Jumat, 13 Juli 2018

Dasar, Landasan, Tujuan Hidup dan alat mencapainya serta Teman hidup.



TEMA : DASAR DAN TUJUAN HIDUP SEORANG MUSLIM
لْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأََشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛
Saudara-saudara kaum Muslimin rahimakumullah.
Sesungguhnya gaya hidup seseorang sangat ditentukan dari bagaimana cara ia memandang hidup ini. Dengan kata lain, bagaimana seseorang memandang hidup, begitulah ia akan hidup. Oleh sebab itu, untuk mengubah keadaan seseorang maka harus diawali dahulu dengan mengubah cara pandang ia tentang kehidupan. Itulah sebabnya dalam Al-Quran Surat Ar-Ra’d Ayat 11 Allah berfirman :
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (Qs. Ar-Ra’du: 11).
Mengubah keadaan atau mengubah sesuatu dalam diri seseorang itu tidak lain adalah mengubah Rule of Thinking atau State of Mind (cara berpikir/cara mereka  memandang kehidupan). Oleh karena itu, pada kesempatan ini, kita akan membahas tentang Dasar dan Tujuan Hidup Seorang Muslim di dalam kehidupan.
Yang pertama kita akan membicarakan Dasar dan Landasan Hidup Seorang muslim di dalam kehidupan.
Seorang muslim mendasarkan/menyandarkan kehidupannya kepada Islam. Tentang hal ini, Allah menuntut muslim agar masuk ke dalam Islam itu secara keseluruhan. Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 208, Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (Qs. Al-Baqarah: 208).
Artinya seorang muslim harus masuk Islam itu tidak separuh-separuh/sebagian-sebagian melainkan harus seluruhnya. Mendasari hidup dengan Islam artinya seorang muslim menjadikan Islam sebagai Way of Life (Pedoman/Jalan Kehidupan), sebagai Rule of Thinking, sebagai State of Mind di dalam memecahkan setiap permasalahan hidup. Sehingga tidak ada satu permasalahan hidup yang bagaimana pun kecilnya, yang tidak tersentuh oleh nilai-nilai ajaran agama Islam.
Dengan mendasari hidup kepada Islam, seorang muslim memiliki keyakinan yaitu :
  1. Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia
  2. Islam adalah agama bagi seluruh manusia
  3. Islam adalah agama terakhir yang diturunkan kepada rasul terakhir yaitu Nabi Muhammad Shollalohu Alaihi Wassalam
  4. Islam adalah agama yang benar
Pertama, Islam sebagai dasar hidupnya adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Allah Subhanahu Wataala adalah pencipta manusia. Allah Subhanahu Wataala yang menurunkan agama Islam. Oleh sebab itu, seluruh konsepsi Islam ini, sudah diukur dan diatur sedemikian rupa sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh manusia.
Secara logika, bisa kita katakan sebuah Pabrik Mobil di Jerman misalnya, membuat mobil yang dinamakan Mercy. Seiring dengan itu, dikeluarkanlah buku petunjuk bagaimana cara penggunaannya. Misalnya petunjuk itu berisi : Mobil ini bernama Mercy, kecepatan maksimal sekian ratus kilometer/jam, daya angkutnya sekian ratus kilogram, kalau rusak memperbaikinya di sini, spare part-nya dapat dicari di sini. Karena pabrik itu yang membuat mobil, lalu pabriknya juga yang mengeluarkan buku petunjuk, tentu buku itu sesuai benar untuk mobilnya. Dan logika mengatakan, tidak bisa kita mempunyai mobil Mercy yang rusak lalu memperbaikinya dengan buku petunjuk dari pabrik mobil Fiat. Tentu saja mobil akan rusak acak-acak dan tidak karuan karena tidak sesuai.
Ini artinya, jika manusia ingin baik dan jika manusia ingin mencapai kebahagiaan maka ia harus mengikuti petunjuk yang dikeluarkan oleh Dzat Yang Menciptakan Manusia yaitu Allah Subhanahu Wataala. Dan petunjuk-petunjuk itu telah turun dalam sebuah konsepsi bernama Islam yang sesuai dengan fitrah manusia.
Kedua, seorang muslim berkeyakinan bahwa Islam adalah agama bagi seluruh manusia. Bersifat universal. Walaupun Islam diturunkan di negara Arab tetapi Islam bukanlah agama bagi bangsa Arab saja. Keyakinan ini perlu ditegakkan kembali, oleh karena akhir-akhir ini muncul pendapat-pendapat yang menganggap seolah-olah agama Islam itu agama import. Silakan saja kalau memang itu merupakan keyakinannya. Tetapi menganggap agama sebagai barang import, sungguh merupakan satu kekeliruan yang sangat besar.
Di negara Arab, sebagian besar penduduknya menganut agama Islam, itu benar. Tetapi Islam bukanlah hanya Arab. Kita bisa menjadi seorang muslim yang baik tanpa perlu menjadi orang Arab. Dengan kata lain, kita bisa menjadi muslim yang baik dengan tetap menjadi warga negara Indonesia yang baik.
Al-Quran memang diturunkan di tanah Arab dan berbahasa Arab, namun tidak ada satu pun ayat di dalam Al-Quran yang berisi seruan yang ditujukan semata-mata hanya untuk orang Arab, misalkan Ya Ayyuhal Arrobiyyun (Wahai Orang-orang Arab) tetapi berisi seruan Ya Ayyuhan Nas (Wahai Para Manusia) atau Ya Ayyuhalladzina Amanu (Wahai Orang-orang Yang Beriman).
Ketiga, seorang muslim berkeyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan kepada rasul terakhir yaitu Nabi Muhammad Shollalohu Alaihi Wassalam. Dasar-dasar keyakinan ini melembaga dalam pribadi setiap muslim. Segala aspek kehidupan dari hal terkecil hingga yang luas, dari kita bangun tidur hingga tidur lagi, semua kegiatan manusia selama 24 jam sehari, tidak ada satu pun yang tidak tersentuh oleh nilai-nilai Islam itui sendiri.
Inilah pandangan hidup seorang muslim. Sebuah jawaban dari problema-problema kehidupan yang dihadapinya. Ia merupakan seorang muslim yang Islam Oriented artinya berorientasi kepada nilai-nilai Islam. Halal kata Islam, halal ia katakan. Haram kata Islam, haram ia ucapkan. Itu adalah Islam Oriented. Barometer dari perbuatannya tidak lain adalah nilai-nilai Islam itu sendiri.
Dan dengan mendasari hidup kepada Islam, seorang muslim memiliki keyakinan bahwa Islam adalah agama yang benar. Bahasa kerennya, Islam is the single one, the true religion behind the God. Satu-satunya. Keyakinan ini kelihatannya subjektif. Tetapi memang inilah pokok dari kehidupan orang yang beragama.
Saudara-saudara kaum Muslimin rahimakumullah.
Kalau yang telah dijelaskan tadi adalah dasar dari kehidupan kita sebagai muslim, lantas apa yang menjadi landasannya? Kalau dasar hidup kita adalah Islam maka landasan hidup kita tidak lain adalah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shallalahu Alaihi Wassalam.
Dunia penuh dengan orang-orang besar. Dan setiap dari mereka itu mempunyai ajaran-ajaran yang pernah jaya, dikumandangkan, didengung-dengungkan, naik ke panggung sejarah untuk kemudian tenggelam atau dilupakan.
Satu ajaran akan langgeng dan tahan lama apabila turun dari sumber yang serba Maha. Kalau ia turun dari manusia maka sifatnya hanya musiman. Yang namanya musim itu tidak bisa dilarang tetapi kalau sudah selesai musimnya maka akan habis dengan sendirinya.
Misalnya musim rambutan. Kalau ada musim rambutan, apakah bisa dilarang? Gak boleh, gak boleh ada musim rambutan, kata seseorang. Ya tidak bisa. Ia akan tumbuh terus. Tapi manakala musimnya habis, ya habislah. Begitulah ajaran dari agama yang nisbi, relatif dan temporer. Ia akan habis dengan sendirinya.
Al-Quran turun dari sumber yang serba Maha. Sedangkan sunnah adalah penjelasan dari ajaran Al-Quran yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran secara lebih detil. Melengkapi apa yang disebutkan dalam Al-Quran secara garis besarnya saja. Misalnya dalam Al-Quran disebutkan bahwa seorang muslim harus berwudhu/bersih-bersih/thaharah sebelum melaksanakan sholat. Maka di dalam sunnah nabi dijelaskan bagaimana lebih rinci tentang bagaimana tata cara berwudhu yang baik dan benar.
Baik Al-Quran dan Sunnah, kita sebut sebagai landasan yang primer. Untuk memahami keduanya, kita perlu ajaran/ilmu dari orang-orang yang ahli dalam bidang itu. Dalam hal ini kita sebut sebagai ulama (orang yang memiliki ilmu dan paham tentang islam). Dan ini merupakan sumber yang sekunder dari landasan hidup kita sebagai seorang muslim. Dua rel ini, Al-Quran dan Sunnah merupakan landasan dimana kereta api Islam berjalan.
Saudara-saudara kaum Muslimin rahimakumullah.
Oleh karenanya marilah kita jadikan Al-Quran dan Sunnah ini sebagai imam dalam kehidupan kita. Bukankah Rasulullah Shallalahu Alaihi Wassalam pernah memberikan pilihan, yang beliau sebutkan dalam sabdanya :
مَنْ جَعَلَ اْلقُرْآنَ اَمَامَهُ قَادَهُ اِلىَ الْجَنّةِ وَمَنْ جَعَلَ الْقُرْآنَ خَلْفَهُ سَقَّاهُ اِلىَ النَّارِ
Artinya: “Siapa saja yang menjadikan Al-Qur’an sebagai imam maka Al-Qur’an akan membimbing ia ke dalam surga tetapi siapa saja yang menjadikan Al-Qur’an sebagai makmum maka Al-Qur’an akan mendorong ia ke dalam neraka.”
Siapa yang meletakkan Al-Qur’an di depannya dijadikannya Al-Qur’an sebagai imam dan dia sebagai makmum maka Al-Qur’an akan membimbing dia ke syurga ya syurga dunia ya syurga akhirat nanti. Sebaliknya siapa yang meletakkan Al-Qur’an di belakangnya dia belakangi ajaran dan konsepsi Al-Qur’an dia tinggalkan perintah-perintah Al-Qur’an, maka Al-Qur’an yang di belakanginya itu akan mendorong dia ke neraka, neraka dunia lebih-lebih neraka di akhirat nanti.
Pilihan terserah kita, jikalau kita mau menjadikan Al-Qur’an sebagai imam artinya kita menjadi makmum. Resikonya, dimanapun makmum itu wajib mengikuti imam. Seperti dalam shalat, misalkan imam sedang takbir maka makmum pun harus takbir. Imam ruku, makmum ruku. Imam i’tidal, makmum i’tidal.
Jikalau Al-Qur’an imam kita dan kita adalah makmum, maka itu berarti jika kebarat komando Al-Qur’an maka kebarat kita pergi, jikalau ketimur kata al-Qur’an maka ketimur kita menuju, jika halal kata Al-Qur’an halal kita katakan, jikalau haram kata Al-Qur’an maka halal kita bilang. Itu resikonya kita menjadi makmum menyusun pola hidup yang lebih Al-Qur’ani. Tapi sebalinya kebarat komando al-Quran ketimur kita pergi keutara kata Quran keselatan kita menuju, halal kata al-Quran malah kita tidak melaksanakannya, haram kata Al-Qur’an kita senang bukan main.
Artinya kita mau menjadikan al-Quran makmum dan kita sendiri malah mau menjadi imam. Kita paksa konsepsi al-Quran itu supaya sesuai dengan naluri kemanusiaan kita, mengkotak-atik hukum, menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal di kala itu landasan hidup kita sudah goyah tidak lagi menjadi landasan tempat kita bertolak, tetapi malah menjadi satu landasan yang kita injak-injak.
Sesungguhnya sodara-sodara, Al-Quran tidak akan membawa berkah, tidak akan menjadi rohmatun wa syifa un lil mukminin, menjadi penyembuh, menjadi rahmah bagi orang-orang yang beriman apabila yang kita baca itu kita injak-injak di dalam kehidupan.
Upaya menyusun hidup yang lebih Qur’ani ini sesuai dengan usaha kita menjadi warga negara yang baik, yang saya katakan di awal tadi, tidak saling dan tidak harus saling bertentangan.
Jadi dengan dmeikian dasar hidup kita sebagai muslim adalah islam dan lanmdasan hidup kita tidak lain adalah Al-Quran dan sunnah Rasulullah saw. Ini landasan tempat kita bertolak, ini yang mewarnai gaya kehidupan kita. Apapun yang mau kita lakukan, tempat kita bertanya terlebih dahulu Quran dan sunnah .
Misalnya, saya akan melakukan pekerjaan ini, lalu apa kata Al-Quran tentang hal tersebut? Saya mau pergi ke tempat ini, apa kata Al-Quran? Saya mau berusaha dengan mengerjakan perusahaan ini, apa kata Al-Quran?. Merupakan landasan dalam kehidupan kita, ini yang saya katakan tadi membentuk Rule of Thinking, State of mind  bahwa gaya kehidupan kita diwaranai oleh landasan hidup yang bertumpu pada ajaran Al-Qur’an nulkarim dan ajaran Rasulullah saw.
Baiklah yah, inilah yang pertama tentang dasar dan landasan hidup.
Kedua, adalah tentang Tujuan hidup seorang muslim.
Kalau sudah ada landasan tempat kita bertolak, lalu kemana pantai yang akan kita tuju? Mau apa sih kita hidup ini? Berleha-leha, menjalani acara rutin, bangun tidur sampai tidur lagi kemudian besok begitu lagi sampai menunggu datangnya sang ajal atau adakah satu tujuan yang akan kita capai dalam kehidupan ini?
Apabila kita teliti, maka Al-Quran mengajarkan tujuan hidup setiap Muslim itu pada dasarnya ada dua.
Pertama, kita sebut saja tujuan jangka pendek. Tujuan jangka pendek itu sasarannya adalah dunia yang kita tinggali sekarang ini. Bentuknya adalah horizontal. Targetnya adalah agar setiap pribadi Muslim menjadi rahmatan lil ‘alamin. Rahmah bagi lingkungannya. Inilah yang agama Islam sebut sebagai Hablu Minannas (hubungan antar sesama manusia), yang isinya adalah ilmu dan peradaban.
Jadi dunia dan seluruh isinya merupakan tujuan jangka pendek saja. Untuk mencapai tujuan jangka pendek (dunia dan seluruh isinya) maka unsur penunjangnya adalah :
  1. Pendidikan
  2. Pengalaman
  3. Nasib
Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah ia menjangkau hidupnya. Semakin banyak pengalaman, semakin mudah menguasai dunia. Atau karena faktor nasib. Misal pendidikannya tidak seberapa, pengalaman pun kadang-kadang dangkal, tapi karena nasihnya lagi hoki, nasibnya lagi bagus, akhirnya dia bisa naik ke panggung dan memegang peranan. Faktor nasib ini ada, tetapi tidak bisa dijadikan sandaran. Untuk menjangkau dunia dan seluruh isinya unsur penunjangnya pertama pendidikan, pengalaman, faktor nasib.
Oleh karena itu, jika kita ingin mudah mencapai dunia maka langkah pertama adalah bagaimana cara kita bisa menempuh suatu pendidikan. Kita harus mau untuk belajar dan mau bersekolah untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Pada zaman sekarang, orang-orang terangsang untuk hidup dalam pola Hardolin. Hardolin adalah istilah orang-orang Priangan (Sunda) yang merupakan singkatan dari Dahar, Modol, Ulin (Makan, Buang Hajat, Bermain). Ini adalah filsafat hidup yang jelek dimana pakaian mau bagus, makan mau enak, mau punya uang tetapi tidak mau bekerja. Akhirnya ia menjadi pengkhayal kelas berat dan tukang-tukang lamun kelas tinggi. Tiap hari hal yang lakukan tidak lepas dari tiga hal tadi.
Kadang-kadang ia mau kerja tetapi tidak tahu apa yang harus ia kerjakan. Ditambah lagi sempitnya lapangan pekerjaan. Ia tidak tahu mau kerja apa, karena minimnya pendidikan yang ia terima. Sehingga mau kerja apa lalu bingung
Oleh karena itu terutama buat adek-adek remaja, para pemuda saya berpesan untuk menjangkau dunia yang pertama harus punya pendidikan yang baik. Tao kata Drop Out. Bahkan orang-orang besar di luar sana banyak yang bermula dari seorang loper koran. Many great people start as newspaper boy.
Banyak orang-orang besar yang memulai pekerjaannya dengan berdagang koran. Putus sekolah bukan menjadi halangan untuk menggapai cita-cita yang mulia. Dan tidak sedikit orang-orang besar yang bukan lulusan perguruan tinggi tetapi ia bisa sukses. Tidak sedikit orang besar yang bukan dari produk perguruan tinggi tertentu tapi karena kerjaninannya belajar, banyak membaca, banyak bergaul, otodidak. Syukur jika bisa menempuh pendidikan yang formal.
Kekurangan ekonomi, kemiskinan keluarga jangan menjadi penghalang bagi tumbuhnya cita-cita yang tinggi untuk menempuh karier pendidikan yang baik. Ini memang pahit, tapi bagaimanapun kata orang, lebih baik makan singkong beneran daripada makan roti tapi ngimpi. Artinya, jika perlu lebih baik sekolah sambil dagang koran, nyemir sepatu, markir mobil daripada Hardolin itu tadi. Tanpa prospek masa depan yang tidak ada artinya.
Dan pendidikan memang sesuatu yang pahit, banyak yang dikeluarkan seperti uang dan tenaga. Tapi tampa ini rasanya kita akan sulit untuk menjangkau dunia, tersisih di pojok-pojok kehidupan. Jangan bilang, “Ah manusia kan rezekinya sudah dijamin oleh Allah. Ayam saja ada rezekinya.”
Tentu saja. Tetapi jangan lupa, cara ayam mencari rezeki dan manusia mencari rezeki itu berbeda. Kalau ayam cari rezeki, dari tahun 0001 sampai 2017 bahkan sampai kiamat nanti, ia hanya bermodalkan patuk dan ceker ayam. Asal ia bisa matuk dan nyeker (mengais-ngais makanan di tanah), ayam bisa makan, asal bisa matok bisa nyeker dapat rezeki, pokoknya kertok dah.
Beda halnya dengan manusia. Manusia harus mencari lapangan pekerjaan untuk mencari rezekinya. Sekarang lapangan pekerjaan itu sulit. Misalkan ia sudah dapat pekerjaan, ia juga dituntut untuk memiliki keahlian. Untuk memperoleh keahlian, harus memiliki pendidikan. Belum lagi ia harus berhadapan dengan saingan-saingan. Karena pasaran tenaga kerja Setiap tahunnya, banyak orang yang mencari kerja. Ratusan bahkan bisa ribuan orang mencari pekerjaan.
Ini adalah kenyataan. Semakin ke depan, mencari pekerjaan akan semakin sulit. Tingginya tensi ekonomi, persaingan hidup yang makin tajam, merajalelanya pola pikir industrialis yang membuat manusia menjadi individu (tidak peduli ke orang lain/mementingkan diri sendiri). Kehidupan akan terasa semakin berat. Oleh karenanya, tanpa bekal pendidkan, kita akan sulit untuk menjangkau dunia.
Kedua, adalah pengalaman. Sehingga orang-orang mengatakan bahwa Experience is the best teacher. Pengalaman adalah guru yang paling bijaksana, paling baik. Dengan pengalaman, kita akan semakin dewasa. Dan orang sering mengatakan bahwa kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Jangan takut gagal kalau nantinya hal itu bisa membawa kita ke dalam pola hidup yang lebih dewasa, lebih tegar dan lebih sanggup menghadapi kesulitan-kesulitan.
Ketiga, adalah nasib. Kadang-kadang orang pendidikannya tidak ada. Kadang-kadang pengalamannya tidak seberapa tetapi karena nasib ia bisa berhasil. Misalnya Engkongnya itu Komandan Hansip maka ia bisa naik jadi anggota Hansip. Itu karena faktor nasib saja. Hal-hal seperti ini memang terjadi di masyarakat kita. Tetapi jangan jadikan faktor nasib sebagai sandaran. Dalam arti bahwa kita lalu mengandalkan nasib.
Misalnya seseorang ditanya, “Lo ntar kalo gede mau jadi apa?”
Ia menjawab, “Gue mah gimana nasib aja dah. Jadi orang, syukur. Jadi gembel, ya nasib.”
Tidak bisa kita menjalani hidup dalam suatu alur spekulasi. Tidak bisa kita mengikuti skenario hidup dengan sikap untung-untungan. Kehidupan memang banyak ketidakpatian tetapi setidaknya kehidupan seseorang itu bisa dirancang, direncanakan, ditargetkan dan dianalisa kemungkinan-kemungkinannya. Walaupun tidak bisa dipastikan tetapi bisa diperhitungkan.
Sebagai manusia yang terikat oleh casuality (hukum sebab-akibat), maka sewajarnya kita bisa memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan itu. Kira-kira dalam rentang waktu 5, 10, atau 15 tahun ke depan, bagaimana kesulitan-kesulitan hidup yang dapat kamu hadapi? Sejauh mana persaingan dalam hidup? Sebanyak apa tenaga kerja dibutuhkan? Sejauh mana skill menunjang ke arah itu? Kalau tidak kita pikirkan, kita akan tersisih di sudut-sudut kehidupan. Kita akan sering menjadi penonton daripada menjadi pemain. Padahal kita ingin menjadi pemain, kita ingin aktif, kita ingin mempunyai peranan, karena oleh agama Islam kita dituntut untuk menjadi rahmatan lil alamin. Menjadi rahmah di lingkungan dimana kita tinggal. Mewarnai lingkungan bukan cuma diwarnai oleh lingkungan itu sendiri.
Itu tadi tujuan jangka pendek sebagai tujuan yang pertama. Kemudian apa tujuan jangka panjang dari seorang muslim?
Kedua, adalah tujuan jangka panjang dengan sasarannya akhirat. Bentuknya vertikal. Targetnya adalah mardhotillah (mencari keridhoan Allah). Dan ini yang oleh agama Islam disebut Hablu Minallah (hubungan antara manusia dengan Allah). Tali vertikal yang menghubungkan manusia langsung dengan tuhannya. Untuk mencapai tujuan jangka panjang akhuirat ini, unsur penunjangnya adalah prestasi ibadah.
Kalau untuk tujuan jangka pendek (dunia dan seluruh isinya) manusia membutuhkan pendidikan, pengalaman dan nasib yang memegang peranan sangat penting. Namun untuk akhirat, ketiga hal tersebut tidak terlalu berpengaruh karena unsur penunjangnya adalah prestasi ibadah. Bagaimana pun tingginya pendidikan atau banyak pengalaman tetapi tanpa prestasi ibadah nol besar kita di hadapan Allah SWT.
Saudara-saudara kaum Muslimin rahimakumullah.
Itu sebabnya seorang muslim melakukan shalat, puasa, haji dan zakat. Walaupun misalkan adanya target dunia, itu semua hanya side effet. Sekedar satu efek sampingan karena target utamanya adalah tujuan jangka panjang (akhirat dan ridho Allah).
Kenapa kita shalat? Untuk mencari ridho Allah. Kenapa kita laksanakan ibadah haji? Untuk mencari ridho Allah. Kita bangun di keheningan malam guna melakukan shalat Tahajud, itu karena untuk mencari ridho Allah.
Kalau ada akibat dunia, maka itu akibat sekunder saja. Misalnya, ada seseorang yang tekun ibadah dan rezekinya lancar. Itu baru persekot (bonus) atau tanda jadi. Kadang-kadang bonusnya saja sudah nikmat kok, apalagi cash-nya, kontannya. Sebaliknya, misalkan ada seorang yang rajin ibadah tetapi rezekinya seret (kurang). Jangan jadi alasan untuk tidak beribadah.
Seseorang ditanya, “Kok elu gak shalat?”
Ia menjawab, “Alah, tetangga gua sembahyang melarat terus”.
Ya, memang. Shalat itu bukan untuk target dunia. Bukan untuk kaya. (kalau mau kaya, kamu mesti bekerja). Shalat merupakan targetnya akhirat. Oleh sebab itu, seorang muslim adalah seorang yang berpandangan luas dan berjiwa lapang. Maksudnya apa? Tujuan jangka pendek dan jangka panjang ini harus ia raih keduanya. Inilah yang diajarkan oleh Al-Quran bahwa Muslim itu harus Fi dunya hasanah, wafil akhiroti hasanah artinya ia mempunyai kebaikan dan kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat.
Tercapai kesuksesan di dunia dan kebahagian di akhirat itu arti Hasanah, jangan macam orang dulu punya istri dua pergi haji yang satui yang muda namanya hasanah yang tua namanya khadijah. Waktu tawaf keliling ka’bah si suami ini nggak bisa doa apa-apa kecuali rabbana atina itu, putaran pertama Rabbana atina fiddun ya hasanah wafil akhirati hasanah, putaran kedua baca lagi doa itu Rabbana atina fiddun ya hasanah wafil akhirati hasanah, ini istri tuanya yang namanya khadijah dengerin ajah. Akhirnya di suatu saat dia colek suaminya, “Bang, mentang-mentang khasanah bini muda disebutin melulu, saya dong disebutin dalam do’a”, “ suaminya nyahut “Iyadeh, ntar di putaran selanjutnya”. Suaminya blo’on juga, putaran selanjutnya dia baca, Rabbana atina fiddun ya hasanah wafil akhirati khodijah.
Sodara-sodara itu refleksi dari do’a itu tadi, doa sapu jagat. Kita ingin fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah, tujuan jangka pendek dunia tercapai, dan tujuan jangka panjang akhirat dan ridho Allah juga tergapai. Oleh sebab itu Al-Quran menjelaskan:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Qs. Al-Qashash: 77).
Cari akhirat, utamakan akhirat dengan tidak usah melupakan jatahmu di dunia. Kenapa saya katakan seorang muslim harus berjiwa besar? Sebab andaikata ia gagal mencapai tujuan jangka pendek, andaikata dia gagal di dunia dan ia oloeh islam dianjurkan jangan sampai gagal, tapi andaikata dia gagal  ia masih bisa mencapai tujuan jangka panjang, akhirat dan ridho Allah. Dia masih bisa menghibur dirinya, “Biarlah di dunia ini kita susah, asalkan nanti di akhirat bisa berbahagia.”
Bagi orang yang tidak mempunyai pandangan hidup seperti ini maka Surganya dia adalah dunia yang sedang ia tinggali sekarang ini. Segalanya telah tertumpu di sini. Bila umurnya selesai dan ajalnya datang maka habis juga Surganya. Dan dia tidak mempunyai pengharapan lain di belakang itu. Maka seluruhnya bertumpu kepada kehidupan di dunia. Padahal dunia ini seperti air laut, makin diminum makin haus dan makin kering tenggorokan. Jika dunia yang diperturutkan maka ia akan menyeretnya ke dalam lingkaran setan dan terjebak ke dalam sifat tamak bin rakus alias serakah.
Andaikata dia gagal untuk tujuan jangka pendek dia masih ada harapan untuk tujuan jangka panjang akhirat, dia masih bisa berkata, “akh, biarlah di dunia miskin asal akhirat senang”, atau bahkan berkata, “Biar keblangsat susah di dunia, asal diakhirat kita bisa bahagia”. Kan masih ada harapan.
Yang paling rusak itu adalah orang yang dunianya sengsara dan di akhiratnya celaka. Naudzu billahi min dzalik. Misalnya, di dunia ini ia rumahnya gubuk, di samping kali dan miring lagi. Asal hujan, bocor. Utangnya selebar warung. Shalat, nggak. Ngaji gak pernah. Puasa, nggak. Tiap malem, ngeluh terus.
Sodara hadirin yang saya hormati.
Lalu kapan mau bahagia? Kalau di dunia merana, di akhirat sengsara. Oleh karena itu, sikap seorang muslim itu harus berjiwa besar luas pandangan dan optimis. Sebuah kegagalan dia dalam jangka pendek (dunia) tidak boleh menghalangi dirinya untuk mencapai akhirat. Seorang muslim harus punya jiwa besar dan optimis.
Sikap yang kedua bagi seorang Muslim adalah cara ia melaksanakan tujuan jangka pendek disertai dan diwarnai oleh keyakinan adanya tujuan jangka panjang.
Dia memang benar cari harta tetapi karena dia yakin ada akhirat ia akan bepikir, apakah Allah akan ridho atau tidak jika ia melakukan pekerjaan itu? Halal kah? Atau justru haram? Bagaimana pandangan Islam tentang pekerjaannya itu? Saya memang ingin berpakaian rapi. Tapi jika sampai mengumbar aurat, apakah Allah akan ridho atau tidak? Bergaul dan menghormati teman, main kesana-kemari dan malah terjebak mabuk-mabukan karena menghormati teman, Apakah Allah ridho dengan hal tersebut?.
Ini adalah ciri-ciri Muslim yang mempunyai tujuan jangka panjang. Segala hal yang ia lakukan selalu dibingkai dengan pertanyaan apakah Allah ridho? Keyakinannya terhadap tujuan jangka panjang mewarnai gaya hidupnya di dunia ini. Mau minum, Allah ridho apa enggak ini? Mau makan, yang saya makan ini Allah ridho apa enggak ini? Pendeknya apapun yang dia kerjakan karena dia mempunyai keyakinan jangka panjang dia selalu menimbang-menimbang terhadap rido Allah tadi.
Tanpa prestasi ibadah, kita semua bernilai nol besar dalam pandangan Allah. Ini adalah nilai manusia yang hakiki. Ini adalah makna dari Al-Quran Surat Al-Hujurat Ayat 13 yang berbunyi :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ……
Artrinya:”…..Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Qs. Al-Hujurat: 13).
Di akhirat nanti itu tidak akan disidang dengan pertanyaan, kamu pendidikannya setinggi apa? Tidak,  Gelarmu berapa renteng? Tidak. Akhirat itu hanya akan menyidang apakah kamu Shalat atau tidak? Kau puasa atau tidak? Kau zakat atau tidak? Kamu dapat harta, darimana kamu mendapatnya dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut? Prestasi ibadah itu adalah yang utama. Setinggi appa pendidikan, sebanyak apa pengalaman, No problem. Tidak jadi masalah di akhirat, prestasi ibadah itulah yang akan kita persembahkan di hadapan Allah.
Kerbau dinilai dari dagingnya. Makin gemuk, makin mahal harganya. Tapi ada burung perkutut yang lebih mahal harganya daripada kerbau. Perkutut itu mahalan mentahnya lho daripada matengnya. Karena harga Perkutut ada pada suaranya.
Lalu dimana harga manusia? Yang paling gemuk? Tidak. Apakah dari suaranya? Oh, kalau manusia dinilai dari suaranya, maka kemungkinan Madonna paling awal masuk syurga itu. Hanyalah prestasi ibadah kita dapat mencapai tujuan jangka panjang yaitu akhirat dan ridho Allah.
Nah, sudah jelas lah yah kita sudah tahu dua tujuan kita hidup jangka pendek dan jangka panjang,. Lalu bagaimana Islam mengajarkan kepada kita bagaimana cara untuk meraih keduanya?
Pada prinsipnya Islam mengajarkan sistem keseimbangan. Dalam berbagai aspek kehidupan, keseimbangan ini nampak dengan nyata. Kita harus berusaha untuk mencapai dunia dan tidak boleh lupa untuk mengejar akhirat, seperti ayat yang saya sampaikan tadi, dengan karunia yang diberikan Allah cari negeri akhirat tapi jangan lupakan bagianmu  di dunia ini. Dalam satu ungkapan di katakan:
عمل لدنياك كأنك تعيش أبدا ، و اعمل لآخرتك كأنك تموت غدا
Artinya: "Bekerjalah kamu untuk duniamu seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah kamu untuk akhiratmu seakan kamu mati esok hari" 
 Manivestasinya dalam kehidupan misalnya, orang kaya diperintah membantu yang miskin, tapi orang miskin dianjurkan berusaha, jangan mengandalkan hidup kepada yang kaya. Kamu kaya? Betul pak, bantu yang miskin, kamu miskin? Iya pak, berusaha. Tuan rumah diwajibkan menghormati tamu, tamupun di wajibkan tau diri, seimbang. Jadi bagaimana kalau kita sudah bekerja di sawah di lading di pasar di kantor? Anggap kita akan hidup selama nya agar timbul gairah kerja, tapi jika lagi sholat anggaplah kita akan mati besok supaya timbul khusyuknya.
Nah, titik tekannya dimana? Stress nya itu. Walaupun islam mengajarkan system keseimbangan, Allah menggarisbawahi dalam Al-Quran Surat Ad-Dhuha Ayat 4 yang berbunyi :
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَىٰ
Artinya: “Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)”. (Qs. Adh-Dhuha: 4).
Jadi, bagaimanapun seimbangnya akhirat itu lebih utama daripada dunia. Bagaimana implementasinya? Kata orang tua, kalau kita menanam padi maka rumput pun akan ikut tumbuh tapi kalau menanam rumput, jangan mimpi tumbuh padi. Maksudnya adalah kalau satu perbuatan kita niatkan karena Allah, maka dunianya pasti ikut. Tapi kalau satu perbuatan diniatkan untuk dunia semata, akhirat akan hilang. Oleh karena itu, biasakanlah melakukan segala sesuatu diniatkan lillahitaala (hanya untuk Allah semata). Jadi, saya ulangi satu perbuatan kalo sudah diniatkan karena Allah dunia biasanya ikut, tapi kalau diniatkan karena dunia semata-mata, akhirat akan luput. Padahal itu titik tekannya surah adh-dhuha ayat 4 tadi itu, bahwa akhirat lebih utama.
Saudara-saudara kaum Muslimin rahimakumullah.
Itu tujuan hidup. Jadi, landasan tempat kita bertolak sudah jelas, pantai yang akan kita tuju dalam kehidupan ini juga sudah nyata. Kita ingin mencapai apa yang dinamakan, Fiddun ya hasanah dan wafil akhirati hasanah, untuk itu perlu keseimbangan tetapi titik tekannya tetap akhirat lebih utama daripada kehidupan dunia ini.
Sekarang kita sudah paham tentang dasar hidup dan tujuan hidup seorang muslim. Tentu harus ada alat untuk mencapainya. Semuanya perlu sarana. Bahkan hakikatnya pada kaedah usul fiqih, para ulama mengajarkan,
الْوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ
(Al-Wasaailu Lahaa Ahkaamul Maqaasidi)
Artinya: “Sarana-sarana itu memiliki hukum yang sama dengan tujuannya.”
Sarana dan tujuan hukumnya sama, Ini seharusnya mendidik muslim untuk menjadi orang pintar. Jangan hanya berpikir untuk melakukan suatu pekerjaan saja. Kita juga harus berpikir bagaimana menciptakan sarana untuk terwujudnya pekerjaan tersebut.
Misalnya umat Islam diwajibkan pergi haji (bagi yang mampu). Untuk pergi haji, kita harus melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat terbang, dari Indonesia ke Mekkah. Artinya, umat Islam harus maju di bidang teknologi dan penerbangan agar nantinya ia bisa menciptakan pesawat terbang yang bisa mengantarkan Muslim untuk menunaikan ibadah haji, atau menciptakan kapal laut untuk sarana pergi haji. Sarana yang akan menyampaikan dia untuk melaksanakan ibadah haji.
Selama ini kita bertumpu pada pemikiran, “pokoknya kan yang penting gue pegi haji, mau pake apa kek yang penting gua punya duit”. Dari segi pribadi emmang gitu, tapi dari segi ummat yang harus mencapai kemajuan apabila diperintahkan melaksanakan sesuatu kita pun hakikatnya diperintahkan menciptakan sarana menunjang pelaksanaan sesuatu itu sendiri.
Agama mengajarkan:
النظافة من الإيمان
Artinya: “Kebersihan bagian dari iman.” (Riwayat Al-Khothib Al-Baghdadi “Talkhishul Mutasyabih” 1/223)
 Bahwa kebersihan itu sebagian dari iman. Siapa yang menciptakan mesin cuci? Sabun, diterjen dan lain sebagainya, siapa? Siapa yang menciptakan AC?  Pembersih ruangan. Kitakan hanya berfikir, “pokoknya bersih mau pake apa kek”. Kita jarang yang berfikir kepada pewujudan tekhnologi moderen untuk menterjemahkan hadis ini.
Contohnya, umat Islam harus melaksanakan Shalat. Syarat sah shalat diantaranya adalah suci badan, pakaian dan tempat. Bersih dari kotoran dan najis. Mestinya orang Islam juga memikirkan cara bagaimana membuat alat pembersih seperti sabun atau deterjen. Dalam hal menciptakan, kita masih banyak tertinggal dari orang-orang barat. Kita lebih sering berlaku sebagai konsumen bukan produsen. Oleh karena itu, mari segenap anak bangsa Indonesia untuk senantiasa belajar berbagai macam cabang ilmu pengetahuan. Pada akhirnya, buatlah berbagai macam hal berguna bagi bangsa. Utamanya adalah membuat sarana-sarana yang dibutuhkan dalam menunjang peribadahan kita kepada Allah.
Syukurlah, belakang ini sudah muncul teknokrat-teknokrat Muslim yang dijiwai oleh semangat Al-Quran untuk membuka tabir rahasia konsepsi Islam di lapangan teknologi modern. Semakin lama semakin menunjukkan tuntutan kebutuhan dari umat itu sendiri. Dengan demikian, jika ada tujuan hidup, kita juga memerlukan alat untuk mencapai tujuan tersebut. Supaya tujuan fi dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah tercapai, apa alat yang harus kita pakai?
Kita lihat Al-Quran Surat At-Taubah Ayat 111 memberikan jawaban:
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ ۚ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ ۖ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ ۚ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ ۚ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ ۚ وَذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar”. (Qs. At-Taubah: 111).
Coba kita simak ayat ini sejenak supaya Nampak jelas bahwa ayat ini merupakan satu transaksi yang nyata benar Antara kita dengan Allah. Transaksi jual beli sudah terjadi dan itu langsung dengan Allah, tertuang dalam pernyataan Al-Quran, pembeli Allah penjualnya adalah kita orang-orang beriman.
Dagangannya adalah anfus dan amwal, harganya adalah syurga. Itu sudah tanda tangan kita sudah siap jual beli ya Allah, apalagi baiat kita apa?
اِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي ِﷲِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: ”Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah kerana Allah, Tuhan seluruh alam”.  (Qs. Al-An’am: 162).
Coba kita simak ayat ini sejenak, akan nampak dengan jelas bahwa ayat ini hakikatnya merupakan satu transaksi yang nyata dan benar antar manusia dan Allah. Transaksi jual-beli sudah terjadi, dan itu langsung dengan Allah. Tertuang dalam pernyataan Al-Quran. Dalam ayat ini, Allah sebagai Pembeli dan Manusia sebagai Penjual. Manusia yang dimaksud adalah mereka yang beriman kepada Allah (Muslim). Barang dagangannya adalah Anfus (diri) dan Amwal (harta). Harganya adalah Surga. Itu sudah tanda-tangan pernyataan bahwa kita siap siap jual-beli dengan Allah, apalagi kita sudah berbaiat. Baiat atau janji yang selalu kita ucapkan dalam Shalat.
Dalam sehari semalam, seorang muslim telah membaca baiat ini sebanyak 5 kali. Kita ulang dan kita ulang terus menerus setiap hari. Lalu kenapa kita tidak konsisten/istiqomah dalam memegang baiat itu?
Dalam konteksnya dengan persoalan, maka alat hidup kita itu ada dua.
Pertama, adalah anfus. Ini adalah bentuk jamak (plural/banyak) dari mufrod (single/tunggal) kata nafsun (diri). Biasa di terjemahkan dengan diri, yang dimaksud dengan diri adalah kepribadian. Kepribadian di sini bermakna kekayaan yang kita miliki dalam kepribadian diri kita. Artinya : tenaga, pikiran, konsep, gagasan, wewenang, ide, pangkat, jabatan, kemampuan dan keahlian. Semua hal tersebut adalah arti dari kata anfus.
Kedua, amwal, merupakan bentuk jamak dari mufrod kata maa lun (harta). Biasa diterjemahkan dengan harta, pengertian di sini ialah segala bentuk-bentuk materi yang berada di bawah kekuasaan kita. Artinya : rumah, uang, tanah, kebun, pabrik dan peternakan. Semua hal tersebut adalah arti dari kata amwal.
Nah, baik anfus atau amwal, diri baik jabatan, harta kek, wewenang kek, kekuasan kek, keahlian kek, untuk tujuan jangka pendek harus menjadi rahmah bagi lingkungan. Untuk tujuan untuk jangka panjang harus bisa menjadi penunjang untuk menggapai ridho Allah.
Kalau pangkat yang kita miliki malah jadi menjauhkan diri dari ridho Allah, berarti itu bukan nikmat melainkan adzab. Seseorang yang punya pangkat, tapi ia tidak melakukan kebaikan malah melakukan kejahatan atau setidak-tidaknya ia berdiri di belakang kejahatan. Ia malah melindungi hal-hal kemungkaran. Dalam kelas kekap, ia melindungi orang yang korupsi. Dalam kelas teri ia jadi backing tukang koprok (pukul). Itu sudah menyalahi. Alat sudah di salah gunakan, pangkat tidak ia gunakan untuk mencapai tujuan (baik dunia atau akhirat). Itu untuk tujuan jangka pendek.
Lalu tentang amwal (harta), harus menjadi rahmah bagi lingkungan sedangkan untuk tujuan jangka panjang, baik diri maupun harta harus menunjang jalan menuju ridho Allah, harus meningkatkan prestasi ibadah kita kepada Allah SWT.
Malah yang namanya amwal ini tanggung jawabnya lebih berat. Seseorang yang memiliki harta yang banyak akan disidang di akhirat lebih lama daripada orang yang hartanya sedikit. Lain halnya dengan orang yang berilmu, yang akan ditanya, “Ilmumu kau gunakan untuk apa?” Sedangkan orang yang punya harta akan ditanya, “Hartamu, kau dapat darimana dan kau belanjakan kemana?” Darimananya (asal) dan kemananya itu harta akan ditanyakan kepadamu. Depan dan belakangnya di tanya.
Sebab  kadang-kadangkan ada orang dapat harta dari jalan yang halal tapi dibelanjakan di jalan yang haram. Ia kerja, peras keringat, banting tulang setengah mati tapi begitu dapat duit ia malah beli untuk buntutan (taruhan/togel). Muter-muter kertas untuk cari kode, di dapat dari jalan halal lalu di belanjakan dengan jalan Haram. Atau hartanya didapat dari jalan haram lalu dibelanjakan di jalan yang baik. Ada orang yang menang judi lalu ia nyumbang untuk pesantren. Hal ini keliru.
Nabi mengajarkan:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: (إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبَاً…….
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik….”. (HR. Muslim).
 bahwa Allah itu baik dan hanya menerima hal yang baik-baik. Tidak bisa seseorang mencuci kain dengan air najis. Kainnya akan tetap kotor.
Saudara-saudara kaum Muslimin rahimakumullah.
Oleh karenanya masalahnya terpaku kembali kepada kita sendiri yang harus pandai-pandai dalam membagi orientasi. Suatu saat kita tenggelam ke dalam urusan dunia dan seluruh isinya untuk mencapai tujuan jangka pendek. Tapi di saat yang lain, kita harus memfanakan diri dalam artian merenungi diri bahwa hidup ini tidak akan lama, ada akhirat yang harus dihadapi. Karena kehiudpan ini bukan berjalan tanpa batas umur ini bukan satu karunia tanpa tanggung jawab satu saat setuju atau tidak, rela atau terpaksa kita akan sampai pada garis finis dari kehidupan dunia ini yang emmang merupakan perjalanan panjang A walking tall  kata orang kulon. Satu jalan yang demikian jauhnya, entoh kita akan sampai ke garis finish.
Bila ajal datang dan senja kehidupan telah tiba, kita tidak dapat menghindarinya. Datangnya ajal tidak dapat kita sangka. Namun saat ia datang, tidak ada satu kekuatan pun yang dapat menolaknya. Kehadirannya tidak pernah kita harapkan tetapi satu kali kematian datang bertamu, maka hal itu pasti akan terjadi. Dan itu pasti akan kita temui. Alangkah malangnya, jika saat itu datang, saat kematian menjemput dan kita tidak mempunyai satu prestasi ibadah sebagai bekal untuk akhirat. Naudzubillahi min dzalik!
Lalu apa artinya prestasi dunia? Apa artinya tujuan jangka pendek kalau kita kehilangan tujuan jangka panjang? Rumah kita yang besar, pangkat kita yang tinggi, harta kita yang banyak, bisakah semua itu membantu kita saat nanti dikumpulkan di Padang Mahsyar?
Apa bisa kita lalu berkata, “Malaikat, jangan gebukin saya! Rumah saya harganya 2 milyar. Sudahlah, Malaikat. Kita damai saja. Itu mobil Roll Royce saya, pake saja malaikat, pake.” Kata Malaikat, “gua kagak butuh.”
Hanya prestasi ibadah yang dapat menyelamatkan kita pada kondisi di akhirat nanti. Oleh karena itu sodara-sodara biar dan biar rumah kita di dunia ini,Rumah besar, uang banyak, pabrik ada, usaha lancar asal di akhirat masuk syuuuurgaa ajah, gak apa-apa. Dari pada di dunia sengsara di akhirat celaka lah senangnya kapan? Sudah disini sengsara disana keblangsat itu yang orang tua bilang Lacur muda, pelan di kecut kenceng di di gertak, setengah mati serba salah, udah kalau bisa ngomong, “gua setengah mati serba salah, pelan di kecut, kekencengan di tarik”, ini yang namanya lacur muda begitu, serba salah posisinya. Oleh karena itu pandai-pandailah membagi orientasi supaya tercapai tujuan ideal ini, fiddun ya hasanah dan wafil akhirati hasanah.
            Ini tentang tujuan hidup, nah untuk mencapai tujuan ini? Kita tidak berjalan sendiri, kita perlu teman hidup, disamping teman hidup ada pula lawan hidup, siapa teman hidup kita untuk mencapai tujuan hidup ini? Teman hidup dalam arti sempit adalah pasangan (suami/istri) yang taat kepada Allah dan hidup berdua secara rukun, harmonis, selaras dan seimbang dan saling melengkapi merupakan satu bagian dari kehidupan, suami adalah teman istri dan istri adalah teman suami untuk mencapai tujuan hidup tadi, mencapai fiddun ya hasanah dan wafil akhirati hasanah. Seiring, seirama, selaras, seimbang kata orang sekarang.
Sedangkan dalam arti luas, teman hidup adalah orang lain yang memiliki satu pemahaman yang sama, satu aqidah, satu keyakinan, baik itu dari suku atau bangsa manapun dan satu pandangan hidup yang sama. Islam tidak kenal teritorial. Maka tidak ada itu Islam Jepang, Islam Cina, Islam Indonesia. Yah walaupun secara formalnya ada tapi secara informal muslim adalah muslim. Apa pun warga negaranya. Apa pun warna kulitnya. Apa pun bahasanya. Muslim diikat oleh aqidahnya terhadap Islam.
Itu teman hidup dan ada lawan hidup itu siapa ?, yaitu iblis (dalam segala bentuk dan implementasinya). Dan kedua setiap orang yang pandangan hidupnya tidak sama dengan kita secara ideologis itulah lawan hidup kita. Maka yang teman jadikan teman yang lawan jadikan lawan, jangan teman dijadikan lawan, lawan di jadikan teman itu namanya kopiah di pasang di kaki lalu sepatu naik ke jidat. Wajar lalu kepala jadi benjol, salah pilih teman, salah cari lawan akibatnya kita yang akan susah di kemudian hari nanti.
Saudara-saudara kaum muslimin rahimakumullah.
Oleh karenanya, pandai-pandailah dalam hidup ini yang teman jadikan teman, yang lawan jadikan lawan. Kalau lawan kita jadikan teman, sementara teman kita jadikan lawan dan itu yang banyak terjadi dalam praktek kehidupan, kita tidak  akan bisa mencapai tujuan, karena akan bertarung di kaki sendiri.
Ini sajalah yang kita bicarakan opada pertemuan kali ini, mudah-mudahan ada manfaatnya. Terima kasih atas segala perhatian dan mohon maaf atas segala kekurangan.
وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...