Selasa, 24 April 2018

Study Islam Bagian II (Dua)


Dalam upaya agar agama terpahami baik upaya yang bersifat internal yakni upaya tradisi keagamaan mengeksplorasi watak dan makna keimanan maupun upaya eksternal yakni upaya menjelaskan dan mengartikulasikan makna itu bagi mereka yang tidak berada dalam tradisi, agama tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Keterkaitan antara keduanya terfokus pada rasionalitas, kita dapat menyatakan bahwa suatu pendekatan filosofis terhadap agama adalah suatu proses rasional. Yang dimaksud “proses rasional” ini mencakup dua hal. Pertama, kita menunjukkan fakta bahwa akal memainkan peran fundamental dalam refleksi pengalaman dan keyakinan keagamaan dalam suatu tradisi keagamaan. Kedua, kita menunjukkan fakta bahwa dalam menguraikan keimanannya, tradisi keagamaan harus dapat menggunakan akal dalam memproduksi argumen-argumen logis dan dalam membuat klaim-klaim yang dapat dibenarkan.
Sedangkan dalam kajian Islam berpikir filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara saksama. Pendekatan filosofis ini sebenarnya sudah banyak dilakukan sebelumnya, diantaranya Muhammad al Jurjawi yang menulis buku berjudul Hikmah Al Tasyri’ wa Falsafatuhu. Dalam buku tersebut Al Jurjawi berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam, misalnya ajaran agama Islam mengajarkan agar melaksanakan sholat berjamaah dengan tujuan antara lain agar seseorang dapat merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain, dan lain sebagainya. Makna demikian dapat dijumpai melalui pendekatan yang bersifat filosofis.
Dengan menggunakan pendekatan filosofis seseorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian ketika seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap, penghayatan, dan daya spiritualitas yang dimiliki seseorang.
Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang didapatkan dari pengamalan agama hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam kelima dan berhenti sampai disitu saja. Tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Namun demikian pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengamalan agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik. Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya.
Dari pemaparan di atas penulis mencoba untuk merumuskan pengertian dari pendekatan filosofis. Menurut penulis pendekatan filosofis adalah cara pandang atau paradigma yang bertujuan untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya. Dengan kata lain, pendekatan filosofis adalah upaya sadar yang dilakukan untuk menjelaskan apa dibalik sesuatu yang nampak.
A.    PENDEKATAN NORMATIF
Pendekatan normatif adalah studi islam yang memandang masalah dari sudut legal-formal atau normatifnya.[3] Legal-formal adalah hukum yang ada hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau tidak dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli usul fikih (usuliyin), ahli hokum islam (fuqaha), ahli tafsir (mufassirin) danah lihadits (muhaddithin) ada hubungannya dengan aspek legal-formal serta ajaran islam dari sumbernya termasuk pendekatan normatif.
Sisi lain dari pendekatan normatif secara umum ada dua teori yang dapat digunakan bersama pendekatan normatif-teologis.Teori yang pertama adalah  hal - hal yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran serta dapat dibuktikan secara empirik dan eksperimental.Teori yang kedua adalah hal-hal yang sulit dibuktikan secara empirik dan eksperimental.Untuk hal-hal yang dapat dibuktikan secara empirik biasanya disebut masalah yang berhubungan dengan ra’yi (penalaran).
Sedang masalah-masalah yang tidak berhubungan dengan empirik (ghaib) biasanya diusahakan pembuktiannya dengan mendahulukan kepercayaan.Hanya saja cukup sulit untuk menentukan hal-hal apa saja yang masuk klasifikasi empirik dan mana yang tidak terjadi sehingga menyebabkan perbedaan pendapat dikalangan para ahli.Maka sikap yang perlu dilakukan dengan pendekatan normatif adalah sikap kritis.
Adapun beberapa teori popular yang dapat digunakan dengan pendekatan normatif disamping teori-teori yang digunakan oleh para fuqaha’,usuluyin,muhaddithin dan mufassirin diantara adalah teori teologis-filosofis yaitu pendekatan memahami Al Qur’an dengan cara menginterpretasikannya secara logis-filosofi yakni mecari nilai-nilai objektif dari subjektifitas Al Quran.
Teori lainnya adalah normatif-sosiologis atau sosiologisseperti yang ditawarkan Asghar Ali Engerineer dan Tahir al-Haddad yakni dalam memahami nash (Al Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW.) selain itu ada pemisahan antara nash normatif dengan nashsosiologis.Nash normatifadalahnash yang tidaktergantungpadakonteks. Sementaranashsosilogisadalahnash yang pemahamannyaharusdisesuaikandengankontekswaktu, tempatdanlainnya.
Dalam aplikasinya pendekatan nomatif tekstualis tidak menemui kendala yang berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi islam normatif yang bersifat Qoth’i. Persoalanya justru akan semakin rumit ketika pendekatan ini dihadapkan pada realita dalam Al-Quran bahkan diamalkan oleh komunitas tertentu secara luas contoh yang paling kongkrit adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas muslim yang sudah mentradisi secara turun temurun,seperti slametan (Tahlilan atau kenduren).
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan normatif tekstualis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan normatif tektualis sebagaimana disebutkan diatas telah menunjukan adanya kekurangan seperti eksklusif dogmatis yang berarti tidak mau mengakui adanya paham golongan lain bahkan agama lain dan sebagainya.Namun demikian melalui pendekatan norrmatift tektualis ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama sehingga berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar tanpa memandang dan meremehkan agama lainya.
B.     PENDEKATAN HISTORIS
Sejarah atau historis (Historical Approach) adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dal peristiwa tersebut.Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat emiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agam, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkrit bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-qur’an ia sampai pada satu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep ini kita mendapati banyak sekali istilah Al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normative yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu Al-Qur’an, atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas istilah itu kemudian dintegrasikan ke dalam pandangan dunia Al-Qur’an, dan dengan demikian, lalu menjadi konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, Malaikat, Akhirat, Ma’ruf, munkar dan sebagainya adalah termasuk yang abstrak. Sedangkan konsep tentang fuqara’, masakin, termasuk yang konkret.Selanjutnya, jika pada bagian yang berisi konsep, Al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian yang kedua yang berisi kisah dan perumpamaan Al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang yang ingin memahami Al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus memahami sejarah turunnya Al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya Al-Qur’an yang selanjutnya disebut dengan ilmu asbab al-nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat Al-Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis. Menurut perpektif sejarah, ada 2 macam penafsiran terhadap aturan hukum dan perundang-undangan, yaitu :
1.      Penafsiran menurut sejarah hukum,
2.      Penafsiran menurut sejarah penetapan peraturan perundang-undangan. [4]
C.     PENDEKATAN ANTROPOLOGI.
Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui ini pendekatan agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
1.      Antropologi Sebagai Bidang Ilmu Humaniora.
Antropologi adalah sebuah ilmu yang didasarkan atas observasi gartisipasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul, dengan menetralkan nilai, analisa yang tenang (tidak memihak) menggunakan metode komgeratifi.Tugas utama antropologi, studi tentang manusia adalah untuk memungkinkan kita memahami diri kita dengan memahami kebudayaan lain. Antropologi menyadarkan kita tentang kesatuan manusia secara esensil, dan karenanya membuat kita saling menghargai antara satu dengan yang lainnya.
Sedangkan Humaniora atau Humaniteis adalah bidang-bidang studi yang berusaha menafsirkan makna kehidupan manusia dan berusaha menambah martabat kepada penghidupan dan eksitensis manusia menurut Elwood mendefinisikan ”Humaniora” sebagai seperangkat dari perilaku moral manusia terhadap sesamanya, beliau juga mengisyaratkan pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan amung (unique) dalam ekosistem, namun sekaligus juga amat tergantung pada ekosistem itu dan ia sendiri bahkan merupakan bagian bidang-bidang yang termasuk humaniora meliputi agama, filsafat, sejarah, bahasa, sastra, dan lain-lain. Manfaat pendidikan humaniora adalah memberikan pengertian yang lebih mendalam mengenai segi manusiawi.
Jadi antara antropologi dan humaniora hubungannya sangat erat yang kesemuanya memberikan sumbangan kepada antropologi sebagai kajian umum mengenai manusia. Bagi para humanis bahan antropologis juga sangat penting. Dalam deskripsi biasa mengenai kebudayaan primitif, ahli etnografi tradisional biasanya merekam sebagai macam mite dan folktale, menguraikan artifak, musik dan bentuk-bentuk karya seni, barangkali juga menjadi subjek analisa bagi para humanis dengan menggunakan alat-alat konseptual mereka sendiri.
2.      Ilmu-ilmu Bagian Dari Antropologi
Di universitas-universitas Amerika, antropologi telah mencapai suatu perkembangan yang paling luas ruang lingkupnya dan batas lapangan perhatiannya yang luas itu menyebabkan adanya paling sedikit lima masalah penelitian khusus:
1. Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia (evolusinya) secara biologis.
2. Masalah sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia, dipandang dari sudut ciri-ciri tumbuhnya.
3. Masalah sejarah asal, perkembangan dan persebaran aneka warna bahasa yang diucapkan manusia diseluruh dunia.
4. Masalah perkembangan persebaran dan terjadinya aneka warna kebudayaan manusia di seluruh dunia.
5. Masalah mengenai asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa yang tersebar diseluruh bumi masa kini.
3.      Signifikasi Antropologi Sebagai Pendekatan Studi Islam
Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Powam Rahardjo, lebih mengutamakan langsung bahkan sifatnya partisipatif.
D.    PENDEKATAN SOSIOLOGI
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian.Dari dua definisi terlihat sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
Jalaluddin Rahman dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut:
1. Pertama, dalam Al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahman, dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus – untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).
2. Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
3. Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat seorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
4. Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya (tembusannya) adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
5. Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Ilmu sosial dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal ini dapat dimengerti karena banyak bidang kajian agama yang baru dipahami secara imporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosila. Pentingnya pendekatan sosial dalam agama sebagaimana disebutkan diatas, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.
Maksud pendekatan ilmu sosial ini adalah implementasi ajaran Islam oleh manusia dalam kehidupannya. Pendekatan ini mencoba memahami keagamaan seseorang pada suatu masyarakat. Fenomena-fenomena keislaman yang bersifat lahir diteliti dengan menggunakan ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi dan lain sebagainya. Pendekatan sosial ini seperti apa perilaku keagamaan seseorang didalam masyarakat apakah perilakunya singkron dengan ajaran agamanya atau tidak. Pendekatan ilmu sosial ini digunakan untuk memahami keberagamaan seseorang dalam suatu masyarakat.
E.     PENDEKATAN TEOLOGIS
Teologi dari segi etimologi berasal dari bahasa yunani yaitutheologia. Yang terdiri dari kata theos yang berarti tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan . sedangkan pendekatan teologis adalah suatu pendekatan yang normatif dan subjective terhadap agama. Pada umumnya, pendekatan ini dilakukan dari dan oleh penganut agama dalam usahanya menyelidiki agama lain. Secara harfiah, pendekatan teologis normatif dalam memahami agama dapat diartikan sebagai upayamemahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dubandungkan dengan yang lainnya.
Menurut The Encyclopedia of American Religion, di Amerika Serikat terdapat 1.200 sekte keagamaan. Satu diantaranya adalah sekte Davidian bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri masal setelah berselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerika Serikat. Dalam Islam pun secara tradisional dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah, dan teologi Maturidiyah. Sebelumnya terdapat pula teologi bernama Khawarij dan Murji’ah.  
Di masa sekarang ini, perbadaan dalam bentuk formal teologis yang terjadi di antara berbagai madzhab dan aliran teologis keagamaan. Namun, pluralitas dalam perbedaan tersebut seharusnya tidak membawa mereka pada sikap saling bermusuhan dan saling menonjolkan segi-segi perbedaan masing-masing secara arogan, tapi sebaiknya dicari titik persamaanya untuk menuju subtansi dan misi agama yang paling suci. Salah satunya adalah dengan mewujudkan rahmat bagi seluruh alam yang dilandasi pada prinsip keadilan, kemanusiaan, kebersamaan, kemitraan, saling menolong, saling mewujudkan kedamaian, dan seterusnya. Jika misi tersebut dapat dirasakan, fungsi agama bagi kehidupan manusia segera dapat dirasakan.
F.      PENDEKATAN PSIKOLOGIS
Pendekatan ini merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari aspek-aspek batini pengalaman keagamaan. Suatu esensi pengalaman keagamaan itu benar-benar ada dan bahwa dengan suatu esensi, pengalaman tersebut dapat diketahui. Sentimen-sentimen individu dan kelompok berikut gerak dinamisnya, harus pula diteliti dan inilah yang menjadi tugas interpretasi psikologis.
Interpretasi agama melalui pendekatan psikologis memang berkembang dan dijadikan sebagai cabang dari psikologi dengan nama psikologi agama. Objek ilmu ini adalah manusia, gejala-gejala empiris dari keagamaanya. Karena ilmu ini tidak berhak mempelajari betul tidaknya suatu agama, metodenya pun tidak berhak untuk menilai atau mempelajari apakah agama itu diwahyukan Tuhan atau tidak, dan juga tidak berhak mempelajari masalah-masalah yang tidak empiris lainnya. Oleh karena itu pendekatan psikologis tidak berhak menentukan benar salahnya suatu agama karena ilmu pengetahuan tidak memiliki teknik untuk mendemonstrasikan hal-hal seperti itu, baik sekarang maupun waktu yang akan datang.
Selain itu, sifat ilmu pengetahuan sifatnya adalah empirical science, yakni mengandungfakta empiris yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah. Fakta empiris ini adalah fakta yang dapat diamati dengan pola indera manusia pada umumnya, atau dapat dialami oleh semua orang biasa, sedangkan Dzat Tuhan,wahyu,setan,dan fakta gaib lainnya tidak dapat diamati dengan pola indera orang umum dan tidak semua orang mampu mengalaminya. Sumber-sumber ilmiah untuk mengumpulkan data ilmiah melalui pendekatan psikologi ini dapat diambil dari:
1.  Pengalaman dari orang-orang yang masih hidup
2.  Apa yang kita capai dengan meneliti diri kita sendiri
3.  Riwayat hidup yang ditulis sendiri oleh yang bersangkutan, atau yang ditulis oleh para ahli agama.
G.    PENDEKATAN LAINNYA
1.      Pendekatan Kasus.
Pendekatan kasus (Case Approach) bertujuan untuk memperlajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi focus penelitian. Dalam hukum Islam, pendekatan kasus dilakukan dengan mempersembahkan kasus hukum baru dengan kasus hukum lama yang terdapat ketentuan reasoning-nya atau persamaannya dalam teks suci. Dalam hal ini disebut juga dengan analogi atau qiyas.
2.      Pendekatan Analisis.
Pendekatan analisis (analytical approach) adalah mengetahui maknayang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum. Pendekatan ini bertujuan untuk menganalisis pengertian hukum, asas hukum, kaidah hukum, system hukum, dan berbagai komsep yuridis. Misalnya konsep yuridis tentang subjek hukum, objek hukum, hak milik, perkawinan, perjanjian, perikatan, hubungan kerja, jual beli, prestasi, dan sebagainya. [5]
3.      Pendekatan Perbandingan.
Pendekatan perbandingan (comparative approach) merupakan penel;itian normative untuk membandingkan salah satu lembaga hukum (legal institutions)dari system hukum yang satu dengan lembaga hukum (yang kurang lebih sama dari system hukum) yang lain, atau membandingkan satu pendapat hukum dengan pendapat hukum lainnya
4.      Pendekatan perundang-undangan.
Hukum sebagai systemtertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1.Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait antara satu dengan lain secara logis.
2.All-inclusive bahwa kumpulan normas hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak aka nada kekurangan hukum.
3.Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan lainny, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hirarkis.[6]
Sistem perundang-undangan tertentu tak lain merupakan produk hukum melalui kajian mendalam, karena itu pendekatan perundang-undangan ini akan sangat membantu kerja penelitian hukum untuk menemukan preskripsi baru yang sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat.
FOOTNOTE
[1]Omar mohammad AL-Toumy al-syaibani, filsafah pendidikan islam, (terj.) Langgulung dari judul aslifalsafah al-tarbiyah al-islamiyah,(jakarta: bulan bintang ,1979), cet.1 hlm.25
[2]J.s poerwadarminta, kamus umum bahasa indonesia,(jakarta: balai pustaka, 1991)cet,XII hlm.280
[3]Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A., Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009,hlm 197
[4] Dr. H. Abu Yasid, M.A., LL.M. , Aspek-aspek Penelitian Hukum, (Situbondo: 2010), hlm.72
[5]Ibid, hlm. 77-78
[6]Ibid, hlm. 85-86
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok........11
ANEKA METODOLOGI MEMAHAMI ISLAM
A.     Metodologi Ulumul Tafsir.
1.      Pengertian Tafsir.
Tafsir berasal dari bahasa Arab fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan.[1]Selain itu, pengertian tafsir sebagaimana juga dikemukakan pakar Alquran dalam formulasi yang berbeda-beda, namun dengan maksud atau esensinya sama.[2] Salah satunya adalah Az-Zarkasyi. Beliau mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.[3]
2.      Model Tafsir.
Seperti halnya ilmu pengetahuan lain, ilmu tafsir pun mengalami pertumbuhan dan perkembangan, mulai dari masa nabi Muhammad sampai masa sekarang. Berdasarkan upaya penafsiran Alquran sejak zaman Rasulullah saw. hingga saat ini. Lahirlah penafsiran yang lebih banyak disebabkan oleh tuntunan perkembangan zaman dan masyarakat.[4]
Jika ditelusuri perkembangan tafsir Alquran sejak dahulu sampai sekarang, maka dapat ditemukan bahwa penafsiran Alquran secara garis besar melalui empat cara (metode) yaitu:
a.   Metode Tahlily ( Analisis )
Metode tahlily atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy adalah suatu metode tafsir yang menjelaskan tentang kandungan ayat-ayat Alquran.[5]
b.  Model Ijmali ( Global )
Metode Ijmali atau disebut juga dengan metode global adalah cara menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global. Dalam praktiknya metode ini sering disamakan dengan metode tahlily karena itu seringkali metode ini tidak di bahas secara tersendiri. Dengan metode ini cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat tersebut secara garis besar.[6]
c.   Metode Muqarin
Metode muqarin adalah suatu metode tafsir Alquran yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat Alquran yang satu dengan yang lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan atau membandingkan ayat Alquran dengan hadis-hadis Nabi Muhammad saw.[7]
d. Metode Maudlu’iy.
Pada metode maudlu’iy ini berupaya menghimpun ayat-ayat Alquran dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang diterapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh tentang masalah yang di bahas.[8]
3.      Model Penelitian Tafsir
Dalam kajian perpustakaan dapat dijumpai berbagai hasil penelitian para pakar Alquran terhadap penafsiran yang dilakukan generasi terdahulu. Berikut ini akan dikemukakan beberapa model penafsiran Alquran yang dilakukan para ulama tafsir, sebagai berikut :
a. Model Quraish Shihab
Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh H.M. Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis dan perbandingan, yaitu model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsir baik yang primer, yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan maupun ulama lainnya, data-data yang dihasilkan dari berbagai literatur tersebut kemudian dideskripsikan secara lengkap serta dianalisis dengan menggunakan pendekatan kategorisasi dan perbandingan. Sehingga, Qurasih Shihab telah meneliti hampir seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu.[9] Dari penelitian tersebut telah dihasilkan beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan tafsir. Antara lain tentang : 1) Periodisasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir, 2) Corak-corak penafsiran, 3) Macam-macam metode penafsiran Alquran, 4) Syarat-syarat dalam menafsirkan Alquran, dan 5) Hubung tafsir modern.
b. Model Ahmad Al-Syabashi
Pada tahun 1985 Ahmad Asy-Syarhasbi melakukan penelitian tentang tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif, dan analisis sebagaimana yang dilakukan Quraish Shihab. Sumber yang digunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang ditulis para ulama tafsir seperti Ibnu Jarir Ath-Thabrari, Az-Zamakhsyari, Jalaluddin As-Suyuthi, Ar-Raghib Al-Ashfahani, Asy-Syatibi, haji kahlifah, dan buku tafsir yang lainnya.[10]
 Hasil penelitian itu mencakup tiga bidang. Pertama, mengenai sejarah penafsiran Alquran yang dibagi kedalam tafsir pada masa sahabat nabi. Kedua, mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi, dan tafsir politik. Ketiga, mengenai gerakan pembaharuan dibidang tafsir.[11]
c. Model Syaikh Muhammad Al- Ghazali
Syaikh Muhammad Al-Ghazali dikenal sebagai tokoh pemikir Islam abad modern yang produktif. Banyak hasil penelitian yang ia lakukan, termasuk dalam bidang tafsir Alquran. Muhammad Al-Ghazali menempuh cara penelitian tafsir yang bercorak eksploratif, deskriptif, dan analitis dengan berdasar pada rujukan kitab-kitab tafsir yang ditulis ulama terdahulu. Kemudian Muhammad Al-Ghazali mengemukakan ada juga tafsir yang bercorak dialogis, seperti yang pernah dilakukan oleh Al-Razi dalam tafsirnya  Al-Tafsir al-kabir.[12]
B.     Metodologi Ulumul Hadis.
1.      Pengertian Hadis.
Secara bahasa hadis berarti al-khabar, yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.[13]Secara istilah, Jumhur Ulama berpendapat bahwa Hadis, khabar, dan atsar mempunyai pengertian yang sama, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasullulah saw., sahabat atau tabi’in baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan, baik semuanya itu dilakukan sewaktu-waktu. Sedangkan ulama ahli ushul fiqih mengatakan hadis adalah segala perkataan, perbuatan dan taqrir nabi yang berkaitan dengan penetapan hukum.
Berdasarkan pengertian di atas, hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum Allah yang disyari’atkan kepada manusia.
2.      Model Penelitian Ulumul Hadis
Model penelitian yang dilakukan oleh para ulama hadis antara lain sebagai berikut.
a.       Model penelitian Quraisy syihab.
Dalam bukunya yang berjudul Membumikan Alquran, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadis, yaitu mengenai hubungan hadis dengan Alquran serta fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir. Bahan-bahan yang beliau gunakan adalah bahan kepustakaan atau bahan bacaan. Hasil penelitian Quraish Shihab tentang fungsi hadis terhadap Alquran, menyatakan bahwa Alquran menekankan bahwa Rasul SAW, berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah ( QS 16:44 ).[14]
b.      Model penelitian Mushtafa As-Siba’i.
Penelitian yang dilakukan Mushthafa Al-Siba’iy dalam bukunya itu bercorak eksploratif dengan menggunakan pendekatan historis dan disajikan secara deskriptif analitis. Yakni dalam sistem penyajian menggunakan pendekatan kronologi urutan waktu dalam sejarah. Hasil penelitian yang dilakukan Mushthafa Al-Siba’iy antara lain mengenai sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadis mulai dari Rasulullah sampai sekarang.[15]
c.       Model penelitian Muhammad Al-Ghazali.
Penelitian yang dilakukan Muhammad Al-Ghazali termasuk penelitian eksploratif yaitu membahas, mengkaji, dan menyelami sedalam-dalamnya hadis dari berbagai aspek.[16]
d.      Model penelitian Zain Ad-Din ‘Abd Al-Rahim bin Al-Husain Al-Iraqy.
Al-Hafidz Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim bin Al-Husain Al-Iraqy yang hidup tahun 725-806 tergolong ulama generasi pertama yang banyak melakukan penelitian hadis. Dari hasil penelitian yang dituangkan dalam buku Al-Taqyid wa Al-Idlah Syarh Muqaddimah Ibn Ash-Shalah,iamenjelaskan bahwa hadis pada prinsipnya memperjelas, merinci, bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat Alquran. Penelitian yang dilakukan bercorak eksploratif dengan menggunakan pendekatan historis dan disajikan secara deskriptif analisis.[17]
C.     Metodologi Filsafat dan Teologi ( Kalam ).
Dari segi bahasa , filsafat Islam terdiri dari gabungan kata filsafat dan Islam. Kata filsafat berasal dari kataphilo yang berarti cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau Hikmah.
Filsafat Islam berdasar pada ajaran Islam yang bersumberkan Alquran dan hadis, pembahasannya mencakup bidang kosmalogi, bidang metafisika, masalah kehidupan di dunia, kehidupan di akhirat, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Untuk dapat mengembangkan pemikiran filsafat Islam diperlukan metode dan pendekatan secara seksama.[18]
Berbagai metode penelitian filsafat Islam dilakukan oleh para ahli dengan tujuan untuk dijadikan bahan perbandingan bagi pengembangan filsafat Islam selanjutnya. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Model M. Amin Abdullah
Dalam rangka penulisan disertasinya, M. Amin Abdullah mengambil bidang penelitiannya pada masalah filsafat Islam. Hasil penelitiannya ia tuangkan dalam bukunya berjudul The Idea of Universality Ethical Norm In Ghazali and Kant. Dilihat dari segi judulnya, penelitian ini mengambil metode penelitian kepustakaan yaitu, penelitian yang mengambil bahan kajiannya dari berbagai sumber baik yang ditulis oleh itu sendiri maupun oleh tokoh lain. Bahan-bahan tersebut kemudian di teliti keontentikannya secara seksama.[19]
2.      Model Otto Horrassowitz, Majid Fakhry dan Harun Nasution
Dalam bukunya berjudul History of Muslim Philosophy, yang diterjemahkan dan disunting oleh M.M Syarif ke dalam bahasa Indonesia menjadi Para Filosof Muslim, Otto Horrassowitz telah melakukan penelitian terhadap seluruh pemikiran filsafat  Islam yang berasal dari tokoh-tokoh filosofi abad klasik. Penelitian yang dilakukan tersebut bersifat penelitian kualitatif. Sumber kajian pustaka. Metodenya deskriptis analitis, sedangkan pendekatannya historis dan tokoh. Yaitu, bahwa apa yang disajikan berdasarkan data-data yang ditulis ulama terdahulu, sedangkan titik kajianny adalah tokoh.[20]
3.      Model Ahmad Fuad Al-Bahwani
Ahmad Fuad Al-Bahwani termasuk pemikir modern dari Mesir yang banyak mengkaji dan meneliti bidang filsafat Islam. Metode yang ditempuh adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang menggunakan bahan-bahan kepustakaan. Sifat-sifat dan coraknya adalah penelitian deskriptif kualitatif, sedangkan pendekatannya adalah pendekatan yang bersifat campuran, yaitu pendekatan historis, pendekatan kawasan dan tokoh. Melalui pendekatan historis, ia mencoba menjelaskan latar belakang timbulnya pemikiran dalam Islam, sedangkan dengan pendekatan kawasan ia mencoba membagi tokoh-tokoh filosofi menurut tempat tinggal mereka, dan dengan pendekatan tokoh, ia mencoba mengemukakan berbagai pemikiran filsafat sesuai dengan tokoh yang mengemukakannya.[21]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya penelitian yang dilakukan para ahli bersifat penelitian kepustakaan, yakni penelitian yang menggunakan bahan-bahan gerakan sebagai sumber rujukannya. Metode yang digunakan umumnya bersifat deskriptif analitis. Sedangkan pendekatan yang digunakan umumnya pendekatan historis, kawasan, substansial. [22]
Selain filsafat ada pula metodologi yang menggunakan teologi atau ilmu kalam. Teologi atau ilmu kalam adalah ilmu yang pada intinya berhubungan dengan masalah ketuhanan. Dengan ilmu ini diharapkan seseorang menjadi yakin dalam hatinya secara mendalam dan mengikatkan dirinya hanya pada Tuhan. Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana dikutip A.Hanafi, ilmu kalam ialah ilmu berisi alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan ilmu dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunnah.
Secara umum penelitian ilmu kalam ada dua bagian yakni penelitian yang bersifat dasar (penelitian pemula) dan penelitian yang bersifat lanjutan atau pengembangan dari penelitian dasar. Dan peneliti tersebut akan diuraikan di bawah ini.
a.       Penelitian Pemula.
1.      Model Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud  Al-Maturidy Al-Samarqandy
Model Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud  Al-Maturidy Al-Samarqandy telah menulis buku teologi berjudul kitab al-tauhid. Buku ini telah ditahkik oleh Fatullah Khalif, magister dalam bidang sastra pada Universitas Cambridge. Dalam buku tersebut selain dikemukakan riwayat hidup secara singkat dari Al-Maturidy, juga telah dikemukakan berbagai masalah yang detail dan rumit di dalam ilmu kalam.[23
2.      Model Al-Iman Abi Al-Hasan bin Isma’il Al-Asy’ari. Sebagaimana halnya Al-Maturidy, Al-Asy’ari dalam bukunya tersebut membahas masalah-masalah yang rumit dan mendetail tentang teologi.
3.      Model ‘Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Model ‘Abd Al-Jabbar bin Ahmad membahas secara detail tentang lima ajaran pokok Mu’tazilah dan juga berbagai masalah teologi.
4.       Model Thahawiyah, Model Thahawiyah membahas tentang teologi di kalangan ulama salaf, yaitu ulama yang belum dipengaruhi pemikiran Yunani dan pemikiran lainnya yang berasal dari luar Islam, atau bukan dari Alquran dan Al-Sunnah.
5.      Model Al-Imam Al-Haramain Al-Juwainy, Model Al-Imam Al-Haramain Al-Juwainy yang dikenal sebagai guru dari Imam Al-Ghazali menulis buku berjudulal-syamil fi Ushul al-din. Di dalam buku ini telah dibahas tentang penciptaan alam, kitab Tauhid, kelemahan kaum Mu’tazillah, akidah, kesucian Allah swt.,  ta’wil, sifat-sifat bagi Allah, illat atau sebab.
6.       Model Al-Ghozali, Model Al-Ghozali membahas tentang ilmu zat Allah dan kenabian Muhammad saw.[24]
7.      Model Al-Amidy, Model ini membahas tentang sifat-sifat wajib bagi Allah, sifat-sifat jaiz Allah, pembahasan tentang keesaan Allah Ta’ala, perbuatan yang bersifat wajib al-Wujud, tentang tidak ada penciptaan selain Allah, tentang barunya alam serta tidak adanya sifat tasalsun dan tentang imamah.[25]
8.       Model Al-Syahrastani, Model ini membahas tentang baharunya alam, Tauhid, tentang sifat-sifat azali, hakikat ucapan manusia, tentang Allah sebagai Maha Mendengar dan perbuatan yang dilakukan seorang hamba sebelum datangnya syari’at.[26]
9.       Model Al-Bazdani, Membahas tentang perbedaan pendapat para ulama’ mengenai ilmu Kalam.[27]
b.       Penelitian Lanjutan
Selain penelitian yang bersifat pemula sebagaimana tersebut diatas, dalam bidang Ilmu Kalam ini juga dijumpai penelitian yang bersifat lanjutan yaitu penelitian atas sejumlah karya yang dilakukan oleh para pemula.Berbagai hasil penelitian lanjutan ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.      Model Abu Zahrah
Abu Zahrah mencoba melakukan penelitian terhadap berbagai aliran dalam bidang politik dan teologi yang dituangkan dalam buku karyanya berjudul tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi al-Siyasah wa al-‘Aqaid.Pemasalahan teologi yang diangkat dalam penelitiannya ini di sekitar masalah objek-objek yang dijadikan pangkal pertentangan oleh berbagai aliran dalam bidang politik yang berdampak pada masalah teologi.
2.       Model Ali Mushthofa Al-Ghurabi, Ali Mushthofa Al-Ghurabi memusatkan penelitiannya pada masalah berbagai aliran yang tedapat dalam Islam serta pertumbuhan ilmu kalam di kalangan masyarakat Islam.[28]
3.      Model Abd Al-Lathif Muhammad Al-‘Asyr, Membahas tentang pokok-pokok yang menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
4.       Model Ahamd Mahmud Shubdi, Berbicara mengenai aliran Mu’tazilah dan aliran Asy’ariyah.
5.      Model Ali Sami Al-Nasyr dan Ammar Jam’iy Al-Thaliby, Mengungkap tentang pemikiran kaum Salaf yang berasal dari tokoh-tokohnya yang menonjol.[29]
6.      Model Harun Nasution, Harun Nasution yang dikenal sebagai Guru Besar Filsafat dan Teologi banyak mencurahkan perhatiannya pada penelitian di bidang pemikiran teologi Islam ( Ilmu Kalam ). Dan beliau mengemukakan berbagai aliran teologi Islam lengkap dengan tokoh-tokoh dan pemikirannya.[30]
Dari berbagai penelitian lanjutan tersebut dapat diketahui bahwa penelitiannya termasuk penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang mendasarkan pada data yang terdapat dalam berbagai sumber rujukan di bidang teologi Islam. Corak penelitiannya yaitu deskriptif, yaitu penelitian yang ditekankan pada kesungguhan dalam mendeskripsikan data selengkap mungkin. Pendapatan yang digunakan adalah pendekatan historis, yaitu mengkaji masalah teologi berdasarkan data sejarah.
D.    Metodologi Tasawuf dan Mistis Islam
Dari segi kebahasaan terdapat sejumlah kata atau istilah yang menghubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang terhubung dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah), yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah ke madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjama’ah, sufi yaitu bersih dan suci, sophos (bahasa Yunani : Hikmah) dan suf  (kain wol kasar ).[31] Dengan demikian dari segi kebahasaan tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia di sisi Allah. Sedangkan mistisme adalah Islam yang diberi nama Tasawuf dan oleh kaum orientalis barat disebut sufisme.
Islam sebagai agama yang bersifat universal, menghendaki kebersihan lahiriah (dimensi eksoterik), dan keberhasilan batiniah (dimensi esoteric). Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada memberikan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia, di dalam tasawuf, seseorang dibina secara intensif tentang cara-cara agar seseorang selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya. Terdapat hubungan yang erat antar akidah, Syari’ah dan akhlak. Berkenan dengan ini telah bermunculan para peneliti yang mengkonsentrasikan kajiannya pada masalah tasawuf. Keadaan ini selanjutnya mendorong timbulnya kajian dan penelitian di bidang tasawuf.[32]
Berbagai bentuk dan modal penelitian tasawuf adalah sebagai berikut:
1.  Model Sayyed Husein Nasr
Sayyed Husein Nasr selama ini dikenal sebagai ilmuwan Muslim kenama abad modern. Hasil penelitiannya dalam bidang tasawuf ia sajikan dalam bukunya yang berjudulTasawuf Dulu dan Sekarang. Di dalam buku tersebut disajikan hasil penelitiannya di bidang tasawuf dengan menggunakan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema tertentu. Di dalamnya dinyatakan bahwa tasawuf merupakan sarana menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia.
Dari uraian singkat di atas terlihat bahwa model penelitian tasawuf yang diajukan Husein Nasr adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan tematik yang berdasarkan pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah.
2.  Model Mustafa Zahri
Penelitian yang dilakukannya bersifat eksploratif, yaitu menggali ajaran tasawuf dari berbagai literatur ilmu tasawuf. Penelitian tersebut menekankan pada ajaran yang terdapat dalam tasawuf berdasarkan literatur yang ditulis oleh para ulama terdahulu serta dengan mencari sandaran pada Alquran.[33]
3.  Model Kautsar Azhari Noor
Penelitian yang ditempuh Kautsar adalah studi tentang tokoh dengan pahamnya yang khas, Ibn Arabi dengan pahamnya Wahdat al-wujud.[34]
4.  Model Harun Nasution
Harun Nasution, Guru besar dalam Teologi dan Filsafat Islam juga menaruh perhatian terhadap penelitian di bidang tasawuf. Hasil penelitiannya dituangkan dalam bukunya yang berjudul Falsafat dan Mitisisme Dalam Islam. Dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tematik.[35]
5.  Model A.J. Arberry
Penelitian yang digunakan adalah analisis kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejarah dan tidak di analisis ke dalam konteks kehidupan modern.
E.     Metodologi Kajian Fiqh dan Kaidah Ushuliyah.
1.      Pengertian Fiqh dan Kaidah Ushuliyah.
Fiqh menurut bahasa berarti tahu atau paham Menurut istilah berarti syari’at. Dalam kaitan ini dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam atau fiqh adalah sekelompok dengan syari’at yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang diambil dari nash Alquran atau Al-sunnah. Sedangkan kaidah ushuliyah adalah Hukum kulli (umum) yang dibentuk menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil.
2.      Sumber Pengambilan Kaidah Usuliyah
Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber darinaql (Alquran dan Sunnah), ‘Akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), bahasa (Ushul at tahlil al lughawi), yang secara terperinci dijelaskan dibawah ini :
a. Alquran.
Alquran merupakan firman Allah SAW yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw., untuk membebaskan manusia dari kegelapan. Kitab ini adalah kitab undang-undang yang mengatur seluruh kehidupan manusia, firman Allah yang Maha mengetahui apa yang bermanfaat bagi manusia dan apa yang berbahaya, dan merupakan obat bagi ummat dari segala penyakitnya.
b. As Sunnah
Allah memberikan kemuliaan kepada nabi Muhammad saw. dengan mengutusnya sebagai nabi dan rasul terakhir untuk umat manusia dengan tujuan menyampaikan pesan-pesan ilahi kepada umat. Maka nilai kemuliaan Rasulullah bukan dari dirinya sendiri tetapi dari Sang Pengutus yaitu Allah swt., karena siapapun yang menjadi utusan pasti lebih rendah tingkatannya dari yang mengutus. Allah Berfirman yang artinya:” Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul”. (QS. Ali Imran: 144). Jika seluruh perintah Allah telah disampaian oleh Rasulullah kepada umat, selesailah tugasnya dan wajib bagi umat untuk memperhatikanrisalah yang di sampaikan oleh rasulullah.[36]
Banyak sekali ayat Alquran yang menjelaskan bahwa sunnah Rasulullah adalah merupakan salah satu sumber agama Islam, diantaranya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat: 53,132,144, 172  juga didalam surat An Nisa ayat: 42, 59, 61, 64, 65, dan masih banyak lagi.
c.       Ijma’
Di antara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari ijma adalah:
1.  Ijma’ Sahabat bahwa “hukum yang di hasilkan dari hadis ahad dapat di terima”.
2.  Ijma’ Sahabat bahwa “hukum terbagi menjadi 5 macam”.
3.  Ijma’ Sahabat bahwa “syariat nabi Muhammad menghapus seluruh syariat yang sebelumnya”.
d.      Akal.
Akal memiki kedudukan yang tinggi didalam syariat islam, karena tidak akan paham Islam tanpa akal. Sebagai contoh, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Allah itu ada? Jika dijawab Alquran, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Alquran benar-benar dari Allah? Jika dijawab I’jaz, apa dalil yang menunjukkan bahwaI’jazul quran sebagai dalil bahwa alqur’an bersumber dari Allah swt.? Dan seterusnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Islam tidak akan dipahami tanpa akal, oleh karena itulah akal merupakan syarat taklif dalam Islam.
Meskipun demikian, ada satu hal yang harus di perhatikan dengan seksama, bahwa akal tidak bisa berkerja sendiri tanpa syar’i. Akal hanyalah sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah melalui dalil-dalil al quran dan hadis. Allah lah yang menjadi hakim, dan akal merupakan sarana untuk memahami hukum-hukum Allah tersebut.[37]
e.       Perkataan Sahabat
Diantara kaidah-kaidah ushul yang diambil dari perkataan-perkataan sahabat Rasulullah adalah:
1.  Hadis-hadis Ahad zonniyah
2.  Qiyas adalah hujjah
3.  Hukum yang terakhir menghapus hukum yang terdahulu (naskh)
4.  Orang awam boleh taqlid
5.  Nash lebih di utamakan dari qiyas maupun ijma’
3.      Model Penelitian.
a.       Model  Harun Nasution
Sebagai guru besar dalam bidang teologi dan filsafat, Harun Nasution juga mempunyai perhatian terhadap fiqih. Penelitiannya dalam bidang fiqih ini dituangkan dalam bukunya yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Melalui penelitiannya secara ringkas namun mendalam terhadap hukum Islam dengan menggunakan pendekatan Sejarah. Selanjutnya melalui pendekatan sejarah Harun Nasution membagi perkembangan fiqih dalam empat periode yaitu periode nabi, periode sahabat, periode ijtihad dan periode taklid. Model penelitian yang digunakan Harun Nasution adalah penelitian eksploratif, deskriptif dengan menggunakan pendekatan sejarah.[38]
b.      Model Noel J.Coulson
Noel J. Coulson menyajikan hasil penelitiannya dibidang fiqih dalam karyanya yang berjudul Hukum Ulama dalam Perspektif Sejarah. Penelitiannya bersifat deskriptif analitis ini menggunakan pendekatan sejarah. Penelitiannya itu dituangkan ke dalam tiga bagian. Pada bagian pendahuluan ia mengatakan bahwa problema yang mendasar pada saat ini ialah adanya pertentangan antara ketentuan-ketentuan hukum tradisional yang dinyantakan secara kaku di satu pihak, dan ketentuan-ketentuan masyarakat modern di pihak lain.
c.       Model Mohammad Atho Mudzhar
Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui materi fatwa yang dikemukakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta latar belakang sosial politik yang melatar belakangi timbulnya fatwa tersebut. Hasil penelitiannya di tuangkan ke dalam empat bab.[39]
F.      Metodologi Pemikiran Modern.
1.      Pengertian.
Sebagian Umat Islam hingga saat ini nampak ada perasaan masih belum mau menerima apa yang dimaksud dengan pembaharuan Islam. Hal ini disebabkan karena salah persepsi dalam memahami pembaruan Islam. Mereka memandang bahwa pembaharuan Islam adalah membuang ajaran Islam yang lama dan diganti dengan ajaran Islam yang baru.
Pembaharuan Islam sebenarnya bukan sebagaimana yang dipersepsikan seperti diatas namun Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan pengetahuan dan teknologi modern.[40]
2.      Model Penelitian.
a.       Model Penelitian Deliar Noer
Salah satu buku yang memuat hasil penelitian tetang pemikiran modern dalam Islam yang dilakukan oleh Deliar Noer berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia.Dari judulnya terlihat bahwa penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang coba mendeskripsikan gerakan modern Islam di Indonesia yang terjadi pada tahun 1900-1942. Lebih lanjut, Deliar Noer mengatakan betapa perkembangan masa merdeka banyak relevansinya dengan perkembangan pemikiran periode tersebut dibagi menjadi empat.[41]
b.      Model Penelitian H.A.R. Gibb
Penelitian mengenai pemikiran modern dalam Islam pernah dilakukan oleh H.A.R. Gibb, Maha Guru pada Universitas Oxford. Hasil penelitiannya berjudul Modern Trends in Islam. Dengan demikian, penelitian yang ia lakukan bersifat penelitian eksploratif deskriptif, yaitu penelitian yang mencoba mendeskripsikan secara mendalam suatu objek dengan menggunakan data-data yang terdapat dalam kajian pustaka, sedangkan pendekatan yang digunakan bersifat filosof historis. Yaitu suatu penelitian yang tekanannya ditujukan untuk mengemukakan nilai-nilai universal dan mendasar dari suatu ajaran atau objek yang diteliti, serta didukung oleh data-data historis yang dapat dipercaya. 
G.    Metodologi Pendidikan Islam.
1.      Pengertian
Dari segi bahasa pendidikan dapat diartikan sebagai perbuatan (hal, cara, dan sebagainya) mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan badan, batin, dan sebagainya. Dalam bahasa Arab, para pakar pendidikan pada umumnya menggunakan kata tarbiyah untuk arti pendidikan. Sedangkan Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan Islam adalah daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect),dan tubuh anak yang antara satu dan yang lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup. Dan ada 4 metode dalam metodologi pendidikan Islam ini, yaitu metode Ta’lim, Tabyiin, Tafshil, dan Tafhim.
2.      Aspek-aspek pendidikan Islam
Pendidikan Islam sebagaimana pendidikan lainnya memiliki berbagai aspek yang tercakup di dalamnya. Aspek tersebut dapat dilihat dari segi didikannya, kelembagaannya, dan sistemnya.[42]
3.      Model Penelitian Ilmu Pendidikan Islam
a.  Model Penelitian tentang Problema Guru
Dalam usaha memecahkan problema guru, Himpunan Pendidikan Nasional (National Education Association) di Amerika Serikat pernah mengadakan penelitian tetang Problema yang dihadapi guru secara nasional pada tahun 1968. Prosedur yang dilakukan dalam penelitian tersebut dilakukan dengan cara pengumpulan data. Dengan demikian, penelitian tersebut dari segi metodenya termasuk penelitian survei, yaitu penelitian yang sepenuhnya didasarkan pada data yang dijumpai di lapangan, tanpa didahului oleh kerangka teori, asumsi atau hipotesis. Penelitian tersebut menggunakan data lapangan yang dikumpulkan melalui instrumen pengumpulan data, yaitu kuesioner yang sampelnya mewakili tingkat nasional, dan objek yang diteliti adalah problema yang dihadapi guru
b. Model Penelitian tentang Lembaga Pedidikan Islam
Salah satu penelitian yang berkenaan dengan lembaga pendidikan Islam adalah penelitian yang digunakan oleh Karel A. Steenbrink dalam bukunya yang berjudulPesantren, Madrasah dan Sekolah Tinggi Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Metode penelitian yang digunakan adalah pengamatan ( observasi ).
c.  Model Penelitian Kultur Pendidikan Islam
Penelitian yang mengambil objek kajian tentang kultur pendidikan Islam khususnya yang ada di pesantren, antara lain dilakukan oleh Mastuhu dan Zamakhsyari Dhofir. Dan model penelitian yang digunakan ada dua, yaitu Model Penelitian Mastuhu dan Model Penelitian Zamakhsyari Dhofir.[43]
H.    Metodologi Tekstual dan Kontekstual
Tekstual dapat diartikan mengacu pada teks. Metodologi tekstual menekankan pada signifikansi teks-teks sebagai kajian Islam dengan merujuk pada sumber-sumber suci dalam Islam, terutama Alquran dan Hadis. Pemahaman hukum mengacu apa adanya yang tertera dalam Alquran atau Hadis tidak memandang latar belakang sosial dan kultur masyarakat dan faktor yang melatarbelakangi permasalahan yang terjadi.
Metodologi kontekstual merupakan metode untuk memahami dalam kerangka konteksnya, baik ruang dan waktu. Pendekatan ini merupakan perangkat komplementer yang menjelaskan motif-motif kesejahteraan dalam ritual Islam, untuk memperkuat asumsi bahwa Islam merupakan entitas yang komprehensif yang melingkupi elemen normatif dan elemen praksis, selain itu menepis pandangan bahwa Islam itu radikal dan keras. Metode ini juga mengacu pada sumber-sumber ajaran Islam yaitu Alquran dan Hadis, akan tetapi dipahami secara berbeda dengan metodologi tekstual, dilihat dari waktu, latar belakang sosial, kultur budaya serta faktor penyebab dan akibatnya.
1.      Metodologi Muqaranah Madzhab
Secara etimologi muqaranah berarti membandingkan. Membandingkan dua hal atau dua perkara atau lebih. Menurut bahasa madzhab berarti jalan atau tempat yang dilalui. Muqaranah madzhab yaitu bidang yang mengkaji dan membahas tentang hukum yang terdapat dalam berbagai madzhab dengan membandingkan satu sama lain agar dapat melihat tingkat kehujjahan yang dimiliki oleh masing-masing madzhab tersebut, serta mencari segi-segi persamaan dan perbedaannya.[44]
FOOTNOTE
[1]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007 ), h.  209.
[2]Ibid., h.  210.
[3]Ibid.
[5]Atang Abd Hakim & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam. Edisi Revisi (Bandung: Remaja Rosdakarya, cet XI, 2009), h. 162.
[6]Abuddin Nata, op. cit., h. 220.
[7]Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 62.
[8]Abuddin Nata, op. cit., h.  222.
[9]Ibid., h.  214.
[10]M. Atho Muzhar, Pendekatan Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 172.
[12]Muhaimin et.al., Dimensi-Dimensi Studi Islam(Surabaya: Karya Abditama, 1994), h. 218.
[13]Abuddin Nata, op. cit., h. 234.
[14]Ibid., h.  241.
[15]Ibid., h.  244-245.
[17]Abuddin Nata, op. cit., h.  247.
[19]Muhaimin et.al., op. Cit., h. 175.
[20]Ibid., h.  179.
[21]Ibid., h.  263.
[23]Mukti Ali, op. cit., h. 249.
[25]Mukti Ali, op. cit., h. 291.
[26]Abuddin Nata, op. cit., h.  276.
[27]Ibid., h.  277.
[28]Ibid., h.  278.
[30]Abuddin Nata, op. cit., h.  280.
[31]Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 139
[33]Abuddin Nata, op. cit., h.  290-291.
[34]Ibid., h. 291.
[35]Ibid., h.  292.
[39]Ahmad Norma Permata, op. cit., h. 293.
[40]Ibid., h.  295.
[41]Ibid., h.  296.
[42]Abuddin Nata, op. cit., h.  334-341.
[43]Ibid.,  h.  347-350.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.........12
DIMENSI DAN ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM
A.    Pengertian Dimensi  dalam Islam (Islam, Iman, dan Ihsan).
Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw dan dia adalah agama yang berintikkan keimanan dan perbuatan (amal).[1] Pada dasarnya  Al-Islam yaitu Islam yang dikehendaki oleh agama ialah tunduk dan takluk kepada segala perintah dan petunjuk yang diberitahukan oleh Rasulullah saw.
Iman berasal dari kata “aamana”, artinya setia, mematuhi, dan kata “amina”, artinya berada dalam keamanan (aman), tidak kuatir akan mara-bahaya. Al-Iman yaitu iman yang dimaksudkan oleh agama Islam ialah pengakuan kebenaran sesuatu dengan hati dan“syara”  ialah itikad (Ketetapan keyakinan) dengan hati dan ikrar (pengakuan) dengan lidah, maka dinyatakanlah bahwa barang siapa yang menyatakan pengakuan(syahadat) dan berbuat (menurut pengakuan itu) padahal tidak disertai dengan itikad, maka ia adalah munafik, dan barang siapa menyatakan pengakuan tetapi tidak berbuat walaupun ada itikad, ia fasik, dan barang siapa memungkiri syahadat ia kafir. Nabi Muhammad mendefenisikan kata “iman” dengan sabdanya, “ iman adalah sebuah pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan dan aktivitas anggota badan”.
Ihsan berarti berbuat baik, membaikkan. Berbuat sebaik-baiknya bermakna berbuat sempurna. Dengan demikian kata itu juga mengandung pengertian berbuat sempurna, menyempurnakan.[2]
Di dalam Hadits Nabi Muhammad berkata bahwa ihsan adalah “menyembah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, maka sesungguhnya Ia melihat kamu”. Pada dasarnya perlu diketahui bahwa Ihsan berasal dari katahusn, yang artinya menunjuk pada kualitas sesuatu yang baik dan indah, karena pada mulanya jika manusia itu berbuat sesuatu yang indah, tentunya hal itu akan membawa kebaikan pada Tuhan. Berulang kali al-Qur’an memerintahkan manusia mengerjakan perbuatan baik, dan pada saat yang bersamaan, al-Qur’an menjanjikan orang-orang yang berbuat kebajikan akan dibawa naungan kelembutan, keramahan Tuhan. Seperti yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an surah Yunus ayat 26 yang artinya “Bagi orang-orang yang berbuat baik, disediakan pahala yang terbaik dan tambahannya”. Dimana dalam melaksanakan perbuatan baik itu seorang manusia yang pertama kali adalah melakukan tauhid.
B.     Hubungan Dimensi dalam Islam (Islam, Iman dan Ihsan)
Sebenarnya dimensi-dimensi dalam Islam berawal dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang dimuat dalam masing-masing kitab sahinya yang menceritakan dialog antara Nabi Muhammad Saw dan Malaikat Jibril tentang trilogi ajaran Ilahi.[3]
Haditsnya sebagai berikut:
   كَانَ رسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ يَوْ مًا باَرِزًا لِلنَّا سِ فَاَتَاهُ    رَجُلٌ فَقَالَ : يَا رَسُوْ لَ اللهِ ؛ مَا الْاِ يْمَانُ ؟ قَالَ : اَنْ تُؤْ مِنَ بِاللهِ     وَمَلاَ ئِكَتِهِ وَكِتَا بِهِ وَلِقَا ئِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْ مِنَ بِالْبَعْثِ الْآخِرِ . قاَلَ    : يَا رَسُوْ لَ اللهِ مَا الْاِسْلاَ مُ ؟ قَالَ : اَلْاِسْلاَمُ اَنْ  تَعْبُدَ اللهَ   وَلاَ    تُشْرِ كْ  بِهِ  شَيْئًا   وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ  الْمَكْتُوْ بَةَ  وَتُؤَدِّيَ  الزَّ كَاةَ  الْمَفْرُوْضَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ. قاَلَ : يَا رَسُوْ لَ اللهِ ! مَاالْاِحْسَانُ؟    قاَلَ : اَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَ نَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَاِنَّهُ يَرَاكَ.
“Nabi Muhammad Saw keluar dan (berada di sekitar sahabat) seseorang datang menghadap beliau dan bertanya:” Hai Rasul Allah, apakah yang dimaksud denganiman? “Beliau menjawab: “ Imanadalah engkau percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, para utusan-Nya,  dan percaya kepada kebangkitan.” Laki-laki itu kemudian bertanya lagi: ” Apakah yang dimaksud denganIslam?’Beliau menjawab: “ Islamadalah engkau menyembah Allah dan tidak musyrik kepada-Nya, engkau tegakkan salat wajib, engkau tunaikan zakat wajib, dan engkau berpuasa pada bulan Ramadhan. “ Laki-laki itu kemudian bertanya lagi: “ Apakah yang dimaksud dengan ihsan? “ Nabi Muhammad Saw menjawab: “ Engkau sembah Tuhan seakan-akan engkau melihat-Nya; apabila engkau tidak melihat-Nya, maka (engkau berkeyakinan) bahwa Dia melihatmu….”(Bukhari, I,t. th.23).
Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa antara Islam, iman, dan ihsan. Setiap pemeluk agama Islam mengetahui dengan pasti bahwa Islam tidah absah tanpa iman, dan iman juga mustahil tanpa Islam. Pada dasarnya setiap seorang yang mengaku beragama Islam bukanlah hanya sekedar Islam, namun seseorang tersebut harus mempunyai kepercayaan (ketauhidan), membenarkan dengan hati lalu dibuktikan dengan perbuatan-perbuatan yang baik. Dalam istilah Islam, iman, dan ihsan terdapat tumpang tindih.[4]
Ibnu Taimiah menjelaskan bahwa din itu terdiri dari tiga unsur, yaitu Islam, iman dan ihsan. Dalam tiga unsur itu terselip makna kejenjangan (tingkatan) : orang mulai dengan Islam, kemudian berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam ihsan. Beliau juga menjelaskan yang agak berbeda tentang trilogi itu:pertama, orang-orang yang menerima warisan kitab suci dengan mempercayai dan berpegang teguh pada ajaran-ajarannya, namun masih melakukan perbuatan-perbuatan zalim, adalah orang yang baru ber-Islam, suatu tingkat permualaan dalam kebenaran; kedua, orang yang menerima warisan kitab suci itu dapat berkembang menjadi mukmin, tingkat menengah, yaitu orang yang telah terbebas dari perbuatan zalim namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja; dan ketiga, perjalanan mukmin itu (yang telah terbebas dari perbuatan zalim) berkembang perbuatan kebajikannya  sehingga ia menjadi pelomba (sabiq)perbuatan kabajikan; maka ia mencapai derajat ihsan. ” Orang yang telah mencapai tingkatihsan.”kata Ibnu Taimiah, “akan masuk surga tanpa mengalami azab.”(Nurcholish Madjid dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), 1994: 465)
Kalau kita lihat menurut mazhab Syafi’I dijelaskan bahwa “Tidaklah sempurna Islam seseorang jika tidak disertai dengan iman”. Sedangkan menurut mazhab Hanafi Islam dan iman sangat berkaitan, karena yang menyamakan antar Islam dan iman itu, hendaklah diartikan sebagai ketentuan untuk menjalankan hukum syariat. Dalam menjalankan hukum syariat, diperbolehkan menikah dengan seseorang yang tadinya musyrik, apabila ia telah mengaku masuk Islam dengan syarat yang cukup. Untuk menentukan beriman atau tidaknya seseorang, bukanlah kesanggupan manusia untuk menetapkannya. Inilah menurut mazhab Hanafi dalam membedakan antara Islam dengan iman.
Adapun perbedaan antara Islam dan iman yang disebutkan dalam sebuah ayat al-Qur’an berikut ini:
 “Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami Telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami Telah tunduk', Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."(Q.S.al-Hujarat: 49 : 14).[5]
Terdapat beberapa hal yang terkandung di dalam ayat tersebut yang perlu diperhatikan. 
1.       iman dan Islam merupakan dua hal yang berbeda. Kenyataannya orang badui tersebut telah tunduk kepada perintah-perintah Allah namun tidak berarti mereka telah beriman kepada Allah. Bisa jadi ketundukkan mereka lantaran takut kepada Allah atau untuk menjalin persahabatan atau persekutuan, atau lantaran kepentingan untuk menikahi seorang gadis Muslim.
2.      iman bertempat di hati. Dalam ayat yang lain al-Qur’an menyatakan: mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak(9:8). Nabi Muhammad diberitahukan perihal kaum badui bahwasannya mereka tidak beriman, lantaran tersebut tidak terdapat di dalam hati mereka, sehingga dapat dikatakan bahwasannya mereka tidak memiliki persyaratan pengakuan akan kebenaran dan tidak komitmen terhadapnya. Bahkan, harus diperhatikan bahwasannya Nabi Muhammad menyatakan perihal mereka ini tidak berdasarkan anjuran Tuhan. Tuhan semata yang berhak menilai ke dalam hati manusia dan menghakimi niat-niat dan pikiran mereka. Tuhan Maha Mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati kamu sekalian, (33:51), sedang kita semua tidak mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati orang lain.[6]
3.      ketundukkan merupakan bidang ketaatan dan perbuatan (‘amal). Manusia taat kepada Tuhan dengan mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka.[7]
C.     Aliran Pemikiran Islam.
1.      Aliran-Aliran Kalam
Menurut Ibn Khaldun, Ilmu kalam adalah Ilmu berisi tentang alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan teerhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan Ahli Sunnah. Adapun Aliran-aliran ilmu kalam diantaranya:
a.       Khawarij, kata ini berasal dari kata kharaja yang berarti “keluar”. Pada awalnya, Khawarij merupakan aliran atau fraksi politik, kelompok ini terbentuk karena persoalan kepemimpinan umat Islam, tetapi mereka membentuk suatu ajaran yang kemudian menjadi ciri umat, aliran mereka yaitu ajaran tentang pelaku dosa besar ( murtakib al-kaba’ir ). menurut Khawarij orang-orang yang terlibat dan menyetujui hasil tahkim telah melakukan dosa besar. Orang Islam yang melakukan dosa besar, dalam pandangan mereka berarti telah kafir: kafir setelah memeluk Islam berarti murtad dan orang murtad halal dibunuh berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa nabi muhammad saw bersabda ”man baddala dinah faktuluh”.
b.      Kelompok Murji’ah, di mana yang dipelopori oleh Ghilam Al-Dimasyqi berpendapat mereka bersifat netral dan tidak mau mengkafirkan para sahabat yang terlambat dan menyetujui tahkim dalam ajaran aliran ini, orangIslam yang melakukan dosa besar tidak boleh dihukum kedudukannya dengan hukum dunia. Mereka tidak boleh ditentukan akan tinggal di neraka atau di surga, kedudukan mereka ditentukan di akhirat. Dan bagi mereka Iman adalah pengetahuan tentang Allah secara mutlak. Sedangkan kufur adalah ketidaktahuan tentang Tuhan secara mutlak, iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang.[8]
c.       Qodariah adalah aliran yang memandang bahwa Manusia memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidupnya. menurut paham ini manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
d.      Jabariyah, menurut aliran ini manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidup dan mewujudkan perbuatannya, mereka hidup dalam keterpaksaan ( jabbar ), karena aliran ini berpendapat sebaliknya; bahwa dalam hubungan dengan manusia, tuhan ituMaha Kuasa. Karena itu, tuhanlah yang menentukan perjalanan hidup manusia dan yang mewujudkannya.Ajaran ini dipelopori oleh Al-ja’d bin Dirham.
e.       Mu’tazilah secara etimologi berasal dari kataa’tazala yang berarti mengambil jarak atau memisahkan diri. Secara terminologi adalah aliran teologi Islam yang memberi porsi besar kepada akal atau rasio di dalam membahas persoalan-persoalan ketuhanan.
Aliran mempunyai beberapa karya yang masih bisa ditemukan antara lain yaitu kitab Syarahal Ushul al-Khamsah, kitab al-Majmu’ fi al-Muhit bi al-Taklif, kitab al-Mughni fi Abwab al-Tauhid wa al-‘adl,kitab Tasbi Dalail al-Nubuwwah, kitabMutasyabih al-Qur’an, dan kitab Tanzih al-Qur’an ‘an Mata’in.[9]
f.       Ahl sunnah wal jama’ah.Ahl sunnah wal jama’ah terbentuk akibat dari adanya penentangan terhadap aliran Mu’tazilah oleh orang Mu’tazilah itu sendiri, mereka adalah Abu al-Hasan, Ali bin Isma’il bin Abi basyar ishak bin Salim bin isma’il bin abd Allah bin Musa bin Bilal bin Abi burdah amr bin Abi musa al-asy’ari.
2.      Aliran-Aliran Fiqih
Secara historis, hukum Islam telah menjadi 2 aliran pada zaman sahabat Nabi Muhammad SAW. Dua aliran tersebut adalah Madrasat Al-Madinah dan Madrasat Al-Baghdad/Madrasat Al-Hadits dan Madrasat Al-Ra’y.
a.       Aliran Madinah terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di Madinah, aliran Baghdad/kuffah juga terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di kota tersebut.Atas jasa sahabat Nabi Muhammad SAW yang tinggal di Madinah, terbentuklah Fuqaha Sab’ah yang juga mengajarkan dan mengembangkan gagasan guru-gurunya dari kalangan sahabat. Diantara fuqaha sab’ah adalah Sa’id bin Al-Musayyab. Salah satu murid Sa’id bin Al-Musayyab adalah Ibnu Syihab Al-Zuhri dan diantara murid Ibnu Syihab Al-Zuhri adalah Imam Malik pendiri aliran Maliki. Ajaran Imam Maliki yang terkenal adalah menjadikan Ijma dan amal ulama madinah sebagai hujjah.
b.      Baghdad terbentuk aliran ra’yu, di Kuffah adalah Abdullah bin Mas’ud, salah satu muridnya adalah Al-Aswad bin Yazid Al-Nakha’i salah satu muridnya adalah Amir bin Syarahil Al-Sya’bi dan salah satu muridnya adalah Abu Hanifah yang mendirikan aliran Hanafi. Salah satu ciri fiqih Abu Hanifah adalah sangat ketat dalam penerimaan hadits. Murid Imam Malik dan Muhammad As-Syaibani (sahabat dan penerus gagasan Abu Hanifah) adalah Muhammad bin Idris Al-Syafi’I, pendiri aliran hukum yang dikenal dengan Syafi’iyah atau aliran Al-Syafi’i. Imam ini sangat terkenal dalam pembahasan perubahan hukum Islam karena pendapatnya ia golongkan menjadi Qoul Qodim dan Qoul Jadid. Dengan demikian, kita telah mengenal sejumlah aliran hukum islam yaitu Madrasah Madinah, Madrasah Kuffah, Aliran Hanafi, Aliran Maliki, Aliran Syafi’I, Aliran Hanbali, Aliran Zhahiriyah dan Aliran Jaririyah. Tidak dapat informasi yang lengkap mengenai aliran-aliran hukum islam karena banyak aliran hukum yang muncul kemudian menghilang karena tidak ada yang mengembangkannya.
3.      Aliran-Aliran Tasawuf
Para penulis ajaran tasawuf, termasuk Harun Nasution, memperkirakan adanya unsur-unsur ajaran non-Islam yang mempengaruhi ajaran tasawuf. Unsur-unsur yang dianggap berpengaruh pada ajaran tasawuf adalah kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kesenangan materi. Pada dasarnya tasawuf merupakan ajaran tentang Al-Zuhd (Zuhud), kemudian ia berkembang dan namanya diubah menjadi tasawuf dan pelakunya disebut shufi. Zahid yang pertama adalah Al-Hasan A-Basir. Dia pernah berdebat dengan Washil bin Atha’ dalam bidang teologi, ia berpendapat bahwa orang mu’min tidak akan bahagia sebelum berjumpa dengan Tuhan. Zahid dari kalangan perempuan adalah Rabi’ah Al-Adawiyah dari Basrah, ia menyatakan bahwa ia tidak bisa membenci orang lain, bahkan tidak dapat mencintai Nabi Muhammad SAW, karenya cintanya hanya untuk Allah SWT.[10]

FOOTNOTE
[1]Sabiq Sayyid, Aqidah Islam. (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2006) hlm. 15.
[2]Sidi Gazalba, Asas Agama Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1975) hlm. 179.
[3] Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam.(Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2010) hlm. 149.
[4]Ibid, hlm. 150.
[5]www.Digital_Al-Quran.com
[6]Sachiko Murata, Trilogi Islam (Islam, Iman,dan Ihsan).(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997) hlm. 8.
[7]Ibid, hlm. 8.
[8]http://iain-s.blogspot.com/12/2/2013/aliran-aliran-dalam-pemikiran-islam.html
[9]Ja’far Siddiq, Jejak Langkah Intelektual Islam (Epistemologi, tokoh dan karyanya). (Medan: IAIN Press, 2010) hlm. 19.
[10]Opcit, 2/12/2013.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok........13
MODEL PENELITIAN AGAMA
A.    Penelitian Dan Penelitian Agama.
Penelitian (Research) adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu, penelitian juga berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan. Pengetahuan manusia tumbuh dan berkembang berdasarkan kajian-kajian sehingga terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu melalui penemuan-penemuan baru.[1] Penelitian itu sendiri dipandang sebagai kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan. Sedangkan metode ilmiah sendiri adalah usaha untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis.[2] Sedangkan penelitian agama sendiri menjadikan agama sebagai objek penelitian yang sudah lama diperdebatkan. Harun nasution menunjukkan pendapat yang menyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan, harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial.
Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ahmad Syafi’i Mufid. Beliau menjelaskan bahwa agama sebagai objek penelitian pernah menjadi bahan perdebatan, karena agama merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak perlu diteliti.[3]
Menurut Harun Nasution, agama mengandung dua kelompok ajaran. Pertama, ajaran dasar yang diwahyukan tuhan melalui rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan tentang arti dan cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan para pemuka atau pakar agama membentuk ajaran agama kelompok kedua.
Ajaran dasar agama, karena merupakan wahyu dari tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama, karena hanya merupakan penjelasan dan hasil pemikiran, tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman.[4]
Para ilmuwan sendiri beranggapan bahwa agama juga merupakan objek kajian atau penelitian, karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosial kultural. Jadi, penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosial-kultural. Jadi, kata Ahmad Syafi’i Mufid, kita tidak mempertentangkan antara penelitian agama dengan penelitian sosial terhadap agama (Ahmad Syafi’i mufid dalam Affandi Mochtar). Dengan demikian kedudukan penelitian agama adalah sejajar dengan penelitian-penelitian lainnya, yang membedakannya hanyalah objek kajian yang ditelitinya.
Penulis tidak setuju, kalau penelitian agama betujuan bukan untuk meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial. Seandainya itu digunakan, maka kebenaran suatu agama akan diabaikan atau tidak mencari agama mana yang paling benar. Dan ini akan membuat agama islam disejajarkan dengan agama-agama yang lain. Karena penelitian ini hanya melihat dari sisi bagaimana suatu agama itu ada dalam kebudayaan masyarakat tertentu, misalnya mengapa ajaran tarekat mudah diterima dimasyarakat jawa, itu sebabnya karena masyarakat jawa masih banyak yang mempercayai akan benda-benda mistis dan kemampuan alam ghaib. Dan dalam penelitian agama yang seperti ini, kebudayaan-kebudayaan yang ada diberbagai masyarakat tidak disalahkan atau dibenarkan, hanya sekedar untuk mengetahui bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan masyarakat. Dan kalau dimasukkan kedalam agama islam, maka kebudayaan-kebudayaan yang seperti tarekat yang diterima di masyarakat jawa dan kiyai slamet yang sangat diagung-agungkan di masyarakat Jawa Tengah, khususnya Yogya, akan dianggap bahwa itulah ajaran islam.
Dalam mempermudah peta penelitian agama, kita dapat memahaminya melalui tabel berikut:
B.     PETA PENELITIAN KEAGAMAAN.
Dengan demikian, agama dalam pengertian yang kedua, menurut Harun Nasution, dapat dijadikan sebagai objek penelitian tanpa harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode yang lain.
Jadi pendapat Harun Nasution mengenai penjelasan-penjelasan tentang ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci oleh para pemuka atau pakar agama membetuk ajaran agama kelompok kedua bersifat nisbi, relatif dan dapat dirubah sesuai perkembangan zaman tidak sesuai dengan ajaran islam, sebagai contohnya Rasulallah menjelaskan tata cara shalat, sedangkan didalam kitab suci tidak diterangkan tata cara shalat, dan tata cara shalat ini sendiri bersifat qot’i/ tidak bisa dirubah. Kalau menurut Harun Nasution berarti penjelasan-penjelasan Rasulallah tentang  tata cara shalat berarti bersifat nisbi dan dapat dirubah.
1.      Penelitian Agama Dan Penelitian Keagamaan.
M. Atho Mudzhar mengatakan bahwa perbedaan antara penelitian agama dengan penelitian keagamaan perlu disadari karena perbedaan tersebut membedakan jenis metode penelitian yang diperlukan. Untuk penelitian agama yang sasarannya adalah agama sebagai doktrin, pintu bagi pengembangan suatu metodologi penelitian tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah ada yang merintisnya. Adanya ilmu ushul fiqh sebagai metode istinbath hukum dalam agama islam dan ilmu musthalahul hadistsebagai metode untuk menilai akurasi sabda Nabi Muhammad saw merupakan bukti bahwa keinginan untuk mengembangkan metodologi penelitian tersendiri bagi bidang pengetahuan agama ini pernah muncul. Persoalan berikutnya ialah, apakah kita hendak menyempurnakannya atau meniadakannya sama sekali dan menggantinya dengan yang baru, atau tidak menggantinya sama sekali dan membiarkannya tidak ada.[5]
Sedangkan untuk penelitian keagamaan yang sasarannya agama sebagai gejala sosial, kita tidak perlu membuat metodologi penelitian tersendiri. Ia cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada.[6]
Dengan kata lain bahwa pendapat M. Atho Mudzhar sama dengan pendapat yang dikemukakan Harun Nasution, kalau penelitian agama sama dengan ajaran agama kelompok pertama dan penelitian keagamaan sama dengan ajaran agama kelompok kedua menurut Harun nasution.
Dalam pandangan Juhaya S. Praja, penelitian agama adalah penelitian tentang asal-usul agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut ajaran agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, jelas juhaya, terdapat dua bidang penelitian agama, yaitu sebagai berikut;
1.      Penelitian tentang sumber ajaran agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu hadist. Pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam sumber ajaran agama itu.
2.      penelitian hidup keagamaan adalah penelitian tentang praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif. Berdasarkan batasan tersebut, penelitian hidup keagamaan meliputi hal-hal berikut. Perilaku individu dan hubungannnya dengan masyarakatnya yang didasarkan atas agama yang dianutnya. Perilaku masyarakat atau suatu komunitas, baik perilaku politik, budaya maupun yang lainnya yang mendefinisikan dirinya sebagai penganut suatu agama. Ajaran agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya masyarakat beragama.
Dalam hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Juhaya S. Praja ada kesamaan dengan pendapat Harun Nasution dan M. Atho Mudzhar,  akan tetapi Juhaya membagi penelitan agama menjadi dua bidang, yang pada intinya pendapatnya sama dengan pendapat Harun Nasution tentang ajaran agama kelompok pertama. Sedangkan penelitian keagamaan menurut Juhaya adalah penelitian hidup keagamaan, yaitu penelitian terhadap praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif.
C.     Model-Model Penelitian Keagamaan.
Adapun model penelitian yang ditampilkan di sini disesuaikan dengan perbedaan antara penelitian agama dan penelitian keagamaan. Akan tetapi, disini dikutip karya Djamari mengenai metode sosiologi dalam kajian agama, yang secara tidak langsung memperlihatkan model-model penelitian agama melalui pendekatan sosiologis. Djamari, dosen pascasarjana IKIP Bandung, menjelaskan bahwa kajian sosiologi agama menggunakan metode ilmiah. Yaitu:
1.      Analisis Sejarah.
Dalam hal ini, sejarah hanya sebagai metode analisis atas dasar pemikiran bahwa sejarah dapat menyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang mendukung timbulnya suatu lembaga, dan pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan inti karakter agama dengan meneliti sumber klasik sebelum dicampuri yang lain.
Seperti halnya agama Islam, sejarah mencatat bahwa ia adalah agama yang diturunkan melalui Nabiya yaitu Muhammad Saw berdasarkan kitab sucinya yaitu Al-Qur’an yang ditulis dalam bahasa arab. Islam diturunkan bukan untuk satu bangsa saja melainkan untuk seluruh bangsa secara universal. Sedangkan agama lain ada yang hanya diturunkan untuk satu bangsa saja seperti yahudi untuk ras yahudi saja.[7]
Pendekatan sejarah dalam memahami agama dapat membuktikan apakah agama itu masih tetap pada orisinalitasnya seperti ketika ia baru muncul atau sudah bergeser jauh dari prinsip-prinsip utamanya. Bila hal itu dihubungkan dengan agama islam maka ia dapat dimasukkan pada kategori agama yang bertahan konsisten dengan ajaran seperti pada masa awalnya.[8]
Menurut ahli perbandingan agama seperti A. Mukti Ali, apabila kita ingin memahami sebuah agama maka kita harus mengidentifikasi lima aspek yaitu konsep ketuhanan, pembawa agama atau nabi, kitab suci, sejarah agama, dan tokoh-tokoh terkemuka agama tersebut.[9]
Perihal
Islam
Yahudi
Nasrani/kristen
budha
Hindu
Asal usul nama tuhan
Allah
Langsung dari yudha atau yehuda
Dari nama bangsa (nazaret) dan nama gelar yesus (kristus)
Dari nama tempat gautama
Pendirinya budha hindustan
Konsep tuhan
Tauhid
Asal tauhid berubah jadi faham chauvinisme
Asal tauhid di ubah jadi trinitas
Tidak jelas
Trimurti
Kitab
Al-qur’an
Talmud
Bibel
Tripitakan
Wedda
Status kitab
Asli
Tidak asli
Buatan paulus
Renungan budha
Berisi mantra 2
Nabi
Muhammad
Musa
Isa
Tidak ada
Tidak ada
Status Nabi
manusia
Manusia
Tuhan
Tidak punya nabi
Tidak punya nabi
Pembawa Agama
Muhammad
Musa
Isa
Sidarta gautama
Tidak ada
Penyebar
Sahabat-ulama
Rahib
Paulus-pendeta
Biksu
Pendeta
Sifat Agama
Universal
Eksklusif
Universal
Tidak universal
Tidak universal
Missi
Da’wah
Bukan missi
Missi
Bukan missi
Bukan missi
Perubahan dari asal
Tidak berubah
Berubah
Berubah
Berubah
Berubah
Agama-agama dipandang dari segi sejarahnya.[10]
2.      Analisis lintas budaya.
Analisis lintas budaya bisa diartikan dengan ilmu antropologi, karena dilihat dari definisi antropologi sendiri secara sederhana dapat dikatakan bahwa antripologi mengkaji kebudayaan manusia.[11]
Islam sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad saw sampai saatnya kini telah melalui berbagai dimensi budaya dan adat-istiadat. Masing-masing negeri memiliki corak budayanya masing-masing dalam mengekspresikan agamanya. Karena itu dari segi antropologi kita dapat memilah-milah mana bagian islam yang merupakan ajaran murni dan mana ajaran islam yang bercorak lokal budaya setempat.[12]
3.      Eksperimen. Penelitian yang menggunakan eksperimen agak sulit dilakukan dalam penelitian agama. Namun, dalam beberapa hal,eksperimen dapat dilakukan dalam penelitian agama, misalnya untuk mengevaluasi perbedaan hasil belajar dari beberapa model pendidikan agama.
4.      Observasi partisipatif. Dengan partisipasi dalam kelompok, peneliti dapat mengobservasi perilaku orang-orang dalam konteks relegius. Baik diketahui atau tidak oleh orang yang sedang diobeservasi. Dan diantara kelebihannya yaitu memungkinkannya pengamatan simbolik antar anggota kelompok secara mendalam. Adapun kelemahannya yaitu terbatasnya data pada kemampuan observer.
5.      Riset survei dan analisis statistik. Penelitian survei dilakukan dengan penyusunan kuesioner, interview dengan sampel dari suatu populasi. Sampel bisa berupa organisasi keagamaan atau penduduk suatu kota atau desa. Prosedur penelitian ini dinilai sangat berguna untuk memperlihatkan korelasi dari karakteristik keagamaan tertentu dengan sikap sosial atau atribut keagamaan tertentu.
6.      Analisis isi. Dengan metode ini, peneliti mencoba mencari keterangan dari tema-tema agama, baik berupa tulisan, buku-bukukhotbah, doktrin maupun deklarasi teks, dan lainnya. Umpamanya sikap kelompok keagamaan dianalisis dari substansi  ajaran kelompok tersebut
Dari model-model penelitian keagamaan diatas muncul pertanyaan bagi kita semua, apakah dari model-model penelitian keagamaan diatas bisa bermanfaat bagi agama islam? Atau justru dapat mengkaburkan agama islam itu sendiri? Sebuah pertanyaan yang patut kita renungkan bersama
FOOTNOTE
[1] Drs. Atang Abd. Hakim, MA, Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008, cet. Kesepuluh, hal. 55
[2] Ibid, hal. 56
[3] Ibid, hal. 57
[4] Ibid
[5] Ibid, hal. 50
[6] Ibid
[7] Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005, cet.I, hal. 118
[8] Ibid, hal. 120
[9] A. Mukti Ali, metode memahami agama islam, Jakarta: Bulan bintang, 1991, hal. 37-38
[10] Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, hal. 119
[11] Ibid, hal. 114
[12] Ibid, hal. 115
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......14
PERBANDINGAN DALAM STUDY ISLAM
A.    Pengertian Perbandingan Agama.
Berikut ini dikemukakan pendapat para ahli mengenai pengertian ilmu perbandingan agama.
1.      A. Mukti Ali. Menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ilmu perbandingan agama adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari pada suatu kepercayaan dalam hubungannya dengan agama lain yang meliputi persamaan dan perbedaan.[1]
2.      Hasbullah Bakri.
Mengatakan bahwa ilmu perbankan agama adalah ilmu yang mengajarkan tentang agama-agama, baik yang ada penganutnya di negara kita atau yang tidak ada penganutnya, baik yang disebut agama missionary ataupun yang disebut dengan bukan agama missionari.[2]
3.      Abu Ahmad. Dalam bukunya menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan ilmu perbandingan agama adalah ilmu yang mempelajari tentang bermacam-macam agama, kepercayaan dan aliran peribadatan yang berkembang pada berbagai bangsa sejak dahulu hingga sekarang ini.[3]
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ilmu perbandingan agama berusaha mempelajari berbagai macam agama, kepercayaan dan peribadatan dari pada agama-agama yang dipelajari yang meliputi persamaan dan perbedaan.[4]
B.     Islam dan Perbandingan Agama Lain.
1.      Perbedaan Islam dengan Agama-agama Lain
Perkembangan pendidikan dan kemajuan ilmu pengetahuan, kesemuanya itu merubah pandangan dan pikiran orang Islam diseluruh dunia dan sekaligus merupakan rennaisance orang Islam dalam lapangan ilmu pengetahuan, penertiban, kehidupan agama dan sebagainya. Dengan perkembangan tersebut para sarjana Islam memperbaharui polemik mereka terutama terhadap aktivitas missi Kristen. Pada umumnya polemik-polemik yang diadakan oleh kaum Muslim merupakan reaksi terhadap literatur-literatur yang diterbitkan oleh orang-orang Kristen.
Sejarah hubungan antara Islam dan kristen telah melalui masa yang panjang dan diliputi oleh suasana setempat. Isi polemik antara Islam dan kristen pada umumnya meliputi permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
a.       Kristologi (Islam tidak menyinggung pribadi Yesus sebagai kristus).
b.      Kenabian Muhammad SAW terutama mu’jizatnya.
c.       Kedudukan Bybel sebagai wahyu.
d.      Ajaran Paulus yang dogmatis.
e.       Masalah Moral.
Dalam kenyataannya materi politik antara abad pertengahan dan abad dua puluh meliputi hal yang sama, namun sudah tentu terdapat pemikiran baru yang terdapat dalam penerbitan mutakhir. Karena adanya pemikiran baru, maka sekalipun pokok pembicaraan sama. Namun ada perubahan dalam interpretasi. Dalam beberapa hal terdapat perhatian umat Islam terhadap penemuan baru. Adanya penemuan baru tersebut dipergunakan oleh umat Islam untuk membahas kitab suci Kristen.
Dalam hal toleransi, Nabi Muhammad pernah memberi suri tauladan yang sangat inspiring dihadapan para pengikutnya. Sejarah mencatat bahwa nabi pernah dikucilkan dan bahkan diusir dari tanah Makkah. Beliau terpaksa hijrah ke Madinah untuk beberapa lama dan kemudian kembali ke Makkah. Peristiwa ini disebut dengan fatkhul Makkah. Dalam peristiwa yang penuh kemenangan ini, Nabi tidak mengambil langkah balas dendam kepada orang-orang yang telah mengusirnya.
Dengan titik tolak pandangan tersebut umat Islam pada tempatnya bersikap menghargai agama orang lain. Menghargai agama orang lain tidak identik dengan pengakuan akan pengakuan kebaikan dan kebenaran agama tersebut.[5]
2.      Pebedaan Sistem Kedudukan dengan Agama Lain
Melalui Rasulullah Saw, kita dikabarkan tentang konsep ketuhanan yang hak. Konsep ketuhanan yang meniadakan sekutu bagi Tuhan. Dengan kata lain, konsep Tuhan Esa tanpa menyandarkan Tuhan dengan benda atau suatu apapun.
Berbeda dengan agama lain. Agama hindu budha yang menyandarkan Tuhan pada acara dan patung-patung. Perbedaan juga terdapat konsep ketuhanan mereka sebab dalam agama hindu dikenal Trinitas, yang terdiri atas brahma sebagai sebagai sewa pembantu, wisnu sebagai dewa pemilihara, dan siwa sebagai dewa perusak.
Pada agama kristen, sistem ketuhanan dikenal dengan istilah Trinitas, perbedaab yang mendasar adalah Kristen mengajarkan bahwa di surga Tuhan Bapa, mengakui adanya Tuhan Anak dan Roh Kudus yand diberikan Malaikat Jibril kepada Maryam. Sistem ini dinamakan Trinitas yang mengakui bahwa Tuhan ada tiga, yaitu Bapa, Anak, dan Tuhan Ibu (Ruhul Kudus).
Ciri pembeda antara agama Islam dan agama lain, yaitu:
a.       Islam mempercayai Tuhan sebagai Maha Pencipta Alam Semesta dan menampilkan keesaan-Nya.
b.      Islam percaya bahwa tidak ada kontradiksi antara perkataan dan perbuatannya.
c.       Islam tidak memaksa untuk mempercayai sesuatu yang tidak dimengerti.
d.      Kitab wahyu Islam adalah Al-Quran.
3.      Posisi Islam diantara Agama di Dunia.
Posisi Islam terhadap agama-agama yang datang sebelumnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       Ciri khas agama Islam. Dilihat dari ciri khas agama Islam yang menonjol, yaitu Islam menyuruh para pemeluknya beriman dan mempercayai bahwa semua agama besar di dunia yang datang sebelumnya diturunkan dan diwahyukan oleh Allah Swt.
b.      Kedudukan istimewa diantara semua agama. Posisi Ilsam diantara agama-agama besar di dunia dapat pula dilihat dari ciri khas agama Islam yang memberinya kedudukan istimewa diantara semua agama. Selain menjadi agama yang terakhir dan yang meliputi semuanya, Islam adalah pernyataan kehendak ilahi yang sempurna.
c.       Peran yang dimainkannya
Dalam hubungan ini Islam memiliki tugas besa, yaitu:
1.      Mendatangkan perdamaian dunia dengan membentuk persaudaraan diantara semua agama di dunia.
2.      Menghimpun segala kebenaran yang termuat dalam agama yang telah ada sebelumnya.
3.      Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh para penganut oleh agama sebelumnya.
4.      Mengerjakan kebenaran abadi yang sebelumnya tidak pernah diajarkan.
d.      Unsur perubahan didalamnya. Posisi Islam diantara agama-agama lain dapat pula dilihat dari adanya unsur pembaharuan didalamnya.
e.       Akomodatif dan persuasif[6]
C.     Faktor Perbedaan dan Keyakinan Agama.
Ilmu pengetahuan yang dicapai oleh setiap kemajuan corak lama merupakan bagian dari akidah agama yang sangat diyakini oleh anggota-anggota masyarakat. Oleh karena itu ilmu pengetahuan bercampur menjadi satu dengan akidah agama sehingga agama dilunturi dengan kesamaan-kesamaan mistik dan tasawuf.
Sebagaimana filsafat pada dasarnya adalah kerja otak saja. Akan tetapi, karena filsafat ini berbaur dari satu masyarakat dengan masyarakat lain, timbul bermacam-macam filsafat yang ikut melunturi agama. Tidak ada filsafat yang benar-benar murni dan mendetail sebab filsafat bergantung pada jauh dan dekatnya dengan agama atau akidah.
D.    Problem dan Prospek Perbandingan Studi Islam.
1.      Kendala perbandingan agama.
Menurut Gierke Gaard (1813-1855), filsuf agamawan asal Denmark, yang pendapatnya banyak disetujui banyak orang, “netral terhadap studi agama-agama hampir tidak mungkin”. Salah satu sebabnya, seorang peneliti tidak akan dapat memahami, apalagi mendalami agama tanpa yang bersangkutan terlibat secara emosional dan spiritual dengan agama tersebut.
2.      Tantangan yang Dihadapi Setiap Agama.
Menurut Bambang Sugiarto, tantangan yang dihadapi setiap agama sekarang ini sekurang-kurangnya ada tiga. Pertama, dalam menghadapi persoalan kontemporer yang ditandai disorentasi nilai dan degradasi moralitas agama ditantang dengan tampil sebagai suara moral yang otentik. Kedua, agama harus menghadapi kecenderungan pluralisme mengolahnya dalam rangka “teologi” baru dan mewujudkannya dalam aksi-aksi kerja sama plural. Ketiga, agama tampil sebagai pelopor perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan ketidak adilan.
3.      Prospek : Upaya Mengatasi Kendala dan Tantangan Perbandingan Agama. Untuk mengatasi kerancuan diatas, pakar-pakar studi agama lalu membagi pendekatan studi agama yang mencakup studi perbandingan agama dalam dua kategori, yaitu:
a.       Pendekatan Diskriptif
Cara ini dikembangkan oleh pakar-pakar dialog antar agama denga menggunakan istilahintelektual conversion(beralih) agama pada tingkat pemikiran, bukan pada tingkat iman yang hakiki.
b.      Pendekatan Normatif
Pendekatan ini menjelaskan, sebuah agama yang menitik beratkan kebenaran doktrial, keunggulan sistem nilai otentitas teks, serta fleksibilitas ajarannya sepanjang masa. Pendekatan normatif untuk memperkukuh iman, pendekatan deskriptif tidak kurang pentingnya untuk menghindari konflik agama. [7]
FOOTNOTE
[1] Jirhannuddin,Perbandingan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),  4
[2] Ibid.
[3] Ibid., 5.
[4] Ibid.
[6] Koko Abdul Kodir, Metodologi Studi Islam,(Bandung:Pustaka Setia,2014), 204.
[7] Koko Abdul Kodir, Metodologi Studi Islam, 206.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok..........15
ORIENTALISME DAN OKSIDENTALISME
A.    Latar belakang.
Agama islam telah menjadi obyek studi sarjana Barat, bahkan Islam sudah menjadi karir sarjana Barat yang melahirkan orientalisis dan islamolog Barat dalam jumlah yang besar. Sarjana Barat menaruh perhatian yang besar pada studi Islam karena mereka memandang Islam bukan sekedar agama tetapi jug merupakan sumber peradaban dan kekuatan sosial, politik dan kebudayaan yang patut diperhitungkan.
Kajian tentan orintalisme sudah memiliki akar tradisi yang cukup panjang di dunia akademik Barat. Namun orientalisme yang sudah berkembang berpuluh-puluh tahu atau bahkan ratusan tahun cenderung dijadikan alat ideologis Barat untuk melakukan hegemoni dan imperalisme baru di dunia Timur terutama dunia Islam.[1]Hegemoni dan penguasaan Barat atas Timur menciptakan kebencian rasial yang semakin memuncak. Kebencian tersebut tidak hanya diekspresikan sebatas sikap pasif, tetapi usaha-usaha menjawab dan membongkara kepalsuan Barat sudah banyak dilakukan. Misalnya Edward Said, intelektaual keturunan Palestina, meluncurkan bukunya yang berjudul Orientalis.
Menurut Komarudin Hidayat, dalam karya tersebut Said tidak hanya menyajikan kajian baik tentang Timur, tetapi sekaligus juga menyeruak selubung-selubung ideologis negatif yang selama ini menhinggapi Barat dalam melihat Timur. Bahkan dalam kadar tertentu Said telah membuka jalan bagi munculnya kesadaran baru tentanag perlunya menjadikan Barat sebagai bahan kajian yang disebut oksidentalisme.[2]
Oksidentalisme atau usaha untuk mengkaji Barat menjadi sebuah pendekatan dan konsep membuka selubung ketidakjujuran Barat dalam melihat Islam. Orientalisme maupun oksidentalisme keduanya merupakan produk sejarah yanga memiliki muatan ideologis yang memberikan respon dan kritik balik terhadap serangan orientalisme terhadap Islam. Oksidentalisme masih merupakan wacana yang sangat baru, namun menurut Hasan Hanafi sebagaimana dikutip oleh Komaruddin Hidayat, secara historis prototip Oksidentalisme sebenarnya dapat dilacak sejak terjadinya pertemuan antara Barat dan Timur, antara masyarakat Kristen di Barat dan Muslim di Timur.[3]
Lepas dari orientalisme dipandang sebagai ideologi Barat untuk melakukan hegemoni dan imperalisme terhadap dunia Timur terutama Islam ataupun oksidentalisme yang juga memiliki muatan ideologis, namun yang menjadi persoalan adalah sejauh manakah keduanya berpengaruh terhadap studi Islam. Apakah hal itu hanya sebuah wacana ilmiah yang memang harus disikapi secara serius sebagai bagian dari perkembangan intelektual di dunia akademik. Atau harus dilakukan sesuatu untuk membendung arus perkembangan keilmuan tersebut dalam rangka menghilangkan prasangka negatif terhadap Islam. Sebab kebearadaan orientalisme dan oksidentalisme telah menimbulkan stigma dikalangan umat islam bahwa apapun yang dikatakan sarjana Barat  tentang Islam selalu dicurigai . Lebih dari itu, beberapa sarjana alumni IAIN yang memperoleh kesempatan menagambil program lanjutan di perguruan tinggi Barat dan bidang Islamic Studies ketika kembali ke tanah air seringkali dicurigai sebagai telah berpengaruh atau terkaminasi oleh pemikiran orientalis.
B.     Pengertian Orientalisme dan Oksidenatalisme
Ada beberapa definisi mengenai pengertian orientalisme dan oksidentalisme, diantaranya menurut Dr. Muh. Natsir Mahmud, M.A., ia mendefinisikan orientalisme sebagai sarjana Barat yang berusaha mempelajari masalah-masalah ketimuran, menyangkut agama, adat istiadat, bahasa, sastra dan masalah lain yang menarik perhatian mereka tentang soal ketimuran.[4]Sedangkan menurut Ismail Yakub, bahwa orientalisme adalah : “Ahli tentang soal-soal Timur, yakni segala sesuatu megenai negeri-negeri Timur, terutama, negeri Arab-Islam, yaitu kebudayaanya, keagamaanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain dari bangaasa adan negeri Timur”.[5]
Maxime Rodinson sebagaimana dikutip oleh Muh. Natsir menerangkan bahwa orientalisme mula-mula mempelajari Islam, “mempelajari” bukan sekedar mengenal tetapi mempelajari secara sistematis, profesional, dan terorganisir.[6]Adapun orientalisme, dengan menambahkan “isme” dibelakang kata “orientalis” berarti ajaran atau paham tentang dunia Timur yang dibentuk oleh opini Barat.[7]Walaupun orientalisme mengandung konotasi negatif dikalangan para penulis Timur, tetapi dalam paper ini menggunakan pengertian secara definitif yaitu sarjana Barat yang mempelajari dunia Timur termasuk dunia Islam dan agama Islam
Oksidentalisme lahir tanpa ada yang membidani, pada mulanya hanyalah gagasan yang lebih bersifat reaksi daripada sebuah produk peradaban yang mempunyai tujuan tertentu. Oksidentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan orientalisme. Secara lebih jelas  Hassan Hanfi memberikan pemahaman oksidentalisme sebagai berikut : “Apabila orientalisme ego(Timur) melalui The Other(Barat), maka oksidentalisme bertujuan mengurangi simpul sejarah yang mendua antaraego dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferoritas (Murikab al-Naqish) pada ego dengan kompleksitas superioritas (Murokab al Uzhma) pada pihak the other”[8]
Lebih lanjut menurut Asyaukanie, secara harfiah oksidentalisme berarti hal-hal yang berhubungan dengan Barat, baik itu budaya, ilmu dan aspek sosial lainnya.[9] Secara historis studi tentang keberatan sudah mulai sejak awal era kebangkitan Islam atau dunia ketiga lainnya. Tetapi studi-studi tersebut masih sarat dengan analisis diskriptif yang sumbernya utamanya adalah Barat sendiri yang pada akhirnya kajian-kajian Barat. Model seperti ini belum mempresentasikan apa yang dimaksud dengan format oksidentalisme diskursif (discusive formation), yaitu satu wacana yang melihat dan mengkaji Barat dari luar Barat, seperti para orientalis yang mengkaji Timur dengan perpspektif Barat.[10]

C.     Akar Dan Tujuan Orientalisme dan Oksidentalisme
Sejarah orientalisme adalah sejarah dendam dan niat penguasaan terhadap budaya lain yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman buat ekstensi Barat khususnya yang menyangkut dunia Arab Islam. Ssejarah orientalis bermula dari kajian atas karya-karya ilmiah dari karya budaya kaum muslim setelah adanyta interaksi  dan pergantian kuasa wilayah Islam di belahan Barat (Andalus) kepada kuasa Kristen dan perang salib di kota-kota suci Islam di daerah Syam dan Palestina.[11] Sebagai dua bangsa yang bertentangan berada dalam suasana konflik perang dengan sendirinya akan sulit melahirkan persepsi yang positif satu sama lain. Akibat perang salib bangsa Barat mengenal Islam dalam pandangan yang negatif. Pandangan negatif tersebut disebabkan dua faktor, pertama, memandang Timur khususnya Islam sebagai bangsa dan agama inferior. Bangsa Barat yang merasa sebagai superior menimbulkan pandangan bahwa selain bangsa, budaya dan agama Barat tergolong bangsa, ideologi dan agama yang inferior. Mereka melihat Islam sebagai agama teror, agama perusuhan dan gerombolan orang-orang yang patut dibenci. Kedua, sikap apologis, yang bertujuan menyerang keyakinan dasar Islam dan  untuk memperkuat kedudukan Kristen. Ketiga, Islam dipandang sebagai salah satu sekte Yahudi / Kristen yang sesat.[12]
Ada tiga tahapan penting dalam sejarah terbentuknya orientalisme.
1.      tahapan diolah antara bangsa Barat dengan bangsa Timur (Arab –Islam, India dan Persia) baik secara langsung maupun tidak. Dalam level penerjemahan karya kaum muslimin, buku-buku filsafat dan kedokteran merupakan karya yang paling diminati dan terus diselidiki, buku tentang optik karya Ibnu Kaitham, merupakan buku pertama para ilmuan muslim yang diterjemahkan kedalam bahasa latin. Tokoh-tokoh penting gerakan orientalisme ini adalah John of Servile, Romanus, Agustinus dan Adilard.
2.      era pasca perang salib. Kalau pada tahapan pertama para penyelidik Barat masih mempunyai jarak dengan kaum muslim di belahan Timur, maka pada tahapan kedua ini setelah gelombang perang salib di jantung kota Arab-Islam, ilmuwan-ilmuwan dan sarjana-sarjana Barat yang menyertai “misi suci” tersebut dengan leluasa berkenalan dekat dengan sumber-sumber asli peradaban Islam. Lalu pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, dimulailah gerakan orientalisme yang sebenarnya.
3.      era kolonisme dan imeperalisme eropa kehampir seluruh negeri dan bangsa non-barat, dunia Islam khususnya. Pada tahapan ketiga, merupakan “ajudan” apara kolonialis dan alat yang palinga ampuh untuk mendalami  kondisi sosial-historis negeri-negeri jajahan baru. Dalam tahapan  ini orientalisme bertukar peran, kalau sebelumnya sebagai pengkaji dan peneliti Timur dan ketimuran dengan sedikit banyak adanya nilai obyektif dan keilmuan, kini perannya telah bertukar menjadi penguasaan dalam perampasan hak-hak Timur dilegitimasi lewat kolonialisme. Timur telah menjadi obyek kekuasaan dan kesemena-menaan bangsa yang lebih kuat bukan lagi menjadi obyek studi yang harusnya.[13]
Namun dalam hal ini, tidak bisa disimpulkan  bahwa seluruh orientalis adalah  “ jahat” mempunyai niat buruk dalam mengkaji timur terutama Islam. Tetapi ada juga para oprientalis yang mempunyai niat murni untuk mempelajari Islam dan Ketimuran. Berkaitan dengan tujuan orientalis melakukan kajian mengenai Islam dan ketimuran,  Ismail Jakub mengklasifikasi menjadi beberapa macam tujuan. Yaitu, ada yang didorong oleh rasa keagaamaan, ada yang karena dorongan penjajahan, dorongan perniagaan, politik dan ada pula yang karena dorongan keilmuan.[14]
Menurut Asy Syaukanie, orientalisme pada akhirnya setelah mendapatkan kritik dari beberapa sarjana Islam atau Timur, misalnya, Tibawi, Anwar Abdul Malik, Abdullah Latovi dan said, dan dari barat sendiri seperti Faucoult, Recour dan Bordeouw tidak lagi menjadi karir yang patut dibanggakan, bahkan sebaliknya. Para pengkaji ketimuran dari Barat ada yang merasa risih  untuk disebut dirinya sebagai orientalis, karena istilah tersebut sangat prejoratif. Mereka lebih senang disebut sebagai “Islamiolog dan sejenisnya”.[15] Kritik  yang sering dilontarkan kepada kaum orientalis adalah bahwa keahlian dan kecakapan mereka  hanya terbatas pada aspek eksternalitas (lahiriah) dari agama. Mereka tidak dapat memahami wilayah “internal’ dari agama yang diteliti.[16]
Secara garis besar terdapat dua bentuk pendekatan dalam kajian Islam,  yaitu teologis dan sejarah agama-agama.[17]Pendekatan dalam kajian teologis yang bersumber dari  tradisi dalam kajian tentang Kristen di Eropa, menyodorkan pemahaman normatif ini semakin cenderung ditinggalkan para pengkaji agama-agama. Sedangkan pendekatan sejarah agama-agama berangkat dari pemahaman masyarakat-masyarakat agama. Penggambaran dan analisa dalam kajian bentuk kedua ini tidak atau kurang mempertimbangkan klaim-klaim. Keimanan dan kebenaran sebagaimana dihayati para pemeluk agama itu sendiri. Dan sesuai dengan perkembangan keilmuan di Barat, maka pendekatan sejarah agama ini menjadi paradigma dominan dalam kajian-kajian agama, termasuk Islam, di Barat. Dengan dapat dipahami bahwa wajar kalau hasil kajian para orientalis tersebut tidak menyentuh pada aspek internal pemeluknya, karena memang pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sejarah agama-agama (jika memakai pendekatan menurut Asyumardi Azra).
Pada perkembangan selanjutnya, setelah orientalis dikritik baik secara pendekatan keilmuan maupun keburukan-keburukan (niat jahat) menjadi terbongkar, kini orientalisme menjadi obyek kajian. Kajian orientalisme sebagai obyek  yang dilakukan dibeberapa  universitas Muslim pada tahapan-tahapan selanjutnya mengilhami studi lebih lanjut akan budaya Barat yang dilihat dari sudut pandang persepektif “selain Barat”.
 Hanafi menulis mengenai oksidentalisme sebagaimana di kutip oleh Asy Syaukanie bahwa : “Oksidentalisme adalah lawannya orientalisme. Ilmu yang sangat penting diwujudkan buat masa sekarang, setelah Barat untuk yang kedua kalinya mulai menancapkan lagi kuku-kolonialismenya…Bagaimanapun, oksidentalisme merupakan imbangan buat kebudayaan manusia, karena dengan ini kelak akan tidak ada lagi bangsa yang mendakwa dirinya sebagai bangsa yang superior.”[18]
Oksidatilesme bukan sekedar kebalikan orientalisme, atau orientalisme terbalik, atau orientalisme berlawanan, tetapi merupakan reaksi atas westernisasi. Oksidentalisme bertujuan  untuk mengakhiri mitos Barat sebagai representasi seluruh umat manusia dan sebagai pusat kekuatan serta meluruskan istilah-istilah yang mengisyaratkan sentrisme Eropa untuk kemudian d ilakukan penulisan ulang sejarah dunia dengan kacamata lebih obyektif dan netral serta lebih bersikap adil  terhadap andil seluruh peradaban manusia dalam sejarah dunia.
D.    Pengaruhnya Terhadap Studi Islam
Studi Islam di Barat, sulit dipungkiri turut membentuk cara pandang sarjana-sarjana muslim tamatan universitas-universitas Barat terhadap Islam. Dimana menurut Azyumardi Azra bahwa ada dua pendekatan dalam mengkaji Islam, yaitu teologis dan sejarah agama-agama. Dari dua pendekatan tersebut pendekatan kedua yakni sejarah agamalah yang dominan dipakai oleh para pengkaji Islam di Barat berakar dalam beberapa disiplin traditional. Pertama,  adalah mereka yang berakar pada disiplin humaniora traditional, yang mencakup filologi, filsafat, literature dan sejarah. Kedua,  yang berakar pada disiplin teologi, seperti  sejarah kitab suci dam sejarah institusi-institusi agama.Ketiga, yang berakar pada ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi, linguistic dan psikologi. DanKeempat,  yang berakar pada studi-studi kawasan yang menjadi salah satu titik tolak “orientalisme” yakni “dunia Timur” (khususnya kajian Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara).
Pertumbuhan minat untuk memahami  Islam lebih sebagai “tradisi keagamaan yang hidup”. Yang historis, ketimbang “kumpulan tatanan doktrin”, yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits, menemukan momentum kuat dan pertumbuhan kajian-kajian Islam di beberapa universitas besar dan terkemuka di Amerika Serikat. Tradisi ini pertamakali tumbuh di Eropa, yang selanjutnya dikembangkan di Amerika oleh sarjana semacam D.B. Macdonald (1863-1943) dan H.A.R. Gibb.[19]
Pada  umumnya orientalis membahas Islam    dengan pendekatan saintifik. Fenomena Islam dianalisis dengan teori ilmiah tertentu. Misalnya dengan pendakatan historis, sosiologis, psikologis dan sebagainya.[20]Pendekatan tersebut meskipun turut memberikan kontribusi bagi studi Islam, namun kelemahannya yang besar adalah Islam ditempatkan sebagai fenomena empirik sensual, fenomena historik dan semata-mata kontekstual dengan mengabaikan segi tekstual sehingga menghilangkan bahkan menolak esensi Islam sebagai wahyu.
Lebih lanjut, mengenai studi di Barat, Asyumardi Azra juga menganalisis bahwa terdapat beberapa hal yang harus menjadi bahan pertimbangan terhadap studi yang dilakukan oleh orientalis. Pertama, kajian-kajian tentang Islam yang dilakukan di Barat cenderung bersifat “esensialis” yakni menjelaskan seluruh fenomena masyarakat dan kebudayaan muslim dalam rangka konsep tunggal dan tidak berubah. Dengan kata lain berlaku pada masyarakat dan kebudayaan Islam. Contohnya, terdapatnya radikalisme kelompok-kelompok muslim tertentu di Timur Tengah, dipandang sebagai berlaku dan absah juga dalam masyarakat muslim di tempat lain. Kedua, kajian-kajian tentang Islam di Barat dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan politis, dengan menciptakan citra yang tidak benar dan distortif  tentang Islam dan masyarakat muslim. Ketiga, kajian-kajian tentang Islam di Barat merupakan upaya untuk melestarikan “kebenaran-kebenaran” yang dicapai atas nama Muhammad Abdul Rauf, sarjana-sarjana barat misalnya, menggunakan kategori-kategori Marxis untuk menjelaskan perkembangan sejarah tertentu dikalangan kaum muslim, seraya menolak dan mengabaikan kategori-kategori Islam sendiri.[21]
Tetapi bagaimanapun juga gambaran mengenai tradisi keilmuan tersebut sebenarnya telah menjadi diskursus atau wacana ilmiah sejak dulu. Dan bila menelusuri jejak-jejak muncul dan berkembangnya pemikiran dan pemikir modern dalam Islam, maka akan didapati realitas bahwa semuanya itu muncul setelah bersentuhan dengan Barat. Hampir tidak ada suatu negara yang mayoritas berpenduduk Islam dimanapun yang melakukan modernisasi, tanpa sebelumnya mendapat “penetrasi” dari Barat. Suatu kenyataan lain yang juga tidak bisa diingkari adalah hampir semua pemikir modern Islam adalah juga produk Barat. Misalnya, Fazlur Rahman, Iqbal, Ali Syari’ati, Sayid Qutub, Hasan Hanafi, Abdullah an Na’im, Muhammad Arkoun, Riffat Hasa, Seyyed Hossein Nasr dan juga pemikir dari Indonesia sendiri, misalnya, Nurcholish Madjid, Harun Nasution, dan lain-lain. Mereka bukan saja menguasai khasanah keilmuan Islam, tetapi juga keilmuan Barat sekaligus. Kenyataan ini seolah memberikan suatu keniscayaan bahwa seandainya negara yang berpenduduk muslim dan pemikirnya tidak bersentuhan dengan Barat, maka tidak akan muncul gerakan dan pemikiran modern.[22]
Dengan corak dan karakteristik studi Islam di Barat, seperti dikemukakan di atas, jelaslah salah satu akar utama cara pandang sarjana-sarjana muslim yang memperoleh pendidikan lanjutan tentang Islam di universitas-universitas di Barat. Pendekatan historis terhadap Islam turut membentuk cara pandang mereka yang sering disebut lebih “liberal” menyangkut Islam. Liberalisme pandangan itu berkaitan dengan concern mereka pada umumnya yang memang lebih pada kenyataan historis dan sosiologis Islam ketimbang doktrin Islam itu sendiri. Di sini mereka kemudian sering dituduh sebagai tidak atau kurang mempunyai “kesetiaan” kepada Islam, dan sebaliknya menjadi pengikut “orientalis” belaka. Padahal masalahnya terletak bukan pada soal setia atau tidak kepada Islam, melainkan pada pendekatan semata-mata. Hal ini pula yang menjadi kekhawatiran para umat Islam sebagaimana di tulis oleh Komaruddin Hidayat, bahwa :
“Kajian tentang orientalis sudah memiliki akar tradisi yang cukup panjang di dunia akademik Barat. Namun orientalisme yang sudah berkembang berpuluh-puluh atau bahkan ratusan tahun cenderung dijadikan sebagai alat ideologis Barat untuk melakukan hegemoni dan imperalisme baru terhadap dunia Timur terutama dunia Islam. Hal ini telah menimbulkan stigma dikalangan umat Islam bahwa apapun yang dikatakan sarjana Barat tentang Islam lalu dicurigai.”[23]
Lebih dari itu, beberapa sarjana alumni IAIN yang mempeorleh kesempatan mengambil program lanjutan di perguruan tinggi Barat dan bidangIslamic Studies ketika kembali ke tanah air seringkali dicurigai sebagai telah terpengaruh atau terkontaminasi oleh pemikiran orientalis. Karena citra orientalis yang dianggap tidak netral, maka banyak akademisi barat yang mendalami Islam dan bergerak di dunia kampus lebih senang disebut sebagai Islamist, bukannyaorientalist.
Lebih lanjut yang menjadi persoalan lagi adalah bagaimana dengan sarjana tamatan Timur Tengah?. Dimana sarjana-sarjana muslim khususnya Indonesia tamatan Timur Tengah sering dipandang secara beragam sebagai lebih “setia” dan mempunyai “komitmen” yang tinggi terhadap Islam. Sehingga tamatan Timur Tengah menggunakan pendekatan normatif dalam berpikir dan tidak liberal, dan bahkan cenderung menjadi fundamentalis, benarkah kesar seperti itu?
Memang mengenai sejauhmanakah peran dan pengaruh dua kelompok benar sarjana terhadap perkembangan Islam mengundang perdebatan yang cukup hangat. Dan hampir dipastikan perbincangan sekitar masalah ini akan terus berlangsung di masa-masa mendatang. Secara realita ada juga tamatan Timur Tengah yang liberal, seperti yang disimbolisasikan oleh Mona Abaza dalam figur Abdurrahman Wahid. Dalam sketsa biografi Wahid, Abaza tidak luput melukiskan kecenderungan kebebasan ekspresi intelektual di Mesir; termasuk kekaguman Wahid pada penulis-penulis liberal Mesir yang terlibat dalam perdebatan hangat dengan kelompok konservatif dari kalangan Al Azhar. Namun liberalisme Wahid dalam banyak hal tidak dapat diragukan lagi. Tetapi yang menjadi pertanyaan penting apakah ia merupakan representasi “alumni” Kairo.[24]Corak kajian Islam, baik dengan pendekatan barat maupun Timur Tengah, adalah bagian yang absah dan diskursus intelektualisme Islam di dunia Muslim. Kedua corak ini tidaklah dipertentangkan melainkan harus dipandang sebagai komplementer satu sama lain. Bahkan kedua pendekatan ini, sebaiknya dipadukan atau diharmonisasikan sedemikian rupa untuk mendinamisasikan pemikiran di dunia Islam.
FOOTNOTE
[1]Citra dan posisi orientalis kelihatannya memang sulit untuk mengelak dari anggapan bahwa studi dan disiplin ini lebih bersifat ideologis dan merupakan anak kandung imperalisme dan kolonialisme. Apalagi dalam konteks Indonesia, orientalis pernah dijadikan sebagai alat penjajahan Belanda melalui Snouck Hurgrounje untuk mensiasati Aceh dan umat Islam Indonesia secara keseluruhan. Lihat : Dr. Komaruddin Hidayat, Pengantar dalam Hassan Hanafi,Muqaddimah Fi ‘Ilmal-Istighrab, alih bahasa M. Najib Buchori,Oksidentalisme ; Sikap Kita Terhadap Barat, Paramadina, jakarta, 2000, hal. XV.
[2] Ibid., hal. xvi
[3] Ibid., hal. xvii.
[4] Dr. Muh. Natsir Mahmud, M.A., Orientalisme : Al Qur’an di mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), Dina Utama Semarang (DIMAS), t.t., hal. 36.
[5] Tk. H. Ismail Yakub,Orientalisme dan Orientalisten, CV. Faiza, Surabaya, t.t., hal. 17.
[6] Dr. Muh. Natsir Mahmud,op.cit., hal. 38.
[7] Menurut Edward Said bahwa “Timur” dan “Barat” bukanlah berdasarkan letak geografis, Timur menjadi “Timur” karena ia dibuat (orientized), demikian juga Barat. Hubungan Timur dan Barat didasarkan pada kekuasaan atau dominasi dan berbagai tingkat hegmoni yang kompleks. Lihat The Cisis of Modern Islam : A Preindustrial Culture in The Scientifs Technological Age (Krisis) Peradaban Islam Modern : Sebuah Kultur Praindustri dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), oleh Bassam Tibi, terj. Yudian W. Asmin, Naqiyah Muchtar dan Afandi Muchtar, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1994, hal. 35.
[8] Dr. Hasan Hanafi, Muqaddimah fi’ilm Istihrab, alih bahasa M. Najib Buchori, Oksidentalisme : Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Paramadina, Jakarta, 2000, hal. 26.
[9] A. Luthfi Asy Syukanie,Oksidentalisme : Kajian Barat Setelah Kritik Orientalisme. Ulumul Qur’an, no. 5 dan 6, vol. V, tahun 1994, hal. 123.
[10] Lain halnya dengan oksidentalis sungsang (Istighrab ma;kus) yang menurut Hanafi adalah hal dimana seorang pemikir atau sarjana Timur mengkaji Barat tetapi masih memakai metode cara pandang Barat. Dikatakan “sungsang” karena ia membuat dirinya melalui cermin orang lain (Barat) dan bukan seperti yang seharusnya, yaitu melihat Barat melalui cermin diri (ru’yatul ‘akhar fi mir’ atil ana). Istilah istighrab ma’kus) oksidentalisme sungsang pertama kali digunakan oleh shadiq jalal al Adzan dalam bukunya Al Istisyraq Wa al Istighrab al Ma’kus), lihat catatan kaki no. 17, dalam A. Lutfi Asy Syaukanie, op.cit., hal. 131.
[11] Pengenalan barat terhadap Islam mulai terutama di masa perang salib pertama (1096-1099 M). akibat perang salib masyarakat Barat, khususnya intelektual mulai menaruh perhatian terhadap Islam. Tetapi akibat perang salib itu pula menimbulkan kesalahpahaman bangsa Barat terhadap Islam. Lihat Dr. Muh. Natsir, op.cit., hal. 17.
[12] Ibid., hal. 18.
[13] A. Luthfi Asy Syaukanie,op.cit., hal. 119-192
[14] Tk. H. Ismail Jakub, op.cit., hal. 21-26
[15] A. Luthfi Asy Syaukanie,op.cit., hal. 120
[16] Dr. Amin Abdullaj, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas ?, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 212.
[17] Prof. Dr. Azyumardi Azra,Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, PT. Logo Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, hal. 229.
[18] A. Luthfi Asy Syaukanie,op.cit., hal. 124.
[19] Prof. Dr. Azyumardi Azra,op.cit., hal. 230.
[20] Dr. Muh. Natsir Mahmud, M.A., op.cit., hal. 236-237.
[21] Prof. Dr. Azyumardi Azra,Op.cit., hal. 236-237.
[22] Waryono Abdul Ghafur,Kritik Seyyed Hossein Nasr Atas Modernisasi dan tawaran Neo-Sufisme, Jurnal Studi Islam, Profetika, Program Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, vol. I, No. 2 Juli 1999, hal. 272.
[23] Komaruddin Hidayat,op.cit., hal. XV
[24] Mona Abaza, Studi Islamika, hal. 214.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......16
RADIKALISME DAN PLURALISME ISLAM
A.    Latar belakang..
Fenomena adalahpenampakan realitas dalam kesadaran manusia; suatu fakta dan gejala-gejala peristiwa-peristiwa adat serta bentuk keadaan yang dapat diamatidan dinilai lewat kaca mata ilmiah; gejala.[1]Namun yang kami maksud dalam makalah ini fenomena tindakan kekerasan yang terjadi karena adanya perbedaan. Islam menurut kamus popular berarti damai; tentram; agama yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW, dengan kitab suci Al-Qur’an.[2]
Radikal mempunyai arti; sama sekali, besar-besaran dan menyelurh, keras, kokoh, maju dan tajam dalam berfikir. Jadi radikalisme adalah: paham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar dalam pemerintahan; penganut radikalisme.[3]
Pluralisme berasal dari kata plural dan mendapat imbuhan “isme”. Plural artinya; bentuk jama’, banyak, ganda. Sedangkan pluralisme ialah: hal merangkap berbagai jabatan; kejamakan (yang berdiri sendiri); teori yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak subtansi.[4]
Dari ketiga definisi tersebut pemakalah mendevinisikan  maksud judul diatas ialah mengenai kejadian tindak kekerasan yang terjadi dinegara Indonesia ini yang disebabkan adanya sebuah keaneka ragaman dalam suatu bangsa.
B.     Pembahasan.
1.      Pluralisme Agama di Indonesia
Di Indonesia meskipun banyak  agama namun bisa tetap  bersatu hingga berpuluh-puluh tahun lamanya, tanpa adanya pemaksaan antara satu dan yang lainnya dalam memeluk agama. Ini disebabkan beberapa unsure diantaranya sbb:
a.       Demokrasi
Di negara kita yakni Indonesia terdapat enam macam agama,; Islam, Kristen, Hindu, Budha dan agama yang baru saja diresmikan pada masa keprisidenan K.H. Abdurrahman Wahid yaitu agama Khonghuchu. Negara Indonesia meskipun kebanyakan penduduknya islam system pemerintahannya bukan mutlak islam saja, Indonesia  memiliki sistim demokrasi sehingga setiap masyarakat bebas berkarya dan ber argument.
Demokrasi menurutKamus Besar Bahasa Indonesia, berarti (1) bentuk pemerintahan dimana segenap rakyat turut serta memerintah, (2) gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban[5]. Dengan demkian makna demokrasi adalah rakyat pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan kebijakan tertinggi dalam penyelenggaran Negara dan pemerintah serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakan baik yang dilakukan langsung oleh rakyat atau yang mewakilinya melalui lembaga perwakilan.
Dalam demokrasi ada yang namanya unsure-unsur penegk demokrasi yaitu;a). Negara Hukum; b). masyarakat Madani; C). dan infra struktur politik.
Dalam Negara hukum terdapat ciri-ciri  yang mengatakan bahwa didalam Negara yang berdemokrasi ini adanya perlindungan HAM.[6] Karena hal inilah tidak ada pemaksaan agama dalam menganut kepercayaannya, karena memeluk agama yang Ia suka merupakan hak pribadi manusia, dan apabila dipaksakan oleh seseorang maka, akan melanggar hukum di Indonesia. Karena itulah masyarakat Indonesia merasa beebas dan tenang sebagai umat manapun karena tidak ada pemaksaan agama.
b.      Pancasila
Pancasila juga merupakan suatu alasan adanya pluralisme agama yang dilindungi. Namun bangsa Indonesia tidak boleh Atheis.  Kelima sila dari pancasila itu ialah; 1). Kutuhanan Yang Maha Esa, 2). Kemanusiaan yang adil dan beradab,3). Persatuan Indonesia,4). Kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,5). Keadilan social bagi seluruh Rakyat Indonesia. Dalam lima sila ini tak ada satupun yang memihak pada salah satu agamapun ini membuktikan, tidak juga islam. Meskipun mayoritas penduduknya muslim lantas peraturannya lebih menguntungkan islam? Tidak. Agar tidak tercipta ketidak adilan antar satu agama dan agama lain maka semua isi pancasila tidak memihak. Jika tidak ada perpecahan diantara bangsa Indonesia maka kesatuan Negara akan semakin kuat. Pernah datang seseorang kepada guru besar Khon Fu Tsu, bertanya tentang bagaimana agar bangsa menjadi kuat, beliau menjawab bahwa bangsa harus memiliki tiga syarat.1). tentara yang kuat, 2). Makanan dan pakaian rakyat yang cukup, 3). Kepercayaan didalam kalbu rakyat itu. Kemudian seorang tersebut menanyakan lagi jika ketiga tidak bias di miliki mana yang harus dibuang, guru besar itu menjawab lebih menghilangkan tentara kuat, baju dan makanan yang cukup dari pada menghilagkan kepercayaan dihati.[7] Inilah yang menjadi dasar bahwa setiap warga Indonesia haruslah beragama.
2.      Akibat Munculnya Pluralisme Agama
Dalam the oxford English dictionary, pluralisme berartisebuah watak untuk menjadi plural, dan dalam ilmu politik didefinisikan sebagai: (1) sebuah teori yang menentang kekuasaan monolitik Negara dan bahkan menganjurkan untuk meningkatkan pelimpahan dan otonomi organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan seseorang dalam masyarakat. Juga kekuasaan harus dibagi diantara partai-partai politik yang ada.(2) keberadaan toleransi keragaman kelompok-kelompok etnis dan budaya dalam suatu masyarakat atau negara, keragaman kepercayaan atau sikap yang ada pada sebuah badan atau institusi, dan sebagainya.[8] Pluralisme sebenarnya memiliki makna yang positif berbeda dengan makna fragmentasi yang cenderung negative. Pluralisme adalah hukum Allah (Sunnatullah), seperti firman Allah Dalam QS. Al-maidah: 48. Artinya : Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Menurut Muslim Abdurrahman, dalam bukunya yang berjudul Islam Pribumimengungkapkan bahwa pluralisme adalah sebuah realitas social yang siapapun tidak mungkin mengingkarinya, karena pluralisme juga merupakan hukum Allah (sunnatullah). Kehidupan yang plural mengandung arti bahwa hidup ini tidak selalu corak tunggal. Disisi lain, kita juga sering memandang pluralisme sebagai sesuatu yang negative. Karena itu, masih ada sikap setengah hati untuk menerima pluralisme.[9]Karena itulah di Indonesia bermunculan sifat-sifat radikalis antara satu dan yang lainnya.dan inilah yang kebanyakan orang berpendapat bahwa pluralisme hanya menimbulkan konflik saja.
Menurut K.H.Abdurrahman Wahid dalam bukunya yang berjudul Islamku Islam Anda Islam Kita. Ini mengemukakan pendapat ketidak setujuannya adanya islam radikal. Beliau tidak menyetujui tindak kekerasan terhadap pemeluk agama lain (non muslim). Menurut beliau satu-satunya alasan penggunaan kekerasan yang bias ditolelir yaitu ketika muslim diusir dari rumah mereka. Inipun masih diperdebatkan, bolehkah membunuh orang lain jika dirinya sendiri tidak terancam? Tidak tanggung-tanggung kecaman Gusdur dialamatkan kepada kelompok-kelompok islam”garis keras” yang sering unjuk rasa dengan membawa clurit, pedang atau bahan peledak lain hingga mereka melakukan sweepingterhadap bangsa bangsa lain.[10]Faham ini muncul karena mereka ingin menerapkan system Negara islam di Negara kita, dan itu tidak mungkin dilakukan mengingat bangsa kita terdiri daribergagai pluralisme agama.dan kelompok ini melakukan tindakan tanpa melalui jalan yang baik.
3.      Islam Impian di Indonesia
Jika melihat fenomena yang terjadi di Indonesia maka islam di Indonesia sekarang banyak yang tidak sesuai dengan negara kita ini, islam di Indonesia ini belum bisa menerima pluralisme agama yang terdapat di Indonesia, kenapa hal demikian bisa terjadi padahal semua perbedaan agama di Negara ini sudah sejak dahulu, yang menjadi permasalahan ialah kebanyakan muslim tidak bisa menerima agama selain agamanya dan menganggap semua agama selain islam salah, seandainya ucapan itu benarpun tetap tidak boleh menjustifikasi agama lain karena kita tinggal dinegara yang demokratis. Jadi yang harus difikirkan oleh para Ulama’-ulama’ sekarang bagaimana membuat islam sebagai agama yang baik dimata kita (muslim) dan baik dimata pemeluk agama lain. Karena itu pemakalah ingin menampilkan beberapa pemikiran yang ditawarkan untuk selalu menghargai pluralisme kerena alasan social. Yang ditawarkan olehNur Kholis Setiawan, adalah Islam Progesif
Islam progesif berarti islam yang maju.wikipedia free ensiklopedia menterjemahkan sebagaial Islam Al Mutaqoddimah al Islam Al Ijtihadiyah. Gerakan ini merupakan gerakan yang mencoba memberi penafsiran baru kepada islam agar ia lebih sesuai dan selaras dengan tuntutan kemajuan dan kemoderenan saat ini.islam progesif adalah islam yang mencoba menawarkan sebuah kontekstualisasi penafsiran islam yang terbuka,ramah, segar, serta responsive terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Hal ini tentu berbeda dengan islam militant dan ekstrimis yang tetap berusaha menghadirkan wacana penafsiran masa lalu serta menutup diri terhadap ide-ide baru yang berasal dari luar kelompoknya.[11]
Menurut Omid safi (2003)[12]islam progesif menawarkan sebuah metode berislam yang menekankan pada terciptanya keadilan social, kesetaraan gender dan pluralisme keagamaan. Maka seorang muslim yang progesif haruslah bersedia berjuang demi menegakkan keadilan social di muka bumi ini. Perjuangan itu bias berwujud pada advokasi  hak-hak orang orang yang termarjinalisasi, orang yang tertindas, orang yang terkena polusi lingkungan, serta orang yang  “yatim” secara social dan politik.
KESIMPULAN.
1.    Di Indonesia meskipun banyak  agama namun bias tetap  bersatu hingga berpuluh-puluh tahun lamanya, tanpa adanya pemaksaan antara satu dan yang lainnya dalam memeluk agama. Ini disebabkan beberapa unsure diantaranya Demokrasi pancasila
2.    Dalam Negara hukum terdapat ciri-ciri  yang mengatakan bahwa didalam Negara yang berdemokrasi ini adanya perlindungan HAM. Karena hal inilah tidak ada pemaksaan agama dalam menganut kepercayaannya, karena memeluk agama yang Ia suka merupakan hak pribadi manusia, dan apabila dipaksakan oleh seseorang maka, akan melanggar hukum di Indonesia. Karena itulah masyarakat Indonesia merasa beebas dan tenang sebagai umat manapun karena tidak ada pemaksaan agama. Pancasila juga merupakan suatu alasan adanya pluralisme agama yang dilindungi.namun bangsa Indonesia tidak boleh Atheis.  Kelima sila dari pancasila itu ialah; 1). Kutuhanan Yang Maha Esa, 2). Kemanusiaan yang adil dan beradab,3). Persatuan Indonesia,4). Kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,5). Keadilan social bagi seluruh Rakyat Indonesia. Dalam lima sila ini tak ada satupun yang memihak pada salah satu agamapun ini membuktikan, tidak juga islam.
3.    islam progesif menawarkan sebuah metode berislam yang menekankan pada terciptanya keadilan social, kesetaraan gender dan pluralisme keagamaan. Maka seorang muslim yang progesif haruslah bersedia berjuang demi menegakkan keadilan social di muka bumi ini. Perjuangan itu bias berwujud pada advokasi  hak-hak orang orang yang termarjinalisasi, orang yang tertindas, orang yang terkena polusi lingkungan, serta orang yang  “yatim” secara social dan politik.
FOOTNOTE
[1] Pius A Partanto, dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya, Arkola,1994.hal.175
[2] Ibid, hal.274
[3] Ibid hlm 648
[4] Ibid hlm 604.
[5] Surip dan Sri Wahyuni,Kewarganegaraan, Jakarta,  CV Deriko, 2007, hlm 110,
[6] Ibid hlm 112
[7] Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Yogyakarta, Media Presindo, 2006.hlm. 88
[8] Nur Kholis Setiawan, Akar-Akar Pemikiran Progesif dalam kajian Al-Qur’an, Yogyakarta, SUKSES offset, 2008, hlm 24
[9] Muslim Abdurrahman,Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Jakarta, Erlangga, 2003, hlm 186
[10] Abdurrahman Wahid,Islamku Islam Anda Islam Kita ,Agama masyarakat Negara Demokrasi,  Jakarta, The Wahid Institusi, 2006, Hlm xxvi
[11] Nur Kholis Setiawan, Akar-Akar Pemikiran Progesif dalam kajian Al-Qur’an, Yogyakarta, SUKSES offset, 2008, hlm 24
[12] Ahmad Fuad Fanani,Menimbang Gagasan Islam Progesif, Replubika, kamis 10 januari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...