PENGAJIAN RUMAH ABI SHODIQ SABTU, 21 APRIL 2018
Oleh: Syahrul Ramadhan (11160110000004)
Tempat : Grand Puri Laras
Waktu: 17.32 WIB
PENGAJIAN YANG Q IKUTI KETIGA
GHAFIR/AL-MUKMINUN AYAT 7: (Tausyiah
dari salah seorang jama’ah tareqat)
Para malaikat yang memikul arsy,
kenapa menggunakan allaji kenapa tidak malaikatu?, dalam ayat itu allaji karena
bukan hanya malaikat ada mahluk lain selain malaikat. Aktivitas malaikat yaitu
yusabbihu nabuhamdihi (subhanallah wal hamdulillah). Rasulullah ketika isra’
dan mi’raj menjumpai malaikat yang beraneka ragamibadahnya ada yang ruku’, ada
yang sujud, ada yang baca tahmid terus menerus, ada yang baca tasbih terus
menerus, lalu ada keinganinan rasul agar umatnya bisa seperti para malaikat
ini, maka rasul oleh Allah diberi sholat yang di dalamnya mengumpulkan ibadah
para malaikat itu, dalam sholat ada tasbih, ruku, sujud, dll.
Para malaikat itu beriman dan
berarti mereka adalah sodara kita dalam konteks ruhaniah (innamal mukminuna
ikhwatun), dan malaikat itu mendoakan penduduk
yang ada di bumi dan penduduk di bumipun mendoakan penduduk yang di langit.
Malaikat berdo’a dengan membuka
do’anya :” Rabbana wasi’ta kulla
ilmin..” ya llah tuhan yang maha luas ilmu, ini doa pertama yang agung.
Do’anya:
1.
Wattaba’u
sabila => istiqamah agamamu, orang-orang yang beriman/tobat manusia dminta
doa ampun oleh malaikat.
2.
Waqihim
ajaabal jahim => jaga diri dari nerkaa jahim
3.
Rabbana
adhilnlni jannahtu adnin => malaikat juga memohon agar kita di mauskkan
dalam syurga adnin (ini doa malaikat hammalatul arsy).Wama sholaha dan
orang-orang yang shaleh dan doakan bapak-bapak, kakek2mu, pasangan2mu,
anak-anakmu, cucu2mu. Di doakan semua oleh malaikat.
4.
Waqihim
syayyiati => jagalah mereka ya Allah => saking malaikat tidak ingin kita
bebruat maksiat, tapi kita kadang=-kadang2 malah bebruat maksiat.
Dan di tutup innaka antal ajijil hakim, inilah adab berdo’a membuka
dengn apujian dan keaguaan Allah dan menutup dengan memuji Allah SWT.
ABI SHODIQ, MA.
Ngaji kitab Mbah Shiddiq, pertanyaa:
1.
Perempuan
haid wirid gimana? Zikir khofi saja, zahar itu gak usah. Kiyai kita mbah siddiq
ijinkan, bai’at pun gak masalah boleh, kalau yai fandi gak ngijinin yah kita
kita ngikut yai fandi yang ngajari dan bimbing kita, mbah siddiq kalau haid
bai’at bisa ya zikir bisa yang penting di baca, wirid haid gak masalah. Bahkan
orang baca qur’an niat wirid gpp, kalo baca qur’an niat baca qur’an gak boleh.
Zikiran gimana saja tehnis nya kalo di tempat umu, tasbeh dan zikir khofi dan
tasbeh sembunyikan.
2.
Bagaimana
zikir pemula? Focus zikir zahar dan khofi saja, sampe lancer dan jangan terlalu
panjang-panjang yang penting di baca
& istiqomah, 33, 55 supaya tidak beratkan dulu, zikir sebaiknya tata
aturan,
Dalam nurul burhani (karya syeikh abdul qodir) Allah dilangit 1
dalam dzat, 1 dalam sifat dan satu dalam Af’al. 1 dzat, Allah dalam satu, 1
sifat Allah, sdangkan asmanya saja banyak bahkan dalam ahdis asma’ Allah itu
sampe 300 dan barangsiapa bisa nyontoh satu saja maka dia dahalul jannah. Orang
sakit jika merintih dan ikhlas maka rintihnya itu termasuk menyebut asma Allah
(dia nahan nafas, usssshhh…”).
Rasul gak boleh celah cuaca, karena itu Af’Al Allah, maksud 1 sifat
yaitu muara seluruh sifat ini Allah, Allah itu sempurna dalam sifat, Allah maha
penyayang dan kalo adzab dahsyat ini sifat satu, Allah adzab itu bentuk kaish saying.
Af’al => satu Allah, kalaupun dalam implementasi ada mansuia dna malaikat
itu tidak mencederai ketahuhidan Allah, karena mereka juga bekerja tetap dalam
kendali Allah.
Mbah siddiq itu guyunan, ketika dia biacar:”Udah lama nggak amkan
daging mau makan Mpal saja”, lalu mbah siddiq suruh cari kopiah item lecek di
potong2 jadi mpal lalu di makan, memang orang itu pinter. Orang dulu
bersih-bersih gak repot jadi cepat.
Kiyai bingung mau punya mennatu tapi nggak punya uang, dating mbah
kholil bawa gula dan itu gak habis-habis. Mbah hasyim =-> kalau wali pasti
kuat syariatnya. Dzunun al-mishri => makrifat wali sifat wahdaniah &
Fardiah” dan imannya Haqqul yaqin. Bumi dalam langit 1, langit 1 dalam langit
2, langit 7 dalam Arsy Allah, Bumi di banding lanmgit satu seperti cicncin di
padang pasir maha luas Allah. Dan langit 7 di banding Arsy seperti cincin di
padang pasir maha luasnya Allah.
1.
TAJASSUM
Kalau orang aqidah tajassum (menganggap Allah seperti mansuia =>
Antromorfisme halal darahnya dan kafir dan sesat, Allah punya tangan, Ulama
Aswaja => di ta’wil (dipalingkan maknanya), walaupun kel;ompok sebelah
berkata biarkan saja seadanya. Memang mereka seperti ityu, contoh ibnu taimiyah
memahami istiwa (tahah ayat 5, Allah bersemayam diatas arasy), wasia
kursiyyuhussama ibnu taimiyah: yah sama kaya saya duduk diatas kursi ini, lalu
di tempeleng dan di Tarik keluar oleh jama’ahnya.
Ayat :”Tasabahat Qulubuhum” =>
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا
فَأَحْيَاكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ
ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Mengapa
kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan
kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?
Ini
juga ayat yang di katakana sebagai reinkarnasi mansuia. Tasabahat qulu buhum
reinkarnasi, kitamah nggak inkar sama ansi kok. Tasabahat Quluu buhum
setioap zaman ada fir’aunnya ada namrudnya hanya ganti pemeran saja itu ndak
akan hilang akrena dua ini permainan kata penyanyi dunia panggung sandiwara.
ASWAJA => gampang acra ceknya yaitu mayoritas umat islam,
Aswaja => berurutan dari rasulullah, sahabat, tabi’in tabiat dll, trus salaf
lalu mazhab. Ibnu taimiyah dari mana? Dia sendiri gak bermazhab, ajarannya dari
sia senduiri.
2.
HULUL
Menempati sesuatu tempat, Allah memasuki tubuh kita => ini juga
sesat. Atau Allah merasuki tubuh kita seperti jin,, gak boleh orang ketemu ayat
mutasyabihat itu ambil makna dhohirnya, dia hatrus menta’wilkannya, jika ada
nas yang memberikan keraguan pada otak kita, maka dia harus di ta’wil. Kalo ada
keserupaan dengan mahluk wajib memalingkan pada tanzih (pembersihan), tasbih
dan tanzih => Orang Faham Wujudiyah, mbah siddiq gunakan tasbih dan tanzih.
Satoha para wali, sebagian orang ingkar, kalau wali ucap berbau
tajassum, tapi sedang satohat atau djajab itu dimaklumi kalau tidak dajhajab
maka ambil pasir masukin ke mulutnya, makanya kalo ada wali tajassum maka
jangan buru2 ninggalin dia, walaupun wilayah syar’I bentrok karena kita nggak
tau penjelasannya. Wirid naqsabandiyah => dari atas ke bawah, kalau
qadariyah => lailaha illalh dari bawah ke atas (taraqiq).
Orang bodoh akan mengatakan Al-HAllaj itu kafir, Mbah siddiq :”KAlau
orang itu benci sama syeikh abdul qodir jangan ceritakan karomah syeikh abdul
qodir nanti dia makin ingkar, kasian.
Bicara orang makrifah, ngomong itu lisannya bicara ini kiatkan
dengan ahdis qudsi siapa yang jaga fardu dan istiqomah yang sunnah amaka suatu
saat aku akan angkat dia jadi waliku kekasihku, hadis qudsi:” Aku emnajdi
matanya, aku jadi lisannya aku ajdi tangannya denagn aku dia melihat, mendengar
dlkll”. Seperti ucapan syeikh abu yazid => Syubhanii mahasuci aku, ni (ke
Allah) => LIsanul Haq. Ini dalam kondisi djahahb.
Ibnu abi rabi, khotamul anbiya iwal mursaliina, inikan rasulullah
tapikan ibnu arabi lagi satohah, dia huilang dan dia puji rasulullah dianya
sudah hilang. Kadang2 ngmong seperti syeikh abdul qosir tapi hati2 ada juga
kyai atau ustadz ngaku2.
Kenapa kita m,entolelir al-hallaj? Al-hallaj itu mufassir, sholat
sunnat 400 rakaat, abu yazid ibadahnya masya Allah. Orang tanay gimana kamu
bisa ke Allah dan berkomunikasi gmn caranya? Abu yazid gak mau jawab, llau
orang itu nanya apa mamalnmu yg paling sepeele? Ya kalo itu aku mau jawab yaitu
30 tahun gak pernah kenyang dan pakean di badan nggak nempel, ini paling
sepele, pantas di bilang sultonul arifin atau raja ma’rifat. Oleh Allah di tawari
seluruh karomah para wali dia jawab aku gak butuh, aku butuh kamu ya Allah. Abu
yazid keen, gurunya orang majusi nyembah api namun udah tobat.
Ciri wali: 1. Bagus ke Allah, 2,. Bagus ke orang tua, ciri waliyah:
1. Bagus ke Allah, 2. Bagus ke suami.
FANAUL FANA
Hamba
Allah kalau fana mutlak (fana’ul fana), syeikh abu yazid => siapa yang sudah
hilang bodoh maka tersisa pintarnya, siapa yang ilang sifat buruk maka tersisa
sifat baiknya, kalau orang sirbna level mahluk maka dia focus ke Allah, kalau
org batin sirna dari sifat mansuia maka sifat Allah” orang fana itu dia sadar
kalau dia fanam dia gak sadar pada selain Allah, di teruskan ke level Fanaul
Fana/fana mutlak sadar hanya kepada Allah dan gak sadar kalau dirinya nggak
sadar, kalau di Tanya namu siapa? Allah, kemana? Allah, kesadaran pada Allah. Fanaul
mutlak => fanadzat dan sifat => rontok wujud dhohir batinnya ke Allah.
Dalam
nurul burhan, al-hallaj ANAL HAQ saat dial alai dalam mabuknya, dalam satohaht
ketika batin dilimpahi nur tauhid meluap dan dahsyat hebat dan spontan dia
berkata anal HAQ, dia menafikkan diri.
Besok
TAdyil…karena kalimat ini ada tadyil nya kalau gak tadyil halal darahnya.
TAMBAHAN...
Pengertian Syatahat
Secara kebahasan perkatan syathahat (Syathahat dalam bahasa Arab berarti gerak, yakni gerak yang
bersumber dari perasaan, ketika menjadi kuat dan meluap, lalu melahirkan
ungkapan yang terasa asing kedengarannya. Lihat Badawi, Abdurrahman, Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut. Hal. 24) berasal dari kata kerja syathaha yang berarti taharraka, yakni gerak atau tergerak.
Syathahat dalam bahasa Arab berarti gerak, yakni gerak yang
bersumber dari perasaan, ketika menjadi kuat dan meluap, lalu melahirkan
ungkapan yang terasa asing kedengarannya.
Syathahat menurut kaum Sufi adalah ungkapan perasaan para sufi yang bergelora, ketika pertama kali memasuki gerbang ilahi.
Menurut Prof DR Abdurrahman Badawi, ada beberapa kondisi emosi dan spiritual para sufi yang mendorong syathahat:
1. emosi dan spiritual yang sangat begejolak.
2. pengalaman puncak spiritual yang dorong ittihad.
3. Sufi yang mengalami syathahat dalam keadaan sakr (mabuk).
4. di dalam lubuk jiwanya mendengar pesan ilahi untuk ittihad.
5. Semuanya berjalan dalam keadaan Sufi tidak menyadari perasaannya (Badawi, Abdurrahman, Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut. Hal. 25)
Adapun pengalaman syathahat seperti yang dialami oleh Abu Yazid al-Busthami yang terkenal dengan ucapan-ucapannya yang nyeleneh (syathhiyyat atau syathahat) yaitu subhani (tak berarti lain kecuali subhanallah) karena ia telah mengalami keluruhan diri kemanusiaannya (fana) dan baqa. Dan contoh dari syathahat adalah seperti yang dialami olehnya.
Beberapa pemikir Islam kontemporer telah berhasil mengumpulkan celotehan mistis (syathahat al-shafiyyah) versi Abu Yazid al-Basthami, di antaranya ‘Abd al-Rahman al-Badawi dan Qasim Muhammad Abbas. Celotehan
mistisnya hampir senada dengan al-Hallaj. Karena itu, keduanya
dikelompokkan pada golongan sufi yang mengusung ide pantheistik dan
menyorong ide peniadaan diri manusia hingga keluar dari batas-batas
logisnya. Pada suatu kesempatan al-Basthami berceloteh, Mahasuci diriku,
maha agung diriku! Qasim Muhammad Abbas dalam buku, Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah,
mengatakan bahwa, Semua ucapan yang dinisbatkan kepadanya mengungkapkan
dengan tegas konsep tentang peleburan total dengan sifat ketuhanan (Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah, (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 43).
Ia mengatakan bahwa, Apa pun pendapat Abu Yazid semuanya dapat
dijelaskan dengan penuh keberanian. Seeprti ia mengatakan ”maha suci
diriku, Yang Maha Agung jadilah diriku, betapa besar keagunganku” . Dan
paling menonjol lagi ”aku adalah Tuhan yang paling tinggi”. Sekarang subhani, Yang Agung jadilah aku, terkesan menghina Tuhan bagi pendengaran orang-orang Muslim (Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 41).
Abdul al-Wahab al-Sya’rani, seorang sufi kenamaan Mesir, menyadari betul bahwa ujaran aforisma sufistik (syath)
tidak bisa didekati secara gegabah dan literalis. Bahasa aforisma tidak
muncul dari bahasa yang terkonsepsikan dan tersekematisasikan. Ia
adalah anti-tesa dari berpikir identitas. Namun ia adalah bahasa yang
hadir meski sejenak untuk mewakili bahasa pengalaman spiritual, yang
pada tataran yang lebih dalam, tidak bisa diwakili sepenuhnya.
Menjangkau fenomena atau cakrawala yang selalu menjauh, tapi ia hadir di
dalam dan bersama diri kita. Karena itu, Abdul al-Wahab al-Syarani
menyikapi bahasa aforisma al-Bastami dan para sufi yang lain dengan
sebuah takwil. Al-Syarani relatif berhasil dengan takwilnya membuktikan
bahwa ujaran-ujaran para sufi, sejenis al-Bustami, tidak keluar dari
koredor dan nilai-nilai Syariah Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw.
Salah satu takwilnya adalah ketika ia mentakwil ucapan subhany ”maha suci dirik (Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 44).
Dan sungguh Abu Yazid Ra., pada satu kesempatan, telah berkata: subhanallah (maha suci Allah). Tiba-tiba, suara tanpa rupa dari lidah al-Haq berkata: apakah diriku ada aib
(cacat) dan kekurangan, sehingga kamu mensucikan diriku darinya? Abu
Yazid berkata: tidak, wahai Tuhan. Al-Haq berkata: maka sucikanlah
dirimu sendiri. Abu Yazid berkata: diriku telah menerima latihan
spiritual (riadlah) sampai bersih dari kekurangan, kemudian kala itu aku berkata: (maha suci diriku).
Abu Yazid al-Bastami mengucapkan (maha suci diriku) dalam konteks
pembersihan dan penyucian diri dari kekurangan dan caat sebagaimana
lumrahnya manusia sebagai tempatnya kesalahan dan kelalaian, bukan dalam
konteks dimana ia mensakralkan dirinya sejajar dengan Tuhan.
Berikut penulis kutipkan sebagian pendapat al-Basthami, yang telah dikutip Reynold A. Nicholson dari buku klasik Hilyat al-Auliya’;
Makhluk adalah subyek dari perubahan keadaan. Tetapi kaum Gnostik tidak
memiliki keadaan, karena sisa-sisa tanda kehadirannya ikut musnah, dan
esensi dirinya pun lenyap oleh esensi orang lain, bekas-bekas dirinya
pun musnah dalam jejak orang lain.
Sudah tiga puluh tahun al-haq (Tuhan) kujadikan cerminku. Dan
kini aku menjadi cermin bagi diriku sendiri. Aku adalah aku, dan tidak
lebih, sehingga kehadiran ‘Aku dan Tuhan’ hanya akan merusakkan kesatuan
(keesaan) Tuhan. Karena itu cukup dengan aku saja, maka al-Haq yang tinggi adalah cermin-Nya. Bahkan lihatlah! al-Haq menjadi cerminku, karena dia berbicara dengan lidahku, sementara aku telah fana (Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 45)
demikian,,,,,,,,,,,,,
SYAHRUL RAMADHAN MUHAMAMD ZEIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar