KONSEP BERTANYA (AS-SU'AL) DALAM AL-QUR'AN
Tulisan ini saya buat untuk memenuhi tugas matakuliah Tafsir Tarbawi, saya tulis selama dua hari dari kamis 3/5/18 sampai jumat 4/5/18
Oleh:
SYAHRUL RAMADHAN
(11160110000004)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M/1439 H
KATA PENGANTAR
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Alhamdulillah, segaal puji dan syukur senantiasa dipanjatkan
ke hadirat Allah SWT. Yang telah menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman dan
pelajaran kepada manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Sholawat serta
salam semoga terlimpahkan kepada nabi muhammad saw. yang telah berhasil
mengiplementasikan seruan-seruan ilahiyah ke dalam kehidupan realitas
sehari-hari baik bersifat legitimasi hukum maupun tatanan sosial, norma-norma
kehidupan yang bersifat individu, kemasyarakatan bahkan negara.
Selanjutnya makalah yang berjudul “Konsep
al-su’al (Bertanya) dalam Al-Qur’an dan kaitannya dengan pendidikan dalam Surah
Al-Anbiya ayat 13” tentunya tidak lepas dari dukungan moril maupun
materi dari berbagai pihak baik secara perseorangan atau kelompok. Oleh karena
itu penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih setinggi-tingginya kepada
semua pihak yang telah membantu terselesaikan makalah ini:
1. Bapak dosen Dr.
Abdul Ghofur, M.A yang telah membimbing dan memberikan berbagai ilmunya.
2. Ibu dan bapak
yang telah memberikan dukungan dan do’a.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan bagi umat islam dan menambah wawasan ilmu pengetahuan
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Ciputat, 01 Mei
2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
2
DAFTAR
ISI
3
ABSTRAK
4
BAB I PENDAHULUAN
5
A.
Latar
Belakang
5
B. Rumusan Masalah
6
C.
Tujuan6
BAB II PEMBAHASAN7
A.
QS.
Al-anbiya ayat 11-15 Terjemahan dan Penafsirannya7
B.
Pengertian
dari as-su’al9
C.
Perubahan
ta’rif as-su’al dalam Al-Qur’an10
D.
Penanya dalam Al-Qur’an.........11
E.
Perbedaan
Antara Bertanya dan meminta fatwa12
F.
Jenis-jenis
pertanyaan dalam Al-Qur’an13
G.
Motivasi
dan tujuan bertanya18
H.
Metode
bertanya dalam Al-Qur’an20
I.
Etika
dan konsep menjawab dalam Al-Qur’an21
BAB III
PENUTUP24
DAFTAR PUSTAKA25
ABSTRAK
Makna penggunaan Sa’ala dalam Al-Qur’an di tinjau dari aspek
pendidikan merupakan salah satu tema yang mearik yang belum mendapatkan
perhatian serius di kalngan para pakar pendidikan dalam melakukan penelitian
dan kajian konsep metode pendidikan dalam Al-Qur’an. Ia terkait dengan kegiatan
aktifitas pendidikan baik secara individual maupun berkelompok yang tercermin
dalam kegiatan tanya jawab antara umat islam atau non-muslim dengan nabi
muhammad saw.
Sebagai konsep metode pendidikan, Al-Qur’an telak meletakkan
dasar-dasar tatanan bertanya dan menjawab terhadap materi yang ditanyakan serta
aturan main etika bertanya dan menjawab sebagaimana dicontohkan nabi Muhammad
saw. saat memberikan jawaban-jawaban yang diperlukan.
Penulis melakukan kajian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki
kaitan erat dengan metode pendidikan melalui berbagai bahan pustaka dan karya
ilmiah yang membahas tentang ayat-ayat tersebut. Sebelum melakukan analisa
terhadap konsep metode pendidikan yang tersirat dalam ayat-ayat Al-Qur’anyang
memiliki relevansi dengan makalah ini, penulis lebih dahulu memaparkan latar
belakang turunnya ayat-ayat tersebut dan menggali kandungan arti yang terdapat
di dalam ayat-ayat itu.
Menarik bagi penulis bahwa Al-Qur’an mempunyai konsep metode
pendidikan dalam banyak ayat Al-Qur’an yang secara redaksional menggunakan kata
Al-Su’al. Al-Qur’an bahkan menempatkan nilai-nilai moral dan etika dalam
melontarkan sebuah pertanyaan dan dalam memberikan jawaban, bahkan Al-Qur’an
memandang perlu memberikan satu jawaban dengan cara menggunakan dalil perbuatan
bukan ucapan yang diberikan. Aspek-aspek pendidikan dalam Al-Qur’an dapat
penulis kemukakan seperti ditemukannya bentuk-bentuk pertanyaan yang diajukan
kepada Rasul dan seklaigus jawaban-jawabannya yang terkait dengan pokok
permasalahannya, walaupun pertanyaan dan jawabannya masih bersifat global akan
tetapi arahan tersebut amat berharga kehidupan umat islam dalam bidang
pendidikan.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang.
Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh Allah SWT. Kepada nabi
muhammad saw. melalui perantara malaikat jibril, yang oleh ummat islam
dijadikan sebagai kitab suci, yang berfungsi sebagai pedoman hidup baik
mengenai aqidah, syariah, muamalat maupun berkaitan dengan persoalan-persoalan
kehidupan lainnya. Ia menghimpun semua aturan yang termuat dalam kitab-kitab
sebelumnya, serta menambah dan mnenyempurnakan aturan-aturannya.
Diantara tujuan di turunkan Al-Qur’an adalah untuk menjadi pedoman
manusia dalam mengatur hidup dan kehidupan mereka agar memperoleh kebahagian di
dunia dan di akhirat.[1]
Allah SWT. Menyebutkan fungsi Al-Qur’an itu dalam berbagai ayat, diantaranya al-kitab
yang berarti “Buku”[2]
huda yang berarti “petunjuk”[3] Al-Furqan
yang berarti “Pembeda” antara yang haq dan yang batil dan antara yang baik dan
buruk, Rahmat yang berarti “Rahmah”[4] dzikir
yang berarti “peringatan”[5], Syifa
yang berarti “Penawar hati”[6]
Pada dasarnya, Al-Qur’an merupakan buku petunjuk dan keagamaan,
namun pembicaraan dan kandungan isinya tidak terbatas pada bidang keagamaan
saja, tetapi meliputi berbagai macam persoalan.[7]
Rasyid rida menyatakan bahwa sekiranya Al-Qur’an di susun menurut
bab dan pasal secara sistematis seperti yang terdapat dalam buku-buku ilmu
pengetahuan, maka Al-Qur’an sudah lama menjadi usang dan ketinggalan zaman,
justru dalam sistematika yang unik itulah yang menyalahi sistematika ilmu
pengetahuan, terletak keistimewaan dan kekuatan Al-Qur’an[8]
Manusia memiliki naluri ingin tahu. Akan tetapi dia juga memiliki
keterbatasan. Akalnya tidak mampu mengetahui segala sesuatu. Agama sama sekali
tidak mampu melarang seseorang untuk bertanya. Banyak pertanyaan para sahabat
nabi saw. yang di jawab oleh Al-Qur’an, demikian oleh nabi saw. bahkan
Al-Qur’an memerintahkan untuk bertanya kepada yang mengetahui.[9]
Materi pertanyaan di dalam Al-Qur’an yang diajukan kepada
Rasulullah saw. jika di tinjau dari pembatasan yang di tanyakan atau arah
pertanyaan itu bermacam-macam. Diantara pertanyaan itu ada yang terbatas dan
jelas, seperti pertanyaan tentang bulan haram, dan ada pula pertanyaan yang
tersembunyi dan baru di ketahui jawabannya. Seperti pertanyaan tentang khamar,
anak-anak yatim dan haid.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengkaji
ayat-ayat Al-Qur’an mengunggap tentang pertanyaan. Selain itu juga latar
belakang lain adalah karena penulis mendapat bagian surah Al-Anbiyah ayat 11-15
dan diayat ke 13 ada tertera kata Bertanya dalam bentuk Fi’il Mudhori,
maka penulis tertarik untuk membahas dan mengkajinya.
B.
Rumusan masalah.
1.
Bagaimana terjemahan dan penafsiran QS. Al-Anbiya ayat 11-15?
2.
Apa pengertian dari As-su’al ?
3.
Bagaimana saja perubahan ta’rif as-su’al dalam Al-Qur’an?
4.
Siapa saja penanya dalam Al-Qur’an?
5.
Apa Perbedaan antara bertanya dan meminta fatwa?
6.
Jenis-jenis pertanyaan (al-su’al) dalam al-Qur’an?
7.
Apa motivasi dan tujuan bertanya?
8.
Bagaimana metode bertanya dalam Al-Qur’an?
9.
Bagaimana etika dan konsep menjawab dalam Al-Qur’an?
C.
Tujuan.
1.
Menjelaskan terjemahan dan penafsiran QS. Al-Anbiya ayat 11-15.
2.
Menjelaskan definisi As-sual dalam Al-Qur’an.
3.
Menjelaskan perubahan ta’rif as-su’al dalam Al-Qur’an.
4.
Menjelaskan penanya dalam Al-Qur’an.
5.
Menjelaskan perbedaan antara bertanya dan meminta fatwa.
6.
Menjelaskan jenis-jenis pertanyaan dalam Al-Qur’an.
7.
Menjelaskan apa motivasi bertanya dan tujuan bertanya dalam
Al-Qur’an.
8.
Menjelaskan Metode bertanya dalam Al-Qur’an.
9.
Menjelaskan etika dan konsep menjawab dalam Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
QS. Al-Anbiya ayat 11-15, Terjemahan & Penafsirannya.
1.
QS. Al-Anbiya ayat 11-15 dan Terjemahannya.
وَكَمْ
قَصَمْنَا مِنْ قَرْيَةٍ كَانَتْ ظَالِمَةً وَأَنْشَأْنَا بَعْدَهَا قَوْمًا
آخَرِينَ (١١)
فَلَمَّا أَحَسُّوا بَأْسَنَا إِذَا
هُمْ مِنْهَا يَرْكُضُونَ (١٢)لا تَرْكُضُوا وَارْجِعُوا إِلَى مَا أُتْرِفْتُمْ
فِيهِ وَمَسَاكِنِكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْأَلُونَ (١٣)
قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا
ظَالِمِينَ (١٤) فَمَا
زَالَتْ تِلْكَ دَعْوَاهُمْ حَتَّى جَعَلْنَاهُمْ حَصِيدًا خَامِدِينَ (١٥)
11. Dan
berapa banyak (penduduk) negeri yang zalim, yang
teIah Kami binasakan, dan Kami jadikan generasi yang lain setelah mereka itu
(sebagai penggantinya).
12. Maka
ketika mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba
mereka melarikan diri dari (negeri)nya itu.
13.
Janganlah kamu lari tergesa-gesa, kembalilah
kamu kepada kesenangan hidupmu dan tempat-tempat kediamanmu (yang baik), agar
kamu ditanya.
14. Mereka
berkata, “Betapa celaka kami, sungguh, kami orang-orang yang zaIim.
15. Maka
demikianlah keluhan mereka berkepanjangan,
sehingga mereka Kami jadikan sebagai tanaman yang telah dituai, yang tidak dapat hidup lagi.
2.
Penafsiran.
a.
Tafsir Ibnu Katsir.
Allah
Ta’ala mengingatkan keutamaan Al-Qur’an dan mendorong manusia untuk
mengetahuinya. “sesungguhnya telah kami turunkan kepadamu sebuah kitab yang di
dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. “Dzikrun” di tafsirkan
dengan kemuliaan oleh Ibnu Abbas. “Maka apakah kamu tidak memahami”
nikmat ini dan kamu terima dengan lapang hati? Hal ini sebagaimana firman Allah
ta’ala:”Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu merupakan kemuliaan bagimu dan bagi
kaummu sebab ia diturunkan dengan bahasa mereka”.
Firman
Allah ta’ala:”Dan berapa banyaknya negeri yang zalim yang telah kami
binasakan” adalah seperti firman Allah ta’ala, “Berapa banyaknya kota yang kami
telah membinasakannya, yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka kota itu
roboh menutupi atap-atapnya...”(al-Hajj: 45)
Firman
Allah ta’ala:”Dan kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain, “yaitu
meyakini terjadinya azab sebagaimana telah diancamkan oleh nabi kepada mereka,
“tiba-tiba mereka melarikan diri dari negerinya. Janganlah kamu lari
tergesa-gesa. Kembalilah kamu kepada nikmat yang telah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat
kediamanmu“. Penggalan ini untuk membungkam dan mengolok-olok mereka.
Yakni, janganlah kamu melarikan diri dan kembalilah kepada tempat tinggalmu.
Bagaimana mungkin mereka akan kembali ke negeri-nya padahal negeri itu telah
dibinasakan oleh aza?. “supaya kamu di tanya” tentang pelaksanaan syukur
kepada pemberi nikmat. “Mereka berkata ‘aduhai, celaka kami, sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang dzalim. “Mereka mengakui dosanya tatkala
pengakuan itu tidak lagi berguna.”Maka tetaplah demikian keluhan mereka,
sehingga kami jadikan mereka sebagai tanaman yang telah di panen dan tidak
dapat hidup lagi”. Yakni ucapan pengakuan kezaliman itu senantiasa mereka
lontarkan hingga kami “memanen” mereka sampai ludas dan membungkam suara
dan gerak mereka dengan total.[10]
b.
Tafsir jalalin.
1.
Ayat 11. “Dan berapa banyak kami binasakan”, yakni
menghancurkan “Negeri”, yakni penduduknya”, “yang dzalim”, yakni
kafir, “dan kami ciptakan sesudah itu kaum yang lain”.
2.
Ayat 12. “Maka tatkala mereka merasakan adzab kami”,
maksudnya penduduk negeri itu merasa akan dibinasakan, “tiba-tiba mereka
melarikan diri dari negerinya”, yakni bergegas menghindar.
3.
Ayat 13. Para malaikat mengatakan kepada mereka dengan nada
mengolok-olok “Jangan melarikan diri. Kembalilah kamu kepada anugerah yang
telah kamu rasakan”, yakni kamu nikmati, “dan kepada tempat tinggalmu,
agar kamu ditanya” sesuatu dari kekayaan dunia kamu sebagaimana biasa.
4.
Ayat 14. “Mereka berkata:
‘Oh,- kata Ya disini mengandung makna tanbih (penarik
perhatian), “celakalah kami!”, yakni binasalah kami, “sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang zalim”, karena memilih menjadi kafir”.
5.
Ayat 15. “Maka ia terus
menerus”, yakni kata-kata itu, “menjadi keluhan mereka”, yang mereka
panjatkan dan mereka ucapkan
berulang-ulang, “hingga kami menjadikan mereka seperti tanaman yang
telah di panen”, maksudnya seperti tanaman yang dituai dengan sabit,
artinya mereka dibunuh dengan pedang, “dan padam”, maksudnya mati
seperti padamnya api apabila di padamkan.[11]
c.
Tafsir Yusuf Ali.
1.
Ayat 11 dan 12. Tafsirannya, ketika setiap kesempatan diberikan kepada
mereka untuk bertobat dan memperbaiki diri, mereka sellau menghindar, bahkan
dengan terang-terangan mereka melakukan pelanggaran. Bila mereka sudah
benar-benar merasa menghadapi bencana, mereka berusaha melarikan diri, tetapi
sudah terlambat sekali!Disamping itu, kemana mereka akan dapat melarikan diri
dari azab Allah? Suatu imbauan yang ironis diperlihatkan dalam ayat berikutnya
“Lebih baik kembalilah kamu kepada kehidupanmu yang serba menyenangkan dan yang
kamu anggap sebagai tempat tinggalmu untuk selamanya! Bd. Dengan
kata-kata kristus dalam injil Matius yang sekarang (3.7):”Hai kamu keturunan
ular beludak. Siapakah yang mengatakan kepada kamu, bahwa kamu dapat melarikan
diri dari murka yang akan datang?”
2.
Ayat 13. Tafsirannya, Kamu melihat tempat tinggalmu begitu
menyennagkan; kenapa kamu tidka kembali ke tempat tinggalmu? Kamu akan dimintai
pertanggung jawaban. Barangkali ada balasan yang sedang mennatikan kamu, siapa
tahu?’ ironi ini saja sudah merupakan awal hukuman. Tetapi orang tak beriman
itu sekarang melihat betapa sesat mereka itu. Penyesalan mereka kini sudah tak
ada gunanya lagi. Sudah terlambat sekali. Mereka sudah dirugikan, dan tak ada
apapun yang akan dapat menyelamatkan mereka.
3.
Ayat 14 dan 15. Tafsirannya, kedua perempuan ini memperlihatkan dua
macam ratapan orang tak beriman itu yang berbeda. Ketika benar-benar melihat
azab itu datang, mereka terbirit-birit, tetapi kemana mereka akan pergi?
Ratapan mereka hanya sebuah tanda tentang kehidupan mereka. Tetapi sudah tak
dapat memberi hidup lagi, seperti gandum yang dituai sudah tak ada lagi, atau
seperti api yang redup akan padam perlahan-lahan. Mereka tidak mati. Tetapi
mereka ingin sekiranya mereka mati saja!.[12]
B.
Pengertian As-sual.
Secara etimologi, kata su’al berasal dari kata dasar sa’ala-yas
alu-su alan-mas’alatan. Ibnu Ibn al-Mandhur, dalam kitabnya Lisan
Al-Arab menyatakan bahwa kata sa’ala ini dapat memiliki beberapa
pengertian, yaitu: (a). “Meminta”,[13]
(b). “Memohon”, (c) “bertanya”.[14]
Dari akar kata itu lahirlah banyak arti jika mengalami perubahan
ta’rif yang berbeda-beda, seperti kata Saa’ala yang berarti bertanya,
pengemis, dan meinta-minta.[15]
Dan dari kata dasar ini lahir pula kata Mas’uuliyyah yang berarti
tanggung jawab atau Responsibelitas, adapun Mas’uulin berarti
yang di tanya atau diminta pertanggung jawaban.[16]
Makna kata sa’ala dan segala ta’rifnya, penulis menarik
kesimpulan bahwa kata kerja sa’ala baik berupa fi’il madhi, (kata kerja
masa lalu) Mudhari’ (Kata kerja masa sekarang) maupun amar (Kata
kerja perintah) baik yang posityif maupun negatif yang terdapat dalam Al-Qur’an
menggunakan tiga pengertian sebagai berikut:
1.
Meminta.
Penggunaan
pengertian meminta pada kata Sa’ala dan segala ta’rifnya dalam al-Qur’an
dapat ditemukan pada 39 ayat dalam dalam surah yang berbeda-beda yakni pada
surah Al-Ma’arij: 1 dan 25, an-nisa: 153 dan 1, surah al-baqarah: 61 dan 108,
119, 134, 141, 177, 273, surah Al-Dzariyaat: 19, ad-duhah: 10, al-an’am: 90,
Yunus: 72, Hud: 29, 51, al-furqan: 57, al-syu’ara: 109, 127, 145, 164, 180,
shad: 86, 24, al-syuura: 23, yusuf: 104, al-Thuur: 40, al-Qalam: 46, Al-rahman:
29, tahah: 36, 132, Al-Mukminun: 72, al-Ahzab: 14, saba: 47, yasin: 21,
Muhammad: 36 dan 37, al-Mumtahanah: 10.
2.
Berdo’a dan memohon.
Penggunaan
pengertian Berdo’a dan memohon ini terdapat pada 5 ayat yaitu pada surah
al-Nisa: 32, Huud: 46, 47, Ibrahim: 34, Al-Furqan: 16.
3.
Bertanya atau menanyakan.
Pengertian
bertanya atau menanyakan ini pada kata sa’ala dan semua ta’rifnya dalam
Al-Qur’an terdapat pada 6 ayat yang tersebar pada surah yang berbeda-beda,
yaitu Al-Maidah: 102, Al-mulk: 8, Al-Baqarah: 186, al-kahfi: 76, Al-dzariyat:
19, Al-dhuhaa: 10.
C.
Identifikasi penggunaan Makna Sa’ala (bertanya) dan segala
perubahan ta’rifnya dalam Al-Qur’an.
Dari segi perubahan tashrif dalam konteks ilmu sharaf, kata Sa’ala
pada Al-Qur’an menggunakan lima kata jadian (isytiqaq), yaitu fi’il
madi (kata yang menunjukan waktu lampau), fi’il mudari’ (kata yang
menunjuk waktu kini atau akan datang), fi’il amr (kata kerja yang
menunjukan perintah), ism al-fa’il (kata benda yang mengandung arti
pelaku), ism maf’ul (kata benda yang mengandung arti yang di sifati) dan
isim masdar (verbal noun-nama kerja). Dari akar kata s-a-1 (sa-ala)
dengan perubahan kata atau tashrifnya dapat di jumpai dalam Al-Qur’an sebanyak
seratus dua puluh sembilan tempat, tersebar pada seratus delapan belas ayat
yang terangkum dalam empat puluh tujuh surat,[17]
Kata sa’ala dalam Al-Qur’an dengan pengertian bertanya dalam
berbagai bentuknya yang berfariatif seperti kata kerja bentuk lampau aktifnya Sa’ala
terulang sebanyak 49 tempat dan terdapat pada 2 tempat yaitu pada surah
al-Ma’idah: 102 dan surah al-Muluk: 8, adapun yang di dahului dengan huruf
preposisi sebanyak 6 kali seperti pada surah at-taubah: 65, al-ankabut: 63,
Luqman: 25, al-zumar: 38, al-zukhruf: 9 dan 87. Sedangkan fi’il mudhari (yus’alu)
dengan segala perubahan tashrifnya baik aktif maupun pasif terulang-ulang
sebanyak 54 klai yakni pada surah al-Baqarah: 189, 215, 217, 218, 219, 220,
222, surah al-maidah: 4 dan 101, surah al-anfal: 1, al-a’raf: 6, 187,
al-Niziat: 42, al-dzariat:12 dan 21, al-Qiyamah: 6, al-isra: 85, al-kahfi:83,
19, 70, toha: 105, al-marij: 10, al-hijr: 92, al-nahl: 56, 93, al-takatsur: 8,
al-mu’minun: 101, al-qashas: 66. Adapun kata kerja imferatif atau fi’il amar
terdapat sebanyak 12 ayat, sementara kata sa’ala yang berbentuk isim fa’il
terdapat pada 1 ayat.
1.
Kata sa’ala dengan bentuk kata kerja aktif berupa Fi’il
madhi terhadap pada dua ayat:
a.
Surah al-maidah: 102
b.
Surah al-mulk: 8
2.
Kata sa’ala yang di dahului dengan huruf preposisi syart Lain
terdapat pada 6 ayat:
a.
Surah at-taubah: 65
b.
Surah al-ankabut: 63
c.
Surah luqman: 25
d.
Surah al-zunar: 38
e.
Surah al-zukhruf: 9
f.
Surah al-zukhruf: 87
3.
Kata sa’ala dengan bentuk mudhari’ Yas’alu (Yus’alu) dengan
berbagai bentuknya ditemukan pada 34 ayat yang tersebar dalam berbagai surah,
antara:
a.
Al-maidah: 101
b.
Al-ma’arij: 10
c.
Al-a’raf: 6
d.
Al-hijr: 92
e.
Al-nahl: 56, 59
f.
At-takatsur: 8
g.
Al-kahfi: 19, 70
h.
Al-mukminun: 101
i.
Al-Qashash: 66, 78
j.
Al-anbiya: 13, 23
k.
Al-rahman: 39.
4.
Kata kerja imferatif (Fi’il Amar) terdapat pada 12 ayat dalam surah
yang berbeda-beda antara lain:
a.
Al-baqarah: 211
b.
Al-al’raf: 163.
c.
Yunus: 94
d.
Yusuf: 50, 82
e.
Zukhruf: 45
f.
Al-nahl: 43
g.
Al-furqan: 59
h.
Al-isra’: 101
i.
Al-anbiya: 63
j.
Al-mukminun: 113
D.
Penanya dalam Al-Qur’an.
Dalam konteks Al-Qur’an , kata sa’ala yang merupakan kata
kerja dari akar kata suaalu yang berarti bertanya menyiratkan adanya aspek pendidikan yakni proses
tanya-jawab yang berlangsung antara seorang guru dan pencari ilmu/murid dan
antara nabi dengan ummatnya. Selain metode tanya-jawab, ada metode lain seperti
berdiskusi, perdebatan, dalam bahasa arab al-mujadilah.
Dalam kaitannya dengan hal diatas, pertanyaan yang terdapat pada
ayat-ayat al-Qur’an berlangsung antara:
1. Orang-orang
mukmin atau sahabat nabi saw. dengan nabi muhammad saw. ini di motivasi oleh
rasa ingin tahu tentang agama, seperti tanya jawab pada ayat 189, 215, 218,
219, 220, 222 surah al-baqarah.
2. Orang-orang
non-mukmin dengan nabi saw. maka pertanyaannya di motivasi oleh rasa buruk
sangka (mengetes atau mengeyel),[18]
seperti pertanyaan tentang hari kiamat, dan hari pembahasan.
3. Orang-orang
non-mukmin kepada Nabi Muhammad saw. maka penolakan terhadap kebenaran misi yang disampaikannya dinyatakan
dengan bentuk pertanyaan, seperti pertanyaan tentang masalah hakekat dan
substansi ruh, dan tentang kisah sang raja Dzulkarkarnain.
E.
Perbedaan bertanya dan meminta fatwa.
Meminta fatwa adalah meminta keterangan tentang hal-hal yang
musykil dan sangat tersembunyi, baik berupa hukum maupun hakekat alamiah. Dalam
al-qur’an kata istifta’ (permintaan fatwa) yang berupa hukum hanya terdapat
pada dua tempat dalam surah an-nisa ayat 127 dan 76, yaitu:
وَيَسْتَفْتُوْنَكَ فِى النِّسَاءِۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ
فِيْهِنَّۙ وَمَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ فِى الْكِتٰبِ فِيْ يَتٰمَى النِّسَاءِ
الّٰتِيْ لَا تُؤْتُوْنَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُوْنَ أَنْ
تَنْكِحُوْهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَمِنَ الْوِلْدَانِۙ وَأَنْ تَقُوْمُوْا
لِلْيَتٰمٰى بِالْقِسْطِۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللّٰهَ كَانَ
بِه عَلِيْمًا
Artinya:” Dan
mereka meminta fatwa kepadamu tentang perempuan. Katakanlah, "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang mereka,-*1* dan apa yang dibacakan kepadamu
dalam Al-Quran (juga memfatwakan) tentang para perempuan yatim yang tidak kamu
berikan sesuatu (maskawin) yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin
menikahi mereka-*2* dan (tentang) anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan
(Allah menyuruh kamu) agar mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan
apapun yang kamu kerjakan, sesungguhnya Allah Maha Mengeahui." (QS. An-Nisa: 127)
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ
يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ ۚ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ
أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا
وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ
وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
ۗ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya:” Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang
kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah
(yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua
dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Selain dari kedua ayat diatas kata-kata
istifta dalam Al-Qur’an juga mengandung arti menanyakan sesuatu tapi tidak
berhubungan dengan hukum. seperti pada Al-Kahfi (18): 22, Al-Shaffat (37): 11,
149, Yusuf (12): 46, Al-Naml (27): 32, Yusuf (12): 43,41.
Dari beberapa ayat diatas dapat
diketahui dengan jelas, lafad ifta’ (memberi fatwa) kebanyakan tidak
berhubungan dengan hukum dan tidak mengikat. Sedangkan bertanya adalah meminta
keterangan tentang yang tidak diketahui agar ia tahu atau meminta keterangan
tentang hal-hal yang mengandung keraguan antara berbagai tafsiran agar dapat
diketahui dengan pasti tafsiran yang dikehendaki. Selain itu pula, ayat-ayat
tersebut diatas memilikikaitan erat dengan al-su’al karena berlangsung
proses dialog antara peminta fatwa dan pemberi fatwa yang merupakan suatu
kegiatan belajar mengajar yang berujung pada pemberian pemahaman dan penjelasan
terhadap persoalan-persoalan yang belum diketahui oleh pihak peminta fatwa.
F. Jenis-jenis
pertanyaan dalam Al-Qur’an.
1. Pertanyaan
tentang hukum.
Surah
makkiyah adalah surat yang paling pendek, ayat-ayat makiyyah diturunkan
mengandung moment psikologi yang luar biasa, periode madaniyah berganti dengan
gaya yang lebih tenang dan lancar berbarengan dengan kandungan hukum dalam
Al-Qur’an bertambah banyak yang ditujukan untuk mengatur organisasi yang
terperinci dan memberikan pada masyarakat negara islam yang baru lahir.
Selain
merupakan sebuah buku prinsip-prinsip dan seruan-seruan moral, Al-Qur’an memang
mengandung beberapa pertanyaan hukum yang harus dikeluarkan selama proses
pembinaan masyarakat madinah.[19]
Adapun
pertanyaan tentang hukum dalam Al-Qur’an, dapat penulis simpulkan menjadi:
a. Legislasi
infak dan penerimanya.
Para
pakar legislasi atau yang dikenal dengan ulama fiqh menterjemahkan kepedulian
sosial berupa infaq/sedekah sebagai jihad di jalan Allah dengan tujuan
terciptanya suatu kepedulian dan kepentingan umum umat islam mellaui
partisipasi dan ikut berperan serta memberikan konstribusi meringankan beban kesulitan hidup.
Seruan
untuk berinfaq atau bersedekah tersebar sebanyak 73 ayat di beberapa surah, dan
hal ini menunjukan betapa besar perhatian Al-Qur’an menyikapi masalah sosial.[20]
Pertanyaan
Legislasi muncul di kalangan para sahabat yaitu kriteria harta apakah yang
disedekahkan dan kepada siapa harta sedekah di berikan? Al-Qur’an merekam
peristiwa tersebut pada dua ayat di satu surah, yaitu Al-Baqarah sebagai respon
permintaan legislasi yang diajukan para sahabat, yang pertama menetapkan
kelompok penerima sedekah dengan urutannya, yaitu: Kedua orang tua, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan.
Pengikut
mazhab syafi’i menyebutkan bahwa seorang laki-laki atau perempuan mempunyai
kewajiban kepada ayah atau kakeknya memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bahkan
kebutuhan biologisnya, mereka berkewajiban mengawinkan ayah dan kakeknya bila
yang bersangkutan masih menginginkan.[21]
Sekalipun imam malik mengatakan seorang anak tidak berkewajiban mengawinkan
ayahnya, tetapi mempunyai kewajiban memberikan nafkah kepada istri, ayah, ibu,
baik kandung maupun tiri.[22]
b. Legislasi
perang di bulan haram.
Ketentuan
perintah kewajiban berperang yang bersifat umum pada surah al-Baqarah ayat 216
mendorong sahabat nabi menanyakan yuridis peperangan di bulan rajab yang
merupakan salah satu bulan haram yaitu Rajab, Dzu al-Qa’iddah, dzu al-Hijjah,
dan bulan Muharam. Pertanyaan hukum boleh tidaknya berperang pada bulan-bulan
tersebut mendapat jawaban tegas yang di sampaikan Al-Qur’an secara jelas yang
kemudian menjai ketetapan legislasi.
Dalam
penjelasannya, al-Qur’an menyatakan hukum pelarangan perang di bulan rajab
dengan ungkapan “Kabirun” yang artinya dosa besar, dan dosa besar
memiliki pengertian pelarangan perang.
Al-baidawi
menulis bahwa ayat diatas menunjukkan pelarangan perang pada seluruh bulan
Muharram secara mutlak sejalan dengan kegunaan kata Nakirah yang
terdapat pada lafadz “Qitalun” di mana tidak tersusun dalam konteks
redaksi kalimat aktif.[23]
c. Hukum
minuman al-kohol/khamar dan judi.
Pemakaian
al-kohol nampaknya sama sekali tidak dilarang pada tahun pertama pemerintahan
islam, baru kemudian dikeluarkan larangan shalat ketika berada dalam pengaruh
alkohol. Pelarangan minuman beralkohol melewati empat fase secara gradual dari
legislasi ringan hingga terberat dan penahapan pelarangan ini merupakan
kebijakan edukasi progresif, karena jika dilakukan serentak “Jangan minum
khamar” niscaya mereka menjawab “Kami tidak akan meninggalkannya”,[24].
Pertanyaan
tentang halal dan haram minuman khamar dan judi yang diajukan oleh umar bin
khattab, Mu’ad bin jabbal dan sahabat-sahabat lain dari golongan anshar yang
melakukan kunjungan kepada nabi saw. dan meminta fatwa hukum menyangkut khamr
dan judi, yang pertama setelah minum dapat menyebabkan hilangnya kesadaran dan
yang kedua menghambur-hamburkan harta. Pertanyaan tersebut mendapatkan
tanggapan respon Rasulullah saw. berupa jawaban:” Pada keduanya terdapat
dosa besar dan beberapa manfaat bagi mansuia” ungkapan “dosa besar”
mengawali tahapan kedua legislasi pelarangan konsumsi minuman khamar.
Pekarangan bukan hanya pada konsumsi, tapi juga yang memproduksi, konsumen,
pemasar, tempat penjualan, pelayan, karyawan. Prof. Dr. Wahbah zuheli dalam
karyanya “Al-tafsir al-munir fi al-aqidah wa al-syariah wa al-manhaj” menulis
dampak destruktif pengkonsumsian khamar mencakup:
1). Bahaya kesehatan Jasmani, yaitu
merusak seluruh anggota pencernaan, menghilangkan nafsu makan, mempercepat
ketuaan, melemahkan keturunan.
2). Bahaya Akal, yaitu melemahkan daya
ingatan
3).
Bahaya keuangan, yaitu menghambur-hamburkan kekayaan.
4).
Bahaya sosial, yaitu memicukan perselisihan, konflik, permusuhan.
5).
Bahaya Moral, yaitu pemabuk jadi hina, rendah, objek ejaan.
6).
Bahaya umum, yaitu membuka rahasia.
7).
Bahaya agama, yaitu tidak terlaksananya ibadah.
d. Hukum
pengelolaan harta anak yatim.
Sebelum
islam datang, masyarakat pra-islam memperlakukan anak-anak yatim dengan
perlakuan tidak mansuiawi dan memandang mereka dengan sebelah mata. Al-sada
mengatakan, masyarakat jahiliyah merasa tidak nyaman berbaur dengan
bersama-sama anak yatim dalam waktu makan dan minum,[25]
pertanyaan yuridiksi muncul pada saat dikeluarkannya seruan menjauhi harta
anak-anak yatim yang terdapat pada surah al-An’am ayat (6) 152, Al-Nisa (4):
10.
e. Hukum
wanita datang bulan.
Haid
sekalipun menjadi suratan taqdir bagi wanita, haid juga mengakibatkan gangguan
fisik dan psikis wanita, karena secara fisik dengan banyaknya darah segar yang
keluar dapat menimbulkan gangguan kesehatan jasmani wanita. Dalam pada itu
haidh juga menimbulkan gangguan lain bagi seorang suami, yaitu boleh tidaknya
melakukan hubungan seksual antara suami istri jika istri tengah mengalami
datang bulan menjadi penting pada periode awal kemunculan islam sehingga
jawaban yang diberikan mengawali terbentuknya undang-undang yang mengatur halal
dan haramnya menjalin hubungan seks ketika seorang istri sedang haidh.
Bangsa
yahudi memandang wanita-wanita yang tengah mengalami haidh sebagai tidak pantas
tinggal di rumah sehingga mereka dikeluarkan dari tempat-tempat tinggalnya,
tidak diajak makan bersama, minum bersama, dan tidak di gauli.[26]
Terhadap
persoalan ini maka Al-Qur’an turun memberikan legimitasi, sebagaimana dalam QS.
Al-Baqarah (2): 222: yang artinya:”Mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh karen aitu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka bersuci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu
ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS.
Al-Baqarah (2): 222).
f. Hukum
penentuan makanan halal.
Persoalan
mengkonsumsi makanan ini terdapat dalam QS Al-Baqarah 60, Al-An’am 142.
Pertanyaan apakah yang di halalkan bagi umat islam,[27]
memang lahir pada zaman nabi menyusul pelarangan konsumsi daging bangkai,
darah, babi, sembelih secara tidak islam, tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan
diterkam binatang buas (QS. Al-Maidah (5): 3) karena membahayakan kesehatan
jasmani dan membahayakan agama.
g. Hukum
pembagian harta rampasan perang.
Perang
badar yang berlangsung pada bulan puasa ke-2 hijriyah, merupakan peperangan
yang sangat besar. Badr merupakan awal kemenangan dari peristiwa kemennagan
yang diraih pasukan islam pada zaman nabi saw. sampai-sampai sebagian sahabat
ada yang menyebut surah al-anfal sebagai “surah badr” seiring dengan
kandungan surah yang mengisahkan
kejadian riil pertempuran dengan strategi dan taktiknya secara rinci.[28]
Pertanyaan
hukum terkait dengan kemenangan gemilang pada perang Badr ini muncul menyangkut
siapa yang berhak memiliki harta hasil perang dan bagaimana pembagiannya,
persoalan tersebut lahir sehubungan dengan pernyataan nabi saw. saat perang
Badr berkecamuk.
Al-anfal
ayat 1 yang memutuskan bahwa harta hasil rampasan perang bukan milik
siapa-siapa, tetapi milik Allah dan Rasul-Nya. Demikian hukum ini diputuskan
oleh Al-Qur’an.
Banyak
pertanyaan para sahabat tentang hukum, menunjukan keinginan keras para sahabat
untuk mengetahui kebenaran yang di ridhai Allah. Pertanyaan tentang kehidupan
individu dan sosial. Seperti: pertenyaan tentang infaq (QS. Al-Baqarah: 215,
219), wanita (al-Nisa: 127, 178), dan lain-lain.
Yusuf
Qardawi mengatakan, jumlah pertanyaan para sahabat adalah sebelas. Tujuh
diantaranya dalam surah Al-Baqarah, satu dalam surah Ma’idah dan yang lain dipermulaan surah
al-anfal.
2. Pertanyaan
berkenaan dengan dekatnya Allah.
Pertanyaan
tentang jauh dan dekatnya Allah pada masa kemunculan islam sempat menghantui
pikiran pengikut rasulullah dan sahabatnya. Seorang arab pedalaman menanyakan
apakah Tuhan kami dekat atau jauh? Lalu ada juga sahabat rasul menanyakan di
manakah Tuhan kami?,[29]
pertanyaan tentang Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 186 mencerminkan keinginan
kuat masyarakat untuk memastikan terdengar atau tidak permohonan mereka.
Pengabulan do’a seorang hamba oleh Allah
terkait dengan ketentuan yang ada, antara lain: tidak memutuskan
silaturrahmi dan tidak melanggar hukum Allah.
3. Pertanyaan
tentang hari kiamat.
Asumsi
bahwa hari kiamat adalah suatu ilusi dan dongeng-dongeng serta kisah-kisah
hayalan beleka merebak di kalangan orang-orang
non muslim, oleh karenanya hari kiamat menjadi topik pembahasan harian,
bulanan dan bahkan tahunan mereka yang selalu diperbincangkan.
Pertanyaan
tentang hari kiamat bukan pertanyaan sebenarnya yang mencari informasi
menyangkut objek yang di tanyakan. Pertanyaan ini lebih bersifat tendensius,
bertujuan mengejek, mengolk-olok, menghina bahkan menolak balik terhadap
rasulullah saw. nabi saw. diperintah oleh allah memberikan jawaban:” Jawablah’
sesungguhnya hanya Allah yang mengetahui-Nya”.[30]
4. Pertanyaan
tentang tokoh.
Pertanyaan
tentang tokoh ini terdapat pada surah al-Kahfi yang di turunkan di mekkah
sebanyak 110 ayat. Surah ini mengisahkan tiga kisah unik.
Pertama, kisah pemuda yang tidur
selama 309 tahun yang disebut ashabul kahfi. Kisah ini dimana seorang
raja bernama Daqyanus muncul di salah satu teritorial kerajaan romawi yaitu
wilayah tartus setelah periode nabi isa as. Sang raja menyuruh seluruh rakyat
menyembah patung dan membantai seluruh rakyat yang beragama islam/orang-orang
mukmin yang tidak mengikuti ajakannya. Dengan sikap tegas para tokoh muda ini menolak
dan menyatakan:”Mereka berdiri lalu mengatakan Tuhan kami adalah Tuhan
Langit dan bumi, kami tidak akan pernah
menyembah Tuhan selain Allah (QS. Al-Kahfi: 14).
Raja itu tidak langsung menghukum mereka
dengan menebas leher mereka dengan pedang tapi memberikan waktu sampai pagi. Di
malam hari mereka melarikan diri melewati seorang pengembala yang ditemani
seekor anjing yang menggonggong dan mnejelang pagi hari, mereka tiba di sebuah
gua dan masuk kedalam gua tersebut, meskipun raja dan pasukan-pasukan
mengejarnya akan tetapi mereka tidak memiliki keberanian memasuki gua tersebut.
Kedua, kisah Musa bersama khidir,
sebuah kisah kesopan santunan mencari ilmu pengetahuan dan
pengalaman-pengalaman supra-natural yang diperlihatkan hamba Allah yang saleh kepada
musa yang sama sekali belum pernah di alami dalam hidupnya.
Ketiga, kisah tokoh Zulkarnain, yaitu paduka raja yang
memiliki ketakwaan dan sikap adil serta bijaksana terhadap rakyat-rakyatnya dan
kekuasaannya meluas diatas bumi. Sebagian pakar tafsir mengatakan bahwa yang di
maksud Dzulkarnain itu adalah Alexander al-Maqduni, seorang raja yang shaleh
yang dikaruniai ilmu pengetahuan dan ilmu hikmah oleh Allah.
G. Motivasi
dan tujuan bertanya.
1. Bertanya
karena tidak tahu.
Semangat
para sahabat bertanya termotivasi untuk mengetahui berbagai persoalan
agama, baik tatanan syar’i, sosial,
kemasyarakatan, aturan kehidupan individu dan kelompok, sehingga orang yang
merasa terpanggil atau diseru akan bersiap-siap mendengarkan seruan serta
bergerak hatinya untuk melaksanakan petunjuk yang diberikan Allah kepadanya,
setelah mengajukan pertanyaan kepada nabi saw.[31]
Pada
dasarnya esensi pertanyaan yang muncul terkait suatu persoalan yang tidak atau
belum di ketahui si penannya sehingga penjelasan dan jawaban diperlukan.
Mencermati
ayat demi ayat pada al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat yang
mengetengahkan tanya-jawab secara redaksional berjumlah sembilan ayat tersebar
di tiga surat, enam diantaranya terdapat di surat al-Baqarah dan dua lainnya
terdapat pada surah al-anfal dan al-Maidah. Ada 9 masalah krusial yang tidak di
ketahui oleh para sahabat, yaitu:
a. Fungsi
bulan pada surah al-Baqarah ayat: 189.
b. Bentuk
infaq dan kelompok penerimanya. Al-Baqarah: 215
c. Kedudukan
bulan haram untuk berperang, al-baqarah: 217
d. Dampak
mengkonsumsi khamar dan praktek perjudian, al-Baqarah: 219
e. Menyedekahkan
kelebihan harta dari kebutuhan pokok sehari-hari. Al-Baqarah: 219
f. Pemeliharaan
dan penyantun anak yatim, al-Baqarah: 220
g. Sikap
suami terhadap istri yang datang bulan, al-Baqarah: 222
h. Kriteria
mengkonsumsi daging hewan hasil buruan, al-Maidah: 4.
i.
Ketentuan pembagian harta rampasan, al-anfal: 1.
2. Bertanya
karena inkar.
Pertanyaan
seperti ini pada umumnya menyangkut hari kiamat dan dilakukan oleh non muslim
baik yahudi maupun nasrani, pertanyaan terkait ini ada dua yaitu:
a. Pertanyaan
inkar Istib’adi, pertanyaan ini berkaitan kapan hari kiamat itu terjadi,
masyarakat mekkah dan madinah non muslim tidak percaya kepada nabi saw. pertanyaan ini tercermin dalam surah
al-a’raf: 187, al-Nazi’at: 42.
b. Pertanyaan
istighza, pertanyaan yang mentertawakan lagi mendustakan muncul dari kalangan
orang-orang yang menganggap nabi saw. sebagai penyihir ulung, pujangga bahkan
tidak waras. Jadi apapun yang dijelaskan quran tidak mendapat respon positif.
3. Bertanya
karena menguji ilmu pengetahuan nabi saw.
a. Filsafat.
Persoalan
ruh, mendapat perhatian non-muslim terutama bangsa yahudi, dan kenyatan ini di
abadikan al-Qur’an pada surah al-isra’:85. Bangsa yahudi terkenal arogan dan
merasa dirinya plaing pintar dan terhormat, mereka menguji nabi dan tetapi
tidak menanyakan langsung mereka menyuruh orang bertanya kepada nabi tentang
ashab al-kahfi, Dzu al-Qarnain, ruh, jika nabi tidak dapat menjawab maka dia
bukan nabi.[32]
Peristiwa ini melatar belakangi turunnya ayat ke-85 surah al-isra.
b. Ilmu
sejarah.
Ini
terdapat pada surah al-kahf ayat 83 dan
jawabannya dari ayat 84 hingga 94. Surah yang memiliki 110 ayat diturunkan di
mekkah ini mengandung tiga kisah, yaitu ashabul kahfi, dzu al-Qarnain, nabi
khidir.
c. Ilmu geologi.
Objek
pertanyaan lain yaitu ilmu geologi yang mempelajari bumi dan seisinya serta
fenomena alam semesta sebagaimana terungkap dalam surat thaha ayat: 105. Yang
menjadi pertanyaan bertujuan menguji ilmu pengetahuan geologi seorang nbai,
adalah mempertanyakan gunung dan keberadaannya bila hari kiamat terjadi. Gejala
alam apakah yang akan menimpa gunung-gunung secara keseluruhan baik yang sedang
maupun yang mencakar langit setelah menjalankan fungsinya sebagai stabilator
peredaran perjalanan planet bumi seisinya yang penciptaannya sebagai hamparan dan bagaimana kesudahan
gunung-gunung tersebut setelah di tegakkan sebagaimana disebutkan Allah
dalam al-Naba: 7.
H. Metode
bertanya dalam Al-Qur’an.
Dari segi bahasa metode berasal dari kata “Meta” dan
“hodos” yakni jalan atau cara.[33]
Dengan demikian kata metode mempunyai makna suatu jalan yang harus dilalui
untuk mencapai suatu tujuan.[34] Di
antara metode bertanya, yaitu:
1. Bertanya
pada ahlinya.
Dalam
al-Qur’an perintah untuk bertanya kepada ahlinya terdapat enam kali. Sebagai
salah satu metode belajar yang mendapat konsep Qur’ani, bertanya kepada ahlinya
memiliki peran konstruktif dalam mennaggapi persoalan-persoalan yang di hadapi ummat manusia dalam menjalani
hidupnya di dunia.
Salah
satu metode belajar yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah harus mengembalikan
segala sesuatu kepada pakarnya. Merekalah orang-orang yang mampu menerangkan
sesuatu yang belum jelas dan dapat menawarkan solusi atas problematika yang
ada.[35]
Allah berfirmna dalam QS. Al-nahl: 43:
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya:”...maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui..” (Qs. Al-Nahl: 43).
2. Tidak
berlebihan dalam bertanya.
Seorang
muslim harus tahu tata cara bertanya yang baik dan bermanfaat bagi agamanya dan
dunianya, serta tidak bertanya apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.
Bertanyalah pada waktu dan tempat yang tepat, serta tidak memperbanyak
pertanyaan yang tidak perlu.[36]
Al-Qur’an telah menceritakan kisah bani israil, saat nabi mereka menyampaikan
perintah Allah. QS. Al-Baqarah ayat 67:
وَإِذْ
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً
قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ
الْجَاهِلِينَ (٦٧)
Artinya:”...sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyembelih seekor sapi betina...” (QS. Al-Baqarah: 67).
Sebenarnya, menurut konteks ayat ini,
mereka bebas menyembelih sapi apa saja, namun sifat keras kepala telah menyelimuti akal sehat
mereka sehingga mereka terus bertanya tentang sapi itu, dan setiap pertanyaan
makin membebani mereka sendiri (Qs. Al-Baqarah 67-71).
Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya:”
allah menuliskan sifat keras kepala Bani Israil dan banyaknya pertanyaan mereka
kepada nabi mereka, maka ketika mereka membuat kesulitan, Allah kembali
mempersulit mereka. Seandainya mereka mengikuti perintah Allah pada awalnya,
maka mereka tidak akan mendapatkan kesulitan sebagaimana yang di bebankan.
Mereka mempersulit maka dipersulit.[37]
I. Etika dan
Konsep mejawab dalam Al-Qur’an.
1. Mengarahkan
penanya pada hal yang berfaedah.
Pada
dasarnya sebuah jawaban harus sesuai dengan pertanyaan, sesuai dengan kaidah:
Al-ashlu
fil jawaabi ayyakuuna mutiqaa Lissuaali
Artinya:”
asalnya suatu jawaban harus sesuai dengan pertanyaan”.
Namun terkadang jawaban yang diberikan
menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan. Hal ini untuk mengingatkan
bahwa jawaban itulah yang seharusnya di tanyakan, seperti pada QS. Al-Baqarah:
189 yang dimana pertanyaan mereka (non muslim) adalah mengapa bulan pada
mulanya terlihat seperti sabit, kecil, tetapi dari malam ke malam ia membesar
hingga mencapai purnama, kemudian mengecil dan mengecil lagi sampai menghilang
dari pandangan? Katakanlah:”Bulan sabit adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia”.
Seperti terlihat diatas, jawaban yang
diberikan ini tidak sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Al-Quran tidak
menjawabnya sesuai dengan harapan mereka, tetapi memberi jawaban lain sesuai
dengan kepentingan mereka.
Hal serupa banyak terjadi dengan tujuan
mengingatkan penanya bahwa ada yang lebih wajar ditanyakan dari pada yang telah
diajukan. Memang al-Qur’an mendidik manusia, dan salah satu bentuk
pendidikannya adalah mengarahkan mereka melalui jawaban-jawabannya.
Pertanyaan seperti itu, tidak pada
tempatnya jika diajukan kepada nabi, karena kedudukan nabi adalah sebagai
utusan Tuhan yang membimbing dan membawa petunjuk agama. Nabi bukanlah ahli
ilmu falak; sebab itu jawaban yang diberikan sesuai dengan kewajibannya sebagai
rasul, bahwa bulan sabit untuk menentukan waktu bagi manusia. Denagn bulan
demikian manusia dapat menentukan iddah setelah bercerai, purnama perempuan
telah mengandung, ditentukan waktu puasa.[38]
Al-Quran tidak menjawab secara ilmiah,
sebagaiamana dijelaskan oleh astronomi, yakni keadaan bulan seperti itu akibat
peredaran bulan dan matahari, serta posisi masing-masing dalam memberi dan
menerima cahaya matahari. Tetapi, bila jawaban ini disampaikan, maka disamping
masalah yang lebih penting tidak terungkap, penjelasan itu bukan bidang
Al-Qur’an, karena al-Qur’an adalah kitab hidayah, bukan kitab ilmiah. Disamping
itu jawaban ilmiah berdasarkan astronomi belum terjangkau oleh penannya ketika
itu. Demikian ayat ini mengajarkan agar tidak menjawab persoalan yang tidak
termasuk otoritas kita, dan mengarahkan penanya kepada jawaban yang lebih
bermanfaat baginya di dunia dan akhirat. Yang lebih wajar mereka ketahui adalah
tujuan penciptaan bulan seperti itu dan manfaat yang harus diperoleh dari
keadaannya yang demikian.
2.
Menjawab dengan dalil perbuatan.
Dalam
konteks kisah Nabi Sulaiman as. Terdapat pula jawaban yang diperoleh dari
munculnya sebuah proses perbuatan seekor burung gagak yang memberikan contoh
konkrit terhadap prosesi pemakaman kepada manusia yang tengah mencari jawaban peroslan yang tengah di
hadapinya sebagaimana dalam kisah anak-anak Adam as. Pada Al-Maidah ayat 31
Allah berfirman:
Artinya:”Kemudian
Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan
kepadanya (Qabil) bagaiaman dia seharusnya menguburkan saudaranya. Berkata
Qabil:” Aduhai celakalah aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat
menguburkan mayat saudaraku ini karena
itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal”. (Q.S al-Maidah:
31).
3.
Jenis-jenis pertanyaan.
Adapun
jawaban-jawaban atas dialog langsung ini
secara keseluruhan menggunakan kata “Qul” sebagai respon langsung yang diberikan
Nabi Muhammad atas bimbingan al-Qur’an. Adapun jenis-jenis jawaban secara umum
ditinjau dari aspek generalnya, dapat penulis garis bawahi sebagai berikut:
a.
Jawaban yang sampaikan bersifat penjelasan, ulasan, atau uraian
rinci terhadap objek yang dipertanyakan baik menyangkut dimensi hikmah yang
terkandung dalam materi pertanyaan.
b.
Jawaban yang lugas dan langsung “to the point” terhadap
materi.
c.
Jawaban yang disampaikan dengan cara lelucon atau gaya yang di
dalamnya dapat dipetik pelajaran.
d.
Jawaban yang diberikan dalam bentuk pertanyaan yang tidak
memerlukan jawaban lisan, tetapi cukup direnungi dan di hayati maksudnya.
e.
Jawaban yang disampaikan dengan pertanyaan yang diajukan secara
berulang-ulang.
f.
Jawabannya dikembalikan kepada Allah.
g.
Jawaban tidak selamanya di nyatakan dalam bentuk lisan, akan tetapi
bisa juga dengan diam atau dengan gerakan tubuh.
h.
Jawaban bertingkat-tingkat sebagaimana diberikan nabi saw. kepada
pertanyaan.
i.
Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban tapi butuh perenungan terhadap
pertanyaan itu.
BAB III
PENUTUP
1.
Pada dasarnya secara redaksional, pertanyaan-pertanyaan yang
terkandung dalam Al-Qur’an tidak memiliki perbedaan yang signifikan baik dalam
maksud dan tujuannya dengan pertanyaan-pertanyaan lain di luar struktur kalimat
bertanya al-Qur’an, yakni meminta klarifikasi terkait materi-materi yang
dipertanyakan sehubungan dengan belum diketahui.
2.
Sebagai metode bertanya Al-Qur’an telah memainkan peran konstruktif
dalam meletakkan metode pendidikan tentang konsep pengajuan pertanyaan di mana
al-Qur’an menekankan bahwa pertanyaan harus diajukan kepada pakar yang memiliki
keahlian.
3.
Signikan bertanya sebagai metoddologi pendidikan menurut Al-Qur’an
memberikan cerminan kondusif bagi peraiahan dan pencarian sains.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zarqaniy,
Muhammad Abd. Al-‘Azim. Manahil Al-‘irfan fi ‘Ulum al-Qur’an .Beirut.Dar
al-Fikr.1988.
Cawidu,
Harifuddin. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan
Tafsir Tematik.Jakarta.Bulan Bintang.1991.
Rida Rasyid, Al-Wahy
Al-Muhammadiy.Tt, Al-Maktab Al-Islamiy. Tth.
Shihab Quraish,
Tafsir Al-Misbah; Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an.Jakarta.Lentera
Hati.2001.
Muhammad Nasib
Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.Jakarta.Gema
Insani.1999.
Syaikh shafiyyurrahman
Al-Mubarakfuri.Tafsir Jalalain.Surabaya.eLBA FITRAH MANDIRI
SEJAHTERA.2010.
Abdullah Yusuf
Ali.Tafsir Yusuf Ali.Bogor.Pustaka Litera AntarNusa.2009.
Ibn Al-Manzhur.Lisan
Al-Arab. Kairo.Dar al-Qahirah.2003.
Munawwir, Ahmad
Warson Munawwir.Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia.Surabaya.Pustaka Progresif.2002.
Muhammad Fu’ad
‘Abd Al-Baqi’, Al-Mu’jam al-Mufahras Li Al-faz Al-Qur’an Bi Hasyiyah
al-Mushaf al-Syarif.Beirut.Daar Al-Fikr.1992M/1412.
Suparta,
Munzier dan Harjani Hefni, Metode Dakwah.jakara.Prenada Media.2003.
Fazlur-Rahman. Islam.Bandung.Pustaka.2000.
Wahbah
al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj,
Syeikh Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Qur’an al-Karim al-Syahir
bi al-Tafsir al-Manar.Tt.Dar Al-Fikri. Tth.
Shaleh , Qomaruddin, Dahlan M.D, Asbabun Nuzul; Latar belakang
Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an.Bandung.Penerbit CV. Diponegoro.1990.
Abdurrahman
al-Nahlawiy,Ushul Al-tarbiyah al-Islamiyah wa asalihiha fi al-Bayt wa
al-Madrasah wa al-Mujtama’ terj oleh Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah,
Sekolah dan Masyarakat.Jakarta.Gema Insani Press.1995.
M. Arifin,; Ilmu
Pendidikan Islam SuatuTinjauan Pendidikan Islam Berdasarkan Pendidikan
Interdisipliner.
Yusuf Qardawi, al-Qur’an
berbicara tentang akal dan Ilmu Pengetahuan,Jakarta.Gema Insani.1998.
Katsir , Ibnu .Tafsir al-Qur’an al-Adzim.kairo.Dar al-Fikr.1992.
[1] Al-Zarqani menyebutkan tiga maksud utama diturunkan Al-Qur’an yaitu
petunjuk bagi manusia dan jin, pendukung kebenaran nabi muhammad saw. dan agar
mahluk beribadah kepada Allah dan membacanya. Muhammad Abd. Al-‘Azim
al-Zarqaniy, Manahil Al-‘irfan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr,
1988), juz II, h. 124
[2] QS. Al-Baqarah (2): 2
[3] QS. An-naml (27): 2
[4] QS. Al-A’raf (7): 52
[5] QS. Al-Anbiya 921): 50
[6] QS. Al-Isra (17): 82
[7] Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian
Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),
h.4
[8] Rasyid Rida, Al-Wahy Al-Muhammadiy, (Tt, Al-Maktab Al-Islamiy,
Tth), h. 142-143
[9] Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, kesan dan keserasian
Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), Vol. III, h. 219
[10] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir
Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 1999), jilid 3 h. 283
[11] Syaikh shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Tafsir Jalalain,
(Surabaya: eLBA FITRAH MANDIRI SEJAHTERA, 2010), h. 483-484
[12] Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali, (Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa, 2009), h. 805
[13] Ibn Al-Manzhur, Lisan Al-Arab, Jilid 4, (Kairo: Dar al-Qahirah,
2003), h. 544.
[14] Ibid.
[15] Seperti dalam Al-Qur’an QS. Dhuha ayat 10. Dan juga surah Al-Dzariyat
ayat 19.
[16] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), cet. Ke-25, h.600.
[17] Empat puluh tujuh surat dengan rincian 38 surat Makiyyah dan 9 surat
Madaniyah. Penelitian ayat-ayat tersebut berdasarkan pada Muhammad Fu’ad ‘Abd
Al-Baqi’, Al-Mu’jam al-Mufahras Li Al-faz Al-Qur’an Bi Hasyiyah al-Mushaf
al-Syarif, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1992M/1412), Cet. Ke-3 h.
[18] Munzier Suparta, dan Harjani Hefni, Metode Dakwah, (jakarta:
Prenada Media, 2003), h. 348.
[19] Fazlur-Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 2000), h. 431.
[20] Diantaranya yaitu surah At-taubah yang artinya:”Berjihadlah kalian
di jalan Allah dengan hartamu dan jiwa ragamu karena yang demikian itu lebih
baik untuk kalian jika kalian mengetahuinya” dan surah Al-shaf yang artinya:”Ialah
kamu beriman kepada Allah dan Rasulnya serta berjihad di jalan Allah dengan
hartamu dan jiwa ragamu, karena yang demikian itu lebih baik untuk kalian jika
kalian mengetahuinya”.
[21] Wahbah al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa
al-Manhaj, h. 256.
[22] Ibid.
[23] Syeikh Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Qur’an al-Karim al-Syahir bi
al-Tafsir al-Manar, (Tt: Dar Al-Fikri, Tth), juz 11, h. 315.
[24] Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa
al-Manhaj, h. 271
[25] Wahbah Juhaeli, al-tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa
al-Manhaj, h. 286
[26] Muhammad Ali al-Subani, Shafwat al-Tafsir, h. 140.
[27] Pertanyaan ini terdapat pada
surah Al-Ma’idah ayat 4 yang artinya:”Mereka menanyakan kepadamu:” apakah
yang di halalkan bagi mereka? Katakanlah: Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan
(buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan
melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan
oleh Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan
sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-nya (Qs.
Al-Maidah (5): 4).
[28] Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat
a-Tafsir, h. 993
[29] Hadis ini di riwayatkan oleh
Ibn Abi Hatim dari Hasan.
[30] Jawaban dan pertanyaan tentang hari kiamat terdapat pada surah al-Dzariyat:12-13, al-ahzab: 63-68,
al-naziat: 42-46, al-baqarah:3
[31] Qomaruddin Shaleh, Dahlan M.D, Asbabun
Nuzul; Latar belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, (Bandung:
Penerbit CV. Diponegoro, 1990), p. 10.
[32] Wahbah Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidahwa Syari’ah wa Mahj,
(Beirut, Libanon: Dar al-fikr al-Muasir, Tth), juz ke-15, h. 142.
[33] Abdurrahman al-Nahlawiy,Ushul Al-tarbiyah al-Islamiyah wa asalihiha
fi al-Bayt wa al-Madrasah wa al-Mujtama’ terj oleh Shihabuddin, Pendidikan
Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h.
204
[34] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; SuatuTinjauan Pendidikan Islam
Berdasarkan Pendidikan Interdisipliner.
[35] Yusuf Qardawi, al-Qur’an berbicara tentang akal dan Ilmu
Pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 240.
[36] Op.,Cit., Yusuf Qardawi, h. 243.
[37] Ibnu Katsir: Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (kairo: Dar al-Fikr,
1992), Jilid 1, h. 110
[38] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1982), juz 1, h. 115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar