
c. Dari
buku Al-iqd Al Stamin fi tarikh Al Balad Al-Amin, Azyumardi memperoleh
informasi bahwa selain membangun madrasah di Mekkah, sultan Ghiyats Al Din juga
mendirikan madrasah di Madinah yang terletak dikawasan Bab Al-salam, masjid
Al-Nabawi. Masjid ini dikenal dengan nama A’dzam Syah. Informasi ini juga ditemukan
oleh Azyumardi dalam buku
d. Dari
buku wafa al-wafa, Azyumardi memperoleh informasi bahwa diantara wilayah
Dar Al-syibak dan Al Husn Al Atiq, penguasa Mamluk juga pernah mendirikan
sebuah madrasah yang bernama madrasah Jaubaniyyah. Penguasa Mamluk lainnya juga
melakukan hal yang sama sehingga secara kolektif madrasah-madrasah tersebut
dikenal dengan nama madrasah Asyafi’iyah.
e. Dari
buku Tuhfat Allathifah Fi Tarikh Al-Madinah Al-Syarifah, Azyumardi
memperoleh informasi tentang adanya beberapa nama madrasah yang pernah
didirikan di Madinah yaitu: madrasah Qeit Bey, madrasah Albasithiyah yang
didirikan Zayni Abd Al- Basith, madrasah Al-Zamaniyah yang didirikan oleh Syams
Al-Din Al Zaman, Al-Sanjariyah, Al-Syahabiyah, dan Al-Mazhariyah yang didirikan
oleh Zayni Katib. Keenam, dari Buku Travels In Arabia, Azyumardi memperoleh
informasi tentang adanya madrasah Al-Hamdiyah yang didirikan oleh salah seorang
penguasa usmani.
·
Konteks Masyarakat Mekah dan Madinah dan Pengaruhnya
Terhadap Perkembangan Madrasah. Menurut azumardi Ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai
pisau analisis. Yaitu:
1. Sosial
politik Dalam kacamata sosial politik, tumbuh dan berkembangnya madrasah
haramayn tidak bisa lepas dari hal sebagai berikut:
a.
Pertama, perubahan situasi menjelang abad ke-II
seiring dengan diraih kembalinya kontrol politik penguasa Sunni atas sebagaian
besar wilayah Timur. Sebagaimana diketahui sejak abad ke sembilan, situasi
politik di Hijaz hususnya di Makkah, sangat buruk. Beberapa tahun kemudian,
tepatnya awal abad ke-10, kaum Syiah muncul dan menguasai sebagaian wilayah
Timur Tengah; dinasti Fatimiyah di Mesir dan Afrika, sedangkan dinasti
Buwaihiyah di Irak Iran dan bahkan mendikte khalifah sunni di Baghdad.
Kenyataan diatas, benar- benar menjadi sebuah pukulan moral bagi mayoritas kaum
Sunni. Terlebih mereka yang berada di Hijaz harus berhadapan dengan syiah
Qarmathiyah yang cenderung bersifat kasar dan toleran sebagaimana syiah
Fathimiyah. Perlakuan kelompok syiah Qarmmathiyah yang kemudian menjadikan
dampak negatif substansial bagi masyarakat sunni Haramayn. Baik dari sisi
ekonomi maupun pendidikan. Dan situasi ini mulai berubah semenjak kekuasaan
atas kontrol politik kembali dipegang oleh penguasa sunni.[13]
b.
Kedua, kembalinya para ulama Sunni kekota Makah dan
Madinah setelah mengembara kemana-mana selama masa-masa sulit.
c.
Ketiga, patronase penguasa atau dermawan non hijazi
terhadap perkembangan madrasah. Dalam hal ini, Azyumardi menjelaskan bahwa ciri
terpenting madrasah di Haramayn, hususnya di Makah adalah, hampir seluruh
madrasah dibangun oleh penguasa atau dermawan non-Hijazi. Selain itu, sumber
dana pendidikan di madrasah haramayn sangat tergantung pada waqaf yang
diberikan oleh mereka. Akibatnya, dari segi keuangan madrasah cenderung rapuh.
2.
Wacana keagamaan.
Salah satu kebijakan yang masyhur di keluarkan oleh
dinasti Saljuq adalah kembali pada ortodoksi sunni. Bahkan untuk menunjang
pelaksanaan kebijakan tersebut, pendirian madrasah Nizamiyah pun diorientasikan
pada tujuan politis yang demikian. Lebih dari itu perkembangan madrasah
ditempat lain, termasuk di Haramayn, juga diorganisasikan dalam garis kebijakan
yang sama.[14] Dari sini dapat
disimpulkan bahwa madrasah Haramayn tumbuh dan berkembang dalam iklim wacana
keagamaan yang bersifat indoktrinasi dalam ortodoksi islam, jauh berbeda dengan
iklim di awal masa kekuasaan Abbasiyah. Implikasi terpenting dalam hal ini
adalah, semakin surut dan hilangnya tradisi penelitian dalam dunia islam yang
pernah berkembang sebelumnya. Selain itu, dinamisme, kreatifitas, progresifitas,
serta kebebasan berfikir dan berinvestigasi juga semakin terbatasi oleh
ortodoksi. Meminjam istilah Muhammad Arkoun, masyarakat muslim terus hidup
dalam epistimologi[15]
thinkble[16] (Muhammad arkoun, 1999),
dan tidak pernah mau menyentuh epistema unthinkable[17]
dan not yet thought. Dan berawal dari menyerahnya unsur-unsur dinamisme dan
kebebasan pada konsep-konsep yang bersifat statis dan ortodoktif inilah, obor
keilmuan diserahkan pada renaissans eropa (Mehdi Nakosten, 1996).
3.
Peran dan fungsi lembaga pendidikan (Madrasah).
Dalam teori managemen, untuk menjadi sebuah pusat
peradaban, lembaga pendidikan (madrasah) tidak hanya harus memainkan peran
sebagai sebuah lembaga pembudayaan saja. Lebih dari itu, dia juga harus
memainkan fungsi dan perannya sebagai lembaga pendidikan dan pengetahuan, dan
ketiga peran tersebut sejatinya harus dimainkan secara integrated serta
membentuk sebuah sinergi yang bersifat positif.[18]
Menurut Azyumardi Azra, semenjak berdirinya An-Nizamiyah, madrasah hususnya
yang berafiliasi dengan sunni, cenderung hanya berfungsi sebagai: Pertama,
transfer ilmu dan ajaran islam. Kedua, pemeliharaan tradisi islam. Ketiga,
reproduksi ulama. Sementara itu, tradisi penelitian yang menjadi prasyarat
utama bagi perkembangan ilmu pengetahuan justru tidak terjadi. Hal ini tentunya
tidak dilepaskan dari sedemikian kuatnya gerakan ortodoksi pada saat itu, jadi
tidak berlebihan seandainya disimpulkan bahwa madrasah Haramayn dalam sejarah
perkembangannya, baru memainkan peran pembudayaan dan pengetahuan, serta belum
memainkan peran pendidikannya secara optimal.
Kelompok.....13
PENDIDIKAN TURKI USMANI
A. Sekilas Tentang Kerajaan Turki Utsmani
·
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki
dan kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam
jangka waktu sekitar tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan
Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke-9 atau ke-10 di bawah pimpinan
Ortogrol. Mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alaudin, Sultan Saljuk yang
kebetulan sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan
Alaudin memperoleh kemenangan. Atas jasa baik mereka itu, Alaudin menghadiahkan
sebidang tanah di Asia kecil yang berbatasan dengan Bizantium.
B.Sistem Pengajaran
·
Sistem pengajaran yang dikembangkan pada
Turki Utsmani adalah menghafal matan-matan meskipun murid tidak mengerti
maksudnya, seperti menghafal matan al-Jurumiah, matan Taqrib, matan Alfiah,
matan Sultan dan lain-lain. Murid-murid setelah menghafal matan-matan itu
barulah mempelajari syarahnya.
C. Kondisi Pendidikan Islam pada Masa
Turki Utsmani
·
Setelah Mesir jatuh di bawah kekuasaan
Utsmaniah Turki, Sultan Salim memerintahkan supaya kitab-kitab di perpustakaan
dan barang-barang berharga di Mesir di pindahkan ke Istanbul, anak-anak Sultan
Mamluk, ulama-ulama. Pembesar-pembesar yang berpengaruh di Mesir semuanya di
buang ke Istambul. Bahkan juga Khalifah Abbasiyah sendiri di buang ke Istambul,
setelah mengundurkan diri sebagai khalifah dan menyerahkan pangkat khalifah itu
kepada Sultan Turki.[19]
·
Sementara itu, ulama-ulama dan
kitab-kitab yang ada di perpustakaan Mesir berpindah ke Istambul, sehingga
Mesir mengalami kemunduran dalam ilmu pengetahuan, dan Istambullah yang menjadi
pusat pendidikan dan pengembangan kebudayaan saat itu.
·
Pada masa Turki Utsmani, penidikan dan
pengajaran mengalami kemunduran, terutama di wilayah-wilayah seperti Mesir,
Baghdad dan lain-lain. Yang mula-mula mendirikan Madrasah pada masa Turki
Utsmani adalah Sultan Orkhan.
·
Bangsa turki adalah bangsa yang berdarah militer, sehingga terfokus
pada militer sementara dalam bidang ilmu pengetahuan tidak terlalu terfokuskan
, kecuali bidang arsitek (kaligrafi)
jadi sedikit saja ilmuwan terkenal. Dan fokus pada pembangunan mesjid, sekolah.
Ex: Masjid Muhammad Al-Fatih. [20]
·
Berikut ini adalah ulama-ulama yang masyhur pada masa Turki
Utsmani:
1. Syaikh Hasan
bin Ali Ahmad Al-Syabi’iy yang termasyhur dengan Al-Madabighy. Ia juga
adalah pengarang khasiyah jam’ul dan syarah al-Jurumiyah .
2. Syamsuddin
Ramali pengarang Nihayah
3. Ibnu Hajar
Al-Haijsyamy pengarang Tuhfa
4. Muhammad bin
Abdur Razaq, Murtadhoh al-Husaini al-Zubaidi pengarang sejarah al-Qomus, bernama
Tajjul Urusy
5. Abdurrahman
Al-Jabartiy pengarang kitab Tarikh Mesir bernama al-Zaibul atsar fi
al-Tarjim wa al-Akbar
6. Syaikh Hasan
Al-Kafrawy Al-Safi’y Al-Azhar pengarang kitab Nahwu, Syrah al-Jurumiyah,bernama
Al-Kafrawi
7. Syaikh Sulaiman
bin Muhammad bin Umar Al-Bijrmy Al-Syafi’iy pengarang syarah-syarah dan
khasiroh-khasiroh
8. Syaikh Hasan
Al-Atthar ahli ilmu pasti dan ilmu kedokteran
9. Syaikh Muhammad
bin Ahmad bin Arfah Al-Dusuqy Al-Maliki ahli filsafat dan ilmu falak serta ilmu
ukur.
·
Sementara perpustakaan yang masyhur pada masa Turki Utsmani adalah
sebagai berikut:
1.
Di istanbul ada 22 perpustakaan dengan jumlah buku 27.355.
2.
Cairo ada 1 yaitu maktabah Al-Azhar
dengan buku 1099.
3.
Damsyiq 1 yaitu Abdul Basya Al’Azam dengan buku 422.
4.
Halab, hanya ada dua:
a.
Madrasah ahmadiyah, 269 Buku.
b.
Qudus, 609 Buku.
Demikianlah
keadaan pendidikan dan pengajaran pada masa Utsmani, sampai jatuh Sultan/Khalifah yang terakhir tahun
1924.
D. Perkembangan Pendidikan Islam Utsmani
1. Zaman
Pertengahan (Usman I 1300- pra Mahmud II 1808)
·
Kehidupan keagamaan merupakan bagian terpenting dalam sistem sosial
dan politik daulah ini. Pihak penguasa sangat terikat dengan syariat islam.
Ulama mempunyai kedudukan tinggi dalam negara dan masyarakat. Kegiatan tarekat
berkembang pesat. Al Bektasyi dan al-aulawy merupakan dua aliran
tarekat yang paling besar. Tarekat BBektasyi sangat berpengaruh di kalangan
tentara Yennissery. Tarekat Maulawy berpengaruh besar di kalangan penguasa.
·
Sufisme pada masa itu digemari umat Islam dan berkembang pesat.
Keadaan frustasi yang merata di kalangan umat karena hancurnya tatanan
kehidupan intelektual dan material akibat konflik-konflik internal dan serangan
tentara Mongol yang membabi buta, menyebabkan orang kembali kepada Tuhan dan
bersikap fatalisti. Madrasah-madrasah berkembang menjadi zawiyah-zawiyah untuk
mengadakan riyadhah, merintis jalan untuk kembali kepada Tuhan di bawah
bimbingan dan otoritas guru-guru sufi. Maka berkembanglah berbagai sistem riyadhah
untuk menuntun para murid, itulah yang kemudia disebut tarekat.
·
Fazlurrahman melukiskan keadaan pada masa itu sebagai berikut.
“...disebagian besar pusat-pusat sufi terutama di Turki, kurikulum
akademis terdiri hampir seluruhnya buku-buku tentang sufi. Di Turki waktu itu
terdapat beberapa tempat khusus Methnevikhana, di mana matsnawi-nya
Rumi merupakan satu-satunya buku yang diajarkan. Lebih jauh lagi, isi dan
karya-karya tersebut yang sebagian besar dikuasai pantheisme adalah
bertentangan secara tajam dengan lembaga-lembaga pendidikan ortodoks. Karena
itu timbullah suatu dualisme spiritual yang tajam dan berlarut-larut antara
madrasah dan halaqah. Ciri khas dari fenomena ini adalah melimpahnya
pertanyaan-pertanyaan sufi yang taubat setelah menemukan jalan, lalu membakar
buku-buku madrasah mereka atau melemparkannya dalam sumur” (Fazlurrahman:1984).
·
Kemerosotan gradual standar-standar akademis selama berabad-abad
ini berputar di persoalan sedikitnya jumlah buku-buku yang tercantum dalam
kurikulum, dan waktu yang diberikan terlalu singkat untuk murid dapat menguasai
bahan-bahan yang ‘berat’ dan seringkali sulit dipahami. Ini pada gilirannya
menjadikan belajar lebih bersifat studi tekstual daripada upaya memahami dan
lebih mendorong hafalan daripada pemahaman yang sebenarnya.
2. Zaman Modern
(Mahmud II 1808-Abdul Majid 1922)
·
Mahmud II (Sultan ke 33) dinilai sebagai penggagas tonggak
reformasi Utsmani.
1.
Ia mengubah pendidikan tradisional
disesuaikan dengan zamannya (abad ke-19) dalam kurikulum dimasukan
pelajaran umum dan sekolah-sekolah penerjemah untuk kepentingan.
2.
Setelah itu Sultan Mahmud II mendirikan pula sekolah militer,
sekolah teknik, sekolah kedokteran dan sekolah pembedahan. Di sekolah ini
terdapat pula buku-buku filsafat dan berbagai pengetahuan umum.
Selanjutnya
pada tahun 1831 M. ia menerbitkan surat kabar resmi Takvim-i Vekayi yang
memuat berita peristiwa-peristiwa dan artikel-artikel mengenai ide-ide yang
berasal dari Barat. Media ini memberi pengaruh yang luas di masyarakat, dengan
kritik terhadap adat istiadat Timur dan memuja Barat dalam kemajuan ilmu pengetahuan,
kemerdekaan dalam agama, patriotisme, dan meratanya pendidikan.
·
Pada masa Sultan Hamid, sultan ke 37. Mendirikan
perguruan-perguruan tinggi:
1.
Sekolah Hukum Tinggi (1878), 5.
Sekolah Tinggi Teknik (1888)
2.
Sekolah Tinggi Keuangan (1878), 6.
Sekolah Dokter Hewan (1889),
3.
Sekolah tinggi Kesenian (1879), 7.
Sekolah Tinggi Polisi (1891),
4.
Sekolah Tinggi Dagang (1882), 8.
Universitas Istambul (1900).
·
Pada tahun 1905 Sultan Abdul Hamid dijatuhkan dan diganti oleh
saudaranya Sultan Mehmed V. Kemudian terbentuklah tiga kristal dalam aliran
pembaru, yaitu yang berhaluan Barat, Islam dan Nasionalis. Golongan Barat ingin
mengambil peradaban Barat sebagai dasar pembaruan, golongan Islam ingin
Islamlah dasar pembaruan, dan golongan Nasionalis Turki yang timbul belakangan
menyatakan bukan Barat dan bukan Islam yang dijadikan dasar tetapi nasionalisme
Turki.
PENDIDIKAN ISLAM DI IRAN
A.
Republik Islam Iran
·
Sebelum Islam, Persia adalah negara urani dengan kekuasaan yang
tidak terbatas walaupun konsep keadilan yang merupakan azas dan dasar agama
Zoastrian. Tiga tugas yang terkandung dalam agama Zoastrian adalah: pemikiran
yang penuh keimanan, amalan yang baik, dan pembicaran yang penuh keramahan.
·
Pendidikan diberikan hanya kepada orang-orang yang lahir dari
keluarga tinggi sedangkan yang lain terjun ke perdagangan sebagai anak buah.
Selama kekuasaan Sassanids. Dari 224 SM sampai 642, yaitu sebelum Islam,
universitas pertama didirikan di Djondissapur di bagian Barat Laut Persia,
silabus universitas ini terdiri dari teologi, filsafat, kedokteran, kesustraan,
matematika, dan astronomi (Sadigh, 1969).
Sesudah Invansi
bangsa Arab (642), dan setelah wafatnya Muhammad, mazhab syi’ah menjadi sangat
dominan, rasa pemujaan yang berlebihan atau mistisme yang dikenal dengan ajaran
sufi.[21]
·
Dari daerah ini muncul tokoh-tokoh atau pakar dari berbagai macam
keahlian, diantaranya Al-Biruni, Muhammad Musa Al-Khawarizmi, Umar Khayam, dan
lain-lain.
·
Revolusi yang terjadi pada 1979 tidak hanya dalam aspek
pemerintahan, tetapi juga dalam bidang pendidikan, yaitu islamisasi ilmu
pengetahuan. Setelah revolusi, sekolah-sekolah swasta dinasionalisasi, semua
siswa dipisahkan menurut jenis kelamin,
·
mulai 1982-1983 dengan menggunakan kurikulum yang Islami
(Islamisasi ilmu pengetahuan)
·
Materi pelajaran agama (religious education) diberikan
selama dua jam setiap minggu ditambah materi pelajaran tentang Alquran.
·
Bagi mereka yang berkeinginan mempelajari secara mendalam tentang
ilmu keislaman, dapat menjutkan ke tingkat perguruan tinggi pada Fakultas
Teologi atau di universitas swasta.[22]
·
Pada tahun 1957, Kementrian Pendidikan Republik Islam Iran
mengumumkan tujuan pendidikan sebagai berikut:
1.
Untuk mengembangkan fisik: murid-murid harus belajar olahraga dan
kesehatan. Perhatian terhadap kedua aspek ini telah dimulai sejak lama.
2.
Untuk pengembangan sosial: murid-murid harus belajar menghormati
keluarga, masyarakat dan kebebasan. Mereka harus memahami kehidupan sosial
ekonomi, dan berusaha hidup di dalamnya dan untuk masyarakat
3.
Untuk pengembangan intelektual: murid-murid harus belajar berfikir,
kalau dapat melalui pengalaman mereka sendiri,
4.
Untuk pengembangan moral: murid-murid harus mengerti agama, kebudayaan
dan peradaban. Sehingga dengan itu mereka mampu mengendalikan diri sendiri.
5.
Untuk pengembangan estetika: murid-murid harus cinta pada alam, dan
memperkuat kepribadiannyamelalui penikmatan seni.[23]
·
Pendidikan prasekolah umumnya, diselenggarakan oleh lembaga-lembaga
swasta. Tujuan pendidikan awal ini adalah untuk mempersiapkan anak-anak
memasuki pendidikan formal. Kegiatan-kegiatan pada prasekolah ini antara lain:
permainan bersama, membacakan cerita-cerita, bernyanyi, permainan aktivitas,
dan pekerjaan tangan yang perlengkapannya sangat sederhana seperti kertas,
papan tulis, dan pena.
·
Pendidikan dasar dimulai pada anak umur enam tahun dan berlangsung
selama lima tahun, dan kemudian diikuti dengan sekolah bimbingan atau orientasi
selama 3 tahun. Dengan demikian, ada pendidikan umum bagi anak-anak selama
delapan tahun. Pendidikan orientasi tiga tahun dimaksudkan bagi anak-anak yang
bercita-cita untuk melanjutkan pendidikannya di masa depan atau untuk mencari
pekerjaan. Pendidikan wajib belajar berlangsung sampai kelas 8 dan dilaksanakan
secara gratis untuk masyarakat. Tingkatan pendidikan dasar dibagi menjadi lima
tahun pada tingkat pertama dan tiga tahun untuk tingkat lanjutan. Pada tingkat
dasar siswa melakukan proses pembelajaran sebanyak 24 jam per minggu. Kurikulum
mencakup studi Islam, membaca sejarah Persia, menulis dan memahami ilmu
pengetahuan sosial, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.[24]
·
Pendidikan menengah diselenggarakan selama empat tahun, dan dibagi
dalam dua jalur:
1.
Jalur akademik: yang terbagi dua bidang yaitu: bidang sains, dan
bidang humaniora
2.
Jalur teknik: kejuruan yang kurang berkembang dan terdiri dari 2
bidang yaitu: industry dan pertanian.
·
Pendidikan tinggi terbagi dalam sekolah pendidikan guru yang tidak
menuntut tamatan pendidikan menengah sebagai persyaratan masuk, dan berbagai
sekolah tinggi dan universitasnya.
E.
