Dalam upaya agar agama terpahami baik upaya yang bersifat internal
yakni upaya tradisi keagamaan mengeksplorasi watak dan makna keimanan maupun
upaya eksternal yakni upaya menjelaskan dan mengartikulasikan makna itu bagi
mereka yang tidak berada dalam tradisi, agama tidak dapat dipisahkan dari filsafat.
Keterkaitan antara keduanya terfokus pada rasionalitas, kita dapat menyatakan
bahwa suatu pendekatan filosofis terhadap agama adalah suatu proses rasional.
Yang dimaksud “proses rasional” ini mencakup dua hal. Pertama, kita menunjukkan
fakta bahwa akal memainkan peran fundamental dalam refleksi pengalaman dan
keyakinan keagamaan dalam suatu tradisi keagamaan. Kedua, kita menunjukkan
fakta bahwa dalam menguraikan keimanannya, tradisi keagamaan harus dapat
menggunakan akal dalam memproduksi argumen-argumen logis dan dalam membuat
klaim-klaim yang dapat dibenarkan.
Sedangkan dalam kajian Islam berpikir filosofis tersebut
selanjutnya dapat digunakan dalam memahami agama, dengan maksud agar hikmah,
hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara
saksama. Pendekatan filosofis ini sebenarnya sudah banyak dilakukan sebelumnya,
diantaranya Muhammad al Jurjawi yang menulis buku berjudul Hikmah Al Tasyri’ wa
Falsafatuhu. Dalam buku tersebut Al Jurjawi berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat
di balik ajaran-ajaran agama Islam, misalnya ajaran agama Islam mengajarkan
agar melaksanakan sholat berjamaah dengan tujuan antara lain agar seseorang
dapat merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain, dan lain
sebagainya. Makna demikian dapat dijumpai melalui pendekatan yang bersifat
filosofis.
Dengan menggunakan pendekatan filosofis seseorang akan dapat
memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat pula menangkap
hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian ketika
seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan spiritual
yang dapat menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna filosofis dari
suatu ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap, penghayatan, dan daya
spiritualitas yang dimiliki seseorang.
Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak
pada pengamalan agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan
susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang
didapatkan dari pengamalan agama hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah
haji, sudah menunaikan rukun Islam kelima dan berhenti sampai disitu saja.
Tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Namun
demikian pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan
bentuk pengamalan agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin
yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang
bersifat eksoterik. Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya
mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan
filosofis dalam memahami ajaran agamanya.
Dari pemaparan di atas penulis mencoba untuk merumuskan pengertian
dari pendekatan filosofis. Menurut penulis pendekatan filosofis adalah cara
pandang atau paradigma yang bertujuan untuk menjelaskan inti, hakikat, atau
hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya. Dengan kata lain,
pendekatan filosofis adalah upaya sadar yang dilakukan untuk menjelaskan apa
dibalik sesuatu yang nampak.
A.
PENDEKATAN NORMATIF
Pendekatan normatif adalah studi islam yang memandang masalah dari
sudut legal-formal atau normatifnya.[3] Legal-formal adalah hukum yang ada hubungannya dengan halal
dan haram, boleh atau tidak dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh
ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normatif
mempunyai cakupan yang sangat luas sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh
ahli usul fikih (usuliyin), ahli hokum islam (fuqaha), ahli tafsir (mufassirin)
danah lihadits (muhaddithin) ada hubungannya dengan aspek legal-formal serta
ajaran islam dari sumbernya termasuk pendekatan normatif.
Sisi lain dari pendekatan normatif secara umum ada dua teori yang
dapat digunakan bersama pendekatan normatif-teologis.Teori yang pertama
adalah hal - hal yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran serta
dapat dibuktikan secara empirik dan eksperimental.Teori yang kedua adalah
hal-hal yang sulit dibuktikan secara empirik dan eksperimental.Untuk hal-hal
yang dapat dibuktikan secara empirik biasanya disebut masalah yang berhubungan
dengan ra’yi (penalaran).
Sedang masalah-masalah yang tidak berhubungan dengan empirik
(ghaib) biasanya diusahakan pembuktiannya dengan mendahulukan kepercayaan.Hanya
saja cukup sulit untuk menentukan hal-hal apa saja yang masuk klasifikasi
empirik dan mana yang tidak terjadi sehingga menyebabkan perbedaan pendapat
dikalangan para ahli.Maka sikap yang perlu dilakukan dengan pendekatan normatif
adalah sikap kritis.
Adapun beberapa teori popular yang dapat digunakan dengan
pendekatan normatif disamping teori-teori yang digunakan oleh para
fuqaha’,usuluyin,muhaddithin dan mufassirin diantara adalah teori
teologis-filosofis yaitu pendekatan memahami Al Qur’an dengan cara
menginterpretasikannya secara logis-filosofi yakni mecari nilai-nilai objektif
dari subjektifitas Al Quran.
Teori lainnya adalah normatif-sosiologis atau sosiologisseperti
yang ditawarkan Asghar Ali Engerineer dan Tahir al-Haddad yakni dalam memahami
nash (Al Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW.) selain itu ada pemisahan antara
nash normatif dengan nashsosiologis.Nash normatifadalahnash yang
tidaktergantungpadakonteks. Sementaranashsosilogisadalahnash yang
pemahamannyaharusdisesuaikandengankontekswaktu, tempatdanlainnya.
Dalam aplikasinya pendekatan nomatif tekstualis tidak menemui
kendala yang berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi islam normatif
yang bersifat Qoth’i. Persoalanya justru akan semakin rumit ketika pendekatan
ini dihadapkan pada realita dalam Al-Quran bahkan diamalkan oleh komunitas
tertentu secara luas contoh yang paling kongkrit adalah adanya ritual tertentu
dalam komunitas muslim yang sudah mentradisi secara turun temurun,seperti
slametan (Tahlilan atau kenduren).
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan normatif tekstualis
dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir
yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak sehingga tidak perlu
dipertanyakan lebih dulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya
diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan normatif tektualis sebagaimana disebutkan diatas telah
menunjukan adanya kekurangan seperti eksklusif dogmatis yang berarti tidak mau
mengakui adanya paham golongan lain bahkan agama lain dan sebagainya.Namun
demikian melalui pendekatan norrmatift tektualis ini seseorang akan memiliki
sikap militansi dalam beragama sehingga berpegang teguh kepada agama yang
diyakininya sebagai yang benar tanpa memandang dan meremehkan agama lainya.
B.
PENDEKATAN HISTORIS
Sejarah atau historis (Historical Approach) adalah suatu ilmu yang
didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu,
objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini
segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di
mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dal peristiwa tersebut.Melalui
pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang
bersifat emiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya
kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan
yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agam,
karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkrit bahkan berkaitan
dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah
melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut
pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-qur’an ia sampai pada satu
kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Al-Qur’an itu terbagi menjadi dua
bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi
kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep ini kita mendapati banyak
sekali istilah Al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normative
yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran
keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan
itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab
pada waktu Al-Qur’an, atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang
dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep relegius yang ingin
diperkenalkannya. Yang jelas istilah itu kemudian dintegrasikan ke dalam
pandangan dunia Al-Qur’an, dan dengan demikian, lalu menjadi konsep-konsep yang
otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik
yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, Malaikat, Akhirat,
Ma’ruf, munkar dan sebagainya adalah termasuk yang abstrak. Sedangkan konsep
tentang fuqara’, masakin, termasuk yang konkret.Selanjutnya, jika pada bagian
yang berisi konsep, Al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif
mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian yang kedua yang berisi kisah dan
perumpamaan Al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh
hikmah.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki
keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini
maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya.
Seseorang yang ingin memahami Al-Qur’an secara benar misalnya, yang
bersangkutan harus memahami sejarah turunnya Al-Qur’an atau kejadian-kejadian
yang mengiringi turunnya Al-Qur’an yang selanjutnya disebut dengan ilmu asbab
al-nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat Al-Qur’an. Dengan ilmu
ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat
yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at
dari kekeliruan memahaminya.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam
idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang
akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam
alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis. Menurut perpektif
sejarah, ada 2 macam penafsiran terhadap aturan hukum dan perundang-undangan,
yaitu :
1.
Penafsiran menurut sejarah hukum,
C.
PENDEKATAN ANTROPOLOGI.
Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai
salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui ini pendekatan agama
tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan
berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
1.
Antropologi Sebagai Bidang Ilmu Humaniora.
Antropologi adalah sebuah ilmu yang didasarkan atas observasi
gartisipasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul,
dengan menetralkan nilai, analisa yang tenang (tidak memihak) menggunakan
metode komgeratifi.Tugas utama antropologi, studi tentang manusia adalah untuk
memungkinkan kita memahami diri kita dengan memahami kebudayaan lain.
Antropologi menyadarkan kita tentang kesatuan manusia secara esensil, dan
karenanya membuat kita saling menghargai antara satu dengan yang lainnya.
Sedangkan Humaniora atau Humaniteis adalah bidang-bidang studi yang
berusaha menafsirkan makna kehidupan manusia dan berusaha menambah martabat
kepada penghidupan dan eksitensis manusia menurut Elwood mendefinisikan
”Humaniora” sebagai seperangkat dari perilaku moral manusia terhadap sesamanya,
beliau juga mengisyaratkan pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang
mempunyai kedudukan amung (unique) dalam ekosistem, namun sekaligus juga amat
tergantung pada ekosistem itu dan ia sendiri bahkan merupakan bagian
bidang-bidang yang termasuk humaniora meliputi agama, filsafat, sejarah,
bahasa, sastra, dan lain-lain. Manfaat pendidikan humaniora adalah memberikan
pengertian yang lebih mendalam mengenai segi manusiawi.
Jadi antara antropologi dan humaniora hubungannya sangat erat yang
kesemuanya memberikan sumbangan kepada antropologi sebagai kajian umum mengenai
manusia. Bagi para humanis bahan antropologis juga sangat penting. Dalam
deskripsi biasa mengenai kebudayaan primitif, ahli etnografi tradisional
biasanya merekam sebagai macam mite dan folktale, menguraikan artifak, musik
dan bentuk-bentuk karya seni, barangkali juga menjadi subjek analisa bagi para
humanis dengan menggunakan alat-alat konseptual mereka sendiri.
2.
Ilmu-ilmu Bagian Dari Antropologi
Di universitas-universitas Amerika, antropologi telah mencapai
suatu perkembangan yang paling luas ruang lingkupnya dan batas lapangan
perhatiannya yang luas itu menyebabkan adanya paling sedikit lima masalah
penelitian khusus:
1. Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia (evolusinya)
secara biologis.
2. Masalah sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia,
dipandang dari sudut ciri-ciri tumbuhnya.
3. Masalah sejarah asal, perkembangan dan persebaran aneka
warna bahasa yang diucapkan manusia diseluruh dunia.
4. Masalah perkembangan persebaran dan terjadinya aneka warna
kebudayaan manusia di seluruh dunia.
5. Masalah mengenai asas-asas kebudayaan manusia dalam
kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa yang tersebar diseluruh bumi masa
kini.
3.
Signifikasi Antropologi Sebagai Pendekatan Studi Islam
Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai
salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama
tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan
berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa
cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu
masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini
sebagaimana dikatakan Powam Rahardjo, lebih mengutamakan langsung bahkan
sifatnya partisipatif.
D.
PENDEKATAN SOSIOLOGI
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam
masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya
itu. Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan
yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian.Dari dua definisi terlihat
sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap
dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling
berkaitan.
Jalaluddin Rahman dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menunjukkan
betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah
sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut:
1. Pertama, dalam Al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi
terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut
Ayatullah Khomaeni dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip
Jalaluddin Rahman, dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan
ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus –
untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).
2. Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial)
dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya
dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau
ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan
sebagaimana mestinya.
3. Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakan
diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat seorangan. Karena
itu shalat yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya dari
pada shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding
dua puluh derajat.
4. Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan
ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu
maka kifaratnya (tembusannya) adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan
masalah sosial.
5. Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik
dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah
sunnah.
Ilmu sosial dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam
memahami agama. Hal ini dapat dimengerti karena banyak bidang kajian agama yang
baru dipahami secara imporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan
dari ilmu sosila. Pentingnya pendekatan sosial dalam agama sebagaimana
disebutkan diatas, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang
berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah
sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai
alat untuk memahami agamanya.
Maksud pendekatan ilmu sosial ini adalah implementasi ajaran Islam
oleh manusia dalam kehidupannya. Pendekatan ini mencoba memahami keagamaan
seseorang pada suatu masyarakat. Fenomena-fenomena keislaman yang bersifat
lahir diteliti dengan menggunakan ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi
dan lain sebagainya. Pendekatan sosial ini seperti apa perilaku keagamaan
seseorang didalam masyarakat apakah perilakunya singkron dengan ajaran agamanya
atau tidak. Pendekatan ilmu sosial ini digunakan untuk memahami keberagamaan
seseorang dalam suatu masyarakat.
E.
PENDEKATAN TEOLOGIS
Teologi dari segi etimologi berasal dari bahasa yunani
yaitutheologia. Yang terdiri dari kata theos yang berarti tuhan atau dewa, dan
logos yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan .
sedangkan pendekatan teologis adalah suatu pendekatan yang normatif dan
subjective terhadap agama. Pada umumnya, pendekatan ini dilakukan dari dan oleh
penganut agama dalam usahanya menyelidiki agama lain. Secara harfiah,
pendekatan teologis normatif dalam memahami agama dapat diartikan sebagai
upayamemahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak
dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu keagamaan dianggap sebagai
yang paling benar dubandungkan dengan yang lainnya.
Menurut The Encyclopedia of American Religion, di Amerika Serikat
terdapat 1.200 sekte keagamaan. Satu diantaranya adalah sekte Davidian bersama
80 orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri masal setelah berselisih
dengan kekuasaan pemerintah Amerika Serikat. Dalam Islam pun secara tradisional
dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah, dan teologi Maturidiyah.
Sebelumnya terdapat pula teologi bernama Khawarij dan Murji’ah.
Di masa sekarang ini, perbadaan dalam bentuk formal teologis yang
terjadi di antara berbagai madzhab dan aliran teologis keagamaan. Namun,
pluralitas dalam perbedaan tersebut seharusnya tidak membawa mereka pada sikap
saling bermusuhan dan saling menonjolkan segi-segi perbedaan masing-masing
secara arogan, tapi sebaiknya dicari titik persamaanya untuk menuju subtansi
dan misi agama yang paling suci. Salah satunya adalah dengan mewujudkan rahmat
bagi seluruh alam yang dilandasi pada prinsip keadilan, kemanusiaan,
kebersamaan, kemitraan, saling menolong, saling mewujudkan kedamaian, dan
seterusnya. Jika misi tersebut dapat dirasakan, fungsi agama bagi kehidupan
manusia segera dapat dirasakan.
F.
PENDEKATAN PSIKOLOGIS
Pendekatan ini merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari
aspek-aspek batini pengalaman keagamaan. Suatu esensi pengalaman keagamaan itu
benar-benar ada dan bahwa dengan suatu esensi, pengalaman tersebut dapat
diketahui. Sentimen-sentimen individu dan kelompok berikut gerak dinamisnya,
harus pula diteliti dan inilah yang menjadi tugas interpretasi psikologis.
Interpretasi agama melalui pendekatan psikologis memang berkembang
dan dijadikan sebagai cabang dari psikologi dengan nama psikologi agama. Objek
ilmu ini adalah manusia, gejala-gejala empiris dari keagamaanya. Karena ilmu
ini tidak berhak mempelajari betul tidaknya suatu agama, metodenya pun tidak
berhak untuk menilai atau mempelajari apakah agama itu diwahyukan Tuhan atau
tidak, dan juga tidak berhak mempelajari masalah-masalah yang tidak empiris
lainnya. Oleh karena itu pendekatan psikologis tidak berhak menentukan benar
salahnya suatu agama karena ilmu pengetahuan tidak memiliki teknik untuk
mendemonstrasikan hal-hal seperti itu, baik sekarang maupun waktu yang akan
datang.
Selain itu, sifat ilmu pengetahuan sifatnya adalah empirical
science, yakni mengandungfakta empiris yang tersusun secara sistematis dengan
menggunakan metode ilmiah. Fakta empiris ini adalah fakta yang dapat diamati
dengan pola indera manusia pada umumnya, atau dapat dialami oleh semua orang
biasa, sedangkan Dzat Tuhan,wahyu,setan,dan fakta gaib lainnya tidak dapat
diamati dengan pola indera orang umum dan tidak semua orang mampu mengalaminya.
Sumber-sumber ilmiah untuk mengumpulkan data ilmiah melalui pendekatan psikologi
ini dapat diambil dari:
1. Pengalaman dari orang-orang yang masih hidup
2. Apa yang kita capai dengan meneliti diri kita sendiri
3. Riwayat hidup yang ditulis sendiri oleh yang
bersangkutan, atau yang ditulis oleh para ahli agama.
G.
PENDEKATAN LAINNYA
1.
Pendekatan Kasus.
Pendekatan
kasus (Case Approach) bertujuan untuk memperlajari penerapan norma-norma atau
kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus
yang telah diputus sebagaimana dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap
perkara-perkara yang menjadi focus penelitian. Dalam hukum Islam, pendekatan
kasus dilakukan dengan mempersembahkan kasus hukum baru dengan kasus hukum lama
yang terdapat ketentuan reasoning-nya atau persamaannya dalam teks suci.
Dalam hal ini disebut juga dengan analogi atau qiyas.
2.
Pendekatan Analisis.
Pendekatan
analisis (analytical approach) adalah mengetahui maknayang dikandung oleh
istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara
konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan
putusan-putusan hukum. Pendekatan ini bertujuan untuk menganalisis pengertian
hukum, asas hukum, kaidah hukum, system hukum, dan berbagai komsep yuridis.
Misalnya konsep yuridis tentang subjek hukum, objek hukum, hak milik,
perkawinan, perjanjian, perikatan, hubungan kerja, jual beli, prestasi, dan
sebagainya. [5]
3.
Pendekatan Perbandingan.
Pendekatan
perbandingan (comparative approach) merupakan penel;itian normative untuk
membandingkan salah satu lembaga hukum (legal institutions)dari system hukum
yang satu dengan lembaga hukum (yang kurang lebih sama dari system hukum) yang
lain, atau membandingkan satu pendapat hukum dengan pendapat hukum lainnya
4.
Pendekatan perundang-undangan.
Hukum sebagai systemtertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut:
1.Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya
terkait antara satu dengan lain secara logis.
2.All-inclusive bahwa kumpulan normas hukum tersebut cukup
mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak aka nada kekurangan
hukum.
3.Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan
lainny, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hirarkis.[6]
Sistem perundang-undangan tertentu tak lain merupakan produk hukum
melalui kajian mendalam, karena itu pendekatan perundang-undangan ini akan
sangat membantu kerja penelitian hukum untuk menemukan preskripsi baru yang
sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat.
FOOTNOTE
[1]Omar mohammad AL-Toumy al-syaibani, filsafah pendidikan
islam, (terj.) Langgulung dari judul aslifalsafah al-tarbiyah
al-islamiyah,(jakarta: bulan bintang ,1979), cet.1 hlm.25
[2]J.s poerwadarminta, kamus umum bahasa indonesia,(jakarta:
balai pustaka, 1991)cet,XII hlm.280
[3]Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A., Pengantar Studi Islam,
Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009,hlm 197
[4] Dr. H. Abu Yasid, M.A., LL.M. , Aspek-aspek Penelitian
Hukum, (Situbondo: 2010), hlm.72
[5]Ibid, hlm. 77-78
[6]Ibid, hlm. 85-86
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok........11
ANEKA METODOLOGI MEMAHAMI ISLAM
A.
Metodologi Ulumul Tafsir.
1.
Pengertian Tafsir.
Tafsir berasal
dari bahasa Arab fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan,
pemahaman, dan perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah
wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan.[1]Selain itu, pengertian tafsir
sebagaimana juga dikemukakan pakar Alquran dalam formulasi yang berbeda-beda,
namun dengan maksud atau esensinya sama.[2] Salah satunya adalah
Az-Zarkasyi. Beliau mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk
mengetahui kandungan kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.[3]
2.
Model Tafsir.
Seperti halnya ilmu pengetahuan lain, ilmu tafsir pun mengalami
pertumbuhan dan perkembangan, mulai dari masa nabi Muhammad sampai masa
sekarang. Berdasarkan upaya penafsiran Alquran sejak zaman Rasulullah saw.
hingga saat ini. Lahirlah penafsiran yang lebih banyak disebabkan oleh tuntunan
perkembangan zaman dan masyarakat.[4]
Jika ditelusuri perkembangan tafsir Alquran sejak dahulu sampai
sekarang, maka dapat ditemukan bahwa penafsiran Alquran secara garis besar
melalui empat cara (metode) yaitu:
a. Metode Tahlily ( Analisis )
Metode
tahlily atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy adalah
suatu metode tafsir yang menjelaskan tentang kandungan ayat-ayat Alquran.[5]
b. Model Ijmali ( Global )
Metode
Ijmali atau disebut juga dengan metode global adalah cara menafsirkan ayat-ayat
Alquran dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara
global. Dalam praktiknya metode ini sering disamakan dengan
metode tahlily karena itu seringkali metode ini tidak di bahas secara
tersendiri. Dengan metode ini cukup dengan menjelaskan kandungan yang
terkandung dalam ayat tersebut secara garis besar.[6]
c. Metode Muqarin
Metode muqarin adalah suatu metode tafsir Alquran yang dilakukan
dengan cara membandingkan ayat Alquran yang satu dengan yang lainnya, yaitu
ayat-ayat yang mempunyai kemiripan atau membandingkan ayat Alquran dengan
hadis-hadis Nabi Muhammad saw.[7]
d. Metode Maudlu’iy.
Pada metode
maudlu’iy ini berupaya menghimpun ayat-ayat Alquran dari berbagai surat yang
berkaitan dengan persoalan atau topik yang diterapkan sebelumnya. Kemudian
penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga
menjadi satu kesatuan yang utuh tentang masalah yang di bahas.[8]
3.
Model Penelitian Tafsir
Dalam kajian perpustakaan dapat dijumpai berbagai hasil penelitian
para pakar Alquran terhadap penafsiran yang dilakukan generasi terdahulu.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa model penafsiran Alquran yang dilakukan
para ulama tafsir, sebagai berikut :
a. Model Quraish Shihab
Model
penelitian tafsir yang dikembangkan oleh H.M. Quraish Shihab lebih banyak
bersifat eksploratif, deskriptif, analitis dan perbandingan, yaitu model
penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan
ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsir baik yang
primer, yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan maupun ulama
lainnya, data-data yang dihasilkan dari berbagai literatur tersebut kemudian
dideskripsikan secara lengkap serta dianalisis dengan menggunakan pendekatan
kategorisasi dan perbandingan. Sehingga, Qurasih Shihab telah meneliti hampir
seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu.[9] Dari
penelitian tersebut telah dihasilkan beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan
tafsir. Antara lain tentang : 1) Periodisasi pertumbuhan dan perkembangan
tafsir, 2) Corak-corak penafsiran, 3) Macam-macam metode penafsiran Alquran, 4)
Syarat-syarat dalam menafsirkan Alquran, dan 5) Hubung tafsir modern.
b. Model Ahmad Al-Syabashi
Pada tahun 1985 Ahmad Asy-Syarhasbi melakukan penelitian tentang
tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif, dan analisis
sebagaimana yang dilakukan Quraish Shihab. Sumber yang digunakan adalah
bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang ditulis para ulama tafsir seperti Ibnu
Jarir Ath-Thabrari, Az-Zamakhsyari, Jalaluddin As-Suyuthi, Ar-Raghib
Al-Ashfahani, Asy-Syatibi, haji kahlifah, dan buku tafsir yang lainnya.[10]
Hasil penelitian itu mencakup tiga bidang. Pertama, mengenai
sejarah penafsiran Alquran yang dibagi kedalam tafsir pada masa sahabat nabi.
Kedua, mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi, dan tafsir
politik. Ketiga, mengenai gerakan pembaharuan dibidang tafsir.[11]
c. Model Syaikh Muhammad Al- Ghazali
Syaikh Muhammad Al-Ghazali dikenal sebagai tokoh pemikir Islam abad
modern yang produktif. Banyak hasil penelitian yang ia lakukan, termasuk dalam
bidang tafsir Alquran. Muhammad Al-Ghazali menempuh cara penelitian tafsir yang
bercorak eksploratif, deskriptif, dan analitis dengan berdasar pada rujukan
kitab-kitab tafsir yang ditulis ulama terdahulu. Kemudian Muhammad Al-Ghazali
mengemukakan ada juga tafsir yang bercorak dialogis, seperti yang pernah
dilakukan oleh Al-Razi dalam tafsirnya Al-Tafsir al-kabir.[12]
B.
Metodologi Ulumul Hadis.
1.
Pengertian Hadis.
Secara bahasa hadis berarti al-khabar, yang berarti ma
yutahaddats bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau
diberitakan dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.[13]Secara istilah,
Jumhur Ulama berpendapat bahwa Hadis, khabar, dan atsar mempunyai pengertian
yang sama, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasullulah saw.,
sahabat atau tabi’in baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan, baik
semuanya itu dilakukan sewaktu-waktu. Sedangkan ulama ahli ushul fiqih
mengatakan hadis adalah segala perkataan, perbuatan dan taqrir nabi yang
berkaitan dengan penetapan hukum.
Berdasarkan pengertian di atas, hadis adalah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan
dengan hukum Allah yang disyari’atkan kepada manusia.
2.
Model Penelitian Ulumul Hadis
Model penelitian yang dilakukan oleh para ulama hadis antara lain
sebagai berikut.
a.
Model penelitian Quraisy syihab.
Dalam bukunya
yang berjudul Membumikan Alquran, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari
keberadaan hadis, yaitu mengenai hubungan hadis dengan Alquran serta fungsi dan
posisi sunnah dalam tafsir. Bahan-bahan yang beliau gunakan adalah bahan
kepustakaan atau bahan bacaan. Hasil penelitian Quraish Shihab tentang fungsi
hadis terhadap Alquran, menyatakan bahwa Alquran menekankan bahwa Rasul SAW,
berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah ( QS 16:44 ).[14]
b.
Model penelitian Mushtafa As-Siba’i.
Penelitian yang
dilakukan Mushthafa Al-Siba’iy dalam bukunya itu bercorak eksploratif dengan
menggunakan pendekatan historis dan disajikan secara deskriptif analitis. Yakni
dalam sistem penyajian menggunakan pendekatan kronologi urutan waktu dalam
sejarah. Hasil penelitian yang dilakukan Mushthafa Al-Siba’iy antara lain
mengenai sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadis mulai dari Rasulullah
sampai sekarang.[15]
c.
Model penelitian Muhammad Al-Ghazali.
Penelitian yang
dilakukan Muhammad Al-Ghazali termasuk penelitian eksploratif yaitu membahas,
mengkaji, dan menyelami sedalam-dalamnya hadis dari berbagai aspek.[16]
d.
Model penelitian Zain Ad-Din ‘Abd Al-Rahim bin Al-Husain Al-Iraqy.
Al-Hafidz Zain
Al-Din ‘Abd Al-Rahim bin Al-Husain Al-Iraqy yang hidup tahun 725-806 tergolong
ulama generasi pertama yang banyak melakukan penelitian hadis. Dari hasil
penelitian yang dituangkan dalam buku Al-Taqyid wa Al-Idlah Syarh
Muqaddimah Ibn Ash-Shalah,iamenjelaskan bahwa hadis pada prinsipnya
memperjelas, merinci, bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat Alquran.
Penelitian yang dilakukan bercorak eksploratif dengan menggunakan pendekatan
historis dan disajikan secara deskriptif analisis.[17]
C.
Metodologi Filsafat dan Teologi ( Kalam ).
Dari
segi bahasa , filsafat Islam terdiri dari gabungan kata filsafat dan Islam.
Kata filsafat berasal dari kataphilo yang berarti cinta, dan
kata sophos yang berarti ilmu atau Hikmah.
Filsafat Islam berdasar pada ajaran Islam yang bersumberkan Alquran
dan hadis, pembahasannya mencakup bidang kosmalogi, bidang metafisika, masalah
kehidupan di dunia, kehidupan di akhirat, ilmu pengetahuan, dan lain
sebagainya. Untuk dapat mengembangkan pemikiran filsafat Islam diperlukan
metode dan pendekatan secara seksama.[18]
Berbagai metode penelitian filsafat Islam dilakukan oleh para ahli
dengan tujuan untuk dijadikan bahan perbandingan bagi pengembangan filsafat
Islam selanjutnya. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Model M. Amin Abdullah
Dalam rangka penulisan disertasinya, M. Amin Abdullah mengambil
bidang penelitiannya pada masalah filsafat Islam. Hasil penelitiannya ia tuangkan
dalam bukunya berjudul The Idea of Universality Ethical Norm In Ghazali
and Kant. Dilihat dari segi judulnya, penelitian ini mengambil metode
penelitian kepustakaan yaitu, penelitian yang mengambil bahan kajiannya dari
berbagai sumber baik yang ditulis oleh itu sendiri maupun oleh tokoh lain.
Bahan-bahan tersebut kemudian di teliti keontentikannya secara seksama.[19]
2.
Model Otto Horrassowitz, Majid Fakhry dan Harun Nasution
Dalam bukunya berjudul History of Muslim Philosophy, yang
diterjemahkan dan disunting oleh M.M Syarif ke dalam bahasa Indonesia
menjadi Para Filosof Muslim, Otto Horrassowitz telah melakukan penelitian
terhadap seluruh pemikiran filsafat Islam yang berasal dari tokoh-tokoh
filosofi abad klasik. Penelitian yang dilakukan tersebut bersifat
penelitian kualitatif. Sumber kajian pustaka. Metodenya deskriptis analitis,
sedangkan pendekatannya historis dan tokoh. Yaitu, bahwa apa yang disajikan
berdasarkan data-data yang ditulis ulama terdahulu, sedangkan titik kajianny
adalah tokoh.[20]
3.
Model Ahmad Fuad Al-Bahwani
Ahmad Fuad Al-Bahwani termasuk pemikir modern dari Mesir yang
banyak mengkaji dan meneliti bidang filsafat Islam. Metode yang ditempuh adalah
penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang menggunakan bahan-bahan
kepustakaan. Sifat-sifat dan coraknya adalah penelitian deskriptif kualitatif,
sedangkan pendekatannya adalah pendekatan yang bersifat campuran, yaitu
pendekatan historis, pendekatan kawasan dan tokoh. Melalui pendekatan historis,
ia mencoba menjelaskan latar belakang timbulnya pemikiran dalam Islam,
sedangkan dengan pendekatan kawasan ia mencoba membagi tokoh-tokoh filosofi
menurut tempat tinggal mereka, dan dengan pendekatan tokoh, ia mencoba
mengemukakan berbagai pemikiran filsafat sesuai dengan tokoh yang mengemukakannya.[21]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya penelitian
yang dilakukan para ahli bersifat penelitian kepustakaan, yakni penelitian yang
menggunakan bahan-bahan gerakan sebagai sumber rujukannya. Metode yang
digunakan umumnya bersifat deskriptif analitis. Sedangkan pendekatan yang
digunakan umumnya pendekatan historis, kawasan, substansial. [22]
Selain filsafat ada pula metodologi yang menggunakan teologi atau
ilmu kalam. Teologi atau ilmu kalam adalah ilmu yang pada intinya berhubungan dengan
masalah ketuhanan. Dengan ilmu ini diharapkan seseorang menjadi yakin dalam
hatinya secara mendalam dan mengikatkan dirinya hanya pada Tuhan. Menurut Ibn
Khaldun, sebagaimana dikutip A.Hanafi, ilmu kalam ialah ilmu berisi
alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan ilmu dengan
menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang
menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunnah.
Secara umum penelitian ilmu kalam ada dua bagian yakni penelitian
yang bersifat dasar (penelitian pemula) dan penelitian yang bersifat lanjutan
atau pengembangan dari penelitian dasar. Dan peneliti tersebut akan
diuraikan di bawah ini.
a.
Penelitian Pemula.
1.
Model Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidy
Al-Samarqandy
Model Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud
Al-Maturidy Al-Samarqandy telah menulis buku teologi berjudul kitab
al-tauhid. Buku ini telah ditahkik oleh Fatullah Khalif, magister dalam
bidang sastra pada Universitas Cambridge. Dalam buku tersebut selain
dikemukakan riwayat hidup secara singkat dari Al-Maturidy, juga telah
dikemukakan berbagai masalah yang detail dan rumit di dalam ilmu kalam.[23
2.
Model Al-Iman Abi Al-Hasan bin Isma’il Al-Asy’ari. Sebagaimana
halnya Al-Maturidy, Al-Asy’ari dalam bukunya tersebut membahas masalah-masalah
yang rumit dan mendetail tentang teologi.
3.
Model ‘Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Model ‘Abd Al-Jabbar bin Ahmad
membahas secara detail tentang lima ajaran pokok Mu’tazilah dan juga berbagai
masalah teologi.
4.
Model Thahawiyah, Model
Thahawiyah membahas tentang teologi di kalangan ulama salaf, yaitu ulama yang
belum dipengaruhi pemikiran Yunani dan pemikiran lainnya yang berasal dari luar
Islam, atau bukan dari Alquran dan Al-Sunnah.
5.
Model Al-Imam Al-Haramain Al-Juwainy, Model Al-Imam Al-Haramain
Al-Juwainy yang dikenal sebagai guru dari Imam Al-Ghazali menulis buku
berjudulal-syamil fi Ushul al-din. Di dalam buku ini telah dibahas tentang
penciptaan alam, kitab Tauhid, kelemahan kaum Mu’tazillah, akidah, kesucian
Allah swt., ta’wil, sifat-sifat bagi Allah, illat atau sebab.
6.
Model Al-Ghozali, Model
Al-Ghozali membahas tentang ilmu zat Allah dan kenabian Muhammad saw.[24]
7.
Model Al-Amidy, Model ini membahas tentang sifat-sifat wajib bagi
Allah, sifat-sifat jaiz Allah, pembahasan tentang keesaan Allah Ta’ala,
perbuatan yang bersifat wajib al-Wujud, tentang tidak ada penciptaan selain
Allah, tentang barunya alam serta tidak adanya sifat tasalsun dan tentang
imamah.[25]
8.
