MAKALAH SOSIOLOGI & ANTROPOLOGI PENDIDIKAN SEMESTER I
Syaripullah, MA.
R. 3.15
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirobbil alamin, segala puji bagi Allah tuhan semesta Alam,
dan sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Alam nabi
besar muhammad saw.
Pertama saya sangat
berterima kasih kepada dosen Mata kuliah PKN yaitu Dr. Euis srimulyani, MA yang
telah memberikan berbagai ilmunya selama awal perkuliahan 1 September 2016
sampai januari 6 Januari 2017
Alhamdulillah tulisan
ini penulis ketik dan bahan di kumpulkan 4 bulan lebih ini merupakan makalah
selama perkuliahan, semoga bermanfaat.
Penulis:
SYAHRUL RAMADHAN
(11160110000004)
Komplek Grand Puri Laras, Blok H. No. 94, Jln, Legoso raya,
Pisangan, ciputat, kota tanggerang selatan, banten.
Tanggal: Rabu, 7 Febuari 2018
Waktu: 05.46 WIB.
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2017
DAFTAR ISI
1.
Sosiologi pendidikan............................................................................................... 3
2.
Sejarah & Ruang lingkup antropologi pendidikan................................................... 9
3.
Tokoh sosiologi pendidikan dan pemikirannya..................................................... 21
4.
Tokoh antropologi pendidikan............................................................................... 26
5.
Pendidikan islam diindonesia................................................................................ 35
6.
Sosiologi & antropologi agama.............................................................................. 49
7.
Pemikiran ibnu khaldum........................................................................................ 59
8.
Pendekatan-pendekatan dalam sosiologi pendidikan............................................ 67
9.
Pendekatan antropologi pendidikan...................................................................... 69
10.
Antropologi agama & hubungan keduanya........................................................... 78
Kelompok.........1
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
A.
Sejarah Sosiologi Pendidikan.
Kata
atau istilah ”sosiologi” pertama-tama muncul dalam salah satu jilid karya tulis
Auguste Comte (1978 – 1857) yaitu di dalam tulisannya yang berjudul ”Cours de
philosophie Positive.” Oleh Comte, istilah sosiologi tersebut disarankan
sebagai nama dari suatu disiplin yang mempelajari ”masyarakat” secara ilmiah.
Dalam hubungan ini, ia begitu yakin bahwa dunia sosial juga ”berjalan mengikuti
hukum-hukum tertentu” sebagaimana halnya dunia fisik atau dunia alam.[1]
Berdasarkan hal diatas, kita tahu bahwa Comte menyakini dunia
sosial juga dipelajari dengan metode yang sama sebagaimana digunakan untuk
mempelajari dunia fisik atau kealaman. Dan bidang kajian sosiologi pendidikan
sendiri, berangkat dari keinginan para sosiologi untuk meyumbangkan
pemikirannya bagi pemecahan masalah pendidikan. Dalam pandangan mereka, pada
saat itu sosiologi pendidikan diasosiakan dengan konsep ”EducationalSociology.”
Dalam perkembangannya, pada tahun 1914 sebanyak 16 lembaga
pendidikan menyajikan mata kuliah ”Educational Sociology” pada periode
berikutnya, muncul berbagai buku yang memuat bahasan mengenai ”Educational Sociology,”
termasuk juga berbagai konsep tentang hubungan antara sosiologi dengan
pendidikan.
Selama puluhan tahun pertama, perkembangan sosiologi pendidikan
berjalan lamban. Perkembangan signifikan sosiologi pendidikan ditandai dengan
diangkatnya Sir Fred Clarke sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Kependidikan di
London pada tahun 1937. Clarke menganggap sosiologi mampu menyumbangkan
pemikiran bagi bidang pendidikan.
Sehubungan dengan penamaan sosiologi pendidikan, terdapat
perdebatan yang cukup tajam tentang penggunaan istilah-istilah yang digunakan
antara lain sociological approach to education, educational sociology of
education, atau the foundation. Pada akhirnya dipilih
istilah sociology of education dengan tekanan dan wilayah tekanannya
pada proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan.
Adapun perkembangan sosiologi di Indonesia diawali hanya sebagai
ilmu pembantu belaka, namun seiring timbulnya perguruan tinggi dana kesadaran
bahwa sosiologi sangat penting dalam menelaah masyarakat Indonesia yang sedang
berkembang maka sosiologi yang salah satunya adalah sosiologi pendidikan
menempati tempat yang penting dalam daftar kuliah di beberapa perguruan tinggi
di seluruh Indonesia.
B.
Pengertian Sosiologi.
Secara
etimologis sosiologi berasal dari kata latin “socius” dan kata Yunani “logos”.
“Socius” berarti kawan, sahabat, sekutu, rekan, masyarakat. “logos” berarti
ilmu. Jadi sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat.[2]
Dari segi isi, banyak ahli sosiologi mengemukakan berbagai definisi
sosiologi dan pasti berbeda sosiolog berbeda pula cara pandangnya, sehingga
menimbulkan perbedaan pendapat dan per-bedaan pemahaman. Nah, dalam pembahasan
pengertian sosiologi ini, penyusun mencoba memaparkan suatu perbedaan pandangan
dan pemahaman tentang pengertian sosiologi menurut para sosiolog dibawah ini,
yang bisa mempengaruhi kita dalam melihat realitas pendidikan dalam sudut
pandang sosiologi:
1.
David B. Brinkerhoft dan Lynn K. White
Brinkerhoft dan White (1989: 4) berpendapat bahwa sosiologi adalah
studi sistematik tentang interaksi sosial manusia. Interaksi sosial disini
diartikan sebagai suatu tindakan timbal balik antara dua orang atau lebih
melalui suatu kontak dan komunikasi. Kontak merupakan tahap awal
dari terjadinya interaksi sosial. Kontak berasal dari bahasa latin,
yaitu conatau cum dan tango. Con berarti bersama-sama,
sedangkan tango bermakna menyentuh. Jadi, arti harfiah dari kontak
adalah bersama-sama menyentuh. Kontak yang dimaksud
bisa verbal dan non verbal. Sedangkan komunikasi diserap dari
bahasa Inggris, communication, berakar dari perkataan bahasa Latin,
yaitu communico berarti membagi, communis bermakna membuat
kebersamaan, communicare yang artinya berunding atau bermusyawarah,
atau communination yang maknanya pemberitahuan, penyampaian atau
pemberian. Dari pengertian kata ini, komunikasi dapat dipahami sebagai suatu
proses penyampaian informasi timbal balik antara dua orang atau lebih. Informasi
yang disampaikan dapat berupa kata-kata, gerak tubuh atau simbol lainnya yang
memiliki makna. Makna dari suatu kata, gerak tubuh atau simbol lainnya, menurut
herbert blumer, berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain.
Seperti kontak, komunikasi juga bisa berupa verbal dan non verbal. Jadi syarat
terjadinya interaksi sosial adalah kontak dan komunikasi.
Definisi sosiologi dari Brinkerhoft dan White diatas, menempatkan
manusia sebagai manusia yang aktif kreatif. Manusia adalah sebagai pencipta
terhadap dunianya sendiri. Proses penciptaan ini berlangsung dalam hubungan
interpersonal. Oleh karena itu, sosiologi yang dikembangkan lewat definisi ini
ialah sosiologi mikro.
2.
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt
Horton dan Hunt (1987: 3) berpandangan bahwa sosiologi sebagai
suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat. Mereka mendefinisikan
masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup
bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah mandiri, memiliki kebudayaan
yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok ini.
Sedangkan, menurut P.L. Bergert, masyarakat merupakan suatu
keseluruhan kompleks hubungan yang luas sifatnya. Maksud keseluruhan kompleks
hubungan yaitu terdapat bagian-bagian yang membentuk kesatuan. Bagian-bagian
dalam masyarakat adalah hubungan sosial, seperti:nhubungan antarjenis kelamin,
antar-usia, antar dan interkeluarga dan hubungan perkawinan. Keseluruhan
hubungan sosial ini dikenal dengan masyarakat. Masyarakat, berdasarkan definisi
Bergert, dilihat sebagai sesuatu yang menunjuk sistem interaksi.
Dari devinisi sosiolog diatas maka jelaslah, defenisi Horton dan
Hunt lebih menekankan aspek ruang dan kuantitas. Sedangkan Berger lebih
menekankan aspek kualitas dan konstruktif.[3]
C.
Pengertian Pendidikan
Paedegogic berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata
“pais”, artinya anak, dan ”again” diterjemahkan membimbing, jadi paedagogic yaitu
bimbingan yang diberikan kepada anak.
Secara
definitif pendidikan (paedagogic) diartikan, sebagai berikut:
1. Pengertian Pendidikan Menurut Prof. Dr.
John Dewey: Pendidikan adalah suatu proses pengalaman. Karena kehidupan adalah
pertumbuhan, Pendidikan berarti membantu pertumbuhan batin tanpa dibatasi oleh
usia. Proses pertumbuhan ialah proses menyesuaikan pada tiap-tiap fase serta
menambahkan kecakapan di dalam perkembangan seseorang.
2. Pengertian Pendidikan Menurut Prof. H.
Mahmud Yunus: Pendidikan adalah usaha-usaha yg sengaja dipilih untuk
mempengaruhi dan membantu anak dengan tujuan peningkatan keilmuan, jasmani dan
akhlak sehingga secara bertahap dapat mengantarkan si anak kepada tujuannya yg
paling tinggi. Agar si anak hidup bahagia, serta seluruh apa yg dilakukanya
menjadi bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
3. Pengertian Pendidikan Menurut Prof.
Herman H. Horn: Pendidikan adalah proses abadi dari penyesuaian lebih tinggi
bagi makhluk yg telah berkembang secara fisk dan mental yg bebas dan sadar
kepada Tuhan seperti termanifestasikan dalam alam sekitar, intelektual,
emosional dan kemauan dari manusia.
4. Pengertian Pendidikan Menurut M.J.
Langeveld: Pendidikan adalah setiap pergaulan yg terjadi antara orang dewasa
dengan anak-anak merupakan lapangan atau suatu keadaan dimana pekerjaan
mendidik itu berlangsung.[4]
Secara sederhana Pendidikan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut juga dipahami bahwa pendidikan
merupakan proses, cara dan perbuatan mendidik[5]
Dari definisi diatas, penyusun dapat mengambil kesimpulan bahwa
pendidikan merupakan suatu proses usaha yang disengaja untuk membimbing, mengajar,
melatih peserta didik dalam rangka mengubah sikap, mental, peningkatan
keilmuan, jasmani dan akhlak menjadi dewasa sehingga secara bertahap dapat
mengantarkan si anak kepada tujuannya yg paling tinggi. Agar si anak hidup
bahagia, serta seluruh apa yg dilakukanya menjadi bermanfaat bagi dirinya dan
masyarakat. Jadi dalam Pendidikan, terdapat komponen-komponen pendidikan yaitu
beberapa diantaranya: pendidik, peserta didik, tempat, materi, metode.
D.
Pengertian Sosiologi Pendidikan
Sosiologi pendidikan dapat didefinisikan dengan dua cara. Pertama,
sosiologi pendidikan didefinisikan sebagai suatu kajian yang mempelajari
hubungan antara masyarakat, yang di dalamnya terjadi interaksi sosial, dengan
pendidikan. Dalam hal ini, dapat dilihat bagaimana masyarakat memengaruhi
pendidikan. Juga sebaliknya, bagaimana pendidikan memengaruhi masyarakat.
Tuntunan bagaimana masyarakat memengaruhi pendidikan biasanya
berasal dari budaya termasuk didalamnya hukum, ideologi dan agama. Contohnya:
setiap masyarakat memiliki pola busana. Pola busana ini menjadi rujukan bagi
anggota masyarakat untuk memilih warna, model atau bahan apa yang tepat atau
sepantasnya dikenakan untuk suatu momen tertentu dari kehidupan kita dalam
masyarakat. Pola busana ini disosialisasikan oleh anggota senior masyarakat
kepada anggota juniornya. Sosialisasi merupakan salah satu proses pendidikan.
Selanjutnya bagaimana pendidikan mempengaruhi masyarakat. Banyak
aspek kehidupan masyarakata yang didalamnya dipengaruhi oleh pendidikan.
Misalnya: sebuah perusahaan akan menerima seorang karyawan salah satunya
ditentukan oleh pendidikannya. Demikian pula dengan pola konsumsi dan pola
pengasuhan anak dipengaruhi oleh pendidikan.
Kedua, sosiologi pendidikan didefinisikan sebagai pendekatan
sosiologis yang diterapkan pada fenomena pendidikan. Pendekatan sosiologis
terdiri dari:
1. konsep.
Konsep merupakan pengertian yang menunjuk pada sesuatu. Konsep
sosial ialah konsep keseharian yang digunakan untuk menunjuk sesuatu dan yang
dipahami secara umum dalam suatu masyarakat. Konsep sosiologis merupakan konsep
yang digunakan sosiologi untuk menunjuk sesuatu dalam konteks akademik.
2, Variabel
Variabel adalah konsep akademik, termasuk sebagai konsep
sosiologis, bukan konsep sosial. Variabel merupakan konsep yang memiliki pariasi
nilai.
3. Teori
Teori merupakan abstraksi dari kenyataan yang menyatakan hubungan
sistematis antara penomena sosial.
4. Metode
Adapun metode sosiologi bertujuan sebagai alat untuk melakukan
penelitian. Metode penelitian sosiologi berkembang dalam bentuk pendekatan
penelitian kualitatif dan pendekatan penelitian kuantitatif yang meliputi
metode survei, studi kasus, studi eksperimen, analisis sekunder, studi dokumen,
analisis isi, dan grounded reasearch. Berikut sajian suatu model penelitian
secara umum mengikuti langkah yang relatif sama dengan penambahan dan
pengurangan tahapan:
a. Memilih
suatu topik
b. Mendefinisikan
masalah
c. Meninjau
bahan pustaka
d. Merumuskan
suatu hipotesis
e. Merumuskan
definisi operasional atau definisi konsep
f. Memilih
suatu metode penelitian
g. Mengumpulkan
data
h. Analisis
hasil
i. Menulis
dan menyebarkan hasil penelitian
Fenomena pendidikan tidak hanya terbatas pada tataran mikro saja
seperti: proses belajar mengajar dilembaga pendidikan tetapi juga pada tataran
makro seperti politik pendidikan. Selain itu, tidak hanya menyangkut realitas
subjektif seperti sosialisasi tetapi juga realitas objektif seperti ideologi
pendidikan. Fenomena pendidikan berkembang seiring dengan perkembangan teknologi,
informasi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu,
per-kembangan sosiologi pendidikan selalu terbuka dan dinamis seiring dengan
perkembangan masyarakat dan kehidupan yang melingkupinya.[6]
E.
Ruang Lingkup Pendidikan
Penelitian dan analisis terhadap sistem pendidikan berdasarkan
keduanya yang sekarang, tentunya sudah bisa dikuatkan antar-antar ruang lingkup
sosiologi pendidikan. Karena minat dan pengalaman, ruang lingkup yang diajukan
ini terbatas pada wilayah analisis seputar sistem pendidikan formal.
Dalam hubungan ini, Nasution mengemukakan ruang lingkup sosiologi
pendidikan meliputi pokok-pokok berikut ini:
1. Hubungan
sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat
a. Hubungan pendidukan dengan sistem sosial
atau struktur sosial
b. Hubungan antara sistem pendidikan dengan
proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan
c. Fungsi pendidikan dalam kebudayaan
d. Fungsi sistem pendidikan dalam proses perubahan
sosial dan kultural atau usaha mempertahankan status quo, dan
e. Fungsi sistem pendidikan formal bertalian
dengan kelompok rasial, kultural dan sebagainya
3.
Hubugan antar manusia di dalam Sekolah
a. Hakikat kebudayaan Sekolah sejauh ada
perbeadaanya dengan kebudayaan diluar sekolah dan
b. Pola interaksi sosial dan stuktur
masyarakat Sekolah, yang antara lain meliputi berbagai hubungan kekuasaan,
stratifikasi sosial dan pola kepemimpinan informal sebagai terdapat dalam
clique serta kelompok-kelompok murid lainnya
4. Pengaruh Sekolah terhadap perilaku dan kepribadian semua pihak
disekolah / lembaga pendidikan
a. Peranan sosial guru-guru / tenaga
pendidikan
b. Hakikat kepribadian guru / tenaga
pendidikan
c. Pengaruh kepribadian guru / tenaga
kependidikan terhadap kelakuan anak / peserta didik, dan
d. Fungsi sekolah / lembaga pendidikan dalam
sosial murid / peserta didik.
5. Hubungan
lembaga pendidikan dalam masyarakat
Di sini dianalisis pola-pola interaksi antara sekolah/ lembaga
pendidikan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dalam masyarakat di sekitar
sekolah / lembaga pendidikan. Hal yang termasuk dalam wilayah itu antara lain
yaitu :
a. Pengaruh masyakarat atas organisasi
Sekolah /lembaga pendidikan
b. Analisis proses pendidikan yang terdapat
dalam sistematis sosial dalam masyarakat luar sekolah.
c. Hubungan antara Sekolah dan masyarakat
pendidikan dan
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi dalam
masyarakat yang berkaitan dengan organisasi Sekolah, yang perlu untuk memahami
sistem pendidikan dalam masyarakat serta integrasinya di dalam kehidupan
masyarakat.
Ruang lingkup sosiologi pendidikan tersebut pada dasarnya untuk
mempererat dan meningkatkan tujuan pendidikan secara keseluruhan. Karena itu,
sosiologi pendidikan tidak akan keluar dari upaya-upaya agar pencapaian tujuan
dan fungsi pendidikan tercapai menurut pendidikan itu sendiri.[7]
F.
Pendidikan Sebagai Kajian Interdisiplin dan Intradisiplin
Konsep disiplin dalam pembicaraan kita adalah ilmu pengetahuan
(science), misalnya ilmu ekonomi, manajemen, sosiologi, antropologi, dan
psikologi. Dengan demikian, kajian interdisiplin yang dimaksudkan disini ialah
kajian lintas ilmu yang berbeda atau antar ilmu yang berbeda. Adapun kajian
intradisiplin ialah kajian di dalam ilmu itu sendiri yang memiliki berbagai
macam cabang ilmu. Sosiologi memiliki beberapa cabang ilmu, misalnya sosiologi
industri, hukum, ekonomi, industri, pendidikan, polotik dan perilaku
menyimpang.
Pendidikan memang merupakan salah satu kajian utama dalam ilmu
pendidikan, namun sekarang pendidikan telah menjadi kajian interdisiplin.
Pendidikan tidak hanya dikaji oleh ilmu pendidikan, tetapi juga oleh
ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi, ilmu ekonomi, antropologi,
psikologi dan politik. [8]
FOOTNOTE
[1] Faisal, Sanapiah dan Yasik, Nur, Sosiologi Pendidikan,
Surayaba: Usaha Nasional, t.t, Hlm. 11. Lihat juga
https://surudin.wordpress.com/
[2] Chaerudin, dkk, Materi Pokok Pendidikan IPS 1, Jakarta:
Universitas Terbuka, Thn. 1995, Hlm. 67. Lihat juga
https://surudin.wordpress.com/
[3] Prof. Dr. Damsar, Pengantar Sosiologi
Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prehada Media Group), Th. 2011, Hlm. 1-8
[7] Nasution, Sosiologi Pendidikan,Jakarta: Bumi Aksara,
Thn. 2004, Hlm. 6-7. Lihat juga https://surudin.wordpress.com/
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.......2
SEJARAH DAN RUANG LINGKUP ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
A.
(Teori Antrologi Pendidikan).
Antrpologi pendidikan
mulai menampilkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada pertengahan abad-20. Pada
waktu itu banyak pertanyaan yang diajukan kepada tokoh pendidikan tentang
sejauhmana pendidikan dapat mengubah suatu masyarakat. Sebagaimana di ketahui
pada waktu itu negara maju tengah mengibarkan program besarnya, yakni
menciptakan pembangunan di negara-negara yang baru merdeka (hadad,1980).
Antropologi pendidikan berupaya menemukan pola budaya belajar masyarakat
(pedesaan dan perkotaan) yang dapat menciptakan perubahan sosial. Demikian juga
mengenai perwujudan kebudayaan para pengambil kebijakan pendidikan yang
berorientasi pada perubahan sosial budaya mendapat perhatian.
Pada awalnya Antropologi dipandang sebagai ilmu yang menggambarkan
kebudayaan masyarakat yang ada di luar Eropa. Bahan dasar pembentunkan ilmu itu
dikumpulkan sejak abad ke-18 ketika banyaknya cerita-cerita orang perorangan
yang kebetulan bertemu dengan kelompok suku bangsa yang kehidupannya amat unik
dan bersahaja dalam perspektif bangsa Eropa. Cerita-cerita tersebut diperkuat
dengan perjalanan ilmuan yang mengunjungi masyarakat kelompok tersebut, yang
didukung oleh laporan administrasi pegawai colonial tentang keadaan lingkungan dan
adat istiadat bangsa yang berada dikoloninya. Sejumlah informasi tersebut
menjadi sekumpulan data berharga untuk menjadi bahan analisis ilmuan, termasuk
pihak pemerintah colonial untuk mendorong dilakukannya serangkaian penelitian
yang sistematis mengenai kehidupan bangsa diluar benua Eropa.
B.
Pengertian.
1.
Antropologi
Antropologi adalah kajian tentang manusia dan cara-cara hidup
mereka. Antropologi mempunyai dua cabang utama, yaitu antropologi yang mengkaji
evolusi fisik manusia dan adaptasinya terhadap lingkungan yang berbeda-beda,
dan antropologi budaya yang mengkaji baik kebudayaan-kebudayaan yang masih ada
maupun kebudayaanyang sudah punah. Secara umum antropologi budaya mencakup
antropologi bahasa yang mengkaji bentuk-bentuk bahasa, arkeologi yang mengkaji
kebudayaan-kebudayaan yang masih punah, etnologi yang mengkaji kebudayaan yang
masih ada atau kebudayaan yang hidup yang masih dapat di amati secara langsung.[1]
Antropologi merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang
mempelajari tentang budayamasyarakat suatu etnis tertentu. Lahir atau muncul berawal dari ketertarikan
orang-orang Eropayang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda
dari apa yang dikenal di Eropa. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang
merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang
tinggal di daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologitetapi
pada sosiologi lebih menitikberatkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi adalah suatu ilmu yang memahami sifat – sifat semua
jenis manusia secara lebih banyak. Antropologi yang dahulu dibutuhkan oleh kaum
misionaris untuk penyebaran agama Nasrani dan bersamaan dengan itu berlangsung
system penjajahan atas Negara – Negara di luar Eropa, dewasa ini dibutuhkan
bagi kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Studi antropologi selain untuk
kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di Negara – Negara yang telah
membangun sangat diperlukan bagi pembuatan – pembuatan kebijakan dalam rangka
pembangunan dan pengembangan masyarakat.
Sebagai suatu disiplin ilmu yang sangat luas cakupannya, maka tidak
ada seorang ahli antropologi yang mampu menelaah dan menguasai antropologi
secara sempurna. Demikianlah maka antropologi dipecah – pecah menjadi beberapa
bagian dan para ahli antropologi masing – masing mengkhususkan diri pada
spesialisasi sesuai dengan minat dan kemampuannya untuk mendalami studi secara
mendalam pada bagian – bagian tertentu dalam antropologi. Dengan demikian,
spesialisasi studi antropologi menjadi banyak, sesuai dengan perkembangan ahli
– ahli antropologi dalam mengarahkan studinya untuk lebih mamahami sifat –
sifat dan hajat hidup manusia secara lebih banyak.[2]
2.
Sejarah Perkembangan Antropolgi.
a.
antropologi muncul ketika orang pribumi di Asia, Afrika dan Amerika
didatangi oleh orang Eropa. Orang Eropa tertarik kepada orang pribumi karena
kebudayaan orang Eropa sangat berbeda dengan kebudayaan orang pribumi.
b.
antropopologi telah berkembang dengan tujuan utama untuk
mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk
mendapat suatu pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah dan
evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
c.
pada fase perkembangan ketiga ini, antroplogi menjadi suatu ilmu
yang praktis, dengan tujuannya adalah mempelajari masyarakat dan kebudayaan
suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan kolonial dan guna mendapat
suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks.
d.
, antropologi mengalami masa perkembangan yang paling luas, baik
mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti maupun mengenai
ketajaman dari metode-metode ilmiahnya. Pada masa perkembangan ini, antropologi
mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis.
Tujuan akademis dari ilmu ini adalah mencapai pengertian
tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna bentuk
fisiknya, masyarakat serta kebudayaan, sedang tujuan praktisdari ilmu
antropologi adalah mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku
bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa itu.
Dari tahap-tahap perkembangan ilmu antropologi tampak bahwa sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain ilmu pengetahuan antroplogi pun terus mengalami perkembangan. [3]
Dari tahap-tahap perkembangan ilmu antropologi tampak bahwa sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain ilmu pengetahuan antroplogi pun terus mengalami perkembangan. [3]
Pada tahap awal sejarah perkembangannya, antropologi hanya bersifat
deskripsi, kemudian dalam perkembangannya bahasan/ulasan antropologi
disertai penjelasan atas dasar analisis dari interaksi antara manusia dengan
kebudayaannya. Di samping itu, antropologi mempunyai perhatian utama adanya
perbedaan dan persamaan (keanekawarnaan) berbagai manusia (ras) dan budaya di
muka bumi.
3.
Konsep Evolusi Manusia dalam Ilmu Biologi
Dalam tahun 1858 ahli biologi C. Darwin (1809-1882) memberikan
ceramah yang disponsori oleh perhimpunan Linnean di London, dan setahun
kemudian terbitlah bukunya The Origin Of Species(1859). Pendirian yang
diajukan dalam ceramah dan buku itu adalah bahwa semua bentuk hidup dan jenis
makhluk yang kini ada di dunia itu, dengan dipengaruhi oleh berbagai macam
proses alamiah, berevolusi atau berkembang sangat lambat dari bentuk-bentuk
yang sangat sederhana (yaitu makhluk-makhluk satu sel) menjadi beberapa jenis
baru yang komplek. Makhluk-makhluk jenis baru itu masing-masing berevolusi juga
menjadi jenis-jenis baru yang bertambah kompleks lagi, dan demikian seterusnya
hingga dalam jangka waktu beratus-ratus juta tahun terjadilah jenis-jenis
makhluk yang paling kompleks seperti kera dan manusia.
Orang awam di Eropa Barat mula-mula sangat menentang pendirian
tadi, dan walaupun sudah ada berbagai tulisan mengenai proses sejarah evolusi
masyarakat manusia pada waktu itu, tetapi gagasan mengenai jenis-jenis evolusi
belum dapat diterima. Hal itu di karenakan pada pertengahan abad ke-19 di Eropa
ada suatu pembangkitan dan pengetatan kembali dari kehidupan keagamaan, dan
gagasan-gagasan seperti gagasan Darwin itu di anggap gagasan orang kafir yang
bertentangan dengan keyakinan ke agamaan yang mengatakan bahwa semua
jenis mahkluk di dunia (termasuk manusia), merupakan hasil ciptaan Tuhan yang
mutlak. Kecuali itu gagasan bahwa manusia dan kera merupakan keturunan dari suatu
makhluk yang sama, bahkan bahwa manusia adalah keturuna Kera , merupakan
gagasan yang awam terlampau sulit untuk di terima.
Di samping C. Darwin ada pula ahli biologi lain, yaitu A. Wallace
(1823-1913) yang secara terpisah dari Darwin[4] telah
juga mengembangkan gagasan tentang evolusi mahkluk di dunia yang sama, walaupun
Wallace lebih memperluas soal proses seleksi alam dalam penentuan bentuk fisik
dari jenis-jenis yang baru dalam proses evolusi. Darwin hanya menyebut mengenai
seleksi alam itu secara sepintas lalu dalam ceramahnya.[5] Pada
dasarnya memang tidak ada perbedaan antara teori mengenai proses evolusi dari
kedua ahli biologi itu, kedua-duanya berpendirian bahwa di antara
individu-individu dalam satu jenis mahluk selalu ada perbedaan-perbedaan kecil.
Beberapa individu yang lemah kurang dapat bertahan terhadap tekanan-tekanan
alam, lalu mati, sedangkan individu-individu yang lebih kuat dapat bertahan dan
hidup langsung. Melahirkan keturunan dan mewariskan sifat-sifatnya yang kuat
tadi kepada sebagian dari keturunannya. Dalam generasi berikutnya proses tadi
berulang lagi, demikian seterusnya. Menurut Wallace, semakin kejam dan keras
tekanan alamnya maka semakin tinggi pula mutu yang menjadi syarat bagi
organisme individu-individu dari suatu jenis yang memiliki sifat-sifat yang
dapat memenuhi syarat-syarat alamiah itulah yang dapat bertahan untuk hidup
terus. Inilah yang oleh Darwin maupun Wallace disebut “seleksi alam”[6].
4.
Ilmu-ilmu Bagian dari Antropologi
Di universitas-universitas Amerika, tempat antropologi telah
mencapai perkembangan yang paling luas, ruang lingkup dan batas lapangan
perhatian yang luas itu menyebabkan adanya tidak kurang dari lima masalah
penelitian khusus, yaitu[7]:
a. Masalah sejarah asal
dan perkembangan manusia (atau evolusinya) dipandang dari segi biologi.
b. Masalah sejarah terjadinya
berbagai ragam manusia, dipandang dari ciri-ciri tubuhnya.
c. Masalah sejarah asal,
perkembangan, serta penyebaran berbagai macam bahasa diseluruh dunia.
d. Masalah perkembangan,
penyebaran, dan terjadinya beragam kebudayaan di dunia.
e. Masalah mengenai
asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat-masyarakat suku bangsa
di dunia.
