STUDI KRITIS
PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI, AL-FARABI, AR-RAZI & IBNU
MISKAWAIH
OLEH: SYAHRUL RAMADHAN MZ
SEJARAH TIMBULNYA FILSAFAT DAN RUANG LINGKUP SERTA
PENGARUH FILSAFAT YUNANI TERHADAP FILSAFAT ISLAM.
A.
Sejarah Timbulnya Filsafat.
Secara Etimologis, filsafat
merupakan terjemahan dari Philolophy (Bahasa Inggris) atau Philosophia
dari bahasa Yunani. Kata tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu Philo
dan Shopia. Philo yang berarti suka atau cinta, dan Shopia berarti
kebijaksanaan. Jadi, Philoshopia berarti suka atau cinta pada
kebijaksanaan.[1]
Filsafat
lahir pada abad ke-6 SM dengan tokoh pertama Thales. [2]Apa
penyebab timbulnya filsafat? Ada beberapa pendapat mengatakan bahwa sejarah
timbulnya filsafat diantaranya:
1.
Pertentangan antara mitos dan logos
Dikalangan masyarakat Yunani dikenal dengan
adanya mitos, sebagai suatu keyakinan lama yang berkembang dengan pesat
misalnya mite kosmologi yang melukiskan kejadian alam. Lama-lama mitos hilang
dikalahkan oleh logos,[3]
maka logos penyebab pertama lahirnya filsafat.[4]
2.
Rasa ingin tahu
Karena mite hanya bersifat dongeng belaka, maka
orang mulai berpikir rasional, untuk mencari jawaban-jawaban yang logis.
Keingintahuan terhadap alam semesta, keingintahuan terhadap penciptanya, dsb.
3.
Rasa kagum
Menurut Plato, filsafat lahir adanya kekaguman
manusia tentang dunia dan lingkungannya. Para filsuf atas kekagumannya mencoba
merumuskan asal mula dan alam semesta. Thales bapak filsafat Yunani, mengatakan
alam semesta berasal dari air. Anaximandros, mengatakan bahwa alam berasal dari
apairon atau api. Democrios, mengatakan bahwa alam berasal dari atom.
Empodokles, mengatakan bahwa alam berasal dari empat unsur yaitu: air, api,
angin, dan tanah.
4.
Perkembangan kesusastraan
a.
Skeptisis
Skeptisis adalah keraguan terhadap suatu
kebenaran sebelum mendapat argument yang kuat terhadap kebenaran tersebut.
Dikelompokkan : bersifat gradasi dari ragu ke yakin, bersifat degradasi dari
yakin ke ragu, bertahan sophisme terus menerus ragu, sifat gradasi diungkapkan
oleh Rene Decartes Filsuf Prancis catigo ergo sum ( saya berpikir maka saya
ada)
b. Komunalisme
Hasil pemikiran filsafat dimiliki masyarakat
umum tidak memandang ras, kelas, ekonomi dan keyakinan. Misalnya hasil
pemikiran Yunani bermanfaat untuk orang Eropa, Asia, Afrika dsb.
c.
Disinterestedness
Disenterestednes berasal dari kata interest yaitu suatu kegiatan filsafat
yang tidak dimotivasi untuk suatu kepentingan tertentu.
d. Universalisme
Filsafat bersifat umum, berarti filsafat adalah
hak seluruh umat manusia secara umum atau sifatnya internasional. Semua umat
manusia berhak mengadakan kajian filsafat.
5.
Pengaruh ilmu pengetahuan.
Pengaruh ilmu pengetahuan dari bangsa lain
dalam menerima beberapa unsur ilmu pengetahuan juga merupukan faktor lainnya.
Seperti ilmu ukur dan ilmu hitung sebagaian besar dari Mesir. Pengaruh
Babilonia dalam perkembangan ilmu astronomi di negeri Yunani. Pada bangsa
Yunanilah didapatkan ilmu pengetahuan yang bercorak dan sungguh-sungguh ilmiah.
Dalam
banyak literatur filsafat mutakhir, klasifikasi tahap sejarah filsafat Barat
dibagi menjadi empat tahap penting, yaitu Filsafat Klasik, Abad Pertengahan,
Modern, dan Kontemporer. Filsafat klasik ada dua yaitu masa Socrates dan masa
keemasan.
B.
Objek kajian Filsafat.
Objek filsafat ada dua yaitu:
1.
Objek material, yaitu semua yang ada, yang
garis besarnya dapat di bagi atas tiga persoalan pokok:
a.
Hakekat tuhan
b.
Hakekat Alam
c.
Hakekat manusia.
2.
Objek formal filsafat ialah usaha mencari
keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya sampai ke akarnya) tentang objek
materi filsafat.[5]
C.
Pengaruh filsafat yunani terhadap filsafat
islam.
Untuk
mengetahui ini, saya menggunakan dua kajian yaitu kajian secara historis dan
kajian secara doktrin.
1.
Kajian Historis.
Dilihat
dari aspek sejarah, kelahiran ilmu filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya
usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah
dilakukan sejak masa klasik islam.
Usaha
ini melahirkan sejumlah filsuf besar muslim. Dunia Islam belahan timur yang
berpusat di Bagdad, Irak lebih dahulu melahirkan filsuf muslim daripada dunia
Islam belahan barat yang berpusat di Cordoba, Spanyol.
Memperkuat
pernyataan di atas, Ahmad Salabi dan Louis Ma’luf menguraikan bahwa swjarah
kebudayaan Islam mencatat, ilmu filsafat tidak diketahui oleh orang-orang
Islam, kecuali setelah masa daulah Abbasiah pertama (132-232 H/750-847 M). ilmu
ini ditransfer kedunia Islam melalui penerjemahan dari buku-buku filsafat
Yunani yang telah tersebar di daerah-daerah Laut Puith seperti ; Iskandariah,
Anthakiah, dan Harran. Terlebih pada masa Al-makmun yang dikenal sangat
tertarik pada kemerdekaan berfikir, yang berkuasa antara 198-218 H/813-833 M
dan mengadakan hubungan kenegaraan dengan raja-raja Romawi Byzantium yang
beribukota di konstantinopel, yang juga dikenal sebagai kota “Al-Hikmah”, pusat
ilmu filsafat.
Para
cendikiawan ketika itu berusaha memasukan filsafat Yunani sebagai bagian dari
metodologi dalam menjelaskan Islam terutam aqidah, untuk memelihara peluasan
antara wahyu dan akal.
Tentu
saja aktivitas para filsuf Muslim diatas bersentuhan dngan penafsiran
Al-qur’an. Al-Qur’an secara filosofis besar sekali. Al-kindi misalnya, yang
dikenal sebagai bapak filsuf Arab dan Muslim, berpendapat bahwa untuk memahamo
al_qur’an denganbenar, isinya harus di tafsirkan secara Rasional, bahkan
filosofis. Al-Kindi berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang
mengajak manusia untuk merenungkan peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan
makna yang lebih dalam dibalik terbit-tenggelamnya matahari,
berkembang-menyudutnya bulan, pasang surutnya air laut dan seterusnya. Ajakan
ini merupakan seruan untuk berfilsafat. Seperti halnya Al-Kindi, Ibn Rusyd pun
berpendapat demikian. Lebih jauh Ibn Rusyd nmenyatakan bahwa tujuan dasar
filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar.
Dalam
hal ini fislafat sesuai dengan agama sebab tujuan agama pun tidak lain adalah
menjamin pengetahuan yang benar bagi umat Manusia dan menunjukkan jalan yang
benar bagi kehidupan yang praktis.
2.
Kajian Doktrin.
Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan
yang tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan saja, tetaoi juga dalam perekembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam
itu sendiri. Hanya yang menjadi masalah di sini adalah apakah penggunaan akal,
seperti yang munculdalam istilah Islam rasionalis atau rasionalis dalam Islam
itu percaya kepada rasio semata-mata dan tidak mengindahkan wahyu? Atau membuat
akal lebih tinggi daripada wahyu sehingga wahyu dapat dibatalkan oleh akal?
Dalam pemikira Islam , baik dalam filsafat atau ilmu kalam, apalagi dalam
bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada
teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk
memahami teks wahyu dan sekali-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya
memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan
kesanggupan member interpretasi.
Menurut Harun Nasution, yang dipertentangkan
dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, baik oleh kaum
Mutazilah maupun oleh kaum filsuf Islam. Yang dipertentangkan hanyalah
penafsiran dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu juga.
Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama
tertentu dengan pendapat akal ulama lain tentang penafisran wahyu. Dengan kata
ijtihad ulama yang satu dengan yang lain.
Dalam ajaran islam, pemakaian akal memang tidak
diberi kebebasan mutlak sehingga pemikir islam dapat melanggar garis-garis yang
telah ditentukan oleh Quran dan hadits, tetapi tidak pula diikat dengat ketat.
Perlu ditegaskan di sini bahwa pemakaian akal yang diperintahkan Al-Quran,
seperti yang terdapat dalam ayat-ayat kauniyah, mendorong manusia untuk
meneliti alam-alam sekitarnya, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Penggunaan
akal yang maksimal dalam rangka memahami hakikat wujud atas sesuatu itulah
sesungguhnya dunia filsafat. Namun demikian, peranan akal yang maksimal dalam
pembahsan masalah-masalah keagamaan islam itu dijumpai bukan hanya dalam
filsafat, tetapijuga dalam bidang teologi, dan bahkan dalam fiqih dan tafsir
Al-Quran sendiri. Hanya saja perbedaan jika dalam bidang fiqih dan teologi,
akal banyak dipakai dalam memahami teks-teks keagamaan dalam Al-Quran dan
hadits, sedangkan dalam filsafat islam, sebagai bentuk pemikiran yang
sedalam-dalamnya, tentang wujud akal yang banyak dipakai dan berguna
pemakaiannya dalam ilmu fiqih dan teologi.[6]
KESIMPULAN YANG BISA DIPETIK.
1.
Filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan atau
berusaha mencari kebenaran.
2.
Penyebab timbulnya filsafat adalah:
a.
Dari mitos yang kemudian menjadi Logos
b.
Rasa ingin tahu, sehingga memicu manusia untuk
mencari tahu dan untuk mencari tahu menggunakan akal, maka mulailah akal
digunakan.
c.
Rasa kagum, dimana melihat keindahan alam dan
lingkungan.
d.
Kesusasteraaan.
e.
Pengaruh ilmu pengetahuan, terutama ilmu dari
mesir dan peninggalan babiolonia terutama astronomi.
3.
Filsafat lahir pada abad 6 SM dengan tokoh
pertama yaitu Thales.
4.
Objek filsafat ada dua yaitu:
a.
Objek materi
b.
Objek formal.
5.
Pengaruh filsafat yunani terhadap filsafat
islam, dapat dilihat dari dua kajian.
a.
Kajian historis, dimana ini ditelusuri masuknya
filsafat kedalam islam yaitu dari penerjemahan naskah-naskah yunani kedalam
bahasa arab. Dari penerjemahan ini lahirlah pemikiran-pemikiran seperti Emanasi
Al-farabi yang merupakan pemikiran awal dari Neoplatinus monistik tentang
emanasi begitupun ibnu sina dan seterusnya.
b.
Kajian doktrin, dimana ajaran filsafat yang
menggunakan akal sangat mempengaruhi pemikiran filusuf muslim sehingga ada yang
lebih mementingkan rasio saja dan ada yang hanya percaya pada wahyu saja.
Sebagai contoh pengaruh doktrin ini yaitu kaum teolog seperti Mu’tazilah yang
mendewakan akal, lalu Pahama Qadariah (free will/free act bahwa manusia
mempunyai kebebasan bertindak) dan paham Jabariyah (manusia itu dipaksa).
PEMIKIRAN
FILSAFAT AL-KINDI
A.
Biografi
Al-Kindi.
Al-kindi[7]
dilahirkan di Kuffah sekitar tahun 185 H/801 M, dari kabilah kinda,
kakeknya seorang sabahat rasulullah saw.
Bernama Al-Asy’asy ibnu Qais yang gugur sebagai syuhada dalam peperangan antara
kaum muslimin dengan Persia di irak.[8] Al-Kindi
adalah seorang filosof Islam yang pertama merintis usaha untuk mempertemukan
agama dan filsafat yang didasarkan atas ketentuan dan dalil-dalil pikiran.
Menurutnya filsafat adalah pengetahuan yang benar, al-Quran juga membawa
argumen-argumen yang meyakinkan dan benar dan tidak mungkin bertentangan dengan
kebenaran yang dihasilkan filsafat.[9]
Sementara filusuf yunani tidak menemukan adanya titik temu Antara filsafat dan
Agama.
Al-kindi digelari dengan failasuf
al-arab (filosof berkebangsaan arab).
Dan al-kindi meninggal tahun 252 H atau 260 H.
B. Harmonisasi
(perpaduan) Antara Filsafat dan Agama.
Menurut
al-Kindī filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang yang benar (knowledge of
truth). Konsepsi filsafat al-Kindī secara umum memusatkan pada penjelasan
tentang metafisika dan studi tentang kebenaran. Pencapaian kebenaran menurut
al-Kindī adalah dengan filsafat. Oleh sebab itu, ilmu filsafat menurut al-Kindī
adalah ilmu yang paling mulya. Ia mengatakan:”Sesunggunghnya ilmu manusia
yang derajatnya paling mulya adalah ilmu filosof. Dengan ilmu ini hakikat ilmu
didefinisikan, dan tujuan filosof memperlajari filsafat adalah
mengetahui Al-Haq (Allah)[10].
Sedangkan ilmu filsafat yang paling mulya dan paling tinggi derajatnya adalah
Filsafat yang Pertama (Falsafah al-‘Ūlā). Yakni ilmu tentang al-Haq
al– Ūlā yang menjadi Sebab segala sesuatu (‘illah kulli syai’)
yang tidak lain adalah Tuhan Allah SWT.[11]
Pada asas pokok
filsafatnya ini, al-Kindī mempertemukan dengan agama. Dalam arti, bahwa tujuan
filsafatnya dan tujuan pokok agama adalah sama, yakni keduanya adalah ilmu
dalam rangka mencapai kepada yang benar. Kejelasan hubungan antar keduanya
dapat dilihat dari penjelasan al-Kindī, bahwa dasar antar filsafat dan agama
memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut terdapat dalam empat hal; pertama, ilmu
agama merupakan bagian dari filsafat, kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi
dan kebenaran filsafat saling bersesuaian, ketiga, menurut ilmu, secara logika
diperintahkan dalam agama dan keempat, teologi adalah bagian dari filsafat dan
umat Islam wajib belajar teologi juga filsafat.[12]
Bagi al-Kindī,
filsafat Islam didasarkan kepada al-Qur’ān. Al-Qur’ān memberikan
pemecahan-pemecahan atas masalah yang hakiki, misalnya tentang teori
penciptaan, hari kebangkitan, kiamat dsb. Hal tersebut menurut al-Kindī sangat
meyakinkan, jelas dan menyeluruh, sehingga al-Qur’ān telah mengungguli
dalih-dalih para filsuf.[13]
Dengan
pemikirannya tersebut, ilmu filsafat oleh al-Kindī ditempatkan sebagai bagian
dari budaya Islam. Meskipun dalam beberapa teoritik, ia mengadopasi dari
Aristoteles Neo-Platonis, akan tetapi gagasan-gagasannya dari mengintegrasikan
filsafat dan agama itu menghasilkan gagasan baru. Tampak sekali, ia berusahan
mendamaikan antara warisan Yunani yang tidak bertentangan dengan syari’at dengan
agama Islam, dengan asas-asas yang berdasarkan metafisik, bukan fisik belaka.
Ia menggunakan istilah-istilah filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab. Dia dikenal orang yang pertama menyususn kosa kata Arab untuk
istilah-istilah filsafat dan menetapkan definisi berbagai kategori. Untuk
tujuan ini dia menulis sebuah buku Risālah fī Hudūd al-Asyyā wa Rusūmihā.[14]
C.
Konsep ketuhanan Al-Kindi.
1.
Konsep Tauhid Allah.
Tuhan menurut Al-Kindi adalah pencipta alam,
bukan penggerak pertama.[15]
Tuhan itu Esa, Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak
bertubuh. Ia hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti
banyak. Pembahasan utama filasfatnya adalah tentang konsep ketuhanan. Karena
filsafat menurutnya, adalah menyelidiki kebenaran, maka filafat pertamanya
adalah pengetahuan tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq
al-Awwal), Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid) dan penyebab semua
kebenaran. Dengan demikian corak filsafat al-Kindī adalah teistik, semua kajian
tentang teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik. Untuk
itu, sebelum memulai kajian tentang teori filsafat, ia membahas filsafat
metafisika, dan konsep Tuhan.[16]
Argumentasi
kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran al-Kindī dalam menjelaskan
ketuhanan. Bagi al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab
kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah
sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab
dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak.
Alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga
konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan.
Teologi filsafat al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan harus
ada yang Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari
segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini.[17]
Tuhan dalam
filsafat al-kindi tidak memiliki arti aniah dan mahiah, aniah artinya bukan
termasuk dalam alam ini, mahia artinya tidak merupakan genus dan spesies.[18]
Dalam pandangan
mengenai tuhan ini, al-kindi lebih mengesakan Allah dari pada kaum mu’tazilah,
Al-kindi memiliki kemiripan dengan mu’tazilah yaitu menafikkan sifat dari dzat
Allah. Namun, mu’tazilah menyatakan bahwa allah mengetahui dengan ilmunya dan
ilmunya adalah zatnya, bagi al-kindi Allah tidak terbagi.[19]
Penidian sifat bagi mu’tazilah berarti Allah mempunyai hakikat, sedangkan bagi
al-kindi Allah tidak punya hakikat.
2.
Pembuktian adanya Allah.
Untuk membuktikan adanya allah ini Al-indi
mengajukan tiga Argumen, yaitu:
a.
Baharunya Alam, apakah mungkin sesuatu menjadi
sebab bagi wujud dirinya? Tidak mungkin, karena alam ini mempunyai permulaan
waktu dan setiap yang mempunyai permulaan akan berkesudahan (Mutanahi).
b.
Keberagaman dalam wujud, terjadinya keaneka
ragaman dan keseragaman ini bukan secara kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan
dan merancangnya. Sebagai penyebabnya mustahil alam itu sendiri, dan jika alam
menjadi sebab (illat)-nya akan terjadi tasalsul (rangkaian) yang tidak
habis-habisnya.
c.
Kerapian alam, alam empiris ini tidak mungkin
teratur dan terkendali begitu saja tanpa ada yang mengatur dan
mengendalikannya. Pengatur dan pengendaliannya tentu yang berada diluar alam
dan tidak sama dengan alam.
D.
Filsafat Alam.
1.
Bantahan terhadap filsafat yunani (aristoteles)
yang mengatakan bahwa alam ini qodim (tidak berawal).
Pemikiran
filsafat Al-kindi tentang Alam berbeda dengan filusuf yunani yang mengatakan
bahwa Alam ini Qadim sebagaimana ddikemukakan oleh Aristoteles bahwa alam ini
tidak berawal artinya dia qadim. Tapi, bagi al-kindi alam ini adalah baharu dan
untuk membuktikan baharunya alam ini Al-kindi mengemukakan argument:
Gerak, zaman
dan benda. Benda untuk menjadi ada harus ada gerak. Masa gerak menunjukan
adanya zaman. Adanya gerak tentu mengharuskan adanya benda, muistahil kiranya
ada gerak tanpa ada benda. Pada sisi lain, benda mempunyai tiga dimensi, yaitu
panjang, lebar, tinggi. Ketiga dimensi ini membuktikan bahwa benda tersusun dan
setiap yang tersusun tidak dapat di katakan qadim.[20]
2.
Bantahan terhadap filsafat aristoteles yang
mengatakan bahwa alam ini tidak terbatas.
Al-kindi
mengemukakan bahwa jika alam ini tidak terbatas, lalu dianbil sebagian, maka
yang tinggal apakah terbatas ataukah tidak terbatas? Jika yang tinggal terbatas
bila ditambahkan kembali kepada bagian yang di pisahkan maka hasilnya tentu
terbatas pula dan inilah yang benar. Tetapi bertentangan dengan pengandaian
semula bahwa alam ini sebelum dibagi atau dianbil sebagiannya tidak terbatas.
Jadi, hasil dari penambahannya menjadi terbatas dan tidak terbatas, maka
berarti benda sama besar dengan bagiannya hal ini adalah kontradiksi dan tidak
bias diterima. Atas dasar ini al-kindi berkesimpulan bahwa alam semesta ini
pastilah terbatas dan ia menolak pandangan aristoteles yang mengatakan alam ini
tidak terbatas.
E.
Filsafat Jiwa.
1.
Penolakan terhadap filsafat jiwa aristoteles.
Al-kindi menolak pendapat aristoteles yang
mengatakan bahwa jiwa mansuia sebagai benda-benda, terususun dari dua unsur,
materi dan bentuk. Materi ialah badan dan bentuk jiwa mansuia. Hubungan jiwa
dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi.[21]
Dalam hal ini, pendapat Al-Kindi lebih dekat
pada pendapat plato yang mengatakan bahwa kesatuan anatar jiwa dan badan adalah
kesatuan accident, binasnaya badan tidak membawa bisanasa pada jiwa. Namun ia,
tidak menerima pendapat plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam
idea.[22]
2.
Jiwa menurut Al-kindi
Jiwa mempunyai
wujud sendiri, terpisah dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat
ruhani dan ilahi. Sementara itu, jisim mempunyai hawa nafsu dan marah. Dalam
jiwa mansuia itu ada tiga daya, yaitu:
a.
Daya bernafsu (Al-Quwwat al-syahwaniyyat) yang
terdapat diperut. Daya bernafsu pada mansuia hidup seperti dengan babi.
b.
Daya marah (al-Quwwat al-ghadabiyyat) yang
terdapat di dada sama bersifat dengan anjing.
c.
Daya piker (al-Quwwatal-‘aqliyyat) yang
berpusat di kepala daya berpikir seperti malaikat.
F.
Filsafat Akal.
Akal menurut
al-Kindi terbagi menjadi empat:
a.
Akal aktualis, akal pertama ini berada diluar
jiwa mansuia dan bersifat ilahi dan selamanya dalam aktualis, dan akal inilah
yang membuat akal yang bersifat potensi dalam jiwa menjadi actual.
b.
Akal potensial yakni akal murni yang ada dalam
diri mansuia yang masih merupakan potensi.
c.
Akal perolehan, ini adalah akal yang keluar
dari potensialitas kedalam aktualitas, akal ini diperoleh dengan belajar,
mislanya bagaimana cara menulis.
d.
Akal actual nyata, akal dalam bentuk ini
diibaratkan proses menulis kalau seorang bersungguh-sungguh untuk menulis.[23]
G.
Filsafat Moral.
Menurut
Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa
sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk
diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam
para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof
yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam
negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates. Dalam
kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih
kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi,
tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata Negara.
STUDY
KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN AL-KINDI
Sejarah filsafat yang berkembang di dunia Islam
tidak bisa dilepaskan dari perkembangan aliran kalam di tengah-tengah kaum
muslimin, terutama pada masa ke khilafahan Abbasiyah. Al-Kindi merupakan
filosof muslim yang hidup pada zaman khalifah Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasim, dimana
pemikiran Mu’tazilah berkembang secara pesat waktu itu. Sehingga amat wajar
jika pemikiran Al-Kindi merupakan kelanjutan dari cara berfikir dari rumusan
logika yang merupakan pengaruh filsafat yunani dalam metode berfikir. Namun
al-Kindi telah memfokuskan kajiannya lebih mengarah pada filsafat daripada
sekedar masalah teologis sebagaimana gagasan para ulama mutakallimin. Oleh
karena itu ia disebut sebagai filosof pertama di dunia Islam yang membuka jalan
atas derasnya pengaruh-pengaruh filsafat Yunani memasuki pemikiran para pemikir
muslim kala itu. Namun pada bagian ini penulis hanya membatasi kajian mengenai
pemikiran Al-Kindi seputar masalah ketuhanan, disebabkan topik yang menjadi titik
tekan adalah menyangkut masalah pemikiran Islam. Jika kita mencermati pemikiran
Al-Kindi mengenai keberadaan Tuhan maka kesimpulannya tidak jauh beda dari apa
yang digagas oleh ulama mutakallimin. Ia masih membuktikan keberadaan Tuhan
melalui metode pengamatan yang bersifat inderawi yaitu dengan baharunya alam
dan keteraturannya. Namun pada argumentasi mengenai ke anekaragaman alam untuk
membuktikan keberadaan Tuhan sangat nampak pemanfaatan logika mantiknya.
Misalnya dengan proposisi bahwa : Sang khalik adalah zat yang tidak sama dengan
makhluknya, sedangkan alam semesta yang sifatnya beraneka ragam adalah makhluk.
Dengan demikian Tuhan tidak mungkin beraneka ragam sebagaimana makhluknya.
Berdasarkan logika mantik tersebut Al-Kindi menyusun argumentasinya bahwa
keanekaragaman mesti selalu ada bersama keseragaman, dan itu tidak mungkin
terjadi karena kebetulan namun karena sebab lain. Sebab lain itulah yang ia
maksud adalah Tuhan. Sesungguhnya akal pikiran manusia hanya bisa berfungsi
melaui metode pengamatan terhadap fakta-fakta yang terindera ataupun melalui
informasi akurat yang menjamin kepastiannya. Pada hal-hal yang tidak dapat di
amati secara inderawi maupun tidak ada informasi pasti yang membicakannya maka
hal yang demikian merupakan diluar jangkauan akal. Apa yang di gagas tentang
keberadaan Tuhan oleh al-Kindi dengan bukti baharunya alam memang merupakan hal
yang dapat dijangkau oleh setiap manusia. Sebagaimana argumentasi orang-orang
arab bahwa tidak akan ada kotoran unta jika tidak ada untanya. Namun ketika ia
melampaui batas jangkauan akal dengan mencoba membahas subtansi zat Tuhan bahwa
Tuhan tidak berubah ataupun tidak bergerak dengan alasan bahwa gerak hanya
dimiliki oleh makhluknya, sementara Tuhan tidak sama dengan makhluknya, maka
menurut hemat penulis ia hanya menyimpulkan demikian berdasarkan rumusan logika
mantik, bukan berdasarkan pengamatan inderawi dan juga tidak ada keterangan
sedikitpun mengenai dzat Tuhan tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya hal yang
demikian bukan hasil dari pemikiran berdasarkan akal dengan keterbatasannya,
namun tidak lebih hanya sekedar spekulasi atau imajinasi yang didasarkan pada
rumusan logika sebagai justifikasinya.
KESIMPULAN
YANG DIPETIK DARI PEMIKIRAN AL-KINDI
1. Perpanduan
Antara filsafat dan agama, di dalam filsafat Kristen tidak menemukan kesamaan
Antara filsafat dan agama. Dan ini jelas karena ajaran kitab Kristen itu sudah
ada campur tangan mansuia sehingga tidak orisinil dan penemuan ilmiah akan
bertentangan dengan mereka, bebreda dengan ajaran islam yang am,sih orisinil
sehingga pemikiran mansuia akan selaras dengan Al-Qur’an. Tidak ada
pertentangan Antara filsafat dan gama karena mereka sama-sama mencari kebenaran
dan dalam Al-Qur’an disebut dengan Al-Hikmah dan Al-Qur’an sendiri menyuruh
manusia untuk bnerfikir dengan ayat afala tatajakkaruun, afala ta’qilun,
afala tatadabbaruuna.[24]
2. Konsep
Ketuhanan, Al-kindi lebih mengesankan
tuhan dari pada mu’tazilah yang dipikir sangfat rasional itu, nafi’
as-shifat bagi mu’tazilah masih ada hakikatnya, tapi bagi al-kindi Tidak.
Dan al-kindi dalam membuktikan adanya tuhan dengan tiga argument yaitu:
baharunya alam, keanekaragaman wujud dan kerapian alam.
3.
Filsafat Alam, al-kindi menolak
aristoteles yang mengatakan bahwa alam ini qadim, bagi al-kindi alam ini baharu
dan untuk membuktikannya menggunakan argument zaman, benda, gerak dan bend
apasti memiliki panjag, pendek dan ini tersusun dan tersusun tidak dapat qadim.
Dan penolakan terhadap pendapat aristoteles bahwa alam ini tidak terbatas.
4.
Filsafat jiwa, Al-kindi
menolak pendapat aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa mansuia sebagai
benda-benda, terususun dari dua unsur, materi dan bentuk. Al-kindi mengemukakan
abhwa jiwa itu terdiri dari 4: daya nafsu, daya marah dan aday berberfikir.
5.
Filsafat akal, al-kindi berbeda dengan aris
toteles yang membagi akal emnajdi dua yaitu akal mungkin dan akal agen,
Al-kindi membagi akal menjadi 4 yaitu akal yang selamya dalam aktualis, akal
potensial, akal perolehan dan akal actual nyata.
6.
Filsafat moral, Kebijaksanaan tidak dicari
untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia.
PEMIKIRAN
FILSAFAT AL-RAZI
A.
Biografi Al-Razi.
Abu Bakar
Muhammad ibnu Zakaria Ibn Yahya al-Razi atau akrab disapa dengan
nama Al-Razi, di Barat dikenal dengan nama Rhazes yang dilahirkan dan di
besarkan di daerah Rayy (suatu daerah dekat Taheran persia) dan sekaligus
tempat dimana dia meninggal. Ia di lahirkan pada tanggal 1 sya’ban
251 H/865 M, pada zaman kejayaan Abbasiyah dan meninggal dunia pada tanggal
5 Sya’ban 313 H/ 7 Oktober 925 M. waktu mudanya ia adalah seorang
tukang intan dan suka akan music (kecapi). Selain itu ia juga sangat
respek untuk mendalami dan mengeluti berbagai khasanah keilmuan seperti ilmu
kimia, ilmu kedokteran dan dia juga tertarik untuk bergelut dibidang
Filsafat Agama, dan dengan latar belakang pendidikan serta khazanah keilmuan
yang dalam dan luas terutama dalam bidang kedokteran, didaerah kelahirannya
Al-razi dikenal sebagai dokter yang sekaligus dipercayakan untuk memimpin
Rumah sakit di Rayy. Ar-razi memiliki penemuan-penemuan besar dibidang dokter
dan kimia, ia menguasai masalah-masalah kedokteran, dan dia juga diaku bahwa
dia tidak hanya mempelajari kedokteran Arab, Yunani serta ilmu-ilmu muslim
lainnya, melainkan ia menambah pengalamannnya dengan mempelajari kedokteran
india.
Philip Hitti
adalah seorang ilmuan yang pernah memberikan komentar kepada
al-Razi dalam “History of The Arab”; bahwa al-Razi adalah seorang dokter
yang paling besar dan paling orisinal dari seluruh dokter muslim
dan juga seorang penulis yang produktif. Selain sebagai ahli dalam ilmu
kedokteran Al-Razi memiliki cara berfikir dan pendapat yang berlainan
dengan filusuf-filusuf Islam lainnya, dan perbedaaan yang paling ekstrim yang
dimiliki Al-Razi adalah tidak mengakui adanya wahyu dan adanya nabi.
Dengan tidak mengakui sumber-sumber pengetahuan lain seperti wahyu dan
adanya nabi maka tidak heran kalau karya-karyanya lebih banyak mendapat kecaman
dari pada dipelajari oleh filusuf-filusuf islam yang lain.[25]
B.
Filsafatnya
tentang 5 Kekal.
Ajaran Filsafat al Razi dikenal
dengan istilah ajaran lima yang kekal , Prof. Dr. Harun Nasution dalam
bukunya “filsafat dan mistikisme dalam islam” menjelaskan tentang lima
ajaran kekal tersebut, antara lain:[26]
1.
Allah
( al-Bari ta’ala) Tuhan pencipta yang maha tinggi dan maha sempurna. Allahlah
yang menciptakan dan mengatur seluruh Alam, Allah menciptakan Alam bukan dari
tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada, karena itu alam semestinya
tidak kekal sekalipun materi pertama kekal sebab penciptaan disini dalam
arti disusun dari bahan yang telah ada. Ada tiga teori yang menerangkan
asal kejadian alam semesta yang mendukung keberadaan tuhan, pertama : Paham
yang mengatakan alam semesta ini ada dari yang tidak ada, ia terjadi dengan
sendirinya, Kedua: Alam semesta ini berasal dari sel yang merupakan inti,
Ketiga: Alam semesta ini ada yang menciptakannya.[27]
2.
Roh,
Roh atau jiwa adalah merupakan sumber kekal yang kedua, hanya saja ia tidak
seMaha dengan Tuhan, karena ia terbatas dan tentu saja dengan keterbatasannuya
itu membutuhkan Tuhan. Hal itu terlihat ketika jiwa, tertarik dengan materi
pertama yang juga kekal. Untuk memenuhi hal itu, Tuhan membantu jiwa dengan
membentuk alam ini (termasuk manusia) melalui materi pertama dengan susunan
yang kuat, sehingga jiwa dapat mencari kesenangan didalamnya. sekaligus
melengkapinya dengan akal agar ia tidak memperturutkanhawanafsu.
3.
Materi,
ia adalah substansi yang kekal, terdiri dari atom-atom. Ia kekal dan nantinya
akan menjadi bahan terbentuknya alam. Didalam prosesnya materi yang paling
padat akan menjadi substansi bumi, yang lebih renggang dari pada unsur bumi
akan menjadi air, yang lebih renggang dari air akan menjadi udara, dan
berikutnya api.[28]
4.
Ruang,
Menurut al-Razi, ruag adalah tempat keberadaan materi, kalau materi dikatakan
kekal maka dia membutuhkan ruang yang kekal pula. Bagi al-razi ruang
terbagi menjadi dua yakni ruang Universal (Mutlak) adalah ruang yang tidak
terbatas dan tidak tergantung kepada dunia dan segala yang ada didalamnya.
Sedangkan ruang tertentu (relatif) adalah sebaliknya.
5.
Waktu,
Waktu menurut Ar Razi adalah subtansi kekal yang mengalir. Dimana ia dibagi
manjadi dua yaitu waktu relative (terbatas) dan waktu Universal
(mutlak). Waktu relatif (al mahsur/alwaqt), Ini bersifat partikular dan
tidak kekal karena ia bergantung pada gerak falak, terbit dan tenggelamnya
matahari. Sedangkan Waktu Universal (al-dahr), Inilah zaman yang tidak
memiliki awal dan akhir. Ia terlepas sama sekali dari ikatan alam semesta dan
gerakan falak.
Harun Nasution dalam bukunya “Falsafat dan Mistisme”
menjelaskan bahwa menurut al-Razi, dari lima yang kekal itu ada dua yang hidup,
dan aktif atau bergerak yaitu Tuhan dan Jiwa atau Roh, satu darinya
tidak hidup dan pasif yaitu materi, dan dua lagi yang tidak hidup, tidak
bergerak dan tidak pula pasif yakni ruang dan waktu.[29]
Filsafat al-Razi sebenarnya diwarnai oleh doktrinnya tentang lima ajaran
tentang kekekalan tersebut dan kelima hal inilah yang merupakan
landasan ajaran Filsafat yang dibawa oleh al-Razi. Menurut Dr.T.J. De
Beor bahwa dasar-dasar metafisika ar-razi berasal dari doktrin-doktrin tua
seumpama pemikiran-pemikiran Anaxagoras, Empedokles, Mani dan lain-lainnya. Dan
puncak dari metafisika itulah Prinsip tentang lima yang Abadi (Five Coenternal
prinsiples).[30]
C.
Konsep
Kenabian.
Al-Razi menolak kenabian dengan
argumen:
1.
Bahwa
akal sudah memadai untuk emmbedakan mana yang baik dan mana yang buruk, melalui
akal manusia dapat mengetahui Allah. Kemudian kenapa membutuhkan nabi?
2.
Tidak
ada keistimewaan bagi beberapa orang untuk membimbing semua orang,
3.
Para
nabi bertentangan. Apabila merek bebricara atas nama tuhan mengapa iplementasi
mereka terhadapat pertentangan?
Ar-razi
mengatakan:”………Dan atas dasar apa anda menganggap hal itu diperkenankan bagi
kebijaksanaan tuhan yang maha bijaksana untuk memilih cara ini guna (mengaturZ)
manusia, yaitu bahwa dia harus mendorong sebagian mansuia m,enentang sebagian
yang lain, atau bahwa dia harus menebar permusuhan diantara mereka, menabah pertempuran
dan karennaya menajdi mansuia menuju pada kehancuran?”…jika dia memilih opsi
terakhir, masing-masing kelompok akan mendeklarasikan kebenaran imamnya dan
kebohongan semua imam yang lainnya, dan mereka menghunuskan pedang melawan yang
lain. Tentu suatu kekacuan umum dan mereka akan binasa…”
Dan lebih
lanjut dia katakan bahwa tidaklah mausk akal Allah mengutus para nabi sebab
mereka menimbulkan kemudaratan, ia juga mengkritik secara sistematik
kitab-kitab wahyu Al-qur’an dan Injil.
Namun perlu di
garis bawahi bahwa dalam bukunya Al-Thib ruhani tidak ditemukan keterangan
bahwa ar-razi meningkari kenabian atau
agama, bahkan sebaliknya ia mewajibkan untuk menghormati agama dan dan
berpegang teguh kepadanya agar mendapat kenikmatan di akhirat.[31]
D.
Filsafat
Jiwa.
Mengenai filsafat tentang jiwa
(ruh), bermula dari sebuah pertanyaan yang timbul dari buah pikiran al-Razi,
yakni, sebuah pertanyaan tentang keabadian lain, setelah kematian? Keabadian
lain itu adalah ruh yang akan selalu hidup, tetapi ruh bodoh. Materi juga
kekal, karena kebodohannya ruh mencintai materi dan membuat banyak dirinya
untuk memperoleh kebahagiaan materi. Tetapi materi menolak, akhirnya Tuhan ikut
campur untuk membantu ruh. Dijadikan lapisan dari ruh, yakni sebuah jasad yang
beragam macam. Kemudian Tuhan menciptakan sebuah jasad yang sempurna, itulah
manusia yang berguna untuk menggerakkan aktifitas di dunia ini.
Dalam filsafatnya mengenai hubungan
manusia denganTuhan, ia dekat kepada filsafat Pythagoras, yang memandang
kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali kepada Tuhan dengan meninggalkan
alam materi ini. Untuk kembali ke Tuhan, maka roh harus lebih dahulu disucikan
dan yang dapat menyucikan roh adalah ilmu pengetahuan dan membuat
pantangan dalam mmengerjakan beberapa hal tanpa dasar ilmu. Menurut al-Razi
jalan mensucikan roh adalah falsafat. Manusia harus menjauhi kesenangan yang
dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau yang bertentangan dengan
rasio. Tetapi sebaliknya, manusia jangan pula sampai tidak makan atau berpakaian,
tetapi makanlah dan berpakaian sekedar untuk memelihara diri.[32]
E.
Filsafat
Moral.
Gagasan al-Razi tentang moral beraset konsep
transmigrasi jiwanya, yang tertuang dalam karyanya Philosophical Way
(Jalan Filsafat), tarutama berkenaan dengan masalah penyembelihan hewan.
Al-Razi merasa terganggu oleh penderitaan hewan, terutama yang diakibatkan
oleh perlakuan manusia. Menurutnya, penyembelihan hewan buas dapat dibenarkan
sebagai pemeliharaan terhadap terhadap kelangsungan hidup manusia. Tetapi hal
itu tidak dapat diterapkan kepada hewan-hewan piaraan. Menurut hematnya, bahwa
penyembelihan itu diartikan sebagai pembebasan. jiwa mereka dari penghambaan
kepada tubuh, dan dengan demikian menjadikan mereka lebih dekat dengan takdir
akhirnya. dengan memberikan kemungkinan bagi mereka “tinggal dalam tubuh lain
yang lebih baik, seperti tubuh manusia.[33]
STUDY KRTITIS DAN HIPOTESA TERHADAP PEMIKIRAN FILSAFAT AR-RAZI
Menjadi penting untuk menghantarkan pada kritik
yang filosofis ialah memberikan pemaknaan terhadap Metafisika sendiri, dimana
metafisika dalam diskursus kali ini menjadi tranding topik. Adapun untuk
sampai pada pemaknaan filosofis terhadap metafisika tentu membutuhkan beberapa
tahapan diantaranya ialah; pertama, metafisika general. Kedua
metafisika dalam pandangan Islam. Ketiga Metafisika dalam pandangan Abu
Bakar Ar-Razi.
Pertama, metafisika general. Dalam konten ini, peneliti
mengunakan istilah yang dipaparkan oleh Loren Bagus. Nama metafisika muncul
pertama kali dalam arti sekarang dalam karya filsuf Neo-Platonis, Simplicus.
Ilmu yang dilukiskan oleh istilah ini sudah dimulai secara sistematis dalam
abad ke-4 SM oleh Aristoteles. Metafisika bergelut dengan yang metafisis,
dengan apa yang melampaui yang fisis. Namun fisis disini sama sekali tidak
mengartikan hal yang sama bagi orang Yunani sebagaimana di artikan oleh
ahli-ahli fisika modern. Karena fisis berarti seluruh dunia pengalaman ragawi
sejauh dia tunduk terhadap alam. Yakni ia tunduk pada proses menjadi atau
dilahirkan dengan cara tertentu. Karenanya disebut metafisis apa yang secara
hierarki tidak dapat dialami oleh pancaindera, tidak dapat berubah dan sedikit
banyak rohani. Tetapi yang disebut metafisis bukan tidak dapat diketahui,
sebagaimana dikukuhkan oleh Nicolai Hartmann
Kedua, metafisika dalan pandangan Islam. Secara
umum metafisika dalam Islam bisa dipahami sebagai berikut, metafisika merupakan
cabang filsafat yang mempelajari tentang penjelasan asal atau hakikat obyek
fisik yang ada di dunia dimana didalamnya juga menjelaskan tentang keberadaan
atau realitas. Dalam hal pencipta dapat saya simpulkan bahwa Islam lebih cendrung
kompromis antara konsepsi pewahyuan dan konsepsi pemaknaan manusia. Semisal
bahwa alam semesta berserta isinya merupakan ciptaan Tuhan/ Allah SWT. Yang
dalam hal ini telah diatur dalam Undang-undang Kitab Suci
Al-Qur’an.
Ketiga, metafisika dalam pandangan Abu Bakar
Ar-Razi. Pada pemaparan diatas telah disinggung tentang doktrin Al-Qudama
Al-Khamsah (Prinsip Lima Kekal) Penuturan tentang doktrin lima hal yang
kekal tidak dijumpai sebelum ar-Razi mengungkapkannya. Ar-Razi sendiri
menyatakan doktrin tersebut sebagai doktrin filsafat Yunani (mazhab
al-falasifah al-yunaniyyah) pra Aristoteles.
Dari rangkaian di atas, peneliti memiliki
sebuah pandangan bahwa sebenarnya Abu Bakar Ar-Razi dalam konten metafisika dan
filsafat. Lebih cendrung pada kritik atas pemikiraan filosof yunani, hal ini
didukung oleh para pakar sejarah sepakat bahwa Abu Bakar Ar-Razi hidup diantara
Al-Farabi dan Ibn Sina, maka kemungkinan yang paling besar ialah maraknya
kebangkitan pengetahuan dalam Islam itu sendiri. Di zaman Ar-Razi lebih
tepatnya zaman suburnya pendalaman ilmu pengetahuan baik yang secara
epietemologi bersandar pada al-Qur’an dan Hadits atau pun ilmu dan pengetahuan
yang lahir dari hasil penerjemahaan karya-karya Yunani klasik.
Pendapat diatas juga diperkuat oleh tingkat
popularitas Abu Bakar Ar-Razi yang lebih dikenal sebagai Tabib atau dokter baik
di Rey (Teheran) ataupun di Bagdad. Selintas terbayangkan bahwa yang memicu
Ar-Razi untuk bergelut pada ruang metafisika dan filsafat ialah bekal ilmu yang
dia peroleh dari beberapa guru dan sampai pada basis penyingkapan pengetahuan
dan metode penyingkapan pengetahuan, apabila kita cermati kajian kedokteran
sangat kental dengan penyingkapan pengetahuan melalui empiris-logis, atau
rasional-empirik.
Tentu bekal ini juga yang menghantarkan Ar-Razi
untuk masuk dalam ruang filsafat ataupun ruang metafisika. Hal ini bisa dilihat
pada pemikirannya yang sangat kental rasionalis, semisal dalam konteks
pemikiran kenabian, al-Qur’an, moral, logika. Untuk sampai pada hal ini,
tentunya ada faktor yang paling mendorong, diantaranya faktor yang paling
mempengaruhi Ar-Razi ialah pertama, semangat mencari ilmu pengetahuannya yang
sangat tinggi. Kedua, ketika ia belajar dengan Ali Ibn Rabban al-Tabari di
Bagdad dan Hunayn Ibn Ishaq di Rey. Dua faktor ini juga lah yang
menghantarkan pada briliannya atas gagasan-gagasannya dalam semua bidang.
Sampai hari ini, peneliti masih meragukan
sistematika berfilsafatnya beliau Ar-Razi, hal ini juga banyak dirasakan oleh
pengamat beliau. Bahwa beliau sangat cinta terhadap pengetahuan itu iya. Akan
tetapi dari mana beliau berangkat dalam nuasa berfilsafat, ini masih dalam
bentuk bertanyaan besar, hal ini juga pandangan subyektif peneliti terhadap
beliau dikarenakan beliau mengenyam nuasa studi filsafat pasca beliau
mempelajari al-ilmu al-thibb atau ilmu kedokteran. Terdapat sebuah
kemungkinan bahwa beliau termakan isu wacana pengetahuan dimana pada zaman itu
kentalnya nuasa filsafat dan penerjemahan karya filsafat yunani.
Apabila analisis ini mendekati kebenaran maka
sangat wajar apabila beliau sangat mendewakan Al-Aqlu/Rasionalitas. Apalagi
beliau juga sedikit banyak bersinggungan dengan para teolog dari kalangan
Mu’tazilah, Sunni, maupun Syiah. Sebagai upaya pemahaman terhadap konsep
metafisika beliau Ar-Razi, analisis yang sangat kuat bahwa beliau termakan isu
wahana pengetahuan yang tidak tuntas yang dipelopori oleh filsuf Yunani
terutama dalam hal Jiwa dan atomistik. Kedua hal ini juga yang menjadi basis
ontologis, sebuah pijakan Ar-Razi masuk dalam penghayatan filsafat.
Dari telaah diatas, biografi sampai pada
kritik, peneliti menemukan beberapa catatan penting. Dimana catatan ini menjadi
urgent untuk dipahami dan dikembangkan sebagai upaya mengsistematiskan
pemikiran yang terutama para pengkaji ar-Razi. Hipotesa yang dibangun oleh
peneliti pertama, peneliti meyakini bahwa beliau ar-Razi tergolong sebagai
pemikir liar, yang tidak kenal kompromi dalam hal pengetahuan terutama yang
beraliran rasionalis.
Yang kedua, hipotesa peneliti, dalam membranding
pengetahuannya, Ar-Razi bisa jadi meninggalkan Al-Qur’an dan Hadits, beliau
asyik bermain dengan pemikiran Neo-Platonik dan filsuf-filsuf peripatetik
Yunani, sehingga rujukan utamanya bukan lagi al-Qur’an ataupun Hadits melainkan
Mereka filsuf Yunani.
Hipotesa yang ketiga, dalam konteks Metafisika,
beliau mencoba ingin menemukan konsep yang paling dasar atas terciptanya sebuah
realitas, sedikit berbeda dengan al-Farabi, jika al-Farabi menyingkap proses
penciptaan melalui Emanasi maka ar-Razi mengunakan lima kekekalan Al-Qudama
Al-Khamsah yang paling mendasari. Berikut
ini penulis berusaha menyajikan rajutan-sistematis kelima prinsip di atas.
Hemat peneliti, bahwa lima kekekalan yang dikonsepikan sebagai konsep
metafisika ar-Razi. Lebih menempati posisi urutan atau semacam rotasi
penciptaan. Dengan model pemaknaan yang maklum atau mudah dimengerti oleh
manusia ketika manusia mencari arti tentang proses penciptaan. Benar jika dalam
bentuk rotasi tersebut disertai dengan dalih-dalih rasio-empirik, hal ini
dikarenakan beliau sangat kuat dalam pendalaman rasionalitas-logis.
Al-Razi
mempunyai nama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Al-Razi. Al-Razi dikenal
sebagai dokter, filsuf, kimiawan, dan pemikir bebas (250-313 H/864-925 M atau
320 H/932 M), oleh orang Latin dipanggil Rhazes, dilahirkan di Rayy, dekat
Teheran sekarang.
Secara umum konsep metafisika yang dibangun
oleh Ar-Razi tertuang dalam doktrin lima hal yang kekal (Al-Qudama’
Al-Khamsah), ar-Razi menyatakan bahwa lima hal yang kekal, yakni Tuhan (Al-Bari
Subhanah), ruh universal (An-Nafs Al-Kulliyah), materi pertama (Al-Huyula
Al-Awwalah), ruang mutlak (Al-Makan Al-Mutlaq) dan waktu mutlak (Az-Zaman
Al-Mutlaq).
Al-Razi
adalah pemikir bebas non-kompromis, yang justru lebih menonjol dikenal di bidang
kedokteran daripada filsafat, karena karyanya al-Hawi. Perhatian
utama filsafatnya adalah jiwa universal, yang menjadi titik sentral-logis
penjelasannya tentang kejadian dunia dan adanya Sang Pencipta. Bahkan pada sisi
ini al-Razi menawarkan teori berani dan orisinal tentang jiwa.
lima kekekalan yang dikonsepsikan sebagai konsep metafisika ar-Razi. Lebih
menempati posisi urutan atau semacam rotasi penciptaan. Dengan model pemaknaan
yang maklum atau mudah dimengerti oleh manusia ketika manusia mencari arti
tentang proses penciptaan. Benar jika dalam bentuk rotasi tersebut disertai
dengan dalih-dalih rasio-empirik, hal ini dikarenakan beliau sangat kuat
dalam pendalaman rasionalitas-logis.
Tentu bekal ini juga yang menghantarkan Ar-Razi
untuk masuk dalam ruang filsafat ataupun ruang metafisika. Hal ini bisa dilihat
pada pemikirannya yang sangat kental rasionalis, semisal dalam konteks
pemikiran kenabian, al-Qur’an, moral, logika. Untuk sampai pada hal ini,
tentunya ada faktor yang paling mendorong, diantaranya faktor yang paling
mempengaruhi Ar-Razi ialah pertama, semangat mencari ilmu pengetahuannya yang
sangat tinggi. Kedua, ketika ia belajar dengan Ali Ibn Rabban al-Tabari di
Bagdad dan Hunayn Ibn Ishaq di Rey. Dua faktor ini juga lah yang menghantarkan
pada briliannya atas gagasan-gagasannya dalam semua bidang.
Sampai hari ini, peneliti masih meragukan
sistematika berfilsafatnya beliau Ar-Razi, hal ini juga banyak dirasakan oleh
pengamat beliau. Bahwa beliau sangat cinta terhadap pengetahuan itu iya. Akan
tetapi dari mana beliau berangkat dalam nuasa berfilsafat, ini masih dalam
bentuk bertanyaan besar, hal ini juga pandangan subyektif peneliti terhadap
beliau dikarenakan beliau mengenyam nuasa studi filsafat pasca beliau
mempelajari al-ilmu al-thibb atau ilmu kedokteran. Terdapat sebuah
kemungkinan bahwa beliau termakan isu wacana pengetahuan dimana pada zaman itu
kentalnya nuasa filsafat dan penerjemahan karya filsafat yunani.
KESIMPULAN YANG BISA DIPETIK DARI PEMIKIRAN AL-RAZI
1.
Ar-razi
memandang bahwa ada lima yang kekal yaitu: Tuhan, Ruh, Materi, Ruang, waktu. Kekal
artinya abadi, misal dia menciptakan manusia maka Allah dan Allah butuh materi
dan waktu yaitu dari awal hidup sampai mati, lalu ke syurga dan neraka tentu
butuh ruang, dan ruh pas manusia meninggal akan tetap ada. Dari kelima kekal
ini hanya dua yang bergerak yaitu, tuhan dan ruh yang pasif dan tidak hidup
adalah materi dll.[34]
2.
Konsep
kenabian, al-razi menolak kenabian dengan alasan bahwa akala sudah mengetahui
semuanya, tidak ada keistimewaan bagi beberaapa individu, para nabi
bertentangan.
3.
Filsafat
jiwa, sebuah pertanyaan tentang keabadian lain, setelah kematian? Keabadian
lain itu adalah ruh yang akan selalu hidup, tetapi ruh bodoh. Materi juga
kekal, karena kebodohannya ruh mencintai materi dan membuat banyak dirinya
untuk memperoleh kebahagiaan materi. Tetapi materi menolak, akhirnya Tuhan ikut
campur untuk membantu ruh. Dijadikan lapisan dari ruh, yakni sebuah jasad yang
beragam macam. Kemudian Tuhan menciptakan sebuah jasad yang sempurna, itulah
manusia yang berguna untuk menggerakkan aktifitas di dunia ini.
4.
Filsafat
Moral, Menurutnya,
penyembelihan hewan buas dapat dibenarkan sebagai pemeliharaan terhadap
terhadap kelangsungan hidup manusia. Tetapi hal itu tidak dapat diterapkan
kepada hewan-hewan piaraan. Menurut hematnya, bahwa penyembelihan itu diartikan
sebagai pembebasan. jiwa mereka dari penghambaan kepada tubuh, dan dengan
demikian menjadikan mereka lebih dekat dengan takdir akhirnya.
PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI
A.
Biografi
Al-Farabi.
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr
Muhammad ibn Muhammad IbnTarkhan ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij, distrik Farab
(sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana). Turkistan pada tahun 257 H
/870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan
Turki. Ia dikenal dikalangan Latin Abad Tengah dengan sebutan Abu Nashr
(Abunaser), sedangkan sebutan nama al-Farabi diambil dari nama kota Farab,
tempat ia dilahirkan. [35]
Al-Farabi mempunyai sebutan layaknya
sebutan nama bagi orang-orang Turki, ini dikarenakan ibunya bersal dari negara
Turki. Sejak kecil al-Farabi sudah tekun dan rajin belajar, apalagi dalam
mempelajari bahasa, kosa kata, dan tutur bahasa ia telah cakap dan luar biasa.
Penguasaan terhadap bahasa Iran, Turkistan dan Kurdikistan sangat ia pahami.
Malah sebaliknya, bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa ilmu pengetahuan
pada waktu itu tidak ia kuasai. Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa
Farabi dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa; tetapi yang dia kuasai
dengan aktif hanya empat bahasa; Arab, Persia, Turki, dan Kurdi.[36]
Menurut literatur, al-Farabi dalam usia 40
tahun pergi ke Baghdad, sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia di
kala itu. Ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar al-Saraj dab
belajar logika serta filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibnu
Yunus. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil dan
berguru kepada Yuhanna ibnu Jailani. Tetapi tidak berapa lama di Harran, ia
kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat.
Selama di Baghdad ia banyak
menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas
buku-buku filsafat. Baghdad merupakan kota yang pertama kali dikunjunginya. Di
sini ia berada selama sepuluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus. Di sini ia
berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat
terkesan dengan al-Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian
mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana.
Dalam dunia intelektual Islam ia
mendapat kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sany (guru kedua), sedangkan
yang menjadi guru pertama adalah Aristoteles yang menyandang delar al-Mu’allim
al-Awwal (guru pertama), selain itu al-Farabi juga meyandang predikat al-Syaikh
al-Rais (Kiyai Utama), gelar-gelar ini didapatkan karena ia banyak memamhami
filsafat Aristoteles. Sebagai seorang filosof yang ternama, dalam hidupnya ia
dikenal seorang yang tidak berkecimpung di dunia politik pemerintahan. Atas
dasar inilah ia mendapatkan sebuah kebebasan dalam mengeluarkan pemikirannya
yang tidak terikat dengan dogma-dogma yang berbau politik di kala itu.
B.
Filsafat
Emanasi.[37]
Akal pertama
ini mungkin dengan sendirinya dan satu-dalam-dirinya. Dari sinilah kemudian Al
Farabi memulai langkah pertama ke arah pelipatan. Dari pemikiran oleh akal
pertama Yang Esa, lahirlah akal-akal lain, yaitu memancarlah materi dan bentuk
‘langit pertama’, sebab setiap sphere mempunyai bentuk sendiri, yaitu
ruhnya. Beginilah rantai pemancaran berlangsung sehingga melengkapi sepuluh
akal, sembilan lingkungan dan sembilan ruh mereka, dan akal kesepuluh dan
terakhir adalah yang mengatur dunia fana ini. Dari pemikiran Akal Pertama yang
dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (yang nyata) karena Tuhan
dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya, maka keluarlah Akal Kedua. Dari
pemikiran Akal Pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang mukin[38]
dan mengetahui dirinya, maka timbullah langit pertama atau benda lanjut terjauh
(as-sama al-ula atau al-falak al-a’la) dengan jiwanya sama sekali
(jiwa langit tersebut). Jadi, dari dua obyek pengetahuan, yaitu dirinya dan
wujudnya yang mumkin keluarlah dua macam makhluk tersebut, yaitu bendanya benda
langit dan jiwanya.
Dari Akal Kedua
timbullah Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-kawakib
ats-tsabitah) beserta jiwa dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada
Akal Pertama. Dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan planet Saturnus (Zuhal)
juga beserta jiwanya. Dari Akal Keempat keluarlah Akal Kelima dan planet
Yupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari Akal Kelima keluarlah Akal
Keenam dan planet Mars (Mariiah) beserta jiwanya. Dari Akal Keenam
keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (as-Syams) beserta jiwanya. Dari
Akal Ketujuah keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus (az-Zuharah)
juga beserta jiwanya. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet
Merkurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari Akal Kesembilan keluarlah
Akal Kesepuluh dan Bulan (Qamar). Dari Akal Kesepuluh keluarlah manusia
beserta jiwanya. Bersamaan dengan timbulnya akal kesepuluh yang berwenang untuk
mengatur alam fana, maka sempurnalah proses emanasi. Dengan demikian dari satu
akal keluarlah satu akal dan satu planet beserta jiwanya.[39]
C.
Filsafat kenabian.
Seorang Nabi
bisa menerima kode atau isyarat wahyu. Sedangkan upaya filosof untuk
berkomunikasi dengan akal fa’al melalui akal intelektual dapat dicapai melalui
jalan kontemplasi dan perenungan atau melalui kegiatan berfikir mendalam
terhadap sesuatu. Akal inilah yang nantinya akan menjadi modal bagi kita untuk
memahami konsep kenabian (nubuwwah) ala al Farabi.
Secara bahasa,
wahyu berasal dari kata waha, yahyi, wahyan yang berarti samar atau rahasia
adalah pemberitahuan dari Allah secara cepat dan samar disertai dengan
keyakinan yang penuh. Baik dengan perantara maupun tidak, denga suara maupun
langsung dihujamkan ke dalam hati. Wahyu dituangkan oleh Tuhan secara langsung
kepada Nabi pilihannya, bukan berdasarkan keinginannya sendiri. Sehingga tidak
diketahui oleh manusia, wahyu merupakan bisikan Tuhan kepada Nabinya sebagai
pengetahuan yang cepat dan sangat halus yang muncul dengan sendirinya tanpa
harus berijtihad.
Para nabi
diberi kemampuan akal mustafadh untuk mencercap isyarat wahyu dalam bentuk
kemampuan akal intelek berkomunikas dengan aql fa’al sehingga kebenaran yang
dihasilkan wahyu adalah kebenaran yang pasti bukan kebenaran nisbi. Kemampuan
istimewa untuk berkomunikasi dengan aql fa’al ini bersifat given dari Allah.
Menurut Amin Abdullah, pembahasan filsafat kenabian dalam filsafat Islam
merupakan pembahasan yang khas, tidak ditemui di dalam filsafat Yunani secara
detail.
Filsafat
kenabian ini juga disinalir sebagai jawaban atas keraguan filosof sebelumnya
yaitu Abu Bakar Muhammad Ar-Razi (w.925 M) yang menolak adanya kenabian.
Menurutnya, para filosof bisa mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan ‘aql
fa’al untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki, oleh karena itu diperlukan
kehadiran seorang Nabi untuk menjelaskan kebaikan dan keburukan. Bahkan
menganggap al Qura’an bukan mu’jizat, melainkan adalah semacam cerita khayal
belaka. Ar Razi ingin membebaskan pemikirannya meskipun pemikiran semacam ini
cenderung elitis dan inklusif terbatas hanya para filososf yang memungkinkan
untuk melakukannya.
Al Farabi hadir
dengan knsep kenabian untuk menepis keraguan Ar-Razi dan pengikutnya. Bagi al
Farabi, Nabi merupakan gelar kehormatan yang disematkan oleh Allah kepada hamba
pilihan-Nya. Kepadanya dituangkan kalam tuhan berupa wahyu untuk di sampaikan
kepada makhluk di alam ini. Menurut al Farabi, manusia bisa berhubungan dengan
aql fa’al melalui dua cara, yakni: penalaran atau perenungan pemikiran dan
imaginasi atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya bisa dilakukan oleh pribadi
terpilih yang dapat menembus alam materi untuk mencapai cahaya ketuhanan.
Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh para Nabi.
Denga cara
kontemplasi dan latihan berfikir seseorang bisa sampai pada derajat akal
kesepuluh, sementara melalui penelitian jiwa, pembelajaran dan latihan, jiwanya
akan sampai pada akal mustafad untuk merespon dan menerima cahaya ilahi sebagai
puncak imajinasi tertinggi (al quwwah al mutakhayyilah). Orang yang mampu
mencapai derajat ini tentu hanya para Nabi, bukan orang biasa secara umum.
D.
Filsafat politik.
Filsafat politik al-farabi dalam mengemukakan
tentang syarat-syarat seorang menjadi raja.
1.
Raja harus nabi/filosof, ini sangat
terinspirasi oleh filsafat kenabiannya dimana nabi dengan akalnya atau Given
dari Allah mampu berhubungan dnegan akal fa’al, maka filusuf dengan akalnya dan
terus belajar maka akan mampu berhubungan dengan akal fa’al itui sendiri.
2.
Lengkap anggota badannya
3.
Baik dalam pemahaman (pintar)
4.
Pandai mengungkapkan pendapat dan
menguraikannya
5.
Pecinta pendidikan dan gemar mengajar
6.
Pecinta kejujuran dan benci pada kebohongan
7.
Dll.
Pemikiran
politiknya yang terknela itu tentang masalah Negara dimana al-farabi membagi
Negara menjadi 3 yaitu:
1.
Negara sempurna besar, yaitu Negara-negara
besar tapi ompong
2.
Negara-negara sempurna sedang seperti
Negara-negara nasionalis dan akhirnya beberapa Negara ini mengalami pertikaian.
3.
Negara sempurna kecil atau Negara kota yang
dikelola dengan baik.
Yang terbaik
menurut al-farabi adalah Negara kota dimana masyarakat kecil tapi dipimpin oleh
orang besar dan di tata dan di kelola dengan baik.
E.
Filsafat ketuhanan.
Tentang ilmu
Tuhan, pemikiran Al-Farabi terpengaruh oleh Aristoteles yang mengatakan bahwa
Tuhan tidak mengetahui dan memikirkan alam. Pemikiran ini dikembangkan oleh Al-
Farabi dengan mengatakan Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyah
(partikular). Maksudnya, pengetahuan Tuhan tentang yang rinci tidak
sama dengan pengetahuan manusia. Tuhan sebagai Aql hanya dapat menangkap yang kulli (universal),
sedangkan untuk yang juz’i hanya dapat ditangkap dengan
pancaindera. Oleh karena itu, pengetahuan-Nya tentang yang juz’i tidak
secara langsung, melainkan ia sebagai sebab bagi yang juz’i[40]
F.
Filsafat jiwa dan akal.
Dalam persoalan
jiwa ini Al-Farabi mencoba melakukan sintesa antara pendapat Plato dengan
Aristoteles. Menurut Plato, jiwa itu ia sesuatu yang berbeda dengan tubuh, ia
adalah substansi rohani. Sedangkan menurut Aristotelis, jiwa adalah bentuk
tubuh.
Dalam hal ini,
Al-Farabi mencoba mencari jalan kompromis antara kedua pendapat yang berbeda di
atas. Menurut dia, jiwa itu berupa substansi dalam dirinya dan bentuk dalam
hubungannya dengan tubuh.[41]Tampak
dengan jelas betapa Al-Farabi mengambil teori substansi dari plato dan teori
bentuk dari Aristoteles
Al-Farabi
mencoba memilah jiwa yang ada pada jiwa itu kepada tiga macam. Pertama
daya gerak, seperti gerak untuk makan, gerak untuk memelihara sesuatu, dan
gerak untuk berkembang biak. Kedua, daya mengetahui seperti mengetahui dalam
merasa dan mengetahui dalam berimajinasi. Ketiga, daya berpikir yang
dipilah-pilahkan kepada akal praktis dan akal teoritis.[42]
Tentang akal
praktis dan teoritis, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, akal praktis
berfungsi untuk menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan oleh seseorang.
Sedangkan akal teoritis berfungsi untuk membantu dalam menyempurnakan jiwa.[43]
Selanjutnya
akal teoritis dibagi lagi kepada tiga macam. Pertama, akal potensial atau akal
fisik (material). Akal ini dapat menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang
yang dapat ditangkap dengan panca indra. Kedua, akal aktual, akal biasa
(habitual). Akal ini dapat menangkap makna-makna dan konsep-konsep belaka.
Ketiga, akal mustafad, akal yang diperoleh (acquired). Akal ini mampu
mengadakan komunikasi dengan Sang Pencipta.[44]
Untuk dapat
berkomunikasi dengan Sang Pencipta menurut Al-Farabi seseorang harus mempunyai
jiwa yang bersih, kesucian jiwa.[45]
Tidak hanya diperoleh melalui badan dan perbuatan-perbuatan badaniah
semata-mata. Kesucian jiwa dapat diperoleh melalui kegiatan berpikir dan terus
berpikir. Menurut Al-Farabi, filsafat dan moral sama-sama mengidealkan
kebahagiaan bagi manusia. Kebahagiaan seseorang akan terwujud apabila jiwanya
sudah sempurna. Salah satu indikasi kesempurnaan jiwa ialah apabila ia sudah
tidak lagi berhajat kepada materi.[46]
Al-Farabi
sendiri dalam kehidupannya sebagai seorang sufi dan filosof menyimpan jiwa
kesufiannya sangat mendalam dapat berkomunikasi dengan Sang Pencipta dalam
kezuhudan kehidupan. Ia menjadikan kesucian jiwa sebagai asas dalam berfilsafat
yang benar.
STUDY KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN
FILSAFAT AL-FARABI
Pada dasarnya
saya tidak memiliki kemampuan untuk menanggapi pemikiran Al-Farabi karena ilmu
saya yang masih sedikit dan saya hanya mengetahui pemikiran Al-Farabi dan Ibnu
Sina dari materi yang di foto kopi, sehingga bisa terjadi perbedaan persepsi
dalam penulisan ulang pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina. Namun, saya akan
mencoba menanggapi pemikiran Al-Farabi berdasarkan pemahaman yang saya pahami
dari materi yang ditulis oleh pemaklah dan ebrbagai referensi lainnya:
1.
Menurut Al-Farabi, imajinasi merupakan daya
penyimpan dan penimbang yang bertanggung jawab atas penyimpanan citra atau
kesan mengenai hal-hal yang dapat diindra setelah mereka lenyap dari indra
maupun pengontrolan atas citra tersebut dengan menyusun dan mengurainya untuk
kemudian membentuk citra yang baru.
Dalam
hal ini saya kurang setuju karena imajinasi tidak hanya membentuk citra yang
baru, bisa jadi citra yang telah ditanggap oleh indra kemudian dibentuk atau
dikeluarkan menjadi citra yang sama dengan citra yang ditanggap oleh indra.
Saya kurang
setuju dengan teori emanasi yang dikemukakan oleh neoplatonik. Menurut teori
emanasi, alam semesta tercipta dari pancaran tuhan dan alam semesta tercipta
dari ada menjadi ada, yaitu terbentuk dari asap. Namun jika dipertanyakan lagi
siapa yang menciptakan asap tersebut, maka dijawab asap tercipta dari pancaran
tuhan. Kalau begitu maka dapat dikatan bahwa alam semesta tercipta dari tidak
ada menjadi ada melalui proses. Proses pertama yaitu berupa asap. Jika ditelaah
berdasarkan kalimat “pancaran Tuhan”, maka dapat dikatan bahwa alam semesta ini
tercipta dengan sendirinya. Pada saat Tuhan ada maka secara otomatis alam
semsta tercipta karena alam semesta tercipta dari pancaran Tuhan. Namun pada
surah Yasin ayat 82: “sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu
Dia hanya berkata kepadanya “jadilah!” maka jadilah sesuatu itu.”. dalam ayat
tersebut terlihat bahwa segala sesuatu itu atas kehendak Allah dan bukan
terjadi dengan sendirinya (hukum sebab-akibat). Tambah lagi, dalam teori
emanasi diibaratkan Tuhan dengan alam semesta bagaikan matahari dengan
sinarnya. Hal ini bertentangan karena Tuhan tidak bisa disamakan dengan makhluk
ciptaanNya.
Saya
setuju dengan pendapat Al-Farabi yang mengatakan bahwa “kita tidak memiliki
ilmu metafisika” karena menurut saya, pada dasarnya setiap makhluk memiliki
keterbatasan-keterbatasan sehingga akal manusia tidak sanggup untuk memikirkan
wujud Tuhan dan bahkan Tuhan menyuruh manusia untuk tidak memikirkan hal-hal
yang berkaitan dengan wujudNya.
2.
Menurut Al-Farabi, mereka yang hidup di kota
jahiliah tidak akan mengalami hukuman di akhirat kelak. Hal yang sama juga
berlaku bagi warga kota sesat yang telah disesatkan oleh pemimpin mereka.
Menurut saya, pemikiran tersebut bertentangan dengan ajaran teologi yang
menyatakan bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan. Setiap manusia
diwajibkan menuntut ilmu oleh Tuhan, itulah sebabnya Tuhan memberikan akal
kepada manusia agar manusia senantiasa berfikir dan setiap manusia memiliki
kebebasan untuk bertindak dan berbuat. Memang, Allah tidak akan meminta
pertanggungjawaban suatu kaum jika tidak ada satupun nabi atau rasul yang
datang kepada kaum tersebut. Namun, dalam sejarahnya Allah menurunkan nabi
kepada setiap masa (beberapa kaum meyakini bahwa tidak semua nama-nama nabi
tertulis dalam Al-Qur’an) dan beberapa rasul. Kenyataanya, merekalah yang
mengingkari kebenaran yang dibawa oleh Nabi dan Rasul.
Islam
bukanlah agama yang didapat dari keturunan. Kesempurnaan islam harus didapat
melalui usaha manusia dalam menuntut ilmu, oleh karena itu penuntut ilmu lebih
tinggi derajatnya dibandingkan dengan ahli ibadah dan beribadah tanpa ilmu maka
sia-sia.
Jikalau,warga
kota memiliki pemimpin yang sesat, maka merka wajib memberikan peringatan
kepada pemerintah karena setiap manusia diwajibkan untuk berdakwah, “jika tidak
bisa dilakukan dengan tangan, maka lakukanlah dengan mulut (ucapan), dan jika
tidak bisa, maka lakukanlah dengan hati. Maka itulah selemah-lemahnya iman.”
3.
Mengenai pemikirannya tentang Negara itu juga
sebenarnya sindiran halus kepada khalifah al-m u’tasim billah (khalifah
terakhir abbasiyah) yang dimana saat itu pemimpin sangat lemah dan pemikiran
kenegaraannya bahwa kepala Negara harus seorang filusuf atau nabi ini
terinspirasi dari filsafat akalnya.
4.
Al-
Farabi mengatakan bahwa “Seni Logika” ,umumnya,memberikan aturan-aturan , yang
bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang benar dan mengarahkan manusia
secara langsung kepada kebenaran dan menjauhkan diri dari kesalah-kesalahan.
Logika juga membantu kita membedakan yang enar dan yang salah dan memperoleh
cara benar dalam berfikir, atau menunjukan orang lain kepada cara benar. Ia
juga menunjukan dari man kita mulai berpikir dan bagaimana mengarahkan
pemikiran itu kepada kesimpulan –kesimpulan akhir.Sebagaimana al-Farabi,Ibn
Sina juga berpendapat bahwa logika adalah alat yang berguna untuk menjaga akal
dari tersalah,karena fitrah manusia semata,kadangkala,tidak cukup.Sementara itu
al-Ghazali menjadikan logika sebagai syarat yang harus dimiliki terlebih dahulu
atas semua ilmu.Logika kata al-Ghazali adalah pendahuluan dari segala ilmu
karena itu,siapa yang tidak menhuasainya
,ilmunya tidak dapat dipercaya . Di tempat lain ,ia juga mengatakan
bahwa,logika pada umumnya adalah metode yang benar,jarang terjadi
kesalahn:andaikan terjadi kesalahan,kemungkinan hanya terjadi pada
istilah-istilah ,bukan pada kmakna dan ntujuanya.Sebab tujuan adalah petunjuk
jalan pembuktian.
TANGGAPAN IBNU TAIMIYAH TERHADAP PEMIKIRAN AL-FARABI
Ibn taimiyah mengatakna bahwa logika Aristoteles adalah
sumber kebahagian manusia,kebahagian manusia di ukur dengan kerjanya
logika.Secara umu,Ibn Taimiyah menolak tugas logika atau tujuanya adalah
sebagai mizan atau atauran bagi
imu-ilmu rasional dan kedanya tergantung pembuktian dan kesimpulan ,serta
menyampaikan kita kepada ilmu pasti(yakin),Menurutnya ilmu-lmu rasional dapat
diketahui dengan fitrah manusia yang telah diberikan Allah kepada anak cucu
Adam untuk mengetahui sesuatu.Ia tidak pada suatu kaidah atau ketentuan yang
diciptakan oleh seorang tertentu. Seperti Aristoteles sebab para ilmuan dari
seluruh bangsa telah banyak dapat mengetahui tentang hakikat sesuatu,tanpa
seorang pun diantara mereka yang mengetahui logika aristoteles .Dengan
pengkajian dan perenungan akan sesuatu,mereka dapat mengetahiu hakikat
kebenaran,tanpa mempergunakan logika Aristoteles.
Orang yang
berakal,kata Ibn Taimiyah , tidak boleh berpendapat bahwa aturan akal yang
ditrunkan Allah adalah Logika Yunani(baca:logika Aristoteles,pen).sebab Allah
telah menurunkan aturan-aturan melalui kitab-kitab sucinya jauh sebelum adanya
logika Aristoteles,yaitu semenjak Nabi Nuh a.s, Nabi Ibrahim a.s , Nabi Musa
a.s, dan Nabi-nabi lainya. Sedangkan logika yunani baru diciptkan oleh
Aristoteles (w.322 SM)
Akan tetapi amat disayangkan,kata Ibn Taimiyah ,para filosof
mencampuradukan kebenaran yang diambil dari agama dengan kebatilan yang diambil
dari dasar-dasar filasafat yang sesat.Mereka a berusaha mengharmoniskan antara
agama dan filsafat ,dengan berpegang kepada nash-nash,tetapi melakukan
pentakwilan yang jauh menyamping dari ketentuan agama dab hanya menyesuaikan
dengan kaidah-kaidah fisafat.Umpamanya,nmereka mengatakan bahwa sifat-sifatn
Allah yang terdapat dalam Al-quran dan yang dituturkan oleh nabi Muhammad
hanyalah bzat Allah yang maha esa.’Arasy adalah falak yang kesmbilan,kursin
(al-Kursy) adalah falak kedelapan. Malaikat adalah jiwa-jiwa dsan kekuatan atau
daya yang terdapat pada jisim-jisim,tidak adan sesuatu nkejadian diluarn adat
kebiasaan,demikian plan mereka tidakn percaya kepada mukjizat. Mukjizat
hanyalah semacam dari kekuatan alami atau kekuatan daya jiwa,dan lainya yang
dalam kesemuanya itu menurut Ibn Taimiyah ,para filosof telah
menyelewengkan nash-nash agama dan ilmu mereka tidak berdasarkan atas jaran
rasulullah.
KESIMPULAN YANG BISA DIPERTIK DARI PEMIKIRAN AL-FARABI
1.
Filsafat
emanasinya menrupakan pengolahan dari filsafat yunani, denagn mengemukakan dua
wujud, yaitu wajibul wujud dan mumkinul wujud, emanasi al-farabi menghasilkan 9
planet, 2x berfikir dengan 2 wujud dan 11 jiwa.
2.
Filsafat
kenabiannya, al-farabi mengatakan bahwa akal filusuf dapat berhubungan dnegan
akal fa’al sama seperti para nabi, hanya saja akal para nabi itu given dari
Allah sedangkan para filusuf harus belajar dan berusaha agar bias berhubungan
dengan akal fa’al. konsep kenabian al-farabi ini menjawab dari pemikiran
al-razi yang menolak adanya para rasul dan wahyu yang merkea bawa, bagi
al-farabi rasul atau para nabi sangat diperlukan karena kebenaran dari mereka
adalah kebenaran yang mutlak, sementara kebenaran hasil pemikiran kebenaran
yang nisbi.
3.
Filsafat
politiknya, dia mengelompokkan tiga kelompok masyarakat, mayarakat sempuran,
masyarakat yang kurang sempurna dan masyarakat kota. Masyarakat kota yang
sedikit tapi dipimpin oleh pemimpin yang baik itu lebioh baik dari pada
masyarakat besar tapi dipimpin pemimpin yang lemah.
4.
Filsafat
ketuhannanya, Tentang ilmu Tuhan, pemikiran Al-Farabi terpengaruh oleh
Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui dan memikirkan alam.
Pemikiran ini dikembangkan oleh Al- Farabi dengan mengatakan Tuhan tidak
mengetahui yang juz’iyyah (partikular). Maksudnya,
pengetahuan Tuhan tentang yang rinci tidak sama dengan pengetahuan manusia.
5.
Filsafat
jia dan akal, bagi saya mengenai filsafat jiwa al-farabi sama dengan filsafat
ibnu sina bahwa manusia terdiri dari tida daya, yaitu daya bergerak, daya
mengetahui dan daya berfikir.
PEMIKIRAN FILSAFAT IBNUMISKAWAIH
A.
Biografi.
Nama lengkap Ibn Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin
Maskawaih. Ia lahir di Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam Iran
sekarang) pada tahun 320 H/932 M dan wafat pada usia lanjut di
Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Pebruari 1030 M. Ibnu Maskawaih hidup
pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi di Baghdad(320-450 H/ 932-1062 M) yang
sebagian besar pemukanya bermazhab Syi’ah.[47]
Puncak prestasi
kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud Al-Daulah yang berkuasa tahun
367-372 H, perhatiannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan
amat besar, sehingga pada masa ini Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk
menjadi bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah dan pada masa ini jugalah Maskawaih
muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. Tetapi
keberhasilan politik dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu tidak
dibarengi dengan ketinggian akhlak, bahkan dilanda kemerosotan akhlak secara
umum, baik dikalangan elite, menengah, dan bawah. Tampaknya hal inilah yang memotivasi
Maskawaih untuk memusatkan perhatiannya pada etika Islam.
Pada zaman raja ‘Adhudiddaulah, Ibu Maskawaih juga mendapat kepercayaan
besar dari raja karena diangkat sebagai penjaga (khazin) perpustakaannya yang
besar, disamping sebagai penyimpan rahasianya dan utusannya ke pihak-pihak yang
diperlukan.[48]
B.
Emanasi
manusia.
Sebagaimana
al-farabi, ibnu miskawaih juga mempunyai emanasi hanya saja emanasinya berbeda
dengan emanasi al-farabi. Menurut entitas pertama yang memancarkan dari Allah
ialah Aql fa’al (akal aktif). Akal aktif[49]
ini tanpa perantara satupun. Ia qadim sempuran dan tidak berubah. Dari akal
aktif ini timbullah jiwa dengan jiwa timbul pulalah planet-planet.
Adapun
perbedaan emanasi ibnu miskawaih dan Al-Farabi:
1.
Menurut
ibnu miskawaih, Allah menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada menjadi ada
sementara itu, menurut al-farabi alam dijadikan tuhan secara pancaran dari
bahan yang sudah ada menjadi ada.
2.
Menurut
ibnu miskawaih, ciptaan Allah yang pertama ialah akal aktif. Sementara itu,
bagi Al-Farabi ciptaan Allah yang pertama ialah akal pertama dan akal aktif
adalah akal kesepuluh.
Emanasi ibnu
miskawah bahwa Mansuia itu dari mineral, dari karang kemudian ke tumbuhan
menajdi kurma setelah itu ke binatang menjadi kera setelah kera menjadi manusia,
perbedan Antara teori Darwin dan ibnu misakawaih ini yaitu:
1.
Ibnu
miskawaih 4 evolusi sedangkan Darwin hanya satu evolusi.
2.
Ibnu
miskawaih setiap proses dari mineral ketumbuhan llau kebinatang llau menajdi
manusia ada unsur Allah di dalamnya, sedangkan bagi Darwin tidak ada unsur
tuhan di dalamnya.
C.
Ahlak
utama.
Akhak menuruit
konsep Ibnu Miskawaih,ialah suatu sikap mental atau keadaan yang mendorongnya
untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan.Sementara tingkah laku manusia
terbagi menjadi dua unsur,yakni unsur naluriah dan unsure lewat kebiasaan dan
latihan
Berdasarkan ide
diatas,secara tidak langsung Ibnu Miskawaih menolak pandangan orang orang
yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah.Babi Ibnu
Miskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan
jalan pendidikan dan latihan latihan.pemikiran seperti ini sejalan dengan
pemikiran dan ajaran islam karena secara eksplisit telah
mengisyaratkan kearah ini dan pada hakikatnya syariat agama bertujuan
untuk mengokohkan dan memperbaiki akhlak manusia.karena kebenaran ini tidak
dapat di bantah sedangkan sifat binatang saja bisa berubah jadi liar menjadi
jinak,apalagi akhlak manusia.
Ibnu Miskawaih
juga menjelaskan sifat sifat yang utama,sifat sifat ini ,menurutnya,erat
kaitannya dengan jiwa.jiwa memiliki tiga daya :daya marah,daya berfikir,dan
daya keinginan.Sifat Hikmah adalah sifat utama bagi jiwa berfikir yang lahir
dari ilmu.Berani adalah sifat utama bagi jiwa marah yang tinbul dari jiwa
hilm,sementara Murah adalah sifat utama pada jiwa keinginan lahir dari
iffah.dengan demikian ada tiga sifat utama yaitu hikmah,berani dan
murah.apabila ketiga sifat utama ini serasi,muncul sifat utama yang
keempat,yakni adil.
Dalam kitab
Al-akhlak Ibnu Miskawaih juga memaparkan kebahagian,menurutnya meliputi jasmani
dan rohani.pendapatnya ini merupakan gabungan antara pendapat plato dan
Aristoteles.Menurut plato kebahagian yang sebenarnya adalah kebahagian
rohani.Hal ini dapat diperoleh manusia apabila rohaniyah telah berpisah dengan
jasadnya.Dengan redsaksi lain selama rohaniyah masih terikat pada
jasadnya,yang selalu menghalanginya mencara hikmah,kebahagiaan dimaksud tidak
akan tercapai.sebaliknya Aristoteles berpendapat bahwa kebahagian dapat di
capai dalam kehidupan di dunia ini,namun kebahagian tersebut berbeda di antara
manusia ,seperti orang miskin kebahagiaanya adalah kekayaan ,yang sakit
pada kesehatan dan lainnya.
D.
Hikmah
dan filsafat.
Miskawaih
membedakan pengertian antara hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah
(filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang
mampu membeda-bedakan (mumayyiz) segala yang ada (al-maujudat) sebagaimana
adanya. Dengan hikmah, seseorang mampu mengetahui perkara-perkara ilahiah
(ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan). Hasil dari pengetahuan,
seseorang mampu mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) untuk
membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.[50]
Sedangkan
mengenai filsafat, Miskawaih membagi filsafat menjadi dua bagian, yaitu bagian
teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang
digunakan untuk dapat mengetahui segala sesuatu sehingga pikirannya benar,
keyakinannya benar, dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian
praktis merupakan kesempuarnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat
melakukan perbuatan-perbuatan moral.
E.
Jiwa
dan roh
Jiwa yang
merupakan limpahan dari akal aktif bersifat rohani, sehingga tidak dapat diraba
menggunakan pancaindera. Jiwa bersifat rohani atau tidak bersifat material
dibuktikan oleh Miskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima
gambaran-gambaran tentang banyak hal yang berlawanan. Misalnya, jiwa dapat
menerima gambaran hitam-putih dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya
dapat menerima salah satu saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu,
baik yang inderawi maupun yang spiritual.[51]
Dalam
jiwa, terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan
inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang
benar dan yang tidak benar dari apa yang diperoleh pancaindera. Perbedaan itu
dilakukan dengan cara membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu
dengan yang lain, serta membedakannya. Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai
pembimbing pancaindera dan membetulkan kekeliruan-kekeliruan yang dialami
pancaindera
Dalam kitab
al-Fauz al-Ashghar, Miskawaih mengetengahkan uraian tentang sifat dasar
Neoplatonisme. Yang agak tidak lazim. Dia mengklaim bahwa para filsuf klasik
(filsuf Yunani) tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan, sehingga tidak
masalah jika mempertemukan pemikiran mereka dengan pemikiran Islam. Miskawaih
menyatukan antara pandangan bahwa Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan dengan
gagasan emanasi terputus Neoplatonisme.
Dia bahkan
mengklaim bahwa penyamaan Aristoteles mengenai Sang Pencipta dengan “Penggerak
yang Tidak Bergerak” (al-muharrik alladzi la ya-taharrak) merupakan argumen
kuat tentang Sang Pencipta yang dapat diterima agama.[52] Menurut De Boer, Miskawaih menyatakan bahwa
Tuhan adalah Zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas. Dikatakan jelas karena
Tuhan adalah Yang Hak (Benar), dan Yang Hak adalah terang. Dikatakan tidak
jelas karena kelemahan akal pikiran manusia untuk menangkap-Nya, karena banyak dinding-dinding
atau kendala kebendaan yang menutupi-Nya.[53]
F.
Kenabian.
Dalam hal
kenabian, tampaknya tidak ada perbedaan pendapat antara Miskawaih dengan
al-Farabi. Menurut Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh
hakikat-hakikat kebenaran karena pengaruh akal aktif pada daya imajinasinya.
Perbedaan antara Nabi dan para filsuf terletak pada cara memperolehnya. Para
filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas: dari daya inderawi, daya
khayal, daya pikir, sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat
kebenaran dari akal aktif. Sedangkan para Nabi memperoleh langsung dari akal
aktif sebagai rahmat Tuhan. Manusia membutuhkan Nabi untuk mengetahui hal-hal
yang bermanfaat yang dapat membawanya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
G.
Politik.
Mengutip
pendapat Azdsher, Miskawaih
mengatakan bahwa agama dan kerajaan bagai saudara kembar atau dua sisi dari
mata uang yang sama (two side or the same coin), yang tidak dapat sempurna
tanpa yang lain. Agama merupakan landasan dasar, kerajaan merupakan
pengawalnya. Segala sesuatu tanpa landasan dasar akan mudah hancur, dan segala
sesuatu tanpa pengawal akan sia-sia.
Miskawaih
menegaskan bahwa yang menjaga tegaknya syariat Islam adalah imam yang kekuasaannya
seperti kekuasaan raja. Tidak dikatakan raja jika tidak menjaga keselamatan
agama. Penguasa yang berpaling dari agama adalah penjajah (mutaghallib). Karena
seorang raja yang melampaui batas kewenangannya akan mengakibatkan kelemahan
dan kerusakan. Kedudukan agama menjadi goyah, akhirnya kebahagiaan yang
didambakan berbalik menjadi kesengsaraan, perselisihan, dan perpecahan. Jika
demikian, tibalah saatnya untuk diadakan perubahan pimpinan kerajaan, yaitu
imam yang sebenarnya dan raja yang adil.[54]
STUDY KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN IBNU
MISKAWAIH
1.
Kritik
terhadap emanasi.
Dalam
tradisi Neoplatonisme Islam, hasil-hasil emanasi ilahiah ini biasanya muncul
agak di bawah tingkatan wujud yang memberi kesan bahwa Miskawaih mempunyai
kesulitan memahami basis perbedaan antara penciptaan dan emanasi yang
sebenarnya. Ada alasan-alasan untuk menuduh Miskawaih tidak cukup berusaha
menggabungkan berbagai tesis metafisis yang digunakannya dalam sebuah argumen
yang memuaskan, tetapi lebih sekedar menggabungkan tesis-tesis tersebut dengan
cara sembarangan untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang tidak berhasil
mengangkat masalah-masalah penting yang muncul.
Ia sangat
peduli pada upaya menyelaraskan pandangan filosofis dengan pandangan religius
mengenai sifat dasar dunia sehingga ia tidak menemukan adanya masalah dalam
menyatukan pandangan bahwa Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan dengan
gagasan emanasi terputus Neoplatonisme. Tentu saja, sejumlah filsuf berpendapat
ada masalah disini.
2.
Kritik terhadap filsafat kenabian..
Dalam membicarakan hal kenabian, Maskawaih menyajikan banyak hal
yang sepintas lalu tidak lazim digolongkan sebagai topic kenabian. Ibnu
Maskawaih membicarakan masalah tingkatan-tingkatan wujud dalam alam dan
hubungannya satu sama lain. Dibicarakannya pula manusia yang merupakan
mikrokosmos dibandingkan dengan alam semesta yang merupakan mikrokosmos.
Dibicarakannya juga macam-macam kapasitas dan daya manusia yang mengalami
perkembangan panca indera meningkat menjadi kekuatan bersama seperti
perkembangan dari tingkat yang rendah kepaada tingkat yang lebih tinggi,
seperti perkembangan panca indera meningkat menjadi kekuatan bersama( common
sensibility) dan dari sini berkembang lagi kepada yang lebih tinggi atas rahmat
Allah. Kemudian dibicarakan pula perihal wahyu dan cara diperoleh juga tentang
akal yang diibaratkan sebagai raja yang ditaati sesuai pembawaannya, juga
tentang perbedaan antara nabi yang diutus dan nabi yang tidak diutus. Sedangkan
dalam pemikiran Al Farabi, filosof, kepala negara, raja, pembuat undang-undang,
dan imam adalah sama pengertiannya. Agar seseorang dapat mencapai martabat ini
disyaratkan kemampuannya mencapai tingkat akal mustafad, sehingga ia dapat
berhubungan dengan akal aktif(‘aql fa’al), yakni akal kesepuluh yang juga
disebut Jibril. Lewat akal ini, Allah menyampaikan wahyuNya kepada orang
tersebut. Artinya akal aktif meneruskan wahyu itu kepada akal pasif(‘aql
munfa’il) melalui akal mustafad dan selanjutnya kepada daya khayal(quwwah
mutakhayyilah). Wahyu yang melimpah kepada akal pasif, maka orangnya disebut
filosof, sedangkan yang melimpah kepada daya khayal, ia disebut Nabi. Filosof
tidak sejajar tingkatannya dengan Nabi, karena setiap Nabi adalah filosof dan
tidak setiap filosof adalah Nabi. Setiap Nabi memiliki keistimewaan yang
melebihi filosof. Demikianlah pemikiran Ibnu Maskawaih tentang hubungan agama
dengan falsafah yang jelas menunjukkan persamaan dengan apa yang telah
digariskan oleh al Farabi sebelumnya dan yang merupakan kecenderungan
kebanyakan para filosof Islam sebagai akibat dari kekagumannya terhadap
falsafah Yunani di satu pihak dan ajaran Islam di pihak lain.
KESIMPULAN YANG BISA DIPETIK
Filsafat emanasi miskawaih
menyebutkan bahwa manusia dari mineral lalu menjadi tumbuhan kurma lalu menajdi
binatang kera dan selanjtnya menajdi mansuia, hanya yang membedakan dengan
Darwin miskawaih ada unsur Allah di dalam setiap rangkaian itu.
DAFTAR PUSTAKA
Amsal Bakhtiar. 2008.
Filsafat Ilmu (edisi revisi). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Frondizi, Resieri.
2001. Pengantar Filsafat Nilai (Terjemahan oleh: Cuk Ananto Wijaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Gandhi, Teguh Wangsa.
2011. Filsafat Pendidikan: Madzab-Madzab Filsafat Pendidikan. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media.
Jalaluddin & Idi, Abdullah. 2007. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Knight, George R. 2007.
Filsafat Pendidikan (Terjemahan oleh: Mahmud Arif). Yogyakarta: Gama Media.
Muhmidayeli. 2011.
Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.
Muslih, Muhammad. 2005.
Filsafat Umum: Dalam Pemahaman Praktis. Yogyakarta: Belukar.
Salam, Burhanuddin . 2005.
Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.
Suhartono, Suparlan. 2007. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Supriyanto, S. 2003.
Filsafat Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat.
Universitas Airlangga. Surabaya.
Surajiyo . 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:
Bumi Aksara.
Knight, George R. 2007.
Filsafat Pendidikan (Terjemahan oleh: Mahmud Arif). Yogyakarta: Gama Media.
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu mengurai
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam,
Jakarta: UI Press 1986
Ali
Maksun. 2011.Pengantar Filsafat: dari masa klasik hingga postmodernis.
Jogjakarta: ar-ruzzi media cet. IV
Anas Salahudin. 2011. Filsafat Pendidikan.
Bandung : Pustaka Setia.
Djumransjah. 2006. Filsafat Pendidikan.
Malang:Bayu Media Publishing.
Kattsoff,Louis O.2004.Pengantar
Filsafat.Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya.
Praja,Juhaya
S.2003.Aliran-aliran Filsafat dan Etika.Jakarta:PRENADA MEDIA.
Uyoh
Sadulloh. 2012. Pengantar Filsafat Pendidikan.Bandung : Penerbit Alfabeta.
Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2009
Jujun
S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Persfektif, Sebuah Kumpulan Karangan tentang
Hakekat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987
[1]
Maksudnya, orang yang suka pada kebijaksanaan
sekaligus akan berusaha untuk berbuat bijaksana. Zulhelmi.,Filsafat Umum,
(Palembang:IAIN Raden Fatah Press, 2004), Hlm 1
[2] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam (Bandung: Mizan,
2001), h.1
[3]
Proses ini juga disebut Proses Demitologisasi, yaitu Jalan
yang mengarah dari mitos menuju ilmu, melalui sastra dan filsafat bisa disebut
demitologisasi. Hal ini terjadi karena penjelasan mengenai mitos makin lama
makin tidak memuaskan manusia. Manusia terus menerus mencari penjelasan untuk
mengubahnya menjadi ungkapan kebenaran yang lebih pasti. Mitos yang bertetangan
dengan mitos lainnya, nalar cerita tidak bersambung, serta bertentangan dengan
indera mulai serius untuk diteliti, mencermati, dan mengobservasi dunia. Lihat masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat (Jogjakarta
: IRCiSoD, 2013).
[4]
Menurut Dra. Nur’aini ahmad M, fill dalam penjelasan dan kuliahnya
tanggal Selasa, 6 Maret 2018 diruangan 3.19 bahwa sejarah timbulnya filsafat
ini adalah factor mitos yang berkuasa saat itu dimana setiap cerita orang
percaya-percaya saja dengan cerita itu tanpa membantah mengkritik dan lain
sebagainya. Mitos legenda itu turun temurun diceritakan, sebagai contoh “diindonesia
mengapa badai? Nyi roro kidul sedang marah sama kita. Mitos yang lain yaitu missal orang Hamil
dilarang duduk di depan pintu nanti akan suisah melahirkan” orang lalu
menerima saja pernyataan itu tanpa mau berfikir lagi dan mempertanyakan kembali
kebenaran cerita itu. Lalu dari MItos ini lahirlah Logos, orang mulai bertanya
dan menggunakan logikanya (berfikir) dan
mulai bertanya segala-galanya. Dan yang ditanyakn pertama itu yaitu tentang Prima
kausa, Dasar yang pertama itu apa?
1.
Thales
(6250-545 SM), seorang sejarawan abad ke-5 SM.
mengatakan bahwa yang awal itu adalah Air, mengapa berpendapat
seperti ini? Karena dia seorang sodagar
dan ia melihat bahwa air lebih bnayak dari daratan.
2.
Anaximandros (640-546 SM), Anaximander mencoba menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal
dan ada dengan sendirinya (Mayer,1950:19).anaximander menagatakan itu udara. Udara
merupakan segala sumber kehidupan , demikian alasannya.
3.
Anaxagoras (±499-20 SM ) mengatakan bahwa asal segala sesuatu ini dari atom.
4.
Empedocles
(492-432 SM) lahir di Acragas, di pesisir selatan sisilia. Mengatakan bahwa
asal usul kehidupan itu terbentuk dari empat anasir yaitu air, udara, api dan
tanah.
5. Anaximander
(610-546 SM) adalah murid thales serta tokoh kedua Mdzhab Milesian. Segala
sesuatu berasal dari subtansi yang asali, tapi bukan air melain kan “tak
terbatas” abadi dan tak mengenal usia serta melingkupi seluruh dunia.
6. Plotinus
(mesir) asal dari segala sesuatu ini adalah dari The One.
7. Lalu
ada yang mengatakan bahwa yang asal itu dari api => asap => embun =>
uwap => air => ikan => monyet => manusia.
8. Lada
mengatakan juga dari tanah dll.
[5] Ahmad
tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990) hal. 8
[6] Dedi Suriyadi, Pengantar Filsafat
Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2009, Hal. 35.
[7] Nama lengkap Abdul Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Ash-shabah bin
‘Imran bin Isma’il bin Muhammad bin Al-Asy’ats bin Qa’is al-kindi.
[8] Sirajuddin, Filsafat Islam (Jakrta: PT Raja Grafindo Persada,
2004), 37.
[9] Muhammad Ali Abu Rayyan, Tarikh al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam
(Iskandariya: Dar alMa’rifat al-Jamiah, 1996), h. 316.
[10]
Muhammad Abdul Hadi Abu Zaidah,Rasāil al-Kindī al-Falsafiyah,(Dar
al-Fikr al-‘Arabiy, 1369 H/1950 M), p. 97
[11] Ibid, p. 98
[12]
MM Syarif (ed),Para Filosof Muslim, (Bandung:
Mizan,1993), p. 17 baca juga Muhammad Abdul Hadi Abu Zaidah, Rasa’il
al-Kindi al-Falsafiyah, (Darul Fikr al-‘Arabiy, 1369/1950
[13] Dedi Supriyadi,Pengantar Filsafat Islam;Konsep Filsuf dan
Ajarannya, p. 63
[14] Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi,Atlas
Budaya Menjelajah Khasanah Peradaban Gemilang Islam.terj. oleh
Ilyas Hasan,(Bandung: Mizan, 2003), p. 337
[15][15] Ini merupakan pendapat yang berbeda dengan filusuf yunani yaitu
aristoteles yang mengatkan bahwa tuhan adalah penggerak pertama. Al-kindi lebih
dekat dengan falsafat Plotinus yang mengatakan bahwa yang mahasatu adalah
sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi
dari yang maha satu. Lihat, Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam
(Jakarta: Bulan BIntang, 1996), 77.
[16]
Seyyed Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam
(ed), (Bangung: Mizan,2003), p.210
[17]
Ibid
[18] Sirazuddin zar, Filsafat Islam: Filosof dan filsafatnya
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) 44-47.
[19] Ibid, 51
[20]
Ini merupakan hasil kajian ulang yang dilakukan oleh Al-Kindi
terhadap filsafat aristoteles yang mengtakan bahwa alam ini qadim.
[21] Op. Cit., sirajuddin zar, h. 59.
[22]
Dalam penejalasan Dra. Nura’ani ahmad, M.fil hari selasa tanggal 27
febuari 2018 Dalam ruangan 3.19 bahwa plato bertanya yang ada ini berasal dari
mana? Alam idea, jauh disana, ada yang bilang bayangan-bayangan. Bayangan
adakah? Ada, ruh adakah? Ada, ini dianbil islam, pada plato semua pada idea
jauh disana. Dalam islam berasal dari mana? Dari allah, islam menganmbil ide
plato. Idea menurut Al-Farabi adalah Alah. Palto kembali pada idea, sedangkan
kita kembali kepada Allah. Jiwa atau ruh bagi palto selama ruh dalam tubuh,
ibarat burung dalam sangkar, maka sebelum meninggal maka sucikan dulu, ini
ajaran dari gurunya Socrates, dan dalam islam ini dinamkan dengan Tazkiyatunnafs.
[23]
Mengenai akal,
al-Kindi juga berbeda pendapat dengan Aristoteles. Aristoteles membedakan akal
menjadi dua macam, yaitu akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin menerima
pikiran, sedangkan akal agen menghasilkan objek-objek pemikiran. Akal agen ini
dilukiskan oleh Aristoteles sebagai tersendiri, tak bercampur, selalu aktual,
kekal, dan takkan rusak. Lihat, M.M.
Syarif, dkk, History of Muslim Philosophy …, hlm. 26-27.
[24]
Ini
pernah juga disampaikan oleh Dra. Nur’aini ahmad, M. fill dalam kuliahnya hari
selasa tanggal 6 Maret 2018 di ruangan 3.19
[25]
Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat
pengetahuan Islam, Jakarta : UI Press, Cet ke 1, 1985, ha 46
[26] Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat
pengetahuan Islam, Jakarta : UI Press, Cet ke 1, 1985, ha 46
[27]
Drs.Atang Abd Hakim dan Dr.Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam,
Bandung : PT Remaja Rosdakarya, Cet ke 3, 2000, hal 111
[28] Hasyim Syah mengutip Ibnu Muhammad Zakariya Ar Razi dalam bukunya
Al Thib al Ruhani al Latif al Ghai
[29] HasyimSyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama
, 1999, Hal 26
[30] Yusril
Ali, Perkembangan pemikiran Filsafat dalam Islam, Jakarta : Bumi aksara, cet
ke-1, hal 38
[31]
Op., Cit., Sirajuddin zar, 121-122. Namun menurut Bpk. Jefri
(sekertaris Ibu Dra. Nur’aini) hari selasa, 20 Maret 2018, ruangan 3.19
Mengatakan Jangan-jangan kita keliru referensi, karena yang kit abaca ini
adalah terjemahan, kita belum lihat dan baca karya aslinya beliau bagaimana.
Karena setiap orang perspektifnya berbeda ada yang lihat sisi buruknya da nada
yang melihatnya di sisi baiknya saja. Karena orang akan dipengaruhi oleh social
kultural dan politik pada saat itu,
sebagai contoh imam syafi’I di irak menulis al-umm tapi ke mesir mengkaji
al-umm jadi qaul qadim dan qaul jaded. Social kultur sangat berpengaruh pada
pola [piker seseorang. Kita lihat ar-razi di jaman apa? Kultur gimana? Masih
relevan nggak dengan zaman sekarang?
[32]
Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ... , hlm.24-25
[34] Mustofa,
Filsafat Islam (Bandung: CV Pustaka setia, 2007) h. 116.
[35]
Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, Cet. Ke-1, (Bandung:
Rosdakarya, 1988), hlm.133
[36] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan
pemikiran, (Jakarta: UI Perss, 1993), hlm.49
[37]
Dalam penjelasan Dra. Nur’ani, M. fill hari selasa tanggal 27
febuari 2018 dalam ruangan 3.19 memberikan penjelasan bahwa teori emanasi ini
teori pemancaran. Dan muncul pertanyaan apakah emanasi ini diciptakan langsung
atau tidak? Melalui emanasi ini yaitu pelimpahan dari sesuatu ini. Muncul lagi
pertanyaan apakah tuhan mengetahui secara Holistik atau secara partikal? Dari
pelimpahan maka tuhan
hanya mengetahui secara partikal saja,
tidak menyeluruh dan inilah yang di kafirkan oleh Al-Ghazali karena ini
membatasi ilmu Allah.
[38]
Menurut Dra. Nur’ani Ahmad, M. fill dalam kuliahnya hari selasa
tanggal 10 April 2018 diruangan 3.14 mengatakan bahwa dalam proses emanasi ini
ada wajibul wujud dan ada mumkinul wujud dan wajibul wujud ini ada dua yaitu
ada yang Lidzati dan ada yang ligairihi. Yang lidzati (yang mesti ada dan dan
mesti mesti selamanya ada karena dirinya sendiri) dan ini adalah Allah SWT.
Sedangkan yang wajibul wujud ligairihi (yang mesti ada karena yang lain)
maksuda dari wajibul wujud ligairihi disini yaitu dimana adanya manusia
mewajibkan adanya Allah, karena tidak mungkin manuisa ini jadi karena illatnya
sendiri tentu ada yang menciptakan, karena adanya ciptaan mengharuskan adanya
pencipta. Lalu, mumkinul wujud yaitu yang mungkin ada dan mungkin tidak ada
adanya kita diadakan sasma yang lain, jadi kita boleh ada dan boleh tidak ada
artinya mungkin ada dan mungkin tidak ada.
[39] Sudarsono.
Filsafat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2004. Hlm. 38.
[40]
Pernyataannya ini terinsiprasi dari teori emanasi yang dia
kemukakan bahwa emanasi itu secara pancaran bukan secara Cite (langsung) maka tuhan
ahnay mengetahui secara juz’i/partikal/sebagian, bukan secara
kulli/holistic/menyeluruh.
[41] Ibrahim Madkûr, Fī Al-Falsafah al-Islâmiah Manhaj wa Taţbiquh,
diterjemahkan oleh Yulian Wahyudi Asmin & A. Hakim Mudzakir dengan judul Falsafat
Islam, Metode dan Penerapan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Pers, 1993),
h.227
[42]
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,
(Jakarta: Bulan bintang, 1992), h.29
[43] M. M. Syarif, History of Muslim Philisophy, penyunting
Ilyas Hasan, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1994), h.70
[44] Harun Nasution, op. cit., h. 30
[45] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990), lihat Harun Nasution, loc. cit.
[46] Taufiq
Abdullah (et al), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradaban jilid
IV, (Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 192
[47]
Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2009). Hal. 127.
[48]
Ahmad
Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hal. 56.
[49] Menurut Dra. Nur’aini ahmad, M.fil menjelaskan beberapa akla dalam
kuliahnya hari selasa tanggal 10 April 2018 di ruangan 3.14 sebagai berikut:
1.
Akal
potensil, seperti buah dalam buah ada isi yang lama-lama tumbuh dan ini diberi
oleh Allah.
2.
Akal
actual, seperti buah al-pukat, tumbuh menjadi buah al-pukat juga jadi yang tadi
potensil menjadi pohon dan bebruah kembali, jadi ketika tumbuh itu yang actual,
kalo al-pukat tidak tumbuh ya potensil, perlu untuk ditumbuhkan? Perlu maka
sediakan tanah yang subur agra ia tumbuh.
3.
Akal
aktif,
[50] Mustofa, H. A., 2009, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka
Setia), hlm. 169
[51] Mustofa, Ibid, hlm. 172-173.
[52] Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung:
CV Pustaka Setia), hlm. 113.
[53] Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung:
CV Pustaka Setia), hlm. 130.
[54] mustofa 186
Tidak ada komentar:
Posting Komentar