Selasa, 24 April 2018

Study Islam Bagian III (Tiga)


LIBERALISME & MODERNISME
A.    Liberalisme.
1.      Pengertian Liberalisme.
Liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau kalau kita lihat dengan perspektif filosofis, merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya adalah manusia yang bebas. Bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Liberalisme adalah paham pemikiran yang optimistis tentang manusia. Prinsip-prinsip liberalisme adalah kebebasan dan tanggung jawab. Tanpa adanya sikap tanggung jawab tatanan masyarakat liberal tak akan pernah terwujud.[1]
Liberalisme merupakan masalah kebebasan berpikir yang sebenarnya merupakan isu klasik dalam sejarah pemikiran islam. Isu itu mula-mula telah dilontarkan oleh Nabi saw sendiri, ketika mewawancarai Mu’adz ibn Jabal, ketika ia akan diangkat menjadi Gubernur Yaman. Bahkan juga telah muncul ketika Nabi melihat bahwa kata-katanya disalahpahami oleh seorang petani kurma di Madinah. Riwayat yang terakhir itu melahirkan adagium yang sangat terkenal “antum a’lamu bi umuri dunyaku”, engkau lebih tahu tentang masalah duniamu. Sedangkan riwayat pertama melahirkan konsep ijtihad, yang paling banyak diikuti oleh khalifah kedua Umar bin Khatab dalam memimpin negara melalui ijtihad-ijtihad, sehingga lahir konsep mengenai fiqih Umar bin Khatab yang dinilai banyak ahli menyimpang dari ajaran wahyu tetapi mengandung asas manfaat dan keadilan.[2]
Dalam liberalisme, penegakan hukum adalah sesuatu yang fundamental. Pengekangan atas tatanan publik dan keamanan adalah bertentangan dengan kebebasan, seperti yang dikatakan John Locke: : Berakhirnya fungsi agama bukan dengan cara melenyapkan atau menahan orang-orang yang dinilai melanggar, tetapi dengan cara melestarikan dan memperluas kebebasan”.[3]
Menurut John Locke, negara didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. Bukan untuk menciptakan kesamaan, atau untuk mengontrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, melainkan justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Dengan milik (property) dimaksud tidak hanya barang milik (estate), melainkan juga kehidupan (live) dan hak-hak kebebasan (liberties). Inilah hak-hak tak terasingkan (inalienable rights) dan negara justru didirikan demi untuk melindungi hak-hak asasi itu.[4]
Banyak hal yang terkait dengan liberalisme, namun dalam pandangan islam, sebaiknya dalam kebebasan yang diusung oleh suatu keliberalismean harus sejalan dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam kitab suci Al-Quran dan Hadis. Bebas bukan berarti harus melakukan apa yang kita inginkan meskipun tanpa menganggu hak orang lain, namun sebagi seorang yang beragama, maka seharusnya kebebasan itu tidak melanggar atas apa yang disyariatkan.
2.      Ciri-ciri Pemikiran Liberalisme
a.      adanya kebebasan dalam berpikir yang kemudian di tuangkan dengan tindakan yang tidak mengganggu atas kebebasan pihak lain.
b.      Kebebasan berpikir juga mengacu pada ketoleransian dalam agama, suku, dan ras.
c.       Tidak mengambil agama dalam dasar pemikiran.
d.      Segala tindak dan tanduk didasarkan pada logika saja selama tidak menggangu hak orang lain untuk mendapatkan ketenangan.
B.     Pluralisme.
1.      Pengertian Pluralisme
Menurut Nurcholish Madjid, mengungkapkan tanggapannya tentang pluralisme dalam buku yang dikutip oleh Budhy Munawar-Rachman mengatakan bahwa, Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai “kebaikan negative” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”  (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia.[5]
Masalah yang seringkali terjadi dalam pluralisme adalah keagaaman. Kegamaan menjadi hal yang sangat sakral dan sensitif bagi seluruh umat beragama diseluruh dunia tak terkecuai di Indonesia yang merupakan salah satu negara yang memiliki penduduk mayoritas muslim dan memiliki banyak keragaman budaya, agama, dan juga suku. Namun, tak jarang masing-masing individu memiliki keegoan tersendiri khususnya dalam beragama. Ketika masalah budaya dan suku dalam pluralisme tidak begitu menjadi polemik, lain halnya ketika kita berbicara tentang pluralisme dalam hal keagamaan. Hal inilah yang selalu menjadi polemik tatkala masing-masing pihak memiliki emosi keagamaan yang tinggi. Tidak dapat dipungkiri bahwa kita masih terikat oleh suatu kesakralan dalam beragama, mentaati, dan menjauhi apa yang telah diperintahkan oleh Allah.
Sakralitas merupakan pengakuan adanya yang kudus, serta hormat kepada sesuatu yang kudus, yang mengatasi kehidupan kita. Spiritualitas adalah sikap menganut setiap agama terhadap dirinya sendiri berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan agamanya, sementara moralitas adalah sikap seorang individu terhadap orang lain dan tanggung jawabnya terhadap keselamatan dan kesempurnaan orang lain.[6]
Sumber ajaran umat islam merupakan Al-Quran dan Hadis yang didalamnya telah tertera perintah dan larangan, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dijauhi. Ketika segolongan umat islam memiliki pendapat dalam masalah pluralitas beragaman yang masing-masing memiliki ayat yang memperbolehkan dan tidak terhadap kepluralitasan, apakah setuju dan tidak setuju akan kepluralitasan kita dalam menilai keberagaman agama karena kesetujuan dan ketidak setujuan terhadap hal tersebut memiliki pandangan yang berbeda oleh sebagian umat islam baik dari kalangan ulama maupun masyarakat biasa.
Perkembangan kehidupan yang sangat cepat akhir-akhir ini dengan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi, telah menimbulkan suatu pertanyaan yang cukup mendasar berkenaan dengan kedudukan fungsi agama. Kehidupan modern telah menunjukan bahwa sejarah hidup umat manusia dapat berjalan tanpa “campur tangan” agama.[7]
Sejalan dengan itu, umat beragama seringkali menimbulkan persoalan-persoalan itu terkait erat dengan paham keagamaan, tradisi, keluasan wawasan dan sebagainya yang tumbuh bersama atau yang disebabkan oleh keberagaman masing-masing individu.[8]
Dengan demikian, seharusnyalah orang menghilangkan penggambaran pengikut agama lain sebagai musuh untuk dapat hidup dalam kemajemukan secara harmonis. Ini memang tidak mudah. Pengakuan yang jujur akan memungkinkan “kesalahan” (disamping kebenaran yang biasanya diklaim adanya pada diri sendiri) dalam konsepsi sendiri dan kemungkinan “kebenaran” pada orang lain, sudah barang tentu diperlukan juga.[9]
2.      Ciri-ciri Pemikiran Pluralisme.
a.       Adanya sikap netral terhadap perbedaan ras, suku, dan agama.
b.      Menjalin suatu kerjasama yang baik.
C.     Modernisme.
1.      Pengertian modernisme.
Modernisme adalah paham yang terkait dengan kemajuan berpikir seseorang dengan menghasilkan sesuatu yang baru sesuai dengan perubahan dari masa lampau menuju ke masa modern atau masa yang lebih maju. Pemikiran yang maju ada bernilai positif dan juga negatif. Modernisme dapat bernilai positif apabila ditempatkan pada tempat yang tepat. Misalnya, ketika pemikiran yang modern tersebut digunakan dalam ilmu pengetahuan dengan membuat sebuah penemuan baru berupa handphone yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat. Namu, ketika pemikiran yang modern tersebut tidak ditempatkan pada tempat yang tepat, maka itu dapat menyesatkan sehingga menimbulkan problematika persoalan. Misalnya, pemikiran modern yang mencoba mengubah sebagian ayat Al-Quran demi menyetaraan dengan zaman yang baru. Hal tersebut pernah menjadi problematika di Indonesia oleh seluruh umat muslim yang tidak setuju dan ditentang keras atas adanya pembaruan atau perubahan tersebut yang akan dilakukan oleh beberapa pihak yang tergabung dalam suatu organisasi.
     Sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam. [10]Jadi, modern harus sesuai dengan logika, dapat dijelaskan dengan cara-cara yang ilmiah, dan harus sesuai dengan adanya hukum yang berlaku di alam.
Dalam islam, modern pasti ada dengan kemajuan dan perubahan zaman yang sangat cepat, segala yang baru muncul dan berdatangan dimana yang pada zaman Rasulullah tidak ada namun pada zaman sekarang telah ada. Hukum dan peraturan yang ada yang telah ditetapkan dalam Al-Quran untuk mengatur seluruh kehidupan manusia dibumi tidak akan pernah dapat diperbarui atau dirubah seperti yang telah terjadi pada kitab-kitab agama lain, karena kitab Al-Quran selalu seiring dengan keadaan-keadaan zaman dari waktu. Namun demikian, kemodern yang kita kenal pada masa sekarang dalam islam kita kenal dengan istilah ijtihad. Ijtihad adalah istilah yang sangat terkenal, karena istilah tersebut merupakan istilah yang berarti mengacu pada penggalian terhadap hukum suatu benda, apakah benda tersebut diperbolehkan atau justru malah diharamkan ketika digunakan atau dikonsumsi.
Ketika kita berbicara mengenai modernisme, maka ada beberapa istilah yang erat kaitannya dengan modernisme yaitu neo-modernisme.
Perbedaan mendasar antara kaum “modernis” dan “neo-modernis” terletak pada perhatiannya dalam tradisi. Kaum “neo-modernis” berusaha membangun visi islam di masa modern, dengan sama sekali tidak meninggalkan tradisi (warisan) intelektual islam itu sendiri sedangkan kaum “modernis lama” lebih banyak bersifat apologetik terhadap gagasan modernitas. Tentang hal ini, Nurcholish sangat menekankan pentingnya tradisi dalam kebangkitan islam Indonesia yang modern, seperti katanya “diperlukan kesadaran akan kekayaan tradisi, sekaligus kemampuan untu senantiasa membuat inovasi...(dalam) ruang Indonesia dan zaman modern”.[11]
2.       Ciri-ciri pemikiran modernisme.
a.       Selalu bersifat pembaharuan dengan penemuan-penemuan yang baru.
b.      Adanya hal-hal baru yang ingin diperbarui baik dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan lain-lain.
FOOTNOTE
[1] Budhy Munawar-Rachman. Argumen Islam Untuk Liberalisme. Jakarta. Grasindo. 2010. Hal. 3.
[2] Budhy Munawar-Rachman. Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Jakarta. Grasindo. 2010. Hal. 36
[3] Budhy Munawar-Rachman. Argumen Islam Untuk Liberalisme. Jakarta. Grasindo. 2010. Hal. 4
[4] Frans Magnis Suseno. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 1999. Hal. 221.
[5] Budhy Munawar-Rachman. Islam Pluralis. Jakarta. Srigunting. 2001. Hal. 39.
[6] Dr. Suprianto, dkk. Studi Islam Kontemporer. Kendari. Membumi Publishing. 2010. Hal. 159.
[7] Ibid. Hal. 161
[8] Ibid. Hal. 161
[9] Ibid. Hal. 163
[10] Nurcholish Madjid. Islam Kemodernan dan keindonesiaan. Bandung. Mizan. 2008. Hal. 180.
[11] Budhy Munawar-Rachman. Islam Pluralis. Jakarta. Srigunting. 2001. Hal. 356.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......17
GERAKAN FUNDAMENTALISME ISLAM
A.    Pengertian dan Makna Istilah Fundamentalisme Islam.
Istilah fundamentalisme muncul pertama kali di kalangan agama Kristen di Amerika Serikat. Isilah ini pada dasarnya merupakan istilah Inggris kuno kalangan Protestan yang secara khusus diterapkan kepada orang-orang yang berpandangan bahwa al-Kitab harus diterima dan ditafsirkan secara harfiah ( William Montgomery W., 1997: 3 ).
Di kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan kata “fundamental” sebagai kata sifat yang memberikan pengertian “bersifat dasar (pokok); mendasar”, diambil dari kata “fundament” yang berarti dasar, asas, alas, fondasi, ( Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990:245 ). Dengan demikian fundamentalisme dapat diartikan dengan paham yang berusaha untuk memperjuangkan atau menerapkan apa yang dianggap mendasar.
Istilah fundamentalisme pada mulanya juga digunakan untuk menyebut penganut Katholik yang menolak modernitas dan mempertahankan ajaran ortodoksi agamanya, saat ini juga digunakan oleh penganut agama-agama lainnya yang memiliki kemiripan, sehingga ada juga fundamentalisme Islam, Hindu, dan juga Buddha.
Sejalan dengan itu, pada perkembangan selanjutnya penggunaan istilah fundamentalisme menimbulkan suatu citra tertentu, misalnya ekstrimisme, fanatisme, atau bahkan terorisme dalam mewujudkan atau mempertahankan keyakinan agamanya. Mereka yang disebut kaum fundamentalis sering disebut tidak rasional, tidak moderat, dan cenderung melakukan tindakan kekerasan jika perlu.
Berbagai pendapat dari para cendekiawan bermunculan terkait dengan istilah fundamentalisme, salah satunya pendapat M. Said al-Ashmawi. Beliau berpendapat bahwa fundamentalisme sebenarnya tidak selalu berkonotasi negatif, sejauh gerakan itu bersifat tasional dan spiritual, dalam arti memahami ajaran agama berdasarkan semangat dan konteksnya, sebagaimana ditunjukkan oleh fundamentalisme spiritualis rasionalis yang dibedakan dengan fundamentalisme aktifis politis yang memperjuangkan Islam sebagai entitas politik dan tidak menekankan pembaharuan pemikiran agama yang autentik ( M. Said al Asymawi, 2004:120 ).
B.     Lahirnya Gerakan Islam Fundamentalis
Secara historis, istilah fundamentalisme muncul pertama dan populer di kalangan tradisi Barat-Kristen. Namun demikian, bukan berarti dalam Islam tidak dijumpai istilah atau tindakan yang mirip dengan fundamentalisme yang ada di barat.
Pelacakan historis gerakan fundamentalisme awal dalam Islam bisa dirujukkan kepada gerakan Khawarij, sedangkan representasi gerakan fundamentalisme kontemporer bisa dialamatkan kepada gerakan Wahabi Arab Saudi dan Revolusi Islam Iran ( Azyumardi Azra, 1996:107 ).
Secara makro, faktor yang melatarbelakangi lahirnya gerakan fundamentalis adalah situasi politik baik tingkat domestik maupun di tingkat internasional. Ini dapat dibuktikan dengan munculnya gerakan fundamentalis pada masa akhir khalifah Ali bin Abi Thalib, di mana situasi dan kondisi sosial politik tidak kondusif. Pada masa khalifah Ali, perang saudara berkecamuk hebat antara kelompok Ali dan Muawiyah karena masalah pembunuhan Utsman.
Dalam keadaan runyam, Khawarij yang awalnya masuk golongan Ali membelot dan muncul secara independen ke permukaan sejarah klasik Islam. Dengan latar belakang kekecewaan mendalam atas roman ganas dua kelompok yang berseteru, mereka berpendapat bahwa Ali dan Muawiyah kafir dan halal darahnya. Kemudian Ali mereka bunuh, sedangkan Muawiyah masih tetap hidup. (as-Syahrustani,t.t.:131-137)
Begitu juga dengan gerakan muslim fundamentalis Indonesia, lebih banyak dipengaruhi oleh instabilitas sosial politik. Pada akhir pemerintahan Soeharto, Indonesia mengalami krisis multidimensi yang cukup akut. Bidang ekonomi, sosial, politik, dan moral semuanya parah. Sehingga masyarakat resah dan kepercayaan kepada pemerintah dan sistemnya menghilang. Hal ini dirasakan pula oleh golongan muslim fundamentalis. Setelah reformasi, kebebasan kelompok terbuka lebar dan mereka keluar dari persembunyian. Mendirikan kubu-kubu dan mengkampanyekan penerapan syariat sebagai solusi krisis. Dari latar belakang ini, tidak heran jika banyak tudingan yang mengatakan bahwa gerakan fundamentalisme Islam merupakan bagian dari politisasi Islam.
C.     Empat Mazhab Besar Fundamentalisme Islam di Indonesia
1.      Mazhab Ikhwanul Muslimin
Ikhwanul Muslimin ini menganut ideologi Abduh dan Rasyid Ridha tapi dalam versi yang lebih ekstrim. Penganut mazhab Abduh di Indonesia dalam versi yang lebih soft adalah Muhammadiyah. Maka dari itu mereka agak dekat dengan Muhammadiyah. Dan para mantan DI/TII rata-rata masuk Muhammadiyah. Di Indonesia sendiri aliran ini bermetamorfosis menjadi PKS, KAMMI, dan sejenisnya dan menjadi kelompok fundamentalis terkuat di Indonesia.
Kalau merunut sejarahnya, organisasi ini merupakan salah satu sempalan Negara Islam Indonesia (NII). NII merupakan kelanjutan DI/TII yang kelahirannya di-backing-i Ali Moertopo c.s. Organisasi ini terlihat cukup soft misal jarang melakukan kekerasan fisik, tapi mereka melakukan kekerasan dalam wacana. Dari segi penampilan untuk pria biasa saja tapi rata-rata berjenggot sementara perempuannya berjubah dan berjilbab model lebar dan panjang.
Politik mereka cukup mahir, tapi sebagaimana kelompok radikal lainnya mereka sangat eksklusif dan menjadikan politik identitas seperti penampilan, baju maupun bahasa yang dicampur dengan kosakata bahasa Arab sebagai identitas untuk membedakan dan memisahkan mereka dengan ”yang lain”.  Walaupun terlihat kurang begitu menakutkan tapi sebagaimana kelompok radikal lain mereka sangat tidak mampu bertoleransi. Maka dari itu, di jangka panjang mereka akan sangat berbahaya jauh berbahaya dari “preman” macam Front Pembela Islam (FPI). Basis utama mereka adalah Bogor sehingga IPB bisa dikatakan menjadi kampus yang dikuasai mereka.
2.      Mazhab Salafi atau Wahabi
Mereka ini cukup rasis, nyaris semua pucuk pimpinannya selalu orang Arab/ keturunan Arab yang didukung oleh sejumlah dalil mengenai keutamaan Arab. Laskar Jihad dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) adalah bagian dari mereka, juga teroris bom Bali, Abu Bakar Ba’asyir, Ja’far Umar Thalib, Abdullah Sungkar dan lain-lain adalah orang Arab. Kelompok inilah yang paling radikal.
Kekhususan mereka adalah mereka golongan Arab masaikh. Kebanyakan dari mereka mengikuti jalur al-Irsyad. Mereka memliki dua golongan besar berdasar mazhab ulama acuannya, yaitu kelompok Saudi dan kelompok Kuwait. Walaupun radikal dan berbahaya, kelompok ini sebenarnya cukup lemah karena mereka terlalu radikal sehingga suka berkelahi sendiri. Misal, tradisi mubahallah atau saling melaknat atas nama Allah seringkali dijadikan solusi bagi mereka untuk menyelesaikan perbedaan pendapat/ paham. Dan kebiasaan inilah yang seringkali memicu mereka terpecah jadi fraksi-fraksi kecil. Basis utama mereka di daerah Solo dimana mereka mendirikan banyak pesantren di sana.
3.      Mazhab Hizbut Tahrir
Mazhab Hizbut Tahrir ini merupakan kelompok underground. Mereka menginginkan khilafah tapi menolak menempuh jalur politik. Konsep ideologi mereka lebih condong soft dengan dasar pemikiran adalah “mengislamkan” masyarakat umum di mana bila tercapai maka khilafah akan terbentuk dengan sendirinya.  Kelompok kami tidak punya data cukup memadai tentang kelompok ini dan jalurnya dengan organisasi di Indonesia.
4.      Mazhab Habib
Habib, Sayyed, Syarif adalah julukan/ gelar bagi Klan Keturunan Nabi. Mereka sangat rasis, misal perempuan dari golongan ini dilarang menikah dengan non Sayyid jika tidak maka mereka akan dibunuh.  Kelompok formal tertua golongan ini adalah Jamiat Kheir. FPI merupakan bagian dari golongan ini. Doktrin utama kelompok-kelompok ini sama, yaitu klaim kebenaran tunggal. Secara mazhab mereka sebenarnya lebih dekat dengan paham khawarij, paham ekstrim Islam yang pertama kali muncul dalam sejarah, walaupun mereka mengaku pengikut Ahlus Sunnah.
Contoh paling mudah adalah dengan melihat wacana fiqh mereka. Dalam kitab-kitab fiqh standart kaum Aswaja, semua pendapat mereka akan dianggap sebagai pendapat pribadi, misal ”berdasar pendapat ulama mazhab syafi’i”, atau ”berdasar pendapat Imam Hanafi dst”, sedangkan di kalangan kelompok ekstrim ini dari yang paling soft sampai paling ekstrim memiliki kecondongan mengklaim pendapatnya sebagai pendapat Islam , atau kehendak Allah dst. Klaim fiqh mereka  selalu didahului kata-kata ”menurut Islam ….”, ”berdasarkan ajaran Islam…” dst, dan kelompok mazhab yang gemar menggunakan klaim seperti ini adalah golongan Khawarij. Ini mungkin tidak terlalu bermasalah bila dilihat sekilas tapi klaim seperti inilah yang paling berpengaruh untuk membawa seseorang menjadi ekstrim.
Kesamaan lain adalah mereka condong menganjurkan bahkan mewajibkan perkawinan ”dalam” bagi anggotanya. Alasannya biasanya tidak sefikrah untuk menolak perkawinan luar kelompok. Semakin radikal semakin ketat mereka mengatur nikah ini. Pernikahan anggotanya melalui perjodohan yang diatur imam kecil mereka yang diistilahkan murrabi, mursyid, syaikh, dll.
Di tanah air terdapat beberapa contoh gerakan yang dikategorikan sebagai fundamentalis. Diantaranya adalah Jamaah Darul Arqam,  Jamaah Tabligh, Jamaah Tarbiah, Front Pembela Islam, Forum Komunikasi Ahlusunnah Wal Jamaah, serta Laskar Jihad.
D.    Karakteristik Islam Fundamentalis
Dari sekelumit paparan deskriptif historis kemunculan fundamentalisme Islam, dapat dinyatakan bahwa memang ada beberapa karakter / ciri khas yang bisa dilekatkan kepada kaum fundamentalis. Karakteristik fundamentalisme secara umum adalah skriptualisme, yaitu keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan dan dianggap tanpa kesalahan. Dengan keyakinan itu, dikembangkanlah gagasan dasar yang menyatakan bahwa suatu agama tertentu dipegang secara kokoh dalam bentuk literal dan bulat tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi, dan pengurangan (Azyumardi Azra, 1993: 18-19).
Dalam beberapa kelompok Islam, di dalamnya terdapat karakteristik gerakan Islam fundamentalis, diantaranya :
1.      mereka cenderung melakukan interpretasi literal terhadap teks-teks suci agama dan menolak pemahaman kontekstual atas teks agama karena pemahaman seperti itu dianggap mereduksi kesucian agama. Kaum fundamentalis  mengklaim kebenaran tunggal. Menurut mereka, kebenaran hanya ada di dalam teks dan tidak ada kebenaran di luar teks bahkan kebenaran hanya ada pada pemahaman mereka terhadap apa yang dianggap sebagai prinsip-prinsip agama. Mereka tidak memberi ruang kepada pemahaman dan penafsiran selain mereka. Sikap yang demikian ini adalah sikap otoriter.
2.      mereka menolak pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalis, pluralism merupakan produk yang keliru dari pemahaman terhadap teks suci. Pemahaman dan sikap yang tidak selaras dengan pandangan kaum fndamentalis merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, yang terutama muncul tidak hanya karena intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama.
3.      mereka memonopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum fundamentalis cenderung menganggap dirinya sebagai penafsir yang paling benar sehingga memandang sesat aliran yang tidak sepaham dengan mereka. Di dalam  khasanah Islam perbedaan tafsir merupakan suatu yang biasa, sehingga dikenal banyak mazhab. 4 mahzab terbesar di Indonesia adalah Ikhwanul Muslimin, Salafi atau Wahabi, Hizbut Tahrir, dan Habib. Sikap keagamaan yang seperti ini berpotensi untuk melahirkan kekerasan. Dengan dalih atas nama agama, atas nama membela Islam, atas nama Tuhan mereka melakukan tindakan kekerasan, pengrusakan, penganiayaan, dan bahkan sampai pembunuhan.
4.      setiap gerakan fundamentalisme hampir selalu dapat dihubungkan dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme, dan militanisme. Kaum fundamentalisme selalu mengambil bentuk perlawanan yang sering bersifat radikal teradap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama.
Beberapa karakteristik lain dari gerakan fundamentalisme Islam, yaitu :
1.   Mempunyai prinsip interpretasi ajaran agama yang berbeda atau berseberangan dengan tradisi yang berlaku. Kemudian secara aktif, kelompok ini akan bergerak untuk memperjuangkan hasil penafsirannya tersebut dengan pelbagai cara; dari kritik persuasif hingga tindakan tegas yang menjurus anarkhisme. Pada titik inilah fundamentalisme kerap dipersepsikan sebagai gerakan negatif.
2.   Lazimnya kelompok ini memiliki perilaku yang eksklusif, tertutup, dan mencurigai kelompok lain. Kendati dalam sebuah kesempatan bisa sangat terbuka untuk berdialog dengan kelompok lain tetapi tujuannya sekadar membantah argumentasi mereka.
3.   Berkat keyakinan akan kebenaran pemahamannya tentang ajaran agama, kelompok fundamentalis selalu aktif menyebarkan pahamnya, agresif dalam merekrut pengikut baru, dan sebagainya.
4.   Keyakinan akan perlunya upaya yang sungguh-sungguh (jihad) dalam mencapai keselamatan hidup baik di dunia ataupun di akhirat menjadikan kelompok fundamentalis senantiasa giat dan militan melakukan segala aktifitasnya.
E.     Fundamentalisme Islam di Indonesia
Munculnya gerakan keagamaan yang berkarakter fundamentalis merupakan fenomena penting yang turut mewarnai citra Islam kontemporer di Indonesia. Istilah Islam fundamentalis sebagai sebuah kesatuan dari berbagai fenomena sosial keagamaan kelompok-kelompok muslim merupakan hal yang demikian kompleks. Islam fundamentalis tidak sepenuhnya mampu mendiskripsikan fenomena yang beragam atas gerakan-gerakan keagamaan yang muncul di Indonesia.
Berdasarkan karakteristik yang menjadi platform gerakan fundamentalis yang tekah dipaparkan di depan, di Indonesia terdapat beberapa kelompok yang diasumsikan sebagai kelompok Islam fundamentalis di antaranya adalah Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum Komunikasi Ahlusunnah Wal Jamaah (FKAWJ), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Laskar Jihad ( Jamhari, 2004:10 ).
Secara umum dapat diidentifikasi landasan ideologis yang dijumpai dalam gerakan-gerakan tersebut :
1.      konsep Din wa Daulah (agama dan negara). Dalam konsep ini Islam dipahami sebagai sistem hidup total, yang secara universal dapat diterapkan pada semua keadaan, waktu, dan tempat. Pemisahan antara agama dan negara tidak dapat diterima oleh kelompok fundamentalis, sehingga agama dan negara dipahami secara integralistik.
2.      kembali pada al-Quran dan sunnah. Dalam konsep ini umat Islam diperintahkan untuk kembali kepada akar-akar Islam awal dan praktik nabi yang puritan dalam mencari keaslian (otentitas) dan pembaruan. Jika umat Islam tidak kembali ke ‘jalan yang benar’ dari para pendahulu mereka maka mereka niscaya tidak akan selamat. Kembali kepada al-Quran dan Sunnah dipahami secara skriptual dan totalistik.
3.      puritanisme dan keadilan sosial. Nilai-nilai budaya barat ditolak karena dianggap sesuatu yang asing bagi Islam. Media massa diupayakan untuk menyebarkan nilai praktik Islam yang otentik dari pada menyebar pengaruh budaya asing yang sekuler. Hal ini mensyaratkan penegakan keadilan sosial ekonomi sehingga doktrin tentang zakat sangat ditekankan sehingga mampu memajukan kesejahteraan sosial dan mampu memperbaiki kesenjangan kelas di kalangan umat.
4.      berpegang teguh pada kedaulatan syariat Islam. Tujuan utama umat Islam adalah menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi ini. Tujuan ini bias dicapai dengan membangun tatanan Islam yang memposisikan syariat sebagai undang-undang tertinggi. Dari pemahaman ini maka agenda formalisasi syariat Islam menjadi entry point bagi terbentuknya negara Islam sehingga syariat Islam benar-benar dapat diperlakukan dalam hukum positif, baik hukum perdata maupun jinayat.
5.      menempatkan jihad sebagai instrumen gerakan. Umat Islam diperintahkan untuk membangun masyarakat ideal sebagaimana telah digariskan dan sesuai dengan syariat Islam. Oleh sebab itu diperlukan adanya upaya menghancurkan kehidupan jahiliyah dan menaklukkan kekuasaan-kekuasaan duniawi melalui jihad atau perang suci.
6.      perlawanan terhadap Barat yang hagemonik dan menentang keterlibatan mendalam dari pihak Barat untuk urusan dalam negeri negara-negara Islam. Mereka merasa harus mendeklarasikan perlawanan terhadap Barat karena umat Islam sudah diperlakukan dengan tidak adil, baik secara politik, ekonomi, maupun budaya.
Ideologi-ideologi itulah yang menyatukan gerakan-gerakan Islam di berbagai negara termasuk Indonesia. Yang membedakan di antara mereka barangkali terletak pada bentuk artikulasi gerakan. Dalam hal ini mereka tergantung pada problem yang dihadapi di negara masing-masing. Di Indonesia sendiri, antara Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, dan Front Pembela Islam memiliki kesamaan ideologi, namun cara menterjemahkan ideologi dan praktik gerakannya satu sama lain berbeda-beda.
F.      Kekeliruan dalam Memahami Fundamentalisme Islam
Diskursus fundamentalisme mulai marak sekitar tahun 70-an akhir dan 80-an awal. Masyarakat Islam Iran, pada ketika itu, mengejutkan dunia dengan gerakan revolusinya yang berhasil menumbangkan Syah Reza Pahlevi. Bersamaan dengan itu pula, Ikhwanul Muslimin Mesir menjadi kekuatan baru bagi masyarakat dan pemerintah Mesir. Pola-pola gerakan Islam terus menggelinding bagai bola salju sampai sekarang dalam berbagai bentuk. Dan saat ini, dunia menyaksikan pola gerakan terorisme, sebagai bentuk gerakan paling mutakhir fundamentalisme Islam.
Maraknya terorisme dan radikalisme yang berasal dari fundamentalisme Islam membuat banyak kalangan ketakutan atas memudarnya citra Islam yang baik, damai, dan mengayomi semua ummat manusia. Lalu dibikinlah sebuah teori, bahwa fundamentalisme Islam tidak ada hubungannya dengan Islam itu sendiri; fundamentalisme Islam adalah fenomena baru yang muncul di abad 19 atau 18; fundamentalisme hanyalah semacam reaksi terhadap tatanan kehidupan yang lebih global saat ini.
Makna fundamentalis Islam bukan berarti seseorang sebagai teroris dan anti-Amerika Serikat (AS), tetapi Muslim yang bersedia melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Quran dan Sunnah Nabi secara konsisten. Melaksanakan nilai Islam mulai dari dasar secara konsisten sehingga pandangan bahwa Islam menakutkan tidak benar, justru ajaran Islam bersikap toleran dan membawa rahmat bagi umat manusia dan seluruh alam ( Ahmad Sumargono, 2000 ).
G.    Sikap Terhadap Kelompok Fundamentalis
Dilihat dari substansinya, Nampak bahwa pandangan, sikap, dan keyakinan keagamaan kaum fundamentalis tidak keluar dari Islam. Mereka termasuk muslim dan mukmin yang taat, bahkan dapat dikatakan bahwa mereka berpegang teguh pada ajaran Islam dan ingin memperjuangkannya dengan segala upaya dan kemampuan yang dimiliki agar ajaran Islam yang mereka pahami benar-benar dapat dilaksanakan oleh seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Dengan demikian kehadiran fundamentalisme tidak mesti direspon secara searah dan dengan pandangan negatif.
Di manapun dan bilapun gerakan muslim fundamentalis muncul sebagai suatu kelompok, seharusnya kita hargai dengan lapang dada karena berkelompok dengan orang-orang sealiran adalah hak asasi manusia.
Dan apapun ideologi yang mereka anut dan sebarkan, seharusnya kita biarkan hidup bebas pula. Sebab, menganut ideologi apapun, atau tidak menganut ideologi apapun, dalam koridor kebebasan berfikir dan berekspresi, sejatinya hak asasi manusia juga.
Namun bila hak kebebasan itu telah mereka salah gunakan dalam kehidupan sosial-politik, maka pelanggaran itu perlu ditindak. Semisal memaksa individu dan kelompok lain untuk menerapkan keyakinan dan konsep muslim fundamentalis, tanpa kontrak sosial dan perbincangan yang jelas. Sebab, hal itu telah menjurus pada pelanggaran hak asasi manusia dan telah menodai nilai penting kontrak sosial dan konstitusi.
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahawa sikap yang seharusnya kita terapkan untuk menghadapi timbulnya fenomena muslim fundamentalis berikut pemikiran dan tindakannya adalah sikap terbuka dan kritis. Terbuka dalam menerima fenomena fundamentalisme sebagai kebebasan berfikir dan berekspresi dan kritis apabila tindakan mereka telah jauh menyimpang dan melanggar hak asasi umat muslim yang lain.
Selain itu, kita juga dapat mengambil pelajaran berharga dari sikap dan kegiatan kaum fundamentalis. Anggota-anggota mereka terlihat mempunyai kesetiaan yang kuat pada prinsip yang dianut.
Dari militansi yang terlihat dalam kelompok fundamentalis dapat diambil pelajaran akan semangat kerja, kemauan untuk bekerja keras. Kemalasan dan kelemahan semangant merupakan penyakit yang menimpa kaum muslimin negeri ini untuk waktu yang cukup lama. Fundamentalisme mengajak kita untuk berbuat, untuk tidak diam saja karena pilihan lainnya adalah perubahan ke arah yang lebih buruk.
DAFTAR PUSTAKA
Didik Harianto. 2007. Fundamentalisme Islam. Diakses dari
Montgomery W., William. 1997. FundamentalismeIslam dan Modernitas (terjemahan Taufik Adnan Amal). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
M.SyafiqSyeirozi.2010. Melacak Akar Historis danKarakteristik Gerakan Fundamentalisme Islam. Diakses dari
Sudrajat,Ajat,dkk.2008. Din alIslam PendidikanAgama Islam di Perguruan Tinggi Negeri Umum. Yogyakarta: UNY Press
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok........18
ISLAM EKSKLUSIF DAN INKLUSIF
A.        EKSKLUSIF DAN INKLUSIF.
Isalmi eklusif dan inklusifmenurut Dr.K.h. Didin hafidhuddin, M,Sc. Islam merupakan agama yang sangat inklusif, dan bukan merupakan ajaran yang bersifat eksklusif. Tapi inksklusifitas yang bermaksud perbedaan agama yang di pahami oleh kelompok liberal.”[1]Inksklusifitas islam yang dimaksud adalah agama yang universal dan dapat diterima oleh semua orang yang berakal sehat tanpa memperdulikan latar belakang, suku bangsa, setatus sosial dan atribut keduniawian lainya.
Islam ekslusif dan inklusif adalah untuk menetapkan persepsi muslim terhadap masalah hubungan islam dan kristen di indonesia. Saya mengajukan “muslim komprehensif” dan “muslim reduksionis”
Fatimah mecontohkan eksklusif dan inklusif di judul buku “Muslim-Chritian relation in the new order indonesia: the exclusivist and inclusivist muslim.”[2] Sebaai contoh, ia mnyebut organisasi eksklusif di indonesia adalah dewan dakwah islamiyah di indonesia, (DDII), komite indonesia untuk solidaritas duniah islam, orang-orang yang membela islam di cap eksklusif.
Diantara ciri-ciri kaum eksklusif, menurut fatimah yaitu:
1.      Merekah yang menerapkan model penafsiran literal terhadap al-qur’an dan sunah dan masa lalu karena mengunakan pendekatan literal, maka ijtihad bukanlah hal yang sentral kerangka berfikir mereka
2.      Merekah berpendapat bahwa keselamatan yang bisa dicapai melalui agama islam.bagi merekah, islam adalah agama final yang datang untuk mengoreksi agama-agama lain. Karena itu merekah menggugat otentisitas kitab suci agama lain.
Sedangkan yang dimaksud kaum inklusif, memiliki ciri:
1.      Karena merekah memahami agama islam sebagai agama yang berkembang, maka merekah menerapkan metode kontekstual dalam memahami al-qur’an dan sunah, yang memerlukan teks-teks asas dalam islam dan ijtihad berperan sentral dalam pemikiran merekah.
2.      Kaum inklusif memandang, islam adalah agama terbalik bagi merekah:namun merekah berpendapat bahwa keselamatan di luar agama islam adalah hal yang mungkin.
Jika kita cermati sejumlah tulisan Nurcholish madjid dan budy munawar rahmat, merekah sudah masuk kata gori pluralis yang menyatakan semua agama-agama benar dan sebagai jalan yang sah menuju tuhan dan iti bukan inkusif lagi,karena penganut paham inklusif seperti yang di atas,
B.         ISLAMISASI  SAINS.
Islamasasi sains adalah pandangan yang menganggap ilmu atau hanya sebagai alat (instrumen).artinya, sains terutama teknologi sekedar alat untuk mencapai sebuah tujuan, sains itu mempunyai dua makna. jika kita menganggap bahwa apa yang kita saksikan dalam fenomena sains adalah “sebuah kenyataan yang sempurn,” maka kita akan melihaat sains sebagai kebeneran indrawi. Sain juga pernah mengukuhkan bahwa kebeneran mutlak adalah yang didasarkan pada panca- indrawi saja.
Dalam konteks ini , abu bakar siraj ad-din mengatakan, “if a symbol is sometthing in a lower ‘known and wonted’ domain which the traveller considenrs not only for its own sake, but also and above all in oder to have an intuitive glinpse of the ‘universal and trange’ reality whict corresponds to it in each of the hidden domain.”[3] pandangan ini, tentu saja sesuai dengan al-qur’an yang mengatakan bahwa, “sesngauhnya allah tidaak segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu”
Dibawah ini, kita akan membicarakan “tanda-tanda” yang merupakan petunjuk kepada adanya “kesatuan wujud” itu, dan menjadi ruang pembuka hubungan yang lebih harmonis antara sains dan agama. Kita catatkan terlebih dahulu tetang cara membaca “tanda-tanda”itu, “dan proposisi-proposisi” pejalanan kita (mengikuti tesis-tesis dari huston smith).
I.     Sesuatu itu tidak seperti yang kita lihat pada lahiriahnya,
II.    Selain dari yang kita lihat pada sisi lahirnya, terdapat “sesuatu yang lebih dari itu.”
III.     “sesuatu yang lebih” itu, dapat diketahui dengan cara yang bisa dilakukan.
IV.     Walaupun begitu, ia bisa diketahui dengan cara-cara yang memadai untuk itu, cara yang luar biasa.
V.     Cara-cara tersebut memerlukan penyuburan (cultivation) atau penyamaian.
VI.     Dan cara itu, juga memerlukan alat.
C.         TESIS I. Sesuatu itu tidak seperti apa yang kita lihat pada lahiriahnya
Salah satu dari tugas sains adalah menunjukan hakikat dari kenyataan. Apa yang palina menakjubkan dari sains moderen, adalah kemampuanya dalam menujukkan bahwa kenyataan tidak seperti apa yang kita lihat secara langsung. Jika kita mengatakan bahwa meja ini bersifat pejal, maka sains akan mengatakan bahwa,pada hakikatnya tidak begitu, sebab. Jika kita bisa melihat atau mengecilkan meja sampai tingkat elrktron,maka yang akan kita lihat itu adalah ruang itu kosong
Inilah contohnya bahwa setiap saat, indrawi kita “mengambarkan sesuatu”tetapi indra kita telah di rancang sedemikian rupa sehingga tidak memberitaukan kepada kita perkara yang sebenarnya.
Keterangan ini, juga mengingatkan kita kepada enekdot sufi yang sering membuat dua lapisan bacaan: antara yang “terlahat” dan “tak terlihat.”atau dalam filsafat india yang menyatakan maya. “Duniah ini adalah khayalan” frithjof scohuon mengatakan: spiritual perspective and the human facts.[4] bahwa, “hidup ini adalah perjalanan satu maimpi, satu kesadaran, satu ego dari maimpi keseluruhanya.
D.        TESIS II. Selain dari yang kita lihat pada lahiriahnya, terdapat “sesuatu yang lebih” dan “itu” menakjubkan.
Di atas, kita sudah melihat bahwa sifat yang sebenarnya dari “sesuatu itu” secara radiakal “berbeda” dari yang tampak. Mereka-para saintis dan agamawan-juga menyutujui bahwa “yang berbeda” itu, lebih tinggi dari segala yang kita alami dalam penglihatan sehari-hari. Sains juga ilmu yang berurusan dengan kuantitas.maka istilah “sesuatu yang melebihi” itu dalam sains dinyatakan bahwa dalam bentuk angka-angka. Misalnya, kita mendapatkan bahwa cahaya dari sebuah galasi yang agax besar,dan paling dekat dengan bumi.
E.         TESIS III. “Sesuatu yang lebih” itu, tidak dapat diketahui dengan cara yang biasa dilakukan.
Biasanya, para sainstis (ilmuwan) mengambarkan atas besarnya yang suka dibayangkan di atas, dengan kata “mengagumkan” (siapa yang bisa membayangkan angka bermilyar-milyar di atas). Tetapi sebenernya, ini baru permulaan, yang belum apa-apa. Karena, kajian sains belakangan hanya mengemukakan sesuatu yang tidak dapat diterka pikiran kita. Inilah yang terjadi pada teori relativitas dan mekanika kuantum.Sementara itu, kuantum-yang merupakan ilmu fisika tentand duniah mikro, subatomik-merombak total pandangan tetang materi. Asumsi lama,
Pada tahun 1951, david bohmmelihat aspeks lain dari percobaaneinstein podolsky dan rosen. Sambil melanjutkan keraguaneinstein,david bohm mendapatkan prinsip itu muncul hanya karena tidak mampuan kita untuk menjelaskan ynag lebih mendasar dari teori kuantum. Bohm menyebut tingkatan kenyataan artikel itu sebagai, explicate orde,sememtara realitas dasar merupakan sumber-sumber itu diistilaahkan Bohm sebagaiimplicate order..[5]
F.          TESIS IV. “Kelebihan” itu tidak bisa diketahui dengan car biasa, meskipun begiu, ia bisa di ketahui dengan cara-cara yang luar biasa.
Apa yangkita lihat dari perkembangan sains baru ini, menurut kita “berjalan lebih jauh.” Pada mekanika kuantum, sebagai mana dikatakan schiling, dalam the new consciousneesin sciece and relrgion, bahwa, “kesimpulan...akan paradoks materi gelombamng dicapai dengan memakai simbol matematika semata (tentang makanika kuantum).
Begitu jagalah dengan apa yang di sebut “visi mistik,” sehinhga keduanya sains dan mistik, mempunyai pesan yang sama, yaitu:
1.      visi alam yang baru itu adalah suatu yang terlalu hebat untuk diungkapkan dengan kata-kata.
2.      visi ini menunjukan bahwa eksistensis itu di sifatkan sebagai perpaduan yang tadak lansung.
3.      penemuan visi ini menghidupkan rasa yang bahagia.
4.      rasa bahagia ini bukan suatu kebetulan, tetapi ia adalah akibat logis dari penyebab yang menyebabkannya:yaitu pencapaian kesatuan wujud, visi ketakjuban akan merndahkan kepada pengalaman mistikal biasanya yang sering diangap sebagai prasaan.
G.        TESIS V. Cara-cara mengetahui yang luar biasa itu, memerlukan penyuburan (cultivation) atau penyemaian.
Apa yang penting dai realitas sains adalah perlunya kesunguhan dalam dedikasi. Untuk menjadi ahli orang fisika, sekarang ini memerlukan waktu yang lama. Tiori relativitas bisa dihapal beberapa menit, tetapa kajian bertahun-tahun tetang teori ini, belum menjamin penguasaanya atas teori tersebut. Sehinga kesunguhan didalam sains, menyerupai dedikasi para wali dan orang yang bercinta:setelah mencapai kebersihan diri, maka pengalaman mistikal menjadi mudah dan biasa.
H.        TESIS VI.,  Pengetahuan mendalam memerlukan alat.
Baik sains maupun agama, keduanya memerlukan alat. Sains misalnya memerlukan teleskop, kamera, spektroskop dan sebagainya. Mistik pun juga mempunyai alat, yang terdiri dua macam. Untuk masyarakat yang buta huruf, ada dan dikenal mitos,sedangkan bagi penduduk yang berperadapan maju, ada dan dikenal kitab suci (sacred texs). Pada masyarakat yang tidak didatanga nabi, ia bisa mencapai kebenaran dengan melalui kesadaran diri yang mendalam, karena “sifat ketuhanan ada dalam diri manusia.” Kata huston smith,” hukum, peraturan dan prinsip penghidupan yang diwahyukan adalah ibarat membongkar rahasia langit, dan mengumumkan keagunggan Tuhan, tetapa didalam agama, alat-alat khusus juga bisa dipaka’’[6].  
I.           PLURALISME AGAMA-AGAMA
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula:
1.      Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama. Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untukekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi dalam satu agama. Dan sebagai sinonim untuktoleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda. Paham pluralisme agama tantangan keras dari semua agama. Selain islam dan vatikan, di kalangan kristen protestan di indonesia juga muncul penentang berat tentang paham ini[7].
2.      Islam dan Pluralisme agama
Ada satu fakta yang tidak dapat diingkari, bahwa terminologi pluralisme atau dalam bahasa arabnya, “al-ta’addudiyyah”,tidaklah di kenal secara populer dan tidak banyak dipakai di kalangan Islam kecuali sejak kurang lebih dua dakade terakhir abad ke-20 yang lalu. Yaitu ketika terjadi perkembangan penting dalam kebijakan internasional barat yang baru memasuku sebuah fase yang dijuluki Muhammad ‘imrah sebagai “marhalat al-ijtiyah”(fase pembinasaan) yakni sebuah perkembangan yang prisipnya tergurat dan tergambar jelas dalam upaya barat yang habis-habisan guna menjajahkan ideologi modernnya yang di anggap universal, seperti demokrasi, pluralisme, HAM dan pasar bebas, dan mengekspornya untuk konsumsi luar dalam rangka mencapai berbagai kepentingannya yang sangat beragam. Suatu kebijakan yang telah di kemas atas dasar “superioritas” ras dan kultur barat, serta penghinaan terhadap segala sesuatu yang bukan barat, Islam khususnya, dengan berbagai macam tuduhan yang menyakitkan, seperti intoleran, anti-demokrasi, fundamentalis dan sebagainya. Maka sebagai respons terhadap perkembangan politis baru ini, masalah “pluralisme” mulai mencuat dann menjadi concern kalangan cerdik-cedekia Islam, yang pada gilirannya menjadi komoditas paling laku di pasar pemikiran Arab Islam kontempoler. Barangkali bukti yang paling nyata mengenai hal ini adalah maraknya karya, tulisan dan kajian ilmiah yang mengupas topik ini dengan volume yang terus naik dalam periode ini. Sebagai karya tersebut merupakan kertas kerja yang di bentangkan dalam seminar dan konferensi khusus tentang topik ini, sebagian lain artikel dalam priodikal (majalah dan jurnak ilmiah),dan sebagian kecil lainnya bagian dalam buku-buku. 
3.      Pemikiran pluralisme keagamaan dan teologi agama-agam
Pluralisme tidakk dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beranea ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh di pahami sekadar sebagai ‘kebaikan negatif’ (negatif good), hanya di lihat dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility)[8]. Bahkan pluralisme mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang di hasilkannya. Dalam kitap suci justru di sebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan tuhan yang melimpah kepada umat manusia. “seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.” (QS. Al – Baqoroh : 251)[9]
Kutipan panjang pembuka di atas menegaskan adanya masalah besar dalam kehidupn beragama yang ditandai oleh kenyataan pluralisme dewasa ini. Dan salah satu masalah besar dari paham pluralisme yang telah menyulut perdebatan abadi sepanjang masa menyangkut masalah keslamatan adalah bagaimana suatu teologi dari suatu agama mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain dalam bahasa john lyden, seorang ahli agama-agama, “apa yang seseorang pikirkan mengenai agama lain di bandingkan agama sendiri ?”. sehingga berkaittan dengan semakin berkembangnya pemahaman mengenai pluralisme dan toleransi agama-agama, berkembanglah suatu paham “teologi agama-agama” yang menekankan semakin pentingnya dewasa ini untuk dapat “berteologi daam konteks agama-agama,” untuk suatu tujuan.
4.      Implikasi dan konsekuensi pluralisme agama
Perlu diakui bahwa pengkatagorian teori-teori pluralisme agama hanya kedalam empat tren diatas tadi barangkali terkesan sedikit simplifikasi. Sebab, pada kenyataannya fenomena pluralisme agama sangat kompleks dan tidak sederhana yang kita bayangkan. Namun jika kita ingin benar-benar membincangkannya dan mengkaji hakikatnya sebagai sebuah fenomena yang hidup di alam nyata. Kemudian berusaha membedah, menganalisa dan menangkap implikasi-implikasinya, dan kemudian menentukan sikap terhadapnya secara tepat dan akurat. Maka merujuk kepada peta penyederhanaan realitas tidak saja absah secara logis tapi juga urgen secara metodologis. Sebab tanpa bangunan pemikiran semacam ini, yang terjadi hanyalah apa yang disebut William James “a bloomin ‘buzzin’ confusion”, dimana tidak bisa di fahami kecuali kebingungan (confusion) itu sendiri.
Jika kita perhatikan peta fenomena pluralisme agama (religious pluralism) sebagaimana termanifestasi dalam tren-trennya yang dibentangkan dalam bab terdahulu bahwa semua agama sama secara serius, seksama, kritis,dan obyektif, maka kita akan segera dikagetkan dengan berbagai masalah dan isu mendasar yang berimplikasi sangat berbahaya bagi manusia dan kehidupan keagamaannya secara umum. Sebagian implikasi teori atau faham pluralisme ini erat menyangkut isu-isu yang bersifat teoretis, epistemologis dan metodologis, dan sebagian lagi erat menyangkut isu-isu HAM (hak-hak asasi manusia) khususnya kebebasan beragama (religious freedom).
FOOTNOTE
[1] dr.k.h. didin hafidhuddin,M,Sc.“Islam aplikatif” ( jakarta gema insani. Th, 2003) hl 147-148.
[2] Fatimah, judul,”muslim-cristian relations in the new order indonesia: the Exclusivits and Inclusivits muslim’ perspective”. Th 2004 hal.21 38
[3] Dalam bahasa teknisnya, simbol adalah suatu yang di ketahui memeng lebih rendah dari pesan yang hendak disampaikan, dan orang peziarah tahu bahwa simbol tidak hanya untuk simbol itu sendiri,tetapi juga di atas segalanya, simbol itu perlu mendapatkan sebuah penglihatkan intuitif universal yang gelap, lihat, abu bakar siraj-din, the book certianti,hal. 50-51.
[4] Frithjof shcuon, spiritual perspectives and the human facts. Kehidupan ini adalah perjalanan suatu mimpi, (jakarta,parmadina, thn 2001) hal.60-69.
[5] Kelanjutan pandangan David Bohm ini dapat dilihat di artikel dalam buku ini “new age dan passing over”: zairah religus di tengah pluralitas agama-agama, (jakarta, parmadina, thn 2001) hal.31-54.
[6] Huson Smith, forgetten trunh, the common vision of the lorld’s religion,pada bab “the place of science,” (new york: Harper San Francisco, 1992), h. 96-117.
[7] Dr. Stevri Indra lumintang,buku theologi abu-abu pluralisme agama.malang ,Gandum perss,2004
[8] Munawar Budhy, Islam Pluralisme, pemikiran pluralisme keagamaan dan teologi agama-agama (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 31.
[9] Nurcholish madjid,”masyarakat madani dan investasi demokrasi: tantangan dan kemungkinan, republika10 Agustus 1999.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok........19
A.    Latarbelakang.
Ketika Islam masuk ke beberapa wilayah Nusantara, telah terdapat berbagai budaya yang telah mapan. Di jawa misalnya, proses pembentukan budaya telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang. Kemampuan budaya tersebut mengakibatkan Islam sebagai pendatang baru haruslah bersentuhan dengan budaya yang telah mapan. Akibatnya di sana-sini terjadilah proses saling menerima dan mengambil, sehingga terbentuklah Islam tradisional, yaitu Islam yang sudah bersentuhan dengan budaya local, dari tradisional itu pula kemudian berkembang menjadi post tradisional
Pada tanggal 7-8 April 1994, Wheaton Theology Conference digelar dengan tema yang segera menarik perhatian –“Christian Apologetics in the Postmodern World: Strategies for the Local Church”. Sesuai dengan temanya, konferensi ini berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan bagaimana gereja menghadapi sebuah ‘budaya baru’ yang dikenal dengan sebutan postmodern.[1] Beragam strategi dirasakan perlu dikembangkan oleh gereja untuk menghadapi ‘gerakan’ baru yang mulai mempengaruhi jaman ini. Namun demikian, pembicaraan mengenai postmodern ini sesungguhnya belumlah merupakan sesuatu yang dianggap penting –sedikitnya bagi masyarakat Indonesia.
Dengan perkembangan teknologi yang sedemikian canggih, masyarakat saat ini masih merasa berada di era modern. Bahkan, mungkin sebagian besar orang berpikir bahwa era modern adalah era terakhir sampai nanti kehidupan di bumi berakhir. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Hidup bergulir, dunia berputar; dan perkembangan teruslah menjadi proses yang tidak berujung. Saat ini, disadari atau tidak, masa modern telah bergerak lebih jauh memasuki era baru yang ditandai dengan perubahan paradigma di berbagai bidang kehidupan.
Berbicara mengenai pergeseran masa dari modern ke postmodern sesungguhnya memang lebih tepat merupakan pembicaraan mengenai pergeseran filsafat hidup modernisme ke postmodernisme. Modernisme dianggap dalam keadaan sekarat –meskipun belum sepenuhnya kehilangan kekuatan— dan sedang dalam proses digantikan oleh postmodernisme.[2]
B.     Tradisionalisme dan Posttradisionalisme.
1.      Tinjauan Tradisionalisme dan Posttradisionalisme.
Di bidang pemikiran, Islam tradisional sebenarnya adalah suatu ajaran yang berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara keyakinan telah dipraktekkan oleh komunitas Muslim (Ahlu al Sunnah wa al Jama’ah), memegang dan mengembangkan ajaran fiqh scholastic madzhab empat. Sayyed Hossein Nasr mencatat salah satu kriteria pola keagamaan tradisional adalah digunakannya konsep silsilah; mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai pada sumber ajaran. Dalam bahasa Fazlur Rahman, kelompok tradisional adalah mereka yang cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh ulama’ terdahulu.
Ketika istilah tradisional ini bersentuhan dengan tradisi Lokal Indonesia maka Dalam konteks diskursus Islam Indonesia, tradisionalisme Islam diidentifikasi sebagai paham  yang,pertama,  sangat  terikat  dengan  pemikiran  Islam  tradisional,  yaitu  pemikiran Islam yang masih terikat kuat dengan pikiran ulama fiqih, hadith, tasawuf, tafsir dan tauhid yang  hidup  antara  abad  ke  tujuh  hingga  abad  ke  tiga  belas[3] . Kedua, sebagian  besar  merekatinggal  di  pedesaan  dengan  pesantren  sebagai  basis  pendidikannya.  Pada  mulanya  mereka menjadi kelompok eksklusif, cenderung mengabaikan masalah dunia karena keterlibatannya dalam  dunia  sufisme  dan  tarekat  bertahan  terhadap  arus  modernisasi  dan  arus  pemikiran santri  kota,  cenderung  mempertahankan  apa  yang  mereka  miliki  dan  ketundukan  kepada kyai  yang hampir-hampir  tanpa batas. Ketiga, keterikatan  terhadap paham Ahlu  al-Sunnah  wa al-Jama‘ah yang  dipahami  secara  khusus.
Dengan  karakter  demikian,  tradisionalisme  Islam  menjadi  sasaran  kritik  gerakan modernisme  Islam[4]  yang  menolak  sama  sekali  produk-produk  intelektual  yang  menjadi landasan  konstruksi tradisionalisme,  sehingga–sampai  tahapan  tertentu–tradisi  pemikiran klasik  ditinggalkan,  dan  yang  dominan  adalah  keterpesonaan  terhadap  berbagai  aliran pemikiran  Barat.  Tendensi  kaum  modernis  yang  menolak  produk  dialektika  Islam  dengan tradisi lokal belakangan ini mengalami titik jenuh yang sebabnya antara lain karena sempitnya wahana  intelektual  yang  hanya  berorientasi  pada  al-Qur’an  dan  Sunnah[5]serta  irrelevansi yang  semakin  nyata-kentara  dengan kultur  keislaman  di  Indonesia.
Dalam  konteks  demikian,  pada  pertengahan  tahun  1990-an  berkembang  wacana pemikiran keislaman yang kembali menghargai khazanah pemikiran Islam klasik. Mula-mula yang menjadi rujukan arus baru dinamika pemikiran keislaman ini adalah pemikiran FazlurRahman[6] yang  diidentifikasi  sebagai neo-modernisme  Islam[7], yang  berusaha  mencari  sintesis progresif  dari  rasionalitas  modernis dengan  tradisi  Islam  klasik.
Meskipun  neomodernisme  berusaha  untuk  memadukan  modernisme  dengan tradisionalisme,  namun–oleh  kalangan  tertentu–dinilai  gagal  keluar  dari  hegemoni modernisme  dan  menjadikan  tradisionalisme  sekadar  ornamen  sejarah  dan  bukan  spirit transformasi  sosial.[8] Dalam  konteks  demikian,  lahir genre baru  pemikiran  Islam  yakni  post tradisionalisme  Islam[9]yang  secara  teoretik  berusaha  menjadikan  unsur  tradisional  tidak sekadar  sebagai  ornamen  sejarah  dan  menjadikan  tradisionalisme  sebagai  basis  untuk melakukan  transformasi  sosial.[10]
2.      Karakter  Dasar  Post  Tradisionalisme  Islam
Post-tradisionalisme Islam diakui sebagai tradisi pemikiran Islam yang khas Indonesia, khususnya  dalam  komunitas  Nahdlatul  Ulama  (NU).  Dalam  konteks  ini  dapat  dinyatakan bahwa  post-tradisionalisme  merupakan  konstruk  intelektualisme  yang  berpijak  pada  (dan dari) kebudayaan lokal Indonesia, bukan tekanan dari luar (proyek “asing”) yang berinterakasi secara  terbuka  dengan  berbagai  jenis  elemen  masyarakat.  Post-tradisionalisme  Islam  tidak hanya  mengakomodasi  pemikiran  liberal  dan  radikal.[11]tetapi  juga  tradisi  pemikiran  sosialis-Marxis,  post-strukturalis,  postmodernis,  gerakan  feminisme,  dan civil  society.  Secara  khusus disebutkan bahwa metodologi pemikiran dan politik post-tradisionalisme Islam dikonstruksi melalui  pemikiran  Muhammad  Abed  al-Jabiri.  Hal  ini  menunjukkan  bahwa  pemikiran  al-Jabiri melalui proyek Naqd al-‘Aql al-‘Arabi mempunyai posisi yang sangat penting, di samping tokoh-tokoh yang telah disebutkan.[12]
Satu  hal  yang  perlu  dicatat  bahwa  gerakan  intelektual  post  tradisionalisme  Islamberangkat  dari  kesadaran  untuk  melakukan  revitalisasi  tradisi,  yaitu  sebuah  upaya  untukmenjadikan tradisi (turath) sebagai basis untuk melakukan transformasi. Dari sinilah komunitaspost-tradisionalisme Islam bertemu dengan pemikir Arab modern seperti Muhammad Abed al-Jabiri  dan  Hassan  Hanafi  yang  mempunyai  apresiasi  tinggi  atas  tradisi  sebagai  basistransformasi.[13]
Komunitas  post-tradisionalisme  Islam  mencoba  untuk  melihat  tradisi  secara kritis,historis, dan objektif. [14] Dalam konteks demikian, wacana post-tradisionalisme Islam sangatdipengaruhi  oleh  semangat perkembangan  pemikiran  Arab  modern yang  diadopsi  sebagaioptik untuk membaca tradisi NU dan pemikiran Islam.[15]Dengan menggunakan optik tradisi sebagaimana telah diuraikan, maka problem post-tradisionalisme  Islam  sebenarnya  adalah  bagaimana  melakukan  pembaharuan  pemikirankeagamaan  yang  harus  mengkritisi  tradisi  di  satu  pihak,  namun  pada  pihak  lain  memilikikebutuhan untuk “tergantung” pada  tradisi sebagai basis transformasi.
3.      Model Pendidikan Agama  Islam dalam  Perspektif  Post-Tradisionalisme
Islam, bagi post-tradisionalisme diposisikan sebagai nilai yang bersifat sakral-universal. Namun  ketika  nilai-nilai  Islam  itu  bersentuhan  dengan  realitas  sosial  budaya,  makaperwujudan  nilai-nilai  yang  kemudian  menjadi  institusi–suatu  nilai  yang  telah  melembaga–tersebut  menjadi  bersifat  partikular-lokal-profan.  Dengan  pemahaman  demikian,  post-tradisionalisme sesungguhnya telah melakukan “kritik nalar” terhadap konstruksi pemahamankeislaman yang selama ini ada dan berkembang dominan dalam kehidupan umat Islam.
Kesadaran demikian, oleh kalangan post-tradisionalisme, berusaha untuk ditubuhkan(dikonkretisasi) melalui basis kurikulum pendidikan agama Islam dalam konstruksi kurikulumyang  sama  sekali  lain  (beda)  dengan  konstruksi  pendidikan  agama  Islam  yang  selama  ini dikembangkan di lembaga-lembaga pendidikan formal resmi selama ini. Perbedaan tersebut dapat  disimak  pada  konstruksi  kurikulum  yang  digagas  oleh  LKiS,  P3M  dan  Desantara sebagai  eksponen  utama  post-tradisionalisme  Islam.
Kritisisme  mengandaikan  dua  hal  sekaligus, pertama, dekonstruksi,  yaitu  melakukan pemutusan  hubungan  epistemologis  terhadap  segala  otoritas  yang  membentuk  tradisi pengetahuan, dalam mana hal ini dilakukan dengan merombak sistem relasi yang baku dan beku,  menjadi  sistem  relasi  yang  cair  dan  berubah-ubah,  dari  yang  mutlak  menjadi  relatif, dari ahistoris menjadi historis, kedua, rekonstruksi yaitu sebuah  pertanggungjawaban untuk memberi  sisi-sisi  masuk  akal (reasonable) dalam  segenap  persoalan.18
Dalam  konteksdekonstruksi dan rekonstruksi inilah, kesadaran bahwa setiap tradisi adalah dibentuk (invented)dan distrukturkan (constructed) menjadi relevan dan penting.
LKiS  sejak  tahun  1997  sampai  sekarang  menyelenggarakan  suatu  program  yang diidentifikasi  dengan “Belajar  Bersama  Islam  Transformatif   dan  Toleran.” Program  ini merupakan  program  pendidikan  alternatif   bagi  kalangan  anak  muda  kritis  sebagai  salah upaya  penguatan civil  society dengan  mengembangkan  wacana  kritisisme  baik  kepada teks keagamaan, tradisi dan sebagainya. Dengan model belajar bersama ini, terbentuk suatu jaringan  kaum  intelektual  muda  progresif  yang  menjadikan  gagasan  dan  wawasan  Islam transformatif   dan  toleran  menjadi  tersebar  luas  ke  berbagai  daerah  dan  kampus-kampus.
Sedangkan  P3M  mengembangkan  wacana  kerakyatan  dengan  menggunakan  tradisi keagamaan  sebagai  basis  transformasinya.  Tema-tema  yang  diangkat  misalnya fiqh  al-nisa’,fiqh  al-siyasah, Islam  dan  demokrasi, h} alaqah  ideologi-ideologi  besar  dunia,  demokrasi pesantren dan yang paling populer kini adalah program Islam emansipatoris.
Dengan  demikian,  dapat  disimpulkan  bahwa  agenda-agenda  intelektual  yangdirumuskan dalam silabus pendidikan komunitas post-tradisionalisme Islam adalah “wacanasubversif ”,  yang  sangat  diilhami  oleh  denyut  post-modernisme  yang  menolak  adanya sentralisme (decentering) dan segala bentuk hegemoni.22Dengan semangat “subversi akademik”dan kritik nalar inilah, kalangan post-tradisionalisme melancarkan pembaruan pemikirannyayang  sangat  menentukan  terhadap  konstruksi dan  muatan  materi  pendidikan  agama  Islam yang  meliputi  pemaknaan  baru  Aswaja,  Islam  dan  politik  kewarganegaraan,  Islam  dan feminisme, dialog agama untuk keadilan, Islam dan budaya lokal serta pembaruan fikih dan qawa‘id  al-usul. 23
Pemaknaan baru Aswaja (Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah) dilakukan melalui pembongkaran sisi  metodologi  berpikirnya (manhaj  al-fikr) setelah  melalui  penelusuran  sejarah  sehingga ditemukan bahwa Aswaja merupakan manhaj al-fikr yang memegang prinsip moderat (tawassut}),seimbang (tawa zun), dan  berkeadilan (i‘tida l), sehingga  dapat  mengantarkan  pada  sikapkeberagamaan  non  ekstrem (ghayr  al-tat} arruf).24Tentang  problem  Islam  dan  politik kewarganegaraan,  post-tradisionalisme  Islam  ber usaha  melalukan  penguatan  danpemberdayaan civil society melalui penegasan bahwa persoalan politik dipandang bukan sebagai masalah  sekuler  melainkan  merupakan  salah  satu  persoalan  pokok  agama (as}l  min  usul  al-din), dan  bukan  sebagai  salah  satu  cabang  fikih (far‘  min  furu‘  al-fiqh).
Adapun  tentang  Islam  dan  feminisme,  post-tradisionalisme  mengkritisi  ajaran  yangdipahami selama ini. Dalam perspektifnya, agama sering kali dijadikan sebagai alasan dalam proses subordinasi kaum perempuan dalam pelbagai segi kehidupan. Penyifatan-penyifatan peyoratif  terkadang dirujukkan kepada perempuan oleh tafsir agama yang membentang dari persoalan  seksualitas  sampai  peran  politik  perempuan. 25Post-tradisionalisme  Islam menganggap doktrin dan tafsir agama semacam itu sangat merugikan dan mendiskreditkanperempuan, dan karenanya, sangat bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mengakuikesetaraan dan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, post-tradisionalismeIslam mengintrodusir  pentingnya dilakukan pembacaan  ulang terhadap  doktrin, pemikirandan  teks-teks  keagamaan  secara  kritis.[16]
C.     Modernisme dan Post Modernisme .
1.      Modernisme.
Secara etimologis modernTom Jacob  mengartikan ‘modern’ sebagai: (1) terbaru, mutakhir; (2) sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan menurut Kant menyebutnya sebagai, ’pencapaian transendentalisasi jauh dari imanensi manusia. Sehingga manusia bisa mencapai tingkat yang paling tinggi. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern.[17]
Di era ini rasio dipandang sebagai kekuatan yang dimiliki oleh manusia untuk memahami realitas, untuk membangun ilmu pengetahuan dan teknologi, moralitas, dan estetika. Pendek kata, rasio dipandang sebagai kekuatan tunggal yang menentukan segala-galanya.
Pengakuan atas kekuatan rasio dalam segenap aktivitas manusia, berarti pengakuan atas harkat dan martabat manusia. Manusia dengan rasionya, --tentu saja sebagai subjek; pemberi bentuk dan warna pada realitas-- adalah penentu arah perkembangan sejarah. Kenyataannya, modernisme adalah salah satu bentuk dari humanisme. Narasi-narasi besar modernisme yang berasal dari kapitalisme, eksistensialisme, liberalisme, idealisme, tidak bisa lain membuktikan hal itu.
[18]
Modernisme juga bisa diartikan sebagai semangat untuk mencari dan menemukan kebenaran asasi, kebenaran esensial, dan kebenaran universial. Rasio manusia dianggapa mampu menyelami kenyataan faktual untuk menemukan hukum-hukum atau dasar-dasar yang esensial dan universal dari kenyataan. 
2.      Modernisme Dalam Islam
Islam modernis timbul diperiode sejarah Islam yang disebut modern dan mempunyai tujuan untuk membawa umat Islam kepada kemajuan. Sebagai halnya di Barat, di dunia Islam gerakan Islam modernis timbul dalam rangka menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan jalan demikian pemimpin-pemimpin Islam modern mengharapkan akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran, untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.[19]
Islam modernis juga timbul sebagai respon tehadap berbagai keterbelakangan yang dialami oleh umat Islam, seperti keterbelakangan dalam bidang ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik dan lain sebagainya. Keadaan seperti ini dinilai tidak sejalan dengan Islam sebagaimana terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah. Dalam kedua sumber ajaran tersebut, Islam digambarkan sebagai agama yang membawa kepada kemajuan dalam segala bidang, untuk tercipta kemaslahatan umat. Namun dalam kenyataannya umat Islam tidak memperlihatkan sikapnya yang sejalan dengan al-Quran dan al-Sunnah itu. Jika demikian adanya, maka diduga terdapat kekeliruan dan kesalahan dalam memahami al-Quran dan al-Sunnah tersebut, serta adanya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekeliruan tersebut.[20]
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa latar belakang timbulnya Islam modernis adalah sebagai respon kepedulian terhadap upaya mengatasi berbagai keterbelakangan umat Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu mencari sebab-sebab kemunduran dan keterbelakangan tersebut, seperti karena meninggalkan al-Quran dan al-Sunnah, lemahnya persaudaraan, pertikaian politik, sikap pasrah atau jumud serta karena mengikuti bidah, khurafat dan takhayyul. Dengan demikian inti dari munculnya Islam modernis adalah perlunya dibuka kembali pintu ijtihad. Dengan cara demikian, ajaran Islam tidak hanya responsip terhadap berbagai masalah aktual yang muncul ditengah-tengah masyarakat, juga akan terjadi reinterpretasi terhadap al-Quran dan al-Sunnah, revitalisasi terhadap posisi umat Islam, dan reformulasi terhadap berbagai produk pemikiran ulama masa lalu.[21]
3.      Islam modernis di Indonesia
Islam modernis di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak awal abad kedua puluh. Pada tahun 1906 misalnya muncul apa yang disebut kelompok muda di Sumatera Barat, tepatnya di Minangkabau. Mereka itu adalah Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Haji Abdullah Ahmad, dan Syaikh Daud Rasyidi. Kelompok ini mendapat tantangan keras dari kelompok tua yang terdiri dari Syaikh Khatib Ali, Khatib Sayyidina, Syaikh Bayang, Syaikh Seberang, Imam Masjid Ganting, dan Syaikh Abbas. Kelompok Islam modernis yang terdiri dari kaum ulama dan cendikiawan tersebut sering melakukan protes terhadap struktur kekuasaan adat yang tidak memberikan tempat kepada mereka.
Selanjutnya paham Islam modernis dikembangkan dan dimasyarakatkan lebih sungguh-sungguh oleh Harun Nasution melalui Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, lembaga di mana yang bersangkutan sebagai dosen dan orang nomor satu, yakni sebagai Rektor dari sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 1985. Melalui karya-karyanya beliau berusaha menjelaskan apa yang dimaksud dengan Islam modernis, apa tujuan serta programnya dan sebagainya. Pemikiran Harun Nasution ini banyak diikuti oleh para mahasiswa di IAIN Jakarta dan perguruan tinggi lainnya, tempat di mana ia mengabdikan ilmunya. Alumni IAIN Jakarta seperti Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Atho Mudzhar, Hadi Mulyo, Mansur Faqih, Azyumardi Azra, Saeful Muzani, Abuddin Nata, Sudirman Teba dan lainnya adalah murid-murid beliau yang hingga kini tetap komitmen dan mensosialisasikan paham Islam modernis tersebut.
Pemikiran Islam modernis lebih lanjut dikembangkan dan dimasyarakatkan dengan penuh agresivitas oleh Nurcholish Madjid melalui berbagai karyanya. Dalam berbagai karyanya itu Nurcholish Madjid mengatakan bahwa bagi seorang muslim modernisasi adalah suatu keharusan-bahkan suatu kewajiban mutlak. Modernisasi adalah perintah dan ajaran Tuhan.
Ide-ide Islam modernis selanjutnya diperkenalkan oleh Mukti Ali, Deliar Noer dan Munawir Sjadzali. Dalam bukunya yang berjudulIslam Dan Sekularisme Di Turki Modern, danAlam Pikiran Islam Modern Di India Dan Pakistan, Mukti Ali dengan panjang lebar membahas pemikiran Islam modernis dari tokoh-tokoh Turki seperti Ziya Gokalp (lahir 1875M) dan Kemal Attaturk; dan tokoh dari India dan Pakistan seperti Sayyid Ahmad Khan, Hali, Mohsinul Mulk, Viqarul Mulk, Syibli, Sayyid Amir Ali, Abul Kalam Azad, Maulana Muhammad Ali, Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, Liaquat Ali Khan, dan Maulana Sayid Abul Ala al-Maududi. Menurut Ziya Gokalp, bahwa Islam sejalan dengan peradaban modern, sekalipun banyak dari orang-orang yang sekurun zaman dengan dia mempunyai pendapat yang berbeda
4.      Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia
Modernisasi yang mengandung pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham,adat istiadat, instituisi lama dan sebagainya, agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang timbul oleh tujuan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. Modernisasi atau pembaruan juga berarti proses pergeseran sikap dan mentalitas mental sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masyarakat kini.[22] Modernisasi merupakan proses penyesuaian pedidikan Islam dengan kemajuan zaman.
Latar belakang danPola-pola pembaharuan dalam Islam, khususnya dalam pendidikan mengambil tempat sebagai : 1) golongan yang berorentasi pada pola pendidikan modern barat, 2) gerakan pembaharuan pendidikan Islam yang berorentasi pada sumber Islam yang murni dan 3) pembaharuan pendidikan yang berorentasi pada nasionalisme.[23]
Modernisasi pendidikan Islam Indonesia masa awalnya dikenalkan oleh bangsa kolonial Belanda pada awal abad ke-19.[24] Program yang dilaksanakan oleh kolonial Belanda dengan mendirikan Volkshoolen, sekolah rakyat, atau sekolah desa ( Nagari) dengan masa belajar selama 3 tahun, di beberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an. Pada tahun 1871 terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar 16.606 orang; dan menjelang 1892 meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar 52.685 murid.
Point penting eksprimen Belanda dengan sekolah nagari terhadap system dan kelembagaan pendidikan Islam adalah tranformasi sebagian surau di Mingkabau menjadi sekolah nagari model Belanda. Memang berbeda dengan masyarakat muslim jawa umumnya memberikan respon yang dingin, banyak kalangan masyrakat muslim Minangkabau memberikan respon yang cukup baik terhadap sekolah desa. Perbedaan respon masyarakat Muslim Minangkabau dan jawa banyak berkaitan dengan watak cultural yang relatif berbeda, selain itu juga berkaitan dengan pengalaman histories yang relatif berbeda baik dalam proses dan perkembangan Islamisasi maupun dalam berhadapan dengan kekuasaan Belanda.
Selain itu perubahan atau modernisasi pendidikan Islam datang dari kaum reformis atau modernis Muslim. Gerakan reformis Muslim yang menemukan momentumnya sejal abad 20 berpendapat, diperlukan reformasi system pendidikan Islam untuk mempu menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen.
Respon system pendidikan Islam tradisional seperti suaru ( Minangkabau) dan Pesantren ( Jawa) terhadap modernisasi pendidikan Islam menurut Karel Steenbrink dalam kontek surau tradisional menyebutnya sebagai menolak dan mencontoh, dalam kontek pesantren sebagai menolak sambil mengikuti. Untuk itu , tak bisa lain dalam pandangan mereka , surau harus mengadopsi pula beberapa unsure pendidikan modern yang telah diterapkan oleh kaum reformis, khususnya system klasikal dan penjejangan, tanpa mengubah secara signifikan isi pendidikan surau itu sendiri.
Selain respon yang diberikan oleh pesantren di jawa, komunitas pesantren menolak asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat tertentu mereka pasti mengikuti langka kaum reformis . karena memiliki manfaat bagi para santri, seperti system penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas dan system klasikal. Pesantern yang mengikuti jejak kaum reformis adalah pesanteren Mambahul ‘ulum di Surakarta, dan di ikuti oleh pesantren Modern Gontor di Ponorogo. Pondok tersebut memasukan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, juga mendorong santrinya untuk memperlajari bahasa Inggris selain bahasa Arab dan melaksanakan sejumlahkegiatan ekstra kurikuler seperti olah raga, kesenian dan sebagainya.
Sistem Pendidikan Islam pada mulanya diadakan di surau-surau dengan tidak berkelas-kelas dan tiada pula memakai bangku, meja, dan papan tulis, hanya duduk bersela saja. Kemudian mulialah perubahan sedikit demi sedikit sampai sekarang. Pendidikan Islam yang mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis, ialah Sekolah Adabiah ( Adabiah School) di Padang.[25]
Adabiah School merupakan madrasah (sekolah agama) yang pertama di Minangkabau, bahkan diseluruh Indonesia. Madrasah Adabiah didirikan oleh Almarhum Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Adabiah hidup sebagai madrasah sampai tahun 1914, kemudian diubah menjadi H.I.S. Adabiah pada tahun 1915 di Minangkabau yang pertama memasukkan pelajaran Agama dalam rencana pelajarannya. Sekarang Adabiah telah menjadi sekolah Rakyat dan SMP.
Setelah berdirinya madrasah Adabiah, maka selanjutnya diikuti madrasah lainnya seperti madras Schol di Sungyang ( daerah Batusangkar) oleh Syekh M.Thaib tahun 1910 M, Diniah School ( madrasah diniah) oleh Zainuddin Labai Al-Junusi di Padangpanjang tahun 1915.[26]
Sumatra Thawalib memberikan pengajaran baik di bidang keagamaan maupun bidang-bidang lain yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan modern.[27]Sementara di Jawa, Muhammadiyah adalah yang pertama mendirikan lembaga-lembaga pendidikan bergaya modern. Hingga perkembangannya pada 1925, Muhammadiyah telah memiliki 14 madrasah, 8 HIS, sebuah sekolah guru di Yogyakarta dan 32 sekolah dasar 5 tahun[28]
Di antara guru Agama banyak juga mengarang kitab-kitab untuk madrasah ialah 1)H. Jalaluddin Thaib, seperti kitab jenjang bahasa arab 1-2, Tingkatan bahasa arab 1-2, Tafsir Al-Munir 1-2, ( 2) Anku Mudo Abdul hamid Hakim, seperti kitab: Al-Mu’in Al-Mubin 1-5, As-Sullam, Al-Bayan Tahzibul akhlaq, ( 3) Abdur-Rahim Al-Manafi seperti kitab : Mahadi ‘ilmu Nahu, Mahadi ilmu Sharaf, Al-Tashil, Lubahul Fighi, Al-Huda, Asasul adab.[29]
Ulama-ulama yang mengadakan perubahan dalam pendidikan Islam di Minangkabau adalah
1.       syekh Muhd. Thaib Umar Sungayang, batu sangkar tahun 1874-1920 M.
2.      Syekh H.Abdullah Ahmad, Padang tahun 1878 M-1933M,
3.       Syekh H. Abdul karim Amrullah, Maninjau 1879-1945 M, 4) Syekh H.M. Jamil Jambek bukittinggi 1860-1947, 5) dan lain-lain.[30]
Surau –surau yang termashur di Minangkabau adalah sebagai berikut ; 1) Surau Tanjung Sungyang didirikan oleh Syekh H.M Thaib Umar pada tahun 1897 M dan masih hidup sampai sekarang dengan nama Al-Hidayah dan SMPI, PGA., 2) Surau Parabek, bukittinggi didirikan oleh Syekh H. Ibrahim Musa pada tahun 1908 M. dan masih hidup sampai sekarang dengan nama Thawalib, 3) Surau padang Japang didirikan oleh Syekh H. Abbas Abdullah pada tahun … dan masih hidup sampai sekarang dengan nama Darul funun Abbasiah, 4) dan lain-lain54.
Tentang keadaan pendidikan Islam di Minangkabau pada masa beberapa tahun sebelum tahun 1900. dilukiskan dalam skema pendidikan Islam.Dari perkembangan di awal abad ke-20, penting ditegaskan, madrasah tampak telah mengalami beberapa perubahan penting di banding masa sebelumnya. Di sini, seperti terlihat dari beberapa contoh di atas, madrasah telah berkembang menjadi satu lembaga pendidikan dengan ciri-ciri yang dikenal kini. Model madrasah ini didirikan sebagai bagian dari upaya umat untuk mengadopsi sistem pendidikan modern yang diperkenalkan kolonial, dan pada saat yang sama karena ketidakpuasan terhadap lembaga pendidikan nasional yang telah berdiri sebelumnya. Oleh karena itu, gagasan modernisasi dan kemajuan merupakan bagian inheren dari perkembangan madrasah saat itu. Madrasah merupakan salah satu perwujudan hasrat muslim untuk melangkah pada dunia baru yang disebut dengan alam kemajuan. [31]
D.    POST MODERNISME
postmodernisme disebut  sebagai  sebuah  gerakan  pencerahan  atas pencerahan, oleh karena postmodernisme sangat gigih dalam melakukan kritikan dan gugatan  terhadap  modernisme  yang  sangat  mendewakan  rasio  dalam  ilmu pengetahuan yang diyakini akan membawa dan mengarahkan manusia memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dalam kehidupannya. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, yakni manusia bukan lagi sebagai subjek dan pelaku untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi jatuh terperangkap ke dalam objek dan sasaran  yang dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Amat tragis dan ironis manusia modernis, Postmodernisme selaku sebuah fase sejarah ingin secara  tuntas  mengantisipasi  dan  membebaskan  manusia  dari  segala  bentuk cengkeraman  zaman  yang  tak  menyenangkan  inklusif  perbudakan  terhadap rasionalitas,  bendawi  dan  lain-lain.[32]
Jika dalam visi modernisme, penalaran (reason) dipercaya sebagai sumber utama ilmu pengetahuan yang menghasilkan kebenaran-kebenaran universal, maka dalam visi postmodernisme hal itu justru dipandang sebagai alat dominasi, sehingga postmodernisme menyadari bahwa seluruh budaya modernisme yang bersumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi pada titik tertentu tidak mampu menjelaskan kriteria dan ukuran epistemologi bahwa yang ‘benar’ itu adalah yang real, dan yang real benar itu adalah ‘rasional’. Meskipun postmodernisme sendiri juga berusaha menggiring manusia ke dalam sebuah paradoks, yaitu di satu pihak telah membuka cakrawala dunia yang serba plural yang kaya warna, kaya nuansa, kaya citra, tetapi di lain pihak, ia menjelma menjadi sebuah dunia yang seakan–akan tanpa terkendali.[33]
Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri. Hal ini senada dengan definisi dari dikenal sebagai nabi dari postmedernisme. Dia adalah suara pionir yang menentang rasionalitas, moralitas tradisional, objektivitas, dan pemikiran-pemikiran Kristen pada umumnya. Nietzsche sche berkata, “Ada banyak macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu ada banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.” [34]                
Menurut Romo Tom Jacob, kata ‘postmodern’ setidaknya memiliki dua arti: (1) dapat menjadi nama untuk reaksi terhadap modernisme, yang dipandang kurang human, dan mau kembali kepada situasi pra-modernisme dan sering ditemukan dalam fundamentalisme; (2) suatu perlawanan terhadap yang lampau yang harus diganti dengan sesuatu yang serba baru dan tidak jarang menjurus ke arah sekularisme. 
1.      Prinsip Postmodernisme
Prinsip  postmodernisme adalah meleburnya batas wilayah dan pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya rendah, antara penampilan dan kenyataan, antara simbol dan realitas, antara universal dan peripheral dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial dan filsafat konvensional[35]. Jadi postmodern secara umum adalah proses dediferensiasi dan munculnya peleburan di segala bidang.[36] Postmodernisme merupakan intensifikasi (perluasan konsep)  yang dinamis, yang merupakan upaya  terus menerus untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan, yang menentang dan tidak percaya pada segala bentuk narasi besar (meta naratif), dan penolakannya terhadap filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran totalitas, dan lain-lain. Postmodern dalam bidang filsafat diartikan juga segala bentuk refleksi kritis atas paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya dan berusaha untuk menemukan bentuknya yang kontemporer.
2.      Pengaruh Postmodernisme Dalam Pendidikan
Berdasarkan ciri menonjol postmodernisme, maka dapat dilacak dimana letak keterpengaruhan gerakan ini terhadap paradigma pendidikan. Pendidikan pada saat sekarang tidak lagi dipahami sebagai peneguhan proses transformasi pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah (pendidikan formal). Guru dengan demikian tidak lagi dipandang sebagai ‘dewa’ dengan segala kemampuannya untuk melakukan proses pencerdasan masyarakat. Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat pada guru. Ruang pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang sempit, yang bernama sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat, entah itu melalui pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar sekolah.[37] mengatakan bahwa proses pendidikan akan memperoleh keuntungan dari upaya membebaskan masyarakat yang cendrung mendewakan sekolah, dengan demikian kegiatan sekolah tidak lebih hanya sebagai pengkhianatan terhadap upaya pencerahan budi.
Postmodernisme yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta deferensiasi adalah bukti betapa pendidikan harus disebarkan melalui kerja-kerja yang tidak harus dibebankan pada sekolah. Apalagi, realitas membuktikan betapa sekolah justru seringkali memainkan peran dogmatis dan dominannya dalam melakukan transfer of value (transformasi nilai) serta transfer of knowledge (transformasi pengetahuan). Peran guru, bahkan juga institusi sekolah seringkali menampilkan diri dalam batas-batasnya sebagai pembelenggu kreativitas anak didik, anak didik disekolah sering diperlakukan oleh guru tak ubah sebagai bejana kosong yang siap diisi tanpa boleh dibantah, pendidikan seperti ini yang dikritik oleh Freire sebagai model pendidikan “gaya bank” (banking system) .[38] Sementara pola Sistem Kredit Semester (SKS) bahkan juga ujian akhir nasional (UAN) sebagai ukuran terakhir kemampuan anak didik adalah representasi bagi ‘penindasan’ yang dilakukan institusi-institusi tersebut terhadap pengembangan kreativitas anak didik. Beban pelajaran yang sedemikian berat, meminimilisasikan kemampuan anak didik untuk ‘melakukan’ eksperimentasi’ berdasarkan kemampuannya secara profesional, karena disibukkan dengan beban-beban yang cukup membelenggu.
Selama ini, pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran seringkali diarahkan pada penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal dalam perspektif postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami degradasi, krisis moral, krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi iptek dengan penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah mendatangkan persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat modern.
Rasio manusia an sich tidak lagi diharapkan dapat memberikan jawaban atas berbagai problem yang muncul dalam masyarakat modern, sehingga proses pendidikan hanya diarahkan pada kepentingan rasio atau nalar rasionalitas justru akan mendatangkan bencana kemanusiaan. Padahal sejak awal diyakini bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai alat untuk memanusiakan manusia. [39]Pengangkatan harkat dan martabat kemanusian tidak hanya dapat dimainkan oleh nalar rasio semata, tetapi harus integratif antara nalar rasional dan nalar spiritual.
Dalam konteks ini tidak berlebihan bila dalam konsep pendidikan nasional pengembangan kemampuan anak didik juga diarahkan pada tiga kemampuan dasar yaitu kognitif, afektif serta psikomotorik.[40] Ketidakmampuan mengembangkan ketiga ranah tersebut akan melahirkan out put pendidikan yang timpang. Itulah sebabnya, proses pendidikan harus dijalankan untuk memainkan ketiga ranah tersebut agar tetap berjalan. Kritik postmodernisme atas situasi masyarakat modern sebenarnya juga merupakan kritik atas proses pendidikan yang hanya mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang dimiliki manusia.
Dalam kondisi yang demikian postmodernisme tampil memberikan berbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan. Kritik mendasar postmodernisme terhadap modernisme telah memunculkan berbagai tema-tema penting seperti paralogy atau pluralisme [41],deferensiasi atau desentralisasi, dekontsruksi atau kritik dasar atas sebuah tatanan, relativisme, dan sebagainya. Tema-tema inilah yang sesungguhnya memberikan peluang baru bagi munculnya model (paradigma) pendidikan yang perlu diselenggarakan oleh negara ataupun masyarakat Indonesia.
FOOTNOTE
[1] Timothy R. Philips and Dennis L. Okholm, eds. Christian Apologetics in the Postmodern World (Downers Grove: InterVarsity, 1995) h, 11.
[2] Kalvin Surya, “Mengenal Postmodernisme dan Pengaruhnya bagi Kekristenan,” dalam [http://www.lrii.or.id/Artikel%200christian5.html] 1998.
[3] Kaum tradisionalis lebih senang mengikuti pendapat ulama-ulama besar di masa silam daripada mengambil
kesimpulan sendiri berdasar al-Qur’an dan hadith. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang
Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982), 1.
[4] Modernisme dalam bahasa Arab sering diistilahkan dengan tajdid yang artinya pembaruan. Dalam konteks gerakan,
kata pembaruan mengacu pada gerakan pemurnian yang berlangsung sebelum  abad ke-19. Sedangkan modernisme
digunakan  untuk  menjelaskan  gerakan  pembaruan  yang  muncul  sejak  abad  ke-19  yang  bertujuan  untuk
menyesuaikan ajaran Islam dengan pemikiran modern. Dengan demikian, gerakan modernisme Islam dapat
dipahami sebagai gerakan yang muncul pada periode sejarah Islam modern dengan mengadaptasi ajaran Islam
kepada pemikiran dan kelembagaan modern. Di Indonesia, modernisme Islam berawal dari pembaruan pemikiran
keagamaan (teologi), kelembagaan atau institusi, aspek sosial, pendidikan dan politik. Lihat Nia Kurnia dan
Amelia Fauzia, “Gerakan Modernisme,” dalam ed. Taufik Abdullah et al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Asia
Tenggara), jil. 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), 349-350.  Dalam bahasa Fazlur Rahman, gerakan pemikiran
keagamaan modernisme ini disebut dengan istilah modernisme Islam klasik
[5] Azyumardi Azra menyebutkan bahwa titik jenuh itu terjadi karena mengalami keterputusan intelektual karena
membuang khazanah intelektual yang muncul pada periode taqlid. Khazanah intelektual kaum modernis–dalam
pandangan Azra-terbatas pada generasi sahabat (salaf  al-salih}), melompat  ke (sedikit) Ibn Taymiyah, kemudian
mengadopsi pemikiran pembaru mulai abad ke-17 seperti Shah Wali Allah, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab,
Jamal  al-Din  al-Afghani,  Muh}ammad  ‘Abduh  dan  Rashid  Rida.  Lihat  Azyumardi  Azra,  “Mengkaji  Ulang
Modernisme Muhammadiyah,” Kompas, 9 Nopember 1990.
[6] Dalam perspektif Fazlur Rahman, meskipun semangat modernisme klasik telah benar, namun mereka setidaknya
memiliki dua kelemahan mendasar. Pertama, tidak mengurai secara tuntas metode yang secara semi implisit
terletak dalam menangani masalah-masalah khusus dan implikasi prinsip-prinsip dasarnya. Kedua, tidak dapat
dihindari  mereka  mengesankan  sebagai  agen  westernisasi.  Lihat  Rumadi, Post  Tradisionalisme  Islam:  Wacana
Intelektualisme dalam Komunitas NU (Jakarta: Ditjen Diktis, 2007), 14.
[7] Bahasan lebih jauh mengenai neo-modernisme Islam periksa Fazlur Rahman, Neo-Modernisme Islam: Metode dan
Alternatif, ed. Taufik Adnan Amal (Bandung: Mizan, 1989). Lihat juga Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di
Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, terj.
Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999).
[8] Rumadi, Post Tradisionalisme, 15
[9] Dalam diskursus akademik, istilah post tradisionalisme ini dipandang tidak lazim, karena belum dijumpai dalam
kamus, juga belum ada ilmuwan yang menggunakan istilah ini. Bahkan menurut Khamami Zada, justru lahir di
Indonesia, yang disuarakan oleh gerakan kritis generasi muda dari kalangan Islam tradisional.  Periksa Khamami
Zada, “Mencari Wajah Post Tradisionalisme Islam”, Tashwirul Afkar, No. 9 (2000), 2-5.
[10] ost-Tradisionalisme  Islam  ini,  sebagaimana  diidentifikasi  dalam  disertasi  Rumadi,  tumbuh  subur  pada
pemahaman keagamaan generasi muda kritis kalangan Nahdlatul Ulama (NU), yang pada satu sisi berusaha agar
akses mereka terhadap dinamika kehidupan modern terbuka lebar, namun pada sisi lain, mereka tetap berobsesi
untuk tidak tercerabut pada dinamika akar tradisionalitasny
[11] Seperti pemikiran  Hassan Hanafi, Mahmoud Mohammed Thaha, Abdullahi Ahmed al-Na’im, Arkoun, Nasr
Hamid Abu Zayd, Mohammed Syahrour dan  Khalil Abd al-Karim.
[12] Terdapat argumentasi yang dapat digunakan untuk mempertanggungjawabkan hal ini: Pertama-tama Muhammad
Abid al-Jabiri dikenal dengan proyek metodologis “Kritik Nalar Arab”-nya. Ada dua hal yang ditawarkan proyek
kritik tersebut: kritik nalar epistemologis dan kritik nalar politik. Kritik nalar epistemologis disebut juga “nalar
spekulatif ”, mengambil bentuk arkeologi yang meneliti persoalan cara-cara dan mekanis mereproduksi pengetahuan
yang berlaku di kalangan umat Islam hingga kini. Yang ditelaah misalnya bagaimana us}u> l al-fiqh membentuk pola
pikir umat Islam dengan metodologi qiya>s-nya (analogi) yang cenderung mengarah pada sakralisasi, bukan hanya
pada soal hukum-hukum agama, tapi juga dalam segenap spektrum kebudayaan manusia, mulai dari bahasa,
sastra, teologi, filsafat, hingga politik (misalnya kalau berbicara tentang sosialisme yang “Islami”). Sementara
kritik nalar politik, yang dikenal dalam kategori “nalar praktis”, menekankan sebuah praksis, dengan fokus kritik
kepada cara-cara berkuasa dan menguasai. Yang dibedah misalnya adalah persoalan keterkaitan munculnya disiplin
siyasah  shar‘iyyah atau fiqh  al-siyasah dengan  strategi  militeristik  kekuasaan  khalifah  untuk  menundukkan
masyarakatnya”. Ahmad Baso, “Pengantar penerjemah: Post Tradisionalisme sebagai Kritik Islam, Kontribusi
Metodologis Kritik Nalar Muhammed Abed al-Jabiri,” dalam Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme
Islam (Yogyakarta: LKiS, 2000), 33
[13] Abdurrahman, Moeslim, Semarak Islam Semarak Demokrasi? Cet I. (Pustaka
Firdaus: Jakarta, 1996), h. 67
[14] Atas dasar itu mereka selalu menaruh curiga atas berbagai narasi besar, baik yang diproduksi melalui tradisi,
ideologi, maupun teks suci. Bagi komunitas ini, narasi besar hanya ingin melakukan monopoli atas kebenaran.
Ideologi-ideologi besar dunia,  bahkam juga tafsir dominan  atas agama sebenarnya juga  ingin memonopoli
kebenaran. Atas dasar itu, mereka menolak segala bentuk penunggalan itu, karena “penunggalan” tidak akan
mampu menyelesaikan persoalan. Sampai di sini, catatan Marzuki Wahid atas “Manifesto Perang Kebudayaan”
Kaum Muda NU 2015 di Malang 2001 sangat menarik untuk disimak. Dalam dokumen tersebut, disebutkan
target gerakan kaum muda NU antara lain: 1) rebut kepemimpinan moral dan intelektual di segala lini gerakan
kemasyarakatan,  2)  konsisten  di  jalur  politik  ekstra  parlementer  berbasis  multikulturalisme  dengan  tetap
menghormati “orang lain” sebagai warga negara, lengkap dengan tradisi dan kebudayaannya sendiri, dan 3)
menyiapkan secara serius paradigma economical society dan membangun basis ekonomi mandiri demi penciptaan
civil society. Lihat Marzuki Wahid, “Post-Tradisionalisme Islam,” 17
[15] Mereka tidak segan-segan mengkritik tradisinya, bahkan doktrin keagamaan yang selama ini diterima secara taken
for granted. Doktrin teologi Aswaja yang bertahun-tahun mulai mereka pertanyakan, baik doktrinnya itu sendiri
maupun kemampuan dan relevansinya dengan perkembangan zaman, sehingga digagas teologi kemanusiaan
yang lebih transformatif. Dalam bidang fikih mereka juga menggagas kontekstualisasi fikih dan kitab kuning,
sehingga melahirkan fikih rakyat, fikih perburuan, fikih ijtima yah (sosial), fikih politik yang berorientasi rakyat, dan
sebagainya.
[16] Alisyahbana, Iskandar (ed), Perubahan, Pembaharuan dari Kesadaran Menghadapi
Abad XXI, (Dian Rakyat : Jakarta:, 1988), h. 76
[17] M. Amin Abdullah,  Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Cet. I, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta
, 1995,) h. 89
[18] Ibid,
[19] A.  Rahman Getteng, Pendidikan  Islam  dalam  Pembangunan,  (Ujungpandang:
Yayasan al Ahkam, 1977), h. 91
[20] Ibid,
[21] Ibid
[22] Azyurmadi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, Jakarta : Logos 1990,h. 121
[23] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada periode klasik dan Pertengahan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, h.88
[24] Azyumardi, Ibid,  h. 198
[25] Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, 1984), Hal 63
[26] Mahmud Yunus,Ibid  hal 50
[27] Deliar Noor, Gerakan…, h. 50-58. Untuk pembahasan komprehensif tentang kasus Sumatera Thawalib, lihat Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam : Kasus Sumatra Thawalib (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990).
[28] Deliar Noor, Gerakan…, h. 84-95. Lebih jelasnya lihat Alfian, “Islamic Modernism in Indonesian Politics : The Muhammadiyah during the Colonial Period”, Ph. D. Thesis, University of Wisconsin, Madison, 1969
[29] Mahmud Yunus, Ibid,hal 67
[30]  Ibid,hal 59
[31] Mahmud Yunus, Ibid,hal 50
[32] Norris, Christopher  Membongkar teori dekonstruksi Jaques Derrida, Terjemahan. Inyiak Ridwan Muzir.(  Ar-Ruzz: Yogyakarta, 2003), h. 344
[33] Pilliang, Amir Yasraf, Posrealitas: Realitas kebudayaan dalam era posmetafisika.Jalasutra: Yogyakarta, 2004) h. 358
[34] Pauline Marie Roesnou, Post-modernism and the social science: Insights inroads, and intrusions.Rinceton University Press: Priceton, 1992), h. 31
[37] Illich Ivan,. Bebaskan masyarakat dari belenggu sekolah. Terjemahan, Sonny Keraf. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003). H-33-34
[38]  Paulo Freire,  politik pendidikan: kebudayaan, kekuasaan dan pembebasan, Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto,  (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2002), h. 28
[39] Mulyasa, E.. Kurikulum berbasis kompetensi konsep, karakteristik, dan implementasi.Rosdakarya: Bandung 2003) h. 7
[40] Paul Suparnol, “Relevansi dan reorintasi pendidikan di Indonesia”, dalam, Basis, No. 01-02 Tahun ke 50, Januari-Februari, 2001, h. 43
[41] Santoso, Listiyono, “Postmodernisme: Kritik Atas Epistemologi Modern, dalam, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003) h. 331

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...