Senin, 8 januari 2018
Kampus II UIN Jakarta
Penulis: Syahrul Ramadhan.
AL-FARABI
A.
Biografi Al-Farabi.
Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu
Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tharkan Ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij. Distrik
Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana) Turkinistan pada tahun
257 H (870M). Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia, dan Ibunya
berkebangsaan Turki.[1]
sebutan nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab. Tempat ia dilahirkan.[2]
Untuk memulai karir dalam
pengetahuannya, ia hijrah dari negerinya ke kota Baghdad, yang pada waktu itu
disebut sebagai kota ilmu pengetahuan. Dia belajar selama kurang lebih 20
tahun. Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab, Abu Bisyr Matta Ibnu Yunus
untuk belajar ilmu mantiq (logika)
Al-Farabi mampu mencapai ahli
ilmu mantiq (logika), kemudia ia mendapatkan predikat Guru Kedua,
maksudnya, ia adalah orang yang pertama kali memasukan ilmu logika ke dalam
kebudayaan Arab. Keahlian ini rupanya yang dialami oleh aristoteles
sebagai Guru Pertama, ia (Aristoteles)orang yang pertama yang
menemukan ilmu logika.
Pada tahun 350 H. (941 M),
Al-Farabi pindah ke Damsyik. Ia menetap di kota ini, kedudukan Al-Farabi sangat
diperhatikan secara baik oleh Saif Al-Dullah, kholifah dinasti Hamdan di Allepo
(Hallab). Sampai wafat Al-Farabi berusia 80 tahun. Dalam kepandaian Al-Farabi
di bidang filsafat, membawa pengaruh terhadap kemajuan pemerintah Saif
Al-Dullah, sebagaimana Al-Kindi yang dapat mencermelangkan pemerintahan Al
Mu’tasyim.
Pemikiran Al-Farabi pun datang
banyak dari para ahli. Diantaranya Massignon (ahli masalah ketimuran dari
Prancis), bahwa Al-Farabi merupakan merupan filosuf Islam yang pertama, dan
Al-Kindi adalah orang yang membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam,
Al-Farabi dapat memerankan peranan penting di dunia Islam, ia telah memberikan
keilmuannya kepada , Ibnu Sina, Ibnu Rasyd serta filosuf-filosuf lainnya.[3]
Al-Farabi yang dikenal sebagai
filsuf Islam terbesar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan, seperti
ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam,
ketuhanan, fiqih, dan mantiq. Oleh karena itu, banyak karya yang ditinggalkan
Al-Farabi, namun karyanya tersebut tidak banyak diketahui seperti karya Ibnu
Sina. Hali ini karena karya-karya Al-Farabi hanya berbentuk risalah-risalah
(karangan pendek) dan sedikit sekali yang berupa buku besar yang mendalam
pembicaraannya. Kebanyakan karyanya yang hilang, dan yang masih dapat dibaca
dipublikasikan, baik yang sampai kepada kita maupun tidak, kurang lebih 30 judul
saja.
Al-Farabi dikenal filosof
sinkretisme yang mempercaya kesatuan filsafat. Al-Farabi berkeyakinan bahwa
aliran filsafat yang bermacam-macam itu hakikatnya satu, yaitu sama-sama
mencari kebenaran yang satu, semua aliran filsafat pada
prinsipnya tidak ada perbedaan. Kalaupun berbeda, hanya pada
lahirnya. Upaya ini terealisasikan ketika ia mendamaikan pemikiran Aristoteles
dengan Plato dalam bukunya yang populer al-Jam ‘bain al-Ra’yai al-Hakimain.
Dan antara filsafat dan agama
Cara Al-Farabi menyatukan kedua
filosof di atas ialah dengan mengajukan pemikiran masing-masing filosof yang
cocok dengan pemikirannya. Untuk mempertemukan kedua filosof ini, Al-Farabi
menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan takwil
apabila ia menemukan pertentangan pikiran antara keduanya. Kemudian, ia
tegaskan lebih lanjut, sebenarnya Aritoteles mengakui alam rohani yang
teradapat diluar alam ini dan perkataannya yang mengingkari alam rohani
tersebut dapat ditakwilkan. Jadi, kedua filosof tersebut sama-sama mengakui
adanya idea-idea pada Zat Allah.
Sebenarnya, Al-Farabi telah
keliru menganggap tidak terdapat perbedaan antara Aristoteles. Padahal,
sesungguhnya buku tersebut adalah karya Plotinus, yang berisikan penetapan alam
idea terletak bukan pada benda. Dengan demikian, pada hakikatnya Al-Farabi
merekonsiliasikan antara plato dan Plotinus, bukan antara Plato dan
Aristototeles.
Disamping itu telihat pula usaha
Al-Farabi merekonsialisasikan antara agama dan filsafat. Menurutnya para
filosof Muslim menyakini, Al-Quran dan hadits adalah hak dan benar dan filsafat
juga adalah benar. Kebenaran itu tidak boleh lebih dari satu. Justru itu ia
tegaskan bahwa antra keduanya tidaklah bertentangan, bahkan mesti cocok dan
serasi karena sumber keduanya sama-sama dari Akal Aktif, hanya yang berbeda
cara memperolehnya. Bagi filosof perantaranya Akal Mustafad,[4]
sedangkan dalam agama perantaranya wahyu disampaikan kepada nabi-nabi. Kalau
ada perlawanan, itu hanya dari segi lahirnya dan tidak sampai menembus
batinnya. Untuk menghilangkan perlawanan itu harus dipakai takwil filosofis dan
tidak meninggalkan pertentangan kata-kata. Filsafat memberikan kebenaran dan
agama juga menjelaskan kebenaran. Oleh karena itu, Al-Farabia tidaklah berbeda
kebenarannya yang disampaikan para nabi dengan kebenaran yang dimajukan
filosof, dan antara ajaran Islam dan filsafat Yunani. Akan tetapi, hal ini
tidak berarti Al-Farabi menerima kelebihan filsafat dari agama.
2. Ketuhanan
a. Pemikiran
Tentang Tuhan
Al-Farabi dalam pembahasan tentang
ketuhanan mengkompromikan antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme,
yakni al-Maujud al-Awwal (wujud pertama) sebagai sebab pertama
bagi segala yang ada. Bentuk filsafat neo-Platonisme sendiri praktis telah
melaksanakan penyatuan filsafat plato dan Aristoteles dalam dirinya. Konsep
Al-Farabi ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran Islam.
Dalam membuktikan adanya Allah Al-Farabi mengemukakan dalil Wajibul al-Wujud dan
Mumkin al-Wujud ( De Boar, 1954:162).
Dengan
demikian Al-Farabi membagi wujud kepada dua bagian, yaitu:
1) Wujud
yang nyata dalam sendirinya (Wajibul-wujud li dzatihi).
Wujud ini adalah wujud yang
tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya. Esensinya adalah wujud yang
sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena lainnya. Ia
ada selamanya, wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, maka akan timbul
kemuslihatan sama sekali. Ia adalah sebab pertama bagi semua wujud. Wujud yang
wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).
2) Wujud
yang mumkin atau wujud yang nyata karena lainnya
(wajibul-wujud lighairihi),
seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari.
Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Atau
dengan perkataan lain cahaya adalah wujud yang mumkin, maka cahaya tersebut
menjadi wujud yang nyata (wajib) karena matahari.
Wujud yang mumkin tersebut
menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan), karena segala yang mumkin
harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada.
Bagaimanapun juga panjangnya rangkaian wujud yang mumkin itu, namun tetap
membutuhkan kepada sesuatu yang memberinya sifat wujud, karena sesuatu yang
mumkin tidak bisa memberi wujud kepada dirinya sendiri.[5]
b. Sifat
Tuhan
Dalam metafisikanya tentang
ketuhanan Al-Farabi hendak menunjukkan keesaan Tuhan dan ketunggalan-Nya. Juga
dijelaskan pula mengenai kesatuan antara sifat dan zat (substansi) Tuhan. Sifat
Tuhan tidak berbeda dari zat-Nya. Karena Tuhan adalah tunggal.[6]
Tuhan juga adalah Zat yang Maha Mengetahui
(‘alim) tanpa memerlukan sesuatu yang lain untuk dapat mengetahui. Jadi Tuhan
cukup dengan zat-Nya sendiri untuk mengetahui dan diketahui. Ilmu (pengetahuan)
Tuhan terhadap diri-Nya tidak lain hanyalah zatnya sendiri juga.
Jadi menurut Al-farabi tidak ada
perbedaan antara sifat Tuhan dengan zat (substansi) Tuhan, sifat Tuhan yang
berarti juga substansi Tuhan. Tuhan sendiri sebenarnya akal, sebab segala
sesuatu yang tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal. Begitu
pula denga wujud yang pertama (Tuhan). Zat (substansi) Tuhan yang satu itu
adalah akal (pikiran). Akal adalah zat (substansi) yang berfikir, tetapi
sekaligus juga menjadi obyek pemikiran Tuhan sendiri.
c. Pembuktian
Adanya Tuhan
Dalam membuktikan adanya Tuhan
ada beberapa dalil yang dapat digunakan sebagai dalil ontologi, dalil teologi
dan kosmologi. Para pemikir Yunani menggunakan dalil-dalil tersebut(ontologi,[7]
teologi[8]
dan kosmologi[9])
untuk samapai kepada kesimpulan adanya Tuhan. Hal seperti itu diikuti pula oleh
para pemikir Islam. Diantar dalil yang banyak dipakai adalah dalil
ciptaan atau dalil kosmologi menurut istilah metofisika.
Segala sesuatu yang ada, pada
dasarnya hanya mempunyai dua keadaan, pertama ada sebagai kemungkinan disebut wujud
yang mungkin, kedua ada sebagai keharusan disebut dengan wujud
yang wajib. Dalam keadaan yang pertama adanya ditentukan oleh ada yang
lain, dan keadaan yang kedua adanya tanpa sesuatu yang lain ada dengan
sendirinya dan sebagai keharusan.[10] kelemahan
dalil ini berpangkal dari suatu keyakianan yang mengharuskan adanya Tuhan.
3. Emanasi
Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah
pencipta alam, melaikan Penggerak Pertama (prime cause), seperti yang
dikemukakan Aristoteles. Sementara dalam doktrin ortodok Islam (al-mutakallimin),
Allah adalah Pencipta (shani, Agent), dari menciptakan dari tiada
menjadi ada (ceiro ex nihillo).. unutk mengislamkan doktrin ini Al-Farabi, juga
filosof lainnya mencari bantuan kepada Neoplatonis monistik tentang emanasi.
Dengan demikian, Tuhan penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah pencipta.
Telah dikemukakan bahwa Allah
adalah Aql, Aqil, dan Ma’qul. Ia
sebut Allah adalah Aql karena Allah pencipta dan
pengatur alam, cara Allah menciptakan alam ialah dengan ber-ta’aqqul terhadap
zat-Nya dengan proses sebagai berikut.
-
Akal
pertama berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kedua dan berpikirkan dirinya
menghasilkan langit pertama.
-
Akal
kedua berpikir tentang Allah menghasilkan Akal ketiga dan
berpikir tentang dirinya menghasilkan bintang-bintang.
-
Akal
ketiga berpikir tentang Allah menghasilkan Akal keempat dan berpikir tentang
dirinya menghasilkan Saturnus.
-
Akal
keempat berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kelima dan berpikir tentang
dirinya menghasilkan Yupiter.
-
Akal
kelima berpkir tentang Allah menghasilkan akal keenamdan berpikir tentang
dirinya menghasilkan Mars.
-
Akal
keenam berpikir tentang Allah menghasilkan Akal ketujuh dan berpikir tentang
dirinya menghasilkan Matahari.
-
Akal
ketujuh berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kedelapan dan berpikir tentang
dirinya menghasilkan Venus.
-
Akal
kedelapan berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kesembilan dan berpikir
tentang dirinya menghasilkan Merkuri.
-
Akal
kesembilan berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kesepuluh dan berpikir
tentang dirinya menghasilkan Rembulan.
-
akal
kesepuluh, karena adanya akal ini sudah lemah, maka ia tidak dapat lagi
menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh, dan metri
pertama menjadi dasar keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah. Akal
kesepuluh ini disebut dengan Akal Fa’al (Akal aktif) atau wahib
al-shuwar(pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang mengurusi
kehidupan di bumi.
Di sini yang perlu dipertanyakan,
faktor apa yang mendorong Al-Farabi mengemukakan emanasi ini? Tampaknya
Al-Farabi ingin menegaskan tentang keesaan Allah, bahkan melebihi Al-Kindi.
Allah bukan hanya dinegasikan dalam artian ‘aniah dan mahiah, tetapi
juga lebih jauh lagi. Allah adalah Esa sehingga tidak mungkin Ia berhubungan
dengan yang tidak Esa atau yang banyak. Andaikan alam diciptakan secara
langsung oleh Allah, maka mengakibatkan Ia berhubungan dengan yang tidak
sempurna dan ini akan menodai keesaan-Nya oleh sebab itu, dari Allah hanya
timbul satu, yakni Akal pertama berfungsi sebagai mediator antara Yang Esa dan
banyak sehingga dapat dihindarkan hubungan antara Yang Esa dan yang banyak.
Emanasionisme Al-Farabi ini jelas
cangkokan doktrin Platonius yang dikombinasikan dengan sistem kosmologi Platomeus
sehingga menimbulkan kesan bahwa Al-Farabi hanya mengalih bahasakan dari bahasa
sebelumnya ke dalam bahasa Arab. Menurut Nurcholish Majid, Al Farabi mempelajari
dan mengambil ramuan asing ini terutama paha ketuhanannya memberikan kesan
tauhid.[11]
4. Kenabian
Filsafat kenabian Al-Farabi erat
kaitannya antara nabi dan filosof dalam kesanggupanya untuk mengadakannya
komunikasi dengan akal fa’al. Motif lahirnya filsafat Al-Farabi
ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi kenabian
secara filosofis oleh Ahmad Inu Ishaq Al-Ruwandi (w. Akhir abad III
H). Tokoh yang berkebangsaan Yahudi ini menurunkan beberapa karya tulis yang
isinya mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad Saw. Khususnya
kritiknya ini dapat dideksripsikan sebagai berikut.
a.
Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia, karena Tuhan telah mengaruniakan akal
kepada manusia tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta
segala nikmat-Nyadan dapat pula mengetahui perbuatan baikm dan buruk.
b.
Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanyathawaf di
Ka’bah, dan sa’i di
Bukit Shafa dan Marwah dengan tempat-tempat lain.
c. Mukjizat hanya semacam
cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia.
d. Al-Qur’an
bukanlah Mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa (Al-khawariqal-adat). Orang
yang non Arab jelas saja heran dengan balaghah Al-Quran, karena mereka tidak
kenal dan memgerti Bahsa Arab dan Muhammad adalah kabilah yang paling fasahah dikalangan
orang Arab.[12]
Al-farabi adalah filosof muslim
pertama yang mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap, sehingga
hampir tidak ada penambahan oleh filosof-filosof sesudahnya. Filsafatnya ini
didasarkan pada psikologi dan metafisika yang erat hubungannya denga ilmu
politik dan etika.
Menurut Al-Farabi, manusia dapat
berhubungan dengan akal fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau
renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya
dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapt
mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh
nabi.
Menurut Al-Farabi, bila kekuatan
imajinasi pada seseorang kuat sekali, objek indrawi dari luar tidak akan dapat
mempengaruhinya sehingga ia dapar berhubungan dengan akal fa’al.
Jadi, ciri khas seorang nabi oleh
Al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan
dengan Aka; Fa’al ia dapat menerima visi dan kebenara-kebenaran dalam bentuk
wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (Akal
kesepuluh) yang dalam penjelasan Al-Farabi adalah Malaikat Jibril. Sementara
itu filosof dapat berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah
terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkapn hal-hal yang
bersifat abstrak murni dari akal kesepuluh.
Sampai di sini terkesan bahwa
kenabian telah menjadi suatu yang dapat diusahakan (muktasabat). Akan
tetapi, jika diamati secaa cermat; kesan ini meleset sama sekali. Hal ini
disebabkan nabi adalah pilihan Allah dan komunikasinya dengan Allah bukan
melalui Akal mustafad, tetapi melalui akal dalam derajad materiil. Seorang nabi
dianugrahi Allah akal yang mempunyai daya tangkap yang luas biasa sehingga
tanpa latihan dapat mengadakan komunikasi langsung dengan akal kesepuluh
(Jibril). Akal ini mempunyai kekuatan suci (qudsiyyat) dan di beri nama hads. Tidak
ada akal yang lebih kuat daripada demikian dan hanya nabi-nabi yang memperoleh
akal seperti itu. Sementara itu, filosof dapat berhubungan dengan akal
kesepuluh adalah usaha sendiri, melalui latihan dan pemikiran. Seorang filosof
hanya memiliki akal mustafad (perolehan) lebih rendah dari pada nabi yang
mempunyai akal meteriil dan hads. Oleh karena itu, setiap nabi adalah filosof
dan tidak semua filosof itu nabi. Akan tetapi, filosof tidak bisa menjadi nabi,
yang selamanya ia (nabi) tetap manusia Allah.
Dari sisi pengetahuan dan
sumbernya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, antara filosof dan nabi
terdapat kesamaan. Oleh karena itu, Al-Farabi menekankan bahwa kebenaran wahyu
tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat sebab antara keduanya sama-sama
mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Demikian pula
dengan mukjizat sebagai bukti kenabian, menurut Al-Farabi, dapat terjadi dan
tidak bertentangan dengan hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat
sama-sama berasal dari Akal kesepuluh sebagai pengatur dunia ini.
Dari uraian di atas telihat
keberhasilan Al-Farabi dalam menjelaskan kenabian secara filosofis dan
menafsirkannya secara ilmiah yang dapat dikatakan tiada duanya, terutama di
“pentas” filsafat Islam.[13]
5. Kenegaraan dan Polotik
Al-Farabi
membagi masyarakat ke dalam dua macam, yakni
a.
Masyarakat sempurna, masyarakat sempurna diklasifikasikan menjadi:
1. Masyarakat
sempurna besar, adalah gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan
saling membantu serta kerja sama (perserikatan bangsa-bangsa).
2. Masyarakat
sempurna sedang, adalah masyarakat yang terdiri atas satu bangsa yang menghuni
disatu wilayah dari bumi ini (negara nasional).
3. Masyarakat
sempurna kecil, adalah masyarakat yang terdiri atas para penghunisatu kota (negara
kota).
b. masyarakat
tidak sempurna atau belum sempurna, adalah penghidupan sosial di tingkat desa,
kampung, lorong dan keluarga. Selanjutnya, di antara tuga bentuk penghuni
sosial itu, keluarga merupakan yang paling tidak sempurna.
filsafatnya bahwa manusia tidak
sama satu sama lainnnya, disebabkan bnayak faktor, antara lain: faktor iklim
dan lingkungan tempat mereka hidup, dan faktor makanan. Faktor-faktor tersebut
banyak berpengaruh dalam pembentukan watak, pola pikir dan perilaku, orientasi
atau kecendurangan serta adat kebiasaan.
Berbeda dengan Al-Farabi, Ibu
Sina (370-425H/980-1033M) mempumyai pandangan berbeda-bedanya manusia dengan
sesamanya adalah “anugrah Tuhan” yang dijadikannya untuk memelihara keselamatan
hidup dan perkembangan kemajuan hidupnya.jika semua manusia bersamaan dalam
segala hal, pastilah membawa kemusnahan mereka.
Dalam hal filsafat kenegaraan,
Al-Farabi membedakan negara menjadi liama macam:
1. Negara
utama (al-Madinah al-Fadhilah ) yaitu negara yang penduduknya
berada dalam kebahagiaan. Menurutnya negara terbaik adalah negara yang dipimpin
oleh rosul dan kemudian oleh para filosof.
2. Negara
orang-orang bodoh ( al-Madinah al-Jahilah ), yaitu
negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
3. Negara orang-orang
fasiq ( al-Madinah al-Fasiqah ) yakni negara yang penduduknya
mengenal kebahagiaan, Tuhan dan akal ( fa’alal-Madinah al-Fadilah
) tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negeri yang
bodoh.
4. Negara
yang berubah-ubah( al-Madinah al-Mutabaddilah ) ialah yang
penduduknya semula mempunyai fikiran dan pendapat seperti yang dimiliki negara
utama tetapi kemudain mengalami kerusakan.
5. Negara
sesat ( al-Madinah al-Dallah ),yaitu negara yang penduduknya
mempunyai konsepsi pemikiran yang salah tentang Tuhan dan akal fa’al, tetpi
kepala negaranya beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu dan kemudian menipu
orang banyak denagn ucapan dan perbuatan.
Pokok filsafat kenegaraan
Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur
negaranya. Disini nyata teori kenegaraan iti paralel dengan filsafat
mettafisikanya tentang kejadian alam ( emanasi yang bersumber pada yang satu ).
jiwa manusia berasal dari materi
asalnya memancar dari akal kesepuluh. Jiwa adalah jauhar rohani
sebagai from bagi jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya
masing-masing keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad
tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs
al-nathiqal, berasal dari alam ilahi, sedanglan jasad berasal
dari alam khalq, berbentuk berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan
tatkala jasad siap menerimanya.
Bagi
Al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:
a. Daya al-Muharrikat (gerak),
daya ini yang mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
b. Daya al-Mudrikat(mengetahui),
daya ini yang medorong untuk merasakan dan berimajinasi.
c. Daya al-Nathiqat (bepikir),
daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.
Daya
teoritis terdiri dari tiga tingkatan berikut.
1. Akal
Potensial (al-Hayulani), ialah akal yang baru mempunyai potensi berpikir
dalam arti; melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya.
2. Akal
Aktual (al-Aql bi al-fil), akal yang dapat melepaskan arti0arti dari
materinya, dan arti-arti itu telah mempunyau wujud dalam akal dengan sebenarnya,
bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi telah dalam bentuk actual.
3. Akal
Mustafad (al-Aql al-Mustaafad), akal yang telah dapat menangkap bentuk
semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuj
mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh.
Tentang bahagia dan sengsaranya
jiwa, Al-Farabi mengaitkan filsafat Negara utama, yakni jiwa yang kenal dengan
Allah dan melaksanakan perintah Allah, maka jiwa ini, menurut Al-Farabi, akan
kembali kealam nufus,(alam kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiaan.