Lapangan-lapangan penelitian yang bermaksud memecahkan kelima
masalah tersebut di atas sangat luas sehingga untuk setiap masalah (yang
merupakan ilmu bagian dari antropologi) diperlukan ahli-ahli yang khusus
pula.
5.
Objek Studi dan Pengamatan Antropologi
Objek studi antropologi dapat dipilah menjadi
dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah
sasaran yang menjadi perhatian dalam penyelidikan. Mengingat lingkup pelajaran
antropologi manusia dan budaya, maka sasaran penyelidikan sebagai objek
material sangat luas.[8] Sasaran
penyelidikan yang banyak tersebut pada umumnya juga menjadi sasaran
penyelidikan ilmu pengetahuan sosial lainnya: maka objek formallah yang
membedakan ciri ilmu pengetahuan antropologi dengan yang lain. Yang
dimaksud objek formal adalah cara pendekatan dalam penyelidikan terhadap objek
yang sedang menjadi pusat perhatiannya.
Ada tiga cara pendekatan dalam ilmu antropologi, yaitu:
1.
pengumpulan fakta. Dalam pengumpulan fakta di sini terdiri dari
berbagai metode observasi, mencatat, mengolah dan melukiskan fakta-fakta yang
terjadi dalam masyarakat hidup. Sedangkan metode-metode pengumpulan fakta dalam
ilmu ini adalah penelitian di lapangan (utama), dan penelitian perpustakaan.
2.
penentuan ciri-ciri umum dan sistem. Hal ini adalah tingkat dalam
cara berpikir ilmiah yang bertujuan untuk menentukan ciri-ciri umum dan sistem
dalam himpunan fakta yang dikumpulkan dalam suatu penelitian. Adapun ilmu
antropologi yang bekerja dengan bahan berupa fakta-fakta yang berasal dari
sebanyak mungkin macam masyarakat dan kebudayaan dari seluruh dunia, dalam hal
mencari ciri-ciri umum di antara aneka warna fakta masyarakat itu harus mempergunakan
berbagai metode membandingkan atau metode komparatif. Adapun metode komparatif
itu biasanya dimulai dengan metode klasifikasi.
3.
verifikasi. Dalam kaitan ini, ilmu antropologi menggunakan
metode verifikasi yang bersifat kualitatif. Dengan mempergunakan metode
kualitatif, ilmu ini mencoba memperkuat pengertiannya dengan menerapkan
pengertian itu dalam kenyataan beberapa masyarakat yang hidup, tetapi dengan
cara mengkhusus dan mendalam.
C.
Antropologi Pendidikan.
G.D.
Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi
terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah
diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang
berbeda-beda dalam lingkungan social budayanya.[9] Teori
khusus dan percobaan yang terpisah tidak akan menghasilkan disiplin antropologi
pendidikan. Pada dasarnya, antropologi pendidikan mestilah merupakan sebuah
kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan dalam prespektif
budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai antropolog terhadap pendidikan
dan asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan. (Imran Manan,
1989)
Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakukan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.
Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakukan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.
Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan
percobaan yang terpisah dengan kajian yang sistematis mengenai praktek
pendidikan dalam perspektif budaya, sehingga antropolog menyimpulkan bahwa
sekolah merupakan sebuah benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam
membimbing masyarakat. Namun ada kalanya sejumlah metode mengajar kurang efektif
dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang didapat di
lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya mengeksploitasi
nilai kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan pemikiran dan
praktek pendidikan sebagai satu keseluruhan.
Antropologi pendidikan mulai menampakkan dirinya sebagai disiplin
ilmu pada pertengahan abab ke-20. Pada waktu itu banyak pertanyaan yang
diajukan kepada tokoh pendidikan tentang sejauhmana pendidikan dapat mengubah
suatu masyarakat. Sebagaimana diketahui pada waktu itu Negara maju tengah
mengibarkan program besarnya, yakni menciptakan pembangunan di Negara-negara
yang baru merdeka (Hadad, 1980). Antropologi pendidikan berupaya menemukan pola
budaya belajar masyarakat (pedesaan dan perkotaan) yang dapat merubah perubahan
social.
Demikian juga mengenai perwujudan kebudayaan para ahli mengambil
kebijakan pendidikan yang berorientasi pada perubahan social budaya mendapat
perhatian. Konferensi pendidikan antropologi yang berorientasi pada perubahan
social di Negara-negara baru khususnya melalui pendidikan persekolahan mulai
digelar. Hasil-hasil kajian pendidikan dipersekolahan melalui
antropologi diterbitkan pada tahun 1954 dibawah redaksi G.D. Spindler
(1963). [10]
Konferensi memberi rekomendasi untuk melakukan serangkaian
penelitian antropologi pendidikan di persekolahan, mengingat jalur perubahan
social budaya salah satunya dapat dilakukan dengan melalui pendidikan formal.
Banyak penelitian menunjukan bahwa system pendidikan di Negara-negara baru
diorientasikan untuk mengokohkan kelompok social yang tengah bekuasa.
Antropologi Pendidikan sebagai disiplin kini banyak di kembangkan
oleh para ahli yang menyadari pentingnya kajian budaya pada suatu masyarakat.
Antropologi di negara-negara maju memandang salah satu persoalan pembangunan di
Negara berkembang adalah karena masalah budaya belajar. Kajian budaya belajar
kini menjadi perhatian yang semakin menarik, khususnya bagi para pemikir
pendidikan diperguruan tinggi. Perhatian ini dilakukan dengan melihat kenyataan
lemahnya mutu sumber daya manusia yang berakibat terhadap rentannya ketahanan
social budaya masyarakat dalam menghadapi krisis kehidupan.
Orientasi pengembangan budaya belajar harus dilakukan secara
menyeluruh yang menghubungkan pola budaya belajar yang ada di dalam lingkungan
masyarakat dan lembaga pendidikan formal. Van Kemenade (1969) telah
mengingatkan: “persoalan pendidikan jangan hanya dianggap melulu
persoalan pedagogis didaktis metodis dan tidak menjadi masalah kebikajan
social, sehingga pendidikan tidak ada lagi menjadi kebutuhan bersama. Untuk itu
perlu analisa empiric tentang tugas pendidikan dalam konteks
kehidupan masyarakat”[11].
Pendekatan dan teori antropologi pendidikan dapat dilihat dari dua
kategori. Pertama, pendekatan teori antopologi pendidikan yang bersumber
dari antropologi budaya yang ditujukan bagi perubahan social
budaya.Kedua, pendekatan teori pendidikan yang bersumber dari filsafat.
Teori antropologi pendidikan yang diorientasikan pada perubahan
social budaya dikategorikan menjadi empat orientasi[12]:
a. Orientasi teoritik yang
focus perhatiannya kepada keseimbangan secara statis. Teori ini merupakan
bagian dari teori-teori evolusi dan sejarah.
b. Orientasi teori yang memandang
adanya keseimbangan budaya secara dinamis. Teori ini yang menjadi penyempurna
teori sebelumnya, yakni orientasi adaptasi dan tekno-ekonomi yang menjadi
andalanya
c. Orientasi teori yang
melihat adanya pertentangan budaya yang statis, dimana sumber teori dating dari
rumpun teori structural.
d. Orientasi teori yang
bermuatan pertentangan budaya yang bersifat global atas gejala interdependensi
antar Negara, dimana teori multicultural termasuk didalamnya.
D.
Konsep Budaya Belajar Pendidikan Antropologi
Budaya atau kebudayaan tidak hanya berupa fenomena yang berwujud
material semata, baik yang berupa benda, tindakan ataupun emosi, melainkan
sesuatu yang abstrak yang terdapat dalam pikiran manusia, yaitu berupa model
system pengetahuan manusia yang digunakan oleh pemiliknya untuk menafsirkan
benda, tindakan dan emosi (Geodenough dalam Spradley, 1972). Tegasnya
kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk
sosio budaya yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan pengalaman,
lingkungannya yang menjadi kerangka landasan untuk menciptakan dan mendorong
terwujudnya kelakuan (Suparlan: 1980). Berdasarkan konsep tersebut, maka budaya
belajar juga dipandang sebagai model-model pengetahuan manusia mengenai belajar
yang digunakan oleh individu atau kelompok social untuk menafsirkan benda,
tindakan dan emosi dalam lingkungannya.
Cara pandang budaya belajar sebagai system pengetahuan
mengisyaratkan bahwa, budaya belajar merupakan “pola kelakuan manusia yang
berfungsi sebagaiblueprint (pedoman hidup) yang dianut secara bersama”
(Keesing & Keesing, 1971). Sebagai sebuah pedoman, budaya belajar digunakan
untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, yang dapat
menciptakan dan mendorong individu-individu bersangkutan melakukan berbagai
macam tindakan dan pola tindakan yang sesuai dengan kerangka aturan yang telah
digariskan bersama.
Budaya belajar dapat menjadi piranti proses adaptasi manusia dengan
lingkungannya, baik berupa lingkungan fisik maupun lingkungan social. System
pengetahuan belajar digunakan untuk adaptasi dalam kerangka memenuhi tiga
syarat kebutuhan hidup, yakni:
1) Syarat dasar
alamiah, yang berupa kebutuhan biologis, seperti pemenuhan kebutuhan
makan, minum, menjaga stamina, menjadikan organ-organ tubuh manusia lebih
berfungsi
2) Syarat kejiwaan, yakni
pemenuhan kebutuhan akan perasaan tenang, jauh dari perasaan takut,
keterkucilan, kegelisahan dan berbagai kebutuhan kejiwaan lainnya
3) Syarat dasar
social, yakni kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain, dapat
melangsungkan hubungan, dapat mempelajari kebudayaan, dapat mempertahankan diri
dari serangan musuh. (Suparlan, 1980, Bennet, 1976: 172)
Lebih lanjut Bunnet (1976) menjelaskan, bahwa adaptasi adalah upaya
menyesuaikan dalam arti ganda, yakni manusia belajar menyesuaikan kehidupan
dengan lingkungannya, atau sebaliknya manusia belajar agar lingkungan yang
dihadapi dapat disesuaikan dengan keinginan dan tujuannya. Pada kenyataannya
manusia memang tidak hanya sekedar menerima lingkungan dengan apa adanya,
melainkan belajar untuk menanggapi bergabai masalah yang ada di
lingkungannya. Oleh karena itu, pada suatu lingkungan masyarakat terdapat ragam
bentuk tindakan belajar individu atau kelompok yang pada dasarnya terdorong
oleh sikap adaptif mereka. Upaya manusia melakukan belajar menyesuaikan dengan
lingkungannya senantiasa berhubungan dengan pranata social, psikologis, ekonomi
dan juga fisik nya. (Montagu, 1969, Smith, 1982: 85-89).
Dalam kaitannya itu, maka budaya belajar dapat dipandang juga
sebagai strategi adaptasi yang berupa model-model pengetahuan belajar yang
mencakup serangkaian aturan, petunjuk, resep-resep, rencana, strategi yang
dimiliki dan digunakan oleh individu pembelajar untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya(spradley, 1972). Resep-resep tersebut berisikan pengetahuan
belajar yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan dan tata cara
yang digunakan untuk mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya.
Pendidikan sebagai pranata social selalu berbeda dalam tatanan
system social masyarakat pendukungnya, yang memiliki kedudukan penting yang
relative sama dengan pranata keluarga, agama dan pemerintahan dalam menentukan
tata kelakuan seseorang dan kelompok. Oleh karena itu kepribadian seseorang
adalah produk dari budaya masyarakat pendukung kebudayaan itu.
E.
Pranata Pendidikan (Ragam dan Fungsi)
Pranata social yang ada dalam masyarakat pada umumnya memilki
hubungan antara satu dengan yang lainnya, bahkan untuk fungsi tertentu sering
terjadi tumpang tindih. Kadang kala pranata tertentu seolah-olah memiliki
pengaruh lebih besar dibandingkan dengan lainnya, serta dalam kenyataannya
dikesankan memiliki pengaruh yang kuat pula bagi lembaga lainnya. Oleh karena
itu dibutuhkan tingkat kesempurnaan dan keseimbangan antara pranata keluarga,
pemerintahan, agama, ekonomi dan pendidikan.
Setiap pranata memiliki symbol tersendiri yang satu sama lain
memiliki keterkaitan. Secara substansif pengenal utama setiap pranata dapat
dilihat dari adanya symbol budaya, symbol perilaku dan simbul ideology. Simbul
budaya adalah lambang yang dipergunakan untuk mengenal keberadaan suatu
pranata. Symbol bisa dalam bentuk benda maupun bukan. Bendera, lagu kebangsaan
dan logo dipergunakan sebagai penanda suatu pranata. Role of couduck merupakan
aturan perilaku baik yang formal dan tradisi informal untuk menjamin perilaku
agar tidak terjadi penyimpangan. Ideology yaitu pengikat suatu kelompok.
Ideology memberikan aturan dalam bidang social, moral, ekonomi dan politik
untuk kelompok tertentu yang umumnya diterima bersama oleh lembaga yang
bersangkutan.
Dalam konteks transmisi kebudayaan, diperlukan piranti tertentu.
Piranti ini adalah berbagai institusi social, baik pada lingkungan keluarga,
masyarakat, lembaga pendidikan sekolah dan juga media masa sebagai penyalur
informasi.
1.
Lingkungan Pendidikan Keluarga
Lingkungan keluarga adalah unit social terkecil yang memiliki peran
penting dalam internalisasi. Proses identifikasi dalam keluarga menjadikan
seorang anak dapat mengenal keseluruhan anggota keluarganya, baik saudara
terdekat maupun saudara jauh. Seorang ayah yang berperan sebagai kepala
keluarga dikenalnya melalui tindakan-tindakannya. Demikian pun kegiatan ayah
dalam pekerjaan sehari-hari memungkinkan terjadinya identifikasi (bentuk peniruan)
oleh anak-anaknya. Upaya peniruan yang pada mulanya dilakukan sambil lalu ini,
secara perlahan akan menjadi bagian dalam transmisi buadaya. Para orang tua
berfungsi sebagai nara sumber utama.
Secara tersirat budaya belajar dari peniruan, baik secara
individual maupun kelompok memungkinkan terjadinya pemahaman utuh antar genersi
(orang tua versus anak). Lingkungan keluarga menjadi salah
satu focus kajian antropologi pendidikan. Terutama mengenai system
kebudayaan. Di dalam keluarga itulah suatu generasi dilahirkan dan dibesarkan.
Mereka mendapat pelajaran pertama kali, apalagi bagi masyarakat yang belum
mengenal dan menciptakan lingkungan pendidikan formal. Dalam lingkungan
keluarga terdapat tiga fungsi utama dalam keluarga, yaitu: (1) fungsi seksual;
(2) fungsi ekonomi; (3) fungsi edukasi.
Fungsi eduksi berkaitan dengan pewarisan budaya. Keluarga bukan
hanya sebagai tempat melahirkan anak, tetapi sekaligus sebagai tempat
membesarkannya. Anak dalam lingkungan keluarga belajar berbahasa, mengumpulkan
berbagai pengertian serta belajar menggunakan nilai yang berlaku dalam
kebudayaan. Dengan demikian, keluarga berfungsi meneruskan nilai budaya yang
dimilikinya. Suasana edukasi berlangsung penuh kasih sayang, keakraban dan
penuh tanggung jawab. Dengan kata lain kegiatan edukasi dilakukan secara
terus-menerus dengan berbagai cara baik.
Inti dari proses pewarisan budaya dalam keluarga adalah
terjadinya interaksi penuh makna dalam suasana informal. Proses pewarisan
budaya di lingkungan keluarga telah banyak mendapat perhatian antropolog.
Seperti yang dilakukan oleh Margaret Mead, yang meneliti adat istiadat
pengasuhan anak-anak di masyarakat Manus (sebelah utara irian). Bersama F.
Cooke Mac Gregor. Med mengadakan penelitian tentang gerak-gerak tubuh anak-anak
Bali, yang kemudian hasilnya dibukukan dengan judul Growth and
Culture(1951).
2.
Lingkungan Pendidikan Masyarakat
J.P Gillin (1951) mengartikan masyarakat sebagai sekelompok manusia
yang tersebar, dan yang memiliki kebiasaan, tradisi, sikap dan peranan untuk hidup
bersama. Masyarakat terdiri atas kesatuan-kesatuan yang paling kecil. Pada
prinsipnya suatu masyarakat terwujud apabila diantara kelompok individu
tersebut telah lama melakukan kerja sama serta hidup bersama secara menetap.
System perwarisan budaya lewat lingkungan masyarakat berlangsung dalam berbagai
pranata social, diantaranya pemilihan hak milik, perkawinan, religi, system
hokum, system kekerabatan, dan system edukasi. Sebagai suatu komunitas yang
lebih luas, masyarakat memiliki struktur.
Pewarisan budaya menjadi tugasbersama bagi
seluruh anggota masyarakat di lingkungannya. Bila seorang anak melakukan
hubungan pertemanan, maka hubungan atau interaksi social itu menunjukan
hubungan yang lebih luas. Mereka akan menerima berbagai pembelajaran nilai dan
norma, memperlakukan orang lain, menghormati orang yang lebih tua, dan
sebagainya. Mereka juga menyerap berbagai pengetahuan dari lingkungan,
mendapatkan bimbingan, dan nilai-nilai lain yang berkembang pada masyarakatnya.
Pada saat anak melakukan kekeliruan, maka anggota masyarakat lainnya akan
memberikan nasihat atau koreksi terhadap perilakunya yang tidak sesuai
tersebut. Demikian selanjutnya seorang anak diberi pelajaran dan bimbingan oleh
anggota masyarakat lainnya.
3.
Lingkungan Pendidikan sekolah
Sekolah adalah institusi yang diciptakan oleh masyarakat yang
berfungsi untuk melaksanakan pembelajaran. Pembelajaran tidak hanya
menyampaikan pengetahuan saja yang berupa latihan untuk kecerdasan, melainkan
untuk menghaluskan moral dan menjadikan akhlak yang baik. Sekolah dalam
masyarakat dikategorikan sebagai pendidikan formal. Pada dasarnya lembaga
sekolah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dibidang
pembelajaran. Kebutuhan masyarakat tentang pembelajaran semakin hari semakin banyak.
Oleh karena itu, sekolah pada dasarnya menyiapkan dan membekali peserta didik
untuk kehidupan di masa yang akan datang.
Pendidikan di sekolah dalam kerangka pewarisan budaya jelas sekali
arahnya. Para pendidik yang bertugas sebagai guru melakukan penyampaian
pengetahuan dan interaksi moral itu berdasarkan rancangan atau program yang
disesuaikan dengan system pengetahuan dan nilai-nilai yang dianaut oleh
masyarakat. Misalnya dalam mata pelajaran agama yang senantiasa harus diajarkan
di berbagai tingkatan dan jenjang pendidikan di sekolah. Hal itu merupakan
cermin dari masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Proses pewarisan budaya di sekolah dilakukan secara bertahap,
terencana dan terus menerus. Cara pewarisan melalui lembaga sekolah ini hanya
berlaku bagi masyarakat yang kebudayaannya kompleks. Di Indonesia, meskipun
suku bangsa masih belum dapat dijangkau mengingat letak geografisnya yang
terpencil, namun pendidikan formal ini diupayakan untuk dapat dilaksanakan,
misalnya dengan pola guru kunjung. Lebih dari itu, pemerintah Indonesia telah
merencanakan adanya program Wajib Belajar Sembilan tahun (Pendidikan Dasar dan
Sekolah Menengah Pertama) yang wajib diikuti oleh semua warga Indonesia yang
berumur 7 sampai 15 tahun.
4.
Lingkungan Pendidikan Media Massa
Media massa adalah bagian dalam masyarakat yang bertugas
menyebarluaskan berita, opini, pengetahuan dan sebagainya. Sifat media massa
adalah mencari dan mengolah bahan pemberitaan yang actual, menarik perhatian,
dan menyangkut kepentingan bersama. Berdasarkan sifatnya, media massa berfungsi
sebagai control social terhadap segala bentuk penyimpangan dari nilai, norma,
dan aturan yang berlaku di masyarakat. Dengan pemberitaan yang baik dan benar
masyarakat menjadi tahu terhadap setiap peristiwa yang terjadi di lingkungan
sekitar.
Salah satu fungsi media massa adalah fungsi pendidikan bagi
masyarakat. Banyaknya informasi yang diberikan, baik berupa pendapat-pendapat,
masalah social budaya secara langsung maupun tidak dapat memperluas wawasan
para pembacanya. Melalui media massa terjalin hubungan atau kontak social
secara tidak langsung antar anggota masyarakat. Keseluruhan itu menunjukan
besarnya peran media massa dalam proses transformasi budaya bagi seluruh
anggota masyarakat.
F.
Aplikasi Pendidikan Antropologi bagi Pendidikan Multikulturan
Bagi pendidik persoalan pendidikan multicultural merupakan sesuatu
yang sensitive dalam pengertian isu yang kompleks dan unik yang mesti
diantisipasi. Dalam kaitannya dengan menumbuhkan kesadaran terhadap keberagaman
ini, secara dini harus terjadi suasana saling memahami melalui interaksi yang
bermakna anatr satu dengan yang lainnya. Dengan memperhatikan keragaman sebagai
bagian dari lingkungan dan perilaku yang dibentuk oleh budaya, maka
pembelajaran seyogyanya berpusat pada keragaman latar sosiobudaya.
Berdasarkan pandangan ini, beberapa prinsip yang perlu diperhatikan
oleh seorang pendidik antara lain:
1. Penyelenggaraan pendidikan
bertumpu pada kesadaran adanya keberagaman
2. Memahami dan mengenai
pengalaman setiap individu peserta didik berdasarkan pada etnis dan keturunan,
dst.
3. Orientasi pelayanan bertolak
dari kondisi keberagaman menuju keberasamaa.
4. Kiat mempromosikan perbedaan
yang ditujukan untuk membangun kesamaan dan tidak memperbesar perbedaan.
5. Memahami peran organisasi
termasuk pengusaha dan profesi sebagai sumber belajar potensial dalam
pelaksanaan dan peningkatkan proses pembelajaran, pendidikan dan pelatihan.
Pendidikan multicultural tidak hanya dimaksudkan memberikan akses
kepada kelompok etnik dan minoritas untuk memperoleh akses pendidikan secara
baik. Tetapi menciptakan interaksi antara individu dari kelompok tersebut agar
tercipta harmoni kehidupan dalam masyarakat plural. Melalui pendekatan
pendidikan multicultural akan tercipta :
a. Saling memahami
perbedaan sosiobudaya.
b. Menciptakan harmoni kehidupan
dalam suasana berbeda budaya, sebab kesadaran bagaimana mengelola keragaman
sosiobudaya untuk harmoni kehidupan dalam masyarakat plural telah muncul sejak
tahun 1900.
FOOTNOTE
[1] Kebudayaan dan masyarakat saling mengisi, sebab tanpa hidup
bersama manusia-manusia tidak mungkin menciptakan suatu kebudayaan atau “way of
life” dan tanpa way of life mereka tidak dapat hidup bersama. Saya dalam waktu
pendek akan mendifinisikan dan membedakan kerbudayaan dan masyarakat.
[2] Ibrahim, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Bandung:
PT. IMTIMA 2007) hlm: 255.
[3]http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi
[4] Wallace sendiri mengakui bahwa Darwin yang lebih dulu
membulatkan konsepsinya tentang evolusi biologi.
[5] Darwin sudah membulatkan teorinya dalam tahun 1844, tetapi
hubungan korespendensi anatar Darwin dan Wallace baru timbul dalam tahun 1858.
[6] Koenjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi” (Jakarta:
Universitas Islam, 1982), hlm: 22-23.
[7] Koentjaraningrat,Pengantar Ilmu Antropologi(Jakarta, PT
Rineka Cipta, 2009), hlm: 10.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
TOKOH
SOSIOLOGI PENDIIDKAN DAN PEMIKIRANNYA
1.
Karl Max
Karl Marx lahir dari keluarga Yahudi di Trier, Jerman pada
1818. Ibunya berasal dari keluarga Rabbi Yahudi sedangkan ayahnya
berpendidikan sekuler dan pengacara yang sukses. Ketika suasana politik tidak
menguntungkan bagi pengacara Yahudi, ayah dan keluarganya pindah menjadi
pemeluk agama protestan.Padatahun1841, Marx meraih gelar
doktor filsafat dari Universitas Berlin, universitas yang
dipengaruhi oleh pemikiran Hegel dan pengikutnya yang kritis. Ia menikah pada
1843 dan hijrah ke Paris. Di sana beliauberkenalan dengan St. Simon dan
Proudhon, tokoh pemikir sosialis dengan Engels, mitra menulis sekaligus sahabat
penopang ekonomi, serta dengan berbagai pemikiran ekonomi politik Inggris
seperti Adam Smith dan David Ricardo. Aktif dalam berbagai gerakan buruh dan
komunis.
Karl Marx dipahami oleh berbagai penulis teks
buku SosiologiPendidikan seperti Ivor Morris(1972),
K.W. Prichard dan T.H. Buxton(1973), Philip Robinson(1986) dan Mareen T.
Hallin(2000) tidak memberikan banyak sumbangan teoretis terhadap pengembangan
sosiologi pendidikan, namun Marx sangat berpengaruh terhadap cara berpikir
tentang pendidikan dan masyarakat.[1]
2.
Emile Durkheim
Emile Durkheim dilahirkan di Epinal Prancis pada 1858 dari
keluarga Yahudi, ayahnya Rabbi.Beliau studi di Ecole Superieuredi Paris.
Daritahun1887 sampai 1902 menjadi guru besar dalam ilmu-ilmu sosial di
Bordeaux. Pada masa tersebut,beliauberhasil menulis buku yang monumental yaitu
tentang The Division of Labor in Society, The
Rules of Sosiological Methoddan Suicide. Setelah
itu, beliaupindah ke Universitas Sorbonne di Paris. Pada masa itu, beliaujuga kembali
menerbitkan buku The Elementary Froms of the Religious Life.
Berbeda dengan Karl Marx, sumbangan Emile Durkeim terhadap
sosiologi pendidikan lebih terasa, terutama berbagai ceramahnya tentang
pendidikan yang diterbitkan dalam beberapa buku seperti Educationand
Society(1956), Moral Education(1961) dan Evolution of Educational
Thought(1977).[2]
3.
Max Weber
Max Weber dilahirkan di Erfurt 1864 sebagai anak tertua dari
delapan orang bersaudara. Ayahnya seorang otoriter sedangkan ibunya adalah
seorang saleh yang teraniaya. Oleh karena itu, terjadi cekcok hebat antara Max
Weber dengan ayahnya sehingga dia mengusir ayahnya. Beliau lebih
banyak dipengaruhi paman dan tantenya. Weber mengecap berbagai
pendidikan.Antara lain ekonomi, sejarah, hukum, filosofi dan
teologi. Beliaumeraih gelar doktor dalam studi organisasi
dagang abad pertengahan.Beliau diangkatsebagai guru besar dalam studi
sejarah afraria Romawi di Berlin serta menjadi guru besar ekonomi di
Freiburg 1894 dan 1896di Heidelberg.[3]
4.
George Herbert Mead
George Herbert Mead lahir di south Hadley, massacussetts, Amerika
pada 27 febuari 1863, anak dari seorang pendeta. Ayahnya bernama Hiram Mead,
sedangkan ibunya bernama Elizabert Storrt Mead adalah seorang yang
berkependidikan yang mengajar di obelin college selama dua tahun, kemudian
menjadi presiden di mount holkoye college selama 10 tahun. Ketika berumun 10
tahun, George H. mead masuk fakultas teologi di Oberlin di ohio, dan
selesai pada tahun 1883. Ketika menjadi mahasiswa di sini dia berteman
dengan henry castel, seorang yang berasal dari keluarga kaya dan berpendidikan
baik. Mereka sesing berdiskusi tentang filsafat dan agama sehingga semakin
kritis dan mereka banyak mengembangkan tentang sastra, puisi dan sejarah.
Penguat Fondasi Sosiologi Pendidikan merupakan para tokoh teori
sosiologi yang melakukan aktivitas ilmiah berupa revisi, mengembangkan dan
mempertajamkan teori yang telah dikembangkan oleh peletak fondasi teori
sosiologi seperti Marx, Durkheim, Weber. Adapun tokoh penguatfondasi
adalah sebagai berikut:
1.
Alfred Schurtz
Alfred lahir di Wina pada 13 April 1889.Beliau mengikuti
kuliah di Universitas Wina dibidang ilmu hukum, ekonomi dan sosiologi
(1918-1921).Selama di Wina,beliaujuga menghadiri kuliahdariMax Weber. Setelah
meraih doktor,beliau bekerja sebagai sekretaris di sebuah bank di Wina,
kemudian pindah bekerja sebagai penasihat hukum pada sebuah bank swasta.Pada
tahun 1939,beliau bermigrasi ke Amerika.Pada tahun 1943,beliaumenjadi seorang
akademisi dan meninggal dunia pada 20 Mei 1959.
2.
Piere Bourdieu
Piere Bourdieu dilahirkan di kota kecil selatan Perancis
pada 1930. Beliau diterima di the Ecole Normale Superieure
pada tahun1950, namunbeliautidak menulis tesisMasternya karena
ketidaksetujuan terhadap struktur sekolah yang otoriter.Beliau aktif menentang
orientasi komunis dari sekolahnya. Pengalaman wajib militer selama dua tahun di
Aljazair pada tahun1958-1960danmendorongnya untuk menulis buku. Setelah
itu,beliau kembali ke Paris dan mengajar sebagai asisten Raymond Aron.
Ketika kedudukan pemimpin College de France lowong karena Raymond Aron memasuki
pensiun pada 1981, Bourdieu menggantikannya. Semenjak itu,beliau memegang
peranan kunci dalam sosiologi Perancis.[4]
1.
Alfred Schurtz
Dalam pandangan Alfred Schutz, Max Weber tidak
serius mengembangkan apa yang dimaksud tentang verstehen (interpretative
understanding) atau disebut dengan pemahaman interpretative dan teori makna.
“Weber tidak membedakan antara tindakan yang dianggap sebagai sesuatu yang
masih sedang berlangsung dan yang sudah selesai, antara makna penghasil suatu
benda kultural dan makna benda yang dihasilkan, antara makna tindakan saya dan
tindakan orang lain .“ Jadi kata Schutz, mengembangkan teori makna tanpa
mendiskusikan bagaimana makna ini sendiri muncul, dipertahankan, dikemnbangkan
dan diubah. Topik ini dikembangkan oleh Schutz sehingga pemikirannya dianggap
sebagai fenomenologi, yaitu studi tentang cara bagaimana fenomena hal-hal yang
kita sadari muncul kepada kita dan cara yang paling mendasar dari
permunculannya adalah sebagai suatu aliran pengalaman indrawi (streams of
experience) yang berkesinambungan yang kita terima melalui pancaindra kita.
2.
Karl Marx.
a.
PendekatanMaterialismeHistoris
Ada empat konsep penting dalam memahami pendekatan materialisme
historis. Pertama, Means of Production. Kedua, Realition of
Production (hubunganproduksi).Ketiga,Mode ofProduction.Keempat,Force
of Production.
Perubahan cara produksi itulah yang menyebabkan adanya perubahan
sosial budaya dan dimensi pendidikan. Perubahan cara produksi tersebut terletak
pada teknologi baru, penemuan sumber-sumber baru atau perkembangan baru apapun
dalam bidang kegiatan produktif.
Karena cara produksi berubah, maka muncul kontradiksi antara cara
produksi dan hubungan produksi. Ketika kontradiksi telah merusak parah
keseimbangan, maka ia akan berdampak pada perubahan terhadap hubungan produksi
seperti perubahan pada pembagian kerja, dasar dan bentuk struktur kelas. Pada
gilirannya dapat mengubah mode produksi.[5]
b.
TeoriAlienasi (Keterasingan)
Kapitalisme telah menyebabkan manusia mengalami alienasi karena
hasil kreativitas produsen menjadi terasingataudiasingkan dari produsen itu
sendiri. Alienasi ini bisa berupa :
(1) Produk diluar kontrol dari produsen seperti
jenis, kualitas, kuantitas, hargadan pemasaran produk.
(2) Produsen harus menyesuaikan diri dengannya
seperti mengikuti kapasitasprodusen mesin.
Oleh karena itu, menurut McLellan, manusia mengalami alienasi dalam
tiga arti. Pertama, manusia teralienasi dari produk kerjanya sendiri.Dalam
arti bahwa ia hanya sekadar embel-embel dari proses produksi, sebagai pelayan
mesin atau orang yang memindahkan kertas di kantor. Kedua, manusia juga
teralienasi dari dirinya sendiri. Dalam arti bahwa ia bekerja karena terpaksa dan
sebagai akibatnya manusia diubah menjadi hewan, karena ia hanya merasa senang
apabila melakukan fungsi-fungsi hewani, yakni makan, minum, dan memiliki
anak-anak. Terakhir, manusia teralienasi dari sesamanya. Hubungan yang ada
di tempat kerja mempengaruhi hubungan dalam kehidupan di luar kerja.
c.
Teori Perubahan Sosial
DalamThe Communist Manifesto, Marx menyatakan “Sejarah dari semua
masyarakat hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas.” Perjuangan kelas
berakar dari adanya pembagian kerja dan pemilikan pribadi. Keberadaan pembagian
kerja dan pemilikan pribadi menghasilkan kontradiksi yang dalam dan luas pada
masyarakat serta menciptakan stratifikasi sosial dalam masyarakat yaitu kelas
pemilik dan kelas bukan pemilik.
d.
Tentang Agama
Menurut Marx,“agama sebagai candu masyarakat”. Pernyataan ini dapat
dipahami karena Marx melihat bahwa superstruktur sosio-budaya, termasuk di
dalam ideologi politik dan agama yang dibangun atas infrastruktur ekonomi dan
menyesuaikan diri dengan tuntutan dan persyaratan yang dimiliki oleh
infrastruktur ekonomi tersebut.
3.
Emile Durkheim
Ketika beliau menjadi direktur ilmu pendidikan di Sorbon,
Paris (yang kemudian menjadi dirkektur ilmu pendidikan dan sosiologi pada tahun
1913) telah memandangbahwapendidikan sebagai suatusocial thing. Masyarakat
secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial didalamnya merupakan
sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan.
Menurut Durkheim,pendidikan itu bukanlah hanya suatu bentuk tetapi
bermacam-macam, baik dalam arti ideal maupun aktualnya. Oleh karena
itu,pendidikan merupakansuatualat untuk mengembangkan kesadaran diri dan
kesadaran sosial (The individual self and the social self, the I and the we or
the homoduplex) yang menjadi suatu paduan yang stabil, disiplin dan
utuh secara bermakna.
Durkheim pada waktu menyampaikan kuliah pengukuhannya di Sorbon,
menyatakan bahwa dunia pendidikan harus melakukan perubahan-perubahan dan
penyesuaian-penyesuaian seirama dengan arus deras transformasi yang berlangsung
pada masyarakat modern dan beliau menyimpulkan lagi bahwa tidak ada yang
melebihi pentingnya pendekatan sosiologi bagi para guru.
4.
Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun mengemukakan pemikiran baru yang menyatakan bahwa
sistem sosial manusia dapat berubah seiring dengan kemampuan pola berpikir
mereka, keadaan muka bumi di sekitar mereka, pengaruh iklim, makanan, emosi
serta jiwa manusia itu sendiri.
Beliau juga berpendapat bahwa pola pemikiran masyarakat berkembang
secara bertahap yang dimulai dari tahap primitif, pemilikan, peradaban,
kemakmuran dan kemunduran (keterpurukan). Pemikiran Ibnu Khaldun dikagumi oleh
tokoh sejarah keturunan Yahudi, Prof. Emeritus, Dr. Bernerd Lewis yang
mengukuhkan tokoh ilmuwan itu sebagai ahli sejarah arab yang hebat pada abad
pertengahan.
FOOTNOTE
[1]-Drs. Gunawan
Ary. H,Sosiologi Pendidikan, Jakarta, Rineka
Cipta,2010. hal. 23
[2]- Ibid.
hal.41
[3]-Ibid. hal. 28
[4]- Ahmad
Abu,SosiologiPendidikan, Jakarta, PT. RinekaCipta, 2007
[5]- Zainuddin
Maliki,SosiologiPendidikan, Yogyakarta, Gajah Mada University Press.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......4
TOKOH ANTROPOLOGI PENDIDIKAN.
Masih banyak orang yang sulit membedakan antara sosiologi dan
antropologi. Hal ini terjadi karena kedua ilmu tersebut sama-sama mempelajari
masyarakat dan seringkali pembahasannya dicampuradukkan.[1] Pada
dasarnya sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses
sosial dalam menjelaskan perilaku manusia. Sedangkan antropologi adalah ilmu
yang mempelajari hasil karya, cipta, dan rasa manusia, yang didasarkan pada
karsa dan ciri-ciri fisik manusia.
Seseorang yang mempelajari lebih dalam ilmu sosiologi biasanya disebut
dengan sosiolog. Sedang seseorang yang mempelajari secara mendalam ilmu
antropologi biasanya disebut dengan antropolog. Untuk dapat membedakan dan
mempelajari kedua bidang tersebut, kita terlebih dahulu mempelajari para
Sosiolog dan Antropolog yang berpengaruh agar kita dapat mengetahui teori-teori
dari masing-masing tokoh sehingga memudahkan kita untuk mempelajari dan
memahami ilmu sosiologi dan antropologi.
A.
PEMIKIR ISLAM
Pemikir Islam tentang Sosiologi dan Antropologi Islam yang masyhur
banyak sekali. Sosiolog Islam diantaranya adalah: Abu Dzar Al- Ghifari, Ibnu
Kholdun, Selo Soemardjan, dan Hassan Hanafi. Sedangkan Antropolog Islam
diantaranya adalah Koentjaraningrat dan Parsudi Suparlan.
1.
Sosiolog Islam.
a.
Abu Dzar Al-Ghifari
Abu Dzar berasal dari Suku Ghiffar yang tinggal di daerah yang
dilalui oleh kafilah-kafilah dagang. Sebelum masuk Islam dia adalah pemuka
kelompok Ghifari. Dia seorang penganut ideologi yang bersedia untuk mati demi
tegaknya kebenaran. Baginya kebenaran adalah mengatakan sesuatu yang hak dengan
terus terang dan menentang yang batil. Dia adalah tokoh pembela kaum
mustad’afin atau kaum yang tertindas, seorang Muslim yang komited, tegar,
revolusioner, yang menyampaikan pesan persamaan, persaudaraan, keadilan, dan
pembebasan. Dia melakukan demonstrasi-demonstrasi dan tunjuk perasaan menentang
kedzaliman penguasa. Dia menyampaikan kontrol sosial, meminta kepada orang yang
berkuasa untuk berlaku adil terhadap rakyat miskin yang telah kehilangan
hak-haknya. Dia juga mendorong masyarakat untuk merebut hak mereka dan
memberantas kemiskinan yang mendekatkan diri kepada kekufuran. [2]
b.
Ibnu Khaldun (1332-1406)
Sejarawan dan Bapak Sosiologi Islam ini berasal dari Tunisia.
Ia keturunan dari Yaman dengan nama lengkapnya Waliuddin Abdurrahman bin
Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin Al Hasan. Namun, ia lebih dikenal dengan
nama Ibnu Khaldun. Nama popular ini berasal dari nama keluarga besarnya, Bani Khaldun.
Ia lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332. di tanah
kelahirannya itu, ia mempelajari berbagai macam ilmu, seperti Syariat (Tafsir,
Hadist, Tauhid, Fikih), Fisika dan Matematika. Sejak kecil, ia sudah hafal Al
Quran. Saat itu, Tunisia menjadi pusat perkembangan ilmu di Afrika
Utara.
Karya-karya besar yang lahir ditangannya, yaitu sebuah kitab yang
sering disebut Al ‘Ilbar (Sejarah Umum), terbitan Kairo tahun 1284. Kitab ini
terdiri atas 7 jilid berisi kajian Sejarah, yang didahului oleh Muqaddimah (jilid
1), yang berisi tentang pembahasan masalah-masalah sosial manusia.
Muqaddimah (yang sebenarnya merupakan pembuka kitab tersebut)
popularitasnya melebihi kitab itu sendiri. Muqaddimahmembuka jalan menuju
perubahan ilmu-ilmu sosial. Menurut pendapatnya, politik tak bisa dipisahkan
dari kebudayaan dan masyarakat dibedakan atas masyarakat kota dan
desa. DalamMuqaddimah ini pula Ibnu Khaldun menampakkan diri sebagai ahli
Sosiologi dan Sejarah. Teori pokoknya dalam Sosiologi Umum dan Politik adalah
konsepashabiyah (solidaritas sosial). Asal-usul solidaritas ini adalah
ikatan darah yang disertai kedekatan hidup bersama. Hidup bersama juga dapat
mewujudkan solidaritas yang sama kuat dengan ikatan darah. Menurutnya,
solidaritas sosial itu sangat kuat terlihat pada masyarakat pengembara, karena
corak kehidupan mereka yang unik dan kebutuhan mereka untuk saling Bantu.
Relevansi teori ini misalnya dapat ditemukan pada teori-teori tentang
konsiliasi kelompok-kelompok sosial dalam menyelesaikan konflik tantangan tertentu.
Relevansi teori Khaldun, misalnya juga dapat ditemukan dalam teori Ernest Renan
tentang kelahiran bangsa. Tantangan yang dihadapi masyarakat pengembara dalam
teori Khaldun tampaknya, meski tidak semua, pararel dengan “kesamaan sejarah”
embrio bangsa dalam teori Ernest Renan. Kebutuhan untuk saling Bantu mengatasi
tantangan ini juga memiliki relevansi dalam kajian-kajian psikologi sosial
terutama berkenaan dengan kebutuhan untuk mengikatkan diri dengan orang lain
atau kelompok sosial yang lazim disebut afiliasi.[3]
Karya Ibnu Kholdul yang lain adalah Kitab al-‘Ibar, wa Diwan
al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man
Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah
Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik Mengenai
Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang Semasa
dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang terdiri dari
tiga buku:
a.
adalah sebagai kitab Muqaddimah, atau jilid pertama yang berisi
tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki, yaitu pemerintahan,
kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan
dengan segala sebab dan alasan-alasannya.
b.
terdiri dari empat jilid, yaitu jilid kedua, ketiga, keempat,
dan kelima, yang menguraikan tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi
mereka serta dinasti-dinasti mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan
tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara yang sezaman dengan mereka, seperti
bangsa Syiria, Persia, Yahudi (Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka
(orang-orang Eropa).
c.
terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi
tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka,
khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika Utara).[4]
c.
Selo Soemarjan (1915 – 2003)
Prof. Dr. Kanjeng Pangeran merupakan seorang sosiolog yang mantan
camat, kelahiran Yogyakarta 23 Mei 1915. Penerima Bintang Mahaputra Utama dari
pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan
Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan dosen sosiologi di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Beliau dikenal sebagai Bapak
Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959, seusai meraih gelar doktornya
di Cornell University, Amerika Serikat. Pada tanggal 30 Agustus 1994,
beliau menerima gelar Ilmuwan Utama Sosiologi.[5]Menurut
beliau, sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari struktur sosial. Struktur
sosial adalah keseluruhan jaringan antara unsure sosial yang pokok, yaitu
kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial,
kelompok-kelompok, serta lapisan-lapisan sosial.[6] Karya-karya
Beliau yang telah diterbitkan diantaranya adalah Social Changes in
Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei di Sukabumi (1963).
d.
Hassan Hanafi (1935 - …)
Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo, berasal
dari keluarga musisi. Pendidikannya diawali pada tahun 1948, tamat pendidikan
tingkat dasar dan Madrasah Stanawiyah “Khalil Agha” Kairo dalam waktu empat
tahun. Semasa itu, telah mengikuti berbagai diskusi pemikiran Ikhwan Al
Muslimin dan tertarik pada pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan
Islam. Sejak itu, ia berkonsentrasi kepada pemikiran agama, revolusi, dan
perubahan sosial.
Hasan Hanafi seorang pemikir keislaman yang sudah tidak asing lagi,
didunia Arab khususnya yang sangat produktif. Ia menguasai tiga bahasa: Arab,
Inggris, dan Prancis. Diantara karya-karya fundamentalnya adalah: Min
Al-‘Aqidah Ila Al-Tsaurah (1988),Religious Dialogue Revolution: Essays
Judaisn, Christianity and Islam (1977), dan La Phenomenologie de
I’Exegese, Essei d’une hermeneutique Existentielle a partir du nouveau
Testamenet (1966). Selain itu, Hanafi juga banyak menulis artikel di
beberapa jurnal ilmiah berbahasa Arab, disamping mentahqiq teks-teks klasik
Arab dan menterjemahkan beberapa buku tentang bahasa dan filsafat ke dalam
Bahasa Arab.
Pemikiran Hanafi meliputi tiga model. Model pertama, adalah peranan
Hanafi sebagai seorang Pemikir Revolutioner. Dia menganjurkan untuk memunculkan
Al-Yassar Al Islami untuk mencapai Revolusi Tauhid. Model kedua, adalah sebagai
Pembaharu Tradisi Pemikiran Klasik. Sebagai seorang reformis tradisi Islam,
Hanafi adalah seorang rasionalis. Model ketiga, adalah sebagai Penerus Gerakan
Al-Afghani (1838-1897). Al-Afghani adalah pendiri gerakan Islam modern yang
disebut sebagai perjuangan melawan imperialisme Barat dan penyatuan dunia
Islam. Hanafi pun melalui Al-Yassar Al-Islami, juga menyebutkan hal yang sama.[7]
2.
Antropolog Islam.
a.
Koentjaraningrat.
Koentjaraningrat lahir diYogyakarta tahun 1923. Beliau lulus
Sarjana Sastra Bahasa Indonesia Universitas Indonesiapada tahun 1952.
mendapat gelar MA dalam antropologi dari YaleUniversity (Amerika
Serikat) tahun 1956, dan gelar Doktor Antropologi dari UniversitasIndonesia pada
tahun 1958. Sebelum menjalani pensiun tahun 1988, ia menjadi gurubesar
Antropologi pada UniversitasIndonesia. Beliau pernah pula menjadi gurubesar
luar biasa pada Universitas Gajah Mada, Akademi Hukum Militer, Perguruan Tinggi
Ilmu Kepolisian, dan pernah diundang sebagai gurubesar tamu di Universitas
Utrecht (Belanda), Universitas Columbia, Universitas Illinors, Universitas
Ohio, Universitas Wisconsin, Universitas Malaya, Ecole des Hautes Etudes en
Sciences Sociales di Paris, dan Center for South East Asian Studies,
Universitas Kyoto. Penghargaan ilmiah yang diterimanya adalah gelar Doctor
Honoris Causa dari UniversitasUtrecht (1976) dan Fukuoka Asian Cultural
Price (1995).
Menurut beliau, dalam menentukan dasar-dasar dari antropologi
Indonesia, kita belum terikat oleh suatu tradisi sehingga kita masih dapat
memilih serta mengkombinasikan berbagai unsur dari aliran yang paling sesuai
yang telah berkembang di negara-negara lain, dan diselaraskan dengan masalah
kemasyarakatan di Indonesia.[8]Karya-karyanya
yang telah diterbitkan antara lain Atlas Etnografi Sedunia, Pengantar
Antropologi, dan Keseragaman dan Aneka Warna Masyarakat Irian Barat.
b.
Parsudi Suparlan
Prof. Parsudi Suparlan adalah seorang Antropolog Nasional, ilmuwan
sejati, yang berjasa menjadikan Antropologi di Indonesia memiliki sosok dan
corak yang tegas sebagai disiplin ilmiah, yang tak lain adalah karena
pentingnya penguasaan teori. Beliau lulus Sarjana Antropologi dari
Universitas Indonesia tahun 1964. Kemudian menempuh jenjang MA lulus
pada tahun 1972 dan PhD lulus tahun 1976 di Amerika Serikat. Beliau mencapai
gelar Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia tahun 1998. Menurut
beliau, antropologi merupakan disiplin ilmu yang kuat, karena pentingnya teori,
ketajaman analisis, ketepatan metodologi, dan tidak hanya sekedar
mengurai-uraikan data. Selain itu, juga pentingnya pemahaman yang kuat mangenai
konsep kebudayaan dan struktur sosial.[9]
B.
PEMIKIR BARAT.
Sosiolog dan Antropolog Barat yang cukup berpengaruh, dalam
mengembangkan ilmu Sosiologi dan Antropologi juga sangat banyak. Sosiolog Barat
diantaranya adalah Auguste Comte, Pierre Guillaurne Frederic Le Play, Karx
Mark, Herbert Spencer, Ferdinand Tonnies, Emile Durkheim, Max Weber, dan
Charles Horton Cooley. Sedangkan Antropolog Barat diantaranya adalah Clifford
Geertz dan James Danandjaja.
1.
Sosiolog Barat.
a.
Auguste Comte (1798 – 1857)
Tokoh yang kemudian dikenal sebagai bapak pendiri aliran
positivisme dalam ilmu-ilmu sosial ini lahir pada tanggal 19 Januari 1798 di
Montpellir, Prancis. Auguste Comte dikenal sebagaiThe Father of Sociology karena
sumbangannya dalam memperkenalkan istilah sosiologi dalam bukunya yang
berjudulCours de Philosophy Positive. Beliau berpendapat bahwa sejarah manusia
adalah mengikuti satu susunan yang mematuhi hukum tertentu. Evolusi masyarakat
akan disertai dengan kemajuan yang mewujudkan perkembangan intelektual. Comte
dikenal karena telah memperkenalkan hokumLaw of Human Progress.
Dalam bukunya yang berjudulCours de Philosophy Positive yang
terdiri atas enam jilid, ia mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan
pikiran manusia yang terdiri atas tiga tahap. Pertama tahap teologis,
yaitu pengetahuan manusia didasarkan pada kepercayaan akan adanya penguasa
adikodrati yang mengatur dan menggerakkan gejala-gejala alam. Kedua tahap
metafisis, yaitu pengetahuan manusia berdasar pada konsep-konsep dan
prinsip-prinsip abstrak yang menggantikan kedudukan kuasa-kuasa adikodrati.
Metafisika merupakan pengetahuan puncak masa ini. Ketiga tahap positif,
yaitu pengetahuan manusia berdasar atas fakta-fakta. Berdasar observasi dan
dengan menggunakan rasionya, manusia pada tahap positif ini dapat menentukan
relasi-relasi persamaan dan atau urutan yang terdapat pada fakta-fakta.
Pengetahuan positif adalah pengetahuan yang tertinggi kebenarannya yang dicapai
oleh manusia.[10]
b.
Pierre Guillaurne Frederic Le Play (1806 – 1882)
Le Play, seorang Perancis, adalah salah seorang ahli ilmu
pengetahuan kemasyarakatan terkemuka abad ke-19. Dia berhasil mengenalkan
suatu metode tertentu di dalam meneliti dan menganalis gejala-gejala sosial
yaitu dengan jalan mengadakan observasi terhadap fakta-fakta sosial dan
analisis induktif. Kemudian dia juga menggunakan metode case studydalam penelitian-penelitian
sosial.
Penelitian-penelitiannya terhadap masyarakat menghasilkan dalil
bahwa lingkungan geografis menentukan jenis pekerjaan, dan hal ini mempengaruhi
organisasi ekonomi, keluarga serta lembaga-lembaga lainnya. Keluarga merupakan
objek utama dalam penyelidikan. Dia berkeyakinan bahwa anggaran belanja suatu
keluarga merupakan ukuran kuantitatif bagi kehidupan keluarga sekaligus
menunjukkan kepentingan keluarga tersebut. Akhirnya dikatakan bahwa organisasi
sosial keluarga sepenuhnya terikat pada anggaran keluarga tersebut.
Karya-karyanya yang telah diterbitkan antara lainEuropean
Workers (1855), Social Reform in France (1864), The
Organization of the Family (1871), dan The Organization of
Labor(1872).[11]
c.
Karx Mark (1818 – 1883)
Karl Mark lahir di Trier, Jerman pada tahun 1818 di keluarga
Yahudi. Mark lebih dikenal sebagai seorang tokoh sejarah ekonomi, ahli
filsafat, dan aktivis yang mengembangkan teori sosialisme marxisme, daripada
sebagai seorang perintis sosiologi. Meskipun demikian, sebenarnya Mark
merupakan seorang tokoh sosiologi yang memberi sumbangan tentang stratifikasi
sosial dan konflik. Pemikiran Mark pun diarahkan pada perubahan sosial besar
yang melanda Eropa Barat sebagai dampak perkembangan pembagian kerja, khususnya
yang terkait dengan kapitalisme. Menurut Mark perkembangan pembagian kerja
dalam kapitalisme menumbuhkan dua kelas yang berbeda, yaitu kelas yang terdiri
atas orang yang menguasai alt produksi (kaum bourgeoisie) dan kelas yang
terdiri atas orang yang tidak memiliki alat produksi (kaum proletar).[12]
d.
Herbert Spencer (1820 – 1903)
Herbert Spencer lahir di Inggris pada tahun 1820. selain bidang
matematika dan pengetahuan alam yang ia tekuni, ia juga tertarik menekuni
bidang ilmu sosial. Ia mengemukakan sebuah teori tentang evolusi masyarakat dan
membaginya menjadi tiga sistem, yaitu sistem penahan, pengatur, dan
pembagi. Sistem penahanberfungsi untuk memberikan kecukupan bagi
kelangsungan hidup masyarakat. Sistem pengatur berperan memelihara
hubungan antar sesama anggota masyarakat dan dengan masyarakat lain. Sistem
pembagidapat dilihat wujudnya dalam proses evolusi yang semakin maju. Ia
memandang ketiga sistem itu dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam
proses pembangunan sebuah negara. Paham evolusi dari Spencer meyakini bahwa
masyarakat akan berubah dari masyarakat yang homogen dan simpel, kepada
masyarakat yang heterogen dan kompleks, selaras dengan kemajuan masyarakat.
Spencer melihat bahwa masyarakat bukan sebagai satu kelompok individu tetapi
sebagai satu organisme yang hidup dan mempunyai berbagai keinginan. Hasil karya
Herbert Spencer antara lain Social Statics (1850),The Study of
Sociology (1873), danDescriptive Sociology (1874).[13]
e.
Ferdinand Tonnies (1855 – 1936).
Tonnies
dilahirkan di Frisia, Oldenswart, Jerman. Dia adalah anak dari suatu keluarga
petani kaya. Dia menganjurkan sosiologi untuk mengarah ke positivistik dengan
penggunaan data statistik. Sumbangannya kepada sosiologi adalah tentang pengelompokan
dalam masyarakat, dimana terdapat dua kelompok dalam masyarakat, yaitu:
1. Gemeinschaft yang digambarkan dengan
kehidupan bersama yang intim, pribadi, dan ekslusif. Bersifat organik dan
tradisional. Suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir, yang terbagi atas:
(1) Gameinschaft by Blood, yang
mengacu pada ikatan-ikatan kekerabatan.
(2) Gameinschaft by Place, yang
mengacu pada kedekatan letak tempat tinggal.
(3) Gameinschaft by Mind, yang mengacu
pada kebersamaan di masyarakat masing-masing, namun masih tetap mandiri.
2. Gesellschaft adalah
kehidupan publik dalam kebersamaan di masyarakat namun masing-masing tetap
mandiri. Gesellschaft lebih bersifat struktur mekanik modern.[14]
f.
Emile Durkheim (1858 – 1917)
Durkheim yang memiliki nama lengkap David Emile Durkheim,
dilahirkan pada tanggal 15 April 1858 di Epinal ibu kota bagianVorges, Lorraine Prancis
bagian timur. Durkheim dikenal dengan teori solidaritas atau konsensus
sosialnya. Teorinya ini tidak terlepas dari berbagai peristiwa dan skandal yang
ia saksikan di Prancis.
Teori Durkheim yang lain adalah gagasannya mengenai kesadaran
kolektif (conscience collective) dan gambaran kolektif (representation
collective). Gambaran kolektif adalah simbol-simbol yang memiliki makna yang
sama bagi semua anggota sebuah kelompok dan memungkinkan mereka untuk merasa
satu sama lain sebagai anggota-anggota kelompok. Gambaran kolektif adalah
bagian dari isi kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif mengandung semua gagasan
yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat dan menjadi tujuan atau
maksud kolektif. Karya Durkheim dapat disebutkan antara lain, De la
Division du Travail Social: Etude des Societes Superieur (1893), Le
Suicide: Etude de Sociologique (1877) yang mengupas soal bunuh diri dalam
tinjauan sosiologi serta sebuah karya mengenai sosiologi agama berjudul Les
Formes Elementaires de la vie Religique en Australie(1912).[15]
g.
Max Weber (1864 – 1920)
Max Weber seorang sosiolog, ahli ekonomi, sekaligus ahli ilmu
politik dari Jerman. Ia menghabiskan waktunya untuk mengajar di beberapa
tempat, antara lain di Berlin, Freiburg,Munich, dan Heidelberg. Salah satu
minat besar Weber adalah keinginannya untuk mengembangkan metodologi bagi
ilmu-ilmu sosial. Karya-karyanya sangat memberikan pengaruh terhadap para ahli
ilmu sosial abad dua puluh. Dalam analisis sosiologis ia mengajukan apa yang
disebutnya sebagai “idea types”, yakni model umum dari situasi sejarah yang
dapat dipakai sebagai dasar pembandingan antarmasyarakat. Ia melawan para penganut
Marx ortodoks saat itu yang mengatakan bahwa ekonomi merupakan faktor yang
penting dan sangat menentukan dalam kehidupan sosial.
Weber menekankan peran nilai-nilai religius, ideologi, dan pemimpin
kharismatik dalam memelihara kondisi masyarakat. Dalam
karyanya, Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1920) ia
mengembangkan suatu tesis mengenai keterkaitan yang erat antara gagasan asketis
sebagaimana dikembangkan dalam Calvinisme dan kemunculan lembaga-lembaga
kapitalis. Ia merupakan tokoh yang cukup berpengaruh dalam penggunaan statistik
sosiologi dalam studi kebijakan ekonomi. Diantara karyanya yang lain
adalahWirtschaft und Gesellschaft(Ekonomi dan Masyarakat) sertaGeneral Economic
History.[16]
h.
Charles Horton Cooley (1864 – 1929)
C. H. Cooley lahir di Michigan, Amerika Serikat. Pada mulanya,
dia belajar teknik mesin elektro, kemudian dia juga belajar ekonomi. Setelah
lulus akademis dia bekerja di pemerintahan seperti di Departemen Komisi
Pengawas, kemudian juga di Kantor Sensus. Pada tahun 1892, dia menjadi dosen
ilmu ekonomi, politik, serta sosiologi di Universitas Michigan. Cooley
tergolong dalam sosiolog interaksionisme simbolik klasik. Sumbangannya kepada
sosiologi tentang sosiologi dan interaksi. Menurutnya, diri (self) seseorang
berkembang melalui interaksi dengan orang lain lewat analogi diri yang melihat
cermin (looking glass self), yaitu diri seseorang memantulkan apa yang dirasakannya
sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya. Cooley juga memperkenalkan konsep
primary group, yaitu kelompok yang ditandai oleh pergaulan dan kerja sama,
serta tatap muka yang intim.[17]
Cooley dalam mengemukakan teorinya terpengaruh oleh aliran romatik
yang mengidamkan kehidupan bersama, rukun, dan damai, sebagaiman dijumpai pada
masyarakat-masyarakat yang masih bersahaja. Dia prihatin melihat masyarakat-masyarakat
modern yang telah goyah norma-normanya, sehingga masyarakat-masyarakat
bersahaja merupakan bentuk ideal yang terlalu berlebih-lebihan kesempurnaannya.
Hasil karyanya antara lain uman Nature and Social
Order (1902), Social Organization (1909), dan Social
Process (1918).[18]
2.
Antropol Barat.
a.
Clifford Geertz (1926 – 2006)
Profesor Clifford Geertz adalah seorang tokoh antropologi asal
Amerika Serikat. Beliau dijuluki sebagi Tokoh Antropologi Segala Musim. Hal ini
dikarenakan pemikirannya yang selalu mengikuti zaman. Karyanya yang berjudul
The Religion of Java adalah suatu karya yang berciri kuat
structural-fungsionalisme klasik. Geertz juga diakui sebagai salah satu pembuka
jalan bagi pemikiran postmodernisme dalam ilmu-ilmu sosial. Hampir dalam setiap
karya dan perbincangan teori antropologi di dunia mengutip karya-karyanya,
sekalipun perbincangan tersebut mengkritik/kontra dengan pemikirannya. Salah
satu pemikirannya yang mengandung relevasi dan merefleksikan kondisi masyarakat
dan kebudayaan kotamasa kini adalah tesis tentang involusi pertanian yang
dapat dilacak dalam buku Agricultural Involution, The Process of
Ecological Change in Indonesia(1963).[19]
b.
James Danandjaja (1934 - …)
James Danandjaja dilahirkan diJakarta 13 April 1934. Beliau
adalah tokoh Folklor Nusantara yang pertama. Bagian budaya yang bernama folklor
itu berupa bahasa rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki, legenda, dongeng,
lelucon, nyanyian rakyat, seni rupa, dan lain sebagainya. Ilmu tentang folklor
ia perkenalkan kepada mahasiswa jurusan Antropologi FISIP UniversitasIndonesia sejak
tahun 1972. pada mata kuliah tersebut, para mahasiswa antara lain ditugasinya
mengumpulkan berbagai folklor di tanah air. Hasil pengumpulan itulah, antara
lain yang ia gunakan untuk bukunya. Ia mendapatkan Master dari Universitas Berkeleytahun
1971 dengan karya tulis yang kemudian diterbitkan sebagai buku, An
Annotated Bibliography of Javanese Folklore. Gelar Doktor dalam
bidang Antropologi Psikologi ia peroleh dari
Universitas Indonesia tahun 1977, dengan disertasiKebudayaan Petani
Desa Trunyan di Bali. Buku lain karya Jimmi adalah Pantomim Suci Betara
Beratak dari Trunyan, Bali danUpacara Lingkaran Hidup di
Trunyan, Bali, serta Folklor Indonesia.[20]
FOOTNOTE
[1] Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati. Manusia dan
Masyarakat. Jakarta: Ganeca Exact. 2004. hlm. 2.
[2] Abu Dzar Al Ghifari Jr. Abu Dzar: Legenda Ulung
Penentang Kezaliman, (Online), (http://putraaceh.multiply.com, diakses 20 April 2008).
[3] Arif Rohman. Sosiologi. Klaten: PT Intan Pariwara.
2003. hlm. 109-110.
[6] Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati. Manusia dan
Masyarakat. Jakarta: Ganeca Exact. 2004. hlm. 5.
[7] Zulfi Mubarak. Sosiologi Agama: Tafsir Sosial
Fenomena Multi-Religius Kontemporer. Malang: UIN Malang Press.
2006. hlm. 241-244.
[8] Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi I, cet.
III. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005. hlm. 6-7.
[9] Achmad Fedyani Saifuddin. 2007.Orbituari:
Pendekar itu Telah Pergi, (Online), (http://cabiklunik.blogspot.com,diakses 20 April 2008).
[10] Arif
Rohman. Sosiologi. Klaten: PT Intan Pariwara. 2003. hlm. 72.
[11] Soerjono
Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2005. hlm. 401-402.
[12] Kamanto
Sunarto.Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. 2004. hlm. 4.
[18] Soerjono
Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2005. hlm. 401.
[19] Kompas.
2006. Refleksi Pemikiran Geertz: Involusi Pertanian, Involusi
Kita, (Online), (http://indobic.or.id, diakses 20 April 2008).
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok....5
PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
A.
Latar belakang.
Pendidikan dalam suatu negara tentu tidak terlepas dari sejarah
sosial bangsa tersebut. Seperti halnya Indonesia sebagai negara yang mayoritas
berpenduduk muslim dengan keaneka ragaman ras suku dan budayanya, amat kaya
akan pertumbuhan dan perkembangan Pendidkan Islam, mulai dari yang bertarap
tradisional seperti Surau di Sumatra Barat, Rangkang di Aceh, Langgar di Jawa
Timur, hingga yang bertarap modern lengkap dengan manajemen dan
sarana-prasarananya yang lengkap dan canggih, seperti Pondok Modern Gontor,
al-Zaitun, bahkan Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri
(IAIN), dan lain sebagainya.
Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, Negara sudah berupaya memperbaiiki sistem pendidikan Nasional termasuk di dalmnya adalah Pendidikan Islam, namun sampai saat ini, keberhasilan itu belum nampak, justru data yang dirilis oleh Pearson Education (2014) cukup mencengangakan. “Indonesia adalah yang paling rendah (nomor 40) dari ranking 40 negara di dunia”. Yang menarik adalah hasil ranking berdasarkan Eduaction Index ini terdapat empat negara di Asia yang menempati posisi nomor satu sampai empat menggeser Finlandia ke posisi nomor urut lima yang pada tahun 2012 berada di posisi nomor urut satu. Keempat negara Asia dengan sistem pendidikan terbaik di dunia pada tahun 2014 adalah: (1) Korea Selatan, (2) Jepang, (3) Singapura, dan (4) Hongkong. Ranking berikut adalah Finlandia (ranking 5), Inggris (6), Kanada (7), Belanda (8), Jerman (12), USA (14), Australia( 15), Belgia (18), Prancis (23), Thailand (35), Brazil (38), Meksiko (39), dan Indonesia (40)
Kajian berikut akan mengupas bagaimana pendidikan Islam di Indoensia dalam perspektif Pendidikan Nasional. Mengingat keneka ragaman rupa wajah pendidikan di indoensia sehingga penulis hanya membatasi pada kajian singkat sejarah pendidikan Islam di Indonesia, Institusi Pendidikan Islam, Lembaga Pendidikan Islam dan Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam.
Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, Negara sudah berupaya memperbaiiki sistem pendidikan Nasional termasuk di dalmnya adalah Pendidikan Islam, namun sampai saat ini, keberhasilan itu belum nampak, justru data yang dirilis oleh Pearson Education (2014) cukup mencengangakan. “Indonesia adalah yang paling rendah (nomor 40) dari ranking 40 negara di dunia”. Yang menarik adalah hasil ranking berdasarkan Eduaction Index ini terdapat empat negara di Asia yang menempati posisi nomor satu sampai empat menggeser Finlandia ke posisi nomor urut lima yang pada tahun 2012 berada di posisi nomor urut satu. Keempat negara Asia dengan sistem pendidikan terbaik di dunia pada tahun 2014 adalah: (1) Korea Selatan, (2) Jepang, (3) Singapura, dan (4) Hongkong. Ranking berikut adalah Finlandia (ranking 5), Inggris (6), Kanada (7), Belanda (8), Jerman (12), USA (14), Australia( 15), Belgia (18), Prancis (23), Thailand (35), Brazil (38), Meksiko (39), dan Indonesia (40)
Kajian berikut akan mengupas bagaimana pendidikan Islam di Indoensia dalam perspektif Pendidikan Nasional. Mengingat keneka ragaman rupa wajah pendidikan di indoensia sehingga penulis hanya membatasi pada kajian singkat sejarah pendidikan Islam di Indonesia, Institusi Pendidikan Islam, Lembaga Pendidikan Islam dan Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam.
B.
Sejarah pendidikan islam di indonesia.
Studi tentang perkembangan pendidikan Islam di Indonesia tidak
terlepas dari kajian sejarah masuknya Islam di Indonesia. Ini karena awal
munculnya pendidika Islam di Indonesia terwujud dengan adanya praktek
penyebaran agam Islam itu sendiri. Masuk dan berkembangnya agama Islam di
Indonesia disebabakan dua faktor yang cukup Dominan. Pertama, letak geografis
Indonesia yang berada di persimpangan jalan Internasional dari jurusan Timur
Tengah menuju Tiongkok. Kedua, Kesuburan tanah yang menghasilkan bahan-bahan
keperlua hidup yang dibutuhkan oleh bangsa lain, misalnya rempah-rempah[1] yang
akhirnya Indonesia ditinggali oleh para pedagang dari manca negara.
Merujuk pada periodeisasi sejarah pendidikan Islam di Indonesia yang dibuat oleh Zuhairini, ada 7 fase datangnya Islam ke Indonesia;
Merujuk pada periodeisasi sejarah pendidikan Islam di Indonesia yang dibuat oleh Zuhairini, ada 7 fase datangnya Islam ke Indonesia;
1.
fase pengembangan dengan melalui proses adaptasi;
2.
fase berdirinya kerajaan-kerajaan Islam (proses politik);
3.
fase kedatangan orang barat (zaman penjajahan);
4.
fase penjajahan Belanda
5.
Fase Penjajahan Jepang;
6.
Fase Indonesia Merdeka;
7.
FasePembangunan[2].
C.
Fase-fase-pendidikan-islam.
1.
Pendikakan Islam pada fase pertama diawali dengan masuknya Islam ke
Indonesia pada abad 7 M/1 H yang disebarkan oleh pedagang dan muballigh dari
Arab di pantai barat Pulau Sumatera, tepatnya di daerah Baros.[3]. Interaksi
penyebaran Islam kepada penduduk lokal melalui kontak jual beli, perkawinan,
dan dakwah baik secara individu maupun kolektif[4] dari situlah semacam
Pendidikan Islam berjalan meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana, tanpa
terikat oleh formalitas waktu dan tempat tertentu. Materi pelajarannya yang
pertama adalah kalimat Syahadat. Sebab barang siapa yang telah bersyahadat
berarti sudah masuk Islam kemudian secara lambat laun dikembangkan pada materi
rukun iman, rukun Islam terus belanjut pada cara melaksnakan sholat lima waktu,
membaca al-Qur’an dan seterusnya.
2.
Pada fase kedua, yakni masa pengembangan dengan proses adaptasi,
pendidikan Islam tersus berkembang. Mahmud Yunus menggambarkan pendidikan Islam
pada fase ini ditandai dengan terbentuknya sistem langgar atau surau sebagai
pusat studi keIslaman. Dengan dipandu oleh juru dakwah yang biasanya dikenal
dengan sebutan modin atau lebai, pengajian al-Qur’an dibedakan menjadi dua
tingkatan. Pertama, tingkat rendah atau pemula dengan materi pembelajaran
pengenalan huruf dan bacaan al-Qur’an pada malam dan pagi hari sesudah shalat
subuh. Kedua, tingkat atas, yaitu dengan penambahan beberapa pembelajaran
seperti pelajaran lagu, qasidah, barzanji, dan tajwid. Metode yang digunakan
ialah dengan cara sorogan dan halaqah[5]
3.
Pada fase ketiga (munculnya kerajaan Islam) potret pendidikan di
Indonesia mulai mengalami kemajuan karena pada fase ini pendidikan Islam
mendapat dukungan yang penuh dari kerajaan, kerajaan Islam yang pertama adalah
fase atau kerajaan Samudera di Aceh yang beridiri pada abad 10 M dengan rajanya
yang pertama Al Malik Ibrahim bin Mahdum, yang kedua bernama Al Malik Al Shaleh
dan yang terakhir Al Malik Sabar Syah. Sistem pendidikan Islam pada masa ini,
sebagaimana keterangan Ibnu Batutah, sebagai berikut:
a.
Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang Syariat ialah
Fiqh Madzhab Syafi’i.
b.
Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis taklim dan
halaqah.
c.
Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama.
d.
Biaya pendidikan agama bersumber dari Negara[6]
Kerajaan Islam yang kedua di Indonesia dan yang juga mewariskan
pendidikan Islam adalah Perlak di Aceh. Raja yang pertama adalah Sultan Alaudin
abad 12M, Raja yang keenam yang bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin
adalah seorang Ulama yang mendirikan perguruan tinggi Islam. Suatu majlis
taklim tingkat tinggi yang dipruntukkan khusus para murid yang sudah alim.
Kitab-Kitab yang dikaji cukup berbobot seperti Al-Um karya
ImamSyafi’idanbeberapakitablainnya[7].
Pendidikan Islam pertama kali masuk ke Jawa pada abad 14 M (1399 M) di bawa oleh Maulana Malik Ibrahim bersama keponakannya yang bernama Mahdum Ishaq yang menetap di Gresik. Perkembangan Pendidikan Islam semakin kokoh dengan adanya pimpnan yang diebut Wali Songo. Sistem pendidikan yang dilakukan oleh para Wali adalah sistem pesanten. Maulana Malik Ibrahim berhasil mencetak kader mubaligh selama 20 tahun. Wali-wali yang lain adalah murid dari Maulana Malik Ibrahim yang akhirnya tersebar sampai ke Maluku, Kalimantan yang di bawa oleh para santri Wali songo[8]
Pada fase kedatangan orang barat (zaman penjajahan belanda) kondisi pendidikan Islam di Indonesia mengalami banyak kendala sehingga mengalami kemunduran yang luar biasa. Sejak zaman VOC, kedatangan Belanada ke Indonesia sudah bermotif Ekonomi, Politik, dan Agama.
Pendidikan Islam pertama kali masuk ke Jawa pada abad 14 M (1399 M) di bawa oleh Maulana Malik Ibrahim bersama keponakannya yang bernama Mahdum Ishaq yang menetap di Gresik. Perkembangan Pendidikan Islam semakin kokoh dengan adanya pimpnan yang diebut Wali Songo. Sistem pendidikan yang dilakukan oleh para Wali adalah sistem pesanten. Maulana Malik Ibrahim berhasil mencetak kader mubaligh selama 20 tahun. Wali-wali yang lain adalah murid dari Maulana Malik Ibrahim yang akhirnya tersebar sampai ke Maluku, Kalimantan yang di bawa oleh para santri Wali songo[8]
Pada fase kedatangan orang barat (zaman penjajahan belanda) kondisi pendidikan Islam di Indonesia mengalami banyak kendala sehingga mengalami kemunduran yang luar biasa. Sejak zaman VOC, kedatangan Belanada ke Indonesia sudah bermotif Ekonomi, Politik, dan Agama.
Pondok Pesantren, Masjid, Mushalla dianggap tidak membantu Belanda.
Pesantren dianggap tidak berguna dan rendah sehingga disebut sekolah desa. Pada
tahun 1882 M, Pemerintah Belanda membentuk satu badan khusus yang di beri nama
Priesterraden. Badan ini bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan
Islam pribumi. Atas nasehat badan inilah maka pada tahaun 1905 pemerintah
belanada mengeluarkan peraturan yang isinya orang yang memberikan pengajian
harus mintak izin lebih dahulu. Pada tahun 1925, belanda mengeluarka peraturan
yang lebih keta lagi bahwa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pelajaran
mengaji. Pada tahun 1932 muncul lagi peraturan yang akan memberantas dan
menutup madrasah atau sekolah yang tidak punya izin atau memeberikan pelajaran
yang tidak disukai ole pemerintah .
Wajah pendidikan Islam pada fase penjajahan Jepang mengalami sedikit kebaikan dibading pada zaman belanda walaupun secara umum terbengkalai karena murid-murid sekolah hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekrja bakti, bernyanyi dan lain sebagainya. Yang masih agak beruntung adalah mdrsah-mdrsah yang berada di pondok pesantren yuang bebas dari pengawasan langsung pemerintah jepang. Dalam rangka mencari simpati dan dukungan rakyat Indonsia, jepang memberi beberapa kebaikan terhadap pendidikan Islam, antara lain sebagaiberikut:
Wajah pendidikan Islam pada fase penjajahan Jepang mengalami sedikit kebaikan dibading pada zaman belanda walaupun secara umum terbengkalai karena murid-murid sekolah hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekrja bakti, bernyanyi dan lain sebagainya. Yang masih agak beruntung adalah mdrsah-mdrsah yang berada di pondok pesantren yuang bebas dari pengawasan langsung pemerintah jepang. Dalam rangka mencari simpati dan dukungan rakyat Indonsia, jepang memberi beberapa kebaikan terhadap pendidikan Islam, antara lain sebagaiberikut:
a.
Pondok pesantren yang besar sering mendapat kunjungan dan
bantuan dari pembesar-pembesar Jepang
b.
Sekolah negeri diberi pelajaran Budi Pekerti yang isinya Identik
dengan ajaran Agama
c.
Memberikan izin pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang
dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim (Menteri Agama), Kahjar Muzakir, dan Bung
Hatta[9]
Awal fase Indonesia merdeka ditandai dengan Proklamasi pada tanggal
17 Agustsus 1945. Pada awal masa ini kondisi Indonesia masih belum stabil, akan
tetapi perhatian pemerintah terhadap pendidikan Islam cukup besar. Pendidikan
agama saat itu secara formil institusiomal dipercayakan kepada Departemen Agama
dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan Agama Islam secara umum
mulai diatur pada bulan Desember 1946 melalalui suarat keputusan bersama
dua Menteri, yaitu menteri Agama dan menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang
menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV sampai Kelas VI SR
(Sekolah Rakyat)[10]
Pada fase pembangunan atau zaman Orde Baru, kehidupan sosial, agama, dan politik diIndonsia mengalami kemajuan yang cukup baik. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah tentang pendidikan Islam yang semakin mantap. Pemerintah Orde Baru betekad sepenuhnya untuk kembali kepada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni. Pemerintah dan rakyat akan membangaun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, yakni membangaun bidang jasamani dan rohani. Pendidikan agama makin memperoleh tempat yang kokoh dalam struktur organisasi pemerintahan dan masyarakat. Dalam sidang-sidang MPR yang menyususn GBHN pada tahun 1973-1978 dan 1983 selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri maupun swasta di semua jenjang pendidikan[11].
Pada fase pembangunan atau zaman Orde Baru, kehidupan sosial, agama, dan politik diIndonsia mengalami kemajuan yang cukup baik. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah tentang pendidikan Islam yang semakin mantap. Pemerintah Orde Baru betekad sepenuhnya untuk kembali kepada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni. Pemerintah dan rakyat akan membangaun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, yakni membangaun bidang jasamani dan rohani. Pendidikan agama makin memperoleh tempat yang kokoh dalam struktur organisasi pemerintahan dan masyarakat. Dalam sidang-sidang MPR yang menyususn GBHN pada tahun 1973-1978 dan 1983 selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri maupun swasta di semua jenjang pendidikan[11].
B.
Institusi-Pendidikan-Islam-di-Indonesia.
Indonesia sebagai negara yang majemuk, kaya dengan keaneka ragaman suku, budaya, bahasa, dan adat istiadatnya memiliki berbagai bentuk Institusi Pendidikan. Sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Instutusi Pendidikan dikelompokkan menjadi tiga Kelomok, yaitu Pendidikan Islam Formal, Pendidikan Islam Non-Formal, dan Pendidikan Islam In-Formal.
Indonesia sebagai negara yang majemuk, kaya dengan keaneka ragaman suku, budaya, bahasa, dan adat istiadatnya memiliki berbagai bentuk Institusi Pendidikan. Sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Instutusi Pendidikan dikelompokkan menjadi tiga Kelomok, yaitu Pendidikan Islam Formal, Pendidikan Islam Non-Formal, dan Pendidikan Islam In-Formal.
1.
Pendidika -Formal
Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan dengan jelas bahwa “Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.[12] Abu Ahmad dan Nur Uhbiyato memberi pengertian tentang lembaga penddikan sekolah, yaitu bila dalam pendidikan tersebut diadakan ditempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjnagan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi.[13]
Haidar Nawawi mengelompokkan lembaga pendidikan sekolah kepada lembaga pendidikan yang kegiatan pendidikannya diselenggarakan secara sengaja, berencana, sistematis dalam rangka membantu anak dalam mengembangkan potensinya agar mampu menjlanakn tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.[14]
Di Indonesia yang termasuk kategori lembaga pendidikan formal adalah sebagai berikut:
Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan dengan jelas bahwa “Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.[12] Abu Ahmad dan Nur Uhbiyato memberi pengertian tentang lembaga penddikan sekolah, yaitu bila dalam pendidikan tersebut diadakan ditempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjnagan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi.[13]
Haidar Nawawi mengelompokkan lembaga pendidikan sekolah kepada lembaga pendidikan yang kegiatan pendidikannya diselenggarakan secara sengaja, berencana, sistematis dalam rangka membantu anak dalam mengembangkan potensinya agar mampu menjlanakn tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.[14]
Di Indonesia yang termasuk kategori lembaga pendidikan formal adalah sebagai berikut:
a.
Raudhatul Athfal (RA) atau Bustanul Athfal, atau nama lain sesuai
dengan pendiriannya
b.
Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Dasar Islam (SDI)
c.
Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI),
atau nama lain yang setingkat dengan lembaga ini
d.
Madrasah Aliyah (MA) atau Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) atau
nama lain yang setingkat dengan lembaga ini
e.
Perguruan Tinggi Islam antara lain adalah sekolah Tinggi Agama
Islam (STAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Universitas Islam Negeri
(UIN) atau lembaga sejenis milik Yayasan atau organisasi keIslaman
2.
Pendidikan-Non-Formal.
Sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan, Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang[15]. Ramayulis mengartikan pendidikan Non-Formal adalah lembaga pendidikan yang teratur namun tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat.[16] Denagn kata lain dapat dipahami bahwa penidikan Islam non-formal adalah pendidikan yang diselengggrakan oleh masyarakat dengan tanpa mengikuti peraturan yang baku dari-pemerintah.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tertuang dalam PP No. 55 tahun 2007 mengatur tentang pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada jenjang pendidikan formal, nonformal, dan informal. Di dalam PP No. 55 tahun 2007 menyebut majelis taklim, pengajian kitab, pendidikan Alquran dan diniyah taklimiyah sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam.
Beberapa diantara pendidikan Islam yang tidak formal diselenggrakan oleh masyarakat dan masih tetap eksis hingga sekarang adalah sebagai berikut :
Sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan, Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang[15]. Ramayulis mengartikan pendidikan Non-Formal adalah lembaga pendidikan yang teratur namun tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat.[16] Denagn kata lain dapat dipahami bahwa penidikan Islam non-formal adalah pendidikan yang diselengggrakan oleh masyarakat dengan tanpa mengikuti peraturan yang baku dari-pemerintah.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tertuang dalam PP No. 55 tahun 2007 mengatur tentang pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada jenjang pendidikan formal, nonformal, dan informal. Di dalam PP No. 55 tahun 2007 menyebut majelis taklim, pengajian kitab, pendidikan Alquran dan diniyah taklimiyah sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam.
Beberapa diantara pendidikan Islam yang tidak formal diselenggrakan oleh masyarakat dan masih tetap eksis hingga sekarang adalah sebagai berikut :
a.
Masjid, Mushalla, Langgar, Surau dan Rangkang
b.
Madrasah-Diniyah
c.
Majlis Ta’lim, TPQ, Taman Pendidikan Seni al-Qur’an, Jama’ah wirid
d.
Kursus-kursus-KeIslaman
e.
Badan-badan-Pembinaan-Rohani
f.
Badan-Badan-Konsultasi-keagamaan
3.
Pendiidkan islam informal.
Pendidikan
informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.[17]. Keluarga sebagai
unit terkecil dalam masyarakat adalah sekelompok orang yang memiliki pola-pola
kepentingan masing-masing dalam mendidik anak yang belum ada di
lingkungannya[18]. Pengertian ini berarti menegakkan bahwa yang masuk adalam
ketagori pendidi Islam in formal adalah pendidika Islam yang diberikan oleh
orang tua kepada keluarganya dan juga pendidikan Islam dilingkunangan
masyarakat seperti majlis ta’lim yang ada di masjid-masjid atau mushola.
Praktek pendidikan Islam informal tidak terikat dengan penjenjangan, waktu, atau muatan kuirkulumnya. Pendidikan berjalan secara alami dan materi pendidikannya bersiafat kondisonal dan sesuai dengan kebutuhan tanpa ada program waktu dan evaluasi.
Praktek pendidikan Islam informal tidak terikat dengan penjenjangan, waktu, atau muatan kuirkulumnya. Pendidikan berjalan secara alami dan materi pendidikannya bersiafat kondisonal dan sesuai dengan kebutuhan tanpa ada program waktu dan evaluasi.
C.
Lembaga-Pendidikan-Islam.
Secara etimologi, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan untuk mengadakan suatu penelitian keilmuan atau melakukann suatu usaha.[19] Istilah lembaga pendidikan Islam, secara terminologi ada banyak pendapat yang menjelaskan pengertiannya. Ada yang memaknai lembaga pendidikan Islam secara fisik dan ada yang mengartikannya secara abstrak. Sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr Ramayulis, Hasan Langgulung menjelaskan bahwa lembaga pendidikan adalah suatau sistem peratuaran yang bersifat mujarrad suatu konsepsi yang terdiri dari Kode-kode, Norma-norma, Ideologi-ideologi dan sebagainya, baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik.[20] Pendapat Hasan Langgulung inilah pendapat yang mencakup keduanya (Fisik dan Non-fisik) dan cukup menggambarakan tentang realitas lembaga pendidikan Islam di Indonesia
Ada berbagai bentuk lembaga pendidikan Islam di Indonesia, antara lain adalah pondok pesantren dengan berbagai variannya, sekolah Islam atau Madrasah dengan berbagai jenjang dan modelnya, dan perguruan tinggi dengan berbagai program studinya.
Secara etimologi, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan untuk mengadakan suatu penelitian keilmuan atau melakukann suatu usaha.[19] Istilah lembaga pendidikan Islam, secara terminologi ada banyak pendapat yang menjelaskan pengertiannya. Ada yang memaknai lembaga pendidikan Islam secara fisik dan ada yang mengartikannya secara abstrak. Sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr Ramayulis, Hasan Langgulung menjelaskan bahwa lembaga pendidikan adalah suatau sistem peratuaran yang bersifat mujarrad suatu konsepsi yang terdiri dari Kode-kode, Norma-norma, Ideologi-ideologi dan sebagainya, baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik.[20] Pendapat Hasan Langgulung inilah pendapat yang mencakup keduanya (Fisik dan Non-fisik) dan cukup menggambarakan tentang realitas lembaga pendidikan Islam di Indonesia
Ada berbagai bentuk lembaga pendidikan Islam di Indonesia, antara lain adalah pondok pesantren dengan berbagai variannya, sekolah Islam atau Madrasah dengan berbagai jenjang dan modelnya, dan perguruan tinggi dengan berbagai program studinya.
1.
Pondok-Pesantren.
Pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam yang pertama di Indonesia. Berdasarkan Pendataan DEPAG pada tahun 1984-1985, pondok pesantren tertua di Indonesia adalah pondok pesantren Jan Tampes II berdiri pada tahun 1062 di Pamekasan Madura[21]. Sekalipun kebenarannya masih diragukan tapi pesantren merupakn lembaga pendidikan Islam Tertua di Indonesia.
Istilah pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu kata Pondok mungkin berasal dari bahasa arab “Funduq” yang berarti Hotel Atau Asrama[22].
Pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam yang pertama di Indonesia. Berdasarkan Pendataan DEPAG pada tahun 1984-1985, pondok pesantren tertua di Indonesia adalah pondok pesantren Jan Tampes II berdiri pada tahun 1062 di Pamekasan Madura[21]. Sekalipun kebenarannya masih diragukan tapi pesantren merupakn lembaga pendidikan Islam Tertua di Indonesia.
Istilah pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu kata Pondok mungkin berasal dari bahasa arab “Funduq” yang berarti Hotel Atau Asrama[22].
Sedangakan
Pesantren menurut Mastuhu adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk
mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan najaran Islam
dengan menekankan oentingnay moral keagamaan sebagai pedoman perilaku
sehari-hari[23]
Pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam yang pertama di Indonesia.
Pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam yang pertama di Indonesia.
Keberadaan
Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, telah
tumbuh dan berkembang sejak masa penyiaran Islam dan telah banyak berperan
dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat. Sejarah perkembangan Pondok Pesantren
menunjukkan bahwa lembaga ini tetap eksis dan konsisten menjalankan fungsinya
sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) sehingga dari
pesantren lahir kader ulama, guru agama, mubaligh, tokoh politik dan lain-lain
yang dibutuhkan masyarakat.
Pada sejarah berdirinya pesantren, awalnya pesantren didirikan dengan misi khusus, yaitu:
Pada sejarah berdirinya pesantren, awalnya pesantren didirikan dengan misi khusus, yaitu:
a.
sebagai wahana kaderisasi ulama’ yang nantinya diharapkan mampu
menyebarkan agama di tengah-tengah masyarakat;
b.
membentuk jiwa santri yang memiliki kualifikasi moral dan religius;
c.
menanamkan kesadaran holistik bahwa belajar merupakan kewajiban dan
pengabdian kepada tuhan, bukan hanya untuk meraih prestasi kehidupan dunia.[24]
Kemampuan pesantren untuk tetap survive hingga kini tentu merupakan kebanggaan
tersendiri bagi umat Islam, terutama kalangan pesantren.
Hal ini sangat beralasan, sebab ditengah derasnya arus modern
dan globalisasi, dunia pesantren masih konsis dengan kitab kuning[25] dan
konsep pendidikan yang mungkin oleh sebagian orang dianggap tradisional. Begitu
pula dengan pelajaran kitab-kitab kuning (klasik) merupakan salah satu elemen
dasar dari tradisi pesantren. Seluruh sisi kehidupan pesantren bersifat
religius-teosentris yang merujuk kepada al-Qur’an dan Hadis, sehingga semua
aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan.
Seiring dengan perkembangan zaman dan cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arus informasi global, pendidikan di pondok pesantren juga mengalami perubahan dalam rangka penyesuaian, khususnya menyangkut kurikulum dan metode serta teknik pembelajarannya. Aktifitas belajar bukan hanya diposisikan sebagai media (alat), tetapi sekaligus sebagai tujuan, karena itu proses belajar mengajar di pesantren sering tidak mengalami dinamika dan tidak mempertimbangkan waktu, strategi, dan metode yang lebih kontekstual dengan perkembangan zaman[26]. Padahal, seiring dengan pergeseran zaman santri membutuhkan formalitas, sebut saja Ijazah serta penguasaan bidang keahlian lain yang dapat mengantarnya agar mampu menjalani kehidupan. Di era modern, santri tidak cukup hanya berbekal nilai dan norma moral saja, tapi perlu pula dilengkapi dengan keahlian yang relevan dengan dunia kerjamodern.
Hal demikian inilah yang kemudian mengharuskan pendidikan di Pondok Pesantren mengalami perubahan dan pengembangan khususnya kurikulum dan metode pembelajarannya. Sejak tahun 1970-an bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pesantren sudah sangat bervariasi. Bentuk-bentuk pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe, yakni:
Seiring dengan perkembangan zaman dan cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arus informasi global, pendidikan di pondok pesantren juga mengalami perubahan dalam rangka penyesuaian, khususnya menyangkut kurikulum dan metode serta teknik pembelajarannya. Aktifitas belajar bukan hanya diposisikan sebagai media (alat), tetapi sekaligus sebagai tujuan, karena itu proses belajar mengajar di pesantren sering tidak mengalami dinamika dan tidak mempertimbangkan waktu, strategi, dan metode yang lebih kontekstual dengan perkembangan zaman[26]. Padahal, seiring dengan pergeseran zaman santri membutuhkan formalitas, sebut saja Ijazah serta penguasaan bidang keahlian lain yang dapat mengantarnya agar mampu menjalani kehidupan. Di era modern, santri tidak cukup hanya berbekal nilai dan norma moral saja, tapi perlu pula dilengkapi dengan keahlian yang relevan dengan dunia kerjamodern.
Hal demikian inilah yang kemudian mengharuskan pendidikan di Pondok Pesantren mengalami perubahan dan pengembangan khususnya kurikulum dan metode pembelajarannya. Sejak tahun 1970-an bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pesantren sudah sangat bervariasi. Bentuk-bentuk pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe, yakni:
a.
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan
kurikulum nasional, baik yang hanya memilki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA. Dan
PT. Agama Islam) maupun yang juga memilki sekolah umum (SD, SMP, SMA, dan PT
Umum).
b.
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk
madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum
nasional.
c.
Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk
madrsah diniyah.
d.
Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian.[27]
Pesantren jenis yang ketiga dan keempat ini masih mempertahankan pola pendidikan khas pesantren yang telah lama berlaku di pesantren, baik kurikulum atau metode pembelajarannya, sehingga disebut Pondok Pesantren Salafiyah. Berbeda dengan Pondok pesantren jenis pertama, Pesantren ini tidak menggunakan kurikulum pemerintah dan hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dengan mengkaji kitab-kitab klasik atau yang disebut kitab Kuning.
Pesantren jenis yang ketiga dan keempat ini masih mempertahankan pola pendidikan khas pesantren yang telah lama berlaku di pesantren, baik kurikulum atau metode pembelajarannya, sehingga disebut Pondok Pesantren Salafiyah. Berbeda dengan Pondok pesantren jenis pertama, Pesantren ini tidak menggunakan kurikulum pemerintah dan hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dengan mengkaji kitab-kitab klasik atau yang disebut kitab Kuning.
Metode pembelajarannya pun menggunakan metode khas pesantren
tradisional yaitu sorogan, bandongan dan halaqoh.[28] Kebanyakan santrinya
belum mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dasar, sehingga
keluaran/lulusan Pesantren Salafiyah tersebut tidak mendapatkan Surat Tanda
Tamat Belajar (STTB) atau Ijazah sebagaimana lulusan pendidikan formal yang
dapat digunakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau
untuk memenuhi tuntutan pekerjaan.
Berdasarkan Pendataan pada tahun 2011/2012 Jumlah pondok pesantren di Indoensia mencapai 27.230 pondok pesantren yang tersebar di sekuruh Indonesia Populasi Pondok Pesantren terbesar berada di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten yang berjumlah 78,60% dari jumlah seluruh Pondok Pesantren di Indonesia. Dengan rincian Jawa Barat 7.624 (28,00%), Jawa Timur 6.003 (22,05%), Jawa Tengah 4.276 (15,70%), dan Banten 3.500 (12,85%). Dari seluruh Pondok Pesantren yang ada, berdasarkan tipologi Pondok Pesantren, terdapat sebanyak 14.459 (53,10%) Pondok Pesantren Salafiyah, dan 7.727 (28,38%) Khalafiyah/Ashriyah, serta 5.044 (18,52%) sebagai Pondok Pesantren Kombinasi[29]
Berdasarkan Pendataan pada tahun 2011/2012 Jumlah pondok pesantren di Indoensia mencapai 27.230 pondok pesantren yang tersebar di sekuruh Indonesia Populasi Pondok Pesantren terbesar berada di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten yang berjumlah 78,60% dari jumlah seluruh Pondok Pesantren di Indonesia. Dengan rincian Jawa Barat 7.624 (28,00%), Jawa Timur 6.003 (22,05%), Jawa Tengah 4.276 (15,70%), dan Banten 3.500 (12,85%). Dari seluruh Pondok Pesantren yang ada, berdasarkan tipologi Pondok Pesantren, terdapat sebanyak 14.459 (53,10%) Pondok Pesantren Salafiyah, dan 7.727 (28,38%) Khalafiyah/Ashriyah, serta 5.044 (18,52%) sebagai Pondok Pesantren Kombinasi[29]
2.
Sekolah islam.
Sekolah Islam
merupakan bentuk dari modernisasi pendidikan Islam. Awal munculnya Sekolah
Islam berawal dari adanya sekelompok masyarakat yang berlatar belakang agama
yang mempuntai gagasan membuka sekolah dengan sistem “sekolah belanda” dengan
tambahan pelajaran Agama. Pemrakarsa Utama dalam modernisasi Pendidikan Islam
adalah organisasi mordernis Islam seperti Jami’at Khair, Al-Irsyad, dan
Muhammadiyah.[30]
Dalam perkembangannya, pendirian pendidikan Islam ini menjadi inspirasi bagi hampir semua organisasi pergerakan Islam seperti Nahdlotul Ulama’ (NU) dengan Pendidikan Maarif tahun 1926 di Jawa timur, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Al-Washliyah, Matalaul Anwar, dan Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti) dengan corak dan ciri khas masing-masing. Sekolah yang mereka dirikan merupakan sekolah umum dengan memasukkan pengajarah Agama dan menambahkan nama Islam di belakangnya sehingga menjadi SD Islam, SMP Islam, dan SMA Islam. Selain itu, ada yang menggunakan nama organisasi penyelenggara seperti SD Muhammadiyah, SMP Maarif NU, SMA Al-Irsyad. Ada pula yang menggunakan perlambang berbahasa Arab, misalnya SD Al-Falah, SMP Futuhiyah. Dan belakngan ini muncul nama SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) SMPIT (Sekolah Menengah Pertama Islam terpadu).[31] Belakangan ini muncul sekolah Islam dengan model fullday atau Boarding Scholl.
Perkembangan Sekolah Islam saat ini mendapat Animo dari masyarakat yang cukup besar. Hal ini terjadi sebagai imbas dari kekurangan yang ada pada Madrasah atau Sekolah. Banyak masyarakat menilai bahwa pendidikan di madrasah kurang profesioanl dalam biadang materi umum sehingga tertinggal dengan sekolah, sementara sekolah umum kurang dalam memberikan layanan pendidikan Agama. Sekolah Islam muncul sebagai alterntif bagi masyarakat yang ingin mendapatkan pendidikan Agama yang baik dan pendidikan umum yang profesional.
Dalam perkembangannya, pendirian pendidikan Islam ini menjadi inspirasi bagi hampir semua organisasi pergerakan Islam seperti Nahdlotul Ulama’ (NU) dengan Pendidikan Maarif tahun 1926 di Jawa timur, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Al-Washliyah, Matalaul Anwar, dan Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti) dengan corak dan ciri khas masing-masing. Sekolah yang mereka dirikan merupakan sekolah umum dengan memasukkan pengajarah Agama dan menambahkan nama Islam di belakangnya sehingga menjadi SD Islam, SMP Islam, dan SMA Islam. Selain itu, ada yang menggunakan nama organisasi penyelenggara seperti SD Muhammadiyah, SMP Maarif NU, SMA Al-Irsyad. Ada pula yang menggunakan perlambang berbahasa Arab, misalnya SD Al-Falah, SMP Futuhiyah. Dan belakngan ini muncul nama SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) SMPIT (Sekolah Menengah Pertama Islam terpadu).[31] Belakangan ini muncul sekolah Islam dengan model fullday atau Boarding Scholl.
Perkembangan Sekolah Islam saat ini mendapat Animo dari masyarakat yang cukup besar. Hal ini terjadi sebagai imbas dari kekurangan yang ada pada Madrasah atau Sekolah. Banyak masyarakat menilai bahwa pendidikan di madrasah kurang profesioanl dalam biadang materi umum sehingga tertinggal dengan sekolah, sementara sekolah umum kurang dalam memberikan layanan pendidikan Agama. Sekolah Islam muncul sebagai alterntif bagi masyarakat yang ingin mendapatkan pendidikan Agama yang baik dan pendidikan umum yang profesional.
3.
Perguruan tinggi islam.
Pendirian
lembaga pendidikan tinggi Islam sudah dirintis sejak zaman pemerintahan Hindia
Belanda, dimana Dr. Satiman Wirjosandjoyo pernah mengemukakan pentingnya
keberadaan lembaga pendidikan tinggi Islam untuk mengangkat harga diri kaum
muslim di Hindia Belanda yang terjajah itu. Bagi Indonesia, kebutuhan Pendidikan
tinggi Islam sudah sanagat mendesak untuk mendidik tenaga ahli dalam bidang
Ilmu agama Islam dan sebagai pusat pengembanagan intelektualisme agama Islam.
Keinginan tersebut berhasil direalisasi di Minangkabau dengan didirikannya
sekolah Tinggi oleh persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Padang yang
diresmikan pada tanggal 9 Desember 1940[32].
Sekolah Tinggi
Islam ini merupakan Sekolah Tinggi Islam yang pertama kali berdiri di Indonesia
dan menjadi cikal bakal Sekolah Tinggi Islam yang lain baik negeri-maupun-swasta.
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasioanl pasal 19 ayat 1 menyatakan “Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi”. dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan perguruan tinggi Islam adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah (SMA/MA) yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang berciri khas Islam.
Saat ini Pendidikan Tiggi Islam (PTI) di Indonesia baik yang negeri maupun yang swasta terus berkembang dengan berbagai program studi dan jurusan. Saat ini Pergurun Tinggi Islam Swasta se-Indonesia berjumlah 272 lembaga sementara Perguruan Tinggi Islam Negeri berjumlah 52.
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasioanl pasal 19 ayat 1 menyatakan “Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi”. dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan perguruan tinggi Islam adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah (SMA/MA) yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang berciri khas Islam.
Saat ini Pendidikan Tiggi Islam (PTI) di Indonesia baik yang negeri maupun yang swasta terus berkembang dengan berbagai program studi dan jurusan. Saat ini Pergurun Tinggi Islam Swasta se-Indonesia berjumlah 272 lembaga sementara Perguruan Tinggi Islam Negeri berjumlah 52.
D.
Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam di Indonesia
Sistem adalah suatu gagasan atau prinsip yang bertauatan yang tergabung menjadi suatu keseluruhan[33]. Dengan demikian Sistem pendidikan bisa difahami sebagai himpunan gagasan atau prinsip-prinsip pendidikan yang saling bertauatan yang tergabung menjadi suatu keseluruhan[34].
Dalam mengkaji sistem pendidikan dalam suatu negara tidak terlepas dari falasafah suatu bangsa tersebut. Ketika negar-negara barat mempunya falsafah hidup rasionalis, materialis, dan pragmatis maka sistem pendidiksan yang dibuat oleh barat tentu bercorak rasionalis, pragmatis, dan materialis. Falsafah bangsa Indonesia adalah Pancasila. Dengan demikian maka sistem pendidikan Nasional Indonesia (Pendidikan Islam) bercorak khusus Indonesia yang tidak ditemui pada sistem pendidikan lainnya. Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[35]
Penyelenggaraan Sistem Pendidikan di Indonesia sudah diatur dengan jelas di dalam Undang-Undang SISDIKNAS kemudian dijabarkan ke dalam Peratuaran Pemerintah lalu dioprasionalkan dalam Peratuaran Meneteri. Pendidikan Islam merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Islam sehingga sistemnye mengikuti Sistem Pendidikan Nasional.
Sistem adalah suatu gagasan atau prinsip yang bertauatan yang tergabung menjadi suatu keseluruhan[33]. Dengan demikian Sistem pendidikan bisa difahami sebagai himpunan gagasan atau prinsip-prinsip pendidikan yang saling bertauatan yang tergabung menjadi suatu keseluruhan[34].
Dalam mengkaji sistem pendidikan dalam suatu negara tidak terlepas dari falasafah suatu bangsa tersebut. Ketika negar-negara barat mempunya falsafah hidup rasionalis, materialis, dan pragmatis maka sistem pendidiksan yang dibuat oleh barat tentu bercorak rasionalis, pragmatis, dan materialis. Falsafah bangsa Indonesia adalah Pancasila. Dengan demikian maka sistem pendidikan Nasional Indonesia (Pendidikan Islam) bercorak khusus Indonesia yang tidak ditemui pada sistem pendidikan lainnya. Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[35]
Penyelenggaraan Sistem Pendidikan di Indonesia sudah diatur dengan jelas di dalam Undang-Undang SISDIKNAS kemudian dijabarkan ke dalam Peratuaran Pemerintah lalu dioprasionalkan dalam Peratuaran Meneteri. Pendidikan Islam merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Islam sehingga sistemnye mengikuti Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan
keagamaan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No: 55 Tahun 2007
tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Bab I, Pasal 1, Ayat 2
berbunyi, “pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta
didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan
tentang ajaran agama dan / atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran
agamanya”.
Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam In-Formal dan Non-formal memang disebut dalam Peratuarn Pemerintah akan tetapi dalam pelaksaannya berjalan secara alami tanpa terikat dengan peraturan yang baku dan diselenggrakan sesuai dengan situasi, kondisi dan tujuan penyelenggaraannya.
Adapun sistem penyelenggaran pendidkan Islam formal di Indonesia sebagai bagian dari pendidikan nasionaltentu tidak terlepas dari Sistem Pendidikan Nasional. Penyelenggaraan Pendidikan Islam mengacu pada delapan Standar pendidikan nasional yang sudah ditetapkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32. tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5410)
Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam In-Formal dan Non-formal memang disebut dalam Peratuarn Pemerintah akan tetapi dalam pelaksaannya berjalan secara alami tanpa terikat dengan peraturan yang baku dan diselenggrakan sesuai dengan situasi, kondisi dan tujuan penyelenggaraannya.
Adapun sistem penyelenggaran pendidkan Islam formal di Indonesia sebagai bagian dari pendidikan nasionaltentu tidak terlepas dari Sistem Pendidikan Nasional. Penyelenggaraan Pendidikan Islam mengacu pada delapan Standar pendidikan nasional yang sudah ditetapkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32. tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5410)
1.
Tujuan-Pendidikan-Islam.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Tujuan Pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional maka tujuan pendidikannya sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan Pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, pemerintah telah menetapkan profil kualifikasi kemampuan lulusan yang dituangkan dalam standar kompetensi lulusan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Tujuan Pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional maka tujuan pendidikannya sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan Pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, pemerintah telah menetapkan profil kualifikasi kemampuan lulusan yang dituangkan dalam standar kompetensi lulusan.
E.
Proses-Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar[38] Proses Pembelajaran pada satuan pendidikan Islam diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Untuk itu setiap satuan pendidikan Islam harus melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi maka prinsip pembelajaran yang digunakan:
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar[38] Proses Pembelajaran pada satuan pendidikan Islam diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Untuk itu setiap satuan pendidikan Islam harus melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi maka prinsip pembelajaran yang digunakan:
a.
dari pesertadidik diberi tahu menuju pesertadidik mencari tahu;
b.
dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar
berbasis aneka sumber belajar;
c.
dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan
pendekatan ilmiah;
d.
dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis
kompetensi;
e.
dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu;
f.
dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju
pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi;
g.
dari pembelajaran verbalisme menuju keterampilan aplikatif;
h.
peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal
(hardskills) dan keterampilan mental (softskills);
i.
pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta
didik sebagai pembelajar sepanjang hayat;
j.
pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi
keteladanan(ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun
karso), dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut
wuri handayani);
k.
pembelajaranyang berlangsung di rumah, di sekolah, dan di
masyarakat;
l.
pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru,
siapa saja adalah siswa, dan di mana saja adalah kelas.
m.
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pembelajaran; dan
n.
Pengakuan atas perbedaan individualdan latar belakang budaya
peserta didik[39]
Sasaran pembelajaran mencakup engembangan ranah sikap, pengetahuan,
dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Ketiga ranah
kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis) yang
berbeda. Sikap diperoleh melalui aktivitas“ menerima, menjalankan, menghargai,
menghayati, dan mengamalkan”. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas“
mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, mencipta.
Keterampilan diperoleh melaluiaktivitas“ mengamati, menanya, mencoba, menalar,
menyaji, dan mencipta”. Karaktersitik kompetensi beserta perbedaan lintasan
perolehan turut serta mempengaruhi karakteristik standar proses. Untuk
memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antar mata
pelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan
pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning).
Untuk mendorong kemampuan peserta didik untuk menghasilkan karya kontekstual,
baik individual maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan pendekatan
pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah(project based
learning).[40]
F.
Pembiayaan.
Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, Pemerintah Indonesia telah menetapkan anggran 20 % dari APBN untuk pendidikan. Sehingga ada bantuan bagi sekolah berupa BOS, BSM, Blok Grand, DAK dan laian-lain. Pendanaan Pendidikan Islam formal menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat. UU Sisdikna Mengamanatkan “
Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, Pemerintah Indonesia telah menetapkan anggran 20 % dari APBN untuk pendidikan. Sehingga ada bantuan bagi sekolah berupa BOS, BSM, Blok Grand, DAK dan laian-lain. Pendanaan Pendidikan Islam formal menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat. UU Sisdikna Mengamanatkan “
a.
Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
b.
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan
anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[41].
G.
Penilaian
Evaluasi merupakan bagian yang cukup penting dalam pendidikan Islam. Baik mulai dari tingkat dasar samapai tingkat tinggi. untuk penilaian lembaga pendidikan formal tidak MI/MTs/MA/yang sederajat telah diatur dalam Permendikbud No. 66 tahun 2013 tentang Standar Penilaian
Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup: penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah/madrasah[42].
Ruang lingkup Penilaian hasil belajar peserta didik mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan secara berimbang sehingga dapat digunakan untuk menentukan posisi relatif setiap peserta didik terhadap standar yang telah ditetapkan. Cakupan penilaian merujuk pada ruang lingkup materi, kompetensi mata pelajaran/kompetensi muatan/kompetensi program, dan proses[43].
Mekanisme penilaian mulai jenjang Sekolah Dasar sampai Menengah diatur sebagai berikut:
Evaluasi merupakan bagian yang cukup penting dalam pendidikan Islam. Baik mulai dari tingkat dasar samapai tingkat tinggi. untuk penilaian lembaga pendidikan formal tidak MI/MTs/MA/yang sederajat telah diatur dalam Permendikbud No. 66 tahun 2013 tentang Standar Penilaian
Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup: penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah/madrasah[42].
Ruang lingkup Penilaian hasil belajar peserta didik mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan secara berimbang sehingga dapat digunakan untuk menentukan posisi relatif setiap peserta didik terhadap standar yang telah ditetapkan. Cakupan penilaian merujuk pada ruang lingkup materi, kompetensi mata pelajaran/kompetensi muatan/kompetensi program, dan proses[43].
Mekanisme penilaian mulai jenjang Sekolah Dasar sampai Menengah diatur sebagai berikut:
a.
Penilaian otentik dilakukan oleh guru secara berkelanjutan.
b.
Penilaian diri dilakukan oleh peserta didik untuk tiap kali sebelum
ulangan harian.
c.
Penilaian projek dilakukan oleh pendidik untuk tiap akhir bab atau
tema pelajaran.
d.
Ulangan harian dilakukan oleh pendidik terintegrasi dengan proses
pembelajaran dalam bentuk ulangan atau penugasan.
e.
Ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester, dilakukan oleh
pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan.
f.
Ujian tingkat kompetensi dilakukan oleh satuan pendidikan pada
akhir kelas II (tingkat 1), kelas IV (tingkat 2), kelas VIII (tingkat 4), dan
kelas XI (tingkat 5), dengan menggunakan kisi-kisi yang disusun oleh
Pemerintah. Ujian tingkat kompetensi pada akhir kelas VI (tingkat 3), kelas IX
(tingkat 4A), dan kelas XII (tingkat 6) dilakukan melalui UN.
g.
Ujian Mutu Tingkat Kompetensi dilakukan dengan metode survei oleh
Pemerintah pada akhir kelas II (tingkat 1), kelas IV (tingkat 2), kelas VIII
(tingkat 4), dan kelas XI (tingkat 5).
h.
Ujian sekolah dilakukan oleh satuan pendidikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
i.
Ujian
Nasional dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan[44].
FOOTNOTE
[1] Zuhairini Mukhtarom, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 130
[2] Ibid,,. 7-8
[3] Ibid,,. 133
[4] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1985), 14
[5] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), 22-23
[6] Zuhairini Dkk, Sejarah Pendidikan Islam..., 212
[7] Ibid., 136
[8] Ibid., 137-146
[9] Ibid., 150-152
[10] Ibid., 154
[11] Ibid., 155
[12] Undang-Undang NO 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 11
[13] Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam, /(jakarta: Kalam Mulia, 2006), cet VI, . 282
[14] Ibid., 282
[15] Undang-Undang NO 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat Pasal 12
[16] Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam 283
[17] Undang-Undang NO 20 tahun 2003 ... Pasal 13
[18] Ramayulis, Ilmu ..., 281
[19] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Putaka, 1990), cet iii, 572
[20] Ramayulis, Ilmu ..... 277
[21] Hasbullah , Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), 41
[22] Ibid, 40
[23] Mastuhu, Dinamika Sistem pendidikan Pesantren; Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), 55
[24] Ainur Rofiq Dawam, Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Bebasis Pesantren, (Listafariska, 2005), 6
[25] Amin Haedari dkk, Masa Depan Pesantren. (Jakarta: IRD Press, 2004), 37
[26] Muhibbuddin, “Modernisasi Manajemen Pendidikan Pesantren” Mozaik Pesantren, Edisi 02/Th.I/November 2005, 36.
[27] Amin Haedari, Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Moderen. (Jakarta: Diva Pustaka, 2004),16.
[28] M.Habib Chirzin, “Agama, Ilmu dan Pesantren” dalam M.Dawam Raharjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan. ( Jakarta: LP3ES), 87-88.
[29] Analisis dan Interpretasi Data pada Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah (Madin), Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) Tahun Pelajaran 2011-2012 pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/pontrenanalisis.pdf
[30] Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [paradigma Baru], (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), 70
[31] Ibid,,,. 71
[32] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumberwidya, 1992), 117
[33] DG Ryan, System Analisis in Educational Planning dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), cet VI, hlm. 3
[34] Imam Barnadib, Filsafa6 Pendidikan Tinjauan Beberapa Aspek dan Proses Pendidikan (Yogyakarta: Studying, 1982), hlm 19
[35] Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam, /(jakarta: Kalam Mulia, 2006), cet VI, 37
[36] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. 1
[37] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. 3
[38] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1
[39] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar Dan Menengah. 1-2
[40] Ibid,,,. 3
[41] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 46
[42] 1. Penilaian otentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), roses, dan keluaran (output) pembelajaran.
2. Penilaian diri merupakan penilaian yang dilakukan sendiri oleh peserta didik secara reflektif untuk membandingkan posisi relatifnya dengan kriteria yang telah ditetapkan.
3. Penilaian berbasis portofolio merupakan penilaian yang dilaksanakan untuk menilai keseluruhan entitas proses belajar peserta didik termasuk penugasan perseorangan dan/atau kelompok di dalam dan/atau di luar kelas khususnya pada sikap/perilaku dan keterampilan.
4. Ulangan merupakan proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam
proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik.
5. Ulangan harian merupakan kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk menilai kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih.
6. Ulangan tengah semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan tengah semester meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan seluruh KD pada periode tersebut.
7. Ulangan akhir semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua KD pada semester tersebut.
8. Ujian Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UTK merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UTK meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut.
9. Ujian Mutu Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UMTK
merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan MTK
meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut.
10. Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN merupakan kegiatan pengukuran kompetensi tertentu yang dicapai peserta didik dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan, yang dilaksanakan secara nasional.
11. Ujian Sekolah/Madrasah merupakan kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi di luar kompetensi yang diujikan pada UN, dilakukan oleh satuan pendidikan. ( Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013Tentang Standar Penilaian Pendidikan)
[43] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013Tentang Standar Penilaian Pendidikan
[44] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013Tentang Standar Penilaian Pendidikan
FOOTNOTE
[1] Zuhairini Mukhtarom, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 130
[2] Ibid,,. 7-8
[3] Ibid,,. 133
[4] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1985), 14
[5] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), 22-23
[6] Zuhairini Dkk, Sejarah Pendidikan Islam..., 212
[7] Ibid., 136
[8] Ibid., 137-146
[9] Ibid., 150-152
[10] Ibid., 154
[11] Ibid., 155
[12] Undang-Undang NO 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 11
[13] Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam, /(jakarta: Kalam Mulia, 2006), cet VI, . 282
[14] Ibid., 282
[15] Undang-Undang NO 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat Pasal 12
[16] Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam 283
[17] Undang-Undang NO 20 tahun 2003 ... Pasal 13
[18] Ramayulis, Ilmu ..., 281
[19] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Putaka, 1990), cet iii, 572
[20] Ramayulis, Ilmu ..... 277
[21] Hasbullah , Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), 41
[22] Ibid, 40
[23] Mastuhu, Dinamika Sistem pendidikan Pesantren; Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), 55
[24] Ainur Rofiq Dawam, Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Bebasis Pesantren, (Listafariska, 2005), 6
[25] Amin Haedari dkk, Masa Depan Pesantren. (Jakarta: IRD Press, 2004), 37
[26] Muhibbuddin, “Modernisasi Manajemen Pendidikan Pesantren” Mozaik Pesantren, Edisi 02/Th.I/November 2005, 36.
[27] Amin Haedari, Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Moderen. (Jakarta: Diva Pustaka, 2004),16.
[28] M.Habib Chirzin, “Agama, Ilmu dan Pesantren” dalam M.Dawam Raharjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan. ( Jakarta: LP3ES), 87-88.
[29] Analisis dan Interpretasi Data pada Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah (Madin), Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) Tahun Pelajaran 2011-2012 pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/pontrenanalisis.pdf
[30] Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [paradigma Baru], (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), 70
[31] Ibid,,,. 71
[32] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumberwidya, 1992), 117
[33] DG Ryan, System Analisis in Educational Planning dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), cet VI, hlm. 3
[34] Imam Barnadib, Filsafa6 Pendidikan Tinjauan Beberapa Aspek dan Proses Pendidikan (Yogyakarta: Studying, 1982), hlm 19
[35] Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam, /(jakarta: Kalam Mulia, 2006), cet VI, 37
[36] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. 1
[37] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. 3
[38] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1
[39] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar Dan Menengah. 1-2
[40] Ibid,,,. 3
[41] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 46
[42] 1. Penilaian otentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), roses, dan keluaran (output) pembelajaran.
2. Penilaian diri merupakan penilaian yang dilakukan sendiri oleh peserta didik secara reflektif untuk membandingkan posisi relatifnya dengan kriteria yang telah ditetapkan.
3. Penilaian berbasis portofolio merupakan penilaian yang dilaksanakan untuk menilai keseluruhan entitas proses belajar peserta didik termasuk penugasan perseorangan dan/atau kelompok di dalam dan/atau di luar kelas khususnya pada sikap/perilaku dan keterampilan.
4. Ulangan merupakan proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam
proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik.
5. Ulangan harian merupakan kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk menilai kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih.
6. Ulangan tengah semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan tengah semester meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan seluruh KD pada periode tersebut.
7. Ulangan akhir semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua KD pada semester tersebut.
8. Ujian Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UTK merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UTK meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut.
9. Ujian Mutu Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UMTK
merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan MTK
meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut.
10. Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN merupakan kegiatan pengukuran kompetensi tertentu yang dicapai peserta didik dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan, yang dilaksanakan secara nasional.
11. Ujian Sekolah/Madrasah merupakan kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi di luar kompetensi yang diujikan pada UN, dilakukan oleh satuan pendidikan. ( Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013Tentang Standar Penilaian Pendidikan)
[43] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013Tentang Standar Penilaian Pendidikan
[44] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013Tentang Standar Penilaian Pendidikan
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.......6
SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI AGAMA
A.
Pengertian Sosiologi dan Antroplogi Agama.
1.
Pengertian Sosiologi Agama
Sosiologi
secara bahasa berasal dari bahasa latin, socius yatu : teman, kawan, berteman,
bersama, berserikat) bermaksud untuk mengerti kejadian-kejadian dalam
masyarakat yaitu persekutuan manusia, dan selanjutnya dengan pengertian itu
untuk dapat berusaha mendatangkan perbaikan dalam kehidupan bersama. Ssedangkan
pengertian sosiologi secara istilah yaitu diartikan sebagaiilmu yang
mempelajari interaksi manusia didalam masyarakat, yaiatu persekutuan manusia
yang selanjutnya berusaha untuk mendatngkan perbaikan dalam kehidupan bersama.[1]
Agama adalah
suatu sistem peraturan yang mengaturvhubungan anatara manusia dengan alam ghaib
khususnya hubungan dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia
lainnya, dan dengan alam lingkungannya.[2]Menurut pandangan Weber bidang kajaian sosiologi Agama membahas
masalah hubungan antara berbgai kepercayaan Agama dan etika praktis, persoalan
ini dalam konteks agama-agama dan peradaban-perdaban yang berbeda-beda yang
menjadi perhatian utamanya, begitu juga dengan corak masyarakat.[3]
Jadi, Sosiologi
agama adalah studi tentang fenomena social, dan memandang agama sebagai
fenomena social. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan
prinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat. Sosiologi agama
adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara
sosiologis guna mencapai keteranagn-keterangan ilmiah dan pasti, demi
kepentingn masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.[4] Sedangkan Antropologi merupakan Ilmu yang berusaha
mempelajari tentang manusia yang menyangkut agama dengan pendekatan budaya.
Metode Antropologis yaitu pendekatan kebudayaan, artinya agama dipandang
sebagai sebagiandari kebudayaan, abaik wujud ide maupun gagagsan dianggap
sebagai sistem norma dan nilai yang dimiliki oleh anggota masyarakat, yang
mengikat seluruh anggota masyarakat
2.
Pengertian Antropologi Agama.
Antropologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu anthtopos yang
berarti manusia, dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia
sebagai makhluk biologis, sekaligus makhluk sosial. Ada beberapa pengertian
antropologi, yaitu:
Menurut Koentjaningrat mengatakan bahwa antropologi adalah ilmu
yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari berbagai warna,
bentuk fisik, masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.[5]
Dan menurut David Hunter juga mengatakan bahwa antroplogi adalah
ilmu yang muncul dari keingintahuan yang tidak terbatas mengenai umat manusia.
Antropologi mengkaji tentang manusia serta budaya.Ilmu ini
bertujuan untuk memperoleh suatu pemahaman totalitas manusia sebagai makhluk.
Baikdimasalampau maupun dimasa sekarang, baik sebagai esksistensi biologis
maupun sebagai makhluk berbudaya.[6]
Antropologi adalah salah satu cabang
ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu.
Dari Pengertian diatas pemakalah menyimpulkan bahwa antropologi agama adalah
ilmu pengetahuan yang berusaha mempelajari tentang manusia yang menyangkut
agama dengan pendekatan budaya, sebagai salah satu alat studi yang akurat dalam
melihat reaksi anatar agama, budaya, dan lingkungan sekitar sebuah masyarakat.
B.
Sejarah Lahirnya dan Berkembangnya Sosiologi dan Antropologi.
1.
Sejarah Sosiologi Agama.
Perkembangan sosiologi di Indonesia tidak jauh dengan pertumbuhan
sosiologi di Negara kita yang masih dalam tahap permulaan, maka dari itu masih
terdapat kekosongan dalam sosiologi agama. Terlepas dari himbauan Mukti Ali,
beliau menganjurkan para sarjana Indonesia untuk meneliti atau melakukan
penelitian dalam bidang kehidupan agama.[7]Dua tokoh yang terkenal yaitu Emile Durkem dari prancis dan Max
Weber dari Jerman. dipandang sebagai pendiri sosiologi Agama, dan karangan
mereka digolongkan oleh para ahli sosiologi dalam bagian sosiologi umum. Dalam
agama sudah mulai tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19 oleh sejumlah sarjana
Barat seperti Edward B. Taylor (1832-1917), Hebert Spencer (1820-1903), Sir
James G. Fraser (1854-1941), tokoh-tokoh ini lebih tertarik pada agama yang
bersifat primitive, mulai saat itu hingga tahun 1950 muncullah buku-buku
sosiologi agama sering disebut dengan nama sosiologi agama klasik.
Sesudah perang Dunia II tumbuh
perkembangan baru, dalam arus sosiologi klasik muncullah satu minat yang kuat
dari sebagian ahli sosiologi yang ditujukan kepada kehidupan agama dalam
gereja, lahirlah sosiologi Gereja. Sementara itu pengertian tentang sasaran dan
lingkup sosiologi agama harus diperluas, jangan hanya dipersempit pada Gereja,
sebab pengertian agama juga menyangkut iman dan kepercayaan.
Dan gereja hanaya merupakan salah
satu bentukkepercayaan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbanagan terjadilah
perubahan dalam sosiologi Agama. Pertama, Sosiologi agama menjauhkan dari
Gereja dan kembali berpengkuan pada sosiologi umum. Kedua, Sosiologi agama
mengadakan langkah baru menuju pengetahuan yang bersifat ilmu. Tujuan para
minat sekan-akan diarahkan dalam kehidupan agama dalam gereja yang menentukan
kebijakan baru. Akan tetapi, disadari atau tidak sosiologi agama yang bercorak
gereja ini melepaskan diri dari sosiologi umum dan menentukan jalannya sendiri.[8]
2.
Sejarah Antropologi Agama.
Perhatian mnusia terhadap sikap dan
perilaku keagamaan sudah berabad-abad lamanya, yaitu sejak orang-orang
barat berkelana dan mencekerama pengruh colonialisme dan imperialismenya
didunia timur. Maka dari itlah mereka tertarik di karenakan apa yang mereka
bandingkan dengan sikap perilaku dan upacara-upacara keagamaan (Kristen) yang
mereka anut.Tanggapan kearah asal mula dari unsur-unsur universal tentang
agama, seperti mengapa manusia percaya kepada adnya kekuasaan ghaib, mengapa
pila manusia bersikap dan berperilaku dengan berbagai cara dan upacara yang
bermacam-macam dalam ia berhubungan dengan kekuasaan ghaib.Perhatian yang
demikian itu akhirnya memasuki dunia ilmiah, dalam usaha para sarjana untuk
mencri tahu tentang asal mula agama.
Para sarjana yang tertarik mengolah
lebih lanjut tentang keagamaan primitive itu lalu berpendapat bahwa agama atau
religi dan kepercayaan kuno itu adalah sisa-sisa dari bentuk agama purba yang
dianut oleh seluruh umat manusia ketika budayanya masih sederhana. Jadi,
gambaran tentang kegamaan purba dari masyarakat sederhana itu bukan saja
terdapat didunia Timur tetapi juga Eropa ketika masyarakat masih hidup
sederhana.
Jadi, yang melatar belakangi sejarah
antropogi agama adalah ketertarikan ilmuan barat mengenai sikap perilaku adat
dan keagamaan dari suku-suku bangsa sederhana yang dianggap sebagai hal-hal
yang baru dibandingkan sikap perilaku dan upacara-upacara keagamaan (Kristen)
yang mereka anut.[9]
C.
Objek Kajian dan Ruang Lingkup Sosiologi dan Antropologi
1.
Sosiologi
Fungsi sosiologi agamangsi sosiologi
agama dalam bidang teoritis dimana par ahli keagamaan memerlukan konsep-konsep
dan rensep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka sosiologi
dapat memberikan sumbangan. Terutama sosiologi agama Kristen yang ternyata
sudah lebih maju dari pada sosiologi agama diluar agama Kristen, dapat
memberikan sumbangan yang sangat berharga khususnya kepada teologi tentang
Gereja, kepada misiologi, dan tidak kurang kepada teologi pastoral, kepada
teologi pembebasan dan teologi pembangunan.[10]
Sosiologi agama menjadi displin ilmu
tersendiri sejak munculnya karya Weber dan Durkheim. Tugas dari sosiologi umum
adalah untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seluas-luasnya, maka tugas dari
sosiologi agama adalah untuk mencapai keterangan-keteranga ilmiah tentang
masyarakat agama khususnya. Masyarakat agama tidak lain ialah suatu persekutuan
hidup (baik dalam lingkup sempit maupun luas) yang unsur konstitutif utamanya
adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.
Secara umum obyek studi sosiologi
agama dibagi menjadi dua yaitu sasaran langsung ( obyek material) dan sudut
pendekatan (obyek formal) yaitu:
a.
Sasaran langsung (obyek material).
Sosiologi agama
menangani masyarakat agama sebagai sasarannya yang langsung. Masyarakat agama
adalah suatu persekutuan hidup baik dalam lingkungan sempit atau luas yang
unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan. Masyarakat
agama terdiri dari komponen-komponen konstitutif. Misalya kelompok keagamaan
atau institusi-institusi religious yang mempunyai cirri tertentu menurut
peraturan dan norma-norma yang ditentukan oleh agama. Mayarakat agama yang
seperti itu akan terus disoroti struktur dan fungsinya, pengaruhnya terhadap
masyarakat umum dan atas stratifikasi sosial khususnya. Hal itu disebabkan oleh
adanya kesadaran kelompok religious yang mempunyai sifat tersendiri, untuk
mengkaji perubahan-peerubahan yang disebabkan oleh agama, baik yang positif
maupun yang negative. Seperti kerukunan antar golongan agama dan
konflik-konflik yang sering terjadi. Bagi sosiologi, kepercayaan hanyalah salah
satu bagian kecil dan aspek agama yang menjadi perhatiannya. Menurut pandangan
sosiologi, agama yang terwujud dalam kehidupan masyarkat adalah fakta sosial.
Sebagaiman suatu fakta sosial, agama dipelajari oleh sosiolog dengan
menggunakan pendekatan ilmiah. Disiplin ilmu yang dipergunakan oleh sosiolog
dalam mempelajarai masyarakat beragama itu didebut sosiologi agama. Sosiologi
agama adalah suatu cabang ilmu yang otonomi muncul setelah abad ke-19. Pada
prinsipnya, ilmu ini sama dengan sosiologi umum, yang membedakannya adalah
objek materinya.[11]
b.
Sudut pendekatan (Obyek Formal)
Kalau ilmu ketuhanan (teologi) mempelajari agama dan masyarakat agama dari
kacamata “supra empiris” (baca menurut kehendak tuhan) maka sosiologi agama
mempelajarinya dari sudut empiris sosiologis. Dengan kata lain yang hendak
dicari dalam fenomena agama adalah dimensi sosiologisnya. Sampai berapa jauh
agama dan nilai-nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas ekstensi
dan poperasi masyarakat manusia. Sosiologi melalui pengamatan dan penelitian
mau mencari keterangan-keterangan ilmiah untuk dipergunaakan sebagai sarana
meningkatkan daya guna dan fungsi agama itu sendiri demi kepentingan masyarakat
agama yang bersangkuatan khususnya masyarakat luas umumnya.
Jika teologi mempelajari agama dan
masyarakat agama dari segi “supranatural”, maka sosiologi agama mempelajarinya
dari sudut empiris sosiologi. Adapun karakteristik dsar pendekatan sosiologi
merupakan teori sosiologi tentang watak agama serta kedudukan dan
signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong ditetapkannya serangkaian
kategori-kategori sosiologi. meliputi:
1.
Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.
a.
Kategori biososial, seperti seks,gender, perkawinan, keluarga masa
kanak-kanak, dan usia.
b.
Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis,
sistem-sistem pertukaran, dan borikrasi.
c.
Proses sosial, seperti informasi batas, relasi intergroup,
interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi.[12]
2.
Antroplogi.
Ahli antropologi dalam meneliti agama ditunjukan untuk melihat
keterkaitan faktor lingkungan alam, struktur sosial, struktur kekerabatan,
terhadap timbulnya jenis agama, kepercayaan, upacar, organisasi keagamaan
tertentu. Antropologi untuk mengkaji agama sebagai agama yang memerlukan konsep
kebudayaan, yang menerapkan konsep melalui penggunaan prinsip ilmiah tertentu.
Adapun dasarkeseluruhan gambaran pendekatan secara ilmiah mengenai agama itu
ada empat yaitu:
a) Universalitas
Berarti
tanpa mengatakan secaar langsung bahwa penghampiran antropologis itu mencakup
keseluruha agama yang kita ketahui.
b) Empirisme
Studi
agama didalam antropologi kontemporer adalah bersifat empiris, karena kuat
berkat dalam riset lapangan. Komparasi Perlu dikalangan studi agama secara
antropologi menuntut para penyelidik dituntut untuk tetap berdiri
ditengah-tengah dan tidak memihak.
Dengan prinsip-prinsip di atas, para
antropologi (meneliti dan mengkaji agama) bukan hanya mengkaji
kelompok-kelompok masyarakat tertentu, tetapi juga dalam banyak hal. Sehingga
penyelidikan agama secara atropologi bukan saja memberikan pengertian didalam
masalah agama itu sendiri, akan tetapi juga dalamberbagai macam lembaga-lembaga
budaya, dalam tingkah laku manusia dan pola interaksi serta dalam sejarah
manusia.[13]
Dalam Antropologi Agma yang menjadi
perhatian adalah beragamanya manusia dan masyarakat, antropologi tidak membahas
salah benarnya agama dan segenap perangkatnya (kepercayaan, sepiritual,dan
kepercayaan kepada yang sacral).
Poedjawijatna membagi objek antropologi agama menjadi dua yaitu
objek material dan objek formal. Objek material adalah apa yang dipelajari oleh
suatu ilmu. Jika sosiologi melihat dari sudut struktur sosialnya, sedangkan
antropologi adalah agama sebagai fenomena budaya, tidak ajaran agama yang
datanag dan Tuhan. Maka yang menjadi perhtian adalah beramnya manusia dan
masyarakat.
Setiap unsur budaya terdiri dari
tiga hal yaitu:
a.
norma, nilai, keyakinan yang ada dalam pikiran , hati dan perasaan
manusia pemilik kebudayaan tersebut;
b.
pola tingkah laku yang dapat diamati dalam kehidupan nyata;
c.
dan hasil material dari kreasi, pikirandan perasaan manusia.
Demikian juga agama, sebagai fenomena budaya, ia ditemukan dalam bentuk
keyakinan,perilaku, dan benda-benda konkret yang dihasilkan oleh manusia dan
masyarakat beragama.
Harsojo mengungkapkan bahwa kajian antropologi terhadap agama
meliputi empat masalah pokok, yaitu:
a.
Dasr-dasar fundamental agama dan tempatnya dalam kehidupan manusia.
b.
Bagaiman manusia yang hidup bermasyarakat memenuhi kebutuhan
religious mereka.
c.
Darimana asal-usulagma.
Jadi, objek kajian antropolpgi agama
dasar fundamental agama dan kedudukannya dalam kehidupan dalam kehidupan
manusia, cara memenuhi kebutuhan religiusnya, asal-usul agama dan bagaiman mengelola
perasaan serta kebutuhn religusnya.
D.
Jenis-jenis Sosiologi dan Antroplogi Agama
1.
Jenis-jenis Sosiologi
Sosiologi Agama tidak merupakan satu
kesatuan yang beragam. Dalam Forum sosiologi agama terdiri bermacam-bermacam
aliaran sesuai dengan macam aliaran sosiologi umum yang mereka ikuti. Adanya
perbedaan jenis sosiologi dengan cirri-ciri tersendiri dapat diterangkan
seabagai berikut, yaitu: (1) pendapat perbedaan visi atas realitas masyarakat,
teristimewa mengenai kekuatan tertentu yang anggap memainkan perandominan atas
kehidupan masyarakat. (2) akibat dari perbedaan visi digunakan pula metode dan
pendekatan yang berbeda juga untuk mempelajari masyarakat. Berapa jenis aliran
sosiologi agama yaitu:
a.
Aliran Klasik.
Aliran ini
muncul pada pertengahan abad ke-19 dan belahan pertama abad ke-20, yang
ditopang oleh sejumlah sarjana. Dalam aliran klasik membahs tentang kedudukan
sosiologi agama sangat dekat dengan sejarah dan filsafat dan juga merupakan
suatu refleksi dan analisis sistemaatis terhadap masyarakat kebudayaan dan
agama sebagai proyek manusia. Tujuannya hendaknya mengungkapakn pola-pola
sosiall dasar dan peranannya dalam menciptakan masyarakat.
b.
Aliran positivism.
Aliran ini
mengikuti sosiologi yang empiris-positivi dan mengajarkan masyarakat dan
masyarakat agama sama dengan benda-benda alamiah. Kesimpulan dengan metode
pengukuran yang ekstra dan menarik yang dibuktikan dengan fakata-fakta. Juga
dikatakan kesimpulan yang bersifat netral tanpa diwarnai pertimbangan teologi
atau filosofis. Cara penganalisisan demikian dipegang ketat dan konsekuen demi
pencapaian hasil yang objektif.
c.
Aliran Teori Konflik.
Pandangan
sosiologi aliaran ini mengatakan masyarakat yang sehat (baik) ialah masyarakat
yang hidup dalam situasi konfliktual. Maksudnya masyarkat disebut dalam
keseimbanagan dianggapnya sebagai masyarakat yang tertidur dan berhenti dalam
proses kemajuannya. Dari sisi lain sosiologi aliran atau teori konflik ini juga
disebut (teori kritis) tidak dapat menyetujui metode kuantitatif dari alairan positivism,
karena dianggap sebagai suatu arus yang mengasingkan orang dari masyarakat.
d.
Aliran Fungsionalisme.
pendukungnya bertolak dari pendirian dasar bahwa masyarakat itu
suatu sistem pertimbangan, dimana setiap kelompok memberikan sumbangannya yang
khas melalui peranananya masing-masing yang telah ditentukan. Demi kelestarian
sistem pertimbangan sebagai keseluruhan. Dalam kerangka penegakkan sistem
masyarakat sebagai suatuneraca keseimbanagan yang harmonis, aliran
fungsionalisme ini dapat menerima prinsip kerja yang memperkecilkan lingkup
penelitiannya yang dianggap berguna untuk mengetahui keseluruhannya.[15]
Dalam metode ini, banyak yang dapat dikaji. Misalnya pengaruh
kehidupan masyarakat dan perubahan-perubahannya terhadap pengalaman agama dan
oranisasi-organisasi, pengaruh masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama,
praktek,serta golongan agama, dan jenis kepemimpinana agama dan lain
sebagainnya. Beberapa contoh daro metode ini misalnya: kajian Emile Durkheim
mengenai hubungan totem dengan masyarakat. Menurut Emile bentuk dan macam totem
tergantung pada bentuk masyarakat. Dalam hubungan anatara gejala bunuh diri
dengan katholik dan protestan.
Dalam kedudukannya sosiologi agama menjadi disiplin ilmu tersendiri
sejak lahirnya karya Weber dan Durkheim. Jika tuga s sosiologi umum adalah
untuk mencapai hukumkemasyarakatan yang seluas-luasnya, maka tugas dari
sosiologi agama adalah untuk mencapaiketerangan-keterangan ilmiah tentang
masyarakat agama khususnya.
Perlu kita ketahui juga teologi
mempelajari agama dan masyarakat gama dari segi “supra-natural”, maka sosiologi
agama empelajarinya dari sudut empiris sosiologi. Dengan kata lain yang akan
dicari dalam fenomena agama itulah dimensi sosiologinya. Sampai berapa jauh
agama dan nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan
operasi masyarkat. Lebih konkrit lagi, misalnya seberapa jauh unsur kepercayaan
mempengaruhi pembentukan kepribadian pemeluknya, ikut mengambil bagian
dalammenciptakan jenis-jenis kebudayaan, mewarnai dasar-dasar haluan Negara,
seberaapa jauh agama ikut mempengaruhi proses sosial, perubahan sosial,
fanatisme, dan lainnya.[16]
2.
Jenis-jenis Antropologi.
Antroplogi
Agama adalah studi yang mempelajari manusia dalam kaitannya dengan agama, yatu
pikiran sikap dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan ghoib. Beberapa hal
dapat digunakan cara untuk studi antropologi yaitu mempeljari dari sudut
ajarannya yang bersifat Historis, normative, deskriptif,empiris. Dari keempat
cara ini dapat saling bertautan dan saling mengisi yang satu sama lain.[17]
a.
Metode Historis.
Dalam metode
ialah menelusuri pikiran dan perilaku manusia tentang agamanya yang berlatar
berlatar belakang sejarah, yaitu sejarah perkembangan budaya agama masyarakat
manusia masih sederhana budayanya sampai budaya agamanya yang sudah maju.
Begitu pula tentang waktu, tempat dan latar belakang sejarah terjadinya
bangunan (rumah) ibadah,dan bercorak ragam mulai dari yang sederhana hingga
bentuknya yang modern.
b.
Metode Diskriptif.
Dalam metode
ini maksudnya adalah berusaha mencatat, melukiskan, menguraikan, melaporkan
tentang buah fikiran sikap tindak dan perilaku manusia yang menyangkut agama
dalam kenyataan yang implicit. Jadi, titik perhatian bukan di tunjukan terhadap
ketentuan aturan keagamaan yang ideologis, yang dikehendaki dan harus berlaku,
dalam hal ini di titik utmakan terhadap fakta-fakta dari berbagai peristiwa
sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat.
c.
Metode Empiris.
Metode ini yang
berlaku sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, terhadap
kasus-kasus kejadian tertentu (metode kasus).Peneliti dituntut langsung atau
tidak langsung melibatkan diri dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi.
d.
Metode Normatif.
Maksud dalam
metode ini mempelajari norma- norma, kaidah-kaidah, atau sastra suci agama ,
maupun perilaku kebiasaan tradisional yang berlaku, hubungan manusia dalam alam
ghaib maupun dalam hubungan manusia yang bersumber terhadp ajaran masing-masing
agama.
Pentingnya
kajian ini, dalam hal hasil ilmiah,sebagai kajian suatu fenomenayang terjadi
antropologi agama dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, baik oleh pemuka agama
yang bersangkutan. Pengetahuan ilmiah, untuk mengetahui sesuatu yang
belum diketahui, juga dapat menetukan sikap yang tepat dengan pencapaian yang
efisien.
Dalam
pendidikan agama, selain memerlukan pengetahuan antropologis juga diperlukan
pengetahuan yang memadai tentang psikologi peserta didik. Antropologi
menempatkan suatu kelompok masyarakat dengan budaya yang sama atau yag berbeda
dari individu yang lain karena berbagai faktor yaitu faktor fisik dan non
fisik, bawaan, dan binaan, individu dan lingkungan. Pandangan dan perilaku
masyarkat banyak dipengaruhi oleh ajaran atau komunitas agama yang membutuhkan
hasil tentang agama secara antropologis, dalam memetingkan pembinaan kehidupan
beragama, tetapi juga Negara pun memerlukannya untuk dapat menentukan cara
menghadapi masyarakat degan efisien, efektif, dan halus.[18]
E.
Ilmu Sejarah dalam Sosiologi dan Antropologi.
Dalam hal ini sosiologi membicarakan masyarakat, diantaranya
lapisan masyarakat, ilmu politik membicarakan masyarakat, terutama aspek
kekuasaannya. Dan antropologi membicarakan masyarakat, diantaranya soal
kebudayaan.Sejarah membicarajkan masyarakat dari segi waktu. Bisa dikatakan
sosiologi dalam pengertian ilmu sejarah yaitu ilmu ini tidak bisa ditinggalkan
bagi mereka yang akan menulis sejarah sosial. Sosiologi kota, sosiologi
desa,sosiologi ekonomi, sosiologi revolusi, dan sebagainnya sudah menjadi
spesialisasi sendiri. Banyak konsep sosiologi berguna dalam penulisan sejarah
seperti perubahan sosial, mobilitas sosial, dan stratifikasi sosial..
Sedangkan, antropologi sudah semedikian jauh sehingga sulit
menentukan apa yang paling berguna dalam penulisan sejarah kebudayaan.
Antropologi agama dapat digunakan dalam penelitian sejarah politik.[19]
Dalam sejarah perdabannya tiap-tiap banga, pasti akan melihat
manakala peradaban mulai goyah maka daya penggerak keagaman yang baru passti
sudah siap untuk menyelamatkan peradaban dari bahayakehancuran. Tanpa
persatuan suatu peradaban tiding mungkin dapat bertahan lama. Memang sering
pula orang berkata bahwa agamalah yang menyebabbkan terjadinya pertentangan dan
pertumpahan darah, tetapi jika mau meninjau sejenak akan sejarah agama, kita
akan tahu bahwa tuduhan tersebut timbul karena kesalah pahaman. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa peranan sosiologi dalam agama berasal dari faktor internal
(diri sendiri) dan eksternal (lingkungan), yang paling penting yaitu faktor
internal.
Pendekatan antropologi memahami agama dapat diartikan sebagai salah
satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan antropologi sosok
agama yang berada pada deretan empiric akan dapat dilihat serat-seratnya dan
latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi
berupaya melihat hubungan antara agama dengan berbagai pranata yang terjadi
dimasyarakatan.
Dengan
demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama,
karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat
dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.[20]
FOOTNOTE
[1] Kahmad, Dadang, Sosiologi
Agama, (Bandung:PT. Rosda Karya ,2000), hlm.17.
[2] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Cet.5. (Jakarta: UI Press, 1985), hlm.9.
[3] Scarf, Bety, Sosiologi Agama.
(Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm.205
[4] Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama
Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta:Raja Wali Press, 1990), hlm. 28.
[5] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm. 2.
[6] Zakiah Daradjat, Perbandingan
Agama,cet.1, (Jakarta: BAksara,1983),hlm. 1-2.
[7] Hendropuspito, Sosiologi Agama,
(Yogyakarta: KANISIUS, 1983), hlm.21.
[8] Ibid. hlm. 14-16.
[9] Hilman, Adikusuma, Antropologi Agama,
(Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti,
1983), hlm.9-10.
[10] Hendropuspito,Op.Cit. hlm. 11-12.
[11] Ishomudin, Pengantar Sosiologi
Agama, (Jakarta: Pt. Ghalia Indonesia, 2002).hlm.32.
[12] Peter Conolly, Aneka Pendekatan
Studi Agama, (Yogyakarta: Lkis,2002), hlm. 283.
[13] Zakiyah Dardjat, Loc.Cit. hlm.3-5.
[14] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan
Manusia, (Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada, 2006),hlm.17-19.
[15] Hendropuspito, Loc.cit. hlm.23-24.
[16] Op. cit, Pengantar Sosiologi
Agama, hlm.34
[17] Bustanuddin, Agus, Loc cit, hlm.6.
[18] Ibid. hlm.39-44.
[19] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu
Sejarah, cet.1, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013),hlm. 11.
[20] Abbudin Nata, Metode Studi
Islam,Cet.19. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2012), hlm. 36-37.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok........7
PEMIKIRAN IBNU KHALDUM
A.
Biografi Ibnu
Khaldun.
Ibnu
khaldun adalah seorang filsuf sejarah yang berbakat dan cendekiawan
terbesar pada zamannya, salah seorang pemikir terkemuka yang pernah dilahirkan.
Beliau adalah seorang pendiri ilmu pengetahuan sosiologi yang secara khas
membedakan cara memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta memberikan
alasan-alasan untuk mendukung kejadian-kejadian yang nyata. [1]
Nama lengkap
Ibnu Khaldun adalah Abu Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun
al-Hadrami. Beliau dilahirkan di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H./27 Mei
1332 M, wafat 19 Maret 1406/808H. Beliau dikenal sebagai sejarawan dan bapak
sosiologi Islam yang hafal Alqur'an sejak usia dini, selain itu beliau juga
membahas tentang pendidikan islam. Karyanya yang terkenal
adalah Muqaddimah(Pendahuluan).[2]
Beliau masih
memiliki garis keturunan dengan Wail bin Hajar, salah seorang sahabat Nabi Saw.
Wail bin Hajar pernah meriwayatkan sejumlah hadith serta pernah dikirim nabi
untuk mengajarkan agama Islam kepada para penduduk daerah itu. Pada abad ke-8 M
Khalid bin Utsman datang ke Andalusia bersama pasukan arab penakluk wilayah
bagian selatan Spanyol. Khalid kemudian lebih dikenal panggilan Khaldun sesuai
dengan kebiasaan orang Andalusia dan Afrika Barat Laut yakni dengan penambahan
pada akhir nama dengan “un” sebagai pernyataan penghargaan kepada keluarga
penyandangnya. Dengan demikian Khalid menjadi Khaldun.
Di Andalusia
keluarga Khaldun memainkan peranan yang cukup menonjol baik dari segi ilmu
pengetahuan maupun dari segi politik. Mereka awalnya menetap di kota Carmon
kemudian pindah ke kota Sevilla. Di kota ini mereka memainkan peranan penting
dalam pemerintahan. Akan tetapi melihat kakeknya yang aktif dalam pemerintahan
maka ayah ibn Khaldun memutuskan untuk menjauhkan diri sama sekali dari dunia
politik dan mengkhususkan dirinya untuk bergerak hanya di bidang ilmu
pengetahuan. Ayahnya menjadi terkenal di bidang bahasa arab dan tasawuf.
Munawir
Sjadzali mengatakan:Ibn Khaldun’s first teacher was his own father. He learned
to write and memorize al-Qur’an. He was fluent in the qira’ah sab’ah, the seven
ways of reading al-Qur’an. He showed a balanced interest in tafsir, hadith,
fiqh and Arabic grammar which his studied with a number of well-know teachers.
(Guru pertama ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Dia belajar membaca dan
menghafal al-Qur’an. Dia fasih dalam qira’at sab’ah (tujuh cara
membaca al-Qur’an), dia memperlihatkan caranya yang seimbang dan merata antara
mata pelajaran tafsir, hadith, fiqih dan gramatika bahasa arab yang diambilnya
dari sejumlah guru yang ada di Tunisia).
Dilihat dari
banyaknya yang dipelajari Ibnu Khaldun hal ini dapat diketahui bahwa dia
memiliki kecerdasan yang luar biasa dan dia tidak puas dengan satu disiplin
ilmu saja sehingga pengetahuannya begitu luas dan sangat bervariasi.
Ibnu Khaldun
mulai berkarir dalam bidang pemerintahan dan politik di kawasan Afrika Barat
Laut dan Andalusia selama hampir seperempat Abad. Dalam kurun waktu itu dari
sepuluh kali dia pindah jabatan dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Jabatan
pertaman Ibnu Khaldun pertama adalah sebagai anggota Majlis keilmuwan Sultan
Abu Inal dari Bani Marin di ibu kota Fez. Kemudian dia diangkat menjadi
sekertaris Sultan pada Tahun 1354.
Selain di dunia
politik, Ibnu Khaldun juga mengajarkan ilmunya di masjid. Kemudian dia pindah
ke Biskarah. Dari Biskarah kembali ke Andalusia baru dan menuju Tilimsan tahun
1374 M.Di Tilimsan ini ibnu Khaldun menemukan tempat untuk menulis dan membaca
di rumah bani Arif di dekat benteng Qal’at Ibn Salamh sebagai tempat tinggal
dan tinggal di Istana Ibnu Salamah. Di tempat inilah selama empat tahun dia
memulai karnya yang terkenal dengan Kitab al-Ibar (sejarah Universal).
Pada Tahun 1378 dia meninggalkan istana dan menuju Tunisia. Selama
di Tunis dia melakukan revisi terhadap karyanya dan naskah asli tersebut di
hadiahkan kepada Sultan Abu al-Abbas tahun 1382 M. Pada Tahun 1382 M dia pindah
ke Alexandria dan menetap di Mesir. Di Mesir ini Ibnu Khaldun mengajar di
Masjid al-Azhar. Di Masjid al-Azhar dia memberi kuliah Hadith, Fiqh maliki,
serta menerangkan teori-teori kemashurannya dalam kitabMuqaddimah di
samping juga mengajar di perguruan tinggi al-Azhar. Dia diangkat sebagai hakim
madhab Maliki pada 1384 M dan aktif dalam dunia pendidikan.
Pada tanggal 25 Ramadhan 808 H bertepatan tanggal 19 Maret 1406.
Ibnu Khaldun meninggal pada usia 76 Tahun. Untuk menghormati nama besarnya dia
dimakamkan di pemakaman sufi di Bab al-Nashr Kairo, yang merupakan makam para
ulama dan orang-orang penting.
Sebagai pelopor sosiologi, sejarah-filsafat, dan ekonomi-politik,
karya-karyanya memiliki keaslian yang menajubkan.“Kitab al-I'bar” termasuk
al-Taarif adalah buku sejarahnya yang monumental, berisi Muqaddimah serta
otobiografinya. Bukunya dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama terkenal
dengan muqaddimah, dalam bagian ini membicarakan tentang masyarakat,
asal-usulnya,kedaulatan, lahirnya kota-kota dan desa-desa, perdagangan, cara orang
mencari nafkah, dan ilmu pengetahuan. Bagian kedua kitab al-I'bar, terdiri
dalam empat jilid, membicarakan tentang sejarah bangsa arab dan orang-orang
muslim lainnya dan juga dinasti-dinasti pada masa itu, termasuk dinasti syiria,
persia, seljuk, turki, yahudi, romawi, dan prancis.Dan bagian ketigaterdiri
dari dua jilid,membicarakan bangsa barbar dan suku tetangga,
otobiografi yaitu Al-Taarfi.[3]
B.
Pemikiran
Pendidikan Islam Ibnu Khaldun.
Menurut Ibnu Khaldun ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang
semata-semata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek
pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan tidak lain
merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Tradisi penyeledikan ilmiah yang dilakukan oleh ibnu khaldun
dimulai dengan menggunakan tradisi berfikir ilmiahdengan melakukan kritik atas
cara berfikir “model lama” dan karya-karya ilmuwan sebelumnya, dari hasil
penyelidikan mengenai karya-karya sebelumnya, telah memberikan kontribusi
akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang sahih, pengetahuan ilmia auat
pengetahuan yang otentik.[4]
Adapun
tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun yaitu:
1.
Menyiapkan
seseorang dari segi keagamaan
2.
Menyiapkan
seseorang dari segi akhlaq
3.
Menyiapkan
seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial
4.
Menyiapakn
seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan
5.
Menyiapkan
seseorang dari segi pemikiran
6.
Menyiapkan
seseorang dari segi kesenian
Pandangan Ibnu Khaldun tentang Pendidikan Islam berpijak pada
konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan
yang hendak dicapai dalam proses pendidikan yaitu:
-Pengembangan
kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu.
-Penguasaan
keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman
-Pembinaan
pemikiran yang baik[5]
C.
PENDIDIK.
Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai
tentangperkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat
membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam
melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui kemampuan
dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan
materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila
pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan
menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang
diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan
pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran
yang sulit dan mudah dalam cakupan pendidikan.
Ibnu Kholdun menganjurkan agar para guru bersikap dan berperilaku
penuh kasih sayang kepada peserta didiknya, mengajar mereka dengan sikap lembut
dan saling pengertian, tidak menerapkan perilaku keras dan kasar, sebab sikap
demikian dapat membahayakan peserta didik, bahkan dapat merusak mental mereka,
peserta didik bisa menjadi berlaku bohong, malas dan bicara kotor, serta
berpura-pura, karena didorong rasa takut dimarahi guru atau takut dipukuli.
Dalam hal ini, keteladanan guru yang merupakan keniscayaan dalam
pendidikan, sebab para peserta didik menurut Ibnu Kholdun lebih mudah
dipengaruhi dengan cara peniruan dan peneladanan serta nilai-nilai luhur yang
mereka saksikan, dari pada yang dapat dipengaruhi oleh nasehat, pengajaran atau
perintah-perintah.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu
menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan
6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
a.
Prinsip
pembiasaan
b.
Prinsip tadrij
(berangsur-angsur)
c.
Prinsip
pengenalan umum (generalistik)
d.
Prinsip
kontinuitas
e.
Memperhatikan
bakat dan kemampuan peserta didik
f.
Menghindari
kekerasan dalam mengajar.
D.
PESERTA DIDIK.
Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki
sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini
peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun
rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun
perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat,
kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Pada
dasarnya peserta didik adalah:
a)Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi
memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan
terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan
orang dewasa, bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi yang akan diajarkan,
sumber bahan yang digunakan dan sebagainya.
b)Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi
periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam
disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya
dilalui oleh setiap peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik
ditentukan oleh faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan
potensi yang dimilikinya.
a.Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik
menyangkut kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi.
b.Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan
individual (diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor
pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
c.Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur alam, yaitu
jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan
dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohani
memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal
maka proses pendidikan hendaknya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk
mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah.
d.Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang
dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
E.
KURIKULUM DAN
MATERI PENDIDIKAN.
Pengertian
kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada maklumat-maklumat dan
pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran
yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang
dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan.
Sedangkan
pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di
dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin
dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan,
pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran
serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk
mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan.
Dalam
pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum
yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di
negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem
pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib, bahwa orang-orang Maghrib
membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada mempelajari al-Qur’an dari
berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan
al-Qur’an sebagai dasar dalam pengajarannya, karena al-Qur’an merupakan sumber
Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak membatasi
pengajaran anak-anak pada mempelajari al-Qur’an saja, akan tetapi dimasukkan
juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang mengarang, khat,
kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan lain.
Demikian pula
dengan orang-orang Ifrikiya, mereka mengkombinasikan pengajaran al-Qur’an
dengan hadits dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu.Adapun metode
yang dipakai orang Timur seperti pengakuan Ibnu Khaldun, sejauh yang ia ketahui
bahwa orang-orang Timur memiliki jenis kurikulum campuran antara pengajaran
al-Qur’an dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun
menganjurkan agar pada anak-anak seyogyanya terlebih dahulu diajarkan bahasa
Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk
menyingkap semua ilmu pengetahuan, sehingga menurutnya mengajarkan al-Qur’an
mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak
terhadap al-Qur’an itu sendiri, karena anak akan membaca apa yang tidak dimengertinya
dan hal ini menurutnya tidak ada gunanya.
Adapun
pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah
satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu
itu menjadi dua macam yaitu:
1.
Ilmu-ilmu
tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang
dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan
cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at
yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits. Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu
naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul
fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir
mimpi.
2.
Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah).
Ilmu
ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk
berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada
sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia.
Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi
menjadi empat macam ilmu yaitu:
1.
Ilmu logika,
2.
Ilmu fisika,
3.
Ilmu metafisika
dan
4.
Ilmu matematika
termasuk didalamnya ilmu, geografi, aritmatika dan al-jabar, ilmu music, ilmu
astromi, dan ilmu nujuum.
Walaupun Ibnu
Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi, namun
ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi
ilmunya. Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu
berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang
masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas
mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1.
Ilmu agama
(syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
2.
Ilmu ‘aqliyah,
yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika)
3.
Ilmu alat yang
membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab,
ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
4.
Ilmu alat yang
membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah
merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri.
Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan
alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama. Demikian pandangan
Ibnu Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan
antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu ‘Aqliyah (filsafat). Meskipun dia
meletakkan ilmu agama pada tempat yang pertama, hal itu ditinjau dari segi
kegunaannya bagi anak didik, karena membantunya untuk hidup dengan seimbang
namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang mulia sejajar
dengan ilmu agama.
Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu pengetahuan tersebut dalam kaitannya
dengan proses belajar mengajar banyak tergantung pada para pendidik, bagaimana
dan sejauh mana mereka pandai mempergunakan berbagai metode yang tepat dan
baik.
F.
METODE PENDIDIKAN.
Metode
pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru
dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya. Ciri-ciri
perkembangan peserta didik dan suasana alam di sekitarnya dan tujuan membimbing
peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang
dikehendaki pada tingkah laku mereka.
Metode
pendidikan sama halnya dengan metode pembelajaran (pengajaran), yang mana
pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan terungkap lewat empat sikap
reaktifnya terhadap gaya para pendidik (guru) dimasanya dalam dasar empat dasar
persoalan pendidikan.
1.
kebiasaan
mendidik dengan metode “indoktrinasi” terhadap anak-anak didik, para pendidik
memulai dengan masalah-masalah pokok yang ilmiah untuk diajarkan kepada
anak-anak didik tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan
menguasainya. Maka Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit
demi sedikit, pertama-tama disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu
dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan
kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab.
2.
memilah-milah
antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan,
kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu
kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta
logika yang dibutuhkan oleh filsafat.
3.
Ibnu Khaldun
tidak menyukai metode pendidikan yang terkait dengan strategi berinteraksi
dengan anak yang “militeristik” dan keras, anak didik harus seperti ini dan
seperti itu, karena berdampak buruk bagi anak didik berupa munculnya
kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal.
4.
Ibnu Khaldun
mengajarkan agar pendidik bersikap sopan dan halus pada muridnya. Hal ini termasuk
juga sikap orang tua terhadap anaknya, karena orang tua adalah pendidik yang
utama. Selanjutnya jika keadaan memaksa harus memukul si anak, maka pemukulan
tidak boleh lebih dari tiga kali.
Ibnu Khaldun memberikan sedikitnya ada dua bentuk pembelajaran
yaitu:
a.
Tahapan
pembelajaran.
Pembelajaran yang efektif dan efisien terhadap peserta
dpembelajaran yang efektif dan efisien terhadap peserta didik apabila dilakukan
secara berangsur-angsur, setapak-demi setapak dan seidik apabila dilakukan
secara berangsur-angsur, setapak-demi setapak dan sedikit demi sedikit. Untuk
itu apabila satu bahasan ingin dicapai dengan baik maka seorang guru harus
mengulangnya dikit demi sedikit. Untuk itu apabila satu bahasan ingin dicapai
dengan baik maka seorang guru harus mengajarnya dedikit demi sedikit dan
mengulangnya sampai dapat dikuasai dengan benar oleh pesesampai dapat dikuasai
dengan benar oleh peserta didik,selain itu seorang guru harus menjelaskannya
terlebih dahulu tujuan pembelajaran, hal ini dimaksudkan agar peserta didik
tidak bingung terhadap alur pembelajarannya.
Berkaitan dengan itu semua ibnu khaldun menganjurkan agar para guru
dan orang tua sebagai pendidik seharusnya berlaku sopan dan adil dalam
mengingatkan siswa, lain dari itu ibnu khaldun membolehkan memukul siswa
apabila dalam keadaan memaksa akan tetapi pukulan tersebut tidak lebih tiga
kali.
Dalam literatur yang lainnya lagi dengan metode pengajaran ini ibnu
khaldun menjelaskan bahwa tiap-tiap pemikiran dan ilmu akan mengembangkan pada
akal yang cerdas, lebih lnjut beliau menjelaskan ilmu berhitung tidak sama
dengan metodeproblem-problem kemasyarakatan dan falsafah atau sejarah, dari
sini seorang pendidik harus mampu mengklasifikasi mata pelajaran dan metode
pengajaran.
b.
Concertie
method (metode pemusatan)
Dalam kaitan ini komponin pendidikan sama-sama dituntut untuk lebih
fokus pada satu atau dua pilihan bidang pendidikan saja, baik guru, para orang
tua dan siswa. Dalam beberapa referensi yang ada sepertinya sosok ibnu khaldun
adalah seorang yang menjunjung tinggi metode itu (specialisasi pelajaran) dan
telaten. Dari sini ibnu khaldun dikenal sebagai tokoh pendidikan yang
menggunakan metode pemusatan atau disebut concertie method. Selain metode
diatas Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimahnya menjelaskan bahwa didalam
memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya:
a.memberikan problem-problem pokok yang bersifat umum dan
menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik.
b.Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari
pengetahuan tadi baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan terperinci.
c.Pada langkah ketiga ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada
anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua
persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang
sempurna.
Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena
dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan
mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan
berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak
didik berfikir reflektif dan inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang
menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang benar.
Disamping metode diskusi Ibnu Khaldun juga menganjurkanmetode
peragaan, karena dengan metode ini proses pengajaran akan lebih efektif dan
materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik. Satu hal yang
menunjukkan kematangan berfikir Ibnu Khaldun, adalah prinsipnya bahwa belajar
bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan
berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan berdiskusi akan menghidupkan
kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat
orang lain, disamping dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan
paham terhadap apa yang dipelajarinya.
[1]Jamil Ahmad,
Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka firdaus, 2003, hlm. 503.
[3]Ibid, hlm. 505.
[4]Syarifudin Jurdi,
Sosiologi Islam ElaborasiPemikiran Sosial Ibn Khaldun, (POKJA :’UIN Sunan
Kalijaga, 2008) hlm.17
[6]Fuad Baali dan
Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, ( Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003), hlm. 20.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok......8
PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Setidaknya terdapat beberapa pendekatan dari perspektif sosiologi
yang dapat digunakan dalam menganalisis permasalahan-permasalahan yang terjadi
dalam bidang pendidikan. Di antaranya seperti yang disampaikan oleh Abu Ahmadi
dalam bukunya ‘Sosiologi Pendidikan’ yaitu pendekatan individu, sosial,
interaksi dan teori medan.
A.
Pendekatan Individu (The Individual Approach)
Dalam pendekatan individu titik penekanannya adalah tingkah laku
individu. Setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi pendekatan individu ini
yakni faktor internal yang meliputi faktor-faktor biologis dan faktor eksternal
yang meliputi faktor-faktor lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Dalam pendekatan individual ini titik tekannya adalah faktor-faktor
biologis yang menguasai tingkah laku individu daripada faktor-faktor
psikologis, namun kedua faktor ini tetaplah faktor primernya sedangkan faktor
lingkungan sekitar fisik dan lingkungan sosial merupakan faktor sekunder. Hal
ini dikarenakan pendekatan individu berasumsi bahwa individu adalah primer dan
masyarakat adalah sekunder.[1]
1.
Faktor Biologis Pada Tingkah Laku Manusia.
Perbedaan
antara faktor biologis dan psikologis pada tingkah laku manusia adalah pada
faktor biologis manusia dipandang sebagai organisme yang murni dan sederhana,
sedangkan pada faktor psikologis manusia dipandang sebagai organisme yang
cerdas dan mempunyai kecerdasan (inteligen). Kemudian yang menjadi problem
terbesar pada biologi adalah usaha untuk menemukan elemen-elemen tingkah laku
mana yang dapat diwariskan secara biologis dan elemen-elemen tingkah laku mana
yang disebabkan oleh lingkungan sekitar dan apakah elemen tingkah
laku inheritas (keturunan biologis/hereditas) itu dapat diubah atau tidak?,
kalau dapat diubah sejauh mana perubahan dapat terjadi?[2]
2.
Faktor Psikologis Pada Tingkah Laku Manusia.
Sebenarnya perbedaan antara faktor psikologis dan biologis tidak
begitu ekstrim, tajam dan statis. Seiring dengan kemajuan-kemajuan penelitian
ilmiah maka dapat diketahui bahwa sebenarnya hubungan psikologi dan biologi
sifatnya timbal-balik, bahkan justru keduanya saling melengkapi di dalam
mempelajari tingkah laku manusia. Bukti dari ini adalah munculnya
penelitian-penelitian psikologi mengenai konsep insting (instinct).[3]
Singkatnya dapat disimpulkan bahwa pendekatan individu belumlah
lengkap untuk menerangkan semua gejala tingkah laku manusia mengingat bahwa
individu-individu adalah hidup dengan dan dalam masyarakat. Jadi faktor
masyarakat itupun harus diakui peranannya sebagai pembentuk tingkah laku
anggota masyarakatnya. [4]
B.
Pendekatan Sosial (The Societal Approach)
Titik tekan pendekatan ini adalah masyarakat dengan berbagai
lembaga, kelompok, organisasi dan aktivitasnya. Secara kongkrit pendekatan
sosial ini membahas aspek-aspek atau komponen dari kebudayaan manusia, seperti
keluarga, tradisi, adat-istiadat, dan sebagainya. Jadi segala sesuatu yang
dianggap produk bersama adalah milik bersama atau milik masyarakat. Jadi jelas
di sini yang menjadi gejala primer adalah kelompok masyarakat, sedangkan
individu merupakan gejala sekunder saja.[5]
Secara ekstrim, pendekatan sosial ini berasumsi bahwa tingkah laku
individu-individunya secara mutlak ditentukan oleh masyarakat dan kebudayaan
masyarakat, sehingga individualitas tenggelam di dalam sosialtas manusia.
Tingkah laku yang demikian ini dapat ditemukan dalam masyarakat yang
benar-benar homogen yang kuat tradisi dan tata caranya. Sehingga
inidividu-individu yang menyimpang dari pola tingkah laku masyarakat dianggap
abnormal dan pasti dikeluarkan dari masyarakatnya.
Kalau diperhatikan secara seksama, prinsip dari pendekatan sosial
ini tak dapat disangkal kebenarannya, tetapi secara ekstrem dan absolut,
pendekatan sosial ini menunjukkan kelemahan-kelemahannya, sebab betapapun
homogennya dan kuatnya tata cara hidup masyarakat di situ masih juga didapati
perilaku individualitas pada anggota masyarakat. Mengapa demikian? Karena
setiap individu mempunyai watak dan kepribadiannya masing-masing. Bahkan tidak
jarang keseragaman tingkah laku pada masyarakat dianggap sebagai paksaan yang
membelenggu kreatifitas individu tersebut. Karena pada dasarnya pola tingkah
laku individu manusia selalu didapati sifat-sifat kreatif dan dinamis[6]
C.
Pendekatan Interaksi (The Interaction Approach)
Di dalam pendekatan interaksi ini perhatiannya adalah penggabungan
dari pendekatan individu dan pendekatan sosial melalui interaksi. Sebab pada
kenyataannya menurut pendekatan interaksi ini, individu dan masyarakat itu
saling mempengaruhi dan memiliki hubungan timbal balik. Jadi antara individu
dan masyarakat itu mempunyai daya kekuatan yang saling membentuk dan saling
menyempurnakan.[7]
Kesimpulannya pendekatan ini ingin menjelaskan bahwa untuk
mengetahui tingkah laku manusia harus dilihat dari individu dan masyarakat.
Jadi sosiologi pendidikan tidak semata-mata hanya mempelajari individu atau
masyarakat saja tetapi harus kedua-duanya.[8]
D.
Teori Medan (field theory)
Teori medan adalah teori yang diperkenalkan oleh Dr. Kurt Lewin
dari bidang psikologi yang kemudian dikembangkan oleh J.F Brown dalam psikologi
sosial. Inti dari teori medan adalah meneliti struktur medan hidup (life space)
beserta pribadi (Person) dan medan sosial (life space sosial) nya. Medan hidup
ini merupakan kondisi-kondisi, syarat-syarat dan situasi-situasi kongkrit yang
menyertai gerak individu pribadi tadi. Obyeknya adalah organisme manusia. Cara
bekerjanya teori medan itu mempergunakan metode hipotetis- deduktif. Ciri khas
lain dari teori medan adalah menggunakan bahasa genotype. Dan lagi bahwa dalam
teori medan digunakanlah konsep-konsep dan gambar-gambar mathematis[9]
FOOTNOTE
[1] Abu
Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Jakarta, 2007), hal. 26-27.
[2] Ibid, hal.
27.
[3] Abu
Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Jakarta, 2007), hal. 30-31.
[4] Ibid, hal.
35-36.
[5] Ibid, hal.
37.
[6] Ibid, hal.
41.
[7] Abu
Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Jakarta, 2007), hal. 44.
[8] Ibid, hal.
46.
[9] Ibid, hal.
50-51.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.......9
PENDEKATAN ANTROPOLOGI PENDIIDKAN.
A.
Pengertian PendekatanAntropologis.
Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti
"manusia", dan logos yang berarti ilmu. Kata antropologi dalam bahasa Inggris yaitu
“anthropology” yang didefinisikan sebagai the social science that studies
the origins and social relationships of human beings atau the science of
the structure and functions of the human body.[1] yaitu
(ilmu sosial yang mempelajari asal-usul dan hubungan sosial
manusia atau Ilmu tentang struktur dan fungsi tubuh manusia).
Antropologi juga bisa diartikan sebagai ilmu tentangmanusia,
khususnya tentangasal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan
kepercayaannya pada masa lampau. Menurut Koentjaraningrat antropologi
adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka
warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.[2]
Dari beberapa pengertian seperti yang telah dikemukakan, dapat
disusun suatu pengertian yang sederhana bahwa antropologi adalah sebuah ilmu
yang mempelajari tentang manusia dari segi keanekaragaman fisik serta
kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkannya,
sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Antropologi adalah sebuah ilmu yang didasarkan atas observasi yang
luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul, dengan menetralkan
nilai, analisis yang tenang (tidak memihak).[3]
Adapun pengertian pendekatan, dalam dunia ilmu pengetahuan makna
dari istilah pendekatan adalah sama dengan metodologi, yaitu sudut pandang atau
cara melihat dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang
dikaji. Bersamaan dengan itu, makna metodologi juga mencakup berbagai teknik
yang digunakan untuk melakukan penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan
cara melihat dan memperlakukan masalah yang dikaji. Dengan demikian, pengertian
pendekatan atau metodologi bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau
cara melihat sesuatu permasalahan yang menjadi perhatian tetapi juga mencakup
pengertian metode-metode atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan
pendekatan tersebut.[4]
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan
sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik
keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masayarakat. Melalui pendekatan ini
agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan
berusaha memberikan jawabannya.
Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu
antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Antrapologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Raharjo, lebih
mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipasif. Dari sini
timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan
deduktif sebagaimana digunakan dalam pendekatan sosiologis.
B.
Objek Kajian dalam Pendekatan Antropologi.
Ditinjau
dari pengertian antropologi tersebut, obyek kajian dalam antropologi mencakup 2
(dua) hal yaitu :
1. Keanekaragaman
bentuk fisik manusia.
2. Keanekaragaman budaya/kebudayaan sebagai hasil dari
cipta, karsa dan rasa manusia.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang mengatakan
bahwa secara umum obyek kajian antropologi dapat dibagi menjadi dua
bidang, yaitu antropologi fisik yang mengkaji makhluk manusia sebagai organisme
biologis, dan antropologi budaya dengan tiga
cabangnya: arkeologi, linguistikdan etnografi. Meski antropologi
fisik menyibukan diri dalam usahanya melacak asal usul nenek moyang manusia
serta memusatkan studi terhadap variasi umat manusia, tetapi pekerjaan para
ahli di bidang ini sesungguhnya menyediakan kerangka yang diperlukan oleh
antropologi budaya. Sebab tidak ada kebudayaan tanpa manusia.[5]
Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang
dipelajari adalah agama sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang datang
dari Allah. Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan
segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang
sakral. Wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena
yang muncul. Menurut Atho Mudzhar, ada lima fenomena agama yang dapat dikaji,
yaitu: [6]
1.
Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
2.
Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap,
perilaku dan penghayatan para penganutnya.
3.
Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan
dan waris.
4.
Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
5.
Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan
berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan,
Syi’ah dan lain-lain.
Kelima obyek di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologi,
karena kelima obyek tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan
kreasi manusia.
C.
Kerangka Operasional Pendekatan Antropologis
Menurut Amin Abdullah, cara kerja yag dalam hal ini bisa kita
artikan sebagai langkah dan tahapan pendekatan antropologi dalam studi Islam
memiliki empat cirri fundamental yang meliputi
1.
Bercorak descriptive, bukannya normative..
Pendekatan
antropologi bermula dan diawali dari kerja lapangan (field
work), berhubungan dengan orang, masyarakat, kelompok
setempat yang diamati dan diobservasi dalam jangka waktu yang lama dan
mendalam. Inilah yang biasa disebut dengan thick description (pengamatan
dan observasi di lapangan yang dilakukan secara serius, terstuktur, mendalam
dan berkesinambungan). Thick description dilakukan dengan
cara antara lain Living in , yaitu hidup bersama masyarakat
yang diteliti, mengikuti ritme dan pola hidup sehari-hari mereka dalam
waktu yang cukup lama.
2.
Local practices , yaitu praktik konkrit dan nyata di
lapangan.
Praktik hidup yang dilakukan sehari-hari, agenda mingguan,
bulanan dan tahunan, lebih -lebih ketika manusia melewati hari-hari
atau peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani kehidupan. Ritus-ritus
atau amalan-amalan apa saja yang dilakukan untuk melewati peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan tersebut (rites de pessages) ?
Persitiwa kelahiran, perkawinan, kematian, penguburan . Apa yang
dilakukan oleh manusia ketika menghadapi dan menjalani ritme kehidupan yang
sangat penting tersebut? [7]
3.
Keterkaitan antar berbagai domain kehidupan secara lebih utuh
(connections across social domains).
Bagaimana hubungan antara wilayah ekonomi, sosial,
agama, budaya dan politik. Kehidupan tidak dapat dipisah-pisah. Keutuhan
dan kesalingterkaitan antar berbagai domain kehidupan manusia. Hampir-hampir
tidak ada satu domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri, terlepas
dan tanpa terkait dan terhubung dengan lainnya.
4.
Comparative (Perbandingan)artinya studi dan pendekatan
antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai tradisi, sosial, budaya dan
agama-agama. Studi dan pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari
berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama.
Meskipun menyebut local practices untuk era globalisasi
sekarang adalah debatable, tetapi ada empat rangkaian tindakan
keagamaan yang perlu dicermati oleh penelitian antropologi. Pertama, adalah
bagaimana seseorang dan atau kelompok melakukan praktik-praktik lokal
dalam mata rantai tindakan keagamaan yang terkait dengan dimensi social,
ekonomi, politik, dan budaya. Sebagai contoh ada ritus baru yang disebut
“walimah al-Safar”, yang biasa dilakukan orang sebelum berangkat
haji. Apa makna praktik dan tindakan lokal ini dalam keterkaitannya dengan
agama, sosial, ekonomi, politik dan budaya? Religious ideas yang diperoleh
dari teks atau ajaran pasti ada di balik tindakan ini. Bagaimana tindakan ini
membentuk emosi dan menjalankan fungsi sosial dalam kehidupan yang
luas?. Bagaimana walimah safar yang tidak saja dilakukan di rumah tetapi
juga di laksanakan di pendopo kabupaten? Oleh karenanya, keterkaitan dan
keterhubungan antara local practices, religious ideas, emosi
individu dan kelompok maupun kepentingan sosial – poilitik tidak dapat
dihindari. Semuanya membentuk satu tindakan yang utuh.
D.
Wilayah Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam
Antropologi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi
sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia
dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia.
Dengan dibekali oleh pendekatan yang holistic dan komitmennya tentang manusia,
sesungguhnya antropologi merupakan ilmu penting untuk mempelajari agama dan
interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan
bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam karena
konsep manusia sebagai khalifah (wakil Tuhan) di bumi, misalnya merupakan
symbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.[8]
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa
sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana
memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia sesungguhnya adalah
persoalan agama yang sebenarnya.Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada
dasarnya adalah pergumulan keagamaanya.
Pemahaman Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak
lengkap tanpa memahami manusia. Realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas
kemanusiaan. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan terletak pada
interpretasi dan pengalaman agama. Oleh karena itu antropologi diperlukan untuk
memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami
Islam yang telah dipraktikkan yang menjadi gambaran sesungguhnya dari
keberagaman manusia.
Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa signifikansi antropologi
dalam studi islam adalah sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara
melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah
yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Dengan kata lain, cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis
dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke
lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan
diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak
sebagaimana yang dilakukan dibidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang
mempergunakan model-modelmatematics, banyak juga memberi sumbangan kepada
penelitian historis.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian
antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif dengan berbagai
bidang kehidupan, diantaranya:
1.
Agama berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu
masyarakat.Golongan masyarakat yang kurang mampu dan miskin pada umumnya, lebih
tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang
menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan
orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sydah
mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Marx
(1818-1883), sebagai contoh, melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat
tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang
biasa disebut dengan teori pertentangan kelas. Menurutnya agama bisa
disalahfungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status
quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung sistem kapitalsime di Eropa
yang beragama Kristen. Lain halnya dengan Max Weber (1864-1920).
Dia melihat
adanya korelasi positif antara ajaran Protestan dengan munculnya semangat
kapitalisme modern. Etika Protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja
semangat masyarakat industri yang kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian
diteruskan oleh Robert N. Bellah dalam karyanya The Religion of
Tokugawa.Dia juga melihat adanya korelasi positif antara ajaran agama Tokugawa,
yakni semacam percampuran antara ajaran agama budha dan sinto pada era
pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang Jepang modern. Tidak
ketinggalan, seorang Yahudi kelahiran Prancis, Maxime Rodinson, dalam bukunya
Islam and Capitalism menganggap bahwa ekonomi islam itu lebih dekat dengan
sistem kapitalisme atau sekurang-kurangnya tidak mengharamkan prinsip-prinsip
dasar kapitalisme.
2.
Agama dalam hubungannya dengan mekanisme organisasi social budaya.
Peneliti Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of
Javamelihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di Jawa, antara
santri, priyayi, dan abangan. Sungguhpun hasil penelitian antropologis di Jawa
Timur ini mendapat sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial yang lain, namun
kontruksi stratifikasi sosial yang dikemukakannya cukup membuat orang berfikir
ulang untuk mengecek ulang keabsahannya. [9]
3.
Keterkaitan agama dengan psikoterapi.
Sigmund Freud (1856-1939) pernah mengaitkan agama dengan oedipus
complex, yakni pengalaman infantil seorang anak yang tidak berdaya dihadapan
kekuatan dan kekuasaan bapaknya. Agama dinilainya sebagai neurosis. Dalam
psikoanalisanya dia mengungkapkan adanya hubungan antara id, ego dan superego.
Meskipun hasil penelitian Freud berakhir dengan kurang simpati terhadap realita
keberagamaan manusia, tetapi temuannya ini cukup memberi peringatan terhadap
beberapa kasus keberagamaan tertentu yang lebih terkait dengan patologi sosial
mupun kejiwaan. Jika Freud dianggap terlalu minor melihat fenomina keberagaman
manusia, lain halnya dengan psikoanalis yang dikemukakan C.G.Jung. Jung malah
menemukan hasil temuan psikoanalisanya yang berbalik arah dari apa yang
ditemukan Freud. Menurutnya ada korelasi antara agama dan kesehatan mental.
4.
Agama dengan Budaya
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam,
maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama,
penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama
secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek
social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat
diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama
diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan
kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal
ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris
adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama
tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka
mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga
menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang
memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial
manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber
bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring kepentingan yang
mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian
mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning)
yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan
itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh
karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi
tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan
kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan
mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan
ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi
karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan
mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan
bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal
dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah
“takdir sosial” yang tak perlu lagi dipahami.
Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama
tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke
seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia
untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha
manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan
mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti
oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih
adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama
sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat
dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis;intellectualist, structuralist,
functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali
dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk
melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat
perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam
tradisi adalah dengan mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya
kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definisi
ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari
animisme sampai kepada agama monoteis.
Jamaluddin ‘Athiyyah, dalam artikelnya di jurnal The
Contemporery Muslimmenawarkan bahwa obyek kajian dari antropologi Islam adalah
sebagai berikut ini :
a. Penciptaan manusia,
meliputi awal penciptaan manusia dan bagaimana manusia kemudian berkembang
termasuk teori evolusi Darwin sebagai komparasinya. Juga pertanyaan tentang
apakah sebelum Adam AS. ada Adam-Adam lain. Seperti kecenderungan Iqbal, misalnya,
yang mengatakan dalam bukunya The Reconstraction of Religious Thought in
Islam, bahwa Adam yang disebut dalam al Qur’an lebih banyak bersifat konsep
tinimbang histories.
b. Susunan manusia, meliputi
susunan yang membentuk manusia; tubuh, jiwa, ruh, akal, hati, mata hati dan
nurani. Sehingga dapat didapatkan konsep manusia yang utuh sesuai dengan konsep
Islam. Sehingga dengannya manusia akan berbeda dengan malaikat, jin, hewan,
tumbuhan dan benda mati. Sambil menjelaskan perbedaan manusia dengan makhluk
tersebut.
c. Macam-macam manusia,
yaitu perbedaan manusia antara lelaki dan perempuan, suku-suku, bangsa-bangsa,
perbedaan bahasa, dan hikmah dibalik perbedaan ini.
d. Tujuan diciptakannya manusia
dan apa misi yang dibawanya di atas bumi, pengkajian tentang ibadah, khilafah,
pembumidayaan dunia dan sebagainya.
e. Hubungan manusia dengan
semesta, yakni manusia sebagai pusat semesta dan pembahasan tentang lingkungan
hidup.
f. Hubungan manusia dengan
Tuhan-nya, yakni mengkaji tentang beragama manusia, peran nabi-nabi,
kitab-kitab suci dan ibadah.
g. Manusia masa depan, yang
mengkaji tentang rekayasa manusia masa depan yaitu tentang pembibitan buatan,
bioteknologi, manusia robot dan hal-hal lainnya.
h. Manusia setelah mati, yang
membahas bagaiman manusia setelah mati, serta apa yang harus ia persiapkan di
dunia ini bagi kehidupannya di akherat nanti.
Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama
dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The
Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer
sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa.
Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-santri, abangan
dan priyayidi dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang
dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun
hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara
agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami
banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya.
Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba
menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik
terhadap wacana Geertz.
Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa
berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam
melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya
pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada
orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa
ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang
jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri.
Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis
pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di
dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan
lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan
partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan
perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut diatas
terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia
dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai
fenomina kehidupan manusia.
Antropogi memberikan pemahaman yang khusus berkenaan dengan cara
hidup dan perilaku manusia. Lingkup antropologi mencakup seluruh aspek
kehidupan sehari-hari. Pernyataan Socrates yang berbunyi, “Saya bukanlah orang
Athena atau Yunani, melainkan warga dunia, “ dewasa ini cenderung diartikan
secara harfiah daripada secara filosofis. Manusia di seluruh dunia sudah mampu
berhubungan antara satu sama lainnya melalui bantuan teknologi canggih:
computer, kaset video, dan televisi. Dalam dunia kita yang kompleks ini,
antropologi dapat membantu kita dengan cara yang sederhana, tetapi bermanfaat
untuk memahami berbagai masalah masa kini, misalnya masalah kependudukan,
pengungsi, kemiskinan, obat bius, polusi, kelaparan, dan bom nuklir. Jadi
penerapan antropologi dalam upaya memahami masalah tersebut merupakan
antropologi masa kini.
FOOTNOTE
[1] Wawan, Definisi antropologi, lihat dihttp://wawan-satu.blogspot.com/2011/11/definisi
antropologi.html, diakses
tanggal28 Maret 2016.
[2] Artikata.com, Definisi'antropologi', lihat di http://www.artikata.com/arti-319317-antropologi.html, diakses tanggal 28 Maret 2016.
[3] Akbar S.Ahmad, “Ke Arah Antropologi Islam” dalam Hasan
Baharun dan Akmal Mundiri, Metodologi Studi Islam, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011)hlm.232
[4] Parsudi Suparlan,“Agama Islam: Tinjauan Disiplin
Antropologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan antar Disiplin
Ilmu, (Bandung: Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet. I, 1998),
h. 110.
[5]http://pascasarjanastainkds.blogspot.co.id/2013/10/pendekatan-antropologi-dalam-studi-islam_8948.html, diakses tanggal 29 Maret 2016
[6] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan
Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 15.
[7] Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi Untuk
Studi Agama Dan Studi Islam,http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/ diakses 29 Maret 2016.
[8] Hasan Baharun, Metodologi Studi Islam, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media) hlm. 234
[9] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta,
Raja Grafindo Persada: 2004), hlm. 35-37.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Kelompok.........10
ANTROPOLOGI AGAMA DAN HUBUNGAN KEDUANYA.
A.
Pengertian Antropologi Agama
Untuk mengetahui rukun dan syarat dalam wakafAntropologi Agama atau
yang bisa di sebut juga Antropologi Religi merupakan ilmu yang berusaha
mempelajari tentang manusia yang menyangkut agama dengan pendekatan
budaya.Walaupun ada yang berpendapat ada perbedaan antara pengertian agama dan
religi menurut pengertian Antropologi Budaya, namun kedua istilah tersebut
mengandung arti adanya hubungan antara manusia dengan kekuasaan yang ghaib (Perhatikan
Kusnaka 1983: 49).[1]
Dengan demikian Antropologi Agama tidaklah mendekati agama itu
sebagaimana dalam “Teologi” (ilmu ketuhanan), yaitu ilmu yang menyelidiki wahyu
tuhan. Misalnya dalam teologi kristen dimana teologi itu di bedakan dalam
“Theologica systematica” yang menguraikan tentang dogmatik, etika, dan filsafat
agama, Theologica Historica yang menguraikan tentang kitab suci, sejarah
gereja, sejarah dogma, dan sejarah agama dan Thelogica Practica yang
menguraikan tentang Homeletik, ketechetik dan liturgik.[2]
B.
Latar Belakang Sejarah Antropologi Agama
Perhatian manusia terhadap sikap dan perilaku keagamaan sudah
berabad-abad lamanya, yaitu sejak orang-orang barat berkelana dan
mencekeramakan pengaruh kolonialisme dan imperialismenya di dunia timur. Di
antara mereka yang tertarik tersebut di dalam karangannya mengenai “etnografi”
tergambar tentang sikap perilaku adat dan keagamaan dari suku-suku bangsa
sederhana. Maka dari itulah mereka tertarik di karenakan apa yang mereka
bandingkan dengan sikap perilaku dan upacara-upacara keagamaan (kristen) yang
mereka anutTanggapan aneh tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah sikap
perilaku keagamaan masyarakat sederhana itu adalah bentuk-bentuk keagamaan yang
ada kemudian apakah sudah lebih maju, seperti halnya dengan agama Hindu-Budha,
Agama Kristen-Katolik, dan Agama islam. Tanggapan kearah asal mula dari
unsur-unsur universal tentang agama, seperti mengapa manusia percaya kepada
adanya kekuasaan ghaib, mengapa pula manusia bersikap dan berperilaku dengan
berbagai cara dan upacara yang bermacam-macam dalam ia berhubungan dengan
kekuasaan ghaib. Perhatian yang demikian itu akhirnya memasuki dunia ilmiah,
dalam usaha para sarjana untuk mencari tahu tentang asal mula agama.
Para sarjana yang tertarik mengolah lebih lanjut tentang keagamaan
primitif itu lalu berpendapat bahwa agama atau religi dan kepercayaan kuno itu
adalah sisa-sisa dari bentuk agama purba yang di anut oleh seluruh umat manusia
ketika budayanya masih sederhana. Jadi gambaran tentang keagamaan purba dari
masyarakat sederhana itu bukan saja terdapat di dunia timur tetapi juga di
Eropa ketika masyarakatnya masih hidup sederhana.[3]
Dari bahan-bahan etnografi keagamaan yang dapat di kumpulkan dan di
pelajari oleh para ahli, maka di antara para sarjana ada yang berusaha menyusun
teori asal mula agama. Di antara mereka yang menyusun teori tentang asal mula
agama tersebut terdiri dari beragai ahli, yaitu para ahli filsafat, para ahli
sejarah, sarjana-sarjana filologi yamh ahli meneliti naskah-naskah kuno denan
bahasa-bahasa kuni, dan sebagainya.[4]
C.
Objek Kajian Antropologi Agama
Objek yang dikaji oleh berbagai cabang dan ranting ilmu di bedakan
oleh Poedjawijatna kepada objek materia dan objek forma (1983). Objek materia
ialah apa yang di pelajari oleh suatu ilmu. Ilmu sosial misalnya mempelajari
masyarakat. Sosio;ogi dan antropologi sama-sama mengkaji masyarakat, tetapi
sudut tinjauan atau formanya berbeda. Jadi kalau sosiologi misalnya dari sudut
struktur sosialnya, sedangkan antrpologi dari sudut budaya tersebut. Agama yang
di pelajari oleh antropologi adalah agama sebagai fenomena budaya, tidak aa
ajaran agama yang datang dari tuhan. Maka yang menajdi perhatian adalah
beragamanya manusia dan masyarakat. Sebagai ilmu sosial, antropologi tidak
membahas salah benarmya suatu agama dan segenap perangkatnya, ritual, dan
kepercayaan kepada yang sakral.
Harsojo mengungkap bahwa kajian antropologi agama dari dahulu sampai
sekarang meliputi empat masalah pokok, yaitu : (1) dsar-dasar Fundamental dari
agama dan tempatnya dalam kehidupan manusia, (2) bagaimana manusia yang hidup
bermasyarakat memenuhi kebutuhan religius mereka (3) dari mana asal usul agama,
dan (4) bagaimana manifestasi perasaan dan kebutuhan religius manusia (Harsojo
1982:248).[5]
D.
Pendekatan Antropologi Agama
Sebagaimana telah di kemukaan bahwa yang menjadi objek studi dalam
Antropologi agama adalah manusia dalam kaitannya dengan agama, yaitu bagaimana
pikiran sikap dan pelaku manusia dalam hubungannya dengan yang ghaib.
Dalam hal ini ada beberapa cara yang dapat di gunakan untuk studi
antropologi agama, yaitu mempelajarinnya dari sudut ajarannya yang bersifat
Historis, normatif, deskriptif, empiris. Keempat cara tersebut dapat saling
bertautan dan saling mengisi yang satu dan yang lain.[6]
1.
Metode Historis
Dengan metode
yang bersifat sejarah yang di maksud ialah menelusuri pikiran dan perilaku
manusia tentang agamanya yang berlatar belakang sejarah, yaitu sejarah
perkembangan ‘budaya agama’ sejak masyarakat manusia masih sederhana budayanya
sampai budaya agamanya yang sudah maju. Dan dari sini kita bisa lihat mengapa
banyaknya timbul perbedaan paham dan penafsiran terhadap ajaran-ajaran agama,
sehingga dari berbagai agama lahir aliran paham (madzhab) yang berbeda-beda.
Begitu pula tentang waktu, tempat dan latar belakang sejarah terjadinya
bangunan (rumah) ibadah, dan tempat-tempat suci, tempat-tempat pemujaan, yang
bentuk dan bercorak ragam mulai dari yang sederhana hingga bentuknya yang
modern.[7]
2.
Metode Normatif
Dengan metode normatif dalam studi Antropologi Agama di maksudkan
mempelajari norma-norma (kaidah-kaidah, patokan-patokan, atau sastra-sastra
suci agama, maupun yang merupakan perilaku adat kebiasaan yang tradisional yang
berlaku, baik dalam hubungan manusia dengan alam ghaib maupun dalam hubungan
antara manusia yang bersumber dan berdasarkan ajaran agama masing-masing.[8]
3.
Metode Diskriptif
Dengan metode deskriptif di dalam studi Antropologi Agama di
maksudkan ialah berusaha mencatat, melukiskan, menguraikan, melaporkan tentang
buah fikiran sikap tindak dan perilaku manusia yang menyangkut agama dalam
kenyataan yang implisit. Dalam penggunaan metode ini tentang kaidah0kaidah
ajaran agama yang eksplisit tercantum dalam kitab-kitab suci dan kitab-kitab
ajaran agama yang di kesampingkan. Jadi titik perhatian bukan di tunjukan
terhadap ketentuan aturan keagamaan yang ideologis, yang di kehendaki dan harus
berlaku, namun titik perhatian terutama di tujukan terhadap fakta-fakta dari
berbagai peristiwa yang namqpak sesungguhnya yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat.[9]
4.
Metode Empiris
Dengan metode ini Antropologi Agama mempelajari pikiran dan
perilaku agama manusia yang di ketemukan dari pengalaman dan kenyataan di
lapangan. Artinya yang berlaku sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari, dengan mentikberatkan perhatian terhadap kasus-kasus kejadian
tertentu (metode kasus). Dan dalam hal ini si peneliti di tuntut langsung atau
tidak langsung melibatkan diri dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi.[10]
E.
Pentingnya Kajian Antropologi Agama
Kegunaan pengetahuan ilmiah, selain untuk mengetahui sesuatu yang
belum di ketahui, juga untuk dapat menentukan sikap yang tepat dalam berhadapan
dengan sesuatu yang telah di teliti itu sehingga apa yang di inginkan dapat di
capai dengan efisien.
Sebagai hasil ilmiah, sebagai kajian kenapa suatu fenomena terjadi
antropologi agama dapat di manfaatkan oleh siapa saja, baik oleh yang tidak
senang terhadap berkem bangnya agama
tersebut, maupun oleh pemuka agama yang bersangkutan. Sama seperti penemuan
energi atom . teori energi atom dapat di pakai untuk kebaikan, seperti
pembangkit tenaga listrik, maupun untuk kejahatan, seperti untuk bom atom yang
akan memusanahkan uma manusia dan makhluk hidup lainnya. Menjajah indonesia
suatu bangsa yang tinggal di negara kecil menjajah negara yang demikian besar
di antaranya adalah karena penjelasan yang demikian terperinci tentang
masyarakat indonesia yang di hasilkan oleh penelitian antropologi.
Pendidikan agama, selain memerlukan pengetahuan antropologis dari
kelompok yang akan di didik atau peserta didik juga di perlukan pengetahuan
yang memadai tentang psikologi peserta didik. Jadi kalau antropologi
menempatkan suatu kelompok masyarakat dengan budaya yang sama ataupun yang
berbeda dengan kelompok budaya lain, psikologi memandang seseorang atau
individu berbeda dari individu yang lain karena berbagai faktor fisik dan
non-fisik, bawaan, dan binaan, individu dan lingkungan. Antropologi pun
memerhatikan pula faktor psikologis ini yang khusus di pelajari dalam
antropologi psikologi.
Kalau dakwah dan pendidikan agama saja ternayta memerlukan hasil
kajian antropologis, apalagi usaha pembangunan masyarakat dan negara yang mencakup
berbagai aspek kehidupan dan di tunjukan kepada rakyat yang multisuku bangsa
dengan multibudaya dan agama sangat memerlukan informasi dari hasil penelitian
antropologi termasuk antropologi agama. Sebab, pandangan dan perilaku
masyarakat banyak di pengaruhi oleh ajaran dan komunitas agamanya yang
membutuhkan hasil studi tentang agama secara antropologis, bukan saja negara
agana atau negara yang mementingkan pembinaan kehidupan beragama, tetapi
juga negara sekular pun memerlukannya untuk dapat menentukan cara mengahadapi
masyarakat dengan efektif, efisien, da halus.[11]
F.
Istilah Agama.
Pada umumnya di indonesia di gunakan istilah ‘agama’ yang sama
artinya dengan istilah asing ‘religie’ atau ‘ godsdienst’ (belanda) atau
‘religion’ (inggris). Istilah ‘agama’ berasal dari bahasa sansekerta yang
pengertiannya menunjukan adanya kepercayaan manusia berdasarkan wahyu dari
tuhan. Dalam arti linguistik kata agama berasal dari suku kata A-GAM-A, kata
‘A’ berarti tidak, kata ‘GAM’ berarti ‘pergi’ atau ‘berjalan’, sedangkan kata
akhiran ‘A’ merupakan kata sifat yang menguatkan yang kekal. Jadi istilah
‘Agam’ atau ‘agama’ berarti ;tidak pergi’ atau ‘tidak berjalan’ alias ‘tetap’
(kekal, eternal), sehingga pada umunya kata A-GAM atau AGAMA mengandung arti
pedoman hidup yang kekal (Hassan Shadily, Ensiki. 1980-105)[12].
G.
Teori Asal Mula Agama.
` Banyak pendapat para ahli tentang
asal mula agama itu sebagaimana di kemukakan koentjaraningrat adalah ahli
sejarah C. De Brosses (1769), ahli Filsafat August Comte (1850), ahli
filologi F.Max Muller (1880), dan lainnya. Kemudian barulah muncul
teori-teori dari para ahli Antropologi seperti E.B. Taylor (1880), R.R. Marett
(1909), J.G. Frazer (1890).
1.
Durkheim (1912), dan W.Schmidt (1921) (Koetjaraningrat 1966:
207-208). Dari teori-teori mereka ini orang berpendapat bahwa perkembangan
agama it mulai dari Animisme, Dinamisme, Politeisme dan baru kemudian
Monoteisme.[13]
2.
Teori Tylor, Sarjana yang di anggap pertama kali mengemukakan
pendapat bahwa asal mula dari agama adalah ‘Animisme’ (paham tentang roh atau
jiwa) ialah sarjana antropologi inggris E.B. Tylor dalam bukunya “Primitive
Culture’ Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion,
Langguage, Art and Custom’ (1873). Ia berpendapat bahwa asal mula agama adalah
kepercayaan manusia tentang adanya ‘jiwa’ . mengapa manusia sederhana itu
menyadari tentang adanya jiwa atau roh, dikarenakan yang nampak dan di alaminya
sebagai berikut:
a.
Peristiwa Hidup dan Mati, Bahwa adanya hidup karena adanya gerak,
dan gerak itu terjadi karena adanya ‘jiwa’. Selama jiwa itu ada dalam tubuh
maka nampak tubuh itu bergerak, apabila jiwa utu lepas dari tubuh berarti mati
dan tubuh tidak bergerak lagi.
b.
Peristiwa Mimpi, Bahwa ketika manusia itu tidur atau pingsan ia
mengalami mimpi dimana tubuh itu diam dan masih ada gerak (nafas), tetapi ia
tidak sadar karena sebagian dari jiwanya lepas dan gentayangan ke tempat lain
sehingga jiwa yang terlepas itu bertemu dengan jiwa yang lain, baik jiwa
manusia yang masih hidup atau yang sudah mati, mungkin juga dengan jiwa makhluk
jiwa yang lain. Kemudia setelah jiwa itu kembali dalam tubuh maka ia menjai
sadar, ingat dan gerak kembali.
Jadi, oleh karena itu tidak semua manusia mempunyai kemampuan untuk
berhubungan, bergaul, dan berbicara dengan roh-roh halus. Maka muncullah
manusia yang mampu untuk itu, yang disebutkan dukun-dukun, orang-orang keramat,
orang-orang suci, para ahli sihir dan lainnya.[14]
3.
Teori Marett. R.R. Marett seorang sarjana antropologi inggris di
dalam bukunya ‘The Thereshold Of Religion’ (1909), berarti setelah 36 tahun
teori Animisme berkembang, berpendapat bahwa bagi masyarakat yang budayanya
masih sangat sederhana belum mungkin dapat berfikir dan menyadarinya tentang
adanya ‘jiwa’. Menurut Marett kepercayaan terhadap adanya yang supernatural itu
sudah ada sejak sebelum manusia menyadari adanya roh-roh halus (anismisme).
Oleh karenanya teori Marett ini sering di katakan pula Prae-animisme.[15]
4.
Teori Frazer, Sarjana Antropologi Inggris yang lain yang juga
mengemukakan pendapatnya tentang asal mula agama adalah J.G. Frazer dalam
bukunya ‘The Golden Bough a Study in Magic and Religion’ (1890). Ia berpendapat
bahwa manusia itu dalam memecahkan berbagai masalah dalam kehidupannya dengan
menggunakan sistem pengetahuan.
Menurut Frazer pada mulanya manusia itu hanya menggunakan magic
untuk mengatasi masalah yang berbeda di luar batas kemampuan akalnya, kemudian
di karenakan ternyata usahanya dengan magic tidak berhasil maka mulailah ia
percaya bahwa alam semesta ini didiami oleh para makhluk halus, roh-roh halus
yang lebih berkuasa dari padanya.
Dalam mempelajari Magi itu dari segi Antropologi perlu di
perhatikan antara lain sebagai berikut:
a. Siapa orang yang melaksanakan
atau memimpin pelaksanaan secara acara dan upacara magic itu.
b. Bagaimana cara dan upacara magic itu di
lakukan dan di tempat yang bagaimana.
c. Alat-alat apa saja yang digunakannya
melakukan upacara itu, dan bagaimana caranya menggunakannya.
d. Ucapan atau kata-kata apa yang di gunakannya
dalam membaca mentera, atau do’a dan sebagaimana.
e. Jika diramu bahan obat, dari bahan apa
dan dan bagaimana cara meramunya, dan untuk pengobatan apa.[16]
5.
Teori Schmidt. Sarjana antropologi Austria W.Schmidt juga
mengemukakan teori tentang asal mula agama, antara lain dalam bukunya ‘Die
Uroffenbarung ais Anfang der Offenbarungen Gottes’ (1921) yang berbeda dari
Tylor. Schmidt mengemukakan bahwa ‘monotheisme’, kepercayaan terhadap adanya
satu Tuhan, sesungguhnya bukan penemuan baru tetapi juga sudah tua.
Jadi, hanya karena tangan-tangan manusialah yang menyebabkan
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu menjadi rusak, di pengaruh oleh
berbagai bentuk pemujaan kepada makhluk-makhluk halus, kepada roh-roh dan
dewa-dewa, yang di ciptakan oleh akal pikiran manusia sendiri.[17]
6.
Teori Durkheim, Salah satu di antaranya ialah E.Durkheim seorang
sarjana filsafat dan sosiologi bangsa prancis, yang juga mengemukakan teorinya tentang
asal mula agama dalam bukunya ‘Les Formes Elementarires de la Vie Religieuse’
(1912).
Menurut Durkheim bahwa dasar-dasar dari adanya agama itu adalah
sebagai berikut:
a. Bahwa yang menjadi sebab adanya dan berkembangnya kegiatan
keagamaan pada manusia sejak ia berada di muka bumi adalah di karenakan adanya
suatu ‘getaran jiwa’ yang menimbulkan ‘emosi keagamaan’. Timbulnya getaran jiwa
itu di karenakan rasa sentimen kemasyarakatan berupa rasa cinta, rasa bakti,
dan lainnya di dalam kehidupan masyarakatnya.
b. Rasa sentimen kemasyarakatan itulah yang menyebabkan timbulnya
emosi keagamaan, sebagai pangkal tolak dari sikap tindak dan perilaku
keagamaan. Jadi salah satu cara mengobarkan sentimen kemasyarkatan itu ialah
dengan mengadakan pertemuan-pertemuan yang besar.
c. Emosi keagamaan yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan
itu membutuhkan adanya maksud dan tujuan. Misalnya karena adanya peristiwa
kebetulan yang di alami dalam sejarah kehidupan masyarakat di masa lampau
menarik perhatian banyak orang dalam masyarakat itu.
d. Objek yang sakral biasanya merupakan lambang dari
masyarakat. Misalnya pada suku-suku pribumi di Australia yang menjadi objek
yang sakral berupa sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan atau benda tertentu yang
di sebut ‘Totem’.
Menurut Durkheim pengertian tentang ‘emosi’ keagamaan dan ‘sentimen
kemasyarakatan’ sebagaimana di kemukakan di atas adalah pengertian dasar yang
merupakan inti dari setiap agama sedangkan kegiatan berhimpunnya masyarakat,
kesadaran terhadap tujuan atau objek yang sakral yang bertentangan dengan sifat
duniawi (profane) serta totem sebagai perlambang masyarakat, adalah bertujuan
untuk mempertahankan kehidupan emosi keagamaan dan sentimen kemasyarakatan.
Untuk memenuhi tujuan tersebut maka di laksanakan bentuk upacara, kepercayaan
dan mythologi (ilmu tentang cerita-cerita kuno). Ketiga unsur ini menentukan
bentuk lahir dari suatu agama didalam masyarakat tertentu, yang menunjukkan
ciri-ciri perbedaan yang nyata dari berbagai agama di dunia.
FOOTNOTE
[1] Hilman
Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993),
hal.9.
[2]Ibid., hal.10
[3] Harsojo, Pengantar
Antropologi, ( Bandung: Penerbit Binacipta, 2000), hal. 247.
[5]Bustanuddin
Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada,2006), hal. 17-20.
[6]Ibid., hal. 20
[7] Hilman
Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993),
hal. 12.
[8]Ibid., hal. 12.
[9]Ibid., hal. 13.
[10]Ibid., hal. 14
[11] Bustanuddin
Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada,2006), hal.39-44
[12] Hilman
Hadikusuma,Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal.16-17
[13] Hilman
Hadikusuma,Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 29.
[14]Ibid., hal.29-32
[15]Ibid., hal. 32-33
[16]Ibid., hal.33-34
[17]Ibid., hal. 35.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Tidak ada komentar:
Posting Komentar