Rabu, 16 Mei 2018

STUDY KOMPREHENSIF, KRITIS DAN ANALISIS TERHADAP ALIRAN TEOLOGI ISLAM JABARIYAH & QADARIYAH



MAKALAH REVISI
STUDY KOMPREHENSIF, KRITIS DAN ANALISIS TERHADAP ALIRAN TEOLOGI ISLAM JABARIYAH & QADARIYAH
Revisi Makalah Ini diajukan untuk Pengganti UTS pada Mata Kuliah Ilmu Kalam

Dosen Pengampu :
Dr. Akhmad Shodiq, M.A.


Disusun Oleh :

SYAHRUL RAMADHAN
(11160110000004)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M/1439 H


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia –Nya sehingga kami dapat menyelesaikan revisi makalah yang berjudul STUDY KOMPREHENSIF, KRITIS DAN ANALISIS TERHADAP ALIRAN TEOLOGI ISLAM JABARIYAH & QADARIYAH”  ini dengn baik.
Dalam penyusunan makalah ini, dengan kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak, saya telah berusaha untuk  dapat memberikan yang terbaik dan sesuai dengan harapan, walaupun didalam pembuatannya saya menghadapi kesulitan, karena keterbasan ilmu  pengetahuan dan  keterampilan yang saya miliki.
Oleh karena itu pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Akhmad Sodiq, M.A. selaku dosen pembimbing Ilmu Kalam. Dan juga kepada teman –teman yang telah memberikan dukungan dan dorongan kepada saya. Saya menyadari  bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan,oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat saya butuhkan agar dapat menyempurnakannya di masa yang akan datang. Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan pihak yang berkepentingan.
                                                                                               

Ciputat, 16 Mei  2018
                                                                                                               
    Penulis




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
A.    Latar belakang....................................................................................................
B.     Rumusan Masalah...............................................................................................
C.     Tujuan.................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................
A.    Jabariyah.............................................................................................................
1.      Pengertian Jabariyah............................................................................................
2.      Sejarah munculnya Jabariyah........................................................................
3.      Doktrin-Dokrin Jabariyah.............................................................................
4.      Perkembangan jabariyah...............................................................................
5.      Para pemuka jabariyah dan Doktrinnya........................................................
6.      Dalil-dalil yang menjadi dasar ajaran jabariyah............................................
7.      Penolakan terhadap paham jabariyah............................................................
B.     Qadariyah ..........................................................................................................
1.      Pengertian Qadariyah...................................................................................
2.      Sejarah munculnya Qadariyah......................................................................
3.      Doktrin-Doktrin Qadariyah..........................................................................
4.      Perkembangan Qadariyah.............................................................................
5.      Tokoh Qadariyah dan Doktrinnya................................................................
6.      Dalil-dali yang menjadi dasar ajaran Qadariyah...........................................
7.      Pokok pemikiran dari Paham Qadariyah......................................................
C.     Perbedaan dari paham Jabariyah & Qadariyah...................................................
D.    Study Analisis terhadap pemikiran Jabariyah & Qadariyah...............................
E.     Study Kritis terhadap pemikiran Jabariyah & Qadariyah...................................
BAB III PENUTUP......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang.
Sejak awal permasalahan teologis dikalangan umat Islam telah terjadi perbedaaan dalam bentuk praktis maupun teoritis. Perbedaan tersebut tampak melalui perdebatan dalam masalah  kalam yang ahirnya menimbulkan berbagai aliran-aliran dalam Islam. Dalam perdebatan tentang teologi ini, yang diperdebatkan bukanlah akidah-akidah pokok seperti iman kepada Allah, kepada malaikat dan lain sebagainya, melainkan perdebatan masalah akidah cabang yang membahas bagaimana sifat Allah, Al-Qur’an itu baru ataukah qodim, malaikat itu termasuk golongan jin atau bukan, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Pebedaan tersebut ahirnya menimbulkan berbagai macam aliran diantaranya seperti Khawarij, Syiah, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah dan Qodariyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Dalam Makalah ini kita akan membahas sedikit banyak tentang aliran Qodariyah dan Jabariyah yang juga timbul akibat dari adanya permasalahan-permasalahan kalam.
B.     Rumusan masalah.
1.      Apa itu aliran Jabariyah ?
2.      Apa itu Aliran Qadariyah?
3.      Apa perbedaan antara aliran Jabariyah dan Qadariyah?
C.     Tujuan.
1.      Menjelaskan aliran Jabariyah.
2.      Menjelaskan aliran Qadariyah.
3.      Menjelaskan perbedaan aliran Jabariyah dan Qadariyah.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Jabariyah (Fatalism/predestination)
1.      Pengertian Jabariyah.
Dari segi bahasa, Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa atau terpaksa atau dipaksa.[1] Rosihon Anwar memberikan penjelasan yang dikutipnya dari Al-Munjid, bahwa kata Jabariyah berasal dari kata Jabara yang mengandung arti memaksa atau mengharuskan.[2] Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa.[3] Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme).Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah.[4] Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah suatu paham yang menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah,[5] dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa (majbur).[6] Dalam istilah inggris paham Jabariyah disebut dengan fatalism atau predestination, yang berarti perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[7] Dalam kamus Jhon M. Echols, pengertian fatalism adalah kepercayaan bahwa nasib menguasai segala-galanya, sedangkan predestination adalah takdir.[8]
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[9]
2.      Sejarah munculnya Jabariyah
a.       Pendekatan Sejarah.
1).   Suatu ketika nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir tuhan. Nabi melarang mereka untuk mendebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat tuhan mengenai takdir.[10]
2).  Khalifah umar bin khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika dientrogasi, pencuri itu berkata” tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar ucapan itu, umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada tuhan. Oleh karena itu, umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir tuhan.[11]
3).  Ketika Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang itu bertanya apabila (perjalanan menuju perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa qadha dan qadar Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, maka tidak ada pahala dengan siksa, gugur pula janji dan dan ancaman Allah, dan tidak ada pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
4).  Pada pemerintahan daulah Bani Umayyah, pandangan tentang al-Jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya memberikan reaksi kertas kepada penduduk syria yang diduga berfaham jabariyah.
5). Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi bermazhab Qurra dan agama kristen bermazhab Yacobit.[12]
b.      Aspek Politik.
Paham Jabariyah ini dalam sejarah teologi Islam ditonjolkan  pertama kali oleh al-Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang mengembangkannya kemudian adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan.[13] Jahm Ibn Safwan merupakan pendiri golongan Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia ikut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Jahm yang terdapat dalam aliran jabariyah  sama dengan Jahm yang mendirikan golongan al-Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari Syuraih ibn al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm dapat ditangkap dan kemudian dihukum mati di tahun 131 H.[14] Sepeninggalnya, faham jabariyah terbabi menjadi tiga firqoh yaitu aliarn Jabariyah Jahamiyah (ekstrim), Jaham Najjamiyah (moderat) dan Jabariyah Dhirariyah.[15]
Selain dua tokoh tersebut, ada satu nama lagi yang cukup dikenal di kalangan Jabariyah, yaitu al-Husein Ibn Mahmud al-Najjar, seorang tokoh dari golongan Jabariyah moderat. Paham yang dibawa tokoh-tokoh Jabariyah ini adalah lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan.
c.       Aspek Geografis.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[16]
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.[17]
d.      Pemahaman yang bersumber dari ajaran Al-Quran dan Sunnah.
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[18] Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan,[19] yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[20]
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.[21]
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah, diantaranya:
1).  QS ash-Shaffat: 96
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
2). QS al-Anfal: 17
 “ Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
3). QS al-Insan: 30
Artinya : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
e.       Pengaruh dari luar (reaksi ) terhadap:
1). Adanya paham Qadariyah,
2). Tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan 3). Adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan        dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih.[22]
3.      Doktrin-Doktrin Jabariyah.
a.       Ekstrim.
Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
b.      Moderat.
Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.
Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan yang jahat maupun perbuatan yang baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya.Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisitin).[ Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan).[23]
4.      Perkembangan Jabariyah.
Faham Jabariyah secara nyata menjadi aliran yang disebarkan kepada orang lain pada masa pemerintahan bani Umayah. Dan yang dianggap sebagai pendiri utama adalah Al-Ja’d bin Dirham. Diperoleh berita bahwa pemahaman Ja’ad didapat dari Banan bin Sam’an dari Talut bin Ukhtu Lubaid bin A’sam tukang sihir dan memusuhi nabi SAW.[24]
Ja’d semula tinggal di Damsyik, tetapi karena pendapatnya bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka ia selalu dikejar-kejar oleh penguasa bani Umayah, karena itu ia lari ke Kufah dan ia bertemu dengan Jaham bin Sofwan.
Kemudian faham ini disebarkan dengan gigih  oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan yang merupakan murid Ja’d bin Dirham. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah.Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah.Dalamperlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum bunuh di tahun 131 H.[25]
Namun, dalam perkembangannya, faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar.
5.      Tokoh Jabariyah dan Doktrin-Doktrinnya.
a.       Jahm bin Shofwan (Ekstrim)
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khufah; ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator), ia seorang mawali (budak) yang menentang pemerintah bani Umayah di Khurasan. Ia dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama.[26]
Sebagai seorang penganut dan penyebar faham Jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk. Pendapatnya yang berkaitan dengan Teologi adalah :
1)      Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
2)      Surga dan neraka tidak kekal.
3)      Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
4)      Kalam Tuhan adalah makhluk.
5)      Akal sebagai ukuran baik dn buruk.
b.      Ja’ad bin dirham (Ekstrim)
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan. 
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut:[27]
1)      Al-Qur’an itu adalah makhluk.
2)      Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk.
3)      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
c.       An-Najjar (Moderat).
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 210 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah : 
1) Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
2)   Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.
d.      Adh-Dhirar (Moderat).
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Di antara pendapat-pendapatnya adalah :
1)  Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husain bin Muhammad An-Najjar, yakni manusia mempunyai bagian dalam perwujudan dari perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. 
2)    Mengenai ma’rifat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. 
3)   Hujjah yang dapat diterima setelah nabi adalah Ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[28]
6.      Dalil-Dalil Jabariyah.
a.       Qs. Al-An’am: 111
وَلَوْ أَنَّنَا نَزَّلْنَا إِلَيْهِمُ الْمَلائِكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتَى وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلا مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ
Artinya:
Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Qs. Al-An’am: 111).
b.      Qs. Ash-Shaffat: 96.
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya:”Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (Qs. Ash-Shaffat: 96).
c.       Qs. Al-Anfal: 17
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِينَ مِنْهُ بَلاءً حَسَنًا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya:”Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”, (Qs. Al-Anfal: 17).
d.      Qs. Al-Insan: 30.
وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya:”Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Insan: 30)
e.       Qs. Al-Hadid: 22
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Artinya:”Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hadid: 22).
7.      Penolakan terhadap paham jabariyah.
Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi.
Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha karena hal itu tidak mengubah takdir.
Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak memperhatikan penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi. Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan yang dilakukan oleh perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah.  Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan orang-orang sesat itu dengan pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka. Menjelaskan bahwa keimanan kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia mempunyai keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan dalil-dalil baik syariat maupun akal.
B.     Qadariyah (Free Will and Free Act).
1.      Pengertian Qadariyah.
Kata Qadariyah berasal dari bahasa Arab qadara yang berarti kemampuan dan kekuatan. Nama Qadariyah juga berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kemampuan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya sendiri, bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau ketentuan Allah.[29] Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will  dan  free act.[30] Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[31]
Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya. Seseorang dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[32]
Qadariyah adalah sebuah firqah yang mengingkari ilmu Allah terhadap perbuatan hambaNya dan mereka berkeyakinan bahwa Allah belum membuat ketentuan terhadap makhlukNya.Mereka berpendapat bahwa tidak ada takdir, mereka mengingkari iman dengan qadha dan qadar. Mereka juga mengatakan bahwa Allah tidak menentukan dan tidak mengetahui sebuah perkara sebelum terjadi, bahkan Allah baru mengetahui sebuah perkara setelah terjadi.[33]
2.      Sejarah timbulnya Qadariyah.
a.       Factor politik.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[34]
Tak dapat diketahui dengan pasti kapan faham ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi Islam.Tetapi menurut keterangan ahli-ahli teologi Islam, faham Qadariyah pertama kali dikenalkan oleh Ma’bad Al-Juhani dan temannya Ghailan Al-Dimasyqi.Keduanya memperoleh pahamnya dari orang Kristen yang masuk Islam di Irak.Sedangkan menurut Ali Sami’ bahwa Ma’bad Al-Juhani sebagian besar hidupnya tinggal di Madinah, kemudian menjelang akhir hayatnya baru pindah ke Basrah.Dia adalah murid Abu Dzar Al-Ghiffari, musuh Utsman dan Bani Umayyah.Sementara Ghailan Al-Dimasyqi adalah seorang Murji’ah yang pernah berguru kepada Hasan ibn Muhammad ibn Hanafiyah.[35]
Ma’bad Al-Juhani adalah seorang Tabi’i yang baik.Tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd Al-Rahman Ibn Al-Asy’ari, Gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah.Dalam pertempuran dengan Al-Hajjaj, Ma’bad mati terbunuh dalam tahun 80 H. Setelah peristiwa ini, maka pengaruh paham qadariyah. Semakin surut, akan tetapi muncul nya firqoh mutazilah, sebetulnya dapat diartikan sebagai penjelmaan kembali paham-paham qadariyah.[36]
b.      Menurut ibnu nabatah.
Menurut Ibnu Nabatah dalam bukunya syarh al-‘uyun, Ma’bad al-Juhani dan Ghailan mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Iraq.[37] Dan menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah seorang tabi’I yang baik, tetapi ia memasuki kawasan politik dan memihak ‘Abd al-Rahman Ibn Asy’as dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Ma’bad mati terbunuh dalam tahun 80 H.[38] Ia mati dibunuh oleh al-Hajjaj, seorang gubernur dari Bani Umayyah yang terkenal kejam dan berdarah dingin.
Pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama kristen kemudian beragama islam dan balik lagi keagama kristen. Dari oranginilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al Auza’i adalah Susan.
c.       Menurut Ahmad Amin.
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.[39]
Ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy.  Ma’bad adalah seorang atba’ tabi’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Ghalian adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.[40]
d.      W. Montgomery Watt
Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.[41]
W. Montgomery watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa jerman yang dipublikasikan melaului majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul malik olah Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan. Hal ini memang menjadi perdebatan, namun yang jelas, berdasarkan catatannya terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas memilih antara berbuat baik atau buruk.
Ma’bad Al-jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqi, menurut watt, adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Basri. Kalau dihubungkan dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal, seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar pada Hasan Al-Bashri, maka sangat mungkin faham Qadariyah ini mula-mula dikembangkan oleh Hasan Al-Bashri, dengan demikian keterangan yang ditulis oleh ibn Nabatah dalam Syahrul Al- Uyun bahwa fahan Qadariyah berasal dari orang irak kristen yang masuk islam kemudian kembali lagi kekristen,adalah hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang yang tidak tertarik dengan pikiran Qadariyah. Lagipula menurut Kremer, seperti dikutip Ignaz Goldziher , dikalangan gereja timur ketika itu terjadi perdebatan tenteng butir doktrin Qadariyah yang mencekam pikiran para teologinya.
Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya Qadariyah muncul, ada baiknya jika meninjau kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para peniti sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal ini karena penganut Qadariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Bashri. Pendapat ini di kuatkan oleh Ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang kristen di irak yang telah masuk islam pendapatnya itu diambil oleh Ma’bad dan Ghallian. sebagian lain berpendapat bahwa faham ini muncul di Damaskus. Diduga disebabkan oleh orang-orang yang banyak dipekerjakan di istana-istana.
3.      Perkembangan Qadariyah.
Setelah Ma’bad mati, Ghailan terus menyiarkan faham Qadariyah-nya di Damaskus, tetapi mendapat tantangan dari Khalifah Umar Ibn Abd Al-Aziz. Setelah Umar wafat, ia meneruskan kegiatannya yang lama, sehingga akhirnya ia mati dihukum bunuh oleh Hisyam Abd Al-Malik (724 – 743 M). Sebelum dijatuhi hukum bunuh diadakan perdebatan antara Ghailan dan Al-Awza’I yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.[42]
Setelah kematian Ma’bad, Ghailan terus menyebarkan paham qadariyah di Damaskus, tetapi ini tidak berjalan lancar karena mendapat tantangan dari khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz. Baru setelah kematian ‘Umar ia melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti pada masa itu. Tapi akhirnya ia mati dihukum bunuh oleh Hisyam ‘Abd al-Malik.Sebelum dilaksanakan hukuman tersebut diadakanlah debat antara Ghailan dan Awza’i yang langsung dihadiri oleh Hisyam mengenai paham yang dibawa Ghailan.[43]
Dalam kitab Al-Milal wa Al-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah, sebab faham ini juga dijadikan salah satu doktrin Mu’tazilah. Akibatnya, sebahagian orang juga menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.
4.      Doktrin-Doktrin Qadariyah.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan yang dikutipnya dari pendapat Ghurabi tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatanya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang  melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.[44] Salah seorang pemuka Qadariyah lain, An-Nazzam, mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya. Selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya.[45]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa doktrin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendakya sendiri. Manusia mempunyai kewenagan untuk melakuakan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang ia lakukan dan juga behak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuat.
Faham takdir dalam pandangan qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhdap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alan semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an sunnatullah.
5.      Pokok pemikiran Qadariyah.
a.       Manusia Mempunyai Qudroh
Ali Mushthafa Al Gurobi antara menyatakan “bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika Allah memberi beban kepada manusia, maka beban itu adalah sia-sia, sedangkan kesia-siaan itu bagi Allah itu adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi”.
Pemahaman yang dimiliki Qodariyah ditujukan kepada qudrat yang dimiliki manusia. Namun terdapat perbedaan antara qudrat manusia dengan qudrat Tuhan. Qudrat Tuhan bersifat abadi, kekal, berada pada zat Allah, tunggal, tidak berbilang. Sedangkan qudrat manusia adalah sementara, berproses, bertambah dan berkurang, dapat hilang.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendiri pula melakukan atau menjauhi perbuatan atau kemampuan dan dayanya sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain, An-Nazzam, mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya dan ia berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat di pahami bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakun segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memproleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
b.      Pendapat Aliran Qodariyah Tentang Taqdir
Faham takdir dalam pandang  Qadariyah  bukanlah dalam pengertian  takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah. Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan akhir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.[46]
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah mailiki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip atau ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan. Seperti gajah yang mampu mambawa barang beratus kilogram, akan tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif, demikian pula anggota tubuh lainnya yang dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu, dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil. Manusia dapat meniru apa yang dimiliki ikan. Sehingga ia juga dapat berenang di laut lepas. Demikian juga manusia juga dapat membuat benda lain yang dapat membantunya membawa barang seberat barang yang dibawa gajah. Bahkan lebih dari itu, disinilah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui adalah sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia? siapa yang membatasi daya imajinasi manusia? Atau dengan pertanyaan lain, dimana batas akhir kreativitas manusia?
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyadarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan tuhan.
Hampir semua paham-paham Qadariyah bertentangan dengan apa yang dipahami ahlu al-sunnah wa al-jamaah. Adapun paham yang dikembangkan kaum qadariyah diantaranya adalah:
-          Meletakkan posisi manusia sebagai makhluk yang merdeka dalam tingkah laku dan semua perbuatan, baik dan buruknya. Mereka meyakini bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk menentukan nasibnya tanpa ada intervensi dari Allah Swt. Jadi manusia mendapatkan surga dan neraka karena kehendak mereka sendiri bukan karena taqdir. Paham ini merupakan ajaran terpenting dalam keyakinan qadariyah.[47]
-          Kaum qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa, dalam artian bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat Azaly, seperti ilmu, kudrah dan hayat. Menurut mereka Allah mengetahui semuanya dengan zatNya, dan Allah berkuasa dengan zatNya, serta hidup dengan zatNya, bukan dengan sifat-sifat qadimNya tersebut. Mereka juga mengatakan, kalau Allah punya sifat qadim tersebut, maka sama dengan mengatakan bahwa Allah lebih dari satu.[48]
-          Takdir merupakan ketentuan Allah SWT terhadap hukum alam semesta sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam Al-Qur’an disebut sunnatullah,[49] seperti matahari terbit dari timur, rotasi bumi dll. Tidak termasuk perbuatan dan tingkah laku manusia.
-          Kaum qadariyah berpendapat bahwa akal manusia  mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Agama tidak menyebabkan sesuatu menjadi baik karena diperintahkannya, dan tidak pula menjadi buruk karena dilarangnya. Bahkan perintah atau larangan agama itu justru mengikuti keadaan segala sesuatu, kalau sesuatu itu buruk, tentu saja agama melarangnya, begitu sebaliknya.[50]
Sebenarnya dalam golongan Qadariyah sendiri ada perbedaan pendapat dan pemahaman seputar masalah taqdir. Ada golongan qadariyah yang berpendapat bahwa kebaikan berasal dari Allah Ta’ala, sedangkan keburukan berasal dari manusia itu sendiri. Pemahaman ini sama dengan menganggap ada dua pencipta. Ada yang berpendapat bahwa semua kebaikan dan keburukan penciptanya adalah pelakunya sendiri. Sebagian golngan qadariyah lainnya menyebutkan bahwa setelah Allah menciptakan makhluk, lalu Allah menciptakan kemampuan pada makhluk tersebut untuk berbuat sesuai kemauannya tanpa ada pengaturan lagi dari Allah. Pemahaman ini berarti setelah Allah menciptakan alam semesta Allah menganggur, hanya menonton kejadian yang terjadi di alam.
Karena pendapat dan pemahaman-pemahaman seperti inilah muncul celaan-celaan terhadap qadariyah. Sebagaimana Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a, ia berkata, "Rasullah saw. bersabda, “Qadariyah adalah majusi ummat ini. Jika mereka sakti jangan kalian jenguk dan jika mereka mati jangan kalian saksikan jenazahnya," (Hasan, Silsilah Jaami' ash-Shaaghiir [4442]). Ibnu Abi 'Izz al-Hanafi dalam kitab al-Aqidah ath-Thahaawiyah (hal.524) berkata, "Akan tetapi penyerupaan mereka dengan Majusi sangatlah nyata. Bahkan keyakinan mereka lebih buruk dari majusi. Karena Majusi meyakini adanya dua pencipta sedangkan qadariyah meyakini adanya banyak pencipta."
Dalam kitab Al Ibana al-Kubra Li Ibni Batha,  disebutkan bahwa Imam Al- Au'zai mengatakan :
 القدرية خصماء الله عز وجل في الأرض 
   "Qadariyyah adalah musuh Allah di dunia"
Yang dimaksud musuh Allah di sini adalah musuh mengenai taqdir Allah, karena taqdir Allah terdiri dari kebaikan dan keburukan. Demikian pula perbuatan manusia terdiri dari dua macam yaitu baik dan buruk.    
Dalam kitab As-Sunnah,  Ibn Abi 'Ashim meriwayatkan dari Sa'ad bin Abd al-Jabbar, katanya: "Saya mendengar Imam Malik bin Anas berkata: Pendapat saya tentang kelompok Qadariyyah adalah, mereka itu disuruh bertaubat. Apabila tidak mau, mereka harus dihukum mati".
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa pemahaman seperti kelompok Qadariyyah itu sesat dan menyesatkan. Karena itu kaum muslimin hendaklah berhati-hati terhadap orang atau kelompok yang memiliki pendapat seperti mereka. Allah yang Maha Suci,  tidak mungkin kekuasaan-Nya ditembus oleh sesuatu tanpa kehendak-Nya. Memang seorang hamba memiliki keinginan dan kehendak, akan tetapi semua itu tetap mengikut kehendak dan keinginan Allah. Manusia memiliki kebebasan untuk berbuat, namun kebebasan yang mengikuti kehendak dan keinginan yang memberi kebebasan yaitu Allah.
6.      Tokoh Qadariyah dan Doktrinnya.
a.        Ajaran Ma’bad Al-Juhani
Perbuatan manusia diciptakan atas kehendaknya sendiri, oleh karena itu ia bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tuhan samasekali tidak ikut berperan serta dalam perbuatan manusia, bahkan Tuhan tidak tahu sebelumnya apa yang akan dilakukan oleh manusia kecuali setelah perbuatan itu dilakukan, barulah Tuhan mengetahuinya.
b.      Ajaran Ghailan Al-Dimasyqi
1). Manusia menentukan perbuatannya dengan kemauannya dan mampu berbuat baik dan buruk tanpa campur tangan Tuhan. Iman ialah mengetahui dan mengakui Allah dan Rasul-Nya, sedangkan amal perbuatan tidak mempengaruhi iman.
2).  Al-Qur’an itu makhluk.
3). Allah tidak memiliki sifat.
4). Iman adalah hak semua orang, bukan dominasi Quraisy, asal cakap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.[51]
c.       Ajaran An-Nazzam
Manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan. manusia hidup itu mempunyai istitha'ah. Selagi manusia hidup, dia mem-punyai istitha'ah (day a), maka dia berkuasa atas segala perbuatannya. Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, Sebab itu, dia berhak mendapat-kan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan sebaliknya dia juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Di sini nyatalah bahwa nasib manusia tidak ditentukan oleh Tuhan terlebih dahulu dan ditetapkan sejak zaman azali seperti pendapat yang dipegangi oleh paham Jabariyah.
Pembahasan ajaran ini, kiranya lebih luas dikupas oleh kalangan Mu'tazilah; sebab sebagaimana diketahui paham Qadariyah ini juga dijadikan salah satu ajaran Mu'tazilah. Sehingga ada yang menyebut al-Mu'-tazilah itu dengan sebutan al-Qadariyah.
d.      Al-Jubba’i.
Manusialah yang menetapkan per­buatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia, sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama juga diberikan oleh Abd al-Jab-bar.
e.       Abd al-Jabbar.
Salah satu argumen yang dikemukakan adalah, bahwa perbuatan manusia akan terjadi sesuai dengan kehendaknya. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu, perbuatan tersebut terjadi, sebaliknya jika dia tidak ingin berbuat sesuatu, maka tidak -lah terjadi perbuatan itu. Jika sekiranya perbuatan tersebut perbuatan Tuhan, maka perbuatan tersebut tidak akan terjadi, sungguhpun dia meng-inginkannya, dan sebaliknya perbuatan tersebut tetap akan terjadi.sungguh-pun dia sangat tidak menginginkannya.
Di antara ayat yang digunakan untuk memperkuat pendapatnya ada-lah ayat 17 surat al-Sajadah yang berbunyi sebagai berikut:
Abd. al-Jabbar menyatakan, sekiranya perbuatan manusia perbuatan Tuhan, maka ayat ini tidak ada artinya, sebab ini berarti bahwa Tuhan memberi pahala atas dasar perbuatan seseorang yang pada hakikatnya perbuatan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, agar ayat ini tidak membawa kepada kebohongan, maka perbuatan tersebut harus dipastikan sebagai perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya, bukan dalam arti majazi.
Ajaran al-Qadariyah dan berbagai argumen yang telah dipaparkan yang baru lalu memberi kesan, bahwa manusia dalam mewujudkan segala perbuatannya bebas sebebas-bebasnya. Apakah benar demikian? kiranya tidak. Sebab pada kenyataannya kebebasan dan kekuasaan manusia itu dibatasi oleh hal-hal yang tak dapat dikuasai oleh manusia sendiri.
Sesungguhnya dalam paham Qadariyah atau Mu'tazilah, manusia bebas dalam berkehendak dan berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, kebebasan manusia tidaklah mutlak. Kebebasan dan kekuasaan manusia sendiri, umpama saja manusia datang ke dunia ini bukanlah atas kemauan dan kekuasaannya. Seorang dengan tak disadari dan diketahuinya telah mendapatkan dirinya berada di bumi ini. Demikian pula menjauhi maut, tiap orang pada dasarnya ingin terus hidup dan tidak ingin mati. Tetapi bagaimanapun, sekarang atau besok maut datang juga.
Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya dibatasi oleh hukum alam. Pertama-tama manusia tersusun dari materi. Materi adalah terbatas, dan mau tak mau manusia sesuai dengan unsur materinya, bersifat terbatas. Manusia hidup dengan diliputi oleh hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan. Hukum alam ini tak dapat dirubah oleh manusia. Manusia harus tunduk kepada hukum alam itu. Api, nalurinya adalah membakar. Manusia tak dapat merubah naluri ini. Yang dapat dibuat manusia adalah membuat atau menyusun sesuatu yang tak dapat dimakan api
Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasan manusia sebenarnya, hanyalah me-milih hukum alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan, karena paham Qadariyah bisa disalah artikan meng-andung paham, bahwa manusia bebas sebebas-bebasnya dan dapat melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hukum alam pada haki-katnya merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan, yang tak dapat dilawan dan ditentang manusia.
7.      Dalil-dalil Qadariyah.
a.       Qs. Fush-Shilat: 40
(#qè=uHùå$# $tB ôMçGø¤Ï© ( ¼çm¯RÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îÅÁt/ ÇÍÉÈ                         
Artinya : “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).
b.      Qs. Al-Kahfi: 29
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sã9ù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3u9ù=sù 4
Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
c.       Qs. Ali Imran: 165
!$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ÅÁ"B ô0s% Läêö6|¹r& $pkön=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4 ¯Tr& #x9»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB Ï0YÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4 n?tã      Èe@ä. &äóÓx« ֍Ï0s% ÇÊÏÎÈ
Artinya : “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)
d.      Qs. Ar-ra’du: 11
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11)
C.     Perbedaan Jabariyah dan Qadariyah dan perbedaan dalam memandang musibah.
1.      Perbedaan jabariyah dan Qadariyah.
Beberapa perbedaan mendasar terhadap berbagai permasalahan teologi yang berkembang diantara kedua aliran ini diantaranya adalah:
a.                 Jabariyah meyakini bahwa segala perbuatan manusia telah diatur dan dipaksa oleh Allah sehingga manusia tidak memiliki kemampuan dan kehendak dalam hidup, sementara Qadariyah meyakini bahwa Allah tidak ikut campur dalam kehidupan manusia sehingga manusia memiliki wewenang penuh dalam menentukan hidupnya dan dalam menentukan sikap.
b.      Jabariyah menyatakan bahwa surga dan neraka tidak kekal, setiap manusia pasti merasakan surga dan neraka, setelah itu keduanya akan lenyap. Qadariyah menyatakan bahwa manusia yang berbuat baik akan mendapat surga, sementara yang berbuat jahat akan mendapat ganjaran di neraka, kedua keputusan itu merupakan konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan manusia berdasarkan kehendak dan pilihannya sendiri.
c.      Takdir dalam pandangan kaum Jabariyah memiliki makna bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dan digariskan Allah SWT, sehingga tidak ada pilihan bagi manusia. Sementara takdir menurut kaum Qadariyah merupakan ketentuan Allah terhadap alam semesta sejak zaman azali, manusia menyesuaikan terhadap alam semesta melalui upaya dan pemikirannya yang tercermin dalam kreatifitasnya.
Sebagaimana penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa memandang manusia berada dalam posisi yang sangat lemah. Perbuatan-perbuatan manusia adalah hal-hal yang harus dilakukan dan dilalui oleh manusia tanpa diperlukan mereka memainkan peran. Diakui secara tegas bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan dan ia hanya tempat berlakunya perbuatan dan ciptaan-Nya.
Sedangkan dalam paham Qadariyah ini, keyakinaan penganutnya adalah bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan dan pilihannya sepenuhnya, bukan ciptaan atau pilihan Allah. Hal ini didasarkan pada kemampuan manusia membedakan antara orang yang berbuat baik atau berbuat jelek dengan dengan orang yang baik atu jelek wajahnya. Kita memuji orang yang berbuat baik karena kebaikannya dan mencela yang berbuat jelek karena kejahatannya. Yang demikian tidak berlaku terhadap orang yang baik atau jelek wajahnya sebagaimana pula pada orang yang tinggi atau yang pendek. Terhadap orang yang tinggi atau pendek tidak dapat dikatakan kepadanya “mengapa anda tinggi” atau “mengapa anda pendek”. Terhadap orang yang berbuat Zalim atau berdusta dapat dikatakan “mengapa anda berbuat zalim” atau “mengapa anda berdusta”. Kalau sekiranya yang terakhir itu (zalim dan dusta) tidak bergantung pada kita, maka bukanlah kemestian membedakannya dengan yang lain (tinggi atau pendek). Yang bergantung pada manusia adalah perbuatannya dan diadakan olehnya.[52]
Dan dapat disimpulkan bahwa perbedaan keduanya itu, Jabariyah memandang manusia tidak merdeka dan mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa, sedangkan qadariyah itu memandang manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya.
2.      Perbedaan dalam memandang Musibah.
Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.
Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan pertanyaan yang harus dijawab : adakah andil manusia di dalam "mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam "marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat satelit kawasan yang dilanda musibah.
D.    Study analisa terhadap pemikiran Jabariyah dan Qadariyah.
Aliran penganut Jabariyah berkeyakinan bahwa setiap perbuatan dan tingkah laku manusia itu berasal dari Tuhan, bukan dari kehendak manusia itu sendiri karena menurut mereka, Tuhanlah yang mengendalikan semua aktivitas mereka dalam kehidupannya . Dalam aliran Jabariyah ini manusia sangat lemah, tak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dan apa bila mereka mendapat musibah mereka hanya bisa pasrah dan berserah diri kepada Allah swt.
 Sedangkan aliran penganut Qadariyah berkeyakinan bahwa yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya itu karena kehendak manusia itu sendiri bahkan menurut mereka tidak ada kaitannya dengan Tuhan karena manusia itu memiliki kehendaknya sendiri.
Jadi, pada dasarnya aliran Jabariyah ini sangat bertolak belakang dengan aliran Qadariyah di mana pada aliran Jabariyah Tuhan sangat terikat dengan manusia, sedangkan pada aliran Qadariyah manusia bersifat bebas, tidak terikat dengan Tuhan. Meskipun demikian, alangkah baiknya jika kedua aliran itu sama-sama di terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi dalam melakukan sesuatu harus berusaha, jangan mudah menyerah dan untuk hasilnya kita pasrahkan kepada Allah.
Manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur tangan Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat adalah Allah SWT. Dalam masalah Iman dan Kufur ajaran Jabariyah yang begitu lemah tetap bisa diberlakukan secara temporal, terutama dalam langkah awal menyampaikan dakwah Islam sehingga dapat merangkul berbagai golongan Islam yang masih memerlukan pengayoman. Di samping itu pendapat-pendapat Jabariyah sebenarnya didasarkan karena kuatnya iman terhadap qudrot dan irodat Allah SWT, ditambah pula dengan sifat wahdaniat-Nya.
Sementara bagi Qodariyah manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keimanan dan juga kekufuran, ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dari keterangan ajaran-ajaran Jabariyah dan Qodariyah tersebut di atas yang terpenting harus kita pahami bahwa mereka (Jabariyah dan Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan dan dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan beragama dan mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya. Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika dirasanya akan berbahaya pula, mereka pun tentu akan mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepat. Demikian makalah dari kami yang berjudul “Jabariyah dan Qodariyah” kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan di masa mendatang.
Kedua aliran, ini baik Qadariyah ataupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan perbedaan pendapat dalam Islam.
Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?.
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal dengan istilah Jabariyah dan Qadariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada otoritas kehendak dan perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa manusia itu berkehendak dan melakukan perbuatannya secara bebas. Sedangkan Golongan Jabariyah adalah antitesa dari pemahaman Qadariyah yang menekankan pada otoritas Tuhan. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.
Berbeda dengan Jabariyah. Hal pertama yang akan menjadi fokus utama pembicaraan adalah mengenai iktiqad Jabariyah  tentang penyerahan totalitas dalam Qada dan Qadar kepada Tuhan. Secara tidak langsung, dalam iktiqad ini mereka telah menuduh Allah. Seolah-olah Dia  itu jahat dan zalim kepada umat-Nya.
Akan tetapi kesimbangan dari analisis di atas, bahwa mempercayai takdir tidak identik dengan mempercayai paham Jabariyah. Semuanya akan menjadi demikian itu hanya apabila kita tidak memberikan peranan apapun kepada manusia dalam menciptakan perilakunya sendiri, yakni dengan menyerahkannya bulat-bulat kepada takdir. Padahal sungguh tak dapat diterima apabila kita mengatakan bahwa Allah SWT melakukan segala sesuatu tanpa perantaraan.
Qadha dan qadar tidak memiliki arti lain kecuali terbinanya sistem sebab akibat umum atas dasar pengetahuan dan kehendak Ilahi. Di antara konsekuensi penerimaan teori kausal dan kemestian terjadinya akibat pada saat adanya penyebab, serta keaslian hubungan antara keduanya, ialah bahwa kita harus mengatakan bahwa nasib setiap yang telah terjadi berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya.
Dari makna ini, kita berani mengatakan bahwa ucapan yang menyebutkan bahwa kepercayaan Jabariyah berasal dari kepercayaan kepada qadha dan qadar Ilahi, sungguh merupakan puncak kebodohan. Oleh sebab itu, wajiblah kita menyanggah kepercayaan seperti ini agar terlepas dari kesimpulan tersebut.
Pandangan sekilas tentang indikasi-indikasi paham Jabariah, merupakan refleksi dari kehidupan manusia yang secara langsung maupun tidak lansung, sengaja ataupun tidak berpulang kepada tawakal atau kepasrahan kepada Tuhannya. Hal ini menimbulkan ketenangan tersendiri setelah adanya usaha ataupun ikhtiar yang dilakukan oleh seorang hamba.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam.Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.
Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
E.     Study Kritis terhadap pemikiran Jabariyah dan Qadariyah.
Jika kita melihat dua lairan ini, kita akan melihat bahwa kedua-duanya ini terlalu ekstrim yang dimana satu terlalu Fundamental dan yang satu terlalu Liberal.
Saya akan mulai melihat dari Aliran Jabariyah, seperti yang kita ketahui aliran ini memberikan statement bahwa, semua perbuatan manusia itu sudah ditetapkan Allah, manusia ibarat robot. Apakah benar ajaran semacam ini? Ini ajaran yang keliru dan fatal, kenapa? Karena ini akan mengantarkan kita menjadi ummat yang statis dan pasif, kita tidak akan mengalami dinamika dalam kehidupan kita. Selain itu yang perlu kita lihat adalah pendiri dari ajaran jabariyah ini adalah seorang bernama jahm bin sufyan yang dimana dia ini berasal dari agama nasrani lalu menjadi islam lalu menjadi kristen, dan pernah menajdi misionaris, sehingga ini perlu kita perhatikan masa kita islam yang murni harus mengikuti jejak dan pemahaman orang yang campur baur ajarannya, dan tentu pemahaman atau aliran ini dia bangun berdasarkan berbagai pengalaman dan campuran ajaran kristen. Orang-orang ini mengambil ayat-ayat tetang kekuasaan Allah dan menafikan ayat-ayat ikhtiar manusia, menafikkan sebagian ayat Al-Quran sama dengan menafikkan seluruh ayat Al-Qur’an.
Kemudian kita melihat ajaran Qadariyah dimana melahirkan pemahaman islam yang mengatakan manusia memiliki kebebasan, ini merupakan ajaran yang berat sebelah dan ekstrim, kita bisa tinjau dari ajaran islam yang murni bahwa, dalam islam ada hablumminallah dan ada hablumminannaas keduanya ini harus berjalan dalam rentetan kehidupan muslim, dan ajaran semacam ini ujungnya nanti akan menajuhkan umat islam dari agamanya, hilang kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi, hilang kesadaran bahwa Allah selalu di dekatnya dan ini merupakan misi orang-orang diluar islam untuk menjatuhkan islam, yaitu dengan menjauhkan umat islam dari islamnya. Kita bisa tidak heran kalau ajarannya bisa semacam ini karena kita bisa melihat dari pendiri Aliran ini yaitu Ghalian ad-dimasyqi yang dimana dia ini seorang yahudi yang pura-pura masuk islam dengan tujuan menghancurkan ajaran islam, mereka menafikkan ayat-ayat kebesaran dan kekuasaan Allah mereka hanya menonjolkan ayat-ayat yang mendukung kebebasan manusia, kalau kita mengkaji dari kajian tafsir, bahwa menafikkan sebagian ayat Al-Qur’an maka sama saja menolak seluruh isi Al-Qur’an.
Lalu, bagaimana sikap kita menghadapinya/menanggapinya? Islam mengajarkan untuk Ikhtiar dan tawakkal, ummat islam itu ya ikhtiar dan tawakkal. Kapan tawakkal? Ya saat ikhtiar, kapan ikhtiar? Ya saat tawakkal.

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa:
1.      Qadariyah adalah sebuah firqah yang mengingkari ilmu Allah terhadap perbuatan hambaNya dan berkeyakinan bahwa Allah belum membuat ketentuan terhadap makhlukNya.
2.      Jabariyah adalah paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya, manusia tidak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
3.      Takdir adalah sesuatu yang harus kita imani, dan ini merupakan salah satu rukun dari enam rukun iman.
4.      Agama kita adalah agama rasional, sesuai dengan sabda Rasulullahi Saw: “Laa diina liman laa ‘aqla lah”. Tetapi tidak semuanya yang bisa kita terima dengan akal, ada beberapa hal yang harus kita terima dengan iman. Imam ‘Ali pernah berkata: “Seandainya semua hal dalam agama ini bisa diakali, pastilah telapak khuf lebih utama untuk disapu.”
Semoga makalah ini dapat bermanfaat kita, terutama dalam memahami paham-paham Qadariyah dan Jabariyah. Namun kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi bahasa, sistematika penulisan, dan lain lain. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.
Kami mohon maaf atas semua kekurangan dan keterbatasan. Terima kasih atas kerjasama dan saran dari pembaca semua. Wassalam.

DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, 1986. Jakarta: UI-Press, Cet ke-5.
Jhon M.Echols, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXVIII. 2006. Jakarta: Gramedia.
K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern, Cet. Ke-3. 2000. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
M. Hanafi, Theologi Islam. 1992. Jakarta:Pustaka Al-Husna.
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari Mabahits fi Ulum al-Qur'an. 2004. Jakarta: Litera AntarNusa.
Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2
 Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: al-Izzah, 2002)
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5
an-Nasyar, Ali Syami, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1977)
     Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)
    al-Qaththan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004)
 Asy-Syahrastani, Muhammad ibn Abd al-Karim, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut- Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th)
      Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997)      



[1] M.Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-aliran dalam Islam dan Ciri-ciri Ajarannya, Jakarta: Pustaka Al Riyadl, 2006, h. 55.
[2] Sahilun A. Nasir, Ilmu Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya,  Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2010, Cet.I, hal.139
[3] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h. 63
[4] Asy-Syahratnasy, Al-Milal wa An-Nihal, Darul Fikr, Beirut, hlm. 85.
[5] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam,Bandung: Pustaka Setia, 2003, h. 63.
[6] Op.Cit., Rosida Anwar, 63.
[7] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986, h. 33.
[8] Jhon M.Echols, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXVIII. 2006. Jakarta: Gramedia, hal. 234 dan 443.

[9] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5, h. 31
[10] Aziz Dahlan, Sejarah Pemikiran Perkembangan dalam  Islam. 1987. Jakarta: Beunneubi Cipta. hal 27-29.
[11] Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. 1958. Kairo:t.t, hal. 15.
[12] Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Rajawali, hal. 133.
[13] Adapun riwayat Jahm tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa dia berasal dari Khurasan yang juga dikenal dengan tokoh murjiah, dan sebagai pemuka golongan Jahmiyah. Karena kelerlibatanya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah, sehingga dia ditangkap.
[14] Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 35.
[15] K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern, Cet. Ke-3. 2000. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hal. 132.

[16] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 64.
[17] Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 31.
[18] Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet ke-4, h. 239
[19]Adapun riwayat Jahm tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa dia berasal dari Khurasan yang juga dikenal dengan tokoh murjiah, dan sebagai pemuka golongan Jahmiyah. Karena kelerlibatanya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah, sehingga dia ditangkap.
[20]Rosihan Anwar, op.cit., h. 64
[21]Harun Nasution, loc.cit.,
[22]Ali Syami an-Nasyar, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1977), h. 335
[23] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI, Press, cet. V, Jakarta, 1986, hlm.  35.
[24] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah,
[25] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. V, hal. 33.
[26] Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiba Hasan Muhammad wa Auladihi, (kairo, 1924, )hlm. 286-287.
[27] Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-firaq al-Islamiyah, (Mesir:Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladih, t.t), 28-29.
[28] Asy-Syahratnasy, Al-Milal wa An-Nihal, Darul Fikr, Beirut, hlm. 74.

[29] Alkhendra, Pemikiran Kalam. 2000. Bandung: Alfabeta, hal. 43
[30] Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 33
[31] Ibid., 31.
[32] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 70.
[33] Muhammad  ibn  Abd  al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, hal. 38.
[34] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, 1996. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 74
[35] Ali Sami’ Nasyr, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam jilid 1, (Kairo:Dar al-Ma’arif, 1977), hlm. 317.
[36] Sahilun A. Nasir, Ilmu Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya,  Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2010, Cet.I, hal.139.
[37] Ahmad Amin, Fajr Islam. 1965. Kairo: al-Nahdhah, hal. 255
[38] Ibd.,
[39] AB Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam. 2008. Banjarmasin: Antasari Press, hal. 68.
[40] Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 31.
[41] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 70.
[42] Op.Cit., Ahmad Amin Fajar, 33.
[43] Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 34.
[44] Harun Nasution, Teologi Islam.

[45] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, h. 73.
[46] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 73.

[47] Alkhendra, Pemikiran Kalam. 2000. Bandung: Alfabeta, hal. 44.
[48] Muhammad  ibn  Abd  al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, hal. 38.
[49] Alkhendra, Pemikiran Kalam. 2000. Bandung: Alfabeta, hal. 44.
[50] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta), h. 47
[51] Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-firaq al-Islamiyah, (Mesir:Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladih, t.t), 34-35.
[52] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2000, h. 113.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...