TEMA : DASAR DAN TUJUAN HIDUP SEORANG MUSLIM
لْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ
بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ
بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا.
أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأََشْهَدُ
اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا
وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا
كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛
Saudara-saudara kaum Muslimin rahimakumullah.
Sesungguhnya gaya hidup seseorang sangat
ditentukan dari bagaimana cara ia memandang hidup ini. Dengan kata lain,
bagaimana seseorang memandang hidup, begitulah ia akan hidup. Oleh sebab itu,
untuk mengubah keadaan seseorang maka harus diawali dahulu dengan mengubah cara
pandang ia tentang kehidupan. Itulah sebabnya dalam Al-Quran Surat Ar-Ra’d Ayat
11 Allah berfirman :
لَهُ
مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ
اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا
بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا
أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا
لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (Qs. Ar-Ra’du: 11).
Mengubah keadaan atau mengubah sesuatu dalam
diri seseorang itu tidak lain adalah mengubah Rule of Thinking atau State of
Mind (cara berpikir/cara mereka memandang kehidupan). Oleh karena itu, pada
kesempatan ini, kita akan membahas tentang Dasar dan Tujuan Hidup Seorang
Muslim di dalam kehidupan.
Yang pertama kita akan membicarakan Dasar dan
Landasan Hidup Seorang muslim di dalam kehidupan.
Seorang muslim mendasarkan/menyandarkan
kehidupannya kepada Islam. Tentang hal ini, Allah menuntut muslim agar masuk ke
dalam Islam itu secara keseluruhan. Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 208,
Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu
ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (Qs. Al-Baqarah: 208).
Artinya seorang muslim harus masuk Islam itu tidak
separuh-separuh/sebagian-sebagian melainkan harus seluruhnya. Mendasari hidup
dengan Islam artinya seorang muslim menjadikan Islam sebagai Way of Life
(Pedoman/Jalan Kehidupan), sebagai Rule of Thinking, sebagai State of Mind
di dalam memecahkan setiap permasalahan hidup. Sehingga tidak ada satu
permasalahan hidup yang bagaimana pun kecilnya, yang tidak tersentuh oleh
nilai-nilai ajaran agama Islam.
Dengan
mendasari hidup kepada Islam, seorang muslim memiliki keyakinan yaitu :
- Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia
- Islam adalah agama bagi seluruh manusia
- Islam adalah agama terakhir yang diturunkan kepada rasul terakhir yaitu Nabi Muhammad Shollalohu Alaihi Wassalam
- Islam adalah agama yang benar
Pertama, Islam sebagai dasar hidupnya adalah agama yang
sesuai dengan fitrah manusia. Allah Subhanahu Wataala adalah pencipta manusia.
Allah Subhanahu Wataala yang menurunkan agama Islam. Oleh sebab itu, seluruh
konsepsi Islam ini, sudah diukur dan diatur sedemikian rupa sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki oleh manusia.
Secara logika, bisa kita katakan sebuah Pabrik
Mobil di Jerman misalnya, membuat mobil yang dinamakan Mercy. Seiring dengan
itu, dikeluarkanlah buku petunjuk bagaimana cara penggunaannya. Misalnya
petunjuk itu berisi : Mobil ini bernama Mercy, kecepatan maksimal sekian ratus
kilometer/jam, daya angkutnya sekian ratus kilogram, kalau rusak memperbaikinya
di sini, spare part-nya dapat dicari di sini. Karena pabrik itu yang
membuat mobil, lalu pabriknya juga yang mengeluarkan buku petunjuk, tentu buku
itu sesuai benar untuk mobilnya. Dan logika mengatakan, tidak bisa kita
mempunyai mobil Mercy yang rusak lalu memperbaikinya dengan buku petunjuk dari
pabrik mobil Fiat. Tentu saja mobil akan rusak acak-acak dan tidak karuan
karena tidak sesuai.
Ini artinya, jika manusia ingin baik dan jika
manusia ingin mencapai kebahagiaan maka ia harus mengikuti petunjuk yang
dikeluarkan oleh Dzat Yang Menciptakan Manusia yaitu Allah Subhanahu Wataala.
Dan petunjuk-petunjuk itu telah turun dalam sebuah konsepsi bernama Islam yang
sesuai dengan fitrah manusia.
Kedua,
seorang muslim berkeyakinan bahwa Islam adalah agama bagi seluruh manusia.
Bersifat universal. Walaupun Islam diturunkan di negara Arab tetapi
Islam bukanlah agama bagi bangsa Arab saja. Keyakinan ini perlu ditegakkan
kembali, oleh karena akhir-akhir ini muncul pendapat-pendapat yang menganggap
seolah-olah agama Islam itu agama import. Silakan saja kalau memang itu
merupakan keyakinannya. Tetapi menganggap agama sebagai barang import,
sungguh merupakan satu kekeliruan yang sangat besar.
Di negara Arab, sebagian besar penduduknya menganut
agama Islam, itu benar. Tetapi Islam bukanlah hanya Arab. Kita bisa menjadi
seorang muslim yang baik tanpa perlu menjadi orang Arab. Dengan kata lain, kita
bisa menjadi muslim yang baik dengan tetap menjadi warga negara Indonesia yang
baik.
Al-Quran memang diturunkan di tanah Arab dan
berbahasa Arab, namun tidak ada satu pun ayat di dalam Al-Quran yang berisi
seruan yang ditujukan semata-mata hanya untuk orang Arab, misalkan Ya
Ayyuhal Arrobiyyun (Wahai Orang-orang Arab) tetapi berisi seruan Ya
Ayyuhan Nas (Wahai Para Manusia) atau Ya Ayyuhalladzina Amanu (Wahai
Orang-orang Yang Beriman).
Ketiga, seorang muslim berkeyakinan bahwa Islam adalah
agama terakhir yang diturunkan kepada rasul terakhir yaitu Nabi Muhammad
Shollalohu Alaihi Wassalam. Dasar-dasar keyakinan ini melembaga dalam pribadi
setiap muslim. Segala aspek kehidupan dari hal terkecil hingga yang luas, dari
kita bangun tidur hingga tidur lagi, semua kegiatan manusia selama 24 jam
sehari, tidak ada satu pun yang tidak tersentuh oleh nilai-nilai Islam itui
sendiri.
Inilah pandangan hidup seorang muslim. Sebuah
jawaban dari problema-problema kehidupan yang dihadapinya. Ia merupakan seorang
muslim yang Islam Oriented artinya berorientasi kepada nilai-nilai
Islam. Halal kata Islam, halal ia katakan. Haram kata Islam, haram ia ucapkan.