Model Al-Syahrastani, Model
ini membahas tentang baharunya alam, Tauhid, tentang sifat-sifat azali, hakikat
ucapan manusia, tentang Allah sebagai Maha Mendengar dan perbuatan yang
dilakukan seorang hamba sebelum datangnya syari’at.[26]
9.
Model Al-Bazdani, Membahas tentang perbedaan pendapat para ulama’
mengenai ilmu Kalam.[27]
b.
Penelitian Lanjutan
Selain penelitian yang bersifat pemula sebagaimana tersebut diatas,
dalam bidang Ilmu Kalam ini juga dijumpai penelitian yang bersifat lanjutan
yaitu penelitian atas sejumlah karya yang dilakukan oleh para pemula.Berbagai
hasil penelitian lanjutan ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.
Model Abu Zahrah
Abu Zahrah mencoba melakukan penelitian terhadap berbagai aliran
dalam bidang politik dan teologi yang dituangkan dalam buku karyanya
berjudul tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi al-Siyasah wa
al-‘Aqaid.Pemasalahan teologi yang diangkat dalam penelitiannya ini di sekitar
masalah objek-objek yang dijadikan pangkal pertentangan oleh berbagai aliran
dalam bidang politik yang berdampak pada masalah teologi.
2.
Model Ali Mushthofa Al-Ghurabi, Ali Mushthofa Al-Ghurabi
memusatkan penelitiannya pada masalah berbagai aliran yang tedapat dalam Islam
serta pertumbuhan ilmu kalam di kalangan masyarakat Islam.[28]
3.
Model Abd Al-Lathif Muhammad Al-‘Asyr, Membahas tentang pokok-pokok
yang menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
4.
Model Ahamd Mahmud Shubdi, Berbicara
mengenai aliran Mu’tazilah dan aliran Asy’ariyah.
5.
Model Ali Sami Al-Nasyr dan Ammar Jam’iy Al-Thaliby, Mengungkap
tentang pemikiran kaum Salaf yang berasal dari tokoh-tokohnya yang
menonjol.[29]
6.
Model Harun Nasution, Harun Nasution yang dikenal sebagai Guru
Besar Filsafat dan Teologi banyak mencurahkan perhatiannya pada penelitian di
bidang pemikiran teologi Islam ( Ilmu Kalam ). Dan beliau mengemukakan
berbagai aliran teologi Islam lengkap dengan tokoh-tokoh dan pemikirannya.[30]
Dari berbagai penelitian lanjutan tersebut dapat diketahui bahwa
penelitiannya termasuk penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang
mendasarkan pada data yang terdapat dalam berbagai sumber rujukan di bidang
teologi Islam. Corak penelitiannya yaitu deskriptif, yaitu penelitian yang
ditekankan pada kesungguhan dalam mendeskripsikan data selengkap mungkin.
Pendapatan yang digunakan adalah pendekatan historis, yaitu mengkaji masalah
teologi berdasarkan data sejarah.
D.
Metodologi Tasawuf dan Mistis Islam
Dari segi kebahasaan terdapat sejumlah kata atau istilah yang
menghubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya menyebutkan lima
istilah yang terhubung dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl
al-suffah), yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah ke madinah,
saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjama’ah, sufi
yaitu bersih dan suci, sophos (bahasa Yunani : Hikmah) dan suf
(kain wol kasar ).[31] Dengan demikian dari segi kebahasaan tasawuf
menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa,
mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran
dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia di sisi Allah. Sedangkan
mistisme adalah Islam yang diberi nama Tasawuf dan oleh kaum orientalis barat
disebut sufisme.
Islam sebagai agama yang bersifat universal, menghendaki kebersihan
lahiriah (dimensi eksoterik), dan keberhasilan batiniah (dimensi esoteric).
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada
memberikan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak
mulia, di dalam tasawuf, seseorang dibina secara intensif tentang cara-cara
agar seseorang selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya. Terdapat
hubungan yang erat antar akidah, Syari’ah dan akhlak. Berkenan dengan ini telah
bermunculan para peneliti yang mengkonsentrasikan kajiannya pada masalah
tasawuf. Keadaan ini selanjutnya mendorong timbulnya kajian dan penelitian di
bidang tasawuf.[32]
Berbagai
bentuk dan modal penelitian tasawuf adalah sebagai berikut:
1. Model Sayyed Husein Nasr
Sayyed Husein Nasr selama ini dikenal sebagai ilmuwan Muslim kenama
abad modern. Hasil penelitiannya dalam bidang tasawuf ia sajikan dalam bukunya
yang berjudulTasawuf Dulu dan Sekarang. Di dalam buku tersebut disajikan hasil
penelitiannya di bidang tasawuf dengan menggunakan pendekatan tematik, yaitu
pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema tertentu.
Di dalamnya dinyatakan bahwa tasawuf merupakan sarana menjalin hubungan yang
intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia.
Dari uraian singkat di atas terlihat bahwa model penelitian tasawuf
yang diajukan Husein Nasr adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan
tematik yang berdasarkan pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah
berkembang dalam sejarah.
2. Model Mustafa Zahri
Penelitian yang dilakukannya bersifat eksploratif, yaitu menggali
ajaran tasawuf dari berbagai literatur ilmu tasawuf. Penelitian tersebut
menekankan pada ajaran yang terdapat dalam tasawuf berdasarkan literatur yang
ditulis oleh para ulama terdahulu serta dengan mencari sandaran pada
Alquran.[33]
3. Model Kautsar Azhari Noor
Penelitian yang ditempuh Kautsar adalah studi tentang tokoh dengan
pahamnya yang khas, Ibn Arabi dengan pahamnya Wahdat al-wujud.[34]
4. Model Harun Nasution
Harun Nasution, Guru besar dalam Teologi dan Filsafat Islam juga
menaruh perhatian terhadap penelitian di bidang tasawuf. Hasil penelitiannya
dituangkan dalam bukunya yang berjudul Falsafat dan Mitisisme Dalam
Islam. Dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tematik.[35]
5. Model A.J. Arberry
Penelitian yang digunakan adalah analisis kesejarahan, yakni berbagai
tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejarah dan tidak di analisis ke
dalam konteks kehidupan modern.
E.
Metodologi Kajian Fiqh dan Kaidah Ushuliyah.
1.
Pengertian Fiqh dan Kaidah Ushuliyah.
Fiqh menurut
bahasa berarti tahu atau paham Menurut istilah berarti syari’at. Dalam kaitan
ini dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam atau fiqh adalah
sekelompok dengan syari’at yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan
manusia yang diambil dari nash Alquran atau Al-sunnah. Sedangkan kaidah
ushuliyah adalah Hukum kulli (umum) yang dibentuk menjadi perantara dalam
pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta
kondisi pengguna dalil.
2.
Sumber Pengambilan Kaidah Usuliyah
Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber
darinaql (Alquran dan Sunnah), ‘Akal (prinsip-prinsip dan
nilai-nilai), bahasa (Ushul at tahlil al lughawi), yang secara terperinci
dijelaskan dibawah ini :
a. Alquran.
Alquran
merupakan firman Allah SAW yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw., untuk
membebaskan manusia dari kegelapan. Kitab ini adalah kitab undang-undang yang
mengatur seluruh kehidupan manusia, firman Allah yang Maha mengetahui apa yang
bermanfaat bagi manusia dan apa yang berbahaya, dan merupakan obat bagi ummat
dari segala penyakitnya.
b. As Sunnah
Allah
memberikan kemuliaan kepada nabi Muhammad saw. dengan mengutusnya sebagai nabi
dan rasul terakhir untuk umat manusia dengan tujuan menyampaikan
pesan-pesan ilahi kepada umat. Maka nilai kemuliaan Rasulullah bukan
dari dirinya sendiri tetapi dari Sang Pengutus yaitu Allah swt., karena
siapapun yang menjadi utusan pasti lebih rendah tingkatannya dari yang
mengutus. Allah Berfirman yang artinya:” Muhammad tidak lain hanyalah
seorang rasul”. (QS. Ali Imran: 144). Jika seluruh perintah Allah telah
disampaian oleh Rasulullah kepada umat, selesailah tugasnya dan wajib bagi umat
untuk memperhatikanrisalah yang di sampaikan oleh rasulullah.[36]
Banyak sekali ayat Alquran yang menjelaskan bahwa sunnah Rasulullah
adalah merupakan salah satu sumber agama Islam, diantaranya firman Allah dalam
surat Ali Imran ayat: 53,132,144, 172 juga didalam surat An Nisa ayat:
42, 59, 61, 64, 65, dan masih banyak lagi.
c.
Ijma’
Di antara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari ijma adalah:
1. Ijma’ Sahabat bahwa “hukum yang di hasilkan dari
hadis ahad dapat di terima”.
2. Ijma’ Sahabat bahwa “hukum terbagi menjadi 5 macam”.
3. Ijma’ Sahabat bahwa “syariat nabi Muhammad menghapus
seluruh syariat yang sebelumnya”.
d.
Akal.
Akal memiki kedudukan yang tinggi didalam syariat islam, karena
tidak akan paham Islam tanpa akal. Sebagai contoh, Apa dalil yang menunjukkan
bahwa Allah itu ada? Jika dijawab Alquran, Apa dalil yang menunjukkan bahwa
Alquran benar-benar dari Allah? Jika dijawab I’jaz, apa dalil yang menunjukkan
bahwaI’jazul quran sebagai dalil bahwa alqur’an bersumber dari Allah swt.?
Dan seterusnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Islam tidak akan dipahami
tanpa akal, oleh karena itulah akal merupakan syarat taklif dalam
Islam.
Meskipun demikian, ada satu hal yang harus di perhatikan dengan
seksama, bahwa akal tidak bisa berkerja sendiri tanpa syar’i. Akal
hanyalah sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah melalui dalil-dalil al quran
dan hadis. Allah lah yang menjadi hakim, dan akal merupakan sarana untuk memahami
hukum-hukum Allah tersebut.[37]
e.
Perkataan Sahabat
Diantara kaidah-kaidah ushul yang diambil dari perkataan-perkataan
sahabat Rasulullah adalah:
1.
Hadis-hadis Ahad zonniyah
2.
Qiyas adalah hujjah
3.
Hukum yang terakhir menghapus hukum yang terdahulu (naskh)
4.
Orang awam boleh taqlid
5.
Nash lebih di utamakan dari qiyas maupun ijma’
3.
Model Penelitian.
a.
Model Harun Nasution
Sebagai guru besar dalam bidang teologi dan filsafat, Harun
Nasution juga mempunyai perhatian terhadap fiqih. Penelitiannya dalam bidang
fiqih ini dituangkan dalam bukunya yang berjudul Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya. Melalui penelitiannya secara ringkas namun mendalam
terhadap hukum Islam dengan menggunakan pendekatan Sejarah. Selanjutnya melalui
pendekatan sejarah Harun Nasution membagi perkembangan fiqih dalam empat
periode yaitu periode nabi, periode sahabat, periode ijtihad dan periode
taklid. Model penelitian yang digunakan Harun Nasution adalah penelitian
eksploratif, deskriptif dengan menggunakan pendekatan sejarah.[38]
b.
Model Noel J.Coulson
Noel J. Coulson menyajikan hasil penelitiannya dibidang fiqih dalam
karyanya yang berjudul Hukum Ulama dalam Perspektif
Sejarah. Penelitiannya bersifat deskriptif analitis ini menggunakan
pendekatan sejarah. Penelitiannya itu dituangkan ke dalam tiga bagian. Pada
bagian pendahuluan ia mengatakan bahwa problema yang mendasar pada saat ini
ialah adanya pertentangan antara ketentuan-ketentuan hukum tradisional yang
dinyantakan secara kaku di satu pihak, dan ketentuan-ketentuan masyarakat
modern di pihak lain.
c.
Model Mohammad Atho Mudzhar
Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui
materi fatwa yang dikemukakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta latar
belakang sosial politik yang melatar belakangi timbulnya fatwa tersebut. Hasil
penelitiannya di tuangkan ke dalam empat bab.[39]
F.
Metodologi Pemikiran Modern.
1.
Pengertian.
Sebagian Umat Islam hingga saat ini nampak ada perasaan masih belum
mau menerima apa yang dimaksud dengan pembaharuan Islam. Hal ini
disebabkan karena salah persepsi dalam memahami pembaruan Islam. Mereka
memandang bahwa pembaharuan Islam adalah membuang ajaran Islam yang lama dan
diganti dengan ajaran Islam yang baru.
Pembaharuan Islam sebenarnya bukan sebagaimana yang dipersepsikan
seperti diatas namun Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan
paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan
pengetahuan dan teknologi modern.[40]
2.
Model Penelitian.
a.
Model Penelitian Deliar Noer
Salah satu buku yang memuat hasil penelitian tetang pemikiran
modern dalam Islam yang dilakukan oleh Deliar Noer berjudul Gerakan Modern
Islam di Indonesia.Dari judulnya terlihat bahwa penelitian yang digunakan
bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang coba mendeskripsikan gerakan
modern Islam di Indonesia yang terjadi pada tahun 1900-1942. Lebih lanjut,
Deliar Noer mengatakan betapa perkembangan masa merdeka banyak relevansinya
dengan perkembangan pemikiran periode tersebut dibagi menjadi empat.[41]
b.
Model Penelitian H.A.R. Gibb
Penelitian mengenai pemikiran modern dalam Islam pernah dilakukan
oleh H.A.R. Gibb, Maha Guru pada Universitas Oxford. Hasil penelitiannya
berjudul Modern Trends in Islam. Dengan demikian, penelitian yang ia
lakukan bersifat penelitian eksploratif deskriptif, yaitu penelitian yang
mencoba mendeskripsikan secara mendalam suatu objek dengan menggunakan
data-data yang terdapat dalam kajian pustaka, sedangkan pendekatan yang
digunakan bersifat filosof historis. Yaitu suatu penelitian yang tekanannya
ditujukan untuk mengemukakan nilai-nilai universal dan mendasar dari suatu
ajaran atau objek yang diteliti, serta didukung oleh data-data historis yang
dapat dipercaya.
G.
Metodologi Pendidikan Islam.
1.
Pengertian
Dari segi bahasa pendidikan dapat diartikan sebagai perbuatan (hal,
cara, dan sebagainya) mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik,
atau pemeliharaan badan, batin, dan sebagainya. Dalam bahasa Arab, para pakar
pendidikan pada umumnya menggunakan kata tarbiyah untuk arti
pendidikan. Sedangkan Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan Islam adalah
daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intelect),dan tubuh anak yang antara satu dan yang lainnya saling
berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup. Dan ada 4 metode dalam
metodologi pendidikan Islam ini, yaitu metode Ta’lim, Tabyiin, Tafshil, dan
Tafhim.
2.
Aspek-aspek pendidikan Islam
Pendidikan Islam sebagaimana pendidikan lainnya memiliki berbagai
aspek yang tercakup di dalamnya. Aspek tersebut dapat dilihat dari segi
didikannya, kelembagaannya, dan sistemnya.[42]
3.
Model Penelitian Ilmu Pendidikan Islam
a. Model Penelitian tentang Problema Guru
Dalam
usaha memecahkan problema guru, Himpunan Pendidikan Nasional (National
Education Association) di Amerika Serikat pernah mengadakan penelitian tetang
Problema yang dihadapi guru secara nasional pada tahun 1968. Prosedur yang
dilakukan dalam penelitian tersebut dilakukan dengan cara pengumpulan data.
Dengan demikian, penelitian tersebut dari segi metodenya termasuk penelitian
survei, yaitu penelitian yang sepenuhnya didasarkan pada data yang dijumpai di
lapangan, tanpa didahului oleh kerangka teori, asumsi atau hipotesis.
Penelitian tersebut menggunakan data lapangan yang dikumpulkan melalui
instrumen pengumpulan data, yaitu kuesioner yang sampelnya mewakili tingkat
nasional, dan objek yang diteliti adalah problema yang dihadapi guru
b. Model Penelitian tentang Lembaga Pedidikan Islam
Salah satu penelitian yang berkenaan dengan lembaga pendidikan
Islam adalah penelitian yang digunakan oleh Karel A. Steenbrink dalam bukunya
yang berjudulPesantren, Madrasah dan Sekolah Tinggi Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern. Metode penelitian yang digunakan adalah pengamatan ( observasi ).
c. Model Penelitian Kultur Pendidikan Islam
Penelitian
yang mengambil objek kajian tentang kultur pendidikan Islam khususnya yang ada
di pesantren, antara lain dilakukan oleh Mastuhu dan Zamakhsyari Dhofir. Dan
model penelitian yang digunakan ada dua, yaitu Model Penelitian Mastuhu dan
Model Penelitian Zamakhsyari Dhofir.[43]
H.
Metodologi Tekstual dan Kontekstual
Tekstual dapat diartikan mengacu pada teks. Metodologi tekstual
menekankan pada signifikansi teks-teks sebagai kajian Islam dengan merujuk pada
sumber-sumber suci dalam Islam, terutama Alquran dan Hadis. Pemahaman hukum
mengacu apa adanya yang tertera dalam Alquran atau Hadis tidak memandang latar
belakang sosial dan kultur masyarakat dan faktor yang melatarbelakangi
permasalahan yang terjadi.
Metodologi kontekstual merupakan metode untuk memahami dalam
kerangka konteksnya, baik ruang dan waktu. Pendekatan ini merupakan perangkat
komplementer yang menjelaskan motif-motif kesejahteraan dalam ritual Islam,
untuk memperkuat asumsi bahwa Islam merupakan entitas yang komprehensif yang
melingkupi elemen normatif dan elemen praksis, selain itu menepis pandangan
bahwa Islam itu radikal dan keras. Metode ini juga mengacu pada sumber-sumber
ajaran Islam yaitu Alquran dan Hadis, akan tetapi dipahami secara berbeda
dengan metodologi tekstual, dilihat dari waktu, latar belakang sosial, kultur
budaya serta faktor penyebab dan akibatnya.
1.
Metodologi Muqaranah Madzhab
Secara etimologi muqaranah berarti membandingkan. Membandingkan dua
hal atau dua perkara atau lebih. Menurut bahasa madzhab berarti jalan atau
tempat yang dilalui. Muqaranah madzhab yaitu bidang yang mengkaji dan membahas
tentang hukum yang terdapat dalam berbagai madzhab dengan membandingkan satu
sama lain agar dapat melihat tingkat kehujjahan yang dimiliki oleh
masing-masing madzhab tersebut, serta mencari segi-segi persamaan dan
perbedaannya.[44]
FOOTNOTE
[1]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2007 ), h. 209.
[2]Ibid., h. 210.
[3]Ibid.
[5]Atang Abd Hakim & Jaih Mubarok, Metodologi Studi
Islam. Edisi Revisi (Bandung: Remaja Rosdakarya, cet XI, 2009), h. 162.
[6]Abuddin Nata, op. cit., h. 220.
[7]Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1991), h. 62.
[8]Abuddin Nata, op. cit., h. 222.
[9]Ibid., h. 214.
[10]M. Atho Muzhar, Pendekatan Studi Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), h. 172.
[12]Muhaimin et.al., Dimensi-Dimensi Studi Islam(Surabaya:
Karya Abditama, 1994), h. 218.
[13]Abuddin Nata, op. cit., h. 234.
[14]Ibid., h. 241.
[15]Ibid., h. 244-245.
[17]Abuddin Nata, op. cit., h. 247.
[19]Muhaimin et.al., op. Cit., h. 175.
[20]Ibid., h. 179.
[21]Ibid., h. 263.
[23]Mukti Ali, op. cit., h. 249.
[25]Mukti Ali, op. cit., h. 291.
[26]Abuddin Nata, op. cit., h. 276.
[27]Ibid., h. 277.
[28]Ibid., h. 278.
[30]Abuddin Nata, op. cit., h. 280.
[31]Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000), h. 139
[33]Abuddin Nata, op. cit., h. 290-291.
[34]Ibid., h. 291.
[35]Ibid., h. 292.
[39]Ahmad Norma Permata, op. cit., h. 293.
[40]Ibid., h. 295.
[41]Ibid., h. 296.
[42]Abuddin Nata, op. cit., h. 334-341.
[43]Ibid., h. 347-350.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.........12
DIMENSI DAN ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM
A.
Pengertian Dimensi dalam Islam (Islam, Iman, dan Ihsan).
Islam adalah
agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw dan dia adalah agama yang
berintikkan keimanan dan perbuatan (amal).[1] Pada dasarnya Al-Islam yaitu Islam yang
dikehendaki oleh agama ialah tunduk dan takluk kepada segala perintah dan
petunjuk yang diberitahukan oleh Rasulullah saw.
Iman berasal dari kata “aamana”, artinya setia, mematuhi, dan
kata “amina”, artinya berada dalam keamanan (aman), tidak kuatir akan
mara-bahaya. Al-Iman yaitu iman yang dimaksudkan oleh agama Islam ialah
pengakuan kebenaran sesuatu dengan hati dan“syara” ialah itikad
(Ketetapan keyakinan) dengan hati dan ikrar (pengakuan) dengan lidah, maka
dinyatakanlah bahwa barang siapa yang menyatakan pengakuan(syahadat) dan berbuat
(menurut pengakuan itu) padahal tidak disertai dengan itikad, maka ia adalah
munafik, dan barang siapa menyatakan pengakuan tetapi tidak berbuat
walaupun ada itikad, ia fasik, dan barang siapa memungkiri syahadat ia
kafir. Nabi Muhammad mendefenisikan kata “iman” dengan sabdanya,
“ iman adalah sebuah pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan
dan aktivitas anggota badan”.
Ihsan berarti berbuat baik, membaikkan. Berbuat sebaik-baiknya
bermakna berbuat sempurna. Dengan demikian kata itu juga mengandung pengertian
berbuat sempurna, menyempurnakan.[2]
Di dalam Hadits Nabi Muhammad berkata bahwa ihsan adalah “menyembah
kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, maka
sesungguhnya Ia melihat kamu”. Pada dasarnya perlu diketahui bahwa Ihsan
berasal dari katahusn, yang artinya menunjuk pada kualitas sesuatu yang
baik dan indah, karena pada mulanya jika manusia itu berbuat sesuatu yang
indah, tentunya hal itu akan membawa kebaikan pada Tuhan. Berulang kali
al-Qur’an memerintahkan manusia mengerjakan perbuatan baik, dan pada saat
yang bersamaan, al-Qur’an menjanjikan orang-orang yang berbuat kebajikan akan
dibawa naungan kelembutan, keramahan Tuhan. Seperti yang telah dijelaskan
dalam al-Qur’an surah Yunus ayat 26 yang artinya “Bagi orang-orang yang berbuat
baik, disediakan pahala yang terbaik dan tambahannya”. Dimana dalam
melaksanakan perbuatan baik itu seorang manusia yang pertama kali adalah melakukan
tauhid.
B.
Hubungan Dimensi dalam Islam (Islam, Iman dan Ihsan)
Sebenarnya dimensi-dimensi dalam Islam berawal dari sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang dimuat dalam
masing-masing kitab sahinya yang menceritakan dialog antara Nabi Muhammad Saw
dan Malaikat Jibril tentang trilogi ajaran Ilahi.[3]
Haditsnya
sebagai berikut:
كَانَ
رسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْ مًا باَرِزًا
لِلنَّا سِ فَاَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ : يَا رَسُوْ لَ
اللهِ ؛ مَا الْاِ يْمَانُ ؟ قَالَ : اَنْ تُؤْ مِنَ
بِاللهِ وَمَلاَ ئِكَتِهِ وَكِتَا بِهِ وَلِقَا ئِهِ
وَرُسُلِهِ وَتُؤْ مِنَ بِالْبَعْثِ الْآخِرِ . قاَلَ :
يَا رَسُوْ لَ اللهِ مَا الْاِسْلاَ مُ ؟ قَالَ : اَلْاِسْلاَمُ
اَنْ تَعْبُدَ اللهَ وَلاَ تُشْرِ
كْ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوْ
بَةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّ كَاةَ الْمَفْرُوْضَةَ
وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ. قاَلَ : يَا رَسُوْ لَ اللهِ !
مَاالْاِحْسَانُ؟ قاَلَ : اَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَ نَّكَ
تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَاِنَّهُ يَرَاكَ.
“Nabi Muhammad Saw keluar dan (berada di sekitar sahabat) seseorang
datang menghadap beliau dan bertanya:” Hai Rasul Allah, apakah yang dimaksud
denganiman? “Beliau menjawab: “ Imanadalah engkau percaya kepada Allah,
malaikat-Nya, kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, para utusan-Nya, dan
percaya kepada kebangkitan.” Laki-laki itu kemudian bertanya lagi: ” Apakah
yang dimaksud denganIslam?’Beliau menjawab: “ Islamadalah engkau menyembah
Allah dan tidak musyrik kepada-Nya, engkau tegakkan salat wajib, engkau
tunaikan zakat wajib, dan engkau berpuasa pada bulan Ramadhan. “ Laki-laki itu
kemudian bertanya lagi: “ Apakah yang dimaksud dengan ihsan? “ Nabi
Muhammad Saw menjawab: “ Engkau sembah Tuhan seakan-akan engkau melihat-Nya;
apabila engkau tidak melihat-Nya, maka (engkau berkeyakinan) bahwa Dia
melihatmu….”(Bukhari, I,t. th.23).
Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa antara Islam, iman, dan
ihsan. Setiap pemeluk agama Islam mengetahui dengan pasti bahwa Islam tidah
absah tanpa iman, dan iman juga mustahil tanpa Islam. Pada dasarnya setiap
seorang yang mengaku beragama Islam bukanlah hanya sekedar Islam, namun
seseorang tersebut harus mempunyai kepercayaan (ketauhidan), membenarkan dengan
hati lalu dibuktikan dengan perbuatan-perbuatan yang baik. Dalam istilah
Islam, iman, dan ihsan terdapat tumpang tindih.[4]
Ibnu Taimiah menjelaskan bahwa din itu terdiri dari tiga
unsur, yaitu Islam, iman dan ihsan. Dalam tiga unsur itu terselip makna
kejenjangan (tingkatan) : orang mulai dengan Islam, kemudian berkembang ke arah
iman, dan memuncak dalam ihsan. Beliau juga menjelaskan yang agak berbeda
tentang trilogi itu:pertama, orang-orang yang menerima warisan kitab suci
dengan mempercayai dan berpegang teguh pada ajaran-ajarannya, namun masih
melakukan perbuatan-perbuatan zalim, adalah orang yang baru ber-Islam, suatu
tingkat permualaan dalam kebenaran; kedua, orang yang menerima
warisan kitab suci itu dapat berkembang menjadi mukmin, tingkat menengah, yaitu
orang yang telah terbebas dari perbuatan zalim namun perbuatan kebajikannya
sedang-sedang saja; dan ketiga, perjalanan mukmin itu (yang telah
terbebas dari perbuatan zalim) berkembang perbuatan
kebajikannya sehingga ia menjadi pelomba (sabiq)perbuatan kabajikan;
maka ia mencapai derajat ihsan. ” Orang yang telah mencapai
tingkatihsan.”kata Ibnu Taimiah, “akan masuk surga tanpa mengalami azab.”(Nurcholish
Madjid dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), 1994: 465)
Kalau kita lihat menurut mazhab Syafi’I dijelaskan bahwa “Tidaklah
sempurna Islam seseorang jika tidak disertai dengan iman”. Sedangkan
menurut mazhab Hanafi Islam dan iman sangat berkaitan, karena yang menyamakan
antar Islam dan iman itu, hendaklah diartikan sebagai ketentuan untuk
menjalankan hukum syariat. Dalam menjalankan hukum syariat, diperbolehkan
menikah dengan seseorang yang tadinya musyrik, apabila ia telah mengaku masuk
Islam dengan syarat yang cukup. Untuk menentukan beriman atau tidaknya
seseorang, bukanlah kesanggupan manusia untuk menetapkannya. Inilah menurut
mazhab Hanafi dalam membedakan antara Islam dengan iman.
Adapun perbedaan antara Islam dan iman yang disebutkan dalam sebuah
ayat al-Qur’an berikut ini:
“Orang-orang Arab Badui itu
berkata: "Kami Telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman,
tapi Katakanlah 'kami Telah tunduk', Karena iman itu belum masuk ke dalam
hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dia tidak akan
mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang."(Q.S.al-Hujarat: 49 : 14).[5]
Terdapat beberapa hal yang terkandung di dalam ayat tersebut yang
perlu diperhatikan.
1.
iman dan Islam merupakan dua
hal yang berbeda. Kenyataannya orang badui tersebut telah tunduk kepada
perintah-perintah Allah namun tidak berarti mereka telah beriman kepada Allah.
Bisa jadi ketundukkan mereka lantaran takut kepada Allah atau untuk menjalin
persahabatan atau persekutuan, atau lantaran kepentingan untuk menikahi seorang
gadis Muslim.
2.
iman bertempat di hati. Dalam ayat yang lain al-Qur’an
menyatakan: mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya
menolak(9:8). Nabi Muhammad diberitahukan perihal kaum badui bahwasannya mereka
tidak beriman, lantaran tersebut tidak terdapat di dalam hati
mereka, sehingga dapat dikatakan bahwasannya mereka tidak memiliki
persyaratan pengakuan akan kebenaran dan tidak komitmen terhadapnya. Bahkan,
harus diperhatikan bahwasannya Nabi Muhammad menyatakan perihal mereka ini
tidak berdasarkan anjuran Tuhan. Tuhan semata yang berhak menilai ke dalam hati
manusia dan menghakimi niat-niat dan pikiran mereka. Tuhan Maha Mengetahui
apa yang tersimpan di dalam hati kamu sekalian, (33:51), sedang kita semua
tidak mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati orang lain.[6]
3.
ketundukkan merupakan bidang ketaatan dan perbuatan (‘amal).
Manusia taat kepada Tuhan dengan mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka.[7]
C.
Aliran Pemikiran Islam.
1.
Aliran-Aliran Kalam
Menurut Ibn Khaldun, Ilmu kalam adalah Ilmu berisi tentang
alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan
menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan teerhadap orang-orang yang
menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan Ahli Sunnah. Adapun
Aliran-aliran ilmu kalam diantaranya:
a.
Khawarij, kata ini berasal dari kata kharaja yang berarti
“keluar”. Pada awalnya, Khawarij merupakan aliran atau fraksi politik,
kelompok ini terbentuk karena persoalan kepemimpinan umat Islam, tetapi mereka
membentuk suatu ajaran yang kemudian menjadi ciri umat, aliran mereka yaitu
ajaran tentang pelaku dosa besar ( murtakib al-kaba’ir ). menurut
Khawarij orang-orang yang terlibat dan menyetujui hasil tahkim telah melakukan
dosa besar. Orang Islam yang melakukan dosa besar, dalam pandangan mereka
berarti telah kafir: kafir setelah memeluk Islam berarti murtad dan orang
murtad halal dibunuh berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa nabi muhammad saw
bersabda ”man baddala dinah faktuluh”.
b.
Kelompok Murji’ah, di mana yang dipelopori oleh Ghilam
Al-Dimasyqi berpendapat mereka bersifat netral dan tidak mau mengkafirkan para
sahabat yang terlambat dan menyetujui tahkim dalam ajaran aliran ini,
orangIslam yang melakukan dosa besar tidak boleh dihukum kedudukannya dengan hukum
dunia. Mereka tidak boleh ditentukan akan tinggal di neraka atau di surga,
kedudukan mereka ditentukan di akhirat. Dan bagi mereka Iman adalah pengetahuan
tentang Allah secara mutlak. Sedangkan kufur adalah ketidaktahuan tentang Tuhan
secara mutlak, iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang.[8]
c.
Qodariah adalah aliran yang memandang bahwa Manusia memiliki
kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidupnya. menurut paham
ini manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
d.
Jabariyah, menurut aliran ini manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam menentukan perjalanan hidup dan mewujudkan perbuatannya, mereka hidup dalam
keterpaksaan ( jabbar ), karena aliran ini berpendapat sebaliknya; bahwa dalam
hubungan dengan manusia, tuhan ituMaha Kuasa. Karena itu, tuhanlah
yang menentukan perjalanan hidup manusia dan yang mewujudkannya.Ajaran ini
dipelopori oleh Al-ja’d bin Dirham.
e.
Mu’tazilah secara etimologi berasal dari kataa’tazala yang
berarti mengambil jarak atau memisahkan diri. Secara terminologi adalah aliran
teologi Islam yang memberi porsi besar kepada akal atau rasio di dalam membahas
persoalan-persoalan ketuhanan.
Aliran mempunyai beberapa karya yang masih bisa ditemukan antara
lain yaitu kitab Syarahal Ushul al-Khamsah, kitab al-Majmu’ fi
al-Muhit bi al-Taklif, kitab al-Mughni fi Abwab al-Tauhid wa
al-‘adl,kitab Tasbi Dalail al-Nubuwwah, kitabMutasyabih
al-Qur’an, dan kitab Tanzih al-Qur’an ‘an Mata’in.[9]
f.
Ahl sunnah wal jama’ah.Ahl sunnah wal jama’ah terbentuk
akibat dari adanya penentangan terhadap aliran Mu’tazilah oleh orang Mu’tazilah
itu sendiri, mereka adalah Abu al-Hasan, Ali bin Isma’il bin Abi basyar ishak
bin Salim bin isma’il bin abd Allah bin Musa bin Bilal bin Abi burdah amr bin
Abi musa al-asy’ari.
2.
Aliran-Aliran Fiqih
Secara historis, hukum Islam telah menjadi 2 aliran pada zaman
sahabat Nabi Muhammad SAW. Dua aliran tersebut adalah Madrasat Al-Madinah dan
Madrasat Al-Baghdad/Madrasat Al-Hadits dan Madrasat Al-Ra’y.
a.
Aliran Madinah terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di
Madinah, aliran Baghdad/kuffah juga terbentuk karena sebagian sahabat tinggal
di kota tersebut.Atas jasa sahabat Nabi Muhammad SAW yang tinggal di Madinah,
terbentuklah Fuqaha Sab’ah yang juga mengajarkan dan mengembangkan gagasan
guru-gurunya dari kalangan sahabat. Diantara fuqaha sab’ah adalah Sa’id bin
Al-Musayyab. Salah satu murid Sa’id bin Al-Musayyab adalah Ibnu Syihab Al-Zuhri
dan diantara murid Ibnu Syihab Al-Zuhri adalah Imam Malik pendiri aliran
Maliki. Ajaran Imam Maliki yang terkenal adalah menjadikan Ijma dan amal
ulama madinah sebagai hujjah.
b.