Jiwa yang hidup pada Negara fasiqahi, yakni jiwa yang kenal
dengan Allah, tetapi ia tidak melaksanakan segala perintah allah, ia kembali
kealam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsaraan.
Sementara itu, jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni yang
tidak kenal dengan Allah dan tidak pernah melakukan perintah Allah, ia lenyap
bagaikan jiwa hewan.[14]
7. Akal
Al-Farabi tentang sembilan planet
terpengaruh oleh Atronomi Yunani saat itu yang mengatakan sembilan planet.[15]
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
A.
Filsafat
Al-Farabi
Berdasarkan lapangannya
Al-Farabi membagi filsafat menjadi dua bagian.
1. Al-falsafahan-nadoriyah (filsafat
teori), yaitu mengetahui sesuatu yang ada, dimana seseorang tidak bisa (tidak
perlu) mewujudkannya dalam perbuatan. Bagian ini meliputi matematika, ilmu
fisika dan metafisika. Masing-masing dari ilmu tersebut mempunyai bagian-bagian
lagi yang hanya perlu diketahui saja.
2.
Al-falsafah al-‘amaliyah (filsafat amalan), yaitu mengetahui
sesuatu yang seharusnya diwujudkan dalam perbuatan dan menimbulkan kekuatan
untuk mengerjakan bagian-bagian yang baik. Bagian amalan ini ada kalanya
berhubungan dengan perbuatan-perbuatan baik yang seharusnya dikerjakan oleh
tiap-tiap orang, yaitu yang yang dinamakan ilmu akhlak (etika), adakalanya
berhubungan dengan perbuatan-perbuatan baik yang seharusnya dikerjakan oleh
penduduk negeri, yaitu yang disebut al-falsafah al-madaniyah (filsafat politik).
Wujud
selain Tuhan yaitu makhluk adalah wujud yang tidak sempurna. Oleh karena itu,
pengetahuan tentang banyak makhluk adalah pengetahuan yang tidak sempurna.
Al-Farabi mengatakan bahwa filsafat hanya bisa tercapai dengan kepandaian
membedakan yakni antara benar dan salah, dan kepandaian ini hanya bisa tercapai
dengan kekuatan pikiran dalam mengetahui kebenaran.
Al-Farabi
berkeyakinan bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam pada hakikatnya hanya
satu, yaitu sama-sama memikirkan kebenaran, sedangkan kebenaran itu hanya satu
macam dan serupa pada hakikatnya.[16]
Memahami
atas pemikiran Al-Farabi di atas, seolah-olah filsafatnya adalah perpaduan dari
filsafat Aristoteles dan Plato.
-
logika
dan fisika, ia sependapat atau dipengaruhi oleh Aristoteles,
-
ilmu
akhlak dan politik ia sependapat atau dipengaruhi oleh Plato
Melalui
pikirannya Al-Farabi, pada kenyataannya mencoba memperkuat inti ajaran islam,
yaitu tauhid. Teori emanasi yang dikembangkan oleh Al-Farabi, meskipun dianggap
tidak sesuai dengan teori cosmology, adalah upaya untuk menyatukan agama dan
filsafat. Mengenai akal itu esa, Al-Farabi berpendapat bahwa akal berisi hanya
satu pikiran yang memikirkan akan dirinya sendiri. Jadi akal Tuhan adalah aqil
(berpikir) dan ma’qul (dipikirkan), melalui Ta’qul, Tuhan dapat mulai
ciptaan-Nya. Proses emanasi itu adalah Tuhan sebagai akal, berpikir tentang
diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud
pertama dan dengan pemikiran itu timbullah suatu wujud baru atau akal baru yang
disebut oleh Al-Farabi dengan sebutan Al-Aqlul Awwal (akal yang pertama).
Dengan demikian, akal dalam
pandangan Al-Farabi ada tiga jenis.
1. Allah
sebagai akal.
2. Akal-akal
dalam filsafat emanasi : satu samapai sepuluh.
3. Akal
yang terdapat pada diri manusia.
B.
Tasawuf
Al-Farabi.
Tasawuf
Al-Farabi adalah teoritis yang berdasarkan pada studi dan analisa. Sementara
kesucian jiwa menurut Al-Farabi tidak akan sempurna hanya melalui jalur tubuh
dan amal-amal badaniah biasa. Tetapi secara primer dan esensial, secara
esensial juga harus melalui akal dan tindakan pemikiran.
Al-Farabi
adalah seorang sufi di dalam relung hatinya. Ia hidup zuhud sederhana, serta
cenderung kepada kesatuan dan kehampaan. Al-Farabi hidup sejaman dengan
tokoh-tokoh besar sufi yang menyatakan al-hulul, sebagai
pentolannya adalah al-junaid (wafat 911 M).
Teori tasawuf Al-Farabi berbeda
dengan merendahkan al-Hallaj dari beberapa segi :
Pertama, tasawuf
Al-Farabi sejak awal bersifat teoritis dan berlandaskan pada studi dan
analisis, karena dengan ilmu, dan hanya dengan ilmu sematalah kira-kira, kita
akan mencapai kebahagiaan. Sedangkan amal (tindakan praktis) berada pada tahap
kedua dan kepentingannya terbatas bagi suatu tujuan. Sebaliknya, orang-orang
sufi menetapkan bahwa kesederhanaan dan berpaling dari kelezatan jasmani dan
menyiksa tubuh, adalah sarana untuk bersatu dengan Allah.
Kedua,sebagai
perbedaan esensial dalam berhubungan dengan Allah yang dikatakan oleh
Al-Farabi, ssemata-mata meningkatkan ke alam atas dan berhubungan manusia
dengan akal fa’al tanpa dapat dicampur-adukan satu sama lain. Sedangkan menurut
tasawuf, hamba dan Tuhan menyusun kesatuan yang tidak terpisah.
Ketiga,
Ittihad (bersatu) dan Ittishol(berhubungan
denagn Allah) membawa perbedaan jelas antar teori al-Hulul versi
al-Hallaj dengan teoi Al-Faribi. Karena kata yang pertama biasanya diarahkan
kepada teori tasawuf yang menunjukkan pada pelarutan yang sempurna antara
makhluk dengan al-kholiq. Sementara kata yang kedua yang
dipergunakan pada teori para filosof hanya memberi kesan kesemataan antara
hubungan manusia dengan ruh.
C.
Filsafat
Praktis
Pemahaman
filsafat praktis Al-Farabi dapat terlihat ketika ia membandingkan anatar kota
fasik, kota jahat, dan kota sesat.
-
Negara
fasik dan kota sesat adalah kota-kota yang warganya sekarang atau dahulu
mempunyai beberapa pengetahuan mengenai tujuan kemanusiaan yang benar, tetapi
gagal mengikuti pengetahuan tersebut.
-
Kota
jahat adalah kota yang warganya secara sengaja meninggalkan tujuan yang baik demi
tujuan yang lain,
-
kota
sesat adalah kota yang pimpinannya secara pribadi mempunyai pengetahuan yang
benar tentang tujuan yang semestinya yang harus diikuti oleh kota ini, tetapi
pimpinan itu menipu warganya dengan mengemukakan citra-citra dan
gambaran-gambaran menyesatkan dari tujuan tersebut.
D.
Logika
dan Bahasa.
Al-Farabi
menegaskan bahwa logika dan tata bahasa merupakan dua ilmu berlandaskan
kaidah (rule-based sciences)yang terpisah, masing-masing dengan
lingkup dan pokok permasalahannya sendiri, “seni tata bahasa seyogyanya sangat
diperlukan untuk menjadikan kita tahu dan paham terhadap prnsip-prinsip seni
(logika)”.[18]
E.
Pengaruh
Al-Farabi terhadap Filusuf sesudahnya.
Penilaian
terhadap pengaruh pemikiran Al-Farabi datang dari para ahli.
Diantaranya Massignon (ahli masalah ketimuran dari Prancis),
bahwa Al-Farabi merupakan filosof Islam yang pertama, dan Al-Kindi adalah orang
yamng membuka filsafat Yunani bagi dunia Islam. Al-Farabi dapat memainkan peran
penting dalam dunia Islam dalam mengembangkan keilmuannya sehingga meluas.
Pemikiran
Al-Farabi sangat berpengaruh terhadap filosof Islam setelahnya, terutama
mengenai metafisika dan emanasi. Tetapi, pemikiran-pemikiran Al-Farabi tidak
berpengaruh pada seluruh filosof sesudahnya, melainkan hanya sebagian filosof
saja, diantaranya Ibnu Miskawaih, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu
Rusyd.
1. Ibnu Muskawaih
Pengaruh
pemikiran Al-Farabi terhadap Ibnu Miskawaih dapat terlihat dar pemikiran
Muskawaih tentang Tuhan. Hal ini tampak bahwa Tuhan menurut Ibnu Muskawaih
adalah zat yang esa dalam segala aspek. Sebagaimana pemikiran Al-Farabi tentang
Tuhan. Tuhan tidak berbagi karena tidak mengandung kejamakan.
Pemikiran
kenabian menurut Ibnu Miskawaih mendapat pengaruh dari Al-Farabi, yaitu
mengenai perbedaan Nabi dan filosof. Menurut Miskawaih Nabi adalah manusia
pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kenenaran karena pengaruh akal aktif
atas daya imajinasinya.
2. Ibnu Bjjah
Pemikiran
Ibnu bajjah yang terpengaruh oleh pemikiran Al-Farabi :
Pertama adalah
mengenai teori al-ittishal yaitu manusia mampu berhubungan dan
meleburkan dirinya dengan akal.
Kedua pemikirannya
mengenai metafisika. Menurutnya semua maujud terbagi menjadi dua bergerak dan yang
tidak bisa bergerak keduanya merupakan pengaruh dari metafisika dari
Al-Faribi.
Ketiga, pemikirannya
mengenai politik. Al-Farabi membagi negara menjadi dua negara utama atau negara
sempurna dan tidak sempurna.
3. Ibnu Thufail
Pemikiran
Al-Farabi mempengaruhi pemikiran Ibnu Thufail khususnya dalam pemikirannya
mengenai jiwa. Thufail membedakan jiwa menjadi tiga kategoti, yaitu: jiwa
fhadilah, jiwa fhasiqah, dan jiwa jahiliyyah.
4. Ibnu Rusyd
Ibnu
Rusyd sangat terpengaruh oleh teori pemikiranAl-Farabi. Dimana Rusyd
berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertaa (muharrik al-awwal).sifat
positif yang dapat diberikan kepada Allahialah “akal”. Mensifati Tuhan dengan
“Esa” merupakan ajaran islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai Penggerak pertama
tidak pernah dijumpai dalam pemahaman islam sebelumnya, hanya dijumpai dalam
filsafat Al-Farabi.[19]
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
A.
Riwayat Hidup
Al Farabi meninggal di Damaskus pada bulan
Rajab 339 H/Desember 950 M pada usia 80 tahun, dan dimakamkan di luar gerbang
kecil (al-Babal-Saghir) kota bagian selatan.[20]
B.
Pendidikan
Al-Farabi.
Sejak kecil
Al-Farabi tekun dan rajin belajar, dalam olah kata, tutur bahasa ia mempunyai
kecakapan yang luar biasa. Penguasaan terhadap Iran, Turkistan dan Kurdistan
sangat dia pahami, justru bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa Ilmu
Pengetahuan pada masa itu belum dia kuasai. Pendidikan dasarnya ditempuh di
Farab, yang penduduknya bermazhab Syafii.[21]
C.
Karier dan
perjalanan hidup.
Pandangan
al-Farabi tentang filsafat terbukti dengan usahanya untuk mengahiri kontradiksi
antara pemikiran Plato dengan Aristoteles melalui risalahnya
‘Al-Jami’ubainara’yayal-HakimainAflatunwaAristhu’, pengetahuan yang mendalam
tentang filsafat Plato dan Aristoteles menyebabkan Al-Farabi dijuluki sebagai
‘Al-Mu’alimAt-Tsani’ (Guru kedua) sedangkan Al-Mu’alimal-awal (Guru pertama)
adalah Aristoteles.[22]
Pada tahun 942 M situasi di ibu kota dengan
cepat semakin buruk karena adanya pemberontakan yang dipimpin seorang mantan
kolektor pajak alBaridi, kelaparan dan wabah merajalela.
KhallifahalMuttaqisendiri meninggalkan Baghdad untuk berlindung di istana
pangeran Hamdaniyyh, Hasan (yang kemudian mendapat sebutan kehormatan Nashral
Daulah) di Mosul. Saudara Nashir, Ali bertemu khalifah di Tarkit. Ali memberi
khalifah makanan dan uang agar khalifah dapat sampai ke Mosul. Kedua saudara
Hamdaniyyah ini kemudian kembali bersama khalifah ke Baghdad untuk mengatasi
pemberontakan. Sebagai rasa terima kasih khalifah menganugerahi Ali gelar
Saifal Daulah. Farabi sendiri merasa akan lebih baik pergi ke Suriah. Menurut Ibn
AbiUsaibi’ah dan alQifti, alFarabi pergi ke Suriah pada tahun 942 M. Menurut
Ibn AbiUsaibi’ah di Damaskus, alFarabi bekerja di siang hari sebagai tukang
kebun dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat dengan memakai lampu jaga.
Al Farabi terkenal sangat shaleh dan zuhud.
Al Farabi tidak begitu memperhatikan hal-hal
dunia. Menurut Ibn AbiUsaibi’ah, alFarabi membawa manuskripnya yang berjudul Al
Madinah Al Fadhilah, manuskripnya ini mulai ditulisnya di Bahdad keDamaskus. Di
Damaskus inilah manuskripnya tersebut diselesaikan pada tahun 942/943 M.
Sekitar masa inilah alFarabi setidak-tidaknya melakukan suatu perjalanan ke
Mesir (Ibn Usaibi’ah menyebutkan tanggalnya yaitu 338 H, setahun sebelum
alFarabi wafat) yang pada saat itu diperintah oleh Ikhsyidiyyah. Ikhsyidiyyah
ini semula dibentuk oleh opsir-opsir tentara Farghanah di Asia Tengah. Menurut
Ibn Khallikan di Mesir inilah alFarabi menyelesaikan Siyasah Al Madaniyyah yang
dimulai ditulisnya di Baghdad. Setelah meninggalkan Mesir alFarabi bergabung dengan
lingkungan cemerlang filosof, penyair, dan sebagainya yang berada disekitar
pangeran Hamdaniyyah yang bernama Saif Al Daulah. Menurut Ibn AbiUsaibi’ah
disinilah alFarabi mendapatkan gaji kecil yaitu empat dirham perak sehari. Al
Farabi wafat di Damaskus pada tahun 950 M, usianya pada saat itu sekitar 80
tahun.
D.
Pemikiran
Al-Farabi.
Pokok-pokok
pemikiran filsafat filsuf Al Farabi yang akan kami bahas, antara lain:
1.
Filsafat Al
Farabi
Al Farabi mendefinisikan filsafat adalah: Al
Ilmu Bilmaujudaat Bima Hiya Al Maujudaat, yang berarti suatu ilmu yang
menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Bagi alFarabi, tujuan
filsafat dan agama sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat
memakai dalil-dalil yang yakini dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang
agama memakai cara iqna’i (pemuasan perasaan), dan kiasan-kiasan, serta
gambaran, dan ditujukan kepada semua orang, bangsa, dan negara.[23]
Menurut Al Farabi tujuan terpenting dalam
mempelajari filsafat ialah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak,
bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur
alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan, dan keadilan-Nya.[24]
2.
Definisi dan
Esensi Jiwa
Al Farabi mendefinisikan jiwa sebagaimana
definisi Aristoteles, yaitu ‘kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat
alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik’.[25]
Makna ‘jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi
fisik’ adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk
yang bertindak.
Makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan
menjalankan fungsinya melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang
beragam.
Makna ‘memiliki kehidupan energik’ adalah bahwa
di dalam dirinya terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.
3.
Filsafat
Metafisika Al Farabi
Pembicaraan metafisika ini berkisar pada
masalah Tuhan, wujud-Nya, atau kehendak-Nya.
4.
Pola Pikir
Tasawuf Al Farabi
Al Farabi adalah seorang filosuf yang telah
menghimpun berbagai konsepsi di mana sendi-sendinya menjadi suatu mata rantai
yang saling berkait. Dalam hal ini kita bias melihat teori sufi yang merupakan
bagian dari pandangan filosofis Al Farabi. Bukti yang paling kuat dalam masalah
ini adalah adanya korelasi yang kuat untuk menghubungkan tasawuf dengan
teori-teori Al farabi yang lain, baik psikologis, moral, maupun politik.
Sebagai ciri khas dari teori tasawuf yang dikatakan Al Farabi adalah pada asas
rasional. Tasawuf Al Farabi bukanlah tasawuf spiritual semata yang hanya
berlandaskan kepada sikap menerangi jism dan menjauh dari segala kelezatan guna
menyucikan jiwa dan meningkat menuju derajat-derajat kesempurnaan, tetapi
tasawufnya adalah tasawuf yang berlandaskan pada studi. Sedangkan kesucian jiwa
menurutnya tidak akan sempurna apabila hanya melalui jalur tubuh dan amal-amal
badaniah semata, tetapi secara esensial juga harus melalui jalur akal dan
tindakan-tindakan pemikiran. Dengan demikian, meski sudah memiliki keutamaan
alamiah jasmaniah, tetap harus ada keutamaan-keutamaan rasional teoritis.[26]
5.
Teori
Kebahagiaan
Menurut Al Farabi, kebahagiaan adalah
pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia. Dan itulah tingkat akal mustafad,
dimana ia siap menerima emanasi seluruh objek rasional dari akal aktif. Dengan
demikian, perilaku berpikir adalah perilaku yang dapat mewujudkan kebahagiaan
bagi manusia.[27] Manusia
mencapai kebahagiaan dengan perilaku yang bersifat keinginan. Perilaku yang
menghambat kebahagiaan adalah kejahatan, yaitu perilaku yang buruk. Situasi dan
bakat yang membentuk perilaku buruk adalah kekurangan, kehinaan, dan kenistaan.
6.
Teori
Pengetahuan
Al Farabi berpendapat bahwa jendela pengetahuan
adalah indera, sebab pengetahuan masuk ke dalam diri manusia melalui indera.
Sementara pengetahuan totalitas terwujud melalui pengetahuan parsial, atau
pemahaman universal merupakan hasil penginderaan terhadap hal-hal yang parsial.
Jiwa mengetahui dengan daya. Dan indera adalah jalan yang dimanfaatkan jiwa
untuk memperoleh pengetahuan kemanusiaan.[28] Tetapi
penginderaan inderawi tidak memberikan kepada kita informasi tentang esensi
segala sesuatu, melainkan hanya memberikan sisi lahiriah segala sesuatu.
Sedangkan pengetahuan universal dan esensi segala sesuatu hanya dapat diperoleh
melalui akal.[29]
7.
Teori Sepuluh
Kecerdasan
Pada pemikiran Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh,
berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Jumlah inteligensi adalah
sepuluh, terdiri atas inteligensi pertama dan sembilan inteligensi planet dan
lingkungan. Melalui ajaran sepuluh inteligensi ini, Al Farabi memecahkan
masalah gerak dan perubahan. Ia menggunakan teori ini ketika memecahkan masalah
Yang Esa dan yang banyak, dan dalam memadukan teori materi Aristoteles dengan
ajaran Islam tentang penciptaan. Tetapi dari akal kesepuluh muncullah bumi
serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur
api,udara, air dan tanah.[30]
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
A.
Karya-Karya Al-Farabi
Hasil karya Al-Farabi dapat
diklasifikasikan kedalam logika dan non-logika.
1.
Dalam bidang logika, ia memeberikan kementar-komentar terhadap
bagian dari organon-nya Aristoteles, menulis pengantar tentang logika, serta
menulis tentang ringkasan logika. Sedangkan non logika non-logika adalah ilmu
politik, etika, ilmu alam, psikologi, metafisika dan matematika.
2.
Dalam bidang politik Al-Farabi meringkas tulisan Plato yang
bertitel The Laws; dalam bidang logika ia mengomentariNecomachean
Ethics-nya Aristoteles; ilmu alam dengan mengomentari Physics,
Meteorology de Caelo et de Mundo, dan on the Movement of the Heavenly
Sphere-nya Aristoteles;
3.
Dalam bidang psikologi, ia mengulas komentar Alexander aphrodisiac
tentang jiwa (de anima).
4.
Al-Farabi juga memiliki tulisan-tulisan lain yang masih berkaitan
tentang jiwa namun bersifat mandiri (bukan komentar atau ulasan karya orang
lain), diantaranya tulisan Al-Parabi tentang jiwa (on the soul); tentang daya
jiya (on the power of the soul); tentang kesatuan dan satu (unity on the one),
dan tentang ‘aqlu dan ma’qul (the intelligence and intelligible).
5.
Dalam disiplin metafisika Al-Parabi menulis makalah tentang
substansi (substance), waktu (time), ruang dan ukuran (space and measure), dan
kekosongan (vacuum).
6.
Dalam bidang matematika, dia mengulas al-majasta-nya Ptolemy.
Al-Parabi
meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Tentang logika Al-farabi
mengatakan bahwa fisafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan
luas adalah lebih dahulu daripada kebenaran agama, baik ditinjau dari sudut
waktu (temporal) maupun dari sudut logika.
Dikatan
“lebih dahulu” dari sudut pandang waktu, karena Al-farabi berkeyakinan bahwa
masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak
zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Musa.
Dikatakan
lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus dipahami dan
dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu
diambil oleh para nabi.[31]
B.
Filsafat Al-Farabi
Meskipun demikian, filsafat
Al-Farabi lebih cenderung kepada filsafat Plato daripada fisafat Aristoteles.
Al-Farbi sependapat dengan Plato bahwa alam ini adalah “baru” dan terjadi dari
tidak ada. Pendapat yang senada juga diungkapka oleh Al-Kindi (185-252
H/801-816 M).[32]
Kalau kita melihat terhadap
perkembangan filsafat Al-Farabi, telah banyak filsuf Barat yang telah
terpengaruhi oleh filosofinya, seperti Albert the Great dan Thomas Aquinas.
Mereka adalah tokoh-tokoh yang sering mengutip pemikiran Al-Farabi. Pemikiran
falsafah Al-Farabi menjadi dasar pijakan bagi Ibnu Sina. Harmonisasi yang
dilakukan Al-Farabi terhadap falsfahnya dan agama dapat diselesaikan dengan
tepat, dan bahkan ditambah dengan unsur-unsur tasawuf falsafi yang
dikembangkannya.
Secara garis besar, terdapat lima
objek kajian filosofi Al-Farabi: pertama, masalah ontologi; kedua, maslah
metafisika teologis; ketiga, masalah kosmologi yang berkenaan dengan teori
emanasi; keempat, masalah jiwa rasional; kelima, maslah falsafah folitik.
1.
Masalah Ontologi
Al-Farabi membagi wujud kedalam
substansi dan aksigen, esensi dan eksistensi. Menurutnya, substansi adalah
wujud yang ada pada dirinya sendiri, sedangkan aksigen selalu memerlukan
substansi yang menjadi dasar dan tergantung bagi keberadaannya. Esensi (dzat)
adalah inti dari keberadaan sesuatu, sedangkan eksistensi adalah aktualisasi
dari esensi. Manusia adalah eksistensi, sedangkan jiwa (ruh) manusia adalah
esensi atau dzatnya. Menurut Al-Farabi esensi dan eksistensi adalah dua hal
yang berbeda. Sebab jika esensi dan eksitensi merupakan satu kesatuan makna
kita tidak dapat memahami yang satu tanpa yang lain. Dalam hal ini hanya ada
satu wujud yang esensi dan eksistensinya satu, yaitu Tuhan.[33]
2.
Metafisika Teologi
Pertanyaan pertama yang diajukan
kepada Al-Farabi adalah, dapatkah tuhan diketahui?. Dalam salah satu karyanya
Al-Farabi menjawab, Tuhan dapat diketahui dan tidak dapat diketahui, tuhan itu
dhahir sekaligus batin. Pengetahuan terbaik mengaenai tuhan ialah memahami
bahwa dia adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran. Manusia tidak
dapat mengetahui tuhan sebab kapasitas intelektual yang dimiliki manusia, yang
berfungsi sebagai sarana untuk mengetahui-Nya, terbatas. Cahaya adalah media
bagi mata manusia untuk mengetahui warna. Secara logis dapat disimpulkan bahwa
cahaya yang sempurna akan menghasilkan pandangan yang juga sempurna. Tuhan
tidak terbatas, sehingga mustahil yang tidak sempurna mencapai yang maha
sempurna. Akan tetapi, hal itu bukan bahwa tuhan tidak dapat dikeahui sama
sekali. Dalam hal ini Al-Farabi memberikan jalan keluar mngenai tuhan. Menurut
Al-Farabi, melalui penalaran dan argument, serta kemampuan daya pikirnya,
manusia dapat sampai pada pengetahauan tentang tuhan.
Al-Farabi membuktikan eksistensi
tuhan dengan mengajukan beberapa argument:
Pertama, bukti dari teori gerak. Semua yang berada di alam semesta selalu
bergerak, yang berujung pada satu hal yang mesti, yaitu adanya sesuatu yang
tidak bergerak yang justru sebagai pengeraknya.
Kedua, penyebab effisien (efficiency causation). Demikia juga dengan
adanya sebab yang beruntun yang berujung pada sebab dari segala sebab, yaitu
Tuhan.
Ketiga, argumen mumkin al-wujud. Semua yang berada di dunia
merupakan realitas yang mengandung kebolehjadian. Sedangkan wajib
al-wujud adalah sesuatu yang realitas menjadi sebuah keharusan, dan bahkan
ia menjadi sandaran dari segala yang ada. Itulah Tuhan. Al-Farabi memberikan
sifat tuhan sama seperti filusuf teistik modern; dalam pengertian manusia dapat
mengetahui tuhan melalui ciptaan-Nya.[34]
Al-Farabi menjelaskan metafisik
(ketuhanan) menggunakan pemikiran Ariatoteles dan Neopltonisme. ia berpendapat
bahwa Al-Maujud Al Awwal sebagai sebab sebab pertama bagi segala yang ada.
Dalam pembuktian adanya tuhan, Al-Farabi menggunakan Dalil Al-Wajibul
Wujud dan mumkinil Al-Wujud. [35]
Pandangan Al-Farabi mengenai sifat
tuhan sejalan dengan paham Mu’tazilah, yakni sifat tuhan tidak berbeda dengan
subsatnsi-Nya.[36] Tentang
ilmu Tuhan, Al-Farabi terpengaruhi oleh Arisoteles yang mengatakan bahwa tuhan
tidak mengetahui dan memikirkan alam. Pemikiran ini dikembangkan oleh Al-Farabi
dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyah (particular).
Maksudnya, pengetahuan tuhan tentang yang rinci tidak sama dengan pengetahuan
manusia. Tuhan sebagai ‘aql hanyan dapat menangkap yang kulli
(universal), sedangkan untuk yang juz’i hanya dapat ditangkap oleh pancaindra.
Oleh karena itu, pengetahuannya tentang juz’i tidak secara langsung, melainkan
Ia sebagai yang juz’i.[37]
3.
Kosmologi
Kebenaran Tuhan adalah suatu
keniscayaan, dan keberadaan alam semesta juga merupaka kebenaran yang tidak
dapat disangkal. Yang menjaadi pertanyaan ialah bagimana hubungan alam semesta
dengan tuhan?. Dalam menjawab masalah ini, Al-Farabi mengedepankan teori
emanasi. Sebenarnya teori Al-Farabi ini diadopsi dari teori filusuf Yunani
terdahulu, terutama Neo-Platonisme, Plotinus, mengenai pelimpahan atau emanasi.
4.
Psikologi
Jiwa manusia memancar dari akal x.
pendapat Al-Farabi mengenai kapasitas jiwa sejalan dengan pendapat Aristoteles
yang menyatakan bahwa jiwa mempunyai daya-daya: pertama:
1.
daya gerak (al-muharrikah),
2.
daya mengetahui (al-mudrikah) yang meliputi dua daya lainnya,
yaitu: daya merasa (al-hasanah) dan daya imajinasi (al-mutakhayyilah).
3.
daya berfikir (an-nathiqoh) yang meliputi akal praktis dan akal teoritis.
Dari ketiga daya tersebut, menurut
Al-Farabi, hanya daya berfikir yang memiliki beberapa tingkatan.[38]
Konsep Al-Farabi mengenai akal x ini
merupakan ramuan dari berbagai sumber. Al-Farabi sendiri menegaskan teori akal
yang dipakainya didasarkan pada Aristoteles, yaitu bagian ketiga
darianima Aristoteles. Sementara teori emanasi Al-Frabi dapat ditelusuri
pada konsep Plotinus dan Madzhab Alexandria. Konsep jiwa dan akal-akal
Al-Farabi erat kaitannya dengan konsep epistimologi. Pola dasar yang menjadi
acuan konsep epitimologi Al-Farabi berujung pada penyatuan dua aliran falsafah.
Al-Farabi berusaha menyatukan gagasan Aristoteles dengan Plato, seperti yang
tersirat dalam jam’u baina ra’yu al-hakimain.
5.
Falsafah politik
Dalam pemikiran politik, Al-Farabi
telah menulis karya sendiri tentang kota utama (al-madinah
al-padhilah). Kota digambarka sebagai sebuah badan manusia yang memiliki
anggota dan fungsi masing-masing. Kepala memang posisi terpenting sebab
bertugas mengatur masyarakatnya. Kepala adalah sumber pengaturan dan
keharmonisan masyarakat. Kepala mesti bertubuh sehat, kuat dan pintar, cinta
ilmu pengetahuan dan keadilan. Kepala harus mempunyai kemampuan akal ketiga,
akal perolehan yang dapat berhubungan dan berkomunikahsi dengan akal sepuluh
sebagai pengatur bumi. Sebaik-baik kepala ialah nabi atau rasul. Jika tidak ada
yang memiliki sifat-sifat nabi atau rasul, Negara diserahkan kepada mereka yang
memiliki sifat filsuf, yang mampu berbuat adil. Tugas lain dari kepala Negara
adalah mendidik rakyatnya agar berakhlak mulia.[39]
[4] Al-Farabi Membagi Jiwa manusia kepada tiga bagian:
1. Jiwa vegetatif, yaitu memiliki daya makan, tumbuh,
berproduksi.
2. Jiwa sensitif, yaitu memiliki daya gerak, pindah,
menangkap dengan panca indra
3. Jiwa rasional, yaitu yang memiliki daya berfikir
(akal).
Al-farabi
membagi akal menjadi 4 tingkatan:
a.
Akal
potensial (material)
b. Akal mungkin (bakat/pengetahuan rasional 1)
c.
Akal aktual
(Pengetahuan rasional II)
d. Akal mustafad (akal perolehan/pengetahuan
intuitif). => akal inilah yang tertinggi dan dimiliki para filusuf, akal ini
sudah bisa menangkap arti-arti murni yang tidak berhubungan dengan material.
Akal mustasyfa sudah bisa berkomunikasi dengan akal kesepuluh.
[7] Cabang filsafat yang paling kuno dan berasal dari yunani. Studi
tersebut membahas keberadaan sesuatu yang ebrsifat konkret. Tokoh yunani yang
memiliki pandangan yang ebrsift ontologis dikenal seperti thales, plato dan
Aristoteles. Menurut bahasa Ontologi, berasal dari akata Onto 9ada) dan Logos
(ilmu) jadi ontologi adalah ilmu tentang hakikat yang ada. Secara istilah
adalah ilmu yang emmbahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan kenyataan
yang asa, baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak. (Lihat,
jujun S. Suriasumantri, 1985: 5) Ontologi pertema kali diperkenalkan oleh
Rudolf Goclenius tahun 1636 M yang menamai tentang teori hakikat yang ada
bersifat metafisis. Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi
dua.
a.
Metafisika
umum, istilah lain dari ontologi.
b. Metafisika khusus masih di bagi menjadi 3
kosmologi, psikologi dan teologi (Amsal bahtiar, filsafat ilmu, jkaarta, 2004:
135)
Ada beberapa
Aliran Ontologi, tapi diantaranya:
a.
Monoisme,
bahwa hakikat asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin
dua baik yang asal berupa materi atau rohani. Paham ini terbagi dua aliran:
1. Materialisme.
-
Dipelopori
bapak filsafat yaitu Thales (624-564 SM). Dia berpandapat bahwa sumber asal
adalaha ir karena pentingnya bagi kehidupan.
-
Anaximander
(585-525 SM). Dia berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara dengan alasan
bahwa udara merupakan sumber bagi segala kehidupan.
-
Demokritos
(460-370 M), bahwa hakikat alam ini merupakan dari atom-atom yang banyak
jumlahnya, atom-atom inilah yang merupakan asal dari kejadian alam ini. (Jujun
S. Suriasumantri, pengantar ilmu dalam perspektif, 1996 : 64).
2. Idealisme. Aliran ini menganggap bahwa di balik
realitas fisik pasti ada sesuatu yang
tidak tanpak. Bagi aliran ini sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang
fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini hanyalah bayangan,
sifatnya sementara dan menipu. Aliran ini ditemui dalam ajaran palto (428-348
SM) dengan teori idenya. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanayalah berupa
bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idelah yang menjadi hakikat sesuatu,
menjadi dasar wujud sesuatu. (Harun nasution, filsafat agama, jakarta 1982 :
53)
b. Pluralisme. Paham ini menyatakan bahwa kenyataan
alam ini tersusun dari banyak unsur tokohnya pada masa yunani kuno adalah
Anaxagoras dan Empedocles bahwa substansi yang ada itu terbentuk dari dari 4
unsur atau terdiri dari 4 unsur, tanah, air, api, udara.
[8] Theologi berasal dari abhasa
latin Theos dan logos. Theos berati tuhan dan logos berarti ilmu, theologi ilmu tentang tuhan. Teologi
merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta
independensi filsafat dan ilmu pengetahuan. (Lihat, Abdur razaq dan rosihan
anwar, Ilmu kalam, (Pustaka Media:Bandung, 2006) cet. Ii hal. 14
[9] Kosmologi dari akata Kosmos (Alam) dan Logos (ilmu), kosmologi adalah
ilmu pengetahuan yang emneliti asal-usul, struktur, hubungan ruang adn waktu
dalam alam semesta. Kosmologi dipelajari dalam astronomi, filosofi dan agama.
Adapun teori terbentuknya Alam semesta;
a.
Teori
“Big-Bag”. (Paling banyak disetujui).
Teori ini berdasarkan kajian kosmologi yang menyatakan Alam semesta
semula berwujud sebagai gumpalan snagat padat dan besar bagi sekelompok atom.
Sekitar 13. 700 juta tahun yang lalu gumpalan ini meledak yang menghasilkan
panas sampai 100 milyar celsius. Ledakan ini melontarkan amteri dalam jumlah yang
sangat besar ke segala penjuru alam semesta. Materi-materi ini kemudian mengisi
alam semesta dalam bentuk bintang, palnet, debu kosmis, meteor, energi. Teori ini mengatakan bahwa benda angkasa
akhirnya akan menjadi dingin dan, mengalami keruntuhan dan itulah akhir dari
riwayat Alam semesta ini.
-
Pada tahun
1948 M, george gamov muncul dengan gagasan lain tentang Big Bag. Ia mengatakan
setelah ledakan besar itu, sisa radiasi yang ditinggalkan oleh Alam ini
haruslah ada dialam.
-
Pada tahun
1965 M, dua peneliti bernama Arno penziaz dan Robert Wilson menemukan gelombang
ini tanpa sengaja. Radiasi ini yang disebut ‘radiasi latar kosmis’ bukan dari
ruang tertentu tapi meliputi seluruh Alam angkasa. Radiasi ini adalah
peninggalan dari tahap awal peristiwa big-bag.
-
Pada tahun
1989, NASA mengirim satelite COBE (Cosmos Backround Explorer). COBE keruang
angkasa untuk melakukan penelitian tentang radiasi latar kosmis. Hanya perlu 8
menit COBE membuktikan perhitungan Penziaz dan Wilson. COBE telah menemukan
sisa ledakan raksasa yang telah terjadi diawal pembentukan alam semesta.
b. Teori “steady state”.
Alam semesta sekarang ini sama halnya dengan jutaan tahun yang lewat,
dan akan sama keadaannya jutaan tahun yang akan datang. Oleh karena itu
pengikut teori ini tidak mempercayai akan berakhirnya alam semesta.
[17] Supriyadi Dedi, Pengantar
Filsafat Islam, (Bandung, CV.Pustaka Setia, 2009), Cet. Ke-1, halm 86.
[25] Muhammad
‘UstmanNajati. Jiwa dalam Pandangan para Filosof Muslim. Bandung:
Pustaka Hidayah. 1993. h. 63
[28] Jamil
Shaliba. Tarikh al-Falsafahal-‘Arabiyah, cet. II. Beirut: Dar
al-Kutubal-Lubhani. 1973. h. 163.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar