Jumat, 20 Juli 2018

Khalifah Umar bin Khattab


“KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB”
 السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
لْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ، اَلنَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ؛
            Sodara-sodara kaum muslimin rahimakumullah.
            Di dalam kehidupan dunia ini kita senantiasa mengambil I’tibar contoh dan teladan dari kehidupan orang-orang sebelum kita. Itu sebabnya kepada baginda nabi kita Muhammad saw. Allah SWT. menceritakan kisah para nabi sebelum beliau dalam ayat:
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ ۚ…….
Artinya: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu……” (Qs. Huud: 120).
Demikianlah kami ceritakan kepadamu wahai Muhammad sebagian rasul-rasul sebelum kamu yang dengan demikian itu akan memperkuat hatimu, meneguhkan keyakinanmu dan emmntapkan pendirianmu.
Inilah manfaatnya belajar dari sejarah, jadi jangankan kita baginda nabipun oleh Allah SWT. diceritakan para nabi sebelum beliau yang dimusuhi oleh ummatnya, yang di cacimaki oleh kaumnya, yang terusir dari kampong halamannya bahkan ada yang sampai terbunuh oleh ummatnya. Itu seluruhnya merupakan I’tibar مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ untuk memantapkan langkahmu, meneguhkan keyakinanmu dan menguatkan pendirianmu menghadapi perjuangan ini. Sehubungan dengan itu pada pertemuan kali ini Al-Fakir ingin menyampaikan satu cuplikan kecil dari kehidupan seorang sahabat utama baginda nabi yaitu sayyidina Umar bin khattab R.a
Beliau adalah umar bin khattab bin nufail bin abdil uzza dari sku Quraisy golongan bani adi. Keperawakannya berani, tegas dan tidak pernah takut kepada siapapun. Oleh karena itu dalam kehidupan beragama hidayah merupakan sesuatu yang penting. Bagaimanapun banyak dosa dan kesalahan yang telah dilakukan oleh seseorang tidak seharusnya menyebabkan ia putus asa dari rahmah Allah, sebaliknya bagaimanapun banyak kebajikan dan kebaikan yang sudah dikerjakannya tidak perlu membuat dia besar hati, puas, bangga apalagi menjadi lalai karenanya sebab kita belum tahu akan bagaimana ujung perjalanan kehidupan kita ini apakah akan mati khusnul khatimah atau su’ul khatimah.
Saudara-saudara, kisahnya masuk Islam pun merupakan kisah yang menarik. Pada suatu hari denga pedang terhunus Umar bin khattab menuju darul arqam tempat dimana nabi dan para sahabat biasa berkumpul, melihat mukanya yang bringas, matanya yang nanar, orang sudah menyangka dan mengerti ini tentu akan terjadi pembunuhan.
Dalam perjalanan menuju darul arqom umar bertemu dengan nuaim bin abdillah. Nuaim bertanya “ya umar, mau kemana ente?” kata umar “mau membunuh itu si murtad itu” kata umar, lalu nuaim bertanya lagi si murtad yang mana?” di jawab oleh umar “yang mana lagi, yang memecah belah kita, yang menghina berhala-berhala kita, yang menjelek-jelekan nenek moyang dan keturunan kita siapa lagi kalau bukan Muhammad?” kata nuaim “gak salah umar?” dijawab umar”tidak salah lagi!”, nuaim berkata “salah umar! Apa kamu tidak malu kamu mau pergi emmbunuh Muhammad sementara adikmu saja Fatimah dia sudah termasuk salah seorang dari penikut Muhammad”. Mendengar ini mata yang tadinya memang sudah merah, sudah merah dan marah tambah jadi kelabu. Bukan main mangkelnya umar bin khattab. Orang lain dia musuhi, orang lain dia kejar-kejar, ini malah adiknya sendiri jadi pengikut baginda nabi saw.
Tidak jadi menuju darul arqom, dia berangkat kerumah adiknya Fatimah. Adapun dirumah Fatimah sedang berkumpul Fatimah, suaminya said bin zaid dan seorang sahabat bernama habbab ibnul araq. Mereka sedang membaca Qur’an, waktu itu Quran belum lagi di jilid macam sekarang jadi masih merupakan  suhuf atau lembaran-lembaran tercecer saja. Ketuk pintu tok, tok, tok “siapa di luar?” di jawab umar “Umar!”. Mendengar suaranya saja ini sahabat yang namanya habba ibnul araq ini sudah lari kebelakang pintu, komat kamit sambil membaca doa semoga diselamatkan.
Adapun Fatimah yang sedang memegang suhuf menyembunyikan suhuf itu dibelakang bajunya. Umar masuk “Fatimah?” dijawab oleh Fatimah “iya bang” umar berkata “apa benar berita yang saya dengar?” kata Fatimah “berita apa bang?” umar “bahwa kau sudah masuk islam!” Fatimah menjawab “bang andaikata Muhammad benar bagaimana?” umar “sudahlah jangan berbelit-belit jawab saja kau sudah masuk islam atau tidak!” Fatimah “iya”.
Sodara hadirin, begitu dikatakan “iya” tangannya langsung melayang menampar muka adiknya itu sehingga mengalir darah dari hidungnya dan suaminya said bin zaid yang emncoba melindungi istrinya di pegang lehernya di banting dan di duduki dadanya, oh jawara ini. Namun pada saat sedemikian itu suara kebenaran terpantul dari bibir Fatimah “umar, apakah engkau memukul orang yang bersaksi tiada tuha selain Allah dan Muhammad rasulullah? Apakah engkau menganiaya seseorang yang terpanggil untuk emngikuti kebenaran, manusia macam apa kau umar?”. Sodara, dia memang orang keras tapi hatinya mudah menerima kebenaran, sehingga mendengar kalimat adiknya ini tercenung dia, mlongok, bengong kata anak sekarang Kalau bukan karena keyakinannya yang mantap, tidak mungkin adik saya berkata seperti ini, pikir Umar. Fatimah berani berkata demikian kepada Umar pasti karena keyakinannya kepada Islam. Karena tanpa keyakinan, tak ada satu orang pun yang berani melawan Umar, singa padang pasir, kafir Quraisy. Malahan dia termasuk salah seorang jagoan di tradisi masyarakat jahilia itu ada satu pasar yang namanya pasar ukaz setiap tahun disitu diadakan pesta lalu diadakanlah berbagai perlombaan juga seperti pertandingan syair, perlombaan balap kuda, memanag, ghulat.
Suhuf yang disembunyikan dibelakang bajunya tersembu, kata umar “apa yang kamu sembunyikan di belakang bajumu?” kata Fatimah “suhu!”, Tanya umar “apa itu suhuf?” dijawab adiknya “lembaran Al-Qur’an” kata umar “coba saya lihat?” kata Fatimah ‘enggak boleh!” Tanya umar “kenapa?” jawab Fatimah “kamu kotor, orang kotor nggak boleh memegang Al-Quran”, kata umar “saya ma lihat!” Fatimah “nggak boleh, kalo kamu ingin lihat mandi dulu!”. Di turutinya permintaan adiknya itu lalu diambilnya suhuf tadi. Dia baca dan kebetulan surah yang di bacanya ayat pertama surah thaha yang berlanjut dengan ayat 14 pada surah yang sama di bacanya:
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ . طه . مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ . إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَىٰ .
Artinya: “Thaha. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah. Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah). (Qs. Thaha: 1-3)
Thaha tidaklah aku turunkan Al-Quran ini untuk bikin sukar manusia melainkan merupakan pengingat bagi orang-orang yang takut kepada Allah. Lalu pada ayat 14:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Qs. Thaha: 14)
Sesungguhnya aku inilah Allah tidak ada tuhan melainkan aku maka hendaklah kepadakulah kamu menyembah وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي dan dirikan sholat untuk mengingat aku, lalu di ayat 15:
إِنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَىٰ
Artinya: “Segungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan” (Qs. Thaha: 15).
Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang yang sengaja waktunya kami tidak beritahukan waktunya kepada kamu semua untuk kami balas segala setiap orang tentang apa saja yang telah mereka lakukan dalam kehidupan dunia ini. Setelah membaca ayat ini gemetar tangannya “ah inisih nggak main-main ini, ini belum pernah say abaca ajaran semacam ini tidak patut orang yang mempunyai kitab suci semacam ini dimusuhi, ini sesuatu yang benar”. bergetar jiwanya “hey Fatimah, Muhammad dimana Muhammad?” jawab Fatimah “saya tidak akan beritahu kepada kamu” umar tegas lagi “dimana!” kata Fatimah “saya tidak akan memberitahu lebih baik kamu bunuh saya kalau memang maksudmu mau mencelakakan Muhammad” kata umar “sama sekali saya tidak akan mencelakan dia Fatimah, kasih tau saja dimana!” jawab Fatimah “Darul arqom!”.
Di dalam (darul arqom) nabi memang sedang berkumpul bersama sahabat termasuk ada sayyidina hamzah yang juga terkenal jawara juga. Ketok pintu, “siapa diluar?” di jawab “Umar!” di dalam ini geger sebagian sahabat umar datang ini bencana, umar datang wah kalo istilah kampong Kerok dah nih urusan. Tapi baginda nabi menenangkan mereka, “tenang mudah-mudahan ada hikmahnya” lalu sayyidina hamzah tampil bukakan dia pintu jika niatnya baik kita terima kalau niatnya buruk saya paling depan. Dibukakan pintu, begitu di bukakan pintu Umar masuk merangkul baginda nabi kemudian dengan tersendak mengatakan ا شهد أن لا إله إلا الله و اشهد أن محمد ر سو ل الله saya bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan saya bersaksi bahwa engkau wahai Muhammad adalah utusan Allah. Sahabat takbir semua, Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar kegembiraan meliputi suasana pada waktu itu, kenapa? Karena sebelumnya dikala umar belum masuk islam dia merupakan ganjalan yang paling di khawatirkan umat islam….dan dia masuk islam bukan bujuk rayu orang, tidak karena diberikan harta, tidak karena di iming-iming oleh kedudukan tinggi tapi karena kebenaran hidayah menembus hatinya….
Satu hari ketika di darul arqam kumpul-kumpul waktu itu nmabi belum berdakwah secara terang-terangan karena pengikut masih sedikit, sayyidina umar usu “ya rasul !” kata baginda nabi “ada apa umar?” kata sayyidina umar:
علسن عل الحق بمتىن ومحىان
 Bukankah kita ini berdiri di atas sesuatu yang benar? Bukankah hidup dan mati kita ini untuk melakukan sesuatu yang benar?”
فلا ىاعمر والّذى نفس بىده انّكم لعل الحق
Betul, Umar. Demi Allah, Umar. Sesungguhnya kamu dan kita semua ini berdiri di atas jalan kebenaran, baik hidup atau pun mati.”
Setelah mendengar jawaban seperti ini, Umar lantas masuk ke dalam tujuan pembicaraannya:
اذن ىارسل: ففىم الأختفه؟
Kalau memang begitu, Ya Rasul, kalau memang kita berdiri di atas kebenaran, kita hidup karena kebenaran, kita mati pun karena memperjuangkan kebenaran, lalu kenapa kita harus bersembunyi? Demi Allah, Ya Rasul. Anda harus keluar dan menyampaikan ajaran Islam ini kepada orang banyak dan kami akan selalu mendampingimu dengan segenap jiwa dan raga.”
Sekali ia masuk Islam, usul Umar gak tanggung-tanggung. Yang seperti inilah yang kita perlukan sekarang ini. Umar rela memberikan jiwa dan raganya untuk kemajuan Islam.
 Setelah masuk Islam, Umar juga sering mengunjungi tempat-tempat yang dulu ia pernah melakukan maksiat dan kesalahan. Hingga ia berkata, “Tak ada tempat yang saya pernah melakukan kesalahan di sana sebelum masuk Islam melainkan saya melakukan kebaikan di sana setelah masuk Islam.” Bahkan dalam satu riwayat mengatakan bahwa meski perawakan beliau yang kekar, tinggi tegap dan orang lain takut menghadapinya, di sisi lain hati Umar mudah tersentuh ketika mendengar ayat-ayat Al-Qur’an.
Diceritakan kadang-kadang Umar ketika shalat dan menoleh ke kanan ia tersenyum sedangkan jika menoleh ke kiri ia menangis berurai air mata. Jika ditanya tentang hal ini, Umar menjawab, “Semua ini karena saya sedang mengingat betapa jahil-nya saya sebelum masuk Islam. Jika menoleh ke sebelah kanan dan saya tersenyum itu karena saya sedang menertawakan kelakuan konyol saya dulu yang membuat berhala sendiri dari pohon kurma lantas saya sembah sebagai Tuhan. Setelah saya sembah, saya makan itu kurma. Adapun jika saya menoleh ke kiri, saya teringat putri saya. Pada waktu itu saya terbawa oleh tradisi Jahiliyah, takut menanggung aib karena memiliki anak perempuan hingga saya menguburnya hidup-hidup, bayi yang masih kecil itu saya bunuh, anak saya sendiri. Betapa sekarang saya sangat bersedih hati jika mengingat hal ini.” Padahal Nabi sudah memberikan jaminan bahwa orang kafir yang masuk Islam maka seluruh dosa yang lalu (saat masih kafir) akan diampuni oleh Allah dan perhitungan amal baik dan buruknya untuk akhirat kelak dihitung (dihisab) sejak ia masuk Islam.
Cinta Umar kepada Baginda Nabi itu sungguh luar biasa. Dalam setiap pertempuran, Umar selalu berada di barisan terdepan untuk membela agama Islam. Bahkan di hari wafatnya Baginda Nabi, Umar tidak langsung mempercayainya saat berita itu sampai kepadanya. “Ya Umar, Baginda Nabi sudah wafat.” “Kamu ngomong apa, hah?” Bukannya sedih, Umar malah mengeluarkan pedangnya dan matanya melotot lalu berteriak, “Siapa yang bilang bahwa Muhammad telah mati maka saya akan tebas batang lehernya.” Begitu cintanya beliau kepada Nabi Muhammad, sehingga ia tidak langsung menerima bahwa Nabi telah wafat. Ia berkeliling kota dan menantang siapa saja yang berani mengatakan bahwa Nabi telah wafat akan ia bunuh. Hingga datang Abu Bakar dan beliau berpidato di antara kerumunan banyak orang:
أَلا مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لاَ يَمُوتُ
Artinya: “Ingatlah, barangsiapa menyembah Muhammad shallallahu alaihi wasallam maka Muhammad telah wafat, dan barangsiapa menyembah Allah maka Allah Mahahidup tidak akan mati..”
Mendengar pidato ini, Umar pun sadar bahwa sebenarnya yang tidak bisa mati itu adalah Allah. Bagaimana pun agungnya Baginda Nabi, tinggi budi pekertinya, bagus akhlaknya tapi beliau adalah manusia dan manusia pasti akan mati.
Kemudian dibacakan Surat Ali Imran Ayat 144:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
Artinya: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorng rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.
Mendengar ayat ini, Umar berurai air matanya dan menangis dalam kesedihannya. Hal ini merupakan salah satu bentuk kecintaan Umar kepada Rasulullah. Saat masih hidup, Baginda Nabi mengajarkan sesuatu kepada Umar tentang amal buruk yang dulu pernah ia lakukan bisa ditebus dengan melakukan kebaikan.
اتق الله حيثما كنت ، وأتبع السيئة الحسنة تمحها، وخالق الناس بخلق حسن
Artinya: “Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, dan hendaknya setelah melakukan kejelekan engkau melakukan kebaikan yang dapat menghapusnya. Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik‘” (HR. Ahmad 21354, Tirmidzi 1987, ia berkata: ‘hadits ini hasan shahih’).
اتق الله حيثما  Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, jadi Taqwa itu tidak kenal tempat. Di mana saja kamu berada, kamu mesti bertaqwa kepada Allah. Di rumah, kantor, di tengah orang banyak atau pada waktu sendirian, kamu tetap harus bertaqwa kepada Allah. Jangan bertaqwa dikaitkan pada tempat. Misal, kamu hanya taqwa jika sedang berada di dalam mesjid saja. وأتبع السيئة الحسنة تمحها  Dan iringi perbuatanmu yang salah dengan kebaikan. Jika nanti kamu berbuat salah maka cepat-cepatlah berbuat kebaikan dengan harapan bahwa kebaikan yang kamu lakukan itu bisa menutupi atau menggugurkan dosa yang kamu lakukan.
Banyak ngomongin orang, lantas beristigfar. Istigfarnya itu semoga bisa menutupi dosa akibat membicarakan orang lain. Misal pernah dengan sengaja mengambil barang orang lain maka imbangilah dengan sering memberikan sedekah kepada orang lain. Pernah menyakiti hati orang lain maka imbangilah dengan melakukan hal yang bisa menyenangkan hati orang lain. Inilah yang dilakukan oleh Sayyidina Umar yaitu mengiringi perbuatan buruk dengan perbuatan baik.
Saudara, diperlukan orang yang memiliki keberanian seperti Umar. Ia berani karena panggilan hidayah, bukan berani babi (nyeruduk tanpa arah dan pertimbangan). Keberanian tanpa pertimbangan pada akhirnya akan menyulitkan diri sendiri. Sayyidina Umar itu gagah, pemberani dan memiliki kuasa. Semua itu ia jadikan sebagai backing atau pendukung bagi dakwah Nabi. Dan وخالق الناس بخلق حسن  pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik, karena dengan hal ini kamu bisa mengambil hati orang lain. Dalam hadits lain dikatakan bahwa, “Kamu tidak bisa menyenangkan orang banyak dengan hartamu tetapi kamu bisa mengambil hati mereka dengan budi pekerti yang luhur dan muka yang manis.” Dengan harta, kita belum tentu bisa menyenangkan semua orang tetapi dengan budi pekerti yang luhur dan muka yang manis (ramah dan mudah tersenyum), itulah yang bisa menyenangkan hati orang lain.
Setelah Baginda Nabi wafat, Abu Bakar pernah berkata kepada Umar dalam sebuah perkumpulan, “Umar, saya akan bai’at kamu untuk menjadi Khalifah.” Umar menjawab, “Justru saya yang akan membai’at Tuan sebagai Khalifah.” “Tapi Anda lebih utama daripada saya, Umar.” “Keutamaan saya akan saya berikan kepada Tuan untuk mendukung kekhalifahan Tuan.”
Di sini kita bisa melihat watak Umar yang tidak ambisius terhadap jabatan. Beliau gagah, berani dan perkasa tetapi tahu diri. Gak nyelonong (merebut/memangkas antrian). Beliau tidak menggunakan kekuasaan dan kegagahannya untuk maksud yang sewenang-wenang. Oleh karena itu, setelah Abu Bakar wafat dan beliau dilantik menjadi Khalifah, keluarlah pidatonya yang terkenal.
اَيُّهَا النَّاسُ، فَإِنِّي قَدْ وُلِّيَتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ . فَإِنْ أَحْسَنْتُ فَأَعِيْنُوْنِي، وَ إِنْ أَسَأْتُ فَقَوِّمُوْنِي . الصَّدْقُ اَمَانَةٌ، وَالْكَذِبُ خِيَانَةٌ . وَالضَعِيْفُ فِيْكُمْ قَوِيٌّ عِنْدِيْ حَتَّى أُرِيْحَ عَلَيْهِ حَقَّهُ إِنْ شَاء اللهُ . وَالْقَوِيُّ فِيْكُمْ ضَعِيْفٌ عِنْدِيْ حَتَّى آخُذَ الْحَقَّ مِنْهُ اِنْ شَاء اللهُ . لَا يَدَعُ قَوْمُ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ إِلَّا ضَرَبَهُمُ اللّٰهُ بِالذُّلِّ، وَلَا تَشِيْعُ الْفَاحِشَتُ فِيْ قَوْمٍ قَطُّ إِلَّا عَمَّهُم اللهُ بِالْبَلَاءِ . اَطِيْعُوْنِيْ مَا أَطَعْتُ اللهَ وَرَسُوْلُهُ، فَإِذَا عَصَيْتُ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ فَلَا طَاعَةَ لِيْ عَلَيْكُم . قُوْمُوْا إِلَى صَلَاتِكُمْ يَرْحَمُكُمُ الله.
Artinya: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah memilih aku untuk menjadi pemimpin di antara kalian. Namun, aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Maka, jika aku berbuat kebenaran, maka ikutilah aku. Dan jika aku berbuat salah, maka segeralah meluruskanku. Berbicara akan kebenaran adalah amanah, dan bericara akan kedustaan adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian bagiku adalah orang yang kuat di sisiku, hingga ia aku berikan haknya, Insyaa Allah. Dan orang yang kuat di antara kalian, bagiku hanyalah orang yang lemah, sampai aku mengambil hak darinya, Insyaa Allah. Bila sampai ada satu kaum yang meninggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepadanya. Dan bila telah merebak di suatu kaum perzinaan, maka Allah akan menimpakan kekacauan dan bencana di tengah mereka. Taatilah diriku, sepanjang aku berada dalam ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Dan apa bila aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kalian taati aku. Tegakkanlah shalat, maka Allah akan merahmati kamu sekalian”.
Hai manusia, aku telah dipilih menjadi pemimpin kalian padahal aku bukanlah orang terbaik di antara kalian. Kalau bukan karena aku melihat keutamaan dan keteguhan yang dapat melindungi kalian, berat rasanya aku memikul amanah (jabatan) ini. Karena alangkah beratnya menunggu hari perhitungan nanti di akhirat terhadap diriku sebagai seorang Khalifah.
Bagi Umar menjadi seorang Khalifah (Raja/Presiden di masa sekarang) itu dirasakan lebih berat karena beliau akan dihisab tentang jabatan yang didudukinya itu. Andaikan saja boleh memilih, Umar ingin dirinya sebagai Umar saja bukan sebagai seorang pemimpin yang akan berat hisabnya di hadapan Allah kelak di hari kiamat. Sehingga benar sabda Nabi dalam sebuah hadits yang berbunyi, “Janganlah kamu memberikan jabatan kepada orang yang memintanya (jabatan tersebut).” Sebab kalau seseorang sudah meminta jabatan, apalagi pakai jilat-jilat (mendekati orang yang memegang kekuasaan atas sesuatu dengan harapan ia bisa mendapat keuntungan darinya) dan pemungutan upeti-upeti (suap/sogok), tentu di sana ada tendensinya. Ada batu di balik udang. Kalau udang di balik batu kan mungkin gak kelihatan. Sedangkan ini batunya (keinginan dan ambisinya) sudah terlihat sangat jelas walau ia bersembunyi di balik udang (alasan/alibi).
Jangan memberikan jabatan kepada orang yang memintanya. Seakan di dalam batinnya Sayyidina Umar menyesali, “kenapa Umar tidak jadi Umar saja kok malah jadi Khalifah. Alangkah berat perhitungan buat saya di akhirat nanti”. Setelah menjadi Khalifah ada beberapa hal yang patut kita ambil contoh dan pelajaran dari kehidupan Umar sebagai seorang Khalifah di lingkungan keluarga. Kedudukan sebagai keluarga Umar bin Khattab bukan merupakan kedudukan istimewa. Hal ini ditanamkan ke dalam pemahaman di keluarganya. “Jangan mentang-mentang ayahmu seorang khalifah, lantas kamu sebagai anaknya bisa menggunakan semua fasilitas yang disediakan oleh negara, bisa berbuat sekehendak hatimu tetapi kamu justru harus punya tanggung jawab dan beban moril serta memberikan contoh yang lebih baik kepada rakyat.”
Hal inilah yang ditekankan oleh Umar kepada keluarganya. Kalau beliau akan mengeluarkan sebuah Undang-undang maka Undang-undang itu akan lebih dulu ia bicarakan dengan keluarganya. Umar akan mengumpulkan semua anggota keluarganya. “Ada Undang-undang A, jika kalian mau menaatinya, silakan. Jika tidak pun, silakan. Tapi saya ingatkan, kalau ada dari anggota keluarga Umar yang melanggar aturan (Undang-undang) yang akan dikeluarkan ini, maka dia akan dihukum dua kali lipat karena ia adalah keluarga saya.” Beliau akan menghukum anggota keluarganya dua kali lipat dari hukuman biasa. Jadi bukan mentang-mentang anak babeh (penguasa) lantas bisa kebal terhadap hukum. Umar juga merupakan sosok yang berwibawa. Ia sangat menjaga keluarganya. Suatu hari ia berkunjung ke rumah anaknya, Abdullah bin Umar. Ketika Umar masuk ke rumahnya, ia melihat Abdullah sedang memakan daging. Muka Umar langsung merah. “Mentang-mentang anak Khalifah, anak Amirul Mukminin, lihat tuh rakyat kita masih banyak yang makan roti keras.”
Padahal daging yang dimakan oleh Abdullah bin Umar itu halal dan ia peroleh atas usahanya sendiri. Ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian Umar dalam menjaga pandangan orang terhadap keluarga Khalifah. Sebab apa yang dilakukan oleh keluarga Khalifah akan menjadi contoh bagi masyarakat luas. Di lain waktu, Umar pergi ke sebuah pasar dan melihat ada banyak sapi yang berbadan gemuk-gemuk, sedangkan di tempat lain sapinya kurus-kurus. Umar kemudian bertanya kepada warga di sana, “Ini sapi-sapi yang gemuk punya siapa?” “Itu kepunyaan anakmu, Abdullah bin Umar.” “Panggil dia ke sini.” Tidak berapa lama, anaknya pun datang menghadap Umar. “Abdullah bin Umar, ceritakan kepadaku tentang sapi-sapi milikmu ini.” “Begini, Ayah. Dulu saya membeli beberapa ekor sapi yang berbadan kurus kemudian saya mempekerjakan orang lain untuk merawatnya hingga sekarang sapi-sapi itu menjadi gemuk. Saya berencana untuk menjualnya nanti dan tentu keuntungannya itu merupakan sesuatu yang halal bagi saya.” “Kau ini adalah anak Amirul Mukminin (Khalifah), juallah sapi-sapimu itu. Ambil modalnya dan keuntungannya itu berikan kepada Baitul Mal untuk mengurus kepentingan umat Islam.”
Umar tidak ingin anaknya itu menjalankan bisnis karena ikut mendompleng nama ayahnya sebagai pemimpin. Karena mentang-mentang anak Khalifah maka semua bisnisnya menjadi lancar. Orang lain takut karena dia anak Khalifah. Dan Umar tidak ingin senya hal ini terjadi.
Ada cerita yang lain tentang pembagian Ghanimah (harta dari peperangan). Putri beliau yang namanya Hafsah (istri Baginda Nabi), pernah meminta bagian Ghanimah kepada Umar. “Ayah, kami kaum kerabat Khalifah. Bagilah kami Ghanimah terlebih dulu.” “Karena kamu kerabatku maka jatahmu nanti dari ayahmu. Harta Ghanimah ini masih lebih banyak dibutuhkan untuk kepentingan umat Islam. Jatahmu nanti, belakangan. Kalau ada sisanya.” Hal yang diceritakan di atas merupakan beberapa contoh sikap Umar terhadap keluarganya. Lalu bagaimana sikapnya Umar saat ia sedang memimpin?
Pertama, adalah kesederhanaan. Beliau adalah satu-satunya Khalifah atau Amirul Mukminin yang hanya memiliki 2 buah jubah atau gamis, dan yang satunya lagi itu milik anaknya. Dan bajunya tersebut terdapat banyak tambalan akibat pernah tersobek atau tergores kainnya.  Beliau pernah terlambat Shalat Jumat. Sebelum naik mimbar, beliau meminta maaf dulu kepada jamaahnya karena telat. Penyebabnya adalah ia harus menunggui cucian jubahnya hingga kering agar bisa ia pakai kembali.
Pada waktu beliau menjadi Khalifah, diangkatlah Amr bin Ash menjabat sebagai seorang Gubernur di Mesir. Kehidupan Amr bin Ash itu lebih mirip seperti kaisar yang glamor dan mewah. Istananya besar dan pakaiannya bagus. Ada satu hal yang paling mengganggu pikiran Amr bin Ash yaitu tepat di sebelah istananya itu berada sebuah gubuk tua yang sudah jelek dan reot (akan rubuh) miliki orang Yahudi.
“Ah ini, gak pantes bener. Masa di samping Istana seorang gubernur ada gubuk reot. Orang Yahudi lagi yang punya. Sudahlah, saya mau panggil Dinas Tata Kota dan membuat rencana untuk membuat proyek pembangunan mesjid yang akan dibangun oleh negara. Bikin gambarnya, susun anggarannya lalu tender ke vendor yang mau dan mampu.”
Orang Yahudi pemilik gubuk reot itu pun dipanggil ke Istana dan diberitahukan rencana tentang pembangunan mesjid dan gubuk itu akan dihilangkan karena termasuk ke dalam area pembangunan mesjid. Amr bin Ash berencana untuk membeli gubuk itu tetapi orang Yahudi ini menolak meskipun sudah ditawarkan harga berkali lipat dari harga rumah gubuk pada umumnya. Ia tetap menolak. Alasannya adalah gubuk itu merupakan tempat tinggal dia sejak kecil, ia juga bekerja setiap hari dan istirahat di gubuk itu di malam harinya. Orang Yahudi ini tidak mau rumah tempat tinggalnya itu digusur oleh pihak Istana. Karena orang Yahudi ini tetap menolak maka pihak Istana menghancurkan gubuk reot itu dengan paksa. Orang Yahudi itu sedih dan berurai air matanya. Tapi dia tidak putus asa. Dia berpikir bahwa Amr bin Ash bukanlah pejabat tertinggi karena masih ada Khalifah yang jabatannya jauh lebih tinggi daripada Gubernur. Maka dengan tekad kuat, orang Yahudi ini pun pergi dari Mesir menuju Madinah untuk menemui Umar bin Khattab dan melaporkan semua perilaku yang ia terima di bawah kepemimpinan Gubernur Mesir.
Di sepanjang jalan, dia berpikir dan membanding-bandingkan kehidupan antara Gubernur Mesir dengan Sang Khalifah. Kalau Istana Gubernur saja sudah mewah maka Istana Khalifah pasti jauh lebih besar dan mewah. Kalau Gubernurnya galak dan maen gusur rumah orang, apalagi Khalifahnya, pasti lebih galak. Dan saya juga bukan orang Islam. Apa mungkin aduan dan laporan saya ini akan didengar oleh Khalifah? Apa bisa mendapatkan tanggapan dan respon dari Khalifah?  Tetapi ia tetap melanjutkan perjalanan walau dengan hati yang harap-harap cemas.
Sampailah dia di pintu kota Madinah. Di sana dia menemukan ada seseorang yang sedang tidur di bawah pohon kurma. Dia pun mendatangi dan menyapanya. Orang itu pun bangun. “Selamat siang, Pak!”, “Ya, ada apa?”, “Saya mau nanya.” “Nanya apa?”, “Apakah Bapak tahu Khalifah Umar bin Khattab?”, “Tahu.” “Istananya di mana, Pak?” “Istananya di atas lumpur.” “Siapa pengawalnya? Banyak?” “Banyak.” “Siapakah mereka?” “Mereka itu anak-anak yatim piatu, janda-janda tua, orang-orang miskin dan orang-orang lemah. Itulah pengawalnya.” “Lalu, pakaian kebesarannya itu sutra atau apa?” “Pakaian kebesarannya adalah rasa mau dan taqwa.” “Saya gak ngerti, Pak.” “Itulah Umar bin Khattab.” “Lalu orangnya sekarang ada di mana, Pak?” “Dia ada di depanmu !.”
Orang Yahudi pun baru sadar bahwa sosok Khalifah Umar bin Khattab yang ingin ia temui ternyata adalah orang yang berada di depannya yang sedari tadi ia ajak bicara. Orang itu gemetar badannya dan keringat bercucuran. Dia memikirkan kembali kata-kata Umar tadi tentang Istana Khalifah yang berada di atas lumpur, para pengawalnya dan pakaian kebesarannya. Kenapa Umar berkata demikian? Sebab Umar berprinsip, bagaimana saya bisa menghayati nasib umat jika saya tidak bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Bagaimana saya bisa tahu sakitnya lapar jika saya tidak pernah tahu rasanya kelaparan. Lalu Umar bertanya, “Kamu datang dari mana?” Orang Yahudi itu menjawab, “Dari Mesir, Pak.” “Ada apa ke sini?”, “Saya mau melaporkan Gubernur Mesir yang bernama Amr bin Ash.”, “Kenapa dengan dia?”, “Dia telah menggusur rumah saya, seenaknya.”, “Bagaimana ceritanya?”, “Gubernur mau membangun Mesjid di sebelah Istananya. Area pembangunan itu meliputi tanah dan rumah saya yang sederhana dan kecil juga sudah reot. Saya gak mau rumah itu dijual. Tapi ujung-ujungnya rumah saya itu tetap digusur. Saya ke sini untuk mencari keadilan kepada Tuan Khalifah.”, “Begitu ya. Oke, begini. Kamu lihat di sana ada tempat sampah?” Orang Yahudi itu mengangguk. “Di sana terdapat banyak tulang-belulang unta. Coba kamu ambil salah satunya dan bawa ke sini.” Orang Yahudi itu kebingungan. “Pak, saya ke sini mau mencari keadilan. Kalau nyari tulang, di Mesir juga banyak.” “Sudahlah. Pokoknya kamu ambil saja tulang itu!”
Dia pun bergegas menuju tempat sampah itu dan mencari-cari tulang dan akhirnya mendapatkan satu tulang lalu dia memberikannya kepada Umar. Tulang itu pun dibuat garis lurus oleh pedangnya Umar. Kemudian tulang itu ia berikan kembali kepada orang Yahudi, “Ambil ini dan berikanlah kepada Amr bin Ash.” Orang Yahudi itu semakin bingung. Suruh bawa tulang unta doang terus digaris sekali saja. “Nanti saya ngomong apa ke Amr bin Ash?”, “Sudahlah, bawa saja.”
Singkat cerita, orang Yahudi itu kembali ke Mesir dan menemui Amr bin Ash. “Tuan Gubernur, saya baru pulang dari menghadap Khalifah Umar. Kemudian beliau menyuruh saya memberikan ini kepada Tuan.” Orang Yahudi itu memberikan tulang yang ia bawa dari Madinah. Ketika Amr bin Ash melihat tulang yang ada goresan lurus dari pedang, badannya langsung bergetar hebat dan keluar keringat dingin. Ia kemudian memanggil Kepala Proyek Pembangunan Mesjid. “Proyek pembangunan mesjid ini dibatalkan. Mesjid gak jadi didirikan dan gubuk orang Yahudi ini dirikan dan bangun lagi.”
Orang Yahudi ini semakin bingung dan bengong. Ini Gubernur dapet tulang doang, segitu takutnya., “Ada apa sebenarnya, Tuan Gubernur?”, “Kamu tahu? Ini adalah nasihat pahit untuk saya dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Seolah-olah beliau berkata. ‘Hai Amr bin Ash, jangan mentang-mentang kamu sedang berkuasa karena pada suatu saat nanti kamu pun akan mati dan menjadi seperti tulang ini maka mumpung kamu masih hidup dan berkuasa, berlaku adil dan luruslah kamu seperti garis di atas tulang ini. Lurus, adil dan jangan bengkok. Sebab kalau kamu bengkok, nanti aku yang akan meluruskannya dengan pedangku.’” Siapa yang gak ngeper (ketakutan) digituin? Sampai akhirnya orang Yahudi itu berkata kepada Amr bin Ash, “Pak, kalau begitu Islam itu adil ya?” Amr bin Ash menjawab, “Ya, Islam itu adil.” “Kalau gitu, tentang tanah dan rumah saya itu, saya mau berikan saja kepada engkau, Tuan Gubernur.”
Selanjutnya orang Yahudi itu pun masuk Islam karena keadilan dari Umar bin Khattab. Begitulah keadilan dari seorang Umar bin Khattab. Hal yang yang bisa diceritakan adalah tentang kesederhanaan hidupnya Umar, sampai yang ironi adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah dan Zubair pernah berkumpul karena mendengar kabar bahwa Sayyidina Umar memiliki utang. Bayangkan, seorang Khalifah untuk melangsungkan hidupnya ia harus berutang. Padahal Baitul Mal berada di bawah kekuasaanya. Mereka berempat berunding dan sepakat untuk membahas hal ini melalu anaknya Umar yaitu Hafsah. Karena jika mereka yang langsung berhadapan dengan Umar, mereka tidak berani dan segan. Hafsah bicara kepada Umar, “Ayah, bagaimana jika gaji Khalifah dinaikkan agar bisa membayar utang Ayah.” “Hafsah, siapa yang menyuruhmu untuk membicarakan hal ini?” “Gak ada.” “Ada. Pasti. Karena kamu gak mungkin ngomong seperti ini kepada Ayah kalau tidak ada yang memintamu. Tapi orangnya kalau saya tuntut, mereka pasti gak mau. Sekarang saya tanya, Hafsah. Kau kan istri Rasulullah? Suamimu makannya apa? Daging?”, “Bukan, Ayah. Beliau memakan roti.” “Tempat tidurnya itu kasur empuk?” “Bukan. Beliau menggunakan kain kasar, yang kalau musim panas kami bentangkan dan kalau musim dingin kami jadikan sebagian kainnya sebagai selimut.” “Berapa banyak pakaian yang dibelikannya untukmu?” “Cuma dua, Ayah.” “Nah, beliau adalah guru saya. Beliau adalah orang yang paling saya cintai dan cara hidup beliau yang saya ikuti.”
Bahkan setelah Umar wafat, utangnya itu dibebankan kepada anaknya Abdullah bin Umar dan itu pun melunasi utang dengan cara menjual rumahnya, sehingga rumah Umar disebut dengan nama Darul Qodho artinya Rumah Untuk Bayar Utang.
Itulah kesederhanaan Umar. Jadi bukan karena aji mumpung. Mumpung jadi Khalifah tangannya ibarat gurita yang rakus mengambil apa saja yang ia mau. Atau seperti mental monyet. Monyet selalu ingin mengambil makanan yang lain meskipun tangan kiri dan kanan serta mulutnya sudah penuh oleh makanan. Temannya dikasih makanan, ia masih ingin makanan itu lantas merampasnya.
Kenapa kesederhanaan Umar timbul? Karena ia memiliki sifat zuhud. Zuhud itu adalah orang yang mengambil kebutuhan dunia seperlunya dan lebih mengutamakan urusan akhirat. Watak zuhud Umar ini sangat menonjol. Dialah pahlawan yang paling berani di medan perang, dialah imam yang paling khusyu di mesjid dan tidak jarang ia akan menangis dalam shalatnya jika sedang membaca ayat yang menceritakan tentang neraka. Jadi kesederhanaan dan kezuhudan Umar ini bukan hanya teori tetapi langsung ia lakukan. Kesederhanaan Umar timbul karena ia memiliki sifat zuhud. Zuhud adalah orang yang mengambil kebutuhan dunia seperlunya dan lebih mengutamakan urusan akhirat. Watak zuhud Umar ini sangat menonjol. Dialah pahlawan yang paling berani di medan perang, dialah imam yang paling khusyu di mesjid dan tidak jarang ia akan menangis dalam shalatnya jika sedang membaca ayat yang menceritakan tentang neraka. Jadi kesederhanaan dan kezuhudan Umar ini bukan hanya teori tetapi langsung melalui amal perbuatan nyata dan konkret yang bisa menjadi contoh yang baik bagi kita. Dan ini adalah prinsip keteladanan yang Umar tiru dari Baginda Nabi.
Selain cerita keadilan Umar di post sebelumnya (tentang gubuk Orang Yahudi), ada cerita lain mengenai hal ini. Kalau Umar sudah bicara tentang hukum maka dia tipe orang yang tidak pernah kenal kompromi. Suatu ketika ada seorang pemuka Nasrani masuk Islam. Namanya adalah Jabalah bin Aiham. Pada saat ia berhaji, kain ihram miliknya terinjak oleh jamaah haji lainnya. Yang menginjak kain ini badannya hitam legam dan berasal dari suku Arab Badui. Jabalah merasa jengkel dan kesal karena ia merupakan mantan tokoh terkenal atau pemuka agama. Enak aja nih maen injak kaen ihram punya orang. Udah jelek, nginjek lagi. Orang Arab Badui ini lalu dipukul oleh Jabalah. Setelah pulang berhaji orang Arab Badui itu melaporkan hal ini kepada Umar. “Panggil Jabalah bin Aiham,” perintah Umar. Setelah Jabalah datang, Umar bertanya kepada orang Arab Badui itu, “Kamu dipukul kan? Sekarang pukul Jabalah!” Jabalah pun dipukul oleh orang Arab Badui di hadapan Umar. Jadi bukan karena ada seseorang yang terhormat di sukunya, lantas setelah masuk Islam ia tetap diperlakukan istimewa saat menghadapi sebuah hukum. Tidak. Umar memerintah dengan adil dan bijaksana. Siapa yang salah maka dia akan dihukum.
Sisi keadilan dalam diri Umar ini juga ditanamkan di dalam keluarga Umar. Umar mewanti-wanti dan memperingatkan bagi seluruh keluarganya untuk tidak menganggap posisi Umar yang sebagai Khalifah menjadi sebuah keuntungan bagi pribadi masing-masing anggota keluarganya. Tidak boleh ada yang aji mumpung dan memanfaatkan kekuasan dari Umar. Umar pun tidak memiliki rencana dan keinginan untuk mewariskan kekhalifahan kepada anak-anaknya.
Pernah ia berkata dalam sebuah musyawarah, “Saya ini bingung, kenapa sulit sekali mencari orang untuk dijadikan sebagai Gubernur Kuffah. Diangkat orang yang lemah, rakyatnya mengeluh. Diangkat orang yang berwatak keras, rakyat pun mengeluh.” “Tuan, ada satu calon yang pas dan pantas untuk posisi ini. Dialah Abdullah bin Umar, anak dari Tuan Khalifah.” Umar melotot, “Jangan macam-macam kau! Cukup satu orang (dari keluarga) Umar yang memegang jabatan (di pemerintahan). Kalau berhasil dalam memerintah, kami, keluarga Umar akan merasakannya. Kalau gagal maka cukuplah kegagalan seorang Umar.”
Umar tidak berusaha mengorbitkan atau mempromosikan anaknya agar maju menjadi seorang pejabat negara. Umar meminta untuk mencari calon yang lain. “Tapi Abdullah bin Umar adalah orang yang telah memenuhi syarat sebagai seorang Gubernur. Dia sholeh juga bertaqwa kepada Allah.” “Orang yang sholeh dan taqwa itu bukan hanya anak dari Umar. Anak orang lain juga banyak yang sholeh dan taqwa.” Itu adalah prinsip Umar. Sehingga ketegasan dari Umar ini membuat orang lain menjadi sungkan dan segan. Tidak ada seorang pun yang berani mengiriminya upeti, hadiah, parsel atau gratifikasi.
Suatu ketika pernah ada pejabat dari Azerbaijan yang memberikan hadiah kue untuk Umar. “Ini kue enak sekali. Apakah kue ini adalah makanan sehari-hari orang sana?” tanya Umar. “Bukan, Tuan. Ini adalah makanan para elit dan orang kaya di sana.” jawab kurir pengirim. Umar lalu membungkus kembali sisa kue yang masih ada dan menyuruh kurir tadi untuk mengirimkan kembali kue tersebut kepada Gubernur Azerbaijan dan sampaikan salam Umar untuknya sambil berpesan, “Kenyangkanlah dulu rakyatmu dengan makanan semisal ini, barulah kami belakangan yang akan memakannya. Jadi kalau ada rakyat yang lapar maka pemimpinnya yang merasakan duluan rasa lapar. Jika rakyatnya makmur dan kenyang maka biarlah pemimpinnya yang terakhir merasa kenyang. Utamakanlah kepentingan rakyat terlebih dahulu.”
Prinsip ini bagus dan patut untuk dicontoh. Jangan dibalik pemahamannya. Kalau ada rakyat yang kelaparan maka dia buru-buru mengenyangkan perutnya duluan. Dengan sikap keadilan ini membuat hukum di bawah pemerintah Umar menjadi berwibawa. Beliau pernah jalan-jalan bersama sahabat bernama Aslam. Mereka berdua pergi ke sebuah lorong kota Madinah yang bernama Haraq. Ada seorang anak dan ibu-ibu yang terlihat kelaparan. Anaknya berulang-kali merengek kepada ibunya karena perutnya sudah sakit akibat rasa lapar yang luar biasa. Ibu itu terlihat sedang memasak. Terdengan bunyi rebusan air yang beradu dengan panci yang digunakan untuk merebus. Dari kejauhan Umar memperhatikannya. Mulai dari anak itu nangis, merengek, nangis lagi hingga akhirnya kecapean dan tertidur, masakan yang dibuat ibu tadi belum juga matang. Umar penasaran dan menghampiri ibu tersebut. “Ibu ini sedang masak apa? Dari tadi saya perhatikan, sudah lama ibu memasak tetapi masih belum matang juga.” “Saya tidak masak apa-apa, Tuan.” “Lah suara dari dalam panci berisik, itu apa?.” Ketika dibuka isinya ternyata hanya air yang mendidih. “Ibu ternyata sudah membohongi anak ibu sendiri.” “Saya mesti bagaimana, Tuan. Saya sudah tidak memiliki bahan makanan untuk dimasak. Sementara perut gak kenal kompromi. Satu-satunya cara adalah saya membohongi anak saya bahwa saya sedang memasak makanan untuknya.” “Memangnya Khalifah Umar gimana sih ngurusin rakyatnya menurut Ibu?” “Dia seorang yang dzalim. Dia memimpin kami tetapi tidak tahu nasib keluarga fakir miskin seperti kami. Anak kelaparan dan keluarga terlantar.” “Oh, begitu.” “Iya. Dzalim sekali itu Umar bin Khattab.” “Kalau begitu tunggu sebentar, Bu.”
Umar pulang bersama Aslam lalu menuju Baitul Mal. Umar mengambil tepung satu karung dan ia pikul sendiri. “Ya Khalifah, biar saya yang bawa,” kata Aslam. “Jangan.” “Kenapa?” “Apa kamu sanggup memikul dosa saya nanti di akhirat? Biarkan saya memikul karung ini sendiri.” Umar membawa karung itu ke tempat ibu tadi. Umar sendiri yang memasaknya dan setelah matang dia mempersilakan ibu itu memakannya bersama anaknya “Alhamdulillah, semoga Allah memberkahi Tuan. Tuan lebih baik daripada Umar bin Khattab yang dzalim itu. sebenarnya Tuan ini siapa?” “Saya adalah Umar bin Khattab yang Ibu bilang orang dzalim.” Seketika itu badan si ibu gemetar hebat karena takut. Tapi Umar memang seorang yang peka dan menghargai kritikan dari orang lain dan tidak membungkam orang yang bernada sumbang (berkata jelek/buruk tentangnya). Umar pun menenangkan ibu tadi. Umar pernah berkata, “Saya khawatir kalau orang terlalu segan kepada saya lalu gak ada yang berani negur kalau saya telah berbuat salah.”
Karena biasanya pemimpin yang disegani itu anak buahnya selalu mengamini (membenarkan) setiap perkataan pemimpinnya, berkata oke bos atau asal bapak senang. Pemimpinnya juga maunya dianggap benar, kalau ada yang menyalahkannya ia akan marah besar lalu orang itu disingkirkan (dipecat/dimutasi/dibunuh karakternya). Umar khawatir jika tidak ada orang yang berani menegurnya jika ia salah. Hingga datang seorang anak muda yang berkata, “Demi Allah, saya akan menegur Tuan dengan pedang saya ini jika Tuan berbuat salah dan keliru.” Mendengar hal ini cerah muka Umar dan senyum bibirnya, “Alhamdulillah, anak muda, saya memerlukan orang semacam kau. Yang berani berkata YA terhadap hal yang benar dan TIDAK terhadap yang tidak benar, apa pun dan bagaimana pun resikonya.”
Di sini kita dapat melihat sikap beliau menghadapi orang yang berbeda pendapat dengannya. Keadilan, keberanian, ketegasan dan cepat menerima kebenaran merupakan serentetan dari sifat-sifat beliau, mulai dari ia masuk Islam hingga menjadi seorang Khalifah yang kedua. Bahkan dengan jasa beliau, Islam mulai tersebar menembus dinding jazirah Arabiah, memasuki Byzantium dan Persia sehingga beliau juga dikenal sebagai pemimpin dalam periode Alfutuhat Al-Islamiyah.
Saudara, inilah cuplikan atau cerita kecil dari kehidupan seorang Umar bin Khattab yang agung dan besar. Karena keterbatasan kata-kata sehingga tidak mampu melukiskan keagungan dan kebesarannya itu. Jika kisah teladan dari Umar sudah begitu hebatnya sebagai sahabat Nabi maka teladan dan akhlaq dari Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam jauh lebih utama daripada Umar.
Semoga kita semua bisa mengambil pelajaran, baik dari kisah hidup Baginda Nabi atau para sahabat-sahabatnya. Meski hanya sedikit cerita tentang Umar, mudah-mudahan hal ini juga bisa menjadi sumbangan moril bagi kita guna memperbaiki diri menuju kehidupan yang lebih baik.
Terima kasih atas segala perhatian dan mohon maaf atas segala kekurangan.
۞ وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَ كَا تُهُ ۞



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...