Baghdad terbentuk aliran ra’yu, di Kuffah adalah Abdullah bin
Mas’ud, salah satu muridnya adalah Al-Aswad bin Yazid Al-Nakha’i salah satu
muridnya adalah Amir bin Syarahil Al-Sya’bi dan salah satu muridnya adalah Abu
Hanifah yang mendirikan aliran Hanafi. Salah satu ciri fiqih Abu Hanifah adalah
sangat ketat dalam penerimaan hadits. Murid Imam Malik dan Muhammad
As-Syaibani (sahabat dan penerus gagasan Abu Hanifah) adalah Muhammad bin Idris
Al-Syafi’I, pendiri aliran hukum yang dikenal dengan Syafi’iyah atau aliran
Al-Syafi’i. Imam ini sangat terkenal dalam pembahasan perubahan hukum Islam
karena pendapatnya ia golongkan menjadi Qoul Qodim dan Qoul Jadid. Dengan
demikian, kita telah mengenal sejumlah aliran hukum islam yaitu Madrasah Madinah,
Madrasah Kuffah, Aliran Hanafi, Aliran Maliki, Aliran Syafi’I, Aliran Hanbali,
Aliran Zhahiriyah dan Aliran Jaririyah. Tidak dapat informasi yang lengkap
mengenai aliran-aliran hukum islam karena banyak aliran hukum yang muncul
kemudian menghilang karena tidak ada yang mengembangkannya.
3.
Aliran-Aliran Tasawuf
Para penulis ajaran tasawuf, termasuk Harun Nasution, memperkirakan
adanya unsur-unsur ajaran non-Islam yang mempengaruhi ajaran tasawuf.
Unsur-unsur yang dianggap berpengaruh pada ajaran tasawuf adalah kebiasaan
rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kesenangan materi. Pada dasarnya tasawuf
merupakan ajaran tentang Al-Zuhd (Zuhud), kemudian ia berkembang dan namanya
diubah menjadi tasawuf dan pelakunya disebut shufi. Zahid yang pertama adalah
Al-Hasan A-Basir. Dia pernah berdebat dengan Washil bin Atha’ dalam bidang
teologi, ia berpendapat bahwa orang mu’min tidak akan bahagia sebelum berjumpa
dengan Tuhan. Zahid dari kalangan perempuan adalah Rabi’ah Al-Adawiyah dari
Basrah, ia menyatakan bahwa ia tidak bisa membenci orang lain, bahkan tidak
dapat mencintai Nabi Muhammad SAW, karenya cintanya hanya untuk Allah SWT.[10]
FOOTNOTE
[1]Sabiq Sayyid, Aqidah Islam. (Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2006) hlm. 15.
[2]Sidi Gazalba, Asas Agama Islam. (Jakarta: Bulan Bintang,
1975) hlm. 179.
[3] Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi
Islam.(Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2010) hlm. 149.
[4]Ibid, hlm. 150.
[5]www.Digital_Al-Quran.com
[6]Sachiko Murata, Trilogi Islam (Islam, Iman,dan
Ihsan).(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997) hlm. 8.
[7]Ibid, hlm. 8.
[8]http://iain-s.blogspot.com/12/2/2013/aliran-aliran-dalam-pemikiran-islam.html
[9]Ja’far Siddiq, Jejak Langkah Intelektual Islam (Epistemologi,
tokoh dan karyanya). (Medan: IAIN Press, 2010) hlm. 19.
[10]Opcit, 2/12/2013.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok........13
MODEL PENELITIAN AGAMA
A.
Penelitian Dan Penelitian Agama.
Penelitian
(Research) adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah
dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu, penelitian juga berarti upaya
pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan. Pengetahuan
manusia tumbuh dan berkembang berdasarkan kajian-kajian
sehingga terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi
pengetahuan-pengetahuan masa lalu melalui penemuan-penemuan baru.[1] Penelitian itu sendiri dipandang sebagai kegiatan ilmiah karena
menggunakan metode keilmuan. Sedangkan metode ilmiah sendiri adalah usaha untuk
mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis.[2] Sedangkan penelitian agama
sendiri menjadikan agama sebagai objek penelitian yang sudah lama
diperdebatkan. Harun nasution menunjukkan pendapat yang menyatakan bahwa agama,
karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan
kalaupun dapat dilakukan, harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan
metode ilmu sosial.
Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ahmad Syafi’i Mufid. Beliau
menjelaskan bahwa agama sebagai objek penelitian pernah menjadi bahan
perdebatan, karena agama merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan cenderung
berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak perlu
diteliti.[3]
Menurut Harun Nasution, agama mengandung dua kelompok
ajaran. Pertama, ajaran dasar yang diwahyukan tuhan melalui rasul-Nya
kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam
kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu
memerlukan penjelasan tentang arti dan cara pelaksanaannya.
Penjelasan-penjelasan para pemuka atau pakar agama membentuk ajaran agama
kelompok kedua.
Ajaran dasar agama, karena merupakan wahyu dari tuhan, bersifat
absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan
penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama, karena hanya merupakan
penjelasan dan hasil pemikiran, tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak
kekal. Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan
dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman.[4]
Para ilmuwan sendiri beranggapan bahwa agama juga merupakan objek
kajian atau penelitian, karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosial
kultural. Jadi, penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti
wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh
pengaruh dari agama. Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti
kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan
dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosial-kultural. Jadi, kata
Ahmad Syafi’i Mufid, kita tidak mempertentangkan antara penelitian agama dengan
penelitian sosial terhadap agama (Ahmad Syafi’i mufid dalam Affandi Mochtar).
Dengan demikian kedudukan penelitian agama adalah sejajar dengan
penelitian-penelitian lainnya, yang membedakannya hanyalah objek kajian yang
ditelitinya.
Penulis tidak setuju, kalau penelitian agama betujuan bukan untuk
meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam
kebudayaan dan sistem sosial. Seandainya itu digunakan, maka kebenaran suatu
agama akan diabaikan atau tidak mencari agama mana yang paling benar. Dan ini
akan membuat agama islam disejajarkan dengan agama-agama yang lain. Karena
penelitian ini hanya melihat dari sisi bagaimana suatu agama itu ada dalam
kebudayaan masyarakat tertentu, misalnya mengapa ajaran tarekat mudah diterima
dimasyarakat jawa, itu sebabnya karena masyarakat jawa masih banyak yang mempercayai
akan benda-benda mistis dan kemampuan alam ghaib. Dan dalam penelitian agama
yang seperti ini, kebudayaan-kebudayaan yang ada diberbagai masyarakat tidak
disalahkan atau dibenarkan, hanya sekedar untuk mengetahui bagaimana agama itu
ada dalam kebudayaan masyarakat. Dan kalau dimasukkan kedalam agama islam, maka
kebudayaan-kebudayaan yang seperti tarekat yang diterima di masyarakat jawa dan
kiyai slamet yang sangat diagung-agungkan di masyarakat Jawa Tengah, khususnya
Yogya, akan dianggap bahwa itulah ajaran islam.
Dalam mempermudah peta penelitian agama, kita dapat memahaminya
melalui tabel berikut:
B.
PETA PENELITIAN KEAGAMAAN.
Dengan
demikian, agama dalam pengertian yang kedua, menurut Harun Nasution, dapat
dijadikan sebagai objek penelitian tanpa harus menggunakan metode khusus yang
berbeda dengan metode yang lain.
Jadi pendapat Harun Nasution mengenai penjelasan-penjelasan tentang
ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci oleh para pemuka atau pakar
agama membetuk ajaran agama kelompok kedua bersifat nisbi, relatif dan dapat
dirubah sesuai perkembangan zaman tidak sesuai dengan ajaran islam, sebagai
contohnya Rasulallah menjelaskan tata cara shalat, sedangkan didalam kitab suci
tidak diterangkan tata cara shalat, dan tata cara shalat ini sendiri bersifat
qot’i/ tidak bisa dirubah. Kalau menurut Harun Nasution berarti
penjelasan-penjelasan Rasulallah tentang tata cara shalat berarti
bersifat nisbi dan dapat dirubah.
1.
Penelitian Agama Dan Penelitian Keagamaan.
M. Atho Mudzhar mengatakan bahwa perbedaan antara penelitian agama
dengan penelitian keagamaan perlu disadari karena perbedaan tersebut membedakan
jenis metode penelitian yang diperlukan. Untuk penelitian agama yang
sasarannya adalah agama sebagai doktrin, pintu bagi pengembangan suatu metodologi
penelitian tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah ada yang merintisnya. Adanya
ilmu ushul fiqh sebagai metode istinbath hukum dalam agama
islam dan ilmu musthalahul hadistsebagai metode untuk menilai akurasi
sabda Nabi Muhammad saw merupakan bukti bahwa keinginan untuk mengembangkan
metodologi penelitian tersendiri bagi bidang pengetahuan agama ini pernah
muncul. Persoalan berikutnya ialah, apakah kita hendak menyempurnakannya atau
meniadakannya sama sekali dan menggantinya dengan yang baru, atau tidak
menggantinya sama sekali dan membiarkannya tidak ada.[5]
Sedangkan untuk penelitian keagamaan yang sasarannya agama sebagai
gejala sosial, kita tidak perlu membuat metodologi penelitian tersendiri. Ia
cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada.[6]
Dengan kata lain bahwa pendapat M. Atho Mudzhar sama dengan
pendapat yang dikemukakan Harun Nasution, kalau penelitian agama sama dengan
ajaran agama kelompok pertama dan penelitian keagamaan sama dengan ajaran agama
kelompok kedua menurut Harun nasution.
Dalam pandangan Juhaya S. Praja, penelitian agama adalah penelitian
tentang asal-usul agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut ajaran agama
tersebut terhadap ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, jelas
juhaya, terdapat dua bidang penelitian agama, yaitu sebagai berikut;
1.
Penelitian tentang sumber ajaran agama yang telah melahirkan
disiplin ilmu tafsir dan ilmu hadist. Pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran
yang terkandung dalam sumber ajaran agama itu.
2.
penelitian hidup keagamaan adalah penelitian tentang
praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan
kolektif. Berdasarkan batasan tersebut, penelitian hidup keagamaan meliputi
hal-hal berikut. Perilaku individu dan hubungannnya dengan masyarakatnya yang
didasarkan atas agama yang dianutnya. Perilaku masyarakat atau suatu komunitas,
baik perilaku politik, budaya maupun yang lainnya yang mendefinisikan dirinya
sebagai penganut suatu agama. Ajaran agama yang membentuk pranata sosial, corak
perilaku, dan budaya masyarakat beragama.
Dalam hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Juhaya S. Praja ada
kesamaan dengan pendapat Harun Nasution dan M. Atho Mudzhar, akan tetapi
Juhaya membagi penelitan agama menjadi dua bidang, yang pada intinya
pendapatnya sama dengan pendapat Harun Nasution tentang ajaran agama kelompok
pertama. Sedangkan penelitian keagamaan menurut Juhaya adalah penelitian hidup
keagamaan, yaitu penelitian terhadap praktik-praktik ajaran agama yang
dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif.
C.
Model-Model Penelitian Keagamaan.
Adapun model penelitian yang ditampilkan di sini disesuaikan dengan
perbedaan antara penelitian agama dan penelitian keagamaan. Akan tetapi, disini
dikutip karya Djamari mengenai metode sosiologi dalam kajian agama, yang secara
tidak langsung memperlihatkan model-model penelitian agama melalui pendekatan
sosiologis. Djamari, dosen pascasarjana IKIP Bandung, menjelaskan bahwa kajian
sosiologi agama menggunakan metode ilmiah. Yaitu:
1.
Analisis Sejarah.
Dalam hal ini, sejarah hanya sebagai metode analisis atas dasar
pemikiran bahwa sejarah dapat menyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang
mendukung timbulnya suatu lembaga, dan pendekatan sejarah bertujuan untuk
menemukan inti karakter agama dengan meneliti sumber klasik sebelum dicampuri
yang lain.
Seperti halnya agama Islam, sejarah mencatat bahwa ia adalah agama
yang diturunkan melalui Nabiya yaitu Muhammad Saw berdasarkan kitab sucinya
yaitu Al-Qur’an yang ditulis dalam bahasa arab. Islam diturunkan bukan untuk
satu bangsa saja melainkan untuk seluruh bangsa secara universal. Sedangkan
agama lain ada yang hanya diturunkan untuk satu bangsa saja seperti yahudi
untuk ras yahudi saja.[7]
Pendekatan sejarah dalam memahami agama dapat membuktikan apakah
agama itu masih tetap pada orisinalitasnya seperti ketika ia baru muncul atau
sudah bergeser jauh dari prinsip-prinsip utamanya. Bila hal itu dihubungkan
dengan agama islam maka ia dapat dimasukkan pada kategori agama yang bertahan
konsisten dengan ajaran seperti pada masa awalnya.[8]
Menurut ahli perbandingan agama seperti A. Mukti Ali, apabila kita
ingin memahami sebuah agama maka kita harus mengidentifikasi lima aspek yaitu
konsep ketuhanan, pembawa agama atau nabi, kitab suci, sejarah agama, dan
tokoh-tokoh terkemuka agama tersebut.[9]
Perihal
|
Islam
|
Yahudi
|
Nasrani/kristen
|
budha
|
Hindu
|
Asal usul
nama tuhan
|
Allah
|
Langsung dari
yudha atau yehuda
|
Dari nama
bangsa (nazaret) dan nama gelar yesus (kristus)
|
Dari nama
tempat gautama
|
Pendirinya
budha hindustan
|
Konsep tuhan
|
Tauhid
|
Asal tauhid
berubah jadi faham chauvinisme
|
Asal tauhid
di ubah jadi trinitas
|
Tidak jelas
|
Trimurti
|
Kitab
|
Al-qur’an
|
Talmud
|
Bibel
|
Tripitakan
|
Wedda
|
Status kitab
|
Asli
|
Tidak asli
|
Buatan paulus
|
Renungan
budha
|
Berisi mantra
2
|
Nabi
|
Muhammad
|
Musa
|
Isa
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Status Nabi
|
manusia
|
Manusia
|
Tuhan
|
Tidak punya
nabi
|
Tidak punya
nabi
|
Pembawa Agama
|
Muhammad
|
Musa
|
Isa
|
Sidarta
gautama
|
Tidak ada
|
Penyebar
|
Sahabat-ulama
|
Rahib
|
Paulus-pendeta
|
Biksu
|
Pendeta
|
Sifat Agama
|
Universal
|
Eksklusif
|
Universal
|
Tidak
universal
|
Tidak
universal
|
Missi
|
Da’wah
|
Bukan missi
|
Missi
|
Bukan missi
|
Bukan missi
|
Perubahan
dari asal
|
Tidak berubah
|
Berubah
|
Berubah
|
Berubah
|
Berubah
|
Agama-agama dipandang dari segi sejarahnya.[10]
2.
Analisis lintas budaya.
Analisis lintas budaya bisa diartikan dengan ilmu antropologi,
karena dilihat dari definisi antropologi sendiri secara sederhana dapat
dikatakan bahwa antripologi mengkaji kebudayaan manusia.[11]
Islam sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad saw sampai saatnya
kini telah melalui berbagai dimensi budaya dan adat-istiadat. Masing-masing
negeri memiliki corak budayanya masing-masing dalam mengekspresikan agamanya.
Karena itu dari segi antropologi kita dapat memilah-milah mana bagian islam
yang merupakan ajaran murni dan mana ajaran islam yang bercorak lokal budaya
setempat.[12]
3.
Eksperimen. Penelitian yang menggunakan eksperimen agak sulit
dilakukan dalam penelitian agama. Namun, dalam beberapa hal,eksperimen dapat
dilakukan dalam penelitian agama, misalnya untuk mengevaluasi perbedaan hasil
belajar dari beberapa model pendidikan agama.
4.
Observasi partisipatif. Dengan partisipasi dalam kelompok, peneliti
dapat mengobservasi perilaku orang-orang dalam konteks relegius. Baik diketahui
atau tidak oleh orang yang sedang diobeservasi. Dan diantara kelebihannya yaitu
memungkinkannya pengamatan simbolik antar anggota kelompok secara mendalam.
Adapun kelemahannya yaitu terbatasnya data pada kemampuan observer.
5.
Riset survei dan analisis statistik. Penelitian survei dilakukan dengan
penyusunan kuesioner, interview dengan sampel dari suatu populasi. Sampel bisa
berupa organisasi keagamaan atau penduduk suatu kota atau desa. Prosedur
penelitian ini dinilai sangat berguna untuk memperlihatkan korelasi dari
karakteristik keagamaan tertentu dengan sikap sosial atau atribut keagamaan
tertentu.
6.
Analisis isi. Dengan metode ini, peneliti mencoba mencari
keterangan dari tema-tema agama, baik berupa tulisan, buku-bukukhotbah, doktrin
maupun deklarasi teks, dan lainnya. Umpamanya sikap kelompok keagamaan
dianalisis dari substansi ajaran kelompok tersebut
Dari model-model penelitian keagamaan diatas muncul pertanyaan bagi
kita semua, apakah dari model-model penelitian keagamaan diatas bisa bermanfaat
bagi agama islam? Atau justru dapat mengkaburkan agama islam itu sendiri?
Sebuah pertanyaan yang patut kita renungkan bersama
FOOTNOTE
[1] Drs. Atang Abd. Hakim, MA, Dr. Jaih Mubarok, Metodologi
Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008, cet. Kesepuluh, hal. 55
[2] Ibid, hal. 56
[3] Ibid, hal. 57
[4] Ibid
[5] Ibid, hal. 50
[6] Ibid
[7] Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, Bogor:
Granada Sarana Pustaka, 2005, cet.I, hal. 118
[8] Ibid, hal. 120
[9] A. Mukti Ali, metode memahami agama islam, Jakarta:
Bulan bintang, 1991, hal. 37-38
[10] Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, hal.
119
[11] Ibid, hal. 114
[12] Ibid, hal. 115
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......14
PERBANDINGAN DALAM STUDY ISLAM
A.
Pengertian Perbandingan Agama.
Berikut ini dikemukakan pendapat para ahli mengenai pengertian ilmu
perbandingan agama.
1.
A. Mukti Ali. Menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ilmu
perbandingan agama adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha untuk
memahami gejala-gejala keagamaan dari pada suatu kepercayaan dalam hubungannya
dengan agama lain yang meliputi persamaan dan perbedaan.[1]
2.
Hasbullah Bakri.
Mengatakan
bahwa ilmu perbankan agama adalah ilmu yang mengajarkan tentang agama-agama,
baik yang ada penganutnya di negara kita atau yang tidak ada penganutnya, baik
yang disebut agama missionary ataupun yang disebut dengan bukan agama
missionari.[2]
3.
Abu Ahmad. Dalam bukunya menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan
ilmu perbandingan agama adalah ilmu yang mempelajari tentang bermacam-macam
agama, kepercayaan dan aliran peribadatan yang berkembang pada berbagai bangsa
sejak dahulu hingga sekarang ini.[3]
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ilmu
perbandingan agama berusaha mempelajari berbagai macam agama, kepercayaan dan
peribadatan dari pada agama-agama yang dipelajari yang meliputi persamaan dan
perbedaan.[4]
B.
Islam dan Perbandingan Agama Lain.
1.
Perbedaan Islam dengan Agama-agama Lain
Perkembangan pendidikan dan kemajuan ilmu pengetahuan, kesemuanya
itu merubah pandangan dan pikiran orang Islam diseluruh dunia dan sekaligus
merupakan rennaisance orang Islam dalam lapangan ilmu pengetahuan, penertiban,
kehidupan agama dan sebagainya. Dengan perkembangan tersebut para sarjana
Islam memperbaharui polemik mereka terutama terhadap aktivitas missi Kristen.
Pada umumnya polemik-polemik yang diadakan oleh kaum Muslim merupakan reaksi
terhadap literatur-literatur yang diterbitkan oleh orang-orang Kristen.
Sejarah hubungan antara Islam dan kristen telah melalui masa yang
panjang dan diliputi oleh suasana setempat. Isi polemik antara Islam dan
kristen pada umumnya meliputi permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
a. Kristologi
(Islam tidak menyinggung pribadi Yesus sebagai kristus).
b. Kenabian
Muhammad SAW terutama mu’jizatnya.
c. Kedudukan
Bybel sebagai wahyu.
d. Ajaran
Paulus yang dogmatis.
e. Masalah
Moral.
Dalam kenyataannya materi politik antara abad pertengahan dan abad
dua puluh meliputi hal yang sama, namun sudah tentu terdapat pemikiran baru
yang terdapat dalam penerbitan mutakhir. Karena adanya pemikiran baru, maka
sekalipun pokok pembicaraan sama. Namun ada perubahan dalam interpretasi. Dalam
beberapa hal terdapat perhatian umat Islam terhadap penemuan baru. Adanya
penemuan baru tersebut dipergunakan oleh umat Islam untuk membahas kitab suci
Kristen.
Dalam hal toleransi, Nabi Muhammad pernah memberi suri tauladan
yang sangat inspiring dihadapan para pengikutnya. Sejarah mencatat bahwa nabi
pernah dikucilkan dan bahkan diusir dari tanah Makkah. Beliau terpaksa hijrah
ke Madinah untuk beberapa lama dan kemudian kembali ke Makkah. Peristiwa ini
disebut dengan fatkhul Makkah. Dalam peristiwa yang penuh kemenangan ini, Nabi
tidak mengambil langkah balas dendam kepada orang-orang yang telah mengusirnya.
Dengan titik tolak pandangan tersebut umat Islam pada tempatnya
bersikap menghargai agama orang lain. Menghargai agama orang lain tidak identik
dengan pengakuan akan pengakuan kebaikan dan kebenaran agama tersebut.[5]
2.
Pebedaan Sistem Kedudukan dengan Agama Lain
Melalui Rasulullah Saw, kita dikabarkan tentang konsep ketuhanan
yang hak. Konsep ketuhanan yang meniadakan sekutu bagi Tuhan. Dengan kata lain,
konsep Tuhan Esa tanpa menyandarkan Tuhan dengan benda atau suatu apapun.
Berbeda dengan agama lain. Agama hindu budha yang menyandarkan
Tuhan pada acara dan patung-patung. Perbedaan juga terdapat konsep ketuhanan
mereka sebab dalam agama hindu dikenal Trinitas, yang terdiri atas brahma
sebagai sebagai sewa pembantu, wisnu sebagai dewa pemilihara, dan siwa sebagai
dewa perusak.
Pada agama kristen, sistem ketuhanan dikenal dengan istilah
Trinitas, perbedaab yang mendasar adalah Kristen mengajarkan bahwa di surga
Tuhan Bapa, mengakui adanya Tuhan Anak dan Roh Kudus yand diberikan Malaikat
Jibril kepada Maryam. Sistem ini dinamakan Trinitas yang mengakui bahwa Tuhan
ada tiga, yaitu Bapa, Anak, dan Tuhan Ibu (Ruhul Kudus).
Ciri pembeda antara agama Islam dan agama lain, yaitu:
a. Islam mempercayai Tuhan
sebagai Maha Pencipta Alam Semesta dan menampilkan keesaan-Nya.
b. Islam percaya bahwa tidak ada
kontradiksi antara perkataan dan perbuatannya.
c. Islam tidak memaksa
untuk mempercayai sesuatu yang tidak dimengerti.
d. Kitab wahyu Islam adalah
Al-Quran.
3.
Posisi Islam diantara Agama di Dunia.
Posisi Islam
terhadap agama-agama yang datang sebelumnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.
Ciri khas agama Islam. Dilihat dari ciri khas agama Islam yang
menonjol, yaitu Islam menyuruh para pemeluknya beriman dan mempercayai bahwa
semua agama besar di dunia yang datang sebelumnya diturunkan dan diwahyukan
oleh Allah Swt.
b.
Kedudukan istimewa diantara semua agama. Posisi Ilsam diantara
agama-agama besar di dunia dapat pula dilihat dari ciri khas agama Islam yang
memberinya kedudukan istimewa diantara semua agama. Selain menjadi agama yang
terakhir dan yang meliputi semuanya, Islam adalah pernyataan kehendak ilahi
yang sempurna.
c.
Peran yang dimainkannya
Dalam hubungan ini Islam memiliki tugas besa, yaitu:
1. Mendatangkan perdamaian dunia
dengan membentuk persaudaraan diantara semua agama di dunia.
2. Menghimpun segala kebenaran
yang termuat dalam agama yang telah ada sebelumnya.
3. Memperbaiki kesalahan-kesalahan
yang diperbuat oleh para penganut oleh agama sebelumnya.
4. Mengerjakan kebenaran abadi
yang sebelumnya tidak pernah diajarkan.
d.
Unsur perubahan didalamnya. Posisi Islam diantara agama-agama lain
dapat pula dilihat dari adanya unsur pembaharuan didalamnya.
C.
Faktor Perbedaan dan Keyakinan Agama.
Ilmu
pengetahuan yang dicapai oleh setiap kemajuan corak lama merupakan bagian dari
akidah agama yang sangat diyakini oleh anggota-anggota masyarakat. Oleh karena
itu ilmu pengetahuan bercampur menjadi satu dengan akidah agama sehingga agama
dilunturi dengan kesamaan-kesamaan mistik dan tasawuf.
Sebagaimana filsafat pada dasarnya adalah kerja otak saja. Akan
tetapi, karena filsafat ini berbaur dari satu masyarakat dengan masyarakat
lain, timbul bermacam-macam filsafat yang ikut melunturi agama. Tidak ada
filsafat yang benar-benar murni dan mendetail sebab filsafat bergantung pada jauh
dan dekatnya dengan agama atau akidah.
D.
Problem dan Prospek Perbandingan Studi Islam.
1.
Kendala perbandingan agama.
Menurut Gierke
Gaard (1813-1855), filsuf agamawan asal Denmark, yang pendapatnya banyak
disetujui banyak orang, “netral terhadap studi agama-agama hampir tidak
mungkin”. Salah satu sebabnya, seorang peneliti tidak akan dapat memahami,
apalagi mendalami agama tanpa yang bersangkutan terlibat secara emosional dan
spiritual dengan agama tersebut.
2.
Tantangan yang Dihadapi Setiap Agama.
Menurut Bambang
Sugiarto, tantangan yang dihadapi setiap agama sekarang ini sekurang-kurangnya
ada tiga. Pertama, dalam menghadapi persoalan kontemporer yang ditandai
disorentasi nilai dan degradasi moralitas agama ditantang dengan tampil sebagai
suara moral yang otentik. Kedua, agama harus menghadapi kecenderungan
pluralisme mengolahnya dalam rangka “teologi” baru dan mewujudkannya dalam
aksi-aksi kerja sama plural. Ketiga, agama tampil sebagai pelopor perlawanan
terhadap segala bentuk penindasan dan ketidak adilan.
3.
Prospek : Upaya Mengatasi Kendala dan Tantangan Perbandingan Agama.
Untuk mengatasi kerancuan diatas, pakar-pakar studi agama lalu membagi
pendekatan studi agama yang mencakup studi perbandingan agama dalam dua
kategori, yaitu:
a. Pendekatan Diskriptif
Cara
ini dikembangkan oleh pakar-pakar dialog antar agama denga menggunakan
istilahintelektual conversion(beralih) agama pada tingkat pemikiran, bukan pada
tingkat iman yang hakiki.
b. Pendekatan Normatif
Pendekatan
ini menjelaskan, sebuah agama yang menitik beratkan kebenaran doktrial,
keunggulan sistem nilai otentitas teks, serta fleksibilitas ajarannya sepanjang
masa. Pendekatan normatif untuk memperkukuh iman, pendekatan deskriptif tidak
kurang pentingnya untuk menghindari konflik agama. [7]
FOOTNOTE
[1] Jirhannuddin,Perbandingan Agama (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), 4
[2] Ibid.
[3] Ibid., 5.
[4] Ibid.
[5] http://santi-wulandari1.blogspot.com/2012/12/perbandingan-dalam-studi-islam-islam29.html diakses pada 11 November 2014
[6] Koko Abdul Kodir, Metodologi Studi Islam,(Bandung:Pustaka
Setia,2014), 204.
[7] Koko Abdul Kodir, Metodologi Studi Islam, 206.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok..........15
ORIENTALISME DAN OKSIDENTALISME
A.
Latar belakang.
Agama islam telah menjadi obyek studi sarjana Barat, bahkan Islam
sudah menjadi karir sarjana Barat yang melahirkan orientalisis dan islamolog
Barat dalam jumlah yang besar. Sarjana Barat menaruh perhatian yang besar pada
studi Islam karena mereka memandang Islam bukan sekedar agama tetapi jug
merupakan sumber peradaban dan kekuatan sosial, politik dan kebudayaan yang
patut diperhitungkan.
Kajian tentan orintalisme sudah memiliki akar tradisi yang cukup
panjang di dunia akademik Barat. Namun orientalisme yang sudah berkembang
berpuluh-puluh tahu atau bahkan ratusan tahun cenderung dijadikan alat
ideologis Barat untuk melakukan hegemoni dan imperalisme baru di dunia Timur
terutama dunia Islam.[1]Hegemoni dan
penguasaan Barat atas Timur menciptakan kebencian rasial yang semakin memuncak.
Kebencian tersebut tidak hanya diekspresikan sebatas sikap pasif, tetapi
usaha-usaha menjawab dan membongkara kepalsuan Barat sudah banyak dilakukan.
Misalnya Edward Said, intelektaual keturunan Palestina, meluncurkan bukunya
yang berjudul Orientalis.
Menurut Komarudin Hidayat, dalam karya tersebut Said tidak hanya
menyajikan kajian baik tentang Timur, tetapi sekaligus juga menyeruak
selubung-selubung ideologis negatif yang selama ini menhinggapi Barat dalam
melihat Timur. Bahkan dalam kadar tertentu Said telah membuka jalan bagi
munculnya kesadaran baru tentanag perlunya menjadikan Barat sebagai bahan kajian
yang disebut oksidentalisme.[2]
Oksidentalisme atau usaha untuk mengkaji Barat menjadi sebuah
pendekatan dan konsep membuka selubung ketidakjujuran Barat dalam melihat
Islam. Orientalisme maupun oksidentalisme keduanya merupakan produk sejarah
yanga memiliki muatan ideologis yang memberikan respon dan kritik balik
terhadap serangan orientalisme terhadap Islam. Oksidentalisme masih merupakan
wacana yang sangat baru, namun menurut Hasan Hanafi sebagaimana dikutip oleh
Komaruddin Hidayat, secara historis prototip Oksidentalisme sebenarnya dapat
dilacak sejak terjadinya pertemuan antara Barat dan Timur, antara masyarakat
Kristen di Barat dan Muslim di Timur.[3]
Lepas dari orientalisme dipandang sebagai ideologi Barat untuk
melakukan hegemoni dan imperalisme terhadap dunia Timur terutama Islam ataupun
oksidentalisme yang juga memiliki muatan ideologis, namun yang menjadi
persoalan adalah sejauh manakah keduanya berpengaruh terhadap studi Islam.
Apakah hal itu hanya sebuah wacana ilmiah yang memang harus disikapi secara
serius sebagai bagian dari perkembangan intelektual di dunia akademik. Atau
harus dilakukan sesuatu untuk membendung arus perkembangan keilmuan tersebut
dalam rangka menghilangkan prasangka negatif terhadap Islam. Sebab kebearadaan
orientalisme dan oksidentalisme telah menimbulkan stigma dikalangan umat islam
bahwa apapun yang dikatakan sarjana Barat tentang Islam selalu
dicurigai . Lebih dari itu, beberapa sarjana alumni IAIN yang memperoleh
kesempatan menagambil program lanjutan di perguruan tinggi Barat dan bidang
Islamic Studies ketika kembali ke tanah air seringkali dicurigai sebagai telah
berpengaruh atau terkaminasi oleh pemikiran orientalis.
B.
Pengertian Orientalisme dan Oksidenatalisme
Ada beberapa definisi mengenai pengertian orientalisme dan
oksidentalisme, diantaranya menurut Dr. Muh. Natsir Mahmud, M.A., ia
mendefinisikan orientalisme sebagai sarjana Barat yang berusaha mempelajari
masalah-masalah ketimuran, menyangkut agama, adat istiadat, bahasa, sastra dan
masalah lain yang menarik perhatian mereka tentang soal ketimuran.[4]Sedangkan
menurut Ismail Yakub, bahwa orientalisme adalah : “Ahli tentang soal-soal
Timur, yakni segala sesuatu megenai negeri-negeri Timur, terutama, negeri
Arab-Islam, yaitu kebudayaanya, keagamaanya, peradabannya, kehidupannya dan
lain-lain dari bangaasa adan negeri Timur”.[5]
Maxime Rodinson sebagaimana dikutip oleh Muh. Natsir menerangkan
bahwa orientalisme mula-mula mempelajari Islam, “mempelajari” bukan sekedar
mengenal tetapi mempelajari secara sistematis, profesional, dan terorganisir.[6]Adapun
orientalisme, dengan menambahkan “isme” dibelakang kata “orientalis” berarti
ajaran atau paham tentang dunia Timur yang dibentuk oleh opini Barat.[7]Walaupun
orientalisme mengandung konotasi negatif dikalangan para penulis Timur, tetapi
dalam paper ini menggunakan pengertian secara definitif yaitu sarjana Barat
yang mempelajari dunia Timur termasuk dunia Islam dan agama Islam
Oksidentalisme lahir tanpa ada yang membidani, pada mulanya
hanyalah gagasan yang lebih bersifat reaksi daripada sebuah produk peradaban
yang mempunyai tujuan tertentu. Oksidentalisme adalah wajah lain dan tandingan
bahkan berlawanan dengan orientalisme. Secara lebih jelas Hassan
Hanfi memberikan pemahaman oksidentalisme sebagai berikut : “Apabila
orientalisme ego(Timur) melalui The Other(Barat), maka oksidentalisme
bertujuan mengurangi simpul sejarah yang mendua antaraego dengan the
other, dan dialektika antara kompleksitas inferoritas (Murikab al-Naqish) pada
ego dengan kompleksitas superioritas (Murokab al Uzhma) pada pihak the other”[8]
Lebih lanjut menurut Asyaukanie, secara harfiah oksidentalisme
berarti hal-hal yang berhubungan dengan Barat, baik itu budaya, ilmu dan aspek
sosial lainnya.[9] Secara
historis studi tentang keberatan sudah mulai sejak awal era kebangkitan Islam
atau dunia ketiga lainnya. Tetapi studi-studi tersebut masih sarat dengan
analisis diskriptif yang sumbernya utamanya adalah Barat sendiri yang pada
akhirnya kajian-kajian Barat. Model seperti ini belum mempresentasikan apa yang
dimaksud dengan format oksidentalisme diskursif (discusive formation), yaitu
satu wacana yang melihat dan mengkaji Barat dari luar Barat, seperti para
orientalis yang mengkaji Timur dengan perpspektif Barat.[10]
C.
Akar Dan Tujuan Orientalisme dan Oksidentalisme
Sejarah orientalisme adalah sejarah dendam dan niat penguasaan
terhadap budaya lain yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman buat ekstensi
Barat khususnya yang menyangkut dunia Arab Islam. Ssejarah orientalis bermula
dari kajian atas karya-karya ilmiah dari karya budaya kaum muslim setelah
adanyta interaksi dan pergantian kuasa wilayah Islam di belahan
Barat (Andalus) kepada kuasa Kristen dan perang salib di kota-kota suci Islam
di daerah Syam dan Palestina.[11] Sebagai
dua bangsa yang bertentangan berada dalam suasana konflik perang dengan
sendirinya akan sulit melahirkan persepsi yang positif satu sama lain. Akibat
perang salib bangsa Barat mengenal Islam dalam pandangan yang negatif.
Pandangan negatif tersebut disebabkan dua faktor, pertama, memandang Timur
khususnya Islam sebagai bangsa dan agama inferior. Bangsa Barat yang merasa
sebagai superior menimbulkan pandangan bahwa selain bangsa, budaya dan agama
Barat tergolong bangsa, ideologi dan agama yang inferior. Mereka melihat Islam
sebagai agama teror, agama perusuhan dan gerombolan orang-orang yang patut
dibenci. Kedua, sikap apologis, yang bertujuan menyerang keyakinan dasar
Islam dan untuk memperkuat kedudukan Kristen. Ketiga, Islam
dipandang sebagai salah satu sekte Yahudi / Kristen yang sesat.[12]
Ada tiga tahapan penting dalam sejarah terbentuknya orientalisme.
1.
tahapan diolah antara bangsa Barat dengan bangsa Timur (Arab
–Islam, India dan Persia) baik secara langsung maupun tidak. Dalam level
penerjemahan karya kaum muslimin, buku-buku filsafat dan kedokteran merupakan
karya yang paling diminati dan terus diselidiki, buku tentang optik karya Ibnu
Kaitham, merupakan buku pertama para ilmuan muslim yang diterjemahkan kedalam
bahasa latin. Tokoh-tokoh penting gerakan orientalisme ini adalah John of
Servile, Romanus, Agustinus dan Adilard.
2.
era pasca perang salib. Kalau pada tahapan pertama para penyelidik
Barat masih mempunyai jarak dengan kaum muslim di belahan Timur, maka pada
tahapan kedua ini setelah gelombang perang salib di jantung kota
Arab-Islam, ilmuwan-ilmuwan dan sarjana-sarjana Barat yang menyertai “misi
suci” tersebut dengan leluasa berkenalan dekat dengan sumber-sumber asli
peradaban Islam. Lalu pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, dimulailah
gerakan orientalisme yang sebenarnya.
3.
era kolonisme dan imeperalisme eropa kehampir seluruh negeri dan
bangsa non-barat, dunia Islam khususnya. Pada tahapan ketiga, merupakan
“ajudan” apara kolonialis dan alat yang palinga ampuh untuk
mendalami kondisi sosial-historis negeri-negeri jajahan baru. Dalam
tahapan ini orientalisme bertukar peran, kalau sebelumnya sebagai
pengkaji dan peneliti Timur dan ketimuran dengan sedikit banyak adanya nilai
obyektif dan keilmuan, kini perannya telah bertukar menjadi penguasaan dalam perampasan
hak-hak Timur dilegitimasi lewat kolonialisme. Timur telah menjadi obyek
kekuasaan dan kesemena-menaan bangsa yang lebih kuat bukan lagi menjadi obyek
studi yang harusnya.[13]
Namun dalam hal ini, tidak bisa disimpulkan bahwa
seluruh orientalis adalah “ jahat” mempunyai niat buruk dalam
mengkaji timur terutama Islam. Tetapi ada juga para oprientalis yang mempunyai
niat murni untuk mempelajari Islam dan Ketimuran. Berkaitan dengan tujuan
orientalis melakukan kajian mengenai Islam dan ketimuran, Ismail
Jakub mengklasifikasi menjadi beberapa macam tujuan. Yaitu, ada yang didorong
oleh rasa keagaamaan, ada yang karena dorongan penjajahan, dorongan perniagaan,
politik dan ada pula yang karena dorongan keilmuan.[14]
Menurut Asy Syaukanie, orientalisme pada akhirnya setelah
mendapatkan kritik dari beberapa sarjana Islam atau Timur, misalnya, Tibawi,
Anwar Abdul Malik, Abdullah Latovi dan said, dan dari barat sendiri seperti
Faucoult, Recour dan Bordeouw tidak lagi menjadi karir yang patut dibanggakan,
bahkan sebaliknya. Para pengkaji ketimuran dari Barat ada yang merasa risih untuk
disebut dirinya sebagai orientalis, karena istilah tersebut sangat prejoratif.
Mereka lebih senang disebut sebagai “Islamiolog dan sejenisnya”.[15] Kritik yang
sering dilontarkan kepada kaum orientalis adalah bahwa keahlian dan kecakapan
mereka hanya terbatas pada aspek eksternalitas (lahiriah) dari
agama. Mereka tidak dapat memahami wilayah “internal’ dari agama yang diteliti.[16]
Secara garis besar terdapat dua bentuk pendekatan dalam kajian
Islam, yaitu teologis dan sejarah agama-agama.[17]Pendekatan
dalam kajian teologis yang bersumber dari tradisi dalam kajian
tentang Kristen di Eropa, menyodorkan pemahaman normatif
ini semakin cenderung ditinggalkan para pengkaji agama-agama.
Sedangkan pendekatan sejarah agama-agama berangkat dari pemahaman
masyarakat-masyarakat agama. Penggambaran dan analisa dalam kajian bentuk kedua
ini tidak atau kurang mempertimbangkan klaim-klaim. Keimanan dan kebenaran
sebagaimana dihayati para pemeluk agama itu sendiri. Dan sesuai dengan perkembangan
keilmuan di Barat, maka pendekatan sejarah agama ini menjadi paradigma dominan
dalam kajian-kajian agama, termasuk Islam, di Barat. Dengan dapat dipahami
bahwa wajar kalau hasil kajian para orientalis tersebut tidak menyentuh pada
aspek internal pemeluknya, karena memang pendekatan yang dipakai adalah
pendekatan sejarah agama-agama (jika memakai pendekatan menurut Asyumardi
Azra).
Pada perkembangan selanjutnya, setelah orientalis dikritik baik
secara pendekatan keilmuan maupun keburukan-keburukan (niat jahat) menjadi
terbongkar, kini orientalisme menjadi obyek kajian. Kajian orientalisme sebagai
obyek yang dilakukan dibeberapa universitas Muslim pada
tahapan-tahapan selanjutnya mengilhami studi lebih lanjut akan budaya Barat
yang dilihat dari sudut pandang persepektif “selain Barat”.
Hanafi menulis mengenai oksidentalisme sebagaimana di kutip
oleh Asy Syaukanie bahwa : “Oksidentalisme adalah lawannya orientalisme. Ilmu
yang sangat penting diwujudkan buat masa sekarang, setelah Barat untuk yang
kedua kalinya mulai menancapkan lagi kuku-kolonialismenya…Bagaimanapun,
oksidentalisme merupakan imbangan buat kebudayaan manusia, karena dengan ini
kelak akan tidak ada lagi bangsa yang mendakwa dirinya sebagai bangsa yang
superior.”[18]
Oksidatilesme bukan sekedar kebalikan orientalisme, atau
orientalisme terbalik, atau orientalisme berlawanan, tetapi merupakan reaksi
atas westernisasi. Oksidentalisme bertujuan untuk mengakhiri mitos
Barat sebagai representasi seluruh umat manusia dan sebagai pusat kekuatan
serta meluruskan istilah-istilah yang mengisyaratkan sentrisme Eropa untuk
kemudian d ilakukan penulisan ulang sejarah dunia dengan kacamata lebih
obyektif dan netral serta lebih bersikap adil terhadap andil seluruh
peradaban manusia dalam sejarah dunia.
D.
Pengaruhnya Terhadap Studi Islam
Studi Islam di Barat, sulit dipungkiri turut membentuk cara pandang
sarjana-sarjana muslim tamatan universitas-universitas Barat terhadap
Islam. Dimana menurut Azyumardi Azra bahwa ada dua pendekatan dalam mengkaji
Islam, yaitu teologis dan sejarah agama-agama. Dari dua pendekatan tersebut
pendekatan kedua yakni sejarah agamalah yang dominan dipakai oleh para pengkaji
Islam di Barat berakar dalam beberapa disiplin
traditional. Pertama, adalah mereka yang berakar pada disiplin
humaniora traditional, yang mencakup filologi, filsafat, literature dan
sejarah. Kedua, yang berakar pada disiplin teologi, seperti sejarah
kitab suci dam sejarah institusi-institusi agama.Ketiga, yang berakar pada
ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi, linguistic dan psikologi.
DanKeempat, yang berakar pada studi-studi kawasan yang menjadi salah
satu titik tolak “orientalisme” yakni “dunia Timur” (khususnya kajian Timur
Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara).
Pertumbuhan minat untuk memahami Islam lebih sebagai
“tradisi keagamaan yang hidup”. Yang historis, ketimbang “kumpulan tatanan
doktrin”, yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits, menemukan momentum kuat dan
pertumbuhan kajian-kajian Islam di beberapa universitas besar dan terkemuka di
Amerika Serikat. Tradisi ini pertamakali tumbuh di Eropa, yang selanjutnya
dikembangkan di Amerika oleh sarjana semacam D.B. Macdonald (1863-1943) dan
H.A.R. Gibb.[19]
Pada umumnya orientalis membahas
Islam dengan pendekatan saintifik. Fenomena Islam
dianalisis dengan teori ilmiah tertentu. Misalnya dengan pendakatan historis, sosiologis,
psikologis dan sebagainya.[20]Pendekatan
tersebut meskipun turut memberikan kontribusi bagi studi Islam, namun
kelemahannya yang besar adalah Islam ditempatkan sebagai fenomena empirik
sensual, fenomena historik dan semata-mata kontekstual dengan mengabaikan segi
tekstual sehingga menghilangkan bahkan menolak esensi Islam sebagai wahyu.
Lebih lanjut, mengenai studi di Barat, Asyumardi Azra juga
menganalisis bahwa terdapat beberapa hal yang harus menjadi bahan pertimbangan
terhadap studi yang dilakukan oleh orientalis. Pertama, kajian-kajian
tentang Islam yang dilakukan di Barat cenderung bersifat “esensialis” yakni
menjelaskan seluruh fenomena masyarakat dan kebudayaan muslim dalam rangka
konsep tunggal dan tidak berubah. Dengan kata lain berlaku pada masyarakat dan
kebudayaan Islam. Contohnya, terdapatnya radikalisme kelompok-kelompok muslim
tertentu di Timur Tengah, dipandang sebagai berlaku dan absah juga dalam
masyarakat muslim di tempat lain. Kedua, kajian-kajian tentang Islam di
Barat dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan politis, dengan menciptakan citra
yang tidak benar dan distortif tentang Islam dan masyarakat
muslim. Ketiga, kajian-kajian tentang Islam di Barat merupakan upaya untuk
melestarikan “kebenaran-kebenaran” yang dicapai atas nama Muhammad Abdul Rauf,
sarjana-sarjana barat misalnya, menggunakan kategori-kategori Marxis untuk
menjelaskan perkembangan sejarah tertentu dikalangan kaum muslim, seraya
menolak dan mengabaikan kategori-kategori Islam sendiri.[21]
Tetapi bagaimanapun juga gambaran mengenai tradisi keilmuan
tersebut sebenarnya telah menjadi diskursus atau wacana ilmiah sejak dulu. Dan
bila menelusuri jejak-jejak muncul dan berkembangnya pemikiran dan pemikir
modern dalam Islam, maka akan didapati realitas bahwa semuanya itu muncul
setelah bersentuhan dengan Barat. Hampir tidak ada suatu negara yang mayoritas
berpenduduk Islam dimanapun yang melakukan modernisasi, tanpa sebelumnya
mendapat “penetrasi” dari Barat. Suatu kenyataan lain yang juga tidak bisa
diingkari adalah hampir semua pemikir modern Islam adalah juga produk Barat.
Misalnya, Fazlur Rahman, Iqbal, Ali Syari’ati, Sayid Qutub, Hasan Hanafi,
Abdullah an Na’im, Muhammad Arkoun, Riffat Hasa, Seyyed Hossein Nasr dan juga
pemikir dari Indonesia sendiri, misalnya, Nurcholish Madjid, Harun Nasution,
dan lain-lain. Mereka bukan saja menguasai khasanah keilmuan Islam, tetapi juga
keilmuan Barat sekaligus. Kenyataan ini seolah memberikan suatu keniscayaan
bahwa seandainya negara yang berpenduduk muslim dan pemikirnya tidak
bersentuhan dengan Barat, maka tidak akan muncul gerakan dan pemikiran modern.[22]
Dengan corak dan karakteristik studi Islam di Barat, seperti
dikemukakan di atas, jelaslah salah satu akar utama cara pandang
sarjana-sarjana muslim yang memperoleh pendidikan lanjutan tentang Islam di
universitas-universitas di Barat. Pendekatan historis terhadap Islam turut
membentuk cara pandang mereka yang sering disebut lebih “liberal” menyangkut
Islam. Liberalisme pandangan itu berkaitan dengan concern mereka pada
umumnya yang memang lebih pada kenyataan historis dan sosiologis Islam
ketimbang doktrin Islam itu sendiri. Di sini mereka kemudian sering dituduh
sebagai tidak atau kurang mempunyai “kesetiaan” kepada Islam, dan sebaliknya
menjadi pengikut “orientalis” belaka. Padahal masalahnya terletak bukan pada
soal setia atau tidak kepada Islam, melainkan pada pendekatan semata-mata. Hal
ini pula yang menjadi kekhawatiran para umat Islam sebagaimana di tulis oleh
Komaruddin Hidayat, bahwa :
“Kajian tentang orientalis sudah memiliki akar tradisi yang cukup
panjang di dunia akademik Barat. Namun orientalisme yang sudah berkembang
berpuluh-puluh atau bahkan ratusan tahun cenderung dijadikan sebagai alat
ideologis Barat untuk melakukan hegemoni dan imperalisme baru terhadap dunia
Timur terutama dunia Islam. Hal ini telah menimbulkan stigma dikalangan umat
Islam bahwa apapun yang dikatakan sarjana Barat tentang Islam lalu dicurigai.”[23]
Lebih dari itu, beberapa sarjana alumni IAIN yang mempeorleh
kesempatan mengambil program lanjutan di perguruan tinggi Barat dan
bidangIslamic Studies ketika kembali ke tanah air seringkali dicurigai
sebagai telah terpengaruh atau terkontaminasi oleh pemikiran orientalis. Karena
citra orientalis yang dianggap tidak netral, maka banyak akademisi barat yang
mendalami Islam dan bergerak di dunia kampus lebih senang disebut
sebagai Islamist, bukannyaorientalist.
Lebih lanjut yang menjadi persoalan lagi adalah bagaimana dengan
sarjana tamatan Timur Tengah?. Dimana sarjana-sarjana muslim khususnya
Indonesia tamatan Timur Tengah sering dipandang secara beragam sebagai lebih
“setia” dan mempunyai “komitmen” yang tinggi terhadap Islam. Sehingga tamatan
Timur Tengah menggunakan pendekatan normatif dalam berpikir dan tidak liberal,
dan bahkan cenderung menjadi fundamentalis, benarkah kesar seperti itu?
Memang mengenai sejauhmanakah peran dan pengaruh dua kelompok benar
sarjana terhadap perkembangan Islam mengundang perdebatan yang cukup hangat.
Dan hampir dipastikan perbincangan sekitar masalah ini akan terus berlangsung
di masa-masa mendatang. Secara realita ada juga tamatan Timur Tengah yang
liberal, seperti yang disimbolisasikan oleh Mona Abaza dalam figur Abdurrahman
Wahid. Dalam sketsa biografi Wahid, Abaza tidak luput melukiskan kecenderungan
kebebasan ekspresi intelektual di Mesir; termasuk kekaguman Wahid pada
penulis-penulis liberal Mesir yang terlibat dalam perdebatan hangat dengan
kelompok konservatif dari kalangan Al Azhar. Namun liberalisme Wahid dalam
banyak hal tidak dapat diragukan lagi. Tetapi yang menjadi pertanyaan penting
apakah ia merupakan representasi “alumni” Kairo.[24]Corak kajian
Islam, baik dengan pendekatan barat maupun Timur Tengah, adalah bagian yang
absah dan diskursus intelektualisme Islam di dunia Muslim. Kedua corak ini
tidaklah dipertentangkan melainkan harus dipandang sebagai komplementer satu
sama lain. Bahkan kedua pendekatan ini, sebaiknya dipadukan atau
diharmonisasikan sedemikian rupa untuk mendinamisasikan pemikiran di dunia
Islam.
FOOTNOTE
[1]Citra dan posisi orientalis kelihatannya memang sulit untuk
mengelak dari anggapan bahwa studi dan disiplin ini lebih bersifat ideologis
dan merupakan anak kandung imperalisme dan kolonialisme. Apalagi dalam konteks
Indonesia, orientalis pernah dijadikan sebagai alat penjajahan Belanda melalui
Snouck Hurgrounje untuk mensiasati Aceh dan umat Islam Indonesia secara
keseluruhan. Lihat : Dr. Komaruddin Hidayat, Pengantar dalam Hassan
Hanafi,Muqaddimah Fi ‘Ilmal-Istighrab, alih bahasa M. Najib
Buchori,Oksidentalisme ; Sikap Kita Terhadap Barat, Paramadina, jakarta, 2000,
hal. XV.
[4] Dr. Muh. Natsir Mahmud, M.A., Orientalisme : Al Qur’an
di mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), Dina Utama Semarang (DIMAS), t.t., hal.
36.
[7] Menurut Edward Said bahwa “Timur” dan “Barat” bukanlah
berdasarkan letak geografis, Timur menjadi “Timur” karena ia dibuat
(orientized), demikian juga Barat. Hubungan Timur dan Barat didasarkan pada
kekuasaan atau dominasi dan berbagai tingkat hegmoni yang kompleks. Lihat
The Cisis of Modern Islam : A Preindustrial Culture in The Scientifs
Technological Age (Krisis) Peradaban Islam Modern : Sebuah Kultur Praindustri
dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), oleh Bassam Tibi, terj. Yudian W.
Asmin, Naqiyah Muchtar dan Afandi Muchtar, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta,
1994, hal. 35.
[8] Dr. Hasan Hanafi, Muqaddimah fi’ilm Istihrab, alih bahasa M.
Najib Buchori, Oksidentalisme : Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Paramadina,
Jakarta, 2000, hal. 26.
[9] A. Luthfi Asy Syukanie,Oksidentalisme : Kajian Barat Setelah
Kritik Orientalisme. Ulumul Qur’an, no. 5 dan 6, vol. V, tahun 1994, hal.
123.
[10] Lain halnya dengan oksidentalis sungsang (Istighrab ma;kus)
yang menurut Hanafi adalah hal dimana seorang pemikir atau sarjana Timur
mengkaji Barat tetapi masih memakai metode cara pandang Barat. Dikatakan
“sungsang” karena ia membuat dirinya melalui cermin orang lain (Barat) dan
bukan seperti yang seharusnya, yaitu melihat Barat melalui cermin diri
(ru’yatul ‘akhar fi mir’ atil ana). Istilah istighrab ma’kus) oksidentalisme
sungsang pertama kali digunakan oleh shadiq jalal al Adzan dalam
bukunya Al Istisyraq Wa al Istighrab al Ma’kus), lihat catatan kaki no.
17, dalam A. Lutfi Asy Syaukanie, op.cit., hal. 131.
[11] Pengenalan barat terhadap Islam mulai terutama di masa
perang salib pertama (1096-1099 M). akibat perang salib masyarakat Barat,
khususnya intelektual mulai menaruh perhatian terhadap Islam. Tetapi akibat
perang salib itu pula menimbulkan kesalahpahaman bangsa Barat terhadap Islam.
Lihat Dr. Muh. Natsir, op.cit., hal. 17.
[16] Dr. Amin Abdullaj, Studi Agama : Normativitas atau
Historisitas ?, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 212.
[17] Prof. Dr. Azyumardi Azra,Pendidikan Islam : Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru, PT. Logo Wacana Ilmu, Jakarta, 1999,
hal. 229.
[22] Waryono Abdul Ghafur,Kritik Seyyed Hossein Nasr Atas
Modernisasi dan tawaran Neo-Sufisme, Jurnal Studi Islam, Profetika, Program
Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, vol. I, No. 2 Juli
1999, hal. 272.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......16
RADIKALISME DAN PLURALISME ISLAM
A.
Latar belakang..
Fenomena adalahpenampakan
realitas dalam kesadaran manusia; suatu fakta dan gejala-gejala
peristiwa-peristiwa adat serta bentuk keadaan yang dapat diamatidan dinilai
lewat kaca mata ilmiah; gejala.[1]Namun
yang kami maksud dalam makalah ini fenomena tindakan kekerasan yang terjadi
karena adanya perbedaan. Islam menurut kamus popular berarti damai; tentram;
agama yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW, dengan kitab suci Al-Qur’an.[2]
Radikal mempunyai arti; sama sekali, besar-besaran dan menyelurh,
keras, kokoh, maju dan tajam dalam berfikir. Jadi radikalisme adalah: paham
politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar dalam
pemerintahan; penganut radikalisme.[3]
Pluralisme berasal dari kata plural dan mendapat imbuhan “isme”.
Plural artinya; bentuk jama’, banyak, ganda. Sedangkan pluralisme ialah: hal
merangkap berbagai jabatan; kejamakan (yang berdiri sendiri); teori yang
mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak subtansi.[4]
Dari ketiga definisi tersebut pemakalah mendevinisikan maksud
judul diatas ialah mengenai kejadian tindak kekerasan yang terjadi dinegara
Indonesia ini yang disebabkan adanya sebuah keaneka ragaman dalam suatu bangsa.
B.
Pembahasan.
1.
Pluralisme Agama di Indonesia
Di Indonesia meskipun banyak agama namun bisa tetap
bersatu hingga berpuluh-puluh tahun lamanya, tanpa adanya pemaksaan antara satu
dan yang lainnya dalam memeluk agama. Ini disebabkan beberapa unsure
diantaranya sbb:
a.
Demokrasi
Di negara kita yakni Indonesia terdapat enam macam agama,; Islam,
Kristen, Hindu, Budha dan agama yang baru saja diresmikan pada masa
keprisidenan K.H. Abdurrahman Wahid yaitu agama Khonghuchu. Negara Indonesia
meskipun kebanyakan penduduknya islam system pemerintahannya bukan mutlak islam
saja, Indonesia memiliki sistim demokrasi sehingga setiap masyarakat
bebas berkarya dan ber argument.
Demokrasi menurutKamus Besar Bahasa Indonesia, berarti (1) bentuk
pemerintahan dimana segenap rakyat turut serta memerintah, (2) gagasan atau
pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban[5].
Dengan demkian makna demokrasi adalah rakyat pemegang kekuasaan, pembuat dan
penentu keputusan dan kebijakan tertinggi dalam penyelenggaran Negara dan
pemerintah serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakan baik yang dilakukan
langsung oleh rakyat atau yang mewakilinya melalui lembaga perwakilan.
Dalam demokrasi ada yang namanya unsure-unsur penegk demokrasi
yaitu;a). Negara Hukum; b). masyarakat Madani; C). dan infra struktur politik.
Dalam Negara hukum terdapat ciri-ciri yang mengatakan bahwa
didalam Negara yang berdemokrasi ini adanya perlindungan HAM.[6] Karena
hal inilah tidak ada pemaksaan agama dalam menganut kepercayaannya, karena
memeluk agama yang Ia suka merupakan hak pribadi manusia, dan apabila
dipaksakan oleh seseorang maka, akan melanggar hukum di Indonesia. Karena
itulah masyarakat Indonesia merasa beebas dan tenang sebagai umat manapun
karena tidak ada pemaksaan agama.
b.
Pancasila
Pancasila juga merupakan suatu alasan adanya pluralisme agama yang
dilindungi. Namun bangsa Indonesia tidak boleh Atheis. Kelima sila dari
pancasila itu ialah; 1). Kutuhanan Yang Maha Esa, 2). Kemanusiaan yang adil dan
beradab,3). Persatuan Indonesia,4). Kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,5). Keadilan social bagi seluruh
Rakyat Indonesia. Dalam lima sila ini tak ada satupun yang memihak pada salah
satu agamapun ini membuktikan, tidak juga islam. Meskipun mayoritas penduduknya
muslim lantas peraturannya lebih menguntungkan islam? Tidak. Agar tidak
tercipta ketidak adilan antar satu agama dan agama lain maka semua isi
pancasila tidak memihak. Jika tidak ada perpecahan diantara bangsa Indonesia
maka kesatuan Negara akan semakin kuat. Pernah datang seseorang kepada guru
besar Khon Fu Tsu, bertanya tentang bagaimana agar bangsa menjadi kuat,
beliau menjawab bahwa bangsa harus memiliki tiga syarat.1). tentara yang kuat,
2). Makanan dan pakaian rakyat yang cukup, 3). Kepercayaan didalam kalbu rakyat
itu. Kemudian seorang tersebut menanyakan lagi jika ketiga tidak bias di miliki
mana yang harus dibuang, guru besar itu menjawab lebih menghilangkan tentara
kuat, baju dan makanan yang cukup dari pada menghilagkan kepercayaan dihati.[7] Inilah
yang menjadi dasar bahwa setiap warga Indonesia haruslah beragama.
2.
Akibat Munculnya Pluralisme Agama
Dalam the oxford English dictionary,
pluralisme berartisebuah watak untuk menjadi plural, dan dalam ilmu
politik didefinisikan sebagai: (1) sebuah teori yang menentang kekuasaan
monolitik Negara dan bahkan menganjurkan untuk meningkatkan pelimpahan dan
otonomi organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan seseorang dalam
masyarakat. Juga kekuasaan harus dibagi diantara partai-partai politik yang
ada.(2) keberadaan toleransi keragaman kelompok-kelompok etnis dan budaya dalam
suatu masyarakat atau negara, keragaman kepercayaan atau sikap yang ada pada
sebuah badan atau institusi, dan sebagainya.[8] Pluralisme
sebenarnya memiliki makna yang positif berbeda dengan makna fragmentasi yang
cenderung negative. Pluralisme adalah hukum Allah (Sunnatullah), seperti firman
Allah Dalam QS. Al-maidah: 48. Artinya : Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu
apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Menurut Muslim Abdurrahman, dalam bukunya yang berjudul Islam
Pribumimengungkapkan bahwa pluralisme adalah sebuah realitas social yang
siapapun tidak mungkin mengingkarinya, karena pluralisme juga merupakan hukum
Allah (sunnatullah). Kehidupan yang plural mengandung arti bahwa hidup ini tidak
selalu corak tunggal. Disisi lain, kita juga sering memandang pluralisme
sebagai sesuatu yang negative. Karena itu, masih ada sikap setengah hati untuk
menerima pluralisme.[9]Karena
itulah di Indonesia bermunculan sifat-sifat radikalis antara satu dan yang
lainnya.dan inilah yang kebanyakan orang berpendapat bahwa pluralisme hanya
menimbulkan konflik saja.
Menurut K.H.Abdurrahman Wahid dalam bukunya yang
berjudul Islamku Islam Anda Islam Kita. Ini mengemukakan pendapat
ketidak setujuannya adanya islam radikal. Beliau tidak menyetujui tindak
kekerasan terhadap pemeluk agama lain (non muslim). Menurut beliau satu-satunya
alasan penggunaan kekerasan yang bias ditolelir yaitu ketika muslim diusir dari
rumah mereka. Inipun masih diperdebatkan, bolehkah membunuh orang lain jika
dirinya sendiri tidak terancam? Tidak tanggung-tanggung kecaman Gusdur
dialamatkan kepada kelompok-kelompok islam”garis keras” yang sering unjuk rasa
dengan membawa clurit, pedang atau bahan peledak lain hingga mereka
melakukan sweepingterhadap bangsa bangsa lain.[10]Faham
ini muncul karena mereka ingin menerapkan system Negara islam di Negara kita,
dan itu tidak mungkin dilakukan mengingat bangsa kita terdiri daribergagai
pluralisme agama.dan kelompok ini melakukan tindakan tanpa melalui jalan yang
baik.
3.
Islam Impian di Indonesia
Jika melihat fenomena yang terjadi di Indonesia maka islam di
Indonesia sekarang banyak yang tidak sesuai dengan negara kita ini, islam di
Indonesia ini belum bisa menerima pluralisme agama yang terdapat di Indonesia,
kenapa hal demikian bisa terjadi padahal semua perbedaan agama di
Negara ini sudah sejak dahulu, yang menjadi permasalahan ialah kebanyakan
muslim tidak bisa menerima agama selain agamanya dan menganggap semua agama
selain islam salah, seandainya ucapan itu benarpun tetap tidak boleh
menjustifikasi agama lain karena kita tinggal dinegara yang demokratis. Jadi
yang harus difikirkan oleh para Ulama’-ulama’ sekarang bagaimana membuat islam
sebagai agama yang baik dimata kita (muslim) dan baik dimata pemeluk agama
lain. Karena itu pemakalah ingin menampilkan beberapa pemikiran yang ditawarkan
untuk selalu menghargai pluralisme kerena alasan social. Yang ditawarkan
olehNur Kholis Setiawan, adalah Islam Progesif
Islam progesif berarti islam yang maju.wikipedia free ensiklopedia
menterjemahkan sebagaial Islam Al Mutaqoddimah al Islam Al Ijtihadiyah.
Gerakan ini merupakan gerakan yang mencoba memberi penafsiran baru kepada islam
agar ia lebih sesuai dan selaras dengan tuntutan kemajuan dan kemoderenan saat
ini.islam progesif adalah islam yang mencoba menawarkan sebuah kontekstualisasi
penafsiran islam yang terbuka,ramah, segar, serta responsive terhadap
persoalan-persoalan kemanusiaan. Hal ini tentu berbeda dengan islam militant
dan ekstrimis yang tetap berusaha menghadirkan wacana penafsiran masa lalu
serta menutup diri terhadap ide-ide baru yang berasal dari luar kelompoknya.[11]
Menurut Omid safi (2003)[12]islam
progesif menawarkan sebuah metode berislam yang menekankan pada terciptanya
keadilan social, kesetaraan gender dan pluralisme keagamaan. Maka seorang
muslim yang progesif haruslah bersedia berjuang demi menegakkan keadilan social
di muka bumi ini. Perjuangan itu bias berwujud pada advokasi hak-hak
orang orang yang termarjinalisasi, orang yang tertindas, orang yang terkena
polusi lingkungan, serta orang yang “yatim” secara social dan politik.
KESIMPULAN.
1. Di
Indonesia meskipun banyak agama namun bias tetap bersatu hingga
berpuluh-puluh tahun lamanya, tanpa adanya pemaksaan antara satu dan yang
lainnya dalam memeluk agama. Ini disebabkan beberapa unsure diantaranya
Demokrasi pancasila
2. Dalam
Negara hukum terdapat ciri-ciri yang mengatakan bahwa didalam Negara yang
berdemokrasi ini adanya perlindungan HAM. Karena hal inilah tidak ada pemaksaan
agama dalam menganut kepercayaannya, karena memeluk agama yang Ia suka
merupakan hak pribadi manusia, dan apabila dipaksakan oleh seseorang maka, akan
melanggar hukum di Indonesia. Karena itulah masyarakat Indonesia merasa beebas
dan tenang sebagai umat manapun karena tidak ada pemaksaan agama. Pancasila
juga merupakan suatu alasan adanya pluralisme agama yang dilindungi.namun
bangsa Indonesia tidak boleh Atheis. Kelima sila dari pancasila itu
ialah; 1). Kutuhanan Yang Maha Esa, 2). Kemanusiaan yang adil dan beradab,3).
Persatuan Indonesia,4). Kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan,5). Keadilan social bagi seluruh Rakyat
Indonesia. Dalam lima sila ini tak ada satupun yang memihak pada salah satu
agamapun ini membuktikan, tidak juga islam.
3. islam
progesif menawarkan sebuah metode berislam yang menekankan pada terciptanya
keadilan social, kesetaraan gender dan pluralisme keagamaan. Maka seorang
muslim yang progesif haruslah bersedia berjuang demi menegakkan keadilan social
di muka bumi ini. Perjuangan itu bias berwujud pada advokasi hak-hak
orang orang yang termarjinalisasi, orang yang tertindas, orang yang terkena
polusi lingkungan, serta orang yang “yatim” secara social dan politik.
FOOTNOTE
[1] Pius A Partanto, dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah
Populer, Surabaya, Arkola,1994.hal.175
[2] Ibid, hal.274
[3] Ibid hlm 648
[4] Ibid hlm 604.
[5] Surip dan Sri Wahyuni,Kewarganegaraan, Jakarta,
CV Deriko, 2007, hlm 110,
[6] Ibid hlm 112
[7] Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno,
Yogyakarta, Media Presindo, 2006.hlm. 88
[8] Nur Kholis Setiawan, Akar-Akar Pemikiran Progesif dalam
kajian Al-Qur’an, Yogyakarta, SUKSES offset, 2008, hlm 24
[9] Muslim Abdurrahman,Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca
Realitas, Jakarta, Erlangga, 2003, hlm 186
[10] Abdurrahman Wahid,Islamku Islam Anda Islam Kita ,Agama
masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta, The Wahid Institusi, 2006, Hlm xxvi
[11] Nur Kholis Setiawan, Akar-Akar Pemikiran Progesif dalam
kajian Al-Qur’an, Yogyakarta, SUKSES offset, 2008, hlm 24
[12] Ahmad Fuad Fanani,Menimbang Gagasan Islam Progesif,
Replubika, kamis 10 januari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar