LIBERALISME & MODERNISME
A.
Liberalisme.
1.
Pengertian Liberalisme.
Liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar wilayah
kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan paham
kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau kalau kita lihat dengan
perspektif filosofis, merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya
adalah manusia yang bebas. Bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak
sesuai dengan apa yang diinginkan. Liberalisme adalah paham pemikiran yang
optimistis tentang manusia. Prinsip-prinsip liberalisme adalah kebebasan dan
tanggung jawab. Tanpa adanya sikap tanggung jawab tatanan masyarakat liberal
tak akan pernah terwujud.[1]
Liberalisme merupakan masalah kebebasan berpikir yang sebenarnya
merupakan isu klasik dalam sejarah pemikiran islam. Isu itu mula-mula telah
dilontarkan oleh Nabi saw sendiri, ketika mewawancarai Mu’adz ibn Jabal, ketika
ia akan diangkat menjadi Gubernur Yaman. Bahkan juga telah muncul ketika Nabi
melihat bahwa kata-katanya disalahpahami oleh seorang petani kurma di Madinah.
Riwayat yang terakhir itu melahirkan adagium yang sangat terkenal “antum a’lamu
bi umuri dunyaku”, engkau lebih tahu tentang masalah duniamu. Sedangkan
riwayat pertama melahirkan konsep ijtihad, yang paling banyak diikuti oleh
khalifah kedua Umar bin Khatab dalam memimpin negara melalui ijtihad-ijtihad,
sehingga lahir konsep mengenai fiqih Umar bin Khatab yang dinilai banyak ahli
menyimpang dari ajaran wahyu tetapi mengandung asas manfaat dan keadilan.[2]
Dalam liberalisme, penegakan hukum adalah sesuatu yang fundamental.
Pengekangan atas tatanan publik dan keamanan adalah bertentangan dengan
kebebasan, seperti yang dikatakan John Locke: : Berakhirnya fungsi agama bukan
dengan cara melenyapkan atau menahan orang-orang yang dinilai melanggar, tetapi
dengan cara melestarikan dan memperluas kebebasan”.[3]
Menurut John Locke, negara didirikan untuk melindungi hak milik
pribadi. Bukan untuk menciptakan kesamaan, atau untuk mengontrol pertumbuhan
milik pribadi yang tidak seimbang, melainkan justru untuk tetap menjamin
keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Dengan milik
(property) dimaksud tidak hanya barang milik (estate), melainkan juga kehidupan
(live) dan hak-hak kebebasan (liberties). Inilah hak-hak tak terasingkan
(inalienable rights) dan negara justru didirikan demi untuk melindungi hak-hak
asasi itu.[4]
Banyak hal yang terkait dengan liberalisme, namun dalam pandangan
islam, sebaiknya dalam kebebasan yang diusung oleh suatu keliberalismean harus
sejalan dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam kitab suci
Al-Quran dan Hadis. Bebas bukan berarti harus melakukan apa yang kita inginkan
meskipun tanpa menganggu hak orang lain, namun sebagi seorang yang beragama,
maka seharusnya kebebasan itu tidak melanggar atas apa yang disyariatkan.
2.
Ciri-ciri Pemikiran Liberalisme
a. adanya kebebasan dalam
berpikir yang kemudian di tuangkan dengan tindakan yang tidak mengganggu atas
kebebasan pihak lain.
b. Kebebasan berpikir juga
mengacu pada ketoleransian dalam agama, suku, dan ras.
c. Tidak mengambil agama
dalam dasar pemikiran.
d. Segala tindak dan tanduk
didasarkan pada logika saja selama tidak menggangu hak orang lain untuk
mendapatkan ketenangan.
B.
Pluralisme.
1.
Pengertian Pluralisme
Menurut Nurcholish Madjid, mengungkapkan tanggapannya tentang
pluralisme dalam buku yang dikutip oleh Budhy Munawar-Rachman mengatakan
bahwa, Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat
kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru
hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak
boleh dipahami sekadar sebagai “kebaikan negative” (negative good), hanya ditilik
dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay).
Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam
ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within
the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi
keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci justru disebutkan bahwa Allah
menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna
memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang
melimpah kepada umat manusia.[5]
Masalah yang seringkali terjadi dalam pluralisme adalah keagaaman.
Kegamaan menjadi hal yang sangat sakral dan sensitif bagi seluruh umat beragama
diseluruh dunia tak terkecuai di Indonesia yang merupakan salah satu negara
yang memiliki penduduk mayoritas muslim dan memiliki banyak keragaman budaya,
agama, dan juga suku. Namun, tak jarang masing-masing individu memiliki keegoan
tersendiri khususnya dalam beragama. Ketika masalah budaya dan suku dalam
pluralisme tidak begitu menjadi polemik, lain halnya ketika kita berbicara
tentang pluralisme dalam hal keagamaan. Hal inilah yang selalu menjadi polemik
tatkala masing-masing pihak memiliki emosi keagamaan yang tinggi. Tidak dapat
dipungkiri bahwa kita masih terikat oleh suatu kesakralan dalam beragama,
mentaati, dan menjauhi apa yang telah diperintahkan oleh Allah.
Sakralitas merupakan pengakuan adanya yang kudus, serta hormat
kepada sesuatu yang kudus, yang mengatasi kehidupan kita. Spiritualitas adalah
sikap menganut setiap agama terhadap dirinya sendiri berdasarkan nilai-nilai
yang diajarkan agamanya, sementara moralitas adalah sikap seorang individu
terhadap orang lain dan tanggung jawabnya terhadap keselamatan dan kesempurnaan
orang lain.[6]
Sumber ajaran umat islam merupakan Al-Quran dan Hadis yang
didalamnya telah tertera perintah dan larangan, apa yang harus dilakukan dan
apa yang harus dijauhi. Ketika segolongan umat islam memiliki pendapat dalam
masalah pluralitas beragaman yang masing-masing memiliki ayat yang memperbolehkan
dan tidak terhadap kepluralitasan, apakah setuju dan tidak setuju akan
kepluralitasan kita dalam menilai keberagaman agama karena kesetujuan dan
ketidak setujuan terhadap hal tersebut memiliki pandangan yang berbeda oleh
sebagian umat islam baik dari kalangan ulama maupun masyarakat biasa.
Perkembangan kehidupan yang sangat cepat akhir-akhir ini dengan
penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi, telah menimbulkan suatu
pertanyaan yang cukup mendasar berkenaan dengan kedudukan fungsi agama.
Kehidupan modern telah menunjukan bahwa sejarah hidup umat manusia dapat
berjalan tanpa “campur tangan” agama.[7]
Sejalan dengan itu, umat beragama seringkali menimbulkan
persoalan-persoalan itu terkait erat dengan paham keagamaan, tradisi, keluasan
wawasan dan sebagainya yang tumbuh bersama atau yang disebabkan oleh
keberagaman masing-masing individu.[8]
Dengan demikian, seharusnyalah orang menghilangkan penggambaran
pengikut agama lain sebagai musuh untuk dapat hidup dalam kemajemukan secara
harmonis. Ini memang tidak mudah. Pengakuan yang jujur akan memungkinkan
“kesalahan” (disamping kebenaran yang biasanya diklaim adanya pada diri
sendiri) dalam konsepsi sendiri dan kemungkinan “kebenaran” pada orang lain,
sudah barang tentu diperlukan juga.[9]
2.
Ciri-ciri Pemikiran Pluralisme.
a.
Adanya sikap netral terhadap perbedaan ras, suku, dan agama.
b.
Menjalin suatu kerjasama yang baik.
C.
Modernisme.
1.
Pengertian modernisme.
Modernisme adalah paham yang terkait dengan kemajuan berpikir
seseorang dengan menghasilkan sesuatu yang baru sesuai dengan perubahan dari
masa lampau menuju ke masa modern atau masa yang lebih maju. Pemikiran yang
maju ada bernilai positif dan juga negatif. Modernisme dapat bernilai positif
apabila ditempatkan pada tempat yang tepat. Misalnya, ketika pemikiran yang
modern tersebut digunakan dalam ilmu pengetahuan dengan membuat sebuah penemuan
baru berupa handphone yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat. Namu,
ketika pemikiran yang modern tersebut tidak ditempatkan pada tempat yang tepat,
maka itu dapat menyesatkan sehingga menimbulkan problematika persoalan.
Misalnya, pemikiran modern yang mencoba mengubah sebagian ayat Al-Quran demi
menyetaraan dengan zaman yang baru. Hal tersebut pernah menjadi problematika di
Indonesia oleh seluruh umat muslim yang tidak setuju dan ditentang keras
atas adanya pembaruan atau perubahan tersebut yang akan dilakukan oleh beberapa
pihak yang tergabung dalam suatu organisasi.
Sesuatu dapat disebut modern, kalau
ia bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku
dalam alam. [10]Jadi,
modern harus sesuai dengan logika, dapat dijelaskan dengan cara-cara yang
ilmiah, dan harus sesuai dengan adanya hukum yang berlaku di alam.
Dalam islam, modern pasti ada dengan kemajuan dan perubahan zaman
yang sangat cepat, segala yang baru muncul dan berdatangan dimana yang pada
zaman Rasulullah tidak ada namun pada zaman sekarang telah ada. Hukum dan
peraturan yang ada yang telah ditetapkan dalam Al-Quran untuk mengatur seluruh
kehidupan manusia dibumi tidak akan pernah dapat diperbarui atau dirubah
seperti yang telah terjadi pada kitab-kitab agama lain, karena kitab Al-Quran
selalu seiring dengan keadaan-keadaan zaman dari waktu. Namun demikian,
kemodern yang kita kenal pada masa sekarang dalam islam kita kenal dengan
istilah ijtihad. Ijtihad adalah istilah yang sangat terkenal, karena istilah
tersebut merupakan istilah yang berarti mengacu pada penggalian terhadap hukum
suatu benda, apakah benda tersebut diperbolehkan atau justru malah diharamkan
ketika digunakan atau dikonsumsi.
Ketika kita berbicara mengenai modernisme, maka ada beberapa
istilah yang erat kaitannya dengan modernisme yaitu neo-modernisme.
Perbedaan mendasar antara kaum “modernis” dan “neo-modernis”
terletak pada perhatiannya dalam tradisi. Kaum “neo-modernis” berusaha
membangun visi islam di masa modern, dengan sama sekali tidak meninggalkan
tradisi (warisan) intelektual islam itu sendiri sedangkan kaum “modernis lama”
lebih banyak bersifat apologetik terhadap gagasan modernitas. Tentang hal ini,
Nurcholish sangat menekankan pentingnya tradisi dalam kebangkitan islam
Indonesia yang modern, seperti katanya “diperlukan kesadaran akan kekayaan
tradisi, sekaligus kemampuan untu senantiasa membuat inovasi...(dalam) ruang
Indonesia dan zaman modern”.[11]
2.
Ciri-ciri pemikiran modernisme.
a.
Selalu bersifat pembaharuan dengan penemuan-penemuan yang baru.
b.
Adanya hal-hal baru yang ingin diperbarui baik dari ilmu
pengetahuan, teknologi, dan lain-lain.
FOOTNOTE
[1] Budhy Munawar-Rachman. Argumen Islam Untuk Liberalisme.
Jakarta. Grasindo. 2010. Hal. 3.
[2] Budhy Munawar-Rachman. Sekularisme, Liberalisme, dan
Pluralisme. Jakarta. Grasindo. 2010. Hal. 36
[3] Budhy Munawar-Rachman. Argumen Islam Untuk Liberalisme.
Jakarta. Grasindo. 2010. Hal. 4
[4] Frans Magnis Suseno. Etika Politik: Prinsip-prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 1999. Hal. 221.
[5] Budhy Munawar-Rachman. Islam Pluralis. Jakarta.
Srigunting. 2001. Hal. 39.
[6] Dr. Suprianto, dkk. Studi Islam Kontemporer. Kendari.
Membumi Publishing. 2010. Hal. 159.
[7] Ibid. Hal. 161
[8] Ibid. Hal. 161
[9] Ibid. Hal. 163
[10] Nurcholish Madjid. Islam Kemodernan dan keindonesiaan.
Bandung. Mizan. 2008. Hal. 180.
[11] Budhy Munawar-Rachman. Islam Pluralis. Jakarta.
Srigunting. 2001. Hal. 356.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......17
GERAKAN FUNDAMENTALISME ISLAM
A.
Pengertian dan Makna Istilah Fundamentalisme Islam.
Istilah
fundamentalisme muncul pertama kali di kalangan agama Kristen di Amerika
Serikat. Isilah ini pada dasarnya merupakan istilah Inggris kuno kalangan
Protestan yang secara khusus diterapkan kepada orang-orang yang berpandangan
bahwa al-Kitab harus diterima dan ditafsirkan secara harfiah ( William
Montgomery W., 1997: 3 ).
Di kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan kata “fundamental”
sebagai kata sifat yang memberikan pengertian “bersifat dasar (pokok);
mendasar”, diambil dari kata “fundament” yang berarti dasar, asas, alas,
fondasi, ( Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990:245 ). Dengan demikian
fundamentalisme dapat diartikan dengan paham yang berusaha untuk memperjuangkan
atau menerapkan apa yang dianggap mendasar.
Istilah fundamentalisme pada mulanya juga digunakan untuk menyebut
penganut Katholik yang menolak modernitas dan mempertahankan ajaran ortodoksi
agamanya, saat ini juga digunakan oleh penganut agama-agama lainnya yang
memiliki kemiripan, sehingga ada juga fundamentalisme Islam, Hindu, dan juga
Buddha.
Sejalan dengan itu, pada perkembangan selanjutnya penggunaan
istilah fundamentalisme menimbulkan suatu citra tertentu, misalnya ekstrimisme,
fanatisme, atau bahkan terorisme dalam mewujudkan atau mempertahankan keyakinan
agamanya. Mereka yang disebut kaum fundamentalis sering disebut tidak rasional,
tidak moderat, dan cenderung melakukan tindakan kekerasan jika perlu.
Berbagai pendapat dari para cendekiawan bermunculan terkait dengan
istilah fundamentalisme, salah satunya pendapat M. Said al-Ashmawi. Beliau
berpendapat bahwa fundamentalisme sebenarnya tidak selalu berkonotasi negatif,
sejauh gerakan itu bersifat tasional dan spiritual, dalam arti memahami ajaran
agama berdasarkan semangat dan konteksnya, sebagaimana ditunjukkan oleh
fundamentalisme spiritualis rasionalis yang dibedakan dengan fundamentalisme
aktifis politis yang memperjuangkan Islam sebagai entitas politik dan tidak
menekankan pembaharuan pemikiran agama yang autentik ( M. Said al Asymawi,
2004:120 ).
B.
Lahirnya Gerakan Islam Fundamentalis
Secara historis, istilah fundamentalisme muncul pertama dan populer
di kalangan tradisi Barat-Kristen. Namun demikian, bukan berarti dalam Islam
tidak dijumpai istilah atau tindakan yang mirip dengan fundamentalisme yang ada
di barat.
Pelacakan historis gerakan fundamentalisme awal dalam Islam bisa
dirujukkan kepada gerakan Khawarij, sedangkan representasi gerakan
fundamentalisme kontemporer bisa dialamatkan kepada gerakan Wahabi Arab Saudi
dan Revolusi Islam Iran ( Azyumardi Azra, 1996:107 ).
Secara makro, faktor yang melatarbelakangi lahirnya gerakan
fundamentalis adalah situasi politik baik tingkat domestik maupun di tingkat
internasional. Ini dapat dibuktikan dengan munculnya gerakan fundamentalis pada
masa akhir khalifah Ali bin Abi Thalib, di mana situasi dan kondisi sosial politik
tidak kondusif. Pada masa khalifah Ali, perang saudara berkecamuk hebat antara
kelompok Ali dan Muawiyah karena masalah pembunuhan Utsman.
Dalam keadaan runyam, Khawarij yang awalnya masuk golongan Ali
membelot dan muncul secara independen ke permukaan sejarah klasik Islam. Dengan
latar belakang kekecewaan mendalam atas roman ganas dua kelompok yang
berseteru, mereka berpendapat bahwa Ali dan Muawiyah kafir dan halal darahnya.
Kemudian Ali mereka bunuh, sedangkan Muawiyah masih tetap hidup. (as-Syahrustani,t.t.:131-137)
Begitu juga dengan gerakan muslim fundamentalis Indonesia, lebih
banyak dipengaruhi oleh instabilitas sosial politik. Pada akhir pemerintahan
Soeharto, Indonesia mengalami krisis multidimensi yang cukup akut. Bidang
ekonomi, sosial, politik, dan moral semuanya parah. Sehingga masyarakat resah
dan kepercayaan kepada pemerintah dan sistemnya menghilang. Hal ini dirasakan
pula oleh golongan muslim fundamentalis. Setelah reformasi, kebebasan kelompok
terbuka lebar dan mereka keluar dari persembunyian. Mendirikan kubu-kubu dan
mengkampanyekan penerapan syariat sebagai solusi krisis. Dari latar belakang
ini, tidak heran jika banyak tudingan yang mengatakan bahwa gerakan
fundamentalisme Islam merupakan bagian dari politisasi Islam.
C.
Empat Mazhab Besar Fundamentalisme Islam di Indonesia
1.
Mazhab Ikhwanul Muslimin
Ikhwanul Muslimin ini menganut ideologi Abduh dan Rasyid Ridha tapi
dalam versi yang lebih ekstrim. Penganut mazhab Abduh di Indonesia dalam versi
yang lebih soft adalah Muhammadiyah. Maka dari itu mereka agak dekat
dengan Muhammadiyah. Dan para mantan DI/TII rata-rata masuk Muhammadiyah. Di
Indonesia sendiri aliran ini bermetamorfosis menjadi PKS, KAMMI, dan sejenisnya
dan menjadi kelompok fundamentalis terkuat di Indonesia.
Kalau merunut sejarahnya, organisasi ini merupakan salah satu
sempalan Negara Islam Indonesia (NII). NII merupakan kelanjutan DI/TII yang
kelahirannya di-backing-i Ali Moertopo c.s. Organisasi ini terlihat
cukup soft misal jarang melakukan kekerasan fisik, tapi mereka
melakukan kekerasan dalam wacana. Dari segi penampilan untuk pria biasa saja
tapi rata-rata berjenggot sementara perempuannya berjubah dan berjilbab model
lebar dan panjang.
Politik mereka cukup mahir, tapi sebagaimana kelompok radikal
lainnya mereka sangat eksklusif dan menjadikan politik identitas seperti
penampilan, baju maupun bahasa yang dicampur dengan kosakata bahasa Arab
sebagai identitas untuk membedakan dan memisahkan mereka dengan ”yang
lain”. Walaupun terlihat kurang begitu menakutkan tapi sebagaimana
kelompok radikal lain mereka sangat tidak mampu bertoleransi. Maka dari itu, di
jangka panjang mereka akan sangat berbahaya jauh berbahaya dari “preman” macam
Front Pembela Islam (FPI). Basis utama mereka adalah Bogor sehingga IPB bisa
dikatakan menjadi kampus yang dikuasai mereka.
2.
Mazhab Salafi atau Wahabi
Mereka ini cukup rasis, nyaris semua pucuk pimpinannya selalu orang
Arab/ keturunan Arab yang didukung oleh sejumlah dalil mengenai keutamaan Arab.
Laskar Jihad dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) adalah bagian dari mereka,
juga teroris bom Bali, Abu Bakar Ba’asyir, Ja’far Umar Thalib, Abdullah Sungkar
dan lain-lain adalah orang Arab. Kelompok inilah yang paling radikal.
Kekhususan mereka adalah mereka golongan Arab masaikh. Kebanyakan
dari mereka mengikuti jalur al-Irsyad. Mereka memliki dua golongan besar
berdasar mazhab ulama acuannya, yaitu kelompok Saudi dan kelompok Kuwait.
Walaupun radikal dan berbahaya, kelompok ini sebenarnya cukup lemah karena
mereka terlalu radikal sehingga suka berkelahi sendiri. Misal, tradisi
mubahallah atau saling melaknat atas nama Allah seringkali dijadikan solusi
bagi mereka untuk menyelesaikan perbedaan pendapat/ paham. Dan kebiasaan inilah
yang seringkali memicu mereka terpecah jadi fraksi-fraksi kecil. Basis utama mereka
di daerah Solo dimana mereka mendirikan banyak pesantren di sana.
3.
Mazhab Hizbut Tahrir
Mazhab Hizbut Tahrir ini merupakan kelompok underground.
Mereka menginginkan khilafah tapi menolak menempuh jalur politik. Konsep
ideologi mereka lebih condong soft dengan dasar pemikiran adalah
“mengislamkan” masyarakat umum di mana bila tercapai maka khilafah akan
terbentuk dengan sendirinya. Kelompok kami tidak punya data cukup memadai
tentang kelompok ini dan jalurnya dengan organisasi di Indonesia.
4.
Mazhab Habib
Habib, Sayyed, Syarif adalah julukan/ gelar bagi Klan Keturunan
Nabi. Mereka sangat rasis, misal perempuan dari golongan ini dilarang menikah
dengan non Sayyid jika tidak maka mereka akan dibunuh. Kelompok formal
tertua golongan ini adalah Jamiat Kheir. FPI merupakan bagian dari golongan
ini. Doktrin utama kelompok-kelompok ini sama, yaitu klaim kebenaran tunggal.
Secara mazhab mereka sebenarnya lebih dekat dengan paham khawarij, paham
ekstrim Islam yang pertama kali muncul dalam sejarah, walaupun mereka mengaku
pengikut Ahlus Sunnah.
Contoh paling mudah adalah dengan melihat wacana fiqh mereka. Dalam
kitab-kitab fiqh standart kaum Aswaja, semua pendapat mereka akan dianggap
sebagai pendapat pribadi, misal ”berdasar pendapat ulama mazhab syafi’i”, atau
”berdasar pendapat Imam Hanafi dst”, sedangkan di kalangan kelompok ekstrim ini
dari yang paling soft sampai paling ekstrim memiliki kecondongan
mengklaim pendapatnya sebagai pendapat Islam , atau kehendak Allah dst. Klaim
fiqh mereka selalu didahului kata-kata ”menurut Islam ….”, ”berdasarkan
ajaran Islam…” dst, dan kelompok mazhab yang gemar menggunakan klaim seperti
ini adalah golongan Khawarij. Ini mungkin tidak terlalu bermasalah bila dilihat
sekilas tapi klaim seperti inilah yang paling berpengaruh untuk membawa
seseorang menjadi ekstrim.
Kesamaan lain adalah mereka condong menganjurkan bahkan mewajibkan
perkawinan ”dalam” bagi anggotanya. Alasannya biasanya tidak sefikrah untuk
menolak perkawinan luar kelompok. Semakin radikal semakin ketat mereka mengatur
nikah ini. Pernikahan anggotanya melalui perjodohan yang diatur imam kecil
mereka yang diistilahkan murrabi, mursyid, syaikh, dll.
Di tanah air terdapat beberapa contoh gerakan yang dikategorikan
sebagai fundamentalis. Diantaranya adalah Jamaah Darul Arqam, Jamaah
Tabligh, Jamaah Tarbiah, Front Pembela Islam, Forum Komunikasi Ahlusunnah Wal
Jamaah, serta Laskar Jihad.
D.
Karakteristik Islam Fundamentalis
Dari sekelumit paparan deskriptif historis kemunculan
fundamentalisme Islam, dapat dinyatakan bahwa memang ada beberapa karakter /
ciri khas yang bisa dilekatkan kepada kaum fundamentalis. Karakteristik
fundamentalisme secara umum adalah skriptualisme, yaitu keyakinan harfiah
terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan dan dianggap tanpa kesalahan. Dengan
keyakinan itu, dikembangkanlah gagasan dasar yang menyatakan bahwa suatu agama
tertentu dipegang secara kokoh dalam bentuk literal dan bulat tanpa kompromi,
pelunakan, reinterpretasi, dan pengurangan (Azyumardi Azra, 1993: 18-19).
Dalam beberapa kelompok Islam, di dalamnya terdapat karakteristik
gerakan Islam fundamentalis, diantaranya :
1.
mereka cenderung melakukan interpretasi literal terhadap teks-teks
suci agama dan menolak pemahaman kontekstual atas teks agama karena pemahaman
seperti itu dianggap mereduksi kesucian agama. Kaum fundamentalis
mengklaim kebenaran tunggal. Menurut mereka, kebenaran hanya ada di dalam teks
dan tidak ada kebenaran di luar teks bahkan kebenaran hanya ada pada pemahaman
mereka terhadap apa yang dianggap sebagai prinsip-prinsip agama. Mereka tidak
memberi ruang kepada pemahaman dan penafsiran selain mereka. Sikap yang
demikian ini adalah sikap otoriter.
2.
mereka menolak pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalis,
pluralism merupakan produk yang keliru dari pemahaman terhadap teks suci.
Pemahaman dan sikap yang tidak selaras dengan pandangan kaum fndamentalis
merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, yang terutama muncul tidak hanya
karena intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi juga karena
perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama.
3.
mereka memonopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum fundamentalis
cenderung menganggap dirinya sebagai penafsir yang paling benar sehingga
memandang sesat aliran yang tidak sepaham dengan mereka. Di dalam
khasanah Islam perbedaan tafsir merupakan suatu yang biasa, sehingga dikenal
banyak mazhab. 4 mahzab terbesar di Indonesia adalah Ikhwanul Muslimin, Salafi
atau Wahabi, Hizbut Tahrir, dan Habib. Sikap keagamaan yang seperti ini
berpotensi untuk melahirkan kekerasan. Dengan dalih atas nama agama, atas nama
membela Islam, atas nama Tuhan mereka melakukan tindakan kekerasan,
pengrusakan, penganiayaan, dan bahkan sampai pembunuhan.
4.
setiap gerakan fundamentalisme hampir selalu dapat dihubungkan
dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme, dan militanisme. Kaum
fundamentalisme selalu mengambil bentuk perlawanan yang sering bersifat radikal
teradap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama.
Beberapa karakteristik lain dari gerakan fundamentalisme Islam,
yaitu :
1. Mempunyai prinsip interpretasi ajaran agama yang
berbeda atau berseberangan dengan tradisi yang berlaku. Kemudian secara aktif,
kelompok ini akan bergerak untuk memperjuangkan hasil penafsirannya tersebut
dengan pelbagai cara; dari kritik persuasif hingga tindakan tegas yang menjurus
anarkhisme. Pada titik inilah fundamentalisme kerap dipersepsikan sebagai
gerakan negatif.
2. Lazimnya kelompok ini memiliki perilaku yang
eksklusif, tertutup, dan mencurigai kelompok lain. Kendati dalam sebuah
kesempatan bisa sangat terbuka untuk berdialog dengan kelompok lain tetapi
tujuannya sekadar membantah argumentasi mereka.
3. Berkat keyakinan akan kebenaran pemahamannya tentang
ajaran agama, kelompok fundamentalis selalu aktif menyebarkan pahamnya, agresif
dalam merekrut pengikut baru, dan sebagainya.
4. Keyakinan akan perlunya upaya yang sungguh-sungguh
(jihad) dalam mencapai keselamatan hidup baik di dunia ataupun di akhirat
menjadikan kelompok fundamentalis senantiasa giat dan militan melakukan segala
aktifitasnya.
E.
Fundamentalisme Islam di Indonesia
Munculnya gerakan keagamaan yang berkarakter fundamentalis
merupakan fenomena penting yang turut mewarnai citra Islam kontemporer di
Indonesia. Istilah Islam fundamentalis sebagai sebuah kesatuan dari berbagai
fenomena sosial keagamaan kelompok-kelompok muslim merupakan hal yang demikian
kompleks. Islam fundamentalis tidak sepenuhnya mampu mendiskripsikan fenomena
yang beragam atas gerakan-gerakan keagamaan yang muncul di Indonesia.
Berdasarkan karakteristik yang menjadi platform gerakan
fundamentalis yang tekah dipaparkan di depan, di Indonesia terdapat beberapa
kelompok yang diasumsikan sebagai kelompok Islam fundamentalis di antaranya
adalah Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum
Komunikasi Ahlusunnah Wal Jamaah (FKAWJ), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), dan
Laskar Jihad ( Jamhari, 2004:10 ).
Secara umum dapat diidentifikasi landasan ideologis yang dijumpai
dalam gerakan-gerakan tersebut :
1.
konsep Din wa Daulah (agama dan negara). Dalam konsep ini
Islam dipahami sebagai sistem hidup total, yang secara universal dapat
diterapkan pada semua keadaan, waktu, dan tempat. Pemisahan antara agama dan
negara tidak dapat diterima oleh kelompok fundamentalis, sehingga agama dan
negara dipahami secara integralistik.
2.
kembali pada al-Quran dan sunnah. Dalam konsep ini umat Islam
diperintahkan untuk kembali kepada akar-akar Islam awal dan praktik nabi yang
puritan dalam mencari keaslian (otentitas) dan pembaruan. Jika umat Islam tidak
kembali ke ‘jalan yang benar’ dari para pendahulu mereka maka mereka niscaya
tidak akan selamat. Kembali kepada al-Quran dan Sunnah dipahami secara
skriptual dan totalistik.
3.
puritanisme dan keadilan sosial. Nilai-nilai budaya barat ditolak
karena dianggap sesuatu yang asing bagi Islam. Media massa diupayakan untuk
menyebarkan nilai praktik Islam yang otentik dari pada menyebar pengaruh budaya
asing yang sekuler. Hal ini mensyaratkan penegakan keadilan sosial ekonomi
sehingga doktrin tentang zakat sangat ditekankan sehingga mampu memajukan
kesejahteraan sosial dan mampu memperbaiki kesenjangan kelas di kalangan umat.
4.
berpegang teguh pada kedaulatan syariat Islam. Tujuan utama umat
Islam adalah menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi ini. Tujuan ini bias
dicapai dengan membangun tatanan Islam yang memposisikan syariat sebagai
undang-undang tertinggi. Dari pemahaman ini maka agenda formalisasi syariat
Islam menjadi entry point bagi terbentuknya negara Islam sehingga
syariat Islam benar-benar dapat diperlakukan dalam hukum positif, baik hukum
perdata maupun jinayat.
5.
menempatkan jihad sebagai instrumen gerakan. Umat Islam
diperintahkan untuk membangun masyarakat ideal sebagaimana telah digariskan dan
sesuai dengan syariat Islam. Oleh sebab itu diperlukan adanya upaya
menghancurkan kehidupan jahiliyah dan menaklukkan kekuasaan-kekuasaan duniawi
melalui jihad atau perang suci.
6.
perlawanan terhadap Barat yang hagemonik dan menentang keterlibatan
mendalam dari pihak Barat untuk urusan dalam negeri negara-negara Islam. Mereka
merasa harus mendeklarasikan perlawanan terhadap Barat karena umat Islam sudah
diperlakukan dengan tidak adil, baik secara politik, ekonomi, maupun budaya.
Ideologi-ideologi itulah yang menyatukan gerakan-gerakan Islam di
berbagai negara termasuk Indonesia. Yang membedakan di antara mereka barangkali
terletak pada bentuk artikulasi gerakan. Dalam hal ini mereka tergantung pada
problem yang dihadapi di negara masing-masing. Di Indonesia sendiri, antara
Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, dan Front Pembela Islam
memiliki kesamaan ideologi, namun cara menterjemahkan ideologi dan praktik
gerakannya satu sama lain berbeda-beda.
F.
Kekeliruan dalam Memahami Fundamentalisme Islam
Diskursus fundamentalisme mulai marak sekitar tahun 70-an akhir dan
80-an awal. Masyarakat Islam Iran, pada ketika itu, mengejutkan dunia dengan
gerakan revolusinya yang berhasil menumbangkan Syah Reza Pahlevi. Bersamaan
dengan itu pula, Ikhwanul Muslimin Mesir menjadi kekuatan baru bagi masyarakat
dan pemerintah Mesir. Pola-pola gerakan Islam terus menggelinding bagai bola
salju sampai sekarang dalam berbagai bentuk. Dan saat ini, dunia menyaksikan
pola gerakan terorisme, sebagai bentuk gerakan paling mutakhir fundamentalisme
Islam.
Maraknya terorisme dan radikalisme yang berasal dari
fundamentalisme Islam membuat banyak kalangan ketakutan atas memudarnya citra
Islam yang baik, damai, dan mengayomi semua ummat manusia. Lalu dibikinlah
sebuah teori, bahwa fundamentalisme Islam tidak ada hubungannya dengan Islam
itu sendiri; fundamentalisme Islam adalah fenomena baru yang muncul di abad 19
atau 18; fundamentalisme hanyalah semacam reaksi terhadap tatanan kehidupan
yang lebih global saat ini.
Makna fundamentalis Islam bukan berarti seseorang sebagai teroris
dan anti-Amerika Serikat (AS), tetapi Muslim yang bersedia melaksanakan
nilai-nilai yang terkandung dalam al-Quran dan Sunnah Nabi secara konsisten.
Melaksanakan nilai Islam mulai dari dasar secara konsisten sehingga pandangan
bahwa Islam menakutkan tidak benar, justru ajaran Islam bersikap toleran dan
membawa rahmat bagi umat manusia dan seluruh alam ( Ahmad Sumargono, 2000 ).
G.
Sikap Terhadap Kelompok Fundamentalis
Dilihat dari substansinya, Nampak bahwa pandangan, sikap, dan
keyakinan keagamaan kaum fundamentalis tidak keluar dari Islam. Mereka termasuk
muslim dan mukmin yang taat, bahkan dapat dikatakan bahwa mereka berpegang
teguh pada ajaran Islam dan ingin memperjuangkannya dengan segala upaya dan
kemampuan yang dimiliki agar ajaran Islam yang mereka pahami benar-benar dapat
dilaksanakan oleh seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Dengan demikian
kehadiran fundamentalisme tidak mesti direspon secara searah dan dengan
pandangan negatif.
Di manapun dan bilapun gerakan muslim fundamentalis muncul sebagai
suatu kelompok, seharusnya kita hargai dengan lapang dada karena berkelompok
dengan orang-orang sealiran adalah hak asasi manusia.
Dan apapun ideologi yang mereka anut dan sebarkan, seharusnya kita
biarkan hidup bebas pula. Sebab, menganut ideologi apapun, atau tidak menganut
ideologi apapun, dalam koridor kebebasan berfikir dan berekspresi, sejatinya
hak asasi manusia juga.
Namun bila hak kebebasan itu telah mereka salah gunakan dalam
kehidupan sosial-politik, maka pelanggaran itu perlu ditindak. Semisal memaksa
individu dan kelompok lain untuk menerapkan keyakinan dan konsep muslim
fundamentalis, tanpa kontrak sosial dan perbincangan yang jelas. Sebab, hal itu
telah menjurus pada pelanggaran hak asasi manusia dan telah menodai nilai
penting kontrak sosial dan konstitusi.
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahawa sikap yang
seharusnya kita terapkan untuk menghadapi timbulnya fenomena muslim
fundamentalis berikut pemikiran dan tindakannya adalah sikap terbuka dan
kritis. Terbuka dalam menerima fenomena fundamentalisme sebagai kebebasan
berfikir dan berekspresi dan kritis apabila tindakan mereka telah jauh
menyimpang dan melanggar hak asasi umat muslim yang lain.
Selain itu, kita juga dapat mengambil pelajaran berharga dari sikap
dan kegiatan kaum fundamentalis. Anggota-anggota mereka terlihat mempunyai
kesetiaan yang kuat pada prinsip yang dianut.
Dari militansi yang terlihat dalam kelompok fundamentalis dapat
diambil pelajaran akan semangat kerja, kemauan untuk bekerja keras. Kemalasan
dan kelemahan semangant merupakan penyakit yang menimpa kaum muslimin negeri
ini untuk waktu yang cukup lama. Fundamentalisme mengajak kita untuk berbuat,
untuk tidak diam saja karena pilihan lainnya adalah perubahan ke arah yang
lebih buruk.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto Daud. 2006. Varian-varian
Fundamentalisme Islam di Indonesia .
Diakses dari http://afriantodaud.multiply.com/reviews/item/2
pada 18 November 2010
Didik Harianto. 2007. Fundamentalisme Islam. Diakses
dari
http://didikharianto.wordpress.com/2007/01/01/fundamentalisme-islam/ pada 18 November 2010
Montgomery W., William.
1997. FundamentalismeIslam dan Modernitas (terjemahan
Taufik Adnan Amal). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
M.SyafiqSyeirozi.2010. Melacak Akar Historis danKarakteristik Gerakan Fundamentalisme Islam.
Diakses dari
http://rembun83.blogspot.com/melacak-akar-historis-dan-karakteristik/ pada 18 November 2010
Sudrajat,Ajat,dkk.2008. Din alIslam PendidikanAgama Islam di Perguruan Tinggi Negeri Umum.
Yogyakarta: UNY Press
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok........18
ISLAM EKSKLUSIF DAN INKLUSIF
A.
EKSKLUSIF DAN INKLUSIF.
Isalmi eklusif dan inklusifmenurut Dr.K.h. Didin hafidhuddin,
M,Sc. Islam merupakan agama yang sangat inklusif, dan bukan merupakan
ajaran yang bersifat eksklusif. Tapi inksklusifitas yang bermaksud perbedaan
agama yang di pahami oleh kelompok liberal.”[1]Inksklusifitas islam yang dimaksud adalah agama yang universal dan
dapat diterima oleh semua orang yang berakal sehat tanpa memperdulikan latar
belakang, suku bangsa, setatus sosial dan atribut keduniawian lainya.
Islam ekslusif dan inklusif adalah untuk menetapkan persepsi muslim
terhadap masalah hubungan islam dan kristen di indonesia. Saya mengajukan
“muslim komprehensif” dan “muslim reduksionis”
Fatimah mecontohkan eksklusif dan inklusif di judul buku
“Muslim-Chritian relation in the new order indonesia: the exclusivist and
inclusivist muslim.”[2] Sebaai contoh, ia mnyebut organisasi eksklusif di indonesia
adalah dewan dakwah islamiyah di indonesia, (DDII), komite indonesia untuk
solidaritas duniah islam, orang-orang yang membela islam di cap eksklusif.
Diantara
ciri-ciri kaum eksklusif, menurut fatimah yaitu:
1. Merekah yang menerapkan model
penafsiran literal terhadap al-qur’an dan sunah dan masa lalu karena mengunakan
pendekatan literal, maka ijtihad bukanlah hal yang sentral kerangka berfikir
mereka
2. Merekah berpendapat bahwa
keselamatan yang bisa dicapai melalui agama islam.bagi merekah, islam adalah
agama final yang datang untuk mengoreksi agama-agama lain. Karena itu merekah
menggugat otentisitas kitab suci agama lain.
Sedangkan
yang dimaksud kaum inklusif, memiliki ciri:
1. Karena merekah memahami agama
islam sebagai agama yang berkembang, maka merekah menerapkan metode kontekstual
dalam memahami al-qur’an dan sunah, yang memerlukan teks-teks asas dalam islam
dan ijtihad berperan sentral dalam pemikiran merekah.
2. Kaum inklusif memandang,
islam adalah agama terbalik bagi merekah:namun merekah berpendapat bahwa
keselamatan di luar agama islam adalah hal yang mungkin.
Jika kita cermati sejumlah tulisan Nurcholish madjid dan budy
munawar rahmat, merekah sudah masuk kata gori pluralis yang menyatakan
semua agama-agama benar dan sebagai jalan yang sah menuju tuhan dan iti bukan
inkusif lagi,karena penganut paham inklusif seperti yang di atas,
B.
ISLAMISASI SAINS.
Islamasasi sains adalah pandangan yang menganggap ilmu atau
hanya sebagai alat (instrumen).artinya, sains terutama teknologi sekedar alat
untuk mencapai sebuah tujuan, sains itu mempunyai dua makna. jika kita
menganggap bahwa apa yang kita saksikan dalam fenomena sains adalah “sebuah
kenyataan yang sempurn,” maka kita akan melihaat sains sebagai kebeneran
indrawi. Sain juga pernah mengukuhkan bahwa kebeneran mutlak adalah yang
didasarkan pada panca- indrawi saja.
Dalam konteks ini , abu bakar siraj ad-din mengatakan, “if a
symbol is sometthing in a lower ‘known and wonted’ domain which the traveller
considenrs not only for its own sake, but also and above all in oder to have an
intuitive glinpse of the ‘universal and trange’ reality whict corresponds to it
in each of the hidden domain.”[3] pandangan ini, tentu saja sesuai dengan al-qur’an yang
mengatakan bahwa, “sesngauhnya allah tidaak segan membuat perumpamaan berupa
nyamuk atau yang lebih rendah dari itu”
Dibawah ini, kita akan membicarakan “tanda-tanda” yang merupakan
petunjuk kepada adanya “kesatuan wujud” itu, dan menjadi ruang pembuka hubungan
yang lebih harmonis antara sains dan agama. Kita catatkan terlebih dahulu tetang
cara membaca “tanda-tanda”itu, “dan proposisi-proposisi” pejalanan kita
(mengikuti tesis-tesis dari huston smith).
I. Sesuatu itu tidak seperti yang kita
lihat pada lahiriahnya,
II. Selain dari yang kita lihat pada sisi
lahirnya, terdapat “sesuatu yang lebih dari itu.”
III. “sesuatu yang lebih” itu, dapat
diketahui dengan cara yang bisa dilakukan.
IV. Walaupun begitu, ia bisa diketahui
dengan cara-cara yang memadai untuk itu, cara yang luar biasa.
V. Cara-cara tersebut memerlukan penyuburan
(cultivation) atau penyamaian.
VI. Dan cara itu, juga memerlukan alat.
C.
TESIS I. Sesuatu itu tidak seperti apa yang kita lihat pada
lahiriahnya
Salah satu dari tugas sains adalah menunjukan hakikat dari
kenyataan. Apa yang palina menakjubkan dari sains moderen, adalah kemampuanya
dalam menujukkan bahwa kenyataan tidak seperti apa yang kita lihat secara
langsung. Jika kita mengatakan bahwa meja ini bersifat pejal, maka sains akan
mengatakan bahwa,pada hakikatnya tidak begitu, sebab. Jika kita bisa melihat
atau mengecilkan meja sampai tingkat elrktron,maka yang akan kita lihat itu
adalah ruang itu kosong
Inilah contohnya bahwa setiap saat, indrawi kita “mengambarkan
sesuatu”tetapi indra kita telah di rancang sedemikian rupa sehingga tidak
memberitaukan kepada kita perkara yang sebenarnya.
Keterangan ini, juga mengingatkan kita kepada enekdot sufi yang
sering membuat dua lapisan bacaan: antara yang “terlahat” dan “tak
terlihat.”atau dalam filsafat india yang menyatakan maya. “Duniah ini
adalah khayalan” frithjof scohuon mengatakan: spiritual perspective and
the human facts.[4] bahwa, “hidup ini adalah perjalanan satu maimpi, satu
kesadaran, satu ego dari maimpi keseluruhanya.
D.
TESIS II. Selain dari yang kita lihat pada lahiriahnya, terdapat
“sesuatu yang lebih” dan “itu” menakjubkan.
Di atas, kita sudah melihat bahwa sifat yang sebenarnya dari
“sesuatu itu” secara radiakal “berbeda” dari yang tampak. Mereka-para saintis
dan agamawan-juga menyutujui bahwa “yang berbeda” itu, lebih tinggi dari segala
yang kita alami dalam penglihatan sehari-hari. Sains juga ilmu yang berurusan
dengan kuantitas.maka istilah “sesuatu yang melebihi” itu dalam sains dinyatakan
bahwa dalam bentuk angka-angka. Misalnya, kita mendapatkan bahwa cahaya dari
sebuah galasi yang agax besar,dan paling dekat dengan bumi.
E.
TESIS III. “Sesuatu yang lebih” itu, tidak dapat diketahui
dengan cara yang biasa dilakukan.
Biasanya, para sainstis (ilmuwan) mengambarkan atas besarnya yang
suka dibayangkan di atas, dengan kata “mengagumkan” (siapa yang bisa
membayangkan angka bermilyar-milyar di atas). Tetapi sebenernya, ini baru
permulaan, yang belum apa-apa. Karena, kajian sains belakangan hanya mengemukakan
sesuatu yang tidak dapat diterka pikiran kita. Inilah yang terjadi pada teori
relativitas dan mekanika kuantum.Sementara itu, kuantum-yang merupakan ilmu
fisika tentand duniah mikro, subatomik-merombak total pandangan tetang materi.
Asumsi lama,
Pada tahun 1951, david bohmmelihat aspeks lain dari
percobaaneinstein podolsky dan rosen. Sambil melanjutkan
keraguaneinstein,david bohm mendapatkan prinsip itu muncul hanya karena
tidak mampuan kita untuk menjelaskan ynag lebih mendasar dari teori kuantum.
Bohm menyebut tingkatan kenyataan artikel itu sebagai, explicate
orde,sememtara realitas dasar merupakan sumber-sumber itu diistilaahkan Bohm
sebagaiimplicate order..[5]
F.
TESIS IV. “Kelebihan” itu tidak bisa diketahui dengan car biasa,
meskipun begiu, ia bisa di ketahui dengan cara-cara yang luar biasa.
Apa yangkita lihat dari perkembangan sains baru ini, menurut kita
“berjalan lebih jauh.” Pada mekanika kuantum, sebagai mana
dikatakan schiling, dalam the new consciousneesin sciece and
relrgion, bahwa, “kesimpulan...akan paradoks materi gelombamng dicapai
dengan memakai simbol matematika semata (tentang makanika kuantum).
Begitu jagalah dengan apa yang di sebut “visi mistik,” sehinhga
keduanya sains dan mistik, mempunyai pesan yang sama, yaitu:
1.
visi alam yang baru itu adalah suatu yang terlalu hebat untuk
diungkapkan dengan kata-kata.
2.
visi ini menunjukan bahwa eksistensis itu di sifatkan sebagai
perpaduan yang tadak lansung.
3.
penemuan visi ini menghidupkan rasa yang bahagia.
4.
rasa bahagia ini bukan suatu kebetulan, tetapi ia adalah akibat
logis dari penyebab yang menyebabkannya:yaitu pencapaian kesatuan wujud, visi
ketakjuban akan merndahkan kepada pengalaman mistikal biasanya yang sering
diangap sebagai prasaan.
G.
TESIS V. Cara-cara mengetahui yang luar biasa itu, memerlukan
penyuburan (cultivation) atau penyemaian.
Apa yang penting dai realitas sains adalah perlunya kesunguhan
dalam dedikasi. Untuk menjadi ahli orang fisika, sekarang ini memerlukan waktu
yang lama. Tiori relativitas bisa dihapal beberapa menit, tetapa kajian
bertahun-tahun tetang teori ini, belum menjamin penguasaanya atas teori
tersebut. Sehinga kesunguhan didalam sains, menyerupai dedikasi para wali dan
orang yang bercinta:setelah mencapai kebersihan diri, maka pengalaman mistikal
menjadi mudah dan biasa.
H.
TESIS VI., Pengetahuan
mendalam memerlukan alat.
Baik sains maupun agama, keduanya memerlukan alat. Sains misalnya
memerlukan teleskop, kamera, spektroskop dan sebagainya. Mistik pun juga
mempunyai alat, yang terdiri dua macam. Untuk masyarakat yang buta huruf, ada
dan dikenal mitos,sedangkan bagi penduduk yang berperadapan maju, ada dan
dikenal kitab suci (sacred texs). Pada masyarakat yang tidak didatanga nabi, ia
bisa mencapai kebenaran dengan melalui kesadaran diri yang mendalam, karena
“sifat ketuhanan ada dalam diri manusia.” Kata huston smith,” hukum,
peraturan dan prinsip penghidupan yang diwahyukan adalah ibarat membongkar rahasia
langit, dan mengumumkan keagunggan Tuhan, tetapa didalam agama, alat-alat
khusus juga bisa dipaka’’[6].
I.
PLURALISME AGAMA-AGAMA
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna
yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan
pula:
1.
Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang
bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian
di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu
kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang
sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih.
Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam
agama-agama. Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untukekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan,
kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi dalam
satu agama. Dan sebagai sinonim untuktoleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara
berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda. Paham pluralisme
agama tantangan keras dari semua agama. Selain islam dan vatikan, di kalangan
kristen protestan di indonesia juga muncul penentang berat tentang paham ini[7].
2.
Islam dan Pluralisme agama
Ada satu fakta yang tidak dapat diingkari, bahwa terminologi
pluralisme atau dalam bahasa arabnya, “al-ta’addudiyyah”,tidaklah di kenal
secara populer dan tidak banyak dipakai di kalangan Islam kecuali sejak kurang
lebih dua dakade terakhir abad ke-20 yang lalu. Yaitu ketika terjadi
perkembangan penting dalam kebijakan internasional barat yang baru memasuku
sebuah fase yang dijuluki Muhammad ‘imrah sebagai “marhalat al-ijtiyah”(fase
pembinasaan) yakni sebuah perkembangan yang prisipnya tergurat dan tergambar
jelas dalam upaya barat yang habis-habisan guna menjajahkan ideologi modernnya
yang di anggap universal, seperti demokrasi, pluralisme, HAM dan pasar bebas,
dan mengekspornya untuk konsumsi luar dalam rangka mencapai
berbagai kepentingannya yang sangat beragam. Suatu kebijakan yang telah di
kemas atas dasar “superioritas” ras dan kultur barat, serta penghinaan terhadap
segala sesuatu yang bukan barat, Islam khususnya, dengan berbagai macam tuduhan
yang menyakitkan, seperti intoleran, anti-demokrasi, fundamentalis dan
sebagainya. Maka sebagai respons terhadap perkembangan politis baru ini,
masalah “pluralisme” mulai mencuat dann menjadi concern kalangan cerdik-cedekia
Islam, yang pada gilirannya menjadi komoditas paling laku di pasar pemikiran
Arab Islam kontempoler. Barangkali bukti yang paling nyata mengenai hal ini
adalah maraknya karya, tulisan dan kajian ilmiah yang mengupas topik ini dengan
volume yang terus naik dalam periode ini. Sebagai karya tersebut merupakan
kertas kerja yang di bentangkan dalam seminar dan konferensi khusus tentang
topik ini, sebagian lain artikel dalam priodikal (majalah dan jurnak
ilmiah),dan sebagian kecil lainnya bagian dalam buku-buku.
3.
Pemikiran pluralisme keagamaan dan teologi agama-agam
Pluralisme tidakk dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa
masyarakat kita majemuk, beranea ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama,
yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme
juga tidak boleh di pahami sekadar sebagai ‘kebaikan negatif’ (negatif good),
hanya di lihat dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep
fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati
kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of
diversities within the bonds of civility)[8]. Bahkan pluralisme mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang
di hasilkannya. Dalam kitap suci justru di sebutkan bahwa
Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama
manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan
tuhan yang melimpah kepada umat manusia. “seandainya Allah tidak mengimbangi
segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur;
namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.” (QS. Al –
Baqoroh : 251)[9]
Kutipan panjang pembuka di atas menegaskan adanya masalah besar
dalam kehidupn beragama yang ditandai oleh kenyataan pluralisme dewasa ini. Dan
salah satu masalah besar dari paham pluralisme yang telah menyulut perdebatan
abadi sepanjang masa menyangkut masalah keslamatan adalah bagaimana suatu
teologi dari suatu agama mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain
dalam bahasa john lyden, seorang ahli agama-agama, “apa yang seseorang pikirkan
mengenai agama lain di bandingkan agama sendiri ?”. sehingga berkaittan dengan
semakin berkembangnya pemahaman mengenai pluralisme dan toleransi agama-agama,
berkembanglah suatu paham “teologi agama-agama” yang menekankan semakin
pentingnya dewasa ini untuk dapat “berteologi daam konteks agama-agama,” untuk
suatu tujuan.
4.
Implikasi dan konsekuensi pluralisme agama
Perlu diakui bahwa pengkatagorian teori-teori pluralisme agama
hanya kedalam empat tren diatas tadi barangkali terkesan sedikit simplifikasi.
Sebab, pada kenyataannya fenomena pluralisme agama sangat kompleks dan tidak
sederhana yang kita bayangkan. Namun jika kita ingin benar-benar
membincangkannya dan mengkaji hakikatnya sebagai sebuah fenomena yang hidup di
alam nyata. Kemudian berusaha membedah, menganalisa dan menangkap
implikasi-implikasinya, dan kemudian menentukan sikap terhadapnya secara tepat
dan akurat. Maka merujuk kepada peta penyederhanaan realitas tidak saja absah
secara logis tapi juga urgen secara metodologis. Sebab tanpa bangunan pemikiran
semacam ini, yang terjadi hanyalah apa yang disebut William James “a
bloomin ‘buzzin’ confusion”, dimana tidak bisa di fahami kecuali
kebingungan (confusion) itu sendiri.
Jika kita perhatikan peta fenomena pluralisme agama (religious
pluralism) sebagaimana termanifestasi dalam tren-trennya yang dibentangkan
dalam bab terdahulu bahwa semua agama sama secara serius, seksama, kritis,dan
obyektif, maka kita akan segera dikagetkan dengan berbagai masalah dan isu
mendasar yang berimplikasi sangat berbahaya bagi manusia dan kehidupan
keagamaannya secara umum. Sebagian implikasi teori atau faham pluralisme ini
erat menyangkut isu-isu yang bersifat teoretis, epistemologis dan metodologis,
dan sebagian lagi erat menyangkut isu-isu HAM (hak-hak asasi manusia) khususnya
kebebasan beragama (religious freedom).
FOOTNOTE
[1] dr.k.h. didin hafidhuddin,M,Sc.“Islam aplikatif”
( jakarta gema insani. Th, 2003) hl 147-148.
[2] Fatimah, judul,”muslim-cristian relations in the new order
indonesia: the Exclusivits and Inclusivits muslim’ perspective”. Th 2004 hal.21
38
[3] Dalam bahasa teknisnya, simbol adalah suatu yang di ketahui
memeng lebih rendah dari pesan yang hendak disampaikan, dan orang peziarah tahu
bahwa simbol tidak hanya untuk simbol itu sendiri,tetapi juga di atas
segalanya, simbol itu perlu mendapatkan sebuah penglihatkan intuitif universal
yang gelap, lihat, abu bakar siraj-din, the book certianti,hal. 50-51.
[4] Frithjof shcuon, spiritual perspectives and the human facts.
Kehidupan ini adalah perjalanan suatu mimpi, (jakarta,parmadina, thn 2001)
hal.60-69.
[5] Kelanjutan pandangan David Bohm ini dapat dilihat di artikel
dalam buku ini “new age dan passing over”: zairah religus di tengah
pluralitas agama-agama, (jakarta, parmadina, thn 2001) hal.31-54.
[6] Huson Smith, forgetten trunh, the common vision of the
lorld’s religion,pada bab “the place of science,” (new york: Harper San
Francisco, 1992), h. 96-117.
[7] Dr. Stevri Indra lumintang,buku theologi abu-abu pluralisme
agama.malang ,Gandum perss,2004
[8] Munawar Budhy, Islam Pluralisme, pemikiran pluralisme
keagamaan dan teologi agama-agama (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 31.
[9] Nurcholish madjid,”masyarakat madani dan investasi
demokrasi: tantangan dan kemungkinan, republika10 Agustus 1999.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok........19
A.
Latarbelakang.
Ketika Islam masuk ke beberapa wilayah Nusantara, telah terdapat
berbagai budaya yang telah mapan. Di jawa misalnya, proses pembentukan budaya
telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang. Kemampuan budaya
tersebut mengakibatkan Islam sebagai pendatang baru haruslah bersentuhan dengan
budaya yang telah mapan. Akibatnya di sana-sini terjadilah proses saling
menerima dan mengambil, sehingga terbentuklah Islam tradisional, yaitu Islam
yang sudah bersentuhan dengan budaya local, dari tradisional itu pula kemudian
berkembang menjadi post tradisional
Pada tanggal 7-8 April 1994, Wheaton Theology Conference digelar
dengan tema yang segera menarik perhatian –“Christian Apologetics in the
Postmodern World: Strategies for the Local Church”. Sesuai dengan temanya,
konferensi ini berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan bagaimana gereja
menghadapi sebuah ‘budaya baru’ yang dikenal dengan sebutan postmodern.[1] Beragam strategi dirasakan perlu dikembangkan oleh gereja
untuk menghadapi ‘gerakan’ baru yang mulai mempengaruhi jaman ini. Namun
demikian, pembicaraan mengenai postmodern ini sesungguhnya belumlah merupakan
sesuatu yang dianggap penting –sedikitnya bagi masyarakat Indonesia.
Dengan perkembangan teknologi yang sedemikian canggih, masyarakat
saat ini masih merasa berada di era modern. Bahkan, mungkin sebagian besar
orang berpikir bahwa era modern adalah era terakhir sampai nanti kehidupan di
bumi berakhir. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Hidup bergulir, dunia
berputar; dan perkembangan teruslah menjadi proses yang tidak berujung. Saat
ini, disadari atau tidak, masa modern telah bergerak lebih jauh memasuki era
baru yang ditandai dengan perubahan paradigma di berbagai bidang kehidupan.
Berbicara mengenai pergeseran masa dari modern ke postmodern
sesungguhnya memang lebih tepat merupakan pembicaraan mengenai pergeseran
filsafat hidup modernisme ke postmodernisme. Modernisme dianggap dalam keadaan
sekarat –meskipun belum sepenuhnya kehilangan kekuatan— dan sedang dalam proses
digantikan oleh postmodernisme.[2]
B.
Tradisionalisme dan Posttradisionalisme.
1.
Tinjauan Tradisionalisme dan Posttradisionalisme.
Di bidang
pemikiran, Islam tradisional sebenarnya adalah suatu ajaran yang berpegang pada
Al-Qur’an, Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara keyakinan
telah dipraktekkan oleh komunitas Muslim (Ahlu al Sunnah wa al Jama’ah),
memegang dan mengembangkan ajaran fiqh scholastic madzhab empat. Sayyed Hossein
Nasr mencatat salah satu kriteria pola keagamaan tradisional adalah
digunakannya konsep silsilah; mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia
kaum tradisional untuk sampai pada sumber ajaran. Dalam bahasa Fazlur Rahman,
kelompok tradisional adalah mereka yang cenderung memahami syari’ah sebagaimana
yang telah dipraktekkan oleh ulama’ terdahulu.
Ketika istilah tradisional ini bersentuhan dengan tradisi Lokal
Indonesia maka Dalam konteks diskursus Islam Indonesia, tradisionalisme Islam
diidentifikasi sebagai paham yang,pertama, sangat
terikat dengan pemikiran Islam tradisional,
yaitu pemikiran Islam yang masih terikat kuat dengan pikiran ulama fiqih,
hadith, tasawuf, tafsir dan tauhid yang hidup antara
abad ke tujuh hingga abad ke tiga
belas[3] . Kedua, sebagian besar merekatinggal
di pedesaan dengan pesantren sebagai basis
pendidikannya. Pada mulanya mereka menjadi kelompok
eksklusif, cenderung mengabaikan masalah dunia karena keterlibatannya
dalam dunia sufisme dan tarekat bertahan
terhadap arus modernisasi dan arus pemikiran
santri kota, cenderung mempertahankan apa
yang mereka miliki dan ketundukan kepada
kyai yang hampir-hampir tanpa
batas. Ketiga, keterikatan terhadap paham Ahlu al-Sunnah
wa al-Jama‘ah yang dipahami secara khusus.
Dengan karakter demikian, tradisionalisme
Islam menjadi sasaran kritik gerakan modernisme
Islam[4] yang menolak sama sekali
produk-produk intelektual yang menjadi landasan
konstruksi tradisionalisme, sehingga–sampai tahapan
tertentu–tradisi pemikiran klasik ditinggalkan, dan
yang dominan adalah keterpesonaan terhadap
berbagai aliran pemikiran Barat. Tendensi kaum
modernis yang menolak produk dialektika
Islam dengan tradisi lokal belakangan ini mengalami titik jenuh yang
sebabnya antara lain karena sempitnya wahana intelektual yang
hanya berorientasi pada al-Qur’an dan Sunnah[5]serta irrelevansi yang semakin
nyata-kentara dengan kultur keislaman di Indonesia.
Dalam konteks demikian, pada
pertengahan tahun 1990-an berkembang wacana pemikiran
keislaman yang kembali menghargai khazanah pemikiran Islam klasik. Mula-mula
yang menjadi rujukan arus baru dinamika pemikiran keislaman ini adalah
pemikiran FazlurRahman[6] yang diidentifikasi sebagai neo-modernisme
Islam[7], yang berusaha mencari sintesis progresif
dari rasionalitas modernis dengan tradisi Islam
klasik.
Meskipun neomodernisme berusaha untuk
memadukan modernisme dengan tradisionalisme, namun–oleh
kalangan tertentu–dinilai gagal keluar dari
hegemoni modernisme dan menjadikan tradisionalisme sekadar
ornamen sejarah dan bukan spirit transformasi sosial.[8] Dalam konteks demikian, lahir genre
baru pemikiran Islam yakni post tradisionalisme
Islam[9]yang secara teoretik berusaha
menjadikan unsur tradisional tidak sekadar
sebagai ornamen sejarah dan menjadikan
tradisionalisme sebagai basis untuk melakukan
transformasi sosial.[10]
2.
Karakter Dasar Post Tradisionalisme Islam
Post-tradisionalisme Islam diakui sebagai tradisi pemikiran Islam
yang khas Indonesia, khususnya dalam komunitas
Nahdlatul Ulama (NU). Dalam konteks ini
dapat dinyatakan bahwa post-tradisionalisme merupakan
konstruk intelektualisme yang berpijak pada (dan
dari) kebudayaan lokal Indonesia, bukan tekanan dari luar (proyek “asing”) yang
berinterakasi secara terbuka dengan berbagai
jenis elemen masyarakat. Post-tradisionalisme
Islam tidak hanya mengakomodasi pemikiran liberal
dan radikal.[11]tetapi juga tradisi pemikiran
sosialis-Marxis, post-strukturalis, postmodernis,
gerakan feminisme, dan civil society. Secara
khusus disebutkan bahwa metodologi pemikiran dan politik post-tradisionalisme
Islam dikonstruksi melalui pemikiran Muhammad Abed
al-Jabiri. Hal ini menunjukkan bahwa
pemikiran al-Jabiri melalui proyek Naqd al-‘Aql al-‘Arabi mempunyai
posisi yang sangat penting, di samping tokoh-tokoh yang telah disebutkan.[12]
Satu hal yang perlu dicatat
bahwa gerakan intelektual post tradisionalisme
Islamberangkat dari kesadaran untuk melakukan
revitalisasi tradisi, yaitu sebuah upaya
untukmenjadikan tradisi (turath) sebagai basis untuk melakukan transformasi.
Dari sinilah komunitaspost-tradisionalisme Islam bertemu dengan pemikir Arab
modern seperti Muhammad Abed al-Jabiri dan Hassan
Hanafi yang mempunyai apresiasi tinggi atas
tradisi sebagai basistransformasi.[13]
Komunitas post-tradisionalisme Islam
mencoba untuk melihat tradisi secara kritis,historis,
dan objektif. [14] Dalam konteks demikian, wacana post-tradisionalisme Islam
sangatdipengaruhi oleh semangat perkembangan pemikiran
Arab modern yang diadopsi sebagaioptik untuk membaca tradisi
NU dan pemikiran Islam.[15]Dengan menggunakan optik tradisi sebagaimana telah diuraikan, maka
problem post-tradisionalisme Islam sebenarnya adalah
bagaimana melakukan pembaharuan pemikirankeagamaan
yang harus mengkritisi tradisi di satu
pihak, namun pada pihak lain memilikikebutuhan
untuk “tergantung” pada tradisi sebagai basis transformasi.
3.
Model Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif
Post-Tradisionalisme
Islam, bagi post-tradisionalisme diposisikan sebagai nilai yang
bersifat sakral-universal. Namun ketika nilai-nilai
Islam itu bersentuhan dengan realitas
sosial budaya, makaperwujudan nilai-nilai yang
kemudian menjadi institusi–suatu nilai yang
telah melembaga–tersebut menjadi bersifat
partikular-lokal-profan. Dengan pemahaman demikian,
post-tradisionalisme sesungguhnya telah melakukan “kritik nalar” terhadap
konstruksi pemahamankeislaman yang selama ini ada dan berkembang dominan dalam
kehidupan umat Islam.
Kesadaran demikian, oleh kalangan post-tradisionalisme, berusaha
untuk ditubuhkan(dikonkretisasi) melalui basis kurikulum pendidikan agama Islam
dalam konstruksi kurikulumyang sama sekali lain
(beda) dengan konstruksi pendidikan agama
Islam yang selama ini dikembangkan di lembaga-lembaga
pendidikan formal resmi selama ini. Perbedaan tersebut dapat
disimak pada konstruksi kurikulum yang
digagas oleh LKiS, P3M dan Desantara sebagai
eksponen utama post-tradisionalisme Islam.
Kritisisme mengandaikan dua hal sekaligus,
pertama, dekonstruksi, yaitu melakukan pemutusan
hubungan epistemologis terhadap segala otoritas
yang membentuk tradisi pengetahuan, dalam mana hal ini dilakukan
dengan merombak sistem relasi yang baku dan beku, menjadi
sistem relasi yang cair dan berubah-ubah,
dari yang mutlak menjadi relatif, dari ahistoris
menjadi historis, kedua, rekonstruksi yaitu sebuah pertanggungjawaban
untuk memberi sisi-sisi masuk akal (reasonable) dalam
segenap persoalan.18
Dalam konteksdekonstruksi dan rekonstruksi inilah, kesadaran
bahwa setiap tradisi adalah dibentuk (invented)dan distrukturkan (constructed)
menjadi relevan dan penting.
LKiS sejak tahun 1997 sampai
sekarang menyelenggarakan suatu program yang
diidentifikasi dengan “Belajar Bersama Islam
Transformatif dan Toleran.” Program ini merupakan
program pendidikan alternatif bagi kalangan
anak muda kritis sebagai salah upaya penguatan
civil society dengan mengembangkan wacana
kritisisme baik kepada teks keagamaan, tradisi dan sebagainya.
Dengan model belajar bersama ini, terbentuk suatu jaringan kaum
intelektual muda progresif yang menjadikan
gagasan dan wawasan Islam transformatif dan
toleran menjadi tersebar luas ke berbagai
daerah dan kampus-kampus.
Sedangkan P3M mengembangkan wacana
kerakyatan dengan menggunakan tradisi keagamaan
sebagai basis transformasinya. Tema-tema yang diangkat
misalnya fiqh al-nisa’,fiqh al-siyasah, Islam dan
demokrasi, h} alaqah ideologi-ideologi besar dunia,
demokrasi pesantren dan yang paling populer kini adalah program Islam
emansipatoris.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa agenda-agenda intelektual yangdirumuskan dalam silabus
pendidikan komunitas post-tradisionalisme Islam adalah “wacanasubversif
”, yang sangat diilhami oleh denyut
post-modernisme yang menolak adanya sentralisme (decentering)
dan segala bentuk hegemoni.22Dengan semangat “subversi akademik”dan kritik
nalar inilah, kalangan post-tradisionalisme melancarkan pembaruan
pemikirannyayang sangat menentukan terhadap konstruksi
dan muatan materi pendidikan agama Islam
yang meliputi pemaknaan baru Aswaja, Islam
dan politik kewarganegaraan, Islam dan feminisme,
dialog agama untuk keadilan, Islam dan budaya lokal serta pembaruan fikih dan
qawa‘id al-usul. 23
Pemaknaan baru Aswaja (Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah) dilakukan
melalui pembongkaran sisi metodologi berpikirnya (manhaj
al-fikr) setelah melalui penelusuran sejarah sehingga
ditemukan bahwa Aswaja merupakan manhaj al-fikr yang memegang prinsip moderat
(tawassut}),seimbang (tawa zun), dan berkeadilan (i‘tida l),
sehingga dapat mengantarkan pada
sikapkeberagamaan non ekstrem (ghayr al-tat}
arruf).24Tentang problem Islam dan politik
kewarganegaraan, post-tradisionalisme Islam ber usaha
melalukan penguatan danpemberdayaan civil society melalui penegasan
bahwa persoalan politik dipandang bukan sebagai masalah sekuler
melainkan merupakan salah satu persoalan
pokok agama (as}l min usul al-din), dan
bukan sebagai salah satu cabang fikih (far‘
min furu‘ al-fiqh).
Adapun tentang Islam dan feminisme,
post-tradisionalisme mengkritisi ajaran yangdipahami selama
ini. Dalam perspektifnya, agama sering kali dijadikan sebagai alasan dalam
proses subordinasi kaum perempuan dalam pelbagai segi kehidupan.
Penyifatan-penyifatan peyoratif terkadang dirujukkan kepada perempuan
oleh tafsir agama yang membentang dari persoalan seksualitas
sampai peran politik perempuan. 25Post-tradisionalisme
Islam menganggap doktrin dan tafsir agama semacam itu sangat merugikan dan
mendiskreditkanperempuan, dan karenanya, sangat bertentangan dengan semangat
dasar Islam yang mengakuikesetaraan dan persamaan antara laki-laki dan
perempuan. Karena itu, post-tradisionalismeIslam mengintrodusir
pentingnya dilakukan pembacaan ulang terhadap doktrin,
pemikirandan teks-teks keagamaan secara kritis.[16]
C.
Modernisme dan Post Modernisme .
1.
Modernisme.
Secara
etimologis modernTom Jacob mengartikan ‘modern’ sebagai: (1)
terbaru, mutakhir; (2) sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan
tuntutan zaman. Sedangkan menurut Kant menyebutnya sebagai, ’pencapaian
transendentalisasi jauh dari imanensi manusia. Sehingga manusia bisa mencapai
tingkat yang paling tinggi. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran
pengetahuan dan kebudayaan modern.[17]
Di era ini rasio dipandang sebagai kekuatan yang dimiliki oleh
manusia untuk memahami realitas, untuk membangun ilmu pengetahuan dan
teknologi, moralitas, dan estetika. Pendek kata, rasio dipandang sebagai
kekuatan tunggal yang menentukan segala-galanya.
Pengakuan atas kekuatan rasio dalam segenap aktivitas manusia, berarti pengakuan atas harkat dan martabat manusia. Manusia dengan rasionya, --tentu saja sebagai subjek; pemberi bentuk dan warna pada realitas-- adalah penentu arah perkembangan sejarah. Kenyataannya, modernisme adalah salah satu bentuk dari humanisme. Narasi-narasi besar modernisme yang berasal dari kapitalisme, eksistensialisme, liberalisme, idealisme, tidak bisa lain membuktikan hal itu.[18]
Pengakuan atas kekuatan rasio dalam segenap aktivitas manusia, berarti pengakuan atas harkat dan martabat manusia. Manusia dengan rasionya, --tentu saja sebagai subjek; pemberi bentuk dan warna pada realitas-- adalah penentu arah perkembangan sejarah. Kenyataannya, modernisme adalah salah satu bentuk dari humanisme. Narasi-narasi besar modernisme yang berasal dari kapitalisme, eksistensialisme, liberalisme, idealisme, tidak bisa lain membuktikan hal itu.[18]
Modernisme juga bisa diartikan sebagai semangat untuk mencari dan
menemukan kebenaran asasi, kebenaran esensial, dan kebenaran universial. Rasio
manusia dianggapa mampu menyelami kenyataan faktual untuk menemukan hukum-hukum
atau dasar-dasar yang esensial dan universal dari kenyataan.
2.
Modernisme Dalam Islam
Islam modernis timbul diperiode sejarah Islam yang disebut modern
dan mempunyai tujuan untuk membawa umat Islam kepada kemajuan. Sebagai halnya
di Barat, di dunia Islam gerakan Islam modernis timbul dalam rangka
menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang
ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan jalan
demikian pemimpin-pemimpin Islam modern mengharapkan akan dapat melepaskan umat
Islam dari suasana kemunduran, untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.[19]
Islam modernis juga timbul sebagai respon tehadap berbagai
keterbelakangan yang dialami oleh umat Islam, seperti keterbelakangan dalam
bidang ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik dan lain
sebagainya. Keadaan seperti ini dinilai tidak sejalan dengan Islam sebagaimana
terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah. Dalam kedua sumber ajaran tersebut,
Islam digambarkan sebagai agama yang membawa kepada kemajuan dalam segala
bidang, untuk tercipta kemaslahatan umat. Namun dalam kenyataannya umat Islam
tidak memperlihatkan sikapnya yang sejalan dengan al-Quran dan al-Sunnah itu.
Jika demikian adanya, maka diduga terdapat kekeliruan dan kesalahan dalam
memahami al-Quran dan al-Sunnah tersebut, serta adanya faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kekeliruan tersebut.[20]
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa latar belakang
timbulnya Islam modernis adalah sebagai respon kepedulian terhadap upaya
mengatasi berbagai keterbelakangan umat Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan
terlebih dahulu mencari sebab-sebab kemunduran dan keterbelakangan tersebut,
seperti karena meninggalkan al-Quran dan al-Sunnah, lemahnya persaudaraan,
pertikaian politik, sikap pasrah atau jumud serta karena mengikuti bidah,
khurafat dan takhayyul. Dengan demikian inti dari munculnya Islam modernis adalah
perlunya dibuka kembali pintu ijtihad. Dengan cara demikian, ajaran Islam tidak
hanya responsip terhadap berbagai masalah aktual yang muncul ditengah-tengah
masyarakat, juga akan terjadi reinterpretasi terhadap al-Quran dan al-Sunnah,
revitalisasi terhadap posisi umat Islam, dan reformulasi terhadap berbagai
produk pemikiran ulama masa lalu.[21]
3.
Islam modernis di Indonesia
Islam modernis di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak awal abad
kedua puluh. Pada tahun 1906 misalnya muncul apa yang disebut kelompok muda di
Sumatera Barat, tepatnya di Minangkabau. Mereka itu adalah Haji Abdul Karim
Amrullah (Haji Rasul), Haji Abdullah Ahmad, dan Syaikh Daud Rasyidi. Kelompok
ini mendapat tantangan keras dari kelompok tua yang terdiri dari Syaikh Khatib
Ali, Khatib Sayyidina, Syaikh Bayang, Syaikh Seberang, Imam Masjid Ganting, dan
Syaikh Abbas. Kelompok Islam modernis yang terdiri dari kaum ulama dan cendikiawan
tersebut sering melakukan protes terhadap struktur kekuasaan adat yang tidak
memberikan tempat kepada mereka.
Selanjutnya paham Islam modernis dikembangkan dan dimasyarakatkan
lebih sungguh-sungguh oleh Harun Nasution melalui Institute Agama Islam Negeri
(IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, lembaga di mana yang bersangkutan sebagai
dosen dan orang nomor satu, yakni sebagai Rektor dari sejak tahun 1971 sampai
dengan tahun 1985. Melalui karya-karyanya beliau berusaha menjelaskan apa yang
dimaksud dengan Islam modernis, apa tujuan serta programnya dan sebagainya.
Pemikiran Harun Nasution ini banyak diikuti oleh para mahasiswa di IAIN Jakarta
dan perguruan tinggi lainnya, tempat di mana ia mengabdikan ilmunya. Alumni
IAIN Jakarta seperti Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Atho Mudzhar, Hadi Mulyo,
Mansur Faqih, Azyumardi Azra, Saeful Muzani, Abuddin Nata, Sudirman Teba dan
lainnya adalah murid-murid beliau yang hingga kini tetap komitmen dan
mensosialisasikan paham Islam modernis tersebut.
Pemikiran Islam modernis lebih lanjut dikembangkan dan
dimasyarakatkan dengan penuh agresivitas oleh Nurcholish Madjid melalui
berbagai karyanya. Dalam berbagai karyanya itu Nurcholish Madjid mengatakan
bahwa bagi seorang muslim modernisasi adalah suatu keharusan-bahkan suatu kewajiban
mutlak. Modernisasi adalah perintah dan ajaran Tuhan.
Ide-ide Islam modernis selanjutnya diperkenalkan oleh Mukti Ali,
Deliar Noer dan Munawir Sjadzali. Dalam bukunya yang berjudulIslam Dan
Sekularisme Di Turki Modern, danAlam Pikiran Islam Modern Di India Dan
Pakistan, Mukti Ali dengan panjang lebar membahas pemikiran Islam modernis dari
tokoh-tokoh Turki seperti Ziya Gokalp (lahir 1875M) dan Kemal Attaturk; dan
tokoh dari India dan Pakistan seperti Sayyid Ahmad Khan, Hali, Mohsinul Mulk,
Viqarul Mulk, Syibli, Sayyid Amir Ali, Abul Kalam Azad, Maulana Muhammad Ali,
Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, Liaquat Ali Khan, dan Maulana Sayid Abul Ala
al-Maududi. Menurut Ziya Gokalp, bahwa Islam sejalan dengan peradaban modern,
sekalipun banyak dari orang-orang yang sekurun zaman dengan dia mempunyai
pendapat yang berbeda
4.
Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia
Modernisasi yang mengandung pikiran, aliran, gerakan, dan usaha
untuk mengubah paham,adat istiadat, instituisi lama dan sebagainya, agar semua
itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang timbul
oleh tujuan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. Modernisasi atau
pembaruan juga berarti proses pergeseran sikap dan mentalitas mental sebagai
warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masyarakat kini.[22] Modernisasi merupakan proses penyesuaian pedidikan Islam
dengan kemajuan zaman.
Latar belakang danPola-pola pembaharuan dalam Islam, khususnya
dalam pendidikan mengambil tempat sebagai : 1) golongan yang berorentasi pada
pola pendidikan modern barat, 2) gerakan pembaharuan pendidikan Islam yang
berorentasi pada sumber Islam yang murni dan 3) pembaharuan pendidikan yang berorentasi
pada nasionalisme.[23]
Modernisasi pendidikan Islam Indonesia masa awalnya dikenalkan oleh
bangsa kolonial Belanda pada awal abad ke-19.[24] Program yang dilaksanakan oleh kolonial Belanda dengan
mendirikan Volkshoolen, sekolah rakyat, atau sekolah desa ( Nagari) dengan
masa belajar selama 3 tahun, di beberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa
1870-an. Pada tahun 1871 terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa
sekitar 16.606 orang; dan menjelang 1892 meningkat menjadi 515 sekolah dengan
sekitar 52.685 murid.
Point penting eksprimen Belanda dengan sekolah nagari terhadap
system dan kelembagaan pendidikan Islam adalah tranformasi sebagian surau di
Mingkabau menjadi sekolah nagari model Belanda. Memang berbeda dengan
masyarakat muslim jawa umumnya memberikan respon yang dingin, banyak kalangan
masyrakat muslim Minangkabau memberikan respon yang cukup baik terhadap sekolah
desa. Perbedaan respon masyarakat Muslim Minangkabau dan jawa banyak berkaitan
dengan watak cultural yang relatif berbeda, selain itu juga berkaitan dengan
pengalaman histories yang relatif berbeda baik dalam proses dan perkembangan
Islamisasi maupun dalam berhadapan dengan kekuasaan Belanda.
Selain itu perubahan atau modernisasi pendidikan Islam datang dari
kaum reformis atau modernis Muslim. Gerakan reformis Muslim yang menemukan
momentumnya sejal abad 20 berpendapat, diperlukan reformasi system pendidikan
Islam untuk mempu menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen.
Respon system pendidikan Islam tradisional seperti suaru (
Minangkabau) dan Pesantren ( Jawa) terhadap modernisasi pendidikan Islam
menurut Karel Steenbrink dalam kontek surau tradisional menyebutnya
sebagai menolak dan mencontoh, dalam kontek pesantren sebagai menolak
sambil mengikuti. Untuk itu , tak bisa lain dalam pandangan mereka , surau harus
mengadopsi pula beberapa unsure pendidikan modern yang telah diterapkan oleh
kaum reformis, khususnya system klasikal dan penjejangan, tanpa
mengubah secara signifikan isi pendidikan surau itu sendiri.
Selain respon yang diberikan oleh pesantren di jawa, komunitas
pesantren menolak asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat
tertentu mereka pasti mengikuti langka kaum reformis . karena memiliki manfaat
bagi para santri, seperti system penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas dan
system klasikal. Pesantern yang mengikuti jejak kaum reformis adalah pesanteren
Mambahul ‘ulum di Surakarta, dan di ikuti oleh pesantren Modern Gontor di
Ponorogo. Pondok tersebut memasukan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam
kurikulumnya, juga mendorong santrinya untuk memperlajari bahasa Inggris selain
bahasa Arab dan melaksanakan sejumlahkegiatan ekstra kurikuler seperti
olah raga, kesenian dan sebagainya.
Sistem Pendidikan Islam pada mulanya diadakan di surau-surau dengan
tidak berkelas-kelas dan tiada pula memakai bangku, meja, dan papan tulis,
hanya duduk bersela saja. Kemudian mulialah perubahan sedikit demi sedikit
sampai sekarang. Pendidikan Islam yang mula-mula berkelas dan memakai bangku,
meja dan papan tulis, ialah Sekolah Adabiah ( Adabiah School) di Padang.[25]
Adabiah School merupakan madrasah (sekolah agama) yang pertama di
Minangkabau, bahkan diseluruh Indonesia. Madrasah Adabiah didirikan oleh
Almarhum Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Adabiah hidup sebagai madrasah
sampai tahun 1914, kemudian diubah menjadi H.I.S. Adabiah pada tahun 1915 di
Minangkabau yang pertama memasukkan pelajaran Agama dalam rencana pelajarannya.
Sekarang Adabiah telah menjadi sekolah Rakyat dan SMP.
Setelah berdirinya madrasah Adabiah, maka selanjutnya diikuti
madrasah lainnya seperti madras Schol di Sungyang ( daerah Batusangkar) oleh
Syekh M.Thaib tahun 1910 M, Diniah School ( madrasah diniah) oleh Zainuddin
Labai Al-Junusi di Padangpanjang tahun 1915.[26]
Sumatra Thawalib memberikan pengajaran baik di bidang keagamaan
maupun bidang-bidang lain yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan modern.[27]Sementara di Jawa, Muhammadiyah adalah yang pertama mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan bergaya modern. Hingga perkembangannya pada 1925, Muhammadiyah
telah memiliki 14 madrasah, 8 HIS, sebuah sekolah guru di Yogyakarta dan 32
sekolah dasar 5 tahun[28]
Di antara guru Agama banyak juga mengarang kitab-kitab untuk
madrasah ialah 1)H. Jalaluddin Thaib, seperti kitab jenjang bahasa arab 1-2,
Tingkatan bahasa arab 1-2, Tafsir Al-Munir 1-2, ( 2) Anku Mudo Abdul hamid
Hakim, seperti kitab: Al-Mu’in Al-Mubin 1-5, As-Sullam, Al-Bayan Tahzibul akhlaq,
( 3) Abdur-Rahim Al-Manafi seperti kitab : Mahadi ‘ilmu Nahu, Mahadi ilmu
Sharaf, Al-Tashil, Lubahul Fighi, Al-Huda, Asasul adab.[29]
Ulama-ulama yang mengadakan perubahan dalam pendidikan Islam di
Minangkabau adalah
1.
syekh Muhd. Thaib Umar
Sungayang, batu sangkar tahun 1874-1920 M.
2.
Syekh H.Abdullah Ahmad, Padang tahun 1878 M-1933M,
3.
Syekh H. Abdul karim
Amrullah, Maninjau 1879-1945 M, 4) Syekh H.M. Jamil Jambek bukittinggi
1860-1947, 5) dan lain-lain.[30]
Surau –surau yang termashur di Minangkabau adalah sebagai berikut ;
1) Surau Tanjung Sungyang didirikan oleh Syekh H.M Thaib Umar pada tahun 1897 M
dan masih hidup sampai sekarang dengan nama Al-Hidayah dan SMPI, PGA., 2) Surau
Parabek, bukittinggi didirikan oleh Syekh H. Ibrahim Musa pada tahun 1908 M.
dan masih hidup sampai sekarang dengan nama Thawalib, 3) Surau padang Japang
didirikan oleh Syekh H. Abbas Abdullah pada tahun … dan masih hidup sampai
sekarang dengan nama Darul funun Abbasiah, 4) dan lain-lain54.
Tentang keadaan pendidikan Islam di Minangkabau pada masa beberapa
tahun sebelum tahun 1900. dilukiskan dalam skema pendidikan Islam.Dari
perkembangan di awal abad ke-20, penting ditegaskan, madrasah tampak telah mengalami
beberapa perubahan penting di banding masa sebelumnya. Di sini, seperti
terlihat dari beberapa contoh di atas, madrasah telah berkembang menjadi satu
lembaga pendidikan dengan ciri-ciri yang dikenal kini. Model madrasah ini
didirikan sebagai bagian dari upaya umat untuk mengadopsi sistem pendidikan
modern yang diperkenalkan kolonial, dan pada saat yang sama karena
ketidakpuasan terhadap lembaga pendidikan nasional yang telah berdiri
sebelumnya. Oleh karena itu, gagasan modernisasi dan kemajuan merupakan bagian
inheren dari perkembangan madrasah saat itu. Madrasah merupakan salah satu
perwujudan hasrat muslim untuk melangkah pada dunia baru yang disebut dengan
alam kemajuan. [31]
D.
POST MODERNISME
postmodernisme disebut sebagai sebuah
gerakan pencerahan atas pencerahan, oleh karena postmodernisme
sangat gigih dalam melakukan kritikan dan gugatan terhadap
modernisme yang sangat mendewakan rasio
dalam ilmu pengetahuan yang diyakini akan membawa dan mengarahkan manusia
memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dalam kehidupannya. Namun, yang
terjadi adalah sebaliknya, yakni manusia bukan lagi sebagai subjek dan pelaku
untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi jatuh
terperangkap ke dalam objek dan sasaran yang dikendalikan oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Amat tragis dan ironis manusia modernis,
Postmodernisme selaku sebuah fase sejarah ingin secara tuntas mengantisipasi
dan membebaskan manusia dari segala bentuk
cengkeraman zaman yang tak menyenangkan
inklusif perbudakan terhadap rasionalitas, bendawi
dan lain-lain.[32]
Jika dalam visi modernisme, penalaran (reason) dipercaya sebagai
sumber utama ilmu pengetahuan yang menghasilkan kebenaran-kebenaran universal,
maka dalam visi postmodernisme hal itu justru dipandang sebagai alat dominasi,
sehingga postmodernisme menyadari bahwa seluruh budaya modernisme yang
bersumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi pada titik tertentu tidak mampu
menjelaskan kriteria dan ukuran epistemologi bahwa yang ‘benar’ itu adalah yang
real, dan yang real benar itu adalah ‘rasional’. Meskipun postmodernisme
sendiri juga berusaha menggiring manusia ke dalam sebuah paradoks, yaitu di
satu pihak telah membuka cakrawala dunia yang serba plural yang kaya warna,
kaya nuansa, kaya citra, tetapi di lain pihak, ia menjelma menjadi sebuah dunia
yang seakan–akan tanpa terkendali.[33]
Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif,
kenyataan (realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak
bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam
bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri. Hal ini senada
dengan definisi dari dikenal sebagai nabi dari postmedernisme. Dia adalah suara
pionir yang menentang rasionalitas, moralitas tradisional, objektivitas, dan
pemikiran-pemikiran Kristen pada umumnya. Nietzsche sche berkata, “Ada banyak
macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu ada banyak macam
kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.” [34]
Menurut Romo Tom Jacob, kata ‘postmodern’ setidaknya memiliki dua
arti: (1) dapat menjadi nama untuk reaksi terhadap modernisme, yang dipandang
kurang human, dan mau kembali kepada situasi pra-modernisme dan sering
ditemukan dalam fundamentalisme; (2) suatu perlawanan terhadap yang lampau yang
harus diganti dengan sesuatu yang serba baru dan tidak jarang menjurus ke arah
sekularisme.
1.
Prinsip Postmodernisme
Prinsip postmodernisme adalah meleburnya batas wilayah dan
pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya rendah, antara penampilan dan
kenyataan, antara simbol dan realitas, antara universal dan peripheral dan
segala oposisi biner lainnya yang selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial
dan filsafat konvensional[35]. Jadi
postmodern secara umum adalah proses dediferensiasi dan munculnya
peleburan di segala bidang.[36] Postmodernisme
merupakan intensifikasi (perluasan konsep) yang dinamis, yang
merupakan upaya terus menerus untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan
revolusi kehidupan, yang menentang dan tidak percaya pada segala bentuk narasi
besar (meta naratif), dan penolakannya terhadap filsafat metafisis, filsafat
sejarah, dan segala bentuk pemikiran totalitas, dan lain-lain. Postmodern dalam
bidang filsafat diartikan juga segala bentuk refleksi kritis atas
paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya dan berusaha untuk menemukan
bentuknya yang kontemporer.
2.
Pengaruh Postmodernisme Dalam Pendidikan
Berdasarkan ciri menonjol postmodernisme, maka dapat dilacak dimana
letak keterpengaruhan gerakan ini terhadap paradigma pendidikan. Pendidikan
pada saat sekarang tidak lagi dipahami sebagai peneguhan proses transformasi
pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah (pendidikan formal).
Guru dengan demikian tidak lagi dipandang sebagai ‘dewa’ dengan segala
kemampuannya untuk melakukan proses pencerdasan masyarakat. Gudang ilmu
mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat pada guru. Ruang pendidikan tidak
lagi harus berada pada ruang-ruang sempit, yang bernama sekolah, melainkan juga
harus dimainkan oleh masyarakat, entah itu melalui pendidikan alternatif maupun
melalui pendidikan luar sekolah.[37] mengatakan
bahwa proses pendidikan akan memperoleh keuntungan dari upaya membebaskan
masyarakat yang cendrung mendewakan sekolah, dengan demikian kegiatan sekolah
tidak lebih hanya sebagai pengkhianatan terhadap upaya pencerahan budi.
Postmodernisme yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta
deferensiasi adalah bukti betapa pendidikan harus disebarkan melalui
kerja-kerja yang tidak harus dibebankan pada sekolah. Apalagi, realitas
membuktikan betapa sekolah justru seringkali memainkan peran dogmatis dan
dominannya dalam melakukan transfer of value (transformasi nilai)
serta transfer of knowledge (transformasi pengetahuan). Peran guru,
bahkan juga institusi sekolah seringkali menampilkan diri dalam batas-batasnya
sebagai pembelenggu kreativitas anak didik, anak didik disekolah sering
diperlakukan oleh guru tak ubah sebagai bejana kosong yang siap diisi tanpa
boleh dibantah, pendidikan seperti ini yang dikritik oleh Freire sebagai model
pendidikan “gaya bank” (banking system) .[38] Sementara
pola Sistem Kredit Semester (SKS) bahkan juga ujian akhir nasional (UAN)
sebagai ukuran terakhir kemampuan anak didik adalah representasi bagi
‘penindasan’ yang dilakukan institusi-institusi tersebut terhadap pengembangan
kreativitas anak didik. Beban pelajaran yang sedemikian berat,
meminimilisasikan kemampuan anak didik untuk ‘melakukan’ eksperimentasi’
berdasarkan kemampuannya secara profesional, karena disibukkan dengan
beban-beban yang cukup membelenggu.
Selama ini, pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan
kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran
seringkali diarahkan pada penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal dalam
perspektif postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami degradasi,
krisis moral, krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi iptek dengan
penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah mendatangkan
persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat modern.
Rasio manusia an sich tidak lagi diharapkan dapat
memberikan jawaban atas berbagai problem yang muncul dalam masyarakat modern,
sehingga proses pendidikan hanya diarahkan pada kepentingan rasio atau nalar
rasionalitas justru akan mendatangkan bencana kemanusiaan. Padahal sejak awal
diyakini bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai alat untuk memanusiakan
manusia. [39]Pengangkatan
harkat dan martabat kemanusian tidak hanya dapat dimainkan oleh nalar rasio
semata, tetapi harus integratif antara nalar rasional dan nalar spiritual.
Dalam konteks ini tidak berlebihan bila dalam konsep pendidikan
nasional pengembangan kemampuan anak didik juga diarahkan pada tiga kemampuan
dasar yaitu kognitif, afektif serta psikomotorik.[40] Ketidakmampuan
mengembangkan ketiga ranah tersebut akan melahirkan out
put pendidikan yang timpang. Itulah sebabnya, proses pendidikan harus
dijalankan untuk memainkan ketiga ranah tersebut agar tetap berjalan. Kritik
postmodernisme atas situasi masyarakat modern sebenarnya juga merupakan kritik
atas proses pendidikan yang hanya mengedepankan satu aspek dari keseluruhan
nilai yang dimiliki manusia.
Dalam kondisi yang demikian postmodernisme tampil memberikan
berbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan. Kritik
mendasar postmodernisme terhadap modernisme telah memunculkan berbagai
tema-tema penting seperti paralogy atau pluralisme [41],deferensiasi atau desentralisasi,
dekontsruksi atau kritik dasar atas sebuah tatanan, relativisme, dan
sebagainya. Tema-tema inilah yang sesungguhnya memberikan peluang baru bagi
munculnya model (paradigma) pendidikan yang perlu diselenggarakan oleh negara
ataupun masyarakat Indonesia.
FOOTNOTE
[1] Timothy R. Philips and Dennis L. Okholm, eds. Christian
Apologetics in the Postmodern World (Downers Grove: InterVarsity, 1995) h,
11.
[2] Kalvin Surya, “Mengenal Postmodernisme dan Pengaruhnya
bagi Kekristenan,” dalam [http://www.lrii.or.id/Artikel%200christian5.html]
1998.
[3] Kaum tradisionalis lebih senang mengikuti pendapat
ulama-ulama besar di masa silam daripada mengambil
kesimpulan sendiri berdasar al-Qur’an dan hadith. Lihat
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang
Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982), 1.
[4] Modernisme dalam bahasa Arab sering diistilahkan dengan
tajdid yang artinya pembaruan. Dalam konteks gerakan,
kata pembaruan mengacu pada gerakan pemurnian yang berlangsung
sebelum abad ke-19. Sedangkan modernisme
digunakan untuk menjelaskan gerakan
pembaruan yang muncul sejak abad ke-19
yang bertujuan untuk
menyesuaikan ajaran Islam dengan pemikiran modern. Dengan
demikian, gerakan modernisme Islam dapat
dipahami sebagai gerakan yang muncul pada periode sejarah Islam
modern dengan mengadaptasi ajaran Islam
kepada pemikiran dan kelembagaan modern. Di Indonesia, modernisme
Islam berawal dari pembaruan pemikiran
keagamaan (teologi), kelembagaan atau institusi, aspek sosial,
pendidikan dan politik. Lihat Nia Kurnia dan
Amelia Fauzia, “Gerakan Modernisme,” dalam ed. Taufik Abdullah et
al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Asia
Tenggara), jil. 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003),
349-350. Dalam bahasa Fazlur Rahman, gerakan pemikiran
keagamaan modernisme ini disebut dengan istilah modernisme Islam
klasik
[5] Azyumardi Azra menyebutkan bahwa titik jenuh itu terjadi
karena mengalami keterputusan intelektual karena
membuang khazanah intelektual yang muncul pada periode taqlid.
Khazanah intelektual kaum modernis–dalam
pandangan Azra-terbatas pada generasi sahabat (salaf
al-salih}), melompat ke (sedikit) Ibn Taymiyah, kemudian
mengadopsi pemikiran pembaru mulai abad ke-17 seperti Shah Wali
Allah, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab,
Jamal al-Din al-Afghani, Muh}ammad
‘Abduh dan Rashid Rida. Lihat Azyumardi
Azra, “Mengkaji Ulang
Modernisme Muhammadiyah,” Kompas, 9 Nopember 1990.
[6] Dalam perspektif Fazlur Rahman, meskipun semangat modernisme
klasik telah benar, namun mereka setidaknya
memiliki dua kelemahan mendasar. Pertama, tidak mengurai secara
tuntas metode yang secara semi implisit
terletak dalam menangani masalah-masalah khusus dan implikasi
prinsip-prinsip dasarnya. Kedua, tidak dapat
dihindari mereka mengesankan sebagai
agen westernisasi. Lihat Rumadi, Post
Tradisionalisme Islam: Wacana
Intelektualisme dalam Komunitas NU (Jakarta: Ditjen Diktis, 2007),
14.
[7] Bahasan lebih jauh mengenai neo-modernisme Islam periksa
Fazlur Rahman, Neo-Modernisme Islam: Metode dan
Alternatif, ed. Taufik Adnan Amal (Bandung: Mizan, 1989). Lihat
juga Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di
Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan
Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, terj.
Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999).
[8] Rumadi, Post Tradisionalisme, 15
[9] Dalam diskursus akademik, istilah post tradisionalisme ini
dipandang tidak lazim, karena belum dijumpai dalam
kamus, juga belum ada ilmuwan yang menggunakan istilah ini. Bahkan
menurut Khamami Zada, justru lahir di
Indonesia, yang disuarakan oleh gerakan kritis generasi muda dari
kalangan Islam tradisional. Periksa Khamami
Zada, “Mencari Wajah Post Tradisionalisme Islam”, Tashwirul Afkar,
No. 9 (2000), 2-5.
[10] ost-Tradisionalisme Islam ini,
sebagaimana diidentifikasi dalam disertasi
Rumadi, tumbuh subur pada
pemahaman keagamaan generasi muda kritis kalangan Nahdlatul Ulama
(NU), yang pada satu sisi berusaha agar
akses mereka terhadap dinamika kehidupan modern terbuka lebar,
namun pada sisi lain, mereka tetap berobsesi
untuk tidak tercerabut pada dinamika akar tradisionalitasny
[11] Seperti pemikiran Hassan Hanafi, Mahmoud Mohammed
Thaha, Abdullahi Ahmed al-Na’im, Arkoun, Nasr
Hamid Abu Zayd, Mohammed Syahrour dan Khalil Abd al-Karim.
[12] Terdapat argumentasi yang dapat digunakan untuk
mempertanggungjawabkan hal ini: Pertama-tama Muhammad
Abid al-Jabiri dikenal dengan proyek metodologis “Kritik Nalar
Arab”-nya. Ada dua hal yang ditawarkan proyek
kritik tersebut: kritik nalar epistemologis dan kritik nalar
politik. Kritik nalar epistemologis disebut juga “nalar
spekulatif ”, mengambil bentuk arkeologi yang meneliti persoalan
cara-cara dan mekanis mereproduksi pengetahuan
yang berlaku di kalangan umat Islam hingga kini. Yang ditelaah
misalnya bagaimana us}u> l al-fiqh membentuk pola
pikir umat Islam dengan metodologi qiya>s-nya (analogi) yang
cenderung mengarah pada sakralisasi, bukan hanya
pada soal hukum-hukum agama, tapi juga dalam segenap spektrum
kebudayaan manusia, mulai dari bahasa,
sastra, teologi, filsafat, hingga politik (misalnya kalau
berbicara tentang sosialisme yang “Islami”). Sementara
kritik nalar politik, yang dikenal dalam kategori “nalar praktis”,
menekankan sebuah praksis, dengan fokus kritik
kepada cara-cara berkuasa dan menguasai. Yang dibedah misalnya
adalah persoalan keterkaitan munculnya disiplin
siyasah shar‘iyyah atau fiqh al-siyasah dengan
strategi militeristik kekuasaan khalifah untuk
menundukkan
masyarakatnya”. Ahmad Baso, “Pengantar penerjemah: Post
Tradisionalisme sebagai Kritik Islam, Kontribusi
Metodologis Kritik Nalar Muhammed Abed al-Jabiri,” dalam Muhammad
Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme
Islam (Yogyakarta: LKiS, 2000), 33
[13] Abdurrahman, Moeslim, Semarak Islam Semarak Demokrasi? Cet
I. (Pustaka
Firdaus: Jakarta, 1996), h. 67
[14] Atas dasar itu mereka selalu menaruh curiga atas berbagai
narasi besar, baik yang diproduksi melalui tradisi,
ideologi, maupun teks suci. Bagi komunitas ini, narasi besar hanya
ingin melakukan monopoli atas kebenaran.
Ideologi-ideologi besar dunia, bahkam juga tafsir
dominan atas agama sebenarnya juga ingin memonopoli
kebenaran. Atas dasar itu, mereka menolak segala bentuk
penunggalan itu, karena “penunggalan” tidak akan
mampu menyelesaikan persoalan. Sampai di sini, catatan Marzuki
Wahid atas “Manifesto Perang Kebudayaan”
Kaum Muda NU 2015 di Malang 2001 sangat menarik untuk disimak.
Dalam dokumen tersebut, disebutkan
target gerakan kaum muda NU antara lain: 1) rebut kepemimpinan
moral dan intelektual di segala lini gerakan
kemasyarakatan, 2) konsisten di
jalur politik ekstra parlementer berbasis
multikulturalisme dengan tetap
menghormati “orang lain” sebagai warga negara, lengkap dengan
tradisi dan kebudayaannya sendiri, dan 3)
menyiapkan secara serius paradigma economical society dan
membangun basis ekonomi mandiri demi penciptaan
civil society. Lihat Marzuki Wahid, “Post-Tradisionalisme Islam,”
17
[15] Mereka tidak segan-segan mengkritik tradisinya, bahkan
doktrin keagamaan yang selama ini diterima secara taken
for granted. Doktrin teologi Aswaja yang bertahun-tahun mulai
mereka pertanyakan, baik doktrinnya itu sendiri
maupun kemampuan dan relevansinya dengan perkembangan zaman,
sehingga digagas teologi kemanusiaan
yang lebih transformatif. Dalam bidang fikih mereka juga menggagas
kontekstualisasi fikih dan kitab kuning,
sehingga melahirkan fikih rakyat, fikih perburuan, fikih ijtima
yah (sosial), fikih politik yang berorientasi rakyat, dan
sebagainya.
[16] Alisyahbana, Iskandar (ed), Perubahan, Pembaharuan dari
Kesadaran Menghadapi
Abad XXI, (Dian Rakyat : Jakarta:, 1988), h. 76
[17] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era
Postmodernisme, Cet. I, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta
, 1995,) h. 89
[18] Ibid,
[19] A. Rahman Getteng, Pendidikan Islam
dalam Pembangunan, (Ujungpandang:
Yayasan al Ahkam, 1977), h. 91
[20] Ibid,
[21] Ibid
[22] Azyurmadi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milinium Baru, Jakarta : Logos 1990,h. 121
[23] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada periode
klasik dan Pertengahan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, h.88
[24] Azyumardi, Ibid, h. 198
[25] Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta : Hidakarya Agung, 1984), Hal 63
[26] Mahmud Yunus,Ibid hal 50
[27] Deliar Noor, Gerakan…, h. 50-58. Untuk pembahasan
komprehensif tentang kasus Sumatera Thawalib, lihat Burhanuddin Daya, Gerakan
Pembaharuan Pemikiran Islam : Kasus Sumatra Thawalib (Yogyakarta : Tiara
Wacana, 1990).
[28] Deliar Noor, Gerakan…, h. 84-95. Lebih jelasnya lihat
Alfian, “Islamic Modernism in Indonesian Politics : The Muhammadiyah during the
Colonial Period”, Ph. D. Thesis, University of Wisconsin, Madison, 1969
[29] Mahmud Yunus, Ibid,hal 67
[30] Ibid,hal 59
[31] Mahmud Yunus, Ibid,hal 50
[32] Norris, Christopher Membongkar teori dekonstruksi
Jaques Derrida, Terjemahan. Inyiak Ridwan Muzir.( Ar-Ruzz:
Yogyakarta, 2003), h. 344
[33] Pilliang, Amir Yasraf, Posrealitas: Realitas kebudayaan
dalam era posmetafisika.Jalasutra: Yogyakarta, 2004) h. 358
[34] Pauline Marie Roesnou, Post-modernism and the social
science: Insights inroads, and intrusions.Rinceton University Press: Priceton,
1992), h. 31
[37] Illich Ivan,. Bebaskan masyarakat dari belenggu
sekolah. Terjemahan, Sonny Keraf. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003).
H-33-34
[38] Paulo Freire, politik pendidikan: kebudayaan,
kekuasaan dan pembebasan, Agung Prihantoro dan Fuad Arif
Fudiyartanto, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2002), h. 28
[39] Mulyasa, E.. Kurikulum berbasis kompetensi konsep,
karakteristik, dan implementasi.Rosdakarya: Bandung 2003) h. 7
[40] Paul Suparnol, “Relevansi dan reorintasi pendidikan di
Indonesia”, dalam, Basis, No. 01-02 Tahun ke 50, Januari-Februari,
2001, h. 43
[41] Santoso, Listiyono, “Postmodernisme: Kritik Atas
Epistemologi Modern, dalam, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz,
2003) h. 331
Tidak ada komentar:
Posting Komentar