Jumat, 27 April 2018

STUDI KRITIS PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI, AL-FARABI, AR-RAZI & IBNU MISKAWAIH

STUDI KRITIS
PEMIKIRAN FILSAFAT  AL-KINDI, AL-FARABI, AR-RAZI & IBNU MISKAWAIH
OLEH: SYAHRUL RAMADHAN MZ
SEJARAH TIMBULNYA FILSAFAT DAN RUANG LINGKUP SERTA PENGARUH FILSAFAT YUNANI TERHADAP FILSAFAT ISLAM.
A.    Sejarah Timbulnya Filsafat.
Secara Etimologis, filsafat merupakan terjemahan dari Philolophy (Bahasa Inggris) atau Philosophia dari bahasa Yunani. Kata tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu Philo dan Shopia. Philo yang berarti suka atau cinta, dan Shopia berarti kebijaksanaan. Jadi, Philoshopia berarti suka atau cinta pada kebijaksanaan.[1]
Filsafat lahir pada abad ke-6 SM dengan tokoh pertama Thales. [2]Apa penyebab timbulnya filsafat? Ada beberapa pendapat mengatakan bahwa sejarah timbulnya filsafat diantaranya:
1.      Pertentangan antara mitos dan logos
Dikalangan masyarakat Yunani dikenal dengan adanya mitos, sebagai suatu keyakinan lama yang berkembang dengan pesat misalnya mite kosmologi yang melukiskan kejadian alam. Lama-lama mitos hilang dikalahkan oleh logos,[3] maka logos penyebab pertama lahirnya filsafat.[4]
2.      Rasa ingin tahu
Karena mite hanya bersifat dongeng belaka, maka orang mulai berpikir rasional, untuk mencari jawaban-jawaban yang logis. Keingintahuan terhadap alam semesta, keingintahuan terhadap penciptanya, dsb.
3.      Rasa kagum
Menurut Plato, filsafat lahir adanya kekaguman manusia tentang dunia dan lingkungannya. Para filsuf atas kekagumannya mencoba merumuskan asal mula dan alam semesta. Thales bapak filsafat Yunani, mengatakan alam semesta berasal dari air. Anaximandros, mengatakan bahwa alam berasal dari apairon atau api. Democrios, mengatakan bahwa alam berasal dari atom. Empodokles, mengatakan bahwa alam berasal dari empat unsur yaitu: air, api, angin, dan tanah.
4.      Perkembangan kesusastraan
a.       Skeptisis
Skeptisis adalah keraguan terhadap suatu kebenaran sebelum mendapat argument yang kuat terhadap kebenaran tersebut. Dikelompokkan : bersifat gradasi dari ragu ke yakin, bersifat degradasi dari yakin ke ragu, bertahan sophisme terus menerus ragu, sifat gradasi diungkapkan oleh Rene Decartes Filsuf Prancis catigo ergo sum ( saya berpikir maka saya ada)
b.      Komunalisme
Hasil pemikiran filsafat dimiliki masyarakat umum tidak memandang ras, kelas, ekonomi dan keyakinan. Misalnya hasil pemikiran Yunani bermanfaat untuk orang Eropa, Asia, Afrika dsb.
c.       Disinterestedness
Disenterestednes berasal dari kata interest yaitu suatu kegiatan filsafat yang tidak dimotivasi untuk suatu kepentingan tertentu.
d.      Universalisme
Filsafat bersifat umum, berarti filsafat adalah hak seluruh umat manusia secara umum atau sifatnya internasional. Semua umat manusia berhak mengadakan kajian filsafat.
5.      Pengaruh ilmu pengetahuan.
Pengaruh ilmu pengetahuan dari bangsa lain dalam menerima beberapa unsur ilmu pengetahuan juga merupukan faktor lainnya. Seperti ilmu ukur dan ilmu hitung sebagaian besar dari Mesir. Pengaruh Babilonia dalam perkembangan ilmu astronomi di negeri Yunani. Pada bangsa Yunanilah didapatkan ilmu pengetahuan yang bercorak dan sungguh-sungguh ilmiah.
Dalam banyak literatur filsafat mutakhir, klasifikasi tahap sejarah filsafat Barat dibagi menjadi empat tahap penting, yaitu Filsafat Klasik, Abad Pertengahan, Modern, dan Kontemporer. Filsafat klasik ada dua yaitu masa Socrates dan masa keemasan.
B.     Objek kajian Filsafat.
Objek filsafat ada dua yaitu:
1.      Objek material, yaitu semua yang ada, yang garis besarnya dapat di bagi atas tiga persoalan pokok:
a.       Hakekat tuhan
b.      Hakekat Alam
c.       Hakekat manusia.
2.      Objek formal filsafat ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya sampai ke akarnya) tentang objek materi filsafat.[5]
C.     Pengaruh filsafat yunani terhadap filsafat islam.
Untuk mengetahui ini, saya menggunakan dua kajian yaitu kajian secara historis dan kajian secara doktrin.
1.      Kajian Historis.
Dilihat dari aspek sejarah, kelahiran ilmu filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik islam.
Usaha ini melahirkan sejumlah filsuf besar muslim. Dunia Islam belahan timur yang berpusat di Bagdad, Irak lebih dahulu melahirkan filsuf muslim daripada dunia Islam belahan barat yang berpusat di Cordoba, Spanyol.
Memperkuat pernyataan di atas, Ahmad Salabi dan Louis Ma’luf menguraikan bahwa swjarah kebudayaan Islam mencatat, ilmu filsafat tidak diketahui oleh orang-orang Islam, kecuali setelah masa daulah Abbasiah pertama (132-232 H/750-847 M). ilmu ini ditransfer kedunia Islam melalui penerjemahan dari buku-buku filsafat Yunani yang telah tersebar di daerah-daerah Laut Puith seperti ; Iskandariah, Anthakiah, dan Harran. Terlebih pada masa Al-makmun yang dikenal sangat tertarik pada kemerdekaan berfikir, yang berkuasa antara 198-218 H/813-833 M dan mengadakan hubungan kenegaraan dengan raja-raja Romawi Byzantium yang beribukota di konstantinopel, yang juga dikenal sebagai kota “Al-Hikmah”, pusat ilmu filsafat.
Para cendikiawan ketika itu berusaha memasukan filsafat Yunani sebagai bagian dari metodologi dalam menjelaskan Islam terutam aqidah, untuk memelihara peluasan antara wahyu dan akal.
Tentu saja aktivitas para filsuf Muslim diatas bersentuhan dngan penafsiran Al-qur’an. Al-Qur’an secara filosofis besar sekali. Al-kindi misalnya, yang dikenal sebagai bapak filsuf Arab dan Muslim, berpendapat bahwa untuk memahamo al_qur’an denganbenar, isinya harus di tafsirkan secara Rasional, bahkan filosofis. Al-Kindi berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan makna yang lebih dalam dibalik terbit-tenggelamnya matahari, berkembang-menyudutnya bulan, pasang surutnya air laut dan seterusnya. Ajakan ini merupakan seruan untuk berfilsafat. Seperti halnya Al-Kindi, Ibn Rusyd pun berpendapat demikian. Lebih jauh Ibn Rusyd nmenyatakan bahwa tujuan dasar filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar.
Dalam hal ini fislafat sesuai dengan agama sebab tujuan agama pun tidak lain adalah menjamin pengetahuan yang benar bagi umat Manusia dan menunjukkan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis.
2.      Kajian Doktrin.
Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetaoi juga dalam perekembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam itu sendiri. Hanya yang menjadi masalah di sini adalah apakah penggunaan akal, seperti yang munculdalam istilah Islam rasionalis atau rasionalis dalam Islam itu percaya kepada rasio semata-mata dan tidak mengindahkan wahyu? Atau membuat akal lebih tinggi daripada wahyu sehingga wahyu dapat dibatalkan oleh akal? Dalam pemikira Islam , baik dalam filsafat atau ilmu kalam, apalagi dalam bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu dan sekali-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan member interpretasi.
Menurut Harun Nasution, yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, baik oleh kaum Mutazilah maupun oleh kaum filsuf Islam. Yang dipertentangkan hanyalah penafsiran dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain tentang penafisran wahyu. Dengan kata ijtihad ulama yang satu dengan yang lain.
Dalam ajaran islam, pemakaian akal memang tidak diberi kebebasan mutlak sehingga pemikir islam dapat melanggar garis-garis yang telah ditentukan oleh Quran dan hadits, tetapi tidak pula diikat dengat ketat. Perlu ditegaskan di sini bahwa pemakaian akal yang diperintahkan Al-Quran, seperti yang terdapat dalam ayat-ayat kauniyah, mendorong manusia untuk meneliti alam-alam sekitarnya, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Penggunaan akal yang maksimal dalam rangka memahami hakikat wujud atas sesuatu itulah sesungguhnya dunia filsafat. Namun demikian, peranan akal yang maksimal dalam pembahsan masalah-masalah keagamaan islam itu dijumpai bukan hanya dalam filsafat, tetapijuga dalam bidang teologi, dan bahkan dalam fiqih dan tafsir Al-Quran sendiri. Hanya saja perbedaan jika dalam bidang fiqih dan teologi, akal banyak dipakai dalam memahami teks-teks keagamaan dalam Al-Quran dan hadits, sedangkan dalam filsafat islam, sebagai bentuk pemikiran yang sedalam-dalamnya, tentang wujud akal yang banyak dipakai dan berguna pemakaiannya dalam ilmu fiqih dan teologi.[6]


KESIMPULAN YANG BISA DIPETIK.

1.      Filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan atau berusaha mencari kebenaran.
2.      Penyebab timbulnya filsafat adalah:
a.       Dari mitos yang kemudian menjadi Logos
b.      Rasa ingin tahu, sehingga memicu manusia untuk mencari tahu dan untuk mencari tahu menggunakan akal, maka mulailah akal digunakan.
c.       Rasa kagum, dimana melihat keindahan alam dan lingkungan.
d.      Kesusasteraaan.
e.       Pengaruh ilmu pengetahuan, terutama ilmu dari mesir dan peninggalan babiolonia terutama astronomi.
3.      Filsafat lahir pada abad 6 SM dengan tokoh pertama yaitu Thales.
4.      Objek filsafat ada dua yaitu:
a.       Objek materi
b.      Objek formal.
5.      Pengaruh filsafat yunani terhadap filsafat islam, dapat dilihat dari dua kajian.
a.       Kajian historis, dimana ini ditelusuri masuknya filsafat kedalam islam yaitu dari penerjemahan naskah-naskah yunani kedalam bahasa arab. Dari penerjemahan ini lahirlah pemikiran-pemikiran seperti Emanasi Al-farabi yang merupakan pemikiran awal dari Neoplatinus monistik tentang emanasi begitupun ibnu sina dan seterusnya.
b.      Kajian doktrin, dimana ajaran filsafat yang menggunakan akal sangat mempengaruhi pemikiran filusuf muslim sehingga ada yang lebih mementingkan rasio saja dan ada yang hanya percaya pada wahyu saja. Sebagai contoh pengaruh doktrin ini yaitu kaum teolog seperti Mu’tazilah yang mendewakan akal, lalu Pahama Qadariah (free will/free act bahwa manusia mempunyai kebebasan bertindak) dan paham Jabariyah (manusia itu dipaksa).























PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI
A.    Biografi Al-Kindi.
Al-kindi[7] dilahirkan di Kuffah sekitar tahun 185 H/801 M, dari kabilah kinda, kakeknya  seorang sabahat rasulullah saw. Bernama Al-Asy’asy ibnu Qais yang gugur sebagai syuhada dalam peperangan antara kaum muslimin dengan Persia di irak.[8] Al-Kindi adalah seorang filosof Islam yang pertama merintis usaha untuk mempertemukan agama dan filsafat yang didasarkan atas ketentuan dan dalil-dalil pikiran. Menurutnya filsafat adalah pengetahuan yang benar, al-Quran juga membawa argumen-argumen yang meyakinkan dan benar dan tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat.[9] Sementara filusuf yunani tidak menemukan adanya titik temu Antara filsafat dan Agama.
Al-kindi digelari dengan failasuf al-arab (filosof berkebangsaan arab).  Dan al-kindi meninggal tahun 252 H atau 260 H.
B.     Harmonisasi (perpaduan) Antara Filsafat dan Agama.
Menurut al-Kindī filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth). Konsepsi filsafat al-Kindī secara umum memusatkan pada penjelasan tentang metafisika dan studi tentang kebenaran. Pencapaian kebenaran menurut al-Kindī adalah dengan filsafat. Oleh sebab itu, ilmu filsafat menurut al-Kindī adalah ilmu yang paling mulya. Ia mengatakan:”Sesunggunghnya ilmu manusia yang derajatnya paling mulya adalah ilmu filosof. Dengan ilmu ini hakikat ilmu didefinisikan, dan tujuan filosof memperlajari filsafat adalah mengetahui Al-Haq (Allah)[10]. Sedangkan ilmu filsafat yang paling mulya dan paling tinggi derajatnya adalah Filsafat yang Pertama (Falsafah al-‘Ūlā). Yakni ilmu tentang al-Haq al Ūlā yang menjadi Sebab segala sesuatu (‘illah kulli syai’) yang tidak lain adalah Tuhan Allah SWT.[11]
Pada asas pokok filsafatnya ini, al-Kindī mempertemukan dengan agama. Dalam arti, bahwa tujuan filsafatnya dan tujuan pokok agama adalah sama, yakni keduanya adalah ilmu dalam rangka mencapai kepada yang benar. Kejelasan hubungan antar keduanya dapat dilihat dari penjelasan al-Kindī, bahwa dasar antar filsafat dan agama memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut terdapat dalam empat hal; pertama, ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian, ketiga, menurut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama dan keempat, teologi adalah bagian dari filsafat dan umat Islam wajib belajar teologi juga filsafat.[12]
Bagi al-Kindī, filsafat Islam didasarkan kepada al-Qur’ān. Al-Qur’ān memberikan pemecahan-pemecahan atas masalah yang hakiki, misalnya tentang teori penciptaan, hari kebangkitan, kiamat dsb. Hal tersebut menurut al-Kindī sangat meyakinkan, jelas dan menyeluruh, sehingga al-Qur’ān telah mengungguli dalih-dalih para filsuf.[13]
Dengan pemikirannya tersebut, ilmu filsafat oleh al-Kindī ditempatkan sebagai bagian dari budaya Islam. Meskipun dalam beberapa teoritik, ia mengadopasi dari Aristoteles Neo-Platonis, akan tetapi gagasan-gagasannya dari mengintegrasikan filsafat dan agama itu menghasilkan gagasan baru. Tampak sekali, ia berusahan mendamaikan antara warisan Yunani yang tidak bertentangan dengan syari’at dengan agama Islam, dengan asas-asas yang berdasarkan metafisik, bukan fisik belaka. Ia menggunakan istilah-istilah filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dia dikenal orang yang pertama menyususn kosa kata Arab untuk istilah-istilah filsafat dan menetapkan definisi berbagai kategori. Untuk tujuan ini dia menulis sebuah buku Risālah fī Hudūd al-Asyyā wa Rusūmihā.[14]
C.     Konsep ketuhanan Al-Kindi.
1.      Konsep Tauhid Allah.
Tuhan menurut Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama.[15] Tuhan itu Esa, Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Pembahasan utama filasfatnya adalah tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya, adalah menyelidiki kebenaran, maka filafat pertamanya adalah pengetahuan tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal), Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan demikian corak filsafat al-Kindī adalah teistik, semua kajian tentang teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik. Untuk itu, sebelum memulai kajian tentang teori filsafat, ia membahas filsafat metafisika, dan konsep Tuhan.[16]
Argumentasi kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran al-Kindī dalam menjelaskan ketuhanan. Bagi al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak. Alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan. Teologi filsafat al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan harus ada yang Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini.[17]
Tuhan dalam filsafat al-kindi tidak memiliki arti aniah dan mahiah, aniah artinya bukan termasuk dalam alam ini, mahia artinya tidak merupakan genus dan spesies.[18]
Dalam pandangan mengenai tuhan ini, al-kindi lebih mengesakan Allah dari pada kaum mu’tazilah, Al-kindi memiliki kemiripan dengan mu’tazilah yaitu menafikkan sifat dari dzat Allah. Namun, mu’tazilah menyatakan bahwa allah mengetahui dengan ilmunya dan ilmunya adalah zatnya, bagi al-kindi Allah tidak terbagi.[19] Penidian sifat bagi mu’tazilah berarti Allah mempunyai hakikat, sedangkan bagi al-kindi Allah tidak punya hakikat.
2.      Pembuktian adanya Allah.
Untuk membuktikan adanya allah ini Al-indi mengajukan tiga Argumen, yaitu:
a.       Baharunya Alam, apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya? Tidak mungkin, karena alam ini mempunyai permulaan waktu dan setiap yang mempunyai permulaan akan berkesudahan (Mutanahi).
b.      Keberagaman dalam wujud, terjadinya keaneka ragaman dan keseragaman ini bukan secara kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan dan merancangnya. Sebagai penyebabnya mustahil alam itu sendiri, dan jika alam menjadi sebab (illat)-nya akan terjadi tasalsul (rangkaian) yang tidak habis-habisnya.
c.       Kerapian alam, alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali begitu saja tanpa ada yang mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendaliannya tentu yang berada diluar alam dan tidak sama dengan alam.
D.    Filsafat Alam.
1.      Bantahan terhadap filsafat yunani (aristoteles) yang mengatakan bahwa alam ini qodim (tidak berawal).
Pemikiran filsafat Al-kindi tentang Alam berbeda dengan filusuf yunani yang mengatakan bahwa Alam ini Qadim sebagaimana ddikemukakan oleh Aristoteles bahwa alam ini tidak berawal artinya dia qadim. Tapi, bagi al-kindi alam ini adalah baharu dan untuk membuktikan baharunya alam ini Al-kindi mengemukakan argument:
Gerak, zaman dan benda. Benda untuk menjadi ada harus ada gerak. Masa gerak menunjukan adanya zaman. Adanya gerak tentu mengharuskan adanya benda, muistahil kiranya ada gerak tanpa ada benda. Pada sisi lain, benda mempunyai tiga dimensi, yaitu panjang, lebar, tinggi. Ketiga dimensi ini membuktikan bahwa benda tersusun dan setiap yang tersusun tidak dapat di katakan qadim.[20]
2.      Bantahan terhadap filsafat aristoteles yang mengatakan bahwa alam ini tidak terbatas.
Al-kindi mengemukakan bahwa jika alam ini tidak terbatas, lalu dianbil sebagian, maka yang tinggal apakah terbatas ataukah tidak terbatas? Jika yang tinggal terbatas bila ditambahkan kembali kepada bagian yang di pisahkan maka hasilnya tentu terbatas pula dan inilah yang benar. Tetapi bertentangan dengan pengandaian semula bahwa alam ini sebelum dibagi atau dianbil sebagiannya tidak terbatas. Jadi, hasil dari penambahannya menjadi terbatas dan tidak terbatas, maka berarti benda sama besar dengan bagiannya hal ini adalah kontradiksi dan tidak bias diterima. Atas dasar ini al-kindi berkesimpulan bahwa alam semesta ini pastilah terbatas dan ia menolak pandangan aristoteles yang mengatakan alam ini tidak terbatas.
E.     Filsafat Jiwa.
1.      Penolakan terhadap filsafat jiwa aristoteles.
Al-kindi menolak pendapat aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa mansuia sebagai benda-benda, terususun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi ialah badan dan bentuk jiwa mansuia. Hubungan jiwa dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi.[21]
Dalam hal ini, pendapat Al-Kindi lebih dekat pada pendapat plato yang mengatakan bahwa kesatuan anatar jiwa dan badan adalah kesatuan accident, binasnaya badan tidak membawa bisanasa pada jiwa. Namun ia, tidak menerima pendapat plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam idea.[22]
2.      Jiwa menurut Al-kindi
Jiwa mempunyai wujud sendiri, terpisah dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat ruhani dan ilahi. Sementara itu, jisim mempunyai hawa nafsu dan marah. Dalam jiwa mansuia itu ada tiga daya, yaitu:
a.       Daya bernafsu (Al-Quwwat al-syahwaniyyat) yang terdapat diperut. Daya bernafsu pada mansuia hidup seperti dengan babi.
b.      Daya marah (al-Quwwat al-ghadabiyyat) yang terdapat di dada sama bersifat dengan anjing.
c.       Daya piker (al-Quwwatal-‘aqliyyat) yang berpusat di kepala daya berpikir seperti malaikat.
F.      Filsafat Akal.
Akal menurut al-Kindi terbagi menjadi empat:
a.       Akal aktualis, akal pertama ini berada diluar jiwa mansuia dan bersifat ilahi dan selamanya dalam aktualis, dan akal inilah yang membuat akal yang bersifat potensi dalam jiwa menjadi actual.
b.      Akal potensial yakni akal murni yang ada dalam diri mansuia yang masih merupakan potensi.
c.       Akal perolehan, ini adalah akal yang keluar dari potensialitas kedalam aktualitas, akal ini diperoleh dengan belajar, mislanya bagaimana cara menulis.
d.      Akal actual nyata, akal dalam bentuk ini diibaratkan proses menulis kalau seorang bersungguh-sungguh untuk menulis.[23]
G.    Filsafat Moral.
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates. Dalam kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata Negara.

STUDY KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN AL-KINDI
Sejarah filsafat yang berkembang di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari perkembangan aliran kalam di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada masa ke khilafahan Abbasiyah. Al-Kindi merupakan filosof muslim yang hidup pada zaman khalifah Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasim, dimana pemikiran Mu’tazilah berkembang secara pesat waktu itu. Sehingga amat wajar jika pemikiran Al-Kindi merupakan kelanjutan dari cara berfikir dari rumusan logika yang merupakan pengaruh filsafat yunani dalam metode berfikir. Namun al-Kindi telah memfokuskan kajiannya lebih mengarah pada filsafat daripada sekedar masalah teologis sebagaimana gagasan para ulama mutakallimin. Oleh karena itu ia disebut sebagai filosof pertama di dunia Islam yang membuka jalan atas derasnya pengaruh-pengaruh filsafat Yunani memasuki pemikiran para pemikir muslim kala itu. Namun pada bagian ini penulis hanya membatasi kajian mengenai pemikiran Al-Kindi seputar masalah ketuhanan, disebabkan topik yang menjadi titik tekan adalah menyangkut masalah pemikiran Islam. Jika kita mencermati pemikiran Al-Kindi mengenai keberadaan Tuhan maka kesimpulannya tidak jauh beda dari apa yang digagas oleh ulama mutakallimin. Ia masih membuktikan keberadaan Tuhan melalui metode pengamatan yang bersifat inderawi yaitu dengan baharunya alam dan keteraturannya. Namun pada argumentasi mengenai ke anekaragaman alam untuk membuktikan keberadaan Tuhan sangat nampak pemanfaatan logika mantiknya. Misalnya dengan proposisi bahwa : Sang khalik adalah zat yang tidak sama dengan makhluknya, sedangkan alam semesta yang sifatnya beraneka ragam adalah makhluk. Dengan demikian Tuhan tidak mungkin beraneka ragam sebagaimana makhluknya. Berdasarkan logika mantik tersebut Al-Kindi menyusun argumentasinya bahwa keanekaragaman mesti selalu ada bersama keseragaman, dan itu tidak mungkin terjadi karena kebetulan namun karena sebab lain. Sebab lain itulah yang ia maksud adalah Tuhan. Sesungguhnya akal pikiran manusia hanya bisa berfungsi melaui metode pengamatan terhadap fakta-fakta yang terindera ataupun melalui informasi akurat yang menjamin kepastiannya. Pada hal-hal yang tidak dapat di amati secara inderawi maupun tidak ada informasi pasti yang membicakannya maka hal yang demikian merupakan diluar jangkauan akal. Apa yang di gagas tentang keberadaan Tuhan oleh al-Kindi dengan bukti baharunya alam memang merupakan hal yang dapat dijangkau oleh setiap manusia. Sebagaimana argumentasi orang-orang arab bahwa tidak akan ada kotoran unta jika tidak ada untanya. Namun ketika ia melampaui batas jangkauan akal dengan mencoba membahas subtansi zat Tuhan bahwa Tuhan tidak berubah ataupun tidak bergerak dengan alasan bahwa gerak hanya dimiliki oleh makhluknya, sementara Tuhan tidak sama dengan makhluknya, maka menurut hemat penulis ia hanya menyimpulkan demikian berdasarkan rumusan logika mantik, bukan berdasarkan pengamatan inderawi dan juga tidak ada keterangan sedikitpun mengenai dzat Tuhan tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya hal yang demikian bukan hasil dari pemikiran berdasarkan akal dengan keterbatasannya, namun tidak lebih hanya sekedar spekulasi atau imajinasi yang didasarkan pada rumusan logika sebagai justifikasinya.

KESIMPULAN YANG DIPETIK DARI PEMIKIRAN AL-KINDI
1.      Perpanduan Antara filsafat dan agama, di dalam filsafat Kristen tidak menemukan kesamaan Antara filsafat dan agama. Dan ini jelas karena ajaran kitab Kristen itu sudah ada campur tangan mansuia sehingga tidak orisinil dan penemuan ilmiah akan bertentangan dengan mereka, bebreda dengan ajaran islam yang am,sih orisinil sehingga pemikiran mansuia akan selaras dengan Al-Qur’an. Tidak ada pertentangan Antara filsafat dan gama karena mereka sama-sama mencari kebenaran dan dalam Al-Qur’an disebut dengan Al-Hikmah dan Al-Qur’an sendiri menyuruh manusia untuk bnerfikir dengan ayat afala tatajakkaruun, afala ta’qilun, afala tatadabbaruuna.[24]
2.      Konsep Ketuhanan, Al-kindi lebih  mengesankan tuhan dari pada mu’tazilah yang dipikir sangfat rasional itu, nafi’ as-shifat bagi mu’tazilah masih ada hakikatnya, tapi bagi al-kindi Tidak. Dan al-kindi dalam membuktikan adanya tuhan dengan tiga argument yaitu: baharunya alam, keanekaragaman wujud dan kerapian alam.
3.      Filsafat Alam, al-kindi menolak aristoteles yang mengatakan bahwa alam ini qadim, bagi al-kindi alam ini baharu dan untuk membuktikannya menggunakan argument zaman, benda, gerak dan bend apasti memiliki panjag, pendek dan ini tersusun dan tersusun tidak dapat qadim. Dan penolakan terhadap pendapat aristoteles bahwa alam ini tidak terbatas.
4.      Filsafat jiwa, Al-kindi menolak pendapat aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa mansuia sebagai benda-benda, terususun dari dua unsur, materi dan bentuk. Al-kindi mengemukakan abhwa jiwa itu terdiri dari 4: daya nafsu, daya marah dan aday berberfikir.
5.      Filsafat akal, al-kindi berbeda dengan aris toteles yang membagi akal emnajdi dua yaitu akal mungkin dan akal agen, Al-kindi membagi akal menjadi 4 yaitu akal yang selamya dalam aktualis, akal potensial, akal perolehan dan akal actual nyata.
6.      Filsafat moral, Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia.


















PEMIKIRAN FILSAFAT AL-RAZI
A.    Biografi Al-Razi.
Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria Ibn Yahya  al-Razi atau  akrab disapa dengan nama Al-Razi, di Barat dikenal dengan nama Rhazes yang dilahirkan dan di besarkan di daerah Rayy (suatu daerah dekat Taheran persia) dan sekaligus tempat dimana dia meninggal. Ia di lahirkan  pada tanggal 1 sya’ban 251  H/865 M, pada zaman kejayaan Abbasiyah dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 7 Oktober 925 M.   waktu mudanya ia adalah seorang tukang intan dan suka akan music (kecapi).  Selain itu ia juga sangat respek untuk mendalami dan mengeluti berbagai khasanah keilmuan seperti ilmu kimia, ilmu kedokteran  dan dia juga tertarik untuk bergelut dibidang Filsafat Agama, dan dengan latar belakang pendidikan serta khazanah keilmuan yang dalam dan luas terutama dalam bidang kedokteran, didaerah kelahirannya Al-razi dikenal sebagai dokter yang sekaligus dipercayakan untuk  memimpin Rumah sakit di Rayy. Ar-razi memiliki penemuan-penemuan besar dibidang dokter dan kimia, ia menguasai masalah-masalah kedokteran, dan dia juga diaku bahwa dia tidak hanya mempelajari kedokteran Arab, Yunani serta ilmu-ilmu muslim lainnya, melainkan ia menambah pengalamannnya dengan mempelajari kedokteran india.
Philip Hitti adalah seorang ilmuan  yang pernah memberikan komentar  kepada al-Razi dalam “History of The Arab”; bahwa al-Razi adalah seorang dokter  yang paling besar  dan paling orisinal dari seluruh dokter muslim  dan juga seorang penulis yang produktif. Selain sebagai ahli dalam ilmu kedokteran Al-Razi memiliki cara berfikir dan pendapat yang berlainan  dengan filusuf-filusuf Islam lainnya, dan perbedaaan yang paling ekstrim yang dimiliki Al-Razi adalah tidak mengakui adanya wahyu dan adanya nabi. Dengan  tidak mengakui sumber-sumber pengetahuan lain seperti wahyu dan adanya nabi maka tidak heran kalau karya-karyanya lebih banyak mendapat kecaman dari pada dipelajari oleh filusuf-filusuf islam yang lain.[25]
B.     Filsafatnya tentang 5 Kekal.
Ajaran Filsafat al Razi dikenal dengan istilah ajaran lima yang kekal , Prof. Dr.  Harun Nasution dalam bukunya “filsafat dan mistikisme dalam islam”  menjelaskan tentang lima ajaran  kekal tersebut, antara lain:[26]
1.      Allah ( al-Bari ta’ala) Tuhan pencipta yang maha tinggi dan maha sempurna. Allahlah yang menciptakan dan mengatur seluruh Alam, Allah menciptakan Alam bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada, karena itu alam semestinya  tidak kekal sekalipun materi pertama kekal  sebab penciptaan disini dalam arti disusun  dari bahan yang telah ada. Ada tiga teori yang menerangkan asal kejadian alam semesta yang mendukung keberadaan tuhan, pertama : Paham yang mengatakan alam semesta ini ada dari yang tidak ada, ia terjadi dengan sendirinya, Kedua: Alam semesta ini berasal dari sel yang merupakan inti, Ketiga: Alam semesta ini ada yang menciptakannya.[27]
2.      Roh, Roh atau jiwa adalah merupakan sumber kekal yang kedua, hanya saja ia tidak seMaha dengan Tuhan, karena ia terbatas dan tentu saja dengan keterbatasannuya itu membutuhkan Tuhan. Hal itu terlihat ketika jiwa, tertarik dengan materi pertama yang juga kekal. Untuk memenuhi hal itu, Tuhan membantu jiwa dengan membentuk alam ini (termasuk manusia) melalui materi pertama dengan susunan yang kuat, sehingga jiwa dapat mencari kesenangan didalamnya. sekaligus melengkapinya dengan akal agar ia tidak memperturutkanhawanafsu.
3.      Materi, ia adalah substansi yang kekal, terdiri dari atom-atom. Ia kekal dan nantinya akan menjadi bahan terbentuknya alam. Didalam prosesnya materi yang paling padat akan menjadi substansi bumi, yang lebih renggang dari pada unsur bumi akan menjadi air, yang  lebih renggang dari air akan menjadi udara, dan berikutnya api.[28]
4.      Ruang, Menurut al-Razi, ruag adalah tempat keberadaan materi, kalau materi dikatakan kekal maka dia membutuhkan ruang yang kekal pula.  Bagi al-razi ruang terbagi menjadi dua yakni ruang Universal (Mutlak) adalah ruang yang tidak terbatas dan tidak tergantung kepada dunia dan segala yang ada didalamnya. Sedangkan ruang tertentu (relatif) adalah sebaliknya.
5.      Waktu, Waktu menurut Ar Razi adalah subtansi kekal yang mengalir. Dimana ia dibagi manjadi dua yaitu   waktu relative (terbatas) dan waktu Universal (mutlak).  Waktu relatif (al mahsur/alwaqt), Ini bersifat partikular dan tidak kekal karena ia bergantung pada gerak falak, terbit dan tenggelamnya matahari. Sedangkan Waktu  Universal (al-dahr), Inilah zaman yang tidak memiliki awal dan akhir. Ia terlepas sama sekali dari ikatan alam semesta dan gerakan falak.
Harun Nasution  dalam bukunya “Falsafat dan Mistisme”  menjelaskan bahwa menurut al-Razi, dari lima yang kekal itu ada dua yang hidup, dan aktif atau bergerak  yaitu Tuhan dan Jiwa atau Roh,  satu darinya tidak hidup dan pasif yaitu materi, dan dua lagi yang tidak  hidup, tidak bergerak dan tidak pula pasif  yakni ruang dan waktu.[29] Filsafat al-Razi sebenarnya diwarnai oleh doktrinnya tentang lima ajaran tentang kekekalan tersebut dan kelima hal inilah yang  merupakan landasan  ajaran Filsafat yang dibawa oleh al-Razi. Menurut Dr.T.J. De Beor bahwa dasar-dasar metafisika ar-razi berasal dari doktrin-doktrin tua seumpama pemikiran-pemikiran Anaxagoras, Empedokles, Mani dan lain-lainnya. Dan puncak dari metafisika itulah Prinsip tentang lima yang Abadi (Five Coenternal prinsiples).[30]
C.     Konsep Kenabian.
Al-Razi menolak kenabian dengan argumen:
1.      Bahwa akal sudah memadai untuk emmbedakan mana yang baik dan mana yang buruk, melalui akal manusia dapat mengetahui Allah. Kemudian kenapa membutuhkan nabi?
2.      Tidak ada keistimewaan bagi beberapa orang untuk membimbing semua orang,
3.      Para nabi bertentangan. Apabila merek bebricara atas nama tuhan mengapa iplementasi mereka terhadapat pertentangan?
Ar-razi mengatakan:”………Dan atas dasar apa anda menganggap hal itu diperkenankan bagi kebijaksanaan tuhan yang maha bijaksana untuk memilih cara ini guna (mengaturZ) manusia, yaitu bahwa dia harus mendorong sebagian mansuia m,enentang sebagian yang lain, atau bahwa dia harus menebar permusuhan diantara mereka, menabah pertempuran dan karennaya menajdi mansuia menuju pada kehancuran?”…jika dia memilih opsi terakhir, masing-masing kelompok akan mendeklarasikan kebenaran imamnya dan kebohongan semua imam yang lainnya, dan mereka menghunuskan pedang melawan yang lain. Tentu suatu kekacuan umum dan mereka akan binasa…”
Dan lebih lanjut dia katakan bahwa tidaklah mausk akal Allah mengutus para nabi sebab mereka menimbulkan kemudaratan, ia juga mengkritik secara sistematik kitab-kitab wahyu Al-qur’an dan Injil.
Namun perlu di garis bawahi bahwa dalam bukunya Al-Thib ruhani tidak ditemukan keterangan bahwa ar-razi meningkari  kenabian atau agama, bahkan sebaliknya ia mewajibkan untuk menghormati agama dan dan berpegang teguh kepadanya agar mendapat kenikmatan di akhirat.[31]
D.    Filsafat Jiwa.
Mengenai filsafat tentang jiwa (ruh), bermula dari sebuah pertanyaan yang timbul dari buah pikiran al-Razi, yakni, sebuah pertanyaan tentang keabadian lain, setelah kematian? Keabadian lain itu adalah ruh yang akan selalu hidup, tetapi ruh bodoh. Materi juga kekal, karena kebodohannya ruh mencintai materi dan membuat banyak dirinya untuk memperoleh kebahagiaan materi. Tetapi materi menolak, akhirnya Tuhan ikut campur untuk membantu ruh. Dijadikan lapisan dari ruh, yakni sebuah jasad yang beragam macam. Kemudian Tuhan menciptakan sebuah jasad yang sempurna, itulah manusia  yang berguna untuk menggerakkan aktifitas di dunia ini.
Dalam filsafatnya mengenai hubungan manusia denganTuhan, ia dekat kepada filsafat Pythagoras, yang memandang kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali kepada Tuhan dengan meninggalkan alam materi ini. Untuk kembali ke Tuhan, maka roh harus lebih dahulu disucikan dan yang dapat menyucikan roh  adalah ilmu pengetahuan dan membuat pantangan dalam mmengerjakan beberapa hal tanpa dasar ilmu. Menurut al-Razi jalan mensucikan roh adalah falsafat. Manusia harus menjauhi kesenangan yang dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau yang bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya, manusia jangan pula sampai tidak makan atau berpakaian, tetapi makanlah dan berpakaian sekedar untuk memelihara diri.[32]
E.     Filsafat Moral.
Gagasan al-Razi tentang moral beraset konsep transmi­grasi jiwanya, yang tertuang dalam karyanya Philosophical Way (Jalan Filsafat), tarutama berkenaan dengan masalah penyembelihan hewan. Al-Razi merasa terganggu oleh penderitaan hewan, teru­tama yang diakibatkan oleh perlakuan manusia. Menurutnya, penyembelihan hewan buas dapat dibenarkan sebagai pemeliharaan terhadap terhadap kelangsungan hidup manusia. Tetapi hal itu tidak dapat diterapkan kepada hewan-hewan piaraan. Menurut hematnya, bahwa penyembelihan itu diartikan sebagai pembebasan. jiwa mereka dari penghambaan kepada tubuh, dan dengan demikian menjadikan mereka lebih dekat dengan takdir akhirnya. dengan memberikan kemungkinan bagi mereka “tinggal dalam tubuh lain yang lebih baik, seperti tubuh manusia.[33]

STUDY KRTITIS DAN HIPOTESA TERHADAP PEMIKIRAN FILSAFAT AR-RAZI
Menjadi penting untuk menghantarkan pada kritik yang filosofis ialah memberikan pemaknaan terhadap Metafisika sendiri, dimana metafisika dalam diskursus kali ini menjadi tranding topik. Adapun untuk sampai pada pemaknaan filosofis terhadap metafisika tentu membutuhkan beberapa tahapan diantaranya ialah; pertama, metafisika general. Kedua metafisika dalam pandangan Islam. Ketiga Metafisika dalam pandangan Abu Bakar Ar-Razi.
Pertama, metafisika general. Dalam konten ini, peneliti mengunakan istilah yang dipaparkan oleh Loren Bagus. Nama metafisika muncul pertama kali dalam arti sekarang dalam karya filsuf Neo-Platonis, Simplicus. Ilmu yang dilukiskan oleh istilah ini sudah dimulai secara sistematis dalam abad ke-4 SM oleh Aristoteles. Metafisika bergelut dengan yang metafisis, dengan apa yang melampaui yang fisis. Namun fisis disini sama sekali tidak mengartikan hal yang sama bagi orang Yunani sebagaimana di artikan oleh ahli-ahli fisika modern. Karena fisis berarti seluruh dunia pengalaman ragawi sejauh dia tunduk terhadap alam. Yakni ia tunduk pada proses menjadi atau dilahirkan dengan cara tertentu. Karenanya disebut metafisis apa yang secara hierarki tidak dapat dialami oleh pancaindera, tidak dapat berubah dan sedikit banyak rohani. Tetapi yang disebut metafisis bukan tidak dapat diketahui, sebagaimana dikukuhkan oleh Nicolai Hartmann
Kedua, metafisika dalan pandangan Islam. Secara umum metafisika dalam Islam bisa dipahami sebagai berikut, metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang penjelasan asal atau hakikat obyek fisik yang ada di dunia dimana didalamnya juga menjelaskan tentang keberadaan atau realitas. Dalam hal pencipta dapat saya simpulkan bahwa Islam lebih cendrung kompromis antara konsepsi pewahyuan dan konsepsi pemaknaan manusia. Semisal bahwa alam semesta berserta isinya merupakan ciptaan Tuhan/ Allah SWT. Yang dalam hal ini telah diatur dalam Undang-undang Kitab Suci Al-Qur’an.          
Ketiga, metafisika dalam pandangan Abu Bakar Ar-Razi. Pada pemaparan diatas telah disinggung tentang doktrin Al-Qudama Al-Khamsah (Prinsip Lima Kekal) Penuturan tentang doktrin lima hal yang kekal tidak dijumpai sebelum ar-Razi mengungkapkannya. Ar-Razi sendiri menyatakan doktrin tersebut sebagai doktrin filsafat Yunani (mazhab al-falasifah al-yunaniyyah) pra Aristoteles.
Dari rangkaian di atas, peneliti memiliki sebuah pandangan bahwa sebenarnya Abu Bakar Ar-Razi dalam konten metafisika dan filsafat. Lebih cendrung pada kritik atas pemikiraan filosof yunani, hal ini didukung oleh para pakar sejarah sepakat bahwa Abu Bakar Ar-Razi hidup diantara Al-Farabi dan Ibn Sina, maka kemungkinan yang paling besar ialah maraknya kebangkitan pengetahuan dalam Islam itu sendiri. Di zaman Ar-Razi lebih tepatnya zaman suburnya pendalaman ilmu pengetahuan baik yang secara epietemologi bersandar pada al-Qur’an dan Hadits atau pun ilmu dan pengetahuan yang lahir dari hasil penerjemahaan karya-karya Yunani klasik.
Pendapat diatas juga diperkuat oleh tingkat popularitas Abu Bakar Ar-Razi yang lebih dikenal sebagai Tabib atau dokter baik di Rey (Teheran) ataupun di Bagdad. Selintas terbayangkan bahwa yang memicu Ar-Razi untuk bergelut pada ruang metafisika dan filsafat ialah bekal ilmu yang dia peroleh dari beberapa guru dan sampai pada basis penyingkapan pengetahuan dan metode penyingkapan pengetahuan, apabila kita cermati kajian kedokteran sangat kental dengan penyingkapan pengetahuan melalui empiris-logis, atau rasional-empirik.
Tentu bekal ini juga yang menghantarkan Ar-Razi untuk masuk dalam ruang filsafat ataupun ruang metafisika. Hal ini bisa dilihat pada pemikirannya yang sangat kental rasionalis, semisal dalam konteks pemikiran kenabian, al-Qur’an, moral, logika. Untuk sampai pada hal ini, tentunya ada faktor yang paling mendorong, diantaranya faktor yang paling mempengaruhi Ar-Razi ialah pertama, semangat mencari ilmu pengetahuannya yang sangat tinggi. Kedua, ketika ia belajar dengan Ali Ibn Rabban al-Tabari di Bagdad  dan Hunayn Ibn Ishaq di Rey. Dua faktor ini juga lah yang menghantarkan pada briliannya atas gagasan-gagasannya dalam semua bidang.
Sampai hari ini, peneliti masih meragukan sistematika berfilsafatnya beliau Ar-Razi, hal ini juga banyak dirasakan oleh pengamat beliau. Bahwa beliau sangat cinta terhadap pengetahuan itu iya. Akan tetapi dari mana beliau berangkat dalam nuasa berfilsafat, ini masih dalam bentuk bertanyaan besar, hal ini juga pandangan subyektif peneliti terhadap beliau dikarenakan beliau mengenyam nuasa studi filsafat pasca beliau mempelajari al-ilmu al-thibb atau ilmu kedokteran. Terdapat sebuah kemungkinan bahwa beliau termakan isu wacana pengetahuan dimana pada zaman itu kentalnya nuasa filsafat dan penerjemahan karya filsafat yunani.
Apabila analisis ini mendekati kebenaran maka sangat wajar apabila beliau sangat mendewakan Al-Aqlu/Rasionalitas. Apalagi beliau juga sedikit banyak bersinggungan dengan para teolog dari kalangan Mu’tazilah, Sunni, maupun Syiah. Sebagai upaya pemahaman terhadap konsep metafisika beliau Ar-Razi, analisis yang sangat kuat bahwa beliau termakan isu wahana pengetahuan yang tidak tuntas yang dipelopori oleh filsuf Yunani terutama dalam hal Jiwa dan atomistik. Kedua hal ini juga yang menjadi basis ontologis, sebuah pijakan Ar-Razi masuk dalam penghayatan filsafat.
Dari telaah diatas, biografi sampai pada kritik, peneliti menemukan beberapa catatan penting. Dimana catatan ini menjadi urgent untuk dipahami dan dikembangkan sebagai upaya mengsistematiskan pemikiran yang terutama para pengkaji ar-Razi. Hipotesa yang dibangun oleh peneliti pertama, peneliti meyakini bahwa beliau ar-Razi tergolong sebagai pemikir liar, yang tidak kenal kompromi dalam hal pengetahuan terutama yang beraliran rasionalis.
Yang kedua, hipotesa peneliti, dalam membranding pengetahuannya, Ar-Razi bisa jadi meninggalkan Al-Qur’an dan Hadits, beliau asyik bermain dengan pemikiran Neo-Platonik dan filsuf-filsuf peripatetik Yunani, sehingga rujukan utamanya bukan lagi al-Qur’an ataupun Hadits melainkan Mereka filsuf Yunani.
Hipotesa yang ketiga, dalam konteks Metafisika, beliau mencoba ingin menemukan konsep yang paling dasar atas terciptanya sebuah realitas, sedikit berbeda dengan al-Farabi, jika al-Farabi menyingkap proses penciptaan melalui Emanasi maka ar-Razi mengunakan lima kekekalan Al-Qudama Al-Khamsah yang paling mendasari. Berikut ini penulis berusaha menyajikan rajutan-sistematis kelima prinsip di atas.
Hemat peneliti, bahwa lima kekekalan yang dikonsepikan sebagai konsep metafisika ar-Razi. Lebih menempati posisi urutan atau semacam rotasi penciptaan. Dengan model pemaknaan yang maklum atau mudah dimengerti oleh manusia ketika manusia mencari arti tentang proses penciptaan. Benar jika dalam bentuk rotasi tersebut disertai dengan dalih-dalih rasio-empirik, hal ini dikarenakan beliau sangat  kuat dalam pendalaman rasionalitas-logis.
 Al-Razi mempunyai nama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Al-Razi. Al-Razi dikenal sebagai dokter, filsuf, kimiawan, dan pemikir bebas (250-313 H/864-925 M atau 320 H/932 M), oleh orang Latin dipanggil Rhazes, dilahirkan di Rayy, dekat Teheran sekarang.
Secara umum konsep metafisika yang dibangun oleh Ar-Razi tertuang dalam doktrin lima hal yang kekal (Al-Qudama’ Al-Khamsah), ar-Razi menyatakan bahwa lima hal yang kekal, yakni Tuhan (Al-Bari Subhanah), ruh universal (An-Nafs Al-Kulliyah), materi pertama (Al-Huyula Al-Awwalah), ruang mutlak (Al-Makan Al-Mutlaq) dan waktu mutlak (Az-Zaman Al-Mutlaq).
Al-Razi adalah pemikir bebas non-kompromis, yang justru lebih menonjol dikenal di bidang kedokteran daripada filsa­fat, karena karyanya al-Hawi. Perhatian utama filsafatnya adalah jiwa universal, yang menjadi titik sentral-logis penjelasannya tentang kejadian dunia dan adanya Sang Pencipta. Bahkan pada sisi ini al-Razi menawarkan teori berani dan orisinal tentang jiwa.
lima kekekalan yang dikonsepsikan sebagai konsep metafisika ar-Razi. Lebih menempati posisi urutan atau semacam rotasi penciptaan. Dengan model pemaknaan yang maklum atau mudah dimengerti oleh manusia ketika manusia mencari arti tentang proses penciptaan. Benar jika dalam bentuk rotasi tersebut disertai dengan dalih-dalih rasio-empirik, hal ini dikarenakan beliau sangat  kuat dalam pendalaman rasionalitas-logis.
Tentu bekal ini juga yang menghantarkan Ar-Razi untuk masuk dalam ruang filsafat ataupun ruang metafisika. Hal ini bisa dilihat pada pemikirannya yang sangat kental rasionalis, semisal dalam konteks pemikiran kenabian, al-Qur’an, moral, logika. Untuk sampai pada hal ini, tentunya ada faktor yang paling mendorong, diantaranya faktor yang paling mempengaruhi Ar-Razi ialah pertama, semangat mencari ilmu pengetahuannya yang sangat tinggi. Kedua, ketika ia belajar dengan Ali Ibn Rabban al-Tabari di Bagdad  dan Hunayn Ibn Ishaq di Rey. Dua faktor ini juga lah yang menghantarkan pada briliannya atas gagasan-gagasannya dalam semua bidang.
Sampai hari ini, peneliti masih meragukan sistematika berfilsafatnya beliau Ar-Razi, hal ini juga banyak dirasakan oleh pengamat beliau. Bahwa beliau sangat cinta terhadap pengetahuan itu iya. Akan tetapi dari mana beliau berangkat dalam nuasa berfilsafat, ini masih dalam bentuk bertanyaan besar, hal ini juga pandangan subyektif peneliti terhadap beliau dikarenakan beliau mengenyam nuasa studi filsafat pasca beliau mempelajari al-ilmu al-thibb atau ilmu kedokteran. Terdapat sebuah kemungkinan bahwa beliau termakan isu wacana pengetahuan dimana pada zaman itu kentalnya nuasa filsafat dan penerjemahan karya filsafat yunani.

KESIMPULAN YANG BISA DIPETIK DARI PEMIKIRAN AL-RAZI
1.      Ar-razi memandang bahwa ada lima yang kekal yaitu: Tuhan, Ruh, Materi, Ruang, waktu. Kekal artinya abadi, misal dia menciptakan manusia maka Allah dan Allah butuh materi dan waktu yaitu dari awal hidup sampai mati, lalu ke syurga dan neraka tentu butuh ruang, dan ruh pas manusia meninggal akan tetap ada. Dari kelima kekal ini hanya dua yang bergerak yaitu, tuhan dan ruh yang pasif dan tidak hidup adalah materi dll.[34]
2.      Konsep kenabian, al-razi menolak kenabian dengan alasan bahwa akala sudah mengetahui semuanya, tidak ada keistimewaan bagi beberaapa individu, para nabi bertentangan.
3.      Filsafat jiwa, sebuah pertanyaan tentang keabadian lain, setelah kematian? Keabadian lain itu adalah ruh yang akan selalu hidup, tetapi ruh bodoh. Materi juga kekal, karena kebodohannya ruh mencintai materi dan membuat banyak dirinya untuk memperoleh kebahagiaan materi. Tetapi materi menolak, akhirnya Tuhan ikut campur untuk membantu ruh. Dijadikan lapisan dari ruh, yakni sebuah jasad yang beragam macam. Kemudian Tuhan menciptakan sebuah jasad yang sempurna, itulah manusia  yang berguna untuk menggerakkan aktifitas di dunia ini.
4.      Filsafat Moral, Menurutnya, penyembelihan hewan buas dapat dibenarkan sebagai pemeliharaan terhadap terhadap kelangsungan hidup manusia. Tetapi hal itu tidak dapat diterapkan kepada hewan-hewan piaraan. Menurut hematnya, bahwa penyembelihan itu diartikan sebagai pembebasan. jiwa mereka dari penghambaan kepada tubuh, dan dengan demikian menjadikan mereka lebih dekat dengan takdir akhirnya.

PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI
A.    Biografi Al-Farabi.
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad IbnTarkhan ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij, distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana). Turkistan pada tahun 257 H /870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Ia dikenal dikalangan Latin Abad Tengah dengan sebutan Abu Nashr (Abunaser), sedangkan sebutan nama al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirkan. [35]
Al-Farabi mempunyai sebutan layaknya sebutan nama bagi orang-orang Turki, ini dikarenakan ibunya bersal dari negara Turki. Sejak kecil al-Farabi sudah tekun dan rajin belajar, apalagi dalam mempelajari bahasa, kosa kata, dan tutur bahasa ia telah cakap dan luar biasa. Penguasaan terhadap bahasa Iran, Turkistan dan Kurdikistan sangat ia pahami. Malah sebaliknya, bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak ia kuasai. Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa Farabi dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa; tetapi yang dia kuasai dengan aktif hanya empat bahasa; Arab, Persia, Turki, dan Kurdi.[36]
 Menurut literatur, al-Farabi dalam usia 40 tahun pergi ke Baghdad, sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia di kala itu. Ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar al-Saraj dab belajar logika serta filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailani. Tetapi tidak berapa lama di Harran, ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat.
Selama di Baghdad ia banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat. Baghdad merupakan kota yang pertama kali dikunjunginya. Di sini ia berada selama sepuluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus. Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan al-Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana.
Dalam dunia intelektual Islam ia mendapat kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sany (guru kedua), sedangkan yang menjadi guru pertama adalah Aristoteles yang menyandang delar al-Mu’allim al-Awwal (guru pertama), selain itu al-Farabi juga meyandang predikat al-Syaikh al-Rais (Kiyai Utama), gelar-gelar ini didapatkan karena ia banyak memamhami filsafat Aristoteles. Sebagai seorang filosof yang ternama, dalam hidupnya ia dikenal seorang yang tidak berkecimpung di dunia politik pemerintahan. Atas dasar inilah ia mendapatkan sebuah kebebasan dalam mengeluarkan pemikirannya yang tidak terikat dengan dogma-dogma yang berbau politik di kala itu.
B.     Filsafat Emanasi.[37]
Akal pertama ini mungkin dengan sendirinya dan satu-dalam-dirinya. Dari sinilah kemudian Al Farabi memulai langkah pertama ke arah pelipatan. Dari pemikiran oleh akal pertama Yang Esa, lahirlah akal-akal lain, yaitu memancarlah materi dan bentuk ‘langit pertama’, sebab setiap sphere mempunyai bentuk sendiri, yaitu ruhnya. Beginilah rantai pemancaran berlangsung sehingga melengkapi sepuluh akal, sembilan lingkungan dan sembilan ruh mereka, dan akal kesepuluh dan terakhir adalah yang mengatur dunia fana ini. Dari pemikiran Akal Pertama yang dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (yang nyata) karena Tuhan dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya, maka keluarlah Akal Kedua. Dari pemikiran Akal Pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang mukin[38] dan mengetahui dirinya, maka timbullah langit pertama atau benda lanjut terjauh (as-sama al-ula atau al-falak al-a’la) dengan jiwanya sama sekali (jiwa langit tersebut). Jadi, dari dua obyek pengetahuan, yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkin keluarlah dua macam makhluk tersebut, yaitu bendanya benda langit dan jiwanya.
Dari Akal Kedua timbullah Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah) beserta jiwa dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada Akal Pertama. Dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan planet Saturnus (Zuhal) juga beserta jiwanya. Dari Akal Keempat keluarlah Akal Kelima dan planet Yupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari Akal Kelima keluarlah Akal Keenam dan planet Mars (Mariiah) beserta jiwanya. Dari Akal Keenam keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (as-Syams) beserta jiwanya. Dari Akal Ketujuah keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus (az-Zuharah) juga beserta jiwanya. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet Merkurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari Akal Kesembilan keluarlah Akal Kesepuluh dan Bulan (Qamar). Dari Akal Kesepuluh keluarlah manusia beserta jiwanya. Bersamaan dengan timbulnya akal kesepuluh yang berwenang untuk mengatur alam fana, maka sempurnalah proses emanasi. Dengan demikian dari satu akal keluarlah satu akal dan satu planet beserta jiwanya.[39]
C.     Filsafat kenabian.
Seorang Nabi bisa menerima kode atau isyarat wahyu. Sedangkan upaya filosof untuk berkomunikasi dengan akal fa’al melalui akal intelektual dapat dicapai melalui jalan kontemplasi dan perenungan atau melalui kegiatan berfikir mendalam terhadap sesuatu. Akal inilah yang nantinya akan menjadi modal bagi kita untuk memahami konsep kenabian (nubuwwah) ala al Farabi.
Secara bahasa, wahyu berasal dari kata waha, yahyi, wahyan yang berarti samar atau rahasia adalah pemberitahuan dari Allah secara cepat dan samar disertai dengan keyakinan yang penuh. Baik dengan perantara maupun tidak, denga suara maupun langsung dihujamkan ke dalam hati. Wahyu dituangkan oleh Tuhan secara langsung kepada Nabi pilihannya, bukan berdasarkan keinginannya sendiri. Sehingga tidak diketahui oleh manusia, wahyu merupakan bisikan Tuhan kepada Nabinya sebagai pengetahuan yang cepat dan sangat halus yang muncul dengan sendirinya tanpa harus berijtihad.
Para nabi diberi kemampuan akal mustafadh untuk mencercap isyarat wahyu dalam bentuk kemampuan akal intelek berkomunikas dengan aql fa’al sehingga kebenaran yang dihasilkan wahyu adalah kebenaran yang pasti bukan kebenaran nisbi. Kemampuan istimewa untuk berkomunikasi dengan aql fa’al ini bersifat given dari Allah. Menurut Amin Abdullah, pembahasan filsafat kenabian dalam filsafat Islam merupakan pembahasan yang khas, tidak ditemui di dalam filsafat Yunani secara detail.
Filsafat kenabian ini juga disinalir sebagai jawaban atas keraguan filosof sebelumnya yaitu Abu Bakar Muhammad Ar-Razi (w.925 M) yang menolak adanya kenabian. Menurutnya, para filosof bisa mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan ‘aql fa’al untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki, oleh karena itu diperlukan kehadiran seorang Nabi untuk menjelaskan kebaikan dan keburukan. Bahkan menganggap al Qura’an bukan mu’jizat, melainkan adalah semacam cerita khayal belaka. Ar Razi ingin membebaskan pemikirannya meskipun pemikiran semacam ini cenderung elitis dan inklusif terbatas hanya para filososf yang memungkinkan untuk melakukannya.
Al Farabi hadir dengan knsep kenabian untuk menepis keraguan Ar-Razi dan pengikutnya. Bagi al Farabi, Nabi merupakan gelar kehormatan yang disematkan oleh Allah kepada hamba pilihan-Nya. Kepadanya dituangkan kalam tuhan berupa wahyu untuk di sampaikan kepada makhluk di alam ini. Menurut al Farabi, manusia bisa berhubungan dengan aql fa’al melalui dua cara, yakni: penalaran atau perenungan pemikiran dan imaginasi atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya bisa dilakukan oleh pribadi terpilih yang dapat menembus alam materi untuk mencapai cahaya ketuhanan. Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh para Nabi.
Denga cara kontemplasi dan latihan berfikir seseorang bisa sampai pada derajat akal kesepuluh, sementara melalui penelitian jiwa, pembelajaran dan latihan, jiwanya akan sampai pada akal mustafad untuk merespon dan menerima cahaya ilahi sebagai puncak imajinasi tertinggi (al quwwah al mutakhayyilah). Orang yang mampu mencapai derajat ini tentu hanya para Nabi, bukan orang biasa secara umum.
D.    Filsafat politik.

Filsafat politik al-farabi dalam mengemukakan tentang syarat-syarat seorang menjadi raja.
1.      Raja harus nabi/filosof, ini sangat terinspirasi oleh filsafat kenabiannya dimana nabi dengan akalnya atau Given dari Allah mampu berhubungan dnegan akal fa’al, maka filusuf dengan akalnya dan terus belajar maka akan mampu berhubungan dengan akal fa’al itui sendiri.
2.      Lengkap anggota badannya
3.      Baik dalam pemahaman (pintar)
4.      Pandai mengungkapkan pendapat dan menguraikannya
5.      Pecinta pendidikan dan gemar mengajar
6.      Pecinta kejujuran dan benci pada kebohongan
7.      Dll.
Pemikiran politiknya yang terknela itu tentang masalah Negara dimana al-farabi membagi Negara menjadi 3 yaitu:
1.      Negara sempurna besar, yaitu Negara-negara besar tapi ompong
2.      Negara-negara sempurna sedang seperti Negara-negara nasionalis dan akhirnya beberapa Negara ini mengalami pertikaian.
3.      Negara sempurna kecil atau Negara kota yang dikelola dengan baik.
Yang terbaik menurut al-farabi adalah Negara kota dimana masyarakat kecil tapi dipimpin oleh orang besar dan di tata dan di kelola dengan baik.
E.     Filsafat ketuhanan.
Tentang ilmu Tuhan, pemikiran Al-Farabi terpengaruh oleh Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui dan memikirkan alam. Pemikiran ini dikembangkan oleh Al- Farabi dengan mengatakan Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyah (partikular). Maksudnya, pengetahuan Tuhan tentang yang rinci tidak sama dengan pengetahuan manusia. Tuhan sebagai Aql hanya dapat menangkap yang kulli (universal), sedangkan untuk yang juz’i hanya dapat ditangkap dengan pancaindera. Oleh karena itu, pengetahuan-Nya tentang yang juz’i tidak secara langsung, melainkan ia sebagai sebab bagi yang juz’i[40]
F.      Filsafat jiwa dan akal.
Dalam persoalan jiwa ini Al-Farabi mencoba melakukan sintesa antara pendapat Plato dengan Aristoteles. Menurut Plato, jiwa itu ia sesuatu yang berbeda dengan tubuh, ia adalah substansi rohani. Sedangkan menurut Aristotelis, jiwa adalah bentuk tubuh.
Dalam hal ini, Al-Farabi mencoba mencari jalan kompromis antara kedua pendapat yang berbeda di atas. Menurut dia, jiwa itu berupa substansi dalam dirinya dan bentuk dalam hubungannya dengan tubuh.[41]Tampak dengan jelas betapa Al-Farabi mengambil teori substansi dari plato dan teori bentuk dari Aristoteles
Al-Farabi mencoba memilah jiwa yang ada pada jiwa itu kepada tiga macam. Pertama daya gerak, seperti gerak untuk makan, gerak untuk memelihara sesuatu, dan gerak untuk berkembang biak. Kedua, daya mengetahui seperti mengetahui dalam merasa dan mengetahui dalam berimajinasi. Ketiga, daya berpikir yang dipilah-pilahkan kepada akal praktis dan akal teoritis.[42]
Tentang akal praktis dan teoritis, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, akal praktis berfungsi untuk menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan oleh seseorang. Sedangkan akal teoritis berfungsi untuk membantu dalam menyempurnakan jiwa.[43]
Selanjutnya akal teoritis dibagi lagi kepada tiga macam. Pertama, akal potensial atau akal fisik (material). Akal ini dapat menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang dapat ditangkap dengan panca indra. Kedua, akal aktual, akal biasa (habitual). Akal ini dapat menangkap makna-makna dan konsep-konsep belaka. Ketiga, akal mustafad, akal yang diperoleh (acquired). Akal ini mampu mengadakan komunikasi dengan Sang Pencipta.[44]
Untuk dapat berkomunikasi dengan Sang Pencipta menurut Al-Farabi seseorang harus mempunyai jiwa yang bersih, kesucian jiwa.[45] Tidak hanya diperoleh melalui badan dan perbuatan-perbuatan badaniah semata-mata. Kesucian jiwa dapat diperoleh melalui kegiatan berpikir dan terus berpikir. Menurut Al-Farabi, filsafat dan moral sama-sama mengidealkan kebahagiaan bagi manusia. Kebahagiaan seseorang akan terwujud apabila jiwanya sudah sempurna. Salah satu indikasi kesempurnaan jiwa ialah apabila ia sudah tidak lagi berhajat kepada materi.[46]
Al-Farabi sendiri dalam kehidupannya sebagai seorang sufi dan filosof menyimpan jiwa kesufiannya sangat mendalam dapat berkomunikasi dengan Sang Pencipta dalam kezuhudan kehidupan. Ia menjadikan kesucian jiwa sebagai asas dalam berfilsafat yang benar.

STUDY KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI
Pada dasarnya saya tidak memiliki kemampuan untuk menanggapi pemikiran Al-Farabi karena ilmu saya yang masih sedikit dan saya hanya mengetahui pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina dari materi yang di foto kopi, sehingga bisa terjadi perbedaan persepsi dalam penulisan ulang pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina. Namun, saya akan mencoba menanggapi pemikiran Al-Farabi berdasarkan pemahaman yang saya pahami dari materi yang ditulis oleh pemaklah dan ebrbagai referensi lainnya:
1.      Menurut Al-Farabi, imajinasi merupakan daya penyimpan dan penimbang yang bertanggung jawab atas penyimpanan citra atau kesan mengenai hal-hal yang dapat diindra setelah mereka lenyap dari indra maupun pengontrolan atas citra tersebut dengan menyusun dan mengurainya untuk kemudian membentuk citra yang baru.
Dalam hal ini saya kurang setuju karena imajinasi tidak hanya membentuk citra yang baru, bisa jadi citra yang telah ditanggap oleh indra kemudian dibentuk atau dikeluarkan menjadi citra yang sama dengan citra yang ditanggap oleh indra.
Saya kurang setuju dengan teori emanasi yang dikemukakan oleh neoplatonik. Menurut teori emanasi, alam semesta tercipta dari pancaran tuhan dan alam semesta tercipta dari ada menjadi ada, yaitu terbentuk dari asap. Namun jika dipertanyakan lagi siapa yang menciptakan asap tersebut, maka dijawab asap tercipta dari pancaran tuhan. Kalau begitu maka dapat dikatan bahwa alam semesta tercipta dari tidak ada menjadi ada melalui proses. Proses pertama yaitu berupa asap. Jika ditelaah berdasarkan kalimat “pancaran Tuhan”, maka dapat dikatan bahwa alam semesta ini tercipta dengan sendirinya. Pada saat Tuhan ada maka secara otomatis alam semsta tercipta karena alam semesta tercipta dari pancaran Tuhan. Namun pada surah Yasin ayat 82: “sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya “jadilah!” maka jadilah sesuatu itu.”. dalam ayat tersebut terlihat bahwa segala sesuatu itu atas kehendak Allah dan bukan terjadi dengan sendirinya (hukum sebab-akibat). Tambah lagi, dalam teori emanasi diibaratkan Tuhan dengan alam semesta bagaikan matahari dengan sinarnya. Hal ini bertentangan karena Tuhan tidak bisa disamakan dengan makhluk ciptaanNya.
Saya setuju dengan pendapat Al-Farabi yang mengatakan bahwa “kita tidak memiliki ilmu metafisika” karena menurut saya, pada dasarnya setiap makhluk memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga akal manusia tidak sanggup untuk memikirkan wujud Tuhan dan bahkan Tuhan menyuruh manusia untuk tidak memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan wujudNya.
2.      Menurut Al-Farabi, mereka yang hidup di kota jahiliah tidak akan mengalami hukuman di akhirat kelak. Hal yang sama juga berlaku bagi warga kota sesat yang telah disesatkan oleh pemimpin mereka. Menurut saya, pemikiran tersebut bertentangan dengan ajaran teologi yang menyatakan bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan. Setiap manusia diwajibkan menuntut ilmu oleh Tuhan, itulah sebabnya Tuhan memberikan akal kepada manusia agar manusia senantiasa berfikir dan setiap manusia memiliki kebebasan untuk bertindak dan berbuat. Memang, Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban suatu kaum jika tidak ada satupun nabi atau rasul yang datang kepada kaum tersebut. Namun, dalam sejarahnya Allah menurunkan nabi kepada setiap masa (beberapa kaum meyakini bahwa tidak semua nama-nama nabi tertulis dalam Al-Qur’an) dan beberapa rasul. Kenyataanya, merekalah yang mengingkari kebenaran yang dibawa oleh Nabi dan Rasul.
Islam bukanlah agama yang didapat dari keturunan. Kesempurnaan islam harus didapat melalui usaha manusia dalam menuntut ilmu, oleh karena itu penuntut ilmu lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan ahli ibadah dan beribadah tanpa ilmu maka sia-sia.
Jikalau,warga kota memiliki pemimpin yang sesat, maka merka wajib memberikan peringatan kepada pemerintah karena setiap manusia diwajibkan untuk berdakwah, “jika tidak bisa dilakukan dengan tangan, maka lakukanlah dengan mulut (ucapan), dan jika tidak bisa, maka lakukanlah dengan hati. Maka itulah selemah-lemahnya iman.”
3.      Mengenai pemikirannya tentang Negara itu juga sebenarnya sindiran halus kepada khalifah al-m u’tasim billah (khalifah terakhir abbasiyah) yang dimana saat itu pemimpin sangat lemah dan pemikiran kenegaraannya bahwa kepala Negara harus seorang filusuf atau nabi ini terinspirasi dari filsafat akalnya.
4.      Al- Farabi mengatakan bahwa “Seni Logika” ,umumnya,memberikan aturan-aturan , yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang benar dan mengarahkan manusia secara langsung kepada kebenaran dan menjauhkan diri dari kesalah-kesalahan. Logika juga membantu kita membedakan yang enar dan yang salah dan memperoleh cara benar dalam berfikir, atau menunjukan orang lain kepada cara benar. Ia juga menunjukan dari man kita mulai berpikir dan bagaimana mengarahkan pemikiran itu kepada kesimpulan –kesimpulan akhir.Sebagaimana al-Farabi,Ibn Sina juga berpendapat bahwa logika adalah alat yang berguna untuk menjaga akal dari tersalah,karena fitrah manusia semata,kadangkala,tidak cukup.Sementara itu al-Ghazali menjadikan logika sebagai syarat yang harus dimiliki terlebih dahulu atas semua ilmu.Logika kata al-Ghazali adalah pendahuluan dari segala ilmu karena itu,siapa yang  tidak menhuasainya ,ilmunya tidak dapat dipercaya . Di tempat lain ,ia juga mengatakan bahwa,logika pada umumnya adalah metode yang benar,jarang terjadi kesalahn:andaikan terjadi kesalahan,kemungkinan hanya terjadi pada istilah-istilah ,bukan pada kmakna dan ntujuanya.Sebab tujuan adalah petunjuk jalan pembuktian.

TANGGAPAN IBNU TAIMIYAH TERHADAP PEMIKIRAN AL-FARABI

Ibn taimiyah  mengatakna bahwa logika Aristoteles adalah sumber kebahagian manusia,kebahagian manusia di ukur dengan kerjanya logika.Secara umu,Ibn Taimiyah menolak tugas logika atau tujuanya adalah sebagai mizan atau atauran bagi imu-ilmu rasional dan kedanya tergantung pembuktian dan kesimpulan ,serta menyampaikan kita kepada ilmu pasti(yakin),Menurutnya ilmu-lmu rasional dapat diketahui dengan fitrah manusia yang telah diberikan Allah kepada anak cucu Adam untuk mengetahui sesuatu.Ia tidak pada suatu kaidah atau ketentuan yang diciptakan oleh seorang tertentu. Seperti Aristoteles sebab para ilmuan dari seluruh bangsa telah banyak dapat mengetahui tentang hakikat sesuatu,tanpa seorang pun diantara mereka yang mengetahui logika aristoteles .Dengan pengkajian dan perenungan akan sesuatu,mereka dapat mengetahiu hakikat kebenaran,tanpa mempergunakan logika Aristoteles.
Orang yang berakal,kata Ibn Taimiyah , tidak boleh berpendapat bahwa aturan akal yang ditrunkan Allah adalah Logika Yunani(baca:logika Aristoteles,pen).sebab Allah telah menurunkan aturan-aturan melalui kitab-kitab sucinya jauh sebelum adanya logika Aristoteles,yaitu semenjak Nabi Nuh a.s, Nabi Ibrahim a.s , Nabi Musa a.s, dan Nabi-nabi lainya. Sedangkan logika yunani baru diciptkan oleh Aristoteles (w.322 SM)
Akan tetapi amat disayangkan,kata Ibn Taimiyah ,para filosof mencampuradukan kebenaran yang diambil dari agama dengan kebatilan yang diambil dari dasar-dasar filasafat yang sesat.Mereka a berusaha mengharmoniskan antara agama dan filsafat ,dengan berpegang kepada nash-nash,tetapi melakukan pentakwilan yang jauh menyamping dari ketentuan agama dab hanya menyesuaikan dengan kaidah-kaidah fisafat.Umpamanya,nmereka mengatakan bahwa sifat-sifatn Allah yang terdapat dalam Al-quran dan yang dituturkan oleh nabi Muhammad hanyalah bzat Allah yang maha esa.’Arasy adalah falak yang kesmbilan,kursin (al-Kursy) adalah falak kedelapan. Malaikat adalah jiwa-jiwa dsan kekuatan atau daya yang terdapat pada jisim-jisim,tidak adan sesuatu nkejadian diluarn adat kebiasaan,demikian plan mereka tidakn percaya kepada mukjizat. Mukjizat hanyalah semacam dari kekuatan alami atau kekuatan daya jiwa,dan lainya yang dalam kesemuanya itu menurut Ibn Taimiyah ,para filosof  telah menyelewengkan nash-nash agama dan ilmu mereka tidak berdasarkan atas jaran rasulullah.
KESIMPULAN YANG BISA DIPERTIK DARI PEMIKIRAN AL-FARABI
1.      Filsafat emanasinya menrupakan pengolahan dari filsafat yunani, denagn mengemukakan dua wujud, yaitu wajibul wujud dan mumkinul wujud, emanasi al-farabi menghasilkan 9 planet, 2x berfikir dengan 2 wujud dan 11 jiwa.
2.      Filsafat kenabiannya, al-farabi mengatakan bahwa akal filusuf dapat berhubungan dnegan akal fa’al sama seperti para nabi, hanya saja akal para nabi itu given dari Allah sedangkan para filusuf harus belajar dan berusaha agar bias berhubungan dengan akal fa’al. konsep kenabian al-farabi ini menjawab dari pemikiran al-razi yang menolak adanya para rasul dan wahyu yang merkea bawa, bagi al-farabi rasul atau para nabi sangat diperlukan karena kebenaran dari mereka adalah kebenaran yang mutlak, sementara kebenaran hasil pemikiran kebenaran yang nisbi.
3.      Filsafat politiknya, dia mengelompokkan tiga kelompok masyarakat, mayarakat sempuran, masyarakat yang kurang sempurna dan masyarakat kota. Masyarakat kota yang sedikit tapi dipimpin oleh pemimpin yang baik itu lebioh baik dari pada masyarakat besar tapi dipimpin pemimpin yang lemah.
4.      Filsafat ketuhannanya, Tentang ilmu Tuhan, pemikiran Al-Farabi terpengaruh oleh Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui dan memikirkan alam. Pemikiran ini dikembangkan oleh Al- Farabi dengan mengatakan Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyah (partikular). Maksudnya, pengetahuan Tuhan tentang yang rinci tidak sama dengan pengetahuan manusia.
5.      Filsafat jia dan akal, bagi saya mengenai filsafat jiwa al-farabi sama dengan filsafat ibnu sina bahwa manusia terdiri dari tida daya, yaitu daya bergerak, daya mengetahui dan daya berfikir.











PEMIKIRAN FILSAFAT IBNUMISKAWAIH

A.    Biografi.
Nama lengkap Ibn Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Maskawaih. Ia lahir di Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam Iran sekarang) pada tahun 320 H/932 M dan wafat pada usia lanjut di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Pebruari 1030 M. Ibnu Maskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi di Baghdad(320-450 H/ 932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syi’ah.[47]
Puncak prestasi kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud Al-Daulah yang berkuasa tahun 367-372 H, perhatiannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan amat besar, sehingga pada masa ini Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah dan pada masa ini jugalah Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. Tetapi keberhasilan politik dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu tidak dibarengi dengan ketinggian akhlak, bahkan dilanda kemerosotan akhlak secara umum, baik dikalangan elite, menengah, dan bawah. Tampaknya hal inilah yang memotivasi Maskawaih untuk memusatkan perhatiannya pada etika Islam.
Pada zaman raja ‘Adhudiddaulah, Ibu Maskawaih juga mendapat kepercayaan besar dari raja karena diangkat sebagai penjaga (khazin) perpustakaannya yang besar, disamping sebagai penyimpan rahasianya dan utusannya ke pihak-pihak yang diperlukan.[48]
B.     Emanasi manusia.
Sebagaimana al-farabi, ibnu miskawaih juga mempunyai emanasi hanya saja emanasinya berbeda dengan emanasi al-farabi. Menurut entitas pertama yang memancarkan dari Allah ialah Aql fa’al (akal aktif). Akal aktif[49] ini tanpa perantara satupun. Ia qadim sempuran dan tidak berubah. Dari akal aktif ini timbullah jiwa dengan jiwa timbul pulalah planet-planet.
                        Adapun perbedaan emanasi ibnu miskawaih dan Al-Farabi:
1.      Menurut ibnu miskawaih, Allah menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada menjadi ada sementara itu, menurut al-farabi alam dijadikan tuhan secara pancaran dari bahan yang sudah ada menjadi ada.
2.      Menurut ibnu miskawaih, ciptaan Allah yang pertama ialah akal aktif. Sementara itu, bagi Al-Farabi ciptaan Allah yang pertama ialah akal pertama dan akal aktif adalah akal kesepuluh.
Emanasi ibnu miskawah bahwa Mansuia itu dari mineral, dari karang kemudian ke tumbuhan menajdi kurma setelah itu ke binatang menjadi kera setelah kera menjadi manusia, perbedan Antara teori Darwin dan ibnu misakawaih ini yaitu:
1.      Ibnu miskawaih 4 evolusi sedangkan Darwin hanya satu evolusi.
2.      Ibnu miskawaih setiap proses dari mineral ketumbuhan llau kebinatang llau menajdi manusia ada unsur Allah di dalamnya, sedangkan bagi Darwin tidak ada unsur tuhan di dalamnya.
C.     Ahlak utama.
Akhak menuruit konsep Ibnu Miskawaih,ialah suatu sikap mental atau keadaan yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan.Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua unsur,yakni unsur naluriah dan unsure lewat kebiasaan dan latihan
Berdasarkan ide diatas,secara tidak langsung Ibnu Miskawaih menolak pandangan orang orang yunani yang mengatakan  bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah.Babi Ibnu Miskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan dan latihan latihan.pemikiran seperti ini sejalan dengan pemikiran dan ajaran islam karena  secara  eksplisit telah mengisyaratkan kearah ini  dan pada hakikatnya syariat agama bertujuan untuk mengokohkan dan memperbaiki akhlak manusia.karena kebenaran ini tidak dapat di bantah sedangkan sifat binatang saja bisa berubah jadi liar menjadi jinak,apalagi akhlak manusia.
Ibnu Miskawaih juga menjelaskan sifat sifat yang utama,sifat sifat ini ,menurutnya,erat kaitannya dengan jiwa.jiwa memiliki tiga daya :daya marah,daya berfikir,dan daya keinginan.Sifat Hikmah adalah sifat utama bagi jiwa berfikir yang lahir dari ilmu.Berani adalah sifat utama bagi jiwa marah yang tinbul dari jiwa hilm,sementara Murah adalah sifat utama pada jiwa keinginan lahir dari iffah.dengan demikian  ada tiga sifat utama yaitu hikmah,berani dan murah.apabila  ketiga sifat utama ini serasi,muncul sifat utama yang keempat,yakni adil.
Dalam kitab Al-akhlak Ibnu Miskawaih juga memaparkan kebahagian,menurutnya meliputi jasmani dan rohani.pendapatnya ini merupakan gabungan antara pendapat plato dan Aristoteles.Menurut plato kebahagian yang sebenarnya adalah kebahagian rohani.Hal ini dapat diperoleh manusia apabila rohaniyah telah berpisah dengan jasadnya.Dengan redsaksi lain selama rohaniyah masih  terikat pada jasadnya,yang selalu menghalanginya mencara hikmah,kebahagiaan dimaksud tidak akan tercapai.sebaliknya Aristoteles berpendapat bahwa kebahagian dapat di capai dalam kehidupan di dunia ini,namun kebahagian tersebut berbeda di antara manusia ,seperti orang miskin kebahagiaanya  adalah kekayaan ,yang sakit pada kesehatan dan lainnya.
D.    Hikmah dan filsafat.
Miskawaih membedakan pengertian antara hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz) segala yang ada (al-maujudat) sebagaimana adanya.  Dengan hikmah, seseorang mampu mengetahui perkara-perkara ilahiah (ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan). Hasil dari pengetahuan, seseorang mampu mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) untuk membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.[50]
Sedangkan mengenai filsafat, Miskawaih membagi filsafat menjadi dua bagian, yaitu bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang digunakan untuk dapat mengetahui segala sesuatu sehingga pikirannya benar, keyakinannya benar, dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempuarnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.
E.     Jiwa dan roh
Jiwa yang merupakan limpahan dari akal aktif bersifat rohani, sehingga tidak dapat diraba menggunakan pancaindera. Jiwa bersifat rohani atau tidak bersifat material dibuktikan oleh Miskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang berlawanan. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran hitam-putih dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima salah satu saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang inderawi maupun yang spiritual.[51]
Dalam jiwa, terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan yang tidak benar dari apa yang diperoleh pancaindera. Perbedaan itu dilakukan dengan cara membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain, serta membedakannya. Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing pancaindera dan membetulkan kekeliruan-kekeliruan yang dialami pancaindera
Dalam kitab al-Fauz al-Ashghar, Miskawaih mengetengahkan uraian tentang sifat dasar Neoplatonisme. Yang agak tidak lazim. Dia mengklaim bahwa para filsuf klasik (filsuf Yunani) tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan, sehingga tidak masalah jika mempertemukan pemikiran mereka dengan pemikiran Islam. Miskawaih menyatukan antara pandangan bahwa Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan dengan gagasan emanasi terputus Neoplatonisme.
Dia bahkan mengklaim bahwa penyamaan Aristoteles mengenai Sang Pencipta dengan “Penggerak yang Tidak Bergerak” (al-muharrik alladzi la ya-taharrak) merupakan argumen kuat tentang Sang Pencipta yang dapat diterima agama.[52] Menurut De Boer, Miskawaih menyatakan bahwa Tuhan adalah Zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas. Dikatakan jelas karena Tuhan adalah Yang Hak (Benar), dan Yang Hak adalah terang. Dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal pikiran manusia untuk menangkap-Nya, karena banyak dinding-dinding atau kendala kebendaan yang menutupi-Nya.[53]
F.      Kenabian.
Dalam hal kenabian, tampaknya tidak ada perbedaan pendapat antara Miskawaih dengan al-Farabi. Menurut Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran karena pengaruh akal aktif pada daya imajinasinya. Perbedaan antara Nabi dan para filsuf terletak pada cara memperolehnya. Para filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas: dari daya inderawi, daya khayal, daya pikir, sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sedangkan para Nabi memperoleh langsung dari akal aktif sebagai rahmat Tuhan. Manusia membutuhkan Nabi untuk mengetahui hal-hal yang bermanfaat yang dapat membawanya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
G.    Politik.
Mengutip pendapat Azdsher, Miskawaih mengatakan bahwa agama dan kerajaan bagai saudara kembar atau dua sisi dari mata uang yang sama (two side or the same coin), yang tidak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama merupakan landasan dasar, kerajaan merupakan pengawalnya. Segala sesuatu tanpa landasan dasar akan mudah hancur, dan segala sesuatu tanpa pengawal akan sia-sia.
Miskawaih menegaskan bahwa yang menjaga tegaknya syariat Islam adalah imam yang kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Tidak dikatakan raja jika tidak menjaga keselamatan agama. Penguasa yang berpaling dari agama adalah penjajah (mutaghallib). Karena seorang raja yang melampaui batas kewenangannya akan mengakibatkan kelemahan dan kerusakan. Kedudukan agama menjadi goyah, akhirnya kebahagiaan yang didambakan berbalik menjadi kesengsaraan, perselisihan, dan perpecahan. Jika demikian, tibalah saatnya untuk diadakan perubahan pimpinan kerajaan, yaitu imam yang sebenarnya dan raja yang adil.[54]

STUDY KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN IBNU MISKAWAIH
1.      Kritik terhadap emanasi.
Dalam tradisi Neoplatonisme Islam, hasil-hasil emanasi ilahiah ini biasanya muncul agak di bawah tingkatan wujud yang memberi kesan bahwa Miskawaih mempunyai kesulitan memahami basis perbedaan antara penciptaan dan emanasi yang sebenarnya. Ada alasan-alasan untuk menuduh Miskawaih tidak cukup berusaha menggabungkan berbagai tesis metafisis yang digunakannya dalam sebuah argumen yang memuaskan, tetapi lebih sekedar menggabungkan tesis-tesis tersebut dengan cara sembarangan untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang tidak berhasil mengangkat masalah-masalah penting yang muncul.
Ia sangat peduli pada upaya menyelaraskan pandangan filosofis dengan pandangan religius mengenai sifat dasar dunia sehingga ia tidak menemukan adanya masalah dalam menyatukan pandangan bahwa Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan dengan gagasan emanasi terputus Neoplatonisme. Tentu saja, sejumlah filsuf berpendapat ada masalah disini.
2.      Kritik terhadap filsafat kenabian..
Dalam membicarakan hal kenabian, Maskawaih menyajikan banyak hal yang sepintas lalu tidak lazim digolongkan sebagai topic kenabian. Ibnu Maskawaih membicarakan masalah tingkatan-tingkatan wujud dalam alam dan hubungannya satu sama lain. Dibicarakannya pula manusia yang merupakan mikrokosmos dibandingkan dengan alam semesta yang merupakan mikrokosmos. Dibicarakannya juga macam-macam kapasitas dan daya manusia yang mengalami perkembangan panca indera meningkat menjadi kekuatan bersama seperti perkembangan dari tingkat yang rendah kepaada tingkat yang lebih tinggi, seperti perkembangan panca indera meningkat menjadi kekuatan bersama( common sensibility) dan dari sini berkembang lagi kepada yang lebih tinggi atas rahmat Allah. Kemudian dibicarakan pula perihal wahyu dan cara diperoleh juga tentang akal yang diibaratkan sebagai raja yang ditaati sesuai pembawaannya, juga tentang perbedaan antara nabi yang diutus dan nabi yang tidak diutus. Sedangkan dalam pemikiran Al Farabi, filosof, kepala negara, raja, pembuat undang-undang, dan imam adalah sama pengertiannya. Agar seseorang dapat mencapai martabat ini disyaratkan kemampuannya mencapai tingkat akal mustafad, sehingga ia dapat berhubungan dengan akal aktif(‘aql fa’al), yakni akal kesepuluh yang juga disebut Jibril. Lewat akal ini, Allah menyampaikan wahyuNya kepada orang tersebut. Artinya akal aktif meneruskan wahyu itu kepada akal pasif(‘aql munfa’il) melalui akal mustafad dan selanjutnya kepada daya khayal(quwwah mutakhayyilah). Wahyu yang melimpah kepada akal pasif, maka orangnya disebut filosof, sedangkan yang melimpah kepada daya khayal, ia disebut Nabi. Filosof tidak sejajar tingkatannya dengan Nabi, karena setiap Nabi adalah filosof dan tidak setiap filosof adalah Nabi. Setiap Nabi memiliki keistimewaan yang melebihi filosof. Demikianlah pemikiran Ibnu Maskawaih tentang hubungan agama dengan falsafah yang jelas menunjukkan persamaan dengan apa yang telah digariskan oleh al Farabi sebelumnya dan yang merupakan kecenderungan kebanyakan para filosof Islam sebagai akibat dari kekagumannya terhadap falsafah Yunani di satu pihak dan ajaran Islam di pihak lain.  

KESIMPULAN YANG BISA DIPETIK
Filsafat emanasi miskawaih menyebutkan bahwa manusia dari mineral lalu menjadi tumbuhan kurma lalu menajdi binatang kera dan selanjtnya menajdi mansuia, hanya yang membedakan dengan Darwin miskawaih ada unsur Allah di dalam setiap rangkaian itu.








DAFTAR PUSTAKA
Amsal Bakhtiar. 2008. Filsafat Ilmu (edisi revisi). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
 Frondizi, Resieri. 2001. Pengantar Filsafat Nilai (Terjemahan oleh: Cuk Ananto Wijaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gandhi, Teguh Wangsa. 2011. Filsafat Pendidikan: Madzab-Madzab Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Jalaluddin & Idi, Abdullah. 2007. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Knight, George R. 2007. Filsafat Pendidikan (Terjemahan oleh: Mahmud Arif). Yogyakarta: Gama Media.
Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama. 
Muslih, Muhammad. 2005. Filsafat Umum: Dalam Pemahaman Praktis. Yogyakarta: Belukar.
Salam, Burhanuddin . 2005. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.
Suhartono, Suparlan. 2007. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Supriyanto, S. 2003. Filsafat Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat.  Universitas Airlangga. Surabaya.
Surajiyo . 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi     Aksara.
Knight, George R. 2007. Filsafat Pendidikan (Terjemahan oleh: Mahmud Arif). Yogyakarta: Gama Media.
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press 1986
Ali Maksun. 2011.Pengantar Filsafat: dari masa klasik hingga postmodernis. Jogjakarta: ar-ruzzi media cet. IV
Anas Salahudin. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia.
Djumransjah. 2006. Filsafat Pendidikan. Malang:Bayu Media Publishing.
Kattsoff,Louis O.2004.Pengantar Filsafat.Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya.
Praja,Juhaya S.2003.Aliran-aliran Filsafat dan Etika.Jakarta:PRENADA MEDIA.
Uyoh Sadulloh. 2012. Pengantar Filsafat Pendidikan.Bandung : Penerbit Alfabeta.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Persfektif, Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987



[1] Maksudnya, orang yang suka pada kebijaksanaan sekaligus akan berusaha untuk berbuat bijaksana. Zulhelmi.,Filsafat Umum, (Palembang:IAIN Raden Fatah Press, 2004), Hlm 1
[2] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2001), h.1
[3] Proses ini juga disebut Proses Demitologisasi, yaitu Jalan yang mengarah dari mitos menuju ilmu, melalui sastra dan filsafat bisa disebut demitologisasi. Hal ini terjadi karena penjelasan mengenai mitos makin lama makin tidak memuaskan manusia. Manusia terus menerus mencari penjelasan untuk mengubahnya menjadi ungkapan kebenaran yang lebih pasti. Mitos yang bertetangan dengan mitos lainnya, nalar cerita tidak bersambung, serta bertentangan dengan indera mulai serius untuk diteliti, mencermati, dan mengobservasi dunia. Lihat masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat (Jogjakarta : IRCiSoD, 2013).
[4] Menurut Dra. Nur’aini ahmad M, fill dalam penjelasan dan kuliahnya tanggal Selasa, 6 Maret 2018 diruangan 3.19 bahwa sejarah timbulnya filsafat ini adalah factor mitos yang berkuasa saat itu dimana setiap cerita orang percaya-percaya saja dengan cerita itu tanpa membantah mengkritik dan lain sebagainya.  Mitos legenda itu  turun temurun diceritakan, sebagai contoh “diindonesia mengapa badai? Nyi roro kidul sedang marah sama kita.  Mitos yang lain yaitu missal orang Hamil dilarang duduk di depan pintu nanti akan suisah melahirkan” orang lalu menerima saja pernyataan itu tanpa mau berfikir lagi dan mempertanyakan kembali kebenaran cerita itu. Lalu dari MItos ini lahirlah Logos, orang mulai bertanya dan menggunakan logikanya  (berfikir) dan mulai bertanya segala-galanya. Dan yang ditanyakn pertama itu yaitu tentang Prima kausa, Dasar yang pertama itu apa?
1.      Thales (6250-545 SM), seorang sejarawan abad ke-5 SM.  mengatakan bahwa yang awal itu adalah Air, mengapa berpendapat seperti ini? Karena dia seorang  sodagar dan ia melihat bahwa air lebih bnayak dari daratan.
2.      Anaximandros (640-546 SM), Anaximander mencoba menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal dan ada dengan sendirinya (Mayer,1950:19).anaximander menagatakan itu udara. Udara merupakan segala sumber kehidupan , demikian alasannya.
3.      Anaxagoras (±499-20 SM ) mengatakan bahwa asal segala sesuatu ini dari atom.
4.      Empedocles (492-432 SM) lahir di Acragas, di pesisir selatan sisilia. Mengatakan bahwa asal usul kehidupan itu terbentuk dari empat anasir yaitu air, udara, api dan tanah.
5.      Anaximander (610-546 SM) adalah murid thales serta tokoh kedua Mdzhab Milesian. Segala sesuatu berasal dari subtansi yang asali, tapi bukan air melain kan “tak terbatas” abadi dan tak mengenal usia serta melingkupi seluruh dunia.
6.      Plotinus (mesir) asal dari segala sesuatu ini adalah dari The One.
7.      Lalu ada yang mengatakan bahwa yang asal itu dari api => asap => embun => uwap => air => ikan => monyet => manusia.
8.      Lada mengatakan juga dari tanah dll.
[5] Ahmad tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990) hal. 8
[6] Dedi Suriyadi, Pengantar Filsafat Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2009, Hal. 35.
[7] Nama lengkap Abdul Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Ash-shabah bin ‘Imran bin Isma’il bin Muhammad bin Al-Asy’ats bin Qa’is al-kindi.
[8] Sirajuddin, Filsafat Islam (Jakrta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 37.
[9] Muhammad Ali Abu Rayyan, Tarikh al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam (Iskandariya: Dar al­Ma’rifat al-Jamiah, 1996), h. 316. 


[10] Muhammad Abdul Hadi Abu Zaidah,Rasāil al-Kindī al-Falsafiyah,(Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1369 H/1950 M), p. 97
[11] Ibid, p. 98
[12] MM Syarif (ed),Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan,1993), p. 17 baca juga Muhammad Abdul Hadi Abu Zaidah, Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyah, (Darul Fikr al-‘Arabiy, 1369/1950
[13] Dedi Supriyadi,Pengantar Filsafat Islam;Konsep Filsuf dan Ajarannya, p. 63
[14] Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi,Atlas Budaya Menjelajah Khasanah Peradaban Gemilang Islam.terj. oleh Ilyas Hasan,(Bandung: Mizan, 2003), p. 337
[15][15] Ini merupakan pendapat yang berbeda dengan filusuf yunani yaitu aristoteles yang mengatkan bahwa tuhan adalah penggerak pertama. Al-kindi lebih dekat dengan falsafat Plotinus yang mengatakan bahwa yang mahasatu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari yang maha satu. Lihat, Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan BIntang, 1996), 77.
[16] Seyyed Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed), (Bangung: Mizan,2003), p.210
[17] Ibid
[18] Sirazuddin zar, Filsafat Islam: Filosof dan filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) 44-47.
[19] Ibid, 51
[20] Ini merupakan hasil kajian ulang yang dilakukan oleh Al-Kindi terhadap filsafat aristoteles yang mengtakan bahwa alam ini qadim.
[21] Op. Cit., sirajuddin zar, h. 59.
[22] Dalam penejalasan Dra. Nura’ani ahmad, M.fil hari selasa tanggal 27 febuari 2018 Dalam ruangan 3.19 bahwa plato bertanya yang ada ini berasal dari mana? Alam idea, jauh disana, ada yang bilang bayangan-bayangan. Bayangan adakah? Ada, ruh adakah? Ada, ini dianbil islam, pada plato semua pada idea jauh disana. Dalam islam berasal dari mana? Dari allah, islam menganmbil ide plato. Idea menurut Al-Farabi adalah Alah. Palto kembali pada idea, sedangkan kita kembali kepada Allah. Jiwa atau ruh bagi palto selama ruh dalam tubuh, ibarat burung dalam sangkar, maka sebelum meninggal maka sucikan dulu, ini ajaran dari gurunya Socrates, dan dalam islam ini dinamkan dengan Tazkiyatunnafs.
[23] Mengenai akal, al-Kindi juga berbeda pendapat dengan Aristoteles. Aristoteles membedakan akal menjadi dua macam, yaitu akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin menerima pikiran, sedangkan akal agen menghasilkan objek-objek pemikiran. Akal agen ini dilukiskan oleh Aristoteles sebagai tersendiri, tak bercampur, selalu aktual, kekal, dan takkan rusak. Lihat, M.M. Syarif, dkk, History of Muslim Philosophy …, hlm. 26-27.

[24] Ini pernah juga disampaikan oleh Dra. Nur’aini ahmad, M. fill dalam kuliahnya hari selasa tanggal 6 Maret 2018 di ruangan 3.19
[25] Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat pengetahuan Islam, Jakarta : UI Press, Cet ke 1, 1985,  ha 46
[26] Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat pengetahuan Islam, Jakarta : UI Press, Cet ke 1, 1985,  ha 46
[27] Drs.Atang Abd Hakim dan Dr.Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, Cet ke 3, 2000, hal 111
[28] Hasyim Syah mengutip Ibnu Muhammad Zakariya Ar Razi dalam bukunya Al Thib al Ruhani al Latif  al Ghai
[29] HasyimSyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama , 1999, Hal 26
[30] Yusril Ali, Perkembangan pemikiran Filsafat dalam Islam, Jakarta : Bumi aksara, cet ke-1, hal 38
[31] Op., Cit., Sirajuddin zar, 121-122. Namun menurut Bpk. Jefri (sekertaris Ibu Dra. Nur’aini) hari selasa, 20 Maret 2018, ruangan 3.19 Mengatakan Jangan-jangan kita keliru referensi, karena yang kit abaca ini adalah terjemahan, kita belum lihat dan baca karya aslinya beliau bagaimana. Karena setiap orang perspektifnya berbeda ada yang lihat sisi buruknya da nada yang melihatnya di sisi baiknya saja. Karena orang akan dipengaruhi oleh social kultural  dan politik pada saat itu, sebagai contoh imam syafi’I di irak menulis al-umm tapi ke mesir mengkaji al-umm jadi qaul qadim dan qaul jaded. Social kultur sangat berpengaruh pada pola [piker seseorang. Kita lihat ar-razi di jaman apa? Kultur gimana? Masih relevan nggak dengan zaman sekarang?
[32] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ... , hlm.24-25
[33] Yunasir Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 35-36

[34] Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: CV Pustaka setia, 2007) h. 116.
[35] Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, Cet. Ke-1, (Bandung: Rosdakarya, 1988), hlm.133
[36] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, (Jakarta: UI Perss, 1993), hlm.49


[37] Dalam penjelasan Dra. Nur’ani, M. fill hari selasa tanggal 27 febuari 2018 dalam ruangan 3.19 memberikan penjelasan bahwa teori emanasi ini teori pemancaran. Dan muncul pertanyaan apakah emanasi ini diciptakan langsung atau tidak? Melalui emanasi ini yaitu pelimpahan dari sesuatu ini. Muncul lagi pertanyaan apakah tuhan mengetahui secara Holistik atau secara partikal? Dari pelimpahan maka tuhan hanya  mengetahui secara partikal saja, tidak menyeluruh dan inilah yang di kafirkan oleh Al-Ghazali karena ini membatasi ilmu Allah.
[38] Menurut Dra. Nur’ani Ahmad, M. fill dalam kuliahnya hari selasa tanggal 10 April 2018 diruangan 3.14 mengatakan bahwa dalam proses emanasi ini ada wajibul wujud dan ada mumkinul wujud dan wajibul wujud ini ada dua yaitu ada yang Lidzati dan ada yang ligairihi. Yang lidzati (yang mesti ada dan dan mesti mesti selamanya ada karena dirinya sendiri) dan ini adalah Allah SWT. Sedangkan yang wajibul wujud ligairihi (yang mesti ada karena yang lain) maksuda dari wajibul wujud ligairihi disini yaitu dimana adanya manusia mewajibkan adanya Allah, karena tidak mungkin manuisa ini jadi karena illatnya sendiri tentu ada yang menciptakan, karena adanya ciptaan mengharuskan adanya pencipta. Lalu, mumkinul wujud yaitu yang mungkin ada dan mungkin tidak ada adanya kita diadakan sasma yang lain, jadi kita boleh ada dan boleh tidak ada artinya mungkin ada dan mungkin tidak ada.
[39] Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2004. Hlm. 38.
[40] Pernyataannya ini terinsiprasi dari teori emanasi yang dia kemukakan bahwa emanasi itu secara pancaran bukan secara Cite (langsung) maka tuhan ahnay mengetahui secara juz’i/partikal/sebagian, bukan secara kulli/holistic/menyeluruh.
[41] Ibrahim Madkûr, Fī Al-Falsafah al-Islâmiah Manhaj wa Taţbiquh, diterjemahkan oleh Yulian Wahyudi Asmin & A. Hakim Mudzakir dengan judul Falsafat Islam, Metode dan Penerapan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Pers, 1993), h.227
[42] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 1992), h.29
[43] M. M. Syarif, History of Muslim Philisophy, penyunting Ilyas Hasan, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1994), h.70
[44] Harun Nasution, op. cit., h. 30
[45] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), lihat Harun Nasution, loc. cit.
[46] Taufiq Abdullah (et al), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradaban jilid IV, (Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 192
[47] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009). Hal. 127.
[48] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hal. 56.
[49] Menurut Dra. Nur’aini ahmad, M.fil menjelaskan beberapa akla dalam kuliahnya hari selasa tanggal 10 April 2018 di ruangan 3.14 sebagai berikut:
1.      Akal potensil, seperti buah dalam buah ada isi yang lama-lama tumbuh dan ini diberi oleh Allah.
2.      Akal actual, seperti buah al-pukat, tumbuh menjadi buah al-pukat juga jadi yang tadi potensil menjadi pohon dan bebruah kembali, jadi ketika tumbuh itu yang actual, kalo al-pukat tidak tumbuh ya potensil, perlu untuk ditumbuhkan? Perlu maka sediakan tanah yang subur agra ia tumbuh.
3.      Akal aktif,
[50] Mustofa, H. A., 2009, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 169

[51] Mustofa, Ibid, hlm. 172-173.

[52] Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 113.

[53] Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 130.

[54] mustofa 186

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...