Kurikulum dan Metodologi Pengajaran
·
Panitia-panitia khusus dibentuk untuk melakukan pengkajian atau
mereviau atas rekomendasi yang diajukan panitia-panitia lokal dari daerah yang
berbeda-beda. Panitia ini membuat saran-saran mengenai isi dan metodologi untuk
tiap mata pelajaran pada setiap tingkat kelas. Hasil bahasan badan koordinasi
dan panitia khusus dikirim kepada Dewan Tinggi Pendidikan untuk mendapatkan
persetujuan akhir. Dewan ini menyampaikan kepada para penulis untuk dijadikan
buku teks. Panitia daerah dan provinsi mengkaji ulang buku teks yang disusun
para penulis, dan mengusulkan revisi. Di tingkat perguruan Tinggi para dosenlah
yang menentukan isi mata kuliah.
·
Metode meniru maktab yaitu menguatkan hafalan. Siswa yang baik yang
mengucapkan kembali buku yang tertulis dan guru menganbil buku siswa dan
menyuruh mereka dan melanjutkan bisa.
Kelompok...15
POLA
HUBUNGAN PENGELOLA LEMBAGA PENDIDIKAN DENGAN PENGUASA
A.
Berkembangnya Lembaga – Lembaga Pendidikan Islam
·
Disejarah peradaban islam, keterkaitan antara pendidikan dan
politik terlihat jelas. Bagaimana aliran-aliran teologi, fiqih mulai dari
mu’tazilam, syiag, sunni, jabbariah, maturidiyah, Imam Syafi’i, Imam Hambali,
dan lain sebaginya begulat bekerjasama dengan kekuasaan, silih berganti untuk
saling mengalahkan, dan menghancurkan paham lainnya. Sejarah peradaban islam
banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam memperhatikan
pesoalan pendidikan dalam upaya memperkuat posisi sosial politik kelompok dan
pengikutnya.[25]
·
Sebelum timbulnya sekolah dan Universitas yang kemudian dikenal
sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia islam sebenarnya telah
berkembang lembaga-lembaga pendidikan islam yang bersifat non formal.
Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan dengannya tumbuh dan
berkembang bentuk – bentuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas.
Diantara lembaga – lembaga pendidikan islam yang bercorak non formal tersebut
adalah:
1.
Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar
Kuttab
atau maktab, berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat
menulis. Jadi katab adalah tempat belajar menulis. Di antara penduduk Makkah
yang mula-mula belajar menulis huruf Arab ialah:
a.
Sufyan Ibnu Umaiyah,
b.
ibnu Abdu Syam, dan
c.
Abu Qais Ibnu Abdi Manaf
d.
Ibnu Zuhroh Ibnu Kilat. Keduanya mempelajarinya di negeri hijrah.[26]
·
Kemudian pada akhirnya abad pertama hijriyah, mulai timbul jenis
kuttab, yang disamping memberikan pelajaran menulis dan membaca, juga
mengajarkan membaca Al-Qur’an dan pokok – pokok ajaran agama. Pada mulanya
kuttab jenis ini, merupakan pemindahan dari pengajaran AlQur’an yang
berlangsung di masjid, yang sifatnya umum (bukan saja bagi anak-anak, tetapi
terutama bagi orang-orang dewasa). Selanjutnya berkembanglah tempat-tempaat
khusus (baik yang dihubungkan dengan masjid maupun terpisah) untuk pengajaran anak-anak
dan berkembanglah kuttab-kuttab yang bukan hanya mengajarkan Al-Qur’an, tertapi
juga pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya. Dengan demikian, kuttab tersebut
berkembang menjadi lembaga pendidikan dasar yang bersifat formal.[27]
2.
Pendidikan Rendah di Istana
Di
istana orang tua murid (para pembesar di istana) adalah yang membuat rencana
pembelajaran tersebut selaras dengan anaknya dan tujuan yang dikehendakinya
oleh orang tuanya. Guru yang mengajar di istana disebut Mu’addib. Rencana
pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja dengan
rencana pelajaran pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau dikurangin menurut
kehendak para pembesar yang bersangkutan, dan selaras dengan kenginginan untuk
menyiapkan anak tersebut secara khusus untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab
yang akan dihadapinya dalam kehidupannya nanti.[28]
3. Toko – Toko Kitab
Pada permulaanya masa Daulah Bani
Abbasiyah, dimana ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam sudah tumbuh dan
berkembang dan diikuti oleh penulisan kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan, maka berdirilah toko – toko kitab. Pada mulanya toko – toko kitab
tersebut berfungsi sebagai tempat berjual beli kitab- kitab yang telah ditulis
dalam berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu. Saudagar-saudagar
buku tersebut bukanlah orang-orang yang semata-mata mencari keuntungan denngan
laba, akan tetapi kebanyakan mereka adalah sastrawan-sastrawan yang cerdas,
yang telah memilih usaha sebagai pedagang kitab tersebut, agar mereka mendapat
kesempatan yang baik untuk membaca dan menelaah, serta bergaul dengan para ulama dan pujangga-pujangga. juga
merupakan tempat berkumpulnya para
ulama, pujangga dan ahli- ahli ilmu pengetahuan lainnya, untuk berdiskusi,
berdebat bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah.[29]
4. Rumah – Rumah Para Ulama
(ahli ilmu pengetahuan)
Di antara rumah para ulama terkenal
yang menjadi tempat belajar adalah ruma
a. Ibnu Sina, d.
Ya’qub Ibnu Killis
b. Al-Gazali, e. Wazir
Khalifah AlAziz Billah Al- Fatimy
c. Ali Ibnu Muhammad Al- Fasihi,
Selanjutnya Ahmad Syalabi,
mengemukakan bahwa dipergunakannya rumah- rumah ulama dan para ahli tersebut,
adalah karena terpaksa dalam keadaan darurat.
a.
Al- Gazali setelah tidak mengajar lagi di Madrasah Nidamiyah dan
menjalani kehidupan sufi. Para pelajar terpaksa datang kerumahnya karena
kehausan akan ilmu pengetahuan dan terutama karena pendapatnya yang sangat
menarik perhatian mereka.
b.
Ali Ibnu Muhammad Al-Fasihi, yang dituduh sebagai seorang Syi’ah
kemudian dipecat dari mengajar di Madrasah Nidamiyah, lalau mengajar di
rumahnya sendiri. Beliau- beliau karena dikenal sebagai guru dan ulama yang
kenamaan maka kelompok-
kelompok pelajar tetap megunjungi di rumahnya untuk meneruskan
pelajaran.[30]
5. Majlis atau Saloon Kesusasteraan
adalah suatu majlis khusus yang
diadakan oleh khalifah untuik membahas berbagai maacam ilmu pengetahuan. Majlis
ini bermula sejak zaman Khulafah al Rasyidin, yang biasanya memberikan fatwa
dan musyawarah serta diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan berbagai
masalah yang dihadapi pada masa itu. Tempat pertemuan pada masa itu adalah
masjid. Dalam majlis sastra tersebut, bukan hanya dibahas dan didiskusikan
masalah- masalah kesusatraan saja, melainkan juga berbagai macam ilmu
pengetahuan ( majlis ilmu pengetahuan) dan berbagai kesenian ( majlis
kesenian).
Pada masa Harun Al- Rasyid (170-193)
majlis sastra ini mengalami kemajuan yang luar biasa, katena khalifah sendiri
adalah ahli ilmu pengetahuan dan juga mempunyai kecerdasan, sehingga khalifah
sendiri aktif didalamnya. Pada masa itu beliau sering mengadakan perlombaan
antara ahli-ahli syair, perdebatan antar fukaha dan juga sayembara antara ahli
kesenian dan pujangga.[31]
6. Badiah
Sejak berkembang luasnya islam, dan
bahasa arab digunakan sebagai bahasa pengantar oleh bangsa-bangsa di luar
bangsa Arab yang beragama islam, dan tertutama di kota- kota yang banyak
percampurannya dengan bahasa - bahasa lain, maka bahasa Arab berkembang luas,
tetapi bahasa Arab cenderung kehilangan keaslian dan kemurniannya. Kalau di
kota- kota bahasa Arab sudah rusak dan menjadi bahasa pasaran dan campur baur
dengan bahasa- bahasa lain, ternyata tidak demikian halnya di badiah-badiah
atau dusun- dusun tempat tinggal orang- orang Arab dipandang mereka tetap
mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Mereka masih sangat
memperhatikan kefasihan berbahasa dengan memelihara kaidah- kaidah bahasanya.
Dengan demikian, badiah- badiah ini merupakan sumber bahasa Arab asli dan murni.
Oleh karena itu khalifah- khalifah biasanya mengirimkan anak- anaknya ke badiah
– badiah ini untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih lagi murni, dan
mempelajari pula Syair- Syair serta sastra Arab dari sumbernya yang asli. Di
samping itu, di abdiah- badiah ini biasanya berdiri ribat- ribat atau zawiyah –
zawiyah yang merupakan pusat- pusat kegiatan dari pada ahli sufi. Di sanalah
para sufi mengembangkan metode khusus dalam mencapai Ma’rifat, suatu tingkat
ilmu pengetahuan yang mereka anggap paling tinggi nilainya.
7. Rumah Sakit
Rumah – rumah sakit tersebut, bukan
hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang – orang sakit,
tetapi juga mendidik tenaga- tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan
pengobatan. Mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang
kedokteran dan obat- obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu obat-
obatan atau farmasi.
8. Perpustakaan
Para ulama dan sarjana dari berbagai
macam keahlian, pada umunya menulis buku- buku dalam bidangnya masing- masing
dan selanjutnya untuk di ajarkan atau di sampaikan kepada para penuntut ilmu.
Disamping itu berkembang pula perpustakaan-perpustakaan yang sifatnya umum,
yang diselenggarakan oleh pemerintah atau merupakan wakaf dari para ulama dan
sarjana. Baitul Hikmah di Bagdad yang didirikan oleh Khalifah Harun Al- Rasyid.
9. Masjid
Semenjak berdirinya di zaman Nabi
Muhammad SAW masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah
kehidupan kaum muslimin. Ia menjadi tempat bermusyawarah, tempat mengadili
perkara, tempat menyampaikan penerangan agama, dan informasi- informasi lainnya
dan tempat penyelanggaraan pendidikan, baik
bagi anak- anak maupun orang dewasa. Kemudian pada masa Khalifa Bani
Umayyah berkembang fungsinya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan,
terutama yang bersifat keagamaan. Para ulama mengajarkan ilmu di masjid, tetapi
majlis Khalifah berpindah ke masjid atau ke tempat tersendiri.
[1] Op Cit., hal.98
[2] Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan (
Bandung: Angkasa, 2003), hal.167
[8] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta
(Raja Grafindo Persada , 2001)h.113-115
[10] Ibid.
[12] Azra,
Azumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (.Bandung: Mizan, 2004) hal.
120
[14] Ibid.,
62.
[15] Episttimologi
adalah cabang filsafat ilmu yang berbicara tentang metode untuk memperoleh dan
menyusun struktur bangunan ilmu, atau struktur nalar yang membentuk ilmu.
[16] Lepensable/thinkable
yang artinya “terpikirkan” untuk kemudian diterapkan dalam rangka membedah sejarah
sistem pemikiran Arab-Islam. Tema “Yang terpikirkan” adalah hal-hal yang
mungkin umat islam meikirkannya,
karena jelas dan boleh dipikirkan. Karena keterjangkauan yang diperbantukan
oleh bahasa, pikiran, dan kondisi masyrakat. Lihat, Muhammad Arkhoun, Al-fikri
al-ushuli wa istihalah al-ta’sil, (Dar Al-Qasi 2007) hal. 10
[17]
I’impensable/not yet thought atau tema yang tak terpikirkan adalah hal-hal tabu
akibat kemampuan akl sejarah yang belum sampai kesana atau karena tersumbatnya
pemikiran yang ada oleh sebab tidak ada kaitannya antara ajaran agama dengan
kehidupan yang berlaku saat ini. Atau ketertindasan pemikiran tersebut oleh
faktor agamawan atau penguasa politik. Namun, menurut Ali harb, Arkhoun kerap
menyepelekan hal-hal tekhnis seperti mendefinisikan secara detail suatu
diskursus serta kebanyakan menggunakan “tema-tema membingungkan” pe,baca;
karenanya Ali Harb memplesetkan “wilayah tak terpikirkan Arkhoun”
(I’impsine/unthinkable/alla mufakar fih) menjadi wilayah terlarang
(al-mumtani’an al-tafkir), Lihat, Ali Harb “al-mamnu’ wa al-mumtani
(beirut, 2005) cet. IV, hal. 123
[19] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidayah
Agung, 1989), hlm 164
[20] Badri Yatim, Sejarah Pendidikan Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada, 2000), hlm 126
[21] H.Agustiar Syah Nur, Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara,
(Bandung: Penerbit Lubuk Agung, 2000) hal 127-1281
[22] Rasidin, “ Pendidikan Islam di Republik Islam Iran”, Volume 26. No. 2
(2011)
[23] Ibid., hal 129
[24]M. Nurul Ikhsan Saleh, “
Perbandingan Sistem Pendidikan di Tiga Negara: Mesir, Iran, dan Turki”, Jurnal
Pendidikan Islam, Volume IV. No. 1 (2015)
[25] Muhammad Rifai, Politik Pendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011), Hal. 20.
[27] Zuhairi, SejaraH Pendidikan Islam, ( Jakarta, PT Bumi Aksara: 2004),
Hal. 91.
[29] Ibid., hal. 94
[30] Ibid., hal.95
[31] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam: Napaktilas Perubahan Konsep,
Filsafat, Dan Metodologi Pendidikan Islam Dari Era Nabi SAW Sampai Ulama
Nusantara, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), Hal. 81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar