Selasa, 24 April 2018

Kumpulan Makalah sosiologi dan antropologi semester 1



MAKALAH SOSIOLOGI & ANTROPOLOGI PENDIDIKAN SEMESTER I
Syaripullah, MA.
R. 3.15
KATA PENGANTAR
          Alhamdulillahhirobbil alamin, segala puji bagi Allah tuhan semesta Alam, dan sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Alam nabi besar muhammad saw.
      Pertama saya sangat berterima kasih kepada dosen Mata kuliah PKN yaitu Dr. Euis srimulyani, MA yang telah memberikan berbagai ilmunya selama awal perkuliahan 1 September 2016 sampai januari 6 Januari 2017
      Alhamdulillah tulisan ini penulis ketik dan bahan di kumpulkan 4 bulan lebih ini merupakan makalah selama perkuliahan, semoga bermanfaat.


Penulis:


SYAHRUL RAMADHAN
(11160110000004)
Komplek Grand Puri Laras, Blok H. No. 94, Jln, Legoso raya, Pisangan, ciputat, kota tanggerang selatan, banten.
Tanggal: Rabu, 7 Febuari 2018
Waktu: 05.46 WIB.


PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2017



DAFTAR ISI
1.      Sosiologi pendidikan............................................................................................... 3
2.      Sejarah & Ruang lingkup antropologi pendidikan................................................... 9
3.      Tokoh sosiologi pendidikan dan pemikirannya..................................................... 21
4.      Tokoh antropologi pendidikan............................................................................... 26
5.      Pendidikan islam diindonesia................................................................................ 35
6.      Sosiologi & antropologi agama.............................................................................. 49
7.      Pemikiran ibnu khaldum........................................................................................ 59
8.      Pendekatan-pendekatan dalam sosiologi pendidikan............................................ 67
9.      Pendekatan antropologi pendidikan...................................................................... 69
10.  Antropologi agama & hubungan keduanya........................................................... 78





















Kelompok.........1
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
A.    Sejarah Sosiologi Pendidikan.
Kata atau istilah ”sosiologi” pertama-tama muncul dalam salah satu jilid karya tulis Auguste Comte (1978 – 1857) yaitu di dalam tulisannya yang berjudul ”Cours de philosophie Positive.” Oleh Comte, istilah sosiologi tersebut disarankan sebagai nama dari suatu disiplin yang mempelajari ”masyarakat” secara ilmiah. Dalam hubungan ini, ia begitu yakin bahwa dunia sosial juga ”berjalan mengikuti hukum-hukum tertentu” sebagaimana halnya dunia fisik atau dunia alam.[1]
Berdasarkan hal diatas, kita tahu bahwa Comte menyakini dunia sosial juga dipelajari dengan metode yang sama sebagaimana digunakan untuk mempelajari dunia fisik atau kealaman. Dan bidang kajian sosiologi pendidikan sendiri, berangkat dari keinginan para sosiologi untuk meyumbangkan pemikirannya bagi pemecahan masalah pendidikan. Dalam pandangan mereka, pada saat itu sosiologi pendidikan diasosiakan dengan konsep ”EducationalSociology.”
Dalam perkembangannya, pada tahun 1914 sebanyak 16 lembaga pendidikan menyajikan mata kuliah ”Educational Sociology” pada periode berikutnya, muncul berbagai buku yang memuat bahasan mengenai ”Educational Sociology,” termasuk juga berbagai konsep tentang hubungan antara sosiologi dengan pendidikan.
Selama puluhan tahun pertama, perkembangan sosiologi pendidikan berjalan lamban. Perkembangan signifikan sosiologi pendidikan ditandai dengan diangkatnya Sir Fred Clarke sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Kependidikan di London pada tahun 1937. Clarke menganggap sosiologi mampu menyumbangkan pemikiran bagi bidang pendidikan.
Sehubungan dengan penamaan sosiologi pendidikan, terdapat perdebatan yang cukup tajam tentang penggunaan istilah-istilah yang digunakan antara lain sociological approach to education, educational sociology of education, atau the foundation. Pada akhirnya dipilih istilah sociology of education dengan tekanan dan wilayah tekanannya pada proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan.
Adapun perkembangan sosiologi di Indonesia diawali hanya sebagai ilmu pembantu belaka, namun seiring timbulnya perguruan tinggi dana kesadaran bahwa sosiologi sangat penting dalam menelaah masyarakat Indonesia yang sedang berkembang maka sosiologi yang salah satunya adalah sosiologi pendidikan menempati tempat yang penting dalam daftar kuliah di beberapa perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
B.     Pengertian Sosiologi.
Secara etimologis sosiologi berasal dari kata latin “socius” dan kata Yunani “logos”. “Socius” berarti kawan, sahabat, sekutu, rekan, masyarakat. “logos” berarti ilmu. Jadi sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat.[2]
Dari segi isi, banyak ahli sosiologi mengemukakan berbagai definisi sosiologi dan pasti berbeda sosiolog berbeda pula cara pandangnya, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dan per-bedaan pemahaman. Nah, dalam pembahasan pengertian sosiologi ini, penyusun mencoba memaparkan suatu perbedaan pandangan dan pemahaman tentang pengertian sosiologi menurut para sosiolog dibawah ini, yang bisa mempengaruhi kita dalam melihat realitas pendidikan dalam sudut pandang sosiologi:
1.      David  B. Brinkerhoft dan Lynn K. White
Brinkerhoft dan White (1989: 4) berpendapat bahwa sosiologi adalah studi sistematik tentang interaksi sosial manusia. Interaksi sosial disini diartikan sebagai suatu tindakan timbal balik antara dua orang atau lebih melalui suatu kontak dan komunikasi.  Kontak merupakan tahap awal dari terjadinya interaksi sosial. Kontak berasal dari bahasa latin, yaitu conatau cum dan tango. Con berarti bersama-sama, sedangkan tango bermakna menyentuh. Jadi, arti harfiah dari kontak adalah bersama-sama menyentuh. Kontak yang dimaksud bisa verbal dan non verbal. Sedangkan komunikasi diserap dari bahasa Inggris, communication, berakar dari perkataan bahasa Latin, yaitu communico berarti membagi, communis bermakna membuat kebersamaan, communicare yang artinya berunding atau bermusyawarah, atau communination yang maknanya pemberitahuan, penyampaian atau pemberian. Dari pengertian kata ini, komunikasi dapat dipahami sebagai suatu proses penyampaian informasi timbal balik antara dua orang atau lebih. Informasi yang disampaikan dapat berupa kata-kata, gerak tubuh atau simbol lainnya yang memiliki makna. Makna dari suatu kata, gerak tubuh atau simbol lainnya, menurut herbert blumer, berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Seperti kontak, komunikasi juga bisa berupa verbal dan non verbal. Jadi syarat terjadinya interaksi sosial adalah kontak dan komunikasi.
Definisi sosiologi dari Brinkerhoft dan White diatas, menempatkan manusia sebagai manusia yang aktif kreatif. Manusia adalah sebagai pencipta terhadap dunianya sendiri. Proses penciptaan ini berlangsung dalam hubungan interpersonal. Oleh karena itu, sosiologi yang dikembangkan lewat definisi ini ialah sosiologi mikro.
2.      Paul B. Horton dan Chester L. Hunt
Horton dan Hunt (1987: 3) berpandangan bahwa sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat. Mereka mendefinisikan masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah mandiri, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok ini.
Sedangkan, menurut P.L. Bergert, masyarakat merupakan suatu keseluruhan kompleks hubungan yang luas sifatnya. Maksud keseluruhan kompleks hubungan yaitu terdapat bagian-bagian yang membentuk kesatuan. Bagian-bagian dalam masyarakat adalah hubungan sosial, seperti:nhubungan antarjenis kelamin, antar-usia, antar dan interkeluarga dan hubungan perkawinan. Keseluruhan hubungan sosial ini dikenal dengan masyarakat. Masyarakat, berdasarkan definisi Bergert, dilihat sebagai sesuatu yang menunjuk sistem interaksi.
Dari devinisi sosiolog diatas maka jelaslah, defenisi Horton dan Hunt lebih menekankan aspek ruang dan kuantitas. Sedangkan Berger lebih menekankan aspek kualitas dan konstruktif.[3]
C.     Pengertian Pendidikan
Paedegogic berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata “pais”, artinya anak, dan ”again” diterjemahkan membimbing, jadi paedagogic yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak.
Secara definitif pendidikan (paedagogic) diartikan, sebagai berikut:
1.    Pengertian Pendidikan Menurut Prof. Dr. John Dewey: Pendidikan adalah suatu proses pengalaman. Karena kehidupan adalah pertumbuhan, Pendidikan berarti membantu pertumbuhan batin tanpa dibatasi oleh usia. Proses pertumbuhan ialah proses menyesuaikan pada tiap-tiap fase serta menambahkan kecakapan di dalam perkembangan seseorang.
2.    Pengertian Pendidikan Menurut Prof. H. Mahmud Yunus: Pendidikan adalah usaha-usaha yg sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak dengan tujuan peningkatan keilmuan, jasmani dan akhlak sehingga secara bertahap dapat mengantarkan si anak kepada tujuannya yg paling tinggi. Agar si anak hidup bahagia, serta seluruh apa yg dilakukanya menjadi bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
3.    Pengertian Pendidikan Menurut Prof. Herman H. Horn: Pendidikan adalah proses abadi dari penyesuaian lebih tinggi bagi makhluk yg telah berkembang secara fisk dan mental yg bebas dan sadar kepada Tuhan seperti termanifestasikan dalam alam sekitar, intelektual, emosional dan kemauan dari manusia.
4.    Pengertian Pendidikan Menurut M.J. Langeveld: Pendidikan adalah setiap pergaulan yg terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan lapangan atau suatu keadaan dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung.[4]
Secara sederhana Pendidikan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut juga dipahami bahwa pendidikan merupakan proses, cara dan perbuatan mendidik[5]
Dari definisi diatas, penyusun dapat mengambil kesimpulan bahwa pendidikan merupakan suatu proses usaha yang disengaja untuk membimbing, mengajar, melatih peserta didik dalam rangka mengubah sikap, mental, peningkatan keilmuan, jasmani dan akhlak menjadi dewasa sehingga secara bertahap dapat mengantarkan si anak kepada tujuannya yg paling tinggi. Agar si anak hidup bahagia, serta seluruh apa yg dilakukanya menjadi bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Jadi dalam Pendidikan, terdapat komponen-komponen pendidikan yaitu beberapa diantaranya: pendidik, peserta didik, tempat, materi, metode.
D.    Pengertian Sosiologi Pendidikan
Sosiologi pendidikan dapat didefinisikan dengan dua cara. Pertama, sosiologi pendidikan didefinisikan sebagai suatu kajian yang mempelajari hubungan antara masyarakat, yang di dalamnya terjadi interaksi sosial, dengan pendidikan. Dalam hal ini, dapat dilihat bagaimana masyarakat memengaruhi pendidikan. Juga sebaliknya, bagaimana pendidikan memengaruhi masyarakat.
Tuntunan bagaimana masyarakat memengaruhi pendidikan biasanya berasal dari budaya termasuk didalamnya hukum, ideologi dan agama. Contohnya: setiap masyarakat memiliki pola busana. Pola busana ini menjadi rujukan bagi anggota masyarakat untuk memilih warna, model atau bahan apa yang tepat atau sepantasnya dikenakan untuk suatu momen tertentu dari kehidupan kita dalam masyarakat. Pola busana ini disosialisasikan oleh anggota senior masyarakat kepada anggota juniornya. Sosialisasi merupakan salah satu proses pendidikan.
Selanjutnya bagaimana pendidikan mempengaruhi masyarakat. Banyak aspek kehidupan masyarakata yang didalamnya dipengaruhi oleh pendidikan. Misalnya: sebuah perusahaan akan menerima seorang karyawan salah satunya ditentukan oleh pendidikannya. Demikian pula dengan pola konsumsi dan pola pengasuhan anak dipengaruhi oleh pendidikan.
Kedua, sosiologi pendidikan didefinisikan sebagai pendekatan sosiologis yang diterapkan pada fenomena pendidikan. Pendekatan sosiologis terdiri dari:
1.    konsep.
Konsep merupakan pengertian yang menunjuk pada sesuatu. Konsep sosial ialah konsep keseharian yang digunakan untuk menunjuk sesuatu dan yang dipahami secara umum dalam suatu masyarakat. Konsep sosiologis merupakan konsep yang digunakan sosiologi untuk menunjuk sesuatu dalam konteks akademik.
2, Variabel
Variabel adalah konsep akademik, termasuk sebagai konsep sosiologis, bukan konsep sosial. Variabel merupakan konsep yang memiliki pariasi nilai.
3.    Teori
Teori merupakan abstraksi dari kenyataan yang menyatakan hubungan sistematis antara penomena sosial.
4.    Metode
Adapun metode sosiologi bertujuan sebagai alat untuk melakukan penelitian. Metode penelitian sosiologi berkembang dalam bentuk pendekatan penelitian kualitatif dan pendekatan penelitian kuantitatif yang meliputi metode survei, studi kasus, studi eksperimen, analisis sekunder, studi dokumen, analisis isi, dan grounded reasearch. Berikut sajian suatu model penelitian secara umum mengikuti langkah yang relatif sama dengan penambahan dan pengurangan tahapan:
a.    Memilih suatu topik
b.    Mendefinisikan masalah
c.    Meninjau bahan pustaka
d.   Merumuskan suatu hipotesis
e.    Merumuskan definisi operasional atau definisi konsep
f.    Memilih suatu metode penelitian
g.    Mengumpulkan data
h.    Analisis hasil
i.     Menulis dan menyebarkan hasil penelitian
Fenomena pendidikan tidak hanya terbatas pada tataran mikro saja seperti: proses belajar mengajar dilembaga pendidikan tetapi juga pada tataran makro seperti politik pendidikan. Selain itu, tidak hanya menyangkut realitas subjektif seperti sosialisasi tetapi juga realitas objektif seperti ideologi pendidikan. Fenomena pendidikan berkembang seiring dengan perkembangan teknologi, informasi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu, per-kembangan sosiologi pendidikan selalu terbuka dan dinamis seiring dengan perkembangan masyarakat dan kehidupan yang melingkupinya.[6]
E.     Ruang Lingkup Pendidikan
Penelitian dan analisis terhadap sistem pendidikan berdasarkan keduanya yang sekarang, tentunya sudah bisa dikuatkan antar-antar ruang lingkup sosiologi pendidikan. Karena minat dan pengalaman, ruang lingkup yang diajukan ini terbatas pada wilayah analisis seputar sistem pendidikan formal.
Dalam hubungan ini, Nasution mengemukakan ruang lingkup sosiologi pendidikan meliputi pokok-pokok berikut ini:
1.    Hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat
a.    Hubungan pendidukan dengan sistem sosial atau struktur sosial
b.    Hubungan antara sistem pendidikan dengan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan
c.    Fungsi pendidikan dalam kebudayaan
d.   Fungsi sistem pendidikan dalam proses perubahan sosial dan kultural atau usaha mempertahankan status quo, dan
e.    Fungsi sistem pendidikan formal bertalian dengan kelompok rasial, kultural dan sebagainya
3.      Hubugan antar manusia di dalam Sekolah
a.    Hakikat kebudayaan Sekolah sejauh ada perbeadaanya dengan kebudayaan diluar sekolah dan
b.    Pola interaksi sosial dan stuktur masyarakat Sekolah, yang antara lain meliputi berbagai hubungan kekuasaan, stratifikasi sosial dan pola kepemimpinan informal sebagai terdapat dalam clique serta kelompok-kelompok murid lainnya
4. Pengaruh Sekolah terhadap perilaku dan kepribadian semua pihak disekolah / lembaga pendidikan
a.    Peranan sosial guru-guru / tenaga pendidikan
b.    Hakikat kepribadian guru / tenaga pendidikan
c.    Pengaruh kepribadian guru / tenaga kependidikan terhadap kelakuan anak / peserta didik, dan
d.   Fungsi sekolah / lembaga pendidikan dalam sosial murid / peserta didik.
5.    Hubungan lembaga pendidikan dalam masyarakat
Di sini dianalisis pola-pola interaksi antara sekolah/ lembaga pendidikan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dalam masyarakat di sekitar sekolah / lembaga pendidikan. Hal yang termasuk dalam wilayah itu antara lain yaitu :
a.    Pengaruh masyakarat atas organisasi Sekolah /lembaga pendidikan
b.    Analisis proses pendidikan yang terdapat dalam sistematis sosial dalam masyarakat luar sekolah.
c.    Hubungan antara Sekolah dan masyarakat pendidikan dan
d.   Faktor-faktor demografi dan ekologi dalam masyarakat yang berkaitan dengan organisasi Sekolah, yang perlu untuk memahami sistem pendidikan dalam masyarakat serta integrasinya di dalam kehidupan masyarakat.

Ruang lingkup sosiologi pendidikan tersebut pada dasarnya untuk mempererat dan meningkatkan tujuan pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, sosiologi pendidikan tidak akan keluar dari upaya-upaya agar pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan tercapai menurut pendidikan itu sendiri.[7]
F.      Pendidikan Sebagai Kajian Interdisiplin dan Intradisiplin
Konsep disiplin dalam pembicaraan kita adalah ilmu pengetahuan (science), misalnya ilmu ekonomi, manajemen, sosiologi, antropologi, dan psikologi. Dengan demikian, kajian interdisiplin yang dimaksudkan disini ialah kajian lintas ilmu yang berbeda atau antar ilmu yang berbeda. Adapun kajian intradisiplin ialah kajian di dalam ilmu itu sendiri yang memiliki berbagai macam cabang ilmu. Sosiologi memiliki beberapa cabang ilmu, misalnya sosiologi industri, hukum, ekonomi, industri, pendidikan, polotik dan perilaku menyimpang.
Pendidikan memang merupakan salah satu kajian utama dalam ilmu pendidikan, namun sekarang pendidikan telah menjadi kajian interdisiplin. Pendidikan  tidak hanya dikaji oleh ilmu pendidikan, tetapi juga oleh ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi, ilmu ekonomi, antropologi, psikologi dan politik. [8]
FOOTNOTE
[1] Faisal, Sanapiah dan Yasik, Nur, Sosiologi Pendidikan, Surayaba: Usaha Nasional, t.t, Hlm. 11. Lihat juga https://surudin.wordpress.com/
[2] Chaerudin, dkk, Materi Pokok Pendidikan IPS 1, Jakarta: Universitas Terbuka, Thn. 1995, Hlm. 67. Lihat juga https://surudin.wordpress.com/
[3] Prof. Dr. Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prehada Media Group), Th. 2011, Hlm. 1-8
[4]http://www.pengertianahli.com/2013/07/pengertian-pendidikan-menurut-para-ahli.html
[5] Ibid, Hlm. 8
[6] Ibid 8-15
[7] Nasution, Sosiologi Pendidikan,Jakarta: Bumi Aksara, Thn. 2004, Hlm. 6-7. Lihat juga https://surudin.wordpress.com/
[8] Ibid 16
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.......2
SEJARAH DAN RUANG LINGKUP ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
A.     (Teori Antrologi Pendidikan).
Antrpologi pendidikan mulai menampilkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada pertengahan abad-20. Pada waktu itu banyak pertanyaan yang diajukan kepada tokoh pendidikan tentang sejauhmana pendidikan dapat mengubah suatu masyarakat. Sebagaimana di ketahui pada waktu itu negara maju tengah mengibarkan program besarnya, yakni menciptakan pembangunan di negara-negara yang baru merdeka (hadad,1980). Antropologi pendidikan berupaya menemukan pola budaya belajar masyarakat (pedesaan dan perkotaan) yang dapat menciptakan perubahan sosial. Demikian juga mengenai perwujudan kebudayaan para pengambil kebijakan pendidikan yang berorientasi pada perubahan sosial budaya mendapat perhatian.
Pada awalnya Antropologi dipandang sebagai ilmu yang menggambarkan kebudayaan masyarakat yang ada di luar Eropa. Bahan dasar pembentunkan ilmu itu dikumpulkan sejak abad ke-18 ketika banyaknya cerita-cerita orang perorangan yang kebetulan bertemu dengan kelompok suku bangsa yang kehidupannya amat unik dan bersahaja dalam perspektif bangsa Eropa. Cerita-cerita tersebut diperkuat dengan perjalanan ilmuan yang mengunjungi masyarakat kelompok tersebut, yang didukung oleh laporan administrasi pegawai colonial tentang keadaan lingkungan dan adat istiadat bangsa yang berada dikoloninya. Sejumlah informasi tersebut menjadi sekumpulan data berharga untuk menjadi bahan analisis ilmuan, termasuk pihak pemerintah colonial untuk mendorong dilakukannya serangkaian penelitian yang sistematis mengenai kehidupan bangsa diluar benua Eropa.
B.     Pengertian.
1.      Antropologi
Antropologi adalah kajian tentang manusia dan cara-cara hidup mereka. Antropologi mempunyai dua cabang utama, yaitu antropologi yang mengkaji evolusi fisik manusia dan adaptasinya terhadap lingkungan yang berbeda-beda, dan antropologi budaya yang mengkaji baik kebudayaan-kebudayaan yang masih ada maupun kebudayaanyang sudah punah. Secara umum antropologi budaya mencakup antropologi bahasa yang mengkaji bentuk-bentuk bahasa, arkeologi yang mengkaji kebudayaan-kebudayaan yang masih punah, etnologi yang mengkaji kebudayaan yang masih ada atau kebudayaan yang hidup yang masih dapat di amati secara langsung.[1]
Antropologi merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budayamasyarakat suatu etnis tertentu. Lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropayang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal di daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologitetapi pada sosiologi lebih menitikberatkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi adalah suatu ilmu yang memahami sifat – sifat semua jenis manusia secara lebih banyak. Antropologi yang dahulu dibutuhkan oleh kaum misionaris untuk penyebaran agama Nasrani dan bersamaan dengan itu berlangsung system penjajahan atas Negara – Negara di luar Eropa, dewasa ini dibutuhkan bagi kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Studi antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di Negara – Negara yang telah membangun sangat diperlukan bagi pembuatan – pembuatan kebijakan dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat.
Sebagai suatu disiplin ilmu yang sangat luas cakupannya, maka tidak ada seorang ahli antropologi yang mampu menelaah dan menguasai antropologi secara sempurna. Demikianlah maka antropologi dipecah – pecah menjadi beberapa bagian dan para ahli antropologi masing – masing mengkhususkan diri pada spesialisasi sesuai dengan minat dan kemampuannya untuk mendalami studi secara mendalam pada bagian – bagian tertentu dalam antropologi. Dengan demikian, spesialisasi studi antropologi menjadi banyak, sesuai dengan perkembangan ahli – ahli antropologi dalam mengarahkan studinya untuk lebih mamahami sifat – sifat dan hajat hidup manusia secara lebih banyak.[2]
2.      Sejarah Perkembangan Antropolgi.
a.       antropologi muncul ketika orang pribumi di Asia, Afrika dan Amerika didatangi oleh orang Eropa. Orang Eropa tertarik kepada orang pribumi karena kebudayaan orang Eropa sangat berbeda dengan kebudayaan orang pribumi.
b.      antropopologi telah berkembang dengan tujuan utama untuk mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk mendapat suatu pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah dan evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
c.       pada fase perkembangan ketiga ini, antroplogi menjadi suatu ilmu yang praktis, dengan tujuannya adalah mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan kolonial dan guna mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks.
d.      , antropologi mengalami masa perkembangan yang paling luas, baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti maupun mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya. Pada masa perkembangan ini, antropologi mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis.
Tujuan akademis dari ilmu ini adalah mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya, masyarakat serta kebudayaan, sedang tujuan praktisdari ilmu antropologi adalah mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa itu.
Dari tahap-tahap perkembangan ilmu antropologi tampak bahwa sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain ilmu pengetahuan antroplogi pun terus mengalami perkembangan. 
[3]
Pada tahap awal sejarah perkembangannya, antropologi hanya bersifat deskripsi, kemudian dalam perkembangannya bahasan/ulasan antropologi disertai penjelasan atas dasar analisis dari interaksi antara manusia dengan kebudayaannya. Di samping itu, antropologi mempunyai perhatian utama adanya perbedaan dan persamaan (keanekawarnaan) berbagai manusia (ras) dan budaya di muka bumi.
3.      Konsep Evolusi Manusia dalam Ilmu Biologi
Dalam tahun 1858 ahli biologi C. Darwin (1809-1882) memberikan ceramah yang disponsori oleh perhimpunan Linnean di London, dan setahun kemudian terbitlah bukunya The Origin Of Species(1859). Pendirian yang diajukan dalam ceramah dan buku itu adalah bahwa semua bentuk hidup dan jenis makhluk yang kini ada di dunia itu, dengan dipengaruhi oleh berbagai macam proses alamiah, berevolusi atau berkembang sangat lambat dari bentuk-bentuk yang sangat sederhana (yaitu makhluk-makhluk satu sel) menjadi beberapa jenis baru yang komplek. Makhluk-makhluk jenis baru itu masing-masing berevolusi juga menjadi jenis-jenis baru yang bertambah kompleks lagi, dan demikian seterusnya hingga dalam jangka waktu beratus-ratus juta tahun terjadilah jenis-jenis makhluk yang paling kompleks seperti kera dan manusia.
Orang awam di Eropa Barat mula-mula sangat menentang pendirian tadi, dan walaupun sudah ada berbagai tulisan mengenai proses sejarah evolusi masyarakat manusia pada waktu itu, tetapi gagasan mengenai jenis-jenis evolusi belum dapat diterima. Hal itu di karenakan pada pertengahan abad ke-19 di Eropa ada suatu pembangkitan dan pengetatan kembali dari kehidupan keagamaan, dan gagasan-gagasan seperti gagasan Darwin itu di anggap gagasan orang kafir yang bertentangan dengan keyakinan ke agamaan  yang mengatakan bahwa semua jenis mahkluk di dunia (termasuk manusia), merupakan hasil ciptaan Tuhan yang mutlak. Kecuali itu gagasan bahwa manusia dan kera merupakan keturunan dari suatu makhluk yang sama, bahkan bahwa manusia adalah keturuna Kera , merupakan gagasan yang awam terlampau sulit untuk di terima.
Di samping C. Darwin ada pula ahli biologi lain, yaitu A. Wallace (1823-1913) yang secara terpisah dari Darwin[4] telah juga mengembangkan gagasan tentang evolusi mahkluk di dunia yang sama, walaupun Wallace lebih memperluas soal proses seleksi alam dalam penentuan bentuk fisik dari jenis-jenis yang baru dalam proses evolusi. Darwin hanya menyebut mengenai seleksi alam itu secara sepintas lalu dalam ceramahnya.[5] Pada dasarnya memang tidak ada perbedaan antara teori mengenai proses evolusi dari kedua ahli biologi itu, kedua-duanya berpendirian bahwa di antara individu-individu dalam satu jenis mahluk selalu ada perbedaan-perbedaan kecil. Beberapa individu yang lemah kurang dapat bertahan terhadap tekanan-tekanan alam, lalu mati, sedangkan individu-individu yang lebih kuat dapat bertahan dan hidup langsung. Melahirkan keturunan dan mewariskan sifat-sifatnya yang kuat tadi kepada sebagian dari keturunannya. Dalam generasi berikutnya proses tadi berulang lagi, demikian seterusnya. Menurut Wallace, semakin kejam dan keras tekanan alamnya maka semakin tinggi pula mutu yang menjadi syarat bagi organisme individu-individu dari suatu jenis yang memiliki sifat-sifat yang dapat memenuhi syarat-syarat alamiah itulah yang dapat bertahan untuk hidup terus. Inilah yang oleh Darwin maupun Wallace disebut “seleksi alam”[6].
4.      Ilmu-ilmu Bagian dari Antropologi
Di universitas-universitas Amerika, tempat antropologi telah mencapai perkembangan yang paling luas, ruang lingkup dan batas lapangan perhatian yang luas itu menyebabkan adanya tidak kurang dari lima masalah penelitian khusus, yaitu[7]:
a.       Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia (atau evolusinya) dipandang dari segi biologi.
b.      Masalah sejarah terjadinya berbagai ragam manusia, dipandang dari ciri-ciri tubuhnya.
c.       Masalah sejarah asal, perkembangan, serta penyebaran berbagai macam bahasa diseluruh dunia.
d.      Masalah perkembangan, penyebaran, dan terjadinya beragam kebudayaan di dunia.
e.       Masalah mengenai asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat-masyarakat suku bangsa di dunia.
Lapangan-lapangan penelitian yang bermaksud memecahkan kelima masalah tersebut di atas sangat luas sehingga untuk setiap masalah (yang merupakan ilmu bagian dari antropologi) diperlukan ahli-ahli yang khusus pula.  
5.      Objek Studi dan Pengamatan Antropologi
Objek studi antropologi dapat dipilah menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sasaran yang menjadi perhatian dalam penyelidikan. Mengingat lingkup pelajaran antropologi manusia dan budaya, maka sasaran penyelidikan sebagai objek material sangat luas.[8] Sasaran penyelidikan yang banyak tersebut pada umumnya juga menjadi sasaran penyelidikan ilmu pengetahuan sosial lainnya: maka objek formallah yang membedakan ciri ilmu pengetahuan antropologi dengan yang lain. Yang dimaksud objek formal adalah cara pendekatan dalam penyelidikan terhadap objek yang sedang menjadi pusat perhatiannya.
Ada tiga cara pendekatan dalam ilmu antropologi, yaitu:
1.      pengumpulan fakta. Dalam pengumpulan fakta di sini terdiri dari berbagai metode observasi, mencatat, mengolah dan melukiskan fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat hidup. Sedangkan metode-metode pengumpulan fakta dalam ilmu ini adalah penelitian di lapangan (utama), dan penelitian perpustakaan.
2.      penentuan ciri-ciri umum dan sistem. Hal ini adalah tingkat dalam cara berpikir ilmiah yang bertujuan untuk menentukan ciri-ciri umum dan sistem dalam himpunan fakta yang dikumpulkan dalam suatu penelitian. Adapun ilmu antropologi yang bekerja dengan bahan berupa fakta-fakta yang berasal dari sebanyak mungkin macam masyarakat dan kebudayaan dari seluruh dunia, dalam hal mencari ciri-ciri umum di antara aneka warna fakta masyarakat itu harus mempergunakan berbagai metode membandingkan atau metode komparatif. Adapun metode komparatif itu biasanya dimulai dengan metode klasifikasi.
3.      verifikasi. Dalam kaitan ini, ilmu antropologi menggunakan metode verifikasi yang bersifat kualitatif. Dengan mempergunakan metode kualitatif, ilmu ini mencoba memperkuat pengertiannya dengan menerapkan pengertian itu dalam kenyataan beberapa masyarakat yang hidup, tetapi dengan cara mengkhusus dan mendalam.
C.     Antropologi Pendidikan.
G.D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan social budayanya.[9] Teori khusus dan percobaan yang terpisah tidak akan menghasilkan disiplin antropologi pendidikan. Pada dasarnya, antropologi pendidikan mestilah merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai antropolog terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan. (Imran Manan, 1989)
Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakukan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.
Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah dengan kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam perspektif budaya, sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat. Namun ada kalanya sejumlah metode mengajar kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya mengeksploitasi nilai kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan pemikiran dan praktek pendidikan sebagai satu keseluruhan.
Antropologi pendidikan mulai menampakkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada pertengahan abab ke-20. Pada waktu itu banyak pertanyaan yang diajukan kepada tokoh pendidikan tentang sejauhmana pendidikan dapat mengubah suatu masyarakat. Sebagaimana diketahui pada waktu itu Negara maju tengah mengibarkan program besarnya, yakni menciptakan pembangunan di Negara-negara yang baru merdeka (Hadad, 1980). Antropologi pendidikan berupaya menemukan pola budaya belajar masyarakat (pedesaan dan perkotaan) yang dapat merubah perubahan social.
Demikian juga mengenai perwujudan kebudayaan para ahli mengambil kebijakan pendidikan yang berorientasi pada perubahan social budaya mendapat perhatian. Konferensi pendidikan antropologi yang berorientasi pada perubahan social di Negara-negara baru khususnya melalui pendidikan persekolahan mulai digelar. Hasil-hasil  kajian pendidikan dipersekolahan melalui antropologi diterbitkan pada tahun 1954 dibawah redaksi G.D. Spindler (1963). [10]
Konferensi memberi rekomendasi untuk melakukan serangkaian penelitian antropologi pendidikan di persekolahan, mengingat jalur perubahan social budaya salah satunya dapat dilakukan dengan melalui pendidikan formal. Banyak penelitian menunjukan bahwa system pendidikan di Negara-negara baru diorientasikan untuk mengokohkan kelompok social yang tengah bekuasa.
Antropologi Pendidikan sebagai disiplin kini banyak di kembangkan oleh para ahli yang menyadari pentingnya kajian budaya pada suatu masyarakat. Antropologi di negara-negara maju memandang salah satu persoalan pembangunan di Negara berkembang adalah karena masalah budaya belajar. Kajian budaya belajar kini menjadi perhatian yang semakin menarik, khususnya bagi para pemikir pendidikan diperguruan tinggi. Perhatian ini dilakukan dengan melihat kenyataan lemahnya mutu sumber daya manusia yang berakibat terhadap rentannya ketahanan social budaya masyarakat dalam menghadapi krisis kehidupan.
Orientasi pengembangan budaya belajar harus dilakukan secara menyeluruh yang menghubungkan pola budaya belajar yang ada di dalam lingkungan masyarakat dan lembaga pendidikan formal. Van Kemenade (1969) telah mengingatkan: “persoalan pendidikan jangan  hanya dianggap melulu persoalan pedagogis didaktis metodis dan tidak menjadi masalah kebikajan social, sehingga pendidikan tidak ada lagi menjadi kebutuhan bersama. Untuk itu perlu analisa empiric tentang tugas pendidikan  dalam konteks kehidupan masyarakat”[11].
Pendekatan dan teori antropologi pendidikan dapat dilihat dari dua kategori. Pertama, pendekatan teori antopologi pendidikan yang bersumber dari antropologi budaya yang ditujukan bagi perubahan social budaya.Kedua, pendekatan teori pendidikan yang bersumber dari filsafat.
Teori antropologi pendidikan yang diorientasikan pada perubahan social budaya dikategorikan menjadi empat orientasi[12]:
a.       Orientasi teoritik yang focus perhatiannya kepada keseimbangan secara statis. Teori ini merupakan bagian dari teori-teori evolusi dan sejarah.
b.      Orientasi teori yang memandang adanya keseimbangan budaya secara dinamis. Teori ini yang menjadi penyempurna teori sebelumnya, yakni orientasi adaptasi dan tekno-ekonomi yang menjadi andalanya
c.       Orientasi teori yang melihat adanya pertentangan budaya yang statis, dimana sumber teori dating dari rumpun teori structural.
d.      Orientasi teori yang bermuatan pertentangan budaya yang bersifat global atas gejala interdependensi antar Negara, dimana teori multicultural termasuk didalamnya.
D.    Konsep Budaya Belajar Pendidikan Antropologi
Budaya atau kebudayaan tidak hanya berupa fenomena yang berwujud material semata, baik yang berupa benda, tindakan ataupun emosi, melainkan sesuatu yang abstrak yang terdapat dalam pikiran manusia, yaitu berupa model system pengetahuan manusia yang digunakan oleh pemiliknya untuk menafsirkan benda, tindakan dan emosi (Geodenough dalam Spradley, 1972). Tegasnya kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosio budaya yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan pengalaman, lingkungannya yang menjadi kerangka landasan untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan (Suparlan: 1980). Berdasarkan konsep tersebut, maka budaya belajar juga dipandang sebagai model-model pengetahuan manusia mengenai belajar yang digunakan oleh individu atau kelompok social untuk menafsirkan benda, tindakan dan emosi dalam lingkungannya.
Cara pandang budaya belajar sebagai system pengetahuan mengisyaratkan bahwa, budaya belajar merupakan “pola kelakuan manusia yang berfungsi sebagaiblueprint (pedoman hidup) yang dianut secara bersama” (Keesing & Keesing, 1971). Sebagai sebuah pedoman, budaya belajar digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, yang dapat menciptakan dan mendorong individu-individu bersangkutan melakukan berbagai macam tindakan dan pola tindakan yang sesuai dengan kerangka aturan yang telah digariskan bersama. 
Budaya belajar dapat menjadi piranti proses adaptasi manusia dengan lingkungannya, baik berupa lingkungan fisik maupun lingkungan social. System pengetahuan belajar digunakan untuk adaptasi dalam kerangka memenuhi tiga syarat kebutuhan hidup, yakni:
1)      Syarat dasar alamiah, yang berupa kebutuhan biologis, seperti pemenuhan kebutuhan makan, minum, menjaga stamina, menjadikan organ-organ tubuh manusia lebih berfungsi
2)      Syarat kejiwaan, yakni pemenuhan kebutuhan akan perasaan tenang, jauh dari perasaan takut, keterkucilan, kegelisahan dan berbagai kebutuhan kejiwaan lainnya
3)      Syarat dasar social, yakni kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain, dapat melangsungkan hubungan, dapat mempelajari kebudayaan, dapat mempertahankan diri dari serangan musuh. (Suparlan, 1980, Bennet, 1976: 172)
Lebih lanjut Bunnet (1976) menjelaskan, bahwa adaptasi adalah upaya menyesuaikan dalam arti ganda, yakni manusia belajar menyesuaikan kehidupan dengan lingkungannya, atau sebaliknya manusia belajar agar lingkungan yang dihadapi dapat disesuaikan dengan keinginan dan tujuannya. Pada kenyataannya manusia memang tidak hanya sekedar menerima lingkungan dengan apa adanya, melainkan belajar untuk menanggapi bergabai masalah yang ada  di lingkungannya. Oleh karena itu, pada suatu lingkungan masyarakat terdapat ragam bentuk tindakan belajar individu atau kelompok yang pada dasarnya terdorong oleh sikap adaptif mereka. Upaya manusia melakukan belajar menyesuaikan dengan lingkungannya senantiasa berhubungan dengan pranata social, psikologis, ekonomi dan juga fisik nya. (Montagu, 1969, Smith, 1982: 85-89).
Dalam kaitannya itu, maka budaya belajar dapat dipandang juga sebagai strategi adaptasi yang berupa model-model pengetahuan belajar yang mencakup serangkaian aturan, petunjuk, resep-resep, rencana, strategi yang dimiliki dan digunakan oleh individu pembelajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya(spradley, 1972). Resep-resep tersebut berisikan pengetahuan belajar yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan dan tata cara yang digunakan untuk mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya.
Pendidikan sebagai pranata social selalu berbeda dalam tatanan system social masyarakat pendukungnya, yang memiliki kedudukan penting yang relative sama dengan pranata keluarga, agama dan pemerintahan dalam menentukan tata kelakuan seseorang dan kelompok. Oleh karena itu kepribadian seseorang adalah produk dari budaya masyarakat pendukung kebudayaan itu.
E.     Pranata Pendidikan (Ragam dan Fungsi)
Pranata social yang ada dalam masyarakat pada umumnya memilki hubungan antara satu dengan yang lainnya, bahkan untuk fungsi tertentu sering terjadi tumpang tindih. Kadang kala pranata tertentu seolah-olah memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan dengan lainnya, serta dalam kenyataannya dikesankan memiliki pengaruh yang kuat pula bagi lembaga lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan tingkat kesempurnaan dan keseimbangan antara pranata keluarga, pemerintahan, agama, ekonomi dan pendidikan.
Setiap pranata memiliki symbol tersendiri yang satu sama lain memiliki keterkaitan. Secara substansif pengenal utama setiap pranata dapat dilihat dari adanya symbol budaya, symbol perilaku dan simbul ideology. Simbul budaya adalah lambang yang dipergunakan untuk mengenal keberadaan suatu pranata. Symbol bisa dalam bentuk benda maupun bukan. Bendera, lagu kebangsaan dan logo dipergunakan sebagai penanda suatu pranata. Role of couduck merupakan aturan perilaku baik yang formal dan tradisi informal untuk menjamin perilaku agar tidak terjadi penyimpangan. Ideology yaitu pengikat suatu kelompok. Ideology memberikan aturan dalam bidang social, moral, ekonomi dan politik untuk kelompok tertentu yang umumnya diterima bersama oleh lembaga yang bersangkutan.
Dalam konteks transmisi kebudayaan, diperlukan piranti tertentu. Piranti ini adalah berbagai institusi social, baik pada lingkungan keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan sekolah dan juga media masa sebagai penyalur informasi.   
1.      Lingkungan Pendidikan Keluarga
Lingkungan keluarga adalah unit social terkecil yang memiliki peran penting dalam internalisasi. Proses identifikasi dalam keluarga menjadikan seorang anak dapat mengenal keseluruhan anggota keluarganya, baik saudara terdekat maupun saudara jauh. Seorang ayah yang berperan sebagai kepala keluarga dikenalnya melalui tindakan-tindakannya. Demikian pun kegiatan ayah dalam pekerjaan sehari-hari memungkinkan terjadinya identifikasi (bentuk peniruan) oleh anak-anaknya. Upaya peniruan yang pada mulanya dilakukan sambil lalu ini, secara perlahan akan menjadi bagian dalam transmisi buadaya. Para orang tua berfungsi sebagai nara sumber utama.
Secara tersirat budaya belajar dari peniruan, baik secara individual maupun kelompok memungkinkan terjadinya pemahaman utuh antar genersi (orang tua versus anak). Lingkungan keluarga menjadi salah satu  focus kajian antropologi pendidikan. Terutama mengenai system kebudayaan. Di dalam keluarga itulah suatu generasi dilahirkan dan dibesarkan. Mereka mendapat pelajaran pertama kali, apalagi bagi masyarakat yang belum mengenal dan menciptakan lingkungan pendidikan formal. Dalam lingkungan keluarga terdapat tiga fungsi utama dalam keluarga, yaitu: (1) fungsi seksual; (2) fungsi ekonomi; (3) fungsi edukasi.
Fungsi eduksi berkaitan dengan pewarisan budaya. Keluarga bukan hanya sebagai tempat melahirkan anak, tetapi sekaligus sebagai tempat membesarkannya. Anak dalam lingkungan keluarga belajar berbahasa, mengumpulkan berbagai pengertian serta belajar menggunakan nilai yang berlaku dalam kebudayaan. Dengan demikian, keluarga berfungsi meneruskan nilai budaya yang dimilikinya. Suasana edukasi berlangsung penuh kasih sayang, keakraban dan penuh tanggung jawab. Dengan kata lain kegiatan edukasi dilakukan secara terus-menerus dengan berbagai cara baik.
 Inti dari proses pewarisan budaya dalam keluarga adalah terjadinya interaksi penuh makna dalam suasana informal. Proses pewarisan budaya di lingkungan keluarga telah banyak mendapat perhatian antropolog. Seperti yang dilakukan oleh Margaret Mead, yang meneliti adat istiadat pengasuhan anak-anak di masyarakat Manus (sebelah utara irian). Bersama F. Cooke Mac Gregor. Med mengadakan penelitian tentang gerak-gerak tubuh anak-anak Bali, yang kemudian hasilnya dibukukan dengan judul Growth and Culture(1951).
2.      Lingkungan Pendidikan Masyarakat
J.P Gillin (1951) mengartikan masyarakat sebagai sekelompok manusia yang tersebar, dan yang memiliki kebiasaan, tradisi, sikap dan peranan untuk hidup bersama. Masyarakat terdiri atas kesatuan-kesatuan yang paling kecil. Pada prinsipnya suatu masyarakat terwujud apabila diantara kelompok individu tersebut telah lama melakukan kerja sama serta hidup bersama secara menetap. System perwarisan budaya lewat lingkungan masyarakat berlangsung dalam berbagai pranata social, diantaranya pemilihan hak milik, perkawinan, religi, system hokum, system kekerabatan, dan system edukasi. Sebagai suatu komunitas yang lebih luas, masyarakat memiliki struktur.
   Pewarisan budaya menjadi tugasbersama bagi seluruh anggota masyarakat di lingkungannya. Bila seorang anak melakukan hubungan pertemanan, maka hubungan atau interaksi social itu menunjukan hubungan yang lebih luas. Mereka akan menerima berbagai pembelajaran nilai dan norma, memperlakukan orang lain, menghormati orang yang lebih tua, dan sebagainya. Mereka juga menyerap berbagai pengetahuan dari lingkungan, mendapatkan bimbingan, dan nilai-nilai lain yang berkembang pada masyarakatnya. Pada saat anak melakukan kekeliruan, maka anggota masyarakat lainnya akan memberikan nasihat atau koreksi terhadap perilakunya yang tidak sesuai tersebut. Demikian selanjutnya seorang anak diberi pelajaran dan bimbingan oleh anggota masyarakat lainnya.
3.      Lingkungan Pendidikan sekolah
Sekolah adalah institusi yang diciptakan oleh masyarakat yang berfungsi untuk melaksanakan pembelajaran. Pembelajaran tidak hanya menyampaikan pengetahuan saja yang berupa latihan untuk kecerdasan, melainkan untuk menghaluskan moral dan menjadikan akhlak yang baik. Sekolah dalam masyarakat dikategorikan sebagai pendidikan formal. Pada dasarnya lembaga sekolah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dibidang pembelajaran. Kebutuhan masyarakat tentang pembelajaran semakin hari semakin banyak. Oleh karena itu, sekolah pada dasarnya menyiapkan dan membekali peserta didik untuk kehidupan di masa yang akan datang.
Pendidikan di sekolah dalam kerangka pewarisan budaya jelas sekali arahnya. Para pendidik yang bertugas sebagai guru melakukan penyampaian pengetahuan dan interaksi moral itu berdasarkan rancangan atau program yang disesuaikan dengan system pengetahuan dan nilai-nilai yang dianaut oleh masyarakat. Misalnya dalam mata pelajaran agama yang senantiasa harus diajarkan di berbagai tingkatan dan jenjang pendidikan di sekolah. Hal itu merupakan cermin dari masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Proses pewarisan budaya di sekolah dilakukan secara bertahap, terencana dan terus menerus. Cara pewarisan melalui lembaga sekolah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang kebudayaannya kompleks. Di Indonesia, meskipun suku bangsa masih belum dapat dijangkau mengingat letak geografisnya yang terpencil, namun pendidikan formal ini diupayakan untuk dapat dilaksanakan, misalnya dengan pola guru kunjung. Lebih dari itu, pemerintah Indonesia telah merencanakan adanya program Wajib Belajar Sembilan tahun (Pendidikan Dasar dan Sekolah Menengah Pertama) yang wajib diikuti oleh semua warga Indonesia yang berumur 7 sampai 15 tahun.
4.      Lingkungan Pendidikan Media Massa
Media massa adalah bagian dalam masyarakat yang bertugas menyebarluaskan berita, opini, pengetahuan dan sebagainya. Sifat media massa adalah mencari dan mengolah bahan pemberitaan yang actual, menarik perhatian, dan menyangkut kepentingan bersama. Berdasarkan sifatnya, media massa berfungsi sebagai control social terhadap segala bentuk penyimpangan dari nilai, norma, dan aturan yang berlaku di masyarakat. Dengan pemberitaan yang baik dan benar masyarakat menjadi tahu terhadap setiap peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar.
 Salah satu fungsi media massa adalah fungsi pendidikan bagi masyarakat. Banyaknya informasi yang diberikan, baik berupa pendapat-pendapat, masalah social budaya secara langsung maupun tidak dapat memperluas wawasan para pembacanya. Melalui media massa terjalin hubungan atau kontak social secara tidak langsung antar anggota masyarakat. Keseluruhan itu menunjukan besarnya peran media massa dalam proses transformasi budaya bagi seluruh anggota masyarakat.
F.      Aplikasi Pendidikan Antropologi bagi Pendidikan Multikulturan
Bagi pendidik persoalan pendidikan multicultural merupakan sesuatu yang sensitive dalam pengertian isu yang kompleks dan unik yang mesti diantisipasi. Dalam kaitannya dengan menumbuhkan kesadaran terhadap keberagaman ini, secara dini harus terjadi suasana saling memahami melalui interaksi yang bermakna anatr satu dengan yang lainnya. Dengan memperhatikan keragaman sebagai bagian dari lingkungan dan perilaku yang dibentuk oleh budaya, maka pembelajaran seyogyanya berpusat pada keragaman latar sosiobudaya.
Berdasarkan pandangan ini, beberapa prinsip yang perlu diperhatikan oleh seorang pendidik antara lain:
1.      Penyelenggaraan pendidikan bertumpu pada kesadaran adanya keberagaman
2.      Memahami dan mengenai pengalaman setiap individu peserta didik berdasarkan pada etnis dan keturunan, dst.
3.      Orientasi pelayanan bertolak dari kondisi keberagaman menuju keberasamaa.
4.      Kiat mempromosikan perbedaan yang ditujukan untuk membangun kesamaan dan tidak memperbesar perbedaan.
5.      Memahami peran organisasi termasuk pengusaha dan profesi sebagai sumber belajar potensial dalam pelaksanaan dan peningkatkan proses pembelajaran, pendidikan dan pelatihan.
Pendidikan multicultural tidak hanya dimaksudkan memberikan akses kepada kelompok etnik dan minoritas untuk memperoleh akses pendidikan secara baik. Tetapi menciptakan interaksi antara individu dari kelompok tersebut agar tercipta harmoni kehidupan dalam masyarakat plural. Melalui pendekatan pendidikan multicultural akan tercipta :
a.       Saling memahami perbedaan sosiobudaya.
b.      Menciptakan harmoni kehidupan dalam suasana berbeda budaya, sebab kesadaran bagaimana mengelola keragaman sosiobudaya untuk harmoni kehidupan dalam masyarakat plural telah muncul sejak tahun 1900.
FOOTNOTE
[1] Kebudayaan dan masyarakat saling mengisi, sebab tanpa hidup bersama manusia-manusia tidak mungkin menciptakan suatu kebudayaan atau “way of life” dan tanpa way of life mereka tidak dapat hidup bersama. Saya dalam waktu pendek akan mendifinisikan dan membedakan kerbudayaan dan masyarakat.
[2] Ibrahim, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Bandung: PT. IMTIMA 2007) hlm: 255.
[3]http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi
[4] Wallace sendiri mengakui bahwa Darwin yang lebih dulu membulatkan konsepsinya tentang evolusi biologi.
[5] Darwin sudah membulatkan teorinya dalam tahun 1844, tetapi hubungan korespendensi anatar Darwin dan Wallace baru timbul dalam tahun 1858.
[6] Koenjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi” (Jakarta: Universitas Islam, 1982), hlm: 22-23.
[7] Koentjaraningrat,Pengantar Ilmu Antropologi(Jakarta, PT Rineka Cipta, 2009), hlm: 10.
[9] Spindler, Op,Cit, hlm: 13.
[10] Imanan Manan,Antropologi Pendidikan, (Jakarta, P2LPTK, 1989) Hlm: 13.
[11] Ibrahim, Op. Cit. Hlm: 256.
[12] Ibrahim, Op. Cit. hlm: 260.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
TOKOH SOSIOLOGI PENDIIDKAN DAN PEMIKIRANNYA
1.      Karl Max
Karl Marx lahir dari keluarga Yahudi di Trier, Jerman pada 1818. Ibunya berasal dari keluarga Rabbi Yahudi sedangkan ayahnya berpendidikan sekuler dan pengacara yang sukses. Ketika suasana politik tidak menguntungkan bagi pengacara Yahudi, ayah dan keluarganya pindah menjadi pemeluk agama protestan.Padatahun1841, Marx meraih gelar doktor  filsafat dari Universitas Berlin, universitas yang dipengaruhi oleh pemikiran Hegel dan pengikutnya yang kritis. Ia menikah pada 1843 dan hijrah ke Paris. Di sana beliauberkenalan dengan St. Simon dan Proudhon, tokoh pemikir sosialis dengan Engels, mitra menulis sekaligus sahabat penopang ekonomi, serta dengan berbagai pemikiran ekonomi politik Inggris seperti Adam Smith dan David Ricardo. Aktif dalam berbagai gerakan buruh dan komunis.
Karl Marx dipahami oleh berbagai penulis teks buku SosiologiPendidikan  seperti  Ivor Morris(1972), K.W. Prichard dan T.H. Buxton(1973), Philip Robinson(1986) dan Mareen T. Hallin(2000) tidak memberikan banyak sumbangan teoretis terhadap pengembangan sosiologi pendidikan, namun Marx sangat berpengaruh terhadap cara berpikir tentang pendidikan dan masyarakat.[1]
2.      Emile Durkheim
Emile Durkheim dilahirkan di Epinal Prancis pada 1858 dari keluarga Yahudi, ayahnya Rabbi.Beliau studi di Ecole Superieuredi Paris. Daritahun1887 sampai 1902 menjadi guru besar dalam ilmu-ilmu sosial di Bordeaux. Pada masa tersebut,beliauberhasil menulis buku yang monumental yaitu tentang  The Division of Labor in Society, The Rules of Sosiological Methoddan Suicide. Setelah itu, beliaupindah ke Universitas Sorbonne di Paris. Pada masa itu, beliaujuga kembali menerbitkan buku The Elementary Froms of the Religious Life.
Berbeda dengan Karl Marx, sumbangan Emile Durkeim terhadap sosiologi pendidikan lebih terasa, terutama berbagai ceramahnya tentang pendidikan yang diterbitkan dalam beberapa buku seperti Educationand Society(1956), Moral Education(1961) dan Evolution of Educational Thought(1977).[2] 
3.      Max Weber
Max Weber dilahirkan di Erfurt 1864 sebagai anak tertua dari delapan orang bersaudara. Ayahnya seorang otoriter sedangkan ibunya adalah seorang saleh yang teraniaya. Oleh karena itu, terjadi cekcok hebat antara Max Weber dengan ayahnya sehingga dia mengusir ayahnya. Beliau lebih banyak dipengaruhi paman dan tantenya.  Weber mengecap berbagai pendidikan.Antara lain ekonomi, sejarah, hukum, filosofi dan teologi. Beliaumeraih gelar doktor dalam  studi organisasi dagang abad pertengahan.Beliau diangkatsebagai guru besar dalam studi sejarah afraria Romawi di Berlin serta menjadi guru besar ekonomi di Freiburg 1894 dan 1896di Heidelberg.[3]
4.      George Herbert Mead
George Herbert Mead lahir di south Hadley, massacussetts, Amerika pada 27 febuari 1863, anak dari seorang pendeta. Ayahnya bernama Hiram Mead, sedangkan ibunya bernama Elizabert Storrt Mead adalah seorang yang berkependidikan yang mengajar di obelin college selama dua tahun, kemudian menjadi presiden di mount holkoye college selama 10 tahun. Ketika berumun 10 tahun, George H. mead  masuk fakultas teologi di Oberlin di ohio, dan selesai pada tahun 1883. Ketika menjadi mahasiswa di sini dia berteman dengan henry castel, seorang yang berasal dari keluarga kaya dan berpendidikan baik. Mereka sesing berdiskusi tentang filsafat dan agama sehingga semakin kritis dan mereka banyak mengembangkan tentang sastra, puisi dan sejarah.
Penguat Fondasi Sosiologi Pendidikan merupakan para tokoh teori sosiologi yang melakukan aktivitas ilmiah berupa revisi, mengembangkan dan mempertajamkan teori yang telah dikembangkan oleh peletak fondasi teori sosiologi seperti Marx, Durkheim, Weber. Adapun tokoh penguatfondasi adalah sebagai berikut:
1.      Alfred Schurtz
Alfred lahir di Wina pada 13 April 1889.Beliau mengikuti kuliah di Universitas Wina dibidang ilmu hukum, ekonomi dan sosiologi (1918-1921).Selama di Wina,beliaujuga menghadiri kuliahdariMax Weber. Setelah meraih doktor,beliau bekerja sebagai sekretaris di sebuah bank di Wina, kemudian pindah bekerja sebagai penasihat hukum pada sebuah bank swasta.Pada tahun 1939,beliau bermigrasi ke Amerika.Pada tahun 1943,beliaumenjadi seorang akademisi dan meninggal dunia pada 20 Mei 1959.
2.      Piere Bourdieu
Piere Bourdieu  dilahirkan di kota kecil selatan Perancis pada 1930. Beliau diterima di the Ecole Normale Superieure pada tahun1950, namunbeliautidak menulis tesisMasternya karena ketidaksetujuan terhadap struktur sekolah yang otoriter.Beliau aktif menentang orientasi komunis dari sekolahnya. Pengalaman wajib militer selama dua tahun di Aljazair pada tahun1958-1960danmendorongnya untuk menulis buku. Setelah itu,beliau kembali ke Paris dan mengajar sebagai asisten Raymond Aron. Ketika kedudukan pemimpin College de France lowong karena Raymond Aron memasuki pensiun pada 1981, Bourdieu menggantikannya. Semenjak itu,beliau memegang peranan kunci dalam sosiologi Perancis.[4]
1.      Alfred Schurtz
Dalam pandangan Alfred Schutz, Max Weber tidak serius  mengembangkan apa yang dimaksud tentang verstehen (interpretative understanding) atau disebut dengan pemahaman interpretative dan teori makna. “Weber tidak membedakan antara tindakan yang dianggap sebagai sesuatu yang masih sedang berlangsung dan yang sudah selesai, antara makna penghasil suatu benda kultural dan makna benda yang dihasilkan, antara makna tindakan saya dan tindakan orang lain .“ Jadi kata Schutz, mengembangkan teori makna tanpa mendiskusikan bagaimana makna ini sendiri muncul, dipertahankan, dikemnbangkan dan diubah. Topik ini dikembangkan oleh Schutz sehingga pemikirannya dianggap sebagai fenomenologi, yaitu studi tentang cara bagaimana fenomena hal-hal yang kita sadari muncul kepada kita dan cara yang paling mendasar dari permunculannya adalah sebagai suatu aliran pengalaman indrawi (streams of experience) yang berkesinambungan yang kita terima melalui pancaindra kita.
2.      Karl Marx.
a.       PendekatanMaterialismeHistoris
Ada empat konsep penting dalam memahami pendekatan materialisme historis. Pertama, Means of Production. Kedua, Realition of Production (hubunganproduksi).Ketiga,Mode ofProduction.Keempat,Force of Production. 
Perubahan cara produksi itulah yang menyebabkan adanya perubahan sosial budaya dan dimensi pendidikan. Perubahan cara produksi tersebut terletak pada teknologi baru, penemuan sumber-sumber baru atau perkembangan baru apapun dalam bidang kegiatan produktif. 
Karena cara produksi berubah, maka muncul kontradiksi antara cara produksi dan hubungan produksi. Ketika kontradiksi telah merusak parah keseimbangan, maka ia akan berdampak pada perubahan terhadap hubungan produksi seperti perubahan pada pembagian kerja, dasar dan bentuk struktur kelas. Pada gilirannya dapat mengubah mode produksi.[5]
b.      TeoriAlienasi (Keterasingan)
Kapitalisme telah menyebabkan manusia mengalami alienasi karena hasil kreativitas produsen menjadi terasingataudiasingkan dari produsen itu sendiri. Alienasi ini bisa berupa :
(1)   Produk diluar kontrol dari produsen seperti jenis, kualitas, kuantitas, hargadan pemasaran produk.
(2)   Produsen harus menyesuaikan diri dengannya seperti mengikuti kapasitasprodusen mesin.
Oleh karena itu, menurut McLellan, manusia mengalami alienasi dalam tiga arti. Pertama, manusia teralienasi dari produk kerjanya sendiri.Dalam arti bahwa ia hanya sekadar embel-embel dari proses produksi, sebagai pelayan mesin atau orang yang memindahkan kertas di kantor. Kedua, manusia juga teralienasi dari dirinya sendiri. Dalam arti bahwa ia bekerja karena terpaksa dan sebagai akibatnya manusia diubah menjadi hewan, karena ia hanya merasa senang apabila melakukan fungsi-fungsi hewani, yakni makan, minum, dan memiliki anak-anak. Terakhir, manusia teralienasi dari sesamanya. Hubungan yang ada di tempat kerja mempengaruhi hubungan dalam kehidupan di luar kerja.
c.        Teori Perubahan Sosial
DalamThe Communist Manifesto, Marx menyatakan “Sejarah dari semua masyarakat hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas.” Perjuangan kelas berakar dari adanya pembagian kerja dan pemilikan pribadi. Keberadaan pembagian kerja dan pemilikan pribadi menghasilkan kontradiksi yang dalam dan luas pada masyarakat serta menciptakan stratifikasi sosial dalam masyarakat yaitu kelas pemilik dan kelas bukan pemilik.
d.      Tentang Agama
Menurut Marx,“agama sebagai candu masyarakat”. Pernyataan ini dapat dipahami karena Marx melihat bahwa superstruktur sosio-budaya, termasuk di dalam ideologi politik dan agama yang dibangun atas infrastruktur ekonomi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan dan persyaratan yang dimiliki oleh infrastruktur ekonomi tersebut.
3.      Emile Durkheim
Ketika beliau menjadi direktur ilmu pendidikan di Sorbon, Paris (yang kemudian menjadi dirkektur ilmu pendidikan dan sosiologi pada tahun 1913) telah memandangbahwapendidikan sebagai suatusocial thing. Masyarakat secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial didalamnya merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan.
Menurut Durkheim,pendidikan itu bukanlah hanya suatu bentuk tetapi bermacam-macam, baik dalam arti ideal maupun aktualnya. Oleh karena itu,pendidikan merupakansuatualat untuk mengembangkan kesadaran diri dan kesadaran sosial (The individual self and the social self, the I and the we or the homoduplex) yang menjadi suatu paduan yang stabil, disiplin dan utuh secara bermakna.
Durkheim pada waktu menyampaikan kuliah pengukuhannya di Sorbon, menyatakan bahwa dunia pendidikan harus melakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian seirama dengan arus deras transformasi yang berlangsung pada masyarakat modern dan beliau menyimpulkan lagi bahwa tidak ada yang melebihi pentingnya pendekatan sosiologi bagi para guru.
4.      Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun mengemukakan pemikiran baru yang menyatakan bahwa sistem sosial manusia dapat berubah seiring dengan kemampuan pola berpikir mereka, keadaan muka bumi di sekitar mereka, pengaruh iklim, makanan, emosi serta jiwa manusia itu sendiri.
Beliau juga berpendapat bahwa pola pemikiran masyarakat berkembang secara bertahap yang dimulai dari tahap primitif, pemilikan, peradaban, kemakmuran dan kemunduran (keterpurukan). Pemikiran Ibnu Khaldun dikagumi oleh tokoh sejarah keturunan Yahudi, Prof. Emeritus, Dr. Bernerd Lewis yang mengukuhkan tokoh ilmuwan itu sebagai ahli sejarah arab yang hebat pada abad pertengahan.
FOOTNOTE
[1]-Drs. Gunawan Ary. H,Sosiologi Pendidikan, Jakarta,  Rineka Cipta,2010. hal. 23
[2]- Ibid. hal.41
[3]-Ibid. hal. 28
[4]- Ahmad Abu,SosiologiPendidikan, Jakarta, PT. RinekaCipta, 2007
[5]- Zainuddin Maliki,SosiologiPendidikan, Yogyakarta, Gajah Mada University Press.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......4
TOKOH ANTROPOLOGI PENDIDIKAN.
Masih banyak orang yang sulit membedakan antara sosiologi dan antropologi. Hal ini terjadi karena kedua ilmu tersebut sama-sama mempelajari masyarakat dan seringkali pembahasannya dicampuradukkan.[1] Pada dasarnya sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial dalam menjelaskan perilaku manusia. Sedangkan antropologi adalah ilmu yang mempelajari hasil karya, cipta, dan rasa manusia, yang didasarkan pada karsa dan ciri-ciri fisik manusia.
Seseorang yang mempelajari lebih dalam ilmu sosiologi biasanya disebut dengan sosiolog. Sedang seseorang yang mempelajari secara mendalam ilmu antropologi biasanya disebut dengan antropolog. Untuk dapat membedakan dan mempelajari kedua bidang tersebut, kita terlebih dahulu mempelajari para Sosiolog dan Antropolog yang berpengaruh agar kita dapat mengetahui teori-teori dari masing-masing tokoh sehingga memudahkan kita untuk mempelajari dan memahami ilmu sosiologi dan antropologi.
A.     PEMIKIR ISLAM
Pemikir Islam tentang Sosiologi dan Antropologi Islam yang masyhur banyak sekali. Sosiolog Islam diantaranya adalah: Abu Dzar Al- Ghifari, Ibnu Kholdun, Selo Soemardjan, dan Hassan Hanafi. Sedangkan Antropolog Islam diantaranya adalah Koentjaraningrat dan Parsudi Suparlan.
1.      Sosiolog Islam.
a.       Abu Dzar Al-Ghifari
Abu Dzar berasal dari Suku Ghiffar yang tinggal di daerah yang dilalui oleh kafilah-kafilah dagang. Sebelum masuk Islam dia adalah pemuka kelompok Ghifari. Dia seorang penganut ideologi yang bersedia untuk mati demi tegaknya kebenaran. Baginya kebenaran adalah mengatakan sesuatu yang hak dengan terus terang dan menentang yang batil. Dia adalah tokoh pembela kaum mustad’afin atau kaum yang tertindas, seorang Muslim yang komited, tegar, revolusioner, yang menyampaikan pesan persamaan, persaudaraan, keadilan, dan pembebasan. Dia melakukan demonstrasi-demonstrasi dan tunjuk perasaan menentang kedzaliman penguasa. Dia menyampaikan kontrol sosial, meminta kepada orang yang berkuasa untuk berlaku adil terhadap rakyat miskin yang telah kehilangan hak-haknya. Dia juga mendorong masyarakat untuk merebut hak mereka dan memberantas kemiskinan yang mendekatkan diri kepada kekufuran. [2]
b.      Ibnu Khaldun (1332-1406) 
Sejarawan dan Bapak Sosiologi Islam ini berasal dari Tunisia. Ia keturunan dari Yaman dengan nama lengkapnya Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin Al Hasan. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Ibnu Khaldun. Nama popular ini berasal dari nama keluarga besarnya, Bani Khaldun.
Ia lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332. di tanah kelahirannya itu, ia mempelajari berbagai macam ilmu, seperti Syariat (Tafsir, Hadist, Tauhid, Fikih), Fisika dan Matematika. Sejak kecil, ia sudah hafal Al Quran. Saat itu, Tunisia menjadi pusat perkembangan ilmu di Afrika Utara.
Karya-karya besar yang lahir ditangannya, yaitu sebuah kitab yang sering disebut Al ‘Ilbar (Sejarah Umum), terbitan Kairo tahun 1284. Kitab ini terdiri atas 7 jilid berisi kajian Sejarah, yang didahului oleh Muqaddimah (jilid 1), yang berisi tentang pembahasan masalah-masalah sosial manusia.
Muqaddimah (yang sebenarnya merupakan pembuka kitab tersebut) popularitasnya melebihi kitab itu sendiri. Muqaddimahmembuka jalan menuju perubahan ilmu-ilmu sosial. Menurut pendapatnya, politik tak bisa dipisahkan dari kebudayaan dan masyarakat dibedakan atas masyarakat kota dan desa. DalamMuqaddimah ini pula Ibnu Khaldun menampakkan diri sebagai ahli Sosiologi dan Sejarah. Teori pokoknya dalam Sosiologi Umum dan Politik adalah konsepashabiyah (solidaritas sosial). Asal-usul solidaritas ini adalah ikatan darah yang disertai kedekatan hidup bersama. Hidup bersama juga dapat mewujudkan solidaritas yang sama kuat dengan ikatan darah. Menurutnya, solidaritas sosial itu sangat kuat terlihat pada masyarakat pengembara, karena corak kehidupan mereka yang unik dan kebutuhan mereka untuk saling Bantu. Relevansi teori ini misalnya dapat ditemukan pada teori-teori tentang konsiliasi kelompok-kelompok sosial dalam menyelesaikan konflik tantangan tertentu. Relevansi teori Khaldun, misalnya juga dapat ditemukan dalam teori Ernest Renan tentang kelahiran bangsa. Tantangan yang dihadapi masyarakat pengembara dalam teori Khaldun tampaknya, meski tidak semua, pararel dengan “kesamaan sejarah” embrio bangsa dalam teori Ernest Renan. Kebutuhan untuk saling Bantu mengatasi tantangan ini juga memiliki relevansi dalam kajian-kajian psikologi sosial terutama berkenaan dengan kebutuhan untuk mengikatkan diri dengan orang lain atau kelompok sosial yang lazim disebut afiliasi.[3]
Karya Ibnu Kholdul yang lain adalah Kitab al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang terdiri dari tiga buku:
a.       adalah sebagai kitab Muqaddimah, atau jilid pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya.
b.      terdiri dari empat jilid, yaitu jilid  kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang menguraikan tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa Syiria, Persia, Yahudi (Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka (orang-orang Eropa).
c.       terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika Utara).[4]
c.       Selo Soemarjan (1915 – 2003)
Prof. Dr. Kanjeng Pangeran merupakan seorang sosiolog yang mantan camat, kelahiran Yogyakarta 23 Mei 1915. Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Beliau dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959, seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, Amerika Serikat. Pada tanggal 30 Agustus 1994, beliau menerima gelar Ilmuwan Utama Sosiologi.[5]Menurut beliau, sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari struktur sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jaringan antara unsure sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok, serta lapisan-lapisan sosial.[6] Karya-karya Beliau yang telah diterbitkan diantaranya adalah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei di Sukabumi (1963).  
d.      Hassan Hanafi (1935 - …)
Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo, berasal dari keluarga musisi. Pendidikannya diawali pada tahun 1948, tamat pendidikan tingkat dasar dan Madrasah Stanawiyah “Khalil Agha” Kairo dalam waktu empat tahun. Semasa itu, telah mengikuti berbagai diskusi pemikiran Ikhwan Al Muslimin dan tertarik pada pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan Islam. Sejak itu, ia berkonsentrasi kepada pemikiran agama, revolusi, dan perubahan sosial.
Hasan Hanafi seorang pemikir keislaman yang sudah tidak asing lagi, didunia Arab khususnya yang sangat produktif. Ia menguasai tiga bahasa: Arab, Inggris, dan Prancis. Diantara karya-karya fundamentalnya adalah: Min Al-‘Aqidah Ila Al-Tsaurah (1988),Religious Dialogue Revolution: Essays Judaisn, Christianity and Islam (1977), dan La Phenomenologie de I’Exegese, Essei d’une hermeneutique Existentielle a partir du nouveau Testamenet (1966). Selain itu, Hanafi juga banyak menulis artikel di beberapa jurnal ilmiah berbahasa Arab, disamping mentahqiq teks-teks klasik Arab dan menterjemahkan beberapa buku tentang bahasa dan filsafat ke dalam Bahasa Arab.
Pemikiran Hanafi meliputi tiga model. Model pertama, adalah peranan Hanafi sebagai seorang Pemikir Revolutioner. Dia menganjurkan untuk memunculkan Al-Yassar Al Islami untuk mencapai Revolusi Tauhid. Model kedua, adalah sebagai Pembaharu Tradisi Pemikiran Klasik. Sebagai seorang reformis tradisi Islam, Hanafi adalah seorang rasionalis. Model ketiga, adalah sebagai Penerus Gerakan Al-Afghani (1838-1897). Al-Afghani adalah pendiri gerakan Islam modern yang disebut sebagai perjuangan melawan imperialisme Barat dan penyatuan dunia Islam. Hanafi pun melalui Al-Yassar Al-Islami, juga menyebutkan hal yang sama.[7]
2.      Antropolog Islam.
a.       Koentjaraningrat.
Koentjaraningrat lahir diYogyakarta tahun 1923. Beliau lulus Sarjana Sastra Bahasa Indonesia Universitas Indonesiapada tahun 1952. mendapat gelar MA dalam antropologi dari YaleUniversity (Amerika Serikat) tahun 1956, dan gelar Doktor Antropologi dari UniversitasIndonesia pada tahun 1958. Sebelum menjalani pensiun tahun 1988, ia menjadi gurubesar Antropologi pada UniversitasIndonesia. Beliau pernah pula menjadi gurubesar luar biasa pada Universitas Gajah Mada, Akademi Hukum Militer, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, dan pernah diundang sebagai gurubesar tamu di Universitas Utrecht (Belanda), Universitas Columbia, Universitas Illinors, Universitas Ohio, Universitas Wisconsin, Universitas Malaya, Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales di Paris, dan Center for South East Asian Studies, Universitas Kyoto. Penghargaan ilmiah yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari UniversitasUtrecht (1976) dan Fukuoka Asian Cultural Price (1995).
Menurut beliau, dalam menentukan dasar-dasar dari antropologi Indonesia, kita belum terikat oleh suatu tradisi sehingga kita masih dapat memilih serta mengkombinasikan berbagai unsur dari aliran yang paling sesuai yang telah berkembang di negara-negara lain, dan diselaraskan dengan masalah kemasyarakatan di Indonesia.[8]Karya-karyanya yang telah diterbitkan antara lain Atlas Etnografi Sedunia, Pengantar Antropologi, dan Keseragaman dan Aneka Warna Masyarakat Irian Barat.
b.         Parsudi Suparlan
Prof. Parsudi Suparlan adalah seorang Antropolog Nasional, ilmuwan sejati, yang berjasa menjadikan Antropologi di Indonesia memiliki sosok dan corak yang tegas sebagai disiplin ilmiah, yang tak lain adalah karena pentingnya penguasaan teori. Beliau lulus Sarjana Antropologi dari Universitas Indonesia tahun 1964. Kemudian menempuh jenjang MA lulus pada tahun 1972 dan PhD lulus tahun 1976 di Amerika Serikat. Beliau mencapai gelar Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia tahun 1998. Menurut beliau, antropologi merupakan disiplin ilmu yang kuat, karena pentingnya teori, ketajaman analisis, ketepatan metodologi, dan tidak hanya sekedar mengurai-uraikan data. Selain itu, juga pentingnya pemahaman yang kuat mangenai konsep kebudayaan dan struktur sosial.[9]
B.     PEMIKIR BARAT.
Sosiolog dan Antropolog Barat yang cukup berpengaruh, dalam mengembangkan ilmu Sosiologi dan Antropologi juga sangat banyak. Sosiolog Barat diantaranya adalah Auguste Comte, Pierre Guillaurne Frederic Le Play, Karx Mark, Herbert Spencer, Ferdinand Tonnies, Emile Durkheim, Max Weber, dan Charles Horton Cooley. Sedangkan Antropolog Barat diantaranya adalah Clifford Geertz dan James Danandjaja.
1.      Sosiolog Barat.
a.                             Auguste Comte (1798 – 1857)
Tokoh yang kemudian dikenal sebagai bapak pendiri aliran positivisme dalam ilmu-ilmu sosial ini lahir pada tanggal 19 Januari 1798 di Montpellir, Prancis. Auguste Comte dikenal sebagaiThe Father of Sociology karena sumbangannya dalam memperkenalkan istilah sosiologi dalam bukunya yang berjudulCours de Philosophy Positive. Beliau berpendapat bahwa sejarah manusia adalah mengikuti satu susunan yang mematuhi hukum tertentu. Evolusi masyarakat akan disertai dengan kemajuan yang mewujudkan perkembangan intelektual. Comte dikenal karena telah memperkenalkan hokumLaw of Human Progress.
Dalam bukunya yang berjudulCours de Philosophy Positive yang terdiri atas enam jilid, ia mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan pikiran manusia yang terdiri atas tiga tahap. Pertama tahap teologis, yaitu pengetahuan manusia didasarkan pada kepercayaan akan adanya penguasa adikodrati yang mengatur dan menggerakkan gejala-gejala alam. Kedua tahap metafisis, yaitu pengetahuan manusia berdasar pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip abstrak yang menggantikan kedudukan kuasa-kuasa adikodrati. Metafisika merupakan pengetahuan puncak masa ini. Ketiga tahap positif, yaitu pengetahuan manusia berdasar atas fakta-fakta. Berdasar observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusia pada tahap positif ini dapat menentukan relasi-relasi persamaan dan atau urutan yang terdapat pada fakta-fakta. Pengetahuan positif adalah pengetahuan yang tertinggi kebenarannya yang dicapai oleh manusia.[10]
b.                        Pierre Guillaurne Frederic Le Play (1806 – 1882)
Le Play, seorang Perancis, adalah salah seorang ahli ilmu pengetahuan kemasyarakatan terkemuka abad ke-19. Dia berhasil mengenalkan suatu metode tertentu di dalam meneliti dan menganalis gejala-gejala sosial yaitu dengan jalan mengadakan observasi terhadap fakta-fakta sosial dan analisis induktif. Kemudian dia juga menggunakan metode case studydalam penelitian-penelitian sosial.
Penelitian-penelitiannya terhadap masyarakat menghasilkan dalil bahwa lingkungan geografis menentukan jenis pekerjaan, dan hal ini mempengaruhi organisasi ekonomi, keluarga serta lembaga-lembaga lainnya. Keluarga merupakan objek utama dalam penyelidikan. Dia berkeyakinan bahwa anggaran belanja suatu keluarga merupakan ukuran kuantitatif bagi kehidupan keluarga sekaligus menunjukkan kepentingan keluarga tersebut. Akhirnya dikatakan bahwa organisasi sosial keluarga sepenuhnya terikat pada anggaran keluarga tersebut. Karya-karyanya yang telah diterbitkan antara lainEuropean Workers (1855), Social Reform in France (1864), The Organization of the Family (1871), dan The Organization of Labor(1872).[11]
c.       Karx Mark (1818 – 1883)
Karl Mark lahir di Trier, Jerman pada tahun 1818 di keluarga Yahudi. Mark lebih dikenal sebagai seorang tokoh sejarah ekonomi, ahli filsafat, dan aktivis yang mengembangkan teori sosialisme marxisme, daripada sebagai seorang perintis sosiologi. Meskipun demikian, sebenarnya Mark merupakan seorang tokoh sosiologi yang memberi sumbangan tentang stratifikasi sosial dan konflik. Pemikiran Mark pun diarahkan pada perubahan sosial besar yang melanda Eropa Barat sebagai dampak perkembangan pembagian kerja, khususnya yang terkait dengan kapitalisme. Menurut Mark perkembangan pembagian kerja dalam kapitalisme menumbuhkan dua kelas yang berbeda, yaitu kelas yang terdiri atas orang yang menguasai alt produksi (kaum bourgeoisie) dan kelas yang terdiri atas orang yang tidak memiliki alat produksi (kaum proletar).[12]
d.         Herbert Spencer (1820 – 1903)
Herbert Spencer lahir di Inggris pada tahun 1820. selain bidang matematika dan pengetahuan alam yang ia tekuni, ia juga tertarik menekuni bidang ilmu sosial. Ia mengemukakan sebuah teori tentang evolusi masyarakat dan membaginya menjadi tiga sistem, yaitu sistem penahan, pengatur, dan pembagi. Sistem penahanberfungsi untuk memberikan kecukupan bagi kelangsungan hidup masyarakat. Sistem pengatur berperan memelihara hubungan antar sesama anggota masyarakat dan dengan masyarakat lain. Sistem pembagidapat dilihat wujudnya dalam proses evolusi yang semakin maju. Ia memandang ketiga sistem itu dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam proses pembangunan sebuah negara. Paham evolusi dari Spencer meyakini bahwa masyarakat akan berubah dari masyarakat yang homogen dan simpel, kepada masyarakat yang heterogen dan kompleks, selaras dengan kemajuan masyarakat. Spencer melihat bahwa masyarakat bukan sebagai satu kelompok individu tetapi sebagai satu organisme yang hidup dan mempunyai berbagai keinginan. Hasil karya Herbert Spencer antara lain Social Statics (1850),The Study of Sociology (1873), danDescriptive Sociology (1874).[13] 
e.          Ferdinand Tonnies (1855 – 1936).
Tonnies dilahirkan di Frisia, Oldenswart, Jerman. Dia adalah anak dari suatu keluarga petani kaya. Dia menganjurkan sosiologi untuk mengarah ke positivistik dengan penggunaan data statistik. Sumbangannya kepada sosiologi adalah tentang pengelompokan dalam masyarakat, dimana terdapat dua kelompok dalam masyarakat, yaitu:
1.  Gemeinschaft yang digambarkan dengan kehidupan bersama yang intim, pribadi, dan ekslusif. Bersifat organik dan tradisional. Suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir, yang terbagi atas:
(1)     Gameinschaft by Blood, yang mengacu pada ikatan-ikatan kekerabatan.
(2)     Gameinschaft by Place, yang mengacu pada kedekatan letak tempat tinggal.
(3)     Gameinschaft by Mind, yang mengacu pada kebersamaan di masyarakat masing-masing, namun masih tetap mandiri.
2.  Gesellschaft adalah kehidupan publik dalam kebersamaan di masyarakat namun masing-masing tetap mandiri. Gesellschaft lebih bersifat struktur mekanik modern.[14]
f.       Emile Durkheim (1858 – 1917)
Durkheim yang memiliki nama lengkap David Emile Durkheim, dilahirkan pada tanggal 15 April 1858 di Epinal ibu kota bagianVorges, Lorraine Prancis bagian timur. Durkheim dikenal dengan teori solidaritas atau konsensus sosialnya. Teorinya ini tidak terlepas dari berbagai peristiwa dan skandal yang ia saksikan di Prancis.
Teori Durkheim yang lain adalah gagasannya mengenai kesadaran kolektif (conscience collective) dan gambaran kolektif (representation collective). Gambaran kolektif adalah simbol-simbol yang memiliki makna yang sama bagi semua anggota sebuah kelompok dan memungkinkan mereka untuk merasa satu sama lain sebagai anggota-anggota kelompok. Gambaran kolektif adalah bagian dari isi kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif mengandung semua gagasan yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat dan menjadi tujuan atau maksud kolektif. Karya Durkheim dapat disebutkan antara lain, De la Division du Travail Social: Etude des Societes Superieur (1893), Le Suicide: Etude de Sociologique (1877) yang mengupas soal bunuh diri dalam tinjauan sosiologi serta sebuah karya mengenai sosiologi agama berjudul Les Formes Elementaires de la vie Religique en Australie(1912).[15]
g.         Max Weber (1864 – 1920)
Max Weber seorang sosiolog, ahli ekonomi, sekaligus ahli ilmu politik dari Jerman. Ia menghabiskan waktunya untuk mengajar di beberapa tempat, antara lain di Berlin, Freiburg,Munich, dan Heidelberg. Salah satu minat besar Weber adalah keinginannya untuk mengembangkan metodologi bagi ilmu-ilmu sosial. Karya-karyanya sangat memberikan pengaruh terhadap para ahli ilmu sosial abad dua puluh. Dalam analisis sosiologis ia mengajukan apa yang disebutnya sebagai “idea types”, yakni model umum dari situasi sejarah yang dapat dipakai sebagai dasar pembandingan antarmasyarakat. Ia melawan para penganut Marx ortodoks saat itu yang mengatakan bahwa ekonomi merupakan faktor yang penting dan sangat menentukan dalam kehidupan sosial.
Weber menekankan peran nilai-nilai religius, ideologi, dan pemimpin kharismatik dalam memelihara kondisi masyarakat. Dalam karyanya, Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1920) ia mengembangkan suatu tesis mengenai keterkaitan yang erat antara gagasan asketis sebagaimana dikembangkan dalam Calvinisme dan kemunculan lembaga-lembaga kapitalis. Ia merupakan tokoh yang cukup berpengaruh dalam penggunaan statistik sosiologi dalam studi kebijakan ekonomi. Diantara karyanya yang lain adalahWirtschaft und Gesellschaft(Ekonomi dan Masyarakat) sertaGeneral Economic History.[16]
h.      Charles Horton Cooley (1864 – 1929)
C. H. Cooley lahir di Michigan, Amerika Serikat. Pada mulanya, dia belajar teknik mesin elektro, kemudian dia juga belajar ekonomi. Setelah lulus akademis dia bekerja di pemerintahan seperti di Departemen Komisi Pengawas, kemudian juga di Kantor Sensus. Pada tahun 1892, dia menjadi dosen ilmu ekonomi, politik, serta sosiologi di Universitas Michigan. Cooley tergolong dalam sosiolog interaksionisme simbolik klasik. Sumbangannya kepada sosiologi tentang sosiologi dan interaksi. Menurutnya, diri (self) seseorang berkembang melalui interaksi dengan orang lain lewat analogi diri yang melihat cermin (looking glass self), yaitu diri seseorang memantulkan apa yang dirasakannya sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya. Cooley juga memperkenalkan konsep primary group, yaitu kelompok yang ditandai oleh pergaulan dan kerja sama, serta tatap muka yang intim.[17]
Cooley dalam mengemukakan teorinya terpengaruh oleh aliran romatik yang mengidamkan kehidupan bersama, rukun, dan damai, sebagaiman dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang masih bersahaja. Dia prihatin melihat masyarakat-masyarakat modern yang telah goyah norma-normanya, sehingga masyarakat-masyarakat bersahaja merupakan bentuk ideal yang terlalu berlebih-lebihan kesempurnaannya. Hasil karyanya antara lain uman Nature and Social Order (1902), Social Organization (1909), dan Social Process (1918).[18]
2.      Antropol Barat.
a.       Clifford Geertz (1926 – 2006)
Profesor Clifford Geertz adalah seorang tokoh antropologi asal Amerika Serikat. Beliau dijuluki sebagi Tokoh Antropologi Segala Musim. Hal ini dikarenakan pemikirannya yang selalu mengikuti zaman. Karyanya yang berjudul The Religion of Java adalah suatu karya yang berciri kuat structural-fungsionalisme klasik. Geertz juga diakui sebagai salah satu pembuka jalan bagi pemikiran postmodernisme dalam ilmu-ilmu sosial. Hampir dalam setiap karya dan perbincangan teori antropologi di dunia mengutip karya-karyanya, sekalipun perbincangan tersebut mengkritik/kontra dengan pemikirannya. Salah satu pemikirannya yang mengandung relevasi dan merefleksikan kondisi masyarakat dan kebudayaan kotamasa kini adalah tesis tentang involusi pertanian yang dapat dilacak dalam buku Agricultural Involution, The Process of Ecological Change in Indonesia(1963).[19]
b.         James Danandjaja (1934 - …)
James Danandjaja dilahirkan diJakarta 13 April 1934. Beliau adalah tokoh Folklor Nusantara yang pertama. Bagian budaya yang bernama folklor itu berupa bahasa rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki, legenda, dongeng, lelucon, nyanyian rakyat, seni rupa, dan lain sebagainya. Ilmu tentang folklor ia perkenalkan kepada mahasiswa jurusan Antropologi FISIP UniversitasIndonesia sejak tahun 1972. pada mata kuliah tersebut, para mahasiswa antara lain ditugasinya mengumpulkan berbagai folklor di tanah air. Hasil pengumpulan itulah, antara lain yang ia gunakan untuk bukunya. Ia mendapatkan Master dari Universitas Berkeleytahun 1971 dengan karya tulis yang kemudian diterbitkan sebagai buku, An Annotated Bibliography of Javanese Folklore. Gelar Doktor dalam bidang Antropologi Psikologi ia peroleh dari Universitas Indonesia tahun 1977, dengan disertasiKebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Buku lain karya Jimmi adalah Pantomim Suci Betara Beratak dari Trunyan, Bali danUpacara Lingkaran Hidup di Trunyan, Bali, serta Folklor Indonesia.[20]
FOOTNOTE
[1]  Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati. Manusia dan Masyarakat. Jakarta: Ganeca Exact. 2004. hlm. 2.
[2]  Abu Dzar Al Ghifari Jr. Abu Dzar: Legenda Ulung Penentang Kezaliman, (Online), (http://putraaceh.multiply.com, diakses 20 April 2008).
[3]  Arif Rohman. Sosiologi. Klaten: PT Intan Pariwara. 2003. hlm. 109-110.
[4] Ibnu Khaldun dan Pemikirannya, (Online), (http://uin-suka.info, diakses 3 Mei 2008).
[5]  Prof Dr KPH Selo Soemardjan, (Online), (http://www.solusihukum.com, diakses 20 April 2008).
[6]  Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati. Manusia dan Masyarakat. Jakarta: Ganeca Exact. 2004. hlm. 5.
[7]  Zulfi Mubarak. Sosiologi Agama: Tafsir Sosial Fenomena Multi-Religius Kontemporer. Malang: UIN Malang Press. 2006. hlm. 241-244.
[8]  Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi I, cet. III. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005. hlm. 6-7.
[9]  Achmad Fedyani Saifuddin. 2007.Orbituari: Pendekar itu Telah Pergi, (Online), (http://cabiklunik.blogspot.com,diakses 20 April 2008).
[10]                Arif Rohman. Sosiologi. Klaten: PT Intan Pariwara. 2003. hlm. 72.
[11]                Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:  PT RajaGrafindo Persada.  2005.  hlm. 401-402.
[12]                Kamanto Sunarto.Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004. hlm. 4.
[13]                Arif Rohman. Sosiologi. Klaten: PT Intan Pariwara. 2003. hlm. 110.
[14]                Priyo Sudarmanto. (Online), (http://yoyoksiemo.blogspot.com, diakses 20 April 2008).
[15]                Arif Rohman. Sosiologi.Klaten: PT Intan Pariwara. 2003. hlm. 43.
[16]                Ibid, hlm. 44
[17]                Priyo Sudarmanto. (Online), (http://yoyoksiemo.blogspot.com, diakses 20 April 2008).
[18]                Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:  PT RajaGrafindo Persada.  2005.  hlm. 401.
[19]                Kompas. 2006. Refleksi Pemikiran Geertz: Involusi Pertanian, Involusi Kita, (Online), (http://indobic.or.id, diakses 20 April 2008).
[20]                James Danandjaja, (Online), (http://www.ghabo.com, diakses 3 Mei 2008).
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....5
PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
A.    Latar belakang.
Pendidikan dalam suatu negara tentu tidak terlepas dari sejarah sosial bangsa tersebut. Seperti halnya Indonesia sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim dengan keaneka ragaman ras suku dan budayanya, amat kaya akan pertumbuhan dan perkembangan Pendidkan Islam, mulai dari yang bertarap tradisional seperti Surau di Sumatra Barat, Rangkang di Aceh, Langgar di Jawa Timur, hingga yang bertarap modern lengkap dengan manajemen dan sarana-prasarananya yang lengkap dan canggih, seperti Pondok Modern Gontor, al-Zaitun, bahkan Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan lain sebagainya.
                        Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, Negara sudah berupaya memperbaiiki sistem pendidikan Nasional termasuk di dalmnya adalah Pendidikan Islam, namun sampai saat ini, keberhasilan itu belum nampak,  justru data yang dirilis oleh Pearson Education (2014) cukup mencengangakan. “Indonesia adalah yang paling rendah (nomor 40) dari ranking 40 negara di dunia”. Yang menarik adalah hasil ranking berdasarkan  Eduaction Index ini terdapat  empat negara di Asia yang menempati posisi nomor satu sampai empat menggeser  Finlandia ke posisi nomor urut lima  yang pada tahun 2012 berada di posisi nomor urut satu. Keempat negara Asia dengan sistem pendidikan terbaik di dunia pada tahun 2014 adalah: (1) Korea Selatan, (2) Jepang, (3) Singapura, dan (4) Hongkong. Ranking berikut adalah Finlandia (ranking 5), Inggris (6), Kanada (7), Belanda (8), Jerman (12), USA (14), Australia( 15), Belgia (18), Prancis (23), Thailand (35), Brazil (38), Meksiko (39), dan Indonesia (40)
            Kajian berikut akan mengupas bagaimana pendidikan Islam di Indoensia dalam perspektif Pendidikan Nasional. Mengingat keneka ragaman rupa wajah pendidikan di indoensia sehingga penulis hanya membatasi pada kajian singkat sejarah pendidikan Islam di Indonesia, Institusi Pendidikan Islam, Lembaga Pendidikan Islam dan Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam.
B.     Sejarah pendidikan islam di indonesia.
Studi tentang perkembangan pendidikan Islam di Indonesia tidak terlepas dari kajian sejarah masuknya Islam di Indonesia. Ini karena awal munculnya pendidika Islam di Indonesia terwujud dengan adanya praktek penyebaran agam Islam itu sendiri. Masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia disebabakan dua faktor yang cukup Dominan. Pertama, letak geografis Indonesia yang berada di persimpangan jalan Internasional dari jurusan Timur Tengah menuju Tiongkok. Kedua, Kesuburan tanah yang menghasilkan bahan-bahan keperlua hidup yang dibutuhkan oleh bangsa lain, misalnya rempah-rempah[1] yang akhirnya Indonesia ditinggali oleh para pedagang dari manca negara.
Merujuk pada periodeisasi  sejarah pendidikan Islam di Indonesia yang dibuat oleh Zuhairini, ada 7 fase datangnya Islam ke Indonesia;
1.      fase pengembangan dengan melalui proses adaptasi;
2.      fase berdirinya kerajaan-kerajaan Islam (proses politik);
3.      fase kedatangan orang barat (zaman penjajahan); 
4.      fase penjajahan Belanda
5.      Fase Penjajahan Jepang;
6.      Fase Indonesia Merdeka;
7.      FasePembangunan[2].
C.     Fase-fase-pendidikan-islam.
1.      Pendikakan Islam pada fase pertama diawali dengan masuknya Islam ke Indonesia pada abad 7 M/1 H yang disebarkan oleh pedagang dan muballigh dari Arab di pantai barat Pulau Sumatera, tepatnya di daerah Baros.[3]. Interaksi penyebaran Islam kepada penduduk lokal melalui kontak jual beli, perkawinan, dan dakwah baik secara individu maupun kolektif[4] dari situlah semacam Pendidikan Islam berjalan meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana, tanpa terikat oleh formalitas waktu dan tempat tertentu. Materi pelajarannya yang pertama adalah kalimat Syahadat. Sebab barang siapa yang telah bersyahadat berarti sudah masuk Islam kemudian secara lambat laun dikembangkan pada materi rukun iman, rukun Islam terus belanjut pada cara melaksnakan sholat lima waktu, membaca al-Qur’an dan seterusnya.
2.      Pada fase kedua, yakni masa pengembangan dengan proses adaptasi, pendidikan Islam tersus berkembang. Mahmud Yunus menggambarkan pendidikan Islam pada fase ini ditandai dengan terbentuknya sistem langgar atau surau sebagai pusat studi keIslaman. Dengan dipandu oleh juru dakwah yang biasanya dikenal dengan sebutan modin atau lebai, pengajian al-Qur’an dibedakan menjadi dua tingkatan. Pertama, tingkat rendah atau pemula dengan materi pembelajaran pengenalan huruf dan bacaan al-Qur’an pada malam dan pagi hari sesudah shalat subuh. Kedua, tingkat atas, yaitu dengan penambahan beberapa pembelajaran seperti pelajaran lagu, qasidah, barzanji, dan tajwid. Metode yang digunakan ialah dengan cara sorogan dan halaqah[5]
3.      Pada fase ketiga (munculnya kerajaan Islam) potret pendidikan di Indonesia mulai mengalami kemajuan karena pada fase ini pendidikan Islam mendapat dukungan yang penuh dari kerajaan, kerajaan Islam yang pertama adalah fase atau kerajaan Samudera di Aceh yang beridiri pada abad 10 M dengan rajanya yang pertama Al Malik Ibrahim bin Mahdum, yang kedua bernama Al Malik Al Shaleh dan yang terakhir Al Malik Sabar Syah. Sistem pendidikan Islam pada masa ini, sebagaimana keterangan Ibnu Batutah, sebagai berikut:
a.       Materi pendidikan  dan pengajaran agama bidang Syariat ialah Fiqh Madzhab Syafi’i.
b.      Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis taklim dan halaqah.
c.       Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama.
d.      Biaya pendidikan agama bersumber dari Negara[6]
Kerajaan Islam yang kedua di Indonesia dan yang juga mewariskan pendidikan Islam adalah Perlak di Aceh. Raja yang pertama adalah Sultan Alaudin abad 12M, Raja yang keenam yang bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin adalah seorang Ulama yang mendirikan perguruan tinggi Islam. Suatu majlis taklim tingkat tinggi yang dipruntukkan khusus para murid yang sudah alim. Kitab-Kitab yang dikaji cukup berbobot seperti Al-Um karya ImamSyafi’idanbeberapakitablainnya[7].
     Pendidikan Islam pertama kali masuk ke Jawa pada abad 14 M (1399 M) di bawa oleh  Maulana Malik Ibrahim bersama keponakannya yang bernama Mahdum Ishaq yang menetap di Gresik. Perkembangan Pendidikan Islam semakin kokoh dengan adanya pimpnan yang diebut Wali Songo. Sistem pendidikan yang dilakukan oleh para Wali adalah sistem pesanten. Maulana Malik Ibrahim berhasil mencetak kader mubaligh selama 20 tahun. Wali-wali yang lain adalah murid dari Maulana Malik Ibrahim yang akhirnya tersebar sampai ke Maluku, Kalimantan yang di bawa oleh para santri Wali songo[8]
Pada fase kedatangan orang barat (zaman penjajahan belanda) kondisi pendidikan Islam di Indonesia mengalami banyak kendala sehingga mengalami kemunduran yang luar biasa. Sejak zaman VOC, kedatangan Belanada ke Indonesia sudah bermotif Ekonomi, Politik, dan Agama.
Pondok Pesantren, Masjid, Mushalla dianggap tidak membantu Belanda. Pesantren dianggap tidak berguna dan rendah sehingga disebut sekolah desa. Pada tahun 1882 M, Pemerintah Belanda membentuk satu badan khusus yang di beri nama Priesterraden. Badan ini bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam pribumi. Atas nasehat badan inilah maka pada tahaun 1905 pemerintah belanada mengeluarkan peraturan yang isinya orang yang memberikan pengajian harus mintak izin lebih dahulu. Pada tahun 1925, belanda mengeluarka peraturan yang lebih keta lagi bahwa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Pada tahun 1932 muncul lagi peraturan yang akan memberantas dan menutup madrasah atau sekolah yang tidak punya izin atau memeberikan pelajaran yang tidak disukai ole pemerintah .
     Wajah pendidikan Islam pada fase penjajahan Jepang mengalami sedikit kebaikan dibading pada zaman belanda walaupun secara umum terbengkalai karena murid-murid sekolah hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekrja bakti, bernyanyi dan lain sebagainya. Yang masih agak beruntung adalah mdrsah-mdrsah yang berada di pondok pesantren yuang bebas dari pengawasan langsung pemerintah jepang. Dalam rangka mencari simpati dan dukungan rakyat Indonsia, jepang memberi beberapa kebaikan terhadap pendidikan Islam, antara lain sebagaiberikut:
a.       Pondok pesantren yang besar sering mendapat kunjungan dan  bantuan dari pembesar-pembesar Jepang
b.      Sekolah negeri diberi pelajaran Budi Pekerti yang isinya Identik dengan ajaran Agama
c.       Memberikan izin pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim (Menteri Agama), Kahjar Muzakir, dan Bung Hatta[9]
Awal fase Indonesia merdeka ditandai dengan Proklamasi pada tanggal 17 Agustsus 1945. Pada awal masa ini kondisi Indonesia masih belum stabil, akan tetapi perhatian pemerintah terhadap pendidikan Islam cukup besar. Pendidikan agama saat itu secara formil institusiomal dipercayakan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan Agama Islam secara umum mulai diatur pada bulan Desember  1946 melalalui suarat keputusan bersama dua Menteri, yaitu menteri Agama dan menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV sampai Kelas VI SR (Sekolah Rakyat)[10]
     Pada fase pembangunan atau zaman Orde Baru, kehidupan sosial, agama, dan politik diIndonsia mengalami kemajuan yang cukup baik. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah tentang pendidikan Islam yang semakin mantap. Pemerintah Orde Baru betekad sepenuhnya untuk kembali kepada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni. Pemerintah dan rakyat akan membangaun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, yakni membangaun bidang jasamani dan rohani. Pendidikan agama makin memperoleh tempat yang kokoh dalam struktur organisasi pemerintahan dan masyarakat. Dalam sidang-sidang  MPR yang menyususn GBHN pada tahun 1973-1978 dan 1983 selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri maupun swasta di semua jenjang pendidikan[11].
B.     Institusi-Pendidikan-Islam-di-Indonesia.
            Indonesia sebagai negara yang majemuk, kaya dengan keaneka ragaman suku, budaya, bahasa, dan adat istiadatnya memiliki berbagai bentuk Institusi Pendidikan. Sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Instutusi Pendidikan dikelompokkan menjadi tiga Kelomok, yaitu Pendidikan Islam Formal, Pendidikan Islam Non-Formal, dan Pendidikan Islam In-Formal.
1.        Pendidika -Formal
     Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan dengan jelas bahwa “Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.[12]  Abu Ahmad dan Nur Uhbiyato memberi pengertian tentang lembaga penddikan sekolah, yaitu bila dalam pendidikan tersebut diadakan ditempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjnagan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi,  dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi.[13]
Haidar Nawawi mengelompokkan lembaga pendidikan sekolah kepada lembaga pendidikan yang kegiatan pendidikannya diselenggarakan secara sengaja, berencana, sistematis dalam rangka membantu anak dalam mengembangkan potensinya agar mampu menjlanakn tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.[14]
Di Indonesia yang termasuk kategori lembaga pendidikan formal adalah sebagai berikut:
a.       Raudhatul Athfal (RA) atau Bustanul Athfal, atau nama lain sesuai dengan pendiriannya
b.      Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Dasar Islam (SDI)
c.       Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), atau nama lain yang setingkat dengan lembaga ini
d.      Madrasah Aliyah (MA) atau Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) atau nama lain yang setingkat dengan lembaga ini
e.       Perguruan Tinggi Islam antara lain adalah sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Universitas Islam Negeri (UIN) atau lembaga sejenis milik Yayasan atau organisasi keIslaman
2.      Pendidikan-Non-Formal.
      Sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan, Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang[15]. Ramayulis mengartikan pendidikan  Non-Formal adalah lembaga pendidikan yang teratur namun tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat.[16] Denagn kata lain dapat dipahami bahwa penidikan Islam non-formal adalah pendidikan yang diselengggrakan oleh masyarakat dengan tanpa mengikuti peraturan yang baku dari-pemerintah.
      Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tertuang dalam PP No. 55 tahun 2007 mengatur tentang pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada jenjang pendidikan formal, nonformal, dan informal. Di dalam  PP No. 55 tahun 2007 menyebut  majelis taklim, pengajian kitab, pendidikan Alquran dan diniyah taklimiyah sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam.
Beberapa diantara pendidikan Islam yang tidak formal diselenggrakan oleh masyarakat dan masih tetap eksis hingga sekarang adalah sebagai berikut :
a.       Masjid, Mushalla, Langgar, Surau dan Rangkang
b.      Madrasah-Diniyah
c.       Majlis Ta’lim, TPQ, Taman Pendidikan Seni al-Qur’an, Jama’ah wirid
d.      Kursus-kursus-KeIslaman
e.       Badan-badan-Pembinaan-Rohani
f.       Badan-Badan-Konsultasi-keagamaan
3.      Pendiidkan islam informal.
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.[17]. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat adalah sekelompok orang yang memiliki pola-pola kepentingan masing-masing dalam mendidik anak yang belum ada di lingkungannya[18]. Pengertian ini berarti menegakkan bahwa yang masuk adalam ketagori pendidi Islam in formal adalah pendidika Islam yang diberikan oleh orang tua kepada keluarganya dan juga pendidikan Islam dilingkunangan masyarakat seperti majlis ta’lim yang ada di masjid-masjid atau mushola.
Praktek pendidikan Islam informal tidak terikat dengan penjenjangan, waktu, atau muatan kuirkulumnya. Pendidikan berjalan secara alami dan materi pendidikannya bersiafat kondisonal dan sesuai dengan kebutuhan tanpa ada program waktu dan evaluasi.
C.     Lembaga-Pendidikan-Islam.
            Secara etimologi, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan untuk mengadakan suatu penelitian keilmuan atau melakukann suatu usaha.[19] Istilah lembaga pendidikan Islam, secara terminologi ada banyak pendapat yang menjelaskan pengertiannya. Ada yang memaknai lembaga pendidikan Islam secara fisik dan ada yang mengartikannya secara abstrak. Sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr Ramayulis, Hasan Langgulung menjelaskan bahwa lembaga pendidikan adalah suatau sistem peratuaran yang bersifat mujarrad suatu konsepsi yang terdiri dari Kode-kode, Norma-norma, Ideologi-ideologi dan sebagainya, baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik.[20] Pendapat Hasan Langgulung inilah pendapat yang mencakup keduanya (Fisik dan Non-fisik) dan cukup menggambarakan tentang realitas lembaga pendidikan Islam di Indonesia
Ada berbagai bentuk lembaga pendidikan Islam di Indonesia, antara lain adalah pondok pesantren dengan berbagai variannya, sekolah Islam atau Madrasah dengan berbagai jenjang dan modelnya, dan perguruan tinggi dengan berbagai program studinya.
1.      Pondok-Pesantren.
      Pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam yang pertama di Indonesia. Berdasarkan Pendataan DEPAG pada tahun 1984-1985, pondok pesantren tertua di Indonesia adalah pondok pesantren Jan Tampes II berdiri pada tahun 1062 di Pamekasan Madura[21]. Sekalipun kebenarannya masih diragukan tapi pesantren merupakn lembaga pendidikan Islam Tertua di Indonesia.
 Istilah pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu kata Pondok mungkin  berasal dari bahasa arab “Funduq” yang berarti Hotel Atau Asrama[22].
Sedangakan Pesantren menurut Mastuhu adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan najaran Islam dengan menekankan oentingnay moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari[23]
Pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam yang pertama di Indonesia.
Keberadaan Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, telah tumbuh dan berkembang sejak masa penyiaran Islam dan telah banyak berperan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat. Sejarah perkembangan Pondok Pesantren menunjukkan bahwa lembaga ini tetap eksis dan konsisten menjalankan fungsinya sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) sehingga dari pesantren lahir kader ulama, guru agama, mubaligh, tokoh politik dan lain-lain yang dibutuhkan masyarakat.
Pada sejarah berdirinya pesantren, awalnya pesantren didirikan dengan misi khusus, yaitu:
a.       sebagai wahana kaderisasi ulama’ yang nantinya diharapkan mampu menyebarkan agama di tengah-tengah masyarakat;
b.      membentuk jiwa santri yang memiliki kualifikasi moral dan religius;
c.       menanamkan kesadaran holistik bahwa belajar merupakan kewajiban dan pengabdian kepada tuhan, bukan hanya untuk meraih prestasi kehidupan dunia.[24] Kemampuan pesantren untuk tetap survive hingga kini tentu merupakan kebanggaan tersendiri bagi umat Islam, terutama kalangan pesantren.
Hal ini sangat beralasan, sebab  ditengah derasnya arus modern dan globalisasi, dunia pesantren masih konsis dengan kitab kuning[25] dan konsep pendidikan yang mungkin oleh sebagian orang dianggap tradisional. Begitu pula dengan pelajaran kitab-kitab kuning (klasik) merupakan salah satu elemen dasar dari tradisi pesantren.  Seluruh sisi kehidupan pesantren bersifat religius-teosentris yang merujuk kepada al-Qur’an dan Hadis, sehingga semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan.
      Seiring dengan perkembangan zaman dan cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arus informasi global, pendidikan di pondok pesantren juga mengalami perubahan dalam rangka penyesuaian, khususnya menyangkut kurikulum dan metode serta teknik pembelajarannya. Aktifitas belajar bukan hanya diposisikan sebagai media (alat), tetapi sekaligus sebagai tujuan, karena itu proses belajar mengajar di pesantren sering tidak mengalami dinamika dan tidak mempertimbangkan waktu, strategi, dan metode yang lebih kontekstual dengan perkembangan zaman[26]. Padahal, seiring dengan pergeseran  zaman santri membutuhkan formalitas, sebut saja Ijazah serta penguasaan bidang keahlian lain yang dapat mengantarnya agar mampu menjalani kehidupan. Di era modern, santri tidak cukup hanya berbekal nilai dan norma moral saja, tapi perlu pula dilengkapi dengan keahlian yang relevan dengan dunia kerjamodern.
      Hal demikian inilah yang kemudian mengharuskan pendidikan di Pondok Pesantren mengalami perubahan dan pengembangan khususnya kurikulum dan metode pembelajarannya. Sejak tahun 1970-an bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pesantren sudah sangat bervariasi. Bentuk-bentuk pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe, yakni:
a.       Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memilki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA. Dan PT. Agama Islam) maupun yang juga memilki sekolah umum (SD, SMP, SMA, dan PT Umum).
b.      Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional.
c.       Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrsah diniyah.
d.      Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian.[27]
Pesantren jenis yang ketiga dan keempat ini masih mempertahankan pola pendidikan khas pesantren yang telah lama berlaku di pesantren, baik kurikulum atau metode pembelajarannya, sehingga disebut Pondok Pesantren Salafiyah. Berbeda dengan Pondok pesantren jenis pertama, Pesantren ini tidak menggunakan  kurikulum pemerintah dan hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dengan mengkaji kitab-kitab klasik atau yang disebut kitab Kuning. 
Metode pembelajarannya pun menggunakan metode khas pesantren tradisional yaitu sorogan, bandongan dan halaqoh.[28] Kebanyakan santrinya belum mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dasar, sehingga keluaran/lulusan Pesantren Salafiyah tersebut tidak mendapatkan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) atau Ijazah sebagaimana lulusan pendidikan formal yang dapat digunakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau untuk memenuhi tuntutan pekerjaan.
      Berdasarkan Pendataan pada tahun 2011/2012 Jumlah pondok pesantren di Indoensia mencapai  27.230 pondok pesantren yang tersebar di sekuruh Indonesia Populasi Pondok Pesantren terbesar berada di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten yang berjumlah 78,60% dari jumlah seluruh Pondok Pesantren di Indonesia. Dengan rincian Jawa Barat 7.624 (28,00%), Jawa Timur 6.003 (22,05%), Jawa Tengah 4.276 (15,70%), dan Banten 3.500 (12,85%). Dari seluruh Pondok Pesantren yang ada, berdasarkan tipologi Pondok Pesantren, terdapat sebanyak 14.459 (53,10%) Pondok Pesantren Salafiyah, dan 7.727 (28,38%) Khalafiyah/Ashriyah, serta 5.044 (18,52%) sebagai Pondok Pesantren Kombinasi[29]   
2.      Sekolah islam.
Sekolah Islam merupakan bentuk dari modernisasi pendidikan Islam. Awal munculnya Sekolah Islam berawal dari adanya sekelompok masyarakat yang berlatar belakang agama yang mempuntai gagasan membuka sekolah dengan sistem “sekolah belanda” dengan tambahan pelajaran Agama. Pemrakarsa Utama dalam modernisasi Pendidikan Islam adalah organisasi mordernis Islam seperti Jami’at Khair, Al-Irsyad, dan Muhammadiyah.[30]
      Dalam perkembangannya, pendirian pendidikan Islam ini menjadi inspirasi bagi hampir semua organisasi pergerakan Islam seperti Nahdlotul Ulama’ (NU) dengan Pendidikan Maarif tahun 1926 di Jawa timur, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Al-Washliyah, Matalaul Anwar, dan Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti) dengan corak dan ciri khas masing-masing. Sekolah yang mereka dirikan merupakan sekolah umum dengan memasukkan pengajarah Agama dan menambahkan nama Islam di belakangnya sehingga menjadi SD Islam, SMP Islam, dan SMA Islam. Selain itu, ada yang menggunakan nama organisasi penyelenggara seperti SD Muhammadiyah, SMP Maarif NU, SMA Al-Irsyad. Ada pula yang menggunakan perlambang berbahasa Arab, misalnya SD Al-Falah, SMP Futuhiyah. Dan belakngan ini muncul nama SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) SMPIT (Sekolah Menengah Pertama Islam terpadu).[31] Belakangan ini muncul sekolah Islam dengan model fullday atau Boarding Scholl.
      Perkembangan Sekolah Islam saat ini mendapat Animo dari masyarakat yang cukup besar. Hal ini terjadi sebagai imbas dari kekurangan yang ada pada Madrasah atau Sekolah. Banyak masyarakat menilai bahwa pendidikan di madrasah kurang profesioanl dalam biadang materi umum sehingga tertinggal dengan sekolah, sementara sekolah umum kurang dalam memberikan layanan pendidikan Agama. Sekolah Islam muncul sebagai alterntif bagi masyarakat yang ingin mendapatkan pendidikan Agama yang baik dan pendidikan umum yang profesional.         
3.      Perguruan tinggi islam.
Pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam sudah dirintis sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, dimana Dr. Satiman Wirjosandjoyo pernah mengemukakan pentingnya keberadaan lembaga pendidikan tinggi Islam untuk mengangkat harga diri kaum muslim di Hindia Belanda yang terjajah itu. Bagi Indonesia, kebutuhan Pendidikan tinggi Islam sudah sanagat mendesak untuk mendidik tenaga ahli dalam bidang Ilmu agama Islam dan sebagai pusat pengembanagan intelektualisme agama Islam. Keinginan tersebut berhasil direalisasi di Minangkabau dengan didirikannya sekolah Tinggi oleh persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Padang yang diresmikan pada tanggal 9 Desember 1940[32].
Sekolah Tinggi Islam ini merupakan Sekolah Tinggi Islam yang pertama kali berdiri di Indonesia dan menjadi cikal bakal Sekolah Tinggi Islam yang lain baik negeri-maupun-swasta.
      Undang-Undang No 20 Tahun  2003 tentang Sistem pendidikan Nasioanl pasal 19 ayat 1 menyatakan “Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi”. dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan perguruan tinggi Islam adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah (SMA/MA) yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang berciri khas Islam.
Saat ini Pendidikan Tiggi Islam (PTI) di Indonesia baik yang negeri maupun yang swasta terus berkembang dengan berbagai program studi dan jurusan. Saat ini Pergurun Tinggi Islam Swasta se-Indonesia berjumlah 272 lembaga sementara Perguruan Tinggi Islam Negeri berjumlah 52.
D.    Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam di Indonesia
            Sistem adalah suatu gagasan atau prinsip yang bertauatan yang tergabung menjadi suatu keseluruhan[33]. Dengan demikian Sistem pendidikan bisa difahami sebagai himpunan gagasan atau prinsip-prinsip pendidikan yang saling bertauatan yang tergabung menjadi suatu keseluruhan[34].
            Dalam mengkaji sistem pendidikan dalam suatu negara tidak terlepas dari falasafah suatu bangsa tersebut. Ketika negar-negara barat mempunya falsafah hidup rasionalis, materialis, dan pragmatis maka sistem pendidiksan yang dibuat oleh barat tentu bercorak rasionalis, pragmatis, dan materialis. Falsafah bangsa Indonesia adalah Pancasila. Dengan demikian maka sistem pendidikan Nasional Indonesia (Pendidikan Islam) bercorak khusus Indonesia yang tidak ditemui pada sistem pendidikan lainnya. Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[35]
Penyelenggaraan Sistem Pendidikan di Indonesia sudah diatur dengan jelas di dalam Undang-Undang SISDIKNAS kemudian dijabarkan ke dalam Peratuaran Pemerintah lalu dioprasionalkan   dalam Peratuaran Meneteri. Pendidikan Islam merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Islam sehingga sistemnye mengikuti Sistem Pendidikan Nasional.
            Pendidikan keagamaan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No: 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Bab I, Pasal 1, Ayat 2 berbunyi, “pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan / atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya”.
Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam In-Formal dan Non-formal memang disebut dalam Peratuarn Pemerintah akan tetapi dalam pelaksaannya berjalan secara alami tanpa terikat dengan peraturan yang baku dan diselenggrakan sesuai dengan situasi, kondisi dan tujuan penyelenggaraannya.
            Adapun sistem penyelenggaran pendidkan Islam formal di Indonesia sebagai bagian dari pendidikan nasionaltentu tidak terlepas dari Sistem Pendidikan Nasional. Penyelenggaraan Pendidikan Islam mengacu pada delapan Standar pendidikan nasional yang sudah ditetapkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32. tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5410)
1.      Tujuan-Pendidikan-Islam.
      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Tujuan Pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional maka tujuan pendidikannya sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
      Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan Pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, pemerintah telah menetapkan profil kualifikasi kemampuan lulusan yang dituangkan dalam standar kompetensi lulusan.
E.     Proses-Pembelajaran
            Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar[38] Proses Pembelajaran pada satuan pendidikan Islam diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Untuk itu setiap satuan pendidikan Islam harus melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi maka prinsip pembelajaran yang digunakan:
a.       dari pesertadidik diberi tahu menuju pesertadidik mencari tahu;
b.      dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar;
c.       dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah;
d.      dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis       kompetensi;
e.       dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu;
f.       dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju  pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi;
g.      dari pembelajaran verbalisme menuju keterampilan aplikatif;
h.      peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan keterampilan mental (softskills);
i.        pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat;
j.        pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan(ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani);
k.      pembelajaranyang berlangsung di rumah, di sekolah, dan di masyarakat;
l.        pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah siswa, dan di mana saja adalah kelas.
m.    Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran; dan
n.      Pengakuan atas perbedaan individualdan latar belakang budaya peserta didik[39]
Sasaran pembelajaran mencakup engembangan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Ketiga ranah kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis) yang berbeda. Sikap diperoleh melalui aktivitas“ menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan”. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas“ mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, mencipta. Keterampilan diperoleh melaluiaktivitas“ mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta”. Karaktersitik kompetensi beserta perbedaan lintasan perolehan turut serta mempengaruhi karakteristik standar proses. Untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antar mata pelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning). Untuk mendorong kemampuan peserta didik untuk menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah(project based learning).[40]
F.      Pembiayaan.
            Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, Pemerintah Indonesia telah menetapkan anggran 20 % dari APBN untuk pendidikan. Sehingga ada bantuan bagi sekolah  berupa BOS, BSM, Blok Grand, DAK dan laian-lain. Pendanaan Pendidikan Islam formal menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat. UU Sisdikna Mengamanatkan “
a.       Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
b.      Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan  anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[41].
G.    Penilaian
            Evaluasi merupakan bagian yang cukup penting dalam pendidikan Islam. Baik mulai dari tingkat dasar samapai tingkat tinggi. untuk penilaian lembaga pendidikan formal tidak MI/MTs/MA/yang sederajat telah diatur dalam Permendikbud No. 66 tahun 2013 tentang Standar Penilaian
Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup: penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah/madrasah[42].
            Ruang lingkup Penilaian hasil belajar peserta didik mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan secara berimbang sehingga dapat digunakan untuk menentukan posisi relatif setiap peserta didik terhadap standar yang telah ditetapkan. Cakupan penilaian merujuk pada ruang lingkup materi, kompetensi mata pelajaran/kompetensi muatan/kompetensi program, dan proses[43].
Mekanisme penilaian mulai jenjang Sekolah Dasar sampai Menengah diatur sebagai berikut:
a.       Penilaian otentik dilakukan oleh guru secara berkelanjutan.
b.      Penilaian diri dilakukan oleh peserta didik untuk tiap kali sebelum ulangan harian.
c.       Penilaian projek dilakukan oleh pendidik untuk tiap akhir bab atau tema pelajaran.
d.      Ulangan harian dilakukan oleh pendidik terintegrasi dengan proses pembelajaran dalam bentuk ulangan atau penugasan.
e.       Ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester, dilakukan oleh pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan.
f.       Ujian tingkat kompetensi dilakukan oleh satuan pendidikan pada akhir kelas II (tingkat 1), kelas IV (tingkat 2), kelas VIII (tingkat 4), dan kelas XI (tingkat 5), dengan menggunakan kisi-kisi yang disusun oleh Pemerintah. Ujian tingkat kompetensi pada akhir kelas VI (tingkat 3), kelas IX (tingkat 4A), dan kelas XII (tingkat 6) dilakukan melalui UN.
g.      Ujian Mutu Tingkat Kompetensi dilakukan dengan metode survei oleh Pemerintah pada akhir kelas II (tingkat 1), kelas IV (tingkat 2), kelas VIII (tingkat 4), dan kelas XI (tingkat 5).
h.      Ujian sekolah dilakukan oleh satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
i.        Ujian Nasional dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan[44].
FOOTNOTE
[1] Zuhairini Mukhtarom, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997),  130
[2]  Ibid,,. 7-8
[3] Ibid,,. 133
[4] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1985),  14
[5] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), 22-23
[6] Zuhairini Dkk, Sejarah Pendidikan Islam..., 212
[7] Ibid., 136
[8] Ibid., 137-146
[9] Ibid.,  150-152
[10] Ibid.,  154
[11] Ibid.,  155
[12] Undang-Undang NO 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 11
[13] Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam, /(jakarta: Kalam Mulia, 2006), cet VI, . 282
[14] Ibid.,  282
[15] Undang-Undang NO 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat Pasal 12
[16] Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam  283
[17] Undang-Undang NO 20 tahun 2003 ... Pasal 13
[18] Ramayulis, Ilmu ...,  281
[19] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Putaka, 1990), cet iii, 572
[20] Ramayulis, Ilmu .....   277
[21] Hasbullah , Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996),  41
[22] Ibid,  40
[23] Mastuhu, Dinamika Sistem pendidikan Pesantren; Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994),  55
[24] Ainur Rofiq Dawam, Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Bebasis Pesantren, (Listafariska, 2005), 6
[25] Amin Haedari dkk,  Masa Depan Pesantren. (Jakarta: IRD Press, 2004),  37
[26] Muhibbuddin, “Modernisasi Manajemen Pendidikan Pesantren”  Mozaik Pesantren, Edisi 02/Th.I/November 2005,  36.
[27] Amin Haedari, Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Moderen. (Jakarta: Diva Pustaka, 2004),16.
[28] M.Habib Chirzin, “Agama, Ilmu dan Pesantren” dalam M.Dawam Raharjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan.  ( Jakarta: LP3ES),  87-88.
[29]  Analisis dan Interpretasi Data pada Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah (Madin), Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) Tahun Pelajaran 2011-2012   pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/pontrenanalisis.pdf
[30] Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [paradigma Baru], (Jakarta:      Departemen Agama RI, 2005),  70
[31] Ibid,,,.  71
[32] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumberwidya, 1992),  117
[33] DG Ryan, System  Analisis in Educational Planning dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), cet VI, hlm. 3
[34] Imam Barnadib, Filsafa6 Pendidikan Tinjauan Beberapa Aspek dan Proses Pendidikan (Yogyakarta: Studying, 1982), hlm 19
[35] Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam, /(jakarta: Kalam Mulia, 2006), cet VI,  37
[36] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah.  1
[37] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. 3
[38] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1
[39] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar Dan Menengah. 1-2
[40] Ibid,,,. 3
[41] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 46
[42]  1. Penilaian otentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), roses, dan keluaran (output) pembelajaran.
2. Penilaian diri merupakan penilaian yang dilakukan sendiri oleh peserta didik secara reflektif untuk membandingkan posisi relatifnya dengan kriteria yang telah ditetapkan.
3. Penilaian berbasis portofolio merupakan penilaian yang dilaksanakan untuk menilai keseluruhan entitas proses belajar peserta didik termasuk penugasan perseorangan dan/atau kelompok di dalam dan/atau di luar kelas khususnya pada sikap/perilaku dan keterampilan.
4. Ulangan merupakan proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam
proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik.
5. Ulangan harian merupakan kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk menilai kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih.
6. Ulangan tengah semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan tengah semester meliputi seluruh indikator yang  merepresentasikan seluruh KD pada periode tersebut.
7. Ulangan akhir semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua KD pada semester tersebut.
8. Ujian Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UTK merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UTK meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut.
9. Ujian Mutu Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UMTK
merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan MTK
meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut.
10. Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN merupakan kegiatan pengukuran kompetensi tertentu yang dicapai peserta didik dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan, yang dilaksanakan secara nasional.
11. Ujian Sekolah/Madrasah merupakan kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi di luar kompetensi yang diujikan pada UN, dilakukan oleh satuan pendidikan. ( Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013Tentang Standar Penilaian Pendidikan)
[43] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013Tentang Standar Penilaian Pendidikan
[44] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013Tentang Standar Penilaian Pendidikan


XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.......6
SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI AGAMA
A.    Pengertian Sosiologi dan Antroplogi Agama.
1.      Pengertian Sosiologi Agama
Sosiologi secara bahasa berasal dari bahasa latin, socius yatu : teman, kawan, berteman, bersama, berserikat) bermaksud untuk mengerti kejadian-kejadian dalam masyarakat yaitu persekutuan manusia, dan selanjutnya dengan pengertian itu untuk dapat berusaha mendatangkan perbaikan dalam kehidupan bersama. Ssedangkan pengertian sosiologi secara istilah yaitu diartikan sebagaiilmu yang mempelajari interaksi manusia didalam masyarakat, yaiatu persekutuan manusia yang selanjutnya berusaha untuk mendatngkan perbaikan dalam kehidupan bersama.[1]
Agama adalah suatu sistem peraturan yang mengaturvhubungan anatara manusia dengan alam ghaib khususnya hubungan dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan dengan alam lingkungannya.[2]Menurut pandangan Weber bidang kajaian sosiologi Agama membahas masalah hubungan antara berbgai kepercayaan Agama dan etika praktis, persoalan ini dalam konteks agama-agama dan peradaban-perdaban yang berbeda-beda yang menjadi perhatian utamanya, begitu juga dengan corak masyarakat.[3]
Jadi, Sosiologi agama adalah studi tentang fenomena social, dan memandang agama sebagai fenomena social. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan prinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat. Sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keteranagn-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingn masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.[4] Sedangkan Antropologi merupakan Ilmu yang berusaha mempelajari tentang manusia yang menyangkut agama dengan pendekatan budaya. Metode Antropologis yaitu pendekatan kebudayaan, artinya agama dipandang sebagai sebagiandari kebudayaan, abaik wujud ide maupun gagagsan dianggap sebagai sistem norma dan nilai yang dimiliki oleh anggota masyarakat, yang mengikat seluruh anggota masyarakat
2.      Pengertian Antropologi Agama.
Antropologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu anthtopos yang berarti manusia, dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis, sekaligus makhluk sosial. Ada beberapa pengertian antropologi, yaitu:
Menurut Koentjaningrat mengatakan bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari berbagai warna, bentuk fisik, masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.[5]
Dan menurut David Hunter juga mengatakan bahwa antroplogi adalah ilmu yang muncul dari keingintahuan yang tidak terbatas mengenai umat manusia.
Antropologi mengkaji tentang manusia serta budaya.Ilmu ini bertujuan untuk memperoleh suatu pemahaman totalitas manusia sebagai makhluk. Baikdimasalampau maupun dimasa sekarang, baik sebagai esksistensi biologis maupun sebagai makhluk berbudaya.[6]
      Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Dari Pengertian diatas pemakalah menyimpulkan bahwa antropologi agama adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mempelajari tentang manusia yang menyangkut agama dengan pendekatan budaya, sebagai salah satu alat studi yang akurat dalam melihat reaksi anatar agama, budaya, dan lingkungan sekitar sebuah masyarakat.
B.     Sejarah Lahirnya dan Berkembangnya Sosiologi dan Antropologi.
1.      Sejarah Sosiologi Agama.
Perkembangan sosiologi di Indonesia tidak jauh dengan pertumbuhan sosiologi di Negara kita yang masih dalam tahap permulaan, maka dari itu masih terdapat kekosongan dalam sosiologi agama. Terlepas dari himbauan Mukti Ali, beliau menganjurkan para sarjana Indonesia untuk meneliti atau melakukan penelitian dalam bidang kehidupan agama.[7]Dua tokoh yang terkenal yaitu Emile Durkem dari prancis dan Max Weber dari Jerman. dipandang sebagai pendiri sosiologi Agama, dan karangan mereka digolongkan oleh para ahli sosiologi dalam bagian sosiologi umum. Dalam agama sudah mulai tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19 oleh sejumlah sarjana Barat seperti Edward B. Taylor (1832-1917), Hebert Spencer (1820-1903), Sir James G. Fraser (1854-1941), tokoh-tokoh ini lebih tertarik pada agama yang bersifat primitive, mulai saat itu hingga tahun 1950 muncullah buku-buku sosiologi agama sering disebut dengan nama sosiologi agama klasik.
      Sesudah perang Dunia II tumbuh perkembangan baru, dalam arus sosiologi klasik muncullah satu minat yang kuat dari sebagian ahli sosiologi yang ditujukan kepada kehidupan agama dalam gereja, lahirlah sosiologi Gereja. Sementara itu pengertian tentang sasaran dan lingkup sosiologi agama harus diperluas, jangan hanya dipersempit pada Gereja, sebab pengertian agama juga menyangkut iman dan kepercayaan.
      Dan gereja hanaya merupakan salah satu bentukkepercayaan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbanagan terjadilah perubahan dalam sosiologi Agama. Pertama, Sosiologi agama menjauhkan dari Gereja dan kembali berpengkuan pada sosiologi umum. Kedua, Sosiologi agama mengadakan langkah baru menuju pengetahuan yang bersifat ilmu. Tujuan para minat sekan-akan diarahkan dalam kehidupan agama dalam gereja yang menentukan kebijakan baru. Akan tetapi, disadari atau tidak sosiologi agama yang bercorak gereja ini melepaskan diri dari sosiologi umum dan menentukan jalannya sendiri.[8]
2.      Sejarah Antropologi Agama.
      Perhatian mnusia terhadap sikap dan  perilaku keagamaan sudah berabad-abad lamanya, yaitu sejak orang-orang barat berkelana dan mencekerama pengruh colonialisme dan imperialismenya didunia timur. Maka dari itlah mereka tertarik di karenakan apa yang mereka bandingkan dengan sikap perilaku dan upacara-upacara keagamaan (Kristen) yang mereka anut.Tanggapan kearah asal mula dari unsur-unsur universal tentang agama, seperti mengapa manusia percaya kepada adnya kekuasaan ghaib, mengapa pila manusia bersikap dan berperilaku dengan berbagai cara dan upacara yang bermacam-macam dalam ia berhubungan dengan kekuasaan ghaib.Perhatian yang demikian itu akhirnya memasuki dunia ilmiah, dalam usaha para sarjana untuk mencri tahu tentang asal mula agama.
      Para sarjana yang tertarik mengolah lebih lanjut tentang keagamaan primitive itu lalu berpendapat bahwa agama atau religi dan kepercayaan kuno itu adalah sisa-sisa dari bentuk agama purba yang dianut oleh seluruh umat manusia ketika budayanya masih sederhana. Jadi, gambaran tentang kegamaan purba  dari masyarakat sederhana itu bukan saja terdapat didunia Timur tetapi juga Eropa ketika masyarakat masih hidup sederhana.
      Jadi, yang melatar belakangi sejarah antropogi agama adalah ketertarikan ilmuan barat mengenai sikap perilaku adat dan keagamaan dari suku-suku bangsa sederhana yang dianggap sebagai hal-hal yang baru dibandingkan sikap perilaku dan upacara-upacara keagamaan (Kristen) yang mereka anut.[9]
C.     Objek Kajian dan Ruang Lingkup Sosiologi dan Antropologi
1.      Sosiologi
      Fungsi sosiologi agamangsi sosiologi agama dalam bidang teoritis dimana par ahli keagamaan memerlukan konsep-konsep dan rensep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka sosiologi dapat memberikan sumbangan. Terutama sosiologi agama Kristen yang ternyata sudah lebih maju dari pada sosiologi agama diluar agama Kristen, dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga khususnya kepada teologi tentang Gereja, kepada misiologi, dan tidak kurang kepada teologi pastoral, kepada teologi pembebasan dan teologi pembangunan.[10]
      Sosiologi agama menjadi displin ilmu tersendiri sejak munculnya karya Weber dan Durkheim. Tugas dari sosiologi umum adalah untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seluas-luasnya, maka tugas dari sosiologi agama adalah untuk mencapai keterangan-keteranga ilmiah tentang masyarakat agama khususnya. Masyarakat agama tidak lain ialah suatu persekutuan hidup (baik dalam lingkup sempit maupun luas) yang unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.
      Secara umum obyek studi sosiologi agama dibagi menjadi dua yaitu sasaran langsung ( obyek material) dan sudut pendekatan (obyek formal) yaitu:
a.       Sasaran langsung (obyek material).
Sosiologi agama menangani masyarakat agama sebagai sasarannya yang langsung. Masyarakat agama adalah suatu persekutuan hidup baik dalam lingkungan sempit atau luas yang unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan. Masyarakat agama terdiri dari komponen-komponen konstitutif. Misalya kelompok keagamaan atau institusi-institusi religious yang mempunyai cirri tertentu menurut peraturan dan norma-norma yang ditentukan oleh agama. Mayarakat agama yang seperti itu akan terus disoroti struktur dan fungsinya, pengaruhnya terhadap masyarakat umum dan atas stratifikasi sosial khususnya. Hal itu disebabkan oleh adanya kesadaran kelompok religious yang mempunyai sifat tersendiri, untuk mengkaji perubahan-peerubahan yang disebabkan oleh agama, baik yang positif maupun yang negative. Seperti kerukunan antar golongan agama dan konflik-konflik yang sering terjadi. Bagi sosiologi, kepercayaan hanyalah salah satu bagian kecil dan aspek agama yang menjadi perhatiannya. Menurut pandangan sosiologi, agama yang terwujud dalam kehidupan masyarkat adalah fakta sosial. Sebagaiman suatu fakta sosial, agama dipelajari oleh sosiolog dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Disiplin ilmu yang dipergunakan oleh sosiolog dalam mempelajarai masyarakat beragama itu didebut sosiologi agama. Sosiologi agama adalah suatu cabang ilmu yang otonomi muncul setelah abad ke-19. Pada prinsipnya, ilmu ini sama dengan sosiologi umum, yang membedakannya adalah objek materinya.[11]
b.      Sudut pendekatan (Obyek Formal)
            Kalau ilmu ketuhanan (teologi) mempelajari agama dan masyarakat agama dari kacamata “supra empiris” (baca menurut kehendak tuhan) maka sosiologi agama mempelajarinya dari sudut empiris sosiologis. Dengan kata lain yang hendak dicari dalam fenomena agama adalah dimensi sosiologisnya. Sampai berapa jauh agama dan nilai-nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas ekstensi dan poperasi masyarakat manusia. Sosiologi melalui pengamatan dan penelitian mau mencari keterangan-keterangan ilmiah untuk dipergunaakan sebagai sarana meningkatkan daya guna dan fungsi agama itu sendiri demi kepentingan masyarakat agama yang bersangkuatan khususnya masyarakat luas umumnya.
      Jika teologi mempelajari agama dan masyarakat agama dari segi “supranatural”, maka sosiologi agama mempelajarinya dari sudut empiris sosiologi. Adapun karakteristik dsar pendekatan sosiologi merupakan teori sosiologi tentang watak agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong ditetapkannya serangkaian kategori-kategori sosiologi. meliputi:
1.      Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.
a.       Kategori biososial, seperti seks,gender, perkawinan, keluarga masa kanak-kanak, dan usia.
b.      Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem-sistem pertukaran, dan borikrasi.
c.       Proses sosial, seperti informasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi.[12]
2.      Antroplogi.
Ahli antropologi dalam meneliti agama ditunjukan untuk melihat keterkaitan faktor lingkungan alam, struktur sosial, struktur kekerabatan, terhadap timbulnya jenis agama, kepercayaan, upacar, organisasi keagamaan tertentu. Antropologi untuk mengkaji agama sebagai agama yang memerlukan konsep kebudayaan, yang menerapkan konsep melalui penggunaan prinsip ilmiah tertentu. Adapun dasarkeseluruhan gambaran pendekatan secara ilmiah mengenai agama itu ada empat yaitu:
a)  Universalitas
Berarti tanpa mengatakan secaar langsung bahwa penghampiran antropologis itu mencakup keseluruha agama yang kita ketahui.
b) Empirisme
Studi agama didalam antropologi kontemporer adalah bersifat empiris, karena kuat berkat dalam riset lapangan. Komparasi Perlu dikalangan studi agama secara antropologi menuntut para penyelidik dituntut untuk tetap berdiri ditengah-tengah dan tidak memihak.
      Dengan prinsip-prinsip di atas, para antropologi (meneliti dan mengkaji agama) bukan hanya mengkaji kelompok-kelompok masyarakat tertentu, tetapi juga dalam banyak hal. Sehingga penyelidikan agama secara atropologi bukan saja memberikan pengertian didalam masalah agama itu sendiri, akan tetapi juga dalamberbagai macam lembaga-lembaga budaya, dalam tingkah laku manusia dan pola interaksi serta dalam sejarah manusia.[13]
      Dalam Antropologi Agma yang menjadi perhatian adalah beragamanya manusia dan masyarakat, antropologi tidak membahas salah benarnya agama dan segenap perangkatnya (kepercayaan, sepiritual,dan kepercayaan kepada yang sacral).
Poedjawijatna membagi objek antropologi agama menjadi dua yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah apa yang dipelajari oleh suatu ilmu. Jika sosiologi melihat dari sudut struktur sosialnya, sedangkan antropologi adalah agama sebagai fenomena budaya, tidak ajaran agama yang datanag dan Tuhan. Maka yang menjadi perhtian adalah beramnya manusia dan masyarakat.
      Setiap unsur budaya terdiri dari tiga hal yaitu:
a.       norma, nilai, keyakinan yang ada dalam pikiran , hati dan perasaan manusia pemilik kebudayaan tersebut;
b.      pola tingkah laku yang dapat diamati dalam kehidupan nyata;
c.       dan hasil material dari kreasi, pikirandan perasaan manusia. Demikian juga agama, sebagai fenomena budaya, ia ditemukan dalam bentuk keyakinan,perilaku, dan benda-benda konkret yang dihasilkan oleh manusia dan masyarakat beragama.
Harsojo mengungkapkan bahwa kajian antropologi terhadap agama meliputi empat masalah pokok, yaitu:
a.       Dasr-dasar fundamental agama dan tempatnya dalam kehidupan manusia.
b.      Bagaiman manusia yang hidup bermasyarakat memenuhi kebutuhan religious mereka.
c.       Darimana asal-usulagma.
d.      Bagaiama manifestasi perasaan dan kebutuhan religious manusia.[14]
      Jadi, objek kajian antropolpgi agama dasar fundamental agama dan kedudukannya dalam kehidupan dalam kehidupan manusia, cara memenuhi kebutuhan religiusnya, asal-usul agama dan bagaiman mengelola perasaan serta kebutuhn religusnya.
D.    Jenis-jenis Sosiologi dan Antroplogi Agama
1.      Jenis-jenis Sosiologi
      Sosiologi Agama tidak merupakan satu kesatuan yang beragam. Dalam Forum sosiologi agama terdiri bermacam-bermacam aliaran sesuai dengan macam aliaran sosiologi umum yang mereka ikuti. Adanya perbedaan jenis sosiologi dengan cirri-ciri tersendiri dapat diterangkan seabagai berikut, yaitu: (1) pendapat perbedaan visi atas realitas masyarakat, teristimewa mengenai kekuatan tertentu yang anggap memainkan perandominan atas kehidupan masyarakat. (2) akibat dari perbedaan visi digunakan pula metode dan pendekatan yang berbeda juga untuk mempelajari masyarakat. Berapa jenis aliran sosiologi agama yaitu:
a.       Aliran Klasik.
Aliran ini muncul pada pertengahan abad ke-19 dan belahan pertama abad ke-20, yang ditopang oleh sejumlah sarjana. Dalam aliran klasik membahs tentang kedudukan sosiologi agama sangat dekat dengan sejarah dan filsafat dan juga merupakan suatu refleksi dan analisis sistemaatis terhadap masyarakat kebudayaan dan agama sebagai proyek manusia. Tujuannya hendaknya mengungkapakn pola-pola sosiall dasar dan peranannya dalam menciptakan masyarakat.
b.      Aliran positivism.
Aliran ini mengikuti sosiologi yang empiris-positivi dan mengajarkan masyarakat dan masyarakat agama sama dengan benda-benda alamiah. Kesimpulan dengan metode pengukuran yang ekstra dan menarik yang dibuktikan dengan fakata-fakta. Juga dikatakan kesimpulan yang bersifat netral tanpa diwarnai pertimbangan teologi atau filosofis. Cara penganalisisan demikian dipegang ketat dan konsekuen demi pencapaian hasil yang objektif.
c.       Aliran Teori Konflik.
Pandangan sosiologi aliaran ini mengatakan masyarakat yang sehat (baik) ialah masyarakat yang hidup dalam situasi konfliktual. Maksudnya masyarkat disebut dalam keseimbanagan dianggapnya sebagai masyarakat yang tertidur dan berhenti dalam proses kemajuannya. Dari sisi lain sosiologi aliran atau teori konflik ini juga disebut (teori kritis) tidak dapat menyetujui metode kuantitatif dari alairan positivism, karena dianggap sebagai suatu arus yang mengasingkan orang dari masyarakat.
d.      Aliran Fungsionalisme.
pendukungnya bertolak dari pendirian dasar bahwa masyarakat itu suatu sistem pertimbangan, dimana setiap kelompok memberikan sumbangannya yang khas melalui peranananya masing-masing yang telah ditentukan. Demi kelestarian sistem pertimbangan sebagai keseluruhan. Dalam kerangka penegakkan sistem masyarakat sebagai suatuneraca keseimbanagan yang harmonis, aliran fungsionalisme ini dapat menerima prinsip kerja yang memperkecilkan lingkup penelitiannya yang dianggap berguna untuk mengetahui keseluruhannya.[15]
Dalam metode ini, banyak yang dapat dikaji. Misalnya pengaruh kehidupan masyarakat dan perubahan-perubahannya terhadap pengalaman agama dan oranisasi-organisasi, pengaruh masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama, praktek,serta golongan agama, dan jenis kepemimpinana agama dan lain sebagainnya. Beberapa contoh daro metode ini misalnya: kajian Emile Durkheim mengenai hubungan totem dengan masyarakat. Menurut Emile bentuk dan macam totem tergantung pada bentuk masyarakat. Dalam hubungan anatara gejala bunuh diri dengan katholik dan protestan.
Dalam kedudukannya sosiologi agama menjadi disiplin ilmu tersendiri sejak lahirnya karya Weber dan Durkheim. Jika tuga s sosiologi umum adalah untuk mencapai hukumkemasyarakatan yang seluas-luasnya, maka tugas dari sosiologi agama adalah untuk mencapaiketerangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat agama khususnya.
      Perlu kita ketahui juga teologi mempelajari agama dan masyarakat gama dari segi “supra-natural”, maka sosiologi agama empelajarinya dari sudut empiris sosiologi. Dengan kata lain yang akan dicari dalam fenomena agama itulah dimensi sosiologinya. Sampai berapa jauh agama dan nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarkat. Lebih konkrit lagi, misalnya seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan kepribadian pemeluknya, ikut mengambil bagian dalammenciptakan jenis-jenis kebudayaan, mewarnai dasar-dasar haluan Negara, seberaapa jauh agama ikut mempengaruhi proses sosial, perubahan sosial, fanatisme, dan lainnya.[16]
2.      Jenis-jenis Antropologi.
Antroplogi Agama adalah studi yang mempelajari manusia dalam kaitannya dengan agama, yatu pikiran sikap dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan ghoib. Beberapa hal dapat digunakan cara untuk studi antropologi yaitu mempeljari dari sudut ajarannya yang bersifat Historis, normative, deskriptif,empiris. Dari keempat cara ini dapat saling bertautan dan saling mengisi yang satu sama lain.[17]
a.       Metode Historis.
Dalam metode ialah menelusuri pikiran dan perilaku manusia tentang agamanya yang berlatar berlatar belakang sejarah, yaitu sejarah perkembangan budaya agama masyarakat manusia masih sederhana budayanya sampai budaya agamanya yang sudah maju. Begitu pula tentang waktu, tempat dan latar belakang sejarah terjadinya bangunan (rumah) ibadah,dan bercorak ragam mulai dari yang sederhana hingga bentuknya yang modern.
b.      Metode Diskriptif.
Dalam metode ini maksudnya adalah berusaha mencatat, melukiskan, menguraikan, melaporkan tentang buah fikiran sikap tindak dan perilaku manusia yang menyangkut agama dalam kenyataan yang implicit. Jadi, titik perhatian bukan di tunjukan terhadap ketentuan aturan keagamaan yang ideologis, yang dikehendaki dan harus berlaku, dalam hal ini di titik utmakan terhadap fakta-fakta dari berbagai peristiwa sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat.
c.       Metode Empiris.
Metode ini yang berlaku sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, terhadap kasus-kasus kejadian tertentu (metode kasus).Peneliti dituntut langsung atau tidak langsung  melibatkan diri dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi.
d.      Metode Normatif.
Maksud dalam metode ini mempelajari norma- norma, kaidah-kaidah, atau sastra suci agama , maupun perilaku kebiasaan tradisional yang berlaku, hubungan manusia dalam alam ghaib maupun dalam hubungan manusia yang bersumber terhadp ajaran masing-masing agama.
Pentingnya kajian ini, dalam hal hasil ilmiah,sebagai kajian suatu fenomenayang terjadi antropologi agama dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, baik oleh pemuka agama yang bersangkutan.  Pengetahuan ilmiah, untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui, juga dapat menetukan sikap yang tepat dengan pencapaian yang efisien.
Dalam pendidikan agama, selain memerlukan pengetahuan antropologis juga diperlukan pengetahuan yang memadai tentang psikologi peserta didik. Antropologi menempatkan suatu kelompok masyarakat dengan budaya yang sama atau yag berbeda dari individu yang lain karena berbagai faktor yaitu faktor fisik dan non fisik, bawaan, dan binaan, individu dan lingkungan. Pandangan dan perilaku masyarkat banyak dipengaruhi oleh ajaran atau komunitas agama yang membutuhkan hasil tentang agama secara antropologis, dalam memetingkan pembinaan kehidupan beragama, tetapi juga Negara pun memerlukannya untuk dapat menentukan cara menghadapi masyarakat degan efisien, efektif, dan halus.[18]
E.     Ilmu Sejarah dalam Sosiologi dan Antropologi.
Dalam hal ini sosiologi membicarakan masyarakat, diantaranya lapisan masyarakat, ilmu politik membicarakan masyarakat, terutama aspek kekuasaannya. Dan antropologi membicarakan masyarakat, diantaranya soal kebudayaan.Sejarah membicarajkan masyarakat dari segi waktu. Bisa dikatakan sosiologi dalam pengertian ilmu sejarah yaitu ilmu ini tidak bisa ditinggalkan bagi mereka yang akan menulis sejarah sosial. Sosiologi kota, sosiologi desa,sosiologi ekonomi, sosiologi revolusi, dan sebagainnya sudah menjadi spesialisasi sendiri. Banyak konsep sosiologi berguna dalam penulisan sejarah seperti perubahan sosial, mobilitas sosial, dan stratifikasi sosial..
Sedangkan, antropologi sudah semedikian jauh sehingga sulit menentukan apa yang paling berguna dalam penulisan sejarah kebudayaan. Antropologi agama dapat digunakan dalam penelitian sejarah politik.[19]
Dalam sejarah perdabannya tiap-tiap banga, pasti akan melihat manakala peradaban mulai goyah maka daya penggerak keagaman yang baru passti sudah siap untuk  menyelamatkan peradaban dari bahayakehancuran. Tanpa persatuan suatu peradaban tiding mungkin dapat bertahan lama. Memang sering pula orang berkata bahwa agamalah yang menyebabbkan terjadinya pertentangan dan pertumpahan darah, tetapi jika mau meninjau sejenak akan sejarah agama, kita akan tahu bahwa tuduhan tersebut timbul karena kesalah pahaman. Jadi, dapat disimpulkan bahwa peranan sosiologi dalam agama berasal dari faktor internal (diri sendiri) dan eksternal (lingkungan), yang paling penting yaitu faktor internal.
Pendekatan antropologi memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada deretan empiric akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi berupaya melihat hubungan antara agama dengan berbagai pranata yang terjadi dimasyarakatan.
Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.[20]
FOOTNOTE
[1] Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, (Bandung:PT. Rosda Karya ,2000), hlm.17.
[2] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Cet.5. (Jakarta:  UI Press, 1985), hlm.9.
[3] Scarf, Bety, Sosiologi Agama. (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm.205
[4] Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta:Raja Wali Press,     1990), hlm. 28.
[5] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm. 2.
[6] Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama,cet.1, (Jakarta: BAksara,1983),hlm. 1-2.
[7] Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: KANISIUS, 1983), hlm.21.
[8] Ibid. hlm. 14-16.
[9] Hilman, Adikusuma, Antropologi Agama, (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti,                  1983), hlm.9-10.
[10] Hendropuspito,Op.Cit. hlm. 11-12.
[11] Ishomudin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Pt. Ghalia Indonesia, 2002).hlm.32.
[12] Peter Conolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: Lkis,2002), hlm. 283.
[13] Zakiyah Dardjat, Loc.Cit. hlm.3-5.
[14] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada, 2006),hlm.17-19.
[15] Hendropuspito, Loc.cit. hlm.23-24.
[16] Op. cit, Pengantar Sosiologi Agama, hlm.34
[17] Bustanuddin, Agus, Loc cit, hlm.6.
[18] Ibid. hlm.39-44.
[19] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah,  cet.1, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013),hlm. 11.
[20] Abbudin Nata, Metode Studi Islam,Cet.19. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2012), hlm. 36-37.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok........7
PEMIKIRAN IBNU KHALDUM
A.     Biografi Ibnu Khaldun.
Ibnu khaldun adalah seorang filsuf sejarah yang berbakat dan cendekiawan terbesar pada zamannya, salah seorang pemikir terkemuka yang pernah dilahirkan. Beliau adalah seorang pendiri ilmu pengetahuan sosiologi yang secara khas membedakan cara memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta memberikan alasan-alasan untuk mendukung kejadian-kejadian yang nyata. [1]
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abu Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami. Beliau dilahirkan di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H./27 Mei 1332 M, wafat 19 Maret 1406/808H. Beliau dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alqur'an sejak usia dini, selain itu beliau juga membahas tentang pendidikan islam. Karyanya yang terkenal adalah Muqaddimah(Pendahuluan).[2]
Beliau masih memiliki garis keturunan dengan Wail bin Hajar, salah seorang sahabat Nabi Saw. Wail bin Hajar pernah meriwayatkan sejumlah hadith serta pernah dikirim nabi untuk mengajarkan agama Islam kepada para penduduk daerah itu. Pada abad ke-8 M Khalid bin Utsman datang ke Andalusia bersama pasukan arab penakluk wilayah bagian selatan Spanyol. Khalid kemudian lebih dikenal panggilan Khaldun sesuai dengan kebiasaan orang Andalusia dan Afrika Barat Laut yakni dengan penambahan pada akhir nama dengan “un” sebagai pernyataan penghargaan kepada keluarga penyandangnya. Dengan demikian Khalid menjadi Khaldun.
Di Andalusia keluarga Khaldun memainkan peranan yang cukup menonjol baik dari segi ilmu pengetahuan maupun dari segi politik. Mereka awalnya menetap di kota Carmon kemudian pindah ke kota Sevilla. Di kota ini mereka memainkan peranan penting dalam pemerintahan. Akan tetapi melihat kakeknya yang aktif dalam pemerintahan maka ayah ibn Khaldun memutuskan untuk menjauhkan diri sama sekali dari dunia politik dan mengkhususkan dirinya untuk bergerak hanya di bidang ilmu pengetahuan. Ayahnya menjadi terkenal di bidang bahasa arab dan tasawuf.
Munawir Sjadzali mengatakan:Ibn Khaldun’s first teacher was his own father. He learned to write and memorize al-Qur’an. He was fluent in the qira’ah sab’ah, the seven ways of reading al-Qur’an. He showed a balanced interest in tafsir, hadith, fiqh and Arabic grammar which his studied with a number of well-know teachers. (Guru pertama ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Dia belajar membaca dan menghafal al-Qur’an. Dia fasih dalam qira’at sab’ah (tujuh cara membaca al-Qur’an), dia memperlihatkan caranya yang seimbang dan merata antara mata pelajaran tafsir, hadith, fiqih dan gramatika bahasa arab yang diambilnya dari sejumlah guru yang ada di Tunisia).
Dilihat dari banyaknya yang dipelajari Ibnu Khaldun hal ini dapat diketahui bahwa dia memiliki kecerdasan yang luar biasa dan dia tidak puas dengan satu disiplin ilmu saja sehingga pengetahuannya begitu luas dan sangat bervariasi.
Ibnu Khaldun mulai berkarir dalam bidang pemerintahan dan politik di kawasan Afrika Barat Laut dan Andalusia selama hampir seperempat Abad. Dalam kurun waktu itu dari sepuluh kali dia pindah jabatan dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Jabatan pertaman Ibnu Khaldun pertama adalah sebagai anggota Majlis keilmuwan Sultan Abu Inal dari Bani Marin di ibu kota Fez. Kemudian dia diangkat menjadi sekertaris Sultan  pada Tahun 1354.
Selain di dunia politik, Ibnu Khaldun juga mengajarkan ilmunya di masjid. Kemudian dia pindah ke Biskarah. Dari Biskarah kembali ke Andalusia baru dan menuju Tilimsan tahun 1374 M.Di Tilimsan ini ibnu Khaldun menemukan tempat untuk menulis dan membaca di rumah bani Arif di dekat benteng Qal’at Ibn Salamh sebagai tempat tinggal dan tinggal di Istana Ibnu Salamah. Di tempat inilah selama empat tahun dia memulai karnya yang terkenal dengan Kitab al-Ibar (sejarah Universal).
Pada Tahun 1378 dia meninggalkan istana dan menuju Tunisia. Selama di Tunis dia melakukan revisi terhadap karyanya dan naskah asli tersebut di hadiahkan kepada Sultan Abu al-Abbas tahun 1382 M. Pada Tahun 1382 M dia pindah ke Alexandria dan menetap di Mesir. Di Mesir ini Ibnu Khaldun mengajar di Masjid al-Azhar. Di Masjid al-Azhar dia memberi kuliah Hadith, Fiqh maliki, serta menerangkan teori-teori kemashurannya dalam kitabMuqaddimah di samping juga mengajar di perguruan tinggi al-Azhar. Dia diangkat sebagai hakim madhab Maliki pada 1384 M dan aktif dalam dunia pendidikan.
Pada tanggal 25 Ramadhan 808 H bertepatan tanggal 19 Maret 1406. Ibnu Khaldun meninggal pada usia 76 Tahun. Untuk menghormati nama besarnya dia dimakamkan di pemakaman sufi di Bab al-Nashr Kairo, yang merupakan makam para ulama dan orang-orang penting.
Sebagai pelopor sosiologi, sejarah-filsafat, dan ekonomi-politik, karya-karyanya memiliki keaslian yang menajubkan.“Kitab al-I'bar” termasuk al-Taarif adalah buku sejarahnya yang monumental, berisi Muqaddimah serta otobiografinya. Bukunya dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama terkenal dengan muqaddimah, dalam bagian ini membicarakan tentang masyarakat, asal-usulnya,kedaulatan, lahirnya kota-kota dan desa-desa, perdagangan, cara orang mencari nafkah, dan ilmu pengetahuan. Bagian kedua kitab al-I'bar, terdiri dalam empat jilid, membicarakan tentang sejarah bangsa arab dan orang-orang muslim lainnya dan juga dinasti-dinasti pada masa itu, termasuk dinasti syiria, persia, seljuk, turki, yahudi, romawi, dan prancis.Dan bagian ketigaterdiri dari dua jilid,membicarakan bangsa barbar dan suku tetangga, otobiografi yaitu Al-Taarfi.[3]
B.     Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun.
Menurut Ibnu Khaldun ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-semata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Tradisi penyeledikan ilmiah yang dilakukan oleh ibnu khaldun dimulai dengan menggunakan tradisi berfikir ilmiahdengan melakukan kritik atas cara berfikir “model lama” dan karya-karya ilmuwan sebelumnya, dari hasil penyelidikan mengenai karya-karya sebelumnya, telah memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang sahih, pengetahuan ilmia auat pengetahuan yang otentik.[4]
Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun yaitu:
1.      Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan
2.      Menyiapkan seseorang dari segi akhlaq
3.      Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial
4.      Menyiapakn seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan
5.      Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran
6.      Menyiapkan seseorang dari segi kesenian
Pandangan Ibnu Khaldun tentang Pendidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan yaitu:
-Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu.
-Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman
-Pembinaan pemikiran yang baik[5]
C.     PENDIDIK.
Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentangperkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam cakupan pendidikan.
Ibnu Kholdun menganjurkan agar para guru bersikap dan berperilaku penuh kasih sayang kepada peserta didiknya, mengajar mereka dengan sikap lembut dan saling pengertian, tidak menerapkan perilaku keras dan kasar, sebab sikap demikian dapat membahayakan peserta didik, bahkan dapat merusak mental mereka, peserta didik bisa menjadi berlaku bohong, malas dan bicara kotor, serta berpura-pura, karena didorong rasa takut dimarahi guru atau takut dipukuli.
Dalam hal ini, keteladanan guru yang merupakan keniscayaan dalam pendidikan, sebab para peserta didik menurut Ibnu Kholdun lebih mudah dipengaruhi dengan cara peniruan dan peneladanan serta nilai-nilai luhur yang mereka saksikan, dari pada yang dapat dipengaruhi oleh nasehat, pengajaran atau perintah-perintah.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
a.       Prinsip pembiasaan
b.      Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
c.       Prinsip pengenalan umum (generalistik)
d.      Prinsip kontinuitas
e.       Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
f.       Menghindari kekerasan dalam mengajar.
D.     PESERTA DIDIK.
Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Pada dasarnya peserta didik adalah:
a)Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang digunakan dan sebagainya.
b)Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang dimilikinya.

a.Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik menyangkut kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi.
b.Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual (diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
c.Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur alam, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohani memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal maka proses pendidikan hendaknya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah.
d.Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
E.      KURIKULUM DAN MATERI PENDIDIKAN.
Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan.
Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan.
Dalam pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib, bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada mempelajari al-Qur’an dari berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan al-Qur’an sebagai dasar dalam pengajarannya, karena al-Qur’an merupakan sumber Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari al-Qur’an saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan lain.
Demikian pula dengan orang-orang Ifrikiya, mereka mengkombinasikan pengajaran al-Qur’an dengan hadits dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu.Adapun metode yang dipakai orang Timur seperti pengakuan Ibnu Khaldun, sejauh yang ia ketahui bahwa orang-orang Timur memiliki jenis kurikulum campuran antara pengajaran al-Qur’an dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menganjurkan agar pada anak-anak seyogyanya terlebih dahulu diajarkan bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan, sehingga menurutnya mengajarkan al-Qur’an mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak terhadap al-Qur’an itu sendiri, karena anak akan membaca apa yang tidak dimengertinya dan hal ini menurutnya tidak ada gunanya.
Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
1.      Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits. Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.
2.         Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah).
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia.
Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu:
1.      Ilmu logika,
2.      Ilmu fisika,
3.      Ilmu metafisika dan
4.      Ilmu matematika termasuk didalamnya ilmu, geografi, aritmatika dan al-jabar, ilmu music, ilmu astromi, dan ilmu nujuum.
Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi ilmunya. Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1.      Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
2.      Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika)
3.      Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
4.      Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama. Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu ‘Aqliyah (filsafat). Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat yang pertama, hal itu ditinjau dari segi kegunaannya bagi anak didik, karena membantunya untuk hidup dengan seimbang namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang mulia sejajar dengan ilmu agama.
Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu pengetahuan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar banyak tergantung pada para pendidik, bagaimana dan sejauh mana mereka pandai mempergunakan berbagai metode yang tepat dan baik.
F.      METODE PENDIDIKAN.
Metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya. Ciri-ciri perkembangan peserta didik dan suasana alam di sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.
Metode pendidikan sama halnya dengan metode pembelajaran (pengajaran), yang mana pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan terungkap lewat empat sikap reaktifnya terhadap gaya para pendidik (guru) dimasanya dalam dasar empat dasar persoalan pendidikan.
1.      kebiasaan mendidik dengan metode “indoktrinasi” terhadap anak-anak didik, para pendidik memulai dengan masalah-masalah pokok yang ilmiah untuk diajarkan kepada anak-anak didik tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan menguasainya. Maka Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab.
2.      memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat.
3.      Ibnu Khaldun tidak menyukai metode pendidikan yang terkait dengan strategi berinteraksi dengan anak yang “militeristik” dan keras, anak didik harus seperti ini dan seperti itu, karena berdampak buruk bagi anak didik berupa munculnya kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal.
4.      Ibnu Khaldun mengajarkan agar pendidik bersikap sopan dan halus pada muridnya. Hal ini termasuk juga sikap orang tua terhadap anaknya, karena orang tua adalah pendidik yang utama. Selanjutnya jika keadaan memaksa harus memukul si anak, maka pemukulan tidak boleh lebih dari tiga kali.
Ibnu Khaldun memberikan sedikitnya ada dua bentuk pembelajaran yaitu:
a.       Tahapan pembelajaran.
Pembelajaran yang efektif dan efisien terhadap peserta dpembelajaran yang efektif dan efisien terhadap peserta didik apabila dilakukan secara berangsur-angsur, setapak-demi setapak dan seidik apabila dilakukan secara berangsur-angsur, setapak-demi setapak dan sedikit demi sedikit. Untuk itu apabila satu bahasan ingin dicapai dengan baik maka seorang guru harus mengulangnya dikit demi sedikit. Untuk itu apabila satu bahasan ingin dicapai dengan baik maka seorang guru harus mengajarnya dedikit demi sedikit dan mengulangnya sampai dapat dikuasai dengan benar oleh pesesampai dapat dikuasai dengan benar oleh peserta didik,selain itu seorang guru harus menjelaskannya terlebih dahulu tujuan pembelajaran, hal ini dimaksudkan agar peserta didik tidak bingung terhadap alur pembelajarannya.
Berkaitan dengan itu semua ibnu khaldun menganjurkan agar para guru dan orang tua sebagai pendidik seharusnya berlaku sopan dan adil dalam mengingatkan siswa, lain dari itu ibnu khaldun membolehkan memukul siswa apabila dalam keadaan memaksa akan tetapi pukulan tersebut tidak lebih tiga kali.
Dalam literatur yang lainnya lagi dengan metode pengajaran ini ibnu khaldun menjelaskan bahwa tiap-tiap pemikiran dan ilmu akan mengembangkan pada akal yang cerdas, lebih lnjut beliau menjelaskan ilmu berhitung tidak sama dengan metodeproblem-problem kemasyarakatan dan falsafah atau sejarah, dari sini seorang pendidik harus mampu mengklasifikasi mata pelajaran dan metode pengajaran.
b.      Concertie method (metode pemusatan)
Dalam kaitan ini komponin pendidikan sama-sama dituntut untuk lebih fokus pada satu atau dua pilihan bidang pendidikan saja, baik guru, para orang tua dan siswa. Dalam beberapa referensi yang ada sepertinya sosok ibnu khaldun adalah seorang yang menjunjung tinggi metode itu (specialisasi pelajaran) dan telaten. Dari sini ibnu khaldun dikenal sebagai tokoh pendidikan yang menggunakan metode pemusatan atau disebut concertie method. Selain metode diatas Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimahnya menjelaskan bahwa didalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya:
a.memberikan problem-problem pokok yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik.
b.Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari pengetahuan tadi baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan terperinci.
c.Pada langkah ketiga ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna.
Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang benar.
Disamping metode diskusi Ibnu Khaldun juga menganjurkanmetode peragaan, karena dengan metode ini proses pengajaran akan lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik. Satu hal yang menunjukkan kematangan berfikir Ibnu Khaldun, adalah prinsipnya bahwa belajar bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan berdiskusi akan menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat orang lain, disamping dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan paham terhadap apa yang dipelajarinya.
[1]Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka firdaus, 2003, hlm. 503.
[3]Ibid, hlm. 505.
[4]Syarifudin Jurdi, Sosiologi Islam ElaborasiPemikiran Sosial Ibn Khaldun, (POKJA :’UIN Sunan Kalijaga, 2008) hlm.17
[6]Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 20.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......8
PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Setidaknya terdapat beberapa pendekatan dari perspektif sosiologi yang dapat digunakan dalam menganalisis permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam bidang pendidikan. Di antaranya seperti yang disampaikan oleh Abu Ahmadi dalam bukunya ‘Sosiologi Pendidikan’ yaitu pendekatan individu, sosial, interaksi dan teori medan.
A.        Pendekatan Individu (The Individual Approach)
Dalam pendekatan individu titik penekanannya adalah tingkah laku individu. Setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi pendekatan individu ini yakni faktor internal yang meliputi faktor-faktor biologis dan faktor eksternal yang meliputi faktor-faktor lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Dalam pendekatan individual ini titik tekannya adalah faktor-faktor biologis yang menguasai tingkah laku individu daripada faktor-faktor psikologis, namun kedua faktor ini tetaplah faktor primernya sedangkan faktor lingkungan sekitar fisik dan lingkungan sosial merupakan faktor sekunder. Hal ini dikarenakan pendekatan individu berasumsi bahwa individu adalah primer dan masyarakat adalah sekunder.[1]
1.      Faktor Biologis Pada Tingkah Laku Manusia.
Perbedaan antara faktor biologis dan psikologis pada tingkah laku manusia adalah pada faktor biologis manusia dipandang sebagai organisme yang murni dan sederhana, sedangkan pada faktor psikologis manusia dipandang sebagai organisme yang cerdas dan mempunyai kecerdasan (inteligen). Kemudian yang menjadi problem terbesar pada biologi adalah usaha untuk menemukan elemen-elemen tingkah laku mana yang dapat diwariskan secara biologis dan elemen-elemen tingkah laku mana yang disebabkan oleh lingkungan sekitar dan apakah elemen tingkah laku inheritas (keturunan biologis/hereditas) itu dapat diubah atau tidak?, kalau dapat diubah sejauh mana perubahan dapat terjadi?[2]
2.      Faktor Psikologis Pada Tingkah Laku Manusia.
Sebenarnya perbedaan antara faktor psikologis dan biologis tidak begitu ekstrim, tajam dan statis. Seiring dengan kemajuan-kemajuan penelitian ilmiah maka dapat diketahui bahwa sebenarnya hubungan psikologi dan biologi sifatnya timbal-balik, bahkan justru keduanya saling melengkapi di dalam mempelajari tingkah laku manusia. Bukti dari ini adalah munculnya penelitian-penelitian psikologi mengenai konsep insting (instinct).[3]
Singkatnya dapat disimpulkan bahwa pendekatan individu belumlah lengkap untuk menerangkan semua gejala tingkah laku manusia mengingat bahwa individu-individu adalah hidup dengan dan dalam masyarakat. Jadi faktor masyarakat itupun harus diakui peranannya sebagai pembentuk tingkah laku anggota masyarakatnya. [4]
B.         Pendekatan Sosial (The Societal Approach)
Titik tekan pendekatan ini adalah masyarakat dengan berbagai lembaga, kelompok, organisasi dan aktivitasnya. Secara kongkrit pendekatan sosial ini membahas aspek-aspek atau komponen dari kebudayaan manusia, seperti keluarga, tradisi, adat-istiadat, dan sebagainya. Jadi segala sesuatu yang dianggap produk bersama adalah milik bersama atau milik masyarakat. Jadi jelas di sini yang menjadi gejala primer adalah kelompok masyarakat, sedangkan individu merupakan gejala sekunder saja.[5]
Secara ekstrim, pendekatan sosial ini berasumsi bahwa tingkah laku individu-individunya secara mutlak ditentukan oleh masyarakat dan kebudayaan masyarakat, sehingga individualitas tenggelam di dalam sosialtas manusia. Tingkah laku yang demikian ini dapat ditemukan dalam masyarakat yang benar-benar homogen yang kuat tradisi dan tata caranya. Sehingga inidividu-individu yang menyimpang dari pola tingkah laku masyarakat dianggap abnormal dan pasti dikeluarkan dari masyarakatnya.
Kalau diperhatikan secara seksama, prinsip dari pendekatan sosial ini tak dapat disangkal kebenarannya, tetapi secara ekstrem dan absolut, pendekatan sosial ini menunjukkan kelemahan-kelemahannya, sebab betapapun homogennya dan kuatnya tata cara hidup masyarakat di situ masih juga didapati perilaku individualitas pada anggota masyarakat. Mengapa demikian? Karena setiap individu mempunyai watak dan kepribadiannya masing-masing. Bahkan tidak jarang keseragaman tingkah laku pada masyarakat dianggap sebagai paksaan yang membelenggu kreatifitas individu tersebut. Karena pada dasarnya pola tingkah laku individu manusia selalu didapati sifat-sifat kreatif dan dinamis[6]
C.         Pendekatan Interaksi (The Interaction Approach)
Di dalam pendekatan interaksi ini perhatiannya adalah penggabungan dari pendekatan individu dan pendekatan sosial melalui interaksi. Sebab pada kenyataannya menurut pendekatan interaksi ini, individu dan masyarakat itu saling mempengaruhi dan memiliki hubungan timbal balik. Jadi antara individu dan masyarakat itu mempunyai daya kekuatan yang saling membentuk dan saling menyempurnakan.[7]
Kesimpulannya pendekatan ini ingin menjelaskan bahwa untuk mengetahui tingkah laku manusia harus dilihat dari individu dan masyarakat. Jadi sosiologi pendidikan tidak semata-mata hanya mempelajari individu atau masyarakat saja tetapi harus kedua-duanya.[8]
D.        Teori Medan (field theory)
Teori medan adalah teori yang diperkenalkan oleh Dr. Kurt Lewin dari bidang psikologi yang kemudian dikembangkan oleh J.F Brown dalam psikologi sosial. Inti dari teori medan adalah meneliti struktur medan hidup (life space) beserta pribadi (Person) dan medan sosial (life space sosial) nya. Medan hidup ini merupakan kondisi-kondisi, syarat-syarat dan situasi-situasi kongkrit yang menyertai gerak individu pribadi tadi. Obyeknya adalah organisme manusia. Cara bekerjanya teori medan itu mempergunakan metode hipotetis- deduktif. Ciri khas lain dari teori medan adalah menggunakan bahasa genotype. Dan lagi bahwa dalam teori medan digunakanlah konsep-konsep dan gambar-gambar mathematis[9]
FOOTNOTE
[1] Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Jakarta, 2007), hal. 26-27.
[2] Ibid, hal. 27.
[3] Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Jakarta, 2007), hal. 30-31.
[4] Ibid, hal. 35-36.
[5] Ibid, hal. 37.
[6] Ibid, hal. 41.
[7] Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Jakarta, 2007), hal. 44.
[8] Ibid, hal. 46.
[9] Ibid, hal. 50-51.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.......9
PENDEKATAN ANTROPOLOGI PENDIIDKAN.
A.    Pengertian PendekatanAntropologis.
Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang berarti ilmu.  Kata antropologi dalam bahasa Inggris yaitu “anthropology” yang didefinisikan sebagai the social science that studies the origins and social relationships of human beings atau the science of the structure and functions of the human body.[1]  yaitu (ilmu sosial yang mempelajari asal-usul dan hubungan sosial manusia atau Ilmu tentang struktur dan fungsi tubuh manusia).
Antropologi juga bisa diartikan sebagai ilmu tentangmanusia, khususnya tentangasal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaannya pada masa lampau. Menurut Koentjaraningrat antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.[2]
Dari beberapa pengertian seperti yang telah dikemukakan, dapat disusun suatu pengertian yang sederhana bahwa antropologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkannya, sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Antropologi adalah sebuah ilmu yang didasarkan atas observasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul, dengan menetralkan nilai, analisis yang tenang (tidak memihak).[3]
Adapun pengertian pendekatan, dalam dunia ilmu pengetahuan makna dari istilah pendekatan adalah sama dengan metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji. Bersamaan dengan itu, makna metodologi juga mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk melakukan penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan cara melihat dan memperlakukan masalah yang dikaji. Dengan demikian, pengertian pendekatan atau metodologi bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat sesuatu permasalahan yang menjadi perhatian tetapi juga mencakup pengertian metode-metode atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan tersebut.[4]
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masayarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berusaha memberikan jawabannya.
Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antrapologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Raharjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipasif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pendekatan sosiologis.  
B.     Objek Kajian dalam Pendekatan Antropologi.
Ditinjau dari pengertian antropologi tersebut, obyek kajian dalam antropologi mencakup 2 (dua) hal yaitu :
1.  Keanekaragaman bentuk fisik manusia.
2.  Keanekaragaman budaya/kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa secara umum obyek kajian antropologi dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu antropologi fisik yang mengkaji makhluk manusia sebagai organisme biologis, dan antropologi budaya dengan tiga cabangnya: arkeologi, linguistikdan etnografi. Meski antropologi fisik menyibukan diri dalam usahanya melacak asal usul nenek moyang manusia serta memusatkan studi terhadap variasi umat manusia, tetapi pekerjaan para ahli di bidang ini sesungguhnya menyediakan kerangka yang diperlukan oleh antropologi budaya. Sebab tidak ada kebudayaan tanpa manusia.[5]
Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari adalah agama sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang datang dari Allah. Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral. Wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul. Menurut Atho Mudzhar, ada lima fenomena agama yang dapat dikaji, yaitu: [6]
1.      Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
2.      Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya.
3.      Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
4.      Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
5.      Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
Kelima obyek di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologi, karena kelima obyek tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia.
C.     Kerangka Operasional Pendekatan Antropologis
Menurut Amin Abdullah, cara kerja yag dalam hal ini bisa kita artikan sebagai langkah dan tahapan pendekatan antropologi dalam studi Islam memiliki empat cirri fundamental yang meliputi
1.      Bercorak descriptive, bukannya normative..
Pendekatan antropologi  bermula dan diawali dari kerja lapangan  (field work),  berhubungan  dengan orang, masyarakat, kelompok  setempat yang diamati  dan diobservasi dalam jangka waktu yang lama dan mendalam.  Inilah yang biasa disebut dengan  thick description (pengamatan dan observasi di lapangan yang dilakukan secara serius, terstuktur, mendalam dan berkesinambungan).  Thick description dilakukan  dengan cara antara lain Living in , yaitu  hidup bersama masyarakat yang diteliti, mengikuti  ritme dan pola hidup sehari-hari mereka dalam waktu yang cukup lama.
2.      Local practices , yaitu praktik konkrit dan nyata di lapangan.
Praktik hidup yang dilakukan sehari-hari,  agenda mingguan, bulanan dan tahunan, lebih -lebih ketika manusia melewati hari-hari  atau peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani  kehidupan. Ritus-ritus atau amalan-amalan apa saja yang dilakukan untuk melewati peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan tersebut  (rites de pessages) ? Persitiwa  kelahiran, perkawinan, kematian, penguburan .  Apa yang dilakukan oleh manusia ketika menghadapi dan menjalani ritme kehidupan yang sangat penting tersebut? [7]
3.      Keterkaitan antar berbagai domain kehidupan  secara lebih utuh (connections across social domains).
Bagaimana hubungan antara wilayah  ekonomi,  sosial, agama, budaya dan politik.  Kehidupan tidak dapat dipisah-pisah. Keutuhan dan kesalingterkaitan antar berbagai domain kehidupan manusia. Hampir-hampir tidak ada satu domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri, terlepas dan  tanpa terkait dan terhubung dengan lainnya.
4.      Comparative (Perbandingan)artinya studi dan pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama. Studi dan pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama. 
Meskipun menyebut local practices untuk era globalisasi sekarang adalah debatable, tetapi ada empat rangkaian tindakan  keagamaan yang perlu dicermati oleh penelitian antropologi. Pertama, adalah bagaimana  seseorang dan atau kelompok melakukan praktik-praktik lokal dalam mata rantai tindakan keagamaan  yang terkait dengan dimensi social, ekonomi, politik, dan budaya.  Sebagai contoh ada ritus baru yang disebut “walimah al-Safar”, yang biasa dilakukan orang  sebelum  berangkat haji. Apa makna praktik dan tindakan lokal ini dalam keterkaitannya dengan agama, sosial, ekonomi, politik dan budaya? Religious ideas yang diperoleh  dari teks atau ajaran pasti ada di balik tindakan ini. Bagaimana tindakan ini membentuk emosi  dan menjalankan  fungsi sosial dalam kehidupan yang luas?.  Bagaimana walimah safar yang tidak saja dilakukan di rumah tetapi juga  di laksanakan di pendopo kabupaten? Oleh karenanya, keterkaitan dan keterhubungan antara local practices, religious ideas, emosi  individu dan kelompok maupun kepentingan sosial – poilitik tidak dapat dihindari.  Semuanya membentuk satu tindakan yang utuh.
D.    Wilayah Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam
Antropologi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dengan dibekali oleh pendekatan yang holistic dan komitmennya tentang manusia, sesungguhnya antropologi merupakan ilmu penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam karena konsep manusia sebagai khalifah (wakil Tuhan) di bumi, misalnya merupakan symbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.[8]
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia sesungguhnya adalah persoalan agama yang sebenarnya.Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaanya.
Pemahaman Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak lengkap tanpa memahami manusia. Realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan terletak pada interpretasi dan pengalaman agama. Oleh karena itu antropologi diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagaman manusia.
Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa signifikansi antropologi dalam studi islam adalah sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain, cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan dibidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-modelmatematics, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif dengan berbagai bidang kehidupan, diantaranya:
1.       Agama berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat.Golongan masyarakat yang kurang mampu dan miskin pada umumnya, lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sydah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Marx (1818-1883), sebagai contoh, melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut dengan teori pertentangan kelas. Menurutnya agama bisa disalahfungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung sistem kapitalsime di Eropa yang beragama Kristen. Lain halnya dengan Max Weber (1864-1920).
Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran Protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika Protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja semangat masyarakat industri yang kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh Robert N. Bellah dalam karyanya The Religion of Tokugawa.Dia juga melihat adanya korelasi positif antara ajaran agama Tokugawa, yakni semacam percampuran antara ajaran agama budha dan sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang Jepang modern. Tidak ketinggalan, seorang Yahudi kelahiran Prancis, Maxime Rodinson, dalam bukunya Islam and Capitalism menganggap bahwa ekonomi islam itu lebih dekat dengan sistem kapitalisme atau sekurang-kurangnya tidak mengharamkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme.
2.       Agama dalam hubungannya dengan mekanisme organisasi social budaya.
Peneliti Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Javamelihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di Jawa, antara santri, priyayi, dan abangan. Sungguhpun hasil penelitian antropologis di Jawa Timur ini mendapat sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial yang lain, namun kontruksi stratifikasi sosial yang dikemukakannya cukup membuat orang berfikir ulang untuk mengecek ulang keabsahannya. [9]     
3.       Keterkaitan agama dengan psikoterapi.
Sigmund Freud (1856-1939) pernah mengaitkan agama dengan oedipus complex, yakni pengalaman infantil seorang anak yang tidak berdaya dihadapan kekuatan dan kekuasaan bapaknya. Agama dinilainya sebagai neurosis. Dalam psikoanalisanya dia mengungkapkan adanya hubungan antara id, ego dan superego. Meskipun hasil penelitian Freud berakhir dengan kurang simpati terhadap realita keberagamaan manusia, tetapi temuannya ini cukup memberi peringatan terhadap beberapa kasus keberagamaan tertentu yang lebih terkait dengan patologi sosial mupun kejiwaan. Jika Freud dianggap terlalu minor melihat fenomina keberagaman manusia, lain halnya dengan psikoanalis yang dikemukakan C.G.Jung. Jung malah menemukan hasil temuan psikoanalisanya yang berbalik arah dari apa yang ditemukan Freud. Menurutnya ada korelasi antara agama dan kesehatan mental.
4.       Agama dengan Budaya
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah “takdir sosial” yang tak perlu lagi dipahami.
Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis;intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah dengan mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definisi ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis.
Jamaluddin ‘Athiyyah, dalam artikelnya di jurnal The Contemporery Muslimmenawarkan bahwa obyek kajian dari antropologi Islam adalah sebagai berikut ini :
a.       Penciptaan manusia, meliputi awal penciptaan manusia dan bagaimana manusia kemudian berkembang termasuk teori evolusi Darwin sebagai komparasinya. Juga pertanyaan tentang apakah sebelum Adam AS. ada Adam-Adam lain. Seperti kecenderungan Iqbal, misalnya, yang mengatakan dalam bukunya The Reconstraction of Religious Thought in Islam, bahwa Adam yang disebut dalam al Qur’an lebih banyak bersifat konsep tinimbang histories.
b.      Susunan manusia, meliputi susunan yang membentuk manusia; tubuh, jiwa, ruh, akal, hati, mata hati dan nurani. Sehingga dapat didapatkan konsep manusia yang utuh sesuai dengan konsep Islam. Sehingga dengannya manusia akan berbeda dengan malaikat, jin, hewan, tumbuhan dan benda mati. Sambil menjelaskan perbedaan manusia dengan makhluk tersebut.
c.       Macam-macam manusia, yaitu perbedaan manusia antara lelaki dan perempuan, suku-suku, bangsa-bangsa, perbedaan bahasa, dan hikmah dibalik perbedaan ini.
d.      Tujuan diciptakannya manusia dan apa misi yang dibawanya di atas bumi, pengkajian tentang ibadah, khilafah, pembumidayaan dunia dan sebagainya.
e.       Hubungan manusia dengan semesta, yakni manusia sebagai pusat semesta dan pembahasan tentang lingkungan hidup.
f.       Hubungan manusia dengan Tuhan-nya, yakni mengkaji tentang beragama manusia, peran nabi-nabi, kitab-kitab suci dan ibadah.
g.      Manusia masa depan, yang mengkaji tentang rekayasa manusia masa depan yaitu tentang pembibitan buatan, bioteknologi, manusia robot dan hal-hal lainnya.
h.      Manusia setelah mati, yang membahas bagaiman manusia setelah mati, serta apa yang harus ia persiapkan di dunia ini bagi kehidupannya di akherat nanti.
Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-santri, abangan dan priyayidi dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.
Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut diatas terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomina kehidupan manusia.
Antropogi memberikan pemahaman yang khusus berkenaan dengan cara hidup dan perilaku manusia. Lingkup antropologi mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Pernyataan Socrates yang berbunyi, “Saya bukanlah orang Athena atau Yunani, melainkan warga dunia, “ dewasa ini cenderung diartikan secara harfiah daripada secara filosofis. Manusia di seluruh dunia sudah mampu berhubungan antara satu sama lainnya melalui bantuan teknologi canggih: computer, kaset video, dan televisi. Dalam dunia kita yang kompleks ini, antropologi dapat membantu kita dengan cara yang sederhana, tetapi bermanfaat untuk memahami berbagai masalah masa kini, misalnya masalah kependudukan, pengungsi, kemiskinan, obat bius, polusi, kelaparan, dan bom nuklir. Jadi penerapan antropologi dalam upaya memahami masalah tersebut merupakan antropologi masa kini.
FOOTNOTE
[1] Wawan, Definisi antropologi, lihat dihttp://wawan-satu.blogspot.com/2011/11/definisi antropologi.html, diakses tanggal28 Maret 2016.
[2] Artikata.com, Definisi'antropologi', lihat di http://www.artikata.com/arti-319317-antropologi.html, diakses tanggal 28 Maret 2016.
[3] Akbar S.Ahmad, “Ke Arah Antropologi Islam” dalam Hasan Baharun dan Akmal Mundiri, Metodologi Studi Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)hlm.232
[4] Parsudi Suparlan,“Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet. I, 1998), h. 110.
[6] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 15.
[7] Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama Dan Studi Islam,http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/ diakses 29 Maret 2016.
[8] Hasan Baharun, Metodologi Studi Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media) hlm. 234
[9] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada: 2004), hlm. 35-37.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.........10
ANTROPOLOGI AGAMA DAN HUBUNGAN KEDUANYA.
A.    Pengertian Antropologi Agama
Untuk mengetahui rukun dan syarat dalam wakafAntropologi Agama atau yang bisa di sebut juga Antropologi Religi merupakan ilmu yang berusaha mempelajari tentang manusia yang menyangkut agama dengan pendekatan budaya.Walaupun ada yang berpendapat ada perbedaan antara pengertian agama dan religi menurut pengertian Antropologi Budaya, namun kedua istilah tersebut mengandung arti adanya hubungan antara manusia dengan kekuasaan yang ghaib (Perhatikan Kusnaka 1983: 49).[1]
Dengan demikian Antropologi Agama tidaklah mendekati agama itu sebagaimana dalam “Teologi” (ilmu ketuhanan), yaitu ilmu yang menyelidiki wahyu tuhan. Misalnya dalam teologi kristen dimana teologi itu di bedakan dalam “Theologica systematica” yang menguraikan tentang dogmatik, etika, dan filsafat agama, Theologica Historica yang menguraikan tentang kitab suci, sejarah gereja, sejarah dogma, dan sejarah agama dan Thelogica Practica yang menguraikan tentang Homeletik, ketechetik dan liturgik.[2]
B.     Latar Belakang Sejarah Antropologi Agama
Perhatian manusia terhadap sikap dan perilaku keagamaan sudah berabad-abad lamanya, yaitu sejak orang-orang barat berkelana dan mencekeramakan pengaruh kolonialisme dan imperialismenya di dunia timur. Di antara mereka yang tertarik tersebut di dalam karangannya mengenai “etnografi” tergambar tentang sikap perilaku adat dan keagamaan dari suku-suku bangsa sederhana. Maka dari itulah mereka tertarik di karenakan apa yang mereka bandingkan dengan sikap perilaku dan upacara-upacara keagamaan (kristen) yang mereka anutTanggapan aneh tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah sikap perilaku keagamaan masyarakat sederhana itu adalah bentuk-bentuk keagamaan yang ada kemudian apakah sudah lebih maju, seperti halnya dengan agama Hindu-Budha, Agama Kristen-Katolik, dan Agama islam. Tanggapan kearah asal mula dari unsur-unsur universal tentang agama, seperti mengapa manusia percaya kepada adanya kekuasaan ghaib, mengapa pula manusia bersikap dan berperilaku dengan berbagai cara dan upacara yang bermacam-macam dalam ia berhubungan dengan kekuasaan ghaib. Perhatian yang demikian itu akhirnya memasuki dunia ilmiah, dalam usaha para sarjana untuk mencari tahu tentang asal mula agama.
Para sarjana yang tertarik mengolah lebih lanjut tentang keagamaan primitif itu lalu berpendapat bahwa agama atau religi dan kepercayaan kuno itu adalah sisa-sisa dari bentuk agama purba yang di anut oleh seluruh umat manusia ketika budayanya masih sederhana. Jadi gambaran tentang keagamaan purba dari masyarakat sederhana itu bukan saja terdapat di dunia timur tetapi juga di Eropa ketika masyarakatnya masih hidup sederhana.[3]
Dari bahan-bahan etnografi keagamaan yang dapat di kumpulkan dan di pelajari oleh para ahli, maka di antara para sarjana ada yang berusaha menyusun teori asal mula agama. Di antara mereka yang menyusun teori tentang asal mula agama tersebut terdiri dari beragai ahli, yaitu para ahli filsafat, para ahli sejarah, sarjana-sarjana filologi yamh ahli meneliti naskah-naskah kuno denan bahasa-bahasa kuni, dan sebagainya.[4]
C.     Objek Kajian Antropologi Agama
Objek yang dikaji oleh berbagai cabang dan ranting ilmu di bedakan oleh Poedjawijatna kepada objek materia dan objek forma (1983). Objek materia ialah apa yang di pelajari oleh suatu ilmu. Ilmu sosial misalnya mempelajari masyarakat. Sosio;ogi dan antropologi sama-sama mengkaji masyarakat, tetapi sudut tinjauan atau formanya berbeda. Jadi kalau sosiologi misalnya dari sudut struktur sosialnya, sedangkan antrpologi dari sudut budaya tersebut. Agama yang di pelajari oleh antropologi adalah agama sebagai fenomena budaya, tidak aa ajaran agama yang datang dari tuhan. Maka yang menajdi perhatian adalah beragamanya manusia dan masyarakat. Sebagai ilmu sosial, antropologi tidak membahas salah benarmya suatu agama dan segenap perangkatnya, ritual, dan kepercayaan kepada yang sakral.
Harsojo mengungkap bahwa kajian antropologi agama dari dahulu sampai sekarang meliputi empat masalah pokok, yaitu : (1) dsar-dasar Fundamental dari agama dan tempatnya dalam kehidupan manusia, (2) bagaimana manusia yang hidup bermasyarakat memenuhi kebutuhan religius mereka (3) dari mana asal usul agama, dan (4) bagaimana manifestasi perasaan dan kebutuhan religius manusia (Harsojo 1982:248).[5]
D.    Pendekatan Antropologi Agama
Sebagaimana telah di kemukaan bahwa yang menjadi objek studi dalam Antropologi agama adalah manusia dalam kaitannya dengan agama, yaitu bagaimana pikiran sikap dan pelaku manusia dalam hubungannya dengan yang ghaib.
Dalam hal ini ada beberapa cara yang dapat di gunakan untuk studi antropologi agama, yaitu mempelajarinnya dari sudut ajarannya yang bersifat Historis, normatif, deskriptif, empiris. Keempat cara tersebut dapat saling bertautan dan saling mengisi yang satu dan yang lain.[6]
1.      Metode Historis
Dengan metode yang bersifat sejarah yang di maksud ialah menelusuri pikiran dan perilaku manusia tentang agamanya yang berlatar belakang sejarah, yaitu sejarah perkembangan ‘budaya agama’ sejak masyarakat manusia masih sederhana budayanya sampai budaya agamanya yang sudah maju. Dan dari sini kita bisa lihat mengapa banyaknya timbul perbedaan paham dan penafsiran terhadap ajaran-ajaran agama, sehingga dari berbagai agama lahir aliran paham (madzhab) yang berbeda-beda. Begitu pula tentang waktu, tempat dan latar belakang sejarah terjadinya bangunan (rumah) ibadah, dan tempat-tempat suci, tempat-tempat pemujaan, yang bentuk dan bercorak ragam mulai dari yang sederhana hingga bentuknya yang modern.[7]
2.      Metode Normatif
Dengan metode normatif dalam studi Antropologi Agama di maksudkan mempelajari norma-norma (kaidah-kaidah, patokan-patokan, atau sastra-sastra suci agama, maupun yang merupakan perilaku adat kebiasaan yang tradisional yang berlaku, baik dalam hubungan manusia dengan alam ghaib maupun dalam hubungan antara manusia yang bersumber dan berdasarkan ajaran agama masing-masing.[8]
3.      Metode Diskriptif
Dengan metode deskriptif di dalam studi Antropologi Agama di maksudkan ialah berusaha mencatat, melukiskan, menguraikan, melaporkan tentang buah fikiran sikap tindak dan perilaku manusia yang menyangkut agama dalam kenyataan yang implisit. Dalam penggunaan metode ini tentang kaidah0kaidah ajaran agama yang eksplisit tercantum dalam kitab-kitab suci dan kitab-kitab ajaran agama yang di kesampingkan. Jadi titik perhatian bukan di tunjukan terhadap ketentuan aturan keagamaan yang ideologis, yang di kehendaki dan harus berlaku, namun titik perhatian terutama di tujukan terhadap fakta-fakta dari berbagai peristiwa yang namqpak sesungguhnya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.[9]
4.      Metode Empiris
Dengan metode ini Antropologi Agama mempelajari pikiran dan perilaku agama manusia yang di ketemukan dari pengalaman dan kenyataan di lapangan. Artinya yang berlaku sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, dengan mentikberatkan perhatian terhadap kasus-kasus kejadian tertentu (metode kasus). Dan dalam hal ini si peneliti di tuntut langsung atau tidak langsung melibatkan diri dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi.[10]
E.     Pentingnya Kajian Antropologi Agama
Kegunaan pengetahuan ilmiah, selain untuk mengetahui sesuatu yang belum di ketahui, juga untuk dapat menentukan sikap yang tepat dalam berhadapan dengan sesuatu yang telah di teliti itu sehingga apa yang di inginkan dapat di capai dengan efisien.
Sebagai hasil ilmiah, sebagai kajian kenapa suatu fenomena terjadi antropologi agama dapat di manfaatkan oleh siapa saja, baik oleh yang tidak senang terhadap berkem      bangnya agama tersebut, maupun oleh pemuka agama yang bersangkutan. Sama seperti penemuan energi atom . teori energi atom dapat di pakai untuk kebaikan, seperti pembangkit tenaga listrik, maupun untuk kejahatan, seperti untuk bom atom yang akan memusanahkan uma manusia dan makhluk hidup lainnya. Menjajah indonesia suatu bangsa yang tinggal di negara kecil menjajah negara yang demikian besar di antaranya adalah karena penjelasan yang demikian terperinci tentang masyarakat indonesia yang di hasilkan oleh penelitian antropologi.
Pendidikan agama, selain memerlukan pengetahuan antropologis dari kelompok yang akan di didik atau peserta didik juga di perlukan pengetahuan yang memadai tentang psikologi peserta didik. Jadi kalau antropologi menempatkan suatu kelompok masyarakat dengan budaya yang sama ataupun yang berbeda dengan kelompok budaya lain, psikologi memandang seseorang atau individu berbeda dari individu yang lain karena berbagai faktor fisik dan non-fisik, bawaan, dan binaan, individu dan lingkungan. Antropologi pun memerhatikan pula faktor psikologis ini yang khusus di pelajari dalam antropologi psikologi.
Kalau dakwah dan pendidikan agama saja ternayta memerlukan hasil kajian antropologis, apalagi usaha pembangunan masyarakat dan negara yang mencakup berbagai aspek kehidupan dan di tunjukan kepada rakyat yang multisuku bangsa dengan multibudaya dan agama sangat memerlukan informasi dari hasil penelitian antropologi termasuk antropologi agama. Sebab, pandangan dan perilaku masyarakat banyak di pengaruhi oleh ajaran dan komunitas agamanya yang membutuhkan hasil studi tentang agama secara antropologis, bukan saja negara agana atau negara yang mementingkan pembinaan kehidupan beragama, tetapi juga negara sekular pun memerlukannya untuk dapat menentukan cara mengahadapi masyarakat dengan efektif, efisien, da halus.[11]
F.      Istilah Agama.
Pada umumnya di indonesia di gunakan istilah ‘agama’ yang sama artinya dengan istilah asing ‘religie’ atau ‘ godsdienst’ (belanda) atau ‘religion’ (inggris). Istilah ‘agama’ berasal dari bahasa sansekerta yang pengertiannya menunjukan adanya kepercayaan manusia berdasarkan wahyu dari tuhan. Dalam arti linguistik kata agama berasal dari suku kata A-GAM-A, kata ‘A’ berarti tidak, kata ‘GAM’ berarti ‘pergi’ atau ‘berjalan’, sedangkan kata akhiran ‘A’ merupakan kata sifat yang menguatkan yang kekal. Jadi istilah ‘Agam’ atau ‘agama’ berarti ;tidak pergi’ atau ‘tidak berjalan’ alias ‘tetap’ (kekal, eternal), sehingga pada umunya kata A-GAM atau AGAMA mengandung arti pedoman hidup yang kekal (Hassan Shadily, Ensiki. 1980-105)[12].
G.    Teori Asal Mula Agama.
`           Banyak pendapat para ahli tentang asal mula agama itu sebagaimana di kemukakan koentjaraningrat adalah ahli sejarah C. De Brosses (1769), ahli Filsafat August Comte (1850), ahli filologi  F.Max Muller (1880), dan lainnya. Kemudian barulah muncul teori-teori dari para ahli Antropologi seperti E.B. Taylor (1880), R.R. Marett (1909), J.G. Frazer (1890).
1.      Durkheim (1912), dan W.Schmidt (1921) (Koetjaraningrat 1966: 207-208). Dari teori-teori mereka ini orang berpendapat bahwa perkembangan agama it mulai dari Animisme, Dinamisme, Politeisme dan baru kemudian Monoteisme.[13]
2.      Teori Tylor, Sarjana yang di anggap pertama kali mengemukakan pendapat bahwa asal mula dari agama adalah ‘Animisme’ (paham tentang roh atau jiwa) ialah sarjana antropologi inggris E.B. Tylor dalam bukunya “Primitive Culture’ Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Langguage, Art and Custom’ (1873). Ia berpendapat bahwa asal mula agama adalah kepercayaan manusia tentang adanya ‘jiwa’ . mengapa manusia sederhana itu menyadari tentang adanya jiwa atau roh, dikarenakan yang nampak dan di alaminya sebagai berikut:
a.       Peristiwa Hidup dan Mati, Bahwa adanya hidup karena adanya gerak, dan gerak itu terjadi karena adanya ‘jiwa’. Selama jiwa itu ada dalam tubuh maka nampak tubuh itu bergerak, apabila jiwa utu lepas dari tubuh berarti mati dan tubuh tidak bergerak lagi.
b.      Peristiwa Mimpi, Bahwa ketika manusia itu tidur atau pingsan ia mengalami mimpi dimana tubuh itu diam dan masih ada gerak (nafas), tetapi ia tidak sadar karena sebagian dari jiwanya lepas dan gentayangan ke tempat lain sehingga jiwa yang terlepas itu bertemu dengan jiwa yang lain, baik jiwa manusia yang masih hidup atau yang sudah mati, mungkin juga dengan jiwa makhluk jiwa yang lain. Kemudia setelah jiwa itu kembali dalam tubuh maka ia menjai sadar, ingat dan gerak kembali.
Jadi, oleh karena itu tidak semua manusia mempunyai kemampuan untuk berhubungan, bergaul, dan berbicara dengan roh-roh halus. Maka muncullah manusia yang mampu untuk itu, yang disebutkan dukun-dukun, orang-orang keramat, orang-orang suci, para ahli sihir dan lainnya.[14]
3.      Teori Marett. R.R. Marett seorang sarjana antropologi inggris di dalam bukunya ‘The Thereshold Of Religion’ (1909), berarti setelah 36 tahun teori Animisme berkembang, berpendapat bahwa bagi masyarakat yang budayanya masih sangat sederhana belum mungkin dapat berfikir dan menyadarinya tentang adanya ‘jiwa’. Menurut Marett kepercayaan terhadap adanya yang supernatural itu sudah ada sejak sebelum manusia menyadari adanya roh-roh halus (anismisme). Oleh karenanya teori Marett ini sering di katakan pula Prae-animisme.[15]
4.      Teori Frazer, Sarjana Antropologi Inggris yang lain yang juga mengemukakan pendapatnya tentang asal mula agama adalah J.G. Frazer dalam bukunya ‘The Golden Bough a Study in Magic and Religion’ (1890). Ia berpendapat bahwa manusia itu dalam memecahkan berbagai masalah dalam kehidupannya dengan menggunakan sistem pengetahuan.
Menurut Frazer pada mulanya manusia itu hanya menggunakan magic untuk mengatasi masalah yang berbeda di luar batas kemampuan akalnya, kemudian di karenakan ternyata usahanya dengan magic tidak berhasil maka mulailah ia percaya bahwa alam semesta ini didiami oleh para makhluk halus, roh-roh halus yang lebih berkuasa dari padanya.
Dalam mempelajari Magi itu dari segi Antropologi perlu di perhatikan antara lain sebagai berikut:
a.    Siapa  orang yang melaksanakan atau memimpin pelaksanaan secara acara dan upacara magic itu.
b.    Bagaimana cara dan upacara magic itu di lakukan dan di tempat yang bagaimana.
c.    Alat-alat apa saja yang digunakannya melakukan upacara itu, dan bagaimana caranya menggunakannya.
d.   Ucapan atau kata-kata apa yang di gunakannya dalam membaca mentera, atau do’a dan sebagaimana.
e.    Jika diramu bahan obat, dari bahan apa dan dan bagaimana cara meramunya, dan untuk pengobatan apa.[16]
5.      Teori Schmidt. Sarjana antropologi Austria W.Schmidt juga mengemukakan teori tentang asal mula agama, antara lain dalam bukunya ‘Die Uroffenbarung ais Anfang der Offenbarungen Gottes’ (1921) yang berbeda dari Tylor. Schmidt mengemukakan bahwa ‘monotheisme’, kepercayaan terhadap adanya satu Tuhan, sesungguhnya bukan penemuan baru tetapi juga sudah tua.
Jadi, hanya karena tangan-tangan manusialah yang menyebabkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu menjadi rusak, di pengaruh oleh berbagai bentuk pemujaan kepada makhluk-makhluk halus, kepada roh-roh dan dewa-dewa, yang di ciptakan oleh akal pikiran manusia sendiri.[17]
6.      Teori Durkheim, Salah satu di antaranya ialah E.Durkheim seorang sarjana filsafat dan sosiologi bangsa prancis, yang juga mengemukakan teorinya tentang asal mula agama dalam bukunya ‘Les Formes Elementarires de la Vie Religieuse’ (1912).
Menurut Durkheim bahwa dasar-dasar dari adanya agama itu adalah sebagai berikut:
a. Bahwa yang menjadi sebab adanya dan berkembangnya kegiatan keagamaan pada manusia sejak ia berada di muka bumi adalah di karenakan adanya suatu ‘getaran jiwa’ yang menimbulkan ‘emosi keagamaan’. Timbulnya getaran jiwa itu di karenakan rasa sentimen kemasyarakatan berupa rasa cinta, rasa bakti, dan lainnya di dalam kehidupan masyarakatnya.
b. Rasa sentimen kemasyarakatan itulah yang menyebabkan timbulnya emosi keagamaan, sebagai pangkal tolak dari sikap tindak dan perilaku keagamaan. Jadi salah satu cara mengobarkan sentimen kemasyarkatan itu ialah dengan mengadakan pertemuan-pertemuan yang besar.
c. Emosi keagamaan yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan itu membutuhkan adanya maksud dan tujuan. Misalnya karena adanya peristiwa kebetulan yang di alami dalam sejarah kehidupan masyarakat di masa lampau menarik perhatian banyak orang dalam masyarakat itu.
d.  Objek yang sakral biasanya merupakan lambang dari masyarakat. Misalnya pada suku-suku pribumi di Australia yang menjadi objek yang sakral berupa sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan atau benda tertentu yang di sebut ‘Totem’.
Menurut Durkheim pengertian tentang ‘emosi’ keagamaan dan ‘sentimen kemasyarakatan’ sebagaimana di kemukakan di atas adalah pengertian dasar yang merupakan inti dari setiap agama sedangkan kegiatan berhimpunnya masyarakat, kesadaran terhadap tujuan atau objek yang sakral yang bertentangan dengan sifat duniawi (profane) serta totem sebagai perlambang masyarakat, adalah bertujuan untuk mempertahankan kehidupan emosi keagamaan dan sentimen kemasyarakatan. Untuk memenuhi tujuan tersebut maka di laksanakan bentuk upacara, kepercayaan dan mythologi (ilmu tentang cerita-cerita kuno). Ketiga unsur ini menentukan bentuk lahir dari suatu agama didalam masyarakat tertentu, yang menunjukkan ciri-ciri perbedaan yang nyata dari berbagai agama di dunia.
FOOTNOTE
[1] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal.9.
[2]Ibid., hal.10
[3] Harsojo, Pengantar Antropologi, ( Bandung: Penerbit Binacipta, 2000), hal. 247.
[5]Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2006), hal. 17-20.
[6]Ibid., hal. 20
[7] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 12.
[8]Ibid., hal. 12.
[9]Ibid., hal. 13.
[10]Ibid., hal. 14
[11] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2006), hal.39-44
[12] Hilman Hadikusuma,Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal.16-17
[13] Hilman Hadikusuma,Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 29.
[14]Ibid., hal.29-32
[15]Ibid., hal. 32-33
[16]Ibid., hal.33-34
[17]Ibid., hal. 35.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarhil "NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM".

"PERSATUAN DAN KESATUAN DARI TEMA NASIONALISME DALAM KONSEP ISLAM” Sebagai hamba yang beriman, marilah kita tundukan kepala seraya...