Itu adalah Islam Oriented. Barometer dari perbuatannya tidak lain adalah
nilai-nilai Islam itu sendiri.
Dan dengan mendasari hidup kepada Islam, seorang
muslim memiliki keyakinan bahwa Islam adalah agama yang benar. Bahasa kerennya,
Islam is the single one, the true religion behind the God. Satu-satunya.
Keyakinan ini kelihatannya subjektif. Tetapi memang inilah pokok dari kehidupan
orang yang beragama.
Saudara-saudara kaum Muslimin rahimakumullah.
Kalau yang telah dijelaskan tadi adalah dasar dari
kehidupan kita sebagai muslim, lantas apa yang menjadi landasannya? Kalau dasar
hidup kita adalah Islam maka landasan hidup kita tidak lain adalah Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah Shallalahu Alaihi Wassalam.
Dunia penuh dengan orang-orang besar. Dan
setiap dari mereka itu mempunyai ajaran-ajaran yang pernah jaya, dikumandangkan,
didengung-dengungkan, naik ke panggung sejarah untuk kemudian tenggelam atau
dilupakan.
Satu ajaran akan langgeng dan tahan lama apabila
turun dari sumber yang serba Maha. Kalau ia turun dari manusia maka sifatnya
hanya musiman. Yang namanya musim itu tidak bisa dilarang tetapi kalau sudah
selesai musimnya maka akan habis dengan sendirinya.
Misalnya musim rambutan. Kalau ada musim rambutan,
apakah bisa dilarang? Gak boleh, gak boleh ada musim rambutan, kata
seseorang. Ya tidak bisa. Ia akan tumbuh terus. Tapi manakala musimnya habis,
ya habislah. Begitulah ajaran dari agama yang nisbi, relatif dan temporer. Ia akan habis dengan
sendirinya.
Al-Quran turun dari sumber yang serba Maha.
Sedangkan sunnah adalah penjelasan dari ajaran Al-Quran yang tidak dijelaskan
dalam Al-Quran secara lebih detil. Melengkapi apa yang disebutkan dalam
Al-Quran secara garis besarnya saja. Misalnya dalam Al-Quran disebutkan bahwa
seorang muslim harus berwudhu/bersih-bersih/thaharah sebelum
melaksanakan sholat. Maka di dalam sunnah nabi dijelaskan bagaimana lebih rinci
tentang bagaimana tata cara berwudhu yang baik dan benar.
Baik Al-Quran dan Sunnah, kita sebut sebagai
landasan yang primer. Untuk memahami keduanya, kita perlu ajaran/ilmu dari
orang-orang yang ahli dalam bidang itu. Dalam hal ini kita sebut sebagai ulama
(orang yang memiliki ilmu dan paham tentang islam). Dan ini merupakan sumber
yang sekunder dari landasan hidup kita sebagai seorang muslim. Dua rel ini,
Al-Quran dan Sunnah merupakan landasan dimana kereta api Islam berjalan.
Saudara-saudara kaum Muslimin rahimakumullah.
Oleh karenanya marilah kita jadikan Al-Quran dan
Sunnah ini sebagai imam dalam kehidupan kita. Bukankah Rasulullah Shallalahu
Alaihi Wassalam pernah memberikan pilihan, yang beliau sebutkan dalam sabdanya
:
مَنْ جَعَلَ اْلقُرْآنَ
اَمَامَهُ قَادَهُ اِلىَ الْجَنّةِ وَمَنْ جَعَلَ الْقُرْآنَ خَلْفَهُ سَقَّاهُ
اِلىَ النَّارِ
Artinya: “Siapa saja yang menjadikan
Al-Qur’an sebagai imam maka Al-Qur’an akan membimbing ia ke dalam surga tetapi
siapa saja yang menjadikan Al-Qur’an sebagai makmum maka Al-Qur’an akan
mendorong ia ke dalam neraka.”
Siapa yang meletakkan Al-Qur’an di depannya dijadikannya Al-Qur’an sebagai
imam dan dia sebagai makmum maka Al-Qur’an akan membimbing dia ke syurga ya
syurga dunia ya syurga akhirat nanti. Sebaliknya siapa yang meletakkan
Al-Qur’an di belakangnya dia belakangi ajaran dan konsepsi Al-Qur’an dia tinggalkan
perintah-perintah Al-Qur’an, maka Al-Qur’an yang di belakanginya itu akan
mendorong dia ke neraka, neraka dunia lebih-lebih neraka di akhirat nanti.
Pilihan terserah kita, jikalau kita mau menjadikan Al-Qur’an sebagai imam
artinya kita menjadi makmum. Resikonya,
dimanapun makmum itu wajib mengikuti imam. Seperti dalam shalat, misalkan imam
sedang takbir maka makmum pun harus takbir. Imam ruku, makmum ruku. Imam i’tidal,
makmum i’tidal.
Jikalau Al-Qur’an imam kita dan kita adalah makmum,
maka itu berarti jika kebarat komando Al-Qur’an maka kebarat kita pergi,
jikalau ketimur kata al-Qur’an maka ketimur kita menuju, jika halal kata
Al-Qur’an halal kita katakan, jikalau haram kata Al-Qur’an maka halal kita
bilang. Itu resikonya kita menjadi makmum menyusun pola hidup yang lebih
Al-Qur’ani. Tapi sebalinya kebarat komando al-Quran ketimur kita pergi keutara
kata Quran keselatan kita menuju, halal kata al-Quran malah kita tidak
melaksanakannya, haram kata Al-Qur’an kita senang bukan main.
Artinya kita mau menjadikan al-Quran makmum dan
kita sendiri malah mau menjadi imam. Kita paksa konsepsi al-Quran itu supaya
sesuai dengan naluri kemanusiaan kita, mengkotak-atik hukum, menghalalkan yang
haram, mengharamkan yang halal di kala itu landasan hidup kita sudah goyah
tidak lagi menjadi landasan tempat kita bertolak, tetapi malah menjadi satu
landasan yang kita injak-injak.
Sesungguhnya sodara-sodara, Al-Quran tidak akan
membawa berkah, tidak akan menjadi rohmatun wa syifa un lil mukminin,
menjadi penyembuh, menjadi rahmah bagi orang-orang yang beriman apabila yang
kita baca itu kita injak-injak di dalam kehidupan.
Upaya menyusun hidup yang lebih Qur’ani ini sesuai
dengan usaha kita menjadi warga negara yang baik, yang saya katakan di awal
tadi, tidak saling dan tidak harus saling bertentangan.
Jadi dengan dmeikian dasar hidup kita sebagai
muslim adalah islam dan lanmdasan hidup kita tidak lain adalah Al-Quran dan
sunnah Rasulullah saw. Ini landasan tempat kita bertolak, ini yang mewarnai
gaya kehidupan kita. Apapun yang mau kita lakukan, tempat kita bertanya
terlebih dahulu Quran dan sunnah .
Misalnya, saya akan melakukan pekerjaan ini, lalu
apa kata Al-Quran tentang hal tersebut? Saya mau pergi ke tempat ini, apa kata
Al-Quran? Saya mau berusaha dengan mengerjakan perusahaan ini, apa kata
Al-Quran?. Merupakan landasan dalam kehidupan kita, ini yang saya katakan tadi
membentuk Rule of Thinking, State of mind bahwa gaya kehidupan kita diwaranai oleh
landasan hidup yang bertumpu pada ajaran Al-Qur’an nulkarim dan ajaran
Rasulullah saw.
Baiklah yah, inilah yang pertama tentang dasar dan
landasan hidup.
Kedua, adalah tentang Tujuan hidup seorang muslim.
Kalau sudah ada landasan tempat kita bertolak, lalu
kemana pantai yang akan kita tuju? Mau apa sih kita hidup ini?
Berleha-leha, menjalani acara rutin, bangun tidur sampai tidur lagi kemudian
besok begitu lagi sampai menunggu datangnya sang ajal atau adakah satu tujuan
yang akan kita capai dalam kehidupan ini?
Apabila kita teliti, maka Al-Quran mengajarkan
tujuan hidup setiap Muslim itu pada dasarnya ada dua.
Pertama,
kita sebut saja tujuan jangka pendek. Tujuan jangka pendek itu sasarannya
adalah dunia yang kita tinggali sekarang ini. Bentuknya adalah horizontal.
Targetnya adalah agar setiap pribadi Muslim menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Rahmah bagi lingkungannya. Inilah yang agama Islam sebut sebagai Hablu
Minannas (hubungan antar sesama manusia), yang isinya adalah ilmu
dan peradaban.
Jadi dunia dan seluruh isinya merupakan tujuan
jangka pendek saja. Untuk mencapai tujuan jangka pendek (dunia dan seluruh
isinya) maka unsur penunjangnya adalah :
- Pendidikan
- Pengalaman
- Nasib
Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah
ia menjangkau hidupnya. Semakin banyak pengalaman, semakin mudah menguasai
dunia. Atau karena faktor nasib. Misal pendidikannya tidak seberapa, pengalaman
pun kadang-kadang dangkal, tapi karena nasihnya lagi hoki, nasibnya lagi
bagus, akhirnya dia bisa naik ke panggung dan memegang peranan. Faktor
nasib ini ada, tetapi tidak bisa dijadikan sandaran. Untuk menjangkau dunia dan
seluruh isinya unsur penunjangnya pertama pendidikan, pengalaman, faktor nasib.
Oleh karena itu, jika kita ingin mudah mencapai
dunia maka langkah pertama adalah bagaimana cara kita bisa menempuh suatu
pendidikan. Kita harus mau untuk belajar dan mau bersekolah untuk menuntut ilmu
pengetahuan.
Pada zaman sekarang, orang-orang terangsang untuk
hidup dalam pola Hardolin. Hardolin adalah istilah orang-orang Priangan
(Sunda) yang merupakan singkatan dari Dahar, Modol, Ulin (Makan, Buang Hajat,
Bermain). Ini adalah filsafat hidup yang jelek dimana pakaian mau bagus, makan
mau enak, mau punya uang tetapi tidak mau bekerja. Akhirnya ia menjadi
pengkhayal kelas berat dan tukang-tukang lamun kelas tinggi. Tiap hari hal yang
lakukan tidak lepas dari tiga hal tadi.
Kadang-kadang ia mau kerja tetapi tidak tahu apa
yang harus ia kerjakan. Ditambah lagi sempitnya lapangan pekerjaan. Ia tidak
tahu mau kerja apa, karena minimnya pendidikan yang ia terima. Sehingga mau
kerja apa lalu bingung
Oleh karena itu terutama buat adek-adek remaja,
para pemuda saya berpesan untuk menjangkau dunia yang pertama harus punya
pendidikan yang baik. Tao kata Drop Out. Bahkan orang-orang besar di
luar sana banyak yang bermula dari seorang loper koran. Many great people
start as newspaper boy.
Banyak orang-orang besar yang memulai pekerjaannya
dengan berdagang koran. Putus sekolah bukan menjadi halangan untuk menggapai
cita-cita yang mulia. Dan tidak sedikit orang-orang besar yang bukan lulusan
perguruan tinggi tetapi ia bisa sukses. Tidak sedikit orang besar yang bukan
dari produk perguruan tinggi tertentu tapi karena kerjaninannya belajar, banyak
membaca, banyak bergaul, otodidak. Syukur jika bisa menempuh pendidikan yang
formal.
Kekurangan ekonomi, kemiskinan keluarga jangan
menjadi penghalang bagi tumbuhnya cita-cita yang tinggi untuk menempuh karier
pendidikan yang baik. Ini memang pahit, tapi bagaimanapun kata orang, lebih
baik makan singkong beneran daripada makan roti tapi ngimpi. Artinya, jika
perlu lebih baik sekolah sambil dagang koran, nyemir sepatu, markir mobil
daripada Hardolin itu tadi. Tanpa prospek masa depan yang tidak ada
artinya.
Dan pendidikan memang sesuatu yang pahit, banyak
yang dikeluarkan seperti uang dan tenaga. Tapi tampa ini rasanya kita akan
sulit untuk menjangkau dunia, tersisih di pojok-pojok kehidupan. Jangan bilang,
“Ah manusia kan rezekinya sudah dijamin oleh Allah. Ayam saja ada rezekinya.”
Tentu saja. Tetapi jangan lupa, cara ayam mencari
rezeki dan manusia mencari rezeki itu berbeda. Kalau ayam cari rezeki, dari
tahun 0001 sampai 2017 bahkan sampai kiamat nanti, ia hanya bermodalkan patuk
dan ceker ayam. Asal ia bisa matuk dan nyeker (mengais-ngais makanan di tanah),
ayam bisa makan, asal bisa matok bisa nyeker dapat rezeki, pokoknya kertok dah.
Beda halnya dengan manusia. Manusia harus mencari
lapangan pekerjaan untuk mencari rezekinya. Sekarang lapangan pekerjaan itu
sulit. Misalkan ia sudah dapat pekerjaan, ia juga dituntut untuk memiliki
keahlian. Untuk memperoleh keahlian, harus memiliki pendidikan. Belum lagi ia
harus berhadapan dengan saingan-saingan. Karena pasaran tenaga kerja Setiap
tahunnya, banyak orang yang mencari kerja. Ratusan bahkan bisa ribuan orang mencari
pekerjaan.
Ini adalah kenyataan. Semakin ke depan, mencari
pekerjaan akan semakin sulit. Tingginya tensi ekonomi, persaingan hidup yang
makin tajam, merajalelanya pola pikir industrialis yang membuat manusia menjadi
individu (tidak peduli ke orang lain/mementingkan diri sendiri). Kehidupan akan
terasa semakin berat. Oleh karenanya, tanpa bekal pendidkan, kita akan sulit
untuk menjangkau dunia.
Kedua,
adalah pengalaman. Sehingga orang-orang mengatakan bahwa Experience is the
best teacher. Pengalaman adalah guru yang paling bijaksana, paling baik.
Dengan pengalaman, kita akan semakin dewasa. Dan orang sering mengatakan bahwa
kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Jangan takut gagal kalau nantinya
hal itu bisa membawa kita ke dalam pola hidup yang lebih dewasa, lebih tegar
dan lebih sanggup menghadapi kesulitan-kesulitan.
Ketiga, adalah nasib. Kadang-kadang orang pendidikannya
tidak ada. Kadang-kadang pengalamannya tidak seberapa tetapi karena nasib ia
bisa berhasil. Misalnya Engkongnya itu Komandan Hansip maka ia bisa naik jadi
anggota Hansip. Itu karena faktor nasib saja. Hal-hal seperti ini memang
terjadi di masyarakat kita. Tetapi jangan jadikan faktor nasib sebagai
sandaran. Dalam arti bahwa kita lalu mengandalkan nasib.
Misalnya
seseorang ditanya, “Lo ntar kalo gede mau jadi apa?”
Ia
menjawab, “Gue mah gimana nasib aja dah. Jadi orang, syukur. Jadi
gembel, ya nasib.”
Tidak bisa kita menjalani hidup dalam suatu alur
spekulasi. Tidak bisa kita mengikuti skenario hidup dengan sikap
untung-untungan. Kehidupan memang banyak ketidakpatian tetapi setidaknya
kehidupan seseorang itu bisa dirancang, direncanakan, ditargetkan dan dianalisa
kemungkinan-kemungkinannya. Walaupun tidak bisa dipastikan tetapi bisa diperhitungkan.
Sebagai manusia yang terikat oleh casuality
(hukum sebab-akibat), maka sewajarnya kita bisa memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan itu. Kira-kira dalam rentang waktu 5, 10, atau 15 tahun
ke depan, bagaimana kesulitan-kesulitan hidup yang dapat kamu hadapi? Sejauh
mana persaingan dalam hidup? Sebanyak apa tenaga kerja dibutuhkan? Sejauh mana skill
menunjang ke arah itu? Kalau tidak kita pikirkan, kita akan tersisih di
sudut-sudut kehidupan. Kita akan sering menjadi penonton daripada menjadi
pemain. Padahal kita ingin menjadi pemain, kita ingin aktif, kita ingin
mempunyai peranan, karena oleh agama Islam kita dituntut untuk menjadi rahmatan
lil alamin. Menjadi rahmah di lingkungan dimana kita tinggal. Mewarnai
lingkungan bukan cuma diwarnai oleh lingkungan itu sendiri.
Itu tadi tujuan jangka pendek sebagai tujuan yang
pertama. Kemudian apa tujuan jangka panjang dari seorang muslim?
Kedua,
adalah tujuan jangka panjang dengan sasarannya akhirat. Bentuknya vertikal.
Targetnya adalah mardhotillah (mencari keridhoan Allah). Dan ini yang
oleh agama Islam disebut Hablu Minallah (hubungan antara manusia dengan
Allah). Tali vertikal yang menghubungkan manusia langsung dengan tuhannya.
Untuk mencapai tujuan jangka panjang akhuirat ini, unsur penunjangnya adalah
prestasi ibadah.
Kalau untuk tujuan jangka pendek (dunia dan seluruh
isinya) manusia membutuhkan pendidikan, pengalaman dan nasib yang memegang
peranan sangat penting. Namun untuk akhirat, ketiga hal tersebut tidak terlalu
berpengaruh karena unsur penunjangnya adalah prestasi ibadah. Bagaimana pun
tingginya pendidikan atau banyak pengalaman tetapi tanpa prestasi ibadah nol
besar kita di hadapan Allah SWT.
Saudara-saudara
kaum Muslimin rahimakumullah.
Itu sebabnya seorang muslim melakukan shalat,
puasa, haji dan zakat. Walaupun misalkan adanya target dunia, itu semua hanya side
effet. Sekedar satu efek sampingan karena target utamanya adalah tujuan
jangka panjang (akhirat dan ridho Allah).
Kenapa kita shalat? Untuk mencari ridho Allah.
Kenapa kita laksanakan ibadah haji? Untuk mencari ridho Allah. Kita bangun di
keheningan malam guna melakukan shalat Tahajud, itu karena untuk mencari ridho
Allah.
Kalau ada akibat dunia, maka itu akibat sekunder
saja. Misalnya, ada seseorang yang tekun ibadah dan rezekinya lancar. Itu baru
persekot (bonus) atau tanda jadi. Kadang-kadang bonusnya saja sudah nikmat kok,
apalagi cash-nya, kontannya. Sebaliknya, misalkan ada seorang yang rajin
ibadah tetapi rezekinya seret (kurang). Jangan jadi alasan untuk tidak
beribadah.
Seseorang ditanya, “Kok elu gak shalat?”
Ia menjawab, “Alah, tetangga gua sembahyang melarat
terus”.
Ya, memang. Shalat itu bukan untuk target dunia.
Bukan untuk kaya. (kalau mau kaya, kamu mesti bekerja). Shalat merupakan
targetnya akhirat. Oleh sebab itu, seorang muslim adalah seorang yang
berpandangan luas dan berjiwa lapang. Maksudnya apa? Tujuan jangka pendek dan
jangka panjang ini harus ia raih keduanya. Inilah yang diajarkan oleh Al-Quran
bahwa Muslim itu harus Fi dunya hasanah, wafil akhiroti hasanah artinya
ia mempunyai kebaikan dan kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat.
Tercapai kesuksesan di dunia dan kebahagian di
akhirat itu arti Hasanah, jangan macam orang dulu punya istri dua pergi
haji yang satui yang muda namanya hasanah yang tua namanya khadijah. Waktu
tawaf keliling ka’bah si suami ini nggak bisa doa apa-apa kecuali rabbana
atina itu, putaran pertama Rabbana atina fiddun ya hasanah wafil
akhirati hasanah, putaran kedua baca lagi doa itu Rabbana atina fiddun
ya hasanah wafil akhirati hasanah, ini istri tuanya yang namanya khadijah
dengerin ajah. Akhirnya di suatu saat dia colek suaminya, “Bang,
mentang-mentang khasanah bini muda disebutin melulu, saya dong disebutin dalam
do’a”, “ suaminya nyahut “Iyadeh, ntar di putaran selanjutnya”. Suaminya blo’on
juga, putaran selanjutnya dia baca, Rabbana atina fiddun ya hasanah wafil
akhirati khodijah.
Sodara-sodara itu refleksi dari do’a itu tadi, doa
sapu jagat. Kita ingin fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah, tujuan jangka
pendek dunia tercapai, dan tujuan jangka panjang akhirat dan ridho Allah juga
tergapai. Oleh sebab itu Al-Quran menjelaskan:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ
الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ
كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي
الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Artinya: “Dan carilah pada apa
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Qs. Al-Qashash: 77).
Cari akhirat, utamakan akhirat
dengan tidak usah melupakan jatahmu di dunia. Kenapa
saya katakan seorang muslim harus berjiwa besar? Sebab andaikata ia gagal
mencapai tujuan jangka pendek, andaikata dia gagal di dunia dan ia oloeh islam
dianjurkan jangan sampai gagal, tapi andaikata dia gagal ia masih bisa mencapai tujuan jangka panjang,
akhirat dan ridho Allah. Dia masih bisa menghibur dirinya, “Biarlah di dunia
ini kita susah, asalkan nanti di akhirat bisa berbahagia.”
Bagi orang yang tidak mempunyai pandangan hidup
seperti ini maka Surganya dia adalah dunia yang sedang ia tinggali sekarang
ini. Segalanya telah tertumpu di sini. Bila umurnya selesai dan ajalnya datang
maka habis juga Surganya. Dan dia tidak mempunyai pengharapan lain di belakang
itu. Maka seluruhnya bertumpu kepada kehidupan di dunia. Padahal dunia ini
seperti air laut, makin diminum makin haus dan makin kering tenggorokan. Jika
dunia yang diperturutkan maka ia akan menyeretnya ke dalam lingkaran setan dan
terjebak ke dalam sifat tamak bin rakus alias serakah.
Andaikata dia gagal untuk tujuan jangka pendek dia
masih ada harapan untuk tujuan jangka panjang akhirat, dia masih bisa berkata,
“akh, biarlah di dunia miskin asal akhirat senang”, atau bahkan berkata, “Biar
keblangsat susah di dunia, asal diakhirat kita bisa bahagia”. Kan masih ada
harapan.
Yang paling rusak itu adalah orang yang dunianya sengsara
dan di akhiratnya celaka. Naudzu billahi min dzalik. Misalnya, di dunia
ini ia rumahnya gubuk, di samping kali dan miring lagi. Asal hujan, bocor.
Utangnya selebar warung. Shalat, nggak. Ngaji gak pernah. Puasa, nggak. Tiap
malem, ngeluh terus.
Sodara hadirin yang saya hormati.
Lalu kapan mau bahagia? Kalau di dunia merana, di
akhirat sengsara. Oleh karena itu, sikap seorang muslim itu harus berjiwa besar
luas pandangan dan optimis. Sebuah kegagalan dia dalam jangka pendek (dunia)
tidak boleh menghalangi dirinya untuk mencapai akhirat. Seorang muslim harus
punya jiwa besar dan optimis.
Sikap yang kedua bagi seorang Muslim adalah cara ia
melaksanakan tujuan jangka pendek disertai dan diwarnai oleh keyakinan adanya
tujuan jangka panjang.
Dia memang benar cari harta tetapi karena dia yakin
ada akhirat ia akan bepikir, apakah Allah akan ridho atau tidak jika ia
melakukan pekerjaan itu? Halal kah? Atau justru haram? Bagaimana
pandangan Islam tentang pekerjaannya itu? Saya memang ingin berpakaian rapi.
Tapi jika sampai mengumbar aurat, apakah Allah akan ridho atau tidak? Bergaul
dan menghormati teman, main kesana-kemari dan malah terjebak mabuk-mabukan
karena menghormati teman, Apakah Allah ridho dengan hal tersebut?.
Ini adalah ciri-ciri Muslim yang mempunyai tujuan
jangka panjang. Segala hal yang ia lakukan selalu dibingkai dengan pertanyaan apakah
Allah ridho? Keyakinannya terhadap tujuan jangka panjang mewarnai gaya
hidupnya di dunia ini. Mau minum, Allah ridho apa enggak ini? Mau makan, yang
saya makan ini Allah ridho apa enggak ini? Pendeknya apapun yang dia kerjakan
karena dia mempunyai keyakinan jangka panjang dia selalu menimbang-menimbang
terhadap rido Allah tadi.
Tanpa prestasi ibadah, kita semua bernilai nol
besar dalam pandangan Allah. Ini adalah nilai manusia yang hakiki. Ini adalah
makna dari Al-Quran Surat Al-Hujurat Ayat 13 yang berbunyi :
إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ……
Artrinya:”…..Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(Qs. Al-Hujurat: 13).
Di akhirat nanti itu tidak akan disidang dengan pertanyaan, kamu
pendidikannya setinggi apa? Tidak, Gelarmu berapa renteng? Tidak. Akhirat itu hanya akan menyidang apakah kamu Shalat atau tidak? Kau puasa atau
tidak? Kau zakat atau tidak? Kamu dapat harta, darimana kamu mendapatnya dan
dibelanjakan untuk apa harta tersebut? Prestasi ibadah itu adalah yang utama. Setinggi appa
pendidikan, sebanyak apa pengalaman, No problem. Tidak jadi masalah di
akhirat, prestasi ibadah itulah yang akan kita persembahkan di hadapan Allah.
Kerbau dinilai dari dagingnya. Makin gemuk, makin
mahal harganya. Tapi ada burung perkutut yang lebih mahal harganya daripada
kerbau. Perkutut itu mahalan mentahnya lho daripada matengnya. Karena
harga Perkutut ada pada suaranya.
Lalu dimana harga manusia? Yang paling gemuk?
Tidak. Apakah dari suaranya? Oh, kalau manusia dinilai dari suaranya, maka kemungkinan
Madonna paling awal masuk syurga itu. Hanyalah prestasi ibadah kita dapat
mencapai tujuan jangka panjang yaitu akhirat dan ridho Allah.
Nah, sudah jelas lah yah kita sudah tahu dua tujuan
kita hidup jangka pendek dan jangka panjang,. Lalu bagaimana Islam mengajarkan
kepada kita bagaimana cara untuk meraih keduanya?
Pada prinsipnya Islam mengajarkan sistem
keseimbangan. Dalam berbagai aspek kehidupan, keseimbangan ini nampak dengan
nyata. Kita harus berusaha untuk mencapai dunia dan tidak boleh lupa untuk
mengejar akhirat, seperti ayat yang saya sampaikan tadi, dengan karunia yang
diberikan Allah cari negeri akhirat tapi jangan lupakan bagianmu di dunia ini. Dalam satu ungkapan di katakan:
عمل
لدنياك كأنك تعيش أبدا ، و اعمل لآخرتك كأنك تموت غدا
Artinya: "Bekerjalah kamu untuk duniamu seakan kamu hidup
selamanya, dan bekerjalah kamu untuk akhiratmu seakan kamu mati esok hari"
Manivestasinya dalam kehidupan misalnya, orang kaya diperintah membantu
yang miskin, tapi orang miskin dianjurkan berusaha, jangan mengandalkan hidup
kepada yang kaya. Kamu kaya? Betul pak, bantu yang miskin, kamu miskin? Iya
pak, berusaha. Tuan rumah diwajibkan menghormati tamu, tamupun di wajibkan tau
diri, seimbang. Jadi bagaimana kalau kita sudah bekerja di sawah di lading di
pasar di kantor? Anggap kita akan hidup selama nya agar timbul gairah kerja,
tapi jika lagi sholat anggaplah kita akan mati besok supaya timbul khusyuknya.
Nah, titik tekannya dimana? Stress nya itu. Walaupun islam mengajarkan
system keseimbangan, Allah
menggarisbawahi dalam Al-Quran Surat Ad-Dhuha Ayat 4 yang berbunyi :
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ
الْأُولَىٰ
Artinya: “Dan sesungguhnya hari
kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)”. (Qs. Adh-Dhuha: 4).
Jadi, bagaimanapun seimbangnya
akhirat itu lebih utama daripada dunia. Bagaimana
implementasinya? Kata orang tua, kalau kita menanam padi maka rumput pun akan
ikut tumbuh tapi kalau menanam rumput, jangan mimpi tumbuh padi. Maksudnya
adalah kalau satu perbuatan kita niatkan karena Allah, maka dunianya pasti
ikut. Tapi kalau satu perbuatan diniatkan untuk dunia semata, akhirat akan
hilang. Oleh karena itu, biasakanlah melakukan segala sesuatu diniatkan lillahitaala
(hanya untuk Allah semata). Jadi, saya ulangi satu perbuatan kalo sudah
diniatkan karena Allah dunia biasanya ikut, tapi kalau diniatkan karena dunia
semata-mata, akhirat akan luput. Padahal itu titik tekannya surah adh-dhuha
ayat 4 tadi itu, bahwa akhirat lebih utama.
Saudara-saudara kaum Muslimin rahimakumullah.
Itu tujuan hidup. Jadi, landasan tempat kita
bertolak sudah jelas, pantai yang akan kita tuju dalam kehidupan ini juga sudah
nyata. Kita ingin mencapai apa yang dinamakan, Fiddun ya hasanah dan wafil
akhirati hasanah, untuk itu perlu keseimbangan tetapi titik tekannya tetap
akhirat lebih utama daripada kehidupan dunia ini.
Sekarang kita sudah paham tentang dasar hidup dan
tujuan hidup seorang muslim. Tentu harus ada alat untuk mencapainya. Semuanya
perlu sarana. Bahkan hakikatnya pada kaedah usul fiqih, para ulama
mengajarkan,
الْوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ
الْمَقَاصِدِ
(Al-Wasaailu
Lahaa Ahkaamul Maqaasidi)
Artinya: “Sarana-sarana itu memiliki hukum yang sama dengan tujuannya.”
Artinya: “Sarana-sarana itu memiliki hukum yang sama dengan tujuannya.”
Sarana dan tujuan hukumnya sama, Ini seharusnya
mendidik muslim untuk menjadi orang pintar. Jangan hanya berpikir untuk
melakukan suatu pekerjaan saja. Kita juga harus berpikir bagaimana menciptakan
sarana untuk terwujudnya pekerjaan tersebut.
Misalnya umat Islam diwajibkan pergi haji (bagi
yang mampu). Untuk pergi haji, kita harus melakukan perjalanan dengan
menggunakan pesawat terbang, dari Indonesia ke Mekkah. Artinya, umat Islam
harus maju di bidang teknologi dan penerbangan agar nantinya ia bisa
menciptakan pesawat terbang yang bisa mengantarkan Muslim untuk menunaikan
ibadah haji, atau menciptakan kapal laut untuk sarana pergi haji. Sarana yang
akan menyampaikan dia untuk melaksanakan ibadah haji.
Selama ini kita bertumpu pada pemikiran, “pokoknya
kan yang penting gue pegi haji, mau pake apa kek yang penting gua punya duit”.
Dari segi pribadi emmang gitu, tapi dari segi ummat yang harus mencapai
kemajuan apabila diperintahkan melaksanakan sesuatu kita pun hakikatnya
diperintahkan menciptakan sarana menunjang pelaksanaan sesuatu itu sendiri.
Agama mengajarkan:
النظافة من الإيمان
Artinya: “Kebersihan bagian dari iman.” (Riwayat Al-Khothib Al-Baghdadi
“Talkhishul Mutasyabih” 1/223)
Bahwa
kebersihan itu sebagian dari iman. Siapa yang menciptakan mesin cuci? Sabun,
diterjen dan lain sebagainya, siapa? Siapa yang menciptakan AC? Pembersih ruangan. Kitakan hanya berfikir,
“pokoknya bersih mau pake apa kek”. Kita jarang yang berfikir kepada pewujudan
tekhnologi moderen untuk menterjemahkan hadis ini.
Contohnya, umat Islam harus melaksanakan Shalat.
Syarat sah shalat diantaranya adalah suci badan, pakaian dan tempat. Bersih
dari kotoran dan najis. Mestinya orang Islam juga memikirkan cara bagaimana
membuat alat pembersih seperti sabun atau deterjen. Dalam hal menciptakan, kita
masih banyak tertinggal dari orang-orang barat. Kita lebih sering berlaku
sebagai konsumen bukan produsen. Oleh karena itu, mari segenap anak bangsa
Indonesia untuk senantiasa belajar berbagai macam cabang ilmu pengetahuan. Pada
akhirnya, buatlah berbagai macam hal berguna bagi bangsa. Utamanya adalah
membuat sarana-sarana yang dibutuhkan dalam menunjang peribadahan kita kepada
Allah.
Syukurlah, belakang ini sudah muncul
teknokrat-teknokrat Muslim yang dijiwai oleh semangat Al-Quran untuk membuka
tabir rahasia konsepsi Islam di lapangan teknologi modern. Semakin lama semakin
menunjukkan tuntutan kebutuhan dari umat itu sendiri. Dengan demikian, jika ada
tujuan hidup, kita juga memerlukan alat untuk mencapai tujuan tersebut. Supaya
tujuan fi dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah tercapai, apa alat yang
harus kita pakai?
Kita lihat Al-Quran Surat At-Taubah Ayat 111
memberikan jawaban:
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ ۚ يُقَاتِلُونَ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ ۖ وَعْدًا عَلَيْهِ
حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ ۚ وَمَنْ أَوْفَىٰ
بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ ۚ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ
ۚ وَذَٰلِكَ هُوَ
الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah
membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga
untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau
terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat,
Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada
Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan
itulah kemenangan yang besar”. (Qs. At-Taubah: 111).
Coba kita simak ayat ini sejenak
supaya Nampak jelas bahwa ayat ini merupakan satu transaksi yang nyata benar
Antara kita dengan Allah. Transaksi jual beli sudah terjadi dan itu langsung
dengan Allah, tertuang dalam pernyataan Al-Quran, pembeli Allah penjualnya
adalah kita orang-orang beriman.
Dagangannya adalah anfus dan amwal,
harganya adalah syurga. Itu sudah tanda tangan kita sudah siap jual beli ya
Allah, apalagi baiat kita apa?
اِنَّ
صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي ِﷲِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: ”Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah kerana
Allah, Tuhan seluruh alam”. (Qs. Al-An’am: 162).
Coba kita simak ayat ini sejenak, akan nampak
dengan jelas bahwa ayat ini hakikatnya merupakan satu transaksi yang nyata dan
benar antar manusia dan Allah. Transaksi jual-beli sudah terjadi, dan itu
langsung dengan Allah. Tertuang dalam pernyataan Al-Quran. Dalam ayat ini,
Allah sebagai Pembeli dan Manusia sebagai Penjual. Manusia yang dimaksud adalah
mereka yang beriman kepada Allah (Muslim). Barang dagangannya adalah Anfus
(diri) dan Amwal
(harta). Harganya adalah Surga. Itu sudah tanda-tangan pernyataan bahwa kita
siap siap jual-beli dengan Allah, apalagi kita sudah berbaiat. Baiat atau janji
yang selalu kita ucapkan dalam Shalat.
Dalam sehari semalam, seorang muslim telah membaca
baiat ini sebanyak 5 kali. Kita ulang dan kita ulang terus menerus setiap hari.
Lalu kenapa kita tidak konsisten/istiqomah dalam memegang baiat itu?
Dalam konteksnya dengan persoalan, maka alat hidup
kita itu ada dua.
Pertama, adalah anfus. Ini adalah bentuk jamak (plural/banyak)
dari mufrod (single/tunggal) kata nafsun (diri). Biasa di
terjemahkan dengan diri, yang dimaksud dengan diri adalah kepribadian.
Kepribadian di sini bermakna kekayaan yang kita miliki dalam kepribadian diri
kita. Artinya : tenaga, pikiran, konsep, gagasan, wewenang, ide, pangkat,
jabatan, kemampuan dan keahlian. Semua hal tersebut adalah arti dari kata anfus.
Kedua, amwal,
merupakan bentuk jamak dari mufrod kata maa lun (harta). Biasa diterjemahkan
dengan harta, pengertian di sini ialah segala bentuk-bentuk materi yang berada
di bawah kekuasaan kita. Artinya : rumah, uang, tanah, kebun, pabrik dan
peternakan. Semua hal tersebut adalah arti dari kata amwal.
Nah,
baik anfus atau amwal, diri baik jabatan, harta kek, wewenang
kek, kekuasan kek, keahlian kek, untuk tujuan jangka pendek harus menjadi
rahmah bagi lingkungan. Untuk tujuan untuk jangka panjang harus bisa menjadi
penunjang untuk menggapai ridho Allah.
Kalau pangkat yang kita miliki malah jadi
menjauhkan diri dari ridho Allah, berarti itu bukan nikmat melainkan adzab.
Seseorang yang punya pangkat, tapi ia tidak melakukan kebaikan malah melakukan
kejahatan atau setidak-tidaknya ia berdiri di belakang kejahatan. Ia malah
melindungi hal-hal kemungkaran. Dalam kelas kekap, ia melindungi orang yang
korupsi. Dalam kelas teri ia jadi backing tukang koprok (pukul). Itu
sudah menyalahi. Alat sudah di salah gunakan, pangkat tidak ia gunakan untuk
mencapai tujuan (baik dunia atau akhirat). Itu untuk tujuan jangka pendek.
Lalu tentang amwal (harta), harus menjadi
rahmah bagi lingkungan sedangkan untuk tujuan jangka panjang, baik diri maupun
harta harus menunjang jalan menuju ridho Allah, harus meningkatkan prestasi
ibadah kita kepada Allah SWT.
Malah yang namanya amwal ini tanggung
jawabnya lebih berat. Seseorang yang memiliki harta yang banyak akan disidang
di akhirat lebih lama daripada orang yang hartanya sedikit. Lain halnya dengan
orang yang berilmu, yang akan ditanya, “Ilmumu kau gunakan untuk apa?”
Sedangkan orang yang punya harta akan ditanya, “Hartamu, kau dapat darimana dan
kau belanjakan kemana?” Darimananya (asal) dan kemananya itu harta akan
ditanyakan kepadamu. Depan dan belakangnya di tanya.
Sebab kadang-kadangkan ada orang dapat harta dari
jalan yang halal tapi dibelanjakan di jalan yang haram. Ia kerja, peras
keringat, banting tulang setengah mati tapi begitu dapat duit ia malah beli
untuk buntutan (taruhan/togel). Muter-muter kertas untuk cari kode, di dapat
dari jalan halal lalu di belanjakan dengan jalan Haram. Atau hartanya didapat
dari jalan haram lalu dibelanjakan di jalan yang baik. Ada orang yang menang
judi lalu ia nyumbang untuk pesantren. Hal ini keliru.
Nabi mengajarkan:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: (إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ
يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبَاً…….
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya
Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik….”. (HR. Muslim).
bahwa Allah
itu baik dan hanya menerima hal yang baik-baik. Tidak bisa seseorang mencuci
kain dengan air najis. Kainnya akan tetap kotor.
Saudara-saudara kaum Muslimin rahimakumullah.
Oleh karenanya masalahnya terpaku kembali kepada
kita sendiri yang harus pandai-pandai dalam membagi orientasi. Suatu saat kita
tenggelam ke dalam urusan dunia dan seluruh isinya untuk mencapai tujuan jangka
pendek. Tapi di saat yang lain, kita harus memfanakan diri dalam artian
merenungi diri bahwa hidup ini tidak akan lama, ada akhirat yang harus
dihadapi. Karena kehiudpan ini bukan berjalan tanpa batas umur ini bukan satu
karunia tanpa tanggung jawab satu saat setuju atau tidak, rela atau terpaksa
kita akan sampai pada garis finis dari kehidupan dunia ini yang emmang
merupakan perjalanan panjang A walking tall kata orang kulon. Satu jalan yang demikian
jauhnya, entoh kita akan sampai ke garis finish.
Bila ajal datang dan senja kehidupan telah tiba,
kita tidak dapat menghindarinya. Datangnya ajal tidak dapat kita sangka. Namun
saat ia datang, tidak ada satu kekuatan pun yang dapat menolaknya. Kehadirannya
tidak pernah kita harapkan tetapi satu kali kematian datang bertamu, maka hal
itu pasti akan terjadi. Dan itu pasti akan kita temui. Alangkah malangnya, jika
saat itu datang, saat kematian menjemput dan kita tidak mempunyai satu prestasi
ibadah sebagai bekal untuk akhirat. Naudzubillahi min dzalik!
Lalu apa artinya prestasi dunia? Apa artinya tujuan
jangka pendek kalau kita kehilangan tujuan jangka panjang? Rumah kita yang
besar, pangkat kita yang tinggi, harta kita yang banyak, bisakah semua itu
membantu kita saat nanti dikumpulkan di Padang Mahsyar?
Apa bisa kita lalu berkata, “Malaikat, jangan
gebukin saya! Rumah saya harganya 2 milyar. Sudahlah, Malaikat. Kita damai
saja. Itu mobil Roll Royce saya, pake saja malaikat, pake.” Kata Malaikat, “gua
kagak butuh.”
Hanya prestasi ibadah yang dapat menyelamatkan kita
pada kondisi di akhirat nanti. Oleh karena itu sodara-sodara biar dan biar
rumah kita di dunia ini,Rumah besar, uang banyak, pabrik ada, usaha lancar asal
di akhirat masuk syuuuurgaa ajah, gak apa-apa. Dari pada di dunia sengsara di
akhirat celaka lah senangnya kapan? Sudah disini sengsara disana keblangsat itu
yang orang tua bilang Lacur muda, pelan di kecut kenceng di di gertak,
setengah mati serba salah, udah kalau bisa ngomong, “gua setengah mati serba
salah, pelan di kecut, kekencengan di tarik”, ini yang namanya lacur muda
begitu, serba salah posisinya. Oleh karena itu pandai-pandailah membagi
orientasi supaya tercapai tujuan ideal ini, fiddun ya hasanah dan wafil
akhirati hasanah.
Ini tentang tujuan hidup, nah untuk
mencapai tujuan ini? Kita tidak berjalan sendiri, kita perlu teman hidup,
disamping teman hidup ada pula lawan hidup, siapa teman hidup kita untuk
mencapai tujuan hidup ini? Teman hidup dalam arti sempit adalah pasangan
(suami/istri) yang taat kepada Allah dan hidup berdua secara rukun, harmonis,
selaras dan seimbang dan saling melengkapi merupakan satu bagian dari
kehidupan, suami adalah teman istri dan istri adalah teman suami untuk mencapai
tujuan hidup tadi, mencapai fiddun ya hasanah dan wafil akhirati
hasanah. Seiring, seirama, selaras, seimbang kata orang sekarang.
Sedangkan dalam arti luas, teman hidup adalah orang
lain yang memiliki satu pemahaman yang sama, satu aqidah, satu keyakinan, baik
itu dari suku atau bangsa manapun dan satu pandangan hidup yang sama. Islam
tidak kenal teritorial. Maka tidak ada itu Islam Jepang, Islam Cina,
Islam Indonesia. Yah walaupun secara formalnya ada tapi secara informal muslim
adalah muslim. Apa pun warga negaranya. Apa pun warna kulitnya. Apa pun
bahasanya. Muslim diikat oleh aqidahnya terhadap Islam.
Itu teman hidup dan ada lawan hidup itu siapa ?,
yaitu iblis (dalam segala bentuk dan implementasinya). Dan kedua setiap orang
yang pandangan hidupnya tidak sama dengan kita secara ideologis itulah lawan
hidup kita. Maka yang teman jadikan teman yang lawan jadikan lawan, jangan
teman dijadikan lawan, lawan di jadikan teman itu namanya kopiah di pasang di
kaki lalu sepatu naik ke jidat. Wajar lalu kepala jadi benjol, salah pilih
teman, salah cari lawan akibatnya kita yang akan susah di kemudian hari nanti.
Saudara-saudara kaum muslimin rahimakumullah.
Oleh karenanya, pandai-pandailah dalam hidup ini
yang teman jadikan teman, yang lawan jadikan lawan. Kalau lawan kita jadikan
teman, sementara teman kita jadikan lawan dan itu yang banyak terjadi dalam
praktek kehidupan, kita tidak akan bisa
mencapai tujuan, karena akan bertarung di kaki sendiri.
Ini sajalah yang kita bicarakan opada pertemuan
kali ini, mudah-mudahan ada manfaatnya. Terima kasih atas segala perhatian dan
mohon maaf atas segala kekurangan.
وَعَلَيْكُمْ
السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar