TIGA KAIDAH MANTIQ
OLEH: Syahrul Ramadhan
Tempat: GPL
Waktu: 17.26 WIB
Tangga: selasa 24 april 2018
Ada seorang penulis menyatakan secara tidak langsung bahwa
konsep trinitas dalam Kristen itu tak jauh beda dengan konsep keberbilangan
sifat Tuhan yang diyakini oleh umat Islam.
Sepintas, pandangan tersebut bisa saja memuaskan sebagian orang.
Namun, jika kita telaah secara lebih teliti, rancangan argumen yang berbasis pada
penyamaan dua hal yang berbeda itu sejujurnya sudah menyalahi salah satu aturan
berpikir yang disepakati oleh orang-orang berakal.
Betul bahwa Islam mengakui keragaman sifat Tuhan. Tapi,
keragaman sifat tentu tak akan berpengaruh pada keesaan Dzat. Islam mengakui
adanya satu Dzat dengan keragaman sifat. Sementara Kristen mengimani adanya
tiga Dzat (meskipun mereka mengakuinya satu), di samping tentunya mereka juga
mengakui keragaman sifat.
Atas dasar itu, konsep keragaman sifat Tuhan dalam Islam tak bisa
disamakan dengan konsep keberbilangan Dzat yang melekat dalam teologi Kristen.
Karena sifat jelas berbeda dengan zat.
Di sisi lain, kita juga kerap melihat orang-orang yang
mempersamakan suatu istilah, padahal sesungguhnya istilah yang mereka
persamakan itu berbeda alias tidak sama.
Kita melihat ada orang yang berkata bahwa khilafah itu sama
dengan teokrasi. Pancasila sama dengan thagut. Keramat para wali sama dengan
takhayyul. Liberalisme itu sama dengan Sekularisme. Pluralisme itu sama dengan
Nihilisme. Syiah itu sama dengan Yahudi. Muktazilah itu sama dengan JIL. Dan
contoh-contoh serupa lainnya.
Sadar atau tidak, cara pandang seperti itu juga sudah menyalahi
aturan berpikir. Hanya karena ada titik persamaan di satu sisi, kadang kita
mudah mengabaikan perbedaan dalam sisi yang lain. Nalar yang sehat jelas tidak
akan bisa menerima cara berpikir seperti ini. Karena sesuatu yang berbeda tidak
bisa dipandang sama.
Melalui contoh di atas, saya tak bermaksud untuk mengulas
perdebatan seputar konsep keesaan Tuhan antara Kristen dan Islam, juga tak
ingin masuk lebih jauh dalam mendiskusikan ideologi-ideologi modern yang
jumlahnya cukup melimpah dan sarat dengan perdebatan.
Kasus di atas hanyalah sebagai contoh untuk membuktikan bahwa
sekalipun kita dibekali argumen yang melimpah, kadang kala kita terjebak dalam
kesalahan berpikir ketika kita tidak mengetahui kaidah-kaidah yang benar dalam
berpikir.
Bermula dari kesalahan berpikir itulah, diskusi dan perdebatan
yang kita langsungkan sering kali berujung dengan kesia-siaan. Lagi-lagi, ilmu
mantik dalam dalam hal ini sangat berperan besar. Karena ilmu ini, seperti yang
sudah saya singgung pada tulisan yang salu, mengajarkan kita kaidah-kaidah berpikir yang tepat dan
benar.
Sebelum kita merangkak lebih jauh, ada baiknya kita mengenal
terlebih dulu tiga kaidah berpikir yang sudah disepakati oleh para ahli ilmu
logika (al-manathiqah).
Tiga kaidah ini penting untuk dibahas. Karena, betapapun terangnya kebenaran
kaidah tersebut, kita sering kali menyaksikan orang-orang yang menyalahinya.
Lantas, apa saja tiga kaidah yang dimaksud? Mari kita mulai satu
persatu.
1. Qanûn al-Dzâtiyyah/Qanûn
al-Huwiyyah (Law of Identity)
Secara sederhana, kaidah pertama ini hendak menegaskan bahwa
setiap sesuatu itu memiliki hakikat dan ciri khasnya yang bersifat tetap, yang
dengan ciri khas tersebut mereka bisa berbeda satu sama lain dan tidak bisa
dipersamakan.
Kaidah ini bisa dirumuskan sebagai berikut: A=A, B=B, tidak
mungkin A=B atau B=A. Meskipun A dan B memiliki esensinya yang sama, misalnya,
tapi identitas mereka pada akhirnya akan berbeda. Dengan kata lain, setiap
sesuatu itu memiliki ciri khas. Dan ciri khas itulah yang menjadi titik pembeda
antara yang satu dengan yang lainnya.
Misalnya, saya dan Lee Min Ho. Dengan identitas yang saya miliki
sekarang ini; dari mulai wajah yang pas-pasan, badan kurus, rambut kusut, berat
badan 55 kilo, dan seterusnya, orang-orang mengenal saya sebagai Muhammad
Nuruddin. Dan sampai kapan pun, saya—dengan seluruh identitas yang saya
miliki—adalah Muhammad Nuruddin.
Jika kelak Tuhan menganugerahkan saya wajah setampan Lee Min Ho,
badan segagah Primus, rambun serapi Afgan, dan mata setajam Dude Herlino, misalnya,
saya tetap saja Muhammad Nuruddin. Bukan Lee Min Ho, bukan Afgan, ataupun Dude.
Mengapa? Karena, baik saya, Lee Min Ho, Afgan, maupun Dude, punya identitasnya
masing-masing. Dan identitas itulah yang membedakan kami.
Anda tidak bisa berkata bahwa Lee Min Ho itu Afgan atau Afgan
itu Lee Min Ho. Anda juga tidak bisa berkata bahwa saya itu Dude dan Dude itu
saya. Mengapa? Karena, sekali lagi, kita semua memiliki ciri khas yang
membedakan. Dan ciri khas itu bersifat tetap (tsabit), tidak berubah-ubah. Tampilan
bisa berubah, tapi ciri khas bersifat tetap.
Contoh lain. Tuhan dan makhluk. Hakikat Tuhan dan makhluk sudah
jelas berbeda. Karena itu, menurut hukum logika, kita tidak bisa mengatakan
bahwa Allah itu makhluk dan makhluk itu adalah Allah. Allah ya Allah. Makhluk
ya makhluk. Tidak bisa dipersamakan.
Jika kemudian Anda menemukan salah satu aliran filsafat yang
memandang bahwa Tuhan itu sama dengan makhluk dan makhluk itu sama dengan
Tuhan, maka, menurut hukum akal, kesimpulan itu jelas keliru dan tidak bisa
kita terima. Mengapa? Karena, sekali lagi, dua hal yang berbeda tidak bisa
dianggap sama. Masing-masing memiliki ciri khasnya.
Contoh satu lagi. Anda tidak bisa berkata bahwa Islam itu
Kristen dan Kristen itu Islam hanya karena dua agama tersebut meyakini keeesan
Tuhan. Meski ada semen perekat yang menyatukan keduanya, tapi tetap saja
masing-masing dari dua agama itu memiliki identitas yang berbeda. Islam,
misalnya, meyakini kenabian Nabi Muhammad saw, sementara Kristen tidak.
Kaidah ini sangat masuk akal. Tak ada ruang bagi nalar kita
untuk memberikan penolakan.
Dulu, di zaman Yunani, kaum sofis selalu bermain-main dengan
terma-terma tertentu tanpa peduli dengan makna-makna yang dikandungnya. Sampai
sekarang, orang-orang seperti itu masih sering kita saksikan. Kerusuhan dan
keresahan yang kita lihat dewasa ini sering kali bermula dari orang-orang
seperti itu.
Jika kaidah ini kita abaikan, maka kita akan mudah
mencampuradukkan dua hal yang dari satu sisi tertentu boleh jadi sama, tapi
pada hakikatnya mereka adalah sesuatu yang berbeda. Dan itu sering terjadi,
baik dalam diskusi-diskusi ilmiah, apalagi di dunia sosial media.
Dengan mematuhi hukum ini, kita juga tidak boleh mempersamakan
antara satu ideologi dengan ideologi lainnya, karena masing-masing memiliki
ciri khasnya, kecuali memang sama.
Anda tidak bisa berkata bahwa liberalisme itu sama dengan
sekularisme dan sekularisme itu, misalnya, sama dengan pluralisme, lalu
pluralisme itu disamakan dengan atheisme. Mengapa? Karena masing-masing dari ideologi
tersebut, sekali lagi, memiliki ciri khas yang menjadi titik pembeda antara
yang satu dengan yang lainnya.
2. Qanun 'Adam al-Tanaqudh (Law of non-Contradiction)
Maksud dari kaidah ini sangat mudah dan, saya kira, disepakati
oleh semua orang, kecuali oleh mereka yang nalarnya bermasalah.
Kaidah ini hendak menegaskan bahwa dua hal yang bertentangan
tidak mungkin terhimpun pada saat dan tempat yang bersamaan (al-Naqidhân
la yajtami'ân). Seperti ada dan tiada, baik dan tidak baik, sukses
dan tidak sukses, serta contoh-contoh serupa lainnya.
Contoh sederhana: Ada dan tiada tidak mungkin terhimpun menjadi
satu. Anda tidak bisa mengatakan bahwa saya ada di dalam kampus, tapi juga
tidak ada di dalam kampus. Tapi, Anda mungkin saja mengatakan bahwa saya tidak
ada di dalam kampus, tapi ada di depan kampus. Mengapa? Karena tempatnya sudah
berbeda. Anda juga bisa mengatakan bahwa saya ada kemarin, tapi tidak ada
sekarang. Mengapa? Karena waktunya sudah berbeda.
Anda tidak bisa mengatakan bahwa Dzat Tuhan itu Esa, tapi
sekaligus berbilang. Mengapa? Karena keesaan dan keberbilangan adalah dua hal
yang bertentangan. Dan dua hal yang saling bertentangan tidak mungkin menyatu.
Dan akal sehat kita jelas akan mengamini itu.
Tapi, Anda bisa saja mengatakan bahwa Dzat Tuhan itu Esa, namun
sifatnya berbilang. Kenapa? Karena objek yang dimaksud sudah berbeda. Yang
pertama Dzat, yang kedua sifat.
Sebetulnya, syarat untuk menentukan apakah dua hal yang berbeda
itu kontradiktif atau tidak bukan hanya tempat dan waktu. Setidaknya, menurut
para ahli ilmu logika, sesuatu bisa dikatakan kontradiktif kalau menyatu dalam
delapan aspek dan berbeda dalam tiga aspek. Persoalan ini mungkin perlu kita
bahas secara terpisah.
Tapi, poin utamanya sekarang adalah: dua hal yang bertentangan
itu tidak mungkin terhimpun. Kaidah kedua ini adalah bentuk negatif dari kaidah
yang pertama. Jika pada kaidah pertama kita menyatakan bahwa A itu adalah A,
maka dalam saat yang sama, kaidah ini menolak pernyataan bahwa A bukan A.
3. Qanun al-Imtina'/Qanun al-Tsalits
al-Marfu' (Law of Excluded Middle)
Kaidah terakhir ini adalah bentuk negatif dari kaidah yang
kedua. Jika kaidah kedua mengatakan bahwa dua hal yang bertentangan itu tak
mungkin berkumpul, maka kaidah ketiga ini hendak menegaskan bahwa: dua hal yang
bertentangan itu tidak mungkin saling mendustakan (al-Naqidhân la yukadzziban). Dengan
ungkapan lain, salah satu dari dua hal yang bertentangan itu harus benar. Tidak
ada kemungkinan ketiga.
Sebagai contoh, hidup dan tidak hidup. Anda tidak bisa mengatakan
bahwa si A itu hidup, tapi juga tidak hidup. Mengapa? Karena tidak ada
kemungkinan ketiga. Sesuatu itu ya kalau nggak hidup, ya mati. Anda tidak bisa
mengatakan bahwa Tuhan itu ada, juga tidak ada. Salah satunya harus ada yang
benar. Mengapa? Karena sudah tidak ada kemungkinan ketiga.
Contoh lain, gerak dan diam. Anda tidak bisa mengatakan bahwa
gelas ini tidak bergerak, tapi juga tidak diam. Mengapa? Karena, sekali lagi,
kemungkinan ketiga sudah dikeluarkan (excluded). Karena itu, salah satu
dari keduanya harus ada yang benar. Jika yang pertama benar, maka yang kedua
pasti salah. Jika yang kedua salah, maka yang pertama pasti benar.
Namun, penting dicatat bahwa kita perlu membedakan antara dua
hal yang bertentangan (al-Naqidhan), dengan dua hal yang
(hanya) berlawanan (al-Diddhan). Yang dimaksud oleh
kaidah kedua dan ketiga adalah yang pertama, bukan yang kedua. Dua hal yang
berlawanan tidak mungkin terkumpul, tapi bisa jadi keduanya terangkat. Dengan
kata lain, salah satu dari keduanya tidak harus benar. Tidak halnya seperti dua
hal yang bertentangan di atas.
Contoh sederhana, hitam dan putih. Dua warna itu saling
berlawanan, tapi sebenarnya tidak saling bertentangan. Anda bisa saja
mengatakan bahwa barang ini tidak hitam, juga tidak putih. Karena bisa jadi
hijau, kuning, merah, dan seterusnya.
Tapi, Anda tidak bisa mengatakan bahwa barang ini hitam
sekaligus putih. Kalaupun hitam dan putih itu berkumpul, hitam ya tetap hitam,
putih ya tetap putih. Jika keduanya melebur, maka yang terlahir bukan hitam
ataupun putih, melainkan warna lain.
Contoh lain: antara di Istana dengan di luar istana. Anda tidak
bisa mengatakan bahwa Jokowi itu ada di istana juga ada di luar istana dalam
saat yang sama. Tapi, Anda bisa saja berkata bahwa Jokowi itu tidak di istana,
juga tidak di luar istana. Mengapa? Karena masih ada kemungkinan ketiga,
keempat, dan seterusnya. Bisa jadi Jokowi sedang di rumahnya, di pasar, di
mall, dan di tempat-tempat lainnya.
Inilah tiga prinsip berpikir yang perlu kita ketahui sebelum
mengenal kaidah-kaidah lainnya. Kesimpulannya, yang pertama hendak mengatakan
bahwa dua hal yang berbeda itu tidak boleh dianggap sama. Kaidah kedua
mengatakan bahwa dua hal yang bertentangan tidak mungkin terhimpun dalam waktu
dan tempat yang sama. Sedangkan kaidah terakhir ingin mengatakan bahwa dua hal
yang bertentangan itu tidak mungkin saling mendustakan satu sama lainnya.
DEMIKIAN
SYAHRUL RAMADHAN MUHAMMAD ZEIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar