Selasa, 24 April 2018

pemikiran Lengkap Al-Farabi



Senin, 8 januari 2018
Kampus II UIN Jakarta
Penulis: Syahrul Ramadhan.
AL-FARABI
A.    Biografi Al-Farabi.
Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tharkan Ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij. Distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana) Turkinistan pada tahun 257 H (870M). Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia, dan Ibunya berkebangsaan Turki.[1] sebutan nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab. Tempat ia dilahirkan.[2]
Untuk memulai karir dalam pengetahuannya, ia hijrah dari negerinya ke kota Baghdad, yang pada waktu itu disebut sebagai kota ilmu pengetahuan. Dia belajar selama kurang lebih 20 tahun. Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab, Abu Bisyr Matta Ibnu Yunus untuk belajar ilmu mantiq (logika)
Al-Farabi mampu mencapai ahli ilmu mantiq (logika), kemudia ia mendapatkan predikat Guru Kedua, maksudnya, ia adalah orang yang pertama kali memasukan ilmu logika ke dalam kebudayaan Arab. Keahlian ini rupanya yang dialami oleh aristoteles sebagai Guru Pertama, ia (Aristoteles)orang yang pertama yang menemukan ilmu logika.
Pada tahun 350 H. (941 M), Al-Farabi pindah ke Damsyik. Ia menetap di kota ini, kedudukan Al-Farabi sangat diperhatikan secara baik oleh Saif Al-Dullah, kholifah dinasti Hamdan di Allepo (Hallab). Sampai wafat Al-Farabi berusia 80 tahun. Dalam kepandaian Al-Farabi di bidang filsafat, membawa pengaruh terhadap kemajuan pemerintah Saif Al-Dullah, sebagaimana Al-Kindi yang dapat mencermelangkan pemerintahan Al Mu’tasyim.
Pemikiran Al-Farabi pun datang banyak dari para ahli. Diantaranya Massignon (ahli masalah ketimuran dari Prancis), bahwa Al-Farabi merupakan merupan filosuf Islam yang pertama, dan Al-Kindi adalah orang yang membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam, Al-Farabi dapat memerankan peranan penting di dunia Islam, ia telah memberikan keilmuannya kepada , Ibnu Sina, Ibnu Rasyd serta filosuf-filosuf lainnya.[3]
Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf Islam terbesar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantiq. Oleh karena itu, banyak karya yang ditinggalkan Al-Farabi, namun karyanya tersebut tidak banyak diketahui seperti karya Ibnu Sina. Hali ini karena karya-karya Al-Farabi hanya berbentuk risalah-risalah (karangan pendek) dan sedikit sekali yang berupa buku besar yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karyanya yang hilang, dan yang masih dapat dibaca dipublikasikan, baik yang sampai kepada kita maupun tidak, kurang lebih 30 judul saja.

Al-Farabi dikenal filosof sinkretisme yang mempercaya kesatuan filsafat. Al-Farabi berkeyakinan bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam itu hakikatnya satu, yaitu sama-sama mencari kebenaran yang satu, semua aliran filsafat  pada prinsipnya  tidak ada perbedaan. Kalaupun berbeda, hanya pada lahirnya. Upaya ini terealisasikan ketika ia mendamaikan pemikiran Aristoteles dengan Plato dalam bukunya yang populer al-Jam ‘bain al-Ra’yai al-Hakimain. Dan antara filsafat dan agama
Cara Al-Farabi menyatukan kedua filosof di atas ialah dengan mengajukan pemikiran masing-masing filosof yang cocok dengan pemikirannya. Untuk mempertemukan kedua filosof ini, Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan takwil apabila ia menemukan pertentangan pikiran antara keduanya. Kemudian, ia tegaskan lebih lanjut, sebenarnya Aritoteles mengakui alam rohani yang teradapat diluar alam ini dan perkataannya yang mengingkari alam rohani tersebut dapat ditakwilkan. Jadi, kedua filosof tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada Zat Allah.
Sebenarnya, Al-Farabi telah keliru menganggap tidak terdapat perbedaan antara Aristoteles. Padahal, sesungguhnya buku tersebut adalah karya Plotinus, yang berisikan penetapan alam idea terletak bukan pada benda. Dengan demikian, pada hakikatnya Al-Farabi merekonsiliasikan antara plato dan Plotinus, bukan antara Plato dan Aristototeles.
Disamping itu telihat pula usaha Al-Farabi merekonsialisasikan antara agama dan filsafat. Menurutnya para filosof Muslim menyakini, Al-Quran dan hadits adalah hak dan benar dan filsafat juga adalah benar. Kebenaran itu tidak boleh lebih dari satu. Justru itu ia tegaskan bahwa antra keduanya tidaklah bertentangan, bahkan mesti cocok dan serasi karena sumber keduanya sama-sama dari Akal Aktif, hanya yang berbeda cara memperolehnya. Bagi filosof perantaranya Akal Mustafad,[4] sedangkan dalam agama perantaranya wahyu disampaikan kepada nabi-nabi. Kalau ada perlawanan, itu hanya dari segi lahirnya dan tidak sampai menembus batinnya. Untuk menghilangkan perlawanan itu harus dipakai takwil filosofis dan tidak meninggalkan pertentangan kata-kata. Filsafat memberikan kebenaran dan agama juga menjelaskan kebenaran. Oleh karena itu, Al-Farabia tidaklah berbeda kebenarannya yang disampaikan para nabi dengan kebenaran yang dimajukan filosof, dan antara ajaran Islam dan filsafat Yunani. Akan tetapi, hal ini tidak berarti Al-Farabi menerima kelebihan filsafat dari agama.

2.      Ketuhanan

a.       Pemikiran Tentang Tuhan
Al-Farabi dalam pembahasan tentang ketuhanan mengkompromikan antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni al-Maujud al-Awwal (wujud pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Bentuk filsafat neo-Platonisme sendiri praktis telah melaksanakan penyatuan filsafat plato dan Aristoteles dalam dirinya. Konsep Al-Farabi ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran Islam. Dalam membuktikan adanya Allah Al-Farabi mengemukakan dalil Wajibul al-Wujud dan Mumkin al-Wujud ( De Boar, 1954:162).
Dengan demikian Al-Farabi membagi wujud kepada dua bagian, yaitu:
1)      Wujud yang nyata dalam sendirinya (Wajibul-wujud li dzatihi).
Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya. Esensinya adalah wujud yang sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena lainnya. Ia ada selamanya, wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemuslihatan sama sekali. Ia adalah sebab pertama bagi semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).
2)      Wujud yang mumkin atau wujud yang nyata karena lainnya
 (wajibul-wujud lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Atau dengan perkataan lain cahaya adalah wujud yang mumkin, maka cahaya tersebut menjadi wujud yang nyata (wajib) karena matahari.
Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan), karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada. Bagaimanapun juga panjangnya rangkaian wujud yang mumkin itu, namun tetap membutuhkan kepada sesuatu yang memberinya sifat wujud, karena sesuatu yang mumkin tidak bisa memberi wujud kepada dirinya sendiri.[5]
b.      Sifat Tuhan
Dalam metafisikanya tentang ketuhanan Al-Farabi hendak menunjukkan keesaan Tuhan dan ketunggalan-Nya. Juga dijelaskan pula mengenai kesatuan antara sifat dan zat (substansi) Tuhan. Sifat Tuhan tidak berbeda dari zat-Nya. Karena Tuhan adalah tunggal.[6]
Tuhan juga adalah Zat yang Maha Mengetahui (‘alim) tanpa memerlukan sesuatu yang lain untuk dapat mengetahui. Jadi Tuhan cukup dengan zat-Nya sendiri untuk mengetahui dan diketahui. Ilmu (pengetahuan) Tuhan terhadap diri-Nya tidak lain hanyalah zatnya sendiri juga.
Jadi menurut Al-farabi tidak ada perbedaan antara sifat Tuhan dengan zat (substansi) Tuhan, sifat Tuhan yang berarti juga substansi Tuhan. Tuhan sendiri sebenarnya akal, sebab segala sesuatu yang tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal. Begitu pula denga wujud yang pertama (Tuhan). Zat (substansi) Tuhan yang satu itu adalah akal (pikiran). Akal adalah zat (substansi) yang berfikir, tetapi sekaligus juga menjadi obyek pemikiran Tuhan sendiri.
c.       Pembuktian Adanya Tuhan
Dalam membuktikan adanya Tuhan ada beberapa dalil yang dapat digunakan sebagai dalil ontologi, dalil teologi dan kosmologi. Para pemikir Yunani menggunakan dalil-dalil tersebut(ontologi,[7] teologi[8] dan kosmologi[9]) untuk samapai kepada kesimpulan adanya Tuhan. Hal seperti itu diikuti pula oleh para pemikir Islam. Diantar dalil yang banyak dipakai adalah dalil ciptaan atau dalil kosmologi menurut istilah metofisika.
Segala sesuatu yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan, pertama ada sebagai kemungkinan disebut wujud yang mungkin, kedua ada sebagai keharusan disebut dengan wujud yang wajib. Dalam keadaan yang pertama adanya ditentukan oleh ada yang lain, dan keadaan yang kedua adanya tanpa sesuatu yang lain ada dengan sendirinya dan sebagai keharusan.[10] kelemahan dalil ini berpangkal dari suatu keyakianan yang mengharuskan adanya Tuhan.

3.      Emanasi

Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melaikan Penggerak Pertama (prime cause), seperti yang dikemukakan Aristoteles. Sementara dalam doktrin ortodok Islam (al-mutakallimin), Allah adalah Pencipta (shani, Agent), dari menciptakan dari tiada menjadi ada (ceiro ex nihillo).. unutk mengislamkan doktrin ini Al-Farabi, juga filosof lainnya mencari bantuan kepada Neoplatonis monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah pencipta.
Telah dikemukakan bahwa Allah adalah Aql, Aqil,  dan Ma’qul.  Ia sebut Allah adalah Aql  karena Allah pencipta dan pengatur alam, cara Allah menciptakan alam ialah dengan ber-ta’aqqul terhadap zat-Nya dengan proses sebagai berikut.
-            Akal pertama berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kedua dan berpikirkan dirinya menghasilkan langit pertama.
-            Akal kedua berpikir tentang Allah menghasilkan Akal ketiga dan berpikir  tentang dirinya menghasilkan bintang-bintang.
-            Akal ketiga berpikir tentang Allah menghasilkan Akal keempat dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Saturnus.
-            Akal keempat berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kelima dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Yupiter.
-            Akal kelima berpkir tentang Allah menghasilkan akal keenamdan berpikir tentang dirinya menghasilkan Mars.
-            Akal keenam berpikir tentang Allah menghasilkan Akal ketujuh dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Matahari.
-            Akal ketujuh berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kedelapan dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Venus.
-            Akal kedelapan berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kesembilan dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Merkuri.
-            Akal kesembilan berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kesepuluh dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Rembulan.
-            akal kesepuluh, karena adanya akal ini sudah lemah, maka ia tidak dapat lagi menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh, dan metri pertama menjadi dasar keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah. Akal kesepuluh ini disebut dengan Akal Fa’al (Akal aktif) atau wahib al-shuwar(pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang mengurusi kehidupan di bumi.
Di sini yang perlu dipertanyakan, faktor apa yang mendorong Al-Farabi mengemukakan emanasi ini? Tampaknya Al-Farabi ingin menegaskan tentang keesaan Allah, bahkan melebihi Al-Kindi. Allah bukan hanya dinegasikan dalam artian ‘aniah dan mahiah, tetapi juga lebih jauh lagi. Allah adalah Esa sehingga tidak mungkin Ia berhubungan dengan yang tidak Esa atau yang banyak. Andaikan alam diciptakan secara langsung oleh Allah, maka mengakibatkan Ia berhubungan dengan yang tidak sempurna dan ini akan menodai keesaan-Nya oleh sebab itu, dari Allah hanya timbul satu, yakni Akal pertama berfungsi sebagai mediator antara Yang Esa dan banyak sehingga dapat dihindarkan hubungan antara Yang Esa dan yang banyak.
Emanasionisme Al-Farabi ini jelas cangkokan doktrin Platonius yang dikombinasikan dengan sistem kosmologi Platomeus sehingga menimbulkan kesan bahwa Al-Farabi hanya mengalih bahasakan dari bahasa sebelumnya ke dalam bahasa Arab. Menurut Nurcholish Majid, Al Farabi mempelajari dan mengambil ramuan asing ini terutama paha ketuhanannya memberikan kesan tauhid.[11]

4.     Kenabian

Filsafat kenabian Al-Farabi erat kaitannya antara nabi dan filosof dalam kesanggupanya untuk mengadakannya komunikasi dengan akal fa’al. Motif lahirnya filsafat Al-Farabi ini  disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi kenabian secara filosofis  oleh Ahmad Inu Ishaq Al-Ruwandi (w. Akhir abad III H). Tokoh yang berkebangsaan Yahudi ini menurunkan beberapa karya tulis yang isinya mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad Saw. Khususnya kritiknya ini dapat dideksripsikan sebagai berikut.
a. Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia, karena Tuhan telah mengaruniakan akal kepada manusia tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nyadan dapat pula mengetahui perbuatan baikm dan buruk.
b. Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanyathawaf di  Ka’bah, dan sa’i di Bukit Shafa dan Marwah dengan tempat-tempat lain.
                      c. Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia.
d. Al-Qur’an bukanlah Mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa (Al-khawariqal-adat). Orang yang non Arab jelas saja heran dengan balaghah Al-Quran, karena mereka tidak kenal dan memgerti Bahsa Arab dan Muhammad adalah kabilah yang paling fasahah dikalangan orang Arab.[12]
Al-farabi adalah filosof muslim pertama yang mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap, sehingga hampir tidak ada penambahan oleh filosof-filosof sesudahnya. Filsafatnya ini didasarkan pada psikologi dan metafisika yang erat hubungannya denga ilmu politik dan etika.
Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan akal fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapt mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.
Menurut Al-Farabi, bila kekuatan imajinasi pada seseorang kuat sekali, objek indrawi dari luar tidak akan dapat mempengaruhinya sehingga ia dapar berhubungan dengan akal fa’al.
Jadi, ciri khas seorang nabi oleh Al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan Aka; Fa’al ia dapat menerima visi dan kebenara-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (Akal kesepuluh) yang dalam penjelasan Al-Farabi adalah Malaikat Jibril. Sementara itu filosof dapat berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkapn hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal kesepuluh.
Sampai di sini terkesan bahwa kenabian telah menjadi suatu yang dapat diusahakan (muktasabat). Akan tetapi, jika diamati secaa cermat; kesan ini meleset sama sekali. Hal ini disebabkan nabi adalah pilihan Allah dan komunikasinya dengan Allah bukan melalui Akal mustafad, tetapi melalui akal dalam derajad materiil. Seorang nabi dianugrahi Allah akal yang mempunyai daya tangkap yang luas biasa sehingga tanpa latihan dapat mengadakan komunikasi langsung dengan akal kesepuluh (Jibril). Akal ini mempunyai kekuatan suci (qudsiyyat) dan di beri nama hads.  Tidak ada akal yang lebih kuat daripada demikian dan hanya nabi-nabi yang memperoleh akal seperti itu. Sementara itu, filosof dapat berhubungan dengan akal kesepuluh adalah usaha sendiri, melalui latihan dan pemikiran. Seorang filosof hanya memiliki akal mustafad (perolehan) lebih rendah dari pada nabi yang mempunyai akal meteriil dan hads. Oleh karena itu, setiap nabi adalah filosof dan tidak semua filosof itu nabi. Akan tetapi, filosof tidak bisa menjadi nabi, yang selamanya ia (nabi) tetap manusia Allah.
Dari sisi pengetahuan dan sumbernya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, antara filosof dan nabi terdapat kesamaan. Oleh karena itu, Al-Farabi menekankan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat sebab antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Demikian pula dengan mukjizat sebagai bukti kenabian, menurut Al-Farabi, dapat terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari Akal kesepuluh sebagai pengatur dunia ini.
Dari uraian di atas telihat keberhasilan Al-Farabi dalam menjelaskan kenabian secara filosofis dan menafsirkannya secara ilmiah yang dapat dikatakan tiada duanya, terutama di “pentas” filsafat Islam.[13]

5.      Kenegaraan dan Polotik

Al-Farabi membagi masyarakat ke dalam dua macam, yakni
a. Masyarakat sempurna, masyarakat sempurna diklasifikasikan menjadi:
1.      Masyarakat sempurna besar, adalah gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta kerja sama (perserikatan bangsa-bangsa).
2.      Masyarakat sempurna sedang, adalah masyarakat yang terdiri atas satu bangsa yang menghuni disatu wilayah dari bumi ini (negara nasional).
3.      Masyarakat sempurna kecil, adalah masyarakat yang terdiri atas para penghunisatu kota (negara kota).
b.      masyarakat tidak sempurna atau belum sempurna, adalah penghidupan sosial di tingkat desa, kampung, lorong dan keluarga. Selanjutnya, di antara tuga bentuk penghuni sosial itu, keluarga merupakan yang paling tidak sempurna.
filsafatnya bahwa manusia tidak sama satu sama lainnnya, disebabkan bnayak faktor, antara lain: faktor iklim dan lingkungan tempat mereka hidup, dan faktor makanan. Faktor-faktor tersebut banyak berpengaruh dalam pembentukan watak, pola pikir dan perilaku, orientasi atau kecendurangan serta adat kebiasaan.
Berbeda dengan Al-Farabi, Ibu Sina (370-425H/980-1033M) mempumyai pandangan berbeda-bedanya manusia dengan sesamanya adalah “anugrah Tuhan” yang dijadikannya untuk memelihara keselamatan hidup dan perkembangan kemajuan hidupnya.jika semua manusia bersamaan dalam segala hal, pastilah membawa kemusnahan mereka.
Dalam hal filsafat kenegaraan, Al-Farabi membedakan negara menjadi liama macam:
1.    Negara utama (al-Madinah al-Fadhilah ) yaitu negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Menurutnya negara terbaik adalah negara yang dipimpin oleh rosul dan kemudian oleh para filosof.
2.    Negara orang-orang bodoh  ( al-Madinah al-Jahilah ), yaitu negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
3.    Negara orang-orang fasiq ( al-Madinah al-Fasiqah ) yakni negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, Tuhan dan akal  ( fa’alal-Madinah al-Fadilah )  tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negeri yang bodoh.
4.    Negara yang berubah-ubah( al-Madinah al-Mutabaddilah ) ialah yang penduduknya semula mempunyai fikiran dan pendapat seperti yang dimiliki negara utama tetapi kemudain mengalami kerusakan.
5.    Negara sesat ( al-Madinah al-Dallah ),yaitu negara yang penduduknya mempunyai konsepsi pemikiran yang salah tentang Tuhan dan akal fa’al, tetpi kepala negaranya beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu dan kemudian menipu orang banyak denagn ucapan dan perbuatan.
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur negaranya. Disini nyata teori kenegaraan iti paralel dengan filsafat mettafisikanya tentang kejadian alam ( emanasi yang bersumber pada yang satu ).

jiwa manusia berasal dari materi asalnya memancar dari akal kesepuluh. Jiwa adalah jauhar  rohani sebagai from bagi jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqal,  berasal dari alam ilahi, sedanglan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Bagi Al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:
a.    Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
b.    Daya al-Mudrikat(mengetahui), daya ini yang medorong untuk merasakan dan berimajinasi.
c.    Daya al-Nathiqat (bepikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingkatan berikut.
1.       Akal Potensial (al-Hayulani), ialah akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti; melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya.
2.       Akal Aktual (al-Aql bi al-fil), akal yang dapat melepaskan arti0arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyau wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi telah dalam bentuk actual.
3.       Akal Mustafad (al-Aql al-Mustaafad), akal yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuj mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh.
Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan filsafat Negara utama, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah, maka jiwa ini, menurut Al-Farabi, akan kembali kealam nufus,(alam kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada Negara fasiqahi, yakni jiwa yang kenal dengan Allah, tetapi ia tidak melaksanakan segala perintah allah, ia kembali kealam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsaraan. Sementara itu, jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni yang tidak kenal dengan Allah dan tidak pernah melakukan perintah Allah, ia lenyap bagaikan jiwa hewan.[14]

7.      Akal

Al-Farabi tentang sembilan planet terpengaruh oleh Atronomi Yunani saat itu yang mengatakan sembilan planet.[15]
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
A.    Filsafat Al-Farabi
Berdasarkan lapangannya Al-Farabi membagi filsafat menjadi dua bagian.
1.   Al-falsafahan-nadoriyah (filsafat teori), yaitu mengetahui sesuatu yang ada, dimana seseorang tidak bisa (tidak perlu) mewujudkannya dalam perbuatan. Bagian ini meliputi matematika, ilmu fisika dan metafisika. Masing-masing dari ilmu tersebut mempunyai bagian-bagian lagi yang hanya perlu diketahui saja.
2.   Al-falsafah al-‘amaliyah (filsafat amalan), yaitu mengetahui sesuatu yang seharusnya diwujudkan dalam perbuatan dan menimbulkan kekuatan untuk mengerjakan bagian-bagian yang baik. Bagian amalan ini ada kalanya berhubungan dengan perbuatan-perbuatan baik yang seharusnya dikerjakan oleh tiap-tiap orang, yaitu yang yang dinamakan ilmu akhlak (etika), adakalanya berhubungan dengan perbuatan-perbuatan baik yang seharusnya dikerjakan oleh penduduk negeri, yaitu yang disebut al-falsafah al-madaniyah (filsafat politik).
Wujud selain Tuhan yaitu makhluk adalah wujud yang tidak sempurna. Oleh karena itu, pengetahuan tentang banyak makhluk adalah pengetahuan yang tidak sempurna. Al-Farabi mengatakan bahwa filsafat hanya bisa tercapai dengan kepandaian membedakan yakni antara benar dan salah, dan kepandaian ini hanya bisa tercapai dengan kekuatan pikiran dalam mengetahui kebenaran.
Al-Farabi berkeyakinan bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam pada hakikatnya hanya satu, yaitu sama-sama memikirkan kebenaran, sedangkan kebenaran itu hanya satu macam dan serupa pada hakikatnya.[16]
Memahami atas pemikiran Al-Farabi di atas, seolah-olah filsafatnya adalah perpaduan dari filsafat Aristoteles dan Plato.
-       logika dan fisika, ia sependapat atau dipengaruhi oleh Aristoteles,
-       ilmu akhlak dan politik ia sependapat atau dipengaruhi oleh Plato
-       metafisika, ia dipengaruhi oleh Plotinus.[17]
Melalui pikirannya Al-Farabi, pada kenyataannya mencoba memperkuat inti ajaran islam, yaitu tauhid. Teori emanasi yang dikembangkan oleh Al-Farabi, meskipun dianggap tidak sesuai dengan teori cosmology, adalah upaya untuk menyatukan agama dan filsafat. Mengenai akal itu esa, Al-Farabi berpendapat bahwa akal berisi hanya satu pikiran yang memikirkan akan dirinya sendiri. Jadi akal Tuhan adalah aqil (berpikir) dan ma’qul (dipikirkan), melalui Ta’qul, Tuhan dapat mulai ciptaan-Nya. Proses emanasi itu adalah Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbullah suatu wujud baru atau akal baru yang disebut oleh Al-Farabi dengan sebutan Al-Aqlul Awwal (akal yang pertama).
Dengan demikian, akal dalam pandangan Al-Farabi ada tiga jenis.
1.      Allah sebagai akal.
2.      Akal-akal dalam filsafat emanasi : satu samapai sepuluh.
3.      Akal yang terdapat pada diri manusia.

B.     Tasawuf Al-Farabi.
Tasawuf Al-Farabi adalah teoritis yang berdasarkan pada studi dan analisa. Sementara kesucian jiwa menurut Al-Farabi tidak akan sempurna hanya melalui jalur tubuh dan amal-amal badaniah biasa. Tetapi secara primer dan esensial, secara esensial juga harus melalui akal dan tindakan pemikiran.
Al-Farabi adalah seorang sufi di dalam relung hatinya. Ia hidup zuhud sederhana, serta cenderung kepada kesatuan dan kehampaan. Al-Farabi hidup sejaman dengan tokoh-tokoh besar sufi yang menyatakan al-hulul, sebagai pentolannya adalah al-junaid (wafat 911 M).
Teori tasawuf Al-Farabi berbeda dengan merendahkan al-Hallaj dari beberapa segi :
Pertama, tasawuf Al-Farabi sejak awal bersifat teoritis dan berlandaskan pada studi dan analisis, karena dengan ilmu, dan hanya dengan ilmu sematalah kira-kira, kita akan mencapai kebahagiaan. Sedangkan amal (tindakan praktis) berada pada tahap kedua dan kepentingannya terbatas bagi suatu tujuan. Sebaliknya, orang-orang sufi menetapkan bahwa kesederhanaan dan berpaling dari kelezatan jasmani dan menyiksa tubuh, adalah sarana untuk bersatu dengan Allah.
Kedua,sebagai perbedaan esensial dalam berhubungan dengan Allah yang dikatakan oleh Al-Farabi, ssemata-mata meningkatkan ke alam atas dan berhubungan manusia dengan akal fa’al tanpa dapat dicampur-adukan satu sama lain. Sedangkan menurut tasawuf, hamba dan Tuhan menyusun kesatuan yang tidak terpisah.
Ketiga, Ittihad (bersatu) dan Ittishol(berhubungan denagn Allah) membawa perbedaan jelas antar teori al-Hulul versi al-Hallaj dengan teoi Al-Faribi. Karena kata yang pertama biasanya diarahkan kepada teori tasawuf yang menunjukkan pada pelarutan yang sempurna antara makhluk dengan al-kholiq. Sementara kata yang kedua yang dipergunakan pada teori para filosof hanya memberi kesan kesemataan antara hubungan manusia dengan ruh.
C.     Filsafat Praktis
Pemahaman filsafat praktis Al-Farabi dapat terlihat ketika ia membandingkan anatar kota fasik, kota jahat, dan kota sesat.
-            Negara fasik dan kota sesat adalah kota-kota yang warganya sekarang atau dahulu mempunyai beberapa pengetahuan mengenai tujuan kemanusiaan yang benar, tetapi gagal mengikuti pengetahuan tersebut.
-            Kota jahat adalah kota yang warganya secara sengaja meninggalkan tujuan yang baik demi tujuan yang lain,
-            kota sesat adalah kota yang pimpinannya secara pribadi mempunyai pengetahuan yang benar tentang tujuan yang semestinya yang harus diikuti oleh kota ini, tetapi pimpinan itu menipu warganya dengan mengemukakan citra-citra dan gambaran-gambaran menyesatkan dari tujuan tersebut.
D.    Logika dan Bahasa.
Al-Farabi menegaskan bahwa logika dan tata bahasa merupakan dua ilmu berlandaskan kaidah  (rule-based sciences)yang terpisah, masing-masing dengan lingkup dan pokok permasalahannya sendiri, “seni tata bahasa seyogyanya sangat diperlukan untuk menjadikan kita tahu dan paham terhadap prnsip-prinsip seni (logika)”.[18]
E.     Pengaruh Al-Farabi terhadap Filusuf sesudahnya.
Penilaian terhadap pengaruh pemikiran Al-Farabi datang dari para ahli. Diantaranya Massignon (ahli masalah ketimuran dari Prancis), bahwa Al-Farabi merupakan filosof Islam yang pertama, dan Al-Kindi adalah orang yamng membuka filsafat Yunani bagi dunia Islam. Al-Farabi dapat memainkan peran penting dalam dunia Islam dalam mengembangkan keilmuannya sehingga meluas.
Pemikiran Al-Farabi sangat berpengaruh terhadap filosof Islam setelahnya, terutama mengenai metafisika dan emanasi. Tetapi, pemikiran-pemikiran Al-Farabi tidak berpengaruh pada seluruh filosof sesudahnya, melainkan hanya sebagian filosof saja,  diantaranya Ibnu Miskawaih, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd.
1.      Ibnu Muskawaih
Pengaruh pemikiran Al-Farabi terhadap Ibnu Miskawaih dapat terlihat dar pemikiran Muskawaih tentang Tuhan. Hal ini tampak bahwa Tuhan menurut Ibnu Muskawaih adalah zat yang esa dalam segala aspek. Sebagaimana pemikiran Al-Farabi tentang Tuhan. Tuhan tidak berbagi karena tidak mengandung kejamakan.
Pemikiran kenabian menurut Ibnu Miskawaih mendapat pengaruh dari Al-Farabi, yaitu mengenai perbedaan Nabi dan filosof. Menurut Miskawaih Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kenenaran karena pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya.
2.       Ibnu Bjjah
Pemikiran Ibnu bajjah yang terpengaruh oleh pemikiran Al-Farabi :
Pertama adalah mengenai teori al-ittishal yaitu manusia mampu berhubungan dan meleburkan dirinya dengan akal. 
Kedua pemikirannya mengenai metafisika. Menurutnya semua maujud terbagi menjadi dua bergerak dan yang tidak bisa bergerak keduanya merupakan pengaruh dari metafisika dari Al-Faribi. 
Ketiga, pemikirannya mengenai politik. Al-Farabi membagi negara menjadi dua negara utama atau negara sempurna dan tidak sempurna.
3.      Ibnu Thufail
Pemikiran Al-Farabi mempengaruhi pemikiran Ibnu Thufail khususnya dalam pemikirannya mengenai jiwa. Thufail membedakan jiwa menjadi tiga kategoti, yaitu: jiwa fhadilah, jiwa fhasiqah, dan jiwa jahiliyyah.
4.      Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd sangat terpengaruh oleh teori pemikiranAl-Farabi. Dimana Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertaa (muharrik al-awwal).sifat positif yang dapat diberikan kepada Allahialah “akal”. Mensifati Tuhan dengan “Esa” merupakan ajaran islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai Penggerak pertama tidak pernah dijumpai dalam pemahaman islam sebelumnya, hanya dijumpai dalam filsafat Al-Farabi.[19]
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
A.    Riwayat Hidup
Al Farabi meninggal di Damaskus pada bulan Rajab 339 H/Desember 950 M pada usia 80 tahun, dan dimakamkan di luar gerbang kecil (al-Babal-Saghir) kota bagian selatan.[20]
B.     Pendidikan Al-Farabi.
Sejak kecil Al-Farabi tekun dan rajin belajar, dalam olah kata, tutur bahasa ia mempunyai kecakapan yang luar biasa. Penguasaan terhadap Iran, Turkistan dan Kurdistan sangat dia pahami, justru bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa Ilmu Pengetahuan pada masa itu belum dia kuasai. Pendidikan dasarnya ditempuh di Farab, yang penduduknya bermazhab Syafii.[21]
C.     Karier dan perjalanan hidup.
Pandangan al-Farabi tentang filsafat terbukti dengan usahanya untuk mengahiri kontradiksi antara pemikiran Plato dengan Aristoteles melalui risalahnya ‘Al-Jami’ubainara’yayal-HakimainAflatunwaAristhu’, pengetahuan yang mendalam tentang filsafat Plato dan Aristoteles menyebabkan Al-Farabi dijuluki sebagai ‘Al-Mu’alimAt-Tsani’ (Guru kedua) sedangkan Al-Mu’alimal-awal (Guru pertama) adalah Aristoteles.[22]
Pada tahun 942 M situasi di ibu kota dengan cepat semakin buruk karena adanya pemberontakan yang dipimpin seorang mantan kolektor pajak alBaridi, kelaparan dan wabah merajalela. KhallifahalMuttaqisendiri meninggalkan Baghdad untuk berlindung di istana pangeran Hamdaniyyh, Hasan (yang kemudian mendapat sebutan kehormatan Nashral Daulah) di Mosul. Saudara Nashir, Ali bertemu khalifah di Tarkit. Ali memberi khalifah makanan dan uang agar khalifah dapat sampai ke Mosul. Kedua saudara Hamdaniyyah ini kemudian kembali bersama khalifah ke Baghdad untuk mengatasi pemberontakan. Sebagai rasa terima kasih khalifah menganugerahi Ali gelar Saifal Daulah. Farabi sendiri merasa akan lebih baik pergi ke Suriah. Menurut Ibn AbiUsaibi’ah dan alQifti, alFarabi pergi ke Suriah pada tahun 942 M. Menurut Ibn AbiUsaibi’ah di Damaskus, alFarabi bekerja di siang hari sebagai tukang kebun dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat dengan memakai lampu jaga. Al Farabi terkenal sangat shaleh dan zuhud.
Al Farabi tidak begitu memperhatikan hal-hal dunia. Menurut Ibn AbiUsaibi’ah, alFarabi membawa manuskripnya yang berjudul Al Madinah Al Fadhilah, manuskripnya ini mulai ditulisnya di Bahdad keDamaskus. Di Damaskus inilah manuskripnya tersebut diselesaikan pada tahun 942/943 M. Sekitar masa inilah alFarabi setidak-tidaknya melakukan suatu perjalanan ke Mesir (Ibn Usaibi’ah menyebutkan tanggalnya yaitu 338 H, setahun sebelum alFarabi wafat) yang pada saat itu diperintah oleh Ikhsyidiyyah. Ikhsyidiyyah ini semula dibentuk oleh opsir-opsir tentara Farghanah di Asia Tengah. Menurut Ibn Khallikan di Mesir inilah alFarabi menyelesaikan Siyasah Al Madaniyyah yang dimulai ditulisnya di Baghdad. Setelah meninggalkan Mesir alFarabi bergabung dengan lingkungan cemerlang filosof, penyair, dan sebagainya yang berada disekitar pangeran Hamdaniyyah yang bernama Saif Al Daulah. Menurut Ibn AbiUsaibi’ah disinilah alFarabi mendapatkan gaji kecil yaitu empat dirham perak sehari. Al Farabi wafat di Damaskus pada tahun 950 M, usianya pada saat itu sekitar 80 tahun.
D.    Pemikiran Al-Farabi.
Pokok-pokok pemikiran filsafat filsuf Al Farabi yang akan kami bahas, antara lain:
1.      Filsafat Al Farabi
Al Farabi mendefinisikan filsafat adalah: Al Ilmu Bilmaujudaat Bima Hiya Al Maujudaat, yang berarti suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Bagi alFarabi, tujuan filsafat dan agama sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakini dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama memakai cara iqna’i (pemuasan perasaan), dan kiasan-kiasan, serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang, bangsa, dan negara.[23]
Menurut Al Farabi tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat ialah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan, dan keadilan-Nya.[24]
2.      Definisi dan Esensi Jiwa
Al Farabi mendefinisikan jiwa sebagaimana definisi Aristoteles, yaitu ‘kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik’.[25]
Makna ‘jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi fisik’ adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak.
Makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan fungsinya melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang beragam.
Makna ‘memiliki kehidupan energik’ adalah bahwa di dalam dirinya terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.
3.       Filsafat Metafisika Al Farabi
Pembicaraan metafisika ini berkisar pada masalah Tuhan, wujud-Nya, atau kehendak-Nya.
4.      Pola Pikir Tasawuf Al Farabi
Al Farabi adalah seorang filosuf yang telah menghimpun berbagai konsepsi di mana sendi-sendinya menjadi suatu mata rantai yang saling berkait. Dalam hal ini kita bias melihat teori sufi yang merupakan bagian dari pandangan filosofis Al Farabi. Bukti yang paling kuat dalam masalah ini adalah adanya korelasi yang kuat untuk menghubungkan tasawuf dengan teori-teori Al farabi yang lain, baik psikologis, moral, maupun politik. Sebagai ciri khas dari teori tasawuf yang dikatakan Al Farabi adalah pada asas rasional. Tasawuf Al Farabi bukanlah tasawuf spiritual semata yang hanya berlandaskan kepada sikap menerangi jism dan menjauh dari segala kelezatan guna menyucikan jiwa dan meningkat menuju derajat-derajat kesempurnaan, tetapi tasawufnya adalah tasawuf yang berlandaskan pada studi. Sedangkan kesucian jiwa menurutnya tidak akan sempurna apabila hanya melalui jalur tubuh dan amal-amal badaniah semata, tetapi secara esensial juga harus melalui jalur akal dan tindakan-tindakan pemikiran. Dengan demikian, meski sudah memiliki keutamaan alamiah jasmaniah, tetap harus ada keutamaan-keutamaan rasional teoritis.[26]
5.      Teori Kebahagiaan
Menurut Al Farabi, kebahagiaan adalah pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia. Dan itulah tingkat akal mustafad, dimana ia siap menerima emanasi seluruh objek rasional dari akal aktif. Dengan demikian, perilaku berpikir adalah perilaku yang dapat mewujudkan kebahagiaan bagi manusia.[27] Manusia mencapai kebahagiaan dengan perilaku yang bersifat keinginan. Perilaku yang menghambat kebahagiaan adalah kejahatan, yaitu perilaku yang buruk. Situasi dan bakat yang membentuk perilaku buruk adalah kekurangan, kehinaan, dan kenistaan.
6.      Teori Pengetahuan
Al Farabi berpendapat bahwa jendela pengetahuan adalah indera, sebab pengetahuan masuk ke dalam diri manusia melalui indera. Sementara pengetahuan totalitas terwujud melalui pengetahuan parsial, atau pemahaman universal merupakan hasil penginderaan terhadap hal-hal yang parsial. Jiwa mengetahui dengan daya. Dan indera adalah jalan yang dimanfaatkan jiwa untuk memperoleh pengetahuan kemanusiaan.[28] Tetapi penginderaan inderawi tidak memberikan kepada kita informasi tentang esensi segala sesuatu, melainkan hanya memberikan sisi lahiriah segala sesuatu. Sedangkan pengetahuan universal dan esensi segala sesuatu hanya dapat diperoleh melalui akal.[29]
7.      Teori Sepuluh Kecerdasan
Pada pemikiran Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Jumlah inteligensi adalah sepuluh, terdiri atas inteligensi pertama dan sembilan inteligensi planet dan lingkungan. Melalui ajaran sepuluh inteligensi ini, Al Farabi memecahkan masalah gerak dan perubahan. Ia menggunakan teori ini ketika memecahkan masalah Yang Esa dan yang banyak, dan dalam memadukan teori materi Aristoteles dengan ajaran Islam tentang penciptaan. Tetapi dari akal kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api,udara, air dan tanah.[30]
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
A.     Karya-Karya Al-Farabi
Hasil karya Al-Farabi dapat diklasifikasikan kedalam logika dan non-logika.
1.      Dalam bidang logika, ia memeberikan kementar-komentar terhadap bagian dari organon-nya Aristoteles, menulis pengantar tentang logika, serta menulis tentang ringkasan logika. Sedangkan non logika non-logika adalah ilmu politik, etika, ilmu alam, psikologi, metafisika dan matematika.
2.      Dalam bidang politik Al-Farabi meringkas tulisan Plato yang bertitel The Laws; dalam bidang logika ia mengomentariNecomachean Ethics-nya Aristoteles; ilmu alam dengan mengomentari Physics, Meteorology de Caelo et de Mundo, dan on the Movement of the Heavenly Sphere-nya Aristoteles;
3.      Dalam bidang psikologi, ia mengulas komentar Alexander aphrodisiac tentang jiwa (de anima).
4.      Al-Farabi juga memiliki tulisan-tulisan lain yang masih berkaitan tentang jiwa namun bersifat mandiri (bukan komentar atau ulasan karya orang lain), diantaranya tulisan Al-Parabi tentang jiwa (on the soul); tentang daya jiya (on the power of the soul); tentang kesatuan dan satu (unity on the one), dan tentang ‘aqlu dan ma’qul (the intelligence and intelligible).
5.      Dalam disiplin metafisika Al-Parabi menulis makalah tentang substansi (substance), waktu (time), ruang dan ukuran (space and measure), dan kekosongan (vacuum).
6.      Dalam bidang matematika, dia mengulas al-majasta-nya Ptolemy.
Al-Parabi meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Tentang logika Al-farabi mengatakan bahwa fisafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada kebenaran agama, baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut logika.
Dikatan “lebih dahulu” dari sudut pandang waktu, karena Al-farabi berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Musa.
Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para nabi.[31]
B.      Filsafat Al-Farabi 
Meskipun demikian, filsafat Al-Farabi lebih cenderung kepada filsafat Plato daripada fisafat Aristoteles. Al-Farbi sependapat dengan Plato bahwa alam ini adalah “baru” dan terjadi dari tidak ada. Pendapat yang senada juga diungkapka oleh Al-Kindi (185-252 H/801-816 M).[32]
Kalau kita melihat terhadap perkembangan filsafat Al-Farabi, telah banyak filsuf Barat yang telah terpengaruhi oleh filosofinya, seperti Albert the Great dan Thomas Aquinas. Mereka adalah tokoh-tokoh yang sering mengutip pemikiran Al-Farabi. Pemikiran falsafah Al-Farabi menjadi dasar pijakan bagi Ibnu Sina. Harmonisasi yang dilakukan Al-Farabi terhadap falsfahnya dan agama dapat diselesaikan dengan tepat, dan bahkan ditambah dengan unsur-unsur tasawuf falsafi yang dikembangkannya.
Secara garis besar, terdapat lima objek kajian filosofi Al-Farabi: pertama, masalah ontologi; kedua, maslah metafisika teologis; ketiga, masalah kosmologi yang berkenaan dengan teori emanasi; keempat, masalah jiwa rasional; kelima, maslah falsafah folitik.
1.      Masalah Ontologi
Al-Farabi membagi wujud kedalam substansi dan aksigen, esensi dan eksistensi. Menurutnya, substansi adalah wujud yang ada pada dirinya sendiri, sedangkan aksigen selalu memerlukan substansi yang menjadi dasar dan tergantung bagi keberadaannya. Esensi (dzat) adalah inti dari keberadaan sesuatu, sedangkan eksistensi adalah aktualisasi dari esensi. Manusia adalah eksistensi, sedangkan jiwa (ruh) manusia adalah esensi atau dzatnya. Menurut Al-Farabi esensi dan eksistensi adalah dua hal yang berbeda. Sebab jika esensi dan eksitensi merupakan satu kesatuan makna kita tidak dapat memahami yang satu tanpa yang lain. Dalam hal ini hanya ada satu wujud yang esensi dan eksistensinya satu, yaitu Tuhan.[33]
2.      Metafisika Teologi
Pertanyaan pertama yang diajukan kepada Al-Farabi adalah, dapatkah tuhan diketahui?. Dalam salah satu karyanya Al-Farabi menjawab, Tuhan dapat diketahui dan tidak dapat diketahui, tuhan itu dhahir sekaligus batin. Pengetahuan terbaik mengaenai tuhan ialah memahami bahwa dia adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran. Manusia tidak dapat mengetahui tuhan sebab kapasitas intelektual yang dimiliki manusia, yang berfungsi sebagai sarana untuk mengetahui-Nya, terbatas. Cahaya adalah media bagi mata manusia untuk mengetahui warna. Secara logis dapat disimpulkan bahwa cahaya yang sempurna akan menghasilkan pandangan yang juga sempurna. Tuhan tidak terbatas, sehingga mustahil yang tidak sempurna mencapai yang maha sempurna. Akan tetapi, hal itu bukan bahwa tuhan tidak dapat dikeahui sama sekali. Dalam hal ini Al-Farabi memberikan jalan keluar mngenai tuhan. Menurut Al-Farabi, melalui penalaran dan argument, serta kemampuan daya pikirnya, manusia dapat sampai pada pengetahauan tentang tuhan.
Al-Farabi membuktikan eksistensi tuhan dengan mengajukan beberapa argument:
Pertama, bukti dari teori gerak. Semua yang berada di alam semesta selalu bergerak, yang berujung pada satu hal yang mesti, yaitu adanya sesuatu yang tidak bergerak yang justru sebagai pengeraknya.
Kedua, penyebab effisien (efficiency causation). Demikia juga dengan adanya sebab yang beruntun yang berujung pada sebab dari segala sebab, yaitu Tuhan.
Ketiga, argumen mumkin al-wujud. Semua yang berada di dunia merupakan realitas yang mengandung kebolehjadian. Sedangkan wajib al-wujud adalah sesuatu yang realitas menjadi sebuah keharusan, dan bahkan ia menjadi sandaran dari segala yang ada. Itulah Tuhan. Al-Farabi memberikan sifat tuhan sama seperti filusuf teistik modern; dalam pengertian manusia dapat mengetahui tuhan melalui ciptaan-Nya.[34]
Al-Farabi menjelaskan metafisik (ketuhanan) menggunakan pemikiran Ariatoteles dan Neopltonisme. ia berpendapat bahwa Al-Maujud Al Awwal sebagai sebab sebab pertama bagi segala yang ada. Dalam pembuktian adanya tuhan, Al-Farabi menggunakan Dalil Al-Wajibul Wujud dan mumkinil Al-Wujud. [35]
Pandangan Al-Farabi mengenai sifat tuhan sejalan dengan paham Mu’tazilah, yakni sifat tuhan tidak berbeda dengan subsatnsi-Nya.[36] Tentang ilmu Tuhan, Al-Farabi terpengaruhi oleh Arisoteles yang mengatakan bahwa tuhan tidak mengetahui dan memikirkan alam. Pemikiran ini dikembangkan oleh Al-Farabi dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyah (particular). Maksudnya, pengetahuan tuhan tentang yang rinci tidak sama dengan pengetahuan manusia. Tuhan sebagai ‘aql hanyan dapat menangkap yang kulli (universal), sedangkan untuk yang juz’i hanya dapat ditangkap oleh pancaindra. Oleh karena itu, pengetahuannya tentang juz’i tidak secara langsung, melainkan Ia sebagai yang juz’i.[37]
3.      Kosmologi
Kebenaran Tuhan adalah suatu keniscayaan, dan keberadaan alam semesta juga merupaka kebenaran yang tidak dapat disangkal. Yang menjaadi pertanyaan ialah bagimana hubungan alam semesta dengan tuhan?. Dalam menjawab masalah ini, Al-Farabi mengedepankan teori emanasi. Sebenarnya teori Al-Farabi ini diadopsi dari teori filusuf Yunani terdahulu, terutama Neo-Platonisme, Plotinus, mengenai pelimpahan atau emanasi.
4.       Psikologi
Jiwa manusia memancar dari akal x. pendapat Al-Farabi mengenai kapasitas jiwa sejalan dengan pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa jiwa mempunyai daya-daya: pertama:
1.      daya gerak (al-muharrikah),
2.      daya mengetahui (al-mudrikah) yang meliputi dua daya lainnya, yaitu: daya merasa (al-hasanah) dan daya imajinasi (al-mutakhayyilah).
3.      daya berfikir (an-nathiqoh) yang meliputi akal praktis dan akal teoritis.
Dari ketiga daya tersebut, menurut Al-Farabi, hanya daya berfikir yang memiliki beberapa tingkatan.[38]
Konsep Al-Farabi mengenai akal x ini merupakan ramuan dari berbagai sumber. Al-Farabi sendiri menegaskan teori akal yang dipakainya didasarkan pada Aristoteles, yaitu bagian ketiga darianima Aristoteles. Sementara teori emanasi Al-Frabi dapat ditelusuri pada konsep Plotinus dan Madzhab Alexandria. Konsep jiwa dan akal-akal Al-Farabi erat kaitannya dengan konsep epistimologi. Pola dasar yang menjadi acuan konsep epitimologi Al-Farabi berujung pada penyatuan dua aliran falsafah. Al-Farabi berusaha menyatukan gagasan Aristoteles dengan Plato, seperti yang tersirat dalam jam’u baina ra’yu al-hakimain.
5.      Falsafah politik  
Dalam pemikiran politik, Al-Farabi telah menulis karya sendiri tentang kota utama (al-madinah al-padhilah). Kota digambarka sebagai sebuah badan manusia yang memiliki anggota dan fungsi masing-masing. Kepala memang posisi terpenting sebab bertugas mengatur masyarakatnya. Kepala adalah sumber pengaturan dan keharmonisan masyarakat. Kepala mesti bertubuh sehat, kuat dan pintar, cinta ilmu pengetahuan dan keadilan. Kepala harus mempunyai kemampuan akal ketiga, akal perolehan yang dapat berhubungan dan berkomunikahsi dengan akal sepuluh sebagai pengatur bumi. Sebaik-baik kepala ialah nabi atau rasul. Jika tidak ada yang memiliki sifat-sifat nabi atau rasul, Negara diserahkan kepada mereka yang memiliki sifat filsuf, yang mampu berbuat adil. Tugas lain dari kepala Negara adalah mendidik rakyatnya agar berakhlak mulia.[39]




[1] Hasyim Nasution, 2002, “filsafat Islam”. (Jakarta: Gaya Media Pratama). Hal 32
[2] Poerwanto dkk, 1988, “Seluk-beluk Filsafat Islam”. (Bandung: Rosdakarya). Hal 133
[3] A. Mustofa, 2009, “Filsafat Islam”, (Bandung: CV Pustaka Setia) hal. 125-127
[4] Al-Farabi Membagi Jiwa manusia kepada tiga bagian:
1.       Jiwa vegetatif, yaitu memiliki daya makan, tumbuh, berproduksi.
2.       Jiwa sensitif, yaitu memiliki daya gerak, pindah, menangkap dengan panca indra
3.       Jiwa rasional, yaitu yang memiliki daya berfikir (akal).
Al-farabi membagi akal menjadi 4 tingkatan:
a.        Akal potensial (material)
b.       Akal mungkin (bakat/pengetahuan rasional 1)
c.        Akal aktual (Pengetahuan rasional II)
d.       Akal mustafad (akal perolehan/pengetahuan intuitif). => akal inilah yang tertinggi dan dimiliki para filusuf, akal ini sudah bisa menangkap arti-arti murni yang tidak berhubungan dengan material. Akal mustasyfa sudah bisa berkomunikasi dengan akal kesepuluh.
[5] Sudarsono,2010, “Filsaft Islam”, (Jakarta: Rineka Cipta). Hal 33
[6] Hasan basri & Zaenal Mufti , 2009, “Filsafat Islam”,  (Bnadung, CV. Insan Mandiri)
[7] Cabang filsafat yang paling kuno dan berasal dari yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang ebrsifat konkret. Tokoh yunani yang memiliki pandangan yang ebrsift ontologis dikenal seperti thales, plato dan Aristoteles. Menurut bahasa Ontologi, berasal dari akata Onto 9ada) dan Logos (ilmu) jadi ontologi adalah ilmu tentang hakikat yang ada. Secara istilah adalah ilmu yang emmbahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan kenyataan yang asa, baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak. (Lihat, jujun S. Suriasumantri, 1985: 5) Ontologi pertema kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius tahun 1636 M yang menamai tentang teori hakikat yang ada bersifat metafisis. Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua.
a.        Metafisika umum, istilah lain dari ontologi.
b.       Metafisika khusus masih di bagi menjadi 3 kosmologi, psikologi dan teologi (Amsal bahtiar, filsafat ilmu, jkaarta, 2004: 135)
Ada beberapa Aliran Ontologi, tapi diantaranya:
a.        Monoisme, bahwa hakikat asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua baik yang asal berupa materi atau rohani. Paham ini terbagi dua aliran:
1.       Materialisme.
-          Dipelopori bapak filsafat yaitu Thales (624-564 SM). Dia berpandapat bahwa sumber asal adalaha ir karena pentingnya bagi kehidupan.
-          Anaximander (585-525 SM). Dia berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara dengan alasan bahwa udara merupakan sumber bagi segala kehidupan.
-          Demokritos (460-370 M), bahwa hakikat alam ini merupakan dari atom-atom yang banyak jumlahnya, atom-atom inilah yang merupakan asal dari kejadian alam ini. (Jujun S. Suriasumantri, pengantar ilmu dalam perspektif, 1996 : 64).
2.       Idealisme. Aliran ini menganggap bahwa di balik realitas fisik  pasti ada sesuatu yang tidak tanpak. Bagi aliran ini sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini hanyalah bayangan, sifatnya sementara dan menipu. Aliran ini ditemui dalam ajaran palto (428-348 SM) dengan teori idenya. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanayalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu. (Harun nasution, filsafat agama, jakarta 1982 : 53)
b.       Pluralisme. Paham ini menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur tokohnya pada masa yunani kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles bahwa substansi yang ada itu terbentuk dari dari 4 unsur atau terdiri dari 4 unsur, tanah, air, api, udara.
[8]  Theologi berasal dari abhasa latin Theos dan logos. Theos berati tuhan dan logos berarti ilmu,  theologi ilmu tentang tuhan. Teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan. (Lihat, Abdur razaq dan rosihan anwar, Ilmu kalam, (Pustaka Media:Bandung, 2006) cet. Ii hal. 14
[9] Kosmologi dari akata Kosmos (Alam) dan Logos (ilmu), kosmologi adalah ilmu pengetahuan yang emneliti asal-usul, struktur, hubungan ruang adn waktu dalam alam semesta. Kosmologi dipelajari dalam astronomi, filosofi dan agama. Adapun teori terbentuknya Alam semesta;
a.        Teori “Big-Bag”. (Paling banyak disetujui).
Teori ini berdasarkan kajian kosmologi yang menyatakan Alam semesta semula berwujud sebagai gumpalan snagat padat dan besar bagi sekelompok atom. Sekitar 13. 700 juta tahun yang lalu gumpalan ini meledak yang menghasilkan panas sampai 100 milyar celsius. Ledakan ini melontarkan amteri dalam jumlah yang sangat besar ke segala penjuru alam semesta. Materi-materi ini kemudian mengisi alam semesta dalam bentuk bintang, palnet, debu kosmis, meteor, energi.  Teori ini mengatakan bahwa benda angkasa akhirnya akan menjadi dingin dan, mengalami keruntuhan dan itulah akhir dari riwayat Alam semesta ini.
-          Pada tahun 1948 M, george gamov muncul dengan gagasan lain tentang Big Bag. Ia mengatakan setelah ledakan besar itu, sisa radiasi yang ditinggalkan oleh Alam ini haruslah ada dialam.
-          Pada tahun 1965 M, dua peneliti bernama Arno penziaz dan Robert Wilson menemukan gelombang ini tanpa sengaja. Radiasi ini yang disebut ‘radiasi latar kosmis’ bukan dari ruang tertentu tapi meliputi seluruh Alam angkasa. Radiasi ini adalah peninggalan dari tahap awal peristiwa big-bag.
-          Pada tahun 1989, NASA mengirim satelite COBE (Cosmos Backround Explorer). COBE keruang angkasa untuk melakukan penelitian tentang radiasi latar kosmis. Hanya perlu 8 menit COBE membuktikan perhitungan Penziaz dan Wilson. COBE telah menemukan sisa ledakan raksasa yang telah terjadi diawal pembentukan alam semesta.
b.       Teori “steady state”.
Alam semesta sekarang ini sama halnya dengan jutaan tahun yang lewat, dan akan sama keadaannya jutaan tahun yang akan datang. Oleh karena itu pengikut teori ini tidak mempercayai akan berakhirnya alam semesta.
[10] Sudarsono,2010, “Filsafat Islam”, (jakarta: Rineka Cipta). Hal 37-38
[11] Ibid,.. hal 74-77
[12] H. sirajudin , 2012, “filsafat Islam”, (Jakarta: PT Rajagrapindo Persada). Hal 78-79
[13] Ibid,.. hal 79-81
[14] H. sirajudin , 2012, “filsafat Islam”, (Jakarta: PT Rajagrapindo Persada) hal 87-88
[15] Hasyim Nasution, 2002, “filsafat Islam”. (Jakarta: Gaya Media Pratama). Hal 32
[16] Heris Hermawan, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Insan Mandiri, 2011), Cet. Ke-1, hlm. 32
[17] Supriyadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung, CV.Pustaka Setia, 2009), Cet. Ke-1, halm 86.
[18] Supriyadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2009) Cet. Ke 1, hlm. 96-98
[19] Heris Hermawan, Filsaft Islam, (Bandung, CV. Insan Mandiri, 2011), Cet. Ke-1. Hlm. 43-44
[20] A. Khudori Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004, h. 60.
[21] A. Khudori Soleh. Ibid, h. 61.
[22] Hasyimsyah Nasution. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2001. h. 32.
[23] A. Hanafi. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1991. h. 7.
[24] A. Hanafi. Op Cit. hlm. 8
[25] Muhammad ‘UstmanNajati. Jiwa dalam Pandangan para Filosof Muslim. Bandung: Pustaka Hidayah. 1993. h. 63
[26] A. Mustofa. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. 1999, h. 146-147
[27] Muhammad ‘UstmanNajati. Op Cit. h. 76.
[28] Jamil Shaliba. Tarikh al-Falsafahal-‘Arabiyah, cet. II. Beirut: Dar al-Kutubal-Lubhani. 1973. h. 163.
[29] Muhammad ‘UstmanNajati. Op Cit. h. 74-75.
[30] Ibid. h. 134.
[31] Heri Hermawan. Yaya Sunarya, Filsafat Islam,Hlm.30-31
[32] Juhaya s. Praja, Pengantar Filsafat Islam, Hlm.84
[33] Amroeni Drajat, Suharwadi: Kritik Falsafah Peripotetik,Hlm.119-122
[34] Amroeni Drajat, Suharwadi: Kritik Falsafah Peripotetik, hlm.123
[35] Juhaya s. Praja, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 88
[36] Juhaya s. Praja, Pengantar Filsafat Islam, hlm.88
[37] Ibid, hlm 89
[38] Amroeni Drajat, Suharwadi: Kritik Falsafah Peripotetik, hlm. 126
[39] H.A. Mustofa, Filsafat Islam, Hlm.127-128

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...