“KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB”
السَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
لْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ
وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ، اَلنَّبِيِّ
اْلأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ؛
Sodara-sodara kaum
muslimin rahimakumullah.
Di dalam kehidupan
dunia ini kita senantiasa mengambil I’tibar contoh dan teladan dari
kehidupan orang-orang sebelum kita. Itu sebabnya kepada baginda nabi kita
Muhammad saw. Allah SWT. menceritakan kisah para nabi sebelum beliau dalam
ayat:
وَكُلًّا نَقُصُّ
عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ ۚ…….
Artinya: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu,
ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu……” (Qs. Huud: 120).
Demikianlah kami ceritakan kepadamu wahai Muhammad sebagian
rasul-rasul sebelum kamu yang dengan demikian itu akan memperkuat hatimu,
meneguhkan keyakinanmu dan emmntapkan pendirianmu.
Inilah manfaatnya belajar dari sejarah, jadi jangankan kita baginda
nabipun oleh Allah SWT. diceritakan para nabi sebelum beliau yang dimusuhi oleh
ummatnya, yang di cacimaki oleh kaumnya, yang terusir dari kampong halamannya
bahkan ada yang sampai terbunuh oleh ummatnya. Itu seluruhnya merupakan I’tibar
مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ untuk memantapkan
langkahmu, meneguhkan keyakinanmu dan menguatkan pendirianmu menghadapi
perjuangan ini. Sehubungan dengan itu pada pertemuan kali ini Al-Fakir ingin
menyampaikan satu cuplikan kecil dari kehidupan seorang sahabat utama baginda
nabi yaitu sayyidina Umar bin khattab R.a
Beliau adalah umar bin khattab bin nufail bin abdil uzza dari sku
Quraisy golongan bani adi. Keperawakannya berani, tegas dan tidak pernah takut
kepada siapapun. Oleh karena itu dalam kehidupan beragama hidayah merupakan
sesuatu yang penting. Bagaimanapun banyak dosa dan kesalahan yang telah
dilakukan oleh seseorang tidak seharusnya menyebabkan ia putus asa dari rahmah
Allah, sebaliknya bagaimanapun banyak kebajikan dan kebaikan yang sudah
dikerjakannya tidak perlu membuat dia besar hati, puas, bangga apalagi menjadi
lalai karenanya sebab kita belum tahu akan bagaimana ujung perjalanan kehidupan
kita ini apakah akan mati khusnul khatimah atau su’ul
khatimah.
Saudara-saudara, kisahnya masuk Islam pun merupakan kisah yang
menarik. Pada suatu hari denga pedang
terhunus Umar bin khattab menuju darul arqam tempat dimana nabi dan para
sahabat biasa berkumpul, melihat mukanya yang bringas, matanya yang nanar,
orang sudah menyangka dan mengerti ini tentu akan terjadi pembunuhan.
Dalam perjalanan menuju darul arqom umar bertemu dengan nuaim bin
abdillah. Nuaim bertanya “ya umar, mau kemana ente?” kata umar “mau membunuh
itu si murtad itu” kata umar, lalu nuaim bertanya lagi si murtad yang mana?” di
jawab oleh umar “yang mana lagi, yang memecah belah kita, yang menghina
berhala-berhala kita, yang menjelek-jelekan nenek moyang dan keturunan kita
siapa lagi kalau bukan Muhammad?” kata nuaim “gak salah umar?” dijawab
umar”tidak salah lagi!”, nuaim berkata “salah umar! Apa kamu tidak malu kamu
mau pergi emmbunuh Muhammad sementara adikmu saja Fatimah dia sudah termasuk
salah seorang dari penikut Muhammad”. Mendengar ini mata yang tadinya memang
sudah merah, sudah merah dan marah tambah jadi kelabu. Bukan main mangkelnya
umar bin khattab. Orang lain dia musuhi, orang lain dia kejar-kejar, ini malah
adiknya sendiri jadi pengikut baginda nabi saw.
Tidak jadi menuju darul arqom, dia berangkat kerumah adiknya
Fatimah. Adapun dirumah Fatimah sedang berkumpul Fatimah, suaminya said bin
zaid dan seorang sahabat bernama habbab ibnul araq. Mereka sedang membaca
Qur’an, waktu itu Quran belum lagi di jilid macam sekarang jadi masih merupakan suhuf atau lembaran-lembaran tercecer saja.
Ketuk pintu tok, tok, tok “siapa di luar?” di jawab umar “Umar!”. Mendengar
suaranya saja ini sahabat yang namanya habba ibnul araq ini sudah lari
kebelakang pintu, komat kamit sambil membaca doa semoga diselamatkan.
Adapun Fatimah yang sedang memegang suhuf menyembunyikan suhuf itu
dibelakang bajunya. Umar masuk “Fatimah?” dijawab oleh Fatimah “iya bang” umar
berkata “apa benar berita yang saya dengar?” kata Fatimah “berita apa bang?”
umar “bahwa kau sudah masuk islam!” Fatimah menjawab “bang andaikata Muhammad
benar bagaimana?” umar “sudahlah jangan berbelit-belit jawab saja kau sudah
masuk islam atau tidak!” Fatimah “iya”.
Sodara
hadirin, begitu dikatakan “iya” tangannya langsung melayang menampar muka
adiknya itu sehingga mengalir darah dari hidungnya dan suaminya said bin zaid
yang emncoba melindungi istrinya di pegang lehernya di banting dan di duduki
dadanya, oh jawara ini. Namun pada saat sedemikian itu suara kebenaran
terpantul dari bibir Fatimah “umar, apakah engkau memukul orang yang bersaksi
tiada tuha selain Allah dan Muhammad rasulullah? Apakah engkau menganiaya
seseorang yang terpanggil untuk emngikuti kebenaran, manusia macam apa kau
umar?”. Sodara, dia memang orang keras tapi hatinya mudah menerima kebenaran, sehingga
mendengar kalimat adiknya ini tercenung dia, mlongok, bengong kata anak
sekarang Kalau bukan karena keyakinannya yang mantap, tidak mungkin
adik saya berkata seperti ini, pikir Umar. Fatimah berani berkata demikian
kepada Umar pasti karena keyakinannya kepada Islam. Karena tanpa keyakinan, tak
ada satu orang pun yang berani melawan Umar, singa padang pasir, kafir Quraisy. Malahan dia
termasuk salah seorang jagoan di tradisi masyarakat jahilia itu ada satu pasar
yang namanya pasar ukaz setiap tahun disitu diadakan pesta lalu diadakanlah
berbagai perlombaan juga seperti pertandingan syair, perlombaan balap kuda,
memanag, ghulat.
Suhuf yang disembunyikan dibelakang bajunya tersembu, kata umar
“apa yang kamu sembunyikan di belakang bajumu?” kata Fatimah “suhu!”, Tanya
umar “apa itu suhuf?” dijawab adiknya “lembaran Al-Qur’an” kata umar “coba saya
lihat?” kata Fatimah ‘enggak boleh!” Tanya umar “kenapa?” jawab Fatimah “kamu
kotor, orang kotor nggak boleh memegang Al-Quran”, kata umar “saya ma lihat!”
Fatimah “nggak boleh, kalo kamu ingin lihat mandi dulu!”. Di turutinya
permintaan adiknya itu lalu diambilnya suhuf tadi. Dia baca dan kebetulan surah
yang di bacanya ayat pertama surah thaha yang berlanjut dengan ayat 14 pada
surah yang sama di bacanya:
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ . طه . مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ
الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ . إِلَّا
تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَىٰ .
Artinya: “Thaha. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar
kamu menjadi susah. Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah). (Qs. Thaha: 1-3)
Thaha tidaklah aku turunkan Al-Quran ini untuk bikin sukar manusia
melainkan merupakan pengingat bagi orang-orang yang takut kepada Allah. Lalu
pada ayat 14:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ
إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Artinya: “Sesungguhnya Aku ini
adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Qs. Thaha: 14)
Sesungguhnya aku inilah Allah tidak ada tuhan melainkan aku
maka hendaklah kepadakulah kamu menyembah وَأَقِمِ
الصَّلَاةَ لِذِكْرِي dan dirikan sholat untuk mengingat aku, lalu di ayat 15:
إِنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ أَكَادُ
أُخْفِيهَا لِتُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَىٰ
Artinya: “Segungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan
(waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan”
(Qs. Thaha: 15).
Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang yang sengaja
waktunya kami tidak beritahukan waktunya kepada kamu semua untuk kami balas
segala setiap orang tentang apa saja yang telah mereka lakukan dalam kehidupan
dunia ini. Setelah membaca ayat ini gemetar tangannya “ah inisih nggak
main-main ini, ini belum pernah say abaca ajaran semacam ini tidak patut orang
yang mempunyai kitab suci semacam ini dimusuhi, ini sesuatu yang benar”.
bergetar jiwanya “hey Fatimah, Muhammad dimana Muhammad?” jawab Fatimah “saya
tidak akan beritahu kepada kamu” umar tegas lagi “dimana!” kata Fatimah “saya
tidak akan memberitahu lebih baik kamu bunuh saya kalau memang maksudmu mau
mencelakakan Muhammad” kata umar “sama sekali saya tidak akan mencelakan dia
Fatimah, kasih tau saja dimana!” jawab Fatimah “Darul arqom!”.
Di dalam (darul arqom) nabi memang sedang berkumpul bersama
sahabat termasuk ada sayyidina hamzah yang juga terkenal jawara juga. Ketok
pintu, “siapa diluar?” di jawab “Umar!” di dalam ini geger sebagian sahabat
umar datang ini bencana, umar datang wah kalo istilah kampong Kerok dah nih
urusan. Tapi baginda nabi menenangkan mereka, “tenang mudah-mudahan ada
hikmahnya” lalu sayyidina hamzah tampil bukakan dia pintu jika niatnya baik
kita terima kalau niatnya buruk saya paling depan. Dibukakan pintu, begitu di
bukakan pintu Umar masuk merangkul baginda nabi kemudian dengan tersendak
mengatakan ا شهد أن لا إله إلا الله و اشهد أن محمد ر سو ل الله saya bersaksi
bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan saya bersaksi bahwa engkau wahai Muhammad
adalah utusan Allah. Sahabat takbir semua, Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu
akbar kegembiraan meliputi suasana pada waktu itu, kenapa? Karena sebelumnya
dikala umar belum masuk islam dia merupakan ganjalan yang paling di khawatirkan
umat islam….dan dia masuk islam bukan bujuk rayu orang, tidak karena diberikan
harta, tidak karena di iming-iming oleh kedudukan tinggi tapi karena kebenaran
hidayah menembus hatinya….
Satu
hari ketika di darul arqam kumpul-kumpul waktu itu nmabi belum berdakwah secara
terang-terangan karena pengikut masih sedikit, sayyidina umar usu “ya rasul !”
kata baginda nabi “ada apa umar?” kata sayyidina umar:
علسن عل الحق بمتىن ومحىان
“Bukankah kita ini berdiri di atas sesuatu
yang benar? Bukankah hidup dan mati kita ini untuk melakukan sesuatu yang benar?”
فلا
ىاعمر والّذى نفس بىده انّكم لعل الحق
“Betul,
Umar. Demi Allah, Umar. Sesungguhnya kamu dan kita semua ini berdiri di atas
jalan kebenaran, baik hidup atau pun mati.”
Setelah
mendengar jawaban seperti ini, Umar lantas masuk ke dalam tujuan pembicaraannya:
اذن
ىارسل: ففىم الأختفه؟
“Kalau
memang begitu, Ya Rasul, kalau memang kita berdiri di atas kebenaran, kita
hidup karena kebenaran, kita mati pun karena memperjuangkan kebenaran, lalu
kenapa kita harus bersembunyi? Demi Allah, Ya Rasul. Anda harus keluar dan
menyampaikan ajaran Islam ini kepada orang banyak dan kami akan selalu mendampingimu
dengan segenap jiwa dan raga.”
Sekali
ia masuk Islam, usul Umar gak tanggung-tanggung. Yang seperti inilah yang kita
perlukan sekarang ini. Umar rela memberikan jiwa dan raganya untuk kemajuan
Islam.
Setelah masuk Islam, Umar juga sering mengunjungi
tempat-tempat yang dulu ia pernah melakukan maksiat dan kesalahan. Hingga ia
berkata, “Tak ada tempat yang saya pernah melakukan kesalahan di sana sebelum
masuk Islam melainkan saya melakukan kebaikan di sana setelah masuk Islam.” Bahkan dalam satu riwayat mengatakan bahwa meski
perawakan beliau yang kekar, tinggi tegap dan orang lain takut menghadapinya,
di sisi lain hati Umar mudah tersentuh ketika mendengar ayat-ayat Al-Qur’an.
Diceritakan
kadang-kadang Umar ketika shalat dan menoleh ke kanan ia tersenyum sedangkan
jika menoleh ke kiri ia menangis berurai air mata. Jika ditanya tentang hal
ini, Umar menjawab, “Semua ini karena saya sedang mengingat betapa jahil-nya
saya sebelum masuk Islam. Jika menoleh ke sebelah kanan dan saya tersenyum itu
karena saya sedang menertawakan kelakuan konyol saya dulu yang membuat berhala
sendiri dari pohon kurma lantas saya sembah sebagai Tuhan. Setelah saya sembah,
saya makan itu kurma. Adapun jika saya menoleh ke kiri, saya teringat putri
saya. Pada waktu itu saya terbawa oleh tradisi Jahiliyah, takut menanggung aib
karena memiliki anak perempuan hingga saya menguburnya hidup-hidup, bayi yang
masih kecil itu saya bunuh, anak saya sendiri. Betapa sekarang saya sangat
bersedih hati jika mengingat hal ini.” Padahal Nabi sudah
memberikan jaminan bahwa orang kafir yang masuk Islam maka seluruh dosa yang
lalu (saat masih kafir) akan diampuni oleh Allah dan perhitungan amal baik dan
buruknya untuk akhirat kelak dihitung (dihisab) sejak ia masuk Islam.
Cinta
Umar kepada Baginda Nabi itu sungguh luar biasa. Dalam setiap pertempuran, Umar
selalu berada di barisan terdepan untuk membela agama Islam. Bahkan di hari
wafatnya Baginda Nabi, Umar tidak langsung mempercayainya saat berita itu
sampai kepadanya. “Ya Umar, Baginda Nabi sudah wafat.” “Kamu ngomong apa, hah?” Bukannya sedih, Umar
malah mengeluarkan pedangnya dan matanya melotot lalu berteriak, “Siapa yang
bilang bahwa Muhammad telah mati maka saya akan tebas batang lehernya.” Begitu cintanya beliau kepada Nabi Muhammad, sehingga ia
tidak langsung menerima bahwa Nabi telah wafat. Ia berkeliling kota dan
menantang siapa saja yang berani mengatakan bahwa Nabi telah wafat akan ia
bunuh. Hingga datang Abu Bakar dan beliau berpidato di antara kerumunan banyak
orang:
أَلا مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ
اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لاَ يَمُوتُ
Artinya: “Ingatlah, barangsiapa menyembah Muhammad
shallallahu alaihi wasallam maka Muhammad telah wafat, dan barangsiapa
menyembah Allah maka Allah Mahahidup tidak akan mati..”
Mendengar
pidato ini, Umar pun sadar bahwa sebenarnya yang tidak bisa mati itu adalah
Allah. Bagaimana pun agungnya Baginda Nabi, tinggi budi pekertinya, bagus
akhlaknya tapi beliau adalah manusia dan manusia pasti akan mati.
Kemudian dibacakan Surat Ali Imran Ayat 144:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ
خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ
عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ
شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
Artinya: “Muhammad itu tidak lain
hanyalah seorng rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.
Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?
Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan
mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur”.
Mendengar
ayat ini, Umar berurai air matanya dan menangis dalam kesedihannya. Hal ini
merupakan salah satu bentuk kecintaan Umar kepada Rasulullah. Saat masih hidup,
Baginda Nabi mengajarkan sesuatu kepada Umar tentang amal buruk yang dulu
pernah ia lakukan bisa ditebus dengan melakukan kebaikan.
اتق الله حيثما كنت ، وأتبع السيئة
الحسنة تمحها، وخالق الناس بخلق حسن
Artinya: “Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada,
dan hendaknya setelah melakukan kejelekan engkau melakukan kebaikan yang dapat
menghapusnya. Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik‘” (HR. Ahmad 21354, Tirmidzi 1987,
ia berkata: ‘hadits ini hasan shahih’).
اتق الله حيثما Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, jadi Taqwa itu tidak kenal tempat. Di mana saja kamu berada, kamu
mesti bertaqwa kepada Allah. Di rumah, kantor, di tengah orang banyak atau pada
waktu sendirian, kamu tetap harus bertaqwa kepada Allah. Jangan bertaqwa
dikaitkan pada tempat. Misal, kamu hanya taqwa jika sedang berada di dalam
mesjid saja. وأتبع السيئة الحسنة تمحها Dan
iringi perbuatanmu yang salah dengan kebaikan. Jika nanti
kamu berbuat salah maka cepat-cepatlah berbuat kebaikan dengan harapan bahwa
kebaikan yang kamu lakukan itu bisa menutupi atau menggugurkan dosa yang kamu
lakukan.
Banyak ngomongin orang, lantas
beristigfar. Istigfarnya itu semoga bisa menutupi dosa akibat membicarakan
orang lain. Misal pernah dengan sengaja mengambil barang orang lain maka
imbangilah dengan sering memberikan sedekah kepada orang lain. Pernah menyakiti
hati orang lain maka imbangilah dengan melakukan hal yang bisa menyenangkan
hati orang lain. Inilah yang dilakukan oleh Sayyidina Umar yaitu mengiringi
perbuatan buruk dengan perbuatan baik.
Saudara, diperlukan orang yang
memiliki keberanian seperti Umar. Ia berani karena panggilan hidayah, bukan
berani babi (nyeruduk tanpa arah dan pertimbangan). Keberanian tanpa
pertimbangan pada akhirnya akan menyulitkan diri sendiri. Sayyidina Umar itu
gagah, pemberani dan memiliki kuasa. Semua itu ia jadikan sebagai backing
atau pendukung bagi dakwah Nabi. Dan وخالق الناس
بخلق حسن pergaulilah
manusia dengan akhlak yang baik, karena dengan hal ini kamu bisa mengambil hati orang lain. Dalam
hadits lain dikatakan bahwa, “Kamu tidak bisa menyenangkan orang banyak
dengan hartamu tetapi kamu bisa mengambil hati mereka dengan budi pekerti yang
luhur dan muka yang manis.” Dengan harta, kita belum tentu bisa
menyenangkan semua orang tetapi dengan budi pekerti yang luhur dan muka yang
manis (ramah dan mudah tersenyum), itulah yang bisa menyenangkan hati orang
lain.
Setelah
Baginda Nabi wafat, Abu Bakar pernah berkata kepada Umar dalam sebuah
perkumpulan, “Umar, saya akan bai’at kamu untuk menjadi Khalifah.” Umar
menjawab, “Justru saya yang akan membai’at Tuan sebagai Khalifah.” “Tapi Anda
lebih utama daripada saya, Umar.” “Keutamaan saya akan saya berikan kepada Tuan
untuk mendukung kekhalifahan Tuan.”
Di sini
kita bisa melihat watak Umar yang tidak ambisius terhadap jabatan. Beliau
gagah, berani dan perkasa tetapi tahu diri. Gak nyelonong (merebut/memangkas
antrian). Beliau tidak menggunakan kekuasaan dan kegagahannya untuk maksud yang
sewenang-wenang. Oleh karena itu, setelah Abu Bakar wafat dan beliau dilantik
menjadi Khalifah, keluarlah pidatonya yang terkenal.
اَيُّهَا النَّاسُ،
فَإِنِّي قَدْ وُلِّيَتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ
. فَإِنْ أَحْسَنْتُ فَأَعِيْنُوْنِي، وَ إِنْ
أَسَأْتُ فَقَوِّمُوْنِي . الصَّدْقُ
اَمَانَةٌ، وَالْكَذِبُ خِيَانَةٌ . وَالضَعِيْفُ
فِيْكُمْ قَوِيٌّ عِنْدِيْ حَتَّى أُرِيْحَ عَلَيْهِ حَقَّهُ إِنْ شَاء اللهُ . وَالْقَوِيُّ فِيْكُمْ ضَعِيْفٌ
عِنْدِيْ حَتَّى آخُذَ الْحَقَّ مِنْهُ اِنْ شَاء اللهُ . لَا يَدَعُ قَوْمُ الْجِهَادَ
فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ إِلَّا ضَرَبَهُمُ اللّٰهُ بِالذُّلِّ، وَلَا تَشِيْعُ
الْفَاحِشَتُ فِيْ قَوْمٍ قَطُّ إِلَّا عَمَّهُم اللهُ بِالْبَلَاءِ . اَطِيْعُوْنِيْ مَا أَطَعْتُ
اللهَ وَرَسُوْلُهُ، فَإِذَا عَصَيْتُ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ فَلَا طَاعَةَ لِيْ
عَلَيْكُم . قُوْمُوْا
إِلَى صَلَاتِكُمْ يَرْحَمُكُمُ الله.
Artinya: “Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah memilih aku untuk menjadi pemimpin
di antara kalian. Namun, aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Maka, jika
aku berbuat kebenaran, maka ikutilah aku. Dan jika aku berbuat salah, maka
segeralah meluruskanku. Berbicara akan kebenaran adalah amanah, dan bericara
akan kedustaan adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian bagiku
adalah orang yang kuat di sisiku, hingga ia aku berikan haknya, Insyaa Allah. Dan
orang yang kuat di antara kalian, bagiku hanyalah orang yang lemah, sampai aku
mengambil hak darinya, Insyaa Allah. Bila sampai ada satu kaum yang
meninggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan
kepadanya. Dan bila telah merebak di suatu kaum perzinaan, maka Allah akan menimpakan
kekacauan dan bencana di tengah mereka. Taatilah diriku, sepanjang aku berada
dalam ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Dan apa bila aku bermaksiat kepada
Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kalian taati aku. Tegakkanlah shalat, maka
Allah akan merahmati kamu sekalian”.
Hai
manusia, aku telah dipilih menjadi pemimpin kalian padahal aku bukanlah orang
terbaik di antara kalian. Kalau bukan karena aku melihat keutamaan dan
keteguhan yang dapat melindungi kalian, berat rasanya aku memikul amanah
(jabatan) ini. Karena alangkah beratnya menunggu hari perhitungan nanti di
akhirat terhadap diriku sebagai seorang Khalifah.
Bagi
Umar menjadi seorang Khalifah (Raja/Presiden di masa sekarang) itu dirasakan
lebih berat karena beliau akan dihisab tentang jabatan yang didudukinya itu.
Andaikan saja boleh memilih, Umar ingin dirinya sebagai Umar saja bukan sebagai
seorang pemimpin yang akan berat hisabnya di hadapan Allah kelak di hari
kiamat. Sehingga benar sabda Nabi dalam sebuah hadits yang berbunyi, “Janganlah
kamu memberikan jabatan kepada orang yang memintanya (jabatan tersebut).” Sebab
kalau seseorang sudah meminta jabatan, apalagi pakai jilat-jilat
(mendekati orang yang memegang kekuasaan atas sesuatu dengan harapan ia bisa
mendapat keuntungan darinya) dan pemungutan upeti-upeti (suap/sogok), tentu di
sana ada tendensinya. Ada batu di balik udang. Kalau udang di balik batu kan
mungkin gak kelihatan. Sedangkan ini batunya (keinginan dan ambisinya) sudah
terlihat sangat jelas walau ia bersembunyi di balik udang (alasan/alibi).
Jangan
memberikan jabatan kepada orang yang memintanya. Seakan di dalam batinnya
Sayyidina Umar menyesali, “kenapa Umar tidak jadi Umar
saja kok malah jadi Khalifah. Alangkah berat perhitungan buat saya di akhirat
nanti”. Setelah menjadi Khalifah ada
beberapa hal yang patut kita ambil contoh dan pelajaran dari kehidupan Umar
sebagai seorang Khalifah di lingkungan keluarga. Kedudukan sebagai keluarga
Umar bin Khattab bukan merupakan kedudukan istimewa. Hal ini ditanamkan ke
dalam pemahaman di keluarganya. “Jangan mentang-mentang ayahmu seorang
khalifah, lantas kamu sebagai anaknya bisa menggunakan semua fasilitas yang
disediakan oleh negara, bisa berbuat sekehendak hatimu tetapi kamu justru harus
punya tanggung jawab dan beban moril serta memberikan contoh yang lebih baik
kepada rakyat.”
Hal
inilah yang ditekankan oleh Umar kepada keluarganya. Kalau beliau akan
mengeluarkan sebuah Undang-undang maka Undang-undang itu akan lebih dulu ia
bicarakan dengan keluarganya. Umar akan mengumpulkan semua anggota keluarganya.
“Ada Undang-undang A, jika kalian mau menaatinya, silakan. Jika tidak pun,
silakan. Tapi saya ingatkan, kalau ada dari anggota keluarga Umar yang
melanggar aturan (Undang-undang) yang akan dikeluarkan ini, maka dia akan
dihukum dua kali lipat karena ia adalah keluarga saya.” Beliau akan menghukum
anggota keluarganya dua kali lipat dari hukuman biasa. Jadi bukan
mentang-mentang anak babeh (penguasa) lantas bisa kebal terhadap hukum. Umar
juga merupakan sosok yang berwibawa. Ia sangat menjaga keluarganya. Suatu hari
ia berkunjung ke rumah anaknya, Abdullah bin Umar. Ketika Umar masuk ke
rumahnya, ia melihat Abdullah sedang memakan daging. Muka Umar langsung merah.
“Mentang-mentang anak Khalifah, anak Amirul Mukminin, lihat tuh rakyat kita masih banyak yang makan roti
keras.”
Padahal
daging yang dimakan oleh Abdullah bin Umar itu halal dan ia peroleh atas
usahanya sendiri. Ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian Umar dalam menjaga
pandangan orang terhadap keluarga Khalifah. Sebab apa yang dilakukan oleh
keluarga Khalifah akan menjadi contoh bagi masyarakat luas. Di lain waktu, Umar
pergi ke sebuah pasar dan melihat ada banyak sapi yang berbadan gemuk-gemuk,
sedangkan di tempat lain sapinya kurus-kurus. Umar kemudian bertanya kepada
warga di sana, “Ini sapi-sapi yang gemuk punya siapa?” “Itu kepunyaan anakmu,
Abdullah bin Umar.” “Panggil dia ke sini.” Tidak berapa lama, anaknya pun
datang menghadap Umar. “Abdullah bin Umar, ceritakan kepadaku tentang sapi-sapi
milikmu ini.” “Begini, Ayah. Dulu saya membeli beberapa ekor sapi yang berbadan
kurus kemudian saya mempekerjakan orang lain untuk merawatnya hingga sekarang
sapi-sapi itu menjadi gemuk. Saya berencana untuk menjualnya nanti dan tentu
keuntungannya itu merupakan sesuatu yang halal bagi saya.” “Kau ini adalah anak
Amirul Mukminin (Khalifah), juallah sapi-sapimu itu. Ambil modalnya dan
keuntungannya itu berikan kepada Baitul Mal untuk mengurus kepentingan umat
Islam.”
Umar tidak ingin anaknya itu menjalankan bisnis
karena ikut mendompleng nama ayahnya sebagai
pemimpin. Karena mentang-mentang anak Khalifah maka semua bisnisnya menjadi
lancar. Orang lain takut karena dia anak Khalifah. Dan Umar tidak ingin senya
hal ini terjadi.
Ada cerita yang lain tentang pembagian Ghanimah
(harta dari peperangan). Putri beliau yang namanya Hafsah (istri Baginda Nabi),
pernah meminta bagian Ghanimah kepada Umar. “Ayah, kami kaum kerabat Khalifah.
Bagilah kami Ghanimah terlebih dulu.” “Karena kamu kerabatku maka jatahmu nanti
dari ayahmu. Harta Ghanimah ini masih lebih banyak dibutuhkan untuk kepentingan
umat Islam. Jatahmu nanti, belakangan. Kalau ada sisanya.” Hal yang diceritakan
di atas merupakan beberapa contoh sikap Umar terhadap keluarganya. Lalu
bagaimana sikapnya Umar saat ia sedang memimpin?
Pertama, adalah
kesederhanaan. Beliau adalah satu-satunya Khalifah atau Amirul Mukminin yang
hanya memiliki 2 buah jubah atau gamis, dan yang satunya lagi itu milik anaknya.
Dan bajunya tersebut terdapat banyak tambalan akibat pernah tersobek atau
tergores kainnya. Beliau pernah terlambat Shalat Jumat. Sebelum naik
mimbar, beliau meminta maaf dulu kepada jamaahnya karena telat. Penyebabnya
adalah ia harus menunggui cucian jubahnya hingga kering agar bisa ia pakai
kembali.
Pada
waktu beliau menjadi Khalifah, diangkatlah Amr bin Ash menjabat sebagai seorang
Gubernur di Mesir. Kehidupan Amr bin Ash itu lebih mirip seperti kaisar yang
glamor dan mewah. Istananya besar dan pakaiannya bagus. Ada satu hal yang
paling mengganggu pikiran Amr bin Ash yaitu tepat di sebelah istananya itu
berada sebuah gubuk tua yang sudah jelek dan reot (akan rubuh) miliki orang
Yahudi.
“Ah ini,
gak pantes bener. Masa di samping Istana seorang gubernur ada gubuk reot. Orang
Yahudi lagi yang punya. Sudahlah, saya mau panggil Dinas Tata Kota dan membuat
rencana untuk membuat proyek pembangunan mesjid yang akan dibangun oleh negara.
Bikin gambarnya, susun anggarannya lalu tender ke vendor yang mau dan mampu.”
Orang
Yahudi pemilik gubuk reot itu pun dipanggil ke Istana dan diberitahukan rencana
tentang pembangunan mesjid dan gubuk itu akan dihilangkan karena termasuk ke
dalam area pembangunan mesjid. Amr bin Ash berencana untuk membeli gubuk itu
tetapi orang Yahudi ini menolak meskipun sudah ditawarkan harga berkali lipat
dari harga rumah gubuk pada umumnya. Ia tetap menolak. Alasannya adalah gubuk
itu merupakan tempat tinggal dia sejak kecil, ia juga bekerja setiap hari dan
istirahat di gubuk itu di malam harinya. Orang Yahudi ini tidak mau rumah
tempat tinggalnya itu digusur oleh pihak Istana. Karena orang Yahudi ini tetap
menolak maka pihak Istana menghancurkan gubuk reot itu dengan paksa. Orang
Yahudi itu sedih dan berurai air matanya. Tapi dia tidak putus asa. Dia
berpikir bahwa Amr bin Ash bukanlah pejabat tertinggi karena masih ada Khalifah
yang jabatannya jauh lebih tinggi daripada Gubernur. Maka dengan tekad kuat,
orang Yahudi ini pun pergi dari Mesir menuju Madinah untuk menemui Umar bin
Khattab dan melaporkan semua perilaku yang ia terima di bawah kepemimpinan
Gubernur Mesir.
Di
sepanjang jalan, dia berpikir dan membanding-bandingkan kehidupan antara
Gubernur Mesir dengan Sang Khalifah. Kalau Istana Gubernur saja sudah mewah maka
Istana Khalifah pasti jauh lebih besar dan mewah. Kalau Gubernurnya galak dan
maen gusur rumah orang, apalagi Khalifahnya, pasti lebih galak. Dan saya juga
bukan orang Islam. Apa mungkin aduan dan laporan saya ini akan didengar oleh
Khalifah? Apa bisa mendapatkan tanggapan dan respon dari Khalifah?
Tetapi ia tetap melanjutkan perjalanan walau dengan hati yang harap-harap
cemas.
Sampailah
dia di pintu kota Madinah. Di sana dia menemukan ada seseorang yang sedang
tidur di bawah pohon kurma. Dia pun mendatangi dan menyapanya. Orang itu pun
bangun. “Selamat siang, Pak!”, “Ya, ada apa?”, “Saya mau nanya.” “Nanya apa?”, “Apakah
Bapak tahu Khalifah Umar bin Khattab?”, “Tahu.” “Istananya di mana, Pak?” “Istananya
di atas lumpur.” “Siapa pengawalnya? Banyak?” “Banyak.” “Siapakah mereka?” “Mereka
itu anak-anak yatim piatu, janda-janda tua, orang-orang miskin dan orang-orang
lemah. Itulah pengawalnya.” “Lalu, pakaian kebesarannya itu sutra atau apa?” “Pakaian
kebesarannya adalah rasa mau dan taqwa.” “Saya gak ngerti, Pak.” “Itulah Umar
bin Khattab.” “Lalu orangnya sekarang ada di mana, Pak?” “Dia ada di depanmu !.”
Orang
Yahudi pun baru sadar bahwa sosok Khalifah Umar bin Khattab yang ingin ia temui
ternyata adalah orang yang berada di depannya yang sedari tadi ia ajak bicara.
Orang itu gemetar badannya dan keringat bercucuran. Dia memikirkan kembali
kata-kata Umar tadi tentang Istana Khalifah yang berada di atas lumpur, para
pengawalnya dan pakaian kebesarannya. Kenapa Umar berkata demikian? Sebab Umar
berprinsip, bagaimana saya bisa menghayati nasib umat jika saya tidak bisa
merasakan apa yang mereka rasakan. Bagaimana saya bisa tahu sakitnya lapar jika
saya tidak pernah tahu rasanya kelaparan. Lalu Umar bertanya, “Kamu datang dari
mana?” Orang Yahudi itu menjawab, “Dari Mesir, Pak.” “Ada apa ke sini?”, “Saya
mau melaporkan Gubernur Mesir yang bernama Amr bin Ash.”, “Kenapa dengan dia?”,
“Dia telah menggusur rumah saya, seenaknya.”, “Bagaimana ceritanya?”, “Gubernur
mau membangun Mesjid di sebelah Istananya. Area pembangunan itu meliputi tanah
dan rumah saya yang sederhana dan kecil juga sudah reot. Saya gak mau rumah itu
dijual. Tapi ujung-ujungnya rumah saya itu tetap digusur. Saya ke sini untuk
mencari keadilan kepada Tuan Khalifah.”, “Begitu ya. Oke, begini. Kamu lihat di
sana ada tempat sampah?” Orang Yahudi itu mengangguk. “Di sana terdapat banyak
tulang-belulang unta. Coba kamu ambil salah satunya dan bawa ke sini.” Orang
Yahudi itu kebingungan. “Pak, saya ke sini mau mencari keadilan. Kalau nyari
tulang, di Mesir juga banyak.” “Sudahlah. Pokoknya kamu ambil saja tulang itu!”
Dia pun
bergegas menuju tempat sampah itu dan mencari-cari tulang dan akhirnya
mendapatkan satu tulang lalu dia memberikannya kepada Umar. Tulang itu pun
dibuat garis lurus oleh pedangnya Umar. Kemudian tulang itu ia berikan kembali
kepada orang Yahudi, “Ambil ini dan berikanlah kepada Amr bin Ash.” Orang
Yahudi itu semakin bingung. Suruh bawa tulang unta doang terus digaris
sekali saja. “Nanti saya ngomong apa ke Amr bin Ash?”, “Sudahlah,
bawa saja.”
Singkat
cerita, orang Yahudi itu kembali ke Mesir dan menemui Amr bin Ash. “Tuan
Gubernur, saya baru pulang dari menghadap Khalifah Umar. Kemudian beliau
menyuruh saya memberikan ini kepada Tuan.” Orang Yahudi itu memberikan tulang
yang ia bawa dari Madinah. Ketika Amr bin Ash melihat tulang yang ada goresan
lurus dari pedang, badannya langsung bergetar hebat dan keluar keringat dingin.
Ia kemudian memanggil Kepala Proyek Pembangunan Mesjid. “Proyek pembangunan
mesjid ini dibatalkan. Mesjid gak jadi didirikan dan gubuk orang Yahudi ini
dirikan dan bangun lagi.”
Orang Yahudi ini semakin bingung dan bengong. Ini
Gubernur dapet tulang doang, segitu takutnya., “Ada apa sebenarnya,
Tuan Gubernur?”, “Kamu tahu? Ini adalah nasihat pahit untuk saya dari Amirul
Mukminin Umar bin Khattab. Seolah-olah beliau berkata. ‘Hai Amr bin Ash, jangan
mentang-mentang kamu sedang berkuasa karena pada suatu saat nanti kamu pun akan
mati dan menjadi seperti tulang ini maka mumpung kamu masih hidup dan berkuasa,
berlaku adil dan luruslah kamu seperti garis di atas tulang ini. Lurus, adil
dan jangan bengkok. Sebab kalau kamu bengkok, nanti aku yang akan meluruskannya
dengan pedangku.’” Siapa yang gak ngeper (ketakutan) digituin? Sampai
akhirnya orang Yahudi itu berkata kepada Amr bin Ash, “Pak, kalau begitu Islam
itu adil ya?” Amr bin Ash menjawab, “Ya, Islam itu adil.” “Kalau gitu, tentang
tanah dan rumah saya itu, saya mau berikan saja kepada engkau, Tuan Gubernur.”
Selanjutnya
orang Yahudi itu pun masuk Islam karena keadilan dari Umar bin Khattab. Begitulah
keadilan dari seorang Umar bin Khattab. Hal yang yang bisa diceritakan adalah
tentang kesederhanaan hidupnya Umar, sampai yang ironi adalah Utsman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, Thalhah dan Zubair pernah berkumpul karena mendengar kabar
bahwa Sayyidina Umar memiliki utang. Bayangkan, seorang Khalifah untuk
melangsungkan hidupnya ia harus berutang. Padahal Baitul Mal berada di bawah
kekuasaanya. Mereka berempat berunding dan sepakat untuk membahas hal ini
melalu anaknya Umar yaitu Hafsah. Karena jika mereka yang langsung berhadapan
dengan Umar, mereka tidak berani dan segan. Hafsah bicara kepada Umar, “Ayah,
bagaimana jika gaji Khalifah dinaikkan agar bisa membayar utang Ayah.” “Hafsah,
siapa yang menyuruhmu untuk membicarakan hal ini?” “Gak ada.” “Ada. Pasti.
Karena kamu gak mungkin ngomong seperti ini kepada Ayah kalau tidak ada yang
memintamu. Tapi orangnya kalau saya tuntut, mereka pasti gak mau. Sekarang saya
tanya, Hafsah. Kau kan istri Rasulullah? Suamimu makannya apa? Daging?”, “Bukan,
Ayah. Beliau memakan roti.” “Tempat tidurnya itu kasur empuk?” “Bukan. Beliau
menggunakan kain kasar, yang kalau musim panas kami bentangkan dan kalau musim
dingin kami jadikan sebagian kainnya sebagai selimut.” “Berapa banyak pakaian
yang dibelikannya untukmu?” “Cuma dua, Ayah.” “Nah, beliau adalah guru saya.
Beliau adalah orang yang paling saya cintai dan cara hidup beliau yang saya
ikuti.”
Bahkan
setelah Umar wafat, utangnya itu dibebankan kepada anaknya Abdullah bin Umar
dan itu pun melunasi utang dengan cara menjual rumahnya, sehingga rumah Umar
disebut dengan nama Darul Qodho artinya Rumah Untuk Bayar Utang.
Itulah
kesederhanaan Umar. Jadi bukan karena aji mumpung. Mumpung jadi Khalifah
tangannya ibarat gurita yang rakus mengambil apa saja yang ia mau. Atau seperti
mental monyet. Monyet selalu ingin mengambil makanan yang lain meskipun tangan
kiri dan kanan serta mulutnya sudah penuh oleh makanan. Temannya dikasih
makanan, ia masih ingin makanan itu lantas merampasnya.
Kenapa
kesederhanaan Umar timbul? Karena ia memiliki sifat zuhud. Zuhud itu adalah
orang yang mengambil kebutuhan dunia seperlunya dan lebih mengutamakan urusan
akhirat. Watak zuhud Umar ini sangat menonjol. Dialah pahlawan yang paling
berani di medan perang, dialah imam yang paling khusyu di mesjid dan tidak
jarang ia akan menangis dalam shalatnya jika sedang membaca ayat yang
menceritakan tentang neraka. Jadi kesederhanaan dan kezuhudan Umar ini bukan
hanya teori tetapi langsung ia lakukan. Kesederhanaan Umar timbul karena ia
memiliki sifat zuhud. Zuhud adalah orang yang mengambil kebutuhan dunia
seperlunya dan lebih mengutamakan urusan akhirat. Watak zuhud Umar ini sangat
menonjol. Dialah pahlawan yang paling berani di medan perang, dialah imam yang
paling khusyu di mesjid dan tidak jarang ia akan menangis dalam shalatnya jika
sedang membaca ayat yang menceritakan tentang neraka. Jadi kesederhanaan dan
kezuhudan Umar ini bukan hanya teori tetapi langsung melalui amal perbuatan
nyata dan konkret yang bisa menjadi contoh yang baik bagi kita. Dan ini adalah
prinsip keteladanan yang Umar tiru dari Baginda Nabi.
Selain
cerita keadilan Umar di post sebelumnya (tentang gubuk Orang Yahudi), ada
cerita lain mengenai hal ini. Kalau Umar sudah bicara tentang hukum maka dia
tipe orang yang tidak pernah kenal kompromi. Suatu ketika ada seorang pemuka
Nasrani masuk Islam. Namanya adalah Jabalah bin Aiham. Pada saat ia berhaji,
kain ihram miliknya terinjak oleh jamaah haji lainnya. Yang menginjak kain ini
badannya hitam legam dan berasal dari suku Arab Badui. Jabalah merasa jengkel
dan kesal karena ia merupakan mantan tokoh terkenal atau pemuka agama. Enak aja
nih maen injak kaen ihram punya orang. Udah jelek, nginjek lagi. Orang
Arab Badui ini lalu dipukul oleh Jabalah. Setelah pulang berhaji orang Arab
Badui itu melaporkan hal ini kepada Umar. “Panggil Jabalah bin Aiham,” perintah
Umar. Setelah Jabalah datang, Umar bertanya kepada orang Arab Badui itu, “Kamu
dipukul kan? Sekarang pukul Jabalah!” Jabalah pun dipukul oleh orang Arab Badui
di hadapan Umar. Jadi bukan karena ada seseorang yang terhormat di sukunya,
lantas setelah masuk Islam ia tetap diperlakukan istimewa saat menghadapi
sebuah hukum. Tidak. Umar memerintah dengan adil dan bijaksana. Siapa yang
salah maka dia akan dihukum.
Sisi
keadilan dalam diri Umar ini juga ditanamkan di dalam keluarga Umar. Umar
mewanti-wanti dan memperingatkan bagi seluruh keluarganya untuk tidak
menganggap posisi Umar yang sebagai Khalifah menjadi sebuah keuntungan bagi
pribadi masing-masing anggota keluarganya. Tidak boleh ada yang aji mumpung dan
memanfaatkan kekuasan dari Umar. Umar pun tidak memiliki rencana dan keinginan
untuk mewariskan kekhalifahan kepada anak-anaknya.
Pernah
ia berkata dalam sebuah musyawarah, “Saya ini bingung, kenapa sulit sekali
mencari orang untuk dijadikan sebagai Gubernur Kuffah. Diangkat orang yang
lemah, rakyatnya mengeluh. Diangkat orang yang berwatak keras, rakyat pun
mengeluh.” “Tuan, ada satu calon yang pas dan pantas untuk posisi ini. Dialah
Abdullah bin Umar, anak dari Tuan Khalifah.” Umar melotot, “Jangan macam-macam
kau! Cukup satu orang (dari keluarga) Umar yang memegang jabatan (di
pemerintahan). Kalau berhasil dalam memerintah, kami, keluarga Umar akan
merasakannya. Kalau gagal maka cukuplah kegagalan seorang Umar.”
Umar
tidak berusaha mengorbitkan atau mempromosikan anaknya agar maju menjadi
seorang pejabat negara. Umar meminta untuk mencari calon yang lain. “Tapi
Abdullah bin Umar adalah orang yang telah memenuhi syarat sebagai seorang
Gubernur. Dia sholeh juga bertaqwa kepada Allah.” “Orang yang sholeh dan taqwa
itu bukan hanya anak dari Umar. Anak orang lain juga banyak yang sholeh dan
taqwa.” Itu adalah prinsip Umar. Sehingga ketegasan dari Umar ini membuat orang
lain menjadi sungkan dan segan. Tidak ada seorang pun yang berani mengiriminya
upeti, hadiah, parsel atau gratifikasi.
Suatu
ketika pernah ada pejabat dari Azerbaijan yang memberikan hadiah kue untuk
Umar. “Ini kue enak sekali. Apakah kue ini adalah makanan sehari-hari orang
sana?” tanya Umar. “Bukan, Tuan. Ini adalah makanan para elit dan orang kaya di
sana.” jawab kurir pengirim. Umar lalu membungkus kembali sisa kue yang masih
ada dan menyuruh kurir tadi untuk mengirimkan kembali kue tersebut kepada
Gubernur Azerbaijan dan sampaikan salam Umar untuknya sambil berpesan, “Kenyangkanlah
dulu rakyatmu dengan makanan semisal ini, barulah kami belakangan yang akan
memakannya. Jadi kalau ada rakyat yang lapar maka pemimpinnya yang merasakan
duluan rasa lapar. Jika rakyatnya makmur dan kenyang maka biarlah pemimpinnya
yang terakhir merasa kenyang. Utamakanlah kepentingan rakyat terlebih dahulu.”
Prinsip
ini bagus dan patut untuk dicontoh. Jangan dibalik pemahamannya. Kalau ada
rakyat yang kelaparan maka dia buru-buru mengenyangkan perutnya duluan. Dengan
sikap keadilan ini membuat hukum di bawah pemerintah Umar menjadi berwibawa. Beliau
pernah jalan-jalan bersama sahabat bernama Aslam. Mereka berdua pergi ke sebuah
lorong kota Madinah yang bernama Haraq. Ada seorang anak dan ibu-ibu yang
terlihat kelaparan. Anaknya berulang-kali merengek kepada ibunya karena
perutnya sudah sakit akibat rasa lapar yang luar biasa. Ibu itu terlihat sedang
memasak. Terdengan bunyi rebusan air yang beradu dengan panci yang digunakan
untuk merebus. Dari kejauhan Umar memperhatikannya. Mulai dari anak itu nangis,
merengek, nangis lagi hingga akhirnya kecapean dan tertidur, masakan yang
dibuat ibu tadi belum juga matang. Umar penasaran dan menghampiri ibu tersebut.
“Ibu ini sedang masak apa? Dari tadi saya perhatikan, sudah lama ibu memasak
tetapi masih belum matang juga.” “Saya tidak masak apa-apa, Tuan.” “Lah suara
dari dalam panci berisik, itu apa?.” Ketika dibuka isinya ternyata hanya air
yang mendidih. “Ibu ternyata sudah membohongi anak ibu sendiri.” “Saya mesti
bagaimana, Tuan. Saya sudah tidak memiliki bahan makanan untuk dimasak.
Sementara perut gak kenal kompromi. Satu-satunya cara adalah saya membohongi
anak saya bahwa saya sedang memasak makanan untuknya.” “Memangnya Khalifah Umar
gimana sih ngurusin rakyatnya menurut Ibu?” “Dia seorang yang dzalim. Dia
memimpin kami tetapi tidak tahu nasib keluarga fakir miskin seperti kami. Anak
kelaparan dan keluarga terlantar.” “Oh, begitu.” “Iya. Dzalim sekali itu Umar
bin Khattab.” “Kalau begitu tunggu sebentar, Bu.”
Umar
pulang bersama Aslam lalu menuju Baitul Mal. Umar mengambil tepung satu karung
dan ia pikul sendiri. “Ya Khalifah, biar saya yang bawa,” kata Aslam. “Jangan.”
“Kenapa?” “Apa kamu sanggup memikul dosa saya nanti di akhirat? Biarkan saya
memikul karung ini sendiri.” Umar membawa karung itu ke tempat ibu tadi. Umar
sendiri yang memasaknya dan setelah matang dia mempersilakan ibu itu memakannya
bersama anaknya “Alhamdulillah, semoga Allah memberkahi Tuan. Tuan lebih baik
daripada Umar bin Khattab yang dzalim itu. sebenarnya Tuan ini siapa?” “Saya adalah
Umar bin Khattab yang Ibu bilang orang dzalim.” Seketika itu badan si ibu
gemetar hebat karena takut. Tapi Umar memang seorang yang peka dan menghargai
kritikan dari orang lain dan tidak membungkam orang yang bernada sumbang
(berkata jelek/buruk tentangnya). Umar pun menenangkan ibu tadi. Umar pernah
berkata, “Saya khawatir kalau orang terlalu segan kepada saya lalu gak ada yang
berani negur kalau saya telah berbuat salah.”
Karena
biasanya pemimpin yang disegani itu anak buahnya selalu mengamini (membenarkan)
setiap perkataan pemimpinnya, berkata oke bos atau asal
bapak senang. Pemimpinnya juga maunya dianggap benar, kalau ada
yang menyalahkannya ia akan marah besar lalu orang itu disingkirkan
(dipecat/dimutasi/dibunuh karakternya). Umar khawatir jika tidak ada orang yang
berani menegurnya jika ia salah. Hingga datang seorang anak muda yang berkata,
“Demi Allah, saya akan menegur Tuan dengan pedang saya ini jika Tuan berbuat
salah dan keliru.” Mendengar hal ini cerah muka Umar dan senyum bibirnya, “Alhamdulillah,
anak muda, saya memerlukan orang semacam kau. Yang berani berkata YA terhadap
hal yang benar dan TIDAK terhadap yang tidak benar, apa pun dan bagaimana pun
resikonya.”
Di sini
kita dapat melihat sikap beliau menghadapi orang yang berbeda pendapat
dengannya. Keadilan, keberanian, ketegasan dan cepat menerima kebenaran
merupakan serentetan dari sifat-sifat beliau, mulai dari ia masuk Islam hingga
menjadi seorang Khalifah yang kedua. Bahkan dengan jasa beliau, Islam mulai
tersebar menembus dinding jazirah Arabiah, memasuki Byzantium dan Persia
sehingga beliau juga dikenal sebagai pemimpin dalam periode Alfutuhat
Al-Islamiyah.
Saudara,
inilah cuplikan atau cerita kecil dari kehidupan seorang Umar bin Khattab yang
agung dan besar. Karena keterbatasan kata-kata sehingga tidak mampu melukiskan
keagungan dan kebesarannya itu. Jika kisah teladan dari Umar sudah begitu
hebatnya sebagai sahabat Nabi maka teladan dan akhlaq dari Rasulullah Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassallam jauh lebih utama daripada Umar.
Semoga
kita semua bisa mengambil pelajaran, baik dari kisah hidup Baginda Nabi atau
para sahabat-sahabatnya. Meski hanya sedikit cerita tentang Umar, mudah-mudahan
hal ini juga bisa menjadi sumbangan moril bagi kita guna memperbaiki diri
menuju kehidupan yang lebih baik.
Terima kasih
atas segala perhatian dan mohon maaf atas segala kekurangan.
۞ وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَ كَا تُهُ
۞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar