Jumat, 04 Mei 2018

Konsep Bertanya Dalam Al-Qur'an






KONSEP BERTANYA (AS-SU'AL) DALAM AL-QUR'AN
Tulisan ini saya buat untuk memenuhi tugas matakuliah Tafsir Tarbawi, saya tulis selama dua hari dari kamis 3/5/18 sampai jumat 4/5/18

Oleh:
SYAHRUL RAMADHAN
(11160110000004)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M/1439 H


KATA PENGANTAR
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Alhamdulillah, segaal puji dan syukur senantiasa dipanjatkan ke hadirat Allah SWT. Yang telah menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman dan pelajaran kepada manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Sholawat serta salam semoga terlimpahkan kepada nabi muhammad saw. yang telah berhasil mengiplementasikan seruan-seruan ilahiyah ke dalam kehidupan realitas sehari-hari baik bersifat legitimasi hukum maupun tatanan sosial, norma-norma kehidupan yang bersifat individu, kemasyarakatan bahkan negara.
Selanjutnya makalah yang berjudul “Konsep al-su’al (Bertanya) dalam Al-Qur’an dan kaitannya dengan pendidikan dalam Surah Al-Anbiya ayat 13” tentunya tidak lepas dari dukungan moril maupun materi dari berbagai pihak baik secara perseorangan atau kelompok. Oleh karena itu penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikan makalah ini:
1.      Bapak dosen Dr. Abdul Ghofur, M.A yang telah membimbing dan memberikan berbagai ilmunya.
2.      Ibu dan bapak yang telah memberikan dukungan dan do’a.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi umat islam dan menambah wawasan ilmu pengetahuan
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh


Ciputat, 01 Mei 2018


Penulis





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
ABSTRAK 4
BAB I PENDAHULUAN 5
A.    Latar Belakang 5
B.     Rumusan Masalah 6
C.     Tujuan6
BAB II PEMBAHASAN7
A.    QS. Al-anbiya ayat 11-15 Terjemahan dan Penafsirannya7
B.     Pengertian dari as-su’al9
C.     Perubahan ta’rif as-su’al dalam Al-Qur’an10
D.    Penanya dalam Al-Qur’an.........11
E.     Perbedaan Antara Bertanya dan meminta fatwa12
F.      Jenis-jenis pertanyaan dalam Al-Qur’an13
G.    Motivasi dan tujuan bertanya18
H.    Metode bertanya dalam Al-Qur’an20
I.       Etika dan konsep menjawab dalam Al-Qur’an21
BAB III PENUTUP24
DAFTAR PUSTAKA25






ABSTRAK
Makna penggunaan Sa’ala dalam Al-Qur’an di tinjau dari aspek pendidikan merupakan salah satu tema yang mearik yang belum mendapatkan perhatian serius di kalngan para pakar pendidikan dalam melakukan penelitian dan kajian konsep metode pendidikan dalam Al-Qur’an. Ia terkait dengan kegiatan aktifitas pendidikan baik secara individual maupun berkelompok yang tercermin dalam kegiatan tanya jawab antara umat islam atau non-muslim dengan nabi muhammad saw.
Sebagai konsep metode pendidikan, Al-Qur’an telak meletakkan dasar-dasar tatanan bertanya dan menjawab terhadap materi yang ditanyakan serta aturan main etika bertanya dan menjawab sebagaimana dicontohkan nabi Muhammad saw. saat memberikan jawaban-jawaban yang diperlukan.
Penulis melakukan kajian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki kaitan erat dengan metode pendidikan melalui berbagai bahan pustaka dan karya ilmiah yang membahas tentang ayat-ayat tersebut. Sebelum melakukan analisa terhadap konsep metode pendidikan yang tersirat dalam ayat-ayat Al-Qur’anyang memiliki relevansi dengan makalah ini, penulis lebih dahulu memaparkan latar belakang turunnya ayat-ayat tersebut dan menggali kandungan arti yang terdapat di dalam ayat-ayat itu.
Menarik bagi penulis bahwa Al-Qur’an mempunyai konsep metode pendidikan dalam banyak ayat Al-Qur’an yang secara redaksional menggunakan kata Al-Su’al. Al-Qur’an bahkan menempatkan nilai-nilai moral dan etika dalam melontarkan sebuah pertanyaan dan dalam memberikan jawaban, bahkan Al-Qur’an memandang perlu memberikan satu jawaban dengan cara menggunakan dalil perbuatan bukan ucapan yang diberikan. Aspek-aspek pendidikan dalam Al-Qur’an dapat penulis kemukakan seperti ditemukannya bentuk-bentuk pertanyaan yang diajukan kepada Rasul dan seklaigus jawaban-jawabannya yang terkait dengan pokok permasalahannya, walaupun pertanyaan dan jawabannya masih bersifat global akan tetapi arahan tersebut amat berharga kehidupan umat islam dalam bidang pendidikan.








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang.
Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh Allah SWT. Kepada nabi muhammad saw. melalui perantara malaikat jibril, yang oleh ummat islam dijadikan sebagai kitab suci, yang berfungsi sebagai pedoman hidup baik mengenai aqidah, syariah, muamalat maupun berkaitan dengan persoalan-persoalan kehidupan lainnya. Ia menghimpun semua aturan yang termuat dalam kitab-kitab sebelumnya, serta menambah dan mnenyempurnakan aturan-aturannya.
Diantara tujuan di turunkan Al-Qur’an adalah untuk menjadi pedoman manusia dalam mengatur hidup dan kehidupan mereka agar memperoleh kebahagian di dunia dan di akhirat.[1] Allah SWT. Menyebutkan fungsi Al-Qur’an itu dalam berbagai ayat, diantaranya al-kitab yang berarti “Buku”[2] huda yang berarti “petunjuk”[3] Al-Furqan yang berarti “Pembeda” antara yang haq dan yang batil dan antara yang baik dan buruk, Rahmat yang berarti “Rahmah”[4] dzikir yang berarti “peringatan”[5], Syifa yang berarti “Penawar hati”[6]
Pada dasarnya, Al-Qur’an merupakan buku petunjuk dan keagamaan, namun pembicaraan dan kandungan isinya tidak terbatas pada bidang keagamaan saja, tetapi meliputi berbagai macam persoalan.[7]
Rasyid rida menyatakan bahwa sekiranya Al-Qur’an di susun menurut bab dan pasal secara sistematis seperti yang terdapat dalam buku-buku ilmu pengetahuan, maka Al-Qur’an sudah lama menjadi usang dan ketinggalan zaman, justru dalam sistematika yang unik itulah yang menyalahi sistematika ilmu pengetahuan, terletak keistimewaan dan kekuatan Al-Qur’an[8]
Manusia memiliki naluri ingin tahu. Akan tetapi dia juga memiliki keterbatasan. Akalnya tidak mampu mengetahui segala sesuatu. Agama sama sekali tidak mampu melarang seseorang untuk bertanya. Banyak pertanyaan para sahabat nabi saw. yang di jawab oleh Al-Qur’an, demikian oleh nabi saw. bahkan Al-Qur’an memerintahkan untuk bertanya kepada yang mengetahui.[9]
Materi pertanyaan di dalam Al-Qur’an yang diajukan kepada Rasulullah saw. jika di tinjau dari pembatasan yang di tanyakan atau arah pertanyaan itu bermacam-macam. Diantara pertanyaan itu ada yang terbatas dan jelas, seperti pertanyaan tentang bulan haram, dan ada pula pertanyaan yang tersembunyi dan baru di ketahui jawabannya. Seperti pertanyaan tentang khamar, anak-anak yatim dan haid.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an mengunggap tentang pertanyaan. Selain itu juga latar belakang lain adalah karena penulis mendapat bagian surah Al-Anbiyah ayat 11-15 dan diayat ke 13 ada tertera kata Bertanya dalam bentuk Fi’il Mudhori, maka penulis tertarik untuk membahas dan mengkajinya.
B.     Rumusan masalah.
1.      Bagaimana terjemahan dan penafsiran QS. Al-Anbiya ayat 11-15?
2.      Apa pengertian dari As-su’al ?
3.      Bagaimana saja perubahan ta’rif as-su’al dalam Al-Qur’an?
4.      Siapa saja penanya dalam Al-Qur’an?
5.      Apa Perbedaan antara bertanya dan meminta fatwa?
6.      Jenis-jenis pertanyaan (al-su’al) dalam al-Qur’an?
7.      Apa motivasi dan tujuan bertanya?
8.      Bagaimana metode bertanya dalam Al-Qur’an?
9.      Bagaimana etika dan konsep menjawab dalam Al-Qur’an?
C.     Tujuan.
1.      Menjelaskan terjemahan dan penafsiran QS. Al-Anbiya ayat 11-15.
2.      Menjelaskan definisi As-sual dalam Al-Qur’an.
3.      Menjelaskan perubahan ta’rif as-su’al dalam Al-Qur’an.
4.      Menjelaskan penanya dalam Al-Qur’an.
5.      Menjelaskan perbedaan antara bertanya dan meminta fatwa.
6.      Menjelaskan jenis-jenis pertanyaan dalam Al-Qur’an.
7.      Menjelaskan apa motivasi bertanya dan tujuan bertanya dalam Al-Qur’an.
8.      Menjelaskan Metode bertanya dalam Al-Qur’an.
9.      Menjelaskan etika dan konsep menjawab dalam Al-Qur’an.












BAB II
PEMBAHASAN
A.    QS. Al-Anbiya ayat 11-15, Terjemahan & Penafsirannya.
1.    QS. Al-Anbiya ayat 11-15 dan Terjemahannya.

وَكَمْ قَصَمْنَا مِنْ قَرْيَةٍ كَانَتْ ظَالِمَةً وَأَنْشَأْنَا بَعْدَهَا قَوْمًا آخَرِينَ (١١) فَلَمَّا أَحَسُّوا بَأْسَنَا إِذَا هُمْ مِنْهَا يَرْكُضُونَ (١٢)لا تَرْكُضُوا وَارْجِعُوا إِلَى مَا أُتْرِفْتُمْ فِيهِ وَمَسَاكِنِكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْأَلُونَ (١٣) قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ (١٤) فَمَا زَالَتْ تِلْكَ دَعْوَاهُمْ حَتَّى جَعَلْنَاهُمْ حَصِيدًا خَامِدِينَ (١٥)
11. Dan berapa banyak (penduduk) negeri yang zalim, yang teIah Kami binasakan, dan Kami jadikan generasi yang lain setelah mereka itu (sebagai penggantinya).
12. Maka ketika mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari (negeri)nya itu.
13. Janganlah kamu lari tergesa-gesa, kembalilah kamu kepada kesenangan hidupmu dan tempat-tempat kediamanmu (yang baik), agar kamu ditanya.
14. Mereka berkata, “Betapa celaka kami, sungguh, kami orang-orang yang zaIim.
15. Maka demikianlah keluhan mereka berkepanjangan, sehingga mereka Kami jadikan sebagai tanaman yang telah dituai, yang tidak dapat hidup lagi.
2.    Penafsiran.
a.       Tafsir Ibnu Katsir.
Allah Ta’ala mengingatkan keutamaan Al-Qur’an dan mendorong manusia untuk mengetahuinya. “sesungguhnya telah kami turunkan kepadamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. “Dzikrun” di tafsirkan dengan kemuliaan oleh Ibnu Abbas. “Maka apakah kamu tidak memahami” nikmat ini dan kamu terima dengan lapang hati? Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala:”Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu merupakan kemuliaan bagimu dan bagi kaummu sebab ia diturunkan dengan bahasa mereka”.
Firman Allah ta’ala:”Dan berapa banyaknya negeri yang zalim yang telah kami binasakan” adalah seperti firman Allah ta’ala, “Berapa banyaknya kota yang kami telah membinasakannya, yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka kota itu roboh menutupi atap-atapnya...”(al-Hajj: 45)
Firman Allah ta’ala:”Dan kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain, “yaitu meyakini terjadinya azab sebagaimana telah diancamkan oleh nabi kepada mereka, “tiba-tiba mereka melarikan diri dari negerinya. Janganlah kamu lari tergesa-gesa. Kembalilah kamu kepada nikmat yang  telah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediamanmu“. Penggalan ini untuk membungkam dan mengolok-olok mereka. Yakni, janganlah kamu melarikan diri dan kembalilah kepada tempat tinggalmu. Bagaimana mungkin mereka akan kembali ke negeri-nya padahal negeri itu telah dibinasakan oleh aza?. “supaya kamu di tanya” tentang pelaksanaan syukur kepada pemberi nikmat. “Mereka berkata ‘aduhai, celaka kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang dzalim. “Mereka mengakui dosanya tatkala pengakuan itu tidak lagi berguna.”Maka tetaplah demikian keluhan mereka, sehingga kami jadikan mereka sebagai tanaman yang telah di panen dan tidak dapat hidup lagi”. Yakni ucapan pengakuan kezaliman itu senantiasa mereka lontarkan hingga kami “memanen” mereka sampai ludas dan membungkam suara dan gerak mereka dengan total.[10]
b.      Tafsir jalalin.
1.      Ayat 11. “Dan berapa banyak kami binasakan”, yakni menghancurkan “Negeri”, yakni penduduknya”, “yang dzalim”, yakni kafir, “dan kami ciptakan sesudah itu kaum yang lain”.
2.      Ayat 12. “Maka tatkala mereka merasakan adzab kami”, maksudnya penduduk negeri itu merasa akan dibinasakan, “tiba-tiba mereka melarikan diri dari negerinya”, yakni bergegas menghindar.
3.      Ayat 13. Para malaikat mengatakan kepada mereka dengan nada mengolok-olok “Jangan melarikan diri. Kembalilah kamu kepada anugerah yang telah kamu rasakan”, yakni kamu nikmati, “dan kepada tempat tinggalmu, agar kamu ditanya” sesuatu dari kekayaan dunia kamu sebagaimana biasa.
4.      Ayat 14.  Mereka berkata: ‘Oh,- kata Ya disini mengandung makna tanbih (penarik perhatian), “celakalah kami!”, yakni binasalah kami, “sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim”, karena memilih menjadi kafir”.
5.      Ayat 15.  Maka ia terus menerus”, yakni kata-kata itu, “menjadi keluhan mereka”, yang mereka panjatkan dan mereka ucapkan  berulang-ulang, “hingga kami menjadikan mereka seperti tanaman yang telah di panen”, maksudnya seperti tanaman yang dituai dengan sabit, artinya mereka dibunuh dengan pedang, “dan padam”, maksudnya mati seperti padamnya api apabila di padamkan.[11]
c.       Tafsir Yusuf Ali.
1.      Ayat 11 dan 12. Tafsirannya,  ketika setiap kesempatan diberikan kepada mereka untuk bertobat dan memperbaiki diri, mereka sellau menghindar, bahkan dengan terang-terangan mereka melakukan pelanggaran. Bila mereka sudah benar-benar merasa menghadapi bencana, mereka berusaha melarikan diri, tetapi sudah terlambat sekali!Disamping itu, kemana mereka akan dapat melarikan diri dari azab Allah? Suatu imbauan yang ironis diperlihatkan dalam ayat berikutnya “Lebih baik kembalilah kamu kepada kehidupanmu yang serba menyenangkan dan yang kamu anggap sebagai tempat tinggalmu untuk selamanya! Bd. Dengan kata-kata kristus dalam injil Matius yang sekarang (3.7):”Hai kamu keturunan ular beludak. Siapakah yang mengatakan kepada kamu, bahwa kamu dapat melarikan diri dari murka yang akan datang?
2.      Ayat 13. Tafsirannya, Kamu melihat tempat tinggalmu begitu menyennagkan; kenapa kamu tidka kembali ke tempat tinggalmu? Kamu akan dimintai pertanggung jawaban. Barangkali ada balasan yang sedang mennatikan kamu, siapa tahu?’ ironi ini saja sudah merupakan awal hukuman. Tetapi orang tak beriman itu sekarang melihat betapa sesat mereka itu. Penyesalan mereka kini sudah tak ada gunanya lagi. Sudah terlambat sekali. Mereka sudah dirugikan, dan tak ada apapun yang akan dapat menyelamatkan mereka.
3.      Ayat 14 dan 15. Tafsirannya, kedua perempuan ini memperlihatkan dua macam ratapan orang tak beriman itu yang berbeda. Ketika benar-benar melihat azab itu datang, mereka terbirit-birit, tetapi kemana mereka akan pergi? Ratapan mereka hanya sebuah tanda tentang kehidupan mereka. Tetapi sudah tak dapat memberi hidup lagi, seperti gandum yang dituai sudah tak ada lagi, atau seperti api yang redup akan padam perlahan-lahan. Mereka tidak mati. Tetapi mereka ingin sekiranya mereka mati saja!.[12]

B.     Pengertian As-sual.
Secara etimologi, kata su’al berasal dari kata dasar sa’ala-yas alu-su alan-mas’alatan. Ibnu Ibn al-Mandhur, dalam kitabnya Lisan Al-Arab menyatakan bahwa kata sa’ala ini dapat memiliki beberapa pengertian, yaitu: (a). “Meminta”,[13] (b). “Memohon”, (c) “bertanya”.[14]
Dari akar kata itu lahirlah banyak arti jika mengalami perubahan ta’rif yang berbeda-beda, seperti kata Saa’ala yang berarti bertanya, pengemis, dan meinta-minta.[15] Dan dari kata dasar ini lahir pula kata Mas’uuliyyah yang berarti tanggung jawab atau Responsibelitas, adapun Mas’uulin berarti yang di tanya atau diminta pertanggung jawaban.[16]
Makna kata sa’ala dan segala ta’rifnya, penulis menarik kesimpulan bahwa kata kerja sa’ala baik berupa fi’il madhi, (kata kerja masa lalu) Mudhari’ (Kata kerja masa sekarang) maupun amar (Kata kerja perintah) baik yang posityif maupun negatif yang terdapat dalam Al-Qur’an menggunakan tiga pengertian sebagai berikut:
1.      Meminta.
Penggunaan pengertian meminta pada kata Sa’ala dan segala ta’rifnya dalam al-Qur’an dapat ditemukan pada 39 ayat dalam dalam surah yang berbeda-beda yakni pada surah Al-Ma’arij: 1 dan 25, an-nisa: 153 dan 1, surah al-baqarah: 61 dan 108, 119, 134, 141, 177, 273, surah Al-Dzariyaat: 19, ad-duhah: 10, al-an’am: 90, Yunus: 72, Hud: 29, 51, al-furqan: 57, al-syu’ara: 109, 127, 145, 164, 180, shad: 86, 24, al-syuura: 23, yusuf: 104, al-Thuur: 40, al-Qalam: 46, Al-rahman: 29, tahah: 36, 132, Al-Mukminun: 72, al-Ahzab: 14, saba: 47, yasin: 21, Muhammad: 36 dan 37, al-Mumtahanah: 10.
2.      Berdo’a dan memohon.
Penggunaan pengertian Berdo’a dan memohon ini terdapat pada 5 ayat yaitu pada surah al-Nisa: 32, Huud: 46, 47, Ibrahim: 34, Al-Furqan: 16.
3.      Bertanya atau menanyakan.
Pengertian bertanya atau menanyakan ini pada kata sa’ala dan semua ta’rifnya dalam Al-Qur’an terdapat pada 6 ayat yang tersebar pada surah yang berbeda-beda, yaitu Al-Maidah: 102, Al-mulk: 8, Al-Baqarah: 186, al-kahfi: 76, Al-dzariyat: 19, Al-dhuhaa: 10.
C.     Identifikasi penggunaan Makna Sa’ala (bertanya) dan segala perubahan ta’rifnya dalam Al-Qur’an.
Dari segi perubahan tashrif dalam konteks ilmu sharaf, kata Sa’ala pada Al-Qur’an menggunakan lima kata jadian (isytiqaq), yaitu fi’il madi (kata yang menunjukan waktu lampau), fi’il mudari’ (kata yang menunjuk waktu kini atau akan datang), fi’il amr (kata kerja yang menunjukan perintah), ism al-fa’il (kata benda yang mengandung arti pelaku), ism maf’ul (kata benda yang mengandung arti yang di sifati) dan isim masdar (verbal noun-nama kerja). Dari akar kata s-a-1 (sa-ala) dengan perubahan kata atau tashrifnya dapat di jumpai dalam Al-Qur’an sebanyak seratus dua puluh sembilan tempat, tersebar pada seratus delapan belas ayat yang terangkum dalam empat puluh tujuh surat,[17]
Kata sa’ala dalam Al-Qur’an dengan pengertian bertanya dalam berbagai bentuknya yang berfariatif seperti kata kerja bentuk lampau aktifnya Sa’ala terulang sebanyak 49 tempat dan terdapat pada 2 tempat yaitu pada surah al-Ma’idah: 102 dan surah al-Muluk: 8, adapun yang di dahului dengan huruf preposisi sebanyak 6 kali seperti pada surah at-taubah: 65, al-ankabut: 63, Luqman: 25, al-zumar: 38, al-zukhruf: 9 dan 87. Sedangkan fi’il mudhari (yus’alu) dengan segala perubahan tashrifnya baik aktif maupun pasif terulang-ulang sebanyak 54 klai yakni pada surah al-Baqarah: 189, 215, 217, 218, 219, 220, 222, surah al-maidah: 4 dan 101, surah al-anfal: 1, al-a’raf: 6, 187, al-Niziat: 42, al-dzariat:12 dan 21, al-Qiyamah: 6, al-isra: 85, al-kahfi:83, 19, 70, toha: 105, al-marij: 10, al-hijr: 92, al-nahl: 56, 93, al-takatsur: 8, al-mu’minun: 101, al-qashas: 66. Adapun kata kerja imferatif atau fi’il amar terdapat sebanyak 12 ayat, sementara kata sa’ala yang berbentuk isim fa’il terdapat pada 1 ayat.
1.      Kata sa’ala dengan bentuk kata kerja aktif berupa Fi’il madhi terhadap pada dua ayat:
a.       Surah al-maidah: 102
b.      Surah al-mulk: 8
2.      Kata sa’ala yang di dahului dengan huruf preposisi syart Lain terdapat pada 6 ayat:
a.       Surah at-taubah: 65
b.      Surah al-ankabut: 63
c.       Surah luqman: 25
d.      Surah al-zunar: 38
e.       Surah al-zukhruf: 9
f.       Surah al-zukhruf: 87
3.      Kata sa’ala dengan bentuk mudhari’ Yas’alu (Yus’alu) dengan berbagai bentuknya ditemukan pada 34 ayat yang tersebar dalam berbagai surah, antara:
a.       Al-maidah: 101
b.      Al-ma’arij: 10
c.       Al-a’raf: 6
d.      Al-hijr: 92
e.       Al-nahl: 56, 59
f.       At-takatsur: 8
g.      Al-kahfi: 19, 70
h.      Al-mukminun: 101
i.        Al-Qashash: 66, 78
j.        Al-anbiya: 13, 23
k.      Al-rahman: 39.
4.      Kata kerja imferatif (Fi’il Amar) terdapat pada 12 ayat dalam surah yang berbeda-beda antara lain:
a.       Al-baqarah: 211
b.      Al-al’raf: 163.
c.       Yunus: 94
d.      Yusuf: 50, 82
e.       Zukhruf: 45
f.       Al-nahl: 43
g.      Al-furqan: 59
h.      Al-isra’: 101
i.        Al-anbiya: 63
j.        Al-mukminun: 113
D.    Penanya dalam Al-Qur’an.
Dalam konteks Al-Qur’an , kata sa’ala yang merupakan kata kerja dari akar kata suaalu yang berarti bertanya menyiratkan  adanya aspek pendidikan yakni proses tanya-jawab yang berlangsung antara seorang guru dan pencari ilmu/murid dan antara nabi dengan ummatnya. Selain metode tanya-jawab, ada metode lain seperti berdiskusi, perdebatan, dalam bahasa arab al-mujadilah.
Dalam kaitannya dengan hal diatas, pertanyaan yang terdapat pada ayat-ayat al-Qur’an berlangsung antara:
                       1.     Orang-orang mukmin atau sahabat nabi saw. dengan nabi muhammad saw. ini di motivasi oleh rasa ingin tahu tentang agama, seperti tanya jawab pada ayat 189, 215, 218, 219, 220, 222 surah al-baqarah.
                       2.     Orang-orang non-mukmin dengan nabi saw. maka pertanyaannya di motivasi oleh rasa buruk sangka (mengetes atau mengeyel),[18] seperti pertanyaan tentang hari kiamat, dan hari pembahasan.
                       3.     Orang-orang non-mukmin kepada Nabi Muhammad saw. maka penolakan terhadap  kebenaran misi yang disampaikannya dinyatakan dengan bentuk pertanyaan, seperti pertanyaan tentang masalah hakekat dan substansi ruh, dan tentang kisah sang raja Dzulkarkarnain.
E.     Perbedaan bertanya dan meminta fatwa.
Meminta fatwa adalah meminta keterangan tentang hal-hal yang musykil dan sangat tersembunyi, baik berupa hukum maupun hakekat alamiah. Dalam al-qur’an kata istifta’ (permintaan fatwa) yang berupa hukum hanya terdapat pada dua tempat dalam surah an-nisa ayat 127 dan 76, yaitu:

وَيَسْتَفْتُوْنَكَ فِى النِّسَاءِۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِيْهِنَّۙ وَمَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ فِى الْكِتٰبِ فِيْ يَتٰمَى النِّسَاءِ الّٰتِيْ لَا تُؤْتُوْنَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُوْنَ أَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَمِنَ الْوِلْدَانِۙ وَأَنْ تَقُوْمُوْا لِلْيَتٰمٰى بِالْقِسْطِۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِه عَلِيْمًا
Artinya:” Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang perempuan. Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka,-*1* dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-Quran (juga memfatwakan) tentang para perempuan yatim yang tidak kamu berikan sesuatu (maskawin) yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin menikahi mereka-*2* dan (tentang) anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) agar mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apapun yang kamu kerjakan, sesungguhnya Allah Maha Mengeahui." (QS. An-Nisa: 127)
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ ۚ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya:” Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Selain dari kedua ayat diatas kata-kata istifta dalam Al-Qur’an juga mengandung arti menanyakan sesuatu tapi tidak berhubungan dengan hukum. seperti pada Al-Kahfi (18): 22, Al-Shaffat (37): 11, 149, Yusuf (12): 46, Al-Naml (27): 32, Yusuf (12): 43,41.
Dari beberapa ayat diatas dapat diketahui dengan jelas, lafad ifta’ (memberi fatwa) kebanyakan tidak berhubungan dengan hukum dan tidak mengikat. Sedangkan bertanya adalah meminta keterangan tentang yang tidak diketahui agar ia tahu atau meminta keterangan tentang hal-hal yang mengandung keraguan antara berbagai tafsiran agar dapat diketahui dengan pasti tafsiran yang dikehendaki. Selain itu pula, ayat-ayat tersebut diatas memilikikaitan erat dengan al-su’al karena berlangsung proses dialog antara peminta fatwa dan pemberi fatwa yang merupakan suatu kegiatan belajar mengajar yang berujung pada pemberian pemahaman dan penjelasan terhadap persoalan-persoalan yang belum diketahui oleh pihak peminta fatwa.
F.      Jenis-jenis pertanyaan dalam Al-Qur’an.
1.      Pertanyaan tentang hukum.
Surah makkiyah adalah surat yang paling pendek, ayat-ayat makiyyah diturunkan mengandung moment psikologi yang luar biasa, periode madaniyah berganti dengan gaya yang lebih tenang dan lancar berbarengan dengan kandungan hukum dalam Al-Qur’an bertambah banyak yang ditujukan untuk mengatur organisasi yang terperinci dan memberikan pada masyarakat negara islam yang baru lahir.
Selain merupakan sebuah buku prinsip-prinsip dan seruan-seruan moral, Al-Qur’an memang mengandung beberapa pertanyaan hukum yang harus dikeluarkan selama proses pembinaan masyarakat madinah.[19]
Adapun pertanyaan tentang hukum dalam Al-Qur’an, dapat penulis simpulkan menjadi:
a.       Legislasi infak dan penerimanya.
Para pakar legislasi atau yang dikenal dengan ulama fiqh menterjemahkan kepedulian sosial berupa infaq/sedekah sebagai jihad di jalan Allah dengan tujuan terciptanya suatu kepedulian dan kepentingan umum umat islam mellaui partisipasi dan ikut berperan serta memberikan konstribusi  meringankan beban kesulitan hidup.
Seruan untuk berinfaq atau bersedekah tersebar sebanyak 73 ayat di beberapa surah, dan hal ini menunjukan betapa besar perhatian Al-Qur’an menyikapi masalah sosial.[20]
Pertanyaan Legislasi muncul di kalangan para sahabat yaitu kriteria harta apakah yang disedekahkan dan kepada siapa harta sedekah di berikan? Al-Qur’an merekam peristiwa tersebut pada dua ayat di satu surah, yaitu Al-Baqarah sebagai respon permintaan legislasi yang diajukan para sahabat, yang pertama menetapkan kelompok penerima sedekah dengan urutannya, yaitu: Kedua orang tua, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.
Pengikut mazhab syafi’i menyebutkan bahwa seorang laki-laki atau perempuan mempunyai kewajiban kepada ayah atau kakeknya memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bahkan kebutuhan biologisnya, mereka berkewajiban mengawinkan ayah dan kakeknya bila yang bersangkutan masih menginginkan.[21] Sekalipun imam malik mengatakan seorang anak tidak berkewajiban mengawinkan ayahnya, tetapi mempunyai kewajiban memberikan nafkah kepada istri, ayah, ibu, baik kandung maupun tiri.[22]
b.      Legislasi perang di bulan haram.
Ketentuan perintah kewajiban berperang yang bersifat umum pada surah al-Baqarah ayat 216 mendorong sahabat nabi menanyakan yuridis peperangan di bulan rajab yang merupakan salah satu bulan haram yaitu Rajab, Dzu al-Qa’iddah, dzu al-Hijjah, dan bulan Muharam. Pertanyaan hukum boleh tidaknya berperang pada bulan-bulan tersebut mendapat jawaban tegas yang di sampaikan Al-Qur’an secara jelas yang kemudian menjai ketetapan legislasi.
Dalam penjelasannya, al-Qur’an menyatakan hukum pelarangan perang di bulan rajab dengan ungkapan “Kabirun” yang artinya dosa besar, dan dosa besar memiliki pengertian pelarangan perang.
Al-baidawi menulis bahwa ayat diatas menunjukkan pelarangan perang pada seluruh bulan Muharram secara mutlak sejalan dengan kegunaan kata Nakirah yang terdapat pada lafadz “Qitalun” di mana tidak tersusun dalam konteks redaksi kalimat aktif.[23]
c.       Hukum minuman al-kohol/khamar dan judi.
Pemakaian al-kohol nampaknya sama sekali tidak dilarang pada tahun pertama pemerintahan islam, baru kemudian dikeluarkan larangan shalat ketika berada dalam pengaruh alkohol. Pelarangan minuman beralkohol melewati empat fase secara gradual dari legislasi ringan hingga terberat dan penahapan pelarangan ini merupakan kebijakan edukasi progresif, karena jika dilakukan serentak “Jangan minum khamar” niscaya mereka menjawab “Kami tidak akan meninggalkannya”,[24].
Pertanyaan tentang halal dan haram minuman khamar dan judi yang diajukan oleh umar bin khattab, Mu’ad bin jabbal dan sahabat-sahabat lain dari golongan anshar yang melakukan kunjungan kepada nabi saw. dan meminta fatwa hukum menyangkut khamr dan judi, yang pertama setelah minum dapat menyebabkan hilangnya kesadaran dan yang kedua menghambur-hamburkan harta. Pertanyaan tersebut mendapatkan tanggapan respon Rasulullah saw. berupa jawaban:” Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi mansuia” ungkapan “dosa besar” mengawali tahapan kedua legislasi pelarangan konsumsi minuman khamar. Pekarangan bukan hanya pada konsumsi, tapi juga yang memproduksi, konsumen, pemasar, tempat penjualan, pelayan, karyawan. Prof. Dr. Wahbah zuheli dalam karyanya “Al-tafsir al-munir fi al-aqidah wa al-syariah wa al-manhaj” menulis dampak destruktif pengkonsumsian khamar mencakup:
1). Bahaya kesehatan Jasmani, yaitu merusak seluruh anggota pencernaan, menghilangkan nafsu makan, mempercepat ketuaan, melemahkan keturunan.
2). Bahaya Akal, yaitu melemahkan daya ingatan
3). Bahaya keuangan, yaitu menghambur-hamburkan kekayaan.
4). Bahaya sosial, yaitu memicukan perselisihan, konflik, permusuhan.
5). Bahaya Moral, yaitu pemabuk jadi hina, rendah, objek ejaan.
6). Bahaya umum, yaitu membuka rahasia.
7). Bahaya agama, yaitu tidak terlaksananya ibadah.
d.      Hukum pengelolaan harta anak yatim.
Sebelum islam datang, masyarakat pra-islam memperlakukan anak-anak yatim dengan perlakuan tidak mansuiawi dan memandang mereka dengan sebelah mata. Al-sada mengatakan, masyarakat jahiliyah merasa tidak nyaman berbaur dengan bersama-sama anak yatim dalam waktu makan dan minum,[25] pertanyaan yuridiksi muncul pada saat dikeluarkannya seruan menjauhi harta anak-anak yatim yang terdapat pada surah al-An’am ayat (6) 152, Al-Nisa (4): 10.
e.       Hukum wanita datang bulan.
Haid sekalipun menjadi suratan taqdir bagi wanita, haid juga mengakibatkan gangguan fisik dan psikis wanita, karena secara fisik dengan banyaknya darah segar yang keluar dapat menimbulkan gangguan kesehatan jasmani wanita. Dalam pada itu haidh juga menimbulkan gangguan lain bagi seorang suami, yaitu boleh tidaknya melakukan hubungan seksual antara suami istri jika istri tengah mengalami datang bulan menjadi penting pada periode awal kemunculan islam sehingga jawaban yang diberikan mengawali terbentuknya undang-undang yang mengatur halal dan haramnya menjalin hubungan seks ketika seorang istri sedang haidh.
Bangsa yahudi memandang wanita-wanita yang tengah mengalami haidh sebagai tidak pantas tinggal di rumah sehingga mereka dikeluarkan dari tempat-tempat tinggalnya, tidak diajak makan bersama, minum bersama, dan tidak di gauli.[26]
Terhadap persoalan ini maka Al-Qur’an turun memberikan legimitasi, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah (2): 222: yang artinya:”Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh karen aitu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka bersuci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah (2): 222).
f.       Hukum penentuan makanan halal.
Persoalan mengkonsumsi makanan ini terdapat dalam QS Al-Baqarah 60, Al-An’am 142. Pertanyaan apakah yang di halalkan bagi umat islam,[27] memang lahir pada zaman nabi menyusul pelarangan konsumsi daging bangkai, darah, babi, sembelih secara tidak islam, tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam binatang buas (QS. Al-Maidah (5): 3) karena membahayakan kesehatan jasmani dan membahayakan agama.
g.      Hukum pembagian harta rampasan perang.
Perang badar yang berlangsung pada bulan puasa ke-2 hijriyah, merupakan peperangan yang sangat besar. Badr merupakan awal kemenangan dari peristiwa kemennagan yang diraih pasukan islam pada zaman nabi saw. sampai-sampai sebagian sahabat ada yang menyebut surah al-anfal sebagai “surah badr” seiring dengan kandungan  surah yang mengisahkan kejadian riil pertempuran dengan strategi dan taktiknya secara rinci.[28]
Pertanyaan hukum terkait dengan kemenangan gemilang pada perang Badr ini muncul menyangkut siapa yang berhak memiliki harta hasil perang dan bagaimana pembagiannya, persoalan tersebut lahir sehubungan dengan pernyataan nabi saw. saat perang Badr berkecamuk.
Al-anfal ayat 1 yang memutuskan bahwa harta hasil rampasan perang bukan milik siapa-siapa, tetapi milik Allah dan Rasul-Nya. Demikian hukum ini diputuskan oleh Al-Qur’an.
Banyak pertanyaan para sahabat tentang hukum, menunjukan keinginan keras para sahabat untuk mengetahui kebenaran yang di ridhai Allah. Pertanyaan tentang kehidupan individu dan sosial. Seperti: pertenyaan tentang infaq (QS. Al-Baqarah: 215, 219), wanita (al-Nisa: 127, 178), dan lain-lain.
Yusuf Qardawi mengatakan, jumlah pertanyaan para sahabat adalah sebelas. Tujuh diantaranya dalam surah Al-Baqarah, satu dalam surah  Ma’idah dan yang lain dipermulaan surah al-anfal.
2.      Pertanyaan berkenaan dengan dekatnya Allah.
Pertanyaan tentang jauh dan dekatnya Allah pada masa kemunculan islam sempat menghantui pikiran pengikut rasulullah dan sahabatnya. Seorang arab pedalaman menanyakan apakah Tuhan kami dekat atau jauh? Lalu ada juga sahabat rasul menanyakan di manakah Tuhan kami?,[29] pertanyaan tentang Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 186 mencerminkan keinginan kuat masyarakat untuk memastikan terdengar atau tidak permohonan mereka. Pengabulan do’a seorang hamba oleh Allah  terkait dengan ketentuan yang ada, antara lain: tidak memutuskan silaturrahmi dan tidak melanggar hukum Allah.
3.      Pertanyaan tentang hari kiamat.
Asumsi bahwa hari kiamat adalah suatu ilusi dan dongeng-dongeng serta kisah-kisah hayalan beleka merebak di kalangan orang-orang  non muslim, oleh karenanya hari kiamat menjadi topik pembahasan harian, bulanan dan bahkan tahunan mereka yang selalu diperbincangkan.
Pertanyaan tentang hari kiamat bukan pertanyaan sebenarnya yang mencari informasi menyangkut objek yang di tanyakan. Pertanyaan ini lebih bersifat tendensius, bertujuan mengejek, mengolk-olok, menghina bahkan menolak balik terhadap rasulullah saw. nabi saw. diperintah oleh allah memberikan jawaban:” Jawablah’ sesungguhnya hanya Allah yang mengetahui-Nya”.[30]
4.      Pertanyaan tentang tokoh.
Pertanyaan tentang tokoh ini terdapat pada surah al-Kahfi yang di turunkan di mekkah sebanyak 110 ayat. Surah ini mengisahkan tiga kisah unik.
      Pertama, kisah pemuda yang tidur selama 309 tahun yang disebut ashabul kahfi. Kisah ini dimana seorang raja bernama Daqyanus muncul di salah satu teritorial kerajaan romawi yaitu wilayah tartus setelah periode nabi isa as. Sang raja menyuruh seluruh rakyat menyembah patung dan membantai seluruh rakyat yang beragama islam/orang-orang mukmin yang tidak mengikuti ajakannya. Dengan sikap tegas para tokoh muda ini menolak dan menyatakan:”Mereka berdiri lalu mengatakan Tuhan kami adalah Tuhan Langit dan  bumi, kami tidak akan pernah menyembah Tuhan selain Allah (QS. Al-Kahfi: 14).
      Raja itu tidak langsung menghukum mereka dengan menebas leher mereka dengan pedang tapi memberikan waktu sampai pagi. Di malam hari mereka melarikan diri melewati seorang pengembala yang ditemani seekor anjing yang menggonggong dan mnejelang pagi hari, mereka tiba di sebuah gua dan masuk kedalam gua tersebut, meskipun raja dan pasukan-pasukan mengejarnya akan tetapi mereka tidak memiliki keberanian  memasuki gua tersebut.
      Kedua, kisah Musa bersama khidir, sebuah kisah kesopan santunan mencari ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalaman supra-natural yang diperlihatkan hamba Allah yang saleh kepada musa yang sama sekali belum pernah di alami dalam hidupnya.
      Ketiga, kisah tokoh Zulkarnain, yaitu paduka raja yang memiliki ketakwaan dan sikap adil serta bijaksana terhadap rakyat-rakyatnya dan kekuasaannya meluas diatas bumi. Sebagian pakar tafsir mengatakan bahwa yang di maksud Dzulkarnain itu adalah Alexander al-Maqduni, seorang raja yang shaleh yang dikaruniai ilmu pengetahuan dan ilmu hikmah oleh Allah.
G.    Motivasi dan tujuan bertanya.
1.      Bertanya karena tidak tahu.
Semangat para sahabat bertanya termotivasi untuk mengetahui berbagai persoalan agama,  baik tatanan syar’i, sosial, kemasyarakatan, aturan kehidupan individu dan kelompok, sehingga orang yang merasa terpanggil atau diseru akan bersiap-siap mendengarkan seruan serta bergerak hatinya untuk melaksanakan petunjuk yang diberikan Allah kepadanya, setelah mengajukan pertanyaan kepada nabi saw.[31]
Pada dasarnya esensi pertanyaan yang muncul terkait suatu persoalan yang tidak atau belum di ketahui si penannya sehingga penjelasan dan jawaban diperlukan.
Mencermati ayat demi ayat pada al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat yang mengetengahkan tanya-jawab secara redaksional berjumlah sembilan ayat tersebar di tiga surat, enam diantaranya terdapat di surat al-Baqarah dan dua lainnya terdapat pada surah al-anfal dan al-Maidah. Ada 9 masalah krusial yang tidak di ketahui oleh para sahabat, yaitu:
a.       Fungsi bulan pada surah al-Baqarah ayat: 189.
b.      Bentuk infaq dan kelompok penerimanya. Al-Baqarah: 215
c.       Kedudukan bulan haram untuk berperang, al-baqarah: 217
d.      Dampak mengkonsumsi khamar dan praktek perjudian, al-Baqarah: 219
e.       Menyedekahkan kelebihan harta dari kebutuhan pokok sehari-hari. Al-Baqarah: 219
f.       Pemeliharaan dan penyantun anak yatim, al-Baqarah: 220
g.      Sikap suami terhadap istri yang datang bulan, al-Baqarah: 222
h.      Kriteria mengkonsumsi daging hewan hasil buruan, al-Maidah: 4.
i.        Ketentuan pembagian harta rampasan, al-anfal: 1.
2.      Bertanya karena inkar.
Pertanyaan seperti ini pada umumnya menyangkut hari kiamat dan dilakukan oleh non muslim baik yahudi maupun nasrani, pertanyaan terkait ini ada dua yaitu:
a.       Pertanyaan inkar Istib’adi, pertanyaan ini berkaitan kapan hari kiamat itu terjadi, masyarakat mekkah dan madinah non muslim tidak percaya kepada nabi saw.  pertanyaan ini tercermin dalam surah al-a’raf: 187, al-Nazi’at: 42.
b.      Pertanyaan istighza, pertanyaan yang mentertawakan lagi mendustakan muncul dari kalangan orang-orang yang menganggap nabi saw. sebagai penyihir ulung, pujangga bahkan tidak waras. Jadi apapun yang dijelaskan quran tidak mendapat respon positif.
3.      Bertanya karena menguji ilmu pengetahuan nabi saw.
a.       Filsafat.
Persoalan ruh, mendapat perhatian non-muslim terutama bangsa yahudi, dan kenyatan ini di abadikan al-Qur’an pada surah al-isra’:85. Bangsa yahudi terkenal arogan dan merasa dirinya plaing pintar dan terhormat, mereka menguji nabi dan tetapi tidak menanyakan langsung mereka menyuruh orang bertanya kepada nabi tentang ashab al-kahfi, Dzu al-Qarnain, ruh, jika nabi tidak dapat menjawab maka dia bukan nabi.[32] Peristiwa ini melatar belakangi turunnya ayat ke-85 surah al-isra.
b.      Ilmu sejarah.
Ini terdapat pada surah  al-kahf ayat 83 dan jawabannya dari ayat 84 hingga 94. Surah yang memiliki 110 ayat diturunkan di mekkah ini mengandung tiga kisah, yaitu ashabul kahfi, dzu al-Qarnain, nabi khidir.
c.       Ilmu geologi.
Objek pertanyaan lain yaitu ilmu geologi yang mempelajari bumi dan seisinya serta fenomena alam semesta sebagaimana terungkap dalam surat thaha ayat: 105. Yang menjadi pertanyaan bertujuan menguji ilmu pengetahuan geologi seorang nbai, adalah mempertanyakan gunung dan keberadaannya bila hari kiamat terjadi. Gejala alam apakah yang akan menimpa gunung-gunung secara keseluruhan baik yang sedang maupun yang mencakar langit setelah menjalankan fungsinya sebagai stabilator peredaran perjalanan planet bumi seisinya yang penciptaannya  sebagai hamparan dan bagaimana kesudahan gunung-gunung tersebut setelah di tegakkan sebagaimana disebutkan Allah dalam  al-Naba: 7.
H.    Metode bertanya dalam Al-Qur’an.
Dari segi bahasa metode berasal dari kata “Meta” dan “hodos” yakni jalan atau cara.[33] Dengan demikian kata metode mempunyai makna suatu jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.[34] Di antara metode bertanya, yaitu:
1.      Bertanya pada ahlinya.
Dalam al-Qur’an perintah untuk bertanya kepada ahlinya terdapat enam kali. Sebagai salah satu metode belajar yang mendapat konsep Qur’ani, bertanya kepada ahlinya memiliki peran konstruktif dalam mennaggapi persoalan-persoalan  yang di hadapi ummat manusia dalam menjalani hidupnya di dunia.
Salah satu metode belajar yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah harus mengembalikan segala sesuatu kepada pakarnya. Merekalah orang-orang yang mampu menerangkan sesuatu yang belum jelas dan dapat menawarkan solusi atas problematika yang ada.[35] Allah berfirmna dalam QS. Al-nahl: 43:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya:”...maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui..” (Qs. Al-Nahl: 43).
2.      Tidak berlebihan dalam bertanya.
Seorang muslim harus tahu tata cara bertanya yang baik dan bermanfaat bagi agamanya dan dunianya, serta tidak bertanya apa-apa yang tidak bermanfaat baginya. Bertanyalah pada waktu dan tempat yang tepat, serta tidak memperbanyak pertanyaan yang tidak perlu.[36] Al-Qur’an telah menceritakan kisah bani israil, saat nabi mereka menyampaikan perintah Allah. QS. Al-Baqarah ayat 67:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ (٦٧)
Artinya:”...sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” (QS. Al-Baqarah: 67).
Sebenarnya, menurut konteks ayat ini, mereka bebas menyembelih sapi apa saja, namun sifat  keras kepala telah menyelimuti akal sehat mereka sehingga mereka terus bertanya tentang sapi itu, dan setiap pertanyaan makin membebani mereka sendiri (Qs. Al-Baqarah 67-71).
Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya:” allah menuliskan sifat keras kepala Bani Israil dan banyaknya pertanyaan mereka kepada nabi mereka, maka ketika mereka membuat kesulitan, Allah kembali mempersulit mereka. Seandainya mereka mengikuti perintah Allah pada awalnya, maka mereka tidak akan mendapatkan kesulitan sebagaimana yang di bebankan. Mereka mempersulit maka dipersulit.[37]
I.       Etika dan Konsep mejawab dalam Al-Qur’an.
1.      Mengarahkan penanya pada hal yang berfaedah.
Pada dasarnya sebuah jawaban harus sesuai dengan pertanyaan, sesuai dengan kaidah:
Al-ashlu fil jawaabi ayyakuuna mutiqaa Lissuaali
Artinya:” asalnya suatu jawaban harus sesuai dengan pertanyaan”.
Namun terkadang jawaban yang diberikan menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya di tanyakan, seperti pada QS. Al-Baqarah: 189 yang dimana pertanyaan mereka (non muslim) adalah mengapa bulan pada mulanya terlihat seperti sabit, kecil, tetapi dari malam ke malam ia membesar hingga mencapai purnama, kemudian mengecil dan mengecil lagi sampai menghilang dari pandangan? Katakanlah:”Bulan sabit adalah tanda-tanda waktu bagi manusia”.
Seperti terlihat diatas, jawaban yang diberikan ini tidak sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Al-Quran tidak menjawabnya sesuai dengan harapan mereka, tetapi memberi jawaban lain sesuai dengan kepentingan mereka.
Hal serupa banyak terjadi dengan tujuan mengingatkan penanya bahwa ada yang lebih wajar ditanyakan dari pada yang telah diajukan. Memang al-Qur’an mendidik manusia, dan salah satu bentuk pendidikannya adalah mengarahkan mereka melalui jawaban-jawabannya.
Pertanyaan seperti itu, tidak pada tempatnya jika diajukan kepada nabi, karena kedudukan nabi adalah sebagai utusan Tuhan yang membimbing dan membawa petunjuk agama. Nabi bukanlah ahli ilmu falak; sebab itu jawaban yang diberikan sesuai dengan kewajibannya sebagai rasul, bahwa bulan sabit untuk menentukan waktu bagi manusia. Denagn bulan demikian manusia dapat menentukan iddah setelah bercerai, purnama perempuan telah mengandung, ditentukan waktu puasa.[38]
Al-Quran tidak menjawab secara ilmiah, sebagaiamana dijelaskan oleh astronomi, yakni keadaan bulan seperti itu akibat peredaran bulan dan matahari, serta posisi masing-masing dalam memberi dan menerima cahaya matahari. Tetapi, bila jawaban ini disampaikan, maka disamping masalah yang lebih penting tidak terungkap, penjelasan itu bukan bidang Al-Qur’an, karena al-Qur’an adalah kitab hidayah, bukan kitab ilmiah. Disamping itu jawaban ilmiah berdasarkan astronomi belum terjangkau oleh penannya ketika itu. Demikian ayat ini mengajarkan agar tidak menjawab persoalan yang tidak termasuk otoritas kita, dan mengarahkan penanya kepada jawaban yang lebih bermanfaat baginya di dunia dan akhirat. Yang lebih wajar mereka ketahui adalah tujuan penciptaan bulan seperti itu dan manfaat yang harus diperoleh dari keadaannya yang demikian.
2.      Menjawab dengan dalil perbuatan.
Dalam konteks kisah Nabi Sulaiman as. Terdapat pula jawaban yang diperoleh dari munculnya sebuah proses perbuatan seekor burung gagak yang memberikan contoh konkrit terhadap prosesi pemakaman kepada manusia yang tengah  mencari jawaban peroslan yang tengah di hadapinya sebagaimana dalam kisah anak-anak Adam as. Pada Al-Maidah ayat 31 Allah berfirman:



Artinya:”Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaiaman dia seharusnya menguburkan saudaranya. Berkata Qabil:” Aduhai celakalah aku, mengapa aku tidak mampu berbuat  seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat  saudaraku ini karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal”. (Q.S al-Maidah: 31).
3.      Jenis-jenis pertanyaan.
Adapun jawaban-jawaban atas dialog  langsung ini secara keseluruhan menggunakan kata “Qul” sebagai respon langsung yang diberikan Nabi Muhammad atas bimbingan al-Qur’an. Adapun jenis-jenis jawaban secara umum ditinjau dari aspek generalnya, dapat penulis garis bawahi sebagai berikut:
a.       Jawaban yang sampaikan bersifat penjelasan, ulasan, atau uraian rinci terhadap objek yang dipertanyakan baik menyangkut dimensi hikmah yang terkandung dalam materi pertanyaan.
b.      Jawaban yang lugas dan langsung “to the point” terhadap materi.
c.       Jawaban yang disampaikan dengan cara lelucon atau gaya yang di dalamnya dapat dipetik pelajaran.
d.      Jawaban yang diberikan dalam bentuk pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban lisan, tetapi cukup direnungi dan di hayati maksudnya.
e.       Jawaban yang disampaikan dengan pertanyaan yang diajukan secara berulang-ulang.
f.       Jawabannya dikembalikan kepada Allah.
g.      Jawaban tidak selamanya di nyatakan dalam bentuk lisan, akan tetapi bisa juga dengan diam atau dengan gerakan tubuh.
h.      Jawaban bertingkat-tingkat sebagaimana diberikan nabi saw. kepada pertanyaan.
i.        Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban tapi butuh perenungan terhadap pertanyaan itu.




























BAB III
PENUTUP
1.      Pada dasarnya secara redaksional, pertanyaan-pertanyaan yang terkandung dalam Al-Qur’an tidak memiliki perbedaan yang signifikan baik dalam maksud dan tujuannya dengan pertanyaan-pertanyaan lain di luar struktur kalimat bertanya al-Qur’an, yakni meminta klarifikasi terkait materi-materi yang dipertanyakan sehubungan dengan belum diketahui.
2.      Sebagai metode bertanya Al-Qur’an telah memainkan peran konstruktif dalam meletakkan metode pendidikan tentang konsep pengajuan pertanyaan di mana al-Qur’an menekankan bahwa pertanyaan harus diajukan kepada pakar yang memiliki keahlian.
3.      Signikan bertanya sebagai metoddologi pendidikan menurut Al-Qur’an memberikan cerminan kondusif bagi peraiahan dan pencarian sains.


















DAFTAR PUSTAKA
Al-Zarqaniy, Muhammad Abd. Al-‘Azim. Manahil Al-‘irfan fi ‘Ulum al-Qur’an .Beirut.Dar al-Fikr.1988.
Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik.Jakarta.Bulan Bintang.1991.
Rida Rasyid, Al-Wahy Al-Muhammadiy.Tt, Al-Maktab Al-Islamiy. Tth.
Shihab Quraish, Tafsir Al-Misbah; Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an.Jakarta.Lentera Hati.2001.
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.Jakarta.Gema Insani.1999.
Syaikh shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri.Tafsir Jalalain.Surabaya.eLBA FITRAH MANDIRI SEJAHTERA.2010.
Abdullah Yusuf Ali.Tafsir Yusuf Ali.Bogor.Pustaka Litera AntarNusa.2009.
Ibn Al-Manzhur.Lisan Al-Arab. Kairo.Dar al-Qahirah.2003.
Munawwir, Ahmad Warson Munawwir.Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia.Surabaya.Pustaka Progresif.2002.
Muhammad Fu’ad ‘Abd Al-Baqi’, Al-Mu’jam al-Mufahras Li Al-faz Al-Qur’an Bi Hasyiyah al-Mushaf al-Syarif.Beirut.Daar Al-Fikr.1992M/1412.
Suparta, Munzier dan Harjani Hefni, Metode Dakwah.jakara.Prenada Media.2003.
Fazlur-Rahman. Islam.Bandung.Pustaka.2000.
Wahbah al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj,
Syeikh Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Qur’an al-Karim al-Syahir bi al-Tafsir al-Manar.Tt.Dar Al-Fikri. Tth.
Shaleh , Qomaruddin, Dahlan M.D, Asbabun Nuzul; Latar belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an.Bandung.Penerbit CV. Diponegoro.1990.
Abdurrahman al-Nahlawiy,Ushul Al-tarbiyah al-Islamiyah wa asalihiha fi al-Bayt wa al-Madrasah wa al-Mujtama’ terj oleh Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat.Jakarta.Gema Insani Press.1995.
M. Arifin,; Ilmu Pendidikan Islam SuatuTinjauan Pendidikan Islam Berdasarkan Pendidikan Interdisipliner.
Yusuf Qardawi, al-Qur’an berbicara tentang akal dan Ilmu Pengetahuan,Jakarta.Gema Insani.1998.
Katsir , Ibnu .Tafsir al-Qur’an al-Adzim.kairo.Dar al-Fikr.1992.


[1] Al-Zarqani menyebutkan tiga maksud utama diturunkan Al-Qur’an yaitu petunjuk bagi manusia dan jin, pendukung kebenaran nabi muhammad saw. dan agar mahluk beribadah kepada Allah dan membacanya. Muhammad Abd. Al-‘Azim al-Zarqaniy, Manahil Al-‘irfan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), juz II, h. 124
[2] QS. Al-Baqarah (2): 2
[3] QS. An-naml (27): 2
[4] QS. Al-A’raf (7): 52
[5] QS. Al-Anbiya 921): 50
[6] QS. Al-Isra (17): 82
[7] Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h.4
[8] Rasyid Rida, Al-Wahy Al-Muhammadiy, (Tt, Al-Maktab Al-Islamiy, Tth), h. 142-143
[9] Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), Vol. III, h. 219
[10] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 1999), jilid 3 h. 283
[11] Syaikh shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Tafsir Jalalain, (Surabaya: eLBA FITRAH MANDIRI SEJAHTERA, 2010), h. 483-484
[12] Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2009), h. 805
[13] Ibn Al-Manzhur, Lisan Al-Arab, Jilid 4, (Kairo: Dar al-Qahirah, 2003), h. 544.
[14] Ibid.
[15] Seperti dalam Al-Qur’an QS. Dhuha ayat 10. Dan juga surah Al-Dzariyat ayat 19.
[16] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), cet. Ke-25, h.600.
[17] Empat puluh tujuh surat dengan rincian 38 surat Makiyyah dan 9 surat Madaniyah. Penelitian ayat-ayat tersebut berdasarkan pada Muhammad Fu’ad ‘Abd Al-Baqi’, Al-Mu’jam al-Mufahras Li Al-faz Al-Qur’an Bi Hasyiyah al-Mushaf al-Syarif, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1992M/1412), Cet. Ke-3 h.
[18] Munzier Suparta, dan Harjani Hefni, Metode Dakwah, (jakarta: Prenada Media, 2003), h. 348.
[19] Fazlur-Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 2000), h. 431.
[20] Diantaranya yaitu surah At-taubah yang artinya:”Berjihadlah kalian di jalan Allah dengan hartamu dan jiwa ragamu karena yang demikian itu lebih baik untuk kalian jika kalian mengetahuinya” dan surah Al-shaf yang artinya:”Ialah kamu beriman kepada Allah dan Rasulnya serta berjihad di jalan Allah dengan hartamu dan jiwa ragamu, karena yang demikian itu lebih baik untuk kalian jika kalian mengetahuinya”.
[21] Wahbah al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, h. 256.
[22] Ibid.
[23] Syeikh Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Qur’an al-Karim al-Syahir bi al-Tafsir al-Manar, (Tt: Dar Al-Fikri, Tth), juz 11, h. 315.
[24] Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, h. 271
[25] Wahbah Juhaeli, al-tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, h. 286
[26] Muhammad Ali al-Subani, Shafwat al-Tafsir, h. 140.
[27]  Pertanyaan ini terdapat pada surah Al-Ma’idah ayat 4 yang artinya:”Mereka menanyakan kepadamu:” apakah yang di halalkan bagi mereka? Katakanlah: Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan oleh Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-nya (Qs. Al-Maidah (5): 4).
[28]  Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat a-Tafsir, h. 993
[29]  Hadis ini di riwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Hasan.
[30] Jawaban dan pertanyaan tentang hari kiamat terdapat pada surah  al-Dzariyat:12-13, al-ahzab: 63-68, al-naziat: 42-46, al-baqarah:3
[31] Qomaruddin  Shaleh, Dahlan M.D, Asbabun Nuzul; Latar belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit CV. Diponegoro, 1990), p. 10.
[32] Wahbah Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidahwa Syari’ah wa Mahj, (Beirut, Libanon: Dar al-fikr al-Muasir, Tth), juz ke-15, h. 142.
[33] Abdurrahman al-Nahlawiy,Ushul Al-tarbiyah al-Islamiyah wa asalihiha fi al-Bayt wa al-Madrasah wa al-Mujtama’ terj oleh Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 204
[34] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; SuatuTinjauan Pendidikan Islam Berdasarkan Pendidikan Interdisipliner.
[35] Yusuf Qardawi, al-Qur’an berbicara tentang akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 240.
[36] Op.,Cit., Yusuf Qardawi, h. 243.
[37] Ibnu Katsir: Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (kairo: Dar al-Fikr, 1992), Jilid 1, h. 110
[38]  Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), juz 1, h. 115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...